KAJIAN ORGANOLOGIS SURDAM PUNTUNG … demikian, hasil karya yang dibuat oleh beliau sudah diakui dan...
Transcript of KAJIAN ORGANOLOGIS SURDAM PUNTUNG … demikian, hasil karya yang dibuat oleh beliau sudah diakui dan...
i
KAJIAN ORGANOLOGIS SURDAM PUNTUNG BUATAN PAUZI
GINTING DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT
KABUPATEN KARO
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
SEPTIANTA BANGUN
NIM: 090707010
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E DAN
2014
ii
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan, September 2014
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001
iii
KAJIAN ORGANOLOGIS SURDAM PUNTUNG BUATAN PAUZI
GINTING DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT
KABUPATEN KARO
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : SEPTIANTA BANGUN
NIM : 090707010
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Bebas Sembiring, M.Si Drs. Kumalo Tarigan, M.A NIP 195703131992031001 NIP 195812131986011002 Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Seni Di Departemen Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
iv
PENGESAHAN Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Medan.
Medan Hari : Tanggal : FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN, Dr. Syahron Lubis, M.A.,Ph.D. NIP. 195110131976031001 PANITIA UJIAN No. Nama Tanda Tangan 1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D. ( ) 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( ) 3. Drs. Fadlin, M.A. ( ) 4. Drs. Bebas Sembiring, M.Si ( ) 5. Drs. Kumalo Tarigan, M.A ( )
i
ABSTRAKSI
Penelitian ini membicarakan teneang teknik pembuatan alat musik surdam yang dibuat oleh Pauzi Ginting. Tidak seperti pembuat alat musik lain, yang belajar dari sebuah proses transmisi atau belajar secara turun-temurun, Bapak Pauzi Ginting merupakan seorang pembuat alat musik yang belajar secara otodidak. Namun demikian, hasil karya yang dibuat oleh beliau sudah diakui dan dipakai di masyarakat.
Surdam yang disebut permakan ini merupakan sebuah alat musik yang digolongkan kedalam klasifikasi end blown flute. Yakni sebuah alat musik di mana cara memainkannya yaitu dengan meniup dari bagian atas ujung alat musik tersebut namun dengan posisi miring. Surdam ini memiliki enam lubang nada. Selain digunakan dalam bentuk ensambel, surdam ini juga digunakan secara tunggal/solo instrument tanpa diiringi alat musik lainnya. Surdam ini juga dapat digunakan oleh siapa aja dan dimana saja. Adapun bentuk fisik dan teknik pembuatan surdam ini akan dibahas pada bagian tulisan berikutnya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam mengolah datanya. Hasil akhir yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana teknik pembuatan alat musik surdam ini.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “KAJIAN ORGANOLOGIS SURDAM
PUNTUNG BUATAN PAUZI GINTING DI DESA LINGGA KECAMATAN
SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO” ini diajukan sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak Alm.
L Bangun S.Pd dan Ibu T Karo S.Pd yang telah membesarkan penulis dengan
kasih sayang dan bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta
memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
ini. Tak lupa juga kepada saudara-saudara penulis yang tersayang kakak saya Rika
Detty br. Bangun S.Si dan adikku Melky Epin Donta Bangun yang selalu
memberi dorongan, semangat dan masukkan sebagai inspirasi dalam penulisan ini.
Sejuta kata terima-kasih untuk dua orang dari masa lalu, masa kini, dan yang
menjadi masa depanku. Odra Mekarita Sembiring dan Radit Judeaster Portnoy
Bangun.
Terima kasih kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs.
Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. dan Dra. Heristina Dewi M.PD selaku
Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan
bantuan dalam administrasi serta registrasi perkuliahan dalam menyelesaikan
tugas akhir penulis.
iii
Terima kasih kepada Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. selaku dosen
pembimbing I dan Drs. Kumalo Tarigan, M.A selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan banyak bimbingan dan masukkan yang berguna dalam
penulisan skripsi ini.
Terima kasih Kepada Bapak dr. Drs. Syahron Lubis. MA selaku dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada ibu Audri
yang juga telah banyak membantu proses administrasi di kantor jurusan, serta
kepada seluruh staf pengajar jurusan Etnomusikologi penulis mengucapkan terima
kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan
penulis dalam ilmu pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan
diantaranya Bapak Pauzi Ginting dan keluarga sebagai informan kunci, keluarga
penulis mengucapkan banyak terima kasih karena banyak membantu dalam
penelitian yang saya jalani selama ini.
Terimakasih juga banyak buat abang-abang alumni terkhusus buat abang
Bangun Tarigan S.Sn yang banyak membantu saya selama penelitian dan juga
memberikan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini.
Ucapan terima kasih kepada semua sahabat-sahabat seperjuangan 09 baik
yang sudah Sarjana maupun yang sedang menyusun dan menyusul, yang menjadi
tempat saling berkeluh kesah dan memberikan masukan, gagasan, ide, dorongan
beserta semangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
iv
Mungkin tidak semua bisa saya sebutkan, tetapi hanya bisa mengucapkan
terimakasih untuk seluruh keluarga besar saya, teman bermain, abang, adik, dan
semua handai taulan yang telah mendukung untuk bisa menyelesaikan tulisan ini.
Penulis menyadari tulisan ini masih belum dapat dikatakan sempurna, oleh
sebab itu penulis juga masih tetap mengharapkan segala masukkan dan saran-
saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian sehingga lebih mengarah
kepada kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu Etnomusikologi.
Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah
pengetahuan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.
Medan, September 2014
Penulis
Septianta Bangun
090707010
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ..................................................... 5 1.3 Tujuan dan Manfaat ....................................................... 5
1.3.1 Tujuan ............................................................... 5 1.3.2 Manfaat .............................................................. 5
1.4 Konsep dan Teori ........................................................... 6 1.4.1 Konsep................................................................. 6 1.4.2 Teori .................................................................... 7
1.5 Metode Penelitian ........................................................... 8 1.5.1 Studi Kepustakaan .............................................. 9 1.5.2 Kerja Lapangan ................................................... 10 1.5.3 Observasi ............................................................. 10 1.5.4 Wawancar ............................................................ 10 1.5.5 KerjaLaboratorium ............................................... 11
BAB II GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ............................... 12
2.1 Lokasi Penelitian ............................................................. 12 2.2 Pendudukan dan Sistem Bahasa ....................................... 13
2.2.1. Kependudukan ....................................................... 14 2.2.2 Bahasa ...... ................................................................ 15
2.3 Sistem Kekerabatan ......................................................... 17 2.4 Musik Tradisional Masyarakat Karo ................................. 19
2.4.1 Ensambel Tradisional Karo ..................................... 19 2.4.1.1 Gendang Lima Sedalanen ........................... 20 2.4.1.2 Gendang Telu Sedalanen ............................ 21
2.4.2 Instrumen Musik Tradisional Karo Non-ansambel . 22 2.4.3 Musik Vokal .......................................................... 24 2.4.4 Penggunaan instrumen keyboard ............................. 25
2.4.4.1 Upacara Perkawinan ................................... 26 2.4.4.2 Upacara Kematian ...................................... 27
vi
2.4.4.3 Upacara Erpangir Ku Lau ........................... 27 2.4.4.4 Mengket Rumah ......................................... 28 2.4.4.5 Gendang Guro-guro Aron ........................... 28 2.4.4.6 Acara Hiburan Lainnya ............................... 29
BAB III EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN SURDAM PUNTUNG DALAM MASYARAKAT KARO ...................................................... 30
3.1. Jenis-jenis surdam dalam masyarakat Karo ...................... 30 3.2. Surdam puntung dalam masyrakat Karo .......................... 33 3.3. Eksistensi Alat Musik Surdam Puntung
dalam Masyarakat Karo ................................................. 36 3.4. Penggunaan dan Fungsi Surdam ...................................... 39
3.4.1 Pengunaan .............................................................. 39 3.4.1.1 Penggunaan Surdam pada upacara Erpangir Ku Lau ......................................... 40
3.4.2 Fungsi..................................................................... 42 3.4.2.1 Fungsi pengungkapan emosional ................ 42 3.4.2.2 Fungsi hiburan ............................................ 43 3.4.2.3 Fungsi komunikasi ...................................... 44 3.4.2.4 Fungsi reaksi jasmani ................................. 45
3.4.3 Fungsi Surdam puntung dalam konteks erpangir ku lau .......................................... 46 3.4.3.1 Fungsi pembawa melodi ............................. 46 3.4.3.2 Fungsi dalam ensambel ............................... 46
BAB IV PROSES PEMBUATAN SURDAM PUNTUNG ................ 47
4.1 Klasifikasi Alat Musik Surdam Puntung ......................... 48 4.2 Teknik Pembuatan Surdam Puntung ................................ 50
4.2.1 Bahan Baku yang Digunakan ................................. 51 4.2.1.1 Bambu ........................................................ 51
4.2.2 Peralatan yang Digunakan ...................................... 51 4.2.2.1 Parang Panjang ........................................... 51 4.2.2.2 Rawit Batak ................................................ 52 4.2.2.3 Rawit .......................................................... 53 4.2.2.4 Penggaris .................................................... 54 4.2.2.5 Benang ....................................................... 55 4.2.2.6 Pensil .......................................................... 55 4.2.2.7 Kertas pasir ................................................. 56 4.2.2.8 Garut .......................................................... 56
vii
4.2.3 Proses Pembuatan Surdam Puntung ........................ 57 4.2.3.1 Memilih dan Memotong Bambu ................. 57 4.2.3.2 Pengeringan Bambu .................................... 58 4.2.3.3 Memotong Bambu ...................................... 58 4.2.3.4 Membentuk Lubang Tiup Surdam ............... 59 4.2.3.5 Pengukura Panjang Bambu ......................... 60 4.2.3.6 Proses Pengukuran Jarak Lubang Nada ....... 61 4.2.3.7 Melubangi Lubang Nada ............................. 64 4.2.3.8 Menghaluskan Surdam................................ 64 4.2.3.9 Memberi Ukiran Pada Surdam .................... 66
4.2.4 Sistem Laras dan Nada Surdam Puntung ................. 69 4.2.5 Sampel Lagu ........................................................... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 74
5.1 Kesimpulan ..................................................................... 74 5.2 Saran ............................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78 DAFTAR INFORMAN .................................................................................. 79
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1: Luas Seluruh Wilayah Desa Lingga ............................................. 13 Tabel 2.2: Komposisi Penduduk Desa Lingga .............................................. 14 Tabel 2.3: Aksara Karo ................................................................................ 16
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 3.1: Surdam Puntung ..................................................................... 31 Gambar 3.2: Surdam Rumamis .................................................................... 32 Gambar 3.3: Surdam Tangko Kuda .............................................................. 33 Gambar 4.1: Parang Panjang ....................................................................... 52 Gambar 4.2: Rawit Batak ............................................................................ 53 Gambar 4.3: Rawit ...................................................................................... 54 Gambar 4.4: Penggaris ................................................................................ 54 Gambar 4.5: Benang .................................................................................... 55 Gambar 4.6: Pensil ...................................................................................... 55 Gambar 4.7: Kertas Pasir ............................................................................. 56 Gambar 4.8: Garut ...................................................................................... 57 Gambar 4.9: Memotong Ruas Bambu .......................................................... 59 Gambar 4.10: Pembentukan Bagian Lubang Tiup Surdam ........................... 60 Gambar 4.11: Melilitkan Benang pada Ujung Lubang Tiup ......................... 60 Gambar 4.12: Mengukur Panjang dengan Benang ....................................... 61 Gambar 4.13: Memotong dengan Rawit Batak ............................................. 61 Gambar 4.14: Mengukur Jarak Lubang Nada dengan Menggunakan Penggaris ............................................ 63 Gambar 4.15: Mengukir Lubang Nada ........................................................ 64 Gambar 4.16: Menghaluskan Lubang Nada dengan Kertas Pasir ................. 65 Gambar 4.17: Menghaluskan Bambu dengan Kertas Pasir .......................... 65 Gambar 4.18: Mengkuir Bambu Surdam dengan Motif Tradisional Masyarakat Karo ................................................ 66 Gambar 4.19: Teger Tudung........................................................................ 67 Gambar 4.20: Keret-keret Ketadu ................................................................ 67 Gambar 4.21: Ipen-ipen ............................................................................... 68 Gambar 4.22: Tampuk-tampuk Pinang ........................................................ 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karo adalah salah satu suku bangsa dari banyak etnis yang memiliki
kebudayaan sendiri di provinsi Sumatera Utara. Koentjaraningrat dalam bukunya
Pengantar Ilmu Antropologi (1986), menyebutkan kebudayaan dapat dibagi
menjadi tujuh unsur kebudayaan, yaitu : (1)sistem perlengkapan hidup, (2)sistem
mata pencarian, (3)sistem kemasyarakatan, (4)sistem bahasa, (5)sistem kesenian,
(6)sistem pengetahuan, (7)sistem religi. Dan salah satu diantaranya adalah yang
berhubungan dengan Kesenian. Kesenian itu sendiri masih terdiri dari beberapa
sub bagian seperti seni musik, sastra (cerita rakyat, pantun), dan tari. Masyarakat
Karo mempunyai kebudayaan yang sangat kaya yang mereka peroleh dari
leluhurnya secara turun-temurun. Warisan budaya tersebut antara lain seperti seni
musik, sastra, (cerita rakyat, pantun), tari, ukir (pahat), dan anyam. Seni musik
yang diwariskan pada masyarakat Karo adalah ensambel musik tradisional yang
disebut Gendang lima sendalanen1 dan Gendang telu sendalanen.2 Di luar kedua
ensambel tersebut ada juga musik yang dimainkan secara non-ensambel yakni
1Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan
suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) alat musik karo, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak dan (5) gung. Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti “alat musik”, lima berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian Gendang Lima Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima Sendalanen disebut dengan istilah Gendang Sarune. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama ini (Gendang Lima Sendalanen dan Gendang Sarune) terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya.
2Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu Kulcapi atau balobat.
2
dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang
lain. Contoh alat musik tersebut adalah surdam, baluat, embal-embal, empi-empi,
murbab, dan genggong.
Seni ini biasanya diwariskan secara turun-temurun bagi mereka, namun di
beberapa wilayah yang heterogen secara etnik, ada beberapa bagian dari kesenian
ini yang hampir punah keberadaannya, bahkan ada yang hilang sama sekali. Hal
ini disebabkan karena sudah mengalami perubahan-perubahan dalam cara
berpikir, dalam kehidupan sehari-harinya, sudah banyak dipengaruhi oleh budaya
lain dan seiring berkembangnya zaman. Perubahan cara berpikir dan pengaruh
budaya lain ini ternyata tidak hanya mengakibatkan keberadaan dari kesenian
(dalam hal ini seni musik yakni alat musiknya) ini mulai hilang atau punah, tetapi
juga dapat mengakibatkan pergeseran-pergeseran makna dan penggunaan alat
musik itu sendiri.
Tulisan ini mendiskusikan tentang studi organologi alat musik surdam
puntung, meliputi sejarah dan keberadaannya sekarang ini dan penggunaannya
(kapan dimainkan). Namun dalam hal ini studi kasus yang dilaksanakan bertempat
di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Sebagai informan
kunci Bapak Pauzi Ginting salah seorang pemusik sekaligus pembuat alat musik
daerah Desa Lingga, Kecamatan Simpang, Kabupaten Karo.
Pada umumnya ada tiga jenis surdam yang terdapat di masyarakat karo
(menurut wawancara dengan Bpk Pauzi Ginting) yaitu (1) surdam puntung,
merupakan surdam yang digunakan para pengembala(permakan) pada saat
mereka mengembalakan hewan ternak seperti kerbau. (2) surdam rumamis,
3
merupakan surdam yang dipakai oleh kalangan sendiri, dalam hal ini Rumamis
merupakan sebuah nama desa sehingga besar kemungkinan surdam ini berasal
dari kampung tersebut. (3) surdam Belin (tangko kuda). Menurut sejarahnya
berawal dari adanya pencuri yang hendak mencuri kuda pada malam hari, namun
ketika surdam dimainkan maka pencurian itu gagal terlaksana karena mendengar
bunyi surdam tersebut.
Surdam puntung ini dibuat berawal dari penggembala yang sedang
merasakan kesepian ketika menggembalakan kerbaunya. Ketika merasakan
kesepian dia mencoba melakukan aktifitas untuk mengisi kekosongannya dengan
membuat sebuah alat musik. Menurut informasi yang didapat, tidak diketahui
bagaimana dulunya alat musik ini dibuat oleh penggembala tersebut. Namun
seiring dengan perkembangannya, dari segi proses pembuatannya, alat musik ini
kemudian dibuat dengan menggunakan ritual dan berbagai persyaratan.
Dipercaya bahwa dengan menggunakan ritual tersebut, alat musik surdam ini
dapat memiliki kekuatan magis, seperti untuk memikat hati perempuan, ataupun
supaya orang yang mendengarkan alunan bunyi surdam itu dapat melepaskan rasa
lelahnya. Bahan untuk membuat surdam tersebut merupakan bambu yang disebut
sebagai Gigantochloa pruriens (buluh Rengen) dalam bahasa Karo disebut buluh
regen, jenis bambu ini banyak terdapat di dataran tinggi seperti di Tanah Karo.
Kemudian proses untuk membuat lubang nada pada surdam tersebut harus
menggunakan ritual terlebih dahulu. Yakni surdam tersebut harus ditanam terlebih
dahulu di jalan yang terdapat di kuburan yaitu dimana mayat orang meninggal
akan lewat ketika akan dikuburkan. Untuk melubangi ke-enam lubang nada yang
4
terdapat pada surdam, dibutuhkan juga enam mayat yang harus melewati surdam
yang ditanam tersebut.
Ketika itu, melihat suasana yang sepi dan tenang biasanya alunan lagu yang
dimainkan oleh seorang penggembala pada umumnya bersifat sedih dan syahdu.
Surdam puntung ini dimainkan pada upacara ritual seperti upacara: erpangir ku
lau (membersihkan diri). Melihat fakta yang terjadi di dalam masyarakat Karo,
dari ke-tiga jenis surdam yang ada didalam masyarakat Karo, hanya sudam
puntung ini yang sering digunakan untuk membawakan lagu-lagu Karo, ini
disebabkan karena alat musik ini dapat memainkan lagu yang bertangga nada
mayor dan minor. Oleh karena itu surdam puntung ini tetap eksis dibandingkan
dengan alat musik surdam yang lain pada masyarakat Karo.
Dengan melihat uraian kejadian di atas, surdam puntung dapat dijadikan
sebagai contoh aktivitas kreatif yang mana Alan P.Merriam (1960:10)3
menyebutkan hal itu sebagai salah satu objek kajian etnomusikologi. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk mengkajinya lebih jauh untuk membuat sebuah kajian
ilmiah dengan judul: Kajian Organologis Surdam Puntung Buatan Pauzi
Ginting di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.
3 Music as creative activity (Merriam 1960:10). Bahwa musik adalah salah satu aktivitas kreatif di bidang seni yang iunsur utamanya adalah bunyi-bunyian. Mencakup ruang yakni tangga nada dan elemen-elementa, dan waktu yakni meter, waktu penyajian tanda birama dan lain-lain. Dengan unsur-unsur inilah komposer dan seniman melakukan aktivitas kreatifnya.
5
1.2 Pokok permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya,
pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini yaitu :
1. Bagaimana perkembangan surdam puntung di Desa Lingga Kecamatan
Simpang Empat sekarang ini ?
2. Bagaimana proses pembuatan alat musik surdam puntung yang dibuat oleh
Bapak Pauzi Ginting ?
1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian
1.3.1 Tujuan
Tujuan penelitian terhadap surdam permakan Karo adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan surdam puntung di Desa Lingga
Kecamatan Simpang Empat sekarang ini .
2. Untuk mendeskripsikan proses pembuatan alat musik surdam puntung
ini di buat oleh Bapak Pauzi Ginting.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :
1. Sebagai dokumentasi untuk menambah refrensi mengenai musik Karo
khususnya alat musik surdam puntung di Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis
selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.
6
3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya di kemudian hari.
1.4 Konsep dan teori
1.4.1 Konsep
Berikut ini penulis akan membuat pengertian dari kata-kata yang terdapat
pada judul. Maksud dari kata keberadaan pada judul tulisan ini adalah bagaimana
perkembangan surdam khususnya di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat
sekarang ini. Apakah mengalami perubahan yang signifikan dari mulai
sejarahnya surdam ini ada hingga sekarang ini.
Kajian organologi merupakan bagian dari etnomusikologi yang meliputi
semua aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya
bahan dan perinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan
wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan
alat musik tersebut. Organologi juga tidak hanya membahas masalah teknik
memainkan, fungsi musikal, dekorasi (pola hiasan) fisik, dan aspek sosial budaya,
melainkan termasuk didalamnya deskripsi alat musik tersebut secara
konstruksional (Hood 1982:124). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kajian organologis adalah, suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari
instrumen musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik
itu sendiri dari berbagai pendekatan ilmu sosial budaya.
Surdam puntung merupakan surdam yang digunakan para pengembala pada
saat mereka mengembalakan hewan ternaknya. Namun sekarang ini surdam ini
bukan hanya dipakai oleh pengembala, tetapi sudah merupakan sebuah alat musik
7
yang sangat umum untuk dijumpai dan dipakai di kalangan masyarakat. Surdam
ini dipakai sebagai alat penghibur bagi penggembala itu sendiri.
Bapak Pauzi Ginting adalah seorang musisi yang berasal dari desa Lingga
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Karo, yang mana merupakan
pemain sekaligus pembuat alat musik daerah setempat. Orang tua beliau
merupakan seorang pembuat rumah adat suku Karo, sehingga beliau diajari dan
memiliki kemampuan dalam hal memahat dan mengukir. Dengan modal tersebut
beliau memberanikan diri untuk membuat berbagai alat musik Karo, sampai pada
akhirnya terbiasa dan mahir. Dan dengan demikian lama-kelamaan alat musik
buatan beliau dikenal oleh masyarakat umum. Pada saat ini beliau sudah cukup
memiliki reputasi melalui alat-alat musik Karo yang pernah dibuatnya. Menurut
wawancara dengan beliau, 80% alat musik karo yang berada di Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) merupakan hasil buatan karyanya sendiri. Selain itu tidak
jarang bahwa alat musik buatannya diminta untuk dilelang diberbagai acara
perlelangan.
1.4.2 Teori
Dalam tulisan ini untuk membahas pendeskripsian alat musik, penulis
mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Kashima, 1978:174
terjemahan Rizaldi Siagian dalam laporan ATPA, bahwa studi musik dapat dibagi
kedalam dua sudut pandang yang mendasar, yaitu studi struktural dan studi
fungsional. Studi struktural berkaitan dengan observasi(pengamatan), pengukuran,
perekaman, atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil, konstruksi serta bahan-
8
bahan yang dipakai un tuk pembuatan alat musik tersebut. Kemudian studi
fungsional memperhatikan fungsi dari alat-alat atau komponen yang memproduksi
(menghasilkan) suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap
metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya
suara (loudness), bunyi, nada, warna nada, dan kualitas suara yang dihasilkan oleh
alat musik tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
proses dan teknik pembuatan surdam Karo termasuk kedalam studi struktural.
Surdam Karo adalah instrumen musik aerofon yang memiliki enam lubang.
Oleh karena itu dalam pengklasifikasian alat musik tersebut, penulis
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel 1961,
yaitu:
“Sistem pengaplikasian alat musik berdasarkan sumber bunyi. Sistem
klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari; idiofon alat itu
sendiri sebagai penggetar utama bunyi, aerofon (udara sebagai sumber penggetar
utama bunyi), membranofon (kulit sebagai sumber penggetar bunyi), dan
kordofon ( senar sebagai sumber penggetar utama bunyi).
1.5 Metode Penelitian
Metode yang dapat digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif
menurut Nawawi dan Martini, 1995:209 yaitu Penelitian adalah rangkaian
kegiatan atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya
mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada
objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana
9
dalam penelitian kuantitatif. Untuk mendukung penelitian tersebut, penulis
menggunakan metode ilmu etnomusikologi yang terdiri dari dua disiplin, yaitu :
disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory dicpline). Hasil dari
kedua metode penelitian ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a
final study), (Merriam, 1964:37). Untuk memperoleh data dan keterangan yang
dibutuhkan dalam penulisan tulisan ini, penulis menggunakan Metode
Pengumpulan Data, yaitu: (1) menggunakan daftar pertanyaan (questinnaries) ;
(2) menggunakan wawancara interview.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung tulisan ini penulis dibantu dengan beberapa tulisan yang
menjadi bahan acuan kerangka tulisan. Dalam hal ini penulis memperhatikan
beberapa konsep maupun teori yang digunakan dan juga metode penelitian yang
menjadi gambaran bagian dari tulisan ini.
Adapun beberapa tulisan yang menjadi bahan kerangka tulisan ini antara
lain adalah: A.G. Sitepu, “ragam hias ornamen karo” seri A, A.G. Sitepu,
“Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo”, seri B, Curt Sach dan Horbonstel
dalam Classification of Musical Instrumental, Translate from the Original Jerman.
Tulisan ini menjelaskan pengklasifikasian alat musik yang dilihat dari sumber
penghasil bunyinya, Bruno Nettl,” Theory and Method Of Ethnomusicology”.
Tulisan ini membahas tentang teori dan metode yang digunakan dalam mengkaji
tulisan ilmiah dengan objek kajian Etnomusikologi dan Koentcaraningrat,”
Pengantar Antropologi Musik”. Tulisan ini menjelaskan tentang beberapa
10
kebudayaan yang terdapat dalam nusantara Indonesia yang termasuk di dalamnya
suku-suku yang terdapat dalam Sumatera Utara.
1.5.2 Kerja Lapangan
Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung kedaerah
penelitian yaitu langsung kerumah bapak Pauzi Ginting dan mencari narasumber
dari tokoh masyarakat Karo.
1.5.3 Observasi
Observasi atau pengamatan dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
1.5.4 Wawancara
Penulis berpedoman pada metode wawancara yang dikemukakan
Koentjaraningrat untuk melakukan wawancara (1985:139) yaitu:
“Ada tiga wawancara, yaitu wawancara berfokus (Focused interview),
wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual
interview)”.
Untuk wawancara, penulis terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan yang
diarahkan kepada suatu pokok permasalahan tertentu. Namun penulis tetap
mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang lain untuk menciptakan suasana
yang tidak kaku, tetapi tetap terkait dengan pokok permasalahan. Penulis
11
melakukan wawancara langsung terhadap informan dalam hal ini Bapak Pauzi
Ginting selaku informan kunci, dan beberapa informan-informan lainnya.
1.5.5 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium penulis akan mengumpulkan data-data dari hasil
kerja lapangan yang diperoleh dari objek penelitian penulis dengan data dan
informasi yang didapat dari beberapa informasi tertulis maupun lisan dari
beberapa informan penulis tentang perkembangan dari instrumen surdam
permakan dan juga terutama memperhatikan teknik pembuatan instrumen
tersebut. Dengan begitu penulis akan mendeskripsikan data tersebut menjadi
bahan tulisan ilmiah ini dengan data-data yang sudah disiapkan penulis.
