Kajian Fiskal Regional Tahunan - djpbn.kemenkeu.go.id · dokumen resmi dan untuk mengajukan...
Transcript of Kajian Fiskal Regional Tahunan - djpbn.kemenkeu.go.id · dokumen resmi dan untuk mengajukan...
Kajian Fiskal Regional Tahunan (Annual Regional Fiscal Report)
Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU i
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kita panjatkan kepada Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan Kajian
Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017 dengan baik.
Kajian Fiskal Regional diterbitkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Nomor 30/PB/2013 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Nomor SE-61/PB/2017 sebagai sarana untuk membangun komunikasi
dua arah dalam pertukaran data dan informasi baik dengan stakeholders internal
maupun eksternal.
Dengan demikian, diharapkan para pemangku kepentingan dalam hal ini
Pemerintah Daerah, Satuan Kerja Pemerintah Pusat, pelaku usaha, serta akademisi di
lingkup Provinsi Kepulauan Riau dapat memperoleh masukan dalam merumuskan
kebijakan pengembangan ekonomi daerah, sehingga bisa memberikan manfaat untuk
pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Adapun beberapa aspek yang menjadi bahasan utama dalam kajian adalah
perkembangan ekonomi regional, perkembangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah, keunggulan dan potensi daerah, serta tantangan fiskal yang dihadapi daerah.
Dalam penyusunan Kajian Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017
ini kami banyak memperoleh dukungan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan
Riau, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, dan Seluruh Pemerintah
Daerah Lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, kami menyampaikan
apresiasi yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, semoga kerjasama yang telah
terjalin selama ini dapat lebih ditingkatkan di masa yang akan datang.
Kami menyadari penyusunan Kajian Fiskal Regional ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dalam meningkatkan kualitas
Kajian Fiskal Regional ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal, terutama untuk
kemakmuran masyarakat Kepulauan Riau.
Tanjungpinang, Februari 2017 Kepala Kantor
Heru Pudyo Nugroho NIP 19721112 199803 1 002
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II ii
TIM PENYUSUN
KAJIAN FISKAL REGIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2017
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI
KEPULAUAN RIAU
Penanggungjawab: Kepala Kanwil DItjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
Heru Pudyo Nugroho
Ketua Kepala Bidang PPA II
Edy Sutriono
Wakil Ketua: Haryando Anil
Penulis:
Dhika Habibi Zakaria Haryando Anil
Desain Cover dan Layout: Dhika Habibi Zakaria
Kontributor: Jaruli Simanullang
Mas Nursanto Benjamin Franklin Marudur Manurung
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU iii
RINGKASAN EKSEKUTIF Kondisi laju pertumbuhan ekonomi Kepri mengalami perlambatan semenjak 5
(lima) tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Kepri berada pada angka 2,01 persen (yoy)
dan yang merupakan angka terendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan
ekonomi pada periode yang sama selama kurun waktu 2012-2017. Melambatnya
pertumbuhan ekonomi Kepri di dorong oleh lesunya sektor industri pengolahan (43,91
persen), konstruksi (20,42 persen) dan pertambangan (18,08 persen) yang merupakan
sektor dominan dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Kepri
dipengaruhi oleh Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PDRB) (38,13 persen)
dan Konsumsi Rumah Tangga (37,45 persen). Inflasi Kepri 2017 terjaga di 3,61 persen
(target 4±1%), penyumbangan inflasi tertinggi ada pada kelompok bahan makanan yang
sangat sensitif terhadap kondisi cuaca dan gelombang laut (menghambat jalur
distribusi).
Dengan IPM sebesar 73,99, Kepri berada pada peringkat IPM ke-empat tertinggi
di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan keberhasilan percepatan pembangunan di
Kepri khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Namun bila dilihat
secara parsial, masih terdapat 3 Kabupaten/Kota yang memiliki IPM di bawah Nasional
(70.18) yakni Kabupaten Karimun (69,84), Kabupaten Lingga (62,44), dan Kabupaten
Kepulauan Anambas (66,30). Tingkat kemiskinan (6,13 persen) dan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) (7,16 persen) mengalami peningkatan, diduga
merupakan dampak dari lesunya pertumbuhan ekonomi di Kepri yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global.
Tren negatif pertumbuhan ekonomi Kepri dianggap sebagai penyebab mayor
turunnya pendapatan Pemerintah Pusat. Realisasi pendapatan Pemerintah Pusat tahun
2017 sebesar 7,43 triliun, turun -4,65 persen dari tahun 2016 yang sebesar Rp7,78
triliun. Penambahan basis pajak dari hasil program Tax Amnesty 2016-2017 belum
mampu memperbaiki penerimaan pajak di akhir 2017. Namun terjadi peningkatan
belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1,08 triliun dari belanja Pemerintah Pusat tahun
2016 sebesar Rp5,22 triliun. Kondisi ini menyebabkan melebarnya celah defisit APBN
Kepri sebesar 7,80 persen (yoy) dengan nominal Rp5,63 triliun. Defisit APBN Kepri
tersebut belum memperhitungkan PNBP Sumber Daya Alam (SDA) yang dicatat
langsung sebagai penerimaan di Pusat. Selanjutnya, Alokasi Dana Transfer ke Daerah
dan Dana Desa untuk Kepri pada tahun 2017 mencapai Rp7,55 triliun, turun -7,65
persen dibandingkan tahun 2016. Harga migas yang terus terkoreksi turun di tahun
2017 merupakan salah satu satu faktor pendorong anjloknya total penerimaan Transfer
ke Daerah dan Dana Desa pada tahun 2017.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II iv
Selain penggunaan instrumen dana APBN, pemerintah pusat berupaya
mendorong laju perekonomian Kepri melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Penyaluran KUR pada tahun 2017 mencapai Rp390,69 triliun mengalami penurunan
37,89 persen dari penyaluran tahun lalu. Penurunan tersebut diduga karena gaung
rencana kebijakan pemerintah yang akan menurunkan suku bunga KUR menjadi 7
persen, sehingga masyarakat menahan diri untuk melakukan peminjaman KUR di tahun
2018. Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran KUR 2017 didominasi oleh sektor
perdagangan dengan 65,24%, sedangkan berdasarkan skema penyaluran didominasi
oleh KUR Mikro dengan porsi 58.02%. Jika dilihat letak geografis Kepri yang
bertetangga dengan Malaysia dan Singapura, seharusnya penyaluran KUR skema TKI
menjadi skema yang dominan di salurkan di Kepri. Namun di tahun 2017 tidak terdapat
penyaluran KUR TKI di Kepri. Rendahnya penyaluran ditengarai bersumber dari
maraknya praktek TKI ilegal sehingga calon TKI, TKI dan Purna TKI tidak memiliki
dokumen resmi dan untuk mengajukan pinjaman KUR.
Alokasi dan realisasi APBD lingkup Kepri dalam tren membaik pada tahun 2017.
Capaian realisasi pendapatan APBD turun 2,43 persen dari tahun 2016, namun secara
nominal realisasi tahun 2017 yang lebih tinggi Rp55,96 miliar dari tahun 2016. Kebijakan
penyaluran DAK Fisik Tambahan Penyelesaian Tahun 2016 yang di- carry over ke
tahun 2017 membawa dampak positif pada celah fiskal APBD lingkup Kepri. Dari sisi
pelaksanaan APBD, kinerja pendapatan asli daerah pada tahun 2017 dapat dikatakan
cukup baik dengan indikasi peningkatan PAD sebesar 27,11 persen dari tahun 2016.
Terjadi peningkatan pada komponen hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan sebesar 65,40 persen. Hal ini di dorong oleh penerimaan laba atas
penyertaan modal pada BUMD yang melebihi target yang telah ditetapkan.
Dari alokasi belanja APBD, hampir semua urusan mengalami kenaikan
anggaran dengan rata-rata peningkatan 48,31 persen. Berdasarkan porsinya, urusan
yang mendapatkan porsi alokasi terbesar merupakan urusan Administrasi
Pemerintahan (35,38 persen), Pendidikan (19,37 persen), Kesehatan (11,32 persen),
dan Pekerjaan Umum (10,55 persen). Porsi belanja tersebut menunjukkan bahwa
kebijakan Pemda menitikberatkan pada pelayanan pada masyarakat, pembangunan
sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, serta pembangunan
infrastruktur untuk menunjang perekonomian. Hal tersebut juga tergambar dari,
pengalokasian belanja berdasarkan jenis belanja. Jeni Belanja Langsung yang
berhubungan langsung dengan pencapaian program dan kegiatan Pemda memiliki
porsi terbesar yaitu sebesar 58,34 persen, dibandingkan dengan porsi Belanja Tidak
Langsung sebesar 42,66 persen. Namun dari sisi eksekusi APBD, Belanja Langsung
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU v
hanya terealisasi sebesar 88,22 persen lebih kecil dari realisasi Belanja Tidak Langsung
yang terealisasi sebesar 94,22 persen.
Kemudian untuk mengukur kesehatan fiskal masing-masing Pemerintah Daerah
di Kepri, dilakukan Ten Point Test yang dikembangkan oleh Kenneth W. Brown (1993).
Dalam ten point test, setiap rasio yang digunakan mengarah pada empat aspek
kesehatan fiskal yaitu pendapatan, pengeluaran, posisi operasi dan struktur utang. Dari
hasil tes di peroleh bahwa Pemda Kabupaten Bintan memiliki tingkat kesehatan fiskal
paling baik di Kepri. Pemda Kabupaten Bintan berhasil menggeser Pemda Kota Batam
yang pada tahun 2016 berada pada posisi terbaik, memperoleh nilai tertinggi di 2 (dua)
indikator penilaian yaitu: (1) Kemampuan mendanai Belanja Daerah, dan (2)
Optimalisasi SiLPA.
Dari sisi Belanja Konsolidasian, komposisi belanja didominasi oleh belanja yang
bersifat konsumtif. Komposisi belanja barang dan belanja pegawai yang masing-masing
porsinya sebesar 40,88 persen dan 28,19 persen jauh lebih tinggi dibandingkan belanja
modal sebesar 21,63 persen. Dari analisis dampak kebijakan fiskal kesejahteraan
regional, diketahui bahwa laju tingkat kesejahteraan masyarakat tidak linier dengan
peningkatan alokasi anggaran oleh pemerintah. Ketidaklinearan tersebut menunjukkan
bahwa peningkatan anggaran yang digunakan oleh pemerintah tidak serta merta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilihat dari sisi kesenjangan, penciptaan
lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pembangunan manusia, dan
pengentasan kemiskinan. Untuk itu pemerintah perlu mengevaluasi setiap program dan
kegiatan agar berjalan secara efektif dan menghasilkan outcome sesuai dengan yang
diharapkan
Berdasarkan hasil analisis overlay (gabungan dari empat analisis: LQ, MRP, SS-
EM dan Shift Share) Kepri memiliki dua sektor unggulan yang potensial untuk
dikembangkan yaitu Sektor Listrik & Gas dan Sektor Konstruksi. Pengembangan sektor
Listrik & Gas telah menjadi urgensi bagi Kepri karena rasio elektrifikasi Kepri baru
mencapai 73,53 persen, jauh di bawah rasio elektrifikasi nasional (88,30 persen).
Bahkan, saat ini Kepri berada di peringkat ke-7 terbawah untuk rasio elektrifikasi. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor ini memiliki ruang yang sangat luas untuk berkembang
karena masih banyak permintaan yang belum terpenuhi. Dan keberhasilan Kepri dalam
mencapai rasio elektrifikasi akan menjadi daya tawar kepada pihak investor. Sampai
saat ini perkembangan sektor konstruksi bidang sipil sebagian besar didorong oleh
belanja infrastruktur pemerintah. Hal tersebut diprioritaskan untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif dan menarik.
Pembangunan manusia dengan indikator kesehatan dan pendidikan serta
membangun kembali potensi Indonesia sebagai negara maritim dan agraris dengan
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II vi
terwujudnya kedaulatan pangan merupakan program prioritas pemerintah di tahun 2017
sebagaimana diungkapkan dalam RKP 2017 maupun nota Keuangan APBNP 2017.
Pemerintah Pusat dan Daerah telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk
3 bidang tersebut dengan pembagian porsi Pemerintah Daerah sebesar 81,52 persen
(Rp4,91 triliun). Dan porsi yang pada anggaran K/L adalah sebesar 18,48 persen
(Rp1,11 triliun). Dalam rangka mewujudkan capaian prioritas nasional yang efektif dan
efisien di 3 bidang tersebut perlu dilakukan sinkronisasi pembangunan dari kedua
sumber dana tersebut. Sinkronisasi di bidang pendidikan telah berjalan efektif dan
efisien dengan berdampak pada naiknya partisipasi murni usia sekolah di Kepri. Di
bidang kesehatan, indikator keluhan kesehatan menunjukkan tren penurunan. Hal
tersebut merupakan dampak sinergi dari pemisahan fokus pada masing-masing
instansi, yaitu Instansi daerah fokus pada pemenuhan ketersediaan sarana kesehatan
sedangkan instansi vertikal fokus pada pengawasan dan pencegahan wabah penyakit.
Sedangkan di bidang ketahanan pangan perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan
yang telah dilaksanakan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan masih bersifat pasif
atau hanya sebatas penyediaan sarana dan prasarana, belum menyentuh kepada
pengembangan kapasitas/kemampuan petani. Pencapaian ketahanan pangan melalui
produksi pangan mungkin objektifnya dapat diutamakan pada peningkatan pendapatan
petani dengan lebih terkonsentrasi pada pemberdayaan petani (UU No. 19 tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) melalui koperasi tani khususnya para
petani kecil, peningkatan kapasitas petani melalui pendidikan lapangan, maupun usaha
tani yang bersifat korporasi.
.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU vii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------------------------------------- I
TIM PENYUSUN ------------------------------------------------------------------------------------------------------- II
RINGKASAN EKSEKUTIF ---------------------------------------------------------------------------------------------- III
DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- VII
DAFTAR GAMBAR ----------------------------------------------------------------------------------------------------- X
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------------------------------------ XIII
BAB I PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL ------------------------------------------------------------ 1
1.1 INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL -------------------------------------------------------- 1
1.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) -------------------------------------------------------------- 1
1.1.2 Suku Bunga ------------------------------------------------------------------------------------------- 6
1.1.3 Inflasi ------------------------------------------------------------------------------------------------- 7
1.1.4 Nilai Tukar -------------------------------------------------------------------------------------------- 8
1.2 INDIKATOR PEMBANGUNAN ------------------------------------------------------------------------ 9
1.2.1 Indeks Pembangunan Manusia ------------------------------------------------------------------------ 9
1.2.2 Kemiskinan ------------------------------------------------------------------------------------------- 10
1.2.3 Ketimpangan ------------------------------------------------------------------------------------------ 11
1.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan ------------------------------------------------------------------------------ 11
1.3 EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI DAN PEMBANGUNAN REGIONAL ---------------------- 13
BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBN DI TINGKAT REGIONAL -------------------------------- 15
2.1 APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------ 15
2.2 PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT TINGKAT PROVINSI ------------------------------------------- 16
2.2.1 Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat Tingkat Provinsi ---------------------------------------- 16
2.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak -------------------------------------------------------------------- 18
2.2.3 Pendapatan Hibah ------------------------------------------------------------------------------------ 19
2.2.4 Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemerintah Pusat ------------------------------------------------- 19
2.3 BELANJA PEMERINTAH PUSAT -------------------------------------------------------------------- 20
2.3.1 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Organisasi ------------------------------------------------- 20
2.3.2 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi ----------------------------------------------------- 21
2.3.3 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Jenis Belanja ---------------------------------------------- 23
2.3.4 Analisis Kapasitas dan Efisiensi Fiskal Pemerintah Pusat ------------------------------------------- 24
2.3.5 Analisis Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia ----------------------------------- 25
2.3.6 Analisis Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor Ekonomi Unggulan ----------- 26
2.3.7 Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Indikator Ekonomi ------------------------- 27
2.4 ANALISIS CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT ------------------------------------------------------- 29
2.5 TRANSFER KE DAERAH ---------------------------------------------------------------------------- 31
2.6 PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM PUSAT --------------------------------------------------- 32
2.6.1 Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum -------------------------------------- 33
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II viii
2.6.2 Analisis Kemandirian Badan Layanan Umum --------------------------------------------------------- 34
2.6.3 Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU ------------------------------------------------------------ 34
2.7 PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI ---------------------------------------------------------- 35
2.7.1 Penerusan Pinjaman --------------------------------------------------------------------------------- 35
2.7.2 Kredit Program ------------------------------------------------------------------------------------- 36
2.7.3 Analisis Pertumbuhan KUR -------------------------------------------------------------------------- 39
BAB III PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBD -------------------------------------------------------- 41
3.1 APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------- 41
3.2 PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH -------------------------------------------------------------- 42
3.2.1 Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja ---------------------------------------- 42
3.2.2 Analisis Kesehatan Penerimaan APBD Agregat ------------------------------------------------------ 43
3.2.3 Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemda ------------------------------------------------------------- 44
3.3 BELANJA PEMERINTAH DAERAH ------------------------------------------------------------------ 44
3.3.1 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan --------------------------------------------------- 44
3.3.2 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi ---------------------------------------------------- 45
3.3.3 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja --------------------------------------------- 46
3.4 PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH ------------------------------------------------- 47
3.4.1 Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah ------------------------------ 47
3.4.2 Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah ------------------------------------ 48
3.4.3 Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah -------------------------------------------------------- 48
3.5 PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH --------------------------------------------------------------- 49
3.5.1 Bentuk Investasi Daerah ----------------------------------------------------------------------------- 49
3.5.2 Profil dan Jenis BUMD ------------------------------------------------------------------------------- 49
3.6 SiLPA DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH -------------------------------------------------- 49
3.6.1 Perkembangan Surplus/Defisit APBD --------------------------------------------------------------- 49
3.6.2 Pembiayaan Daerah ----------------------------------------------------------------------------------50
3.7 ANALISIS APBD LAINNYA -------------------------------------------------------------------------- 51
3.7.1 Analisis Horizontal dan Vertikal ---------------------------------------------------------------------- 51
3.7.2 Analisis Kesehatan Fiskal Daerah Dengan Ten Point Test -------------------------------------------- 53
BAB IV PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN ANGGARAN KONSOLIDASIAN (APBN DAN APBD) ------------ 61
4.1 Laporan Keuangan Pemerintah Konsolidasian ---------------------------------------------------- 61
4.2 Pendapatan Konsolidasian ----------------------------------------------------------------------- 62
4.2.1 Sensitivitas Pendapatan Konsolidasian Kepri -------------------------------------------------------- 62
4.3 Belanja Konsolidasian -------------------------------------------------------------------------------- 63
4.4 Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kesejahteraan Regional -------------------------------- 64
BAB V KEUNGGULAN DAN POTENSI EKONOMI SERTA TANTANGAN REGIONAL ---------------------------------------- 65
5.1 SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN ANALISIS LQ,
MRP, DAN SS-EM --------------------------------------------------------------------------------- 65
5.3 SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---------------------------------------------- 66
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU ix
5.3.1 Sektor Listrik dan Gas ---------------------------------------------------------------------------------- 67
5.3.2 Sektor Konstruksi ----------------------------------------------------------------------------------- 68
5.4 SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -----------------------------------------69
5.4.1. Subsektor Industri Logam Dasar (Sektor Industri Pengolahan) ------------------------------------- 70
5.4.2. Subsektor Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik (Sektor Industri Pengolahan) --------- 70
5.4.3. Subsektor Angkutan Laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan) --------------------------------- 72
5.4.4. Subsektor Penyediaan Akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum) ------------- 72
5.5 Tantangan Fiskal Regional ------------------------------------------------------------------------ 73
5.5.1 LINEARITAS PERKEMBANGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN DARI PERKEMBANGAN FISKAL REGIONAL ----- 74
5.5.2 OPTIMALISASI MANFAAT DANA DESA -------------------------------------------------------------------- 76
5.5.3 URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------ 77
5.5.4 KETERGANTUNGAN FISKAL PEMDA TERHADAP DANA TRANSFER --------------------------------------- 80
BAB VI ANALISIS TEMATIK ------------------------------------------------------------------------------------------- 81
6.1 Sinkronisasi APBN dan APBD dalam Sektor Pendidikan, Kesehatan, dan Ketahanan Pangan ---- 81
6.1.1 Sinkronisasi Bidang Pendidikan ---------------------------------------------------------------------- 83
6.1.2 Sinkronisasi bidang Kesehatan ---------------------------------------------------------------------- 86
6.1.3 Sinkronisasi bidang Ketahanan Pangan -------------------------------------------------------------- 88
6.2 Sinkronisasi Penggunaan Dana Desa (APBN) dan Alokasi Dana Desa (APBD) -------------------90
BAB VII PENUTUP ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 95
7.1 KESIMPULAN -------------------------------------------------------------------------------------- 95
7.2 REKOMENDASI ------------------------------------------------------------------------------------98
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------------------------------------------- A
DAFTAR ISTILAH ------------------------------------------------------------------------------------------------------ E
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II x
DAFTAR GAMBAR GAMBAR I-1 PERTUMBUHAN PDRB KEPULAUAN RIAU DAN INDONESIA (YOY) ---------------------------------------------------- 1
GAMBAR I-2 TREN HARGA KOMODITAS INTERNASIONAL ------------------------------------------------------------------------ 3
GAMBAR I-3 PERKEMBANGAN PDRB PER KAPITA KEPULAUAN RIAU (JUTAAN RUPIAH) ----------------------------------------- 5
GAMBAR I-4 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA KREDIT ---------------------------------------------------------------------------- 6
GAMBAR I-5 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA LUAR NEGERI --------------------------------------------------------------------- 6
GAMBAR I-6 PERKEMBANGAN INFLASI (YOY) ----------------------------------------------------------------------------------- 7
GAMBAR I-7 SCATTER PLOT HUBUNGAN INFLASI DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (PHILLIPS CURVE) ----------------- 8
GAMBAR I-8 PERGERAKAN MATA UANG TIGA MITRA DAGANG TERBESAR KEPRI TERHADAP RUPIAH TAHUN 2017 --------------- 8
GAMBAR I-9 EKSPOR IMPOR KEPRI TAHUN 2017 ------------------------------------------------------------------------------- 9
GAMBAR I-10 HEAD COUNT INDEX OF POVERTY (HCI-P0) PROVINSI ----------------------------------------------------------- 10
GAMBAR I-11 INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN (P1) --------------------------------------------------------------------------- 10
GAMBAR I-12 INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN (P2) -------------------------------------------------------------------------- 10
GAMBAR I-13 PERKEMBANGAN GINI RATIO ------------------------------------------------------------------------------------- 11
GAMBAR I-14 PERKEMBANGAN TENAGA KERJA INDUSTRI & INFORMAL (DALAM RIBUAN ORANG)------------------------------- 12
GAMBAR I-15 PERKEMBANGAN TINGKAT KRIMINALITAS ------------------------------------------------------------------------ 12
GAMBAR I-16 SCATTER PLOT HUBUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENGANGGURAN (OKUN’S LAW) ------------ 12
GAMBAR I-17 ARUS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER ------------------------------------------------------------------------ 13
GAMBAR I-18 KETERKAITAN KONDISI MARKO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI --------------------------------------------------- 13
GAMBAR I-19 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH ----------------------------------------------------- 14
GAMBAR II-1 PERKEMBANGAN PAGU DAN REALISASI APBN KEPRI ------------------------------------------------------------- 15
GAMBAR II-2 PERKEMBANGAN CAPAIAN PENDAPATAN DAN BELANJA APBN DI KEPRI ----------------------------------------- 16
GAMBAR II-3 PERKEMBANGAN TAX TO GRDP RATIO KEPRI -------------------------------------------------------------------- 18
GAMBAR II-4 SCATTER PLOT SENSITIVITAS PENERIMAAN PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI --------------------------------------- 19
GAMBAR II-5 SIKLUS PEREKONOMIAN DAN FISKAL ---------------------------------------------------------------------------- 27
GAMBAR II-6 PENGUJIAN EKONOMETRI BELANJA APBN TERHADAP PDRB KABUPATEN/KOTA LINGKUP KEPRI ----------------- 28
GAMBAR II-7 PENGUJIAN EKONOMETRI BELANJA APBN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA LINGKUP KEPRI ------------- 29
GAMBAR II-8 PERTUMBUHAN BELANJA 2016-2017 (YOY) -------------------------------------------------------------------- 30
GAMBAR II-9 ILUSTRASI CASH FLOW KEPRI 2017 ---------------------------------------------------------------------------- 30
GAMBAR II-10 SENSITIVITAS KUR -------------------------------------------------------------------------------------------- 39
GAMBAR III-1 PERKEMBANGAN CAPAIAN PENDAPATAN DAN BELANJA APBD DI KEPRI ----------------------------------------- 41
GAMBAR III-2 PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH KEPRI (DALAM JUTAAN) ----------------------------------------------- 43
GAMBAR III-3 SCATTER PLOT SENSITIVITAS PENERIMAAN PEMDA ------------------------------------------------------------- 44
GAMBAR III-4 PERKEMBANGAN BELANJA PER PEMDA TAHUN 2017 (DALAM JUTAAN RUPIAH) --------------------------------- 46
GAMBAR III-5 PORSI BELANJA DAERAH --------------------------------------------------------------------------------------- 47
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU xi
GAMBAR III-6 PERKEMBANGAN PORSI REALISASI PENDAPATAN DAN BELANJA APBD DI KEPRI -------------------------------- 51
GAMBAR III-7 INDIKATOR PENDAPATAN DAERAH PER KAPITA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU --------------------------------- 54
GAMBAR III-8 INDIKATOR KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU --------------------------------- 54
GAMBAR III-9 INDIKATOR RUANG FISKAL DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU--------------------------------------------- 55
GAMBAR III-10 INDIKATOR PENINGKATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------- 55
GAMBAR III-11 INDIKATOR KEMAMPUAN MENDANAI BELANJA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------- 56
GAMBAR III-12 INDIKATOR BELANJA MODAL DAERAH DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------- 56
GAMBAR III-13 INDIKATOR BELANJA PEGAWAI TIDAK LANGSUNG DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------ 57
GAMBAR III-14 INDIKATOR OPTIMALISASI SILPA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------- 57
GAMBAR III-15 INDIKATOR KEMAMPUAN PEMBAYARAN POKOK HUTANG DAN BUNGA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU - 58
GAMBAR III-16 SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---------------------------------------- 59
GAMBAR IV-1 PENDAPATAN KONSOLIDASIAN KEPRI --------------------------------------------------------------------------- 62
GAMBAR IV-2 PORSI DAN REALISASI PENDAPATAN KEPRI--------------------------------------------------------------------- 62
GAMBAR IV-3 SCATTER PLOT SENSITIVITAS PENDAPATAN KONSILIDASIAN DI KEPRI ------------------------------------------ 63
GAMBAR IV-4 BELANJA KONSOLIDASIAN KEPRI ------------------------------------------------------------------------------- 63
GAMBAR IV-5 CAPAIAN BELANJA KONSOLIDASIAN ---------------------------------------------------------------------------- 64
GAMBAR IV-6 KOMPARASI PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN DAN FISKAL DI KEPRI ------------------------------------------ 64
GAMBAR V-1 NILAI KONSTRUKSI MENURUT BIDANG DAN PERKEMBANGAN ALOKASI INFRASTRUKTUR (RP. TRILIUN) ----------- 68
GAMBAR V-2 INDEKS INFRASTRUKTUR FISIK ---------------------------------------------------------------------------------- 69
GAMBAR V-3 PERBANDINGAN EKSPOR/IMPOR ICT TERHADAP TOTAL EKSPOR/IMPOR INDONESIA ----------------------------- 71
GAMBAR V-4 KONTRIBUSI WISMAN BERDASARKAN NEGARA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DAN BALI TAHUN 2017 ----------- 73
GAMBAR V-5 PERBANDINGAN PENINGKATAN/PENURUNAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN DAN FISKAL DI KEPRI --------------- 75
GAMBAR V-6 PERKEMBANGAN KONDISI KEMISKINAN DESA DI KEPRI ---------------------------------------------------------- 76
GAMBAR V-7 SEBARAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAUN 2017 ----------------------- 78
GAMBAR V-8 SEBARAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAUN 2016 ---------------------- 79
GAMBAR V-9 PERGESERAN STRUKTUR DANA TRANSFER DI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------- 80
GAMBAR V-10 RASIO DANA TRANSFER TERHADAP PENERIMAAN PEMDA TA 2017 ---------------------------------------------- 80
GAMBAR VI-1 PORSI APBN DAN APBD ----------------------------------------------------------------------------------------- 81
GAMBAR VI-2 KOMPOSISI APBN DAN APBD ----------------------------------------------------------------------------------- 82
GAMBAR VI-3 PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS APBD DAN APBN ----------------------------------------------------------- 83
GAMBAR VI-4 PORSI APBN DAN APBD ---------------------------------------------------------------------------------------- 84
GAMBAR VI-5 ANGGARAN PENDIDIKAN DAN PERTUMBUHAN PARTISIPASI SEKOLAH ------------------------------------------- 85
GAMBAR VI-6 PORSI APBN DAN APBD ---------------------------------------------------------------------------------------- 86
GAMBAR VI-7 ANGGARAN KESEHATAN DAN KELUHAN KESEHATAN ------------------------------------------------------------- 87
GAMBAR VI-8 PORSI APBN DAN APBD ---------------------------------------------------------------------------------------- 88
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II xii
GAMBAR VI-9 ANGGARAN KETAHANAN PANGAN DAN TANAMAN PANGAN ----------------------------------------------------- 89
GAMBAR VI-10 PORSI DD DAN ADD ------------------------------------------------------------------------------------------- 90
GAMBAR VI-11 PERBANDINGAN PENGGUNAAN DD DAN ADD (JUTAAN) -------------------------------------------------------- 90
GAMBAR VI-12 KELOMPOK PENGGUNAAN DD DAN ADD (JUTAAN) -------------------------------------------------------------- 91
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU xiii
DAFTAR TABEL TABEL I-1 PDRB ADHK MENURUT LAPANGAN USAHA PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN DASAR 2010 ...................................... 3
TABEL I-2 PERTUMBUHAN PDRB MENURUT PENGGUNAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN DASAR 2010 ............................. 5
TABEL I-3 PERKEMBANGAN IPM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERIODE TAHUN 2010-2016 ......................................................... 9
TABEL I-4 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU..................................................................................... 11
TABEL II-1 PERKEMBANGAN PAGU DAN REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ............... 15
TABEL II-2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN PERPAJAKAN PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ......................................................................................................................................................................... 17
TABEL II-3 PERKEMBANGAN PNBP PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI BERDASARKAN JENIS (DALAM MILIARAN RUPIAH) ................ 18
TABEL II-4 PENERIMAAN HIBAH PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI BERDASARKAN SUMBER (DALAM MILIARAN RUPIAH) ................ 19
TABEL II-5 PERKEMBANGAN BELANJA APBN, 10 BAGIAN ANGGARAN TERBESAR TA 2014-2016 (DALAM MILIAR RUPIAH) .......... 20
TABEL II-6 PERKEMBANGAN BELANJA APBN DI KEPRI BERDASARKAN FUNGSI (DALAM MILIARAN RUPIAH) .............................. 21
TABEL II-7 PERKEMBANGAN BELANJA APBN DI KEPRI BERDASARKAN JENIS BELANJA (DALAM MILIARAN RUPIAH) ................. 23
TABEL II-8 INDIKATOR KAPASITAS DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2016 DAN 2017 (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ........................................................................................................................................................................24
TABEL II-9 RASIO BELANJA PEMERINTAH PUSAT UNTUK PEMBANGUNAN MANUSIA ................................................................. 25
TABEL II-10 RASIO BELANJA PEMERINTAH PUSAT PENDUKUNG SEKTOR DAN SUBSEKTOR EKONOMI UNGGULAN ...................... 26
TABEL II-11 ESTIMASI SURPLUS/DEFISIT CASHFLOW KEPRI (DALAM RUPIAH) ........................................................................... 31
TABEL II-12 PERKEMBANGAN DANA PERIMBANGAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ........................ 31
TABEL II-13 PROFIL BP BATAM (DALAM MILIARAN RUPIAH) ..................................................................................................... 33
TABEL II-14 KEMANDIRIAN SATKER BLU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ........................................ 34
TABEL II-15 SATUAN KERJA PNBP YANG BERPOTENSI MENJADI BLU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ............................................ 34
TABEL II-16 PROFIL PENERUSAN PINJAMAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ............................................................................ 35
TABEL II-17 SIMULASI DAMPAK PENGHAPUSAN UTANG TERHADAP KEUANGAN PDAM TIRTA KEPRI ........................................... 36
TABEL II-18 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN SKEMA DAN BANK (DALAM MILIARAN RUPIAH) .................................. 37
TABEL II-19 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN SEKTOR ............................................................................................ 38
TABEL II-20 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA ............................................................ 38
TABEL III-1 PERKEMBANGAN APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ...................................... 41
TABEL III-2 PERKEMBANGAN PENDAPATAN PEMDA LINGKUP KEPRI (DALAM MILIARAN RUPIAH) ...............................................42
TABEL III-3 INDIKATOR KESEHATAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .................................... 43
TABEL III-4 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN JENIS URUSAN (DALAM MILIARAN RUPIAH) ................................ 44
TABEL III-5 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN FUNGSI (DALAM MILIARAN RUPIAH) ........................................... 45
TABEL III-6 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN JENIS BELANJA (DALAM MILIARAN RUPIAH) .............................. 46
TABEL III-7 PROFIL SATUAN KERJA BLUD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) ...................................... 47
TABEL III-8 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN ASET BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (DALAM MILIARAN RUPIAH) ..................... 48
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II xiv
TABEL III-9 INVESTASI DAERAH DI KEPRI (DALAM MILIARAN RUPIAH) ..................................................................................... 49
TABEL III-10 BUMD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .................................................................................................................. 49
TABEL III-11 RASIO DEFISIT APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ............................................................................................ 50
TABEL III-12 KESEIMBANGAN PRIMER APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIAR RUPIAH) ...................................... 50
TABEL III-13 ANALISIS HORIZONTAL REALISASI APBD KEPRI TA 2017 (DALAM MILIARAN RUPIAH) ............................................. 51
TABEL III-14 ANALISIS VERTIKAL REALISASI PENDAPATAN APBD 2016 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ..................................... 52
TABEL III-15 ANALISIS VERTIKAL REALISASI BELANJA APBD 2016 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ........................................... 52
TABEL III-16 REKAPITULASI SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ......................................... 58
TABEL IV-1 REALISASI KONSOLIDASIAN LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU TA 2017 (DALAM MILIAR RUPIAH) ...................... 61
TABEL V-1 HASIL ANALISIS POTENSI EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2009-2015 ............................................... 65
TABEL V-2 KAPASITAS LISTRIK TERPASANG LINGKUP KEPRI BERDASARKAN JENIS DAN PENYEDIA ENERGI ............................. 67
TABEL V-3 PERKEMBANGAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR PEMERINTAH PUSAT (DALAM MILIARAN RUPIAH) .................. 77
TABEL VI-1 AKSES PENDUDUK KE SEKOLAH ............................................................................................................................. 84
TABEL VI-2 REALISASI PROYEK STRATEGIS DI BIDANG PENDIDIKAN (JUTAAN) ........................................................................ 84
TABEL VI-3 KELOMPOK KEGIATAN APBD DAN APBN ................................................................................................................. 85
TABEL VI-4 KEGIATAN PENAMBAHAN USB ............................................................................................................................... 85
TABEL VI-5 KONTRIBUSI PENDANAAN DI MASING-MASING PEMDA .......................................................................................... 86
TABEL VI-6 KELOMPOK PENDANAAN APBN DAN APBD (JUTAAN) ............................................................................................. 86
TABEL VI-7 KONTRIBUSI PENDANAAN MASING-MASING PEMDA (JUTAAN) ............................................................................... 88
TABEL VI-8 KELOMPOK KEGIATAN BIDANG KETAHANAN PANGAN (JUTAAN) ............................................................................. 89
TABEL VI-9 RINCIAN PENGGUNAAN DD DAN ADD...................................................................................................................... 91
TABEL VI-10 PENGGUNAAN DD DAN ADD DI BIDANG KESEHATAN ............................................................................................. 92
TABEL VI-11 PENGGUNAAN DD DAN ADD DI BIDANG PENDIDIKAN .............................................................................................. 92
TABEL VI-12 PENGGUNAAN DD DAN ADD DI BIDANG KETAHANAN PANGAN ............................................................................... 93
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1
BAB I PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL
1.1 INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL
1.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pada tahun 2017, Produk
Domestik Regional Bruto Atas Dasar
Harga Konstan (PDRB ADHK)
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)
mencapai Rp166,20 triliun, Tumbuh
melambat menjadi 2,01 persen
dibanding 5,03 persen pada tahun
2016. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa terjadi kejenuhan pada
perekonomian kepri, dan ini merupakan titik terendah pada 5 tahun terakhir.
Dibandingkan dengan pertumbuhan secara nasional, pertumbuhan di tahun 2017
terpaut jauh (306 basis poin) dibandingkan dengan tahun 2016.
Berkebalikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, tren pertumbuhan Kepri
yang lebih cenderung terus melambat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat
melambat mengalami masa rebound sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi
global. Perekonomian nasional yang mampu bangkit kembali di tahun 2016 dan mampu
tumbuh serta bertahan di angka 5,07 persen yang hanya terpaut 5 basis poin
dibandingkan tahun 2017. Terus melambatnya pertumbuhan ekonomi Kepri
mengakibatkan Kepri berada pada peringkat pertumbuhan ekonomi ke-33 dari seluruh
provinsi se-Indonesia.
Pencapaian Sasaran Pembangunan RKP dan RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017
Indikator Ekonomi Capaian Target RKP Target RPJMD Pertumbuhan Ekonomi (%) 2,01 7,00 5,85 Inflasi (%) 4,02 4,00 ± 1 5,0-7,0 Pengangguran (%) 7,16 4,60 6,25 Kemiskinan (%) 6,13 4,30 5,28
Gambar I-1 Pertumbuhan PDRB Kepulauan Riau dan Indonesia (yoy)
6,03%5,56%
5,02% 4,79%
5,02%
Indonesia 5,07%
7,63% 7,21%6,60%
6,01% 5,03%
Kepri2,01%1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
2012 2013 2014 2015 2016 2017
“Realisasi pertumbuhan ekonomi Kepri melenceng dari target Pemerintah Pusat (RKP) maupun target Pemerintah Daerah
(RPJMD)”
“Pertumbuhan ekonomi Kepri masih melambat di saat pertumbuhan nasional sudah memasuki fase
rebound”
Sumber: BPS (Pusat dan Kepri)
“Dari beberapa sasaran pembangunan RKP dan
RPJMD, hanya inflasi berhasil tercapai. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan
kemiskinan meleset dari target “
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 2
Dikaitkan dengan kinerja pemerintah, pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi Kepri, sama-sama gagal dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi. Dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017 Pemerintah Pusat menargetkan
pertumbuhan sebesar 7 persen dan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Pemerintah Provinsi Kepri menargetkan pertumbuhan sebesar 5,85
persen.
Dihitung dengan Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB tahun dasar 2010), nilai
PDRB Kepri mencapai Rp198,78 triliun. Nilai PDRB ADHB tersebut menyumbang 7,67
persen terhadap PDRB Pulau Sumatera berkurang 10 basis poin dari tahun 2016.
Sedangkan PDRB Pulau Sumatera sendiri menyumbang 21,69 persen terhadap
perekonomian Indonesia dan terpaut 34 basis poin dari pertumbuhan ekonomi di tahun
2016.
Keterpurukan perekonomian Kepri dimulai semenjak awal tahun 2017. Pada
triwulan II 2017, pertumbuhan ekonomi Kepri sempat terkontraksi di angka -2,76 persen
(yoy). Kejenuhan pada sektor industri merupakan faktor dominan penyebab
melambatnya pertumbuhan ekonomi Kepri. Hal tersebut diperparah dengan turunnya
minat investasi di Kepri yang diindikasikan dengan penurunan pertumbuhan PMTB di
triwulan II. Namun demikian, pada triwulan III tahun 2017 pertumbuhan ekonomi Kepri
mampu tumbuh positif. Iklim investasi dan lonjakan pengeluaran pemerintah pada akhir
tahun adalah trigger mulai tumbuhnya kembali perekonomian Kepri di akhir tahun. Iklim
investasi yang membaik membuat arus modal masuk kembali ke Kepri sejalan dengan
membaiknya harga minyak dunia. Adanya one belt one road dan sea toll merupakan
salah satu daya tawar yang tidak dapat dialihkan dari para pemodal untuk berinvestasi.
Disamping itu, celah untuk meningkatkan kemampuan ekspor Kepri semakin terbuka
lebar dengan membaiknya kondisi negara tujuan ekspor seperti AS, Tiongkok, dan
terutama Singapura sebagai tujuan utama ekspor Kepri.
1.1.1.1 PDRB Sisi Penawaran
Dari sisi penawaran, pada tahun 2017 pertumbuhan sektor-sektor utama
penggerak ekonomi Kepri tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Sesuai
dengan penjelasan sebelumnya bahwa perekonomian Kepri di awal tahun 2017 sempat
melambat yang didorong oleh lesunya sektor-sektor dominan yaitu, Industri
Pengolahan, Konstruksi, dan Pertambangan. Sementara itu, sektor yang mampu
tumbuh baik di tahun 2017 adalah sektor pengadaan air, jasa kesehatan, jasa
pendidikan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum. Meskipun keempat sektor
tersebut mampu tumbuh di atas 10 persen, namun kontribusi yang kecil dalam PDRB
Kepri tidak mampu sumbangan kenaikan PDRB yang tinggi. Meskipun kontribusi
terhadap ekonomi harus mampu didiferensiasi ke sektor lain yang potensial, tidak dapat
“Perlambatan pertumbuhan ekonomi Kepri didorong oleh ketergantungan terhadap ekonomi global dan penurunan iklim
investasi”
“Sektor Industri Pengolahan yang memiliki porsi terbesar dalam perekonomian Kepri mencetak pertumbuhan terlambat di tahun
2016”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 3
dipungkiri bahwa hampir keseluruhan minat dan sumber daya terserap ke sektor
dominan tersebut.
Kontributor tertinggi terhadap perekonomian Kepri dipegang oleh sektor industri
pengolahan dengan kontribusi terhadap PDRB Kepri sebesar 43,91 persen. Tak
mengherankan bahwa naik/turunnya pertumbuhan industri pengolahan Kepri akan
berdampak cukup signifikan terhadap ekonomi Kepri. Pada triwulan I dan II tahun 2017,
sektor industri
pengolahan Kepri
mengalami kontraksi
dengan puncakanya
yang sempat tumbuh
sebesar -0,44 persen
(yoy). Harga
komoditas yang terus
menurun semenjak
awal tahun 2017
sampai dengan akhir
pertengahan tahun 2017 diduga sebagai salah satu penyebab lesunya pertumbuhan
industri pengolahan di Batam.
Porsi terbesar kedua dalam PDRB ADHK Kepri adalah sektor Konstruksi dan
disusul oleh sektor pertambangan dan penggalian yang masing-masing memiliki
kontribusi terhadap PDRB sebesar 20,42 persen dan 18,08 persen. Di saat sektor
industri pengolahan serta pertambangan dan penggalian terkontraksi, sektor konstruksi
masih mampu tumbuh positif pada triwulan I 2017 sebesar 8,93 persen (yoy), dan pada
akhirnya terkontraksi pada triwulan II 2017 sebesar -0,06 persen (yoy) sebelum kembali
naik pada triwulan III 2017 pada angka 5 persen (yoy). Kinerja sektor konstruksi yang
mampu tumbuh cukup baik mampu menahan pertumbuhan ekonomi Kepri pada -2,67
persen (yoy) di triwulan II.
