Fs 19 Bayangan Maut

download Fs 19 Bayangan Maut

of 90

Transcript of Fs 19 Bayangan Maut

  • R.L. Stine Bayangan Maut - Sunburn (Fear Sreet #19) Kulit Coklat Sempurna... Atau pembunuhan sempurna? Sumber pdf: Ebukulawas Convert & Re edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu Chapter 1 TERKUBUR HIDUP-HIDUP CLAUDIA WALKER perlahan-lahan mengapung ke permukaan kesadaran dari tidurnya yang lelap. Ia merasakan sesuatu yang sejuk dan lembap membungkus dada dan kakinya. Ia bisa mencium bau udara asin lautan. Di kejauhan didengarnya ombak berdebur pecah di pantai. Ia ingin hanyut kembali dalam tidur, tapi tidak bisa. Wajahnya terbakar. Ia mencoba membuka mata, tetapi keduanya terasa bengkak tertutup. Ia berusaha duduk. Namun ada sesuatubeban yang tebal dan beratmenindihnya. Matanya terbuka secelah dan ia melihat lalat-lalat berdengung di seputar gundukan rumput laut kering dekat kepalanya. Seekor agas terbang berkelok-kelok melintasi pasir. Agas itu berdengung ke arahnya, matanya yang hijau bergerak-gerak. Tungkainya yang kurus, berambut, menyentuh dagu Claudia. Agas itu terus-menerus bergerak, mondar-mandir di bibirnya. Claudia mencoba menebahnya, tapi tak mampu mengangkat tangan. Ia berjuang untuk bergerak sementara agas itu merayapi pipi menuju ke matanya yang bengkak. Terik matahari siang mendera. Claudia menjilati bibir. Bibir itu melepuh dan pecah-pecah. Kerongkongannya kering terpanggang, dan terasa nyeri bila menelan. Kenapa aku tak bisa bergerak? Apakah yang menahanku? Akhirnya Claudia memaksa matanya membuka penuh. Segunung pasir menimbun dirinya. Sekujur tubuhnya berbaring terkubur di bawah

  • pasir tersebut. Selama ini aku terkuburterkubur hidup- hidup! Ia tersadar, gelombang perasaan panik melonjak dalam dadanya. Dengan usaha sekuat tenaga ia mengangkat kepala cukup tinggi untuk melihat gelombang air laut merayap kian dekat. Pasang akan segera tiba, Claudia tersadar. Aku harus bangun. Harus keluar. Atau aku bakal tenggelam! Ia mendongakkan kepala ke belakang, pada pasir panas, dan mengeluarkan seruan minta tolong. Suaranya parau. Kerongkongannya yang kering terasa nyeri. Tak ada balasan. "Apakah ada orang di sini?" Claudia menjerit. "Adakah yang bisa menolongku?" Seekor burung camar terbang tinggi di atas, pekiknya mengejek Claudia. Terik matahari memanggangnya. Claudia berjuang keras untuk sekadar menarik bebas satu tangan. Namun panas telah menghabiskan tenaganya. Sudah berapa lamakah aku tertidur di sini? Sudah berapa lamakah aku terkubur? Di manakah kawan-kawanku? Pelipisnya mulai berdenyut-denyut. Selagi matanya terangkat, melihat ke langit yang terang benderang dan tak berawan, ia merasa pusing. Ia bergulat untuk mengangkat tangan dan kakinya dari tindihan pasir. Tapi percuma. Jantungnya berdebam berat dalam dada. Keringat bercucuran pada kening. Ia berteriak lagi. Tak ada jawaban. Hanya debur ombak dan pekik melengking burung camar di atas kepala. "Tak adakah yang bisa mendengarku?" Ia tahu jika kawan-kawannya sudah kembali ke rumah itu, mereka tidak akan pernah mendengarnya. Dengan menjulurkan leher panjang-panjang, ia bisa melihat tangga kayu curam yang menuju ke rumah itu, sepanjang permukaan tebing setinggi delapan belas meter. Rumah itu sendiri memiliki dinding-dinding batu yang tebal, seperti dinding benteng. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya dari atas sana. Tak ada seorang pun yang akan datang. Bagaimanapun, ia berteriak juga.

  • CHAPTER 2 BAYANGAN MAUT CLAUDIA SAYANG, Apa kabar nih? Aku tahu ini mendadak, tapi aku mengundangmu untuk reuni tahunan pertama Bunk 12 Camp Full Moon. Kita berempat cuma sempat berkumpul sebentar musim panas lalu, jadi kupikir betapa menyenangkan jika kita berkumpul lagi dan mengobrol. (Tak seorang pun di antara kita yang hebat dalam urusan menulis surat, terutama aku). Orangtuaku akan pergi selama minggu pertama bulan Agustus. Mereka menyuruhku mengundang beberapa teman untuk berlibur di rumah musim panas kami di pantai, agar aku tidak kesepian. Jadi bagaimana, Claud? Dapatkah kau datang? Cuma kita berempat dari Bunk 12 kau, aku, Sophie, dan Joy. Aku harap kau akan melewatkan musim panas yang amat membosankan di Shadyside, sehingga kau akan mengatakan iya. Aku janji di sini tidak akan membosankan! Datanglah! Marla Gara-gara surat itulah maka Claudia berada di pantai yang terpencil ini. Walaupun terkejut oleh undangan Marla tersebut, Claudia langsung menerimanya. Selama itu liburan musim panasnya menyebalkan. Ia putus dengan Steve, pacarnya selama dua tahun, sesudah pertengkaran konyol pada Hari Kemerdekaan. Seminggu sesudahnya ia kehilangan pekerjaan musim panas sebagai pelayan ketika rumah makan itu tutup. Sungguh menyenangkan berjumpa kembali dengan gadis-gadis itu, pikir Claudia saat berdiri di beranda rumahnya di Fear Street, sambil membaca dan membaca lagi undangan Marla. Musim panas lalu mereka menghabiskan tiga minggu bersama-sama dan jadi sungguh akrab. Mereka melewatkan banyak saat-saat indah bersama, tertawa bersamahingga kecelakaan itu.... Sambil masih menggenggam erat undangan itu dalam tangannya, Claudia bergegas masuk ke dalam rumah, memberitahukan soal itu kepada ibunya, dan buru-buru ke kamar untuk menelepon Marla. "Aku sudah tak sabar untuk bertemu denganmu!" ia berseru. "Dan rumah musim panasmu. Aku ingat kau melukiskannya sebagai rumah yang sungguh besar."

  • "Tempat itu cuma sebuah pondok tua," gurau Marla. "Kurasa kau akan nyaman di sana." *** Dua minggu kemudian Claudia berada di atas kereta api, menuju Summerhaven. Ia membekal buku untuk dibaca dalam perjalanan panjang itu. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menatap ke luar jendela, memikirkan Marla dan lainnya serta kebersamaan mereka yang singkat selama perkemahan. Empat setengah jam kemudian Claudia melangkah turun ke peron kayu di Summerhaven, menyipitkan mata dalam terpaan cahaya matahari yang menyilaukan, dan melihat Joy dan Sophie berdiri di samping setumpuk kecil koper. Joy membawa sebuah tas manis rancangan desainer. Sophie membawa empat buah tas yang tak secorak, masing-masing menggelembung padat. Claudia terpaksa tertawa. Ini sungguh mirip seperti saat berkemah dulu, ketika Sophie tiba dengan dua koper penuh pakaian dan sebuah ransel padat dengan kosmetik. Ia menjelaskan bahwa ia tidak pernah bisa memutuskan mana yang tidak usah dibawa. Saat Claudia melambaikan tangan dan beranjak ke arah mereka, sebuah Mercedes perak mengilat meluncur ke stasiun. Marla melompat keluar dari sisi pengemudi, membiarkan pintunya terbuka, dan berlari memeluk Joy dan Sophie. Dari seberang peron panjang itu, Claudia mengamati dengan kagum penampilan baru Marla. Ia tampak lebih tinggi dan lebih ramping lagi. Rambut pirang-stroberinya tumbuh panjang, dan ia tampak gaya dalam setelan atas warna pirus dan celana tenis putih. Joy tampak eksotis seperti biasa. Ia memiliki mata hijau agak sipit, kulit zaitun, bibir penuh berwarna gelap, dan rambut hitam lurus tergerai di punggung hampir mencapai pinggang. Claudia melihat Sophie pun tidak berubah. Ia masih yang paling pendek di antara mereka berempat, dengan rambut keriting kecil-kecil berwarna cokelat, terpangkas pendek di atas wajahnya yang bundar. Ia mengenakan kacamata berbingkai kawat untuk memberikan kesan lebih dewasa dan lebih canggih, tapi Sophie tetaplah kelihatan seperti umur dua belas tahun. Joy adalah yang pertama melihat Claudia. "Claud!" ia berseru, cukup keras untuk membuat setiap orang di stasiun itu menoleh melihatnya. Sebelum Claudia bisa menjawab, Joy sudah berlari ke arahnya dan melingkarkan tangan memeluknya. Ia memeluk Claudia seolah-olah mereka dua bersaudari yang sudah lama hilang. Sophie mendekat dan memberikan pelukan singkat. Sambutannya sopan dan tenang, dan entah bagaimana terasa lebih tulus.

  • Marla memberi Claudia satu pelukan cepat dan berkata, "Ayo berangkat. Aku tidak boleh parkir di sini." Beberapa saat kemudian mereka meluncur melintasi kota pantai kecil Summerhaven, sambil bersandar pada tempat duduk kulit empuk dan memandang keluar dalam kesejukan AC Mercedes tersebut. Marla mengemudikan mobil melewati papan trotoar pasir serta toko-toko kecil di tepi pantai yang menjual perlengkapan berselancar dan memancing, kemudian melewati beberapa blok bungalo musim panas. Bungalo-bungalo itu kemudian digantikan dengan rumah-rumah yang lebih besar dan kemudian daerah yang sama sekali tanpa rumah. "Marla," kata Sophie, "Aku kira keluargamu tinggal di Summerhaven." "Tidak," Marla menjawab, matanya menatap jalan sempit itu. "Rumah kami di Point, sekitar lima belas mil dari kota. Kami cuma memakai kantor pos Summerhaven." Jalan itu berkelok melintasi bukit-bukit pasir yang tinggi dan tertutup rumput. Jauh di balik bukit-bukit pasir itu, Claudia bisa mendengar suara gemuruh lautan yang lembut, tak terputus. "Bagian pantai ini seluruhnya adalah daerah yang dilindungi," Marla menjelaskan. "Cagar alam untuk burung." Bermil-mil mereka melintasi cagar alam tersebut. Sesudah keluar dari sana, jalannya makin menyempit lagi, jadi jalan berbatu yang sekadar cukup lebar untuk satu mobil. Claudia terengah keras ketika sekonyong- konyong rumah besar keluarga Drexell muncul menjulang di hadapan mereka. Marla pernah memperlihatkan foto-foto rumah tersebut sewaktu berkemah, tetapi foto-foto itu jauh dari memadai untuk melukiskan ukuran ataupun keindahan rumah raksasa itu. Marla membuka gerbang besi dan membawa mobilnya masuk ke halaman berpagar tanaman yang tinggi dan terpangkas apik mengitari tanah tersebut. Pagar hijau tersebut ditanam untuk menyamarkan pagar besi. Rumah dari batu abu-abu itu kini seluruhnya terlihat, berdiri di halaman rumput yang luas dan terawat rapi bak kastil dalam dongeng. Jalan di halaman itu membawa mereka berkeliling menuju ke sisi rumah. Claudia dapat melihat sebuah rumah kaca dengan kubah dari kaca berwarna. Di belakang, sebuah teras lapang menuju ke lapangan tenis, gazebo warna-warni, kebun, kolam renang yang luar biasa besar, dan beberapa bangunan yang lebih kecil. Marla memberitahu mereka seenaknya, "Oh, itu gudang perahu, dan itu gudang peralatan, cabana, kalau-kalau kalian tidak mau ganti pakaian di dalam rumah, gudang tukang kebun, gudang kayu... Bangunan yang lebih besar di belakang rumah sana adalah guest house."

  • "Hei, Marla, kau punya peta?" Joy bergurau. "Butuh waktu satu minggu nih untuk mengenal seluruh bagian di rumahmu ini." "Jangan khawatir," jawab Marla sambil memasukkan mobilnya ke garasi berukuran empat-mobil. "Kita akan tetap bersama-sama. Aku bahagia kalian semua bisa datang. Aku akan selalu memperhatikan kalian." "Kita akan tetap bersama-sama....'' *** Kini, terkubur dalam pasir, dengan ombak yang datang dan pergi, Claudia teringat kata-kata Marla. ''Kita akan tetap bersama-sama...." Tapi di manakah Marla sekarang? Di mana Joy? Di mana Sophie? Bagaimana mereka bisa meninggalkannya terkubur di bawah sengatan sinar matahari? Claudia memejamkan mata. Kerongkongannya nyeri. Wajahnya terbakar. Belakang lehernya terasa gatal, tapi ia tak dapat menggaruk. Air bergulir menyiram pasir, membuat pasir itu tiba-tiba kian berat menindih dada. Gulungan ombak itu semakin dekat. Aku akan terbenam, pikir Claudia. Ia membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam bayangan. Bayangan maut. Bayangan itu makin kelam. Makin kelam. Maut mengurung. Selagi Claudia melakukan pergulatan kalut yang terakhir untuk membebaskan diri, bayangan itu bergulir tanpa suara membungkusnya. Chapter 3 "KECELAKAAN" PERTAMA CUKUP lama barulah Claudia menyadari bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang berdiri di depannya. Mula-mula Claudia melihat kakinya yang telanjang, meneteskan air, pasir melekat pada pergelangannya. Sambil memandang wajahnya, Claudia mengeluarkan seruan pelan terkejut.

