KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA … · 2008 300 000 bayi sakit karena susu formula...
-
Upload
phungduong -
Category
Documents
-
view
235 -
download
0
Transcript of KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA … · 2008 300 000 bayi sakit karena susu formula...
KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH
TANGGA TERHADAP KEAMANAN PANGAN
DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
MOCHAMAD SOBICH MAIMUN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian Kesadaran dan
Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten
Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Mochamad Sobich Maimun
NIM F24090030
ABSTRAK MOCHAMAD SOBICH MAIMUN. Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga
Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARSI D.
KUSUMANINGRUM dan A.A. NYOMAN MERTA NEGARA.
Ibu rumah tangga memegang peran penting sebagai gate keeper keamanan
pangan rumah tangga sehingga kajian mengenai kesadaran terhadap keamanan pangan,
perilaku keamanan pangan, serta pandangan terhadap sistem regulasi pangan diperlukan
sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan intervensi. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survei kuesioner dengan metode pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Sebanyak 139 kuesioner disebarkan ke ibu rumah
tangga di Kota dan Kabupaten Bogor. Isu pangan rekayasa genetik, keracunan pangan,
dan pangan iradiasi belum menjadi pehatian responden, namun responden cukup
menyadari dengan baik risiko keamanan pangan. Prioritas pertama tempat belanja
responden adalah tukang sayur dan harga menjadi aspek utama yang diperhatikan ketika
berbelanja pangan segar dan olahan. Sumber informasi yang paling berpengaruh adalah
televisi. Mayoritas responden merasa yakin (57%) dan puas (52%) terhadap kinerja
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Responden tidak melakukan dengan benar
dalam memastikan kematangan daging dan mencegah kontaminasi silang namun hasil
penilaian penerapan lima kunci keamanan pangan secara keseluruhan termasuk dalam
kategori baik dengan nilai rata-rata 3.99 (skala 0 sampai 5) dan standar deviasi 0.37.
Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan perilaku responden dalam
menerapkan lima kunci keamanan pangan sehingga sosialisasi keamanan pangan terhadap
golongan responden yang berpendidikan rendah dengan tingkat ekonomi menengah ke
bawah diperlukan.
Kata kunci: ibu rumah tangga, keamanan pangan, kesadaran, perilaku, survei
ABSTRACT MOCHAMAD SOBICH MAIMUN. Study of Housewife Food Safety Awareness and
Behavior in Bogor. Supervised by HARSI D. KUSUMANINGRUM and A.A.
NYOMAN MERTANEGARA
Housewife played an important role as household food safety gate keeper therefore study
of food safety risk awareness as well as food safety behaviors and opinion to food
regulatory system is needed as a basis for developing policies and interventions. Research
method used was survey questionnaire method which used purposive sampling method. A
total of 139 questionnaires were distributed to housewifes in Bogor. Genetically modified
food, foodborne disease, and food iradiation were not considered yet but respondent gave
enough attention to food safety risk. Vegetable vendors became first priority place for
shopping and the price became the main aspects to be considered both for fresh and
processed food. The most influential information source was television. Majority of
respondents felt confident (57%) and satisfied (52%) with the performance of The
National Agency af Drug and Food Control (NA-DFC). Respondents made food-handling
errors especially on determining doneness of meat and preventing cross-contamination
however food handling behavior towards application five keys of food safety was good
with an average value of 3.99 out of 5 and a standard deviation of 0.37. Education levels
and expenditure positively correlated with the behavior of respondents in implementing
the five keys of food safety therefore food safety socialization to the low educated and
midle-low income housewife is needed.
Keywords: awareness, behavior, food safety, housewife, survey
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH
TANGGA TERHADAP KEAMANAN PANGAN
DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
MOCHAMAD SOBICH MAIMUN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap
Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor
Nama : Mochamad Sobich Maimun
NIM : F24090030
Disetujui oleh
Dr Harsi D Kusumaningrum
Pembimbing I
Drh AA Nyoman Merta Negara
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, Msc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor
Nama : Mochamad Sobich Maimun NIM : F24090030
Disetujui oleh
Dr Harsi D Kusumaningrum Drh AA Nyoman Merta Negara Pembirnbing I Pembimbing II
Tanggal Lulus: 3 n AI If, 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Kajian Kesadaran dan
Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten
Bogor” berhasil diselesaikan. Karya tulis ini penulis persembahkan secara khusus
kepada almarhum Bapak dan Umi, Mas Makhrus, serta keluarga besar yang telah
memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa yang tidak pernah terputus.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
1. DR. Roy A. Sparringa, MApp.Sc. selaku Deputi III Badan Pengawas
Obat dan Makanan yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan kegiatan magang penelitian di BPOM
2. Drs. Halim Nababan, MM. selaku Direktur Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan
3. Dr. Harsi D Kusumaningrum serta Drh. A.A. Nyoman Merta Negara
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam menyelesaian tugas akhir ini
4. Prof. Winiati P Rahayu yang telah bersedia menjadi dosen penguji
pada sidang ujian sarjana
5. Seluruh staf Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan, Direktorat
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas
Obat dan Makanan
6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
yang telah memberikan banyak ilmu selama masa kuliah
7. Keluarga besar Yayasan Karya Selemba Empat, PT. Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk. serta PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. yang
telah memberikan beasiswa dan pelatihan kepada penulis selama
menempuh pendidikan
8. Teman-teman pangan 46, Aca, Hayyu, Kyo, Seno, Richard, Iqbal,
Fahmi, Aldith, Farah, Sarida, Ayash, Mila dan Aji yang telah
mewarnai hari-hari dengan sangat indah
9. Keluarga besar IAAS LC IPB, Paguyuban KSE IPB serta Himitepa
yang telah menjadi rumah bagi penulis
10. Seluruh responden yang telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Mochamad Sobich Maimun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Penentuan Sampel 3
Penyusunan dan Pengujian Kuesioner 3
Metode Pengambilan Data 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 6
Karakteristik Responden 8
Kesadaran, Persepsi Risiko, dan Kepercayaan Terhadap Keamanan Rantai
Pangan 10
Perilaku Berbelanja 13
Praktik Penanganan dan Penyiapan Pangan 16
Sumber Informasi Keamanan Pangan 21
Sistem Pengawasan dan Regulasi Pangan 23
Korelasi Antara Variabel 24
SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL
1. KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia 1 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B22 7 3. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B26 7 4. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B51 8 5. Karakteristik demografi responden (n=139) 10 6. Metode untuk memastikan kematangan daging 19 7. Suhu minimal pengolahan beberapa bahan pangan 19 8. Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan 21 9. Interpretasi koefisien korelasi Spearman 24 10. Korelasi tingkat pendidikan, pengeluaran, dan keyakinan kebersihan
penyaluran pangan 25
11. Korelasi tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan prioritas pertama
tempat belanja serta faktor belanja pangan olahan dan segar 26 12. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan keyakinan
dan kepuasan kinerja BPOM 27 13. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan perilaku
dalam penyiapan dan pengolahan pangan 27
DAFTAR GAMBAR
1. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan 9 2. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan 11 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan keyakinan kebersihan
penyaluran pangan 11 4. Prioritas pertama tempat berbelanja 14 5. Prioritas pertama belanja pangan olahan 15 6. Prioritas pertama belanja pangan segar 15 7. Perilaku setelah memecah telur mentah 17 8. Sumber informasi keamanan pangan 22
9. Sumber informasi keamanan pangan yang paling berpengaruh 22 10. Keyakinan terhadap kinerja BPOM 23 11. Kepuasan terhadap kinerja BPOM 24
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel nilai korelasi r 32 2. Pengkodean dan prosedur entri jawaban 33 3. Prosedur skoring blok 4 34
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keamanan pangan menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang
pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman
untuk dikonsumsi. Tingkat keamanan pangan suatu negara dapat dilihat dari
banyaknya Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di negara tersebut.
Data laporan KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia-Pasifik seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan dampak yang besar dari kasus
keracunan pangan terhadap kesehatan. Menurut Permenkes nomor 2 tahun 2013
tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan, KLB Keracunan Pangan
merupakan suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita
sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan,
dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber
keracunan.
Laporan tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011
menyebutkan bahwa penyebab KLB Keracunan Pangan terbesar di Indonesia
adalah pangan olahan rumah tangga yaitu sebanyak 58 kejadian (45.31%) disusul
dengan pangan jasa boga sebanyak 30 kejadian (23.44%), pangan olahan
sebanyak 16 kejadian (12.50%), pangan jajanan sebanyak 16 kejadian (12.50%)
dan lain-lain sebanyak delapan kejadian (6.25%) (BPOM 2012). Data ini
menunjukkan risiko keamanan pangan yang tinggi pada pangan hasil olahan
rumah tangga sehingga kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga sebagai gate
keeper dalam menjaga keamanan pangan keluarga perlu untuk dikaji.
Tabel 1. KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia
Negara Tahun Keterangan
Bangladesh 1998 1 657 381 kasus. 2 064 orang meninggal
Cina 2002 200 anak sekolah sakit dan 38 meninggal
karena kontaminasi racun tikus pada roti
2008 300 000 bayi sakit karena susu formula
tercemar
India - 8 000-100 000 kasus setiap tahun, 1 000
kematian
Republik Korea 2003 7 909 kasus
Thailand - 120 000 kasus setiap tahun
Jepang 1996 9 578 orang sakit karena infeksi Escherichia
coli pada lobak putih
2000 14 780 orang keracunan akibat konsumsi
produk susu
Sumber: Prabhakar et al. 2010; DeWall 2005
2
Kajian mengenai kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga terhadap
keamanan pangan di Indonesia secara menyeluruh belum banyak dilakukan
padahal kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan
membutuhkan kajian ilmiah sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan
intervensi. Ibu rumah tangga menjadi sosok yang sentral dalam pengambilan
kebijakan penyedian pangan di rumah tangga. Kesadaran dan perilaku ibu rumah
tangga sebagai gate keeper keamanan pangan rumah tangga dapat memberikan
gambaran besarnya risiko keamanan pangan rumah tangga serta bentuk intervensi
yang dapat dilakukan. Selain itu kajian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakukan kajian keamanan pangan selanjutnya sehingga dapat dilakukan
pengawasan secara berkala terhadap tingkat keamanan pangan di rumah tangga.
Perumusan Masalah
Risiko keracunan pangan yang tinggi di rumah tangga menunjukkan
perlunya kajian ilmiah mengenai kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga
terhadap keamanan pangan sehingga dapat memberikan dasar ilmiah dalam
pengambilan kebijakan keamanan pangan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka
lingkup kajian yang dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kesadaran, persepsi terhadap risiko serta
kepercayaan ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan?
2. Bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam berbelanja serta
penanganan dan pengolahan pangan?
3. Apakah sumber informasi keamanan pangan yang paling
berpengaruh?
4. Bagaimanakah pandangan, keyakinan dan kepuasan ibu rumah
tangga terhadap kinerja sistem regulasi pangan?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui kesadaran dan perilaku
masyarakat Indonesia khususnya ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan.
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mendapatkan data mengenai
persepsi dan pengetahuan responden terhadap keamanan pangan; perilaku
responden dalam berbelanja; perilaku responden dalam menangani dan
menyiapkan pangan; sumber informasi keamanan pangan; dan penilaian terhadap
peran dan fungsi BPOM dalam keamanan pangan 2) mengetahui korelasi antara
karakteristik responden terhadap variabel yang dikaji (persepsi dan pengetahuan,
perilaku berbelanja, praktik penanganan dan penyiapan pangan, serta sumber
informasi)
Manfaat Penelitian
Kajian ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tingkat
kesadaran dan persepsi terhadap risiko keamanan pangan serta perilaku dalam
berbelanja serta penanganan dan pengolahan pangan. Selain itu, dapat juga
diketahui sumber informasi yang paling berpengaruh serta pandangan terhadap
3
sistem regulasi pangan. Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
menyusun kebijakan dan intervensi.