Tabel I-1 PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010 PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Lapangan Usaha Porsi dalam Struktur Ekonomi (%) Pertumbuhan (C to C,%)
2014 2015 2016 2017 2014 2015 2016 2017 1. Pertanian 4,31% 4,33% 4,34% 4,15% 7,56% 5,78% 5,08% -1,31% 2. Pertambangan dan
Penggalian 18,64% 19,33% 19,55% 18,08% 5,24% 9,22% 5,96% -4,51%
3. Industri Pengolahan 45,13% 45,24% 44,63% 43,91% 5,95% 5,61% 3,36% 1,56% 4. Pengadaan Listrik,
Gas 1,06% 1,06% 1,11% 1,14% 9,68% 5,60% 8,75% 6,47%
5. Pengadaan Air 0,15% 0,15% 0,15% 0,16% 2,03% 2,85% 5,26% 10,09% 6. Konstruksi 20,79% 20,43% 20,37% 20,42% 9,04% 3,53% 4,47% 3,45% 7. Perdagangan 8,65% 8,93% 9,33% 9,61% 8,51% 8,66% 9,54% 6,27% 8. Transportasi dan
Pergudangan 3,16% 3,16% 3,23% 3,29% 5,97% 5,62% 6,92% 5,23%
9. Penyedia Akomodasi
2,28% 2,28% 2,29% 2,49% 6,64% 5,63% 5,20% 11,93%
10. Informasi dan Komunikasi
2,46% 2,46% 2,52% 2,63% 7,04% 5,00% 7,40% 7,69%
Sumber: blommberg.com
Gambar I-2 Tren Harga Komoditas Internasional
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 4
11. Jasa Keuangan 3,18% 3,11% 3,14% 3,15% 5,79% 3,00% 5,79% 3,49% 12. Real Estate 1,80% 1,78% 1,77% 1,78% 6,39% 4,24% 4,40% 3,82% 13. Jasa Perusahaan 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 2,02% 2,77% 6,18% 7,25% 14. Adm.Pemerintahan,
dan Jaminan Sosial 2,52% 2,57% 2,63% 2,66% 4,01% 7,50% 6,88% 4,67%
15. Jasa Pendidikan 1,53% 1,54% 1,60% 1,71% 4,27% 6,15% 8,85% 10,30% 16. Jasa Kesehatan
dan Kegiatan Sosial 1,05% 1,07% 1,07% 1,14% 4,84% 7,15% 4,45% 10,29%
17. Jasa Lainnya 0,50% 0,50% 0,52% 0,53% 4,16% 6,55% 8,08% 6,43% Agregat 100% 100% 100% 100 6,60% 6,01% 5,03% 2,01%
Sumber: BPS Kepri (diolah)
Indikasi lesunya sektor Industri Pengolahan di tahun 2017 juga didukung oleh
data penyerapan tenaga kerja sektor Industri Pengolahan Lingkup Kepri dari BPS.
Dalam waktu satu tahun, tenaga kerja sektor industri pada awal tahun cukup rendah
yaitu sebesar 155.686 pegawai yang merupakan dampak penurunan pada akhir tahun
tahun 2016 sebesar 17,61 persen. Sementara itu, pertumbuhan yang semakin membaik
pada industri pengolahan diindikasikan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja
yang terjadi pada akhir tahun 2017. Terdapat peningkatan jumlah tenaga kerja pada
sektor industri pengolahan sebesar 23,05 persen atau sebesar 35.886 pegawai. Usaha-
usaha stakeholders dalam mengembalikan gairah investasi di Kepri dan melakukan
diversifikasi perekonomian diharapkan dapat mendorong kembali perekonomian Kepri
di tahun 2017 baik dari sektor Industri Pengolahan, maupun sektor-sektor potensial
seperti pariwisata dan perikanan.
1.1.1.2 PDRB Sisi Permintaan
Dilihat dari sisi permintaan, kegiatan ekspor dan impor di Kepri tahun 2017 lebih
baik dari pada tahun 2016. Ekspor Kepri (luar negeri) pada tahun 2017 tumbuh 1,56
persen (c to c) lebih besar dari 2016 yang terpaut 153 basis poin. Dan impor Kepri di
tahun 2017 mampu tumbuh positif (7,59 persen) setelah terkontraksi di tahun 2016 (-
2,76 persen). Porsi ekspor Kepri yang sangat tinggi di tahun 2017 sejalan dengan
membaiknya kondisi negara-negara tujuan ekspor Kepri terutama Singapura.
Pertumbuhan perubahan inventori yang cenderung terkontraksi semenjak tahun
2016 dan semakin turun di tahun 2017 mencapai -41,25 persen (c to c) menunjukkan
geliat industri untuk meningkatkan produksinya cenderung menurun dibandingkan
tahun 2016 (-38,95 persen). Namun demikian, distribusi perubahan inventori yang
rendah akan sejalan dengan dampak perubahannya terhadap PDRB Kepri.
Dengan demikian, kondisi perekonomian Kepri akan sangat dipengaruhi oleh
kegiatan ekspor dan impor luar negeri. Kondisi perekonomian di luar kurang baik,
terutama dalam pertukaran barang-barang intermediary akan menciptakan efek domino
terhadap sektor lainnya. Keunikan karakteristik Kepri yang lebih cenderung terpengaruh
oleh kondisi global tersebut antara lain disebabkan oleh lokasi Kepri pada pintu gerbang
perdagangan internasional, pemberlakuan Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun
“Sejalan dengan rendahnya pertumbuhan output sektor Industri Pengolahan, tenaga kerja di sektor tersebut mengalami penurunan yang
signifikan”
“Keunikan kondisi ekonomi Kepri terlihat dari komponen ekspor dan impor yang nilainya hampir menyetarai PDRB
Kepri sendiri”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 5
(BBK), serta kedekatan dengan salah satu financial centre terbesar di dunia
(Singapura).
Tabel I-2 Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010 Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Sumber Penggunaan/Pengeluaran Pertumbuhan 2017
(C to C) Sumber
Pertumbuhan Distribusi
2017 1. Konsumsi Rumah Tangga 6,45% 2,48 37,45% 2. Konsumsi LNPRT 5,09% 0,02 0,21% 3. Konsumsi Pemerintah 2,15% 0,28 5,45% 4. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 3,13% 0,73 38,13% 5. Perubahan Inventori -41,25% 0,34 0,26% 6. Ekspor Barang dan Jasa Luar Negeri 1,56% 5,45 81,30% 7. Impor Barang dan Jasa Luar Negeri 7,59% 8,36 64,78% 8. Net Ekspor Antar Daerah 1,72% 1,63 1,98%
PDRB 2,01% 2,57 100% Sumber: BPS Kepri (diolah)
Dilihat dari sumber pertumbuhannya, kontributor utama pertumbuhan ekonomi
Kepri tahun 2017 adalah impor barang dan jasa luar negeri (836 basis poin), ekspor barang
dan jasa luar negeri (545 basis poin), dan konsumsi rumah tangga (248 basis poin). Dilihat
dari distribusi (dengan menggabungkan ekspor dan impor menjadi net ekspor),
perekonomian Kepri didominasi oleh investasi (pembentukan modal tetap bruto) dan
konsumsi (rumah tangga) dengan porsi masing-masing 38,13 persen dan 37,45 persen.
Perekonomian tahun 2018 diharapkan dapat memasuki fase rebound dengan
dorongan dari sisi konsumsi dan investasi. Dari sisi konsumsi, optimisme konsumen masih
terlihat baik dari perkiraan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I 2018 oleh BPS. ITK
triwulan I 2018 diperkirakan berada pada angka 104,59 yang lebih rendah dari triwulan
sebelumnya (106,66). Optimisme konsumen terbentuk dari perkiraan pendapatan dan
rencana pembelian barang-barang yang didominasi dari hasil industri. Sementara itu,
dengan tren harga minyak yang semakin baik didukung dengan kondisi optimisme
konsumen akan hasil industri yang cukup baik pada perkiraan awal tahun 2018 diharapkan
mampu memberikan lampu hijau bagi para investor untuk melakukan penanaman modal di
Kepri. Disamping itu, apabila pemerintah dapat mempercepat perombakan BP Batam dan
pembentukan KEK Batam, maka gairah investasi di Kepri dapat kembali membaik.
1.1.1.3. PDRB Per Kapita
PDRB per kapita atau rata-rata pendapatan
penduduk di Kepri pada tahun 2017 meningkat 3,19
persen menjadi 113,28,77 juta rupiah. Dengan nilai
lebih dari 2 kali lipat PDRB per kapita nasional,
kemakmuran penduduk Kepri dari segi ekonomi dapat
dikatakan jauh di atas rata-rata nasional.
Hal tersebut menunjukkan bahwa lokasi
Kepri yang strategis, didukung dengan pemberian
“Berbeda dengan kondisi ekonomi nasional yang didominasi oleh konsumsi rumah tangga, ekonomi Kepri lebih banyak disumbang dari
investasi”
“Pendapatan masyarakat Kepri lebih besar 2 kali lipat dibandingkan
rata-rata nasional”
Gambar I-3 Perkembangan PDRB Per Kapita Kepulauan Riau (Jutaan Rupiah)
*Data Kepri diestimasi dengan data penduduk yang ada Sumber: BPS (Pusat & Kepri)
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 6
insentif fiskal melalui penetapan Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun (BBK) telah
memberikan kelebihan sendiri bagi perkembangan perekonomian Kepri.
1.1.2 Suku Bunga
Bank Indonesia melakukan
penguatan kerangka operasi moneter
dengan memperkenalkan suku bunga acuan
atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-
Day Repo Rate (BI 7DRR), yang efektif sejak
19 Agustus 2016. Sepanjang tahun 2017.
Bank Indonesia (BI) dengan kebijakan
moneternya berusaha untuk mendorong
kembali perekonomian yang sedang lesu. Kebijakan ekspansif tersebut tercermin dalam
BI 7DRR yang dipangkas hingga 25 basis poin dari 4,75 persen menjadi 4,50 persen
per Agustus 2017. Sampai dengan akhir tahun 2017, BI kembali melonggarkan
kebijakan moneter dengan memangkas 25 basis poin BI 7RRR dari 4,50 persen menjadi
4,25 persen.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, pihak perbankan juga sudah mulai
menurunkan suku bunga dengan rata-rata penurunan sebesar 76 basis poin sepanjang
tahun 2017 untuk kredit modal kerja,
investasi, dan konsumsi (Bank Umum).
Pemangkasan yang dilakukan pada Bank
Umum lebih tinggi 26 basis poin
dibandingkan pada pemangkasan BI.
Respon Bank Umum yang cukup baik
terhadap kebijakan ekspansif dalam
peningkatan penyaluran kredit dengan
mendorong peredaran uang diharapkan
mampu memperbaiki kondisi perekonomian dan investasi di tengah kelesuan ekonomi
pada tengah tahun 2017.
Dibandingkan dengan beberapa negara lainnya, suku bunga bank sentral di
Indonesia masih cenderung lebih tinggi. Hal ini ditujukan untuk mendorong investor
asing mendorong modalnya masuk ke Indonesia. Dan arus modal masuk ini pada
gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah. Namun demikian, BI akan terus
memantau perkembangan apresiasi nilai tukar rupiah untuk menjaga pertumbuhan net
ekspor. Karena dampak apresiasi rupiah yang terlalu tinggi berkemungkinan
“Pemangkasan suku bunga acuan dan implementasi BI 7RRR diharapkan dapat membantu memberikan stimulus bagi kondisi
perekonomian”
Gambar I-4 Perkembangan Suku Bunga Kredit
Sumber: Bank Indonesia
Gambar I-5 Perkembangan Suku Bunga Luar Negeri
0%
1%
2%
3%
4%
5%
Des-16 Mar-17 Jun-17 Sep-17 Des-17Indonesia AS
Jepang Inggris
*) Suku Bunga Bank Central L:uar Negeri Sumber: Bank Indonesia
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 7
mendorong aktifitas impor yang berlebih sehingga akan berdampak pada penurunan
pertumbuhan ekonomi nasional.
1.1.3 Inflasi
Inflasi tahun 2017 di Provinsi
Kepulauan Riau tercatat sebesar 4,02
persen (yoy). Angka tersebut lebih tinggi
41 basis poin dari nasional (3,61 persen),
namun masih sesuai dengan target inflasi
pemerintah, yakni 4±1%. Inflasi Provinsi
Kepulauan Riau tahun 2017 masih lebih
tinggi dibandingkan tahun 2016, namun
masih lebih rendah dibandingkan inflasi
tahun 2015. Dengan demikian pencapaian inflasi di Kepri juga jauh lebih baik
dibandingkan inflasi tahun 2015 yang tercatat 4,40% persen.
Dilihat dari kelompok pengeluarannya, inflasi terbesar di Kepri terjadi pada
kelompok bahan makanan serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar,
serta pendidikan rekreasi dan olahraga yang masing-masing tercatat sebesar 6,95
persen dan 5,63 persen. Pada kelompok pertama inflasi yang tinggi berasal dari
komoditas tarif listrik. Kenaikan tarif listrik sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral RI No. 28 Tahun 2016 tentang tarif listrik yang disediakan oleh
PT PLN untuk pelanggan di luar Batam, dan Peraturan Gubernur Kepulauan Riau No.
21 tahun 2017 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN Batam. Pada
kelompok kedua, inflasi yang tinggi didorong oleh tahun ajaran baru sekolah yang terjadi
pada bulan Juli dan September. Hal ini diindikasikan dengan tingginya inflasi tahun 2017
yang mencapai 5,98 persen di kota Batam.
Sementara itu, penyumbang inflasi tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau adalah
kelompok bahan makanan. Kontribusi kelompok bahan makanan di Kota Batam
sebesar 45 persen dan di Kota Tanjungpinang sebesar 66 persen. Potensi inflasi dari
bahan makanan Kepri cukup sensitif dipengaruhi kondisi cuaca dan gelombang laut
yang dapat menghambat jalur distribusi. Kemampuan Kepri untuk memproduksi barang
komoditas seperti bawang merah dan kacang panjang akan sangat mempengaruhi
inflasi bahan makanan di Kepri. Rendahnya inflasi tahunan bahan makanan Kepri pada
angka 2,61 persen menunjukkan bahwa kinerja TPID Kepri yang baik dalam menekan
inflasi Kepri khususnya pada kelompok bahan makanan sebagai kontributor terbesar
dalam inflasi Kepri.
“Inflasi di Kepri tercatat lebih tinggi dibandingkan nasional namun masih dalam batas target inflasi
4 ± 1%”
Gambar I-6 Perkembangan Inflasi (YoY)
Sumber: BPS (Pusat & Kepri)
“Inflasi komponen perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar didorong oleh kenaikan tarif
listrik”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 8
Dikaitkan dengan teori ekonom,
A.W. Phillips, yang menjelaskan mengenai
hubungan terbalik antara tingkat
pengangguran dan inflasi dalam Phillips
Curve, data perbandingan hubungan kedua
indikator tersebut di Kepri memiliki tren yang
cukup linear sebagaimana tercermin pada
kurva di samping. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa penurunan inflasi di Kepri terindikasi menghasilkan trade-off dengan
peningkatan tingkat pengangguran. Adapun koefisien -0,4367 mengindikasikan bahwa
setiap peningkatan inflasi sebesar 1%, TPT akan menurun 0,4367% dan sebaliknya.
1.1.4 Nilai Tukar
Singapura, China, dan
Malaysia merupakan mitra dagang
terbesar Provinsi Kepulauan Riau
dengan gabungan porsi ketiganya
mencapai 63,03 persen dari total nilai
perdagangan di Kepri. Nilai tukar
rupiah terhadap ketiga mata uang dari
negara tersebut cenderung melemah
pada tahun 2017, sebagaimana tercermin dari garis tren linear masing-masing mata
uang yang menanjak pada grafik pergerakan mata uang.
Sepanjang tahun 2017 nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dollar
Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (MYR), dan Yuan China (CNY) terdepresiasi
masing-masing 8,76 persen, 11,11 persen dan 6,86 persen. Melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing tersebut di atas tidak terlepas dari adanya gejolak
perekonomian global terutama mendekati akhir tahun 2017.
Adanya isu ketidakpastian gubernur The Fed dengan pengunduran diri gubernur
The Fed Janet Yellen di akhir 2017 dan adanya rencana kebijakan kenaikan bunga di
AS memicu ketidakstabilan global. Hal tersebut mendorong para investor asing untuk
melakukan sell off saham di bursa saham global. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut
telah ditekan dengan mengurangi ketergantungan pada mata uang USD melalui
kebijakan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi dagang antar negara yang saat
ini telah dilakukan atas kerja sama BI dengan bank sentral Malaysia dan Thailand.
Pelemahan mata uang akan menstimulus ekspor dan menurunkan impor
sehingga mengurangi defisit perdagangan (meningkatkan surplus), menguatnya mata
Gambar I-8 Pergerakan Mata Uang Tiga Mitra Dagang Terbesar Kepri terhadap Rupiah Tahun 2017
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
Rp1.500
Rp2.000
Rp2.500
Rp3.000
Rp3.500
Rp9.000
Rp9.500
Rp10.000
Rp10.500
Rp11.000
SGD (LHS) MYR (RHS)CNY (RHS) Linear (SGD (LHS))Linear (MYR (RHS)) Linear (CNY (RHS))
Gambar I-7 Scatter Plot Hubungan Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka (Phillips Curve)
Sumber: BPS Kepri (diolah)
y = -0,4367x + 0,0799
0,00%
2,00%
4,00%
6,00%
8,00%
10,00%
5,00% 6,00% 7,00% 8,00%
Pen
gang
gura
n
Inflasi
“Phillips Curve dengan data Kepri mengindikasikan terjadinya trade-off inflasi dengan
pengangguran”
“Singapura, China, dan Malaysia merupakan mitra dagang terbesar Kepri dengan porsi mencapai
68,03 persen”
“IDR melemah terhadap SGD, CNY, dan MYR
sepanjang 2017”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 9
uang akan menekan ekspor dan merangsang impor yang kemudian diikuti nilai mata
uang akan bergerak kembali sebagai penyesuaian. Hal tersebut merupakan gambaran
umum korelasi antara perdagangan antar negara dan nilai tukar.
Data ekspor impor Kepri tahun 2017
menunjukkan bahwa perdagangan dengan
Singapura menghasilkan surplus sebesar
3.339,28 juta USD, sedangkan perdagangan
dengan Malaysia dan China menimbulkan
defisit, masing-masing sebesar 115,59 dan
455,11 juta USD. Dikaitkan dengan korelasi
antara perdagangan lintas negara dan nilai tukar, melemahnya rupiah terhadap SGD
akan meningkatkan net ekspor sedangkan melemahnya rupiah terhadap MYR dan CNY
berpotensi memperkecil defisit perdagangan pada periode berikutnya.
1.2 INDIKATOR PEMBANGUNAN
1.2.1 Indeks Pembangunan Manusia
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terakhir (tahun 2016)
menunjukkan bahwa , terdapat 3 Kabupaten/Kota yang memiliki IPM di bawah Nasional
yakni Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, dan Kabupaten Kepulauan Anambas.
Dari ketiga Kabupaten tersebut, Lingga memiliki IPM terendah (62,44) sedangkan
Karimun (69,84) hanya terpaut 34 basis poin dibandingkan dengan nasional (70,18).
Kabupaten Lingga walaupun memiliki IPM terendah tetapi menunjukkan
pertumbuhan IPM tertinggi (5,15 persen) selama periode tahun 2012 sampai 2016. Dari
pertumbuhan yang tinggi tersebut, IPM Lingga yang masih 832 basis poin di bawah
IPM Nasional pada tahun 2012, Berhasil mengurangi selisihnya dengan IPM Nasional
hingga 58 basis poin pada tahun 2016 menjadi 774 basis poin.
Kepri dengan IPM sebesar 73,99 masih tetap bertahan sebagai Provinsi dengan
IPM ke-empat tertinggi di Indonesia, dua peringkat di atas Riau, induk daerah sebelum
Gambar I-9 Ekspor Impor Kepri Tahun 2017
Sumber: BPS Kepri (diolah)
6.316,92
611,37
758,37
2.977,64
726,96
1.213,48
- 2.000 4.000 6.000
Singapura
Malaysia
China Dalam Jutaan USD
ImporEkspor
Tabel I-3 Perkembangan IPM Provinsi Kepulauan Riau Periode Tahun 2010-2016 Perkembangan IPM Provinsi Kepulauan Riau Periode Tahun 2010-2016
Wilayah Indeks Pembangunan Manusia Pertumbuhan
2012 2013 2014 2015 2016 2015-2016 2012-2016 Kabupaten Bintan 71,01 71,31 71,65 71,92 72,38 0,64% 1,93% Kabupaten Karimun 67,67 68,52 68,72 69,21 69,84 0,91% 3,21% Kabupaten Natuna 68,80 70,06 70,06 70,87 71,23 0,51% 3,53% Kabupaten Lingga 59,38 60,13 60,75 61,28 62,44 1,89% 5,15% Kabupaten Kepulauan Anambas 64,32 64,86 65,12 65,86 66,30 0,67% 3,08% Kota Batam 78,39 78,65 79,13 79,34 79,79 0,57% 1,79% Kota Tanjungpinang 75,91 76,70 77,29 77,57 77,77 0,26% 2,45% Provinsi Kepulauan Riau 72,36 73,02 73,40 73,75 73,99 0,33% 2,25% Indonesia 67,70 68,31 68,90 69,55 70,18 0,91% 3,66% Sumber: BPS Kepri
“Ekspor Kepri yang terlalu dominan terhadap Singapura mengindikasikan adanya ketergantungan Kepri terhadap perdagangan dengan
Singapura”
“IPM Kepri menduduki peringkat 4
Nasional”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 10
pemekaran, dengan IPM 71,20. Hal tersebut mengindikasikan keberhasilan percepatan
pembangunan di Kepri, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
1.2.2 Kemiskinan
Persentase penduduk miskin
atau head count index of poverty
(HCI-P0) di Kepri per September
2017 sebesar 6,13 persen,
mengalami kenaikan 7 basis poin
dibandingkan Maret 2017. Kenaikan
tersebut masih menguatkan tren
HCI-P0 di Kepri yang telah menurun
11 basis poin sejak Maret 2015. Di tingkat nasional, pada tahun 2017 HCI-P0 mendapat
ranking 8 dari 34 provinsi. Bahkan, persentase di Kepri lebih rendah 399 basis poin
dibandingkan angka Nasional (10,12 persen).
Namun demikian, pencapaian tersebut masih terpaut 85 basis poin dari target
pada RPJMD (5,28%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah harus berkerja
lebih keras untuk dapat mencapai target tahun 2018 (5,03 persen).
Berdasarkan pembagian wilayahnya, Perdesaan di Kepri terus mengalami
peningkatan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di saat persentase
penduduk miskin di Perkotaan yang sempat menurun kembali naik di tahun 2017.
Meningkatnya kemiskinan di perdesaan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
Dana Desa hingga 28% di tahun 2017 masih harus dioptimalkan kembali penggunaanya
untuk pemberdayaan perekonomian masyarakat.
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Dilihat dari komponen penyumbang kemiskinan di Perdesaan, komoditi
makanan masih menjadi kontributor utama dengan porsi 76,26 persen terhadap garis
kemiskinan, dengan beras dan rokok menjadi penyumbang terbesar masing-masing
22,87 persen dan 11,50 persen. Rokok menjadi hal yang perlu mendapat perhatian
khusus karena hanya sebagai kebutuhan sekunder tetapi berperan besar menyebabkan
kemiskinan. Untuk mencegah permasalahan lebih lanjut, baik dari segi ekonomi
Gambar I-10 Head Count Index of Poverty (HCI-P0) Provinsi
Sumber: BPS (Pusat & Kepri)
4%
7%
10%
13%
Mar
-12
Sep
-12
Mar
-13
Sep
-13
Mar
-14
Sep
-14
Mar
-15
Sep
-15
Mar
-16
Sep
-16
Mar
-17
Sep
-17
Perkotaan Perdesaan
Kep.Riau Nasional
“HCI-P0 Kepri relatif baik namun meleset dari target
RPJMD”
“Rokok menjadi kontributor utama garis kemiskinan
di perdesaan”
Gambar I-11 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
0,4
1,0
1,6
2,2
Mar
-12
Sep
-12
Mar
-13
Sep
-13
Mar
-14
Sep
-14
Mar
-15
Sep
-15
Mar
-16
Sep
-16
Mar
-17
Sep
-17
Perkotaan Perdesaan
Gambar I-12 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
0,0
0,2
0,4
0,6
Mar
-12
Sep
-12
Mar
-13
Sep
-13
Mar
-14
Sep
-14
Mar
-15
Sep
-15
Mar
-16
Sep
-16
Mar
-17
Sep
-17
Kep.Riau Nasional
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 11
maupun kesehatan masyarakat, unit-unit pemerintah terkait harus lebih menggiatkan
sosialisasi anti rokok di perdesaan.
Dilihat dari Indeks P1 dan P2, kondisi kemiskinan di Kepri juga lebih baik
dibandingkan nasional. Per September 2017, P1 Kepri sebesar 1,183 saat P1 nasional
sebesar 1,790, sedangkan P2 Kepri sebesar 0,313 saat P2 nasional sebesar 0,460.
Selisih antara P1 Kepri dan P1 Nasional menunjukkan bahwa jarak antara
pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan di Kepri relatif lebih dekat,
sedangkan selisih P2 menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk
miskin di Kepri relatif lebih tipis. Dengan kondisi tersebut strategi penanggulangan
kemiskinan di Kepri dapat difokuskan pada pemerataan kue ekonomi untuk daerah
miskin karena penduduk miskinnya sendiri sudah hampir keluar dari jurang kemiskinan.
1.2.3 Ketimpangan
Koefisien gini (gini ratio) di
Kepulauan Riau meningkat 7,35 persen per
September 2017. Pada periode yang sama,
koefisien gini nasional berhasil diturunkan
-1,98 persen. Namun demikian, gini ratio
Kepri (0,359) masih di kategori sedang,
sedangkan gini ratio Nasional (0,391)
sudah mendekati kategori tinggi, sehingga menunjukkan bahwa kesenjangan
pendapatan di Kepri masih lebih baik. Dikaitkan dengan RPJMD, gini ratio Kepri sudah
melewati target baik tahun 2017 (0,39), maupun akhir periode RPJMD (0,36). Untuk itu,
kedepannya pemerintah perlu menjaga agar pertumbuhan ekonomi Kepri tetap merata
sehingga gini ratio tetap terjaga.
1.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan
Perkembangan penyerapan tenaga kerja (TK) di Kepri menunjukkan tren yang
memburuk dimana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), meningkat 190 basis poin
dari Februari 2014 menjadi 7,16 persen pada Agustus 2017, walaupun terdapat sedikit
perbaikan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yaitu meningkat 53
basis poin. Perkembangan tersebut juga menyebabkan TPT Kepri selalu lebih buruk
dibandingkan TPT Nasional sejak Agustus 2014.
Tabel I-4 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau
Indikator 02/2014 08/2014 02/2015 08/2015 02/2016 08/2016 02/2017 08/2017 Angkatan Kerja Kepri (jiwa) 892.035 878.415 895.443 891.988 912.904 931.435 1.053.415 966.091 TPAK Kepri (%) 67,83% 65,95% 66,16% 65,07% 65,58% 65,93% 73,47% 66,41% TPT Kepri (%) 5,26% 6,69% 9,05% 6,20% 9,03% 7,69% 6,44% 7,16% TPT Nasional (%) 5,70% 5,94% 5,81% 6,18% 5,50% 5,61% 5,33% 5,50%
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Gambar I-13 Perkembangan Gini Ratio
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
0,2
0,3
0,4
0,5
Perkotaan Perdesaan
Kep.Riau Nasional
“Kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan di Kepri relatif rendah”
“Gini ratio Kepri sudah melewati
target RPJMD”
“TPT dalam tren meningkat setelah turun 6,44 persen di
awal 2017”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 12
Adanya perbaikan TPT Agustus
2017 di Kepri dibandingkan periode yang
sama tahun lalu disebabkan oleh baiknya
kinerja sektor Industri akibat tingkat upah
yang mengalami kenaikan 45,51 persen
pada tahun 2017. Dampaknya tercermin
dari kenaikan TK sektor industri hingga
47 ribu orang atau 33,03 persen dalam
satu tahun terakhir. Walaupun di saat yang sama, TK sektor informal, yang diperkirakan
juga menjadi penyerap excess tenaga kerja ternyata menurun hingga 5,69 persen.
Masih tetap tingginya TPT dari
tahun ke tahun juga berbanding lurus
dengan tingginya tingkat kriminalitas di
Kepri. Jumlah kriminalitas dari tahun 2014
sampai dengan 2016 hampir tidak ada
perubahan berarti. Jumlah pencurian,
pembunuhan dan pemerkosaan masih
tetap berada dikisaran yang sama setiap
tahunnya. Hal ini terjadi akibat dari
ketidakmampuan pengganguran dalam memenuhi kebutuhannya sehingga memaksa
terjadinya perbuatan kriminal. Dalam hal ini pemerintah perlu bekerja keras untuk dapat
menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) agar tingkat kriminalitas juga dapat
ditekan sehingga masyarakat lebih merasa aman.
Capaian TPT tahun 2017 meleset 91 basis poin dari target 6,25 persen pada
RPJMD. Hal ini terjadi bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan perekonomian
Kepri yang hanya 2,01 persen yang sangat jauh meleset dari target RPJMD 5,85
persen.
Arthur Melvin Okun dalam Okun’s
Law atau Okun’s Rule of Thumb
mempelajari bahwa terdapat hubungan
negatif antara pertumbuhan ekonomi
dengan tingkat pengangguran. Ketika
tingkat pengangguran meningkat,
pertumbuhan ekonomi melambat. IMF
(2014) dalam “Do Forecasters Believe in
Okun’s Law? An Assessment of
Unemployment and Output Forecasts” menyimpulkan hal yang sama dengan
Gambar I-14 Perkembangan Tenaga Kerja Industri & Informal (dalam ribuan orang)
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
100
150
200
250
300
350
400
Feb-15 Aug-15 Feb-16 Aug-16 Feb-17 Aug-17
IndustriInformalExpon. (Industri)Expon. (Informal)
Gambar I-16 Scatter Plot Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Pengangguran (Okun’s Law)
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau (Diolah)
y = -0,4721x - 0,0026
-2%
0%
2%
4%
6%
8%
-3% -1% 1% 3%Δ P
erub
ahan
Per
tum
buha
n E
kono
mi Y
oY
Δ Perubahan TPT
“Tenaga kerja sektor industri yang merupakan Kontributor utama ekonomi Kepri menurun dan mulai terserap oleh sektor
informal”
“Target TPT dalam RPJMD meleset. Pemerintah perlu meningkatkan pertumbuhan untuk mencapai target TPT di tahun-tahun
berikutnya”
Gambar I-15 Perkembangan Tingkat Kriminalitas
Sumber: BPS Statistik Kriminal 2017
2147 2123 2077
17 17 8124 167 1320
500
1000
1500
2000
2500
2014 2015 2016
pencurian pembunuhan pemerkosaan
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 13
membandingkan data perubahan pertumbuhan ekonomi dengan perubahan tingkat
pengangguran. Data di Kepri sendiri menunjukkan hal yang serupa sebagaimana
tercermin dari garis linear dan koefisien -0,4721 pada grafik di atas. Koefisien tersebut
mengindikasikan bahwa setiap penurunan TPT sebesar 1%, akan terjadi percepatan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,4721 persen. Sebaliknya, ketika TPT meningkat 1
persen, pertumbuhan ekonomi akan melambat 0,4721 persen.
1.3 EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI DAN PEMBANGUNAN
REGIONAL
Perekonomian Kepri pada tahun 2017 merupakan yang terendah sejak tahun
2012. Melemahnya kondisi ekonomi global serta gejala ketidakstabilan ekonomi sangat
berdampak pada perekonomian Kepri yang sangat tergantung pada eksternal. Hal
tersebut di atas diindikasikan oleh besarnya porsi kegiatan ekspor-impor Kepri yang
cukup tinggi yang masing-masing mencapai porsi 81,30 persen dan 64,78 persen dari
PDRB Kepri tahun 2017.
Disamping melemahnya
perekonomian dunia di saat harga
komoditas migas yang mencapai titik
terendah di akhir semester I 2017,
adanya rencana kenaikan bunga
pinjaman luar negeri AS telah memicu
arus permodalan asing keluar dari
Indonesia. Bagi Kepri yang 59 persen
dari perekonomiannya digerakkan oleh sektor industri, hal tersebut secara signifikan
akan berdampak pada penurunan ekonomi Kepri. Sebagai wilayah FTZ, memang sudah
seharusnya sektor Industri Kepri dominan terhadap perekonomian, namun porsinya
yang sangat besar harus mulai dapat dikurangi dengan mulai membangun sektor
potensial lainnya.
Gambar I-18 Keterkaitan Kondisi Marko dan Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: BPS Provinsi Kepri
4,25%
2,57%
4,02%
0,00%
2,00%
4,00%
6,00%
Des-16 Mar-17 Jun-17 Sep-17 Des-17
Kondisi Makro Kepri
BI 7RRR Pertumbuhan Ekonomi Kepri (yoy) Inflasi Kepri (yoy)
15,00%
51,24%
3,99%
-5,00%
0,00%
5,00%
-40,00%
-20,00%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
Des-16 Mar-17 Jun-17 Sep-17 Des-17
Pertumbuhan Industri Kepri
Ekspor (yoy) (LHS) Impor (yoy) (LHS)
Industri Pengolahan (RHS)
Harga Komoditas
Ekonomi
Moneter:
BI 7DRR
Bunga Pinjaman Luar
Negeri
PDRB Inflasi
Fiskal:
Pajak & Belanja Pemerintah
Arus Modal Keluar
Ekonomi
Pertumbuhan Ekspor-Impor
Dan geliat industri
Gambar I-17 Arus Kebijakan Fiskal dan Moneter
Sumber: Kanwil DJPb Kepri
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 14
Kebijakan BI rate yang dilakukan melalui BI 7DRR merupakan refleksi atas
kondisi perekonomian nasional. Dikaitkan dengan kondisi ekonomi di tingkat regional
Kepri, menurunnya BI 7DRR yang dikelola oleh BI diduga merupakan feedback atas
lesunya perekonomian Kepri. Meskipun penurunan BI 7DRR tidak berdampak langsung
pada Kepri, perekonomian Kepri mulai membaik di triwulan III sejalan dengan
penurunan BI 7DRR.
Membaiknya kondisi ekonomi sejalan dengan pertumbuhan industri pengolahan
Kepri. Namun demikian, terdapat anomali disaat nilai tukar rupiah sedang melemah
terhadap negara-negara mitra dagang Kepri, kenaikan impor Kepri cukup tinggi
meskipun secara nominal nilai ekspor lebih tinggi dari pada nilai impor Kepri yang
menghasilkan surplus perdagangan sebesar US$ 3,44 miliar pada tahun 2017. Anomali
kenaikan impor tersebut merupakan arus impor barang baku produksi yang digunakan
pada sektor industri pengolahan hal diindikasikan dengan kenaikan impor nonmigas
hasil industri pada bulan September dan Desember yang masing-masing sebesar 34,90
persen dan 20,51 persen.
Beberapa penjelasan tersebut di atas menjelaskan bahwa ekonomi Kepri masih
sangat rapuh terhadap kondisi global. Hal ini dapat diperbaiki dengan meningkatkan
kemandirian Kepri melalui peningkatan produksi bahan baku industri.
Melalui capaian sasaran
pembangunan yang telah ditetapkan
pada tahun 2017, pemerintah perlu
melakukan koreksi atas kebijakannya,
khususnya di tingkat pemerintah daerah.
Capaian pertumbuhan ekonomi yang
berada di bawah target RKP maupun
RPJMD mencerminkan bahwa pada
tahun 2017 kebijakan pemerintah dalam
mendorong perekonomian kurang berdampak terutama dari sisi pemerintah sebagai
penyumbang pertumbuhan dari sisi permintaan (10,84 persen).
Dari sisi inflasi, kinerja PPID Kepri sangat baik dengan capaian inflasi yang
terjaga pada angka 4 persen yang berada masih berada pada target RKP dan berada
di bawah target RPJMD. Namun demikian, pertumbuhan pengangguran dan kemiskinan
Kepri tahun 2017 meleset cukup jauh dari target yang ditetapkan hal sejalan dengan
memburuknya kondisi ekonomi Kepri di tahun 2017.
2,57%
10,84%
3,01%
-10,00%
-5,00%
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
2016Q3 2016Q4 2017Q1 2017Q2 2017Q3 2017Q4
Pertumbuhan Ekonomi Kepri (yoy)
Porsi Pengeluaran Pemerintah (yoy)
Pengeluaran Pemerintah (yoy)
Gambar I-19 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah
Sumber: BPS Kepri
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 15
BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBN DI TINGKAT
REGIONAL
2.1 APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Gambar II-1 Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN Kepri
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)
Secara umum, nominal alokasi dan realisasi APBN di Kepri tahun 2014-2017
memiliki tren yang cenderung fluktuatif mengikuti dengan penyesuaian belanja sesuai
dangan asumsi penerimaan tiap tahunnya. Namun demikian, peningkatan realisasi
belanja jauh melebihi realisasi pendapatan sehingga defisit anggaran meningkat.
Tabel II-1 Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
Uraian 2015 2016 2017
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi A. Pendapatan 9.492,68 7.663,84 9.864,58 7.787,57 9.476,94 7.425,60
Penerimaan Pajak 8.189,40 6.259,21 8.637,51 6.386,29 7.972,67 6.035,79 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 1.067,37 1.278,22 1.171,21 1.376,66 1.490,62 1.381,57 Hibah 235,91 126,41 55,86 24,62 13,65 8,24
B. Belanja Negara 12.815,02 12.342,69 14.295,25 13.009,74 13.735,17 13.055,03 Belanja Pemerintah Pusat 6.358,73 5.593,27 6.123,05 5.385,82 6.187,97 5.562,43 Transfer ke Daerah 6.456,29 6.749,42 8.172,20 7.623,92 7.547,20 7.492,59
C. Surplus (Defisit) (A-B) -3.322,34 -4.678,85 -4.387,61 -5.222,17 -4.258,23 -5.629,43 Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)
Berdasarkan persentase capaian pendapatan, realisasi pendapatan semenjak
tahun 2014 terus mengalami penurunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekonomi
di Provinsi Kepulauan Riau merupakan trigger pendapatan pemerintah terutama dari
7,32 9,49 9,86
9,48
12,86 12,82 14,30 13,74
-5,54-3,32 -4,39 -4,26
2014 2015 2016 2017
Perkembangan Pagu (dalam triliun)
Pendapatan Belanja Negara Surplus/Defisit
7,67 7,66 7,79 7,43
11,60 12,34 13,01 13,06
-3,93 -4,68 -5,22 -5,63
2014 2015 2016 2017
Perkembangan Realisasi(dalam triliun)
Pendapatan Belanja Negara Surplus/Defisit
”Alokasi dan realisasi APBN di Kepri dalam tren yang fluktuatif dan cenderung turun
di tahun 2017”
“Pendapatan Pemerintah Pusat di Kepri turun -4,65 persen dari tahun 2016. Berakhirnya program tax amnesty mendorong
turunnya pendapatan Pemerintah Pusat di Kepri ditambah lagi dengan penurunan harga komoditas, dan ketidakstabilan
perekonomian global di akhir 2017. Di sisil lain, terjadi peningkatan realisasi belanja pemerintah Kepri sejalan dengan
peningkatan alokasi belanjanya meskipun hanya sebesar 0,35 persen dibandingkan tahun 2016.”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 16
sektor pajak. Namun demikian, rekam pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah di
awal tahun diduga sebagai penyebab mayor turunnya pendapatan Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau.
Di sisi lain, persentase realisasi belanja
pemerintah pada tahun 2017 meningkat 404 basis
poin dibanding tahun 2016. Realisasi belanja pada
tahun 2017 dinilai lebih baik dari tahun 2016, hal ini
diindikasikan dengan kualitas belanja pada tahun
2017 dinilai lebih baik dengan adanya kebijakan
efisiensi belanja dan penggunaan belanja
perjalanan dinas yang lebih selektif. Selain itu,
penambahan alokasi belanja yang bersumber dari
hibah ikut mendorong realisasi belanja di tahun
2017.
2.2 PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT TINGKAT PROVINSI
Pendapatan Pemerintah Pusat di Kepri tahun 2017 turun -4,65 persen dari tahun
2016 yang sebelumnya sebesar Rp7,78 triliun menjadi 7,43 triliun. Pendapatan sektor
perpajakan yang mulai turun semenjak berakhirnya program tax amnesty mendorong
turunnya pendapatan Pemerintah Pusat di Kepri. Penerimaan pajak dengan porsi yang
tinggi yaitu 81,28 persen memiliki sensitivitas yang tinggi sekaligus kontributor tertinggi
terhadap total pendapatan Kepri.
Pendapatan Pemerintah Pusat di Kepri yang semakin turun selama dua tahun
terakhir didorong oleh pertumbuhan ekonomi Kepri yang semakin turun semenjak tahun
2012. Pertumbuhan ekonomi Kepri tahun 2017 merupakan yang terendah semenjak
tahun 2012 yaitu sebesar 2,57 persen (yoy). Pertumbuhan ekonomi Kepri yang
didominasi dan hanya terpusat pada kontributor utama (industri, konstruksi, dan
pertambangan) tidak dapat menjamin kelangsungan ekonomi Kepri apabila terjadi
permasalahan pada sektor utama tersebut. Dan pada awal tahun 2017 adanya
perubahan iklim investasi yang cenderung negatif ikut mempengaruhi di pertumbuhan
kontributor utama ekonomi Kepri. Sehingga meskipun pada tahun 2017 telah didukung
dengan penambahan basis pajak, lesunya pertumbuhan pada kontributor utama belum
mampu memperbaiki penerimaan pajak 2017.
2.2.1 Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat Tingkat Provinsi
Pada tahun 2017 Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat di Kepri mencapai
Rp6,04 triliun, turun sebesar -5,49 persen dari tahun 2016. Berdasarkan jenisnya, Pajak
Dalam Negeri memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap total penerimaan
“Turunnya pendapatan pemerintah pusat merupakan efek domino dari memburuknya iklim investasi yang berdampak pada sektor-sektor dominan di
Kepri”
Gambar II-2 Perkembangan Capaian Pendapatan dan Belanja APBN di Kepri
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)
104,78%
80,73%78,94%
78,35%
90,22%96,31%
91,01%95,05%
2014
-P
enda
pata
n
2015
-P
enda
pata
n
2016
-P
enda
pata
n
2017
-P
enda
pata
n
2014
- B
elan
ja
2015
- B
elan
ja
2016
- B
elan
ja
2017
- B
elan
ja
“Penerimaan Perpajakan Tahun 2017 sebesar -5,49 persen dari tahun 2016 yang didorong oleh
turunnya PPh”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 17
perpajakan yang mencapai 92,71 persen, disamping itu pendapatan Pajak
Perdagangan Internasional berkontribusi sebesar 7,29 persen. Namun demikian,
penerimaan Pajak Dalam Negeri menyumbang kontribusi negatif terhadap agregat
penerimaan perpajakan Kepri sebesar -7,32 persen dari tahun 2016. Pajak Penghasilan
(PPh) sebagai kontributor tertinggi Pendapatan Pajak Dalam Negeri sekaligus
Penerimaan Pajak Agregat berkontribusi negatif -15,25 persen dari tahun 2016. Hal ini
sejalan dengan berakhirnya masa tax amnesty yang diindikasikan dengan penerimaan
tebusan pajak 2017 yang hanya mencapai Rp177,38 miliar terpaut jauh -82,68 persen
dari tahun 2016 (Rp1,03 triliun). Namun demikian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sebagai kontributor terbesar kedua pada tahun 2017 tumbuh cukup signifikan dari tahun
2016 yaitu sebesar 38,13 persen.
Meskipun pada tahun 2017 perekonomian Kepri mengalami keterpurukan,
masih terdapat celah yang menunjukkan bahwa Kepri masih mampu memperbaiki
kondisi ekonomi. Pertumbuhan Pajak Perdagangan Internasional yang terus meningkat
semenjak tahun 2015 menunjukkan bahwa perekonomian masih terus tumbuh dengan
adanya peningkatan ekspor dan impor. Pada tahun 2017 Pendapatan Pajak
Internasional Kepri tumbuh 26,33 persen dari tahun 2016. Peningkatan ini sejalan
dengan peningkatan aktivitas ekspor dan impor pada tahun 2017 yang masing-masing
tumbuh sebesar 10,56 persen dan 12,96 persen dengan surplus sebesar US$3,44 miliar
yang meningkat 4,88 persen dibanding surplus tahun 2016 sebesar US$3,28 miliar.
Tabel II-2 Perkembangan Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
Perkembangan Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah) Jenis Pendapatan 2015 2016 2017
Target Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi % Pendapatan Pajak Dalam Negeri 7.860,46 5.900,01 75,06% 8.271,14 6.037,90 73,00% 7.690,85 5.595,68 72,76% Pajak Penghasilan (PPh) 6.627,69 5.079,42 76,64% 6.898,52 5.246,81 76,06% 6.553,17 4.446,86 67,86% Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1.088,50 710,77 65,30% 1.190,41 741,95 62,33% 1.067,20 1.024,84 96,03% Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 28,67 24,41 85,16% 23,75 26,40 111,17% 21,34 28,99 135,87% Cukai 19,43 22,53 115,94% 7,23 11,34 156,87% 0,39 8,70 2215,77% Pajak Lainnya 96,17 62,88 65,39% 151,23 11,39 7,53% 48,75 86,28 176,99% Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional
467,76 359,21 76,79% 366,37 348,39 95,09% 281,81 440,11 156,17%
Bea Masuk 467,72 359,17 76,79% 365,80 346,74 94,79% 281,81 424,58 150,66% Bea Keluar 0,03 0,03 96,19% 0,57 1,65 291,88% 0,00 15,53 0,00 Total Penerimaan Perpajakan 8.328,22 6.259,21 75,16% 8.637,51 6.386,29 73,94% 7.972,67 6.035,79 75,71% Sumber: OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)
Dilihat dari kinerja perpajakan, tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan
pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi
Kepulauan Riau memang berada jauh di bawah tax ratio nasional sebesar ±9,89 persen.