Untuk membantu proses penulisan ini, penulis juga mengambil data dari
beberapa tulisan yang membahas tentang surdam karo sehingga dapat membantu
penulis untuk melihat eksistensi dari instrumen ini dalam masyarakatnya. Penulis
juga mengamati dari beberapa daerah tanah Karo yang menggunakan alat musik
surdam ini sebagai bagian dari aktivitas budaya. Sedangkan untuk melihat teknik
pembuatan alat musik ini, penulis akan langsung belajar dengan informan kunci
penulis Bapak Pauzi Ginting walaupun sementara penulis hanya memperhatikan
beliau dalam membuat instrumen ini. Data-data yang diperoleh akan penulis
kelompokkan dengan bagian-bagian data masing-masing yang sesuai dengan
keperluannya. Untuk mengisi kekurangan data, penulis akan melakukan
penelitian lapangan dan laboratorium lagi demi kelengkapan tulisan ini
12
BAB II
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Dalam bab II ini penulis akan menerangkan gambaran lokasi penelitian
dengan spesifikasi objek penelitian surdam permakan yang terdapat di desa
Lingga oleh Bapak Pauzi Ginting. Begitu juga dengan gambaran masyarakat
Karo pada umumnya yang memiliki kebudayaan tersebut. Sehingga dalam tulisan
ini penulis juga memaparkan setiap kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat
Karo dengan rincian terkait kesenian tradisional dalam masyarakat Karo pada
khasususnya. Kemudian sekilas balik penulis juga akan menjelaskan informan
penulis Bapak Pauzi Ginting selaku pelaku seni masyarakat Karo yang sudah
berkarir dalam dunia kesenian tradisional Karo. Dengan melihat gambaran lokasi
penelitian maka pembaca diharapkan mengerti dan paham dengan kesenian
tradisional yang terdapat dalam masyarakat Karo pada umumnya.
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam tulisan ini adalah acuan informan penulis Bapak
Pauzi Ginting yang bertempat tinggal di desa Lingga kabupaten Karo. Menurut
data monografinya bahwa daerah desa Lingga merupakan daerah yang sangat
dingin. Dilihat dari topografinya, desa Lingga ini terletak pada ketinggian 1300
meter di atas permukaan laut dengan temperatur 18°C-23°C.
Adapun batas-batas wilayah desa Lingga adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Surbakti
13
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kacaribu
3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kaban
4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Nangbelawan
Luas wilayah desa Lingga ini sebesar 2624 ha dengan penggunaan tanah
yang beraneka ragam dalam desa tersebut. Berikut data statistik penggunaan
tanah pada desa Lingga.
Tabel 2.1
Luas seluruh wilayah Lingga
Pemukiman 1700 ha
Tegalan / Lahan Kering 250 ha
Kebun Campuran 123 ha
Sawah 300 ha
Hutan Lebat 250 ha
Belukar 1ha
Total 2624 ha
(Sumber: data statistik monografi desa Lingga, 2014)
2.2 Penduduk dan Sistem Bahasa
Kependudukan dan sistem bahasa merupakan satu kesatuan yang
berkisanambungan untuk menciptakan suatu lingkungan maupun desa. Dengan
adanya bahasa maka dapat tercipta suatu wilayah dengan kependudukan daerah
tersebut.
14
2.2.1 Kependudukan
Penduduk dalam desa Lingga mayoritas suku Karo dan terkadang ada
sebagian suku lain yang sudah bertempat tinggal di daerah tersebut. Seperti yang
kita ketahui bahwa desa Lingga merupakan desa yang ternasuk dalam wilayah
kecamatan kabupaten Karo, yang pada umumnya mayoritas masyarakat Karo.
Pada tahun 2014, penduduk di desa Lingga sebanyak 2945 jiwa dengan jumlah
793 keluarga. Komposisi penduduk dilihat dari jenis kelamin, tingkat umur,
agama, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian.
Data statistik kependudukan masyarakat desa Lingga yang dapat dilihat
pada Tabel berikut ini.
Tabel 2.2
Komposisi Penduduk Desa Lingga
Penggolongan KategoriJumlah (jiwa)
Laki-laki 1402Perempuan 12430-1 tahun 2422-5 tahun 2705-7 tahun 4767-14 tahun 34715-24 tahun 32325-54 tahun 32355 † tahun 197Islam 109Kristen 554Buddha 23dll 46Belum sekolah 275Tidak Tamat SD 188Tamat SD 845Tamat SLTP 464Tamat SLTA 453Tamat P. Tinggi 66Bertani 1259PNS/ Swasta 259Dagang 656dll. 340
Jenis Kelamin
Tingkat Umur
Agama
Tingkat Pendidikan
Mata Pencaharian
(Sumber: data statistik monografi desa Lingga, 2014)
15
Dari data statistik di atas anak-anak lebih mendominasi dibandingkan
dengan usia produktif. Hal ini membuktikan bahwa desa Lingga pada Kecamatan
Simpang Empat Kabupaten Karo merupakan sebuah daerah yang berkembang
kepadatan penduduknya. Oleh sebab itu tingkat pendidikan di daerah ini secara
otomatis masih pada taraf tingkat lanjutan pertama dan tingkat atas. Dari segi
kepercayaan, agama Kristen merupakan agama mayoritas diikuti dengan agama
islam dan budha. Secara umum mata pencaharian masyarakat di seluruh
Kabupaten Karo adalah bertani, sesuai dengan letak geografisnya yang sangat
mendukung untuk bercocok-tanam.
Masyarakat Karo secara umum menempati wilayah administratif kabupaten
Karo yang sama seperti desa Lingga ini yang termasuk dalam kabupatennya yang
mayoritas penduduknya adalah masyarakat Karo. Melihat masyarakat ini
bertempat tinggal di dataran tinggi dengan suhu lingkungan yang dingin dengan
curah hujan yang cukup maka masyarakat desa Lingga dominan memiliki
pekerjaan sebagai petani yang memanfaatkan kekayaan alam untuk bertahan
hidup.
2.2.2 Bahasa
Masyarakat Karo memiliki bahasa yang biasanya digunakan baik
dalamkehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat yaitu bahasa Karo.
Selain memiliki bahasa sendiri, masyarakat Karo juga memiliki aksara Karo.
Aksara Karo ini merupakan aksara Kuno yang dipergunakan oleh masyarakat
Karo, akan tetapi saat ini penggunaannya terbatas sekali dan bahkan hampir tidak
16
pernah dipergunakan lagi. Berikut aksara Karo yang digunakan oleh masyarakat
Karo dari dulu.
Tabel 2.3
Aksara Karo
(Sumber : www.aksara karo.com)
17
2.3 Sistem Kekerabatan
Setiap etnis/ suku yang ada di Sumatera Utara khususnya etnis Karo
memiliki sistem kekerabatan dalam kebudayaannya. Masyarakat Karo memiliki
sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah merga silima, daliken sitelu, dan
tutur siwaluh. Ketiga sistem kekerabatan ini merupakan suatu sistem yang
digunakan untuk mengatur kehidupan sehari-hari pada masyarakat Karo dalam
hubungan bermasyarakat dan berbudaya.
1. Merga Silima
Masyarakat Karo memiliki sistem marga atau dalam bahasa Karo
disebut dengan merga untuk laki-laki dan beru untuk perempuan.
Merga/beru merupakan sebuah identitas bagi masyarakat Karo di
mana setiap masyarakatnya memiliki merga/beru tersebut. Merga
dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok yang disebut
dengan merga silima yang berarti marga yang lima. Kelima merga
tersebut adalah Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Perangin-
angin. Merga atau beru ini digunakan sebagian nama belakang,
misalnya Marthin merga Tarigan, ditulis Marthin Tarigan. Merga ini
diwarisi dari ayah, karena masyarakat Karo menganut garis keturunan
Patrilineal (garis keturunan Bapak/laki-laki). Kalau laki-laki bermerga
yang sama maka akan disebut ersenina yang artinya bersaudara dan
begitu juga sebaliknya untuk perempuan yang memiliki beru yang
sama. Namun untuk laki-laki dengan perempuan yang memiliki
18
merga/ beru yang sama maka mereka disebut erturang(keluarga),
sehingga dilarang untuk melakukan perkawinan secara adat.
2. Sangkep Si Telu
Daliken sitelu atau sering disebut Sangkep Si Telu merupakan bagian
dari masyarakat Karo yang merupakan landasan bagi sistem
kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang
berhubungan dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar
sesama masyarakat Karo. Sangkep Si Telu ini merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap hubungan dalam adat
istiadat ditentukan oleh adanya tiga kelompok ini yaitu kalimbubu
sebagai keluarga pemberi istri, anak beru sebagai keluarga yang
mengambil atau menerima istri, dan senina sebagai keluarga yang
seketurunan (semerga) dengan keluarga inti. Sangkep Si Telu dalam
masyarakat Karo merupakan simbol atau lambang yang memiliki
makna. Jika dilihat dari sisi etimologis katanya, bahwa daliken sitelu
merupakan “tungku yang tiga” yang berfungsi dalam kehidupan
masyarakat Karo sehari-hari sebagai penopang untuk memasak ,
daliken sitelu dalam hubungan kekerabatan masyarakat Karo juga
mempunyai peran sebagai penopang sukut (yang menyelenggarakan
pesta) dalam upacara adat.
19
3. Tutur Siwaluh
Untuk menunjukkan tingkat kekerabatan di dalam masyarakat Karo
dikenal istilah ertutur. Ertutur adalah salah satu ciri orang Karo untuk
berkenalan. Biasanya dengan menanyakan merga, kemudian bere-bere
(marga ibu), bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk
mengetahui tingkatan kekerabatan tersebut. Tutur siwaluh terdiri dari
delapan golongan yaitu (1) Kalimbubu, (2) puang kalimbubu, (3)
senina, (4) sembuyak, biak sembuyak (5) senina sipemere, senina
siparibanen, senina sipengalon, (6) senina sedalanen, (7) anak beru,
dan (8) anak beru menteri.
2.4 Musik Tradisional Masyarakat Karo
Masyarakat Karo memiliki konsep tersendiri tentang musik. Musik dalam
masyarakat Karo yaitu musik instrumental, vokal, dan gabungan keduanya.
Dalam melakukan aktivitas kesenian bermusik masyarakat Karo menyebut dengan
istilah ersurdam (bermain surdam) dan rende (bernyanyi). Musik tradisional Karo
yang akan penulis bahas adalah solo instrumen yaitu Surdam Permakan.
2.4.1 Ensambel Tradisional Karo
Dalam penyebutan ensambel musiknya, masyarakat Karo menggunakan
kata “gendang”. Ada dua jenis ensambel musik Karo yaitu gendang lima
sedalenan dan gendang telu sedalenan. Penjelasan ensambel tersebut akan
dijeleskan lebih lanjut berikut ini.
20
2.4.1.1 Gendang Lima Sedalenan
Gendang lima sedalenan sering juga disebut gendang sarune yang
merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam masyarakat Karo.
Gendang lima sedalenan yang merupakan sekumpulan instrumen terdiri
dari satu buah sarune sebagai pembawa melodi, dua buah gendang yaitu gendang
anak dan gendang indung (gendang berarti sebagai instrumen) sebagai instrumen
ritmis, serta gung dan penganak sebagai pengatur tempo. Kelima instrumen
tersebut dimainkan secara bersama-sama sebagai sebuah ensambel.
Gendang lima sedalenan sering juga disebut sebagai istilah gendang
sarune. Di kalangan musisi tradisional Karo istilah gendang sarune lebih sering
digunakan sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih
banyak menggunakan istilah gendang lima sedalenan. Orang yang memainkan
kelima instrumen musik ini dalam gendang lima sedalenan masing-masing
memiliki sebutan sesuai dengan alat musik atau instrumen yang dimainkan.
Untuk pemain sarune disebut sebagai panarune, pemain gendang anak dan pemain
gendang indung disebut sebagai penggual, pemain gung disebut sebagai simalu
gung dan pemain penganak disebut sebagai simalu penganak.
Sekumpulan pemain musik ini sering disebut sebagai sierjabaten (yang
memiliki jabatan) atau penggual ketika bermain mengiringi upacara adat
masyarakat Karo. Dalam konteks upacara adat sierjabaten atau penggual yang
memainkan gendang lima sedalenan /telu sedalanen diberikan tempat yang khusus
dengan beralaskan amak mbentar (tikar anyaman berwarna putih) sebagai
kehormatan. Walaupun sekarang gendang lima sedalenan atau telu sidalenan
21
sudah digantikan dengan alat modern yaitu gendang kibod, perlakuan terhadap
erjabaten tetap sama. Dalam hal memberi upah, dulunya sierjabaten atau
penggual diberi beras, garam, kelapa, dan ayam untuk mengiringi upacara adat,
namun sekarang diberikan melalui materi uang sebagai pemain musik.
2.4.1.2 Gendang Telu Sidalenan
Sama halnya dengan gendang lima sedalenan, secara harafiah gendang telu
sidalenan memiliki pengertian “tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan
bersamaan.” Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi/ balobat, keteng-keteng,
dan mangkuk mbantar. Dalam ensambel ini ada dua instrumen yang bisa
digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi dan balobat. Sedangkan
mangkuk dan keteng-keteng merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan
pola ritem-ritem yang bersifat konstan dan repetitif.
Pemakain kulcapi dan balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara
terpisah dalam upacara yang berbeda tergantung kebutuhan. Prinsipnya
sebenarnya sama hanya saja instrumen pembawa melodinya saja yang berbeda.
Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang
kulcapi, dan jika menggunakan balobat sebagai pembawa melodi maka disebut
sebagai gendang balobat.
22
2.4.2 Instrumen Musik Tradisional Karo non-Ensambel
Selain dari ketiga ensambel di atas, masih banyak instrumen Karo non-
ensambel yang dapat dimainkan secara tunggal tanpa diiringi alat musik lainnya,
namun hanya beberapa yang masih dapat ditemukan.