  • Matanya yang hitam menatap Claudia. Rambutnya hitam pendek, basah, menempel di kening. Lengannya berotot, disilangkan di depan dada. Ia memakai celana renang panjang, baggy, warna jingga. "Kau butuh bantuan?" ia bertanya pelan. "Ya," jawab Claudia cepat-cepat, sambil berjuang untuk menganggukkan kepala. "Aku-aku tak bisa keluar." Ombak berdebur memukul ke pantai. Air putih, berbuih-buih hampir menyiram ke wajah Claudia. Pemuda itu mulai menggali pasir basah yang berat dengan dua belah tangan. "Bisakah kau bergerak? Apakah kau terluka?" ia bertanya. "Aku dalam perjalanan pulang dari berenang. Aku mendengarmu berteriak. Apakah kau sendirian?" Ia celingukan melihat seputar pantai itu. Claudia berkutat untuk menjawab, tetapi kerongkongannya yang terpanggang terkunci rapat. Ia mengangguk. Pemuda itu sudah menyingkirkan sebagian pasir itu, bekerja cepat, wajahnya yang gelap dan tampan sungguh-sungguh berkonsentrasi. Ia memegang tangan Claudia dan menariknya. "Bisakah kau berdiri?" "Akukurasa bisa," kata Claudia terbata-bata. "Tapi aku agak pusing." "Kau terbakar hebat," kata pemuda itu kepadanya, sambil mengernyit. "Aku rasa, aku tertidur," kata Claudia gemetar, membiarkan pemuda itu menariknya berdiri. "Teman-temanku meninggalkan aku. Aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Aku" Ia berdiri goyah, berpegangan pada tangan pemuda itu, dan menyipitkan mata menahan sinar matahari. Pasir pantai itu putih menyilaukan di bawah terpaan sinar matahari terang benderang, hampir seputih dermaga keluarga Drexell di ujung pantai itu yang baru saja dicat. "Kalau kau tidak datang...." Suara Claudia melemah hilang. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengebaskan pasir basah dari rambutnya yang lurus, pirang kecokelatan. "Bahkan rambutku pun terasa sakit!" serunya. Pasir lembap dan lengket itu melekat pada kulitnya. Sekujur tubuhnya tertutup pasir. Gatal-gatal di semua bagian. Ia mencoba menggaruknya lepas dari dua belah kakinya. "Aku harus mandi," Claudia mengerang. "Apakah kau tinggal di sini? Di rumah keluarga Drexell?" Pemuda itu menunjuk ke sisi tebing. "Yeah." Claudia mengangguk. "Aku akan menolongmu," katanya pelan. "Lingkarkan lenganmu pada pundakku." Claudia mengikuti instruksi tersebut dengan patuh. Di luar perkiraannya, kulit

  • pemuda itu terasa dingin; dari laut, ia tersadar. Ia menggelayut berat padanya. Tubuh pemuda itu begitu sejuk pada kulitnya yang terbakar. Ia sungguh tampan, pikir Claudia di luar kemauan. Dan benar-benar kuat. Ia suka matanya yang hitam. "Aku Claudia," katanya kepada pemuda itu. "Claudia Walker. Aku mengunjungi Marla Drexell." Dengan lengan memeluk pundak pemuda itu, Claudia membiarkan pemuda itu membimbingnya mendaki anak tangga curam pada tebing menuju ke rumah keluarga Drexell. Ia menunggu pemuda itu memberitahukan namanya. "Kau sebaiknya segera membubuhkan sesuatu pada luka bakarmu," katanya. Ia memegang pinggang Claudia, membantunya menaiki anak tangga kayu yang sempit. "Siapa namamu?" tanya Claudia. Pemuda itu sangsi. "Daniel," akhirnya ia menjawab. "Kau tinggal dekat-dekat sini?" tanya Claudia. "Tidak juga," ia berkata, seulas senyum aneh tersungging pada wajahnya. Apakah ia menertawakan aku? Claudia bertanya-tanya dalam hati, merasa sedikit menyesal. Disadarinya bahwa ia ingin Daniel menyukainya. Tapi ia tentu berpikir aku menggelikan, terkubur sampai ke kepala, wajahku terbakar merah seperti lobster! Di puncak tangga itu tegak sebuah gerbang dari ram besi. Claudia meraih gerbang itu dan menariknya. Gerbang berdentang tapi tak bergerak. "Gerbang itu selalu terkunci," kata Daniel kepadanya. "Keluarga Drexell menjaga ketat tanah mereka. Mereka juga punya anjing penjaga." Ia membungkuk dan mencari di antara semak-semak pendek hingga menemukan sebuah kotak besi hitam. Ia menarik tutupnya hingga terlihatlah sebuah kunci elektronis. Claudia mengamatinya menekan sebuah nomor kode pada panel kunci tersebut. Gerbang berdetak, lalu membuka. "Bagaimana kau tahu kodenya?" tanya Claudia sambil melangkah terhuyung di atas rumput. Daniel memperlihatkan senyum misterius. "Aku tahu banyak hal." Merasa lebih kuat, Claudia melangkah cepat melewati lapangan tenis dan kolam renang, menuju ke teras di belakang rumah. Sewaktu mendekati teras, ia melihat Marla di balik kaca pintu geser, parasnya menunjukkan ekspresi terperanjat. Pintu itu bergeser terbuka dan Marla berlari keluar, dalam pakaian tenis putih-putih, diikuti oleh Joy dan Sophie. "Claudiaapa yang kaukerjakan di luar sini?" Marla berseru. "Kami pikir kau ada di atas." "Huh?" Claudia mengembuskan napas. "Kaliankalian meninggalkan aku di sana

  • supaya terpanggang!" "Tidak!" seru Joy. "Sesudah menguburmu, kami pergi jalan-jalan. Ketika selesai, Marla mengatakan bahwa kau sudah kembali ke rumah. Jadi kami juga masuk!" "Aku tak bisa percaya kalian meninggalkanku terkubur dalam pasir itu, dalam keadaan tertidur!" teriak Claudia marah. "Sejujurnya kami tidak melihatmu!" Sophie protes. "Oh. Lihatlah wajahnya," kata Joy, sambil mendecak-decakkan lidah. "Kami tidak tahu kau masih ada di sana. Bagaimana kau kembali ke sini sendiri?" tanya Marla. "Daniel menolongku," kata Claudia kepadanya. "Siapa?" "Kalau saja tidak ada Daniel...." Claudia bergerak dan berpaling untuk memperkenalkan. Tak ada seorang pun di belakangnya. Ia telah lenyap. *** Claudia ditinggalkan terpanggang matahari adalah "kecelakaan" pertama minggu itu. "Kecelakaan" berikutnya tidak terjadi hingga pagi berikutnya. Gadis-gadis itu butuh waktu lebih lama untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil tengah terjadi di rumah besar keluarga Drexell. Sekarang, segala yang bisa Claudia pikirkan hanyalah mengobati wajahnya yang terbakar hebat. Ia mandi dan memakai gaun longgar tanpa lengan warna biru dan kuning. Marla muncul di kamar Claudia dengan sebotol lotion lidah buaya dan satu wadah krim penyejuk kulit. Ia menyuruh Claudia meminum habis satu botol air. "Aku sangat menyesal. Sungguh," ulang Marla terus-menerus. "Aku takkan pernah memaafkan diri sendiri. Ketika kami kembali dari jalan-jalan, kami menempuh jalan setapak lain di bukit-bukit pasir itu. Aku cuma mengira...." "Aku bahkan tidak ingat bahwa aku jatuh tertidur," Claudia berkata, sambil mengernyit tak senang ketika mengamati wajahnya yang merah padam di cermin lemari rias. "Ini pasti gara-gara antihistamin baru yang diberikan oleh dokter alergiku." Ia mengeluh. "Kulitku pasti akan melepuh. Lalu mengelupas gila-gilaan. Aku akan tampak seperti monster!" "Kurasa kau kelihatan hebat," kata Marla dengan nada tak begitu meyakinkan. "Aku suka rambutmu. Kau memanjangkannya?" "Yeah." Claudia menyibakkan rambutnya yang pirang kecokelatan ke belakang. Kemudian ia menggosokkan lebih banyak krim lagi ke wajahnya.

  • "Aku tidak akan pernah berjemur lagi," gumamnya. *** Santap malam disajikan di sebuah ruang makan formal dan luas dengan empat gadis itu duduk berkerumun di salah satu ujung meja panjang berdaun marmer. Sebuah lampu kristal raksasa tergantung rendah di atas bunga hiasan putih-kuning di tengah meja. "Ini agak terlalu mewah buatku," Sophie mengaku, sambil memandang sekeliling ruangan dengan resah. "Kau harus memberitahu garpu mana yang harus kupakai." "Aku rasa tidak perlu," jawab Marla tak acuh. "Kita akan makan cheeseburger dan french fries sebagai santap malam." Mereka semua tertawa. Lucu rasanya makan cheeseburger dan french fries di tengah segala kemegahan itu. "Alfred sedang membakar hamburgernya di teras luar," kata Marla kepada kami. "Setidaknya, kuharap itu betul-betul hamburger. Alfred sangat rabun. Ia bisa saja memanggang anjing dan tidak mengetahuinya!" Sophie dan Claudia tertawa, tapi Joy mengerang dan pura-pura mau muntah. Tiga gadis itu sudah berjumpa dengan Alfred ketika mereka tiba. Ia seorang laki-lagi gemuk setengah baya yang ceria, dengan kepala botak merah jambu dan kumis kecil kelabu bertengger di bawah hidung bulat besar. Ia satu-satunya pembantu yang bertugas selama satu minggu ini, demikian Marla pernah menjelaskan. Lainnya diliburkan oleh orangtuanya. Ia sekarang memasuki ruangan, dengan dua tangan membawa sebuah mangkuk salad perak ukuran besar. "Aku yang akan menghidangkan saladnya, Alfred," kata Marla. "Hamburgernya sudah hampir siap," ia memberitahu Marla, sambil meletakkan mangkuk di atas meja. Sepatunya berderit ketika ia meninggalkan ruangan. Marla berdiri dan mulai mengisi piring-piring keramik dengan salad. "Banyak sekali yang perlu saling kita ceritakan," katanya antusias. "Selama ini aku merindukan kalian, sungguh. Aku minta maaf karena tidak menulis surat lebih sering." Sesudah membagikan piring, Marla duduk kembali di kursinya. Keempat gadis itu mengangkat garpu salad mereka dan mulai makan. "Nah, siapa yang mau mulai dulu?" Marla bertanya, sambil tersenyum. "Siapa yang mau menceritakan hal-hal baru dan menarik dalam hidupnya?" Suasana hening sejenak. "Mengapa semua tidak menjawab berbarengan segera," Marla bergurau sambil memutar mata. Claudia mengunyah seiris mentimun, sambil berpikir keras.

  • Apakah yang bisa ia ceritakan? Tahun ini bukan tahun yang sangat menarik baginya. Ia melontarkan pandangan berkeliling pada yang lain. Sungguh mengejutkan, ia melihat air muka Joy berubah hebat; karena apa, ia tidak tahu. "Joy...." Claudia baru mulai. Akan tetapi suaranya tenggelam oleh jeritan Joy yang melengking tinggi penuh perasaan ngeri. Chapter 4 Cowok Hantu SAMBIL masih menjerit, dua belah tangan menarik-narik rambut, Joy melompat berdiri dari belakang meja. Kursinya terguling ke belakang, berdebuk ribut pada lantai kayu. "Joy, ada apa?" Marla berteriak. "Apa?" Dengan sekujur tubuh gemetar, Joy melepaskan satu tangan dari rambut dan menudingkan jari yang gemetar ke piring saladnya. Claudia membungkuk ke depan dan melihat ke piring itu. Ia memperlihatkan wajah muak ketika menyaksikan seekor ulat cokelat gemuk merayap pada selembar daun selada. Sophie melompat berdiri dan merangkulkan lengan di pundak Joy. "Ada masalah apa? Ada apa?" "Ulat," kata Claudia lirih. "Ulat cokelat besar." Joy menutupi wajah dengan dua belah tangan. "Ma-maaf," katanya terbata-bata. "Aku tidak bermaksud menakut-nakuti kalian. Tapi kau tahu bagaimana aku bisa begitu. Maksudku, kalian tahu aku ada masalah dengan kutu dan ulat." Sophie memeluk Joy lebih erat. Marla berteriak keras memanggil Alfred. "Aku fobia terhadap kutu," Joy mengulangi, "sejaksejak perkemahan itu." Tak seorang pun di antara kami tetap sama semenjak perkemahan itu, pikir Claudia sedih. Tidak sejak kecelakaan musim panas kemarin. Namun ia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Ia ingin menikmati minggu ini, bersenang-senang bersama teman-temandan tidak memikirkan apa yang pernah terjadi musim panas lalu.

