Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

25
KAJIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DI SEKITAR KITA DENGAN MENGAPLIKASIKAN TEORI LAKOFF,YUEGUO GU, PRANOWO, DAN GRICE Makalah Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang dibina oleh Muh. Fatoni Rohman, S.Pd Oleh Khori Widayanti NIM 0710963019

Transcript of Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

Page 1: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

KAJIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DI SEKITAR KITA

DENGAN MENGAPLIKASIKAN TEORI LAKOFF,YUEGUO GU,

PRANOWO, DAN GRICE

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang dibina oleh

Muh. Fatoni Rohman, S.Pd

Oleh

Khori WidayantiNIM 0710963019

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANGFAKULTAS MIPA

JURUSAN MATEMATIKAPROGRAM STUDI ILMU KOMPUTER

September 2010

Page 2: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

Daftar Isi

HALAMAN SAMPUL

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Topik Bahasan 3

1.3 Tujuan 3

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kesantunan 4

2.2 Kesantunan Berbahasa 5

2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa 6

2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan

Teori Kesantunan 9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 15

3.2 Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

2

Page 3: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada

yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu

mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan

karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu

menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya

tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat

komunikasi.

Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa

menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika

berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik

menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang

sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar,

dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi

kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang

tidak baik dan tidak santun. Dalam kesantunan berbahasa ada beberapa teori yang

mendasarinya yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

1.2 Topik Bahasan

Adapun topik bahasan dalam makalah ini adalah mengkaji penggunaaan Bahasa

Indonesia yang ada di sekitar kita dengan mengaplikasikan 4 teori kesantunan yaitu; teori

Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah agar kita mengetahui kesantunan dalam berbahasa

dengan cara mengkaji penggunaan Bahasa Indonesia yang ada disekitar kita dengan

menerapkan teori dari beberapa pakar.

3

Page 4: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kesantunan

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat

meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan

petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen

untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur

tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling

mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki

kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang

ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan

sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,

kesantunan ini biasa disebut ‘tatakrama’.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi

dalam pergaulan sehari- hari.

Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun

atau etiket dalam pergaulan sehari- hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri

seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di

masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia

dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan

secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu

lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan

nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat

atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain.

Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang

agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu

atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut

4

Page 5: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan,

tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti

antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara

tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat

(bertindak) dan cara bertutur (berbahasa).

2.2 Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal

atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,

tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus

sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan

dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa

seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai

negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak

beradat, bahkan tidak berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi

(komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah

tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar

mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa

memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa

bertujuan mengatur serangkaian hal berikut :

(1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.

(2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.

(3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.

(4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.

(5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.

(6) Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau

kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara

berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga,

tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun

5

Page 6: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang

sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.

Beberapa teori yang mendasari kesantunan berbahasa yaitu teori Lakoff, teori

Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.

2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa

A. Teori Lakoff

Lakoff (1972), dalam prinsip kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang

harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah

1. Formalitas

Kaidah formalitas, dimaknai "jangan memaksa" atau "jangan angkuh".

Akibat logis dari kaidah itu adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh

merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang memaksa dan angkuh seperti

"Bodoh, percuma kau belajar," dapat melahirkan reaksi frontal pada kejiwaan

anak, yang eksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan. Perilaku

semacam itu, sering menjadi sebab terjadinya KdRT.

2. Ketidaktegasan

Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur

sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan

"Jika masih bersemangat dan ingin nilaimu baik, rajin-rajinlah belajar,"

sebenarnya merupakan tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang tua)

terhadap mitra tutur (anak). Namun, tekanan itu disampaikan dengan santun

karena memberikan pilihan kepada anak, sehingga tidak tersinggung dan

bersikap menjengkelkan.

3. Persamaan/kesekawanan.

Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk

bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuat

mitra tutur merasa senang. Ujaran "Nilai rapormu lumayan baik, sebaik

semangat belajarmu," selain sebenarnya mengkritik juga mengajarkan

kesantunan kepada anak.

Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi :

1. Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalam

komunikasi.

6

Page 7: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

2. Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif dan

strategi kesantunan negatif.

B. Teori Yueguo Gu

Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan

norma-norma kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep

Cina limao (politeness) dan terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat.

1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan (want)

psikologis, tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan.

2. Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.

3. Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam

jika individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat.

Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenai

sikap hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus

(warmth and refinment). Ada empat maksim dalam teori Gu:

a. Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri dan

meninggikan orang lain.

b. Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yang

sesuai.

c. Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.

d. Maksim kedermawana yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan

keuntungan antara penutur dan mitra tutur.

C. Teori Pranowo

Menurut Pranowo (2008), fakta pemakaian Bahasa Indonesia yang santun

dapat diidentifikasi dari :

1. Pembicaraan wajar dengan akal sehat, yaitu bertutur secara santun tidak perlu

dibuat-buat tetapi sejauh penutur berbicara, secara wajar dengan akal sehat,

tuturan akan terasa santun.

2. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, sehingga kalimat

tidak perlu berputar-putar agak pokok masalah tidak kabur.

3. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur.

4. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum.

7

Page 8: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

5. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas

sambil menyindir.

6. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.

Selain itu, ada pula fakta bahwa pemakaian BI yang santun ditandai dengan

pemakaian bahasa verbal, seperti :

perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain,

ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang

diinginkan oleh penutur,

penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari pada kata ”Anda”,

penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang yang lebih

dihormati,

pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang dimungkinkan dapat

merugikan mitra tutur.

Di samping bentuk-bentuk verbal seperti di atas, perilaku santun juga dapat

didukung dengan bahasa non-verbal, seperti :

- memperlihatkan wajah ceria,

- selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara,

- sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur,

- posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang).

Pemakaian bahasa non-verbal seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun”

bagi mitra tutur.

D. Teori Grice

Grice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus

memperhatikan prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus

memperhatikan :

1. Prinsip kualitas. Artinya, jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang

lain, informasi yang disampaikan harus didukung dengan data.

2. Prinsip kuantitas, artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang

dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak

kurang.

3. Prinsip relevansi (hubungan), artinya ketika berkomunikasi yang dibicarakan

harus relevan atau berkaitan dengan yang dsedang dibicarakan dengan mitra

tutur.

8

Page 9: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

4. Prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus

ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan.

Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah

yang dibicarakan sangat bagus dan menarik, namun jika cara menyampaikan

justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan

terasa kasar, atau cenderung melecehkan, tujuan komunikasi dapat tidak tercapai.

2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan Teori Kesantunan

2.4.1 Teori Lakoff

Aplikasi atau penerapan dari teori Lakoff dalam berbahasa sehari-hari antara lain :

a. Kaidah Formalitas atau “ jangan memaksa ”

- “ Tolong ambilkan buku saya dimeja ya “ lebih santun dari pada “ Ambilkan

buku saya dimeja “

- “ Permisi, bias saya liat SIM dan STNKnya ” lebih santun dari pada “ Lihat

SIM dan STNKnya ”

b. Kaidah Ketidaktegasan

- “ Silahkan kerjakan ini sekarang atau besok “ lebih santun dari pada “

Kerjakan ini sekarang juga! ”

- “ Berikan surat ini ke pak RT besok atau lusa” lebih santun dari pada “

Kasihkan surat ini ke pak RT besok! ”

c. Kaidah Persamaan/ Kesekawanan

- “ Selamat pagi buk, habis dari pasar ya, banyak sekali bawaannya” lebih

santun dari pada “ belanja apa mborong buk, banyak sekali bawaannya”

- “ Silahkan masuk, anggap saja rumah sendiri “ lebih santun dari pada “

Masuk aja! “

2.4.2 Teori Pranowo

a. Penutur berbicara wajar dengan akal sehat

- Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang

bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, tema

dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Jawa Pos,

1/4/2008:1)

- Selama masih ada korupsi, selama itu pula kesejahteraan belum tercapai

(Kholiq Arif, Suara Merdeka, 02/05/08).

9

Page 10: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

Data di atas menandakan bahwa penutur berbicara secara wajar, tidak perlu

berbunga-bunga, tidak dilebih-lebihkan tetapi dapat diterima oleh akal sehat.

b. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan

- Tak ada masalah, silakan saja. Kita tidak asal menangkap, tapi sudah

didasarkan pada bukti awal yang cukup kalau tersangka membantah, itu

haknya (Johan Budi, Juru Bicara KPK, KR, hal 28, 02/05/08).

- Kalau masalah korupsi, asal atasannya tegas, tentu yang bawahan tidak

ikut ikutan (Bambang Sadono, Suara Merdeka, 02/05/08).

Data di atas mencermikan bahwa setiap bertutur ada masalah pokok yang

dikemukakan.

c. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur

- Saya merasa sedih, kecewa atas peristiwa itu karena nila setitik rusak susu

sebelanga (Hendarwan, Jaksa Agung; Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008).

