Kajian maut dan cinta new

59
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.

Transcript of Kajian maut dan cinta new

Page 1: Kajian maut dan cinta new

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti

"teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang

berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan

untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti

atau keindahan tertentu.Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan

sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar

teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau

abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang

yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis

atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan

tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan

pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah

geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: Novel,

Cerita pendek atau cerpen (tertulis/lisan), Syair, Pantun, Sandiwara ataudrama,

Lukisan atau kaligrafi.

Page 2: Kajian maut dan cinta new

2

Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata sas yang

berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi ; dan kata tra

yang berarti alat atau sarana. Kata sastra dikombinasikan dengan kata su

yang berarti baik, Jadi secara leksikal susastra berarti kumpulan alat untuk

mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Teeuw dalam Ratna,

2005 : 4).

Filsuf Horatius mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra haruslah

dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan nikmat).

Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada

isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya sastra,

bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah

disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi ; karena

adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie) ; juga karena

adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan “mempermainkan”

bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan

ambiguitas dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan

irrasional.

Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan

atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat

dipentingkan tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra

bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk

menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra

Page 3: Kajian maut dan cinta new

3

berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap

pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15).

Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan

memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-

kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem

simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa

mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara

yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih

bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam

(Ratna, 2005 : 16)

Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu

dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan

dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan

kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan

dunia sesungguhnya, namun dunia yang ‘mungkin’ada. Walaupun berbicara

dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam

karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan

sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat

manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan

membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah

diketahui (Welleck & Warren, 1990 : 30-31).

Page 4: Kajian maut dan cinta new

4

Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki

kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai

kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan

yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi,

melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang

tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang

menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga

memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari

tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu,

sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren, 1990 :

34-35).

Jadi, sastra berfungsi untuk meningkatkan kehidupan. Fungsi yang

sama juga diemban oleh kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan

menurut Marvin Haris adalah seluruh aspek kehidupan manusia dalam

masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan

tingkah laku (Haris dalam Ratna, 2005 : 5). Dari definisi tersebut terlihat

bahwa kebudayaan mengkaji aktivitas manusia, sebuah wilayah kajian yang juga

dimiliki oleh sastra. Dapat dikatakan bahwa sastra adalah salah satu aspek

kebudayaan yang memegang peranan penting, sehingga sastra terlibat dalam

kebudayaan. Hakikat sastra dan kebudayaan adalah hakikat fiksi dan fakta.

Karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh

imajinasi, sehingga dapat mengevokasikan kenyataan-kenyataan, sedangkan

kebudayaan memberi isi, sehingga kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat

Page 5: Kajian maut dan cinta new

5

dipahami secara komprehensif. Sastra dan kebudayaan berbicara mengenai

aktivitas manusia. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas sebagai

kemampuan emosional, sedangkan kebudayaan melalui kemampuan akal,

sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam melalui akal,

melalui teknologi. Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan

tulisan. Sastra membangun alam, membangun dunia baru sebagai dunia dalam

kata. Sastra dan kebudayaan untuk pencerahan akal budi manusia untuk

meningkatkan kehidupan.

Sastra dan kebudayaan kemudian menjadi bahan kajian dalam cultural

studies (studi kultural). karya sastra merupakan objek studi kultural yang kaya

akan nilai. Selain itu, karya sastra juga dinilai sebagai rekaman peristiwa-

peristiwa kebudayaan. Studi kultural memahami karya sastra dalam kaitan

sebagaimana adanya, dengan memanfaatkan petunjuk yang ada dalam teks

sebagai hakikat pluralitas.

Saat ini teori yang dianggap paling kuat untuk menganalisis

hubungan antara sastra dan kebudayaan adalah teori postrukturalisme. Teori ini

memberikan warna baru yang lebih kompleks bagi kajian sastra. Paradigma

postrukturalisme memberikan perhatian kepada pembaca dengan konsepnya

tentang kematian pengarang. Karya sastra dianggap memiliki ruang-ruang

kosong, tempat para pembaca memberikan penafsirannya.

Karya sastra menjadi berisi, setelah ruang kosong tersebut diisi oleh

penafsiran pembaca. Semakin banyak ruang kosong tersebut, maka semakin

Page 6: Kajian maut dan cinta new

6

banyak kesempatan pembaca untuk berdialog dengan penulis. Makna suatu karya

sastra dapat berubah-ubah tergantung pada pembacanya. Setiap pembaca dapat

memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Di sinilah letaknya kekayaan makna

suatu karya sastra.

Karya sastra pun dikatakan bersifat terbuka, karena tema, latar,

tokoh, plot, dan keseluruhan penafsiran merupakan sistem yang terbuka,

berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca. Setiap aktivitas pemahaman

melahirkan makna yang baru sebab tidak ada wacana yang pertama maupun

terkahir, setiap wacana merayakan kelahirannya (Todorov dalam Ratna, 2005 :

145).

Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah

pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan

pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan,

masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu

teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran

yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural.

Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan.

Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.

Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai

manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan

laki-laki.

Page 7: Kajian maut dan cinta new

7

John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk

memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan / kenikmatan) adalah

dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan,

selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses

pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin

mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus

memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama

dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).

Novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novella ‘berita’. Novel adalah

bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang

terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. Konflik atau

pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perobahan nasib pelaku. lika roman

condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek

daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus,

Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya

Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan Simatupang, Surabaya oleh Idrus.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah : Bagaimanakah citra diri perempuan dalam novel “Maut

dan Cinta” karya Mochtar Lubis?

Page 8: Kajian maut dan cinta new

8

1.3 Tujuan Penelitian

Be rdasa rkan   rumusan  masa l ah ,   t u juan  umum  da r i   pene l i -

t i an   i n i yakn i untuk mendeskripsikan citra diri perempuan dalam

novel “Maut dan Cinta” karya Mochtar Lubis.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu manfaat teoritis

dan praktis.

1.Secara Teoritis

a . Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberi konstribusi pada

perkembangan karya sastra, khususnya pengetahuan menganalisa cerpen.

b . Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi peneliti berikutnya

yang tertarik dengan masalah ini.

2. Secara Praktisa

a . Hasil penelitian ini bisa digunakan oleh pembaca sebgai sarana pendidikan

menjadi sebuah model untuk belajar menganalisa karya sastra.

b. Hasil penelitian ini bisa ,enumbuhkan kritik moral antara pembacadalam

pengamatan dan mengerti budaya serta nilai kehidupan manusia dalam

karya sastra.

Page 9: Kajian maut dan cinta new

9

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Teori Feminisme

Dunia ini penuh dengan dominasi kaum laki-laki. Benarkah demikian?

Lalu bagaimana dengan kaum perempuan; apakah mereka merupakan bagian

masyarakat yang terbuang, kelas masyarakat tanpa eksistensi dan tidak

mempunyai arti dan makna seiring kehadiran manusia di jagat ini?

Argumentasinya tidak. Sebab kehadiran kaum perempuan telah memberikan

warna tersendiri bagi dinamika kehidupan itu sendiri kendati sumbangsih

mereka lebih sering diklaim tidak sedashyat dengan apa yang telah diraih

kaum laki-laki.

Barangkali absurd untuk menilai kenyataan tersebut apabila kacata mata

yang kita pakai adalah produk modern. Namun kesaksian sejarah tidak bisa

diabaikan. Dalam masa modern masih ada pihak atau pun perlakuan yang

menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap kalau

enggan disebut sebagai masyarakat kelas dua. Sesungguhnya pernyataan awal

di atas merupakan potret yang mewakili realitas bagaimana kaum perempuan

pernah ditindas, dibatasi hak-haknya dalam ranah apapun. Juga merupakan

cuatan nurani yang keluar dari hegemoni kekuasaan yang melegalkan

diskriminasi gender terhadap perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan

hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak pada asas egaliter

Page 10: Kajian maut dan cinta new

10

sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuasa pelayan dalam segala

aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan

melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah tangga

merupakan wilayah tabu.

Reliatas penindasan yang dipraktekan secara sistemik tersebut mengilhami

beberapa tokoh perempuan untuk mewujudkan gerakan pembebasan yang

kemudian diistilahkan dengan feminisme. Feminisme merupakan suatu

gerakan emansipasi wanita dan gerakan ini bukanlah sesuatu hal baru di

dunia. Gerakan yang dimunculkan oleh Marry Wallstonecraff, seorang wanita

yang telah berhasil mendobrak dunia lewat bukunya The Right of Woman

pada tahun 1972 dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan

wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Gaung

feminisme inipun disambut hangat di beberapa kalangan di dunia Barat.

Feminisme berkenaan dengan pembebasan perempuan daripada

penindasan oleh kaum lelaki. Dalam istilah yang mudah, feminisme

merupakan kepercayaan kepada kesamaan sosial, politik, dan ekonomi antara

kedua-dua jantina, serta kepada sebuah gerakan yang dikendalikan

berdasarkan keyakinan bahawa jantina harus tidak merupakan faktor penentu

yang membentuk identiti sosial atau hak-hak sosiopolitik dan ekonomi

seseorang. Sebagian besar ahli-ahli gerakan wanita bimbang akan apa yang

dianggapnya sebagai ketaksamaan sosial, politik, dan ekonomi antara kedua-

dua jantina yang memihak kepada kaum lelaki sehingga menjejaskan

kepentingan kaum perempuan; setengah dari mereka memperdebatkan bahwa

Page 11: Kajian maut dan cinta new

11

identiti-identiti berdasarkan jantina, seperti "lelaki" dan "perempuan",

merupakan ciptaan masyarakat. Di bawah tekanan berterusan untuk mengikut

norma-norma kelelakian, ahli-ahli gerakan kewanitaan tidak bersetuju antara

satu sama lain tentang persoalan-persoalan punca ketaksamaan, bagaimana

kesamaan harus dicapai, serta takat jantina dan identiti berdasarkan jantina

yang harus dipersoalkan dan dikritik.

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era

Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley

Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan

Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan

kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu,

perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki

hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik

dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama

dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat

ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di

selatan Belanda.

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis

utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa

ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart

Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun

Page 12: Kajian maut dan cinta new

12

(1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang

Pertama.

Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa

pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan

(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh

kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan

politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam

masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung

ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam

rumah.

Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya

era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII

yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum

perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi

praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari

banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan

"tua" hanya dapat dijabat oleh pria.

Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul

oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Pada

tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul

"Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman)

Page 13: Kajian maut dan cinta new

13

yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari .

Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik

perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya

perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam

pendidikan, serta hak pilih.

Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup

mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan

di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut

sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood). Pada

tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan

mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan

diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.

Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene

Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di

Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di

Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the

Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak

didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Banyak feminis-individualis kulit putih,

meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-

perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran

mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua

Page 14: Kajian maut dan cinta new

14

bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di

masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena

adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem

yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta

sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima

nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa.

Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara

kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih

jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat

patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada

laki-laki (Ratna, 2004 : 186). Betty Friedan menyatakan menentang

diskriminasi seks di segala bidang kehidupan : sosial, politik, ekonomi,

dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin

membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran

yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan

tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi

perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49).

Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam

melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang

memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati.

Sedangkan ungkapan masculine-feminine merupakan aspek perbedaan

psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184). Kaum feminis radikal-

Page 15: Kajian maut dan cinta new

15

kultural menyatakan bahwa perbedaan seks atau gender mengalir bukan

semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah

keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal

(Tong, 1998 : 71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat

patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai

manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya

(Selden, 1985 : 137).

Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi

sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202). Masyarakat

patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan

laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan

perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-

laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal

menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah”

dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya

untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender.

Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin

biologis seseorang. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender

yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih

sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik,

ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu,

ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong,

Page 16: Kajian maut dan cinta new

16

1998 : 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam

akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan

subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan

perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki.

Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh

nilai-nilai kutural dan bukan oleh hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan

dan teori feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan

perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok “yang lain”, yang termajinalkan

dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan

laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan

masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara

kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan

dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain

tuntutan emansipasi.

Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan

ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis.

Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu

masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada

kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut

mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan

psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi

ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba

Page 17: Kajian maut dan cinta new

17

kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit

budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang

akan membebaskan manusia dari masyarakat irasional. Studi kultural juga

mempersoalkan hubungan antara budaya dan kekuasaan yang

mempertanyakan konsep-konsep konvensional menyangkut kebenaran,

nilai, kesatuan, dan kestabilan.

Oleh karena itu, karya sastra akan dilihat sebagai teks yang merupakan

objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang

beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan

budaya di mana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi (Cavallaro, 2001 :

109-110). Jadi, teks bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau

dengan kata lain, teks bersifat intersubjektif. Artinya teks tergantung

pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang diajukan orang lain dalam

kode-kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian

disahkan atau ditolak (Cavallaro, 2001 : 110-111). Julia Kristeva dan Roland

Barthes menyatakan bahwa teks dibentuk oleh kode-kode dan konvensi-

konvensi budaya serta mewujudkan ideologi tertentu.

Lebih jauh Kristeva dan Barthes memperlihatkan hubungan antara

teks dan tubuh, memperlihatkan keterkaitan antara tekstualitas dan

fisikalitas. Kristeva memperkenalkan symbolic, yaitu tanda-tanda yang

dihubungkan dengan simbol-simbol kekuasaan dominan dan menekan

tubuh dengan menundukkan dorongan-dorongan pada hukum abstrak.

Page 18: Kajian maut dan cinta new

18

Secara seksual, simbolik memapankan perbedaan-perbedaan yang ketat

antara maskulinitas dan feminitas, heteroseksual dan homoseksual; secara

kultural, simbolik mengharuskan individu-individu untuk patuh pada

struktur politik, agama, kekeluargaan, hukum, dan ekonomi (Cavallaro,

2001 : 120-121).

Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramci mengidentifikasikan

mekanisme-mekanisme yang memungkinkan sebuah sistem dalam

mempertahankan kekuasaannya. Hegemoni berkembang dengan cara

meyakinkan kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima

sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok yang

berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan

melekat dalam kehidupan manusia. Kaum perempuan, juga kaum gay dan

kaum kulit berwarna, dipandang menyimpang dari norma-norma

patriarkal, heteroseksual, dan masyarakat kulit putih.

Perempuan dipandang sebagai Liyan berdasarkan jenis kelamin

biologisnya, posisi gendernya dalam suatu budaya, serta berdasarkan latar

bealkang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan kemampuan serta

ketidakmampuan fisik maupun psikologisnya (Cavallaro, 2001 : 223-224).

Norma-norma serta nilai-nilai moral dan budaya yang hidup dan dianut di

dalam suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya

sastra, karena karya sastra lahir dari suatu masyarakat, karena karya

sastra ditulis untuk menggambarkan suatu masyarakat, suatu dunia luar.

Page 19: Kajian maut dan cinta new

19

Studi kultural digunakan untuk melihat dan kemudian memahami nilai-

nilai budaya yang hidup dalam suatu masyarakat sebagaimana tercermin

dalam karya sastra.