  • Alfred datang tergopoh-gopoh ke dalam ruangan, wajahnya yang merah jambu menunjukkan keprihatinan. "Ada masalah, Nona?" "Joy menemukan ulat dalam saladnya," jawab Marla, sambil menunjuk. Mulut Alfred menganga sedetik. Kemudian dengan cepat ia memperoleh kembali ketenangannya. "Saya sungguh menyesal," katanya, sambil buru-buru beranjak mengambil piring tersebut. Ia mendekatkan piring itu ke wajahnya, mencari-cari ulat tersebut. "Daun seladanya tanaman lokal," katanya, dan cepat-cepat menghilang bersama piring itu. Ketika ia sudah pergi, Sophie tertawa. "Apakah itu tadi suatu penjelasan? Bahwa daun selada itu tanaman lokal?" Claudia dan Marla tertawa juga. "Kurasa ulat itu peliharaan lokal pula!" Claudia bergurau. "Kadang-kadang Alfred memang aneh," kata Marla, menggelengkan kepala. "Aku sungguh ingin dia memakai kacamata. Ia tentu akan menghidangkan lebih sedikit ulat seandainya ia melakukannya." Joy membungkuk untuk menegakkan kursinya. Ia sepertinya sudah pulih ketika menarik rambut hitamnya ke belakang dan duduk, matanya yang hijau berpijar hidup. Joy selalu yang paling emosional, paling dramatis dalam kelompok ini, kenang Claudia, sambil mengawasi temannya. Ia kira itulah alasan mengapa ia selalu sangat menyukainya. Joy begitu berbeda dengannya. Claudia begitu tenang, begitu terkendali sepanjang waktu. Aku tidak pernah memperlihatkan perasaan- perasaanku yang sebenarnya, pikirnya. Tenggelam dalam pikiran sendiri, dengan kaget Claudia sadar bahwa Marla baru saja mengajukan pertanyaan kepadanya. "Maaf. Apa yang kaukatakan?" "Aku menanyaimu tentang pemuda itu," Marla mengulangi. "Kau mengatakan sesuatu tentang seorang pemuda yang menggalimu keluar dari pasir." "Yeah, ceritakanlah kepada kami," kata Sophie penuh semangat, sambil mendorong naik kacamata pada hidungnya. "Apakah ada cowok di sekitar sini?" Alfred kembali, membawa sebuah nampan perak besar dengan setumpuk tinggi cheeseburger pedas. Sesaat kemudian ia kembali dengan semangkuk french fries dan bumbu untuk cheeseburgernya. Gadis-gadis itu sudah mulai mengambil makanan sendiri sebelum Claudia menjawab pertanyaan Marla. "Ia mengatakan namanya Daniel. Ia datang untuk berenang, dan kemudian melihatku terkubur di sana." "Datang untuk berenang? Di pantai kami?" Marla berseru, sambil menyipitkan mata. "Bagaimanakah tampangnya?" "Lumayan," kata Claudia. "Tinggi, sangat tampan sebenarnya, dan rambutnya hitam. Perawakannya bagus, kayaknya ia suka berolahraga." "Dan dia mengatakan namanya Daniel?" Marla mendesak.

  • Claudia mengangguk. "Aneh. Aku tak pernah melihatnya di sekitar sini," kata Marla merenung. "Bahkan sesungguhnya, aku tidak pernah menyaksikan ada cowok di pantai kami." "Kau pasti kenal dia," Claudia bersikeras. "Dia tahu nomor kode untuk membuka gerbang belakang." Marla menjatuhkan cheeseburger-nya ke piring. "Hah?" "Dia yang membantuku masuk," tutur Claudia. "Tidak mungkin. Mustahil," Marla bersikeras. Matanya yang biru menyiratkan sedikit ketakutan. "Seorang cowok tak dikenal tahu nomor kode gerbang kami? Sudahlah, Claud. Berapa lamakah kau terjemur matahari?" "Sangat lama, gara-gara kau," balas Claudia, terperanjat oleh kemarahannya sendiri. "Kau berhalusinasi tentang si Daniel ini," kata Marla kepadanya. "Coba halusinasikan satu untukku." Sophie bergurau. Semua tertawa. "Ia nyata," Claudia bersikeras. "Dia menyelamatkan nyawaku." Ia menggigit sepotong cheeseburger. Irisan tomatnya menggelincir keluar dari roti dan jatuh di atas pangkuannya. "Bukan hari keberuntunganku," ia menggumam, berkutat untuk memungutnya. "Tapi tidak ada cowok di sekitar sini," kata Marla penasaran. "Tidak mungkin ada cowok yang tahu kode itu. Tidak mungkin ada cowok yang" Ia berhenti di tengah kalimat dan menyuarakan engahan tertahan, sambil pada saat yang sama mengangkat satu tangan ke mulut. Matanya yang biru membelalak lebar, dan keningnya memunculkan kerutan waswas. "Marla, ada apa? Apakah kau menemukan ulat juga?" tanya Joy cemas, sambil memegangi cheeseburger dengan dua belah tangan di depannya. "Oh, wah," Marla menggumam, tak memedulikan Joy dan pertanyaannya. Marla menggelengkan kepala. "Wah." Ia mengangkat pandangannya ke mata Claudia dan menatapnya lekat-lekat dari seberang meja. "Apa? Ada apa?" tanya Claudia, meraih tangan Marla. "Ia bukan manusia," kata Marla kepadanya dengan bisikan tertahan. "Aku tahu siapa dia, Claud, dan dia bukan manusia." "Marla, apa maksudmu?" "Ia hantu," kata Marla, tangannya gemetar di bawah tangan Claudia. "Ia adalah Cowok Hantu."

  • Chapter 5 Bayang-bayang CLAUDIA tertawa. "Seriuslah, Marla. Cowok itu benar-benar nyata. Ia mengatakan kepadaku namanya Daniel." "Tadinya aku juga berpikir dia nyata," jawab Marla lirih, dan ekspresinya jadi sungguh-sungguh. "Kukira dia sungguh nyata, ketika dulu aku melihatnya. Tetapi tidak. Dia adalah hantu." Mata hijau Joy berbinar hidup. "Maksudmurumahmu ini ada hantunya?" tanyanya. Marla mengangguk dan menunjuk ke jendela tinggi yang menghadap ke belakang. "Kurasa ia tinggal di guest house," katanya kepada Joy. "Di sanalah aku paling sering melihatnya." "Kau sering melihatnya?" tanya Joy. Sophie mendorong piringnya menjauh dan menatap tajam pada Marla di seberang meja. Mulut Claudia tertekuk membentuk seulas senyum skeptis. "Pernah sekali aku melihatnya di lapangan tenis," kata Marla, matanya yang biru berganti-ganti menatap gadis-gadis itu. "Ia memakai pakaian model kuno, warna putih, terkanji licin. Ia memegang raket tenis yang aneh, terbuat dari kayu, kukira. Parasnya menunjukkan perasaan sangat sedih. Aku melambaikan tangan padanya." "Apakah kau main tenis dengannya?" tanya Claudia setengah mengejek. Marla menggelengkan kepala, tak menghiraukan nada pertanyaan Claudia. "Ia berpaling ke arahku dan menyadari bahwa aku bisa melihatnya. Ia menatapku sedetik, dengan ekspresi sedih pada wajahnyakemudian menghilang." Ia menjentikkan jari. "Puuf. Lenyap di udara." Claudia menyipitkan mata dan mengamati Marla. "Kau serius bukan?" katanya. "Ya. Semuanya benar," kata Marla padanya. "Tapi cowok itu pasti nyata!" Claudia membantah. "Dia menggali pasir itu dengan tangannya. Dia menarikku berdiri. Aku menyentuhnya, Marla. Aku memeluk pundaknya. Pundak yang kokoh. Pundak betulan." "Dan dia tidak terasa aneh bagimu?" tanya Marla. "Well..." Claudia ragu. "Kulitnya sangat dingin. Tapi" "Benar, kan?" Marla menepukkan tangan pada meja dengan penuh kemenangan. "Kulitnya dingin sebab dia sudah mati, Claud." Mulut Claudia membuka ternganga. "Dia berkata padaku dia baru saja berenang," katanya, berpikir keras. "Kulitnya dingin karena air laut."

  • "Tidak." Marla menggelengkan kepala. "Itu cuma dalih. Dia sudah mati, Claud. Dia sudah mati selama seratus tahun." "Bagaimana kau tahu?" tanya Joy bergairah, sambil memutar-mutar beberapa helai rambut hitamnya menjadi pilinan dan menariknya menutupi kening. "Pernahkah kau bicara dengannya?" "Tidak," balas Marla, berpaling pada Joy. "Agen real estat rumah ini bercerita kepada kami tentang dia ketika menjual tempat ini. Ia mengatakan bahwa ada seorang pemuda terbunuh di guest house seratus tahun yang lalu. Pembunuhnya tak pernah ditemukan. Agen tersebut mengatakan bahwa sejak itu, pemuda ini terlihat menghantui daerah ini, pergi berenang sendiri, berjalan-jalan di taman." Marla meneguk teh esnya lama-lama, kemudian meneruskan dengan suara tertahan. "Aku sudah tiga kali melihatnya. Terakhir kali, ia datang sangat dekat. Kukira ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku, tetapi ia sangat pemalu. Aku menyapanya dan kemudian ia menghilang." "Wah," Joy menggumam, sambil menggelengkan kepala. "Dia sangat tampan," kata Marla, "ketampanan gaya kuno." "Aneh," gumam Sophie, jelas agak ketakutan. "Aku ingin melihatnya," cetus Joy. "Aku sungguh percaya akan hantu. Selama ini aku selalu ingin melihatnya." "Kulitnya begitu dingin," Claudia mengaku sambil tercenung. "Bahkan di bawah terik matahari, kulitnya dingin. Dingin seperti kematian." Ia bergidik. "Aku tak bisa percaya ada hantu menyelamatkan nyawaku siang ini." Di luar perkiraannya, Marla tertawa. "Kalau begitu jangan percaya!" ia berseru. "Hah?" Claudia kebingungan oleh sikap Marla. "Apa maksudmu?" "Aku mengarang semua cerita itu!" Marla mengaku, dan menyemburkan tawa riang, matanya yang biru berbinar-binar. "Apa?" Claudia dan Joy berseru bersama-sama. Sophie mendorong naik kacamata di hidungnya sambil tercengang-cengang. "Aku mengarang cerita itu!" Marla berkata kepada mereka, tak mampu menyembunyikan betapa senang perasaannya. "Seluruh cerita itu. Tidak ada Cowok Hantu. Tidak ada pembunuhan di guest house. Tidak ada cowok dengan ekspresi sedih di lapangan tenis." "Marla!" Claudia menjerit gusar. Ia berdiri, merengkuh leher Marla dan pura-pura mencekiknya. Marla tertawa terpingkal-pingkal. "Aku tadi percaya omongannya! Sungguh!" Joy mengaku. "Aku juga," kata Sophie, menggelengkan kepala. "Andai saja aku punya camcorder," teriak Marla riang. "Ekspresi wajah kalian itu! Begitu serius!" Ia berpaling pada Claudia.

  • "Aku sungguh terkejut denganmu, Claud. Pada perkemahan itu, kaulah yang selalu bisa menakut-nakuti kami dengan kisah-kisah hantumu yang gila. Kaulah yang selalu punya imajinasi gila. Bagaimana kau bisa terkecoh oleh cerita konyolku ini?" Claudia bisa merasakan mukanya memerah. Ia tidak bisa memutuskan apakah ia lebih merasa marah ataukah jengah. "Benar ada seorang pemuda menolongku!" katanya melengking. "Daniel. Ia benar-benar menyelamatkan aku. Dan ia benar-benar menghilang begitu saja." "Yeah. Sungguh!" Marla berseru, dan mulai tertawa lagi. Nah, Daniel, pikir Claudia sambil mengernyit, kalau kau bukan hantu, maka siapakah kau? *** Claudia mendorong tirai berenda putih itu dan mengintip kegelapan malam melalui pintu-pintu model Prancis di kamarnya. Bahkan dengan semua pintu dalam keadaan tertutup, ia bisa mendengar debur ombak yang terus-menerus menghantam pantai. Lampu-lampu sorot melontarkan kerucut-kerucut cahaya kuning di halaman belakang. Lapangan tenis dan kolam renang persegi panjang itu hampir seterang saat siang hari. Sesudah santap malam gadis-gadis itu menonton video Bye Bye, Birdie yang tadi disewa oleh Marla. Film musikal tua ini seperti huru-hara, pikir Claudia. Gadis-gadis itu berteriak-teriak sambil tertawa menyaksikan betapa lucunya cara remaja-remaja tahun lima puluhan itu berpakaian dan sikap menggelikan mereka terhadap lawan jenis. "Gadis-gadis itu sungguh tolol!" ujar Sophie. "Mereka cuma memikirkan bagaimana cara untuk menyenangkan cowok!" "Yeah. Sama sekali tidak seperti sekarang," Claudia membalas, sambil memutar mata. Begitu film itu usai, mereka saling mengucapkan selamat malam dan naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing. Merasa ngantuk, wajahnya panas karena terbakar matahari dan punggungnya terasa dingin, Claudia pun mandi berendam air panas. Kemudian ia ganti memakai gaun tidur panjang dan dengan hati-hati mengolesi lagi wajahnya dengan krim. Sekarang, sambil menguap, ia mendapati dirinya bersandar pada pintu kaca itu, mengintip sekali lagi ke halaman belakang untuk yang terakhir kali sebelum berbaring di ranjang. Halaman itu sungguh indah, begitu mewah. Mendengarkan gemuruh samar-samar dari lautan di balik karang itu, ia merasa seolah-olah berada