Rendahnya tax ratio di Provinsi Kepulauan Riau disebabkan oleh pemberian insentif
fiskal berupa pembebasan pajak, khususnya di area Free Trade Zone Batam.
Namun demikian, tax ratio penerimaan perpajakan di Provinsi Kepulauan Riau
juga terus menurun. Pada tahun 2015 tax ratio penerimaan perpajakan turun 47 basis
poin dari 3,61 persen di tahun 2014. Di tahun 2016, rasio pajak kembali turun 19 basis
“Tax Ratio Kepri jauh di bawah rata-rata nasional karena adanya pemberlakuan
Free Trade Zone”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 18
poin menjadi 2,95 persen. Dan di tahun 2017, rasio pajak mengalami penurunan 32
basis poin menjadi 2,63 persen.
Di sisi lain, berdasarkan
jenis pajaknya, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak
Perdagangan Internasional tahun
2017 kembali naik sempat
menurun di tahun 2015 dan 2016.
Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun kinerja penerimaan
perpajakan cenderung rendah, kinerja penerimaan PPN dan PPI masih mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kepri.
2.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemerintah Pusat di Kepri pada tahun
2017 mencapai Rp1,38 triliun, meningkat tipis 0,36 persen dari tahun 2016. Peningkatan
PNBP tahun 2017 didorong oleh peningkatan signifikan oleh PNBP Pendapatan dari
Pengelolaan BMN dan PNBP Pendidikan yang masing-masing meningkat 28,88 persen
dan 24,67 persen dari tahun 2016.
PNBP Pengelolaan BMN didominasi oleh Pendapatan Penjualan Hasil
Sitaan/Rampasan dan Harta Peninggalan sebesar Rp7,82 miliar (49,97 persen dari total
PNBP Pengelolaan BMN). Peningkatan pendapatan Penjualan Hasil Sitaan/Rampasan
dan Harta Peninggalan sebesar 48 persen (dari tahun 2016) merupakan sumbangan
yang cukup signifikan bagi peningkatan PNBP Pengelolaan BMN di tahun 2017.
Sementara itu, PNBP Pendidikan didominasi oleh Pendapatan Uang Pendidikan
sebesar Rp46,52 miliar (94,07 persen dari total PNBP Pendidikan).
Tabel II-3 Perkembangan PNBP Pemerintah Pusat di Kepri Berdasarkan Jenis (dalam miliaran rupiah) Perkembangan PNBP Pemerintah Pusat di Kepri
Jenis PNBP Tahun 2016 Tahun 2017 Realisasi Porsi PNBP Realisasi Porsi PNBP
1.Pendapatan dari Pengelolaan BMN 12,15 0,88% 15,66 1,13% 2.Pendapatan Iuran dan Denda 3,55 0,26% 3,08 0,22% 3.Pendapatan Lain-Lain 49,07 3,56% 9,28 0,67% PNBP Umum 64,77 4,70% 28,02 2,03% 1.Pertambangan Umum - 0,00% - 0,00% 2.Kehutanan - 0,00% - 0,00% 3.Perikanan - 0,00% - 0,00% 4.Jasa 309,46 22,48% 338,70 24,52% 5.Kejaksaan dan Peradilan 12,07 0,88% 7,35 0,53% 6.Pendidikan 39,67 2,88% 49,46 3,58% 7.Pendapatan Gratifikasi 11,38 0,83% 4,61 0,33% 8.Badan Layanan Umum (BLU) 939,3 68,23% 953,44 69,01% PNBP Fungsional 1.311,89 95,30% 1.353,55 97,97%
Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (Diolah);
Gambar II-3 Perkembangan Tax to GRDP Ratio Kepri
Sumber: Monev PA DJPBN, DJP, DJBC Kemenkeu dan BPS Kepri (diolah);
3,61%3,14% 2,95%
2,63%2,57% 2,55% 2,42%
1,94%
0,42%0,36% 0,34% 0,45%
0,57%
0,18% 0,16% 0,22%
2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7
Total PPh PPN PPI
“Tax Ratio Kepri terus menurun dengan penurunan tertinggi terjadi pada komponen
PPh”
“PNBP Pengelolaan BMN dan PNBP pendidikan mendorong peningkatan PNBP 28,88 persen dan 24.67
persen”
PNBP Badan Layanan Umum (BLU) memiliki porsi terbesar dalam komposisi PNBP Kepri
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 19
Di samping itu, PNBP Badan Layanan Umum (BLU) memiliki porsi terbesar
dalam komposisi PNBP Kepri (69,01 persen) dan porsinya meningkat 0,78 persen dari
tahun 2016. PNBP BLU tahun 2017 mengalami peningkatan tipis sebesar 1,51 persen
dari tahun 2016. PNBP BLU di Kepri sendiri disumbang oleh satu-satunya BLU di
lingkup Kepri, yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Capaian yang baik di tahun 2017 dibandingkan
tahun 2016 didorong oleh dampak perubahan manajemen dan kebijakan strategis
pengelolaan kawasan otorita oleh BP Batam terutama dalam kemudahan perizinan.
Dilihat dari kinerjanya, rasio PNBP terhadap PDRB mengalami penurunan dari
0,641 persen di tahun 2015 menjadi 0,636 persen di tahun 2016, dan terus menurun
mencapai 0,601 persen di tahun 2017. Penurunan PNBP ratio tersebut dapat diartikan
bahwa peningkatan penerimaan PNBP Kepri belum mampu mengimbangi kecepatan
pertumbuhan ekonomi di Kepri.
2.2.3 Pendapatan Hibah
Penerimaan hibah di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2017 sebesar Rp8,24
miliar, anjlok -66,53 persen dibandingkan tahun 2016. Selisih komponen Hibah
Langsung Dalam Negeri (HLD) hingga Rp14,32 miliar menjadi penyebab penurunan
tersebut. Komponen HLD yang sangat rendah di tahun 2017 dibandingkan tahun 2016
diakibatkan karena adanya penurunan penerimaan hibah penyelenggaraan Pemilu
sebesar -87,64 persen dibandingkan tahun 2016, meskipun pada tahun 2016 dan 2017
tidak terdapat penyelenggaraan Pilkada di wilayah Kepri.
Tabel II-4 Penerimaan Hibah Pemerintah Pusat di Kepri Berdasarkan Sumber (dalam miliaran Rupiah) Penerimaan Hibah Pemerintah Pusat di Kepri Berdasarkan Sumber (dalam miliaran Rupiah)
Jenis Hibah 2015 2016 2017 Realisasi Porsi Hibah Realisasi Porsi Hibah Realisasi Porsi Hibah
Hibah Luar Negeri (HLN) 2,39 1,89% 2,06 8,37% - 0% Hibah Langsung Dalam Negeri (HLD) 124,02 98,11% 22,56 91,63% 8,24 100% Hibah Langsung Luar Negeri (HLL) - 0,00% - 0,00%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)
2.2.4 Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemerintah Pusat
Fenomena perlambatan pertumbuhan
ekonomi Kepri dimulai sejak tahun 2012.
Hasil uji sensitivitas terhadap penerimaan
Pemerintah Pusat selama periode
perlambatan tersebut menunjukkan hasil
yang beragam.
Untuk penerimaan perpajakan,
ditemui indikasi bahwa adanya hubungan
yang positif antara penurunan penerimaan
Gambar II-4 Scatter Plot Sensitivitas Penerimaan Pemerintah Pusat di Kepri
Sumber: BPS Kepri dan Kemenkeu (Diolah)
y = 4,8755x + 0,0663
y = 7,5574x + 0,1143
-35%
-15%
5%
25%
45%
-1,0% -0,9% -0,8% -0,7% -0,6% -0,5%
ΔP
erub
ahan
Pen
erim
aan
Δ Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
Pajak PNBP
“Pendapatan hibah tahun 2017 anjlok -66,53 persen karena
tidak ada pilkada ”
“Setiap 1% perlambatan ekonomi menurunkan
pajak 4,88% ”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 20
dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dampak dari setiap 1 persen perlambatan
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mengurangi penerimaan perpajakan hingga
4,8755 persen. Begitupun dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan
mengurangi penerimaan hingga 7,5574 persen. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
pada lingkup Kepri, penerimaan pajak dan PNBP relatif sensitif terhadap kondisi
perekonomian.
2.3 BELANJA PEMERINTAH PUSAT
Pada tahun 2017, alokasi belanja APBN Kepri mencapai sebesar Rp14,74 triliun
di Kepri, meningkat 3,10 persen dibandingkan tahun 2016. Peningkatan alokasi tahun
2017 terjadi karena adanya peningkatan belanja Pemerintah Pusat yang signifikan
mencapai 17,45 persen dari tahun 2016. Sementara itu, perkembangan alokasi Transfer
ke Daerah dan Dana Desa memberikan kontribusi negatif terhadap alokasi belanja
agregat Kepri karena mengalami penurunan -7,65 persen dari tahun 2016. Transformasi
kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa lebih diarahkan untuk pembangunan
sarana dan prasarana di daerah dari pada belanja yang bersifat konsumtif sehingga
pada tahun 2017 alokasi Dana Bagi Hasil cenderung menurun dan alokasi DAK
cenderung meningkat. Selain itu, peningkatan realisasi belanja pemerintah Kepri
sejalan dengan peningkatan alokasi belanja Kepri meskipun hanya sebesar 0,35 persen
dibandingkan tahun 2016. Peningkatan ini didorong oleh realisasi belanja pemerintah
pusat sebesar 3,28 persen.
2.3.1 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Organisasi
APBN di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2017 dibagi ke dalam 46 Bagian
Anggaran (BA) yang terdiri dari 45 Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dan 1 Bagian
Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN). Jumlah BA tersebut menurun
semenjak tahun 2015 dari 47 di tahun 2015 karena BA 020 (Kementerian ESDM) tidak
lagi mendapat alokasi.
Tabel II-5 Perkembangan Belanja APBN, 10 Bagian Anggaran Terbesar TA 2014-2016 (dalam miliar Rupiah)
Perkembangan Belanja APBN, 10 Bagian Anggaran Terbesar TA 2014-2016 (dalam miliar rupiah) Bagian Anggaran 2015 2016 2017
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi 112 Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam
1.123,73 88,68% 1.616,66 87,66% 1.784,86 79,69%
33 Kementerian PUPERA 904,28 97,87% 947,56 84,48% 872,61 97,78% 60 Kepolisian RI 420,31 108,54% 542,85 93,13% 569,21 96,96% 22 Kementerian Perhubungan 1.262,99 75,89% 684,08 89,48% 523,10 96,40% 12 Kementerian Pertahanan 371,14 97,21% 416,04 95,58% 459,70 96,93% 15 Kementerian Keuangan 340,40 95,02% 354,69 92,76% 411,73 91,93% 25 Kementerian Agama 301,96 87,34% 254,08 89,59% 262,69 94,75% 24 Kementerian Kesehatan 149,53 75,13% 163,99 68,97% 155,80 90,24% 13 Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri
132,42 90,92% 144,88 94,30% 134,91 98,37%
“Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa menyumbang kontribusi negatif terhadap alokasi belanja agregat Kepri karena mengalami penurunan -7,65 persen dari tahun
2016 ”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 21
42 Kementerian Riset, Teknologi Dan Pendidikan Tinggi
294,83 91,44% 127,96 93,59% 122,55 91,04%
TOTAL seluruh BA 6.358,73 87,96% 6.123,05 87,96% 7.191,30 90,02% Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)
Alokasi belanja pada 10 pagu K/L terbesar di tahun 2017 mencapai Rp5,30
triliun dengan tingkat penyerapan 90,42 persen. Dari 10 K/L tersebut, alokasi BA 112
(BP Batam) mengalami peningkatan yoy tertinggi baik secara nominal (Rp168,20 miliar)
maupun secara persentase (10,40 persen). Meskipun terdapat kenaikan belanja BP
Batam secara agregat, dengan kepemimpinan yang baru yang dimulai pada periode
2017, terdapat perampingan organisasi, yang diindikasikan dari belanja gaji dan
tunjangan yang mengalami penurunan sebesar -4,74 persen. Sementara itu, kontributor
tertinggi terhadap peningkatan belanja BP Batam adalah belanja yang digunakan untuk
peningkatan kualitas layanan BP Batam yang diindikasikan dari tingginya belanja
penyediaan barang dan jasa BLU lainnya dengan peningkatan sebesar 1.233,33
persen.
Di sisi lain, BA 022 (Kementerian Perhubungan) mengalami penurunan (yoy)
terbesar, dengan persentase penurunan -23,53 persen. Penurunan pada belanja
Kementerian Perhubungan merupakan lanjutan dari tahun 2016 yang sebelumnya telah
mengalami penurunan 45,84 persen. Penurunan tertinggi disumbang dari sisi Belanja
Pegawai pada Eselon I Ditjen Perhubungan udara sebesar -83,71 persen yang
diakibatkan oleh perubahan jumlah pegawai akibat perpindahan pegawai dengan total
yang diindikasikan dari penurunan belanja tunjangan kompensasi kerja PNS. Dan
penurunan ini juga ditambahkan dari penurunan alokasi belanja pada Eselon I Ditjen
Perhubungan Darat dengan persentase penurunan sebesar -67,47 persen yang terjadi
pada belanja gedung dan bangunan untuk diserahkan kepada masyarakat/pemda.
2.3.2 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi
Belanja Pemerintah berdasarkan fungsi mengacu pada standar OECD tentang
Classification of The Functions of Government (COFOG). Klasifikasi data belanja ke
dalam fungsi-fungsi pemerintahan membantu organisasi pemerintah untuk
menganalisis kualitas belanja pemerintah dan mengevaluasi pencapaian sasaran fiskal.
Tabel II-6 Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Fungsi (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Fungsi (dalam miliaran Rupiah)
Fungsi 2015 2016 2017 Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
01 Pelayanan Umum 1.406,85 87,04% 638,31 88,29% 1.662,43 90,38% 02 Pertahanan 371,14 97,21% 416,04 95,58% 459,70 96,93% 03 Ketertiban dan Keamanan 452,71 94,57% 837,73 92,76% 862,01 95,95% 04 Ekonomi 3.030,21 85,82% 3.208,52 86,76% 3.230,92 86,88% 05 Lingkungan Hidup 96,05 81,43% 84,14 85,16% 105,44 73,44% 06 Perumahan dan Fasum 203,25 98,06% 278,56 82,60% 196,70 94,24% 07 Kesehatan 146,56 75,03% 199,32 71,39% 200,34 91,53% 08 Pariwisata dan Budaya 3,08 92,22% 5,49 86,82% 1,25 92,05% 09 Agama 53,17 82,59% 87,76 81,02% 77,17 92,28% 10 Pendidikan 582,97 91,39% 352,79 93,49% 381,12 94,09%
Pergantian pimpinan BP Batam diduga mendorong lonjakan belanja
BP Batam”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 22
11 Perlindungan Sosial 12,73 96,26% 14,40 97,78% 14,21 98,71% Total 6.358,73 87,96% 6.123,05 87,96% 7.191,30 90,02%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)
Prioritas utama pemerintah pusat untuk Kepri adalah pada bidang ekonomi
sebagaimana tercermin dari share pagunya yang terbesar mulai dari 45,81% di tahun
2014, 48,65% di tahun 2015, 53,65% di tahun 2016, dan 44,93 persen di tahun 2017.
Di sisi lain, tren realisasi fungsi ekonomi masih belum sejalan sebagaimana tercermin
dari serapan yang masih stagnan dengan peningkatan realisasi hanya sebesar 0,83
persen. Namun demikian, hal tersebut terjadi di tengah-tengah kondisi penghematan
anggaran tahun 2017. Fungsi ekonomi memiliki komponen proyek yang banyak, ketika
proyek-proyek belum dilelang sampai dengan pertengahan tahun 2017 (berpotensi
tidak terealisasi), pemerintah menjadikan proyek-proyek tersebut sebagai sasaran
penghematan. Salah satunya adalah kegiatan Coremap-CTI pada Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Riau yang hanya mampu terserap 1,49 persen di tahun
2017.
Terdapat lonjakan alokasi tertinggi pada tahun 2017 yang terjadi pada fungsi
pelayanan umum sebesar 160,44 persen. Lonjakan alokasi yang sangat tinggi pada
fungsi tersebut dikarenakan adanya transformasi penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa
melalui KPPN di Daerah pada tahun 2017. Penambahan alokasi penyaluran DAK Fisik
dan Dana Desa mencapai porsi 60,62 persen dari total alokasi fungsi pelayanan umum
pada tahun 2017. Sehingga secara sekilas fungsi pelayanan umum melonjak sangat
tinggi, namun apabila penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dikeluarkan, fungsi
pelayanan umum akan anjlok -8,72 persen dari tahun 2016.
Kinerja realisasi tertinggi dilihat dari fungsi pada tahun 2017 terdapat pada fungsi
Kesehatan yang meningkat 28,21 persen dibandingkan tahun 2016. Fungsi kesehatan
dialokasikan pada Kementerian Kesehatan (74,67 persen), BPOM (10,82 persen), dan
BKKBN (14,51 persen). Kinerja yang tinggi ini didorong oleh tingginya kinerja belanja
pegawai yang mencapai 56,97 persen dari tahun 2016. Tingginya belanja pegawai
mengindikasikan adanya penambahan pegawai yang dicerminkan melalui penambahan
alokasi dan realisasi belanja gaji pada Kementerian Kesehatan.
Fungsi Pariwisata dan Budaya pada tahun 2017 melemah dibandingkan tahun
2016 yang diindikasikan dengan alokasi yang sangat rendah (turun 77,30 persen).
Namun demikian, kinerja tahun 2017 dinilai lebih efisien dari tahun 2016 karena ada
peningkatan serapan sebesar 6,02 persen dari serapan pada tahun 2016. Keinginan
pemerintah untuk mendukung perekonomian dari sektor pariwisata pada tahun 2017
memang tidak akan dapat dimaksimalkan disamping alokasi yang semakin berkurang,
terdapat pengurangan alokasi yang diperuntukkan promosi pariwisata lingkup Kepri
yang cukup besar (-73,08 persen).
“Share fungsi ekonomi mengalami tren meningkat sejalan dengan pemrioritasan
pemerintah”
“Lonjakan alokasi tertinggi pada tahun 2017 yang terjadi pada fungsi pelayanan umum sebesar 160,44
persen.”
“Alokasi fungsi pariwisata meroket turun
77,30 persen”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 23
2.3.3 Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Jenis Belanja
Belanja pemerintah pusat di Kepri berdasarkan jenisnya terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.
Sementara itu, dengan adanya transformasi kebijakan Dana Transfer dan Dana Desa,
pada tahun 2017, DAK Fisik dan Dana Desa mulai disalurkan oleh KPPN di Daerah.
Tabel II-7 Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Jenis Belanja (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Jenis Belanja (dalam miliaran Rupiah)
Jenis Belanja 2015 2016 2017 Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Belanja Pegawai 1.208,26 1.193,47 1.395,82 1.339,27 1.415,08 1.356,55 Belanja Barang 2.510,88 2.143,15 2.895,91 2.484,01 2.959,55 2.601,48 Belanja Modal 2.523,08 2.155,81 1.746,03 1.487,57 1.721,65 1.521,79 Belanja Bantuan Sosial 46,10 42,11 6,30 6,22 5,84 5,40 Belanja Lain-Lain 70,41 58,73 78,99 68,75 85,86 77,22 Dana Alokasi Khusus Fisik 0,00 0,00 0,00 0,00 775,14 682,68 Dana Desa 0,00 0,00 0,00 0,00 228,18 228,18
Total 6.358,73 5.593,27 6.123,05 5.385,82 7.191,30 6.473,30 Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)
Kenaikan Belanja Pemerintah tertinggi di tahun 2017 terdapat pada belanja lain-
lain dengan peningkatan sebesar 8,70 persen. Alokasi Belanja DAK Fisik dan Dana
Desa memiliki porsi 13,95 persen dari total belanja pemerintah pusat di Kepri. Dengan
adanya belanja Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa pada KPPN, alokasi
belanja Pemerintah Pusat di Kepri meningkat 17,45 persen. Sementara itu, tanpa
belanja DAK Fisik dan Dana Desa, alokasi belanja pemerintah pusat Kepri hanya
mengalami peningkatan 1,06 persen. Sehingga penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa
di daerah memberikan sumbangan kenaikan alokasi total belanja pemerintah sebesar
16,39 persen.
Penurunan terbesar alokasi belanja tahun 2017 terdapat pada belanja Bantuan
Sosial yang mencapai 724 basis poin. Dan sejalan dengan penurunan realisasinya
sebesar 1304 basis poin. Penurunan tersebut didorong oleh turunnya alokasi baik
realisasi pada Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau dengan penurunan masing-masing
sebesar -23,65 persen dan -23,04 persen. Penurunan alokasi belanja bantuan sosial
pada Dinas sosial terbesar pada kegiatan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas
yang sejalan dengan berkurangnya penerima bantuan sosial.
Alokasi pagu belanja modal pada tahun 2017 mengalami penurunan kembali
sebesar -1,40 persen setelah sempat turun -30,80 persen di tahun 2016 karena proyek-
proyek APBN yang terselesaikan di tahun 2015 dan tahun 2016. Disamping itu,
penurunan alokasi belanja juga berasal dari penurunan alokasi belanja yang
sebelumnya merupakan belanja pembangunan beralih ke belanja
preservasi/pemeliharaan.
“Alokasi Belanja DAK Fisik dan Dana Desa memiliki porsi 13,95 persen dari total belanja pemerintah pusat
di Kepri”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 24
2.3.4 Analisis Kapasitas dan Efisiensi Fiskal Pemerintah Pusat
Instrumen fiskal merupakan salah satu komponen terpenting bagi pemerintah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kapasitas fiskal dan
efisiensi penganggaran sangatlah penting untuk memaksimalkan belanja produktif.
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah sebagai berikut.
Tabel II-8 Indikator Kapasitas dan Efisiensi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016 dan 2017 (dalam miliaran Rupiah) Indikator Kapasitas dan Efisiensi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016 dan 2017 (dalam miliaran Rupiah)
Uraian Provinsi Kepri Nasional 2016 2017 2016 2017
Rasio dana kelolaan belanja non pegawai 0,03 0,01 0,04 0,03 Rasio belanja modal APBN-APBD 0,85 0,70 0,83 1,06 Rasio belanja terhadap populasi Rp3.186.766,19 Rp3.644.854,38 Rp5.126.308,36 Rp8.292.623,92 Rasio belanja pegawai 0,22 0,20 0,26 0,16 Rasio belanja modal 0,30 0,24 0,21 0,11
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN, DJPK Kemenkeu, BPS Kepri & Pusat, dan Pemda Lingkup Kepri (Diolah)
Rasio dana kelolaan belanja non pegawai digunakan untuk mengukur beban
Pemerintah Pusat dalam membiayai belanja non pegawai Pemda. Kecilnya rasio di atas
menunjukkan bahwa belanja non pegawai yang dikelola Pemda jauh lebih banyak
menggunakan APBD dibandingkan APBN (Kewenangan DK/TP/UB). Rasio di Kepri
(0,01) yang lebih kecil dari rasio tingkat nasional (0,03) juga menunjukkan bahwa
pengalokasian APBN dalam kewenangan DK/TP/UB di Kepri lebih efisien karena
Pemda relatif lebih banyak menggunakan dana APBD. Disamping itu, semakin kecilnya
rasio tahun 2017 dari tahun 2016 menunjukkan bahwa beban pemerintah dalam
membantu pembiayaan pemerintah daerah semakin kecil.
Rasio belanja modal APBN-APBD membandingkan peranan Pemerintah Pusat
dan Pemda dalam mengalokasikan belanja modal. Nilai di bawah 1 menunjukkan
bahwa Pemda lebih banyak mengalokasikan belanja modal dibandingkan Pemerintah
Pusat, dan sebaliknya. Sesuai dengan NAWACITA Presiden Jokowi yang salah satunya
pembangunan dari pinggiran terlihat pada tabel di atas, bahwa peran pemerintah dalam
ikut membangun pemda secara nasional cukup besar (1,06). Dan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, peningkatan peran pemerintah terlihat cukup signifikan. Sementara
itu, di lingkup Kepri peran Pemda dalam pembangunan meningkat dari pada tahun
sebelumnya yang diindikasikan dengan turunnya Rasio belanja modal APBN-APBD
(0,70). Tingginya rasio belanja APBN-APBD nasional juga menunjukkan bahwa secara
agregat peran pemerintah dalam pembangunan di daerah lebih besar, namun demikian,
pemda lingkup Kepri dapat dikatakan memiliki rasio alokasi belanja modal yang lebih
besar dari pada Pemda pada umumnya.
Rasio belanja terhadap populasi digunakan untuk melihat kapasitas pemerintah
dalam membiayai layanan publik bagi masyarakat. Sejalan dengan peningkatan rasio
belanja APBN-APBD, kapasitas belanja pemerintah terhadap pemenuhan standar
layanan publik bagi masyarakat semakin meningkat. Konsentrasi pemerintah yang tidak
“Alokasi anggaran DK/TP/UB di Kepri lebih efisien dibandingkan
rata-rata nasional”
“Peranan belanja modal Pemda
dominan di Kepri”
“Kapasitas fiskal pemerintah pusat di Kepri lebih rendah dari-rata
nasional”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 25
hanya untuk menjamin ketersediaan infrastruktur juga ditunjukkan dengan
meningkatnya rasio belanja terhadap populasi. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa
kapasitas pemerintah pusat di regional Kepri (Rp3,64 juta per orang) untuk membiayai
layanan publik masih lebih rendah dibandingkan rata-rata kapasitas pemerintah pusat di
tingkat nasional (Rp8,29 juta per orang).
Rasio belanja pegawai digunakan untuk melihat efisiensi pemerintah pusat
dalam mengalokasikan anggarannya. Semakin kecil rasionya, semakin efisien belanja
pemerintah karena porsi belanja pegawai yang merupakan belanja konsumtif semakin
sedikit. Rasio belanja pegawai pada tahun 2017 baik di tingkat regional maupun di
tingkat nasional mengalami penurunan yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin
efisien dalam pengalokasian belanja. Perbandingan rasio tersebut menunjukkan bahwa
belanja pegawai di Kepri cukup efisien karena hanya menghabiskan 20% dari total pagu
APBN dibandingkan 16% (lebih efisien) dari total pagu di tingkat nasional.
Rasio belanja modal digunakan untuk melihat pemanfaatan kapasitas
pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggarannya. Semakin besar rasionya,
semakin baik pemanfaatan anggaran karena porsi belanja modal yang merupakan
belanja modal semakin besar. Perbandingan rasio belanja modal yang lebih rendah di
tahun 2017 menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah yang digunakan untuk belanja
modal semakin sempit. Dengan bertambahnya belanja yang bersifat mandatory seperti
Pendidikan, Kesehatan, Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa, kapasitas
pemerintah untuk menganggarkan belanjanya akan semakin terbatas. Berdasarkan
tabel di atas, Perbandingan rasio tersebut menunjukkan bahwa belanja modal di Kepri
lebih baik karena berporsi hingga 24% dari total pagu APBN dibandingkan 11% dari
total pagu di tingkat nasional.
2.3.5 Analisis Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia
Dalam konteks pembangunan manusia, salah satu indikator utama yang
digunakan adalah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM sendiri merepresentasikan beberapa aspek yang menggambarkan
kesejahteraan masyarakat yakni ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Untuk
menganalisis pemrioritasan pemerintah pusat dalam meningkatkan IPM di Kepri,
beberapa kategori belanja pemerintah yang paling representatif, yakni belanja
infrastruktur (untuk ekonomi), belanja pendidikan, dan belanja kesehatan dibandingkan
dengan total pagu belanja APBN di Kepri.
Tabel II-9 Rasio Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia Rasio Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia
Uraian Provinsi Kepri Nasional 2016 2017 2016 2017
Rasio belanja infrastruktur 0,21 0,20 0,24 0,18
“Alokasi belanja pegawai di Kepri lebih besar dari
nasional”
“Alokasi belanja modal di Kepri lebih baik dibandingkan
rata-rata nasional”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 26
Rasio belanja pendidikan 0,06 0,05 0,11 0,20 Rasio belanja kesehatan 0,03 0,03 0,06 0,05
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN, DJPK Kemenkeu, BPS Kepri & Pusat, dan Pemda Lingkup Kepri (Diolah)
Sesuai dengan kebijakan belanja negara pada APBN 2017, pemerintah memiliki
komitmen untuk meningkatkan kualitas belanja negara melalui realokasi belanja pada subsidi
energi secara signifikan kepada belanja yang bersifat prioritas dan mandatory, yaitu
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga pada tahun 2017 pemerintah
meningkatkan alokasi belanja untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dengan
peningkatan masing-masing sebesar 123,4 persen, 27,4 persen, dan 83,2 persen. Dari ketiga
rasio belanja pembangunan pada tabel di atas, bahwa rasio pada tahun 2017 di tingkat
regional cenderung belum cukup baik dibandingkan tahun 2016. Sementara itu, di tingkat
nasional, kenaikan rasio belanja di tahun 2017 hanya terjadi pada belanja pendidikan. Dalam
konteks komparatif, pemrioritasan anggaran pemerintah pusat di regional Kepri untuk
kepentingan pembangunan masih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional,
sebagaimana tercermin dari kedua rasio belanja pembangunan manusia di Kepri yang lebih
kecil dan hanya pada rasio belanja infrastruktur yang berada di atas rata-rata nasional.
2.3.6 Analisis Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor
Ekonomi Unggulan
Dikaitkan dengan belanja APBN yang mendukung sektor dan subsektor
ekonomi, dapat dibuat rasio belanja sektoral terhadap kontribusi sektor kepada PDRB
yang mencerminkan komitmen pemerintah pusat dalam mengembangkan sektor dan
subsektor tersebut. Rasio di atas angka 1 mengindikasikan bahwa pemerintah pusat
sudah memprioritaskan sektor tersebut dalam anggarannya.
Tabel II-10 Rasio Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor Ekonomi Unggulan Rasio Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor Ekonomi Unggulan
Kategori Belanja Porsi (%) PDRB (Sektor) Porsi (%) Rasio 2016 2017 2016 2017 2016 2017
Belanja Infrastruktur 20,71 20,22 Sektor Konstruksi 17,94 17,76 1,155 1,139 Belanja Subfungsi Bahan Bakar dan Energi
0,00 0,00 Sektor Listrik & Gas 1,14 1,16 0,000 0,000
Belanja Subfungsi Industri 0,06 0,04 Subsektor logam dasar dan subsektor Industri elektronik (Sektor Industri Pengolahan)
37,33 36,13 0,002 0,001
Belanja Fungsi Pariwisata 0,09 0,02 Subsektor Penyediaan Akomodasi
1,09 2,41 0,080 0,007
Belanja Kemaritiman Bidang Perhubungan Laut
6,05 8,28 Subsektor Angkutan Laut
1,00 3,12 6,074 2,653
Belanja Kemaritiman Bidang Perikanan
1,01 0,54 Subsektor Perikanan 2,36 3,41 0,428 0,157
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN dan BPS Kepri (Diolah)
Dari rasio tersebut, terlihat bahwa pemrioritasan pemerintah baru terjadi pada
sektor konstruksi (1,139) dan subsektor angkutan laut (2,653), sedangkan untuk sektor
dan subsektor lainnya yang memiliki rasio di bawah angka 1, masih memerlukan
“Prioritas pembangunan manusia oleh Pemerintah Pusat adalah jalur ekonomi (infrastruktur)”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 27
komitmen penganggaran lebih dari pemerintah. Disamping itu, sektor konstruksi dan
subsektor angkutan laut memiliki peranan yang sangat penting dalam interkonektivitas
wilayah kepulauan seperti di Kepri. Komitmen yang tinggi dalam dua bidang tersebut
berpotensi menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang juga akan berdampak
terhadap sektor/subsektor ekonomi unggulan lainnya. Sementara itu, turunnya rasio-
rasio pada tahun 2017 di atas menunjukkan bahwa peranan pemerintah semakin
berkurang dan digantikan oleh peran APBD dan bantuan dari sektor swasta.
Dengan demikian, perlu diperhatikan pula bahwa rasio tersebut baru
mencerminkan komitmen berupa anggaran yang terkait langsung dan tercatat dalam
APBN saja. Di luar itu, terdapat pembiayaan APBD, murni swasta atau Public Private
Partnership (PPP), serta regulasi yang mungkin sudah baik atau masih perlu diperbaiki
untuk mendukung pengembangan sektor dan subsektor unggulan tersebut.
2.3.7 Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Indikator
Ekonomi
Kebijakan fiskal memiliki hubungan saling mempengaruhi dengan
pembangunan perekonomian di daerah. Semakin baik perekonomian di suatu daerah,
semakin tinggi penerimaan yang akan didapat pemerintah. Semakin tinggi penerimaan,
semakin tinggi pula belanja pemerintah yang akan menjadi stimulus bagi perekonomian.
Gambar II-5 Siklus Perekonomian dan Fiskal
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan Riau
Kondisi ideal dimana perekonomian dan fiskal saling mendorong satu sama lain
tersebut pada kenyataannya tidak selalu terjadi. Pajak yang dikenakan pada
masyarakat akan menarik uang yang seharusnya beredar dalam perekonomian.
Semakin lama pajak tersebut tidak dikeluarkan kembali sebagai belanja pemerintah
pada perekonomian, semakin tinggi opportunity cost dari situasi dimana uang tersebut
tetap di tangan masyarakat. Timbulnya opportunity cost juga terjadi pada kondisi
dimana pajak yang ditarik dijadikan belanja pemerintah yang lebih banyak bersifat
“Dari 7 sektor dan subsektor ekonom unggulan Kepri, Hanya sektor konstruksi dan subsektor angkutan laut yang mendapatkan prioritas
anggaran”
”Eksekusi belanja yang lambat dan banyaknya belanja konsumtif dapat menciptakan opportunity cost yang lebih tinggi
dari manfaatnya”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 28
konsumtif, alih-alih menjadi stimulus, yang terjadi hanya penundaan dan pergeseran
belanja konsumtif dari masyarakat ke pemerintah. Hal serupa juga berlaku untuk belanja
pemerintah yang dibiayai dari pembiayaan. Berdasarkan nilainya, stimulus yang
disuntikkan ke perekonomian akan bertambah dalam jangka pendek namun, dalam
jangka panjang timbul kewajiban untuk membayar denda dan pokok hutang. Oleh
karena itu, dalam kasus pembiayaan idealnya terdapat perhitungan yang matang untuk
memastikan bahwa stimulus yang dihasilkan dari pembiayaan lebih besar dari
kewajiban yang akan timbul dalam jangka panjang.
Dalam Kajian “Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional
Provinsi Kepulauan Riau”, Kanwil DJPBN Provinsi Kepri melakukan analisis regresi
antara Belanja APBN dengan PDRB dan antara Belanja APBN dengan Penyerapan
Tenaga Kerja. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan aplikasi Eviews 8.1 dan
bertujuan untuk melihat pengaruh belanja APBN terhadap indikator ekonomi. Hasil
regresi tersebut menunjukkan bahwa APBN memiliki efek multiplier 23,27 kali terhadap
PDRB Kepri namun tidak berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja.
Pada analisis regresi APBN per Kabupaten/Kota sebagai variabel independen
dan PDRB ADHB per Kabupaten/Kota sebagai variabel dependen, digunakan fixed
effect untuk mengakomodir heteroskedastisitas atau kondisi awal perekonomian setiap
Kabupaten/Kota yang berbeda. Hasil regresi tersebut adalah sebagai berikut.
Gambar II-6 Pengujian Ekonometri Belanja APBN terhadap PDRB Kabupaten/Kota lingkup Kepri Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 01/08/16 Time: 13:51 Sample: 2010 2014 Included observations: 5 Cross-sections included: 7 Total pool (balanced) observations: 35
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
α0 1,10E+13 1,27E+12 8,711141 0,0000 βAPBN 23,26708 2,674606 8,699255 0,0000
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan Riau
Dari hasil regresi tersebut, ditemukan koefisien variabel APBN sebesar 23,27.
Koefisien tersebut mengindikasikan bahwa belanja pemerintah berdampak positif
terhadap perekonomian Kepri (PDRB ADHB) dengan pengaruh sebesar Rp23,27 dari
setiap 1 rupiah yang dibelanjakan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian Kepri, pemerintah pusat dapat menjadikan
kebijakan fiskal ekspansif sebagai alternatif. Tentunya, alokasi belanja tetap harus
diprioritaskan pada belanja produktif agar dampaknya menjadi maksimal.
Selanjutnya, untuk mengukur pengaruh belanja pemerintah terhadap tenaga
kerja dilakukan regresi dengan data Penyerapan Tenaga Kerja (PTK) per sektor
“Hasil regresi mengindikasikan APBN berdampak ppsitif pada
PDRB”
”Kebijakan fiskal ekspansif dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi Kepri”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 29
sebagai variabel dependen dan data APBN per output terkait sebagai variabel
independen. Analisis regresi menggunakan Fixed Effect dan White Cross-Section atau
Heteroscedasticity-Consistent Standard Errors untuk mengakomodir
heteroskedastisitas atau perbedaan mendasar pada masing-masing sektor . Hasil
regresi tersebut adalah sebagai berikut.
Gambar II-7 Pengujian Ekonometri Belanja APBN terhadap Penyerapan Tenaga Kerja lingkup Kepri Dependent Variable: PTK? Method: Pooled Least Squares Date: 12/22/15 Time: 23:44 Sample: 2012/II 2015/I Included observations: 6 Cross-sections included: 6 Total pool (balanced) observations: 36 White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
α0 112973,7 4027,118 28,05324 0,0000 βAPBN? -3,69E-08 1,04E-08 -3,534828 0,0014
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan Riau
Hasil regresi tidak menunjukkan pengaruh yang positif dari belanja pemerintah
pusat terhadap penyerapan tenaga kerja. Hipotesis penyebab hasil yang tidak positif
tersebut adalah ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan barang kebutuhan dasar
seperti bahan makanan dan bahan bangunan sehingga penciptaan lapangan pekerjaan
dari belanja pemerintah banyak yang mengalir menjadi penciptaan lapangan pekerjaan
di wilayah lain. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari komponen net ekspor antar
wilayah di Kepri yang selalu mengalami defisit. Sebagai contoh, pada Triwulan III 2016
defisit tersebut sebesar -5,99 triliun rupiah atau sekitar 11,5% dari PDRB Provinsi
Kepulauan Riau. Untuk Bahan Makanan, ketergantungan tersebut tercermin juga dari
analisis BPS (2016) yang menunjukkan bahwa LQ subsektor Pertanian hanya 0,13.
2.4 ANALISIS CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT
Total pengeluaran APBN Kepri tahun 2017 tumbuh 0,35 persen yang didorong
oleh pertumbuhan belanja yang cukup signifikan dari sisi belanja K/L sebesar 3,28
persen. Namun demikian, kinerja pengeluaran APBN ini dapat dikatakan stagnan
karena hanya mengalami pertumbuhan 0,35 persen dari tahun 2017. Kebijakan belanja
APBN yang lebih selektif dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab pengeluaran
APBN yang cenderung stagnan. Pelaksanaan belanja pemerintah yang lebih selektif
dan mengalihkannya ke belanja yang lebih produktif dapat dilihat dari pertumbuhan per
jenis belanjanya, belanja modal satu-satunya belanja yang tumbuh menggembirakan
setelah sempat tumbuh negatif pada tahun 2016.
“Ketergantungan Kepri akan impor bahan kebutuhan dasar diduga menyebabkan berpindahnya
lapangan kerja”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 30
Gambar II-8 Pertumbuhan Belanja 2016-2017 (yoy)
Total Penerimaan APBN Kepri tahun 2017 tumbuh melambat -4,65 persen
dibandingkan tahun 2016. Besarnya rasio penerimaan pajak (81,28 persen) terhadap
total penerimaan pemerintah mengindikasikan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak
akan sangat mempengaruhi realisasi penerimaan total Kepri. Melambatnya
pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun 2017 sebesar -5,49 persen menjadi pemicu
utama turunnya penerimaan APBN Kepri. Berakhirnya masa tax amnesty di awal tahun
2017 merupakan pendorong turunnya penerimaan pajak tahun 2017 dibanding tahun
2016, namun demikian melambatanya perekonomian tahun 2017 memperkeruh kondisi
penerimaan pajak di tahun 2017.
Pada tahun 2017, pertumbuhan total pengeluaran Kepri tidak sebanding dengan
pertumbuhan penerimaannya. Kondisi ini menyebabkan melebarnya celah defisit APBN
Kepri. Defisit APBN Kepri tahun 2017 tumbuh 7,80 persen (yoy) dengan nominal –
Rp5,63 triliun. Rasio total penerimaan terhadap total pengeluaran yang rendah (56,88
12,22% 15,90%
-31,00%
-85,24%
17,07%1,29% 4,73% 2,30%
-13,04%
12,32%
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Bantuan Sosial Belanja Lain-lain
2016 2017
2,03% 7,70%
-80,53%
-5,49%
0,36%
-66,53%
Penerimaan Pajak PNBP Hibah
Pertumbuhan Penerimaan 2016 - 2017 (yoy)
2016 2017
Sumber: MONEV PA; OM SPAN
Sumber: MONEV PA; OM SPAN; DJPBC; DJPB
PEMERINTAH
PUSAT Pengeluaran APBN Rp13,06 T
Belanja K/L Rp5,56 T
Transfer Rp7,49 T Penerimaan APBN Rp7,42 T
Perpajakan Rp6,04 T
PNBP Rp1,38T
Hibah Rp8,24 T
Gambar II-9 Ilustrasi Cash Flow Kepri 2017
Sumber: MONEV PA; OM SPAN; DJPBC; DJPB
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 31
persen) menunjukkan bahwa hampir sebagian APBN yang dikelola di Kepulauan Riau
merupakan subsidi silang dari provinsi lainnya.
Namun demikian, komponen penerimaan APBN Kepri tersebut di atas belum
termasuk PNBP Sumber Daya Alam (SDA) yang dicatat langsung sebagai penerimaan
di Pusat (Jakarta). Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif, data
realisasi DBH per triwulan I dan ketentuan bagi hasil digunakan untuk mengestimasi
surplus/defisit riil di Provinsi Kepulauan Riau.
Tabel II-11 Estimasi Surplus/Defisit Cashflow Kepri (dalam rupiah) Estimasi Perkembangan Surplus/Defisit Riil Cash Flow Pemerintah Pusat di Kepri (dalam miliaran rupiah)
Uraian 2015 2016 2017 A Estimasi PNBP Gas Bumi 2.653,73 3.923,74 3.288,36 B Estimasi PNBP Minyak Bumi 2.625,11 986,63 696,00 C Estimasi PNBP Pertambangan Umum 172,34 45,97 85,46 D Estimasi PNBP Kehutanan Dana Reboisasi 0,39 0,88 2,18 E Estimasi PNBP Kehutanan Selain Dana Reboisasi 142,03 173,35 466,35 F Estimasi PNBP Perikanan 6,15 3,96 4,60 G Surplus/(Defisit) Konvensional (4.678,85) (5.222,17) (5.629,43) H Surplus/(Defisit) Estimasi Riil (A+B+C+D+E+F+G) 920,91 (87,64) (1.086,47)
Sumber: PA MONEV, OMSPAN, DJPK
Hasil estimasi tersebut di atas menunjukkan bahwa semenjak tahun 2016
Provinsi Kepulauan Riau terus mengalami defisit. Tingginya rasio penerimaan gas bumi
pada PNBP SDA menunjukkan bahwa perkembangan pertambangan Gas Bumi akan
sangat berpengaruh pada pertumbuhan penerimaan Kepri. Rasio penerimaan gas bumi
yang tinggi sejalan dengan potensi cadangan gas bumi di wilayah Kabupaten Natuna
dan Kepulauan Anambas. Namun demikian, pada tahun 2017 harga migas masih
tercatat rendah dibandingkan 7 tahun sebelumnya menyebabkan turunnya penerimaan
migas Kepri.
Dalam jangka panjang, muncul resiko pelemahan kapasitas fiskal Pemkab
Natuna dan Anambas yang mengandalkan DBH SDA Migas sebagai salah satu
penerimaan utama. Implementasi perubahan skema cost recovery menjadi gross split
serta upaya revisi Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2017 tentang Pengawasan
Pengusahaan Pada Kegiatan Usaha di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di sektor hulu migas ke depannya.
2.5 TRANSFER KE DAERAH
Transfer ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan merupakan
konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi dan pergeseran kebutuhan fiskal yang
mengikuti. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah.