2.2 Teori Feminis Marxis-Sosialis

Konsep Marxis atas sifat manusia adalah manusia menciptakan cara

sendiri untuk dapat tetap hidup. Manusia menciptakan dirinya dalam proses

yang sengaja, atau yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk

mentransformasi dan memanipulasi alam.

Dalam suatu doktrin yang biasanya yang diberi istilah materisalisme

historis, Marx menegaskan, “Modus produksi dari kehidupan sosial

mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik, dan

intelektual. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka,

melainkan eksistensi sosial menentukan kesadaran mereka”.

Komentar bahwa ”Pekerjaan perempuan tidak pernah selesai” bagi feminis

Marxis adalah lebih dari sekedar afomisme, komentar itu merupakan

gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Karena itu feminis Marxis percaya

bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki

tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan

perempuan dan citra diri perempuan.

Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan

perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga

sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme

adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan

Page 20: Kajian maut dan cinta new

20

mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi pekerja untuk bekerja

lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang

diperjualbelikan).

Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan

majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil

oleh pekerja. Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja

harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali.

Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat bahwa pada kondisi

dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual lagi lebih dari

dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas.

Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis

menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara 2 kelompok yaitu pekerja

(miskin dan tidak memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan).

Ketika dua kelompok ini, yang punya dan yang tidak, menjadi sadar akan

dirinya sebagai kelas maka perjuangan kelas secara tidak terhindarkan akan

menimbulkan dan pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan kelas

ini.

Kelas tidak begitu saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan

dibentuk oleh orang-orang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama.

Pentingnya kelas tidak dapat diabaikan. Ketika sebagai kelompok manusia

menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai kelas, kelompok ini mempunyai

kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan fundamentalnya. Ada kekuatan

dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi

Page 21: Kajian maut dan cinta new

21

untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama

seperti orang-orang yang mengeksploitasinya.

Allen Wood dalam bukunya Karl Marx mengungkapkan pembagian kelas

dapat menimbulkan kebencian dan sifat yang tersegmentasi serta

terspesialisasi dari proses kerja, dimana eksistensi manusia akan kehilangan

kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu pertama, manusia

teralienasi dari produk kerja, kedua teralienasi dari diri mereka sendiri, ketiga

teralienasi dari manusia lainnya dan keempat teralienasi dari alam.

Ann Foreman berpendapat, jika alienasi pada perempuan sangatlah

mengganggu karena perempuan mengalami dirinya bukan sebagai Diri,

melainkan sebagai Liyan. Karena itu, feminis Marxis ingin menciptakan dunia

tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh,

sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagai orang

yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu membuat keluarga

atau temannya bahagia.

Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang

memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang

mengopresinya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat

bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang

memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya

secara penuh.

Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, menekankan

bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian

Page 22: Kajian maut dan cinta new

22

hidup di dalam rumah tangga si perempuan, Engels memaknai keadaan ini

bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda

kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi bahwa masyarakat

berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal,

masyarakat  yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi,

sosial, dan politik. Point utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di

masa lalu, status itu diperoleh dari posisinya di dalam rumah tangga, pusat

produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang

melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan

jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru.

Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan

saja nilai dan pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status

perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga baru

inilah, menurut Engels, suami berkuasa  atas dasar kekuatan ekonominya. 

Menurut Margareth Benston, perempuan pada awalnya adalah produsen

dan hanya merupakan konsumen sekunder.  Sesungguhnya perempuan

merupakan kelas yaitu kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi

nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan

keluarga.  Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan

rumah tangga. Menurut Benston, memberikan peluang bagi seorang

perempuan untuk memasuki industri publik tanpa secara bersamaan

mensosialiasikan pekerjaan domestik berarti menjadikan kondisi perempuan

lebih teropresi.

Page 23: Kajian maut dan cinta new

23

Feminis sosialis pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis

Marxis atas pemikiran Marxis yang buta gender dan kecenderungan Marxis

untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh di bawah pentingnya

opresi terhadap pekerja. Feminis sosialis mengklaim bahwa kapitalis tidak

dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan

material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi

mereka juga berubah. Perempuan harus menjalani dua perang, untuk dapat

terbebas dari opresi.

Seorang feminis sosialis kontemporer, Iri Young mentransformasi teori

feminis Marxis menjadi teori feminis sosialis yang mampu membahas seluruh

kondisi perempuan yaitu posisi perempuan di dalam keluarga dan tempat

kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan, dan juga peran produktif

perempuan.

Allison  Jaggar seorang feminis sosialis berpendapat dalam

bukunya  Feminist Politics and Human Nature, dengan cara yang sama

seorang buruh dialienasi atau dipisahkan dari produk yang dihasilkannya,

tubuhnya.  Buruh juga perlahan-lahan teralienasi dari tubuhnya, tubuhnya

mulai terasa seperti benda semata, sekedar mesin untuk mengeluarkan tenaga

untuk bekerja.  Motherhood, seperti seksualitas juga merupakan

pengalaman  yang mengalienasi perempuan. Perempuan dialienasi

dari  produk pekerjaan reproduksinya, ketika orang lain yang menentukan,

memutuskan, tentang berapa banyak anak yang akan dikandung dan

dilahirkannya. Jaggar menekankan, perempuan harus memahami bahwa di

Page 24: Kajian maut dan cinta new

24

dalam struktur  patriakal kapitalis abad 20, opresi terhadap perempuan

terwujud dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang,

terutama dirinya sendiri. Hanya jika perempuan memahami sumber

sesungguhnya dari ketidakbahagiaannya mereka, perempuan akan berada di

dalam posisi untuk melawannya.