  • di dunia impian. Ia mengeluarkan sedikit engahan tertahan ketika melihat cahaya berkedip di jendela guest house itu. Sambil menempelkan dua belah tangan pada wajahnya, ia menyipitkan mata dan berusaha memandang jelas-jelas. Ya. Ada sesosok bayangan bergerak-gerak di jendela guest house. Cahaya pucat berkedip di sana. Ada seseorang di dalam sana, pikir Claudia, sambil menatap tajam-tajam, hidungnya ditempelkan keras-keras pada kaca. Sedetik ia merasa ia mengenali sosok bayangan itu. Apakah itu Daniel? ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah itu Cowok Hantu? Kemudian sebuah tangan yang dingin, sedingin kematian, memegang pundak Claudia. Chapter 6 Kejutan CLAUDIA menjerit ketakutan. Ia memutar tubuh, terengah, siap menjerit lagi. "Oh. Maaf. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu," kata Marla, sambil menurunkan tangan. "Marla! AkuAku" Claudia berkata tergagap-gagap, napasnya tersengal-sengal. Ia masih bisa merasakan dinginnya tangan Marla. "Kau memusatkan pikiranmu begitu keras pada apa yang ada di luar hingga kau tidak dengar aku memanggilmu," Marla berkata, matanya yang biru terkunci pada mata Claudia. Claudia melangkah mundur untuk menarik tirai, menutupi pintu kaca itu. "Aku melihat bayangan seseorang," katanya kepada Marla. "Di guest house." "Hah?" Marla tampak terkejut. Ia bergerak menghampiri pintu kaca dan menarik kembali tirai itu. "Ada cahaya. Di guest house," Claudia mengulangi. "Tidak mungkin," kata Marla, sambil menggelengkan kepala. "Tidak ada siapa pun yang tinggal di sana, Claud. Guest house itu kosong sepanjang musim panas."

  • "Tapi aku melihat seseorang" Claudia mulai. "Mungkin pantulan sesuatu," kata Marla, bergeser mundur. "Lampu-lampu sorot itu begitu terang. Daddy menyuruh orang memasangnya untuk mengusir orang iseng. Tapi cahayanya begitu terang. Kau pasti melihat pantulan pada jendela guest house. Itu saja." "Kurasa begitu," jawab Claudia ragu-ragu. "Aku ke sini untuk memeriksa apakah kau butuh sesuatu," kata Marla. "Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja," balas Claudia. Ia menguap. "Terik matahari itu benar-benar meruntuhkan aku." "Kulitmu terbakar hebat," kata Marla. Ada sesuatu dalam caranya mengucapkan kata-kata itu yang terasa aneh. Claudia merasa Marla tidak kedengaran bersimpati. Ia kedengaran senang. Tidak. Aku cuma terlalu letih, Claudia menghardik diri sendiri. Aku mulai jadi paranoid. Ia mengucapkan selamat malam kepada Marla, memadamkan lampu, dan naik ke antara seprai dan selimut satin pada ranjang raksasa bertiang empat itu. Beberapa detik kemudian ia mulai tenggelam dalam tidur, wajah tampan dan gelap milik Daniel, si Cowok Hantu, terapung-apung dalam pikirannya. *** Ketika Claudia terjaga keesokan paginya, ia meregangkan badan dengan nyaman di ranjang. Cahaya matahari pagi menembus masuk melalui tirai-tirai berenda yang menutupi pintu-pintu kaca. Salah satu pintu sengaja dibiarkan terbuka beberapa inci, dan ia bisa mencium bau udara asin tajam dan mendengar suara ombak mendera pantai. Di bagian mana pun di rumah ini, aku selalu bisa mendengar suara lautan, pikirnya sambil tersenyum. Ia mendorong kain tilam dan selimut musim panas tipis dan duduk, menikmati kamar yang tertata dengan perabot elegan itu. Sebuah meja rias dari kayu cherry dan cermin berdiri tepat di seberang ranjang. Di sampingnya ada sebuah lemari kecil berlaci dari kayu yang serupa. Pada dinding sebelahnya ada sebuah meja tulis kecil yang penuh hiasan, lengkap dengan kertas tulis dan pena. Sebuah vas kristal terisi bunga-bunga segar terletak di sudut meja tulis itu, dan di atas meja rias itu berbaris botol-botol mungil berisi parfum. Ada sebuah pintu di samping meja itu, menuju kamar mandi pribadi. Claudia paling menyukai kamar mandi itu di antara semuanya. Malam sebelumnya, sambil berbaring-baring dalam bak mandi yang dalam, ia mengangkat mata dan menyadari bahwa seluruh langit-langitnya dilukis dengan gambar-gambar putri duyung.

  • Kamar tidur untuk tamu itu sungguh beda dari kamar penuh sesak di Fear Street yang ia pakai bersama adik perempuannya, Cass. Aku bisa terbiasa dengan kemewahan ini, pikir Claudia. Bagaimanakah perasaan Marla hidup seperti ini sepanjang waktu? Apakah ia masih memperhatikan betapa indah semua ini? Claudia tidak tahu banyak tentang keluarga Marla, tapi ia tahu bahwa ayahnya, Anthony Drexell, adalah seorang ahli keuangan yang jenius. Ia memperoleh uang dengan membeli perusahaan-perusahaan di seluruh penjuru dunia, dan sepertinya Marla biasa berkomunikasi dengan meneleponnya di Wina atau Stockholm atau Barcelona. Mrs. Drexell, dari cerita-cerita Marla, adalah seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat. Ia mengikuti suaminya ke mana saja, dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan melakukan perjalanan-perjalanan internasional yang bermanfaat. Itu pasti membuat Marla kesepian, pikir Claudia. Tak heran ia ingin ada teman di sini seminggu penuh, daripada seorang diri di rumah besar ini. Alfred tampaknya orang yang menyenangkan, tetapi dia bukan kawan. Claudia turun dari ranjang dan duduk di depan meja rias untuk memeriksa kulitnya yang terbakar. Kulitnya masih merah padam, dan rasanya sakit untuk mengangkat alis atau mengerutkan hidung, atau bahkan tersenyum sekalipun. "Ada apa denganmu, Claudia?" ia menanyai bayangannya sendiri. Inilah pertama kalinya selama bertahun-tahun ia terbakar matahari. Ia memang gila ketika menyetujui yang lain menguburnya di dalam pasir, dan lebih gila lagi untuk tertidur di bawah terik matahari meskipun obat antihistamin tersebut tentu salah satu penyebabnya. Mengapa tidak ada di antara gadis-gadis itu yang membangunkannya? Ia tidak bisa percaya bahwa mereka lupa. Mereka tahu betapa gampang ia terbakar. Bagaimana mereka bisa membiarkannya tertidur seperti itu? Claudia mengoleskan lotion lidah buaya pada wajahnya dan kemudian bergegas berpakaian. Ia mengenakan t-shirt kuning, celana sepeda, dan sepatu olahraga putih, dan turun ke bawah melewati kamar-kamar Joy dan Sophie. Pintu mereka masih tertutup. Claudia memeriksa jam tangan. Pukul sembilan pagi. Mereka semua tidur tidak terlalu larut tadi malam. Bagaimana mereka bisa tidur terus dengan sinar matahari terang benderang yang menerobos masuk? ia bertanya-tanya dalam hati. Di bawah, ia mendapati Marla di dapur, memakai celana pendek putih bersih dan atasan warna merah muda pucat. "Alfred sudah menyiapkan salad buah, biskuit, dan sosis untuk kita," Marla

  • berkata, sambil menggerakkan tangan ke arah sederetan keramik biru dan putih berisi beberapa hidangan pada meja. "Ambil saja sendiri." "Rupanya Joy dan Sophie masih tidur," kata Claudia. "Joy tidak suka bangun sebelum tengah hari," Marla mengingatkannya. "Dan Sophie suka melakukan apa pun yang dilakukan Joy," Claudia menambahkan dengan seulas senyum. Itu benar. Di Camp Full Moon, Sophie pada hakekatnya memuja Joy, meniru setiap geraknya. "Bagaimana kalau main tenis sebelum mereka bangun?" Claudia mengusulkan, sambil menyendok salad buah ke dalam mangkuk. Tenis adalah olahraga Claudia. Di perkemahan itu, ia ingat, ia dan Marla bermain cukup imbang. Tetapi Marla mengatakan bahwa ayahnya akan mendatangkan seorang pelatih pribadi untuknya, jadi ia mungkin hebat sekali sekarang. "Well, baiklah," jawab Marla enggan. "Pertandingan singkat saja. Kau tentu tidak ingin terlalu lama di bawah matahari, Claud." "Aku akan hati-hati," balas Claudia. Sekali lagi ia mendapatkan perasaan meresahkan bahwa Marla puas dirinya terbakar matahari. Ia mengambil salad buah itu dan mencoba mengabaikannya. *** Pertandingan tenis itu tidaklah seperti yang Claudia perkirakan sebelumnya. Marla tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. Dulu di perkemahan itu, ia tidak pernah punya masalah dengan serve Claudia, tetapi hari ini ia gagal mengembalikan bola demi bola. "Sinar matahari ini menyilaukanku," ia menjelaskan, menggelengkan kepala, sambil menendang lapangan gravel merah itu. Mereka berganti tempat. Sungguh mengejutkan bagi Claudia, Marla keliru memperkirakan datangnya bola-bola tersebut, mengayunkan raket dengan liar, dan memukul bola tinggi ke udara seakan-akan ia seorang pemula. Kursus-kursus privat itu telah merusak cara bermainnya! pikir Claudia. Ia menang straight set dan bahkan belum berkeringat. "Bukan hari baikku. Otot-ototku letih atau entah apa," Marla berseru tak senang. Dengan marah ia membanting raketnya. "Lain kali kau mungkin akan mengalahkanku dengan mudah," kata Claudia, sambil berlari-lari kecil menghampiri. Marla bersungut-sungut dan mengamati jari-jari kakinya, menghindari mata Claudia. "Aku kurang latihan," gumamnya. "Aku tidak punya waktu untuk main tahun ini."

  • Claudia melangkah di sampingnya sementara mereka kembali perlahan-lahan menuju ke rumah. Ia menyentuh pundak Marla dengan satu tangannya. "Mungkin kau bingung bertemu lagi dengan kami," katanya lembut. Marla berpaling padanya, matanya yang biru melebar. "Bingung?" "Kau tahu," kata Claudia. "Kau belum pernah bertemu lagi dengan kami sejak kecelakaan itu. Sejak adik perempuanmu meninggal." Wajah Marla berubah merah padam. Ia menarik pita pengikat rambut dan menggoyang lepas rambutnya yang pirang. "Aku tidak ingin bicara tentang Alison," balasnya, sambil masih menghindari mata Claudia. "Tapi semuanya ada dalam benakmu," kata Claudia. "Kami tahu bagaimana perasaanmu, Marla. Kami" "Sudah kukatakan padamu," Marla berteriak melengking, "aku tidak ingin bicara soal itu." Ia berbalik dengan cepat, matanya menyipit jadi segaris, pipinya merah padam, dan menghambur marah menuju ke rumah. Ketika akhirnya kembali ke rumah itu, Claudia merasa senang melihat bahwa Marla sudah tenang. Joy, Sophie, dan Marla duduk mengelilingi meja berpayungparasolputih di teras, mengobrol sambil menyantap sarapan mereka. Di belakang mereka Alfred bersenandung senang sambil memangkas sederet tanaman rhododendron di dekat guest house. "Bagaimana pertandingan tenis kalian?" Joy menanyai Claudia sewaktu Claudia menarik sebuah kursi kanvas di bawah bayangan parasol. "Dia membiarkan aku menang," Claudia bercanda, sambil melirik Marla. "Dia ingin aku terlalu percaya diri, lalu baru dia membantai aku." Marla memaksakan seulas senyum. "Permainan Claudia benar-benar meningkat," katanya, dan menuang segelas air jeruk dari teko beling. "Kelihatannya seperti hari yang cocok untuk main di pantai," Joy berseru, mengangkat mata memandang langit biru, tak berawan. "Aku sudah tak sabar!" Sophie mengumumkan. "Alfred sudah menyiapkan makan siang untuk kita bawa berpiknik," kata Marla kepada mereka. "Kita bisa membawanya dan makan siang di pantai." "Kuharap ombaknya bagus," kata Joy kepada Marla. "Aku mau mencoba salah satu papan boogie-mu." "Ombaknya selalu lumayan kuat," kata Marla kepadanya. ''Di sini tidak ada tanggul pasir atau apa pun untuk memecahnya." Ia meneguk air jeruknya berlama-lama, kemudian berpaling pada Claudia. "Apakah kau ingin tinggal di sini dan menghindari sinar matahari?" Claudia ragu. "Tidak. Kukira aku bisa bawa payung pantai dan menurunkannya sampai ke pasir dan aku bisa berteduh di bawahnya." "Gagasan bagus," balas Marla. Ia meneriaki Alfed untuk mengambilkan payung