Adapun instrumen tersebut antara lain:
1. Kulcapi
Selain dapat digunakan secara ensambel, instrumen kulcapi juga dapat
dimainkan secara tunggal. Instrumen tunggal ini dapat dimainkan dimana
dan kapan saja. Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang
terdiri dua buah senar. Senarnya terbuat dari metal namun dulunya terbuat
dari akar pohon aren atau enau. Kulcapi memiliki lubang resonator yang
memberi efek suara.
2. Balobat
Balobat merupakan alat musik tiup yang mirip dengan alat musik recorder
yang terbuat dari bambu dan dapat dimainkan secara ansambel dan secara
tunggal, balobat juga dapat dimainkan dimana dan kapan saja.
3. Surdam
Sesuai dengan objek penelitian utama penulis bahwa surdam merupakan
alat musik tiup yang berjenis end blown flute yang terbuat dari bambu.
Cara memainkan surdam tidaklah mudah karena tidak terdapat sekat
pembelah udara yang mau ditiup sehingga untuk memainkannya harus
menggunakan teknik khusus. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
23
surdam ini terdiri dari surdam rumamis, surdam tangko kuda, surdam
pingko-pingko, dan surdam puntung.
4. Murbab
Murbab merupakan satu-satunya alat musik gesek yang terdapat dalam
kesenian masyarakat Karo. Instrumen ini mirip dengan instrumen rebab
yang terdapat dalam musik Jawa. Namun sekarang ini tidak dapat dapat
dijumpai lagi murbab dalam kebudayaan masyarakat Karo.
5. Embal-ambal
Embal-embal merupakan alat musik yang biasanya dapat ditemukan di
sawah atau pada saat ladang padi sedang menguning. Instrumen ini
digunakan atau dimainkan sebagai alat musik hiburan pribadi di ladang
ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal-embal ini terbuat dari
satu ruas bambu yang dibuat lubang-lubang penghasil nada. Sebagai alat
musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik itu
sendiri.
6. Empi-empi
Empi-empi (multiple reed) terbuat dari batang padi yang telah menguning.
Lidah (reed) empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri dengan cara
memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung padi yang memiliki ruas.
Akibatnya terpecahnya ruas batang padi maka ketika ditiup akan
menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat
lubang-lubang untuk menghasilkan nada-nada yang berbeda. Biasanya
empi-empi memiliki empat buah lubang nada. Empi-empi merupakan alat
24
musik yang biasanya dapat ditemukan di sawah atau pada saat ladang padi
sedang menguning. Instrumen ini digunakan atau dimainkan sebagai alat
musik hiburan pribadi di ladang ketika menjaga padi dari gangguan
burung.
2.4.3 Musik Vokal
Penggunaan musik vokal dalam masyarakat karo dapat di temukan di
beberapa konteks upacara. Menurut pak kumalo Tarigan
(http://respository.usu.ac.id), musik vokal dalam musik tradisional karo dapat
disajikan berdasarkan konteks yaitu:
1. Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan
Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan merupakan nyanyian
disebutkan enden-enden yaitu nyanyian yang biasanya dibawakan oleh
perkolong-kolong dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron.
2. Musik vokal dalam konteks ritual
Musik vokal dalam konteks ritual terdiri dari tujuh nyanyian yaitu: (1)
didong doah, adalah nyanyian untuk menidurkan anak, (2) ndilo wari udan
adalah nyanyian untuk mengundang atau mendatangkan hujan, (3)
mangmang, adalah nyanyian untuk memanggil roh atau meminta kekuatan
gaib untuk dapat menjalankan upacara ritual, (4) nendong, adalah nyanyian
untuk meramal suatu kejadian, (5) ngeria, adalah nyanyian untuk
menyadap atau mengambil nira dari pohon aren, (6) perumah begu, adalah
25
nyanyian untuk berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal
dunia, dan (7) tabas, adalah nyanyian yang berisi mantra.
3. Musik vokal dalam konteks adat
Musik vokal dalam konteks adat dapat dibagi menjadi dua yaitu katoneng-
katoneng dan pemasun-masun yaitu nyanyian bercerita yang disajikan
dalam upacara perkawinan yang di nyanyikan oleh bibi dari pengantin
wanita. Selain dalam upacara perkawinan katoneng-katoneng juga
disajikan dalam upacara kematian.
4. Musik vokal dalam konteks hiburan pribadi
Musik vokal dalam konteks hiburan peribadi yaitu (1) doah-doah nyanyian
sepontan untuk diri sendiri, (2) tangis-tangis, adalah nyanyian ungkapan
kesedihan, dan (3) io-io , adalah nyanyian kesedihan dalam percintaan.
2.4.4 Penggunan instrumen keyboard
Pada saat ini hampir semua upacara adat maupun ritual dan hiburan pada
masyarakat Karo dapat diiringi dengan gendang kibod. Pengguna gendang kibod
pada masyarakat karo sama seperti ensambel musik tradisional yaitu gendang
sedalanen dan telu sedalanen. Ini akan di jelaskan upacara apa saja yang
menggunakan instrumen keyboard dalam mengiringi jalanya upacara.
2.4.4.1 Upacara perkawinan(kerja nereh-empo)
Setelah instrumen keyboard dapat di perogram dan disesuaikan dengan
bunyi dari gendang lima sedalanen, upacara perkawinan pada masyarakat karo
26
lebih sering di iringi dengan gendang kibod lebih sering digunakan secara tunggal
untuk mengiringi jalanya upacara adat.
Pengguna gendang kibod dalam upacara perkawinan dulunya disajikan
mulai dari malam hari yakni pada acara ngantik manuk dan keesokan paginya
pada acara pesta adat. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Jhon Bregmen ginting
(2000:22) yang mengatakan bahwa:
Penyajian gendang kibod pada rangkaian upacara perkawinan pada masyarakat karo dapat terjadi pada rangkaian acara nganting manuk dan pelaksanaan pesta. Dari kedua bagian tersebut pengguna gendang kibod lebih dominan dimainkan pada saat nganting manuk. Hal ini disebabkan karena pada saat upacara nganting manuk, setelah acara musyawarah adat, penyajian keyboard dilaksanakn khusus untuk mengiringi pengantin, dan kaum kerabat kedua pengntin untuk menari. Berbeda dengan penyajian kibod pada pelaksanaan acara pesta peresmian perkawinan, penyajian keyboard hanya sebaga pelengkap karena acara utama adalah pada saat penyerahan tukur atau mahar dan ngerana (memberikan sambutan) dari kedua kerabat mempelai, namun pada akhirnya ngerana sering di buat menari yang diiringi keyboard.
Namun sekarang ini acara nganting manuk dalam masyarakat karo sudah
jarang sekali dilaksanakan. Walaupun demikian sesi untuk rende (bernyanyi) dan
landek (menari) untuk pengantin dan juga kedua orang tua pengantin tetap
dilaksanakan dengan iringn gendang kibod namun tidak dilaksanakan pada saat
acara nganting manuk lagi. Sesi untuk rende (bernyanyi) dan landek (menari)
untuk pengantin dan kedua orang tua dari pengantin bisa saja di lakukan pada saat
mbaba belo selambar (acara pertunangan) atau dalam kerja adatnya. Selain untuk
mengiringi pengantin, gendang kibod juga berfungsi untuk mengiringi acara
ngerana (memberikan petuah/pesan),dan juga landek (menari).
27
2.4.4.2 Upacara kematian
Kemajuan teknologi serta kreatifitas seniman Karo dalam membuat
beberapa program musik yang sesuai dengen stlye musik tradisional karo
membuat gendang kibod kini dapat dimainkan dalam upacara kematian stlye
musik tersebut antara lain adalah gendang simalungen rayat, gendang odak-odak
dan gendang patam-patam oleh karena itu gendang kibod dalam upacara adat
kematian masyarakat karo dapat diwakili kehadiran gendang limi sedalanen
sebagai pengiring jalanya upacara. Gendang kibod dalam upacara kematian
masyarakat karo sama fungsinya dengan gendang lima sedalanen yaitu untuk
mengiringi acara rende, landek dan juga ngerana yang telah diatur setelah
musyawarah.
2.4.4.3 Upacara erpangir ku lau
Selain gendang telu sedalanen upacara erpangir ku lau kini menggunakan
alat musik moderen seperti insterumen keyboard. Menurut julianus lembeng,
selain teknologi instrumen keyboard perkembangan yang terjadi sekarang ini
adalah pemakaian kaset atau perekaman musik dalam musik iring untuk upacara
erpangir ku lau, dimana musik-musik yang dimainkan dikaset tersebut dapat
dipilih sesuai dengan repetoar-repetoar yang biasanya digunakan dalam upaca
erpangir ku lau. Hal ini tentunya lebih mengirit biaya pelaksanaan upacara.
Namun dalam bentuk pola pikir dalam konsep erpangir pada penganut tidak ada
perubahan yang progresif. Erpangir masih tetap dilakukan dalam konteks dan
makna yang tidak jauh berubah dari “aslinya”
28
(sumber:http://xeanexiero.blogspot.com).
2.4.4.4 Mengket rumah
Gendang kibod kini sering kali digunakan untuk mengiringi acara mengket
rumah (non- adat). Gendang kibod dalam mengket rumah pada saat ini hanya
berfungsi sebagai hiburan. Jadi tidak ada lagi hubunganya dengan ritual yang bisa
dilakukan pada saat memasuki rumah adat tradisional masyarakat karo. Pengguna
gendang kibod dalam acara mengket rumah biasanya dapat dilakukan mulai dari
malam sebelum acara dan keesokan harinya, acara pada malam hari merupakan
sustu hiburan untuk penghuni rumah maupun tamu-tamu yang sudah hadir
dirumah sehari sebelum acara masuk rumah baru di mulai.
2.4.4.5 Gendang guro-guro aron
Melalui gendang guro-guro aron masyarakat karo mulai mengenal
instrumen keyboard. Instrumen keyboard yang awalnya digunakan sebagai
eksperimen sangat digrmari oleh masyarakat sehingga tercipta suatu perogram
ritem yang menyerupai musik tradisional karo. Gendang kibod merupakan
sebutan atau istilah yang sering di gunakan oleh masyarakat karo terhadap jenis
ritem yang diperogram secara khusus dalam keyboard. Ritem musik masyarakat
karo yang telah diperogram ini selalu disajikan dalam gendang guro-guro aron.
Gendang kibod memiliki peran yang cukup besar dalam jalanya acara
gendang guro-guro aron yang mana mengandung unsur musik, tari dan nyanyian.
29
2.4.4.6 Acara hiburan lainnya
Segala kegiatan masyarakat karo dapat diiringi dengan gendang keyboard
seperti arisan, syukuran, ulang tahun, naik jabatan, acara kerja (natal-tahun baru),
dan amsih banyak lagi acara masyarakat karo yang dapat diiringi dengan
menggunakan gendang kibod.
Selain untuk menguringi acara hiburan pada masyarakat karo, program
ritem masyarakat Karo ini juga digunakan untuk iringan musik populer Karo.
Pada perkembanganya sudah banyak dapat studio rekaman yang dikelola oleh
senimam karo untuk memproduksi musik-musik komersial. Alm Djasa Tarigan,
Jack Sembiring, dan Fakta Ginting merupakan beberapa seniman karo yang telah
memiliki setudio rekaman sendiri.
30
BAB III
EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN SURDAM PUNTUNG DALAM
MASYARAKAT KARO
Dalam bab III ini penulis akan menjelaskan keberadaan alat musik surdam
puntung yang meliputi pembagian jenis surdam yang didasarkan menurut karakter
alat musik tersebut. Alat musik surdam permakan ini memiliki materi tersendiri
dengan jenis alat musik surdam lainnya, sehingga penulis menitikberatkan alat
musik surdam puntung menjadi inti kajian penulis yang dilihat dari aspek historis
dan kontiniutasnya. Adapun aspek ini akan didukung dengan bagaimana peran
dan penggunaan alat musik surdam ini dalam suatu aktivitas budaya maupun
upacara tertentu yang diadakan oleh masyarakat Karo. Sehingga secara
keseluruhan penulis akan menjelaskan eksistensi, historis, dan kontiniutas alat
musik surdam puntung dalam masyarakat Karo.
3.1 Jenis-jenis surdam dalam masyarakat Karo
Dalam masyarakat Karo terdapat salah satu alat musik tiup yang terbuat dari
bambu yaitu surdam. Adapun surdam ini dibagi menjadi tiga jenis yang dilihat
dari karakteristiknya yaitu:
a. Surdam Puntung
Surdam puntung merupakan surdam yang memiliki potongan bagian
ujung bambu yang tepat mengenai bagian ruas bambu, sehingga dapat
dilihat pada lubang tiup tepat pada bagian ruas bambu tersebut. Adapun
31
lubang surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu lima lubang
terdapat di bagian tengah bambu surdam dan satu buah lubang dibagian
bawah sisi bambu surdam. Adapun surdam ini biasanya digunakan
untuk memainkan segala jenis lagu-lagu yang sedih maupun gembira.
Surdam ini biasanya dipakai oleh permakan yang menggembalakan
ternaknya.
Gambar 3.1 Surdam puntung
b. Surdam Rumamis
Surdam rumamis merupakan surdam yang sama seperti surdam
permakan, namun surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu empat
buah lubang dibagian sisi tengah bambu surdam dan dua buah lubang
dibagian sisi bawah bambu surdam dengan ukuran lubang yang berbeda
antara kedua lubang tersebut. Adapun surdam ini biasanya dimainkan
untuk lagu yang memiliki suasana sedih (tangis-tangis).