METODE
Penentuan Sampel
Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Sampel
ibu rumah tangga dipilih secara acak yaitu dengan mengacak kecamatan dan desa
yang berada pada wilayah kajian yang disesuaikan dengan karakteristik sampel
yang diinginkan. Data jumlah ibu rumah tangga diambil dari jumlah rumah tangga
di Kota dan Kabupaten Bogor karena rumah tangga di Bogor pada umumnya
merupakan keluarga nukleus (inti) yang hanya terdiri atas satu ayah, satu ibu dan
beberapa anak. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan metode slovin
yaitu:
Keterangan:
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi (rumah tangga)
e = Persen ketidaktelitian (10%)
Sehingga jumlah sampel minimal yang harus digunakan berdasarkan perhitungan
metode slovin adalah 100 responden.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Bogor Barat dengan
kepadatan penduduk 1 781 jiwa/km2 dan Kecamatan Ciomas (9 145 jiwa/km
2)
(BPS 2013). Kedua kecamatan ini memiliki kepadatan penduduk tertinggi
sehingga diasumsikan dapat mewakili populasi. Selanjutnya dari kedua kecamatan
ini dipilih secara acak dua desa/kelurahan sehingga untuk Kecamatan Bogor
Barat terpilih kelurahan Sindangbarang dan Loji dan tiga desa/kelurahan untuk
Kecamatan Ciomas yaitu Parakan, Padasuka, dan Ciomas.
Penyusunan dan Pengujian Kuesioner
Kuesioner disusun berdasarkan tujuan dari kajian dan dibagi menjadi lima
blok yaitu blok data umum; kesadaran, persepsi risiko dan kepercayaan terhadap
keamanan rantai pangan; perilaku berbelanja; praktik penanganan dan penyiapan
pangan; serta sumber informasi dan regulasi pangan. Jenis pertanyaan yang
digunakan adalah pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang
tidak memungkinkan responden untuk memberikan jawaban selain dari pilihan
jawaban yang disediakan.
4
Blok I merupakan blok pertanyaan mengenai data umum responden seperti
umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, pengeluaran serta tanggung jawab dalam
menyiapkan makanan di rumah tangga. Blok ini akan digunakan sebagai variabel
untuk mengetahui hubungan karateristik responden dengan parameter yang dikaji.
Blok II bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana tingkat
kesadaran, persepsi risiko serta tingkat kepercayaan responden terhadap keamanan
rantai pangan. Blok ini terdiri atas tujuh nomor pertanyaan tertutup dengan jenis
pertanyaan antara lain pertanyaan dengan mengurutkan jawaban berdasarkan
prioritas/perhatian serta pernyataan dengan pilihan jawaban ya, tidak dan tidak
tahu. Informasi lain yang ingin digali pada blok ini adalah pengetahuan dan
persepsi responden terhadap beberapa isu pangan seperti pangan hasil rekayasa
genetik, pangan organik serta pangan hasil iradiasi.
Informasi mengenai perilaku berbelanja responden seperti tempat
berbelanja serta aspek yang paling diperhatikan responden pada saat berbelanja
didapatkan melalui pertanyaan tertutup dengan mengurutkan pada blok III.
Praktik penanganan dan penyiapan pangan didasarkan pada lima kunci
keamanan pangan World Health Organization (WHO) yaitu menjaga kebersihan;
memisahkan pangan mentah dan matang; memasak dengan benar; menyimpan
pangan dengan benar; serta menggunakan air dan bahan baku yang aman. Blok IV
ini terdiri atas beberapa jenis pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan
perilaku sehari-hari responden.
Blok terakhir dalam kuesioner adalah blok VI mengenai sumber informasi;
sumber informasi yang paling dipercaya dan mempengaruhi keputusan responden
terkait kebiasaan dan praktik keamanan pangan; serta pengetahuan responden
mengenai sistem dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Sumber informasi
serta pengetahuan responden terhadap sistem keamanan pangan sangat penting
untuk menyusun kebijakan dalam mempromosikan keamanan pangan di
masyarakat.
Sebelum kuesioner disebarkan kepada responden, kuisioner tersebut diuji
coba terlebih dahulu. Pengujian yang dilakukan adalah uji validitas dan uji
reliabilitas. Pengujian ini dilakukan terhadap responden yang dipilih berdasarkan
kedekatannya dengan karakteristik responden sebenarnya yang akan dipilih dari
beberapa wilayah yang berada di Kota dan Kabupaten Bogor
Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur seberapa valid suatu item
pertanyaan dalam mengukur variabel yang diteliti. Suatu instrumen dianggap
valid bila mampu mengukur apa yang ingin diukur atau dengan kata lain mampu
memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti (Singarimbun dan Effendi
1995). Pengujian validitas kuisioner dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SPSS 16.0 for windows.
Secara statistik angka korelasi yang dihasilkan untuk tiap–tiap pertanyaan
harus dibandingkan dengan angka kritik tabel nilai korelasi r (Lampiran 1). Cara
melihat angka kritik adalah dengan melihat baris N-2. Dalam penelitian ini,
jumlah N yang digunakan bernilai 31, maka angka kritik yang dilihat adalah
5
melihat baris 31-2=29. Apabila r hitung lebih besar daripada r tabel, maka
pertanyaan tersebut dianggap valid. Demikian sebaliknya, apabila r hitung lebih
kecil daripada r tabel, maka pertanyaan tersebut kemungkinan mempunyai
susunan kalimat yang kurang baik sehingga menimbulkan penafsiran yang
berbeda bagi responden (Singarimbun dan Effendi 1995).
Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Teknik pengukuran reliabilitas
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi alpha cronbach pada perangkat
lunak SPSS 16.0 for windows. Suatu item dikatakan reliabel jika nilai alpha
cronbach-nya lebih dari nilai r tabelnya.
Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data dilakukan dengan cara bertatap muka secara
langsung dengan responden. Enumerator yang telah mendapatkan pelatihan cara
pengisian kuesioner mendatangi secara langsung atau mengumpulkan responden
pada satu tempat kemudian memberikan kuesioner kepada responden dengan
memberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian; cara
memberikan jawaban; serta maksud suatu pertanyaan yang belum begitu
dimengerti responden. Kuesioner yang telah disiapkan didesain untuk diisi tanpa
harus melalui proses wawancara karena mempertimbangkan jumlah responden
dan pertanyaan yang banyak serta proses wawancara yang akan membutuhkan
waktu lama. Kuesioner yang telah dijawab oleh responden dikumpulkan kembali
kepada enemurator untuk kembali diperiksa kelengkapan dan kesesuaian jawaban
dengan perintah yang diberikan.
Analisis Data
Kuesioner yang didapat dari responden divalidasi terlebih dahulu. Kuesioner
dinyatakan valid apabila responden menjawab semua pertanyaan sesuai dengan
perintah. Kuesioner yang telah dinyatakan valid kemudian dilakukaan pengkodean
dan dimasukkan dalam program SPSS. Prosedur pengkodean dan pemasukan data
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kesadaran terhadap keamanan pangan diukur dengan cara memberikan
sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek keamanan pangan. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan statistik. Pertama-
tama data ditampilkan dalam bentuk tabel kontingensi yang berupa persentase dari
kelompok jawaban yang sama dari semua responden pada suatu pertanyaan. Data
juga dapat ditampilkan dalam bentuk tabulasi silang sehingga dapat diketahui
lebih jelas sebaran data yang telah dikumpulkan.
Data kuesioner pada blok IV diolah lebih lanjut dengan melakukan
penyekoran (scoring) untuk mengetahui tingkat kesesuaian perilaku dengan
6
pedoman lima kunci keamanan pangan. Penilaian dilakukan dengan memberikan
skor nol sampai lima dengan dasar expert justice. Expert justice didasarkan pada
pengetahuan dan pengalaman ahli sehingga dapat memberikan penilaian
seobjektif mungkin terhadap suatu permasalahan. Masing-masing pertanyaan
yang telah dinilai dikelompokkan berdasarkan lima kunci keamanan pangan
kemudian dirata-rata. Hasil perhitungan kemudian dikategorikan mulai dengan
sangat baik hingga sangat tidak baik dengan kisaran nilai antara nol sampai lima.
Jika skor rata-rata 0-0.99 maka sangat tidak baik; 1.00-1.99 tidak baik; 2.00-2.99
netral; 3-3.99 baik; dan 4.00-5.00 sangat baik. Skor untuk masing-masing jawaban
pada pertanyaan blok IV dapat dilihat pada lampiran 3 .
Korelasi antara variabel dianalisis dengan menggunakan analisis statistik
nonparametrik yaitu korelasi Spearman. Korelasi Spearman hanya dapat
dilakukan pada data yang bersifat ordinal. Hasil analisis Spearman dapat
memberikan nilai korelasi, signifikasi, serta arah korelasi antara variabel yang
dikaji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Pengujian kuesioner (uji validitas dan reliabilitas) dilakukan untuk
memastikan bahwa kuesioner yang digunakan valid dan andal sebagai alat
pengumpul data. Pengujian dilakukan kepada responden yang memiliki kedekatan
karakteristik dengan responden sesungguhnya yaitu ibu rumah tangga. Kuesioner
yang akan digunakan dalam kajian ini didesain dengan jenis pertanyaan tertutup
yang dapat dijawab oleh responden tanpa proses wawancara, namun dalam tahap
pengujian ini tetap dilakukan wawancara secara langsung kepada responden untuk
mendapatkan umpan balik yang lebih baik
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SPSS 16.0 for windows dengan menggunakan menu analyze-scale-
reliability analysis. Hasil uji dikatakan valid dan reliabel jika nilai corrected item-
total correlation dan cronbach’s alpha if item deleted lebih besar dari nilai r tabel
pada DF=N-2 dengan tingkat probabilitas 0.05 dengan N adalah jumlah responden.
Uji tidak dilakukan pada semua pertanyaan karena uji hanya dilakukan pada jenis
pertanyaan tertentu. Pertanyaan yang sudah dianggap jelas seperti pada blok I
tidak perlu diuji. Uji hanya dilakukan pada pertanyaan yang dianggap masih dapat
menimbulkan bias pada jawaban yang diberikan responden seperti beberapa
pertanyaan pada blok 2 dan 5.
Draft kuesioner awal diuji kepada 17 responden di Kota dan Kabupaten
Bogor yang terdiri atas lima blok dengan jumlah 42 nomor pernyataan. Hasil uji
coba I menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas yang rendah sehingga
dilakukan perbaikan pada kuesioner seperti penghapusan pertanyaan atau
pengubahan kata dan struktur kalimat. Perubahan ini juga didasarkan pada
pengamatan selama wawancara seperti pemahaman responden terhadap
pertanyaan; lama waktu pengisian kuesioner; serta pilihan jawaban yang lebih
mudah dipahami dan sesuai dengan pengalaman responden.
7
Hasil perbaikan draft kuesioner pertama menghasilkan draft kuesioner
kedua yang terdiri atas lima blok dengan jumlah 35 nomor pertanyaan. Uji coba
dilakukan kepada 31 responden. Penambahan jumlah responden merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan nilai validitas dan reliabilitas kuesioner. Hasil uji
validitas dan reliabilitas untuk beberapa item dapat dilihat pada Tabel 2, 3, dan 4.
Hasil uji (Tabel 2) menunjukkan hanya pertanyaan tentang perhatian
terhadap isu pangan rekayasa genetik dan pangan iradiasi yang valid namun tidak
reliabel begitu juga sebaliknya pada pertanyaan isu keracunan pangan dan pangan
organik. Namun secara keseluruhan blok pertanyaan diatas reliabel karena nilai
alpha crobach-nya lebih besar dari nilai R tabel yaitu 0.355. (0.540>0.355). Blok
berikutnya yang diuji adalah blok II pertanyaan nomor 2 (Tabel 3). Nilai alpha
cronbach 0.801 menunjukkan nilai reliabiltas secara keseluruhan yang tinggi.