Tabel II-12 Perkembangan Dana Perimbangan di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Dana Perimbangan di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
DANA PERIMBANGAN 2015 2016 2017 PAGU REALISASI PAGU REALISASI PAGU REALISASI
TRANSFER KE DAERAH 6.377,09 104,60% 7.994,43 93,14% 7.319,01 99,25% A Dana Perimbangan 6.348,34 104,62% 7.934,03 93,09% 7.311,51 99,25%
“Transfer bertujuan mengurangi kesenjangan vertikal dan
horizontal”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 32
1 DANA TRANSFER UMUM 5.273,24 106,27% 6.404,45 94,67% 5.803,62 101,40% DBH 2.494,36 113,26% 2.567,20 86,69% 1.766,98 104,61% DBH Pajak 1.407,75 131,89% 1.142,95 73,08% 845,23 78,53% DBH SDA 1.086,61 89,13% 1.424,26 97,62% 921,76 128,52% DAU 2.778,88 100,00% 3.837,25 100,00% 4.036,64 100,00%
2 DANA TRANSFER KHUSUS 1.075,10 96,49% 1.529,58 86,49% 1.507,89 90,98% DAK Fisik 523,52 95,84% 959,45 80,04% 775,14 88,07% DAK Non Fisik 551,58 97,11% 570,13 97,34% 732,75 94,05%
B DID 28,75 100,00% 60,41 100,00% 7,50 100,00% C Dana Otsus 0,00 0,00% 0,00 0,00% 0,00 0,00%
DANA DESA 79,20 100,00% 177,77 100,00% 228,18 100,00% TOTAL 6.456,29 104,54% 8.172,20 93,29% 7.547,20 99,28%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan (diolah)
Alokasi Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa untuk Kepri pada tahun 2017
mencapai Rp7,55 triliun, turun -7,65 persen dibandingkan tahun 2016. Harga migas
yang terus terkoreksi turun di tahun 2017 merupakan salah satu faktor pendorong
anjloknya total penerimaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada tahun 2017. Tinggi
atau rendahnya share PNBP SDA dalam bentuk SDA ke setiap Pemda akan sejalan
dengan kenaikan/penurunan PNBP yang telah terkoreksi oleh harga migas dunia.
Meskipun secara agregat Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa mengalami
penurunan, terdapat peningkatan alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) Kepri tahun 2017
sebesar 5,20 persen sejalan dengan kebijakan earmark Dana Transfer Umum dalam
kebijakan belanja tahun 2017. Selain itu terdapat peningkatan alokasi Dana Desa Kepri
tahun 2017 sebesar 28,36 persen dan akan terus meningkat sejalan dengan program
pembangunan dari pinggiran dengan target Dana Desa yang diterima oleh setiap desa
sebesar Rp1 miliar.
Secara agregat, DAU memiliki porsi yang terbesar dibandingkan dengan
komponen transfer yang lain. Namun demikian, DAU akan terbagi habis untuk mengisi
kebutuhan gaji pegawai Pemda dan mengisi celah fiskal yang timbul akibat rendahnya
kapasitas fiskal daerah. Saat ini, yang masih dapat diharapkan untuk dapat bangkit
dalam mendorong penerimaan transfer adalah bangkitnya penerimaan dari sektor
Migas. Perkembangan harga migas yang terkoreksi tertinggi di akhir tahun 2017 pada
US$ 60 per barrel dan mencapai US$ 70 per barrel. Pengelolaan Blok East Natuna yang
masih belum dilakukan pada tahun 2017 setelah penandatanganan kontrak
menunjukkan adanya potensi peningkatan penerimaan Migas di Natuna. Selain itu,
semenjak berlakunya one belt one road dan sea toll, luar negeri semakin melirik Natuna
untuk ikut dalam konsorsium Migas di wilayah Blok East Natuna.
2.6 PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM PUSAT
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi pemerintah yang bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan fasilitas berupa fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan. Satuan kerja (Instansi Pemerintah) menjadi BLU ketika
menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU (PPK-BLU) yaitu pola pengelolaan
“Penguatan desentralisasi mendorong lonjakan alokasi
transfer”
”Fleksibilitas keuangan pada BLU diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas layanan
publik ”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 33
keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan penerapan praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Di lingkup Kepri sendiri
hanya terdapat 1 entitas BLU yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
2.6.1 Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum
BP Batam yang mulai resmi menerapkan PPK-BLU berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011 tanggal 4 Februari 2011, merupakan BLU dengan
jenis layanan pengelola kawasan, bersifat non-sruktural/non-eselon, serta bertindak
sebagai regulator kawasan sekaligus sebagai operator.
Tabel II-13 Profil BP Batam (dalam miliaran Rupiah) Profil BP Batam (dalam miliaran Rupiah)
Tahun Nilai Aset Nilai Ekuitas Pagu RM Pagu PLN Pagu RMP Pagu BLU 2015 28.426,63 27.081,46 214,68 123,56 - 909,05 2016 28.085,95 26.724,97 146,78 0 11,02 1.458,86 2017 54.164,64 52.827,10 283,61 0 22,75 1.478,50 Perubahan (2017-2016) 92,85% 97,67% 93,23% 0,00% 106,45% 1,35%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu dan LK BP Batam (diolah)
Terlepas dari signifikansi kenaikan pagu anggaran BP Batam di tahun 2017
(10,40 persen atau Rp168,21 miliar), nilai ekuitas BP Batam meningkat signifikan 97,67
persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa depresiasi asset BP Batam lebih kecil
dibandingkan realisasi belanja modalnya. Disamping itu, porsi belanja modal BP Batam
memang relatif kecil dibandingkan porsi belanja barangnya. Pagu belanja modal BP
Batam senilai Rp608,78 miliar atau hanya berporsi 34,11 persen dari pagu agregat
sedangkan share pagu belanja barang mencapai 65,89 persen. Ketimpangan tersebut
sejalan dalam konteks realisasi dimana sampai akhir tahun 2017 realisasi belanja modal
hanya 72,86 persen sedangkan realisasi belanja barang mencapai 83,22 persen.
Namun demikian, pertumbuhan pagu dan realisasi belanja modal tumbuh lebih
signifikan dibandingkan belanja barang. Pertumbuhan pagu dan realisasi belanja modal
masing-masing sebesar 32,58 persen (yoy) dan 19,63 persen (yoy). Sementara itu,
pertumbuhan pagu dan realisasi belanja barang masing-masing sebesar 1,61 persen
(yoy) dan -6,47 persen (yoy).
Dalam membiayai pagu belanja BLU-nya yang mencapai Rp1,48 triliun, BP
memiliki layanan penghasil PNBP BLU yang sangat beragam, yakni:
a. Sembilan pelabuhan laut yang terdiri dari pelabuhan umum, terminal internasional,
terminal domestik dan beberapa pelabuhan khusus.
b. Bandara Internasional Hang Nadim dengan pergerakan jumlah penumpang
mencapai 4,77 juta orang tahun 2014, dan frekuensi pergerakan pesawat udara
mencapai 39.797 kali setahun.
c. Pengelolaan air baku dan limbah.
d. Rumah sakit kelas B plus non pendidikan (Rumah Sakit Otorita Batam)
”Nilai asset dan ekuitas BP Batam meningkat sejalan dengan realisasi
belanja modal ”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 34
e. Pengelolaan lahan d areal pulau Batam dan lima pulau di sekitarnya berdasarkan
Keppres No.41 Tahun 1973 ditindaklanjuti dengan Kepmendagri No.43 Tahun 1977
dan Kepmen Agraria/Kepala BPN No.9-VIII Tahun 1993.
f. Pengelolaan industri pertanian terpadu sesuai Keputusan Ketua Otorita Batam No.
03/KPTS/KA/I/2003 dan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi. Usaha yang dikelola meliputi Kawasan Industri Pertanian
Terpadu Sei Temiang (KIPTS) seluas 60-80 Ha, instalasi peternakan di Sei Temiang,
pusat hatchery di Tanjung Riau, pusat pengembangan budidaya dengan sistem
jaring apung di Pulau Galang, dan pusat diklat di Tanjung Riau.
g. Pelayanan hosting dan pelatihan bersertifikat pada IT Center.
h. Pengelolaan rumah susun di Sekupang, Muka Kuning, Batu Ampar dan Kabil.
2.6.2 Analisis Kemandirian Badan Layanan Umum
BLU ditujukan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta pada pemerintah
(enterprising the government). Oleh karenanya entitas BLU didorong untuak mandiri
yang dapat dilihat dari rasio pagu BLU terhadap pagu lainnya (RM, PLN, RMP, dsb)
Tabel II-14 Kemandirian Satker BLU di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah) Kemandirian Satker BLU di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
Satuan Kerja 2016 2017 Pagu BLU % Pagu Lain % Pagu BLU % Pagu Lain %
BP Batam 1.458,86 81,91 322,24 18,09 1.478,50 82,84 306,3676 17,16 Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (diolah)
Dilihat dari alokasi pagu, tingkat kemandirian BP Batam di tahun 2017 meningkat
93 basis poin dari 81,91 persen menjadi 82,84 persen. Hal tersebut menjadi sentimen
positif di tengah perombakan jajaran direksi BP Batam dan rencana perombakan
sebagian wilayah Batam menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri. Dengan
kinerja pengelolaan keuangan yang lebih baik, BP Batam diharapkan dapat lebih aktif
menjadi motor perekonomian Kepri di tahun-tahun berikutnya.
2.6.3 Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU
Per akhir tahun 2017 terdapat 5 satker yang berpotensi menerapkan PPK-BLU
di lingkup Kepri. Tiga satker bergerak di bidang layanan pendidikan yang memang
secara proses bisnis sangat memungkinkan dibuat BLU. Dua Satker lainnya bergerak
di bidang layanan ekonomi sub-bidang transportasi (pelabuhan) dengan salah satu
kriteria porsi pagu PNBP sangat tinggi yaitu sebesar 73,07 persen. Penerapan PPK-
BLU pada pelabuhan juga sesuai dengan kebijakan Kementerian Perhubungan saat ini
dalam upayanya meningkatkan layanan (Berita Satu, 2017).
Tabel II-15 Satuan Kerja PNBP yang Berpotensi menjadi BLU (dalam miliaran Rupiah) Satuan Kerja PNBP yang Berpotensi menjadi BLU (dalam miliaran Rupiah)
Satuan Kerja Layanan Pagu 2016 Pagu 2017 PNBP Lain-
nya Porsi PNBP
PNBP Lain-nya
Porsi PNBP
Politeknik Negeri Batam Pendidikan 21,73 45,84 32,16% 26,34 46,94 35,95%
“Tingkat kemandiran BP Batam meningkat
93 basis poin”
“3 satker pendidikan dan 2 satker pelabuhan di Kepri berpotensi
menjadi BLU”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 35
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)
Pendidikan 16,30 44,09 26,99% 19,89 29,38 40,37%
Politeknik Kesehatan Tanjungpinang Pendidikan 3,02 17,52 14,72% 3,99 25,50 13,52% Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pulau Sambu
Ekonomi (Transportasi)
3,18 3,59 46,96% 7,40 2,73 73,07%
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Tanjung Balai Karimun
Ekonomi (Transportasi)
6,00 8,35 41,85% 3,15 7,76 28,87%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan (diolah)
Porsi PNBP pada satker potensial dengan layanan pendidikan rata-rata
meningkat di TA 2017. Namun demikian, terjadi penurunan porsi PNBP yang cukup
besar pada KSOP Tanjung Balai Karimun sejalan dengan pengurangan porsi belanja
dari PNBP terutama untuk layanan perkantoran yang dipangkas sampai Rp2,33 miliar
atau sebesar -46,59 persen.
2.7 PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI
Investasi pemerintah di lingkup Provinsi Kepulauan Riau yang ditatausahakan
oleh Ditjen Perbendaharaan meliputi penerusan pinjaman dan kredit.
2.7.1 Penerusan Pinjaman
Penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement-SLA) merupakan pinjaman
yang diteruspinjamkan oleh Pemerintah kepada BUMN/ Pemerindah Daerah/BUMD.
Untuk lingkup Kepri, hanya terdapat satu Penerusan Pinjaman Dalam Negeri di Provinsi
dengan sumber dananya berasal dari Rekening Pembangunan Daerah (RPD).
Tabel II-16 Profil Penerusan Pinjaman di Provinsi Kepulauan Riau Loan ID Nomor Pinjaman Debitur Hak Tagih Pemerintah 2071501 RDA-259/DP3/1996 (23 Mei 1996) PDAM Tirta Kepri 22,33 miliar rupiah
Sumber: SLIM DJPBN Kemenkeu
Pada tahun 2016, Pemerintah Pusat memutuskan untuk menghapus utang
PDAM dalam rangka pencapaian sasaran 100% akses air bersih. PDAM Tirta Kepri
termasuk salah satu PDAM yang berhasil menyelesaikan persyaratan administratifnya
sehingga per akhir tahun 2016, kewajiban pembayaran utang PDAM Tirta Kepri telah
dihapuskan dan pada tahun 2017 peresmian penutupan utang akan dilaksanakan.
Skema penghapusan yang telah dilakukan tersebut adalah skema Hibah-PMD.
Untuk mengukur dampak penghapusan utang tersebut terhadap kinerja PDAM,
digunakan dua indikator finansial yakni Debt to Equity Ratio (DER) atau Rasio Utang
Pada Ekuitas dan Debt to Income Ratio (DTI) atau Rasio Pembayaran Utang Pada
Pendapatan. DER digunakan untuk melihat leverage atau kebijakan pembiayaan
perusahaan dalam rangka ekspansi usaha. DTI digunakan untuk melihat kemampuan
sebuah perusahaan dalam melunasi hutang-hutangnya. Bagi investor, kedua indikator
finansial tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan ketika memutuskan untuk
berinvestasi atau tidak pada suatu perusahaan.
“Hutang PDAM Tirta Kepri dihapuskan pada
akhir tahun 2016”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 36
Tabel II-17 Simulasi Dampak Penghapusan Utang Terhadap Keuangan PDAM Tirta Kepri Simulasi Dampak Penghapusan Utang Terhadap Keuangan PDAM Tirta Kepri
Indikator Finansial Sebelum Penghapusan (a)
Setelah Penghapusan (b)
Perubahan (a-b)
Debt to Equity Ratio (DER) 436,74% <18,00% Berkurang 38.474 basis poin Debt to Income Ratio (DTI) 81,00% <1,00% Berkurang 8.000 basis poin
Sumber: SLIM DJPBN Kemenkeu dan LK PDAM Tirta Kepri (diolah)
Hasil analisis finansial dengan menggunakan rasio utang pada ekuitas (DER)
dan rasio pembayaran utang pada pendapatan (DTI) PDAM Tirta Kepri sebelum
penghapusan utang menunjukkan bahwa:
1. Nilai DER terakhir sebelum penghapusan mencapai 436,74 persen sehingga dapat
diartikan bahwa utang PDAM 4 kali lebih besar dari aset bersihnya.
2. Nilai DTI rata-rata sebelum penghapusan mencapai 81,00 persen sehingga dapat
diartikan bahwa PDAM hanya memiliki sisa 19,00 persen dari pendapatan untuk
dapat berinvestasi pada peningkatan layanannya.
Hasil simulasi dampak penghapusan utang terhadap keuangan PDAM Tirta
Kepri menunjukkan bahwa:
1. Penurunan DER diperkirakan lebih dari 38.474 basis poin sehingga DER menjadi
kurang dari 18,00 persen. Hal ini membuka peluang bagi PDAM Tirta Kepri guna
menarik minat investor/lembaga pembiayaan untuk melaksanakan pengembangan
usaha.
2. Penurunan DTI diperkirakan lebih dari 8.000 basis poin sehingga DTI menjadi
kurang dari 1,00 persen. Mengacu pada rata-rata pendapatan PDAM Tirta Kepri
dalam 4 tahun terakhir, PDAM Tirta Kepri diperkirakan memiliki ekstra Rp.1,65
miliar per tahun yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas layanannya.
Penghapusan tersebut diharapkan dapat memperbaiki kapasitas keuangan
PDAM sebagaimana tercermin pada estimasi penurunan DER dan DTI. Dengan
kapasitas keuangan yang lebih baik, PDAM Tirta Kepri diharpakan dapat menambah
investasi untuk meningkatkan layanannya bagi masyarakat, khususnya mengingat
akses air minum di Kepri yang diharapkan mencapai target 100 persen pada tahun
2019.
2.7.2 Kredit Program
Saat ini, pemerintah telah mengintegrasikan berbagai skema kredit program
menjadi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan sumber pendanaan dari Perbankan.
Pemerintah melakukan intervensi dengan mensubsidi bunga KUR sehingga bunga
efektif yang ditanggung oleh pelaku usaha dapat ditekan hingga 9%. Sejalan dengan
program KUR, untuk menjangkau pembiayaan usaha rakyat yang tidak dilirik
perbankan, pemerintah meluncurkan skema pembiayaan UMI (Ultra Mikro) dengan
plafond pinjaman di bawah Rp10 juta.
“Kondisi keuangan PDAM Tirta Kepri sebelum penghapusan
utang tidak sehat”
“Penghapusan utang mendorong PDAM TIrta Kepri menjadi
layak investasi”
“Kredit program bertujuan mempermudah pembiayaan bagi UMKM dan menciptakan resiliensi
ekonomi”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 37
Dengan adanya perubahan tata kelola dan kebijakan penyaluran KUR minat
masyarakat terutama pengelola UMKM akan Kredit Program dengan skema KUR
semakin meningkat. Penyaluran KUR di Kepri pada tahun 2017 mencapai Rp389,50
miliar dengan jumlah debitur yang menerima KUR mencapai 13.297 orang/badan.
Dibandingkan dengan penyaluran KUR tahun 2016, terdapat penurunan penyaluran
jumlah kredit sebesar -37,89 persen dan jumlah debitur turun sebesar -24,52 persen.
Penurunan tersebut diduga karena gaungya kebijakan pemerintah untuk menurunkan
suku bunga KUR di bulan November 2017. Dan secara normal, masyarakat yang akan
melakukan peminjaman KUR menunggu suku bunga KUR turun di tahun 2018
(economy.okezone.com, 2017).
Berdasarkan skemanya, Kredit Program untuk UMKM ini dapat dibagi menjadi
KUR Mikro, KUR Ritel, KUR Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan UMi. Kur Ritel dan KUR
Mikro mendominasi penyaluran KUR di Kepri tahun 2017 dengan porsi masing-masing
bedasarkan nilai akad adalah 46,79% dan 53,20%. Sejalan dengan penyaluran KUR
yang menyasar UMKM dengan kapasitas menengah ke atas, program kredit yang
menyasar kelas bawah cukup diminati oleh masyarakat. Pada tahun 2017, penyaluran
kredit Umi mencapai Rp1,20 miliar dengan debitur sebanyak 184 debitur. Sehingga,
sebanyak 1,36 persen dari total 13.481 debitur merupakan kegiatan usaha yang
dijalankan oleh pengusaha mikro.
Rendahnya Penyaluran KUR TKI merupakan salah satu kesempatan yang
kurang dimanfaatkan bagi para calon TKI, TKI, maupun purna TKI. Kesempatan untuk
mendapatkan pendanaan sebelum dan sesudah masa kerja TKI tidak begitu
dimanfaatkan. Kurangnya pengetahuan adanya program KUR Penempatan TKI dapat
menjadi salah satu alasan pemicunya. Namun demikian, rendahnya penyaluran KUR
TKI lingkup Kepri sebagian besar bersumber dari maraknya TKI ilegal karena tidak
memiliki dokumen resmi atauapun terdaftar di instansi pemerintah sehingga tidak dapat
memanfaatkan KUR TKI. Kepri sebagai wilayah yang bertetangga dengan negara
Singapura dan Malaysia merupakan tempat strategis yang digunakan sebagai tempat
Tabel II-18 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Skema dan Bank (dalam miliaran rupiah) Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Skema dan Bank (dalam miliaran rupiah)
No. Skema - Bank Tahun 2016 Tahun 2017 Perubahan Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Mikro - BRI 268,56 15.089 213,17 11.726 -20,63% -22,29% 2 Mikro - Bank Mandiri 19,22 916 7,70 358 -59,94% -60,92% 3 Mikro - Lainnya 0,37 20 5,82 257 1.467,39% 1185,00% 4 Ritel - BNI 179,28 633 72,61 362 -59,50% -42,81% 5 Ritel - Bank Mandiri 116,92 1.008 53,48 425 -54,26% -57,84% 6 Ritel - Lainnya 44,62 185 36,72 169 -17,70% -8,65% 7 TKI 0,11 9 0,00 0 -100,00% -100,00% 8 UMi 0,00 0 1,20 184 - -
Total 629,08 17.860 390,69 13.297 -37,89% -25,55% Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)
”Skema KUR RItel dan KUR Mikro mendominasi penyaluran di
Kepri”
”Permasalahan TKI Ilegal menyebabkan rendahnya penyaluran KUR
TKI di Kepri”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 38
pelatihan TKI ilegal mampu menarik calon TKI dari berbagai wilayah di luar Kepri
(Fokusriau.com, 2017).
Berdasarkan Bank penyalurnya, KUR Mikro didominasi oleh Bank Rakyat
Indonesia (BRI) dengan porsi 94,04 persen dari total KUR Mikro tahun 2017. Pada
penyaluran KUR Ritel, Bank Rakyat Indonesia (BNI) dan Bank mandiri mendominasi
dengan porsi masing-masing 44,60 persen dan 32,85 persen dari total KUR Ritel tahun
2017. Sedangkan untuk UMi lingkup Kepri yang disalurkan pada tahun 2017,
seluruhnya disalurkan oleh pegadaian.
Berdasarkan sektor ekonominya, penyaluran KUR di Kepri tahun 2017
didominasi oleh sektor perdagangan dengan share 65,24 persen dari nilai akad total.
Sektor dengan share terbesar ke-2, 3, dan 4, yakni jasa kemasyarakatan, akomodasi
dan rumah makan, serta perikanan hanya mendapat share masing-masing 7,63 persen,
7,16 persen, dan 6,04 persen. Dikaitkan dengan sektor ekonomi yang ingin
dikembangkan oleh pemerintah di Kepri, yakni sektor jasa, pariwisata, dan pertanian,
penyaluran KUR ini menjadi kurang tepat.
Fenomena serupa juga terjadi di seluruh Indonesia karena pada dasarnya,
karakteristik dasar sektor perdagangan memang menjadikannya lebih fesibel di mata
perbankan. Untuk itu, pemerintah pusat telah mengakui penyaluran yang kurang tepat
sasaran tersebut dan mendesain skema KUR khusus sektor-sektor prioritas (The
Jakarta Post, 2017).
Untuk selanjutnya, Pemerintah Daerah juga diharapkan lebih aktif dalam
mendata calon debitur potensial yang sektor ekonominya ingin di prioritaskan di daerah
Tabel II-19 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Sektor Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Sektor
No. Sektor Tahun 2016 Tahun 2017 Perubahan Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Perdagangan 439,62 11.342 254,90 7.989 -42,02% -29,56% 2 Pertanian 41,49 1.155 19,81 840 -52,26% -27,27% 3 Akomodasi dan Rumah Makan 33,94 791 27,97 938 -17,60% 18,58% 4 Perikanan 27,61 1.465 23,59 1.179 -14,57% -19,52% 5 Real Estate, Sewa, Jasa 24,39 806 12,27 345 -49,69% -57,20% 6 Jasa Kemasyarakatan 22,86 1.121 29,81 1.501 30,38% 33,90% 7 Lainnya 39,17 1.180 22,35 689 -42,94% -41,61%
Total 629,08 17.860 390,69 13.297 -37,89% -25,55% Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)
Tabel II-20 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota
No. Kabupaten/Kota Tahun 2015 Tahun 2016 Perubahan Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Kabupaten Bintan 65,20 2.352 51,34 1.970 -21,26% -16,24% 2 Kabupaten Karimun 74,15 1.948 57,54 1.618 -22,40% -16,94% 3 Kabupaten Natuna 19,68 806 12,32 577 -37,41% -28,41% 4 Kabupaten Lingga 21,71 1.429 15,51 987 -28,55% -30,93% 5 Kabupaten Kep. Anambas 19,05 1.039 15,53 755 -18,47% -27,33% 6 Kota Batam 330,99 7.288 174,69 5.161 -47,22% -29,18% 7 Kota Tanjungpinang 98,29 2.998 63,77 2.413 -35,13% -19,51%
Total 629,08 17.860 390,69 13.481 -37,89% -24,52% Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)
“Fesibilitas sektor perdagangan di mata bank penyalur menjadikannya paling dominan dalam penyaluran
KUR”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 39
masing-masing ke dalam Sistem Informasi Kredit Program (SIKP). Pendataan calon
debitur potensial pada SIKP akan membantu pihak perbankan agar penyaluran KUR
berjalan lebih efektif.
Dilihat dari wilayah administrasi penyaluran KUR lingkup Kepulauan Riau di
tahun 2017, penyebaran KUR relatif sudah merata apabila dibobot berdasarkan jumlah
populasi di masing-masing wilayah. Secara nilai akad, Bintan, Karimun, Natuna, Lingga,
Kepulauan Anambas, Batam dan Tanjungpinang masing-masing mendapatkan porsi
13,14 persen, 14,73 pesen, 3,15 persen, 3,97 persen, 3,98 persen, 44,71 persen, dan
16,32 persen. Secara jumlah debitur, share masing-masing Kabupaten/Kota adalah
14,61 persen, 12 persen, 4,28 persen, 7,32 persen, 5,60 persen, 38,28 persen dan
17,90 persen. Sejalan dengan proporsi tersebut, share populasi Kabupaten/Kota
lingkup Provinsi Kepulauan Riau secara berturut-turut adalah 19,85 persen, 9,54
persen, 3,25 persen, 4,21 persen, 1,85 persen, 52,24 persen, dan 9,07 persen.
2.7.3 Analisis Pertumbuhan KUR
Fenomena pertambahan jumlah debitur KUR idealnya sejalan dengan
penambahan jumlah tenaga kerja yang terserap bahkan penambahan cabang usaha.
Selain itu, fenomena perubahan jumlah debitur mikro maupun ritel dapat
mengindikasikan bahwa suatu usaha mampu secara mandiri memutar permodalannya
atau bahkan UMKM tersebut telah naik kelas ke taraf yang lebih baik.
Terdapat hubungan positif antara penurunan jumlah akad KUR dan peningkatan
jumlah akad KUR terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi di Kepri. Dampak dari
setiap penambahan 1 persen perubahan akad KUR akan menambah pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,0046 persen. Dan begitupun sebaliknya apabila terdapat penurunan
Akad KUR sebesar 1 persen akan menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar -
0,0046 persen. Hubungan positif ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah UMKM di
Kepri akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi Kepri.
Gambar II-10 Sensitivitas KUR
Identitas debitur KUR yang mengacu pada e-KTP sebagai salah satu identitas
yang tidak akan sama dengan debitur lainnya dapat digunakan sebagai salah satu
indikator akurat peningkatan jumlah debitur KUR. Berdasarkan data dari tahun 2015
Sumber: BPS Kepri dan Kemenkeu (Diolah)
Sumber: BPS Kepri dan Kemenkeu (Diolah)
y = 0,0046x - 0,0229
-3%
-2%
-1%
0%
-40,0% 40,0% 120,0% 200,0% 280,0%
ΔP
erub
ahan
P
ertu
mbu
han
Eko
nom
i
Δ Perubahan Akad KUR
Sensitivitas KUR terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Tren Debtur KUR
Tren Pengangguran (TPT)
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
0
5.000
10.000
15.000
20.000
2015 2016 2017
Pertumbuhan KUR dan Pengangguran
Debitur KUR Pengangguran (TPT)
“Penyaluran KUR pada Kab./Kota di Kepri relatif merata dibandingkan dengan porsi populasi masing-
masing”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 40
sampai dengan tahun 2017 terdapat hubungan yang negatif antara tren peningkatan
jumlah debitur KUR dan tren peningkatan jumlah pengangguran di Kepri. Dengan
demikian, peningkatan jumlah debitur KUR di Kepri dapat diartikan mampu menyerap
tenaga kerja Kepri yang ditunjukkan dengan tren pengangguran Kepri yang semakin
menurun. Jumlah Debitur KUR yang diharapkan semakin meningkat pada tahun 2018
diharapkan dapat membantu mendorong penurunan pengangguran Kepri disamping
faktor-faktor lain.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 41
BAB III PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBD
3.1 APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Pada lingkup Provinsi Kepulauan Riau, terdapat delapan APBD yang berasal
dari Pemprov Kepri, Pemkab Bintan, Pemkab Karimun, Pemkab Natuna, Pemkab
Lingga, Pemkab Kepulauan Anambas. Pemkot Tanjungpinang dan Pemkot Batam.
Tabel III-1 Perkembangan APBD Lingkup Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah) Perkembangan APBD Lingkup Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)
Uraian 2015 2016 2017 Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
A.PENDAPATAN 10.694,79 7.309,89 11.409,21 10.913,23 11.767,05 10.969,19 PAD 2.670,28 1.681,21 2.812,79 2.614,48 3.186,85 2.974,19 Dana Perimbangan 7.016,19 4.999,74 7.723,24 7.509,69 8.514,91 7.943,04 LLPD yang Sah 1.008,31 405,54 873,17 789,06 65,29 51,96
B.BELANJA 11.362,78 9.442,47 11.530,21 10.468,32 12.323,46 11.180,16 Belanja Tidak Langsung 4.970,97 4.340,15 5.364,49 5.034,03 5.134,16 4.837,45 Belanja Langsung 7.441,31 5.940,40 6.165,72 5.434,29 7.189,30 6.342,71
C.SURPLUS(DEFISIT) A-B -667,99 -2.132,62 -121,01 444,91 -556,41 -210,97 D.PEMBIAYAAN 539,65 80,41 9,91 68,92 901,08 598,89
Penerimaan Pembiayaan 570,08 106,26 149,57 93,25 912,66 606,69 Pengeluaran Pembiayaan 30,43 25,87 24,45 24,33 11,58 7,80
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 15 Februari 2018 Sumber: Pemda (diolah)
Secara umum, alokasi dan realisasi APBD
lingkup Kepri dalam tren membaik pada tahun
2017. Kebijakan penyaluran DAK Fisik Tambahan
Penyelesaian Tahun 2016 yang carry over sampai
dengan tahun 2017 membawa angin segar bagi
APBD lingkup Kepri. Kegiatan DAK yang
penyelesaiannya dibebankan ke APBD telah
diganti adanya DAK Fisik tambahan penyelesaian
tahun 2016.
Capaian realisasi pendapatan tahun 2017
mencapai 93,22 persen, lebih rendah 2,43 persen
dari tahun 2016 yang realisasinya mencapai 95,65
Gambar III-1 Perkembangan Capaian Pendapatan dan Belanja APBD di Kepri
Sumber: Pemda (diolah)
2015
- P
enda
pata
n
2016
- P
enda
pata
n
2017
- P
enda
pata
n
2015
- B
elan
ja
2016
- B
elan
ja
2017
- B
elan
ja
68,3
5% 95,6
5%
93,2
2%
83,1
0%
90,7
9%
90,7
2%
“Pemda di Kepri terdiri dari 1 Pemprov, 5 Pemkab, dan 2
Pemkot”
“Alokasi dan realisasi APBD meningkat di
tahun 2016”
“Ditinjau dari berbagai aspek, kesehatan keuangan Pemerintah Daerah di lingkup Provinsi Kepri membaik di tengah arus
penguatan desentralisasi fiskal dari Pemerintah Pusat. Namun demikian, efisiensi alokasi belanja APBD masih perlu ditinjau.
Porsi belanja infrastruktur yang masih rendah dapat berakibat fatal bagi pembangunan daerah kepulauan seperti Kepri yang
sangat membutuhkan interkonektivitas wilayah”.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 42
persen. Namun secara nominal, realisasi tahun 2017 yang lebih tinggi (Rp55,96 miliar)
dari tahun 2016. Capaian realisasi yang lebih rendah dari tahun 2016 merupakan
refleksi dampak anjloknya perekonomian Kepri di tahun 2017. Meskipun demikian,
kenaikan PAD Kepri sampai sebesar 13,76 persen (dari tahun 2016) merupakan
indikator bahwa dari sisi absolut, kegiatan perekonomian Kepri masih sangat baik.
3.2 PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH
3.2.1 Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja
Realisasi pendapatan APBD tahun 2017 mengalami peningkatan 0,51 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi pendapatan APBD yang cenderung stagnan
dari pada tahun sebelumnya karena adanya pengaruh turunnya dana perimbangan (-
0,23 persen) yang porsinya mencapai 68,30 persen. Sementara itu, kinerja pendapatan
asli daerah pada tahun 2017 dapat dikatakan cukup baik dengan indikasi peningkatan
PAD sebesar 27,11 persen dari tahun 2016.
Tabel III-2 Perkembangan Pendapatan Pemda Lingkup Kepri (dalam miliaran rupiah) Perkembangan Pendapatan Pemda Lingkup Kepri (dalam miliaran rupiah)
Pendapatan 2015 2016 2017
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
Pendapatan Asli Daerah 2.670,28 1.681,21 62,96 2.812,79 2.614,48 92,95 3.186,85
2.974,19 93,33
Pajak Daerah 2.183,33 1.267,64 58,06 2.215,91 1.863,17 84,08 2.320,74
2.247,94 96,86
Retribusi Daerah 120,72 72,72 60,24 126,97 128,87 101,50 191,01 119,74 62,69
HPKD yang Dipisahkan 29,38 29,49 100,39 33,70 27,97 83,00 43,34 46,26 106,76
Lain-Lain PAD yang Sah 311,44 287,96 92,46 436,21 594,46 136,28 631,76 560,25 88,68
Dana Perimbangan 7.016,19 5.261,44 74,99 7.723,24 7.509,69 97,23 7.737,80
7.492,49 96,83
DBH 3.130,56 2.002,93 63,98 2.294,70 2.301,92 100,31 1.985,46
1.848,41 93,10
DAU 2.793,98 1.779,49 63,69 3.693,52 3.729,47 100,97 4.029,02
4.036,64 100,19
DAK 530,61 391,96 73,87 1.193,23 1.112,08 93,20 1.487,64
1.330,93 89,47
Dana Penyesuaian 561,04 464,77 82,84 541,78 366,22 67,60 235,68 276,52 117,33
LLPD 1.008,31 367,53 36,45 873,17 789,06 90,37 594,65 502,51 84,50
Hibah 48,5 28,07 57,87 42,11 3,51 8,32 0,00 0,00 0,00
Transfer Dari Provinsi 720,52 350,58 48,66 694,10 617,40 88,95 529,37 450,55 85,11
Lain-lain 239,29 87,68 36,64 136,96 168,15 122,77 65,29 51,96 79,58 Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah)
Secara persentase, peningkatan terbesar terjadi pada komponen hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang mengalami peningkatan 65,40
persen dan penurunan terbesar terjadi pada komponen lain-lain pendapatan yang turun
sebesar -69,10 persen. Kenaikan sebesar 65,40 persen pada pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan didorong oleh penerimaan laba atas penyertaan modal pada
BUMD yang melebihi target yang telah ditetapkan.
“Penguatan desentralisasi fiskal dan rebound harga komoditas mendorong peningkatan penerimaan
Pemda”
“Realisasi Pendapatan 2017
naik 0,51 persen”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 43
Gambar III-2 Perkembangan Pendapatan Daerah Kepri (dalam jutaan)
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah)
Dalam konteks pendapatan relatif, Pemkab Kepulauan Anambas memiliki
pendapatan yang terbesar (Rp19,08 juta/kapita) jika dibandingkan dengan daerah
lainnya. Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk pada Kabupaten Kepulauan Anambas
yang terkecil se-Kepri.
3.2.2 Analisis Kesehatan Penerimaan APBD Agregat
Berdasarkan beberapa indikator, kesehatan keuangan Pemda di Kepri mulai
membaik di tahun 2017 di tengah-tengah melemahnya harga komoditas dan penguatan
desentralisasi fiskal. Dan pada tahun 2017 perbaikan pada Keuangan Daerah bahkan
sudah melampaui level tertinggi sebelumnya di tahun 2014. Namun demikian, kapasitas
fiskal pemda pada tahun 2017 tidak sejalan dengan kenaikan jumlah Penduduk Kepri.
Pendapatan Daerah per Kapita yang mencapai Rp5,41 juta per orang turun -
0,02 persen dibandingkan tahun 2016. Artinya, kapasitas fiskal Pemda di Kepri untuk
melayani masyarakatnya di tahun 2017 berkurang. Dari indikator ketergantungan
daerah, pada tahun 2017 adalah pencapaian indikator yang tertinggi dari indikator yang
tercatat semenjak 2014, terjadi kenaikan 162 basis poin dibandingkan tahun 2016. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah akan pendapatan dari transfer
pusat sudah berkurang di tahun 2017. Namun demikian, angka 26,60 persen tersebut
menunjukkan bahwa Pemda baru bisa membiayai ±¼ dari belanjanya dengan
pendapatan sendiri, sehingga masih memerlukan banyak peningkatan.
Tabel III-3 Indikator Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau Indikator Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Tahun Pendapatan Daerah Per kapita
PAD terhadap PDRB Kemandirian Keuangan Daerah
Ketergantungan Daerah
Pendapatan/Jumlah Penduduk
PAD/PDRB Pajak+Retribusi/PDRB
PAD/Pendapatan PAD/Belanja
2014 Rp5.529.772,12 1,40% 1,20% 24,17% 22,44% 2015 Rp3.704.902,92 0,83% 0,71% 23,00% 17,80% 2016 Rp5.531.288,94 1,21% 0,92% 23,96% 24,98% 2017 Rp5.408.419,48 1,29% 1,03% 27,11% 26,60%
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau & Pemda (diolah)
Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
2016 (LHS) 2.456.734 1.039.420 1.368.978 1.207.203 748.501 926.692 2.215.680 950.024
2017 (LHS) 3.249.244 1.027.483 1.147.462 961.930 742.438 771.135 2.157.538 911.959
/Kapita 2017 (RHS) 1,65 6,715 5,093 12,908 8,381 19,081 1,815 4,510
- 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00
-
1.000
2.000
3.000
4.000
“Kesehatan keuangan APBD agregat membaik
di tahun 2017”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 44
3.2.3 Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemda
Berbeda dengan penerimaan
perpajakan pusat yang cenderung
melambat mengikuti tren kebijakan
pemerintah dan pertumbuhan
ekonomi yang saat ini sedang
melambat, penerimaan Pemda di
Kepri cenderung resilien terhadap
tren perlambatan pertumbuhan
ekonomi. Hal tersebut terlihat pada
tren ketiga jenis Penerimaan Pemda
pada scatter plot. Baik PAD, Dana
Perimbangan, maupun LLPD memiliki koefisien negatif yang artinya ketika
pertumbuhan ekonomi melambat, penerimaan-penerimaan tersebut malah meningkat.
3.3 BELANJA PEMERINTAH DAERAH
3.3.1 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan
Belanja dalam APBD digunakan untuk membiayai Urusan wajib yang
merupakan urusan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, dan
urusan pilihan adalah urusan yang sesuai kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Tabel III-4 Perkembangan Belanja APBD berdasarkan Jenis Urusan (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Belanja APBD berdasarkan Jenis Urusan (dalam miliaran Rupiah)
Urusan Pemerintahan 2014 2015 2016 2017 Pagu Pagu Pagu Porsi Pagu Pagu Porsi Pagu
Urusan Wajib 1.Pendidikan 2.242,76 1.760,20 1.786,15 16,47% 3.081,86 20,06% 2.Kesehatan 1.219,76 1.091,43 1.107,48 10,21% 1.801,54 11,73% 3.Pekerjaan Umum 1.891,59 1.835,84 1.862,94 17,18% 1.678,91 10,93% 4.Perumahan 149,59 73,63 74,72 0,69% 815,59 5,31% 5.Penataan Ruang 53,71 34,90 35,40 0,33% 0,00 0,00% 6.Perencanaan Pembangunan 247,97 200,21 203,16 1,87% 9,99 0,07% 7.Perhubungan 355,90 380,22 385,80 3,56% 386,74 2,52% 8.Lingkungan Hidup 244,15 167,51 169,96 1,57% 268,52 1,75% 9.Pertanahan 41,01 28,67 29,06 0,27% 77,28 0,50% 10.Kependudukan dan Catatan Sipil 68,50 48,35 49,00 0,45% 61,12 0,40% 11.Pemberdayaan Perempuan 48,35 36,40 36,90 0,34% 70,84 0,46% 12.Keluarga Berencana & Keluarga Sejahtera
10,48 16,22 16,49 0,15% 15,55 0,10%
13.Sosial 118,77 98,03 99,51 0,92% 138,17 0,90% 14.Tenaga Kerja 76,08 61,43 62,38 0,58% 115,64 0,75% 15.Koperasi dan UKM 64,18 46,20 46,93 0,43% 55,06 0,36% 16.Penanaman Modal 54,30 42,47 43,12 0,40% 79,49 0,52% 17.Kebudayaan 84,91 38,35 38,86 0,36% 59,29 0,39% 18.Pemuda dan Olahraga 118,33 122,51 124,3 1,15% 134,04 0,87% 19.Kesatuan Bangsa & Politik Dlm.Negeri 232,43 175,46 178,03 1,64% 32,52 0,21% 20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum 4.350,29 4.199,02 4.260,87 39,30% - 0,00% 21.Ketahanan Pangan 22,08 19,36 19,6 0,18% 32,99 0,21% 22.Pemberdayaan Masy. dan Desa 73,34 65,78 66,76 0,62% 308,06 2,01% 23.Statistik 2,55 1,68 1,73 0,02% 1,32 0,01% 24.Kearsipan 5,9 19,51 19,83 0,18% 7,04 0,05%
Gambar III-3 Scatter Plot Sensitivitas Penerimaan Pemda
Sumber: BPS Kepri dan Pemda (Diolah)
y = 13,306x + 0,5087
y = -1,0195x + 0,0494
y = 17,952x + 0,2937
-80%
-40%
0%
40%
80%
120%
-1,0% -0,9% -0,8% -0,7% -0,6% -0,5%
ΔP
ER
UB
AH
AN
PE
NE
RIM
AA
N
Δ PERUBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI
PAD Dana Perimbangan LLPD
“Pendapatan APBD cenderung lebih resilien dibandingkan APBN”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 45
25.Komunikasi dan Informatika 59,37 64,76 65,72 0,61% 89,35 0,58% 26.Perpustakaan 42,47 57,17 58 0,53% 64,13 0,42% 27. Administrasi Pemerintahan 0 0 0 0,00% 5.630,82 36,65% 28. Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat
0 0 0 0,00% 261,99 1,71%
29. Persandian 0 0 0 0,00% 0,35 0,00% 30. Urusan Lainnya 0 0 0 0,00% 84,69 0,55% Urusan Pilihan 1.Pertanian 129,99 118,87 120,61 17,54% 119,55 21,71% 2.Kehutanan 30,98 20,14 20,41 2,97% 0,34 0,06% 3.Energi dan SD Mineral 120,37 112,92 114,61 16,67% - 0,00% 4.Pariwisata 101,19 77,51 78,64 11,44% 103,51 18,80% 5.Kelautan dan Perikanan 248,6 209,47 212,62 30,93% 224,49 40,77% 6.Perdagangan 55,06 79,25 80,37 11,69% 75,35 13,68% 7.Perindustrian 42 59,25 60,07 8,74% 26,83 4,87% 8.Transmigrasi 0,33 0,08 0,12 0,02% 0,57 0,10%
Sumber: Pemda, data sementara (diolah)
Dilihat dari alokasinya, hampir semua urusan mengalami kenaikan anggaran
dengan rata-rata peningkatan 48,31 persen. Berdasarkan porsinya, urusan yang
mendapatkan porsi alokasi terbesar merupakan urusan Administrasi Pemerintahan
(35,38 persen), Pendidikan (19,37 persen), Kesehatan (11,32 persen), dan Pekerjaan
Umum (10,55 persen). Selain urusan tersebut, 30 urusan lainnya memiliki porsi masing-
masing dibawah 4% dengan total mencapai 22,71 persen. Porsi tersebut menunjukkan
bahwa kebijakan Pemda menitikberatkan pada pelayanan pada masyarakat,
pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, serta
pembangunan infrastruktur untuk menunjang perekonomian.
3.3.2 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi
Mengacu pada standar COFOG dari OECD, belanja Pemda di Kepri dapat
dibagi menjadi Sembilan fungsi pemerintahan.
Tabel III-5 Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Fungsi (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Fungsi (dalam miliaran Rupiah)
Fungsi 2014 2015 2016 2017 Pagu Pagu Pagu Porsi Pagu Pagu Porsi Pagu
01 Pelayanan Umum 4.666,08 4.485,18 4.550,98 39,47% 4.056,88 32,54% 02 Ketertiban dan Keamanan 232,43 175,46 177,57 1,54% 257,60 2,07% 03 Ekonomi 1.272,88 1.215,43 1.233,73 10,70% 1.154,20 9,26% 04 Lingkungan Hidup 338,87 231,07 234,06 2,03% 328,14 2,63% 05 Perumahan dan Fasilitas Umum
2.041,17 1.909,47 1.937,08 16,80% 2.118,37 16,99%
06 Kesehatan 1.230,24 1.107,65 1.124,20 9,75% 1.554,12 12,46% 07 Pariwisata dan Budaya 186,09 115,86 117,61 1,02% 127,17 1,02% 08 Pendidikan 2.403,57 1.939,88 1.968,21 17,07% 2.639,94 21,17% 09 Perlindungan Sosial 235,95 182,78 186,79 1,62% 231,52 1,86%
Sumber: Pemda (diolah).