32
Gambar 3.2 Surdam Rumamis
c. Surdam Tangko Kuda
Surdam tangko kuda merupakan surdam yang sama seperti surdam
puntung namun ukuran surdam ini jauh lebih panjang dari surdam
tersebut yaitu satu meter. Lubang surdam ini memiliki enam buah
lubang yaitu dua buah lubang disis atas bambu surdam, tiga buah lubang
dibagian sisi tengah bambu surdam, dan satu buah lubang dibagian sisi
bawah bambu surdam. Surdam ini juga biasanya dipakai untuk
memainkan lagu-lagu yang sedih.
33
Gambar 3.3 Surdam Tangko Kuda
Melihat ketiga jenis surdam diatas, terdapat karakteristik dari setiap jenis
surdam yang dilihat dari bentuk fisik atau pun organologi alat musik surdam.
Berdasarkan ukuran alat musik surdam dan lubang nada yang terdapat dalam
surdam menunjukkan pembedaan karakter. Dalam tulisan ini penulis hanya
mengkaji salah satu alat musik surdam yaitu surdam puntung sebagai objek
penelitian penulis.
3.2 Surdam Puntung dalam Masyarakat Karo
Masyarakat tradisional pada umumnya memiliki suatu tradisi kebudayaan
yang diturunkan secara turun temurun. Dalam masyarakat Karo dikenal kesenian-
kesenian seperti alat musik, tari, maupun seni ukir yang hingga saat ini masih
tetap bertahan. Kesenian-kesenian ini ada dan diciptakan berdasarkan kreativitas
masyarakat Karo itu sendiri untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga
masyarakat tersebut memiliki pandangan sendiri atas latar belakang kesenian
34
tersebut. Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat salah satu kesenian
masyarakat Karo yaitu surdam puntung yang dilihat dari aspek historisnya.
Dalam masyarakat tradisi terdapat cerita-cerita rakyat tertentu yang
mewakili suatu sejarah yang menceritakan suatu kebudayaan dalam masyarakat
itu sendiri. Cerita rakyat ini dapat juga disebut foklor, dimana foklor ini
merupakan cerita rakyat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Sama
seperti alat musik surdam puntung dalam masyarakat Karo yang memiliki cerita
dan pandangan sendiri menurut masyarakat tersebut. Menurut Pauzi Ginting
sebagai informan kunci penulis menjelaskan cerita sejarah bagaimana pembuatan
surdam puntung ini di dalam masyarakat Karo dulunya. Suatu hari ada seorang
penggembala yang menggembalakan kerbaunya di padang rumput, ketika sedang
mengembalakan kerbaunya si pengembala merasa kesepian lalu tiba-tiba muncul
sebuah ide untuk membuat sebuah alat musik (surdam). Dalam kesepiannya itu,
si pengembala atau yang disebut sipermakan ini kemudian mencurahkan seluruh
perasaannya di dalam sebuah lagu yang dimainkan secara vokal ataupun melalui
alat musik surdam yang dibuatnya tersebut. Berikut teks nyanyian yang
dinyanyikan oleh si pengembala ketika memainkan alat musik surdam tersebut:
Nggo dage... pagi-pagi nari ngira-ngira wari e nande... lenga terang nggo seh juma, berngi ka kari maka seh rumah nande...ketadingen nge rusur bas guro-guro aron meriah e nande...lenga terang nggo seh juma berngi ka maka seh rumah, bage tiap wari nande...
Lagu tersebut menceritakan tentang si pengembala dimana seluruh waktu dalam
kesehariannya hanya dihabiskan untuk mengembalakan hewan ternaknya di
ladang. Pagi-pagi buta sudah harus di ladang dan kemudian pulang kembali ke
35
rumah ketika matahari sudah terbenam. Dengan demikian dia mengeluhkan
bagaimana dia selalu ketinggalan dan tidak serta bisa ikut dalam acara muda-mudi
guro-guro aron.
Seiring dengan perkembangannya, dari segi proses pembuatannya, alat
musik ini kemudian dibuat dengan menggunakan ritual dan berbagai persyaratan.
Dipercaya bahwa dengan menggunakan ritual tersebut, ketika ditiup alat musik
surdam ini dapat memiliki kekuatan magis, seperti untuk memikat hati
perempuan, ataupun supaya orang yang mendengarkan alunan bunyi surdam itu
dapat melepaskan rasa lelahnya. Surdam dulunya hanya memainkan lagu yang
bersifat sedih saja (lagu pada masyarakat karo pada umumnya) namun seiring
dengan perkembangannya pada saat ini surdam bisa memainkan lagu yang
bersifat riang. Pengaruh yang terjadi dari dalam maupun luar masyarakat Karo
juga menentukan perkembangan alat musik tradisi ini setelah melihat
pengalihfungsian yang terjadi atas alat musik ini.
Melihat sejarah di atas, maka penulis melihat bahwa tradisi yang terdapat
dalam masyarakat Karo masih memegang kuat paham kulturalisme/ culturalism.
Dimana pembuatan surdam puntung yang menggunakan kekuatan magis. Surdam
dalam masyarakat Karo sudah lama dikenal walaupun secara spesifik menurut
penulis masih sedikit yang mengetahui pembagian dari surdam tersebut. Di antara
pembagian surdam tersebut, surdam puntung merupakan surdam yang hingga saat
ini banyak digunakan diantara oleh pemain surdam Karo. Hal itu dapat dilihat
bagaimana alat musik surdam ini dapat mengiringi berbagai jenis musik Karo.
36
Hal itu terjadi karena secara melodis surdam ini menghasilkan nada-nada yang
mirip dengan nada diatonis.
3.3 Eksistensi Alat Musik Surdam Puntung dalam Masyarakat Karo
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas pembagian alat musik surdam
yang terdapat dalam masyarakat Karo berdasarkan karakteristiknya menunjukkan
bagaimana alat musik ini diciptakan. Sama seperti orang yang sedang lapar yang
akan berusaha mencari makanan, kemudian untuk menambah kenikmatan
makanan tersebut dilakukanlah sebuah proses pembuatan makanan sesuai selera.
Sehingga adanya alat musik surdam sudah disesuaikan akan kebutuhan
masyarakat Karo untuk melengkapi aktivitas budayanya, dan untuk memberikan
peran dan fungsi tertentu maka terjadilah pembagian alat musik tersebut
berdasarkan karakternya masing-masing. Bagaimanapun suatu kebudayaan yang
dihasilkan oleh suatu masyarakat dalam ruang lingkup kajian objek penelitian
penulis, dapat ditunjukkan melalui eksistensi alat musik tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991:253 bahwa
eksistensi adalah keberadaan. Berdasarkan hasil observasi, penulis
memperhatikan hampir disemua upacara adat, masyarakat Karo pada umumnya
memakai alat musik keyboard untuk mengiringi jalannya upacara, hal ini
disebabkan karena suara yang dihasilkan dari alat musik Karo dapat di tirukan
oleh keyboard melalui programnya, jika dilihat dari sisi lain maka jika melakukan
upacara adat memakai alat musik tradisional Karo secara materi akan menambah
biaya dibandingkan memakai keyboard, karena kapasitas pemain keyboard lebih
37
sedikit dibandingkan pemain alat musik Karo. Maka perlahan-lahan alat musik
tradisi Karo kurang dimininati dikalangan masyarakat Karo dan secara otomatis
pemain alat musik tradisi Karo ini pun mulai berkurang. Namun pada saat
sekarang ini tidak sedikit juga masyarakat Karo yang menggunakan alat musik
tradisi Karo dalam upacara adat, hal ini diakibatkan karena alunan bunyi yang
dihasilkan oleh alat musik Karo terasa lebih syahdu dan yang mendengarkan akan
terasa lebih puas. Melihat keberadaan suatu kesenian terutama dalam kajian ini,
penulis memperhatikan bagaimana sikap yang dilakukan oleh masyarakat di
dalamnya untuk merespon kebudayaan yang dimilikinya. Memang secara signifi
kan alat musik keyboard sebagai alat musik yang memakai teknologi modern
sudah digunakan untuk kegiatan tradisi masyarakat Karo baik dalam upacara
perkawinan maupun upacara kematian. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana
pengaruh tersebut mengesampingkan alat musik tradisional walaupun secara
sistematis nilai tradisi yang dihasilkan masih tetap ada. Begitu juga dengan alat
musik surdam yang dapat dikenal oleh masyarakat karena melihat bagaimana alat
musik tersebut tetap bertahan.
Keberadaan alat musik surdam ini ditunjang dari peran pembuat alat musik
tersebut yang menunjukkan suatu bentuk hasil kesenian dari masyarakat Karo.
Dalam masyarakat karo seorang pembuat alat musik surdam disebut sierban
surdam. Dalam hal ini penulis menemukan seorang sierban surdam yang
menjadi informan pangkal dalam objek penelitian ini yang sudah memiliki
pengalaman. Beliau adalah Pauzi Ginting dari desa Lingga yang sudah
melakukan pekerjaannya sebagai pengerajin kesenian alat musik tradisional Karo
38
hingga berperan sebagai pemain musik juga. Adapun salah seorang konsumen
beliau untuk alat musik yang dihasilkannya adalah almarhum Djasa Tarigan
seorang maestro musisi Karo. Menurut keterangan beliau bahwa alat musik yang
digunakan oleh almarhum Djasa dibuat berdasarkan dengan keinginan bagaimana
kualitas dari alat musik yang diinginkan. Sehingga dengan adanya alat musik
yang dibuat dan dimainkan oleh seorang musisi akan membantu secara tidak
langsung pengenalan kesenian pada masyarakatnya. Keberadaan alat musik ini
juga ditinjau dari kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk kesenian yang dapat
digunakan untuk keperluan kegiatan budaya. Untuk mengatasi hal ini bapak
Pauzi Ginting juga tidak hanya membuat alat musik untuk keperluan aktivitas
budaya saja, bahkan beliau membuat alat musik dalam bentuk hiasan atau
souvenir. Dengan ini keberadaan seperti alat musik surdam sudah dapat dikenal
di tengah-tengah kalangan masyarakat Karo.
Di zaman modern, sering terjadi kesulitan untuk mempertahankan keberlanjutan
sesuatu yang bersifat tradisi karena tradisi dianggap menghalangi kehidupan
modernisasi. Untuk itu diperlukan sebuah tatanan yang dirancang untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisi secara total di antara bentuk kesenian kreasi
baru atau modern. Fenomena inilah yang membuat kesenian tradisional seperti
surdam dapat dikenal dan digunakan dalam kalangan masyarakat Karo. Kesenian
atau alat musik surdam inilah salah satu penunjuk identitas masyarakat Karo
sehingga ada dan terdapat dalam setiap kegiatan aktivitas budayanya atas
kebutuhan yang harus dimiliki. Keberadaan seperti alat musik surdam ini
39
ditunjang oleh masyarakat Karo secara keseluruhan yaitu pembuat alat musik,
penyaji alat musik dan penikmat alat musik tersebut
3.4 Penggunaan dan Fungsi Surdam
Dalam kehidupan masyarakat Karo, musik memiliki peran yang sangat
penting. Adapun penggunaan dan fungsi seperti yang dikemukakan oleh Merriam
(1964-2010) yaitu :
“use than refers to the situation on in which music is employed in human
action; “Function” concerns the reason for it employement and particularly
the broader purpose which it serves.
Terjemahan bebas sebagai berikut :
Penggunaan, berkenan terhadap suatu keadaan bagaimana musik tersebut dipakai
dalam kegiatan manusia; fungsi, meliputi alasan pemakaian dan terutama dalam
lingkup yang luas, sejauh mana musik itu dapat memenuhi kebutuhan manusia
tersebut.
Penggunaan dan fungsi di dalam musik merupakan suatu pembahasan yang
sangat penting. Hal tersebut dikarenakan musik memiliki aspek-aspek di dalam
kehidupan manusia dan efeknya terhadap suatu masyarakat. Dengan kata lain,
penggunaan menyangkut konteks pemakainan musik, sementara fungsi
menyangkut kepada bagaimana dan untuk apa musik itu disajikan. Dalam hal ini
penulis akan melihat penggunaan dan fungsi dari hasil kultur kesenian masyarakat
Karo dengan fokus objek penelitian penulis surdam puntung.
40
3.4.1 Penggunaan
Menurut Herskovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunaan musik
dapat dibagi menjadi lima katagori unsur-unsur budaya, yaitu : Kebudayaan
Material, Kelembagaan Sosial, Hubungan Manusia dengan Alam, Estetika dan
Bahasa. Berdasarkan kelima katagori tersebut di atas, penggunaan surdam dalam
konteks unsur-unsur budaya dapat diuraikan dalam tiga kategori diatas yaitu,
Kebudayaaan Matrial, Hubungan Manusia dengan Alam dan Estetika.
Kebudayaan material dalam hal ini dapat dilihat dari aspek fisik alat musik
yang memperhatikan hal spesifik dalam instrumen tersebut yang dihasilkan dari
hasil kebudayaan masyarakat itu sendiri. Sama seperti alat musik surdam yang
digunakan oleh masyarakat Karo, di mana dilihat dari segi materialnya bahwa
instrumen ini terbuat dari bambu. Adapun bambu dalam hal ini merupakan hasil
kebudayaan material yang digunakan oleh masyarakat Karo pada umumnya
dengan berbagai kegunaan untuk kegiatan mereka sehari-hari. Misalnya dalam
masyarakat Karo yang pada umumnya mayoritas petani menggunakan bambu
sebagai ajek-ajek untuk tanaman-tanaman yang menjalar seperti tomat, buncis,
retis, dll. Melihat hal ini penulis menyimpulkan bagaimana sebuah kebudayaan
material digunakan dalam tradisi di masyarakat itu sendiri disebabkan oleh aspek
kebutuhan masyarakat itu sendiri untuk keperluan masyarakat itu sendiri.