Tabel 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B22
Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
0.522 0.540 4
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Keterangan
Validitas Reliabilitas
Perhatian isu
keracunan pangan 0.285 0.508 Tidak Ya
Perhatian isu
pangan rekayasa
genetik
0.449 0.300 Ya Tidak
Perhatian isu
pangan iradiasi 0.414 0.344 Ya Tidak
Perhatian isu
pangan organik 0.183 0.554 Tidak Ya
Tabel 3. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B26
Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
0.791 0.801 6
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Keterangan
Validitas Reliabilitas
Pangan dari pasar aman 0.519 0.771 Ya Ya
Pangan dari swalayan aman 0.584 0.760 Ya Ya
Pangan dari rumah makan
aman 0.629 0.738 Ya Ya
Organik lebih aman 0.343 0.798 Tidak Ya
Pangan rekayasa genetik
aman 0.622 0.746 Ya Ya
Pangan iradiasi aman 0.701 0.719 Ya Ya
8
Hasil uji pada blok V pertanyaan nomor 1 (Tabel 4) hanya item pertanyaan
sumber informasi dari televisi, media cetak dan internet saja yang menunjukkan
hasil valid dan reliabel sedangkan untuk sumber informasi yang lain tidak valid.
Nilai reliabilitas secara keseluruhan tinggi (0.639). Hasil uji coba kedua secara
keseluruhan telah menunjukkan peningkatan pada nilai validitas dan reliabilitas
sehingga kuesioner sudah dapat digunakan sebagai alat pengumpul data.
Tabel 4. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B51
Cronbach's Alpha Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
0.619 0.639 4
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Keterangan
Validitas Reliabilitas
Televisi 0.388 0.591 Ya Ya
Media cetak 0.499 0.468 Ya Ya
Internet 0.383 0.565 Ya Ya
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui
beberapa aspek yaitu lokasi, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah
pengeluaran untuk kebutuhan pangan, tanggung jawab untuk membeli dan
memasak kebutuhan pangan, serta jumlah anak usia sekolah dasar dalam keluarga.
Berdasarkan studi empiris, karakteristik demografi dari konsumen khususnya
gender, usia, tingkat pendidikan, dan pemasukan mempengaruhi tingkah laku
konsumen terhadap keamanan pangan (Wilcocky et al. 2004; Tucker et al. 2006;
Bektas et al. 2011).
Data kuesioner menunjukkan dari 139 kuesioner yang disebar 54%
responden bertempat tinggal di wilayah kota sedangkan 46% di wilayah
kabupaten sehingga terlihat proporsi lokasi responden yang merata. Sebagian
besar responden berada dalam kisaran usia produktif yaitu antara 20-59 tahun
dengan kecenderungan data mengelompok pada rentang usia 20-44 tahun (65%).
Walaupun sebagian besar responden berada dalam usia produktif, tujuh dari
sepuluh responden memilih untuk tidak bekerja dan berprofesi sebagai ibu rumah
tangga. Data ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi ibu rumah tangga masih
menjadi prioritas pertama bagi wanita setelah berkeluarga disamping bekerja di
sektor formal atau informal. Status ibu rumah tangga menjadi penting karena ibu
rumah tangga memainkan peran penting sebagai gate keeper yang bertanggung
jawab sekaligus pengambil keputusan dalam penyediaan pangan keluarga (Engel
et al. 1994). Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada Tabel 5 di
bawah ini.
Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik yang saling
berkaitan, dimana pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan (Sumarwan
2003). Sebagian besar responden dalam penelitian ini telah menamatkan
pendidikan menengah atas (54%) sedangkan hanya 5-6% lulusan diploma atau
9
sarjana. Data tabulasi silang (Gambar 1) menunjukkan bahwa responden dengan
tingkat pendidikan menengah atas ke bawah cenderung untuk memilih sebagai ibu
rumah tangga dibandingkan bekerja pada sektor formal dan informal yang lebih
menjadi pilihan bagi responden dengan tingkat pendidikan diploma atau sarjana.
Tingkat pengeluaran untuk pangan mengambarkan seberapa besar dana
yang digunakan suatu keluarga dalam satu bulan untuk memenuhi kebutuhan
pangannya. Besar rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan dalam satu bulan
menurut BPS (2013) adalah 53% dari penghasilan namun dalam penelitian ini
besar rata-rata pengeluaran yang digunakan adalah 50% dari penghasilan untuk
mempermudah penghitungan. Hasil pengolahan data menunjukkan sebagian besar
responden menghabiskan Rp750 000-Rp1 250 000 (47%) dan 30% responden
pada kisaran >Rp1 250 000-Rp2 500 000 sehingga dapat disimpulkan bahwa
responden merupakan golongan ekonomi menengah ke bawah yang cenderung
sebagian besar penghasilannya dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
Gambar 1. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan
Besarnya tanggung jawab responden terhadap keamanan pangan keluarga
dapat juga kita lihat pada aspek tanggung jawab untuk membeli dan memasak.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa bertanggung jawab untuk membeli
(94.00%) dan memasak (90.00%) sedangkan kurang dari 10.00% responden yang
menyerahkan tanggung jawab ini kepada anggota keluarga lain atau pembantu.
Sebagian besar responden (52.00%) memiliki 1-2 anak usia sekolah dasar sekolah
dasar. Keberadaan anak usia sekolah dasar juga memperbesar peran ibu rumah
tangga karena anak usia sekolah dasar merupakan salah satu golongan yang rentan
terhadap keracunan pangan (Bektas et al. 2011).
0
10
20
30
40
50
60
<=SD SMP SMA Diploma Sarjana
Fre
kuen
si
PNS
Pegawai swasta
Wirausaha
Tidak bekerja/ibu
rumah tangga
10
Tabel 5. Karakteristik demografi responden (n=139)
Karakteristik
Demografi Kelompok Frekuensi
Persentase
(%)
Lokasi Kota 75 53.96
Kabupaten 64 46.04
Usia
<20 tahun 5 3.6
20-44 tahun 91 65.47
45-59 tahun 36 25.9
>=60 tahun 7 5.04
Pekerjaan
PNS 14 10.07
Pegawai swasta 14 10.07
Wirausaha 16 11.51
Tidak bekerja/ibu rumah tangga 95 68.35
Pendidikan
<=SD 22 15.83
SMP 26 18.71
SMA 75 53.96
Diploma 7 5.04
Sarjana 9 6.47
Pengeluaran untuk
kebutuhan pangan
per bulan
<Rp750 000 19 13.67
Rp750 000-Rp1 250 000 66 47.48
>Rp1 250 000-Rp2 500 000 41 29.5
>Rp2 500 000 13 9.35
Tanggung jawab
membeli
saya sendiri 125 89.93
Anggota keluarga 14 10.07
Pembantu 0 0
Tanggung jawab
memasak
Saya sendiri 123 88.49
Anggota keluarga 15 10.79
Pembantu 1 0.72
Jumlah anak usia
sekolah dasar
1-2 52 52
3-4 3 3
>4 6 6
Tidak ada 39 39
Kesadaran, Persepsi Risiko, dan Kepercayaan Terhadap Keamanan Rantai
Pangan
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana tingkat
kesadaran, persepsi, dan kepercayaan ibu rumah tangga terhadap keamanan rantai
pangan. Informasi ini menjadi sangat penting karena merupakan informasi dasar
untuk melakukan intervensi. Definisi kesadaran berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah keinsafan; keadaan mengerti dan hal yang dialami atau dirasakan,
sedangkan persepsi didefinisikan sebagai proses seseorang mengetahui beberapa
hal melalui pancaindranya (KBBI 2013). Persepsi timbul sebagai hasil dari
pemrosesan informasi yaitu melalui interpretasi dan pemaknaan rangsangan.
11
Tahapan munculnya persepsi dimulai dari pemaparan stimulus yang diterima oleh
pancaindra. Stimulus yang diterima kemudian akan membentuk perhatian
sehingga seseorang akan mengalokasikan kapasitas pemrosesan yang akan
menyusun dan menerjemahkan informasi untuk memberikan arti terhadap
informasi tersebut sebagai tahap pemahaman yang melibatkan panca indra
(Oksowela 2008).
Gambar 2. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan
Gambar 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan keyakinan kebersihan
penyaluran pangan
Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan (Gambar 2)
menunjukkan proporsi nilai yang cukup seimbang antara yakin (30%) dan tidak
yakin (32%) dengan rata-rata penilaian responden pada kondisi netral (rata-rata=
2.99) dengan standar deviasi 1.25. Data tabulasi silang antara tingkat pendidikan
dengan keyakinan responden juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tidak yakin (Gambar 3). Fakta
ini menunjukkan bahwa konsumen sadar terhadap risiko keamanan penyaluran
pangan sehingga responden masih melakukan proses pembersihan sebelum diolah
lebih lanjut namun tetap diperlukan perluasan informasi mengenai risiko yang
terdapat pada produk pangan sehingga masyarakat dapat lebih waspada.
Perhatian terhadap beberapa isu pangan menunjukkan bahwa mayoritas
responden memperhatikan isu-isu mengenai pangan seperti keracunan pangan
(93.5%), penggunaan bahan kimia berbahaya (95%), daging gelonggongan
(93.5%), dan sisa pestisida pada produk pertanian (80.6%). Hal sebaliknya terjadi
pada isu produk pangan iradiasi dan rekayasa genetik yang belum menjadi
perhatian bagi sebagian besar responden. Produk pangan iradiasi dan rekayasa
genetik masih asing di tengah masyarakat karena belum banyak ditemui dan
dikonsumsi oleh responden.
15 42 27 45 4 6
Persentase (%)
Sangat yakin Yakin Netral
Tidak yakin Sangat tidak yakin Tidak tahu
0
10
20
30
40
50
<=SD SMP SMA Diploma Sarjana Total
Fre
kuen
si
Sangat yakin
Yakin
Netral
Tidak yakin
Sangat tidak yakin
Tidak tahu
Rataan = 2.99
Standar deviasi = 1.25
12
Angka kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia
berdasarkan laporan BPOM tahun 2011 cukup tinggi yaitu 128 kejadian dengan
jumlah orang yang terpapar sebanyak 18 144 orang dengan 6 901 orang sakit dan
11 orang meninggal. Beberapa data juga menyebutkan bahwa angka kejadian
KLB Keracunan Pangan banyak terjadi di negara berkembang seperti di kawasan
Asia-Pasifik (Tabel 1). KLB Keracunan Pangan di Indonesia paling banyak
disebabkan oleh pangan olahan rumah tangga (45.31%). Hal ini sesuai dengan
persepsi responden yang sebagian besar menyatakan sering terjadi keracunan
pangan (36.7%). Namun masih banyak responden yang menyatakan jarang
(27.3%) terjadi keracunan pangan. hal ini dapat disebabkan kurangnya informasi
tentang kejadian keracunan pangan.
Data lain menunjukkan bahwa dua tempat yang sering terjadi keracunan
pangan menurut responden adalah hajatan (47.5%) dan sekolah (37.4%)
sedangkan hanya tiga responden yang memilih rumah tangga (2.2%). KLB
Keracunan Pangan di rumah tangga sering terjadi pada saat pesta keluarga seperti
pernikahan dan khitanan. Penyebab utama dari KLB ini adalah manajemen
pengolahan pangan yang kurang baik dengan faktor kritis pada suhu dan waktu
pengolahan (BPOM 2012). Data tersebut diatas menunjukkan pengetahuan dan
kesadaran yang tinggi dari responden terhadap keamanan pangan di rumah tangga.
Persepsi responden terhadap keamanan pangan juga dapat dilihat
bagaimana responden mendefinisikan peralatan pengolahan pangan yang bersih.