Feminis Marxis beranggapan bahwa opresi  di tempat kerja lebih utama

daripada opresi perempuan. Kelas lebih penting daripada gender, karena itu

feminis Marxis  tidak melihat adanya opresi yang dapat terjadi pada

perempuan pekerja di tempat kerja. Teori feminis marxis cenderung buta

gender. Teori feminis Marxis belum menjelaskan secara lengkap opresi yang

terjadi di dalam keluarga (terhadap istri, anak dan suami), sebagai akibat dari

posisi mereka sebagai pekerja di tempat kerja.

Kekuatan teori feminis Marxis, melihat  tingkatan opresi dari berbagai

sudut politik, masyarakat, ekonomi dan tentang manusia. Cita-cita Marxis

untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan

dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh dan terintegrasi bukan

terfragmentasi. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan

dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar opresi yang sama

sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama.

Feminis sosilais tidak  menekankan peran ras dan umur  yang bermain

dalam sistem kesejahteraan sebagai hal yang dapat menjadi alasan opresi

terhadap perempuan, sebagai contoh pada ras dan umur perempuan afrika

yang harus melewati rintangan birokrasi yang panjang .

Page 25: Kajian maut dan cinta new

25

Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang opresi perempuan di dalam

keluarga dan posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarki, bukan

semata-mata karena sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika

sistem patriarki turut dihancurkan. Perlu adanya revolusi Marxis untuk

menghancurkan masyarakat kelas dan revolusi feminis untuk menghancurkan

sistem sex atau gender ( Juliet Mitchel dalam bukunya Woman’s state).

Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan

sama dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang ”membentuk”

mereka seperti sekarang, artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan

adalah bagian dari masyarakat yang  ”dibentuk” oleh laki-laki dan masyarakat

patriakal yang menyebabkan perempuan teropresi dari dunia kerja dan di

dalam keluarga. 

 Masyarakat patriakal menjadikan perempuan sebagai alat produksi, laki-

laki sebagai pemilik  atau pengguna alat. Kapitalis adalah laki-laki, yang

memiliki cara pandang maskulin. Sehingga menyebabkan perempuan dalam

masyarakat kapital hanya sebagai objek pekerja, laki-laki sebagai majikan

melihat hasil produksi perempuan di luar rumah (publik) dan di dalam rumah

sebagai barang yang tidak bernilai  guna.  Secara sosial, ekonomi dan pilitik,

laki-laki menyebabkan perempuan teropresi.

Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi

perempuan usaha kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat

memungkinkan perempuan sebagai  pengelola usahanya (manajer) menjadi

majikan terhadap usahanya sendiri. Namun  sistem patriakal  dan cara

Page 26: Kajian maut dan cinta new

26

pandang laki-laki yang belum berubah, membawa panderitaan baru bagi

perempuan, dimana laki-laki sebagai suami (bukan pengelola usaha) justru

bertindak sebagai majikan dan pengelola usaha bagi usaha yang dijalankan

istrinya (perempuan). Laki-laki tetap memposisikan perempuan sebagai istri,

yang dapat diatur menurut kehendak nya. Kepemilikan aset  (usaha) adalah

milik  istri namun penguasaannya berada di tangan suami (laki-laki).

Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya.

Dalam pengambilan keputusan tentang barang yang akan di jual dan hasil

dari usaha,  juga masih ditentukan dan diatur oleh laki-laki. Perempuan usaha

kecil tidak memiliki akses dan kontrol. Kondisi ini diperparah dengan sistem

nilai patriakal yang turut  dianut oleh negara dalam bentuk akses kredit pada

perbankan, dimana perempuan yang memiliki dan mengelola sendiri

usahanya, tetap tidak dapat mendapatkan pelayanan kredit jika akan

mengakses haknya, kecuali atas persetujuan suami.  

Walaupun perempuan menjadi tulang punggung keluarga secara ekonomi,

namun tidak dapat menjamin hak-haknya dapat terpenuhi secara utuh. Hak

atas tubuhnya pun, dalam hal ini hak reproduksi untuk menentukan kehamilan

dan jumlah anak,  ditentukan oleh suami dan dokter (laki-laki ). Perempuan

tidak memiliki akses dan kontrol terhadap reproduksinya.  Istri teralienasi dari

produk pekerjaan reproduksinya.

Sebagai perempuan pekerja, pengelola usaha mandiri, perempuan

seharusnya berhak utnuk mengmbnagkan usahanya dengan berjejaring dengan

perempuan dan masyarakat lainnya,  namun hak perempuan untuk

Page 27: Kajian maut dan cinta new

27

mendapatkan akses informasi, hak untuk berkumpul dan berorganisasi , yang

telah dijamin negara dalam pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945, tidak dapat

terimplementasi . Sistem sex/gender yang telah berakar di dalam msyarakat,

keluarga dan negara, menjadikan UUD tersebut hanya sebagai penghias

sistem ketatanegaraan.