Sehingga adapun kegunaan alat musik surdam puntung ini dalam masyarakat
Karo disediakan untuk kebutuhan masyarakat tersebut dalam menyajikan upacara
tertentu seperti upacara erpangir ku lau dan mengingat kebudayaan materialnya
41
yang terbuat dari bambu yang merupakan sebuah alat atau material yang sudah
lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat Karo untuk kebutuhannya.
3.4.1.1 Penggunaan Surdam Pada Upacara Erpangir Ku Lau
Erpangir ku lau berasal dari kata “pangir” yang berarti “langir” dan “ku
lau” yang berarti “ke air”. Jadi secara harafiah erpangir ku lau adalah berlangir ke
air. Erpangir ku lau merupakan upacara ritual yang bertujuan untuk
membersihkan diri agar terhindar dari penyakit, bahaya ataupun roh-roh jahat dan
agar cita-cita atau keinginan tercapai. Dalam upacara erpangir ku lau kehadiran
musik memiliki peran penting dalam berlangsungnya upacara ini. Adapun
ensambel yang digunakan untuk mengiringi upacara erpangir ku lau adalah
gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen. Gendang lima sendalanen
yang dimainkan pada upacara yang bersifat ritual berguna untuk mengubah
suasana upacara menjadi sakral dan sedikit magis, dan sekaligus juga akan
mempengaruhi (alam bawah sadar) guru sibaso menjadi kesurupan (trance)
(Tarigan, 2004:121).
permainan alat musik surdam pada upacara Erpangir ku lau ini juga
memiliki peranan tersendiri. Yakni ada kalanya dimainkan secara tunggal untuk
mengiringi jalannya upacara tersebut.
42
3.4.2 Fungsi
Menurut Alan P.Merriam (1964:219-226) fungsi musik dapat dibagi dalam
10 kategori yaitu :
1. Fungsi pengungkapan emosional
2. Fungsi penghayatan estetis
3. Fungsi hiburan
4. Fungsi komunikasi
5. Fungsi perlambangan
6. Fungsi reaksi jasmani
7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial
8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan
9. Fungsi kesinambungan budaya
10. Fungsi pengintegrasian masyarakat
Dalam penyajian surdam puntung dalam upacara erpangir ku lau dapat
dikategorikan kedalam beberapa fungsi diatas yaitu, fungsi pengungkapan
emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi reaksi jasmani.
3.4.2.1 Fungsi pengungkapan emosional
Musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan
rasa atau emosi (misalnya rasa sedih, rindu, bangga, tenang, rasa kagum pada
dunia hasil ciptaan Tuhan) bagi para pendengarnya (Merriam, 1964:223). Reaksi-
reaksi tersebut dapat berupa ekspresi langsung seperti menyanyi mengikuti lagu
43
yang dimainkan atau mendengarkan secara tenang dan seksama tanpa banyak
pengungkapan suasana hati yang terlihat secara langsung.
Dalam penyajian surdam puntung dapat dimainkan secara ensambel maupun
secara tunggal. Dalam pengungkapan emosional surdam puntung dimainkan
secara tunggal. Pemainan surdam puntung dapat merasakan sesuatu perasaan di
dalam dirinya, sebab pemain surdam puntung seolah-olah ikut masuk ke dalam
melodi yang dimainkannya tersebut. Sehingga dalam hal ini musik dapat
ditunjukkan untuk mewujudkan kehidupan emosional.
A Musical work is therefore a presentational symbol. But if it a symbol it must poses a structure analogous to the structure of the phenomenon it symbolises it must share a common logical form –with its object. And the way in which a musical work can resemble some segment of emotional life is by it possesing the same temporal structure as that segment. The dinamic structure the mode of development, of a must if calw work and the for min which emotion isexper•zen ced can resemble each other in their patterns of motion and rest, of tention and release, of agreement and disagreement, preparation, ullfilrnent, excitation, sudden change etc. Music is a presentation of symbol of emotional life (Budd, 1985: 109).
Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Budd yang melihat sisi
kemasyarakatan yang dibangun dari emosional manusianya dengan suatu bentuk
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu energi musikal
yang dihasilkan dari hasil permainan surdam puntung ini memberikan pengaruh
terhadap sisi penghayatan oleh si penyaji dan si penikmat seni.
3.4.2.2 Fungsi hiburan
Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan
karena musik dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasan tertentu
kepada yang mendengar (Merriam 1964:224).
44
Ketika surdam puntung dimainkan dipadang rumput maupun dipersawahan
maka orang yang mendengarkan alunan tersebut dapat menimbulkan suatu efek
menghibur dan dapat menghilangkan rasa lelah bagi yang mendengarkan alunan
surdam puntung tersebut. Surdam puntung juga memiliki fungsi hiburan ketika
alat tersebut dimainkan dapat menghibur orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dengan melihat musik yang dimainkan dalam bentuk upacara akan menghasilkan
sebuah pertunjukan seni yang bersifat keduniawian tanpa ada unsur spiritual yang
terdapat di dalamnya. Pada saat surdam dimainkan dalan bentuk pertunjukan seni
profan maka hasil kenikmatan yang dihasilkan berasal dari karakter permainan
surdam yang sudah peka didengar sehingga menghibur pribadi penikmat seni
tersebut.
3.4.2.3 Fungsi komunikasi
Musik mampu menyampaikan suatu (pesan) kepada siapa yang akan dituju
yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang membentuk musik tersebut
(Merriam, 1964:224). Merriam berpendapat bahwa kemungkinan yang paling
jelas ialah komunikasi dihadirkan dengan cara menanamkan makna-makna
simbolis ke dalam musik yang secara tidak disadari diakui oleh para warga
komunitas tersebut. Penanaman makna-makna simbolis dapat terjadi dalam salah
satu dari kedua macam cara berikut: secara sadar atau secara bawah sadar.
Dalam upacara erpangir ku lau, surdam puntung menjadi media dalam
melaksanakan upacara tersebut. Maksud dan tujuan masyarakat Karo adalah
untuk mengembalikan roh yang dibawa mahkluk halus kembali ke tubuh asal roh
45
tersebut. Maksud dan tujuan masyarakat tersebut disampaikan melalui lagu-lagu
yang dihasilkan dari surdam puntung tersebut.
.s rnusicis significant form, and its significance is that symbol, a higly articu. r:. sensous object, which by virtue of its dinamic structure can expresss the -- journal of vital experience which language is peculiarly unfit to convey" (Langer, 1953:32).
Berdasarkan penjelasan Langer yang menyatakan bahwa bahasa maupun hasil
ekspresi manusia menghasilkan suatu sistem komunikasi yang dilakukan melalui
simbol tertentu. Sama seperti pada musik yang digunakan pada alat musik
surdam ini yang memberikan suatu media komunikasi dalam bentuk
keyakinannya kepada para leluhur mereka. Alunan lagu yang dimainkan surdam
tersebut memberikan sebuah percakapan dalam arti komunikasi dalam roh untuk
menyatakan maksud dan tujuan dilakukannya upacara tersebut, sehingga dengan
terjadinya percakapan tersebut dapat membantu proses jalannya upacara.
3.4.2.4 Fungsi reaksi jasmani
Fungsi musikal surdam sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya
sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis.
Sebab reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan
emosional, dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani.
Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat di dalam pertunjukan
erpangir ku lau yang mana pada saat surdam dimainkan semua orang yang terlibat
dalam upacara tersebut dapat mengalami kerasukan roh-roh yang datang karena
mendengar suara surdam yang dimainkan.
46
3.4.3 Fungsi Surdam Puntung Dalam Konteks erpangir ku lau
3.4.3.1 Fungsi Pembawa Melodi
Surdam awalnya hanya merupakan sejenis instrument tunggal. Namun tidak
diketahui secara pasti kapan sejarah awal penggunaan surdam tersebut digunakan
sebagai instrumen tunggal. Surdam puntung dalam upacara erpangir ku lau bisa
dimainkan secara improvisasi yang mana melodi yang dimainkan berulang-ulang.
Adapun lagu yang dimainkan dalam upacara erpangir ku lau adalah : mari-mari,
odak-odak, dan peseluken.
3.4.3.2 Fungsi dalam Ensambel
Dalam upacara erpangir ku lau ensambel yang digunakan adalah ensambel
gendang keteng-keteng, gendang keteng-keteng memiliki empat buah alat musik
yaitu : 1. Kulcapi/surdam/belobat
2. keteng-keteng (2buah)
3. mangkok putih
Dalam upacara erpangir ku lau keteng-keteng dan mangkok putih berperan
sebagai pengiring, dan surdam sebagai pembawa melodi.
47
BAB IV
PROSES PEMBUATAN SURDAM PERMAKAN
Kajian organologis merupakan kajian utama penulis dalam
mengungkapkan inti-inti pokok permasalahan objek penelitian penulis dengan
menggunakan disiplin Etnomusikologi. Dalam bab IV ini penulis akan
menerangkan bagian inti pokok permasalahan dari keseluruhan tulisan yang
membahas tentang organologis surdam puntung. Masih dalam ruang lingkup
kajian organologis, penulis juga akan melihat segala sesuatu yang berhubungan
dengan semua sistem peralatan dan teknik pembuatan dari alat musik tersebut.
Untuk mendukung ruang gerak tulisan maka penulis juga memberikan suatu
bentuk penyajian alat musik surdam dengan dua sampel lagu dalam format
permainan yang dimainkan dalam tangga nada minor dan tangga nada mayor.
Sehingga dalam tulisan ini penulis akan mendeskripsikan secara umum aspek fisik
musiknya yang meliputi materi alat musik surdamnya, teknik pembuatan alat
musiknya, hingga komposisi yang dimainkan oleh alat musik tersebut hingga
unsur-unsur musiknya. Untuk membantu dalam pemahaman alat musik surdam
permakan dalam konteks pendukung instrumennya maka penulis akan
mendeskripsikan penyajian alat musik surdam tersebut dalam bentuk teknik
permainan maupun penjarian yang memproduksikan nada pada alat musik surdam
puntung tersebut. Untuk itu penulis dibantu oleh beberapa teori Etnomusikologi
untuk menghasilkan data penelitian yang relevan dan konseptual.
48
4.1 Klasifikasi Alat Musik Surdam Puntung
Penulis memberikan acuan untuk pengklasifikasian alat musik dengan
memperhatikan studi kajian organologisnya secara umum untuk membantu dalam
mengetahui alat musik surdam puntung ini. Dalam mengklasifikasikan alat musik
surdam ini, penulis menggunakan secara garis besar teori yang dikemukakan oleh
Curt Sach dan Hornbostel (1914) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik
berdasarkan sumber penggetar bunyi. Sistem klasifikasi ini terdiri dari empat
bagian yaitu idiofon (alat musik itu sendiri sebagai sumber penggetar utama
bunyi), aerofon (udara sebagai sumber penggetar utama bunyi), membranofon
(kulit atau membran sebagai sumber penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar
atau dawai sebagai sumber penghasil utama bunyi). Berdasarkan penjelasan di
atas maka alat musik surdam termasuk dalam kategori aerofon yang merupakan
udara sebagai sumber penggetar utama bunyinya.
Untuk lebih jelas lagi, penulis memberikan bentuk klasifikasi dengan
memperhatikan secara karakteristik organologisnya sehingga alat musik surdam
ini dapat dideskripsikan dengan lebih spesifik lagi.
1. Edge-blown aerophone
Edge-blown aerophone merupakan suatu alat musik yang
menghasilkan suara melalui udara yang ditiup melalui tepian tajamnya.
Jenis klasifikasi ini dapat dilihat melalui napas pemain yang diarahkan
melalui corong atau disebut juga windway di mana udara yang ditiup
melalui tepian tajam sehingga kolom udara terbagi yaitu setengah
49
udara dikeluarkan di luar instrumen dan setengahnya lagi masuk ke
dalam instrumen.
2. End-blown single flute
End-blown single flute merupakan suatu alat musik yang dimainkan
dengan meniup bagian tepian tajam ujung instrumen di mana dalam
memainkannya instrumen lubang jari pada instrumen digunakan secara
tunggal untuk mengubah nadanya.
Dalam mendeskripsikan beberapa klasifikasi yang telah penulis perhatikan
di atas maka penulis memberikan deskripsi bagan yang menunjukkan hasil
klasifikasi dari instrumen surdam.
AEROPHONE
EDGE-BLOWN AEROPHONE
END-BLOWN SINGLE FLUTES
NON-FREE AEROPHONE FREE AEROPHONE
50
Dengan memperhatikan bagan di atas maka penulis memberikan
gambaran klasifikasi surdam yang dilihat berdasarkan karakter alat musik tersebut
dengan tinjauan aspek organologisnya. Dari bagan tersebut sehingga tampak jelas
klasifikasi secara kompleks dengan dilihat dari sisi organologi sesuai bahan kajian
utama penulis baik itu dilihat dari bahan baku, cara memainkan, dan teknik
memainkannya.
4.2 Teknik Pembuatan Surdam Puntung
Pembuatan surdam puntung secara garis besar telah dijelaskan dalam
proposal tulisan ini maupun bab I dalam tulisan ini. Di mana dahulunya ada suatu
ritual tertentu yang dilakukan untuk membuat sebuah surdam ini yang diyakini
oleh masyarakat Karo dulunya. Baik itu dalam waktu tertentu untuk membuat
instrumen ini, syarat tertentu untuk membuat setiap lubang nadanya, dan bahkan
kondisi bahan baku instrumen pada saat membuatnya (lihat bab I). Dalam
kesempatan ini penulis lebih spesifik menerangkan suatu teknik pembuatan oleh
informan kunci penulis yaitu surdam puntung buatan Bapak Pauzi Ginting yang
dikerjakan dalam proses yang sederhana tanpa ada syarat ritual tertentu. Berikut
ini akan diterangkan bahan-bahan maupun alat-alat beserta fungsinya yang
digunakan oleh informan kunci penulis untuk membantu pembaca dalam
membuat surdam puntung ini.