Sebanyak 61.9% responden mendefinisikan peralatan pengolahan pangan yang
bersih sebagai peralatan yang tidak mencemari pangan, 35% sebagai peralatan
yang tidak berkarat atau gosong, dan hanya satu responden yang menjawab
dengan peralatan yang baru. Definisi yang responden berikan menunjukkan
pengetahuan dan persepsi yang baik terhadap keamanan pangan. Responden
sudah mengetahui bahwa peralatan pengolahan pangan yang bersih tidak selalu
baru tetapi peralatan yang tidak akan mencemari pangan baik berupa cemaran
mikrobiologi, fisik, ataupun kimia.
Keyakinan responden terhadap keamanan produk pangan yang berasal dari
pasar tradisional ataupun swalayan tidak berbeda. Responden menganggap bahwa
pangan yang berasal dari pasar tradisional maupun swalayan tidak aman walaupun
sebagian responden menganggap bahwa pangan yang berasal dari swalayan relatif
lebih aman (54.7%). Mayoritas responden (94.2%) juga menyatakan bahwa
responden yakin tidak akan keracunan jika pangan diolah sendiri dengan bersih
dan merasa yakin (64%) jika pangan yang berasal dari rumah makan aman.
Persepsi responden terhadap peran pemerintah dan industri pangan dalam
menjamin keamanan pangan yang beredar menunjukkan kecenderungan
responden menganggap pemerintah dan industri telah berperan dalam menjamin
keamanan pangan yang beredar. Namun proporsi jawaban tidak dan tidak tahu
yang cukup tinggi (±45%) menunjukkan peran yang belum begitu maksimal. Hal
ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan industri untuk lebih
memperlihatkan perannya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar
kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih yakin terhadap keamanan pangan
yang beredar.
Isu pangan organik, pangan rekayasa genetik (genetically modified food),
serta pangan iradiasi merupakan isu terkini dan terus berkembang di dunia.
Pangan organik menjadi pilihan konsumen karena memberikan ekspektasi pangan
13
yang lebih sehat dan ramah lingkungan (Sangkumchaliang dan Huan 2012). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan 79.9% responden merasa
yakin jika pangan organik lebih aman dibandingkan dengan pangan anorganik.
Pangan rekayasa genetik pada umumnya merujuk pada produk hasil
pertanian khususnya tanaman pangan yang telah mengalami perubahan genetik
untuk mendapatkan karakteristik tertentu seperti tahan terhadap serangan hama
atau peningkatan kandungan gizi (Verma et al. 2011). Produk pangan hasil
rekayasa genetik memiliki dampak positif dan negatif terhadap kesehatan.
Dampak positif dari GMF antara lain peningkatan nilai gizi produk serta
pengurangan jumlah residu pestisida/herbisida pada produk pertanian, namun
GMF memiliki beberapa risiko terhadap kesehatan seperti timbulnya alergi
(Verma et al. 2011). Kekurangan informasi dan belum familiarnya produk pangan
rekayasa genetik menyebabkan mayoritas responden tidak tahu (55.40%) dan
cenderung tidak yakin (30.90%) terhadap keamanan produk pangan rekayasa
genetik.
Hal yang sama terlihat pada keyakinan responden terhadap keamanan
produk pangan iradiasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 701
tahun 2009 tentang pangan iradiasi, pangan iradiasi adalah setiap pangan yang
dengan sengaja dikenai radiasi pengion tanpa memandang sumber atau jangka
waktu iradiasi ataupun besar energi yang digunakan. Setiap pangan iradiasi yang
beredar di Indonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi
pangan. Mayoritas responden menyatakan tidak tahu (64.7%) dan cenderung tidak
yakin (25.9%) bahwa produk pangan iradiasi aman bagi responden. Selain itu
korelasi antara perhatian terhadap pangan hasil iradiasi dengan keyakinan
terhadap keamanannya menunjukkan korelasi yang kecil dan bernilai negatif
(koefisien korelasi Spearman= -0.055). Hal ini menunjukkan perhatian responden
yang masih kurang sehingga cenderung menjawab tidak tahu dan tidak yakin.
Kurangnya hasil penelitian mengenai dampak pangan iradiasi terhadap kesehatan
menimbulkan banyak perdebatan di berbagai negara (Burns 2004). Berdasarkan
ulasan bukti ilmiah yang dilakukan oleh panel ahli, World Health Organization
(WHO) menyimpulkan bahwa pangan yang diiradiasi pada dosis yang tepat aman
untuk dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan gizi (Burns 2004). Selain itu. proses
iradiasi tidak akan menyebabkan pangan menjadi radioaktif dan beracun serta
tidak mendukung pembentukan kromosom yang abnormal (ICGFI 1999).
Perilaku Berbelanja
Perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi
individu tersebut. Salah satu perilaku yang erat kaitannya dengan keamanan
pangan adalah perilaku berbelanja. Perilaku dalam berbelanja ini terkait dengan
lokasi belanja, aspek yang diperhatikan ketika berbelanja, serta kebiasaan dalam
berbelanja. Tukang sayur keliling merupakan pilihan pertama bagi mayoritas
responden (41%) untuk berbelanja kebutuhan pangan sehari-hari. Tempat kedua
yang dipilih responden adalah pasar tradisional (31.7%) disusul warung kelontong
(29.5%). Akses lebih mudah menjadi pendorong utama responden untuk memilih
tukang sayur keliling dibandingkan pasar tradisional atau warung. Pasar
tradisional maupun modern lebih banyak dipilih responden untuk memenuhi
14
kebutuhan bulanan, sedangkan warung menjadi pilihan untuk melengkapi
kebutuhan jika masih ada kekurangan.
Uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan dengan pilihan pertama
tempat berbelanja menunjukkan korelasi negatif yang lemah (koefisien korelasi= -
0.218) tetapi signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap pilihan tempat belanja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
cenderung tidak memilih tukang sayur sebagai prioritas tempat berbelanja.
Sedangkan pengeluaran responden tidak berpengaruh sehingga baik responden
yang memiliki pengeluaran tinggi atau rendah tetap memilih tukang sayur sebagai
prioritas dalam berbelanja (Gambar 4).
Gambar 4. Prioritas pertama tempat berbelanja
Aspek perilaku berbelanja kedua yang dilihat adalah faktor yang menjadi
prioritas responden ketika berbelanja produk pangan olahan (Gambar 5). Harga
menjadi faktor utama yang diperhatikan responden ketika berbelanja dari sepuluh
faktor yang disebutkan yaitu harga, mutu, nomor registrasi BPOM, merk dagang,
nama dan alamat produsen, berat bersih, tanggal kedaluwarsa, kehalalan,
komposisi, dan nilai gizi (Gambar 5). Faktor prioritas kedua yang diperhatikan
adalah mutu produk disusul oleh kehalalan, tanggal kedaluwarsa, dan nilai gizi.
Fakta ini menunjukkan bahwa harga tetap menjadi prioritas pertama dibandingkan
dengan aspek keamanan dan kualitas produk. Perilaku dalam berbelanja ini sangat
dipengaruhi oleh pengalaman responden, lingkungan, serta keluarga (Swamy et al.
2012; Banumathy dan Hemameena 2006).
Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
dan pengeluaran berkorelasi positif dengan faktor utama ketika berbelanja. Hasil
ini menunjukkan bahwa baik responden yang berpendidikan dan berpenghasilan
tinggi cenderung tetap memilih harga sebagai prioritas utama. Hasil penelitian lain
yang dilakukan oleh Leibtag dan Kaufman (2003) menunjukkan bahwa golongan
keluarga dengan penghasilan yang rendah akan berusaha untuk seekonomis
mungkin dalam berbelanja sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk pangan
dengan cara membeli produk diskon, mengurangi mutu dan membeli produk
dengan merk lokal.
Beberapa aspek penting yang terdapat pada label produk pangan seperti
merk dagang, nomor registrasi BPOM, nama dan alamat produsen, berat bersih,
dan komposisi kurang menjadi perhatian responden ketika berbelanja. Hal ini
menunjukkan kurangnya perhatian responden terhadap aspek keamanan produk
pangan olahan. Nomor registrasi BPOM sangat penting untuk diperhatikan karena
0 10 20 30 40 50 60
Swalayan
Pasar tradisional
Pasar modern
Tukang sayur
Toko retail
Warung
Frekuensi
Tem
pat
15
seiring dengan banyak masuknya produk pangan olahan ilegal ke pasar yang
belum terjamin keamanannya. Hasil sampling operasi pasar bersama Tim Terpadu
Pengawasan Barang Beredar di tujuh kota yang memiliki pelabuhan laut/udara
internasional pada tahun 2011 menemukan 82 886 kemasan dari 1 133 jenis
produk makanan impor ilegal senilai Rp 1.7 milliar (BPOM 2012). Jenis produk
pangan ilegal yang ditemukan terdiri atas minuman ringan dalam kaleng, makanan
kaleng, biskuit, bumbu/rempah, susu, saus, makanan ringan, dan minuman
beralkohol.
Gambar 5. Prioritas pertama belanja pangan olahan
Harga juga menjadi faktor utama responden ketika berbelanja produk
pangan segar seperti daging, ikan, atau sayuran (Gambar 6). Empat dari sepuluh
responden memilih harga sebagai faktor pertama, disusul oleh mutu dan
keamanan. Risiko keamanan produk pangan segar lebih tinggi dibandingkan
dengan produk pangan olahan. Risiko ini akan semakin tinggi jika produk pangan
segar tersebut akan dikonsumsi mentah. Hasil penelitian Nurjanah (2006) pada
beberapa rumah makan menunjukkan bahwa sampel yang tidak mengalami proses
pemanasan seperti mentimun mengandung jumlah total mikroba yang tinggi (2.9-
6.8 log CFU/g) dan total koliform yang tinggi (2.5-3.7 log MPN/g) dibandingkan
dengan sampel ayam goreng/bakar yang mengandung total mikroba dan total
koliform yang rendah (<1.4 log CFU/g dan <0.3 log MPN/g). Aspek keamanan
yang menjadi pilihan terakhir responden menunjukkan perilaku yang kurang
memperhatikan aspek keamanan pangan.
Gambar 6. Prioritas pertama belanja pangan segar
Hal lain yang penting untuk diamati adalah perilaku responden dalam
memisahkan antara bahan pangan dan non pangan dalam tempat yang berbeda.
Pemisahan dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat
0 20 40 60 80
Harga
Mutu
Noreg BPOM
Merk
Berat bersih
Kedaluwarsa
Kehalalan
Nilai gizi
Frekuensi
Asp
ek
0 10 20 30 40 50
Harga
Mutu
Keamanan
Persentase (%)
Asp
ek
16
membahayakan kesehatan. Mayoritas responden (96.00%) sudah memisahkan
antara produk pangan dan non pangan ketika berbelanja. Hal ini menunjukkan
kesadaran responden untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi
dengan bahan yang berbahaya.
Praktik Penanganan dan Penyiapan Pangan
Konsumen sebagai pengguna produk pangan juga memiliki tanggung jawab
dalam menjaga keamanan pangan sesuai dengan Undang-undang nomor 18 tahun
2012 tentang pangan. Risiko keamanan pangan terhadap kesehatan konsumen
semakin tinggi ketika konsumen kurang memiliki pengetahuan tentang
pengolahan pangan yang baik sehingga konsumen terbiasa dengan cara
pengolahan pangan yang salah. World Health Organization (WHO) telah
mengembangkan pesan keamanan pangan yaitu ”Lima Kunci untuk Keamanan
Pangan” dengan harapan dapat mengurangi praktik higiene, sanitasi, dan
pengolahan pangan yang buruk di masyarakat. Lima kunci untuk keamanan
pangan tersebut adalah 1) jagalah kebersihan; 2) pisahkan pangan mentah dengan
pangan matang (cegah kontaminasi silang); 3) masaklah dengan benar; 4) jagalah
pangan pada suhu aman; dan 5) gunakan air dan bahan baku yang aman (WHO
2006).