- Voting juga merupakan bentuk demokrasi. Jadi kalau tidak ada kata

mufakat dalam musyawarah, maka voting bisa juga” (Jusuf Kalla, Wakil

Presiden RI; Kedaulatan Rakyat, 3 Maret 2008).

Komunikasi akan santun jika antara penutur dengan mitra tutur dalam berbicara

selalu berprasangka baik satu sama lain.

d. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum

- Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya

kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah

semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1

Data di atas menunjukkan bahwa penutur menyampaikan kritik secara terbuka

dan mau menerima kritik secara terbuka pula. Namun penutur juga berusaha

mendudukkan permasalahan kritik secaraproporsional dengan mengatakan “…

analisisnya kok sepertimenyatakan bahwa yang dilakukan oleh pemerintah salah

semua…”. Meskipun berisi kritik secara terbuka dan relatif keras, masih dapat

dikatakan berkadar santun karena tidak ada person yang “ditohok” secara

langsung (kiritik umum). Dengan demikian, komunikasi yangsantun tidak harus

menghindari penyampaian kritik. Sejauh kritik itu disampaikan secara terbuka,

dan bersifat umum, kritik tidak ditujukan kepada seseorang secara langsung,

tuturan tetap dapat dirasakan sebagai tuturan yang santun.

e. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas

sambil menyindir

10

Page 11: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

- Saya sangat berterima kasih kepada negeri ini. Tidak ada lagi ambisi saya

secara ekonomi dan politik. Sebagi non-pri, jabatan politik saya saat itu

sudah yang tertinggi sebagai anggota DPR. Nggak mungkin naik lagi.

Demikian pula dengan ambisi ekonomi, sudah cukuplah yang saya punya

ini (Sofjan Wanadi, Ketua Umum Apindo (2008-2013); Jawa Pos,

30/3/2008:14)

- Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya

kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah

semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1)

f. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius

- Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang

bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, tema

dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Presiden

RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1).

- Ibu Mega sempat bertanya, apakah Bibit dan mbak Rustri bias menang.

Beliau bilang, “Awas Tjahjo,kalau sampai kalah, aku ‘sembelih’ kamu,”

ungkap Puan ketika memberi sambutan menggantikan Megawati. (Puan

Mahaarani, Suara Merdeka, 03/03/08).

Data di atas menggambarkan bahwa penutur sebenarnya sedang berbicara serius

tetapi disampaikan secara berkelakar/bercanda.

2.4.3 Teori Grice

a. Maksim Kuantitas berbunyi “Berikanlah jumlah informasi yang tepat”.

Pemberian jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya

dapat memberi keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula

memberikan keterangan lebih daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi

yang diberikan kepada orang lain dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya

saja. Jangan lebih dan jangan kurang.

Contoh:

a) Guru       :  Apakah kamu sudah menyelesaikan PR Matematika?

Siswa      :  Sudah Pak  

     

b) Guru       :  Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni?

Siswa     : Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah yang Saya gunakan

11

Page 12: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

berbeda dengan Toni karena Saya menggunakan buku terbitan

Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat lengkap dalam membahas

soal seperti yang Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah punya

buku itu?

Jika dibandingkan antara dialog (a) dan dialog (b) terlihat perbedaan. Dialog (a)

antara guru dan siswa terdapat kerja sama yang baik. Siswa telah memberikan

kontribusi yang secara kuantitas memadai dan mencukupi. Berbeda halnya

dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat adanya kerja sama yang

baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang berlebihan yang tidak

diperlukan guru.

b. Maksim Kualitas berbunyi “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”.

Maksim ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan

kepada orang lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini

salah jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan

menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis

(kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk

dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau

keterangan yang membingungkan, lebih baik diam.

Contoh:

(a)  Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

      Denny : Dia tidak di kelas XII IPS A, tapi di kelas XII C IPA.

(b)  Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

      Denny : Ia di kelas XII C IPE. Cape dech!

(c) Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?

      Denny : Di kelas XII IPA C.

Dialog (a), Denny memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Hal

ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama untuk mengetahui mengapa

Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya dan dianggapnya

salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit mengetahui bahwa

jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah membandingkan

dirinya dengan Lili.  Pada dialog (b), jawaban Denny dianggap melanggar

maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan itu

12

Page 13: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

terdapat pada kelas XII C IPE, cape dech. Pada dialog (c), jawaban Denny telah

dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.

c. Maksim Hubungan berbunyi “Usahakan perkataan Anda ada relevansinya”.