  • pantai dari gudang perkakas. Tak lama kemudian empat gadis itu berjalan melintasi halaman belakang ke undak-undakan tangga menuju ke laut lepas. Claudia memanggul payung pantai bergaris-garis putih-kuning. Di depannya, Marla dan Joy menggotong kotak piknik Styrofoam besar yang berisi makan siang mereka. Sophie memimpin di depan. Ketika mereka sampai di tepi tebing karang, deru ombak lautan jadi semakin keras. Sambil melindungi mata dari sinar matahari yang terang benderang, Claudia bisa melihat bentuk V gelap dari seekor burung camar yang melayang tinggi di atas mereka, menembus langit biru cerah. Belum lagi pukul sebelas, suhu sudah panas. Udara tergantung berat, tanpa angin. Aku akan berenang sebentar, pikir Claudia, sambil menggeser payung di pundaknya. Kalau aku mengoleskan krim pelindung matahari tebal-tebal pada wajahku, luka bakarku tentu tidak akan bertambah parah. Mereka ragu-ragu sebentar di gerbang besi itu. "Putar saja pegangannya," Marla memberikan instruksi kepada Sophie. "Akan terbuka sendiri." Sambil memikul payung pantai itu, Claudia mengawasi Sophie meraih pegangan berbentuk oval pada gerbang tersebut. Kemudian ia melihat Sophie seperti membeku ketika suara meretih keras meletup dari gerbang itu. Claudia menggagap ngeri ketika tubuh Sophie terlempar ke belakang dan tersungkur ke tanah. Chapter 7 Tamu-tamu Kejutan MARLA yang pertama bergerak. Ia terjun ke arah panel kontrol yang tersembunyi di balik semak-semak pendek dan menarik satu saklar. Claudia menjatuhkan payung pantai itu dan merunduk ke tanah, di samping temannya yang jatuh. Sophie menatapnya dengan pandangan tak terfokus. Kacamatanya terpental lepas, dan Claudia memungutnya dari tanah.

  • "Sophie? Kau tidak apa-apa?" tanya Claudia sambil memegangi kacamata itu. "Yeah, aku rasa." Sophie mengedipkan mata satu kali, dua kali. Wajahnya yang pucat seperti hantu mulai merona kembali. Marla berlutut di samping Claudia dan mencondongkan badan di atas Sophie. "Kau kena setrum hebat," ia berkata, menggeleng-gelengkan kepala. Sophie seperti bingung ketika ia mencoba duduk tegak. "Seluruh tubuhku mendidih." Dengan lembut Marla membantunya berdiri. Ia berpaling ke arah rumah dan berteriak memanggil Alfred, menangkupkan tangannya seperti corong megafon. Pembantu itu pasti sudah masuk ke dalam rumah karena tidak ada tanda-tanda darinya. "Aku tidak mengerti," kata Marla, sambil mengangkat mata memandang Claudia. "Aku sungguh tidak mengerti. Aliran listriknya seharusnya putus sendiri di siang hari." Sophie merintih. "Oh," ia menggumam, dan mulai menggosok punggung lehernya. "Rasanya sakit di sini. Otot-ototku kaku semua." "Kau yakin kau tidak apa-apa?" Joy bertanya, masih berdiri beberapa meter dari sana. "Apakah kau merasa pusing, atau sakit?" "Aku baik-baik saja," Sophie menjawab, masih menggosok-gosok belakang lehernya. "Aduh. Tapi, tadi itu sungguh menyakitkan." "Kau bisa saja tewas!" Joy menjerit, pundaknya mulai gemetar di bawah blus longgar yang dipakainya di luar pakaian renang. "Joy, sudahlah," Marla menggumam tak sabar. "Sophie baik-baik saja. Jangan menyeretnya berlarut-larut dan memperparah suasana." Joy menggumamkan permintaan maaf. "Bagaimana perasaanmu, Sophie?" Claudia bertanya lembut. "Lebih baik?" "Yeah." Sophie mengangguk. "Aku cuma khawatir kejutan listrik tadi membuat rambutku jadi makin kusut keriting!" Semua tertawa kecuali Marla. Ia bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir di depan mereka, tangannya terkepal erat menjadi tinju di sampingnya. "Aku tidak mengerti ini," ia terus-menerus menggumam. "Sistem listriknya tidak dihidupkan pada siang hari. Biasanya mati sendiri secara otomatis." "Mungkin pengatur waktunya rusak," Claudia mengemukakan pendapat seraya membantu Sophie berdiri. Sophie mengambil kacamatanya dari Claudia dan memasangnya dengan tangan gemetar. "Dia bisa saja tewas!" Joy mengulangi. Marla melontarkan pandangan tak sabar ke arah Joy. Kemudian ekspresinya melembut saat ia berpaling kembali pada Sophie. "Aku sungguh menyesal. Benar. Aku sungguh menyesal. Apakah kau mau kembali ke rumah?"

  • "Tidak. Tidak perlu!" Sophie menegaskan, sambil menggerakkan tangan agar Marla berhenti. "Aku baik-baik saja. Sungguh. Jantungku berdebar-debar sedikit, tapi aku rasanya baik-baik saja. Ayo kita ke pantai. Jangan menyia-nyiakan hari yang indah ini." "Tapi setrum itu" Joy mulai. "Cuma membangunkan aku, itu saja," Sophie berkata, sambil memaksakan seulas senyum. "Sungguh. Kita cuma punya waktu satu minggu bersama-sama. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya." "Kalau kau merasa yakin..." Marla berkata, mengamati wajah Sophie. "Begini saja," kata Sophie. "Aku akan berteduh di bawah payung bersama Claudia. Oke? Aku akan istirahat dan berteduh sebentar. Badanku cuma sedikit kesemutan. Aku sedikit lemas dan gemetar, itu saja." Marla menatap Sophie dengan sungguh-sungguh, lalu mengangkat pundak. "Yah, baiklah. Tapi kalau kau mulai merasa aneh, beritahu kami, ya." Sophie sepakat. Joy akhirnya tenang dan mengangkat kotak piknik yang berat itu seorang diri. "Kita semua termasak di sini!" Claudia bergurau. "Pertama aku terpanggang matahari. Sekarang Sophie hampir tergoreng oleh gerbang." Maksud Claudia hanyalah sekadar komentar ringan, tetapi Marla memasukkannya dalam hati. "Itu kecelakaanbukan?" Marla membentak marah, seolah-olah menantang Claudia. "Yeah, tentu saja," Claudia menjawab cepat, suaranya meninggi. "Tentu saja semua itu cuma kecelakaan, Marla." "Jangan khawatir. Kalau kita kembali nanti, aku akan bicara dengan Alfred," Marla menandaskan dengan suara rendah penuh ancaman. *** Mereka menuruni tangga kayu perlahan-lahan, dengan Marla memimpin di depan. Jauh di bawah, Claudia bisa melihat lautan yang biru-hijau kemilau, berakhir sebagai buih putih di pantai berpasir. Udara jadi lebih sejuk, lebih asin, tetapi matahari yang terik itu masih membakar pundak Claudia. Ketika Claudia turun dari tangga itu dan melangkah di pantai, Marla menggelar selimut. Joy sudah menurunkan kotak piknik yang berat itu. Ia menggelar matras pantai berwarna-warni cerah miliknya sendiri. Kemudian ia menanggalkan pakaian atasnya, memperlihatkan bikini hijau mengilat di bawahnya, dan langsung mulai menyisir rambutnya yang hitam panjang. Well, itu salah satu yang tidak berubah dari perkemahan itu, pikir Claudia. Joy

  • masih tetap menyisir rambut pada setiap kesempatan. Marla menggelar matras pantai cukup jauh dari anak tangga. Sewaktu Claudia melangkah menghampiri dengan Sophie di sisinya, ia merasakan butir-butir pasir membara menyisip masuk melalui tali sandal dan mengenai kakinya. Sungguh hari yang amat panas! pikir Claudia, sambil menatap matahari, yang serasa memenuhi seluruh langit. Menghadap ke arah Marla ia menegakkan payung pantai itu di tepi selimut, kemudian menancapkannya dalam-dalam ke pasir, menekan dengan seluruh berat tubuhnya. Segera setelah payung itu terbuka, Sophie merunduk di bawah naungannya dan berbaring tengkurap. Claudia meraih tas pantai dan mulai melumuri wajahnya yang tersengat matahari dengan lapisan tebal krim pelindung matahari. "Kau tampak hebat, darling!" ujar Joy. "Oh, tutup mulutmu," Claudia bersungut, sambil tertawa. Sambil mengatur tali pakaian renangnya yang berwarna ungu, ia mulai menggosokkan krim merah jambu pelindung matahari itu pada seluruh bagian tubuhnya. Sementara itu Joy sudah meletakkan sikat rambutnya dan sedang menggosokkan minyak pencokelat kulit pada tubuhnya yang sudah kecokelatan. Claudia mengalihkan pandangan pada Marla, yang masih sibuk meratakan selimut hingga sempurna. Sungguh aneh, pikir Claudia, matanya masih menatap punggung Marla yang kurus. Marla sama sekali tidak cokelat terjemur matahari. Bahkan sebenarnya ia sangat pucat. Claudia merasa aneh karena sebelumnya Marla pernah mengatakan kepada mereka bahwa ia melewatkan sebagian besar musim panas di pantai ini. Bagaimana ia bisa menghindari sinar matahari sepanjang musim panas? Claudia bertanya-tanya dalam hati. Lamunannya disela jeritan kecil Joy. Claudia melihat Joy duduk di atas matras pantai, menaungi matanya dengan satu tangan dan menatap ke laut. "Kurasa kita punya teman," Joy mengumumkan. Benar, dua orang cowok melangkah keluar dari laut. Mereka memakai pakaian selancar biru tanpa lengan yang masih basah dan membawa papan selancar merah jambu dan hitam di bawah ketiak. Claudia mengangkat tangannya ke mulut untuk menutupi desahan terperanjat. Satu dari pemuda itu, ia melihat, adalah Daniel. Daniel si Cowok Hantu.

  • Chapter 8 "Ayo Pesta" DUA cowok itu melangkah di pasir, air menetes-netes dari pakaian mereka yang basah. Sambil melindungi mata dari cahaya matahari dengan tangan, Claudia sadar bahwa cowok itu sama sekali bukanlah Daniel. Ia cowok lain dengan perawakan tinggi dan rambut hitam. Ada apa denganku? Apakah aku benar-benar jadi kacau? Ia bertanya pada diri sendiri, sambil mengawasi cowok-cowok itu datang menghampiri. Ia mengamati mereka menjatuhkan papan selancar. Mereka kira-kira berumur tujuh belas tahun, keduanya memiliki tubuh kuat, berotot. Salah satu yang tadi Claudia kira sebagai Daniel memiliki perawakan ramping, rambut terpangkas pendek dan mata kelabu. Ia tersenyum lebar pada gadis-gadis itu, matanya terpaku pada Claudia. Ia merasa malu, jangan-jangan cowok itu tersenyum lebar karena krim pelindung mataharinya yang berwarna merah jambu. "Kita harus mengusir mereka," Marla berbisik, membetulkan atasan bikini merahnya. "Bagaimana mungkin?" Claudia mendengar Joy balas berbisik. "Mereka tampan." "Hai, apa kabar?" cowok yang satu berseru. Rambutnya pirang, agak panjang, dan sosoknya lebih kekar seperti seorang pegulat. Temannya menatap garis pantai menuju ke Summerhaven. "Kurasa kita sudah melewati cagar alam burung itu." "Kalian lihat burung di sekitar sini?" si pirang bertanya. Senyum lebarnya, menurut pandangan Claudia, memperlihatkan sekitar empat ratus gigi. "Hanya satu-dua burung Dodo," kata Marla ketus. Claudia terperanjat oleh keketusan Marla. Mengapa dia bersikap galak kepada mereka? Joy sudah berdiri, menyisir rambutnya ke belakang, dan tersenyum pada dua cowok itu. Sophie tetap di bawah naungan payung, tapi ia pun tampak senang oleh kehadiran tamu-tamu kejutan itu. Senyum lebar cowok-cowok itu menghilang. Si pirang berjalan menghampiri bentangan matras pantai. "Kami cuma berselancar dan terperangkap gelombang pasang-surut yang sangat kuat." Ia menunjuk ke air. "Sepanjang pantai. Sungguh luar biasa. Menyeret kami