Kunci I: Menjaga kebersihan
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang adalah
dengan mencuci tangan. Beberapa kondisi yang mengharuskan cuci tangan
sebelum dan saat menangani pangan antara lain sesudah dari toilet, setelah
menangani daging atau unggas mentah, setelah bersin, setelah mengganti popok
bayi, setelah bermain dengan hewan piaraan, serta setelah menangani pestisida
atau bahan kimia lainnya. Selain mencuci tangan, hal yang termasuk dalam aspek
menjaga kebersihan adalah cara membersihkan buah atau sayur serta peralatan
pengolah pangan.
Aspek kebersihan yang dibahas dalam penelitian ini antara lain mengenai
kebiasaan dalam mencuci tangan sebelum mengolah pangan dan setelah
menangani telur, daging, dan ikan serta cara dalam membersihkan buah dan sayur.
Mayoritas responden menyatakan selalu mencuci tangan sebelum mengolah
pangan, namun masih ada 16.5% responden yang kadang-kadang mencuci tangan.
Kebiasaan mencuci tangan dapat mengurangi keberadaan Staphylococcus aureus
yang secara alami terdapat pada tangan manusia. Staphylococcus aureus dapat
menjadi sumber terjadinya intoksifikasi enterotoksin B yang menjadi penyebab
ganguan kesehatan seperti gastroenteritis (Jay et al. 2005). Hal lain yang menjadi
perhatian adalah kebiasaan responden yang masih cukup banyak melanjutkan
memasak (25%) setelah memecahkan telur mentah. Kulit telur dapat menjadi
sumber pencemaran bakteri Salmonella Entritidis yang dapat menyebabkan
salmonellosis pada manusia. Salmonellosis merupakan salah satu penyakit
zoonosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Salmonella spp. (Kusomowinahyu
2005).
17
Gambar 7. Perilaku setelah memecah telur mentah
Hal yang berbeda terlihat pada kebiasaan responden yang selalu mencuci
tangan dengan sabun setelah menangani ikan atau daging segar (84.20%). Bau
amis serta lendir diduga menjadi penyebab responden selalu mencuci tangan
setelah menangani kedua bahan tersebut. Kebiasaan mencuci tangan dengan benar
merupakan cara yang paling mudah untuk menghindari kontaminasi mikroba
maupun kimia sehingga penyebaran informasi mengenai cara mencuci tangan
dengan benar perlu terus dilakukan. Hasil penelitian Anderson et al. (2004) yang
dilakukan dengan merekam aktivitas penyiapan pangan beberapa rumah tangga di
Amerika Serikat menyebutkan bahwa responden belum melakukan cuci tangan
sesuai dengan pedoman. Rata-rata waktu responden dalam mencuci tangan
dengan sabun kurang dari 20 detik dan 30% responden tidak menggunakan sabun
dalam mencuci tangan.
Pencucian sayur dan buah dengan cara menggosok dengan tangan atau busa
pada air yang mengalir bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
jumlah mikroba (Anderson et al. 2004). Data kuesioner menunjukkan 44.6%
responden telah melakukan dengan benar, namun masih banyak responden yang
hanya menahan dalam air (33.8%) atau merendam dalam air tanpa digosok
(13.7%). Pencuncian juga dapat mengurangi sisa pestisida yang terdapat pada
produk karena pestisida dapat larut dalam air. Oleh sebab itu pencucian harus
dilakukan pada air yang mengalir untuk mencegah terjadinya rekontaminasi pada
produk. Proses penggosokan diperlukan untuk membantu menghilangkan kotoran
atau mikroba yang terdapat pada permukaan buah. Selain itu hal yang juga harus
dilakukan dalam membersihkan buah dan sayur yang akan dikonsumsi secara
langsung adalah penghilangan bagian buah/sayur yang rusak. Bagian buah/sayur
yang telah rusak menjadi sumber mikroba yang berbahaya bagi kesehatan.
Kunci II: Mencegah kontaminasi silang
Kunci keamanan pangan yang kedua adalah memisahkan antara pangan
mentah dengan pangan matang untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang.
Pangan mentah terutama produk hewani dan pangan asal laut serta cairannya
mengandung mikroba patogen yang mungkin bermigrasi ke pangan lain selama
persiapan, pengolahan dan penyimpanan pangan (kontaminasi silang) (BPOM
2010). Kontaminasi silang ini dapat dicegah dengan memisahkan dalam wadah
yang berbeda serta membersihkan peralatan sebelum digunakan jika mengunakan
peralatan yang sama. Selain itu Fight BAC! Yang merupakan program kerja Food
Drug Administration (FDA) dalam promosi keamanan pangan di Amerika Serikat,
memberikan rekomendasi untuk menyimpan daging, unggas, atau produk
0 20 40 60 80 100
Lanjut memasak
Membasuh tangan
Mencuci tangan dengan sabun
Frekuensi
18
perikanan mentah pada rak paling bawah refrigerator sehingga cairan tidak
menetes pada produk pangan lain (Anderson et al. 2004).
Data kuesioner menunjukkan bahwa mayoritas responden membersihkan
kembali talenan (53.2%) atau pisau (38.8%) setelah digunakan untuk menangani
daging atau ikan segar sebelum digunakan untuk memotong buah atau sayur yang
akan dikonsumsi secara langsung. Mayoritas responden telah membersihkan
dengan benar yaitu mencuci dengan sabun kemudian mengeringkannya namun
masih banyak responden yang hanya membilas atau menyeka tanpa mencuci
dengan sabun terlebih dahulu. Cara lain yang dapat dilakukan responden untuk
mencegah kontaminasi silang adalah dengan menggunakan pisau atau talenan
yang berbeda. Agen yang paling banyak menyebabkan kontaminasi silang adalah
tangan (51%), meja/talenan (18%) dan peralatan masak (16%) (Anderson et al.
2004).
Selain dengan membersihkan, pencegahan kontaminasi silang juga dapat
dilakukan dengan cara memisahkan wadah antara pangan mentah dan pangan
matang. Hampir seluruh responden menyatakan telah melakukan rekomendasi ini
dengan benar (97.1%). Responden tidak menggunakan piring yang sama untuk
menyimpan makanan yang mentah dan matang. Kontaminasi silang dapat juga
terjadi selama proses penyimpanan. Pangan yang matang harus disimpan dalam
wadah tertutup dan terpisah dengan pangan mentah. Pangan mentah seperti daging,
ikan, atau produk perikanan lainnya harus disimpan dalam rak refrigerator/kulkas
yang paling bawah untuk menghindari tetesan cairan pada produk lain terutama
produk siap saji. Kesadaran responden dalam aspek ini sangat rendah karena
hanya satu responden yang menyimpan pada rak bagian bawah sedangkan
mayoritas menyimpan pada freezer (69.70%) atau laci di bawah freezer (33.10%).
Penyimpanan daging mentah atau ikan segar di laci bawah freezer sangat berisiko
menyebabkan kontaminasi silang pada produk yang disimpan di bawahnya karena
suhu pada tempat ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bagian yang lain
karena tempat ini didesain sebagai tempat pencairan produk beku sehingga
memungkinkan tetesan produk mengontaminasi produk lainnya.
Kunci III: Memasak dengan benar
Suhu dan waktu pemasakan merupakan hal yang kritis dalam pengolahan
pangan. Kejadian luar biasa keracunan pangan yang banyak terjadi akibat pangan
olahan rumah tangga disebabkan oleh suhu dan waktu pemasakan yang tidak tepat.
Kondisi undercooked menyebabkan bakteri patogen masih terdapat pada produk
tersebut sehingga dapat membahayakan kesehatan. Tingkat kematangan suatu
produk dapat diukur dengan menggunakan termometer pangan atau dengan
melihat perubahan karakteristik produk seperti perubahan warna atau tekstur.
Tingkat kematangan daging secara tepat dapat diukur dengan menggunakan
termometer. Hasil pengukuran termometer kemudian dibandingkan dengan suhu
minimal pengolahannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan
termometer masih belum familiar di masyarakat Indonesia. Hal yang sama juga
terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al. (2004) yang
menunjukkan hanya 5.32% responden rumah tangga Amerika Serikat yang
menggunakan termometer untuk memastikan bahwa pangan yang mereka olah
19
telah matang (Tabel 6). Responden dalam penelitian ini cenderung menusuk
dengan sodet dan mencicipi untuk memastikan daging sudah matang. Cara ini
sangat berisiko karena responden tidak dapat meyakinkan bahwa daging yang
diolah telah mencapai suhu minimal pengolahan. Suhu minimal pengolahan
beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 6. Metode untuk memastikan kematangan daging
Metode Persentase (%) Persentase (%)*
Dipotong dengan pisau 6.5 42.55
Ditusuk dengan alat masak 59.7 38.3
Dicicipi 23 5.32
Penampilan 7.2 13.83
Termometer 0 5.32
Waktu masak 3.6 1
*(Anderson et al. 2004)
Tabel 7. Suhu minimal pengolahan beberapa bahan pangan
Bahan pangan Suhu pengolahan minimal (°C)
Daging giling dan daging
campur
Sapi, babi, kambing 71.11
Kalkun,ayam 73.89
Daging sapi segar Medium rare 62.78
Medium 71.11
Well done 76.67
Ham Medium 71.11
Well done 76.67
Telur Masak sampai kuning dan putih
telur menjadi padat
Perikanan Udang, lobster,
kepiting
Daging putih dan buram
Remis, tiram Cangkang terbuka selama
pengolahan
Sumber: diolah dari http://fightbac.org
Kunci IV: Menyimpan pada suhu yang aman
Pedoman ke empat dalam upaya menjaga keamanan pangan di rumah
tangga adalah menyimpan pangan dalam suhu yang aman. Mikroba dapat
berkembang biak dengan sangat cepat jika pangan yang sudah matang disimapang
pada suhu ruang. Pertumbuhan mikroba akan turun dan berhenti ketika pangan
disimpan pada suhu di bawah 5°C atau di atas 60°C, walupun beberap mikroba
berbahaya masih dapat tumbuh di bawah suhu 5°C (WHO 2006). WHO
memberikan pedoman untuk menyimpan pangan pada suhu aman dengan 1) tidak
menyimpan pangan yang sudah matang pada suhu ruang lebih dari dua jam
khusunya untuk pangan yang mengandung daging, unggas, telur, dan ikan; 2)
membekukan dengan segera pangan yang telah matang dan pangan yang mudah
rusak (di bawah 5°C); 3) menjaga pangan yang telah matang tetap panas (lebih
dari 60°C) sebelum disajikan; 4) tidak menyimpan pangan terlalu lama walaupun
20
dalam refrigerator; dan 5) tidak melakukan thawing pangan beku pada suhu ruang
(WHO 2006).
Data penelitian menunjukkan 95.00% responden menyimpan pangan segar
seperti daging, ikan dan sayur di refrigerator, 2.20% menyimpan di meja/lemari
dapur dan 2.90% menyimpan di tempat lain. Data di atas menunjukkan kesadaran
responden yang tinggi untuk menjaga pangan pada suhu yang aman. Fakta lain
yang mendukung adalah kesadaran yang tinggi dari mayoritas responden untuk
menyimpan makanan sisa di refrigerator walaupun masih ada sebagian kecil
responden (8.6%) yang membiarkan pada suhu ruang.
Kunci V:Penggunaan air bersih dan bahan yang aman
Bahan baku seperti air dan es dapat mengandung mikroba patogen yang
dapat menyebabkan diare, tifus atau disentri. Proses perebusan, penyaringan, dan
klorinasi dapat menginaktivasi mikroba patogen namun tidak dapat
menghilangkan kandungan bahan kimia berbahaya (WHO 2006). Data kuesioner
menunjukkan semua responden menyatakan menggunakan air bersih dalam
mengolah pangan yang bersumber dari air tanah atau PDAM. Kualitas air yang
belum diketahui secara pasti oleh responden sebenarnya berisiko untuk
menimbulkan bahaya jika dikonsumsi mentah.