Peran dan posisi perempuan di dalam rumah tidak akan berubah jika cara

pandang laki-laki, masyarakat, perempuan lainnya dan negara tetap dengan

cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Akses dan kontrol

perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua bidang kehidupan. Rumah,

keluarga, masyarakat, media dan negara bertanggungjawab terhadap setiap

penderitaan yang dialami oleh perempuan. Patriarki yang menyebabkan

sistem sex atau gender yang tidak adil dan setara harus dihancurkan.

Page 28: Kajian maut dan cinta new

28

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Konsep Dasar

Feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan

teropresi, sementara laki-laki tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan

antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.

Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan

sama dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang ”membentuk”

mereka seperti sekarang, artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan

adalah bagian dari masyarakat yang  ”dibentuk” oleh laki-laki dan masyarakat

patriakal yang menyebabkan perempuan teropresi dari dunia kerja dan di

dalam keluarga. 

Terdapat banyak aliran dalam teori feminisme yang dibagi atas tiga

gelombang, yaitu:

1. Gelombang awal a. Feminisme liberal. Aliran ini yang menungkapkan

stereotype bahwa perempuan itu lemah dan hanya cocok untuk urusan

keluarga. Menekankan pada hak individu serta kesempatan yang sama

karena perempuan dan laki-laki itu sama. Menuntut perubahan kebijakan

dengan melibatkan perempuan duduk sebagai pengambilan kebijakan. b.

Feminisme radikal. Memfokuskan pada permasalahan ketertindasan

perempuan (hak untuk memilih adalah slogan mereka). c. Feminisme

marxis/sosialis. Perbedaannya bila sosialis menekankan pada penindasan

Page 29: Kajian maut dan cinta new

29

gender dan kelas, marxis menekankan pada masalah kelas sbg penyebab

perbedaan fungsi dan status perempuan.

2. Gelombang kedua a. Feminisme eksistensial. Melihat ketertindasan

perempuan dari beban reproduksi yang ditanggung perempuan, sehingga

tidak mempunyai posisi tawar dengan laki-laki. b. Feminisme gynosentris.

Melihat ketertindasan perempuan dari perbedaan fisik antara laki-laki dan

perempuan, yang menyebabkan perempuan lebih inferior dibanding laki-

laki.

3. Gelombang ketiga a. Feminisme postmoderen. Postmoderen menggali

persoalan alienasi perempuan seksual, psikologis, dan sastra dengan

bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem. b. Feminisme multicultural.

Melihat ketertindasan perempuan sebagai “satu definisi”, dan tidak melihat

ketertindasan terjadi dari kelas dan ras, preferensi sosial, umur, agama,

pendidikan, kesehatan, dsb. c. Feminisme global. Menekankan

ketertindasannya dalam konteks perdebatan antara feminisme di dunia

yang sudah maju dan feminisme di dunia sedang berkembang. d.

Ekofeminisme. Berbicara tentang ketidakadilan perempuan dalam

lingkungan, berangkat dari adanya ketidakadilan yang dilakukan manusia

terhadap non-manusia atau alam.

3.2 Analisis Citra Diri Perempuan Dalam Novel “Maut dan Cinta”

Karya Mochtar Lubis

Page 30: Kajian maut dan cinta new

30

Dalam novel yang bertajuk mengenai kondisi kemerdekaan Indonesaia,

Lubis mengangkat judul “Maut dan Cinta”. Dalam karyanya, Beliau menceritakan

tentang seorang tokoh utama yang bernama Sadeli, yang berjuang

mempertahakankan kemerdekaaan Indonesia. Dalam perjalanannya, Sadeli

bertemu dengan banyak orang, termasuk wanita.

Banyak sekali wanita yang Sadeli jumpai dalam usahanya membeli

senjata, pesawat, radio, dan kapal bagi Indonesia. Barang-barang tersebut

dibutuhkan Indonesia untuk mempertahakan kemerdekaannya. Setelah Indonesia

menyatakan kemerdekaanya, pihak penjajah yakni Belanda tidak terima begitu

saja, meskipun mereka mengakui kemerdekaan Indonesia, namun ada usaha dari

mereka untuk melancarkan agresi kembali. Untuk itulah Sadeli diutus oleh

pemerintah Indonesia membeli barang-barang yang dibutuhkan bagi media

informasi dan media keamanan.

Wanita-wanita yang dijumpai Sadeli dalam perjalanannya adalah wanita-

wanita tangguh yang berasal dari kelas pekerjaan berbeda, ada wanita yang

berprofesi sebagai tuna susila (Mai Sung dan Rita Lee), ada juga yang berprofesi

sebagai pengusaha dan seniman (Maria), ada juga yang berprofesi sebagai ibu

rumah tangga (Sheila istri Derek Scott), dan ada juga sebagai wanita single (Nani,

kekasih Ali Nurdin, teman sekinerja Sadeli). Masing-masing dari wanita tersebut

memiliki karakter yang berbeda. Sesuai dengan teori feminis sosial, citra diri

perempuan dapat dianalisis dari pekerjaannya. Tiap pekerjaan yang dilakukan

oleh wanita, kurang lebihnya akan membangun karakter diri wanita. Citra dari

Page 31: Kajian maut dan cinta new

31

seorang perempuan dapat dilihat dari apa yang dilakukannya. Berbagai macam

karakter perempuan dapat kita temukan dalam novel “Maut dan Cinta”. Ada

banyak kutipan yang menjelaskan perilaku Sadeli terhadap wanita-wanita yang

pernah ia jumpai dalam cerita ini, yakni:

1. ...manusia Indonesia menghormati wanita.... (kutipan halaman14)

Dalam novel ini, Sadeli menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia

adalah masyarakat yang menghormati wanita.