Secara alokasi terdapat lima fungsi pemerintahan yang mendapatkan porsi
APBD besar yakni fungsi pelayanan umum (32,54 persen), pendidikan (21,17 persen),
fasilitas umum (16,99 persen), dan kesehatan (12,46 persen). Selain fungsi tersebut,
memiliki porsi masing-masing di bawah 10 persen dengan total mencapai 16,83 persen.
Sejalan dengan indikasi dari belanja berdasarkan urusan, dari jenis fungsinya, kebijakan
“Fokus anggaran Pemda untuk pelayanan, pembangunan SDM, dan infrastruktur”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 46
pemda di Lingkup Kepri juga terindikasi menitikberatkan pada pelayanan masyarakat,
pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.
3.3.3 Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja
Berdasarkan jenis belanja umum, kenaikan APBD tahun 2017 dibandingkan
tahun 2016 disebabkan oleh pagu Belanja Langsung yang meningkat 16,60 persen dan
mampu mendorong APBD agregat walaupun pagu Belanja Tidak Langsung menurun -
4,29 persen.
Tabel III-6 Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Jenis Belanja (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Jenis Belanja (dalam miliaran Rupiah)
Jenis Belanja 2014 2015 2016 2017 Pagu Pagu Pagu Pagu Realisasi Porsi Realisasi
Belanja Tidak Langsung 5.386,12 4.970,97 5.364,49 5.134,16 94,22% 43,27% Belanja Pegawai 3.528,43 3.198,13 3.483,61 3.618,17 92,95% 30,08% Belanja Subsidi 68,88 49,75 24,19 0,91 99,56% 0,01% Belanja Hibah 738,25 796,65 514,51 476,20 97,99% 4,17% Bantuan Sosial 312,93 228,13 70,37 32,27 69,12% 0,20% Belanja Transfer 733,65 632,43 1.261,03 997,32 98,52% 8,79% Belanja Tidak Terduga 3,98 65,88 10,79 9,30 19,81% 0,02%
Belanja Langsung 7.221,16 6.391,81 6.165,72 7.189,30 88,22% 56,73% Belanja Barang & Jasa 4.353,04 4.038,47 3.911,84 4.716,46 89,96% 37,95% Belanja Modal 2.868,11 2.353,34 2.253,88 2.472,84 84,91% 18,78%
Sumber: Pemda (diolah)
Berdasarkan porsi pagu, Belanja Langsung memiliki Porsi yang terbesar yaitu
58,34 persen dari total alokasi agregat Kepri, sementara Belanja Tidak Langsung hanya
memiliki Porsi 41,66 persen. Belanja belanja Barang & Jasa, Belanja Pegawai, dan
Belanja Modal mendapatkan porsi terbesar dengan porsi masing-masing 38,27 persen,
29,36 persen, dan 20,07 persen. Kebijakan Pemda Kepri masih kurang
memprioritaskan belanja modal sebagaimana terlihat dari porsinya yang masih di
bawah belanja konsumtif tersebut. Namun demikian, peningkatan alokasi belanja modal
pada tahun 2017 mencapai 9,71 persen (dari tahun 2016) lebih tinggi 5,85 persen dari
belanja pegawai dan lebih rendah 10,85 persen dari belanja barang dan jasa.
Gambar III-4 Perkembangan Belanja per Pemda tahun 2017 (dalam jutaan rupiah)
Sumber: Pemda (diolah)
Pada tahun 2017 pemda dengan tingkat penyerapan terbaik adalah Pemprov
Kepulauan Riau (93,60 persen) dan Kabupaten Lingga (92,12 persen). Dilihat dari
realisasi/populasi, Pemda yang telah mengeluarkan anggaran terbanyak untuk per
Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
Pagu 2017 (LHS) 3.496.355 1.128.652 1.334.087 1.220.531 809.389 861.588 2.495.948 976.910
Realisasi 2017 (LHS) 3.272.641 987.871 1.188.952 1.080.828 745.619 773.653 2.225.338 905.261
Realisasi/Kapita 2017 (RHS) 1,66 6,46 5,28 14,50 8,42 19,14 1,87 4,48
% Realisasi 93,60% 87,53% 89,12% 88,55% 92,12% 89,79% 89,16% 92,67%
93,60%
87,53% 89,12% 88,55%92,12% 89,79%
89,16%
92,67%
- 4,0 8,0 12,0 16,0 20,0
01.000.0002.000.0003.000.0004.000.000
“Kenaikan APBD tahun 2017 didorong komponen Belanja
Langsung”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 47
kapita masyarakatnya adalah Anambas dan Natuna dengan realisasi mencapai
Rp19,14 juta/kapita dan Rp14,50 juta/kapita.
Sumber: Pemda (diolah)
Sementara itu, pemda yang memiliki kontribusi tertinggi terhadap pendapatan
Belanja APBD Kepri adalah Pemprov Kepulauan Riau dengan kontribusi sebesar 29,27
persen. Namun demikian, apabila dilihat dari segi komponen belanjanya, belanja secara
keseluruhan alokasi untuk belanja modal masih relatif kecil, karena sebagian besar
dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hanya 2 pemda yang memiliki
alokasi belanja modal di atas 20 persen, yaitu Pemkab Batam (25,03 persen) dan
Pemkab Natuna (21,94 persen).
3.4 PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
3.4.1 Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah
Per akhir tahun 2017, terdapat 12 entitas BLUD di lingkup Kepri. Berdasarkan
jenis layanannya, 9 BLUD bergerak di bidang kesehatan, 2 di bidang pengelolaan dana
bergulir dan 1 di bidang pelayanan air bersih. Berdasarkan induk Pemerintah
Daerahnya, 7 BLUD merupakan entitas dari Pemkab Bintan, 3 dari Pemkot Batam, 1
dari Pemprov Kepri, dan 1 dari Pemkab Natuna. Profil 12 Satuan Kerja BLUD tersebut
adalah sebagai berikut.
Tabel III-7 Profil Satuan Kerja BLUD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah) Profil Satuan Kerja BLUD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)
Jenis Layanan/ Nama BLUD Pemerintah Daerah Nilai Aset/Tanggal
Kesehatan
RSUD Provinsi Kepri (Kelas B) Pemprov Kepulauan Riau 266,44 / per 31 Desember 2015
RSUD Embung Fatimah (Kelas B) Pemkot Batam 181,22 / per 31 Desember 2015
RSUD Kabupaten Natuna (Kelas C) Pemkab Natuna 29,24 / per 31 Desember 2017
RSUD Kabupaten Bintan (Kelas D) Pemkab Bintan 2,10 / per 30 Juni 2016
PPK BLUD Puskesmas Kawal Pemkab Bintan 0,30 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Kijang Pemkab Bintan 0,29 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Tanjung Uban Pemkab Bintan 0,49 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Teluk Sasah Pemkab Bintan 0,22 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Teluk Sebong Pemkab Bintan 0,14 / per 31 Desember 2015
Lainnya
PPK BLUD Dana Bergulir Pemkab Bintan 4.337,81 / per 30 Juni 2016
UPT Pengelolaan Dana Bergulir Pemkot Batam 26,50 / per 31 Desember 2015
UPT Pelayanan Air Bersih Pemkot Batam 0,38 / per 31 Desember 2015 Sumber: Pemda (diolah)
“Kepri memiliki 9 BLUD di bidang kesehatan dan 3 BLUD di bidang
lainnya”
18,26%
43,62%
32,57%
24,90%
36,91%
28,30%
33,71%
47,94%
30,08%
39,51%
26,19%
45,55%41,81%
31,77%37,67%
39,31%
32,58%
37,95%
15,15%
19,93%
16,49%
21,94%
14,65%
19,74%
25,03%
17,10%
18,78%
Provinsi
Bintan
Karimun
Natuna
Lingga
Anambas
Batam
Tjgpinang
Agregat
Pegawai Barang Modal Lainnya
Provinsi29,27%
Bintan8,84%
Karimun10,63%
Natuna9,67%
Lingga6,67%
Anambas6,92%
Batam19,90%
Tanjungpinang8,10%
Gambar III-5 Porsi Belanja Daerah
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 48
Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) mengubah pola
pengelolaan keuangan menjadi lebih fleksibel, sehingga diharapkan pelayanan bagi
masyarakat dapat ditingkatkan. Saat ini, puskesmas lingkup Kepri lainnya juga sedang
diusahakan untuk dapat menggunakan pola pengelolaan keuangan BLUD.
3.4.2 Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah
Dari 5 BLUD yang sudah berdiri sejak tahun 2014, hanya PPK-BLUD Dana
Bergulir Kabupaten Bintan yang nilai asetnya meningkat (11,00%). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pendapatan dari 4 RSUD di Kepri belum mampu untuk menutupi
beban operasional dan depresiasinya. Untuk menanggulanginya, RSUD-RSUD
tersebut perlu meninjau kembali kinerja operasionalnya baik dari sisi kesesuaian tarif,
beban operasional, maupun kualitas layanan yang diberikan.
Tabel III-8 Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah (dalam miliaran Rupiah) Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah (dalam miliaran Rupiah)
BLUD 2014 2015 Perubahan (%) RSUD Provinsi Kepulauan Riau 272,77 266,44 -2,32% RSUD Embung Fatimah 242,01 181,22 -25,12% RSUD Kabupaten Natuna 22,11 18,27 -17,39% RSUD Kabupaten Bintan 11,47 10,53 -8,21% PPK-BLUD Dana Bergulir 3,88 4,30 11,00%
Sumber: Pemda (diolah)
3.4.3 Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah
Dilihat dari aspek legal, penyusunan peraturan daerah tentang pelayanan
kesehatan BLUD mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007
tanggal 7 November 2007 tentang pedoman teknis PK-BLUD, dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 jo.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2012 tentang PK-BLU.
Kesesuaian penyusunan tersebut dapat dilihat dari analisis kelembagaan, tata
kelola, SDM, dan pengendalian. Dalam aspek kelembagaan, penetapan dengan Perda
setelah memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif. Analisis tata kelola
meninjau fleksibilitas dalam pengeluaran biaya dengan mempertimbangkan volume
pelayanan. Dalam analisis SDM, pengelola BLUD terdiri dari pemimpin BLUD, pejabat
keuangan, dan pejabat teknis. Dalam aspek pengendalian, diperlukan adanya evaluasi
dan penilaian kinerja oleh kepala daerah/badan pengawas. Berdasarkan Perda Provinsi
Kepri Nomor 9/2010 tentang Pelayanan Kesehatan RSUD Provinsi Kepri sebagai BLUD
dan Perda Bintan Nomor 6/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Pada RSUD Kabupaten
Bintan, kedua RSUD tersebut telah memenuhi aspek legal. Untuk BLUD lainnya,
penarikan kesimpulan masih membutuhkan penelaahan lebih lanjut.
“Puskesmas di Kepri didorong untuk menjadi BLUD agar dapat meningkatkan
kualitas layanan”
“BLUD-BLUD Kesehatan di Kepri mengalami
kerugian”
“Pembentukan RSUD Provinsi Kepri dan RSUD Kabupaten Bintan sudah memenuhi
aspek legal”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 49
3.5 PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH
3.5.1 Bentuk Investasi Daerah
Investasi pemerintah
daerah merupakan
penempatan sejumlah dana
dan/atau barang milik
daerah dalam jangka
panjang dengan tujuan
mendapatkan manfaat
dalam jangka waktu tertentu. Pada tahun 2017, anggaran penyertaan modal di Kepri
sementara masih terealisasi 67,34 persen (Rp7,8 miliar). Dari nilai tersebut, 74,10
persen merupakan penyertaan modal daerah (PMD) dan 25,90 persen merupakan
pemberian pinjaman. Sebesar 71,43 persen dari penyertaan modal daerah merupakan
PMD yang dilakukan oleh Kabupaten Natuna sebesar Rp5 miliar pada Bank Riau Kepri.
3.5.2 Profil dan Jenis BUMD
Selain sebagai bentuk investasi, BUMD berperan dalam mewujudkan prioritas
kebijakan pemerintah daerah dan perintis kegiatan yang kurang mendapat perhatian
swasta. Di Kepri, terdapat empat BUMD dengan jenis usaha yang berbeda-beda. PT
Pembangunan Kepri milik Pemprov Kepri berusaha di bidang eksplorasi dan eksploitasi
SDA, distribusi perdagangan, agrobisnis dan sektor primer, industri manufaktur,
pariwisata, telekomunikasi, energi, dan jasa keuangan. PT Bintan Inti Sukses milik
Pemkab Bintan berusaha pada investasi pengembangan kawasan Bintan. PDAM Tirta
Kepri Pemprov Kepri bertugas menyediakan air bersih bagi masyarakat Pulau Bintan.
PT Pelabuhan Kepri milik Pemprov Kepri bertugas menyediakan jasa pelabuhan.
Tabel III-10 BUMD di Provinsi Kepulauan Riau BUMD di Provinsi Kepulauan Riau
Nama BUMD Jenis Usaha Berdiri Dasar Hukum Modal Awal (miliaran rupiah) 1.PT.Pembangunan Kepri Multi usaha 2006 Perda no.2/2006 10,00 2.PT Bintan Inti Sukses Investasi 2007 Perda no.2/2007 27,76 3.PDAM Tirta Kepri Penyediaan air minum 2008 Perda no.4/2008 31,76 4.PT.Pelabuhan Kepri Transportasi laut 2013 Perda no.2/2013 100,00
Sumber: Pemda (diolah)
3.6 SiLPA DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH
3.6.1 Perkembangan Surplus/Defisit APBD
Kebijakan anggaran pada APBD di Provinsi Kepulauan Riau adalah kebijakan
ekspansif dengan defisit anggaran yang ditujukan untuk menggerakkan perekonomian.
Empat rasio berikut dapat digunakan untuk mengukur kebijakan defisit.
Tabel III-9 Investasi Daerah di Kepri (dalam miliaran rupiah) Investasi Daerah di Kepri (dalam miliaran rupiah)
Investasi Langsung
2015 2016 2017 Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Penyertaan Modal
26,50 90,57% 24,33 100% 8,58 81,55%
Pemberian Pinjaman
3,90 47,95% - - 3,00 26,67%
Jumlah Investasi
30,40 85,10% 24,33 100% 11,58 67,34%
Sumber: Pemda, data sementara (diolah)
“Kepri memiliki 4 BUMD yang bergerak di bidang multi usaha, investasi, air minum, dan
pelabuhan”
“Kebijakan APBD di Kepri cenderung
ekspansif”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 50
Tabel III-11 Rasio Defisit APBD di Provinsi Kepulauan Riau Rasio Defisit APBD di Provinsi Kepulauan Riau
Tahun Defisit terhadap Pendapatan Defisit terhadap Realisasi Dana Transfer
Defisit Terhadap PDRB SILPA terhadap Alokasi Belanja
Defisit/Pendapatan Defisit/Dana Transfer Defisit/PDRB SILPA/Belanja 2014 0,0772 0,1104 0,0158 0,0615 2015 0,2917 0,4054 0,0105 0,0489 2016 0,0020 0,0027 0,0001 0,0089 2017 0,0235 0,0324 0,0011 0,0492
Sumber: BPS dan Pemda (diolah)
Di tengah-tengah capaian pendapatan yang tinggi, ke-empat rasio menunjukkan
penurunan yang signifikan. Rasio defisit terhadap pendapatan yang menurun
mencerminkan kemampuan pendapatan untuk membiayai defisit meningkat. Mengacu
pada PMK 191/2017 yang mengatur batas defisit APBD dan PMK 37/2016 yang
mengatur Kapasitas Fiskal Daerah, batas defisit untuk Kepri adalah 4,25 persen, masih
jauh dibandingkan rasio 0,0235 (2,35%) tersebut.
Rasio defisit terhadap realisasi dana transfer yang menurun menunjukkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer untuk membiayai ekspansi
fiskalnya kembali naik. Rasio defisit terhadap PDRB menggambarkan kesehatan
ekonomi regional, rasio yang kecil menunjukkan Provinsi Kepulauan Riau dapat dengan
mudah menggali potensi pajak di daerahnya untuk menutupi defisit. Rasio SILPA
terhadap alokasi Belanja APBD yang kembali naik mencerminkan realisasi belanja
daerah yang tidak lebih efektif di tahun sebelumnya.
3.6.2 Pembiayaan Daerah
Pada tahun 2017, realisasi penerimaan pembiayaan di Kepri sebesar Rp606,69
miliar terdiri dari 99,87% SiLPA dan sisanya berupa penerimaan kembali piutang.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan sebesar Rp7,80 miliar terdiri dari penyertaan
modal daerah (89,74 persen) dan pemberian pinjaman daerah (10,26 persen).
Dalam APBD lingkup Kepri, penggunaan pinjaman daerah sangat terbatas, oleh
karena itu perkembangan pembiayaan hanya dapat dilihat berdasarkan keseimbangan
primer. Keseimbangan primer mencerminkan indikasi likuiditas tanpa dipengaruhi
belanja terkait hutang, semakin besar surplus keseimbangan primer semakin baik
kemampuan daerah untuk menutup bunga utang atau melakukan ekspansi fiskal.
Tabel III-12 Keseimbangan Primer APBD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliar rupiah) Keseimbangan Primer 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Pendapatan – Belanja + Belanja Bunga -1.502,81 -1.120,05 -808,10 -2.131,61 444,91 -210,97
Sumber: Pemda (diolah)
Pada tahun 2017, terjadi defisit keseimbangan primer APBD di Kepri setelah
sempat mengalami surplus di tahun 2016. Kondisi pendapatan daerah yang belum
maksimal dengan disandingkan kebijakan APBD yang cenderung ekspansif di tahun
2017 mendorong munculnya defisit keseimbangan primer di tahun 2017. Kondisi
“Seluruh rasio defisit menunjukkan adanya penurunan pada
APBD Kepri”
“Kebijakan utang APBD di Kepri cenderung
konservatif”
“Surplus keseimbangan primer di Kepri dapat dimanfaatkan untuk ekspansi
fiskal”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 51
ekonomi yang sedang terpuruk di tahun 2017 pun ikut mendorong rendahnya
pendapatan daerah.
3.7 ANALISIS APBD LAINNYA
3.7.1 Analisis Horizontal dan Vertikal
Analisis ini digunakan untuk menilai kinerja pelaksanaan APBD di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau dengan membuat komparasi.
3.7.1.1 Analisis Horizontal
Analisis horizontal merupakan analisis yang membandingkan angka-angka
dalam laporan realisasi Pemda satu dengan lainnya dalam satu provinsi. Analisis ini
bertujuan untuk menyajikan informasi utuh terkait kinerja suatu pos antar pemerintah
daerah dan perkembangannya dari waktu ke waktu.
Tabel III-13 Analisis Horizontal Realisasi APBD Kepri TA 2017 (dalam miliaran Rupiah) Analisis Horizontal Realisasi APBD Kepri TA 2017 (dalam miliaran Rupiah)
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Kep. Anambas
Batam Tanjungpinang
Pendapatan 3.249,24 1.027,48 1.147,46 961,93 742,44 771,14 2.157,54 911,96 PAD 1.091,80 224,94 394,65 68,55 19,83 34,68 974,00 165,74 Dana Perimbangan 2.156,27 751,77 702,74 849,90 675,77 701,30 962,50 692,25 LLPD 1,18 50,78 50,08 43,48 46,84 35,15 221,04 53,97 Belanja 3.272,64 987,87 1.188,95 1.080,83 745,62 773,65 2.225,34 905,26 Tidak Langsung 1.483,91 532,25 451,32 391,83 399,45 329,54 793,67 455,49 Langsung 1.788,73 455,63 737,63 689,00 346,17 444,11 1.431,67 449,77
Surplus/Defisit -23,40 39,61 -41,49 -118,90 -3,18 -2,52 -67,80 6,70 Pembiayaan 0,00 136,32 0,31 130,99 81,74 97,57 133,30 18,65
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 20 Februari 2017 Sumber: Pemda (diolah)
Pemda dengan pendapatan terbesar Pemprov Kepri dan Pemkot Batam yang
mencapai lebih dari Rp2 triliun, didukung oleh PAD yang juga tertinggi. Sedangkan
Pemda dengan pendapatan terkecil adalah Pemkab Lingga (Rp742,44 miliar).
Sejalan dengan kondisi pendapatan, belanja terbesar direalisasikan oleh
Pemprov Kepri dan Pemkot Batam. Dilihat dari komposisinya, proporsi realisasi belanja
langsung pada Pemda Provinsi, Karimun, Natuna, Kepulauan Anambas, dan Batam
lebih besar dibandingkan realisasi belanja tidak langsungnya. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa ke-lima pemda tersebut dapat lebih baik mengatur belanja
produktifnya.
Gambar III-6 Perkembangan Porsi Realisasi Pendapatan dan Belanja APBD di Kepri
Sumber: Pemda (diolah)
0%
20%
40%
60%
80%
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Porsi Pendapatan
PAD Dana Perimbangan LLPD
0%10%20%30%40%50%
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Porsi Belanja
B.Pegawai B.Barang B.Modal
“Alokasi anggaran pada Pemda Provinsi, Karimun, Natuna, Kepulauan Anambas, dan Batam relatif lebih produktif”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 52
Dari sisi pendapatan, kontribusi dana perimbangan terhadap pendapatan
daerah di Provinsi Kepulauan Riau masih sangat dominan (61,17 persen per tahun
2017) walaupun perkembangan kontribusi PAD (22,90 persen per tahun 2017) turun -
4,40 persen dari tahun 2016. Dari sisi belanja, porsi belanja modal masih kecil (21,63
persen per 2017) dan dalam tren menurun (26,19% per tahun 2012). Hal tersebut
mencerminkan bahwa respon Pemerintah Daerah terhadap kebijakan pemrioritasan
pembangunan infrastruktur dari pemerintah pusat masih belum baik.
3.7.1.2 Analisis Vertikal
Analisis vertikal membandingkan kontribusi pos pada APBD masing-masing.
Tabel III-14 Analisis Vertikal Realisasi Pendapatan APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau Analisis Vertikal Realisasi Pendapatan APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
PAD 33,60% 21,89% 34,39% 7,13% 2,72% 4,50% 45,14% 18,17%
Pajak dan Retribusi 30,28% 18,49% 28,32% 2,01% 1,33% 1,96% 34,43% 8,98%
HPKD dan LLPAD 3,32% 3,40% 6,07% 5,12% 1,40% 2,54% 10,71% 9,19%
Dana Perimbangan 66,36% 73,17% 61,24% 88,35% 92,74% 90,94% 44,61% 75,91%
DBH 16,21% 11,88% 15,24% 34,41% 15,61% 29,64% 10,23% 14,34%
DAU 32,62% 43,77% 33,58% 36,52% 56,51% 45,76% 26,75% 49,20%
DAK 17,54% 13,71% 9,30% 11,49% 12,41% 9,85% 5,74% 12,37%
Dana Penyesuaian 0,00% 3,80% 3,12% 5,94% 8,20% 5,70% 1,89% 0,00%
LLPD 0,04% 4,94% 4,36% 4,52% 4,54% 4,56% 10,24% 5,92%
Hibah 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
Transfer dari Provinsi 0,00% 0,00% 4,36% 4,52% 4,54% 4,56% 10,24% 5,92%
Lain-lain 0,04% 4,94% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% Sumber: Pemda (diolah)
Tingginya porsi dana perimbangan di hampir seluruh Pemda menunjukkan
ketergantungan terhadap dana perimbangan masih besar. Bahkan di tiga pemerintah
daerah, yakni Pemda Kepulauan Anambas dan Lingga porsinya diatas 90 persen.
Selain itu, kebijakan penguatan desentralisasi fiskal (melalui DAU dan DAK) juga
menyebabkan tingginya sumbangan DAU di masing-masing Pemda. Di Pemda Lingga,
DAU bahkan menyumbang lebih dari setengah pendapatan karena kapasitas fiskalnya
yang masih rendah. Untuk komponen DBH, Pemda Natuna dan Kepulauan Anambas
sebagai penghasil migas memiliki porsi DBH yang paling tinggi.
Dari 8 Pemda di Kepri, 5 pemda diantaranya memiliki kontribusi PAD yang
signifikan (di atas 15 persen), yakni Pemda Provinsi, Bintan, Karimun, Batam, dan
Tanjungpinang. Tingginya PAD di Karimun yang baru saja melonjak disumbang oleh
aktivitas penambangan pasir dan granit yang semakin berkembang. Sedangkan
sumbangan PAD di Pemda Bintan dan Batam didorong oleh sektor pariwisata yang
cukup berkembang di dua daerah tersebut.
Tabel III-15 Analisis Vertikal Realisasi Belanja APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau Analisis Vertikal Realisasi Belanja APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang Bel.Tidak Langsung 45,34% 16,26% 13,79% 11,97% 12,21% 10,07% 24,25% 13,92% B.Pegawai 18,26% 13,17% 11,83% 8,22% 8,41% 6,69% 22,92% 13,26% Subsidi 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,03%
“Respon Pemda terhadap pemrioritasan pembangunan infrastruktur masih kurang
baik”
“Penguatan desentralisasi fiskal mendorong dominasi
penerimaan DAU”
“Komposisi PAD pada 4 pemda sudah dapat menyumbang
lebih dari 15%”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 53
Hibah 11,43% 0,28% 0,22% 0,15% 0,14% 0,25% 1,21% 0,57% Bantuan Sosial 0,10% 0,12% 0,00% 0,08% 0,24% 0,08% 0,06% 0,00% Bagi Hasil ke Pemda 15,54% 2,70% 1,70% 3,52% 3,41% 3,05% 0,06% 0,06% B.Tidak Terduga 0,00% 0,00% 0,04% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,01% Bel.Langsung 54,66% 13,92% 22,54% 21,05% 10,58% 13,57% 43,75% 13,74% B.Barang & Jasa 39,51% 7,91% 16,55% 13,81% 7,24% 8,90% 26,73% 9,01% B.Modal 15,15% 6,02% 5,99% 7,25% 3,34% 4,67% 17,02% 4,73% Sumber: Pemda (diolah)
Belanja Pemda lingkup Kepri masih didominasi oleh belanja konsumtif (Belanja
Pegawai dan Barang). Dari 8 Pemda, hanya Pemprov dan Batam yang porsi belanja
modalnya signifikan (di atas 15 persen). Untuk itu, perlu disosialisasikan kembali pada
pihak Pemda mengenai pentingnya belanja modal, khususnya yang berkaitan dengan
infrastruktur. Mengingat adanya kebijakan penguatan desentralisasi, tingginya porsi
belanja infrastruktur di Pemda menjadi sangat krusial untuk mendorong perekonomian
di daerah tersebut.
3.7.2 Analisis Kesehatan Fiskal Daerah Dengan Ten Point Test
Ten point test yang dikembangkan oleh Kenneth W. Brown (1993) merupakan
salah satu alat analisis terbaik untuk mengukur kesehatan fiskal suatu daerah. Dalam
ten point test, setiap rasio yang digunakan mengarah pada empat aspek kesehatan
fiskal yaitu pendapatan, pengeluaran, posisi operasi dan struktur utang. Untuk memotret
kesehatan keuangan daerah di Kepri, metode ten point test tersebut dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan perbedaan standardisasi data dan informasi keuangan daerah
yang terbatas sehingga indikator keuangan yang digunakan hanya 9.
Mengacu pada penggunaan ten point test oleh DJPK, Kementerian Keuangan
(2012), Untuk menilai kesehatan keuangan masing-masing Pemda, setiap Pemda
mendapatkan skor dari masing-masing indikator sehingga terbentuk perbandingan yang
komprehensif. Skor yang diberikan dalam setiap indikator adalah +1, +2, +3, atau +4
untuk masing-masing pemda tergantung dari kuartil yang diraih.
Skor tengah atau skor median dari 8 Pemda lingkup Kepri digunakan sebagai
titik 50%. Nilai yang berada di di bawah persentil ke-25 masuk kuartil pertama. Nilai
antara persentil 25 dan 50 masuk kuartil kedua. Nilai antara persentil 50 dan 75 masuk
kuartil ketiga. Nilai di atas persentil 75 masuk kuartil keempat. Selanjutnya, pemberian
skor tergantung dari sifat masing-masing indikator, apabila semakin tinggi semakin baik
maka kuartil keempat yang mendapatkan nilai maksimal (+4), apabila semakin rendah
semakin baik maka kuartil pertama yang mendapatkan nilai maksimal.
Perlakuan khusus diberikan untuk indikator ke-lima (Kemampuan Membiayai
Belanja Daerah). Kuartil pertama (+1) diberikan untuk pemda yang nilainya di bawah
100%. Pemda dengan nilai diatas 100% dibagi ke dalam 3 kelompok dengan batas
persentil 0-33, 34-66, 67-100.
“Pemda perlu sosialisasi pentingnya
infrastruktur”
“Ten point test memberikan gambaran yang komprehesnif mengenai kesehatan fiskal daerah”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 54
3.7.2.1 Indikator I (Pendapatan Daerah Per kapita)
Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan besarnya jumlah
pendapatan pemerintah daerah yang dapat digunakan untuk melayani sejumlah
penduduk daerah tersebut sehingga merupakan ukuran rill dari pendapatan daerah.
Indikator pendapatan daerah per kapita dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Pendapatan Daerah Per kapita = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
Rata-rata kemampuan daerah di Indonesia dalam melayani penduduknya
sebesar Rp2,51 juta per orang. Untuk agregat Kepri angka tersebut mencapai Rp5,41
juta/penduduk. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas Provinsi Kepulauan Riau
untuk melayani masyarakatnya berada di atas rata-rata nasional.
Gambar III-7 Indikator Pendapatan Daerah Per kapita di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu, Pemda, dan BPS Kepri (diolah)
3.7.2.2 Indikator II (Kemandirian Keuangan Daerah)
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan local taxing power atau seberapa
besar kemampuan PAD mendanai belanja untuk memberikan pelayanan publik. Rasio
menunjukkan tingkat kemandirian semakin baik bila terus meningkat. Indikator
kemandirian keuangan daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Kemandirian Keuangan Daerah = 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑙𝑖 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Rasio PAD terhadap pendapatan daerah di Provinsi Kepulauan Riau secara
agregat mencapai 28,41 persen, sedikit di atas nasional. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Pemda lingkup Kepri sedikit lebih mandiri di atas rata-rata nasional.
Gambar III-8 Indikator Kemandirian Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)
3.7.2.3 Indikator III (Ruang Fiskal Daerah)
Ruang fiskal merupakan pendapatan daerah selain yang sudah memiliki
earmark (DAK, hibah, dana penyesuaian dan otsus, dan dana darurat) yang dapat
digunakan untuk membiayai belanja diskresi (belanja selain belanja yang bersifat wajib
2,515,41
1,606,65
5,0512,78
8,3418,84
1,754,45
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
23,08%28,41%
33,36%22,77%
33,19%6,34%
2,66%4,48%
43,77%18,31%
Ak.Nasional
Ak.Prov/Kab./Kota
Pemprov.Kep.Riau
Pemkab.Bintan
Pemkab.Karimun
Pemkab.Natuna
Pemkab.Lingga
Pemkab.Kep.Anambas
Pemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
“Kapasitas fiskal Kepri untuk melayani masyarakat lebih
baik dari nasional”
“Kemandirian keuangan Kepri lebih baik dari
nasional”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 55
seperti belanja pegawai dan belanja bunga). Semakin besar ruang fiskal, semakin
leluasa pemda menyesuaikan dana dengan prioritas daerah. Indikator ruang fiskal
daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Ruang Fiskal Daerah = 𝑟𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑓𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Rasio ruang fiskal daerah agregat Kepri mencapai 85,35 persen, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan rasio nasional (47,51 persen). Artinya, Pemda lingkup Kepri jauh
lebih leluasa dalam mengalokasikan dana yang menjadi prioritas pembangunannya.
Gambar III-9 Indikator Ruang Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)
3.7.2.4 Indikator IV (Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)
Indikator peningkatan pajak dan retribusi daerah menunjukkan tingkat
kemampuan daerah dalam menggali potensi pajak dan retribusi daerah. Rasio yang
semakin besar menunjukkan kemampuan daerah dalam mengkonversi potensi
penerimaan menjadi realisasi penerimaan semakin besar. Indikator peningkatan pajak
daerah dan retribusi daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Pajak Daerah dan Retribusi Daerah = 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑃𝐷𝑅𝐵
Rasio agregat di Kepri hanya mencapai 1,112 persen, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan rasio nasional. Artinya, Pemda Kepri masih belum optimal dalam
menggali potensi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.
Gambar III-10 Indikator Peningkatan Pajak dan Retribusi Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu, Pemda, dan BPS Kepri (diolah)
3.7.2.5 Indikator V (Kemampuan Mendanai Belanja Daerah)
Indikator kemampuan mendanai belanja daerah tercermin dalam rasio total
pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap total belanja daerah dan
pengeluaran pembiayaan. Semakin besar rasio, semakin besar kemampuan mendanai
47,51%85,35%
82,46%82,49%
87,58%82,57%
79,77%84,45%
87,63%
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
5,038%1,122%
0,466%1,109%
3,067%0,103%
0,294%0,115%
0,568%0,472%
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
“Ruang fiskal Kepri jauh lebih besar
dari nasional”
“Penggalian potensi fiskal oleh Pemda Kepri
belum optimal”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 56
suatu daerah dalam mendanai belanja. Indikator kemampuan mendanai belanja daerah
dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Kemampuan Mendanai Belanja Daerah = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
Rasio agregat Kepri (103,47 persen) yang berada di atas 100% menunjukkan
bahwa Kepri sudah mampu mendanai seluruh belanjanya. Dibandingkan dengan rasio
nasional (99,95 persen), Rasio agregat Kepri juga menunjukkan bahwa kemampuannya
dalam mendanai belanja berada di atas rata-rata nasional.
Gambar III-11 Indikator Kemampuan Mendanai Belanja Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)
3.7.2.6 Indikator VI (Belanja Modal)
Indikator belanja modal merupakan salah satu ukuran kualitas belanja daerah.
Porsi belanja modal yang besar diharapkan akan memberikan dampak yang positif bagi
pertumbuhan ekonomi di daerah dan pada akhirnya meningkatkan juga potensi
penerimaan. Semakin besar rasio, semakin baik kinerja suatu daerah dalam
memprioritaskan alokasi belanja modal dalam struktur anggarannya. Indikator belanja
modal daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Belanja Modal = 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Rasio agregat Kepri baru mencapai 18,78 persen, terpaut hingga 605 basis poin
dibandingkan rata-rata nasional (24,83 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa
Pemda Kepri masih kurang efektif dalam mengalokasikan anggarannya untuk belanja
modal.
Dikaitkan dengan kebijakan penguatan desentralisasi dari pemerintah pusat,
Hal ini mengindikasikan terjadinya kesalahpahaman dalam menangkap maksud dari
tingginya dana transfer adalah untuk digunakan pada belanja infrastruktur.
Gambar III-12 Indikator Belanja Modal Daerah di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)
99,95%
103,47%
99,29%
117,77%
96,54%
101,11%
110,54%
112,27%
102,94%102,80%
Ak.Nasional
Ak.Prov/Kab./Kota
Pemprov.Kep.Riau
Pemkab.Bintan
Pemkab.Karimun
Pemkab.Natuna
Pemkab.Lingga
Pemkab.Kep.Anambas
Pemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
24,83%18,78%
15,15%19,93%
16,49%21,94%
14,65%19,74%
25,03%17,10%
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
“Kapasitas pendanaan belanja Kepri lebih
baik dari nasional”
“Alokasi belanja modal di Kepri
kurang optimal”
“Pengalihan fiskal dari pusat ke daerah disertai rendahnya alokasi belanja infrastruktur daerah akan menghambat pembangunan daerah”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 57
3.7.2.7 Indikator VII (Belanja Pegawai Tidak Langsung)
Semakin rendah rasio belanja pegawai tidak langsung, semakin besar porsi
APBD yang dapat dialokasikan untuk belanja produktif dan semakin rendah beban non-
discretionary bagi APBD. Indikator belanja pegawai tidak langsung dihitung
berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung = 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑒𝑔𝑎𝑤𝑎𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Rasio agregat Kepri sebesar 30,08 persen lebih rendah dibandingkan rasio rata-
rata nasional (33,82 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pengalokasian
belanja pegawai tidak langsung di Kepri lebih efisien dari nasional.
Gambar III-13 Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)
3.7.2.8 Indikator VIII (Optimalisasi SiLPA)
Indikator optimalisasi SiLPA digunakan untuk mengukur penggunaan SiLPA.
Semakin besar rasio optimalisasi SiLPA, semakin besar kemampuan pengoptimalan
SiLPA. Indikator optimalisasi SiLPA dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Indikator optimalisasi SiLPA = 𝑆𝑖𝐿𝑃𝐴 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Rasio agregat lingkup Provinsi Kepulauan Riau hanya mencapai 5,42 persen
dibandingkan dengan rasio agregat APBD seluruh Indonesia (7,89 persen). Hal tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat optimalisasi di Kepri masih jauh di bawah rata-
rata nasional. Namun demikian, dengan semakin berkurangnya dana transfer yang
bersifat non-mandatory di tahun 2017 seperti DBH, Kabupaten Bintan, Natuna, Lingga,
dan Kepulauan Anambas memiliki rasio yang lebih tinggi dari pada rasio nasional
menunjukkan bahwa Pemda memaksimalkan SiLPA yang tersedia.
Gambar III-14 Indikator Optimalisasi SiLPA Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)
33,82%
30,08%
18,26%
43,62%
32,57%
24,90%
36,91%
28,30%
33,71%
47,94%
Ak.Nasional
Ak.Prov/Kab./Kota
Pemprov.Kep.Riau
Pemkab.Bintan
Pemkab.Karimun
Pemkab.Natuna
Pemkab.Lingga
Pemkab.Kep.Anambas
Pemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
7,89%5,42%
0,00%14,00%
0,00%12,58%
10,96%12,65%
5,99%2,06%
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
“Alokasi belanja pegawai di Kepri relatif lebih efisien”
“Penggunaan SiLPA di Kepri
sudah optimal”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 58
3.7.2.9 Indikator IX (Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah)
Indikator kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga daerah
menunjukkan porsi pendapatan daerah yang digunakan untuk membayar pokok
pinjaman beserta bunganya dalam satu periode. Semakin kecil rasionya maka daerah
semakin tinggi jaminan pengembalian utang dari suatu pemda. Indikator kemampuan
pembayaran pokok hutang dan bunga daerah dihitung berdasarkan formula berikut:
Kemampuan Pembayaran Pokok & Bunga Hutang = 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑦𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑜𝑘𝑜𝑘 ℎ𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Kuatnya kapasitas fiskal menyebabkan tidak adanya pengambilan pinjaman
oleh Pemda di lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Rasio yang sangat rendah tersebut
dapat diartikan bahwa kemampuan Pemda lingkup Provinsi Kepulauan Riau untuk
membayar utangnya (apabila dilakukan peminjaman) sangat tinggi.
Gambar III-15 Indikator Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)
3.7.2.10 Gambaran Tingkat Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi
Kepulauan Riau
Berdasarkan indikator-indikator kesehatan keuangan daerah (sembilan
indikator di atas) tersebut, Hasil penilaian dengan memberikan pembobotan terhadap
setiap pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
Tabel III-16 Rekapitulasi Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau Rekapitulasi Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
Indikator I 1 3 2 4 3 4 1 2
Indikator II 4 3 4 1 1 1 4 2
Indikator III 2 2 3 2 2 3 3 3
Indikator IV 2 4 4 1 2 1 3 3
Indikator V 1 4 1 2 3 3 2 2
Indikator VI 2 3 2 3 2 3 3 2
Indikator VII 3 2 3 3 2 3 2 2
Indikator VIII 1 4 1 3 3 3 2 1
Indikator IX 4 4 4 4 4 4 4 4
Total Skor 20 29 24 23 22 25 24 21 Sumber: KFR Provinsi Kepulauan Riau 2017
Dari skor agregat tersebut terlihat bahwa pada tahun 2017 Pemerintah
Kabupaten Bintan merupakan Pemda dengan tingkat kesehatan keuangan paling baik
di Kepri. Hal tersebut menggeser Pemko Batam ke peringkat ketiga sebagai pemda
dengan kesehatan keuangan terbaik di tahun 2016. Hal ini sejalan dengan konsentrasi
Pemkab Bintan untuk memperbaiki ekonomi Kabupaten Bintan dengan menjaring lebih
0,32%0,00%0,00%0,00%0,00%0,00%0,00%0,00%0,00%0,00%
Ak.NasionalAk.Prov/Kab./KotaPemprov.Kep.Riau
Pemkab.BintanPemkab.KarimunPemkab.NatunaPemkab.Lingga
Pemkab.Kep.AnambasPemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
“Pelunasan utang Pemda di Kepri
terjamin”
“Membaiknya Kondisi Bintan didorong kebijakan pembiayaan bagi
UMKM Bintan”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 59
banyak sektor UMKM untuk mendapatkan pembiayaan dari KUR. Selain itu,
sumbangan PAD Kabupaten Bintan ditunjang dari sektor sektor pariwisata di daerah
Lagoy dan Trikora.
Pada posisi terakhir, Pemda dengan skor terendah adalah Pemprov Kepri
dengan skor 20 poin. Peringkat Pemprov Kepri pada posisi terakhir tersebut disebabkan
oleh karakteristik Pemda yang sebagian besar ekonomi dan pendapatannya (melalui
Dana Bagi Hasil) disumbang dari sektor migas. Sektor migas sendiri merupakan sektor
yang kurang dapat diandalkan dalam jangka panjang karena adanya risiko volatilitas
harga dan deplesi cadangan sumber daya alam.
Gambar III-16 Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: KFR Provinsi Kepulauan Riau 2017
2029
2423
2225
2421
Pemerintah Provinsi
Pemkab.Bintan
Pemkab.Karimun
Pemkab.Natuna
Pemkab.Lingga
Pemkab.Kep.Anambas
Pemko.Batam
Pemko.Tanjungpinang
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 61
BAB IV PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN ANGGARAN
KONSOLIDASIAN (APBN DAN APBD)
4.1 Laporan Keuangan Pemerintah Konsolidasian
Total pendapatan negara di tahun 2017 mencapai Rp18,39 triliun. Dibandingkan
dengan pendapatan pada tahun 2016, di tahun pendapatan tahun 2017 turun tipis (-
1,64 persen) dibandingkan pada tahun 2016. Penurunan tersebut didorong oleh
turunnya penerimaan transfer ke daerah pada sebesar -0,23 persen.
Tabel IV-1 Realisasi Konsolidasian Lingkup Provinsi Kepulauan Riau TA 2017 (dalam miliar rupiah) Realisasi Konsolidasian Lingkup Provinsi Kepulauan Riau tahun anggaran 2017 (dalam miliaran rupiah)
Uraian 2017 2016
Pusat Daerah Konsolidasi Δ (%) Konsolidasi
Pendapatan Negara 7.425,60 10.969,19 18.394,79 -1,64% 18.700,79
Pendapatan Perpajakan 6.035,8 2.247,9 8.283,72 0,42% 8.249,46
Pendapatan Bukan Pajak 1.381,6 1.228,8 2.610,33 -10,51% 2.917,02
Hibah 8,2 - 8,24 -66,53% 24,62
Transfer*) - 7.492,5 7.492,49 -0,23% 7.509,69
Belanja Negara 13.055,0 11.180,2 24.235,2 3,22% 23.478,1
Belanja Pemerintah 5.562,4 10.197,6 15.760,07 7,51% 14.658,48
Transfer*) 7.492,6 982,5 8.475,12 -3,91% 8.819,58
Surplus/(Defisit) - 5.629,4 - 211,0 - 5.840,4 22,25% - 4.777,3
Pembiayaan - 614,5 614,5 422,59% 117,6
Penerimaan Pembiayaan Daerah - 606,7 606,69 550,60% 93,25
Pengeluaran Pembiayaan Daerah - 7,8 7,80 -67,95% 24,33
Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran - 5.629,4 - 825,5 - 6.454,9 31,87% - 4.894,9 *) Pendapatan Transfer dieleminisasi dengan Pengeluaran Transfer ; Sumber: Kemenkeu dan Pemda (diolah)
Total belanja tahun 2017 mencapai Rp24,91 triliun. Dibandingkan dengan
belanja negara pada tahun 2016, terdapat kenaikan realisasi belanja negara sebesar
6,12 persen. Kenaikan belanja negara pada tahun 2017 secara dominan didorong oleh
kenaikan belanja pemerintah (porsi terhadap belanja negara 63,26 persen) sebesar
7,51 persen. Namun demikian, kebijakan belanja pemerintah yang cenderung ekspansif
di tahun 2017 tidak didukung oleh peningkatan penerimaan daerah di tahun 2017
sehingga terjadi peningkatan defisit di tahun 2017 sebesar 36,48 persen.
“Realisasi penerimaan mencapai Rp7,43 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp13,06 triliun. Dari nilai tersebut, defisit
cash flow mencapai Rp5,63 triliun atau -43,14 persen dari total belanja, meningkat 299 basis poin dari defisit -40,15 persen di
tahun 2016.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 62
4.2 Pendapatan Konsolidasian
Komposisi pendapatan pemerintah di tahun
2017 tidak berbeda dengan tahun 2016.