Kesadaran responden terhadap penggunaan bahan baku yang aman
ditunjukkan dengan tingginya perhatian responden terhadap isu daging
gelonggongan dan ayam tiren (mati kemarin) (93.5%) serta penggunaan bahan
kimia berbahaya (95%). Cara yang dapat dilakukan untuk memilih atau
menggunakan bahan baku dengan baik menurut WHO (2006) antara lain: 1)
membeli bahan baku yang segar; 2) menghindari pangan yang sudah rusak atau
busuk; 3) mencuci buah dan sayur dengan air yang aman khususnya sebelum
dikonsumsi secara langsung; 4) tidak menggunakan pangan yang telah
kedaluwarsa; serta 5) memilih pangan siap saji, pangan matang atau pangan yang
mudah rusak yang disimpan dengan benar.
Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan
Penerapan lima kunci keamanan pangan secara keseluruhan termasuk
dalam kategori baik dengan nilai rata-rata 3.99 dan standar deviasi 0.37. Data
pada Tabel 8 menunjukkan bahwa aspek menjaga kebersihan, memisahkan
pangan mentah dan matang, menyimpan pada suhu yang benar, serta penggunaan
air bersih secara keseluruhan mendapat penilaian sangat baik, namun aspek
memasak dengan benar masih mendapat penilaian netral dengan kecenderungan
tidak baik. Hal ini dapat disebabkan penggunaan termometer yang masih belum
populer di Indonesia sehingga dalam memastikan kematangan daging responden
melakukan dengan menusuk atau mencicipi. Kebiasaan untuk memastikan
kematangan daging dengan menusuk atau mencicipi yang telah dilakukan secara
turun temurun cukup untuk menyakin reponden jika pangan yang diolah telah
matang. Inilah yang menjadi banyak penyebab KLB Keracunan Pangan yang
banyak terjadi saat hajatan atau pesta keluarga yang mengolah pangan dengan
kuantitas besar tanpa manajemen keamanan pangan yang baik. Perilaku lain yang
21
patut menjadi perhatian adalah perilaku sebagian responden yang masih kadang-
kadang mencuci tangan sebelum mengolah pangan (16.55%) serta menyimpan
pangan sisa pada suhu ruang (8.63%).
Tabel 8. Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan
Aspek N Mean Std. Deviation Kategori
penilaian
Penggunaan air bersih 139 5 0 Sangat baik
Menjaga kebersihan 139 4.1 0.88 Sangat baik
Memasak dengan benar 139 2.2 0.60 Netral
Memisahkan/mencegah
kontaminasi silang 139 4 0.67
Sangat Baik
Menyimpan pada suhu
yang benar 139 4.1 0.78
Sangat baik
Nilai keseluruhan 139 3.9 0.37 Baik
Hasil penelitian ini juga dapat memberikan gambaran bahwa praktik
keamanan pangan di rumah tangga sesungguhnya tidak terlalu buruk namun
masih kurang baik pada aspek-aspek tertentu. Hal ini juga dapat meluruskan
bahwa pangan hasil olahan rumah tangga sebagai penyebab terbesar KLB
Keracunan Pangan di Indonesia merupakan istilah yang kurang tepat digunakan
jika merujuk pada temuan dalam penelitian ini. Pangan hasil olahan rumah tangga
secara sederhana akan diterjemahkan sebagai pangan hasil olahan rumah tangga
pada umumnya, padahal KLB Keracunan Pangan sesungguhnya tidak terjadi pada
rumah tangga namun pada saat acara hajatan atau pesta yang melibatkan banyak
orang dalam proses pengolahan dan penyelenggaraannya. Titik kritis keamanan
pangan dalam hal ini terdapat dalam aspek pemasakan dan penyimpanan.
Pemasakan yang sering tidak mencapai tingkat kematangan serta penyimpan
pangan siap saji pada suhu ruang yang cukup lama berisiko tinggi untuk kembali
terkontaminasi dan membahayakan konsumen.
Komunikasi risiko dan edukasi konsumen untuk memromosikan
pengolahan pangan dengan benar dapat menjadi cara yang tepat untuk manajeman
risiko keracunan pangan pada konsumen sebagai ujung dari rantai pangan (Patil et
al. 2005). Oleh sebab itu dibutuhkan penyebaran informasi yang lebih
komprehensif sehingga masyarakat dapat menjalankan cara pengolahan pangan
dengan baik dan benar.
Sumber Informasi Keamanan Pangan
Persepsi seseorang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki sebelumnya, semakin tinggi tingkat pengetahuan maka semakin baik
persepsinya terhadap sesuatu (Kotler 2001). Sumber pengetahuan dan pengalaman
dapat berasal dari aktivitas yang telah dilakukan maupun sumber informasi
tertentu seperti keluarga, media elektronik, ataupun media cetak. Menurut Kotler
22
(2001) sumber informasi adalah karakter penyampai pesan sehingga semakin
sedikit informasi yang disampaikan maka semakin sedikit pula pesan yang akan
ditangkap, begitu pula sebaliknya.
Informasi mengenai keamanan pangan dibutuhkan untuk memberikan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap risiko dari keamanan pangan.
Hasil pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa sumber informasi dapat
berasal dari lingkungan seperti teman atau keluarga, media elektronik, maupun
media cetak. Sebanyak 97.1% responden menyatakan pernah mendapatkan
informasi keamanan melalui televisi; 60% melalui radio; 75% melalui media
cetak (koran, majalah, pamflet); 81% melalui teman atau tetangga; 83% melalui
keluarga, 45% melalui internet; dan 57% melalui penyuluhan sehingga rata-rata
tujuh dari sepuluh responden menyatakan pernah mendapatkan informasi melalui
berbagai sumber informasi yang telah disebutkan di atas (Gambar 8). Hasil
penelitian lain mengenai persepsi keamanan pangan jajanan sekolah menunjukkan
bahwa 52.58% orang tua murid mendapatkan sumber informasi dari televisi atau
radio sedangkan 40% guru mendapatkan informasi dari koran dan majalah (Fitri
2007).
Gambar 8. Sumber informasi keamanan pangan
Gambar 9. Sumber informasi keamanan pangan yang paling berpengaruh
Televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap
perilaku mayoritas responden (82%) sedangkan penyuluhan dipilih oleh 10.1%
responden (Gambar 9). Televisi merupakan media komunikasi massa yang memiliki
kemampuan yang besar untuk menyebarkan informasi secara serentak dan meluas
melalui penggabungan antara audio, visual, dan gerak yang mampu memikat
perhatian massa. Penggabungan antara audio, visual, dan gerak mempunyai daya tarik
0 20 40 60 80 100
Media cetak
Teman
Keluarga
Internet
Penyuluhan
Televisi
Radio
Persentase (%)
Sum
ber
info
rmas
i
Ya
Tidak
0 20 40 60 80 100
TV
Media cetak
Teman
Keluarga
Internet
Penyuluhan
Persentase (%)
Su
mb
er i
nfo
rmas
i
23
yang kuat dan mampu memberikan kesan yang mendalam sehingga sangat
memungkinkan memberikan efek yang besar seperti bertambahnya pengetahuan,
sikap, persepsi, dan perubahan perilaku (Fitri 2007; Merril dan Lowenstein 1971).
Sistem Pengawasan dan Regulasi Pangan
Kemajuan teknologi di bidang pangan, perubahan gaya hidup konsumen,
serta semakin maju dan terbukanya perdagangan internasional mendorong
pertumbuhan industri pangan sehingga jenis pangan semakin beragam sementara
itu pengetahuan konsumen mengenai keamanan pangan masih belum memadai
sehingga dapat meningkatkan risiko pada kesehatan dan keselamatan konsumen.
Oleh sebab itu dibutuhkan sistem pengawasan obat dan makanan yang mampu
mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk yang beredar untuk melindungi
keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen. Hal inilah yang
melatarbelakangi pembentukan BPOM yang memiliki jaringan kerja nasional dan
internasional serta kewenangan penegakan hukum dan kredibilitas profesional
yang tinggi (BPOM 2013).
Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa
keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri
pangan, dan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan
sistem pengawasan keamanan pangan melalui pengaturan, standardisasi, penilaian,
inspeksi, serta edukasi. Industri berperan untuk menjaga mutu dan keamanan
produk dan konsumen berperan untuk melindungi dirinya sendiri dari pangan
yang tidak bermutu dan tidak aman.
Pandangan masyarakat mengenai peran BPOM dalam melakukan
pengawasan dan pengaturan dapat memberikan gambaran sejauh mana fungsi
tersebut telah dijalankan. Sebagian besar responden telah menjawab dengan benar
bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan pangan berada di Badan Pengawas
Obat dan Makanan (56.8%), Kementerian Kesehatan (22.3%), Kementerian
Pertanian (2.2%), Pemerintah Daerah (4%), konsumen (7.9%), serta tidak tahu
(7.9%). Fakta ini menunjukkan kesadaran yang cukup tinggi terhadap peran
organisasi pengawasan dan pengaturan pangan namun masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan kesadaran konsumen di Australia (60.4%) dan Inggris
(82%) (FSNZA 2008).
Gambar 10. Keyakinan terhadap kinerja BPOM
14 57 33 19 1 15
Persentase (%)
Sangat yakin Yakin NetralTidak yakin Sangat tidak yakin Tidak tahu
Rataan = 2.86
Standar deviasi = 1.395
24
Gambar 11. Kepuasan terhadap kinerja BPOM
Kesadaran responden terhadap keberadaan BPOM juga ditunjukkan dengan
data yang menyebutkan bahwa sembilan dari sepuluh responden pernah
mendengar dan mengetahui BPOM dan tujuh dari sepuluh responden mengetahui
peran dari BPOM. Rata-rata penilaian responden terhadap keyakinan dan
kepuasan kinerja yang telah dilakukan BPOM dalam upaya pelayanan dan
pembinaan keamanan pangan menunjukkan penilaian yang berada di kisaran
netral dengan standar deviasi yang tinggi yang menunjukkan sebaran penilaian
yang luas. Meskipun demikian, mayoritas responden merasa yakin (41%) dan
puas (37.4%) terhadap kinerja BPOM.
Korelasi Antara Variabel
Analisis korelasi antara variabel digunakan untuk mengetahui korelasi
antara variabel sehingga dapat dianalisis lebih lanjut. Analisis korelasi yang
digunakan dalam penelitian adalah korelasi Spearman. Analisis korelasi Spearman
merupakan analisis korelasi statistika nonparametrik untuk jenis data ordinal yang
diperkenalkan oleh Charles Spearman untuk mengukur kekuatan hubungan antara
dua variabel (Hauke dan Kossowski 2011). Analisis korelasi Spearman dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak SPPS 16.0 for windows. Luaran dari proses
analisis ini berupa tabel koefisien korelasi serta taraf signifikasi sehingga dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi, kekuatan, serta arah dari
korelasi dua variabel yang diuji. Tabel intepretasi koefisien korelasi Spearman
menurut De Vaus (2002) disajikan di bawah ini (Tabel 9).
Tabel 9. Interpretasi koefisien korelasi Spearman
Koefisien korelasi spearman Kekuatan hubungan
0.00 Tidak ada hubungan
0.01-0.09 Hubungan kurang berarti
0.10-0.29 Hubungan lemah
0.30-0.49 Hubungan moderat
0.50-0.69 Hubungan kuat
0.70-0.89 Hubungan sangat kuat
>0.90 Hubungan mendekati sempurna
6 52 34 27 2 18
Persentase (%)
Sangat puas Puas Netral
Tidak puas Sangat tidak puas Tidak tahuRataan = 2.86
Standar deviasi = 1.395
25
Korelasi antara pendidikan, pengeluaran, serta keyakinan responden
terhadap kebersihan penyaluran pangan
Tingkat pendidikan responden berkorelasi positif dengan besar pengeluaran
dengan kekuatan hubungan moderat dan signifikan pada taraf 0.01 (Tabel 10).
Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik yang saling berkaitan,
dimana pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan (Sumarwan 2003) yang
kemudian akan berkaitan pula dengan besar pemasukan individu tersebut. Dari
kajian ini nampak bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
cenderung semakin besar pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Namun, dalam
penelitian ini tidak nampak hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
dan besar pengeluaran terhadap keyakinan kebersihan penyaluran pangan (Tabel
10). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik responden tidak berpengaruh
terhadap keyakinan kebersihan penyaluran pangan yang menunjukkan pula
tingkat kesadaran yang sama pada semua responden.
Tabel 10. Korelasi tingkat pendidikan, pengeluaran, dan keyakinan kebersihan
penyaluran pangan
Pendidi-
kan
Keyakinan kebersihan
penyaluran pangan Pengeluaran
Spear-
man's
rho
Pendidikan Koefisien korelasi 1.000 0.116 0.326**
Sig. (2-arah) . 0.173 0.000
N 139 139 139
Keyakinan
kebersihan
penyaluran
pangan
Koefisien korelasi 0.116 1.000 0.069
Sig. (2-arah) 0.173 . 0.417
N 139 139 139
Pengeluaran Koefisien korelasi 0.326**
0.069 1.000
Sig. (2-arah) 0.000 0.417 .
N 139 139 139
**. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah).
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi
terbalik dengan prioritas tempat belanja pertama. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka cenderung semakin tidak memilih tukang sayur sebagai prioritas
belanja pertama. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan
kewaspadaan dan kesadaran seseorang, sehingga responden cenderung lebih
waspada terhadap keamanan produk yang dijual. Data tabulasi silang juga
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan sarjana lebih
memilih swalayan yang dianggap lebih menjamin keamanan produk daripada
tukang sayur.
26
Tabel 11. Korelasi tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan prioritas pertama
tempat belanja serta faktor belanja pangan olahan dan segar
Tempat belanja I
Faktor belanja
olahan I
Faktor belanja
segar I
Spear
-
man's
rho
Pendidikan Koefisien korelasi -0.218**
0.247**
0.213*
Sig. (2-arah) 0.010 0.003 0.012
N 139 139 139
Pengeluaran Koefisien korelasi -0.072 0.167* 0.177
*
Sig. (2-arah) 0.400 0.049 0.037
N 139 139 139
Tempat
belanja I
Koefisien korelasi 1.000 0.159 0.060
Sig. (2-arah) . 0.061 0.484
N 139 139 139
Faktor
belanja
olahan I
Koefisien korelasi 0.159 1.000 0.738**
Sig. (2-arah) 0.061 . 0.000
N 139 139 139
Faktor
belanja segar
I
Koefisien korelasi 0.060 0.738**
1.000
Sig. (2-arah) 0.484 0.000 .
N 139 139 139
**. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah).
*. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama
belanja pangan olahan dan segar dengan hubungan yang lemah dan signifikan
pada taraf 0.01 dan 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa harga tetap menjadi
prioritas bagi semua responden meskipun memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Besar pengeluaran tidak berkorelasi dengan prioritas tempat belanja namun
berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan
segar namun dengan kekuatan hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan ada
kecenderungan bahwa responden dengan pendidikan yang tinggi pun tetap
berusaha untuk seekonomis mungkin dalam memenuhi kebutuhan pangan
sehingga kurang memprioritaskan aspek keamanan.
Faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar saling berkorelasi
positif sehingga responden yang memilih harga sebagai prioritas pertama dalam
berbelanja pangan olahan akan memilih faktor yang sama ketika berbelanja
pangan segar.
Data pada Tabel 12 menunjukkan pendidikan tidak berkorelasi secara
signifikan terhadap keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM. Pengeluaran
berkorelasi negatif dengan hubungan yang lemah dan signifikan terhadap
keyakinan namun tidak berkorelasi signifikan terhadap kepuasan. Keyakinan dan
kepuasan berkorelasi positif dengan hubungan kuat dan signifikan pada taraf 0.01.
Semakin tinggi keyakinan responden maka semakin tinggi tingkat kepuasan
responden terhadap kinerja BPOM.
27
Tabel 12. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan keyakinan
dan kepuasan kinerja BPOM
Keyakinan
kinerja BPOM
Kepuasan
kinerja BPOM
Spearman’
s rho
Pendidikan Koefisien korelasi -0.070 -0.066
Sig. (2-arah) 0.410 0.440
N 139 139
Pengeluaran Koefisien korelasi -0.206* -0.137
Sig. (2-arah) 0.015 0.108
N 139 139
Keyakinan kinerja
BPOM
Koefisien korelasi 1.000 0.682**
Sig. (2-arah) . 0.000
N 139 139
**. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah).
*. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan perilaku
responden dalam menerapkan lima kunci keamanan pangan seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 13. Tingkat pendidikan berkorelasi lemah dan signifikan
pada taraf 5% namun tingkat pengeluaran berkorelasi moderat dan signifikan pada
taraf 1%. Hal ini sesuai dengan pendapat Bektas et al. (2011) bahwa pendapatan
dan tingkat pendapatan yang tinggi serta keberadaan orang lanjut usia di rumah
tangga meningkatkan kemungkinan pengetahuan keamanan pangan yang baik.
Tabel 13. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan perilaku
dalam penyiapan dan pengolahan pangan
Penggunaan
air bersih
Menjaga
kebersihan
Mema-
sak
Memisah-
kan
Menyim-
pan
Keselu-
ruhan
Pendidikan Koefisien
korelasi . 0.282
** -0.039 0.184
* 0.124 0.208
*
Sig. (2-arah) . 0.001 0.647 0.030 0.147 0.014
N 139 139 139 139 139 139
Pengeluaran Koefisien
korelasi . 0.264
** 0.038 0.268
** 0.211
* 0.349
**
Sig. (2-arah) . 0.002 0.660 0.001 0.013 0.000
N 139 139 139 139 139 139
**. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah).
*. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesadaran dan persepsi konsumen terhadap risiko keamanan pangan
ditunjukkan dengan kesadaran dan perhatian responden terhadap isu-isu
keamanan pangan yang berkembang di masyarakat sudah cukup baik. Namun,
perhatian terhadap isu pangan hasil rekayasa genetik dan iradiasi masih kurang
sehingga responden masih belum tahu dan cenderung tidak yakin terhadap
28
keamanan produk tersebut. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran
pangan menunjukkan proporsi yang seimbang antara yakin dan tidak yakin
dengan kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin cenderung
tidak yakin.
Prioritas pertama tempat berbelanja responden adalah tukang sayur (41%)
disusul dengan pasar tradisional (31.7%) dan warung kelontong (29.5%). Harga
menjadi pilihan pertama aspek yang diperhatikan responden ketika berbelanja
pangan olahan maupun segar dibandingkan dengan faktor mutu dan keamanan.
Mayoritas responden (96%) sudah memisahkan antara produk pangan dan non
pangan dalam tempat yang berbeda ketika berbelanja.
Aspek menjaga kebersihan sebagai kunci pertama keamanan pangan sudah
dilaksanakan dengan baik oleh mayoritas responden, namun masih cukup banyak
responden yang melanjutkan memasak setelah memecah telur mentah dan hanya
menahan pada air mengalir atau merendam untuk membersihkan buah dan sayur.
Praktik pencegahan kontaminasi silang secara umum telah dilakukan dengan
benar oleh responden namun masih kurang dalam perilaku menyimpan pangan
segar di refrigerator dimana hanya satu responden yang menyimpan dengan benar
pada rak paling bawah. Aspek memasak dengan benar masih belum dilakukan
dengan benar. Responden cenderung menusuk dan mencicipi untuk memastikan
kematangan dibandingkan dengan melihat suhu minimal pengolahannya.
Mayoritas responden juga telah melakukan penyimpanan produk pangan pada
tempat yang benar namun masih ada 8.63% responden yang menyimpan pangan
sisa pada suhu ruang. Aspek terakhir adalah penggunaan air bersih dan bahan
yang aman telah dilakukan dengan baik oleh responden. Hasil skoring pada
penerapan lima kunci keamanan pangan menunjukkan rata-rata nilai masuk dalam
kategori baik (rata-rata= 4) dengan standar deviasi yang cukup lebar (0.3789).
Nilai standar deviasi yang tinggi menunjukkan sebaran nilai yang luas sehingga
masih ada aspek yang belum dilaksanakan dengan baik khususnya pada aspek
memasak dengan suhu yang benar.
Mayoritas responden telah menerima informasi keamanan pangan melalui
berbagai media dengan televisi sebagai media yang paling berpengaruh terhadap
perilaku responden (82%). Mayoritas responden menganggap fungsi pengawasan
dan pengaturan keamanan pangan berada di BPOM (56.8%) dan Kementerian
Kesehatan (22.3%). Responden sudah menyadari dengan baik keberadaan BPOM
dengan penilaian keyakinan dan kepuasan kinerja yang netral.
Tingkat pendidikan responden berkorelasi positif dengan besar pengeluaran
dengan kekuatan hubungan moderat dan signifikan pada taraf 0.01. Hubungan
antara tingkat pendidikan dan besar pengeluaran terhadap keyakinan kebersihan
penyaluran pangan tidak signifikan. Tingkat pendidikan berkorelasi terbalik
dengan prioritas tempat belanja pertama. Tingkat pendidikan berkorelasi positif
dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar dengan
hubungan yang lemah dan signifikan pada taraf 0.01 (pangan olahan) dan 0.05
(pangan segar). Besar pengeluaran tidak berkorelasi dengan prioritas tempat
belanja namun berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan
olahan dan segar namun dengan kekuatan hubungan yang lemah. Pendidikan tidak
berkorelasi secara signifikan terhadap keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM.
Pengeluaran berkorelasi negatif dengan hubungan yang lemah dan signifikan
terhadap keyakinan namun tidak berkorelasi signifikan terhadap kepuasan.
29
Keyakinan dan kepuasan berkorelasi positif dengan hubungan kuat dan signifikan
pada taraf 0.01. Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan
perilaku responden dalam menerapkan lima kunci keamanan pangan.
Penyebaran informasi keamanan pangan harus terus dilakukan untuk
memberikan kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap risiko keamanan
pangan. Penyebaran informasi dan edukasi konsumen mengenai keamanan pangan
melalui televisi dapat menjadi pilihan yang paling baik untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat khususnya masyarakat dengan tingkat
ekonomi menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah.
Pengawasan dan sosialisasi terhadap pedagang sayur keliling dibutuhkan
untuk menjaga keamanan produk karena sebagian besar responden mendapatkan
produk dari pedagang sayur keliling. Promosi dan edukasi lima kunci keamanan
pangan harus terus dilakukan sehingga seluruh prinsip-prinsip keamanan pangan
rumah tangga dapat diketahui dan diterapkan dengan baik.
Saran
Penelitian yang telah dilakukan ini dapat menjadi dasar untuk memonitor
dan melakukan kajian lebih dalam mengenai kesadaran dan perilaku keamanan
pangan rumah tangga. Kajian yang lebih mendalam dan spesifik dibutuhkan untuk
mengetahui lebih jauh bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam menerapkan
prinsip-prinsip keamanan pangan. Studi observasional baik melalui pengamatan
lapangan atau perekaman perilaku dapat memberikan kondisi yang lebih riil
terhadap perilaku ibu rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson JB, Shuster TA, Hansen KE, Levy AS, Volk A. 2004. A cameras’s
view of consumer food-handling behaviors. J of the American Diet. Assc.