  • ke Point sini sebelum kami menyadarinya." "Sungguh menarik," jawab Marla sinis. Claudia melihat Joy memutar mata. "Marla, maukah kau tenang sedikit?" bisiknya, matanya yang hitam tertuju pada cowok-cowok itu. Si rambut hitam mengikuti temannya menghampiri bentangan matras pantai. "Hati-hati kalau kalian mau berenang," katanya dengan sangat serius. "Kalau kalian terperangkap dalam gelombang pasang-surut itu, kalian bisa terseret keluar dari Point." Marla berdiri dengan tangan pada pinggul pakaian renang merahnya. "Terima kasih atas saran keselamatan itu," katanya dingin. "Kalian sungguh baik mau datang memperingatkan kami, tetapi ini adalah pantai pribadi." Ia menuding ke arah cagar alam dan Summerhaven. "Kalau kalian mau berselancar, pantai untuk umum ada di sana." Si rambut hitam tersenyum lebar pada Marla. "Kupikir semua pantai adalah untuk umum," katanya, sambil mengawasi. Ia mengalihkan pandangan ke anak tangga menuju tanah milik keluarga Marla. "Apakah keluargamu juga sudah membeli lautannya?" Cowok yang satu duduk di atas matras pantai dan tersenyum pada Sophie. "Hai. Apakah kau selalu pendiam seperti ini?" Sophie terkekeh. Ia menanggalkan kacamata dan tersenyum kepadanya. "Tidak selalu." "Bukankah seharusnya kalian pergi sekarang?" Marla bertanya, mengernyit tak senang. "Tergantung kau punya apa untuk makan siang," kata si pirang kepadanya. Ia menggeser kotak piknik dan mengangkat tutupnya. Temannya mengangsurkan tangan kepada Claudia. "Aku Carl, ini Dean, dan terima kasih telah mengundang kami makan siang." "Well...." Claudia mendapati dirinya tak mampu berkata-kata. Ia melirik Marla, yang bersungut-sungut. Mengapa Marla begitu tidak ramah? Claudia bertanya dalam hati. Apakah dia tahu sesuatu tentang cowok-cowok ini? Apakah ia benar-benar takut terhadap mereka? "Wah, kau pasti sangat benci sinar matahari!" Cari berseru, sambil menatap wajah Claudia yang tertutup lotion. Ia tertawa, menggeleng-gelengkan kepala. Claudia bisa merasakan wajahnya jadi merah padam di bawah lapisan krim tebal itu. "Akuaku terbakar parah kemarin," katanya terbata-bata. Sambil berlutut di atas selimut, Dean mulai mengosongkan isi kotak piknik. "Ada banyak makanan di sini," katanya. "Ayam goreng. Salad kentang. Banyak sandwich kecil. Saat untuk piknik!" Ia mengangkat mata dari kotak piknik dan tersenyum pada Marla, senyum ikan

  • hiu. Carl bergabung dengan temannya, menjatuhkan diri di sisi lain kotak piknik itu. "Apakah cukup untuk cewek-cewek ini juga?" "Yeah. Kita bisa berbagi," Dean menjawab, menyeringai memperlihatkan giginya yang banyak. Marla, dengan tangan terkepal erat membentuk tinju kecil, ekspresi geram pada wajahnya, hendak mengucapkan sesuatu. Namun Joy memotongnya. "Makanannya cukup banyak," katanya kepada Marla. "Mengapa tidak berbagi dengan mereka?" Carl tersenyum berterima kasih kepadanya dan menawarkan piring sandwich. "Siapa namamu?" "Joy. Joy Birkin." Ia menerima piring tersebut dan duduk di samping Carl. "Aku Sophie Moore," Sophie memperkenalkan diri dengan berseri-seri, pindah dari bawah payung untuk bergabung bersama mereka. "Mmmm. Ayamnya kelihatan sedap. Aku kelaparan meskipun kami baru saja sarapan." Marla menghambur ke tepi air dengan gusar, tak menghiraukan mereka semua. "Jangan pedulikan Marla. Ia cuma agak malu-malu," kata Joy. "Bagaimana denganmu?" tanya Carl pada Claudia, suaranya mencemooh. "Apakah kau malu-malu juga?" "Itulah sebabnya ia bersembunyi di balik krim merah jambu itu," Dean menggoda, sambil mengunyah sepotong paha ayam. Claudia tahu ia tidak perlu memedulikan, tetapi ia malu setengah mati dan tampak seperti orang tolol. "Kau seharusnya mencoba lotion merah jambu itu," kata Dean pada Carl. "Penampilanmu pasti tambah keren!" Ia melemparkan tulang ayamnya ke atas pasir dan meraih sepotong sandwich. "Hei, jangan buang sampah sembarangan," Carl menghardik temannya. Kemudian ia menambahkan, "Ini pantai pribadi, ingat?" Dua pemuda itu tertawa terbahak-bahak, sambil saling menepukkan tangan. Joy mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka mengenai berselancar. Jelaslah bagi Claudia bahwa Joy menaksir mereka. Jelas bagi cowok-cowok itu pula. Sesudah beberapa lama, Sophie dan Carl pindah ke bawah payung. Mereka bercakap-cakap pelan sambil meneguk soda kaleng. Matahari sudah bergeser tinggi di langit. Gelombang lautan itu terhias dengan warna emas. "Ini bukan piknik yang buruk," Claudia berkata, merasa sedikit aneh dengan situasi tersebut. "Sayang sekali sang putri di sana tidak mau bergabung dengan kita," kata Dean. Claudia melihat Marla berbalik kembali ke arah mereka. Ia berjalan dengan

  • langkah-langkah lebar menapaki pasir lembut, parasnya kaku oleh kemarahan. "Apakah kalian menyisakan sandwich atau lainnya untukku?" ia bertanya. "Masih ada beberapa," jawab Dean. "Tapi kau harus minta baik-baik." Marla menggumamkan geraman marah dan melipat tangannya di depan dada. "Sekali lagi aku minta baik-baik kepada kalian. Pergi!" katanya dengan gigi dikertakkan. Dean melompat berdiri dan melangkah ke hadapannya. "Hei, jangan terlalu mendesak," ia memohon, seulas senyum mencemooh tersungging pada wajahnya. Ia menyibakkan rambut pirangnya dari keningnya yang cokelat. "Aku dan Carl adalah cowok-cowok hebat. Mengapa kau begitu pongah?" "Aku peringatkan kalian," Marla bersungut-sungut. "Pergilah saja, oke?" Dean mengambil satu langkah, menantang lebih dekat padanya. "Jangan merusak pesta ini, Marla. Itukah namamu? Marla?" Ia melirik sepintas pada temannya, yang datang menghampiri dari bawah payung. Carl menatap Dean dengan waswas, seakan-akan bersiap menghadapi masalah. "Aku dan Carl berharap bahwa sesudah makan siang, kita semua akan mampir ke rumahmu dankau tahupesta." Dean maju selangkah lagi menghampiri Marla, yang melangkah mundur ke belakang. Oh-oh, pikir Claudia, seraya bangkit perlahan-lahan. Situasinya jadi tegang. "Mundur. Pergilah!" Marla berteriak, matanya menunjukkan sikap menghina. "Tidak. Sungguh," Dean bersikeras. "Aku dan Carl adalah cowok-cowok hebat. Mari kita pergi ke rumah. Kau tidak merasa terlalu panas di sini?" Carl berdiri di sana, senyumnya lenyap, mimik mukanya mengeras. Apakah cowok-cowok ini cuma pura-pura bersikap keras? Claudia bertanya-tanya dalam hati, sambil mundur ke belakang. Ataukah mereka benar-benar cari masalah? "Akuaku punya anjing penyerang," Marla memperingatkan, sambil melirik ke rumahnya. "Anjing serigala dari Irlandia. Pernahkah kalian melihat anjing seperti itu? Badannya besar." "Oh, sekujur tubuhku gemetar!" Dean tersenyum, sambil menggetarkan lengan dan kakinya. "Bagaimana denganmu, Carl?" "Ngeri," kata Carl tajam. "Ayo kita ke sana, Dean." "Aku hanya perlu memanggil anjing itu," Marla memperingatkan. "Anjing menyukaiku," Dean membual. "Aku tidak takut." Ia menoleh pada Claudia dan gadis-gadis lainnya. "Kalian ingin aku dan Carl mampir ke rumah itu, bukan?" "Akukurasa kalian sebaiknya pergi," Claudia berkata terpatah-patah, sambil pindah berdiri di samping Marla. Dean bergeser lebih dekat, ekspresinya mengancam. "Kalian tidak mau mengundang kami mampir?" ia menanyai Marla, matanya

  • dingin, nada suaranya menantang. "Tidak," tegas Marla. Kemudian, sebelum Claudia menyadari apa yang terjadi, ia melihat sosok tubuh bergerak samar. Dan mendengar suara tamparan keras. Marla terhuyung-huyung mundur sambil berteriak marah. Lama barulah Claudia menyadari bahwa Dean telah menampar Marla. Oh tidak, Claudia mengerang, mendadak ketakutan. Cowok-cowok ini bikin masalah saja. Chapter 9 Kembalinya Sang Hantu DENGAN cepat Marla memulihkan keseimbangan dan menatap berapi-api pada Dean, wajahnya merah padam. "Tadi ada seekor tungau," kata Dean. "Di pundakmu." "Hah?" Marla berseru, sedikit tercengang. "Seekor tungau besar," Dean mengulangi. "Binatang itu bisa menggigit." "Tapi" Ekspresi Marla melunak. "Aku tidak bermaksud menepuknya sekeras itu," kata Dean lembut. "Maaf kalau aku membuatmu ketakutan." Claudia mengembuskan napas lega. Di belakangnya, ia bisa mendengar Joy dan Sophie tertawa cemas. "Sebaiknya kita pergi sekarang," Carl berkata, sambil mengambil papan selancar hitam-merah jambu miliknya. "Yeah. Oke," Dean sepakat. Sekali lagi ia melontarkan pandangan minta maaf kepada Marla. "Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu," katanya. Kemudian ia menukas, "Ayahku dulu pernah bekerja untuk ayahmu." "Apa?" Marla menegaskan. Namun dua pemuda itu sudah mengangkat papan selancar mereka, menjepitnya di bawah ketiak, dan berjalan di pantai ke arah kota. "Terima kasih atas makan siangnya," Carl berseru. "Makan siang yang hebat!" Dean menambahkan. Claudia mengawasi mereka berjalan di sepanjang garis pantai. Keduanya menendang-nendang gumpalan pasir basah.

  • "Ayo kita berkemas dan kembali ke rumah," Marla berkata, sambil mengernyitkan dahi. "Lagi pula terlalu panas di sini." "Marla, kenapa kau begitu keras terhadap cowok-cowok itu?" Claudia bertanya. Marla mengebas-ngebaskan matras pantainya. Ia berhenti dan berpaling pada Claudia. "Orangtuaku memaksaku berjanji," ia berkata kepadanya. "Janji apa? Tidak boleh ada cowok?" Joy bertanya. "Orangtuaku memaksaku berjanji bahwa hanya boleh ada kita berempat minggu ini," jawab Marla. "Kalau mereka tahu ada cowok bersama kita, mereka akan mengurungku selamanya." "Urusannya tidak seserius mereka menginap bersama kita!" Joy protes. "Maksudku, mereka cuma kebetulan terdampar di pantai ini." "Aku tidak butuh masalah," Marla menjawab, dan mulai melipat matras. Ucapan Marla aneh untuk diucapkan, pikir Claudia, sambil membantu Sophie dan Joy mengemasi kotak piknik. Tetapi kemudian ia sadar bahwa apa yang terjadi dengan dua cowok tadi tidaklah terlalu berbeda dengan cara Marla memperlakukan cowok pada perkemahan musim panas lalu. Waktu itu pun Marla sangat kaku, menjaga jarak dengan cowok. Sejauh yang Claudia tahu, Marla cuma punya satu pacar, seorang cowok bernama Michael, dan mereka cuma berpacaran beberapa bulan. Joy, di lain pihak, main mata segampang ia bernapas. Dan Sophie, berusaha keras untuk meniru meskipun ia lebih pendiam. Sedang ia sendiriClaudiapernah kencan dengan beberapa cowok, tapi ia cuma pernah punya satu pacar betulan. Masalahnya, ia memutuskan, ia tidak terlalu meninggalkan kesan pada laki-laki. Ia bertemu dengan mereka dan mereka melupakannya. Ia tersenyum, menyadari bahwa hal itu tidak berlaku untuk Dean dan Carl. Ia tahu bahwa kali ini ia telah meninggalkan kesan. Mereka mungkin selamanya akan mengingat dirinya sebagai Cewek Berkrim Merah Jambu Tebal. *** Petang harinya tiga gadis itu berkumpul di kamar Claudia. Joy dan Sophie, dengan celana pendek dan t-shirt tanpa lengan, berbaring-baring di atas penutup seprai pada ranjang bertiang empat itu. Claudia berdiri di ambang pintu Prancis yang terbuka, menatap ke bawah sementara bayang-bayang panjang sore hari terentang di atas halaman rumput belakang. "Adakah di antara kalian yang merasa bahwa Marla berlaku agak aneh?" tanya Joy. "Coba acungkan tangan kalian." Claudia dan Sophie mengangkat tangan dengan patuh.