Pendapatan konsolidasian Kepri di tahun 2017
masih didominasi oleh pendapatan dari Pemerintah
Daerah. Pada tahun 2017, kontribusi pendapatan
Pemda meningkat 30 basis poin dibandingkan
tahun 2016. Sementara itu, kontribusi pendapatan
pemerintah pusat mengalami turun 194 basis poin
dibandingkan pada tahun 2016. Kondisi
perekonomian yang cenderung kurang kondusif di
tahun 2017 mempengaruhi perkembangan realisasi
pendapatan Kepri di tahun 2017 sehingga secara
agregat pendapatan cenderung stagnan meskipun
mengalami penurunan -0,11 persen.
Berdasarkan klasifikasi penerimaan
konsolidasian, kontributor penerimaan negara
terbesar adalah penerimaan PPh yang mencapai
43,23 persen. Sementara itu, kontributor tertinggi
kedua adalah penerimaan pajak daerah yang
mencapai 21,85 persen. Masa tax amnesty yang
dimulai semenjak tahun 2016 diduga sebagai salah
satu pendorong penerimaan pajak terutama
pembayaran tebusan yang masuk melalui akun
PPh Non Migas lainnya. Namun demikian,
penerimaan
Sementara itu, capaian realisasi pada
tahun 2017 yang terendah terdapat pada sektor
PPh yang hanya mencapai 67,86 persen.
Diharapkan PPh pada tahun 2018 akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya basis pajak selepas
masa tax amnesty.
4.2.1 Sensitivitas Pendapatan Konsolidasian Kepri
Fase rebound pertumbuhan ekonomi Kepri yang diharapkan segera muncul
untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi Kepri mulai muncul di akhir tahun 2017. Dan
diharapkan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan kontribusi pemerintah
41,64% 39,71%
58,36% 58,66%
0,00
10,00
20,00
2016 2017
Tril
iun
rupi
ah
Pendapatan Konsolidasian(dalam miliar rupiah)
Pendapatan Pempus Pendapatan Pemda
PPh40,82%
PPN9,41%
Pajak Lain
5,18%
PNBP12,68%
Pajak Daerah20,63%
Retribusi1,10%
lainnya10,18%
Komposisi Realisasi Penerimaan Konsolidasian tanpa transfer
Gambar IV-1 Pendapatan Konsolidasian Kepri
Sumber: OMSPAN, Monev PA, Pemda (diolah)
PPh Non Migas
97,87% PPN 99,52% Bea
Masuk 75,27%
Pajak Daerah 64,66%
DAU 53,88%
PPNBM 0,48% Cukai, PBB,
& Pajak Lainnya24,73%
PNBP Lainnya 30,99%
Retribusi3,44%
DBH SDA 24,67%
Lainnya 17,45%
DAK 17,76%
PPh PPN Pajak Lain PNBP PAD Transfer
67,86%
96,03% 92,68%
78,35%
95,22%87,61%
PPh PPN PNBP Pem.Pusat
Pemda Agregat
Gambar IV-2 Porsi dan Realisasi Pendapatan Kepri
Sumber: OMSPAN, Monev PA, Pemda (diolah)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 63
terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah mencapai 10,84 persen (yoy) di akhir tahun
2017.
Berdasarkan hasil uji sensitivitas
pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
penerimaan pemerintah pusat pada bab II
ditemukan hasil positif bahwa melambatnya
pertumbuhan ekonomi mempengaruhi turunnya
penerimaan perpajakan. Namun demikian,
ditemukan hasil negatif bahwa melambatnya
pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada
turunnya pendapatan perpajakan
konsolidasian. Berdasarkan hasil uji sensitivitas pendapatan konsilidasian ditemukan
bahwa 1 persen perlambatan ekonomi akan menambah penerimaan perpajakan
konsolidasian sebesar 3,3002 persen. Sementara itu, 1 persen perlambatan ekonomi
akan berpengaruh pada turunnya penerimaan non perpajakan sebesar 7,9402 persen.
4.3 Belanja Konsolidasian
Komposisi belanja konsolidasian Kepri di
tahun 2017 berkebalikan dengan komposisi
pendapatan konsolidasian 2017. Kontributor
tertinggi dalam belanja konsolidasian adalah
belanja pemerintah pusat baik di tahun 2017
maupun di tahun 2016. Baik dari sisi absolut
maupun persentase, belanja pemerintah pusat
memiliki kontribusi terbesar dengan tren yang
terus meningkat. Namun demikian, belanja
pemerintah daerah pada tahun 2017 telah
menyerap lebih banyak SiLPA dibandingkan pada
tahun 2016. Hal ini mengindikasikan, meskipun
belanja pemerintah daerah lebih kecil
dibandingkan belanja pemerintah pusat, namun
kebijakan ekspansif yang dilaksanakan di tahun
2017 dinilai lebih efisien dengan memanfaatkan
pendanaan dari SiLPA tahun-tahun sebelumnya.
Gambar IV-3 Scatter Plot Sensitivitas Pendapatan Konsilidasian di Kepri
Sumber: BPS Kepri dan Kemenkeu (Diolah)
y = 7,9402x + 0,2085
y = -3,3002x - 0,0528
-35%
-15%
5%
25%
45%
-1,0% -0,9% -0,8% -0,7% -0,6% -0,5%
ΔP
eru
bah
an P
ener
imaa
n
Δ Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
Non Perpajakan Perpajakan
55,41% 58,50%
44.59% 47,62%
0,00
10,00
20,00
30,00
2016 2017
Tril
iun
rupi
ah
Belanja Konsolidasian(dalam miliar rupiah)
Belanja Pempus Belanja Pemda
Pegawai28,19%
Barang40,88%
Modal21,63%
Bansos0,17%
Lain-lain9,13%
Komposisi Realisasi Belanja Konsolidasian tanpa transfer
Gambar IV-4 Belanja Konsolidasian Kepri
Sumber: OMSPAN, Monev PA, Pemda (diolah)
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 64
Dari segi komposisinya, realisasi
belanja konsolidasian masih didominasi oleh
belanja yang bersifat konsumtif. Komposisi
belanja barang dan belanja pegawai yang
masing-masing porsinya sebesar 40,88 persen
dan 28,19 persen jauh lebih tinggi dibandingkan belanja modal sebesar 21,63 persen.
Namun diharapkan, pada tahun anggaran berikutnya pada tahun 2018 komposisi
belanja modal akan semakin dominan mengingat kebutuhan Kepri akan infrastruktur
khususnya interkoneksi antar wilayah.
Dari sisi capaian belanja pemerintah di tahun 2017, yang terendah adalah
Belanja Bansos dengan capaian sebesar 72,71 persen. Namun apabila sembari
memperhatikan porsinya terhadap total belanja konsolidasian, maka pemerintah pusat
dan daerah harus bekerja sama untuk mendorong kontribusi pemerintah terhadap
pembangunan di Kepri. Hal ini sejalan dengan capaian realisasi belanja modal baik
pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang tidak mencapai 90 persen.
4.4 Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kesejahteraan Regional
Peningkatan anggaran tidak sejalan dengan perbaikan indikator kesejahteraan
terutama pada jumlah penduduk miskin yang terus meningkat. Ketidaklinearan tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan anggaran yang digunakan oleh pemerintah tidak
serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilihat dari sisi kesenjangan,
penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pembangunan manusia, dan
pengentasan kemiskinan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa implementasi program
pemerintah di lapangan belum efektif. Untuk itu, pemerintah perlu mengevaluasi
efektifitas setiap program dan kegiatan mengingat opportunity cost yang ditimbulkan
dari permasalahan ini akan terus terakumulasi dari tahun ke tahun, khususnya
mengingat sebagian belanja negara dibiayai dari hutang
Gambar IV-6 Komparasi Perkembangan Kesejahteraan dan Fiskal di Kepri
-10,00%
0,00%
10,00%
-40,00%
-20,00%
0,00%
20,00%
40,00%
2014 2015 2016 2017
Belanja APBN & APBD (LHS) Penerimaan APBN & APBD (LHS) Gini Ratio (LHS)
Penganggur (LHS) PDRB (RHS) Inflasi (RHS)
IPM (RHS) Orang Miskin (RHS)
93,77%89,17% 86,34%
72,71%97,42%99,28%93,00%
Pegawai Barang Modal Bansos Lain-lainTransfer Agregat
Sumber: OMSPAN, Monev PA, Pemda (diolah)
Gambar IV-5 Capaian Belanja Konsolidasian
Sumber: OMSPAN, Monev PA, Pemda, BPS (diolah)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 65
BAB V KEUNGGULAN DAN POTENSI EKONOMI SERTA TANTANGAN
REGIONAL
5.1 SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU BERDASARKAN ANALISIS LQ, MRP, DAN SS-EM
BPS Provinsi Kepulauan Riau (2016) membuat kajian penentuan sektor
ekonomi potensial di Kepri yang dapat digunakan dalam penentuan strategi
menghadapi pasar bebas terutama sebagai kawasan berikat BBK (Batam, Bintan, dan
Karimun). Alat analisis yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ), analisis
Model Rasio Pertumbuhan (MRP), analisis Shift-Share Modifikasi Esteban Marquillas
(SS-EM), dan analisis Overlay.
Analisis LQ mengidentifikasi keunggulan komparatif suatu sektor di Provinsi
Kepulauan Riau terhadap Nasiona. Analisis MRP melihat potensi sektor ekonomi
berdasarkan kriteria rasio pertumbuhan. Analisis SS-EM mengidentifikasi keunggulan
kompetitif dari suatu sektor dalam suatu wilayah. Analisis Shift Share menggambarkan
kinerja sektor ekonomi dengan menambahkan pengukuran pengaruh spesialisasi
perekonomian wilayah.
Empat analisis tersebut digabungkan dalam analisis overlay sehingga
identifikasi sektor dan sub sektor ekonomi potensial menjadi lebih komprehensif dengan
melihat dari sisi pertumbuhan, keunggulan komparatif, spesialisasi dan keunggulan
kompetitif. Analisis dilakukan menggunakan PDRB Kepri dan PDB Indonesia yang
dibagi berdasarkan sektor dan sub sektor dengan periode observasi tahun 2009-2015.
Tabel V-1 Hasil Analisis Potensi Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2009-2015 Hasil Analisis Potensi Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2009-2015
Sektor/Sub Sektor Ekonomi MRP LQ Analisis SS-EM Overlay RPs rij-rin Eij-E*ij 1 2 3 4
1.Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,68 0,30 -0,10 -17.730 - - - - 1.a. Perikanan 0,85 1,19 -0,05 831 - + - +
Provinsi Kepulauan Riau memiliki keunggulan dan potensi tinggi di sektor konstruksi, sektor listrik & gas, dua subsektor industri,
subsektor angkutan laut, dan subsektor penyediaan akomodasi (pariwisata). Selain itu, terdapat potensi yang belum
dioptimalkan dari sektor perikanan.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 66
2.Industri Pengolahan 0,98 2,47 -0,11 16.361 - + - + 2.a.Industri Logam Dasar 1,12 7,85 0,07 5.026 + + + + 2.b.Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik 1,43 10,21 0,13 15.231 + + + + 3.Listrik dan Gas 1,03 1,37 0,64 632 + + + + 4.Konstruksi 1,14 1,96 0,08 7.486 + + + + 5.Transportasi dan Pergudangan 1,10 0,83 0,20 -513 + - + - 5.a.Angkutan Laut 1,31 2,88 0,16 582 + + + + 6. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,36 0,70 0,31 -814 + - + - 6.a.Penyediaan Akomodasi 1,47 1,80 0,80 450 + + + +
Sumber: BPS Kepri, Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Riau Tahun 2016 (disesuaikan dengan fokus pembahasan selanjutnya) Keterangan tabel:
a. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) RPs adalah rasio pertumbuhan suatu sektor/subsektor di Kepri terhadap terhadap pertumbuhan sektor/sub sektor yang sama di Indonesia. RPs>1 berarti laju pertumbuhan sektor/subsektor tersebut di Kepri lebih tinggi dibanding di Indonesia;
b. LQ adalah rasio perbandingan share suatu sektor/subsektor di Kepri dengan share sektor/subsektor yang sama di Indonesia. LQ>1 berarti konsentrasi sektor/subsektor tersebut di Kepri lebih besar dibanding di Indonesia;
c. (rij-rin) adalah selisih laju pertumbuhan sektor/subsektor yang sama di Kepri dengan di Indonesia; d. (Eij-Eij*) adalah perubahan nilai PDRB sektor/subsektor tertentu dari periode awal ke periode akhir analisis di Kepri; e. Jika nilai RPs > 1, maka overlay 1 bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut pertumbuhannya menonjol; f. Jika nilai LQ > 1, maka overlay 2 bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif; g. Jika nilai (rij-rin) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif; h. Jika nilai (Eij-Eij*) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki spesialisasi.
Berdasarkan hasil analisis overlay yang menggabungkan hasil analisis LQ,
MRP, dan SS-EM, dapat disimpulkan bahwa sektor dan subsektor unggulan yang
potensial (memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan spesialisasi)
untuk dikembangkan di Provinsi Kepulauan Riau meliputi:
1. Sektor listrik & gas 2. Sektor konstruksi 3. Subsektor industri logam dasar (sektor industri pengolahan) 4. Subsektor industri komputer, barang elektronik, dan optik (sektor industri pengolahan) 5. sub sektor angkutan laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan) 6. subsektor penyediaan akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum)
Sementara itu, terdapat anomali pada sub sektor perikanan yang seharusnya
potensial namun pertumbuhannya melambat dan berada di bawah pertumbuhan
nasional. Padahal, 95% wilayah Kepri berupa laut, potensi perikanan di Kepri terbesar
di Indonesia (WPP 711), LQ >1, serta terdapat visi kemaritiman di pusat dan daerah.
5.3 SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Berdasarkan analisis overlay pada Sub Bab 5.1, terdapat dua sektor unggulan
yang potensial untuk dikembangkan di Kepri yakni Sektor Listrik & Gas dan Sektor
Konstruksi. Mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) 2015, cakupan
kegiatan ekonomi pada masing-masing sektor tersebut adalah:
1. Sektor listrik dan gas terbagi atas sub kategori ketenagalistrikan dan sub kategori
gas. Ketenagalistrikan mencakup kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi,
serta aktivitas penunjang kelistrikan. Gas mencakup pengadaan dan distribusi gas
alam dan gas buatan.
2. Sektor konstruksi meliputi:
“Terdapat 2 Sektor, dan 4 Subsektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan di Kepri ”
“Terjadi anomali pada sub sektor perikanan yang seharusnya
potensial”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 67
a. Konstruksi gedung (gedung tempat tinggal, perkantoran, industri, perbelanjaan,
kesehatan, pendidikan, penginapan, tempat hiburan, tempat olahraga, tempat
ibadah, terminal/stasiun, bangunan monumental, bangunan bandara, gudang dan
lainnya.)
b. Konstruksi bangunan sipil (jalan dan jalan rel, sistem irigasi, komunikasi dan
limbah, fasilitas industri selain bangunannya, serta konstruksi sungai/kanal,
bendungan dan pelabuhan)
c. Konstruksi khusus (pembongkaran dan penyiapan lahan, instalasi konstruksi,
finishing bangunan, dan konstruksi lainnya yang membutuhkan peralatan atau
keterampilan khusus).
5.3.1 Sektor Listrik dan Gas
Sektor listrik dan gas merupakan sektor unggulan yang potensial untuk
dikembangkan. Pengembangan sektor ini sendiri telah menjadi prioritas pemerintah
sebagaimana dicantumkan pada PP Nomor 14/2015 (Industri Pembangkit Energi) dan
juga pada target peningkatan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW.
Kapasitas Listrik Terpasang lingkup Kepri Berdasarkan Jenis dan Penyedia Energi
Penyedia Energi
Kapasitas ListrikTerpasang Berdasarkan Jenis (dalam MW) PLTUB (Batu Bara)
PLTG (Gas)
PLTGU (Gas)
PLTMG (Gas)
PLTD (Minyak Bumi)
PLTS (Tenaga Surya)
Total
PLN (Produksi) 14,00 - - - 90,58 0,20 104,78 PLN (Sewa) - - - - 89,15 - 89,15 Swasta (IPP) - - - 15,00 2,44 - 17,44 Swasta (PPU) 130,00 255,20 22,00 35,20 243,70 - 686,10 Total 144,00 255,20 22,00 50,20 425,87 0,20 897,47
Sumber: Kementerian ESDM, 2016 (diolah)
Urgensi untuk mengembangkan sektor ini juga terlihat dari rasio elektrifikasi
Kepri yang baru mencapai 73,53%, jauh di bawah rasio elektrifikasi nasional (88,30%).
Bahkan, apabila dibandingkan antar Provinsi, Kepri mendapatkan peringkat ke-7
terbawah untuk rasio elektrifikasi. Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan bahwa
sektor ini memiliki ruang yang sangat luas untuk berkembang karena masih banyak
permintaan yang belum terpenuhi. Di sisi lain, hal tersebut dapat berakibat negatif
terhadap iklim investasi karena listrik sebagai infrastruktur dasar sangat dibutuhkan.
Dilihat dari jenis pembangkit listriknya, Kepri masih banyak menggunakan
pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dan minyak bumi dalam memenuhi
kebutuhan masyarakatnya. Padahal Provinsi Kepulauan Riau memiliki dua jenis sumber
daya alam lokal yang dapat menjadi alternatif.
Alternatif yang pertama adalah gas dimana hampir setengah dari cadangan gas
yang sudah ditemukan di Indonesia berada di di Kabupaten Natuna dan Kabupaten
Kepulauan Anambas. Selama ini, sebagian besar pemanfaatan gas di Natuna baru
Tabel V-2 Kapasitas Listrik Terpasang lingkup Kepri Berdasarkan Jenis dan Penyedia Energi
“Rasio elektrifikasi Kepri (peringkat 7 terbawah) beresiko menurunkan iklim
investasi”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 68
berupa ekspor. Apabila pemerintah memilih pembangkit listrik tenaga gas untuk
pengembangan berikutnya, Kepri dapat mengurangi ketergantungan akan pasokan
sumber energi dari wilayah lain dan berpotensi untuk meningkatkan efisiensi. Selain itu,
apabila pasokan cadangan sumber energi melimpah, maka perencanaan
pembangunan pembangkit listrik barupun akan lebih feasible. Tentunya pemerintah
harus terlebih dahulu bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang
mengekstraksi gas untuk dapat memanfaatkan keberlimpahan gas tersebut.
Alternatif kedua adalah pemanfaatan tenaga surya karena lokasi yang
berdekatan dengan garis khatulistiwa. Dikaitkan dengan ciri kepulauan, potensi yang
lebih besar lagi timbul dari kemungkinan efisiensi biaya yang dapat diciptakan dari
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Dengan kondisi geografis kepulauan yang
terpisah lautan satu sama lainnya, pembangkit listrik yang memiliki skala ekonomi besar
membutuhkan biaya ekstra untuk pembangunan jaringan penyambung listrik antar
pulau. Di sisi lain, PLTS dapat dibangun secara kecil-kecilan dan tidak perlu tersambung
ke jaringan luas, sehingga PLTS sebagai alternatif akan memotong biaya pembangunan
jaringan yang membebani daerah kepulauan. Permasalahan tersebut juga merupakan
salah satu penyebab rendahnya rasio elektrifikasi Kepri. Dengan begitu, komitmen
pemerintah dalam pengembangan penggunaan PLTS juga berpotensi membantu
meningkatkan rasio elektrifikasi yang dalam RPJMD ditargetkan dapat mencapai 86%
di tahun 2017.
Dalam skala nasional, pemilihan PLTS sebagai alternatif juga dapat membantu
negara Indonesia dalam mencapai target diversifikasi sumber energi listrik dimana porsi
New and Renewable Energy (NRE) atau energi baru dan terbarukan harus mencapai
25,9% pada tahun 2025, 30,9% pada tahun 2030, dan 39,5% pada tahun 2050.
5.3.2 Sektor Konstruksi
Kinerja sektor
konstruksi yang unggul di
Provinsi Kepulauan Riau
sejalan dengan porsi
komponen Pembentukan
Modal Tetap Bruto (PMTB)
yang dominan pada PDRB
Provinsi Kepri dimana porsi
tersebut mencapai 42,36% di tahun 2016.
Berdasarkan bidangnya, konstruksi bangunan sipil mengalami kenaikan nominal
terbesar (Rp.0,84 triliun) dalam periode tahun 2013-2015. Kenaikan tersebut sejalan
Gambar V-1 Nilai Konstruksi Menurut Bidang dan Perkembangan Alokasi Infrastruktur (Rp. Triliun)
Sumber: Monev PA DJPBN & BPS Provinsi Kepulauan Riau, Statistik Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016 (diolah)
3,27 3,60 3,693,954,52 4,79
0,94 1,09 1,17
1,07 1,111,72
2013 2014 2015
-2,00-1,80-1,60-1,40-1,20-1,00-0,80-0,60-0,40-0,200,000,200,400,600,801,001,201,401,601,802,00
0,00
5,00Gedung
Sipil
Khusus
Infrastruktur
“Kinerja sektor konstruksi sejalan dengan porsi
komponen PMTB”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 69
dengan pagu infrastruktur APBN yang meningkat Rp0,65 triliun pada periode yang
sama. Berdasarkan proporsinya bidang bangunan sipil mendominasi dengan porsi
49,64% disusul oleh bidang bangunan gedung dengan porsi 38,24%.
Berkembangnya konstruksi bidang sipil yang sebagian besar didorong oleh
belanja infrastruktur pemerintah berpotensi menciptakan iklim investasi yang kondusif
dan menarik investasi asing (FDI). Konstruksi sipil juga menjadi kunci dalam
memaksimalkan peluang dari jalur perdagangan internasional, memitigasi kelemahan
interkoneksi wilayah kepulauan dan memenangkan persaingan dengan negara
tetangga dalam mendatangkan investasi
Berdasarkan indeks dari
Political and Economic Risk
Consultancy (PERC), infrastruktur di
Kepri, khususnya di Kota Batam (pusat
industri provinsi), telah memiliki
infrastruktur fisik yang lebih baik dari
negara-negara ASEAN yang menjadi
kompetitornya (Thailand, Filipina, dan Vietnam). Bahkan, Kota Batam dengan nilai 5,69,
berada jauh di atas rata-rata nasional dengan nilai 2,59.
Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan komitmen pemerintah akan
pembangunan infrastruktur industri yang terintegrasi di Kepri dan menjadi daya tarik
bagi investor asing. Namun, seiring dengan semakin ketatnya kompetisi antar negara
ASEAN, pemerintah harus menjaga prioritas pada sektor konstruksi bangunan sipil.
Skema pembiayaan seperti Public-Private Partnership (PPP) dan Pembiayaan
Infrastruktur Non Anggaran (PINA) harus dioptimalkan untuk mempercepat stimulus
tanpa harus menunggu ketersediaan fiskal yang terbatas.
5.4 SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Terdapat empat subsektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan di
Kepri yakni Subsektor industri logam dasar, Subsektor industri barang dari logam,
komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik, subsektor angkutan laut, dan
subsektor penyediaan akomodasi. Mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha
Indonesia (KLBI) 2015, cakupan kegiatan ekonomi pada masing-masing subsektor
tersebut adalah:
1. Subsektor industri logam dasar yang meliputi kegiatan pengolahan logam dasar
besi dan baja, logam dasar mulia, dan logam dasar bukan besi lainnya,
Gambar V-2 Indeks Infrastruktur Fisik
Sumber: Political and Economic Risk Consultancy (diolah)
9.486.05 5.69 5.29
3.73 3.55 2.85 2.59
“Konstruksi bidang sipil meningkatkan
iklim investasi”
“PPP dan PINA berpotensi membantu memenangkan kompetisi menarik
investasi”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 70
2. Subsektor industri komputer, barang elektronik, dan optik meliputi kegiatan
pembuatan computer, perlengkapan computer, peralatan komunikasi, dan barang-
barang elektronik sejenis beserta komponennya.
3. Subsektor angkutan laut meliputi usaha pengangkutan penumpang atau barang
pada kapal, termasuk angkutan penarik atau pendorong tongkang, kapal minyak,
dan kapal angkutan lainnya.
4. Subsektor penyediaan akomodasi meliputi penyediaan akomodasi jangka pendek
(hotel, losmen, hostel, villa, bungalo, dan penginapan lainnya), dan penyediaan
akomodasi untuk jangka yang lebih lama (kamar atau asrama untuk pelajar, pekerja
musiman dan sejenisnya).
5.4.1. Subsektor Industri Logam Dasar (Sektor Industri Pengolahan)
Industri yang memproduksi komoditas hasil pemrosesan seperti besi baja,
alumunium, tembaga, nikel, dan lain sebagainya ini merupakan industri yang sangat
berpotensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya mengingat Indonesia saat ini masih
banyak mengekspor bahan mineral mentah untuk industri tersebut.
Dengan mempertimbangkan keadaan sumber daya mineral di Indonesia yang
berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, serta pemanfaatannya yang
selama ini masih dalam ekspor bahan mentah, letak Kepri di pintu gerbang
perdagangan internasional dapat dimanfaatkan untuk dijadikan pusat industri logam
dasar.
Pemusatan industri logam dasar di Kepri yang berada di jalur perdagangan
internasional akan mempercepat proses ekspor sehingga biaya logistik dapat ditekan
dan hasil produksi semakin kompetitif. Pemerintah dapat membantu pembentukan
pusat industri logam dasar tersebut dengan memberikan fasilitas tax holiday khusus
untuk perusahaan yang bergerak di bidang industri logam dasar. Selain itu, pemerintah
juga dapat merancang PPP untuk membangun kawasan industri khusus. Alternatif
lainnya, rencana pembentukan KEK Batam dengan bentuk enclave dapat dimanfaatkan
untuk mendedikasikan salah satu enclave menjadi pusat industri logam dasar
5.4.2. Subsektor Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik (Sektor
Industri Pengolahan)
Subsektor dengan tingkat teknologi menengah-tinggi ini berpotensi untuk
menciptakan nilai tambah yang besar dan transfer knowledge apabila pemrosesan dari
hulu ke hilir dapat dilakukan di Indonesia.
Untuk pengembangannya, pemerintah dapat mengadopsi konsep Sillicon Valley
dimana industri IT terpusat dalam satu kawasan. Pemusatan tersebut telah berhasil
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 71
menciptakan skala ekonomi yang besar, mobilisasi tenaga kerja yang efisien, dan
kompetisi yang sehat, sehingga industri IT dapat berkembang pesat.
Adanya kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai Free Trade Zone atau KEK
nantinya dapat dicanangkan untuk pusat industri IT tersebut. Untuk merealisasikannya,
hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah antara lain:
Untuk pengembangannya, pemerintah dapat mengadopsi konsep Sillicon Valley
dimana industri IT terpusat dalam satu kawasan. Pemusatan tersebut telah berhasil
menciptakan skala ekonomi yang besar, mobilisasi tenaga kerja yang efisien, dan
kompetisi yang sehat, sehingga industri IT dapat berkembang pesat.
Adanya kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai Free Trade Zone atau KEK
nantinya dapat dicanangkan untuk pusat industri IT tersebut. Untuk merealisasikannya,
hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah antara lain:
1. Kementerian Keuangan memberikan tax holiday bagi perusahaan IT yang bersedia
berinvestasi dalam skala besar di Kawasan Ekonomi Khusus IT.
2. Pemerintah Daerah membentuk Technology Center seperti Bandung Techno Park
di Kawasan Ekonomi Khusus IT.
3. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atau universitas setempat
mengarahkan akademisi, mahasiswa, maupun lulusan universitas dengan basis
keilmuan di bidang IT untuk menjalankan risetnya di Technology Center.
4. Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja setempat
mengembangkan pelatihan-pelatihan yang bertema IT.
5. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Penanaman Modal
Daerah (BPMD) bersikap proaktif dengan membuat proposal untuk menggaet
kerjasama dari perusahaan ICT ternama dalam membentuk PPP seperti yang telah
dilakukan oleh Investment Promotion Agency (IPA) Costa Rica dengan Intel.
Dikaitkan dengan tren ekspor impor
barang Information and Communication
Technology (ICT).di Indonesia, tren porsi
impor ICT terus menaik sementara tren
porsi ekspor ICT terus menurun. Hal
tersebut menunjukkan bahwa basis industri
ICT di Indonesia belum baik tren
penggunaan barang-barang berteknologi tinggi terus meningkat. Akibatnya, Indonesia
beresiko menjadi ketergantungan pada pasokan impor barang-barang berteknologi
tinggi. Oleh karena itu, industri ICT memiliki urgensi tersendiri untuk lebih diprioritaskan
dibandingkan industri-industri lainnya.
Gambar V-3 Perbandingan Ekspor/Impor ICT terhadap total Ekspor/Impor Indonesia
Sumber: World Bank (diolah)
9,315%
3,615%3,515%
7,093%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ekspor ImporExpon. (Ekspor) Expon. (Impor)
“Ketergantungan pada impor di Indonesia ICT
meningkat”
“Resiliensi jangka panjang menjadikan prospek industri
ICT sangat cerah”
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 72
Adapun apabila dilihat dari karakteristiknya, di tengah-tengah ketidakstabilan
perekonomian global, industri ICT cenderung lebih resilien karena karakteristiknya yang
selalu berkembang mengikuti kebutuhan barang berteknologi yang terus menignkat.
Oleh karena itu, prospek jangka panjang dari industri ICT sangat baik khususnya bila
dibandingkan industri-industri lain seperti industri berbasis komoditas yang rawan
terkena dampak perubahan teknologi.
5.4.3. Subsektor Angkutan Laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan)
Pada dasarnya, pertumbuhan di subsektor angkutan laut bergantung dari arus
barang dan penumpang antar atau di dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Arus
barang dan penumpang sendiri lebih banyak ditentukan oleh kinerja dari sektor atau
sub sektor lainnya sedangkan fungsi dari sub sektor angkutan laut adalah sebagai
pendukung dari sektor atau sub sektor lain tersebut. Sektor atau sub sektor yang sangat
mempengaruhi sub sektor angkutan lautnya diantaranya, namun tidak terbatas pada
sektor industri pengolahan, sektor pariwisata dan penyediaan infrastruktur pelabuhan.
Kepri yang bercirikan kepulauan, berada di jalur perdagangan internasional,
memiliki pariwisata yang potensial, dan merupakan wilayah industri pengolahan
seyogyanya memiliki sub sektor angkutan laut yang kuat. Namun, demikian
keterjangkauan biaya logistik di Kepri masih terbatas pada wilayah empat (Batam,
Bintang, Karimun, Tanjungpinang) dari delapan Kabupaten/Kota di Kepri. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak sekali potensi yang belum digali dari sub sektor
angkutan laut di Provinsi Kepulauan Riau.
Akan tetapi, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah sebaiknya
berfokus pada hal-hal di luar industri angkutan laut itu sendiri yakni penguatan industri
pengolahan, pariwisata, serta pembangunan infrastruktur pelabuhan yang kompetitif.
Untuk sub sektor angkutan laut sendiri, pemberlakuan kebijakan cabotage yang
mengharuskan pengangkutan jalur laut domestik untuk dikerjakan perusahaan
pelayaran Indonesia sudah cukup membantu pertumbuhannya.
5.4.4. Subsektor Penyediaan Akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan
Makan Minum)
Sejalan dengan pertumbuhan pesat sub sektor penyediaan akomodasi,
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Kepri terus meningkat dengan rata-
rata peningkatan pada periode tahun 2012-2014 sebesar 5,67%. Sementara itu, pada
periode yang sama, Provinsi Bali sebagai destinasi utama wisman dan benchmark
pariwisata di Indonesia mencatatkan rata-rata peningkatan sebesar 13,02%. Mengingat
utilisasi daerah pariwisata di Provinsi Kepulauan Riau baru terkonsentrasi di pulau
Batam dan Bintan, dapat disimpulkan bahwa dengan pembangunan infrastruktur dan
“Subsektor angkutan laut bersifat supporting dan interdependen dengan sektor
lain”
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 73
promosi pariwisata yang tepat sasaran, sub sektor penyediaan akomodasi di Provinsi
Kepulauan Riau dapat bertumbuh lebih cepat lagi bahkan mungkin menyaingi
pertumbuhan di Provinsi Bali.
Dalam konteks menciptakan
promosi pariwisata yang efektif dan
efisien, pada dasarnya sektor
pariwisata memiliki keterbatasan
pasar dimana walaupun jumlah
wisman terus bertambah seiring
dengan bertumbuhnya
perekonomian dunia, akan tetapi
masing-masing wisman memiliki
waktu yang terbatas. Ketika
seorang wisman memilih satu destinasi, wisman tersebut tidak dapat mengunjungi
destinasi lainnya yang berjauhan dengan destinasi pilihan. Koordinasi dalam promosi
antara Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Bali dengan melihat perbandingan
kontribusi wisman berdasarkan negara asal di masing-masing provinsi dapat membantu
menciptakan strategi promosi yang efektif dan menghindari opportunity cost bagi satu
sama lainnya. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Bali sebaiknya
memfokuskan promosi pariwisata di negara Australia, RRC, dan Jepang dimana Bali
sudah memiliki keunggulan dan reputasi. Untuk wisman Korea Selatan, Malaysia, dan
India dapat diarahkan ke Kepri.
5.5 Tantangan Fiskal Regional
Keseimbangan fiskal pemerintah pusat di Kepri dilihat dari selisih cash flow
antara realisasi pendapatan dan belanja. Tahun 2017, realisasi penerimaan mencapai
Rp7,43 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp13,06 triliun. Dari nilai tersebut,
defisit cash flow mencapai Rp5,63 triliun atau -43,14 persen dari total belanja,
Gambar V-4 Kontribusi Wisman Berdasarkan Negara di Provinsi Kepulauan Riau dan Bali tahun 2017
Sumber: BPS Bali dan BPS Kepri (diolah)
1.094.974 1.385.85
0
737.494
Australia
RRC
Malaysia
JepangSingapura
India
Korea Selatan
orang (ribuan)
Bali Kepulauan Riau
Belanja Pemerintah Pusat: Rp13,06 t KP+KD+DK+TP+UB: Rp.5,56t
Transfer ke Daerah: Rp.7,49t APBN
Penerimaan: Rp7,43 t PPh: Rp.4,44t
PPN: Rp.1,02t
Pajak Lainnya:Rp.0,05t
PPI: Rp.0,44t
PNBP: Rp.1,38t
Hibah: Rp.0,08t
out flow > in flow defisit Rp5,63t
Provinsi
Kepulauan Riau
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 74
meningkat 299 basis poin dari defisit -40,15 persen di tahun 2016. Defisit tersebut
menjadikan Kepri sebagai penerima cross subsidy dari daerah lain yang mengalami
surplus cash flow.
Fenomena defisit itu sendiri telah terjadi selama beberapa tahun, namun defisit
di tahun 2017 meningkat tajam akibat lonjakan di sisi belanja tidak diiringi dengan
peningkatan di sisi penerimaan. Lonjakan di sisi belanja disebabkan oleh kebijakan
penguatan desentralisasi yang mendorong kenaikan dana transfer. Di sisi penerimaan,
perpajakan yang menjadi andalan sulit untuk meningkat di tengah-tengah perubahan
struktur perekonomian di Kepri. Kepri sendiri merupakan daerah yang mendapatkan
insentif fiskal di Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun berupa pembebasan
beberapa komponen pajak sehingga porsi penerimaan pajak secara relatif memang
tidak dapat sebesar wilayah lainnya.
5.5.1 LINEARITAS PERKEMBANGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN DARI
PERKEMBANGAN FISKAL REGIONAL
Penerimaan pemerintah di Kepri meningkat hingga 0,46% dari Rp.10,91 triliun
di tahun 2016 menjadi Rp.10,96 triliun di tahun 2017. Faktor pertama yang menjadi
pendorong peningkatan penerimaan tersebut adalah penguatan desentralisasi fiskal
yang mendorong penerimaan dana transfer Pemda hingga Rp7,59 triliun. Faktor kedua
adalah optimalisasi penggalian potensi penerimaan pemda yang meningkatkan PAD
hingga Rp.360 miliar.
Di sisi belanja, terjadi peningkatan 11,35% dari Rp.15,85 triliun di tahun 2016
menjadi Rp17,65 triliun di tahun 2017. Dari klasifikasi jenis belanja, kenaikan tersebut
didorong oleh peningkatan belanja pegawai hingga Rp.644,66 miliar dan peningkatan
belanja barang hingga Rp.442,75 miliar. Hal yang perlu diperhatikan adalah
menurunnya realisasi belanja modal hingga -Rp.457,61 miliar, padahal infrastruktur
menjadi prioritas utama pemerintah saat ini dalam mendorong perekonomian nasional.
Dari sisi perkembangan kesejahteraan, perekonomian Kepri menurun 8,21% di
tahun 2017 sebagaimana tercermin juga pada PDRB ADHB yang menurun Rp.17,8
triliun. Untuk menganalisis pengaruh perkembangan fiskal terhadap kesejahteraan
masyarakat di Kepri, linearitas antara perubahan indikator kesejahteraan dengan
perubahan fiskal (belanja dan penerimaan pusat dan daerah) dapat menjadi salah satu
indikator. Grafik di bawah menggambarkan perubahan pada variabel-variabel
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 75
kesejahteraan dan fiskal pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(selama 3 tahun terakhir).
Secara umum terlihat bahwa dibandingkan tahun sebelumnya, keadaan fiskal
pada tahun 2015, baik belanja maupun penerimaan mengalami peningkatan. Di tahun
2016, keduanya mengalami penurunan sedangkan di tahun 2017, kembali meningkat.
Dikaitkan dengan gini ratio (garis oranye), terlihat bahwa kesenjangan pada
masyarakat meningkat ketika keadaan fiskal meningkat, dan menurun ketika keadaan
fiskal juga menurun. Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan kondisi fiskal belum bisa
mendorong adanya pemerataan ekonomi masyarakat.
Dikaitkan dengan jumlah penganggur (garis biru muda), terlihat bahwa ketika
keadaan fiskal meningkat, jumlah penganggur meningkat, dan ketika keadaan fiskal
menurun, jumlah penganggur menurun. Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan
kondisi fiskal juga belum bisa mendorong penciptaan lapangan pekerjaan.
Dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB (garis hijau), terlihat bahwa pertumbuhan
ekonomi Kepri terus menurun terlepas dari apa yang terjadi terhadap kondisi fiskal di
Kepri. Artinya, terdapat indikasi bahwa terjadi divergensi antara kondisi fiskal dan
pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain, ekspansi fiskal tidak mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi Kepri.
Perkembangan tingkat inflasi (garis ungu) juga memiliki hubungan yang serupa
dengan pertumbuhan ekonomi. Sepanjang periode 2015-2017, tingkat inflasi terus
menurun terlepas dari apa yang terjadi pada kondisi fiskal Kepri.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kepri (garis biru tua) terus meningkat
dari tahun ke tahun. Di saat yang sama, kondisi fiskal di Kepri mengalami fluktuasi.
Gambar V-5 Perbandingan Peningkatan/Penurunan Indikator Kesejahteraan dan Fiskal di Kepri
Sumber: Kemenkeu, Pemda, dan BPS (diolah)
-8,00%
-4,00%
0,00%
4,00%
8,00%
-40,00%
-20,00%
0,00%
20,00%
40,00%
2015 2016 2017Belanja APBN & APBD (LHS) Penerimaan APBN & APBD (LHS)Gini Ratio (LHS) Penganggur (LHS)PDRB (RHS) Inflasi (RHS)IPM (RHS) Orang Miskin (RHS)
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 76
Sama halnya seperti jumlah
penganggur, jumlah orang miskin di Kepri
(garis merah) mengalami peningkatan ketika
kondisi fiskal meningkat, dan mengalami
penurunan ketika kondisi fiskal menurun.
Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan
kondisi fiskal belum bisa mendorong penduduk
miskin keluar dari jurang kemiskinan.
Hubungan yang tidak linear tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan anggaran yang digunakan oleh pemerintah tidak
serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dilihat dari sisi kesenjangan,
penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pembangunan manusia,
maupun pengentasan kemiskinan. Ketika penggunaan anggaran meningkat namun
dampaknya kurang dirasakan oleh masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa
permasalahan utama terletak pada program dan kegiatan pemerintah di lapangan yang
belum efektif. Untuk itu, pemerintah harus segera mengevaluasi efektifitas setiap
program dan kegiatan mengingat opportunity cost yang ditimbulkan dari permasalahan
ini akan terus terakumulasi dari tahun ke tahun.
5.5.2 OPTIMALISASI MANFAAT DANA DESA
Sejalan dengan peningkatan alokasi dana desa di Indonesia, alokasi dana desa
di Kepri meningkat 28,81% dari Rp.177,77 miliar di tahun 2016 menjadi Rp228,28 miliar
di tahun 2017. Adapun realisasi dana desa baik di tahun 2016 maupun tahun 2017
mencapai 100,00% dari alokasi yang dapat diartikan bahwa Pemdes lingkup Kepri telah
menggunakan sebagian besar dananya dan melaporkan penggunaannya.
Hasil sampling data beberapa desa di Kabupaten Bintan dan Kabupaten
Karimun menunjukkan bahwa sebagian besar dana desa digunakan untuk prioritas
Pembangunan Desa. Dikaitkan dengan pelaksanaan dana desa di tahun sebelumnya,
perkembangan tersebut menunjukkan adanya indikasi positif bahwa dana desa sudah
digunakan untuk belanja yang lebih produktif.
Namun demikian, perkembangan indikator kemiskinan di desa dalam tren yang
memburuk. Persentase penduduk miskin meningkat 26 basis poin dari 10,23% di awal
tahun 2015 menjadi 10,49% di akhir tahun 2017. Walaupun di saat yang sama, indeks
P1 yang menunjukkan kedalaman kemiskinan menurun dari -1,262 menjadi 0,877.
Artinya, pendapatan penduduk miskin terus menurun jauh di bawah garis kemiskinan
selama periode tersebut. Dikaitkan dengan alokasi dana desa yang terus meningkat
Gambar V-6 Perkembangan Kondisi Kemiskinan Desa di Kepri
Sumber: BPS Kepri (diolah)
0,10
0,85
1,60
9%
10%
11%
P1 (RHS) % Kemiskinan (LHS)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 77
hingga tahun 2017, kondisi ini menciptakan urgensi untuk mengoptimalkan dana desa
dalam rangka pengentasan kemiskinan di desa.
Beberapa permasalahan yang diduga turut berkontribusi terhadap kurang
optimalnya pemanfaatan dana desa meliputi kualitas pembangunan desa dan SDM
pendamping desa. Dari segi kualitas pembangunan, ditemukan bahwa banyak desa
yang membangun infrastruktur non-ekonomi seperti Gedung Serba Guna (GSG), dan
parit yang pada dasarnya tidak self-sustaining, sehingga tidak menciptakan produksi
ekonomi setelahnya. Dari segi SDM, perwakilan desa-desa di Kabupaten Bintan pada
FGD Dana Desa di Bintan menyampaikan bahwa jumlah tenaga pendamping yang
dialokasikan masih kurang sehingga pendampingan tidak berjalan optimal. Selain itu,
rancangan perekrutan tenaga pendamping dilakukan secara terpusat sehingga latar
belakang tenaga yang direkrut bisa jadi kurang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Untuk memitigasi permasalahan kualitas pembangunan, Pemkab sebaiknya
mengarahkan agar Pemdes menggunakan dana desa untuk menghasilkan pendapatan
berkelanjutan bagi masyarakat desa. Salah satu alternatifnya adalah menggunakan
dana desa untuk merealisasikan konsep one village one product. Untuk merealisasikan
hal tersebut, beberapa program yang dapat dilaksanakan adalah:
1. Pembuatan home industry kerajinan tangan, souvenir, atau kesenian lainnya. Saat
ini, zona pariwisata eksklusif seperti Lagoy dapat menarik banyak turis asing untuk
berkunjung ke Kepri.
2. Pembuatan tempat pelelangan ikan dan cold storage.
3. Pembuatan komponen atau bahan baku untuk Industri di Batam.
Untuk mitigasi permasalahan SDM, Pemerintah Kabupaten dapat memetakan
desa berdasarkan fokus daerahnya masing-masing (contoh: perikanan, pariwisata,
pertanian, industri). Hasil pemetaan tersebut dapat diusulkan pada Kemendesa PDTT
sehingga untuk perekrutan tenaga pendamping selanjutnya, persyaratan latar belakang
calon pendamping (contoh: sarjana perikanan, sarjana ekonomi, sarjalan pertanian)
dapat benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan desa.