Melalui maksim hubungan ini kita dalam peristiwa tutur dituntut untuk selalu

menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, dalam percakapan harus

diketahui fokus persoalan yang sedang dibicarakan dan perubahan yang terjadi

pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap fokus persoalan akan membantu

dalam menginterpretasi serta mereaksi tuturan-tuturan yang dilakukan lawan

bicara.

Contoh:

(a) Udin   : Di mana buku Biologiku?

      Dani : Di rak meja.

(b) Udin    : Di mana buku Biologiku?

      Dani : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat istirahat tadi.

(c) Udin   : Di mana buku Biologiku?

       Dani : Saya dipanggil Ibu Ranti!

Pada dialog (a), informasi yang disampaikan Dani ada relevansinya dengan

pertanyaan Udin. Sama halnya pada dialog (b), informasi yang disampaikan

Dani menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui

jawaban yang tepat atas pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu

Udin mendapatkan jawaban yang benar. Karena, jawaban Dani mengandung

implikasi kemungkinan Yuni lah yang meminjam buku Biologi Udin yang

terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di mana buku Biologinya sekarang.

Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu

jawaban yang menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak

membantu Udin untuk mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat

dikatakan relevan bila jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu

keterangan mengapa Dani tidak dapat menjawab pertanyaan Udin.

d. Maksim Cara berbunyi “Usahakan perkataan Anda mudah dimengerti”. Pada

maksim ini yang dipentingkan adalah cara mengungkapkan ide, gagasan,

pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara, dalam mengungkapkan

sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini maksim cara memiliki

empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan yang samar, b)

13

Page 14: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar berbicara

dengan teratur.

Contoh:

(a)  Ucok                        :  Siapa teman Anda, orang Korea itu?

      Ujang                       :  K-I-M E-O-K S-O-O

      Ucok                        :  (bengong)

(b)  Ucok                        :  Itu dia, guru baru datang.

      Ujang                       :  Dia guru baru?

      Ucok                        :  Bukan!

(c)  Orang tua murid    : Atas perhatian, kebijaksanaan, dan kemurahan hati

Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih.

      Guru                       : Sama-sama.

(d) Tini      : Bagaimana keadaan rumah yang baru Anda beli?

     Tono  : Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga saya. Pagarnya

dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira kira 6 x 5 m²,

berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian

depan terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang

keluarga, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang

tempat mencuci pakai, dan alat-alat dapur. 

 Pada dialog (a), jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena

dilakukan dengan mengeja nama seseorang melalui kata demi kata. Nama orang

itu KIM EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi pengucapannya dieja

sehingga tidak jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b) kalimat yang

diucapkan Ucok menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih dari

satu. Sementara itu, pada dialog (c) pernyataan yang disampaikan oleh orang tua

murid terlalu berlebihan. Berbeda dengan dialog (d) Tono memberikan

informasi yang jelas bagi Tini.

14

Page 15: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam berkomunikasi perlu adanya kesantunan, sehingga orang yang

berkomunikasi dengan kita akan terasa nyaman dan senang. Berbicara santun tidak

harus dengan menggunakan bahasa baku, karena belum tentu menurut orang kita

berbicara dengan santun. Ada teori dari beberapa pakar yang menjelaskan tentang

bagaimana berbicara dengan santun, yang antara lain di kemukaan Lakoff, Yueguo

Gu, Pranowo dan Grice. Teori yang mereka kemukakan tidak menyebutkan bahwa

berbicara yang santun harus dengan bahasa baku, tetapi mereka menjelaskan

kesantunan dalam berbicara ini dengan aspek-aspek yang sesuai dengan kahidupan

sehari-sehari sehingga mudah untuk kita terapkan.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan, oleh karena itu untuk

pengkajian lebih ulang diharapkan dapat terlengkapi kekurangan-kekurangan tersebut.

Untuk perpustakan Brawijaya sebaiknya menambah koleksi buku yang membahas

tentang teori-teori kesantunan.

15

Page 16: Kajian Penggunaan Bahasa Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Jasmine. 2010, Prinsip Kerja Sama dan Kesantunan, (online),

(http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-n-

kesantunan.html, diakses 27 Oktober 2010).

Pranowo, dkk. 2004. Kesantunan Berbahasa para Politisi di Media Massa. Yogyakarta :

Universitas Sanata Dharma.

Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : Airlangga

University Press.

16