  • "Dia begitu tegang," kata Sophie, sambil berbaring telentang, tangannya diganjalkan di belakang rambut cokelatnya yang keriting. "Dia selalu tegang di dekat cowok," kata Claudia. "Tapi dia bukan cuma tegang. Dia marah," Joy menegaskan. "Marah bahwa cowok-cowok itu ada di sana." "Dia tidak pernah memberi mereka peluang," Sophie setuju. "Kupikir Carl lumayan cakep," kata Joy, tersenyum lebar. "Lumayan," kata Claudia dari jendela. "Tapi mereka lumayan keras juga. Kukira Marla ketakutan. Aku tahu aku memang agak takut." "Di perkemahan dulu Marla jauh lebih santai," ujar Sophie. "Banyak yang telah berubah sejak itu," kata Claudia muram. Ia berjalan dan duduk di pinggir ranjang dekat kaki Sophie. "Apakah kau merasa lebih baik?" Sophie mengangkat pundak. "Aku masih merasa sedikit aneh. Seperti pening." "Bagaimanakah rasanya tadi?" tanya Joy. "Sakitkah?" "Yeah, sakit," kata Sophie kepadanya. "Seperti terkena tinju di perut. Aku tidak bisa bernapas, danoh, entahlah." "Sungguh dua hari yang aneh," Claudia berkomentar. "Kita mestinya bersenang-senang, menikmati pantai dan rumah yang luar biasa ini. Sampai sejauh ini, sama sekali tidak menyenangkan berjemur di matahari! Kau hampir tewas tersengat listrik. Aku terkubur" "Dan jangan lupa ulat cokelat yang memuakkan di saladku," Joy menyela. "Sungguh menjijikkan!" Claudia dan Sophie tertawa. "Aku harus mengatakan sesuatu kepadamu, Claud," kata Sophie, duduk dengan tiba-tiba dan menghentikan tawanya. "Aku berniat mengatakannya kepadamu sejak tadi, tapi aku tidak punya kesempatan." "Apa?" Claudia bertanya, menggosokkan tangannya pada penutup seprai yang halus itu. "Kenapa tiba-tiba jadi begini serius?" "Wel..." Sophie seperti sangsi untuk bicara, kemudian dengan sekaligus kata-kata meluncur dari bibirnya. "Aku dan Joy ingin kembali padamu kemarin siang, tapi Marla tidak mengizinkan." Claudia menatap Sophie, tidak begitu memahami apa yang Sophie katakan kepadanya. "Ketika kami kembali dari jalan-jalan, Marla bersikeras bahwa kau sudah kembali ke rumah," Sophie meneruskan, suaranya diturunkan menjadi bisikan, matanya tertuju ke pintu kamar tidur. "Kami ambil jalan lain, mendaki bukit-bukit pasir itu. Tapi aku dan Joy ingin kembali untuk memastikan bahwa kau sudah tidak lagi terkubur di dalam pasir." "Yeah. Kami khawatir denganmu," Joy menambahkan. "Namun Marla mengatakan bahwa dia yakin kau sudah meninggalkan pantai. Dia

  • bersikeras agar kami langsung kembali ke rumah bersamanya," bisik Sophie. "Aneh," Claudia cemberut. "Kemudian dia berlagak begitu terkejut ketika kau datang terhuyung-huyung dari pantai, terpanggang sampai gosong," kata Joy. Claudia secara otomatis menyentuh wajahnya. Pipi dan keningnya panas dan masih sedikit bengkak. Ia berjalan ke meja make-up untuk mengambil lotion lidah buaya lagi. "Kukira Marla bingung," kata Claudia sungguh-sungguh. "Kalau kalian menempuh jalan lain, maka tidak mungkin kalian melihatku." "Kupikir dia kacau," kata Joy, sambil menurunkan kaki ke lantai dan berpaling menghadap Claudia. "Kurasa kecelakaan musim panas lalu" "Itu satu hal lagi," Sophie menyela. "Ia tidak pernah menyebut-nyebut adik perempuannya. Tak sekali pun ia menyebut nama Alison. Apakah menurutmu ini tidak aneh? Maksudku, kita semua ada di sana musim panas lalu. Kita bersama-sama. Maksudku, Alison adalah adik Marla. Tapi kita semua" "Alison yang malang," kata Joy dalam bisikan rendah. "Anak malang." "Aduh, kejadian itu melekat dalam pikiranku sepanjang waktu," Sophie mengaku. "Aku yakin itu melekat dalam pikiran kita semua, tapi Marla bertingkah seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Maksudku" "Dia mengatakan kepadaku bahwa dia tidak ingin membicarakan soal itu," Claudia menyela. Lotion baru itu terasa sejuk dan menyenangkan pada keningnya. "Kau menanyainya?" tanya Joy. "Kau menyebut nama Alison?" "Kami main tenis pagi ini sebelum kalian bangun. Aku menyinggung kecelakaan itu dan Marla membentakku. Ia mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan masalah itu." "Tetapi rasanya begitu... begitu tak wajar untuk tidak membicarakannya!" Sophie protes. "Aku merasa seperti sesak terkungkung. Maksudku..." Suaranya menghilang. "Kukira Marla cuma ingin kita semua bersenang-senang minggu ini, dan melupakan apa yang pernah terjadi," kata Claudia sungguh-sungguh. Ia menatap wajahnya yang terbakar di dalam cermin. "Dan kalau kita semua bisa menghentikan kecenderungan kita untuk mengalami kecelakaan, aku yakin kita akan bisa bersenang-senang...." *** Malam itu empat gadis tersebut kembali bersantap malam di ruang makan besar dan resmi itu. Duduk berkerumun di salah satu ujung meja panjang membuat ruangan luas itu terasa jadi lebih luas lagi. Tetapi semua dalam suasana hati ceria. Joy menuturkan cerita-cerita lucu tentang

  • berbagai usahanya untuk putus dengan pacarnya yang tolol dan tak mau mendengarkan apa yang ia katakan. Cerita tersebut membuat gadis-gadis itu meledak tertawa. Kemudian Marla menceritakan sebuah kisah lucu tentang ayahnya yang datang di negara yang keliru untuk menghadiri suatu rapat bisnisdan kebingungan setengah mati mengapa semua orang bicara bahasa Italia! Kemudian, sewaktu Alfred mulai membereskan piring dari atas meja, Joy berpaling pada Marla. "Lalu," ia bertanya, "apa yang bisa dikerjakan di Summerhaven di waktu malam?" "Tidak banyak," Marla mengaku. "Kita bisa nonton film, mungkin. Di kota ada sebuah gedung bioskop tua. Baunya seperti bau kucing, tapi kadang-kadang menayangkan film-film bagus. Atau kita bisa bersantai di boardwalk." "Boardwalk? Maksudmu seperti taman hiburan?" tanya Joy dengan perasaan tertarik. "Yeah," Marla mengangguk. "Ayo pergi ke sana!" Joy berseru. "Aku suka tempat seperti itu!" "Aku juga," Sophie menambahkan dengan antusias. "Kita harus naik boom-boom cardan masuk rumah cermin. Aku suka melihat diriku jadi kurus!" "Bagaimana denganmu, Claud?" Marla bertanya. "Kedengarannya menarik," balas Claudia. Gagasan untuk meninggalkan rumah keluarga Drexell beberapa lama dan menemui orang-orang lain terasa menarik hatinya. Ia memikirkan hal-hal yang paling ia sukai mengenai taman hiburan. "Aku ingin naik Ferris wheel." "Tidak! Aku tidak mau!" kata Joy tanpa pikir. "Sejak musim panas kemarin, aku takut ketinggian!" "Oh!" Sophie berseru, mulutnya ternganga. Joy langsung sadar dengan apa yang ia ucapkan. Ia jadi merah padam. "Oh, maafkan aku, Marla. Akuaku tidak berpikir." Ia menurunkan pandangan ke arah meja. "Tidak apa," kata Marla dengan suara kering, datar, matanya kosong, wajahnya sama sekali tanpa ekspresi. *** Tak lama kemudian empat gadis itu sudah berada di dalam Mercedes, Marla yang mengemudi, berangkat menuju Summerhaven. Sekali lagi Claudia tercengang melihat betapa terpencilnya rumah besar yang terletak di ujung terjauh tanah itu. Rumah tersebut terpisah bermil-mil dari manusia mana pun. Sekitar dua puluh menit kemudian Marla memasuki sebuah lapangan parkir di

  • pinggir kota, dan empat gadis itu melangkah ke boardwalk. Betapa jauh perubahannya! pikir Claudia. Ia merasa seolah-olah berada seribu mil dari rumah keluarga Drexell. Pantai di kota itu memiliki hamparan pasir yang jauh lebih sempit. Datar tanpa bukit-bukit, dan bahkan ombaknya pun serasa lebih jinak. Tidak ada tebing-tebing karang. Bisingnya suara manusia, tertawa dan menjerit saat bermain, menenggelamkan suara lautan dan burung-burung camar. Gadis-gadis itu bergabung dengan orang banyak di taman hiburan tersebut. Lampu-lampu neon berpendar di segala penjuru, dan aroma campur aduk popcorn, hotdog, dan harum manis mengapung di udara. Tempat itu penuh orang dan bisingdan ramah, pikir Claudia dalam hati. Ia menyadari bahwa ia merasakan suatu perasaan lega yang tak terduga berada di tengah semua itu. Pertama mereka pergi ke House of Laffs, dan menghabiskan sekitar lima belas menit mencoba mencari cermin yang bisa mengubah Sophie kelihatan kurus kering. Claudia tertawa melihat bayangannya. Ia dan Marla berdua kelihatan setinggi 180 cm. Tetapi entah bagaimana, bahkan dalam cermin yang mendistorsikan bayangan itu, Joy tetap kelihatan dalam proporsi sempurna dan seksi. Selanjutnya mereka naik Sizzler. Dan, sesudah antre hampir dua puluh menit, mereka naik boom-boom car. Joy, dengan gayanya yang anggun seperti biasa, berkelit-kelit menerobos di antara boom-boom car yang berseliweran. Rambutnya yang panjang berkibaran di belakangnya. Sungguh mengejutkan bagi Claudia. Sophie berubah jadi sopir kesetanan, bermaksud menabrak segala apa yang terlihat! Sesudah boom-boom car, mereka pindah menuju stand makanan yang berjajar di taman hiburan itu. Claudia berhenti untuk membeli satu bungkus harum manis raksasa. Ia baru saja melakukan satu gigitan pertama dengan hati-hati ketika mendengar suara yang sudah dikenal di belakangnya. "Kau memang gemar segala yang merah jambu, ya?" Ia berbalik dan melihat Carl sedang tersenyum kepadanya. Dean berdiri di sampingnya, rambutnya yang pirang berkilau terkena cahaya lampu jalan. Cowok-cowok itu sudah ganti memakai jeans belel yang robek di lutut, dan kemeja tanpa lengan yang memamerkan otot mereka. Claudia sekali lagi menyadari betapa tampan cowok-cowok itu, dalam gaya yang sedikit kasar. Ia mengangkat harum manis merah jambunya. "Yeah. Aku akan melaburkannya pada seluruh wajahku," katanya kepada Carl. Dua cowok itu tertawa. "Apa yang kalian berdua kerjakan di sini?" Marla bertanya, kedengaran lebih

  • bernada terkejut daripada marah. "Kami tinggal di sini," kata Carl, tersenyum lebar. "Yeah. Tepat di taman hiburan ini," Dean nimbrung. "Di sana itu kamar tidurku." Ia menunjuk ke sebuah bangku taman di antara dua stand makanan. "Sangat nyaman," kata Joy, sambil bergeser mendekati Carl. Sophie seketika meniru Joy, bergeser mendekati Dean. "Kalian mau main boom-boom car?" Joy bertanya. "Kami baru saja main beberapa menit yang lalu. Sangat menyenangkan!" "Yeah. Tentu," kata Carl menyetujui cepat-cepat. Marla mulai protes, tetapi ia mendapati dirinya tersapu bersama mereka ketika semuanya bergegas untuk antre. "Aku akan temui kalian sebentar lagi!" Claudia berseru kepada Marla. Claudia memutuskan bahwa ia sudah cukup bermain boom-boom car malam itu. Ia ingin menjelajahi taman hiburan, dan ia butuh sedikit waktu untuk sendirian. Selain itu, pikirnya, Joy dan Sophie jelas-jelas akan memonopoli cowok-cowok itu. Dan ia yakin Marla akan ikut dengan mereka sekadar untuk memastikan mereka tidak mengundang Carl dan Dean kembali ke rumah. Jadi mengapa ia harus ikut membuntut? Sambil makan satu gigitan harum manisnya, Claudia berjalan melewati sederet permainan dan pondok video game. Kebisingan taman hiburan itu begitu keras, menenggelamkan deru ombak lautan, meskipun pantainya tepat berada di bawah mereka. Di balik pondok video game itu kerumunan orang menipis. Lampu-lampunya lebih redup. Claudia menjilat kerucut kertas kosong bekas harum manis itu untuk yang terakhir kali, kemudian membuangnya ke dalam keranjang sampah. Ia menjilati jemarinya yang lengket dan menengadah memandang langit. Gumpalan-gumpalan tipis awan kelabu berenang-renang di depan bulan purnama pucat yang tergantung tinggi di langit. Jauh dari tempat permainan, stand makanan, dan orang banyak, udara terasa sejuk dan lembap. Lebih baik aku kembali dan menemui teman-temanku, pikirnya. Ketika ia berbalik, ia melihat seseorang sedang berdiri di dekat sana, menatapnya tajam-tajam. Terperanjat, Claudia berhenti dan memusatkan pandangan padanya. Seketika itu ia mengenali rambutnya yang hitam lurus dan matanya yang hitam kelam. Daniel. "Cowok Hantu!" ia berteriak keras.

  • Chapter 10 Maut di Taman Hiburan "KAU panggil aku apa?" Ia bergerak cepat menghampiri Claudia, seulas senyum tersungging pada wajahnya yang tampan. "Akuuhtidak," kata Claudia terbata-bata, jengah. "Apakah kau menyebutku hantu?" ia mendesak, matanya yang hitam membara menatap mata Claudia seolah-olah mencari jawaban atas pertanyaannya. "Tidak. Aku" Claudia tidak tahu apa yang hendak ia katakan. Secara impulsif, ia meraih tangan pemuda itu dan meremasnya. Tangan itu dingin. Sedingin kemarin di pantai, pikirnya, terkejut. Sedingin kematian. Pikiran itu merayap ke dalam benaknya. "Tidak. Kau nyata," katanya kepada pemuda itu, sambil cepat-cepat melepaskan, dan tersenyum kepadanya, jantungnya berdebar debar. "Setidaknya, kau terasa nyata. Maksudku" "Kukira itu suatu pujian," katanya sambil mengangkat pundak. "Cuma soalnya ketika kau menolongku, kau menghilang sebelum aku mengucapkan terima kasih," kata Claudia canggung. "Kau menghilang seperti hantu, danwell...." "Namamu Claudia, bukan?" ia bertanya, menyisipkan tangan ke dalam saku celana pendek denim. Ia memakai T-Shirt putih dengan sweatshirt kelabu terikat di pinggang. Pakaian betulan, pikir Claudia, sedikit merasa bersalah. Jadi apa yang membuatku percaya bahwa dia hantu? Apa yang tadi kupikirkan? "Ya," jawabnya. "Claudia Walker." "Luka bakarmu kelihatan tidak terlalu parah," katanya, matanya memeriksa kening Claudia. "Apakah teman-temanmu sering melakukan hal seperti itu kepadamu? Menguburmu di pasir dan meninggalkanmu terpanggang di sana?" "Tidak sering," kata Claudia. "Mereka pikir aku sudah kembali ke rumah." "Teman-teman yang hebat," kata Daniel, sambil menggelengkan kepala. "Mereka teman baik," balas Claudia, merasa defensif. Apa haknya untuk menjelek-jelekkan sahabat-sahabatnya? Daniel bahkan belum pernah berjumpa dengan mereka.

  • "Itu kecelakaan, suatu kesalahan," katanya. Mereka perlahan-lahan berjalan kembali menuju ke taman hiburan. Claudia mendapati dirinya yang paling banyak berbicara. Diceritakannya bagaimana gadis-gadis itu berada di ruang tidur yang sama pada perkemahan musim panas yang lalu, dan betapa terkejut dirinya menerima undangan Marla untuk berkunjung selama seminggu. Daniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil memberikan komentar-komentar pelan. Ia seperti malu-malu pada Claudia. Bukan kikuk cuma malu. Sementara mereka berjalan, beberapa kali lengannya menyinggung lembut lengan Claudia. Matanya yang hitam mengamati. Mereka berhenti di Ferris Wheel. Saat kincir itu berputar, lampu-lampu kuning terang pada rangkanya melambung naik ke langit malam yang kelam bagaikan bintang beralih. Angin semilir sejuk mengapung dari lautan, mengibar-ngibarkan rambut Claudia. "Malam yang indah," gumamnya sambil tersenyum pada Daniel. Daniel mengangkat tangannya. "Begini. Aku punya dua tiket," katanya, matanya tertuju pada kincir itu. "Antreannya tidak terlalu panjang. Ayo kita naik." "Oke. Aku suka naik kincir!" ia menegaskan. "Aku tahu," Daniel berkata misterius, sambil menggandeng tangan Claudia dan membawanya dalam antrean. Mengapakah tangannya begini dingin? Claudia bertanya-tanya dalam hati. "Apa maksudmu? Bagaimana kau tahu?" Claudia pura-pura mendesak. "Aku kan hantu, ingat? Aku tahu segala hal," ia tersenyum lebar pada Claudia, senyum nakal. Beberapa menit kemudian Daniel mengangsurkan karcis pada pemuda yang menjalankan kincir itu. Sebuah tempat duduk bergulir. Kincir berhenti. Mereka melewati sebuah pagar pendek dan naik ke tempat duduk itu. Segera setelah palang pengamannya didorong di depan mereka, tempat duduk itu bergerak ke belakang dengan tiba-tiba, dan dengan satu sentakan mereka terangkat naik dari tanah. Claudia bersandar ke belakang di tempat duduk plastik itu. Ia sedikit terkejut mendapati lengan Daniel melingkar pada sandaran tempat duduk. Claudia menyandarkan kepala padanya, angin laut terasa sejuk pada wajah, dan ia memandang langit. "Malam ini sungguh cerah," kata Claudia. "Kita tentu bisa melihat segalanya. Lautan. Seluruh taman hiburan ini...." Ia tersenyum. "Sekarang bulan purnama," kata Daniel lembut, menunjuk dengan tangannya yang bebas. "Apakah beberapa menit lagi kau akan berubah jadi serigala siluman?" Claudia

  • menggoda. Daniel menggeram kepadanya. "Putuskanlah," katanya. "Apakah aku hantu atau serigala jadi-jadian?" "Apakah kau tinggal di kota?" tanya Claudia. "Tidak." Ia menggelengkan kepala. Beberapa helai rambut hitamnya jatuh menutupi keningnya. "Lalu, di mana kau tinggal? Apa yang kaukerjakan di sini?" Claudia bertanya. "Aku tinggal di mana saja. Aku mengapung di langit malam," balasnya, sambil tersenyum lebar. Ia mencondongkan badan sangat dekat pada Claudia, menurunkan lengannya dari sandaran tempat duduk ke pundak Claudia. "Aku menghantui orang," ia berbisik dengan sikap pura-pura mengancam, membawa wajahnya dekat ke wajah Claudia. "Pernahkah sebelum ini kau sendirian dalam kegelapan bersama hantu?" tanyanya, menurunkan suara hingga jadi bisikan. "Pernahkah kau sedekat ini dengan hantu, Claudia?" Apakah ia akan menciumku? Claudia bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku ingin dia melakukannya? Ya. Ia merasa kecewa ketika Daniel mundur dan bersandar pada tempat duduk. "Wah. Lihat lautnya," katanya. "Rasanya seperti tidak nyata." Ketika mereka naik lebih tinggi, lautan pun terlihat di sebelah kanan mereka. Bulan purnama melontarkan sapuan cahaya pucat di atasnya, membuat air yang bergerak-gerak itu berkilauan bagai perak. Di bawah mereka terbentang taman hiburan yang penuh orang dan bising. Berpaling ke sebelah kiri, Claudia bisa melihat lampu-lampu Summerhaven, kecil dan berkelap-kelip, seolah-olah kota itu adalah mainan. "Kau sudah lebih lama di sini daripada aku," kata Claudia pada Daniel, sambil menikmati beban lengan Daniel pada pundaknya. "Tunjukkanlah pemandangan-pemandangan itu kepadaku." "Yahbaiklah," ia menyetujui dengan enggan, sambil mencondongkan badan di depan Claudia untuk melihat ke sebelah kiri. Ia menunjuk. "Di sana itu ada gedung entah apa. Dan itu lampu merah. Dan itu jalan. Dan di sana ada lampu kuning." Ia tersenyum lebar, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Claudia. "Kau pramuwisata yang hebat," goda Claudia. "Sudah kukatakan kepadamu, aku tidak tinggal di sini," kata Daniel, sambil menatap ke dalam matanya. Dia begitu tampan, pikir Claudia. Dan lucu. Dan baik. Tergerak oleh dorongan hati, Claudia mencondongkan badan ke depan dan menciumnya. Pada mulanya Daniel seperti terperanjat, kemudian membalas ciuman tersebut.

  • Dia benar-benar nyata, pikir Claudia dalam hati. Dia bukan hantu. Bibirnya hangat. Tempat duduk mereka tiba-tiba berguncang dan sekonyong-konyong berhenti. "Oh!" Claudia berteriak, menarik diri dari tubuh Daniel. Ia melihat ke bawah. Mereka berada di bagian palmg puncak. "Mengapa kita berhenti?" Daniel bertanya, membungkuk di atas palang pengaman untuk melongok ke bawah, mengguncang pelan tempat duduk itu. "Mereka menaikkan orang lagi," jawab Claudia, bekas bibir Daniel masih terasa pada Bibirnya. Claudia tersenyum padanya. "Aku suka di atas sini. Lihat betapa besar rembulannya." "Aku berani bertaruh aku bisa menyentuhnya," kata Daniel, mengikuti tatapan mata Claudia. Ia berdiri, mengguncang-guncang tempat duduk mereka dengan hebat. "Ini. Aku meraihnya," ia berkata, meraih dengan dua belah tangan. "Danielduduk!" seru Claudia. Sambil membungkuk di atas palang pengaman, ia pura-pura meraih rembulan. Dan ketika ia meraih, tempat duduk itu tersentak kerasdan miring jauh ke depan. Claudia menatap dengan ngeri sewaktu Daniel, dengan lengan masih terentang, terlempar melayang di atas palang pengaman dan jatuh dengan kepala lebih dulu, menuju kematiannya. Chapter 11 Kecelakaan Alison yang Tragis SEBELUM ia bisa menjerit, bahkan sebelum bisa bernapas, Claudia menyadari bahwa ia tidak menyaksikan Daniel jatuh. Ia melihat Alison. Alison. Alison yang malang selalu melekat dalam pikiran Claudia sejak ia datang di Summerhaven. Kini, sekali lagi, ia membayangkan kecelakaan tragis yang telah merenggut nyawa Alison Drexell. Bagaikan kejadian di depan mata, tragedi musim panas kemarin itu muncul di depan Claudia. Kengerian luar biasa mengguyurnya ketika Daniel menggoyang-goyang tempat duduk kincir itu. Sekali lagi ingatannya kembali ke bulan Juli yang lalu, dan ia kembali ke Camp Full Moon...

  • *** Claudia telentang di atas tempat tidur, merasa lumpuh lemas karena hawa panas lengas siang itu. Lesu tanpa gairah ia mengusir seekor lalat. Ia yakin bahwa serangga-serangga itu menyukai campur aduk bau aneh Bunk 12 campuran bau pengusir serangga, deodoran, dan parfum mawar Marla. Saat itu baru saja selesai makan siang, "waktu bebas" ketika masing-masing seharusnya berada di biliknya, menulis surat ke rumah. Untungnya Caroline, pembimbing Claudia, sedang jatuh cinta dengan pembimbing kegiatan air, maka Caroline tidak pernah ada di sana dan tak satu pun di antara mereka harus menulis surat. Siang itu Claudia, Marla, Joy, dan Sophie bermalas-malasan main Truth or Dare, permainan Benar atau Menerima Tantangan. Saat itu giliran Joy. Ia melontarkan pandangan lihai kepada Claudia. "Yang Benar," katanya. "Ceritakan kepada kami berapa jerawat yang kaupencet hari ini." Wajah Claudia memerah ketika menyadari bahwa Joy pasti melihatnya ke kamar kecil pagi ini, untuk mengamati wajahnya. "Apakah kau lebih suka menerima tantangan?" Joy bertanya sambil mengoleskan cat kuku merah jambu pucat pada jari kaki. "Tiga," Claudia mengaku, sambil menatap lantai papan. "Hebat. Memang aku tidak memiliki kulit tanpa cacat sepertimu." Gadis-gadis itu semua tertawa. Tiba-tiba pintu kasa terbuka dan Alison, adik perempuan Marla, melompat masuk. Alison setahun lebih muda dari kakaknya. Seperti Marla, ia tinggi dan ramping, berambut pirang. Tetapi bagi Claudia ia sama sekali tidak secanggih kakaknya. Alison tidak memiliki ketangkasan atletik yang dimiliki sang kakak, dan ia sama sekali tak menyenangkan. "Apa yang sedang kalian kerjakan?" Alison bertanya. "Bukan apa pun yang menarik hatimu," Joy meyakinkannya. Marla sama sekali tidak mengangkat muka. "Pergilah sana, muka ikan." Bahkan Claudia, yang sudah berusaha keras untuk menyukai Alison, harus mengaku bahwa ia adalah si bandel yang paling menyebalkan di dunia. Ia tidak pernah berkumpul dengan anak-anak di pondokannya sendiri. Ia berusaha setengah mati agar diterima oleh teman-teman Marla dan jadi bagian dari kelompok Marla. Itu mungkin tak jadi soal seandainya ia bukan tukang mengadu dan mata-mata. Alison selalu melaporkan dosa-dosa kecil mereka kepada pembimbing kepala, selalu berusaha sebisanya untuk menyulitkan mereka. "Aku mau ikut main," Alison menukas, sambil menjatuhkan diri di tempat tidur Marla. "Boleh aku ikut? Aku bosan." "Kau tidak tahu apa yang sedang kami mainkan," Joy menegaskan sambil

  • mengernyit. "Truth or Dare," kata Alison pongah. "Kau terlalu kecil untuk ini," kata Marla dingin. "Kau bukan bagian dari sini, Alison." "Akan kulaporkan kalian semua," Alison mengancam. "Kalian seharusnya menulis surat ke rumah." "Baiklah," kata Marla. "Kau mau main? Kalau begitu ceritakan kepada kami waktu Ib