5.5.3 URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU
Tabel V-3 Perkembangan Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Pusat (dalam miliaran rupiah) Perkembangan Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Pusat (dalam miliaran rupiah)
No. Jenis Infrastruktur Pagu Perubahan 2015-
2017 (%) 2015 2016 2017 1 Gedung dan Bangunan 204,71 223,23 195,25 -4,62% 2 Jalan dan Jembatan 382,72 386,44 423,31 10,61% 3 Bandar Udara 79,75 318,06 238,11 198,59% 4 Pelabuhan 281,50 435,69 116,12 -58,75% 5 Utilities 49,23 51,44 329,39 569,04% T O T A L 997,91 1414,86 1302,18 30,49%
Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (diolah)
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 78
Dari sisi infrastruktur, Pemerintah Pusat berada pada jalur yang tepat untuk
meningkatkan daya saing Provinsi Kepulauan Riau dengan peningkatan alokasi belanja
infrastruktur dengan kenaikan 30,49% pada periode tahun 2015-2017. Adapun pada
tahun 2017, fokus besar belanja infrastruktur adalah untuk Utilities (Sumber Daya Air
dan Listrik) sebagaimana tercermin dari kenaikan alokasinya yang paling signifikan.
Gambar V-7 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2017
Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (diolah)
Berdasarkan lokasinya, pembangunan infrastruktur di tahun 2017 masih
terkonsentrasi di Batam dengan porsi yang mencapai 45,94%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masih terkonsentrasi di FTZ Batam
yang kualitas infrastrukturnya sudah dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN
lainnya. Sementara itu, wilayah FTZ Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih
harus mengejar ketertinggalan kualitas infrastruktur belum mendapatkan perhatian
yang maksimal dari pihak pemerintah. Dalam konteks kesejahteraan regional Provinsi
Kepulauan Riau, hal tersebut dapat menghambat terbentuknya wilayah investasi
kompetitif baru yang akan menarik lebih banyak FDI dan meningkatkan pemerataan
pembangunan.
Dikaitkan dengan peluang dalam bidang pelabuhan transshipment dan jasa
perkapalan yang masih jauh dari optimal, infrastruktur pelabuhan di Kepri telah menjadi
hambatan utamanya. Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo dalam Rapat
Koordinasi Bank Indonesia, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada tanggal 12
Agustus 2016 di Batam, mengemukakan bahwa kedalaman dermaga Indonesia,
khususnya Batam, masih kalah jauh dari Port of Singapore, Port of Klang, dan Port of
Kab. Kep. Anambas Rp.184,06 miliar (16,20%)
Kab. Natuna
Rp.145,37 miliar (12,80%)
Kab. Lingga
Rp.52,72 miliar (4,64%)
Kab. Bintan
Rp.169,65 miliar (2,02%)
Kab. Karimun
Rp.132,75 miliar (11,69%)
Kota Batam
Rp.521,84 miliar (45,94%)
Kota Tanjungpinang
Rp. 95,78 miliar (8,43%)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 79
Tanjung Pelepas. Kedalaman dermaga tersebut sebagaimana digambarkan di bawah
ini menyebabkan keterbatasan jenis kapal yang dapat bersandar (maksimal 1.500 TEU
di Batam). Akibatnya, skala ekonomi logistik sulit didapatkan dan pelabuhan Batam
menjadi kurang kompetitif.
Gambar V-8 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2016
Sumber: Bank Indonesia
Bank Indonesia dalam Growth Diagnostic (2016) mengidentifikasi hambatan-
hambatan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing Provinsi di Indonesia dan
menemukan rekomendasi pembangunan yang dapat memberikan efek multiplier paling
besar terhadap perekonomian Provinsi tersebut. Menguatkan temuan sebelumnya,
pembangunan infrastruktur, khususnya pelabuhan, dapat menciptakan efek multiplier
ekonomi terbesar di Kepri.
Adapun dalam prakteknya, terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan
pembangunan infrastruktur di Kepri. Tantangan tersebut meliputi gangguan supply alat
dan material pendukung konstruksi akibat kurangnya produksi lokal dan dampak
musiman cuaca terhadap transportasi laut. Untuk menanggulangi permasalahan
tersebut, pemerintah sebaiknya membangun pusat-pusat logistik atau mendorong pihak
swasta untuk membangunnya di beberapa kabupaten/kota kepulauan yang menjadi
prioritas pembangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memanfaatkan fasilitas pembuatan Pusat Logistik Berikat (PLB) yang telah
diluncurkan pemerintah untuk meminimalisir biaya operasional pembangunan;
2. Menjamin keberlangsungan demand untuk proyek konstruksi agar pembangunan
pusat logistic menjadi cukup fesibel secara finansial. Penjaminan tersebut dapat
berupa komitmen pembangunan infrastruktur di Kepri. Dari sisi Pemda, komitmen
tersebut dapat dituangkan dalam Perda alokasi minimal anggaran infrastruktur.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 80
5.5.4 KETERGANTUNGAN FISKAL PEMDA TERHADAP DANA TRANSFER
Beberapa Pemda di Kepri sendiri
termasuk ke dalam Pemda yang
mengalami resiko fiskal karena selama ini
memiliki porsi pendapatan DBH SDA Migas
yang besar. Dampak dari volatilitas
tersebut terlihat pada struktur dana transfer
Pemda lingkup Kepri dimana DBH yang
pada tahun 2011 menyumbang 60.33%
terhadap Dana Transfer tahun 2011,
mengalami penurunan kontribusi hingga 3.468 basis poin menjadi hanya 25,65% di
tahun 2017.
Adanya perkembangan teknologi, pergeseran penggunaan bahan bakar listrik
ke energi renewable, dan kebijakan negara produsen mayoritas seperti OPEC
memberikan gambaran yang tidak pasti terhadap prospek migas di masa depan.
Terlepas dari perbaikan harga migas yang berjalan sejak paruh kedua tahun 2016, tidak
munutup kemungkinan bahwa faktor-faktor tersebut akan kembali menggoncang harga
migas ke depannya. Untuk itu, Pemda lingkup Kepri yang mengandalkan penerimaan
transfer perlu memperbaiki
struktur fiskalnya untuk
memitigasi terjadinya
volatilitas kembali di masa
depan.
Pemda yang memiliki
ketergantungan tinggi
terhadap transfer dapat dilihat
dari rasio penerimaan dana
transfer terhadap total penerimaan Pemda. Di tahun anggaran 2016, terdapat 3 Pemda
di Kepri yang lebih dari 80% penerimaannya berasal dari Dana Transfer yakni, Pemkab
Natuna, Pemkab Lingga dan Pemkab Kepulauan Anambas. Dari 3 Pemda tersebut,
pendapatan Pemkab Natuna, Pemkab Lingga dan Pemkab Kepulauan Anambas
bahkan hampir seluruhnya berasal dari dana transfer dengan porsi masing-masing
81.61%, 83.79%, dan 85.11%. Tingginya porsi dana transfer pada Pemkab Natuna dan
Pemkab Kepulauan Anambas disebabkan oleh posisinya sebagai penghasil migas di
Kepri, sedangkan tingginya porsi dana transfer di Pemkab Lingga disebabkan oleh
kapasitas fiskalnya yang masih rendah.
Gambar V-9 Pergeseran Struktur Dana Transfer di Kepulauan Riau
Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)
60,33%
59,35%
56,51%
53,18%
39,70%
27,50%
25,65%
33,39%
33,76%
35,77%
36,46%
42,30%
48,91%
52,07%
2,94%
2,73%
3,47%
3,42%
7,97%
20,56%
19,21%
2 0 1 1
2 0 1 2
2 0 1 3
2 0 1 4
2 0 1 5
2 0 1 6
2 0 1 7
DBH DAU DAK
D. Penyesuaian Dana Desa DID
Gambar V-10 Rasio Dana Transfer terhadap Penerimaan Pemda TA 2017
Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)
66,59%70,02%
57,19%
81,61%
83,79%
85,11%
47,66%
75,47%
Pemprov
Bintan
Karimun
Natuna
Lingga
Anambas
Batam
Tjgpinang
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 81
BAB VI ANALISIS TEMATIK
6.1 Sinkronisasi APBN dan APBD dalam Sektor Pendidikan, Kesehatan,
dan Ketahanan Pangan
Belanja Pemerintah yang digelontorkan untuk Kepri pada tahun 2017 mencapai
Rp13,73 triliun yang terbagi ke dalam belanja satuan kerja K/L dan belanja Transfer ke
Daerah dan Dana Desa. Belanja Pemerintah yang dikelola oleh K/L sebesar 40,50
persen dan belanja transfer yang diperuntukkan bagi Pemerintah Daerah sebesar 59,50
persen. Disamping itu, belanja Pemerintah Daerah di Kepri pun telah mencapai Rp11,18
triliun yang sebagainya merupakan belanja yang bersumber dari transfer dari
pemerintah pusat. Total perputaran uang yang dikeluarkan kegiatan pemerintahan di
Kepri pada tahun 2017 mencapai Rp24,91 triliun atau sebesar 1,24 persen dari realisasi
belanja APBN tahun 2017.
Di tahun 2017, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu
mengeksekusi anggarannya dengan efektif dan efisien mengingat semakin terbatasnya
kemampuan fiskal sejalan dengan bertambahnya beban mandatory spending.
Sehingga sinergi antara pemerintah dan pemerintah baik di tataran kebijakan maupun
pelaksanaan merupakan hal yang wajib untuk mencapai prioritas nasional. Oleh
karenanya, basis pembangunan manusia dengan indikator kesehatan dan pendidikan
serta membangun kembali potensi Indonesia di sebagai negara maritim dan agraris
dengan terwujudnya kedaulatan pangan merupakan
program prioritas yang semakin dikuatkan di tahun
2017 sebagaimana diungkapkan dalam RKP 2017
maupun nota Keuangan APBNP 2017.
Baik Pemerintah Pusat melalui K/L, maupun
Pemerintah Daerah telah mengalokasikan anggaran
yang cukup besar untuk bidang pendidikan,
kesehatan, dan ketahanan pangan di Kepri. Porsi
“Kegiatan APBN dan APBN di Kepri secara terintegrasi telah digunakan untuk pencapaian prioritas Kesehatan, Pendidikan, dan
Ketahanan Pangan. Baik pendanaan APBN maupun APBD melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan peran, kemampuan,
dan kewenangannya masing-masing.”
APBN K/L
18,48%
APBD Murni+Transfer
81,52%
Gambar VI-1 Porsi APBN dan APBD
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 82
yang sangat besar dalam anggaran ketiga kegiatan prioritas tersebut dipegang oleh
Pemerintah Daerah sebesar 81,52 persen (Rp4,91 triliun). Sementara itu, porsi yang
pada anggaran K/L adalah sebesar 18,48 persen (Rp1,11 triliun).
Sinkronisasi kegiatan APBN dan APBD dilakukan berdasarkan kategori atas
masing-masing output yang dikelompokkan secara mandiri. Pendanaan APBN kegiatan
prioritas di atas diperoleh berdasarkan pengelompokan sesuai fungsi program
pendidikan dan kesehatan. Sementara, untuk program ketahanan pangan diperoleh
dari satker K/L Kementerian Pertanian,
satker Kementerian Kelautan dan
Perikanan, serta eliminasi output tidak
tekait pada satker Kementerian PU dan
PERA yang terdapat di Kepri. Dan data
APBD kegiatan prioritas diperoleh
berdasarkan pengelompokan sesuai
dengan urusan pendidikan, kesehatan.
dan ketahanan pangan. Sementara,
untuk data APBD DAK Fisik sesuai dengan jenis nya baik pendidikan, kesehatan, serta
irigasi dan pertanian untuk prioritas ketahanan pangan.
Kontribusi Pemda yang sangat baik dalam usaha pemerintah untuk pencapaian
ketiga prioritas tersebut terindikasikan melalui besarnya alokasi dana yang telah
dialokasikan. Porsi pemerintah daerah untuk anggaran pada prioritas pendidikan dan
kesehatan di Kepri telah mampu melampaui alokasi APBN di Kepri yang masing-masing
mencapai 88,99 persen (Rp3,08 triliun) dan 89,99 persen (Rp1,80 triliun). Sedangkan
alokasi untuk program prioritas ketahanan pangan di Kepri masih lebih kecil
dibandingkan nasional dengan porsi yang hanya sebesar 5,83 persen (Rp32,99 miliar).
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. Kepri melakukan tracking terhadap output-
output bidang pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan yang dinilai strategis dan
terealisasikan pada tahun 2017. Sehingga total anggaran yang terealisasikan di tahun
2017 untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan masing-masing
sebesar Rp347,92 miliar, Rp164,28 miliar, dan Rp56,04 miliar.
Berdasarkan hasil tracking, output strategis di bidang kesehatan yang dinilai
strategis antara lain layanan imunisasi, peningkatan kualitas layanan, pengendalian
penyakit TB, penyediaan makanan ibu hamil dan anak sekolah. Output bidang
pendidikan yang dinilai strategis antara lain penyaluran BOS, Program Indonesia Pintar,
dan penyediaan sarana dan sarana sekolah (pembangunan/rehab gedung sekolah).
Sementara itu, output bidang ketahanan pangan yang dinilai strategis antara lain
Pendidikan KesehatanKetahanan
Pangan
APBD 2017 3.081,86 1.801,54 32,99
APBN 2017 381,12 200,34 532,77
APBN 201711,01%
APBN 201710,01%
APBN 201794,17%
APBD 201788,99%
APBD 201789,99%
APBD 20175,83%
Gambar VI-2 Komposisi APBN dan APBD (jutaan)
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 83
perluasan sawah, optimalisasi lahan, pengadaan alat dan mesin pertanian, serta
produksi benih.
6.1.1 Sinkronisasi Bidang Pendidikan
Sekolah sebagai salah tempat memperoleh pembelajaran secara reguler
merupakan fasilitas wajib yang harus disediakan oleh pemerintah. Sebagai gambaran
bahwa jumlah sekolah tingkat menengah di Kepri sebanyak 122 SMA, 96 SMK, dan 34
MAN (Kepri dalam angka; 2017).
Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki jumlah sekolah tingkat menengah
paling sedikit dengan total 11 sekolah tingkat menengah. Namun demikian, sejalan
dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat total 120 sekolah menengah di Kota
Pemkab Natuna APBN KL: -Pendidikan Rp4,10 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp700 juta -Pendidikan Rp4,91 miliar APBD DAK: -Kesehatan Rp9,86 miliar -Pendidikan Rp4,76 miliar -Pangan Rp691,30 juta
Pemkab Kepulauan Anambas APBN K/L: -Pendidikan Rp630,63 juta APBD Murni: -Kesehatan Rp1,50 miliar -Pendidikan Rp10,14 miliar APBD DAK: -Kesehatan Rp17,58 miliar -Pendidikan Rp3,02 miliar
Pemko Tanjungpinang APBN K/L: -Kesehatan Rp69,89 juta -Pendidikan Rp5,63 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp1,05 miliar -Pendidikan Rp22,19 miliar -Pangan Rp187 juta APBD DAK: -Kesehatan Rp8,43 miliar -Pendidikan Rp6,89 miliar
Pemkab Bintan APBN K/L: -Pendidikan Rp3,09 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp425 juta -Pendidikan Rp11,23 miliar -Pangan Rp126,78 juta APBD DAK: -Kesehatan Rp13,34 miliar -Pendidikan Rp1,93 miliar
-Pangan Rp529,42 juta
Pemkab Lingga APBN K/L: -Pendidikan Rp1,41 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp8,56 miliar -Pendidikan Rp8,88 miliar -Pangan Rp112,94 juta APBD DAK: -Kesehatan Rp23,85 miliar -Pendidikan Rp3,18 miliar -Pangan Rp5,90 miliar
Pemkab Karimun APBN K/L: -Kesehatan Rp86,42 juta -Pendidikan Rp5,04 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp2,09 miliar -Pendidikan Rp25,66 miliar -Pangan Rp4,32 juta APBD DAK: -Kesehatan Rp13,69 miliar -Pendidikan Rp3,21 miliar
Pemko Batam APBN K/L: -Kesehatan Rp122,93 juta -Pendidikan Rp17,37 miliar -Pangan Rp6,73 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp3,90 miliar -Pendidikan Rp49,85 miliar -Pangan Rp1,03 miliar APBD DAK: -Kesehatan Rp15,75 miliar -Pendidikan Rp15,81 miliar
Pemprov Kepulauan Riau APBN K/L: -Kesehatan Rp1,80 miliar -Pendidikan Rp6,19 miliar -Pangan Rp36,41 miliar APBD Murni: -Kesehatan Rp8,57 miliar -Pendidikan Rp103,59 miliar APBD DAK: -Kesehatan Rp32,91 miliar -Pendidikan Rp29,20 miliar
Gambar VI-3 Pelaksanaan Proyek Strategis APBD dan APBN
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 84
Batam. Namun demikian apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk Kota Batam maka
setiap satu sekolah di Kota Batam akan diakses oleh 10.303 jiwa/sekolah dan angka ini
berada di atas rata-rata Kepri (6.957 jiwa/sekolah) yang mengindikasikan bahwa Kota
Batam sangat memerlukan tambahan jumlah sekolah begitu pun dengan Kota
Tanjungpinang.
Tabel VI-1 Akses Penduduk ke Sekolah Akses Penduduk ke Sekolah
No Pemda SMA SMK MAN Total Jumlah Penduduk
(jiwa) Tingkat Akses setiap penduduk ke
Sekolah (jiwa/sekolah) 1 Karimun 17 8 5 30 227.277 7.576 2 Bintan 10 8 3 21 154.584 7.361 3 Natuna 14 6 5 25 75.282 3.011 4 Lingga 11 5 3 19 88.971 4.683 5 Kepulauan
Anambas 5 3 3 11 40.921 3.720
6 Batam 53 54 13 120 1.236.399 10.303 7 Tanjungpinang 12 3 2 17 204.735 12.043
Sumber: BPS Kepri
Tiga sumber pendanaan bidang pendidikan yang dilaksanakan di Kepri terdiri
dari APBN, APBD, dan APBD DAK. Kontribusi masing-masing pendanaan di bidang
pendidikan sebesar 12,49 persen (Rp43,47 miliar), 67,96 persen (Rp236,45 miliar),
19,54 persen (Rp67,99 miliar). APBD Kepri memiliki
kontribusi terbesar dalam pendanaan bidang
pendidikan.
Pelaksanaan kegiatan dengan sumber
pendanaan dari APBN terbesar kontribusinya di
laksanakan oleh satuan kerja yang berada di Kota
Batam dengan kontribusi sebesar 39,96 persen.
Jumlah penduduk Kota Batam yang mencapai 60,96
persen dari total populasi Kepri merupakan salah satu proxy besarnya pendanaan yang
bersumber dari APBN. Sementara itu, untuk kontribusi terbesar pada pendanaan dari
APBD Murni dan APBD Transfer adalah organisasi perangkat daerah yang berada pada
tingkat provinsi dengan pelaksanaan kegiatan yang menyebar pada setiap
kabupaten/kota.
Tabel VI-2 Realisasi Proyek Strategis di Bidang Pendidikan (jutaan) Realisasi Proyek Strategis di Bidang Pendidikan (Jutaan)
Instansi Pemerintah APBN K/L Porsi APBN APBD Murni Porsi APBD DAK Porsi Kepulauan Riau 6.185,13 14,23% 103.597,86 43,81% 29.200,31 42,94% Bintan 3.092,29 7,11% 11.228,88 4,75% 1.927,16 2,83% Karimun 5.044,54 11,61% 25.656,14 10,85% 3.214,22 4,73% Lingga 1.411,09 3,25% 8.877,52 3,75% 3.177,63 4,67% Natuna 4.102,72 9,44% 4.909,43 2,08% 4.755,23 6,99% Anambas 630,63 1,45% 10.141,60 4,29% 3.018,91 4,44% Batam 17.369,74 39,96% 49.847,35 21,08% 15.808,02 23,25% Tanjungpinang 5.629,70 12,95% 22.194,99 9,39% 6.894,45 10,14%
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Apabila dilakukan penelaahan lebih mendetail ke setiap kegiatan yang terdapat
di bidang pendidikan, baik melalui APBN maupun APBD memiliki karakteristik yang
APBN K/L
12,49%
APBD Murni67,96%
APBD DAK19,54%
Gambar VI-4 Porsi APBN dan APBD
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 85
hampir sama. Kegiatan di bidang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok, yaitu (1) pembangunan gedung untuk mendukung pembelajaran yang dapat
berbentuk baik berupa rehab maupun pembangunan ruang kelas baru atau pendirian
sekolah baru, (2) pengadaan alat bantu kegiatan belajar, (3) peningkatan mutu
pendidikan yang sebagian besar dilaksanakan oleh organisasi perangkat daerah (OPD)
melalui perlombaan atau festival pendidikan, dan (4) kemudahan akses pendidikan
yang direalisasikan melalui program BOS dan KIP. Masing-masing dari kelompok
tersebut memiliki porsi 42,10 persen, 31,53 persen, 4,62 persen, dan 21,75 persen.
Pengelompokan tersebut merupakan hasil asumsi output atas analisis terhadap
kegiatan dan belanja yang dilakukan oleh instansi terkait.
Tabel VI-3 Kelompok Kegiatan APBD dan APBN Kelompok Kegiatan APBD dan APBN
Kelompok Kegiatan APBD (jutaan) APBN (jutaan) Gedung dan Bangunan 128.762,53 17.711,50 Peningkatan Mutu Pendidikan 16.079,04 - Alat Bantu Kegiatan Belajar 109.702,17 - Kemudahan Akses Pendidikan (BOS dan KIP) 49.905,94 25.754,33
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Melalui pendanaan APBD, sebesar 16,64 persen dari kelompok kegiatan
gedung dan bangunan merupakan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB).
Pembangunan tersebut dilakukan pada sekolah tingkat SMA/SMK negeri yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemprov Kepri, Pemko Batam, Pemko Tanjungpinang,
Pemko Karimun, dan Pemkab Lingga. Dan diharapkan dengan penambahan unit
sekolah baru di berbagai tempat dimaksud dapat semakin mempermudah masyarakat
untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Tabel VI-4 Kegiatan Penambahan USB Penambahan USB
Pemda Pendanaan (jutaan) Keterangan Pemkab Karimun 9.509,53 - Pemko Batam 6.848,37 5 unit sekolah baru Pemko Tanjungpinang 1.994,79 - Pemkab Lingga 591,64 - Pemprov Kepulauan Riau 2.475,48 -
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan anggaran
pendidikan, peningkatan kualitas
pendidikan yang bernilai positif
mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut
telah efektif dan efisien. Peningkatan
anggaran pendidikan di Kepri telah mampu
mendorong naiknya partisipasi murni usia
sekolah di Kepri. Terlihat jelas bahwa
kenaikan anggaran pendidikan telah
-
20
40
60
80
100
120
2.200
2.300
2.400
2.500
2.600
2.700
2.800
2013 2014 2015 2016
dala
m m
iliar
Anggaran Pendidikan APM SMA/sederajat
APM SD/sederajat APM SMP/sederajat
Gambar VI-5 Anggaran Pendidikan dan Pertumbuhan Partisipasi Sekolah
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda, BPS
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 86
direspon positif oleh kenaikan angka partisipasi murni untuk siswa SMA/sederajat di
Kepri.
6.1.2 Sinkronisasi bidang Kesehatan
Tiga sumber pendanaan Kepri di bidang kesehatan sebagian besar merupakan
kontribusi APBD yang berasal dari DAK Fisik sebesar
82,42 persen (Rp135,41 miliar). Besarnya porsi APBD
murni dibandingkan porsi APBN K/L merupakan salah
satu dampak penerapan UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk
mengalokasikan sebesar 10 persen dari APBD-nya
untuk bidang kesehatan.
Pelaksanaan kegiatan prioritas bidang
kesehatan di Kepri didominasi oleh kegiatan yang
dilaksanakan oleh Pemprov Kepri dengan porsi sebesar
26,35 persen dari total anggaran pendidikan di Kepri. Rata-rata kontribusi APBD baik
itu transfer maupun APBD murni dalam kegiatan di bidang kesehatan Kepri sebesar
12,34 persen. Kontribusi Pemprov Kepri yang tinggi ini merupakan sumbangan dari
realisasi DAK Fisik Reguler Bidang Kesehatan dan KB.
Tabel VI-5 Kontribusi Pendanaan di masing-masing Pemda Kontribusi Pendanaan di masing-masing Pemda
Instansi Pemerintah APBN K/L Porsi APBD Murni Porsi APBD DAK Porsi Kepulauan Riau 1.799,39 86,57% 8.574,93 32,00% 32.906,01 24,30% Bintan - - 425,00 1,59% 13.339,64 9,85% Karimun 86,42 4,16% 2.088,21 7,79% 13.686,84 10,11% Lingga - - 8.562,00 31,95% 23.852,38 17,62% Natuna - - 700,00 2,61% 9.864,14 7,28% Anambas - - 1.497,78 5,59% 17.575,22 12,98% Batam 122,93 5,91% 3.900,00 14,55% 15.747,09 11,63% Tanjungpinang 69,89 3,36% 1.050,00 3,92% 8.434,37 6,23%
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Berdasarkan penelaahan lebih mendetail terhadap kegiatan di bidang
kesehatan Kepri yang dinilai strategis, terdapat perbedaan karakteristik antara kegiatan
yang didanai oleh APBD dan APBN. Kegiatan satker yang bersumber dari APBN lebih
menitikberatkan pada pengawasan dan pencegahan wabah penyakit, serta
peningkatan kualitas kesehatan ibu hamil, balita, dan anak sekolah melalui penyediaan
suplemen tambahan. Sedangkan, kegiatan-kegiatan strategis pada APBD lebih
cenderung pada pemenuhan ketersediaan sarana kesehatan baik berupa obat-obatan,
peralatan kesehatan, bahkan peningkatan daya tampung Puskesmas suatu wilayah.
Tabel VI-6 Kelompok Pendanaan APBN dan APBD (jutaan) Kelompok Pendanaan APBN dan APBD (jutaan)
Kelompok Kegiatan APBD Pendanaan
(jutaan) Porsi Kelompok Kegiatan APBN
Pendanaan (jutaan)
Porsi
Alat Kesehatan 70.185,87 41,82% Alat Kesehatan 465,08 22,37%
APBN K/L
1,27%
APBD Murni16,31%
APBD DAK82,42%
Gambar VI-6 Porsi APBN dan APBD
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 87
Gedung 52.708,01 31,41% Pengawasan Kualitas Kesehatan
1.213,46 58,38%
Kendaraan Bermotor 5.213,00 3,11% Pencegahan Wabah Penyakit 400,08 19,25% Obat-obatan 25.866,61 15,41% Perlengkapan Operasional Kantor
7.595,95 4,53%
Uji Laboratorium 18,00 0,01% Publikasi 626,09 0,37% Pembinaan Kualitas Kesehatan 2.393,48 1,43% Pengawasan Kualitas Kesehatan
3.219,55 1,92%
Total APBD 167.826,56 100,00% Total APBN 2.078,62 100,00% TOTAL APBD+APBN 169.905,19
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Kelompok kegiatan di atas merupakan asumsi output yang diambil berdasarkan
analisis terhadap kegiatan dan belanja yang dilakukan oleh instansi terkait. Dari sisi
pendanaan APBD porsi kegiatan dengan kelompok pengadaan alat kesehatan memiliki
porsi yang dominan (41,82 persen) dan porsi terbesar kedua dalam bidang pendidikan
berada pada pembangunan gedung (31,41 persen). Dari sisi pendanaan APBN, porsi
alat kesehatan bukan merupakan porsi yang tertinggi. Pendanaan kegiatan melalui
APBN lebih difokuskan untuk kelompok kegiatan pengawasan kualitas kesehatan
seperti penyediaan suplemen tambahan pada ibu hamil, balita, dan anak sekolah, uji
sampel obat KB dengan parameter kritis, serta layanan imunisasi.
Terdapat kesamaan objektif antara
kelompok kegiatan pembinaan kualitas
kesehatan (APBD) dan pencegahan
wabah penyakit (APBN) yang merupakan
pencegahan penyebaran wabah penyakit.
Namun, kelompok kegiatan pencegahan
wabah penyakit (APBN) merupakan
kegiatan yang lebih cenderung pada
langkah koordinasi untuk memperkuat kerja sama antar instansi. Sementara, kelompok
kegiatan pembinaan kualitas kesehatan (APBD) cenderung menyasar pada edukasi
masyarakat agar mandiri sehingga mampu mendeteksi gejala dini untuk mencegah
penyebaran wabah penyakit.
Dua fokus yang berbeda merupakan dampak prioritas yang ditetapkan dalam
perencanaan masing-masing instansi. Namun demikian, pelaksanaan baik APBN
maupun APBD di Kepri di bidang kesehatan dapat dinilai lebih tersinergi dengan
pemisahan fokus pada masing-masing instansi untuk mencapai target di Kepri secara
keseluruhan.
Kebijakan Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran di bidang kesehatan
cenderung bertambah setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya alokasi APBN
setiap tahun. Dan pertumbuhan indikator keluhan kesehatan (diperoleh pada bulan
0
1.000
2.000
3.000
2014 2015 2016 2017
20
21
22
23
trili
un r
upia
h
Persentase Keluhan Kesehatan*
Anggaran Kesehatan Kepri
Gambar VI-7 Anggaran Kesehatan dan Keluhan Kesehatan
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda, BPS
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 88
sensus oleh BPS Kepri) yang menunjukkan tren menurun di tahun 2017 menunjukkan
bahwa peningkatan anggaran di bidang kesehatan ikut mendorong pengurangan
keluhan masyarakat atas permasalahan kesehatan.
6.1.3 Sinkronisasi bidang Ketahanan Pangan
Pendanaan kegiatan strategis di bidang ketahanan pangan berbeda dengan dua
bidang yang telah dibahas sebelumnya.
Pendanaannya didominasi dari APBN dengan
kontribusi APBN sebesar 76,99 persen terhadap
kegiatan di bidang ketahanan pangan Kepri.
Sementara untuk APBD DAK sebesar 12, 71 persen,
dan yang paling kecil adalah APBD murni sebesar
10,30 persen. Kecilnya porsi APBD murni didorong
oleh terbatasnya kemampuan Kepri untuk
memproduksi bahan pangan, terutama pertanian yang
terkendala oleh faktor kandungan tanah yang memiliki kandungan bauksit (bijih
aluminium yang tinggi). Disamping itu, sebagai gambaran bahwa Kepri sebagai wilayah
kepulauan memiliki hasil perikanan (ikan dan udang) yang sangat rendah yang
diindikasikan dengan kontribusinya terhadap ekspor-impor yang tidak mencapai 1
persen (kumulatif s.d. Desember 2017).
Tabel VI-7 Kontribusi Pendanaan Masing-masing Pemda (jutaan) Kontribusi Pendanaan di masing-masing Pemda (jutaan)
Instansi Pemerintah APBN K/L Porsi APBD Murni Porsi APBD DAK Porsi Kepulauan Riau 36.413,48 84,40% - - - - Bintan - - 126,78 2,20% 529,42 7,43% Karimun - - 4.315,07 74,73% - - Lingga - - 112,94 1,96% 5.901,15 82,86% Natuna - - - - 691,30 9,71% Anambas - - - - - - Batam 6.731,01 15,60% 1.032,06 17,87% - - Tanjungpinang - - 187,00 3,24% - -
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Besarnya porsi pendanaan APBN pada instansi pemerintah di tingkat Provinsi
dikarenakan kegiatan yang dilakukan bertempat pada lokasi yang berbeda-beda di
kota/kabupaten lain di Kepri. Sementara itu, pada tahun 2017, terdapat DAK Fisik yang
tidak dapat dilaksanakan yaitu DAK Fisik Penugasan Bidang Irigasi Kabupaten
Kepulauan Anambas dan DAK Fisik Reguler bidang Pertanian dan DAK Fisik
Penugasan bidang Irigasi Kabupaten Karimun.
Berdasarkan penelaahan lebih lanjut terhadap kegiatan strategis di bidang
ketahanan pangan, terdapat kesamaan karakteristik antara kegiatan dengan
pendanaan APBN dan kegiatan dengan pendanaan APBD. Dari kedua kelompok
kegiatan tersebut, keduanya memiliki objektif peningkatan kapasitas produksi pangan
APBN K/L;
76,99%
APBD Murni; 10,30
%
APBD DAK; 12,71
%
Gambar VI-8 Porsi APBN dan APBD
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 89
melalui belanja modal seperti pembangunan embung, pembangunan saluran irigasi,
serta pembangunan sumur serta penyediaan pompa air bahkan penyediaan bibit
unggul.
Tabel VI-8 Kelompok Kegiatan Bidang Ketahanan Pangan (jutaan) Kelompok Kegiatan Bidang Ketahanan Pangan (jutaan)
Kelompok Kegiatan APBD
Pendanaan (jutaan)
Porsi Kelompok Kegiatan APBN Pendanaan
(jutaan) Porsi
Ketersediaan Air 1.326,30 10,28% Alat dan Mesin Pertanian 11,26 0,05% Jaringan Irigasi 10.301,74 79,84% Pengawasan Pupuk Subsidi 176,09 0,84% Ketersediaan Air 1.274,33 9,88% Induk unggul 65,30 0,31%
Kawasan budidaya yang prasarananya mampu dioperasionalkan secara tepat guna
3.370,29 15,99%
Layanan Dukungan Manajemen Eselon I 333,12 1,58% Optimasi Lahan 198,00 0,94% Perluasan Sawah 13.164,87 62,44% Produksi Benih 3.764,67 17,86%
Total APBD 12.902,36 100,00% Total APBN 21.083,61 100,00% TOTAL APBD+APBN 33.985,97
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepri telah melakukan pengelompokan
terhadap kegiatan di bidang ketahanan pangan yang dilakukan atas dasar asumsi
output atas analisis terhadap kegiatan dan belanja yang dilakukan oleh instansi terkait.
Berdasarkan pengelompokan tersebut, kegiatan yang memberikan kontribusi terbesar
di sisi APBD adalah kegiatan dengan kelompok penyediaan jaringan irigasi. Dan pada
sisi APBN kegiatannya didominasi oleh kegiatan dengan kelompok peningkatan hasil
produksi pangan melalui perluasan sawah.
Namun demikian,
kelompok kegiatan pemerintah di
atas dinilai masih bersifat pasif.
Kurangnya pengembangan
kapasitas/kemampuan petani
lambat laun akan menggerus
profesi petani. Nilai Tukar Petani
Kepri yang berada di bawah
angka 97,54 di tahun 2017
menunjukkan bahwa petani mengalami defisit karena pendapatan lebih kecil dari
pengeluarannya. Tren penurunan ini dikhawatirkan akan berdampak pada pengurangan
profesi petani di Kepri. Oleh karenanya, pencapaian ketahanan pangan melalui produksi
pangan mungkin objektifnya dapat diutamakan pada peningkatan pendapatan petani
dengan lebih terkonsentrasi pada pemberdayaan petani (UU No. 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) melalui koperasi tani khususnya para petani
kecil, peningkatan kapasitas petani melalui pendidikan lapangan, maupun usaha tani
yang bersifat korporasi.
Tanaman Pangan; 96,09
Tanaman Hortikultura;
98,44
Tanaman Perkebunan
Rakyat; 80,82
Peternakan; 103,86
Perikanan ; 110,25
104,66 104,96100,93 99,45 98,16Kepri; 97,54
60
70
80
90
100
110
120
130
140
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Gambar VI-9 Anggaran Ketahanan Pangan dan Tanaman Pangan
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda, BPS
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 90
6.2 Sinkronisasi Penggunaan Dana Desa (APBN) dan Alokasi Dana
Desa (APBD)
Sinkronisasi kegiatan-kegiatan antara Dana Desa yang bersumber dari APBN
dan Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBD didasarkan atas pengelompokan
output atas setiap kegiatan. Dari sejumlah 275 desa di Kepri, Kanwil Ditjen
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau mengambil sampel 80 desa. Desa dimaksud
adalah 20 desa dari Kabupaten Bintan (berdekatan dengan pemerintahan provinsi), 20
desa dari Kabupaten Karimun (berdekatan dengan Batam dan Pulau Sumatera), 20
desa dari Kabupaten Natuna (wilayah terluar Indonesia), dan 20 desa dari Kabupaten
Lingga (salah satu wilayah Kepri yang memiliki potensi di bidang pertanian).
Berdasarkan hasil analisis
pada sampel 80 desa dimaksud,
baik pelaksanaan yang bersumber
dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan
Dana Desa (DD), keduanya telah
mencakup 4 bidang, yaitu bidang
pembangunan desa, pemberdayaan
masyarakat desa, pembinaan
masyarakat desa, serta
penyelenggaraan pemerintahan desa. Dari 4 bidang tersebut, DD mendominasi
penggunaan pada pembangunan desa yang kegiatannya bersifat pembangunan fisik
baik jalan desa maupun bangunan
posyandu/poskesdes. Sementara itu, ADD
mendominasi penggunaan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan yang
kegiatannya bersifat fisik maupun nonfisik
untuk kegiatan yang mendukung
operasional kantor desa.
Kontribusi DD yang sangat tinggi di
bidang pembangunan desa
mengindikasikan bahwa pembangunan
infrastruktur di desa masih sangat kurang.
Hal dimaksud ditunjukkan melalui
besarnya realisasi DD sebesar pada 80
desa yang mencapai 82,13 persen dari
total alokasi DD. Sementara itu, untuk menutup operasional kantor desa, pemerintah
10.1
82
2.42
9 7.54
6
44.3
78
39.8
66
8.42
7
187
63
P E M B A N G U N A N D E S A
P E M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T
D E S A
P E M B I N A A N M A S Y A R A K A T
D E S A
P E M E R I N T A H A N D E S A
ADD DD
Pembangunan Desa82,13%
Pemberdayaan Masyarakat
17,36%
Pembinaan Masyarakat
0,38%
Pemerintahan Desa0,13%
DD
Pembangunan 15,78%
Pemberdayaan Masyarakat
3,76%Pembinaan Masyarakat
11,69%
Pemerintahan Desa
68,77%
DD
Gambar VI-11 Perbandingan Penggunaan DD dan ADD (Jutaan)
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda, BPS
Gambar VI-10 Porsi DD dan ADD
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 91
desa menggunakan 68,77 persen dari total ADD nya untuk bidang penyelenggaraan
pemerintahan desa
Berdasarkan pengelompokan mandiri yang telah dilakukan oleh Kanwil Ditjen
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, terdapat 16 kelompok output atas kegiatan
DD dan ADD di Kepri. Realisasi terbesar adalah kegiatan dengan kelompok operasional
Kantor Desa sebesar Rp27,07 miliar yang terdiri dari belanja modal, barang dan jasa
untuk operasional kantor seperti gaji maupun tunjangan pegawai pemerintah desa.
Sementara itu, realisasi tertinggi kedua adalah kegiatan pada kelompok transportasi
yang merupakan kegiatan dengan fokus tujuan peningkatan/penambahan sarana dan
prasarana transportasi baik jalan desa, jembatan, dan pelabuhan desa.
Gambar VI-12 Kelompok Penggunaan DD dan ADD (jutaan)
Kegiatan dengan kelompok operasional Kantor Desa sebagian besar memang
sebagian besar didanai oleh ADD (99,97 persen), dan kelompok transportasi sebagian
besar didanai oleh DD (88,59 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa berdasarkan hasil
analisis pada 80 desa di Provinsi Kepulauan Riau kegiatan Dana Desa sebagian besar
digunakan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur di desa. Hal ini sesuai dengan
tujuan pengalokasian Dana Desa bagi pemerintah desa yaitu untuk pencapaian
kesuksesan pembangunan dari pinggiran.
Tabel VI-9 Rincian Penggunaan DD dan ADD Rincian Penggunaan DD dan ADD
No. Kelompok Penggunaan ADD (jutaan) DD (jutaan) 1 BUMDes 71,17 2.841,89 2 ekonomi 241,56 1.262,29 3 energi 319,97 335,80 4 Gedung Kantor Desa 823,09 233,85 5 Kebudayaan 401,00 880,13 6 Kesehatan 1.035,64 2.842,22 7 komunikasi 79,32 81,72 8 Lainnya 9.032,43 2.915,23 9 Operasional Kantor Desa 27.062,25 6,83 10 Pelatihan aparat desa 17.970,88 957,52 11 Pendidikan 404,76 2.877,58 12 Permukiman 3.360,25 4.926,43 13 Pertanian Perikanan Perkebunan 0,00 1.587,40
2 .913 ,061 .503 ,85
655 ,761 .056 ,941 .281 ,14
3 .877 ,87161 ,04
11 .947 ,6627 .069 ,07
18 .928 ,403 .282 ,34
8 .286 ,681 .587 ,40
3 .516 ,60289 ,33
26 .764 ,20
BUMDesEkonomi
energ iGedung Kan to r Desa
KebudayaanKeseha tan
komun ikas iLa innya
Operas iona l Kan to r DesaPe la t i han Apara tu r Desa
pend id i kanpermuk iman
Per tan ian Per i kanan Perkebunansumber daya a i r
Tempat IbadahTranspor tas i
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 92
14 sumber daya air 389,34 3.127,26 15 Tempat Ibadah 289,33 0,00 16 transportasi 3.053,00 23.711,20 Total 64.533,99 48.587,35
Beralih kepada usaha pencapaian prioritas pembangunan nasional yang telah
terdapat pada rencana kerja pemerintah, 80 (delapan puluh) pemerintah desa di Kepri
telah melaksanakan kegiatan di bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Ketahanan
pangan. Kelompok kegiatan yang dapat digolongkan kepada prioritas ketahanan
pangan yaitu kelompok pertanian, perikanan, perkebunan dan penyediaan sumber daya
air.
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau mengambil sampel
pelaksanaan kegiatan di bidang kesehatan yang terdapat pada Kabupaten Natuna dan
Bintan, baik melalui ADD maupun DD keduanya melaksanakan kegiatan yang
berhubungan dengan fasilitas desa. Sesuai dengan cakupannya, kegiatan
pembangunan hanya terbatas pada memaksimalkan peran fasilitas kesehatan seperti
Poskesdes, Posyandu, dan Polindes.
Tabel VI-10 Penggunaan DD dan ADD di Bidang Kesehatan Kelompok Penggunaan DD dan ADD di Bidang Kesehatan
No Pemdes Jenis Kegiatan di Kelompok Kesehatan 1 Natuna Pemeliharaan Posyandu dan Poskesdes Pembangunan Posyandu Peningkatan peran Posyandu 2 Bintan Pemeliharaan Posyandu dan Poskesdes Pembangunan dan pemeliharaan Polindes
Untuk kelompok kegiatan di bidang pendidikan, Kanwil Ditjen Perbendaharaan
Provinsi Kepulauan Riau telah mengambil data dari sampel pada Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Natuna. Berdasarkan sampel pada Kabupaten Bintan dan Natuna, dapat
diketahui bahwa kegiatan di bidang pendidikan formal lebih berfokus pada penyediaan
fasilitas pendidikan bagi anak usia dini serta pendidikan keagamaan. Dan di bidang
pendidikan non formal, pemerintah desa melakukan penyediaan fasilitas pelatihan bagi
masyarakat secara umum.
Tabel VI-11 Penggunaan DD dan ADD di Bidang Pendidikan Penggunaan DD dan ADD di Bidang Pendidikan
No Pemdes Jenis Kegiatan di Kelompok Pendidikan 1 Natuna Pendirian balai pelatihan/kegiatan belajar untuk masyarakat Pemberian alat pendidikan dan kebudayaan 2 Bintan Pembangunan dan pemeliharaan PAUD Pemberian alat pendidikan dan kebudayaan Pengadaan meja dan bangku pada PAUD dan TPA
Beralih ke bidang ketahanan pangan, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi
Kepulauan Riau untuk mengambil sampel kegiatan pemerintah desa pada Kabupaten
Bintan dan Kabupaten Natuna. Berdasarkan baik dari sisi DD maupun ADD pada
pemerintah desa, kegiatan yang dilaksanakan oleh pendanaan dari keduanya memiliki
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 93
objektif pada peningkatan skill untuk meningkatkan kemandirian masing-masing petani
serta ketersediaan sumber daya untuk peningkatan hasil panen.
Tabel VI-12 Penggunaan DD dan ADD di Bidang Ketahanan Pangan Penggunaan DD dan ADD di Bidang Ketahanan Pangan
No Pemdes Jenis Kegiatan di Kelompok Pertanian, Perikanan, dan Perkebunan serta Sumber Daya Air 1 Natuna Pelatihan usaha pertanian, perikanan, dan perkebunan yang diaplikasikan pada industri
kecil dan perdagangan Pembangunan saluran air bersih 2 Bintan Pembangunan sumur air bersih Pelatihan usaha pertanian, perikanan, dan perkebunan yang diaplikasikan pada industri
kecil dan perdagangan Pembangunan saluran air bersih Pembudidayaan ikan air tawar Pelatihan pembuatan pupuk organik Pengadaan bibit ternak sapi
Berdasarkan hal tersebut di atas, kegiatan antara pemerintah desa baik ADD
maupun DD dapat dinilai telah terintegrasi. Kesimpulan ini diambil berdasarkan kegiatan
pemerintah desa yang telah sesuai dengan tujuan pengalokasian Dana Desa yang
difokuskan untuk prioritas Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Dan ADD lebih banyak digunakan untuk operasional pemerintah desa. Disamping itu,
dengan ADD dan DD pemerintah desa juga telah ikut membantu pemerintah dalam
mencapai prioritas pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketahanan
pangan.