51
4.2.1 Bahan Baku yang Digunakan
4.2.1.1 Bambu
Bambu merupakan bahan dasar dari alat musik surdam ini dengan
kualifikasi tertentu. Pada umumnya bambu yang digunakan sebagai bahan alat
musik ini, berasal dari dataran tinggi dengan menghindari tingkat kelembapan
bambu yang mempengaruhi kualitas bambu. Dengan memperhatikan bentuk dan
struktur bambu tertentu pula agar dapat membuat alat musik surdam yang
bermutu.
4.2.2 Peralatan yang Digunakan
4.2.2.1 Parang Panjang (sekin)
Parang ini pada umumnya digunakan oleh masyarakat Karo untuk
kepentingan bertani terkhusus untuk perkebunannya. Begitu juga parang ini
digunakan untuk memotong bambu sebagai buku-buku surdam puntung. Parang
ini memiliki gagang dari kayu dengan balutan aluminium yang mengikat besi
parangnya dengan kayu gagang. Parang besar dan panjang sehingga dengan
mudah untuk memotong bambu dan membersihkan dahan-dahan yang terdapat
dalam buku-buku bambu.
52
Gambar 4.1: Parang Panjang
4.2.2.2 Rawit Batak
Pisau ini berbentuk cembung dengan ujung yang melengkung runcing.
Pisau ini memiliki fungsi khusus dengan bentuknya yang khusus untuk alat musik
surdam ini yaitu untuk memotong buku yang dijadikan untuk lubang tiupan
surdam dengan bentuk pipih pada bagian tepian lubang tersebut. Dengan pisau ini
lebih memudahkan si pembuat surdam untuk memipihkan tepian lubang tiupan.
Dan tidak hanya itu juga, pisau ini juga digunakan untuk mengikis awal pada
lubang nada yang dibentuk di sekitar badan bambu, dan juga memudahkan si
pembuat untuk membuat ukiran pada bambu surdam dengan bentuk maupun
gambar tertentu.
53
Gambar 4.2: Rawit Batak
4.2.2.3 Rawit
Rawit adalah sejenis pisau yang sehari-hari digunakan untuk memasak
pada masyarakat Karo, rawit ini berbentuk memanjang dan runcing yang berbeda
dengan rawit batak yang melengkung. Dengan melihat bentuknya maka dapat
dilihat bahwa pisau ini dalam hal pembuatan surdam digunakan untuk melubangi
lubang nada yang sudah dibentuk dengan rawit batak sehingga lebih tampak.
Secara detail pisau ini juga digunakan untuk memotong bagian bambu surdam
yang lebih untuk pembuatan surdam yang seharusnya.
54
Gambar 4.3: Rawit
4.2.2.4 Penggaris
Penggaris ini sudah jelas digunakan untuk mengukur. Dalam hal ini
penggaris digunakan untuk mengukur jarak antara lubang-lubang nada yang sudah
dibentuk dalam badan bambu surdam.
Gambar 4.4: Penggaris
55
4.2.2.5 Benang
Benang ini digunakan untuk mengukur panjang surdam dengan melilitkan
benang tersebut sebanyak 6 gulungan untuk memenuhi standard ukuran panjang
surdam (menurut informan). Benang tersebut dililitkan pada bagian ujung lubang
tiup surdam.
Gambar 4.5: Benang
4.2.2.6 Pensil
Pensil digunakan untuk menandai setiap lubang nada yang akan dibentuk.
Untuk itu dalam pengukuran jarak antar lubang nada yang diukur oleh penggaris
kemudian ditandai dengan pensil tersebut sehingga memudahkan si pembuat alat
musik untuk membentuk lubangnya.
Gambar 4.6: Pensil
56
4.2.2.7 Kertas Pasir
Kertas pasir digunakan untuk menghaluskan bulu-bulu kasar pada badan
bambu surdam tersebut. Karena kita ketahui bahwa pada badan bambu terdapat
serbuk tajam yang tampak seperti bulu yang memperlihatkan bambu tampak
kasar. Sedangkan untuk memudahkan memainkan surdam tersebut, bambu
surdam tersebut harus dihaluskan sehingga semakin nyaman dalam
memainkannya. Kertas pasir ini juga digunakan dalam menghaluskan lubang-
lubang nada yang sudah dibentuk dengan menggunakan pisau rawit, sehingga
lubang nada tersebut lebih halus apalagi dalam pembentukan nada yang dilakukan
secara buka tutup lubang nada yang cukup berpengaruh akan halus kasarnya
lubang nada tersebut. Lebih spesifik lagi kertas pasir itu digunakan untuk
menghaluskan seluruh badan surdam.
Gambar 4.8:Kertas Pasir
4.2.2.8 Garut
Garut dalam hal pembuatan surdam hanya digunakan seperlunya yaitu
digunakan apabila ketajaman pisau dalam mendukung pembuatan surdam sudah
mulai berkurang ketajamannya. Terkhusus untuk pisau batak dan pisau rawit
yang berfungsi utama dalam membentuk surdam secara garis besarnya.
57
Gambar 4.7: Garut
4.2.3 Proses Pembuatan Surdam Puntung
4.2.3.1 Memilih dan Memotong Bambu
Dalam proses pemilihan bambu untuk membuat alat musik surdam ini
memiliki teknik sendiri untuk menghasilkan surdam yang dengan kualitas baik.
Masih dalam sistem tradisional bahwa dalam masyarakat kesenian Karo dalam
pembuatan surdam, dengan pemilihan bambunya dilakukan pada saat bulan
purnama yang konon hal ini dapat memberikan “nilai” lebih terhadap surdam
tersebut. Hal ini diartikan dalam suatu bentuk nilai magis yang dapat digunakan
maupun kualitas surdam dalam hal bunyi yang dihasilkan. Tapi untuk kali ini
yang penulis dapat dari informan penulis dalam hal pemilihan bambu dilakukan
dengan memperhatikan jenis bambu yang akan diproses pembuatannya. Bambu
yang dipilih merupakan bambu yang agak tua dengan bentuk bambu yang
memiliki buku yang berjarak. Bambu yang cukup tua akan menghasilkan suara
yang lebih bagus dibanding dengan bambu yang lebih muda, dan tidak hanya itu
dalam proses selanjutnya dapat diperhatikan bahwa bambu tersebut harus dalam
58
keadaan kering tua untuk memudahkan dalam pembuatannya yang berbeda
dengan bambu muda yang masih memiliki serat air yang lebih banyak.
4.2.3.2 Pengeringan Bambu
Bambu yang sudah ditebang selanjutnya membersihkan dahan-dahan yang
terdapat dalam setiap ruas-ruas bambu. Bambu yang dibutuhkan yang memiliki
bentuk lurus dengan ukuran sama atau hampir sama antara diameter pangkal dan
ujungnya. Sehingga sebaiknya pilih batasan bambu yang dipotong pada bagian
bambu yang lebih sempurna untuk pembuatan surdam. Setelah itu bambu dalam
kondisi memanjang tersebut dijemur lebih kurang selama 2 minggu untuk
menghasilkan kualitas bambu yang lebih baik. Dengan kondisi seperti itu maka
dapat menghilangkan kadar air yang tersisa dalam bambu.
4.2.3.3 Memotong Bambu
Bambu yang telah selesai dijemur dalam waktu 2 minggu kemudian
dipotong melalui ruas bambu dengan memperhatikan sebelumnya posisi ruas dan
diameter bambu pada bagian ujung bambu yang akan dijadikan lubang tiup.
Bambu tersebut tepat dipotong pada bagian bawah ruas ujung bambu dan begitu
juga pada bagian ruas dibawah bambu sehingga dapat diperhatikan bahwa bambu
surdam yang akan digunakan tidak memiliki buku-buku pada bagian kedua
ujungnya, sehingga kondisi bambu dalam bentuk corong dengan dua lubang yaitu
lubang kedua sisi bambu, tanpa buku pembatas.
59
Pada ruas bambu tersebut dipotong dengan menggunakan pisau batak
sehingga menghasilkan bentuk potongan yang lebih rapi dan teratur. Karena
lubang tersebut juga lah yang akan menjadi lubang tiup surdam sehingga psosisi
bambu yang dipotong harus merata.
Perhatikan gambar berikut ini.
Gambar 4.9: Memotong ruas bambu
4.2.3.4 Membentuk Lubang Tiup Surdam
Setelah bambu dengan kondisi berbentuk corong, maka selanjutnya
dilakukanlah pembentukan lubang tiup surdam dengan mengikis pada bagian
ujung bambu yang digunakan sebagai lubang tiupnya. Sisi lubang bambu tersebut
dibentuk dengan mengikis sisi–sisinya pada bagian luar lubang dengan posisi
agak miring. Pengikisan tersebut dilakukan dengan menggunakan rawit batak.
Berbeda dengan sisi lubang bambu sebaliknya, bahwa pada bagian sisi
lubangnya tidak perlu dibentuk menjadi miring seperti bagian lubang tiup
surdamnya. Karena pada bagian lubang tersebut dijadikan saluran udara yang
60
keluar pada saat meniup surdam, sehingga pada bagian tersebut cukup dipotong
dengan rata pada saat pemotongan bambu.
Perhatikan contoh gambar berikut ini.
Gambar 4.10: Pembentukan bagian lubang tiup surdam
4.2.3.5 Pengukuran Panjang Bambu
Pengukuran panjang bambu dilakukan dengan cara melilitkan benang
sebanyak 6 kali lilitan pada bagian ujung lubang tiup bambu sehingga dihasilkan
kira-kira kurang lebih sepanjang 44 cm.
Gambar 4.11: Melilitkan benang pada ujung lubang tiup
Kemudian benang tersebut dipanjangkan pada badan bambu surdam
dengan acuan lubang tiup surdam. Pada batas ujung benang yang terdapat pada
61
badan bambu kemudian ditandai untuk dipotong sesuai ukurannya dengan pisau
batak sehingga kecocokan antara besar dan panjang bambu surdam sesuai.
Gambar 4.12: Mengukur panjang Gambar 4.13: Memotong dengan
dengan benang rawit batak
4.2.3.6 Proses Pengukuran Jarak Lubang Nada
Adapun lubang nada pertama yang dibuat dalam langkah awal pembuatan
surdam ini dimulai dari pengukuran panjang bambu surdam semula yaitu
sepanjang 44 cm dengan mengambil jarak ukuran tengahnya menjadi 22 cm,
sehingga lubang pertama berada di bagian tengah panjang surdam. Setelah itu
untuk mendapatkan lubang nada yang kedua, diukur kembali dengan
menggunakan penggaris jarak dari lubang nada pertama dibagi dua sehingga dapat
ditentukan letak lubang nada kedua atau kira-kira ¼ panjang bambu surdam ke
arah bawah bambu surdam4. Atau bisa juga dengan ukuran panjang dengan
memperhatikan hasil bagi dua dari ukuran 22 cm yaitu 11 cm. Setelah itu
dilanjutkan kembali untuk menentukan letak lubang nada yang ketiga dengan
4 Arah bagian atas bambu surdam adalah bagian lubang tiup surdam.
62
mengukur jarak lubang nada yang pertama kali dibuat dengan lubang nada kedua
yang dibuat sebelumnya dengan membagi dua jarak antara lubang nada tersebut
sehingga dapat ditentukan lubang nada yang ketiga. Jarak antara lubang nada
pertama dan kedua adalah 11 cm sehingga posisi letak lubang nada ketiga berada
pada titik 5,5 cm. Untuk lubang nada keempat kemudian dilakukan dengan
mengukur jarak antara lubang nada kedua dengan lubang nada ketiga dengan
membagi dua antara kedua jarak tersebut pulak. Dengan jarak panjang lubang
nada kedua dan ketiga adalah 5,5 cm maka posisi lubang nada yang keempat
terletak pada titik 2,75 cm. Selanjutnya untuk mencari lubang nada kelima yang
dibuat dilakukan dengan mengukur dan membagi dua jarak lubang nada antara
lubang nada pertama dengan lubang nada yang ketiga. Sama seperti pembuatan
lubang nada yang keempat dengan memperhatikan jarak antara lubang nada
pertama dengan lubang nada ketiga sepanjang 5,5 cm yang dibagi dua untuk
mendapatkan posisi lubang nada kelima yaitu pada titik 2,75 cm di antara lubang
nada tersebut. Yang terakhir untuk membuat lubang nada yang keenam dilakukan
dengan mengukur jarak antara lubang nada kedua dengan ujung bagian bawah
bambu surdam dengan membagi dua jaraknya sehingga dapat ditentukan lubang
nada yang keenam. Jarak kedua lubang tersebut sepanjang 11 cm sehingga posisi
letak lubang nada yang keenam terdapat pada titik 5,5 cm di antara lubang nada
kedua dengan ujung bawah bambu surdam. Setiap lubang nada yang sudah
ditentukan ditandai dengan goresan ataupun gambar lubang sebagai tanda posisi
bentuk lubang nada yang akan dibuat.
63
Perhatikan konstruksi lubang nada pada surdam puntung ini.
Gambar 4.14: Mengukur jarak lubang nada dengan menggunakan
penggaris.
5,5 cm
11 cm
44 cm
22 cm
11 cm
5,5 cm
Lubang nada I
Lubang nada V
Lubang nada III
Lubang nada IV
Lubang nada II
Lubang nada VI
Urutan pembuatan lubang nada
22 cm
64
4.2.3.7 Melubangi Lubang Nada
Lubang nada yang sudah diukur dan telah ditandai dengan pensil
kemudian diolah dan dibentuk sesuai dengan bentuk yang sudah diatur. Menurut
keterangan informan penulis dalam membuat lubang nada terkait dengan ukuran
lubang dilakukan dengan ukuran standar yang diartikan sesuai dengan besar
lubang yang dibutuhkan oleh bambur surdam. Besar lubang di sini dimaksudkan
atas dasar kebutuhan bambu surdam yang sesuai dengan lubang nada. Bambu
yang sudah ditandai dengan pensil untuk membuat lubang nada kemudian dikikis
dengan pisau rawit untuk membentuk lubang tersebut.