2. ... Pertama sekali mempertahankan kemurnian dirinya agar tak

“bergaul” dengan wanita, yang ternyata mudah sekali patah. (kutipan

halaman 10)

Pada awalnya Sadeli memiliki prinsip bahwa ia tidak akan mudah

hanyut dalam pesona wanita. Ia ingin fokus pada usahanya untuk

mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, apa daya dalam

perjalanannya, ia melanggar prinsip yang telah dibuatnya itu.

3. Pada Mai Sung, alangkah menggiurkan panas badannya. (kutipan

halaman 161)

Dalam kutipan ini, Sadeli bertemu dengan wanita tuna susila yang

bernama Mai Sung dan ia pun melakukan hubungan seks bersama Mai

Sung. Wanita tersebut adalah wanita tuna susila sekaligus mata-mata

yang ditugasi oleh Umar Yunus. Umar Yunus adalah orang Indonesia

yang ditugasi membeli perlengkapan senjata di Singapura, namun ia

menggunakan uang negara untuk kepentingannya sendiri. Umar Yunus

curiga terhadap Sadeli, oleh sebab itu ia mengutus Mai Sung.

Page 32: Kajian maut dan cinta new

32

Dalam novel ini, kita dapat melihat karakter Mai Sung, ia adalah

seorang yang patuh kepada orang yang membayarnya. Apapun akan

dilakukan oleh Mai Sung, asalkan ia mendapatkan uang. Karakter

wanita yang tunduk terhadap kaum lelaki. Tak hanya itu saja,ketika

Mai Sung berhubungan intim dengan Sadeli, Sadeli

memperlakukannya kurang baik. Namun, Mai Sung tidak marah,

karena ia tahu itulah pekerjaannya, jadi ia harus menuruti aksi dari

setiap lelaki yang memakainya. Karakter seorang wanita yang patuh

terhadap hegemoni lelaki, diakibatkan karena faktor ekonomi.

4. Dalam pelukan Rita...Dia akan mengirim surat cerai pada istrinya di

Indonesia. Dia akan menetap di Singapura. (kutipan halaman 141)

Dalam novel “Maut dan Cinta”, ada tokoh lain yang juga

terjerumus dalam pesona wanita, yakni Umar Yunus. Umar Yunus

adalah utusan Indonesia untuk membeli senjata di Singapura, namun ia

mengkhianati negaranya dan menggunakan uang negara untuk

memuaskan nafsunya di Singapura. Ia berselingkuh dengan wanita

tuna susila, bernama Rita Lee. Ia membangun rumah, ia membeli

mobil di Singapura. Tak hanya itu,ia juga berniat menceraikan istrinya

di Indonesia agar bisa menikahi Rita Lee. Dalam kehidupan sehari-

hari, Rita Lee adalah seorang yang patuh terhadap Umar Yunus.

Pesona Rita Lee mampu membuat Umar Yunus lupa akan negaranya,

lupa akan keluarganya.

Page 33: Kajian maut dan cinta new

33

5. Sadeli untuk pertama kalinya, selama hidupnya mengalami seorang

perempuan seperti Sheila...Dia heran dan terkejut melihat wanita itu

seperti harimau ganas yang kelaparan.... (kutipan halaman125)

Sheila, adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki kelainan

dalam dunia seks. Sheila pernah menggoda Sadeli untuk melakukan

hubungan intim dan Sadeli pun tak mampu menolak keinginan

tersebut.

6. “Ya selama hidupku aku tak pernah jatuh cinta baru kali ini dengan

Maria. Dan saya sudah cukup tua untuk mengetahui hatiku”. (kutipan

halaman 243)

Setelah cukup lama Sadeli bertemu dengan banyak wanita,

akhirnya ia menemukan tempat pelabuhan hatinya. Selama ini, Sadeli

berhubungan dengan wanita bukan karena cinta, namun hanya nafsu

belaka. Perasaan cinta itu muncul ketika ia bertemu dengan Maria.

Maria adalah gadis yang gemar melukis, ia juga bisa mengolah

perusahaan keluarganya dengan baik. Seorang wanita yang memiliki

citra diri independent, tak ingin bergantung hanya pada kaum pria.

7. “Aku ingin berbuat sesuatu dalam bidang pendidikan untuk wanita”,

kata Nani, “agar wanita Indonesia dapat melepaskan diri dari

keterbelakangannya, dan dapat sejajar dengan pria Indonesia”. (kutipan

halaman 276)

Ada sebuah tokoh dalam novel “Maut dan Cinta”, yang menyatakan

kefeminimannya secara gamblang, tokoh itu tak lain adalah Nani. Nani

Page 34: Kajian maut dan cinta new

34

adalah seorang kekasih dari teman sekinerja Sadeli, yakni Ali Nurdin.