Sumber: Monev PA, OMSPAN, Pemda
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 95
BAB VII PENUTUP 7.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1. Dari empat target ekonomi di tahun 2017, hanya inflasi yang berhasil mencapai
target 4±1% dengan realisasi sebesar 4,02 persen. Sementara untuk target
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,00 persen pada RKP dan 5,85 persen pada
RPJMD, realisasi hanya mencapai 2,01 persen. Realisasi TPT Kepri mencapai 7,16
persen dan Realisasi tingkat kemiskinan sebesar 6,13 persen juga meleset dari
target RKP yaitu masing-masing 4,60 persen dan 4,30 persen. Menurunnya iklim
investasi menjadi penyebab utama kurang baiknya realisasi indikator ekonomi
sebagaimana tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang melambat di tahun 2017
dan ini merupakan titik terendah pada 5 tahun terakhir;
2. Realisasi penerimaan pemerintah pusat dan daerah di Kepri tahun 2017 mencapai
Rp18,39 triliun, turun -1,64 persen dibandingkan tahun 2016. Pendapatan
Pemerintah Pusat di Kepri tahun 2017 turun -4,65 persen dari tahun 2016 yang
sebelumnya sebesar Rp7,78 triliun menjadi 7,43 triliun. Selesainya masa tax
amnesty dan lambatnya pertumbuhan ekonomi tahun 2017 merupakan faktor
pendorong turunnya penerimaan pemerintah pusat Kepri. Sementara, realisasi
pendapatan APBD tahun 2017 mengalami peningkatan 0,51 persen dibandingkan
tahun sebelumnya. Kondisi pendapatan APBD yang cenderung stagnan dari pada
tahun sebelumnya karena adanya pengaruh turunnya dana perimbangan (-0,23
persen) yang porsinya mencapai 68,30 persen;
3. Analisis sensitivitas penerimaan pemerintah pusat dan daerah menunjukkan bahwa
penerimaan perpajakan cenderung terpengaruh perlambatan pertumbuhan
ekonomi sedangkan PNBP dan penerimaan Pemda menunjukkan resiliensi
terhadap kondisi tersebut;
4. Realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah tahun 2017 didominasi oleh belanja
pemerintah pusat baik dari sisi absolut maupun dari sisi relatif. Dari segi
komposisinya, realisasi belanja konsolidasian masih didominasi oleh belanja yang
bersifat konsumtif. Komposisi belanja barang dan belanja pegawai yang masing-
masing porsinya sebesar 40,88 persen dan 28,19 persen jauh lebih tinggi
dibandingkan belanja modal sebesar 21,63 persen;
5. Pola alokasi belanja pemerintah pusat di Kepri menunjukkan rasio belanja
pembangunan manusia dan rasio belanja pendukung sektor ekonomi unggulan
relatif masih rendah dibandingkan rata-rata nasional.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 96
6. Analisis pengaruh belanja pemerintah pusat terhadap perekonomian menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal ekspansif dapat mendorong pertumbuhan, khususnya
apabila dialokasikan ke belanja produktif. Namun demikian, pengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja menunjukkan hasil yang tidak positif yang diduga
merupakan akibat dari ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan pasokan
bahan makanan dan bahan bangunan dari luar.
7. Analisis kesehatan keuangan Pemda lingkup Kepri menunjukkan adanya perbaikan
fiskal di tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Bintan merupakan Pemda dengan
tingkat kesehatan keuangan paling baik di Kepri. Hal tersebut menggeser Pemko
Batam ke peringkat ketiga sebagai pemda dengan kesehatan keuangan terbaik di
tahun 2016.
8. Perkembangan positf BLU/BLUD terlihat dari peningkatan PNBP BP Batam yang
masih mampu menyumbangkan pendapatannya ditengah melemahnya ekonomi
Kepri sejalan dengan perubahan manajemen dan kebijakan strategis pengelolaan
kawasan otorita BP Batam.
9. Perkembangan manajemen investasi di bidang penerusan pinjaman menunjukkan
dampak yang positif dari kebijakan penghapusan utang terhadap kondisi keuangan
PDAM Tirta Kepri. DER dan DTI PDAM diperkirakan menurun 38.474 dan 8.000
basis poin. Di bidang kredit program, penyaluran KUR untuk sektor produktif seperti
perikanan, industri, pariwisata, dan pertanian, serta KUR TKI masih belum optimal.
10. Terdapat 2 sektor dan 4 subsektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan
di Kepri. Selain itu, terdapat anomali pada subsektor perikanan yang sebetulnya
juga potensial. Dua sektor unggulan yang layak diprioritaskan meliputi:
a. Sektor Listrik & Gas, khususnya dengan pemanfaatan tenaga surya dan gas.
Tenaga surya memiliki potensi optimal di daerah dekat garis khatulistiwa dan
dapat dimanfaatkan di wilayah kepulauan dengan sistem off-grid, sedangkan
untuk gas, Kepri merupakan wilayah dengan cadangan terbesar.
b. Sektor Konstruksi, khususnya pada jenis Bangunan Sipil (Infrastruktur) karena
akan mendukung iklim investasi di era persaingan ASEAN.
Sedangkan empat subsektor unggulan dan satu subsektor anomali yang layak
diprioritaskan meliputi:
a. Subsektor industri logam untuk menjawab amanah UU 4/2009 dan PP 45/2015
dengan cara sentralisasi pemrosesan mineral mentah.
b. Subsektor ICT karena prospek jangka panjang yang baik, karakteristik resilien,
dan ketergantungan Indonesia akan impor produk ICT yang tinggi.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 97
c. Subsektor angkutan laut yang nantinya akan mendukung pembangunan
provinsi kepulauan dengan menekan biaya logistik, meningkatkan
interkonektivitas wilayah dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
d. Subsektor penyediaan akomodasi karena potensi keindahan alam Provinsi
Kepulauan Riau dan tingkat kunjungan wisatawan nomor 3 di Indonesia.
e. Subsektor perikanan karena potensi perikanan terbesar di Indonesia berada di
wilayah Kepri dan masih kurang dioptimalkan. Anomali pada sektor ini diduga
terjadi karena permasalahan skala ekonomi, monopoli, ketiadaan TPI dan cold
storage, program pembiayaan, serta hibah kapal yang kurang tepat.
11. Defisit cash flow mencapai 5,63 triliun atau 43,14 persen dari total pengeluaran
APBN di. Namun demikian, nilai defisit tersebut belum memperhitungkan PNBP
SDA dari Kepri. Hasil estimasi kasar PNBP SDA dari kepri menunjukkan bahwa
defisit hanya sebesar Rp1,08 triliun.
12. Perbaikan kondisi fiskal tahun 2017 tidak disertai dengan linearitas perkembangan
indikator kesejahteraan. Hal ini mengindikasikan kualitas belanja yang kurang baik.
13. Hasil simulasi penciptaan lapangan kerja dari percepatan pelaksanaan anggaran
menunjukkan bahwa percepatan pelaksanaan anggaran berpotensi menciptakan
efek multiplier bagi pertumbuhan ekonomi.
14. Perkembangan realisasi dana desa dan tingkat kemiskinan di desa menunjukkan
perlunya optimalisasi dana desa untuk pengentasan kemiskinan.
15. Terdapat urgensi percepatan pembangunan infrastruktur untuk mempertahankan
iklim investasi di Kepri yang membutuhkan investasi besar dalam mengembangkan
industrinya. Urgensi tersebut didorong oleh persaingan negara-negara ASEAN
dalam menarik PMA yang semakin ketat sebagaimana tercermin juga dalam
proporsi PMA Indonesia yang terus tergerus selama beberapa tahun. Selain itu,
kapasitas pelabuhan di Kepri juga masih kalah jauh dibandingkan pelabuhan
tetangga (Port of Singapore, Port of Klang, dan Port of Tanjung Pelepas). Adapun
dalam prakteknya, pembangunan infrastruktur di Kepri masih menghadapi kendala-
kendala seperti permasalahan kurangnya bahan bangunan, cuaca ekstrim,
kegagalan feasibility study, serta sengketa lahan.
16. Realisasi APBN dan APBD di bidang pendidikan di secara garis besar memiliki
kesamaan karakteristik. Realisasi APBN dan APBD di bidang kesehatan baik
pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki karakteristik yang berbeda.
Pemerintah pusat lebih cenderung pada sosialisasi maupun pembinaan
pencegahan penyebaran wabah penyakit dan pada sisi pemda kegiatannya
cenderung pada penyediaan sarana/prasarana fasilitas kesehatan.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 98
17. Realisasi APBN dan APBD di bidang ketahanan pangan sebagian besar cenderung
pada penyediaan dan pemenuhan sumber daya, namun demikian masih terdapat
kekurangan pada faktor peningkatan keterampilan/skill para petani sebagai pelaku
untuk dapat memaksimalkan sumber daya yang telah disediakan oleh APBN dan
APBD.
18. Realisasi Dana Desa dan ADD secara garis besar memiliki perbedaan karakteristik
karena terdapat perbedaan kebijakan penggunaan. Dana Desa sebagian besar
digunakan untuk bidang pembangunan desa, sedangkan ADD sebagian besar
digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. sehingga
implementasi Dana Desa di lapangan cenderung lebih banyak pada kegiatan fisik
dibandingkan pada ADD
7.2 REKOMENDASI
Rekomendasi atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas meliputi:
1. Melihat deviasi realisasi target ekonomi yang cukup besar, Pemda sebaiknya
mempertimbangkan untuk merevisi target dalam RPJMD agar menjadi lebih realistis
untuk tahun-tahun berikutnya. Mengacu pada Permendagri 54/2010 pasal 282 (2),
penurunan kinerja sektor industri yang merupakan motor utama perekonomian Kepri
dapat menjadi alas an untuk revisi RPJMD.
2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mungkin perlu mempertimbangkan
kemudahan dalam memperoleh insentif pajak bagi para investor seperti tax holiday
dan tax allowance untuk menarik minat para investor sekaligus menambah basis
pajak untuk penerimaan pada periode selanjutnya.
3. Direktorat Jenderal Pajak perlu merasionalisasi target penerimaan pajak lingkup
Kepri di tahun-tahun berikutnya mengingat karakteristik penerimaan pajak yang
sensitif terhadap perumbuhan ekonomi dan masih berlangsungnya fenomena
perlambatan pertumbuhan ekonomi di Kepri.
4. Agar terhindar dari terulangnya penghematan anggaran, pemerintah pusat perlu
merasionalisasi anggaran di tahun-tahun berikutnya agar lebih kredibel.
5. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperbaiki struktur belanjanya. Porsi alokasi
terhadap belanja infrastruktur dan fasilitas pendukung investasi lainnya harus
diprioritaskan untuk dapat meningkatkan iklim investasi dan menarik banyak PMA
di tengah era persaingan negara ASEAN saat ini. Tidak tercapainya target RKP dan
RPJMD menunjukkan bahwa hal ini harus segera dilakukan untuk membalikkan tren
perlambatan pertumbuhan dan memperbaiki pencapaian target di tahun berikutnya.
6. Alokasi belanja juga dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan produksi
bahan makanan dan bahan bangunan di Kepri. Dengan begitu, ketergantungan
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 99
akan impor bahan akan berkurang, nilai tambah produksi di Kepri meningkat, serta
dampak positif dari ekspansi fiskal tidak akan berlarian ke wilayah lain.
7. Berkaitan dengan performa negatif BLUD kesehatan (RSUD), Pemda perlu
mengevaluasi kinerja operasional RSUD baik dari sisi kesesuaian tarif, beban
operasional, maupun kualitas layanan. Apabila performa negatif RSUD terus
berlanjut, fiskal Pemda akan terbebani dan prinsip dasar penerapan BLUD untuk
meningkatkan layanan sendiri tidak tercapai.
8. Dalam rangka merubah realisasi KUR yang didominasi sektor perdagangan,
Pemerintah Pusat sebaiknya segera merealisasikan KUR sektoral dengan kuotanya
masing-masing sehingga sektor-sektor produktif dapat diprioritaskan.
9. Optimalisasi dana desa perlu dilakukan untuk menanggulangi peningkatan
kemiskinan perdesaan di Kepri. Salah satu alternatif implementasi adalah dengan
merealisasikan konsep one village one product dalam bentuk:
a. Desa prioritas pariwisata atau pendukung pariwisata dapat diarahkan menjadi
home industry kerajinan tangan, suvenir, atau barang kesenian lainnya dengan
BUMDes yang dibiayai dana desa. Saat ini, area pariwisata seperti Lagoy,
Bintan hanya menjual suvenir impor karena tidak adanya produk lokal.
b. Desa prioritas perikanan dapat diarahkan untuk membuat tempat pelelangan
ikan dan cold storage dengan Dana Desa untuk menghilangkan monopoli.
c. Desa prioritas industri dapat diarahkan untuk menjadi supplier komponen atau
bahan baku industri dengan BUMDes yang dimodali dana desa. Pemerintah
dapat memetakan komponen atau bahan baku industri yang dapat disediakan
oleh home industry dan mendorong kerja sama antara perusahaan industri
besar dengan desa-desa terkait.
10. Mengacu pada Growth Diagnostic dan perbandingan kapasitas pelabuhan dari BI,
urgensi pembangunan infrastruktur dapat difokuskan pada infrastruktur pelabuhan.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan diperkirakan memberi efek multiplier
terbesar bagi perekonomian Kepri. Fokus pembangunan pelabuhan juga dapat
diarahkan pada pendalaman dermaga dengan skala besar seperti proyek Tanjung
Sauh. Dengan begitu, Kepri dapat memanfaatkan potensi pelabuhan transshipment
dan jasa perkapalan yang saat ini masih didominasi Singapura dan Malaysia. Selain
itu, pelabuhan juga akan membantu menekan biaya logistik dan meningkatkan
interkonektivitas wilayah yang selama ini menjadi tantangan utama pembangunan
wilayah Kepulauan seperti Kepri. Adapun untuk mengatasi kendala-kendala seperti
permasalahan kurangnya bahan bangunan, cuaca ekstrim, kegagalan feasibility
study, serta sengketa lahan, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II 100
a. Pemda sebaiknya membangun pusat-pusat logistik atau mendorong pihak
swasta untuk membangunnya di wilayah prioritas pembangunan dengan cara:
i. Memanfaatkan fasilitas pembuatan Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk
meminimalisir biaya penimbunan bahan dalam mengantisipasi kondisi cuaca
yang tidak mendukung transportasi alat/bahan bangunan.
ii. Menjamin keberlangsungan demand proyek konstruksi agar pembangunan
pusat logistik menjadi fesibel secara ekonomi. Penjaminan dapat berupa
Perda alokasi minimal anggaran infrastruktur setiap tahun (seperti konsep
20% anggaran pendidikan di pusat).
b. Pemerintah sebaiknya membuat beberapa feasibility study sekaligus dalam 1
tahun anggaran sehingga terdapat banyak alternatif proyek pada tahun
anggaran berikutnya ketika beberapa proyek tidak fesibel.
c. Terkait permasalahan lahan, Pemda sebaiknya memfasilitasi koordinasi antara
Satker penanggung jawab pembangunan infrastruktur dan BPN agar ada
kesamaan visi mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur di daerah.
11. Dalam rangka mencapai keberhasilan target ketahanan pangan nasional,
diperlukan kegiatan pembinaan yang lebih pada peningkatan skill/kemampuan
seperti perkumpulan petani mandiri yang mampu menghasilkan memproduksi
pupuk secara mandiri dan memahami teknologi tani terkini.
.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU a
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Salman. Maret 2014. Selection of renewable energy sources for sustainable
development of electricity generation system using analytic hierarchy process: A case of Malaysia. Pahang: Universiti Malaysia Pahang
Anugrah, D.F., Anglingkusumo, R., Aji, P., Yusuf, A.A., Horridge, M., Fridayanti, Y., . . . Rizkia, A.P. 2016. Growth Diagnostic: Strategi Pertumbuhan untuk Mendukung Reformasi Struktural di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia dan Asian Development Bank
Ariyanti, F. 19 Februari, 2016. 30% Pabrik di Batam Berencana Pindah ke Vietnam dan Malaysia. Liputan 6. (http://bisnis.liputan6.com/read/2440668/30-pabrik-di-batam-berencana-pindah-ke-vietnam-dan-malaysia terakhir diakses tanggal 27 Februari 2017)
Arsyad, Lincoln. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi.
Asdhiana, I M. 13 Maret, 2015. Menpar: Potensi Pariwisata Kepri Melebihi Bali. Kompas. (http://travel.kompas.com/read/2015/03/13/201500127/Menpar.Potensi.Pariwisata.Kepri.Melebihi.Bali terakhir diakses tanggal 22 Februari 2017)
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Daerah Kota Batam Tahun 2014. Batam: Badan Pusat Statistik Kota Batam.
--------------. 2015. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
--------------. 2015. Statistik Daerah Provinsi Bali Tahun 2015. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
--------------. 2016. Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Riau Tahun 2016. Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
--------------. 2016. Kajian Pertumbuhan Perekonomian Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011-2015 Melalui Pendekatan Tahun Dasar 2010. Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
--------------. 2016. Statistik Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016. Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
Bank Indonesia. 2016. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kepulauan Riau November 2016. Batam: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau.
Batam Pos. 25 Januari, 2017. Praktik TKI Ilegal Tak Akan Habis. Batam Pos. (http://batampos.co.id/2017/01/25/praktik-tki-ilegal-tak-habis/ terakhir diakses tanggal 16 Februari 2017)
Batam Pos. 20 Februari, 2017. Batam Banjir Penangguran. Batam Pos. (http://batampos.co.id/2017/02/20/batam-banjir-pengangguran/ terakhir diakses tanggal 27 Februari 2017)
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II b
Haughton, Jonathan dan S.R. Khandkher. 2009. Handbook on Poverty and Inequality: Chapter 4,. World Bank. (http://siteresources.worldbank.org/INTPA/Resources/ 4299661259774805724/Poverty_Inequality_Handbook_Ch04.pdf terakhir diakses tanggal 13 Februari 2017).
Ball, L., J.T. Jalles, dan P. Loungani. 2014. Do Forecasters Believe in Okun’s Law? An Assessment of Unemployment and Output Forecasts. IMF Working Papers. (https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2014/wp1424.pdf terakhir diakses tanggal 14 Februari 2017).
Broadfoot, C. Robert. 2003. Final Batam Report. Hong Kong: Political and Economic Risk Consultancy, Ltd.- PERC
Brown, Ken W. 1993. The 10-Point Test of Financial Condition: Toward an Easy-to-Use Assessment Tool for Smaller Cities. Government Finance Review.
Council for the Development of Cambodia (CDC) Cambodian Investment Board (CIB) & Cambodian Special Economic Zone Board (CSEZB). 2017. Investment Incentives. (http://www.cambodiainvestment.gov.kh/investment-scheme/investme nt-incentives.html terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)
Demographia. 2015. Demographia World Urban Areas 11th Annual Edition: 2015:01. Belleville: Demographia
Dodo. 27 Agustus, 2013. Kawasan Industri Lobam Terus Alami Kemunduran. Batam Today. (http://www.batamtoday.com/berita32548-Kawasan-Industri-Lobam-Terus-Alami-Kemunduran.htmsl terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)
Dung, Nguyen Tan. Mei 2014. Why Foreign Investment in Vietnam is Booming. World Economic Forum. (https://www.weforum.org/agenda/2014/05/foreign-investment-booming-vietnam/ terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)
Fajarta, Carlos Roy. 10 Januari, 2017. Optimalkan Layanan, Kemhub dan Pemprov DKI Bentuk BLU. Berita Satu. (http://www.beritasatu.com/megapolitan/408618-optimalkan-layanan-kemhub-dan-pemprov-dki-bentuk-blu.html terakhir diakses tanggal 16 Februari 2017)
Haluan Kepri. 20 Februari, 2016. 30% Perusahaan di Batam Ingin Hengkang. Haluan Kepri. (http://haluankepri.com/nasional/87899-30-perusahaan-di-batam-ingin-hengkang.html diakses tanggal 27 Februari 2017)
Heymann, Eric: Container Shipping. 25 April 2006. Deutsche Bank Research (http://www.dbresearch.com/PROD/DBR_INTERNET_DE-%20PROD/PROD00 00000000198081.PDF terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)
Hirst, Tomas. Mei 2014. The World’s Most Important Trade Route. World Economic Forum (https://www.weforum.org/agenda/2014/05/world-most-important-trade-route/ terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)
Hoover, Kevin D. 2008. Phillips Curve. Library of Economics and Liberty (http://www.econlib.org/library/Enc/PhillipsCurve.html#lfHendersonCEE2-126_figure_036 terakhir diakses tanggal 14 Februari 2017)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU c
Jatmiko, B.P. 13 Januari, 2016. Pemodal Siap Hengkang dari Batam. Kompas. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/01/13/150633026/Pemodal.Siap.Hengkang.dari.Batam terakhir diakses tanggal 27 Februari 2017)
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Berita Negara RI Tahun 2010, No. 517. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2016. Statistik Ketenagalistrikan 2015 . Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
--------------. 2014. Surat Edaran Nomor SE-43/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Kajian Fiskal Regional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perbendaharaan
--------------. 2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.07/2015 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2016. Berita Negara RI Tahun 2015, No. 1181. Jakarta: Kementerian Keuangan
--------------. 2016. Informasi APBN 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran.
--------------. 2016. Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau.
--------------. 2016. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.07/2016 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Berita Negara RI Tahun 2016, No. 400. Kementerian Keuangan. Jakarta
--------------. 2017. Penelitian dan Kajian Pelaksanaan Dana Desa Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2015. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
Koshpasharin, S., dan K. Yasue. 2014. Study on the Development Potential of the Content Industry in East Asia and the ASEAN Region: SWOT Analysis, ERIA Research Project Report 2012-13, pp.95-117.Jakarta: ERIA.
Marinevesseltraffic. Malacca Strait Marine Traffic. Juli 2013. (http://www.marinevessel traffic.com/ terakhir diakses tanggal 21 Februari 2016)
Moran, Theodore H. 2016. Attracting Foreign Direct Investment: The Case of Costa Rica, GeorgetownX, Washington, United States of America. 6 mins.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II d
Moran, Theodore H. 2016. Who’s Investing?, GeorgetownX, Washington, United States of America. 8 mins.
Nor-Afidah. 2005. Growth Triangle. Singapura: Singapore National Library Board.
OECD. 2015. Government at a Glance 2015, Paris:OECD Publishing. (http://dx.doi.org/ 10.1787/gov_glance-2015-en terakhir diakses tanggal 14 Februari 2017)
Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kepri. 2015. Laporan Keuangan PDAM Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014. Tanjungpinang: PDAM Tirta Kepri.
Pemerintah Kabupaten Bintan. 2014. Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan. Lembaran Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2014, No. 6. Sekretariat Daerah. Bandar Seri Bentan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. 2010. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Kepulauan Riau Sebagai Badan Layanan Umum Daerah. Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010, No. 9. Sekretariat Daerah. Tanjungpinang
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 4959. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 5277. Sekretariat Negara. Jakarta
Supriadi, A. dan S. Primadhita. 23 Agustus, 2016. Alasan Kriminalisasi dan Masalah Klasik Penyerapan Anggaran. CNN Indonesia. (http://www.cnnindonesia.com/ ekonomi/20160823173021-78-153323/alasan-kriminalisasi-dan-masalah-klasik-penyerapan-anggaran/ terakhir diakses tanggal 19 Februari 2017)
The Jakarta Post. 15 Februari, 2017. Govt credit program fails to reach farmers, minister admits. The Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2017/02/15/govt-credit-program-fails-to-reach-farmers-minister-admits.html terakhir diakses tanggal 16 Februari 2017)
Tribunnews. 3 November, 2016. Kepala BP Batam Akui Tujuan UWTO untuk Menyetop Pertumbuhan Rumah Mewah. Tribunnews (http://www.tribunnews.com/nasional /2016/11/03/kepala-bp-batam-akui-tujuan-uwto-untuk-menyetop-pertumbuhan-rumah-mewah?page=1 terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)
Winosa, Yosi. 26 November, 2016. Kenaikan Tarif Lahan di Batam Maksimal 150%. Berita Satu. (http://www.beritasatu.com/makro/401312-kenaikan-tarif-lahan-di-batam-mak simal-150.html terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU e
DAFTAR ISTILAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBD, perubahan APBD (APBD-P), dan pertanggungjawaban APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN (APBN-P), dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Badan Layanan Umum (BLU) instansi di lingkungan Pemerintah Pusat yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. BLU memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa keleluasaan untuk menggunakan langsung pendapatannya (tanpa harus menyetor ke Rekening Kas Umum Negara/RKUN) dan menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Contoh: BLU Perguruan Tinggi Negeri, BLU Rumah Sakit Pemerintah, dan BLUD Pengelola Dana Bergulir).
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) instansi di lingkungan Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. BLUD memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa keleluasaan untuk menggunakan langsung pendapatannya (tanpa harus menyetor ke Rekening Kas Umum Daerah/RKUD) dan menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Contoh: BLUD Rumah Sakit Umum Daerah dan BLUD Pengelola Dana Bergulir).
Bagian Anggaran (BA) adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga (K/L) dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara (Contoh: 001 = Majelis Permusyawaratan Rakyat; 015: Kementerian Keuangan; 054 = Badan Pusat Statistik 999 = Bendahara Umum Negara).
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran K/L seperti subsidi, pembayaran utang, penerusan pinjaman, investasi pemerintah dan dana transfer.
Basis Poin/Basis Point (BPS) adalah unit pengukuran suku bunga dan persentase lainnya di bidang keuangan. Satu basis poin sama dengan 1/100 dari 1% atau 0,01%, dan digunakan untuk menunjukkan perubahan persentase.
Bea Masuk (BM)/Impor Duty adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Pengenaan bea masuk biasanya memiliki tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, memberikan proteksi terhadap produksi local, dan/atau untuk menghukum negara tertentu dengan mengenakan tarif yang sangat tinggi untuk negara tersebut.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II f
Bea Keluar (BK)/Export Duty adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang keluar dari daerah pabean. Saat ini, pengenaan bea keluar sudah jarang diterapkan karena tidak sejalan dengan kebijakan berorientasi ekspor yang membutuhkan harga kompetitif di pasar internasional.
Belanja Diskresi/Discretionary Spending adalah belanja yang alokasinya didasarkan pada tujuan pemerintah, rencana program untuk mencapainya, serta dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program. Kebutuhan tersebut diusulkan oleh pemerintah untuk ditelaah dan disetujui oleh DPR/DPRD. Perbedaan utama dengan belanja non-diskresi (mandatory spending), yang jumlah atau porsi alokasinya sudah ditentukan, adalah pada belanja diskresi porsi yang dialokasikan pada setiap awal tahun anggaran dapat berubah-rubah tergantung pada prioritas yang ingin dilaksanakan pemerintahan saat itu dan persetujuan DPR/DPRD.
Belanja Non-Diskresi atau Belanja Wajib/Non-Discretionary Spending atau Mandatory Spending adalah belanja yang besarannya sudah diatur sebelumnya seperti alokasi anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan (Contoh: minuman beralkohol dan tembakau).
Cumulative to Cumulative (C to C) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur dengan basis kumulatif waktu. (Contoh: penerimaan pemerintah pada Triwulan I s.d Triwulan III 2016 dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada Triwulan I s.d Triwulan III Agustus 2016)
Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) dana pada ABPN yang dialokasikan untuk ditransfer kepada pemerintah daerah dengan penggunaan yang sudah ditentukan sebelumnya dan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pembangunan fisik. (Contoh penggunaan: gedung sekolah, infrastruktur irigasi, energy skala kecil, prasarana pemerintah daerah, infrastruktur jalan, transportasi perdesaan sarpras pasar, dan lain sebagainya).
Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK Non Fisik) dana pada ABPN yang dialokasikan untuk ditransfer kepada pemerintah daerah dengan penggunaan yang sudah ditentukan sebelumnya dan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan non fisik. (Contoh penggunaan: bantuan operasional sekolah (BOS), tunjangan profesi guru PNSD, bantuan operasional kesehatan, dan lain sebagainya)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU g
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. kenario awal Dana Desa ini diberikan dengan mengganti program pemerintah yang dulunya disebut PNPM,
Dana Insentif Daerah (DID) adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas pencapaian kinerja tertentu
Dana Perimbangan/Dana Transfer merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah, mengurangi kesenjangan vertikal Pusat-Daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar daerah, dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah
Dekonsentrasi (DK) pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur. Untuk mendukung pelaksanaan dekonsentrasi, dibutuhkan dana dekonsentrasi, yaitu dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana dekonsentrasi tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Defisit/Surplus Anggaran adalah kebijakan atau realisasi pengeluaran dan penerimaan negara. Pengeluaran lebih besar dari penerimaan disebut sebagai defisit anggaran, sedangkan pengeluaran lebih kecil dari penerimaan disebut sebagai surplus anggaran.
Earmarked Tax/Spending dalam ranah keuangan publik adalah kebijakan untuk mengalokasikan penggunaan atas jenis penerimaan tertentu pada tujuan-tujuan tertentu yang biasanya berkaitan. (Contoh: pajak kendaraan bermotor dialokasikan khusus untuk anggaran perbaikan jalan; cukai rokok dialokasikan khusus untuk anggaran kesehatan).
Federal Government Spending (FGS) adalah pengeluaran pemerintah federal (pemerintah pusat) di amerika. Padanan dari FGS di Indonesia adalah Belanja pada APBN.
Fossil Fuels adalah bahan bakar (sumber energy) berbahan dasar karbon yang terbentuk dari proses natural dekomposisi anaerobik organisme yang terkubur dalam tanah seperti minyak, batu bara, dan gas. Sumber energi ini saat ini mulai ditinggalkan oleh negara maju karena tidak dapat diperbaharui dan besarnya polusi yang dihasilkan dapat berdampak buruk terhadap iklim (global warming).
Free Trade Zone (FTZ)/Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) merupakan kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, PPN, PPnBM, dan Cukai.
Grace Period dalam ranah keuangan adalah ketentuan masa tenggang dalam suatu kewajiban pembayaran dimana dalam masa tersebut, kewajiban pembayaran dapat ditunda tanpa dikenakan penalti.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II h
Global Supply Chain atau rantai pasokan global merupakan jaringan pada perusahaan multinasional dalam melakukan produksi dan distribusi produk tertentu.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan (HPKD) merupakan pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari bagian laba atas penyertaan modal pada BUMD, BUMN, Perusahaan Swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk dari garis kemiskinan.
Indeks Keparahan Kemiskinan/Poverty Severity Index (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (IPM/HDI) menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh 3 dimensi dasar yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.
Independent Power Producer (IPP) merupakan entitas yang memiliki fasilitas
pembangkit listrik dan menjual energi listrik yang dihasilkan ke PLN.
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang
Inflasi Tahun Kalender adalah perubahan kenaikan tingkat harga secara umum dari barang/jasa, atau merosotnya daya beli atau nilai riil uang selama satu tahun kalender (dari bulan Januari tahun ini sampai dengan bulan ini tahun ini). Ini dihitung dari persentase perubahan IHK bulan ini tahun ini terhadap IHK bulan Desember tahun lalu.
Informed Judgement/Informed Decision Making adalah pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang komprehensif, tidak semata-mata berdasarkan perasaan atau kepercayaan pengambil keputusan. Dalam konteks sektor publik, Informed Judgement oleh pejabat publik sangat penting untuk menciptakan program/kegiatan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)/Special Economic Zone (SEZ) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Nega Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu..
Keunggulan Komparatif/Comparative Advantage adalah kondisi ekonomi dimana suatu daerah dapat memproduksi suatu barang dengan lebih sedikit opportunity cost. Kondisi tersebut berasal dari teori yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam menjelaskan perdagangan antar negara.
Keunggulan Kompetitif/Keunggulan Bersaing/Competitive Advantage adalah kemampuan yang diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya suatu perusahaan atau wilayah untuk memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan atau wilayah lain pada industri atau pasar yang sama.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU i
Kredit Program merupakan program kredit/pembiayaan pemerintah dengan berbagai
skema yang ditujukan untuk pengembangan sektor prioritas,
Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu skema kredit program yang sumber dananya berasal dari bank dengan suku bunga rendah yang disubsidi oleh pemerintah. Secara umum, KUR bertujuan untuk mempercepat pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) Meningkatkan akses pembiayaan UMKMK kepada Lembaga Keuangan.
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah (LLPAD) merupakan pos penganggaran penerimaan asli daerah yang tidak termasuk ke dalam pajak daerah, retribusi daerah, dan HPKD. LLPAD meliputi jasa giro, bunga, tuntutan ganti rugi, denda pajak, denda retribusi, pendapatan BLUD, dan lain sebagainya.
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah (LLPD) merupakan pos penerimaan Pemda untuk menampung penerimaan selain PAD dan Dana Perimbangan. Pos LLPD meliputi hibah, dana darurat, DBH dari provinsi, bantuan keuangan, dan lain sebagainya.
Leverage dalam ranah finansial adalah penggunaan berbagai macam instrumen pembiayaan untuk meningkatkan keuntungan dari investasi. Perusahaan dengan porsi pembiayaan (utang) yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekuitasnya disebut dengan perusahaan dengan leverage yang tinggi. Perusahaan dengan leverage yang terlalu tinggi biasanya tidak terlalu diminati investor karena resiko kebangkrutannya tinggi.
Location Quotient (LQ) merupakan metode kuantifikasi tingkat konsentrasi suatu sektor pada suatu wilayah dalam suatu negara dibandingkan dengan negara itu sendiri. Dengan LQ, keunikan suatu wilayah dibandingkan rata-rata nasional dapat terlihat. Nilai LQ lebih besar dari 1 dapat diartikan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif.
Model Rasio Pertumbuhan (MRP) adalah perbandingan pertumbuhan suatu sektorr
antara skala yang lebih luas dan skala yang lebih kecil
MRP Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) adalah MRP yang membandingkan pertumbuhan sektor dalam suatu wilayah yang lebih kecil dengan wilayah yang lebih besar (contoh: kabupaten dengan provinsi, provinsi dengan negara).
Month on Month (MoM) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur dengan basis bulanan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada bulan September 2016 dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada bulan Agustus 2016)
Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) dalam perbankan adalah kredit bermasalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi kurang lancar, diragukan dan macet. Termin NPL diperuntukkan bagi bank umum, sedangkan NPF untuk bank syariah.
Okun’s Law merupakan teori dari Arthur Melvin Okun yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Ketika tingkat pengangguran meningkat, maka pertumbuhan PDB akan menurun, dan begitu pula sebaliknya.
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) merupakan organisasi lintas negara yang dibentuk oleh negara-negara pengekspor minyak untuk berkoordinasi dan menyatukan kebijakan perminyakan diantara negara anggota.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II j
Overlay dalam analisis ekonomi merupakan metode analisis yang digunakan untuk menggabungkan beberapa analisis lainnya sehingga kesimpulan yang dihasilkan menjadi lebih komprehensif.
Pagu Anggaran merupakan plafon atau batasan tertinggi belanja yang dialokasikan pada entitas pemerintah untuk dibelanjakan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)/Property Tax adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Pajak Daerah/Local Tax adalah pajak yang kewenangan pemungutannya berada di tangan Pemerintah Daerah. Pajak daerah meliputi pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak parkir dan sebagainya.
Pajak Penghasilan (PPh)/Income Tax adalah pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya.
Pajak Perdagangan Internasional (PPI) adalah semua penerimaan negara yang
berasal dari bea masuk dan bea keluar.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Value Added Tax (VAT)/Goods and Services Tax (GST) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Pelabuhan Transshipment/Transshipment Port adalah pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat singgah dalam proses pengiriman barang atau kontainer sebelum mencapai tujuan akhir.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan kelompok pendapatan pemerintah daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan LLPAD.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Umum (PNBP Umum) adalah PNBP yang tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi entitas penerima PNBP. Contoh PNBP Umum adalah hasil penjualan barang inventaris kantor, hasil penyewaan BMN, jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Fungsional (PNBP Fungsional) penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya. Contoh PNBP Fungsional meliputi PNBP dari pendidikan, kejaksaan dan peradilan, badan layanan umum, dan lain sebagainya.
Penerusan Pinjaman/Subsidiary Loan Agreement (SLA) merupakan metode pembiayaan berupa pinjaman oleh pemerintah pusat yang diteruspinjamkan kepada BUMN/Pemerintah Daerah/BUMD.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU k
Penyertaan Modal Daerah (PMD) merupakan bentuk investasi pemerintah daerah pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas
Penyertaan Modal Negara (PMN) merupakan bentuk investasi pemerintah pusat pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas
Phillips Curve merupakan model ekonomi dari Alban William Phillips yang menggambarkan hubungan berkebalikan antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Artinya, ketika tingkat pengangguran menurun, tingkat inflasi meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
PNBP Ratio/Non-Tax Ratio adalah rasio yang membandingkan antara realisasi PNBP dengan PDB/PDRB pada periode yang sama. Rasio tersebut menjadi indikator keberhasilan penggalian potensi PNBP.
Private Power Utility (PPU) adalah pembangkit listrik swasta terintegrasi yang biasanya menyediakan listrik untuk kawasan industri tertentu.
Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai tambah dari semua barang dan jasa (output) yang diproduksi oleh suatu negara pada periode waktu tertentu.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai tambah dari semua barang dan jasa (output) yang diproduksi oleh suatu wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) pada periode waktu tertentu.
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) adalah PDRB yang menghitung nilai barang dan jasanya berdasarkan harga berlaku.
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) adalah PDRB yang menghitung nilai barang dan jasanya dengan menggunakan harga tahun tertentu sebagai dasar perhitungannya. Dengan kata lain, PDRB ADHK murni menghitung nilai tambah output tanpa memperhitungkan kenaikan/penurunan harga.
Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (PDRB/Kapita) merupakan nilai PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. PDRB/Kapita digunakan sebagai indikator standar hidup penduduk suatu wilayah.
Purchasing Power Parity (PPP) merupakan metode penyesuaian PDB/PDRB dengan menggunakan konversi nilai berdasarkan daya beli mata uang masing-masing negara. Penyesuaian dengan PPP menghasilkan PDB/PDRB yang lebih riil dalam konteks nilai output yang dihasilkan.
Pusat Logistik Berikat (PLB) adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. PLB diselenggarakan oleh badan hukum yang melakukan kegiatan penyediaan dan pengelolaan kawasan PLB.
Quarter to Quarter (Q-to-Q) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur dengan basis kuartalan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada triwulan III 2016 dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada triwulan II 2016)
Rasio Belanja Kesehatan adalah rasio perbandingan belanja untuk kesehatan dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada sektor kesehatan.
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II l
Rasio Belanja Infrastruktur adalah rasio perbandingan belanja untuk infrastruktur dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada pembangunan infastruktur.
Rasio Belanja Pendidikan adalah rasio perbandingan belanja untuk pendidikan dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada sektor pendidikan.
Rasio Belanja Sektoral Terhadap Kontribusi Sektor Kepada PDRB adalah perbandingan indikatif antara fokus anggaran pemerintah dengan kontribusi sektor unggulan. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada sektor-sektor unggulan pada suatu wilayah.
Rasio Utang Terhadap Ekuitas/Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang membandingkan antara utang dan ekuitas (aset bersih) suatu entitas. DER yang tinggi menunjukkan bahwa entitas tersebut memiliki derajat leverage yang tinggi sehingga memiliki resiko yang tinggi dan dapat menjadi kurang menarik di mata investor.
Rasio Utang Terhadap Pendapatan/Debt to Income Ratio (DTI) adalah rasio yang membandingkan antara pembayaran utang dan pendapatan bersih pada suatu periode. DTI yang tinggi menunjukkan bahwa pembayaran utang menggerus keuntungan perusahaan sehingga dapat menjadi kurang menarik di mata investor.
Rebound dalam perekonomian adalah fase dimana kondisi yang kurang baik atau bahkan negatif, mulai berubah menjadi lebih baik. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, rebound berarti pertumbuhan ekonomi mulai meningkat atau mengalami percepatan.
Regresi dalam ekonometrika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan sebab-akibat antara satu variabel dengan variabel(-variabel) yang lain
Regresi dalam ekonometrika dengan Fixed Effect adalah metode regresi untuk data panel dimana karakteristik masing-masing variabel dependen (contoh: variabel dependen adalah pertumbuhan ekonomi beberapa kabupaten/kota)
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan rencana tahunan pemerintah pusat yang dijabarkan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RKP memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan rencana tahunan pemerintah daerah yang dijabarkan dari dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pada prinsipnya, RKPD serupa dengan RKP, namun dengan lingkup wilayah yang lebih kecil (Provinsi/Kabupaten/Kota)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk perioda 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden dengan berpedoman pada RPJPN.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk perioda 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memerhatikan RPJM Nasional.
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU m
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJPN terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJPD yang memuat visi, misi, dan arah Pembangunan Jangka Panjang Daerah disusun dengan mengacu kepada RPJPN.
Renewable Energy/Energi Terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber energi yang secara alami dapat dipulihkan seiring berjalannya waktu seperti sinar matahari, angin, air, pasang surut gelombang, ombak, panas bumi, dan bioenergi. Saat ini, negara-negara maju mulai mengalihkan sumber energinya ke energy terbarukan karena tidak menghasilkan atau hanya menghasilkan sedikit polusi yang dapat berkontribusi terhadap global warming.
Retribusi Daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Retribusi daerah meliputi retribusi izin mendirikan bangunan (IMB), retribusi parkir, retribusi pelayanan pasar, retribusi terminal dan sebagainya.
Satuan Kerja (Satker) adalah Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program. Dalam konteks akuntansi, kata Satker ini bisa dipersamakan dengan entitas.
Shale Oil adalah minyak non konvensional yang diproduksi dari serpihan batu yang mengandung shale oil. Teknologi untuk mengekstraksi minyak dari batuan tersebut relatif baru ditemukan dan memiliki biaya operasional yang lebih besar dibandingkan dengan minyak konvensional.
Sisa Lebih/Kurang Perhitungan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Selisih positif (sisa lebih) dapat digunakan untuk membiayai defisit anggaran di tahun anggaran berikutnya.
Skala Ekonomi/Economy of Scale merupakan fenomena turunnya biaya produksi per unit dari suatu perusahaan yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya jumlah produksi (output). Dalam konteks industrialisasi, skala ekonomi menciptakan efisiensi bagi suatu unit produksi sampai dengan titik tertentu.
Spesialisasi dalam ekonomi adalah metode produksi dimana suatu negara, daerah, atau unit produksi memproduksi beberapa jenis barang atau jasa saja untuk meningkatkan efisiensi pada sistem produksi secara keseluruhan
Supply Glut dalam makroekonomi adalah kelebihan penawaran dibandingkan dengan permintaan, khususnya ketika terdapat kelebihan produksi dibandingkan dengan sumber daya yang ada untuk mengkonsumsi produksi tersebut.
Tax Ratio adalah rasio yang membandingkan antara realisasi pajak dengan PDB/PDRB pada periode yang sama. Rasio tersebut menjadi indikator keberhasilan penggalian potensi pajak.
Tingkat Kemiskinan/Persentase Penduduk Miskin/Head Count Index (HCI-Po) adalah persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK).
BIDANG PEMBINAAN PELAKSANAAN ANGGARAN II n
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah suatu indikator ketenagakerjaan yang memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari merujuk pada suatu waktu dalam periode survei. TPAK dihitung dengan cara membagi jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit (orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. TPT dihitung dengan cara membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.
Trickle-down adalah teori yang menyatakan bahwa kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok orang-orang kaya, maka keuntungan itu akan menetes kebawah kepada golongan miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar. Dalam konteks geografis, trickle-down dapat diartikan bahwa perekonomian dari suatu wilayah yang lebih makmur menyebar ke wilayah sekitarnya karena adanya mobilisasi tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan repatriasi.
Tugas Pembantuan (TP) adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Untuk pelaksanaanya, diberikan dana tugas pembantuan dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran.
Urusan Bersama (UB) merupakan kegiatan bersama pusat dan daerah yang dilaksanakan langsung oleh masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan bersifat bantuan langsung ke masyarakat dan biasanya dialokasikan dalam bantuan sosial. Pendanaan UB berasal dari APBN dan disertai dengan Dana Pendamping dari APBD.
Vokasional dalam konteks pendidikan/pelatihan merupakan pendidikan/pelatihan yang lebih terfokus pada sisi keahlian atau kemahiran praktis dalam berkerja dibandingkan sisi akademik. Di era cepatnya perubahan teknologi seperti saat ini, kebutuhan akan keahlian seorang pekerja seringkali berubah-ubah sehingga permintaan akan pendidikan/pelatihan vokasional terus meningkat.
Volatilitas/Volatility dalam konteks ekonomi merupakan kecenderungan suatu variabel untuk berubah-ubah. Semakin tinggi volatilitas, semakin sering suatu variabel berubah-ubah.
Year on Year (YoY) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur dengan basis tahunan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada triwulan III 2016 dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada triwulan III 2015)
KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 15