Gambar 4.15: Mengukir lubang nada
4.2.3.8 Menghaluskan Surdam
Bambu yang sudah dalam keadaan setengah jadi kemudian ditempah
sedemikian rupa untuk mencapai kesempurnaannya. Lubang nada yang sudah
dikikis sebelumnya dengan menggunakan pisau rawit kemudian dihaluskan
dengan menggunakan kertas pasir untuk membuat lubang nada yang sudah
dibentuk menjadi merata. Kertas pasir tersebut digulung sehingga berbentuk
65
silinder dan kemudian dimasukkan ke dalam lubang nada yang sudah dibentuk.
Kertas pasir yang sudah masuk ke dalam lubang nada yang sudah dibentuk
diputar-putar sehingga serbuk bambu dalam pengikisan menggunakan sebelumnya
dihaluskan. Tidak hanya itu juga, untuk menambah kenyamanan menggunakan
alat musik surdam ini kemudian badan bambu surdam juga dihaluskan dengan
menggunakan kertas pasir seperti yang kita ketahui bahwa bambu memiliki bulu
bambu halus dan tajam sehingga bulu ini dibersihkan dengan menggunakan kertas
pasir.
Gambar 4.16: Menghaluskan lubang nada dengan kertas pasir
Gambar 4.17: Menghaluskan badan bambu dengan kertas pasir
66
4.2.3.9 Memberi Ukiran pada Surdam
Ukiran dalam tradisional masyarakat memiliki ciri khas dan makna
tersendiri dan bahkan suku lain yang memliki sesuatu yang menjadi karakter suatu
bangsa. Dalam masyarakat Karo terdapat sejumlah makna tradisi yang terdapat
dalam bentuk kesenian seperti prasasti-prasasti maupun ukiran. Untuk mengukir
lambang khas masyarakat Karo dilakukan dengan menggunakan pisau batak
sehingga lebih mudah dalam mengukirnya.
Gambar 4.18: Mengukir bambu surdam dengan motif tradisional masyarakat
Karo
67
Beberapa motif yang biasa digunakan pada ukiran surdam puntung ini diantaranya
adalah sebagai berikut.
Gambar 4.19: Teger Tudung,
Gambar 4.20: Keret-keret Ketadu
68
Gambar 4.21: Ipen-ipen
Gambar 4.22: Tampuk-tampuk Pinang
Tabel 4.3
No Nama Motif Pelambang 1 Teger Tudung Geometris Hiasan. 2 Keret-keret Ketadu Hewan Penolak sakit perut, Sebagai
lambang pemikir atau otak yang bekerja terus menerus.
3 Ipen-ipen Hewan Supaya kesehatan anak-anak tidak terganggu, tolak bala.
4 Tampuk-tampuk Pinang Tumbuhan Hiasan
69
Itulah langkah terakhir dalam membuat surdam puntung hingga ke motif-
motif tradisional masyarakat Karo. Surdam puntung yang sudah dibuat
sedemikian rupa sudah bisa digunakan secara utuh. Itulah beberapa teknik
pembuatan alat musik surdam yang dilakukan oleh informan pangkal penulis yaitu
bapak Pauzi Ginting selaku pelaku seni dalam masyarakat Karo.
4.2.4 Sistem Laras dan Nada Surdam Puntung
Dalam menentukan sistem pelarasan dalam membuat surdam puntung ini
dilakukan oleh informan penulis melalui pengalaman beliau bahwa ukuran bambu
surdam menentukan tinggi rendahnya nada yang dimainkan surdam tersebut.
Beliau juga menyatakan bahwa semakin besar bambu surdam maka semakin
rendah nadanya dan sebaliknya semakin kecil bambunya maka semakin tinggi
nada surdamnya. Besar kecilnya bambu ini ditentukan dengan diameter bambu
sehingga tampak jelas membandingkannya. Tapi untuk persoalan nada dasar
surdam dilakukan dengan secara meniup langsung bambu baku yang sudah
dipotong dan diukur sebelumnya. Maksudnya bambu yang sudah diukur dengan 6
lilitan tersebut dipotong sesuai ukuran kemudian dicoba dengan meniup bambu
dari lubang tiupan yang masih baku sehingga terdengar nada yang bisa dibuat
menjadi nada dasarnya. Sedangkan dengan memperhatikan ukuran panjang
pendek bukan jadi aturan melainkan besar kecilnya diameter bambu yang menjadi
penentu nada dasar surdam tersebut.
Nada-nada yang terdapat pada surdam dimulai dari nada si, do, re, mi, fa,
sol, dan la. Lubang nada yang terdapat pada bambu surdam ada enam lubang.
70
Apabila semua lubang ditutup dengan jari pemain maka nada yang dihasilkan
adalah si. Kemudian dilepas satu jari atau membuka lubang nada pada bagian
ujung bawah surdam maka nada yang dihasilkan adalah do. Begitu juga apabila
lubang nada di atasnya dilepas maka nada yang dihasilkan adalah re. Begitulah
nada seterusnya yang dihasilkan berturut-turut apabila lubang nada yang dibuka
juga berurut hingga sampai lepas jari atau tidak menutup lubang satupun.
Untuk membantu pemahaman penulis dalam mengilustrasikan nada-nada
yang dihasilkan dalam surdam puntung maka perhatikan objek surdam yang telah
penulis rangkai dengan nada-nadanya.
71
si re mi do fa sol la
Keterangan
dibuka
ditutup
72
Dalam permainan musik masyarakat Karo dikenal ciri khas yang menjadi
nada istimewa yang dimainkan baik itu terdapat dalam beberapa permainan alat
musik tunggal Karo yaitu rengget. Rengget merupakan sejenis nada melismatis
yang dihasilkan untuk mengalunkan nada sebelum dan setelahnya. Rengget inilah
yang menjadi khas permainan musik masyarakat Karo pada umumnya.
73
4.2.5 Sampel Lagu
Cawir Metua
Surdam Permakan
74
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil deskripsi tentang surdam permakan ini maka penulis melihat
bagaimana peran dan fungsi surdam permakan dalam masyarakat Karo. Pada
dasarnya untuk kegiatan aktivitas budaya, instrumen surdam permakan ini
memiliki fungsi yang minim untuk mendukungnya. Tapi alat musik surdam
puntung ini memiliki peran tersendiri dalam penggunaannya melihat cara
memainkannya yang cukup sulit dan bahkan hanya untuk membunyikannya saja.
Seperti yang digunakan dulunya untuk menggoda seorang wanita dengan
memainkan surdam ini. Dari hal ini maka kita dapat memperhatikan
sesungguhnya peran suatu kesenian berasal dari manusia dan karyanya. Demikian
juga dengan surdam permakan ini yang digunakan akan kebutuhan masyarakat
Karo baik itu untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk kegiatan aktivitas
budayanya.
Perkembangan kesenian musik Karo atau bahkan pada umumnya pada
masyarakat lainnya selalu dipengaruhi oleh si pemain dan si pembuat kesenian.
Kenapa tidak, dapat kita perhatikan bagaimana suatu eksistensi terjadi apabila
mereka ini tidak ada. Apakah masih berharap akan cerita yang dulunya kadang di
luar akal sehat kita yang menyatakan bahwa alat musik ini diberikan oleh para
dewa atau yang datang dengan sendirinya. Untuk itu begitu kuat alasan penulis
75
untuk mengangkat kajian organologis untuk mempertahankan hasil kebudayaan
leluhur kita.
Mungkin dapat diperhatikan bahwa dalam penjelasan bab IV yang
menerangkan tentang teknik pembuatan surdam permakan ini, sehingga dapat
memberikan kesimpulan dengan mengacu terhadap hasil karya informan penulis
yaitu bapak Pauzi Ginting. Teknik pembuatan surdam ini yang diadopsi dari
teknik bapak Pauzi Ginting memiliki “rasa” pengalaman tersendiri dalam
membuat alat musik apalagi memngingat bagaimana peran beliau dalam segala
kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam masyarakat Karo. Kita perhatikan ada
teknik tersendiri yang beliau kerjakan dalam membuatnya seperti dalam
mengukur panjang bambu surdam dengan menggunakan enam lilitan dan cara
mengukur jarak-jarak lubang nada yang digunakan dengan membagi dua setiap
jarak yang telah diukur sebelum dan setelahnya. Begitu juga dalam mengatur
nada dasar surdam tersebut yang memperhatikan besar kecilnya bambu. Untuk
itu dalam teknik pembuatan surdam ini dapat dilihat bagaimana keterampilan kita
dalam membuat dan mengolahnya menjadi satu alat musik.
Demikian bagaimana eksisistensi alat musik surdam puntung ini yang
terdapat dalam kebudayaan masyarakat Karo selalu terkait dengan penggunaannya
secara fungional dan kebutuhan masyarakat tersebut dengan memperhatikan
manusia kesenian yang turut mendukung terciptanya alat musik surdam puntung
tersebut.
76
5.2 Saran
Mengenal dan memahami bagaimana perkembangan saat ini dengan
mengambil ataupun membuat sesuatu dengan cara instan ibarat “pop mie” yang
dijual di pasaran yang di dalamnya sudah terdapat bumbu-bumbu lainnya
sehingga tidak perlu repot untuk memasaknya kemudian. Begitu juga yang
terdapat dalam masyarakat Karo ini yang harus menjaga kebudayaannya dengan
menjauhi “keinstanan” kesenian yang digunakan dalam segala kegiatan-kegiatan
budayanya. Surdam puntung adalah salah satu kesenian tradisonal asli
masyarakat Karo. Dilihat dari segi fungsional saat ini dengan melihat surdam ini
tidak terlalu digunakan dalam kegiatan-kegiatan aktivitas budaya masyarakat
Karo pada umumnya, tapi justru itu sebaiknya alat musik tradisional ini digunakan
dengan fungsi tertentu baik itu kegiatan di luar upacara adat. Apabila melihat
bagaimana cara memainkannya dengan teknik yang berbeda dengan alat musik
tiup lainnya seharusnya digunakan untuk sesuatu yang umum dilakukan dalam
masyarakat Karo. Eksistensi alat musik ini tergantung kepada bagaimana
manusianya terkhusus masyarakat Karo memahami kebudayaan ini akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan budayanya itu sendiri.
Memperhatikan bagaimana teknik pembuatan surdam permakan
sebelumnya, untuk itu dapat mendorong seluruh masyarakat terkhusus masyarakat
Karo untuk melestarikan salah satu keseniannya dengan melihat bagaimana teknik
pembuatan surdam puntung yang dilakukan oleh informan penulis yaitu bapak
Pauzi Ginting. Dengan tulisan ini diharapkan dapat mendorong masyarakat Karo
untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan terkhusus kesenian ini
77
agar tetap terlestari di dalam masyarakatnya. Diharapkan juga manusianya
memberikan aspirasi khusus terhadap perkembangan kesenian secara keseluruhan
untuk membantu mempertahankan kekayaan budaya ini.
Tulisan ini akan sangat dibantu apabila responden pembaca akan
kelestarian budaya terkhusus budaya dan kesenian masyarakat Karo terus
dilakukan dalam suatu bentuk kebutuhan. Generasi merupakan salah satu kunci
utama dalam proses ini dan begitu juga informan penulis dan penulis mencoba
membantu mempertahankan kesenian ini.
Dimohonkan untuk generasi selanjutnya terkhusus pemilik kebudayaan
dan kesenian ini agar memiliki kesadaran akan pengembangan dan pelestarian
kebudayaan tradisi yang akan menunjukkan identitas masyarakat itu sendiri
dengan peran dan fungsinya untuk masyarakat itu sendiri.
78
Daftar Informan
Nama : Pauzi Ginting
Alamat : Lingga
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Pekerja Seni
Nama : Bangun Tarigan Alamat : Kabanjahe Umur : 51 tahun Pekerjaan : Pemusik Tradisional Karo
Nama : Alm. Djasa Tarigan Alamat : Jl Royal Sumatera Umur : 49 tahun Pekerjaan : Pemusik Tradisional Karo Nama : Yahya Tarigan Alamat : Lingga Umur : 56 tahun Pekerjaan : Petani Nama : Arianto Sembiring Alamat : Deli Tua Umur : 40 tahun Pekerjaan : Pemusik Tradisional Karo
Nama : Ismail Bangun Alamat : Batu Karang Umur : 40 tahun Pekerjaan : Pemusik Tradisional Karo
79
Daftar Pustaka
A.G.Sitepu. 1980. Ragam Hias (ornamen) Karo” seri A Kabanjahe : Medan
A.G.Sitepu. 1980. Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo seri B: Medan Ali, Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Amani. Banoe, Panoe. 1984. Pengantar Pengetahuan Alat Musik. Jakarta: C.V. Baru. Department of Education and Culture Directorat General of Culture North Sumatera Government Museum, 1994. The Simalungunesse Traditional Musical Instruments. Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Classification of Musical
Instrumen, Translate from the original German by Antonie Banes and Klaus P. Wachsman.
Hood, Mantle. 1981. The Ethnomusicologist. Ohio : The Kent State, University Press. Koentcaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi Musik. Jakarta: Aksara Baru. Malm, William. P. 1976. Traditional Music Of The Pasific and The Near East. New Jersey: Prectice-Hall. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western
University Press. Nettle, Bruno. 1964. Theory and Method Of Ethnomusicology. New York: The
Free Press-A Division Old Mc Milan publishing, Co, Inc. Pradoko, Susilo. 2005. Diktat Perkuliahan Etnomusikologi. Sinaga, Saridin Tua. 2009. Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak
Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kec.Pematang Sidamanik Kab. Simalungun, Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.