Nani memiliki cita-cita untuk mengangkat harkat dan derajat kaumnya,

kaum wanita. Ia menginginkan wanita tidak lagi dibawah pria, namun

sejajar kedudukannya dengan pria. Namun sayang, sebelum cita-

citanya terwujud, ia meninggal akibat tembakan peluru tentara Belanda

yang menyerang daerah Indonesia.

Melalui kutipan-kutipan tersebut, kita dapat melihat perilaku Sadeli, yang tak lain

adalah seorang pria, yang memperlakukan wanita seenaknya dan banyak di

antaranya hanya dijadikan sebagai objek pelampiasan nafsu. Sadeli melakukan

hubungan intim dengan banyak wanita tanpa status apa-apa, ia mengikuti hawa

nafsunya tanpa pernah mengekangnya. Ia juga bertindak sebagai laki-laki yang

menganggap wanita adalah kaum lemah, kaum di bawahnya. Namun hal itu

berubah, setelah ia bertemu dengan Maria. Maria adalah seorang wanita asal

Macao, yang dinikahi oleh Sadeli. Seorang wanita yan memiliki pekerjaan sebagai

seniman dan pengusaha. Seorang wanita yang memiliki citra diri berkelas. Wanita

yang tidak mau dianggap sepele oleh kaum pria.

Tidak hanya Sadeli, teman sekinerjanya Ali Nurdin juga mendukung cita-

cita kekasihnya yang ingin mengangkat harkat dan martabat wanita indonesia agar

sejajar dengan kaum Pria. Bahkan Ali menyatakan rasa bangganya terhadap cita-

cita Nani dan siap membantu untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Banyak tokok

wanita pada novel ini yang berperan baik dalam membantu kesuksesan pria.

Seperti kata mutiara “di balik kesuksesan pria, ada wanita di baliknya”.

Page 35: Kajian maut dan cinta new

35

BAB IV

KESIMPULAN

Sastra menyebarkan berbagai pesan kepada masyarakat yang secara

keseluruhan disebut pesan kebudayaan. Karya sastra seperti juga kebudayaan

memiliki manfaat untuk meningkatkan kehidupan manusia. Karya sastra berfungsi

menampilkan kembali realitas kehidupan manusia agar manusia dapat

mengidentifikasikan dirinya dalam menciptakan kehidupan yang lebih bermakna.

Karya sastra memang tidak secara langsung mendidik pembacanya, namun

karya sastra menampilkan citra energetis yang secara langsung berpengaruh

terhadap kualitas emosional, yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas

lain, misalnya pendidikan, pengajaran, etika, budi pekerti, dan sistem norma yang

lain.

Dalam karyanya yang berjudul “Maut dan Cinta”, Lubis ingin

menyampaikan banyak hal, yakni: sikap untuk mengenang kembali kemerdekaan

Indonesia, menghargai jasa para pahlawan, dan siap untuk melanjutkan

perjuangan agar Indonesia menjadi bangsa yang berbudi luhur, makmur, dan

sejahtera bukan seperti sekarang ini, sikap untuk menghragai wanita, bagaimana

cara memperlakukan wanita dan bagaimana menjaga kesetiaan kita terhadap

bangsa dan orang yang kita sayangi. Tak hanya itu saja, Lubis juga ingin

Page 36: Kajian maut dan cinta new

36

menyampaikan bahwa di mata Tuhan wanita dan pria itu sama saja,jangan pernah

menganggap wanita adalah kaum yang lemah atau kaum di bawah pria yang bisa

diperlakukan sesuka hati. Hal itu dapat menganggu mobilitas sosial Bangsa

Indonesia. Alangkah baiknya juga, jika setiap wanita meningkatkan kembali

integritasnya.

Dalam kehidupan suka dan duka akan berjalan beriringan, namun jangan

biarkan hal itu membuat kita jatuh. Semua itu adalah bagian dari kehidupan,

sebuah warna untuk menyemarakkan kehidupan. Biarakan rasa syukur

menyelimuti kita dalam setiap keadaan. Berjalan dari setiap pengalaman, akan

membuat kita semakin kaya akan makna kehidupan. Sastra adalah karya yang

melengkapi kehidupan insan manusia. Satra menyajikan banyak hal dari

kehidupan nyata yang kemudian dicampur dengan imajinasi.

Novel ini juga mengandung banyak pesan yang ingin disampaikan bagi

kehidupan manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Pesan-pesan tersebur antara

lain: bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menjaga kemerdekaan bangsanya,

bangsa yang membantu memajukan kesejahteraan rakyatnya bukan mengkorupsi

uang negara, kepentingan kelompok alangkah baiknya didahulukan daripada

kepentingan individu, untuk kaum pria, agar lebih menghargai wanita dan untuk

wanita, jangan biarkan harga diri kalian terinjak-injak dengan perilaku pria yang

tidak menghargai kaum wanita, jangan lemah, jadikan diri Anda menjadi wanita

yang tangguh yang mampu memberikan sumbangsih positif kepada bangsa dan

negara.

Page 37: Kajian maut dan cinta new

37