104(2):186-191.
Banumathy S, Hemameena M. 2006. Analysis of brand preference of soft drinks
in the global environment. Ind. J. Marketing. 36(6):12-16.
Bektas ZK, Miran B, Uysal OK, Gunden C. 2011. Consumer awareness for food
safety in Turkey. Bulgarian J of Agr Sci. 17(4):470-483.
Burns WJ. 2004. Risk Perception: A review. Los Angeles (US): Center for Risk
and Economic Analysis of Terrorisme Events. University of Southern
California.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan . 2013. Latar belakang BPOM.
[internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari:
http://pom.go.id/pom/profile/latar_belakang.php
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2010. Peran serta konsumen dalam
menjaga keamanan pangan. InfoPOM Volume XI. No. 3 Mei-Juni 2010 ISSN
1829-9334. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Laporan tahunan 2011.
Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan.
30
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus penduduk 2010 [internet]. [diacu 2013
Juni 18]. Tersedia dari: http://sp2010.bps.go.id/
De Vaus DA. 2002. Surveys in Social Research. 5th Edition. Crows Nest (AU):
Allen & Unwin.
DeWall CS, Nadine R. 2005. Food safety around the world. Washington (US):
Center for Science in the Public Interest.
Engel. J.F,Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi Ke- 6.
Jilid 1. Budiyanto FX. penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.
Fitri RN. 2007. Persepsi orang tua dan guru terhadap keamanan pangan jajanan
anak sekolah dasar di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
[FightBAC!]. 2013. Cook fact sheet. . [internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia
dari: http://fightbac.org/safe-food-handling/cook
[FSNZA] Food Standards Australia New Zealand. 2008. Consumer attitudes
survey 2007: A benchmark survey of consumers’ attitude to food issue.
Canberra (AU): Food Standards Australia New Zealand.
Hauke J, Kossowski T. 2011. Comparison of values of pearson’s and spearman’s
correlation coefficients on the same sets of data. Quaestiones Geographicae
30(2).
[ICGFI] International Consultative Group on Food Irradiation. 1999. Facts about
food irradiation. Viena (AT): International Consultative Group on Food
Irradiation.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern food microbiology seventh
edition. New York (US): Springer.
[KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari:
http://kamusbahasaindonesia.org/kesadaran
Kotler. P. 2001. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Jakarta (ID): Salemba 4.
Kusomowinahyu RRSB. 2005. Kajian serologis terhadap Salmonella SP sebagai
landasan pengembangan metoda diagnostic [Tesis]. Bogor (ID) :Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Leibtag ES, Kaufman PR. 2003. Exploring food purchase bahavior of low-income
households. how do they economize?. Agr Info Bulletin. 747-07.
Merril CJ, Lowenstein LR. 1971. Media, Massage and Man: New Perspective in
Communication. New York (US): David Mckey Co.
Nurjanah S. 2006. Kajian sumber cemaran mikrobiologis pangan pada beberapa
rumah makan di lingkar kampus IPB Darmaga Bogor. J Ilmu Pertanian
Indonesia. 11( 3):18-24. doi: 0853-4217.
Oksowela T. 2008. Persepsi konsumen terhadap tanggal kadaluwarsa berdasarkan
faktor mutu dan keamanan pangan pada label kemsan produk pangan di daerah
bogor dan sekitarnya [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Patil. Sumeet R, Sheryl C, Roberta M. 2005. Consumer food safety knowledge.
practices and demographic differences: finding from a meta-analysis. J of Food
Protection. 68(9):1884-1894.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. 2013. Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 127
31
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 701 Tahun 2009 tentang
Pangan Iradiasi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang
Keamanan. Mutu dan Gizi Pangan. 2004. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 107.
Prabhakar SVRK, Sano D, Srivastava N. 2010. Food safety in the Asia-Pacific
Region: current status. policy perspectives. and a way foward. In Sustainable
consumption and production in the Asia-Pacific Region: Effective responses in
a resource constrained world. Institute for Global Envoromental Strategies.
white paper III. pp 215-328. Hayama (JP): Institute for Global Envoromental
Strategies.
Sangkumchaliang P, Huang W. 2012. Consumers’ perceptions and attitudes of
organic food products in northern Thailand. International Food and
Agribusiness Management Review. 15( 1).
Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES.
Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen : Teori dan penerapannya dalam
pemasaran. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
Swamy MB, Kumar TA, Rao KS. 2012. Buying behaviour of consumers towards
instant food products. International J of Research and Computational
Technology. 2(2). doi:0975-5465.
Tucker M, Whaley SR, Sharp JS. 2006. Consumer perceptions of food-related risk.
International Journal of Food Science and Technology. 41(2):135-146.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Lembar Negara Nomor 227.
Verma C, Nanda S, Singh RK, Singh RB, Mishra S. 2011. A review on impacts of
genetically modified food on human health. The Open Nutraceuticals J. 4 (3).
[WHO] World Health Organization. 2006. Five keys to safer food manual.
Geneva (SW): Department of food safety, zoonoses and foodborne disease
World Health Organization .
Wilcocky A, Pun M, Khanonax J, Aung M. 2004. Consumer attitudes. knowledge
and behaviour: a review of food safety issues. Trends in Food Sci & Technol.
15:56–66.
32
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel nilai korelasi r
Derajat Bebas Taraf Kepercayaan Derajat Bebas Taraf Kepercayaan
5% 1%
5% 1%
1 0.999 1.000 16 0.468 0.575
2 0.950 0.990 17 0.456 0.561
3 0.878 0.959 18 0.444 0.549
4 0.811 0.917 19 0.443 0.537
5 0.754 0.874 20 0.432 0.526
6 0.707 0.834 21 0.413 0.526
7 0.666 0.798 22 0.404 0.515
8 0.632 0.765 23 0.396 0.505
9 0.602 0.735 24 0.338 0.495
10 0.576 0.708 25 0.381 0.485
11 0.553 0.684 26 0.374 0.478
12 0.532 0.661 27 0.367 0.463
13 0.497 0.623 28 0.361 0.463
14 0.497 0.606 29 0.355 0.456
15 0.482 0.590 30 0.349 0.449
33
Lampiran 2. Pengkodean dan prosedur entri jawaban
Blok
Nomor
pertanyaan Pengkodean (coding) Keterangan
1 1, 2, 3,4, 5,
6 A=1; B=2; C=3; D=4; E=5
Menyesuaikan
dengan banyaknya
pilihan jawaban
2
1, 3, 4, 5
A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6
Menyesuaikan
dengan banyaknya
pilihan jawaban
2 Ya=1; Tidak=0
6 Ya=1; Tidak=0; Tidak tahu=2
3
1 Swalayan=1; Pasar tradisional=2;
Pasar modern=3; Tukang sayur=4;
Toko retail=5; Warung=6
2
Harga=1; Mutu=2; Noreg
BPOM=3; Merk=4; Nama
perusahaan=5; Berat bersih=6;
Kedaluwarsa=7; Kehalalan=8;
Komposisi=9; Nilai gizi=10
3 Harga=1; Mutu=2; Keamanan=3
4 Ya=1; Tidak=0; Tidak tahu=2
4
1, 9 Ya=1; Tidak=0
2 Ya=1; Tidak=0; Kadang-kadang=2
3, 4, 5, 6,
7, 8, 10,
11, , 12 A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6
Menyesuaikan
dengan banyaknya
pilihan jawaban
5
1, 4, 5 Ya=1; Tidak=0
2, 3, 6, 7
A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6;
G=7; H=8
Menyesuaikan
dengan banyaknya
pilihan jawaban
Semua jawaban yang telah dipilih oleh responden harus dilakukan pengkodean
terlebih dahulu. Entri data dilakukan pada kolom variabel yang sesuai dengan
nomor pertanyaan (file SPSS terlampir). Cara entri data lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut:
1. Buka file entridata.sav,buka tab data view
2. Pada tab data view akan muncul kolom dengan nama variabelnya
misalnya B31, maka kolom tersebut adalah kolom jawaban untuk
pertanyaan blok 3 pertanyaan nomor 1. Contoh lain misalnya B51a (Blok
5 pertanyaan/pernyataan nomor 1 poin a); B31_I (Blok 3 pertanyaan
nomor 1 pilihan/urutan jawaban pertama)
3. Entri data pada kolom variabel yang sesuai
4. Simpan file yang telah berisi data kuesioner dengan mengklik menu file-
save (ctrl+s) atau gambar disket pada tool bar
34
Lampiran 3. Prosedur skoring blok 4
No Aspek No pertanyaan jumlah pilihan
jawaban
Kode
jawaban Score Keterangan
1
Pengguna
an air
bersih
1 2 A 5
B 0
2
Menjaga
kebersih-
an
2 3 A 5
B 3
C 0
3 5 C 5
B 3
A,E 0
D -
Tidak
dihitung
4 5 C 5
B 3
A,E 0
D -
Tidak
dihitung
7 5 A,D 5
B 3
C 2
E 0
3
Memasak
dengan
benar
8 6 E 5
A 4
C 3
B,D,F 2
4
Mence-
gah
kontami-
nasi
silang
5 4 C 5
B 3
A,D 0
6 5 C, D 5
B 3
A,E 0
9 2 B 5
A 0
5
Menyim-
pan pada
suhu
yang
benar
10 3 B 5
A,C 0
11 7 D 5
A 4
B,E 3
C 1
F 0
12 4 B 5
C 3
A,D 0
Prosedur pengolahan data
1. Jawaban pada kuesioner yang telah dimasukkan dalam program SPPS di-
copy ke program Microsoft excel
2. Angka kode disesuaikan dengan score yang telah ditentukan diatas
3. Hitung rata-rata pada setiap aspek dengan menjumlah skor tiap jawaban
dengan jumlah soal, khusus untuk aspek menjaga kebersihan jika jawaban
35
pada pertanyaan nomor 3 dan 4 adalah D maka hasil penjumlahan hanya
dibagi dengan 2 bukan 4
4. Hitung rata-rata nilai keseluruhan dengan menjumlah nilai rata-rata tiap
aspek dibagi dengan banyak aspek
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Mochamad Sobich
Maimun, dilahirkan di Lumajang, 22 Agustus 1990. Penulis
merupakan anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan
bapak Siksono (alm) dan ibu Dewi Mariyah. Pada tahun
1997 hingga tahun 2003 penulis menyelesaikan jenjang
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Klanting. Kemudian pada
tahun 2003 hingga tahun 2006, penulis melanjutkan
pendidikan di SLTP Negeri 1 Sukodono. Pada tahun yang
sama penulis diterima di SMA 2 Lumajang melalui jalur undangan hingga lulus
pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor
dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI pada tahun yang sama.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan
keorganisasian antara lain sebagai Local committee Director of International
Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) LC IPB tahun
2011-2012, Project Officer Indonesian Food Expo Himitepa IPB 2012 serta
Wakil ketua Paguyuban Penerima Beasiswa Karya Salemba empat IPB tahun
2011. Penulis juga berkesempatan untuk menjadi presenter karya tulis ilmiah pada
berbagai symposium internasional seperti SUIJI Symposium, Bogor Agricultural
University, Bogor-Indonesia (2012); TRI-U Joint Seminar and Symposium, Bogor
Agricultural University, Bogor-Indonesia (2012) dan Good Practices Program,
Niigata University, Niigata-Jepang (2013). Selama kuliah, penulis juga
berkesempatan mendapatkan Beasiswa PPA, Karya Salemba Empat Unggul serta
Beasiswa pertukaran pelajar ke spanyol melalui program Erasmus Mundus Action
II. Pada tahun 2013 penulis juga mendapatkan penghargaan sebagai peringkat
ketiga mahasiswa berprestasi Institut Pertanian Bogor .
Sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan magang penelitian pada Direktorat
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan
Makanan dengan judul skripsi “Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah
Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor “.