KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT - bi.go.id · 2009 menjadi 3,66% pada triwulan I-2010....
Transcript of KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT - bi.go.id · 2009 menjadi 3,66% pada triwulan I-2010....
KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT
TRIWULAN I-2010
KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG
Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 108 BANDUNG Telp : 022 – 4230223 Fax : 022 – 4214326
Visi Bank Indonesia Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Misi Bank Indonesia Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan. Nilai-nilai Strategis Bank Indonesia Nilai-nilai yang menjadi dasar organisasi, manajemen dan pegawai untuk bertindak atau berperilaku yaitu kompetensi, integritas, transparansi, akuntabilitas dan kebersamaan. Visi Kantor Bank Indonesia Bandung Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan. Misi Kantor Bank Indonesia Bandung Mendukung pencapaian kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran secara efisien dan optimal serta memberikan saran kepada Pemda & lembaga terkait lainnya di daerah dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi daerah. Tugas Pokok Bank Indonesia Bandung adalah sebagai berikut : 1. Memberikan masukan kepada Kantor Pusat tentang kondisi ekonomi dan keuangan daerah di
wilayah kerjanya; 2. Melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran tunai dan/atau non tunai sesuai dengan
kebutuhan ekonomi daerah di wilayah kerjanya; 3. Melaksanakan pengawasan terhadap perbankan di wilayah kerjanya; 4. Memberikan saran kepada Pemerintah Daerah mengenai kebijakan ekonomi daerah, yang
didukung dengan penyediaan informasi berdasarkan hasil kajian yang akurat; 5. Mengelola sumber daya internal yang dibutuhkan sebagai faktor pendukung terlaksananya fungsi-
fungsi utama.
Halaman ini sengaja dikosongkan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya, buku “Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat Triwulan I-2010” ini akhirnya dapat
diselesaikan. Hasil kajian atas perkembangan ekonomi regional Provinsi Jawa Barat pada triwulan
laporan memberi gambaran bahwa perekonomian Jawa Barat terindikasikan terus menunjukkan
perkembangan yang baik.
Prospek perekonomian global yang semakin menunjukkan perbaikan diperkirakan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa Barat untuk tetap tumbuh tinggi, yaitu sebesar 5,8% (yoy)
pada triwulan I-2010. Angka perkiraan tersebut sedikit melambat apabila dibandingkan pertumbuhan
pada triwulan sebelumnya yang mencapai 6,1% (yoy). Walaupun demikian, perkiraan pertumbuhan
ekonomi di sepanjang tahun 2010 diperkirakan masih tetap lebih tinggi dibandingkan tahun 2009.
Dari sisi permintaan, tingginya pertumbuhan ekonomi didorong terutama oleh meningkatnya ekspor
dan investasi, sementara di sisi lain, konsumsi rumah tangga diperkirakan sedikit melambat. Dari sisi
penawaran, sektor industri pengolahan menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terutama pada
subsektor alat angkutan, mesin, dan peralatannya. Sementara itu, sektor pertanian diperkirakan
melambat, seiring turunnya produksi padi di Jawa Barat selama periode laporan.
Di sisi perkembangan harga, laju inflasi Jawa Barat masih cukup terkendali, yakni sebesar
2,99% (yoy). Faktor penyebab masih terkendalinya level inflasi Jawa Barat adalah membaiknya
ekspektasi pelaku usaha karena apresiasi nilai tukar rupiah dan terjaganya pasokan bahan kebutuhan
pokok masyarakat. Lancarnya distribusi beberapa komoditas strategis, terutama daging ayam ras, telur
ayam ras, ikan segar, dan sayur-sayuran turut berperan dalam terkendalinya harga barang/jasa secara
umum di Jawa Barat.
Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian, penyaluran pembiayaan dari perbankan
mulai menunjukkan peningkatan. Penyaluran kredit oleh perbankan Jawa Barat mencatat
pertumbuhan sebesar 24% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang sebesar 17%. Sementara itu, penghimpunan dana pihak ketiga masih tumbuh
6,63% (yoy), walaupun melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Dengan perkembangan
tersebut, intermediasi perbankan di Jawa Barat mengalami peningkatan yang tercermin pada naiknya
angka Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 77% menjadi 83%. Di sisi lain, risiko kredit sedikit meningkat
seperti yang tercermin pada Non Performing Loan (NPL) Gross yang naik dari 3,37% di triwulan IV-
2009 menjadi 3,66% pada triwulan I-2010.
Selain itu, peningkatan dukungan pembiayaan yang bersumber dari APBN maupun APBD di
Jawa Barat diperkirakan turut membantu pemulihan perekonomian. Meningkatnya dukungan
keuangan pemerintah terhadap perekonomian terutama dalam bentuk program percepatan
pengadaan barang/jasa serta realisasi bantuan pendidikan dan kegiatan pendukung transmigrasi.
Seiring membaiknya perekonomian, kondisi ketenagakerjaan serta kesejahteraan di Jawa
Barat tetap menunjukkan perkembangan positif. Hal ini diindikasikan oleh persepsi pelaku usaha
v
untuk melakukan penambahan tenaga kerja baru, terutama pada sektor pertanian. Sementara itu,
perbaikan tingkat kesejahteraan dicerminkan oleh meningkatnya Nilai Tukar Petani.
Uraian di atas merupakan hasil analisa kami terhadap berbagai data dan informasi, yang selain
berasal dari Bank Indonesia, laporan perbankan, serta hasil-hasil survei yang dilakukan oleh Kantor
Bank Indonesia Bandung, juga kami peroleh dari berbagai pihak, seperti Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, dinas-dinas terkait, Badan Pusat Statistik Jawa Barat, BULOG Divre III Jawa Barat, Direktorat
Jenderal Pajak Jawa Barat I, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PT. PLN Distribusi Jabar dan Banten,
PT. Angkasa Pura II, PT. Jasa Marga, PT. Kereta Api, serta PT Pelindo. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam kesempatan ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak tersebut yang telah membantu penyusunan buku ini.
Kami menyadari bahwa cakupan serta kualitas data dan informasi yang disajikan dalam buku
ini masih perlu terus disempurnakan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
membangun dari semua pihak yang berkepentingan dengan buku ini. Kiranya kerjasama yang sangat
baik dengan berbagai pihak selama ini dapat terus ditingkatkan di masa yang akan datang.
Akhir kata, kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan ridha-Nya dan melindungi setiap langkah kita.
Bandung, Mei 2010
Yang Ahmad Rizal
Pemimpin
vi
DAFTAR ISI Kata Pengantar ....................................................................................................................... v Daftar Isi ................................................................................................................................. vii Daftar Tabel............................................................................................................................ ix Daftar Grafik........................................................................................................................... x Tabel Indikator Ekonomi Jawa Barat........................................................................................ xiii RINGKASAN EKSEKUTIF .......................................................................................................... 1 BAB 1 KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL ........................................................................... 7
1. Sisi Permintaan.................................................................................................................. 9 1.1. Konsumsi ................................................................................................................ 10 1.2. Investasi .................................................................................................................. 12 1.3. Ekspor ................................................................................................................. 12
2. Sisi Penawaran............ ...................................................................................................... 15 2.1. Sektor Pertanian......................................................................................................... 16 2.2. Sektor Industri Pengolahan......................................................................................... 18 2.3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran.................................................................... 21 2.4. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi ....................................................................... 23 2.5. Sektor Bangunan/Konstruksi ...................................................................................... 25 2.6. Sektor Lainnya ........................................................................................................... 26
Boks 1. Dampak ACFTA terhadap Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil ........................... 28 Boks 2. Survei Persepsi Konsumen (Rumah Tangga) terhadap ACFTA...................................... 32
BAB 2 PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ........................................................................... 33 1. Perkembangan Inflasi ....... ................................................................................................ 35
1.1. Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa .............................................................. 36 Inflasi Tahunan.......................................................................................................... 36 a. Kelompok Bahan Makanan .................................... ............................................. 37 b. Kelompok Sandang………...................................... ............................................. 37 c. Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan............................................. 37 Inflasi Triwulanan................................................................................................... .. 37
1.2. Inflasi Menurut Kota ................................................................................................ 38 Inflasi Tahunan.......................................................................................................... 38 a. Kota Bandung...................................................................................................... 39 b. Kota Bekasi.......................................................................................................... 40 c. Kota Depok.......................................................................................................... 40 d. Kota Bogor. ......................................................................................................... 40 e. Kota Cirebon. ...................................................................................................... 41 f. Kota Sukabumi..................................................................................................... 41 g. Kota Tasikmalaya................................................................................................. 42 Inflasi Triwulanan................................................................................................... .. 42
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi........ .................................................................. 43 2.1. Fundamental............................................................................................................... 43 a. Interaksi Permintaan dan Penawaran ..... .............................................................. 43
b. Eksternal .............................................................................. ............................... 44 c. Ekspektasi Inflasi ........... ...................................................................................... 44
2.2. Non Fundamental....................................................................................................... 45 a. Volatile Foods .... ................................................................................................. 45 b. Administered Price . ............................................................................................. 46
Boks 2. Riset Pengaruh Struktur Pasar terhadap Pembentukan Harga Makanan dan Minuman di Jawa Barat. .......................................................................................................... 47
BAB 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH .................................................................. 53
1. Struktur Perbankan di Jawa Barat ..................................................................................... 55 2. Bank Umum Konvensional .................................................................................................. 55
2.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas .................................................................................. 55
vii
Perkembangan Dana Pihak Ketiga ................................................................................. 55 Ekses Likuiditas ............................................................................................................. 57
2.2. Perkembangan Kredit dan Risikonya ............................................................................ 58 Perkembangan Kredit ................................................................................................. 58 Kredit Mikro, Kecil dan Menengah (MKM) ................................................................... 61 Kredit yang berlokasi Proyek di Jawa Barat .................................................................. 61 Risiko Kredit ................................................................................................................ 62
3. Bank Umum Syariah........................................................................................................... 64 4. Bank Umum yang Berkantor Pusat di Jawa Barat ................................................................ 65 5. Bank Perkreditan Rakyat ................................................................................................... 65
BAB 4 KEUANGAN DAERAH............................... ................................................................. 67 1. APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2010................................................................... 69 2. Pendapatan Pemerintah di Jawa Barat................ ........................................................ 70
2.1. Pendapatan Pemerintah Pusat di Jawa Barat ............................................................. 70 2.2. Pendapatan Pemerintah Provinsi ............................................................................... 71
2. Belanja Daerah............................................................................................................. ....... 72 2.3. Belanja APBN di Jawa Barat ...................................................................................... 72 Belanja Dana Dekonsentrasi....................................................................................... 72
Belanja Dana Tugas Pembantuan................................................................................ 73 Belanja APBN yang Berasal dari Pinjaman Luar Negeri................................................. 74
2.4. Belanja APBD Provinsi Jawa Barat ............................................................................ 74 Boks 3. Peningkatan Belanja Infrastruktur Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.......... .................... 75
BAB 5 PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN .................................................................. 77 1. Pengedaran Uang Kartal.................................................................................................. 79
1.1. Aliran Uang Kartal Masuk/Keluar (Inflow/Outflow) .................................................... 79 1.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar ......................................................................... 80 1.3. Uang Palsu .............................................................................................................. 81
2. Sistem Pembayaran Non Tunai......................................................................................... 81 2.1 Kliring Lokal............................................................................................................. 81 2.2 Real Time Gross Settlement (RTGS)........................................................................... 82
BAB 6 PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH.......... 83
1. Ketenagakerjaan ............................................................................................................. 85 Keadaan Ketenagakerjaan Jawa Barat ..................................................................... ........ 85
2. Kesejahteraan.................................................................................................................. 86 BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH ....................................................................................... 89
1. Prospek Ekonomi Makro.................................................................................................. 91 2. Prakiraan Inflasi ............................................................................................................... 92
Faktor Fundamental ..................................................................... ................................... 93 Faktor Non Fundamental ................................................................................................. 93
LAMPIRAN............................................................................................................................................ 95 DAFTAR ISTILAH ................................................................................................................................... 101
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Provinsi Jawa Barat Dari Sisi Permintaan (%) ......... 10 Tabel 1.2. Pertumbuhan Nilai Ekspor Berdasarkan Benua Asal Pembeli............................................. 14 Tabel 1.3. Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Provinsi Jawa Barat dari Sisi Penawaran (%)........... 16 Tabel 1.4. Indikator Perhotelan di Jawa Barat.................................................................................... 22 Tabel 1.5. Jumlah Penumpang Kereta Api di Jawa Barat................................................................... 24 Tabel 1.6. Jumlah Kendaraan yang Melintasi 12 Gerbang Tol di Jawa Barat...................................... 24 Tabel 1.7. Pemakaian Listrik di Jawa Barat (Juta Kwh)....................................................................... 26 Tabel 2.1. Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)................................ 36 Tabel 2.2. Inflasi Triwulanan di Jawa Barat Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)......................... 38 Tabel 2.3. Inflasi Tahunan di Jawa Barat Menurut Kota (%).............................................................. 39 Tabel 2.4. Inflasi Tahunan di Jawa Barat Menurut Kota & Kelompok Barang dan Jasa Triwulan I-
2010 (yoy, %).................................................................................................................. 39 Tabel 2.5. Inflasi Tahunan Kota Bandung Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%).......................... 39 Tabel 2.6. Inflasi Tahunan Kota Bekasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%).............................. 40 Tabel 2.7. Inflasi Tahunan Kota Depok Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) ............................. 40 Tabel 2.8. Inflasi Tahunan Kota Bogor Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) .............................. 40 Tabel 2.9. Inflasi Tahunan Kota Cirebon Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) ........................... 41 Tabel 2.10. Inflasi Tahunan Kota Sukabumi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) ........................ 41 Tabel 2.11. Inflasi Tahunan Kota Tasikmalaya Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) ..................... 42 Tabel 2.12. Inflasi Triwulanan Jawa Barat Menurut Kota (qtq,%)...... ................................................. 42 Tabel 2.13. Inflasi Triwulanan di Jawa Barat Menurut Kota & Kelompok Barang dan Jasa Triwulan I-
2010 (qtq, %).................................................................................................................. 42 Tabel 2.14. Inflasi Tahunan Menurut Faktor Penyebab (yoy, %).......................................................... 43 Tabel 2.15. Inflasi Triwulanan Menurut Faktor Penyebab (qtq, %)...................................................... 43 Tabel 2.16. Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan (yoy, %) ....................................................... 45 Tabel 2.17. Luas Lahan Pertanian yang Terkena Puso (Ribu Ha).......................................................... 46 Tabel 3.1. Posisi Kredit Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota
Triwulan I-2010............................................................................................................... 60 Tabel 3.2. NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/
Kota................................................................................................................................ 63 Tabel 4.1. APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 dan 2010 ……………………………….......... ....... 69 Tabel 4.2. Perkembangan Pendapatan Pemerintah Pusat di Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa
Barat I………………………………………………………….......... .................................... 71 Tabel 4.3. Realisasi Penerimaan Pajak Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Rp Miliar) ............................. 71 Tabel 4.4. Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat....................................................... 72 Tabel 4.5. Realisasi Dana Dekonsentrasi Jawa Barat di Lima Dinas Penerima Alokasi Anggaran
Terbesar ......................................................................................................................... 73 Tabel 4.6. Realisasi Dana Tugas Pembantuan Jawa Barat di Lima Dinas Penerima Alokasi Anggaran
Terbesar.... ..................................................................................................................... 73
Tabel 5.1. Perkembangan Outflow Uang Kertas dan Uang Logam melalui KBI Bandung. ................. 80 Tabel 5.2. Perkembangan Transaksi Kliring Lokal Rata-rata per Bulan di Jawa Barat ......................... 81 Tabel 5.3. Perkembangan Transaksi RTGS di Jawa Barat .................................................................. 82 Tabel 6.1. Nilai Tukar Petani di Jawa Barat (2007=100).................................................................... 87
ix
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat (yoy) .............................................................. 9 Grafik 1.2. Indeks Keyakinan Konsumen ........................................................................................... 10 Grafik 1.3. Komponen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ..................................................................... 11 Grafik 1.4. Komponen Indeks Ekspektasi........................................................................................... 11 Grafik 1.5. Indeks Penjualan Eceran.................................................................................................... 11 Grafik 1.6. Konsumsi Listrik Rumah Tangga....................................................................................... 11 Grafik 1.7. Pajak Kendaraan Bermotor .............................................................................................. 11 Grafik 1.8. Impor Barang Modal........................................................................................................ 12 Grafik 1.9. Penjualan Semen di Jawa Barat........................................................................................ 12 Grafik 1.10. Posisi Penyaluran Kredit Investasi oleh Bank Umum di Jawa Barat..................................... 12 Grafik 1.11. Nilai Ekspor Jawa Barat.................................................................................................... 13 Grafik 1.12. Volume Ekspor Jawa Barat............................................................................................... 13 Grafik 1.13. Nilai Ekspor TPT ............................................................................................................... 13 Grafik 1.14. Volume Ekspor TPT.......................................................................................................... 13 Grafik 1.15. Nilai Ekspor Alat Telekomunikasi...................................................................................... 14 Grafik 1.16. Volume Ekspor Alat Telekomunikasi................................................................................. 14 Grafik 1.17. Nilai Ekspor Mesin Elektrik ............................................................................................... 14 Grafik 1.18. Volume Ekspor Mesin Elektrik .......................................................................................... 14 Grafik 1.19. Nilai Ekspor Jawa Barat Berdasarkan Benua Pembeli.................................................... ..... 14 Grafik 1.20. Nilai Impor Jawa Barat ..................................................................................................... 15 Grafik 1.21. Volume Impor Jawa Barat................................................................................................ 15 Grafik 1.22. Realisasi Kegiatan Dunia Usaha........................................................................................ 16 Grafik 1.23. Produksi Padi Sawah dan Ladang di Jawa Barat................................................................ 17 Grafik 1.24. Luas Panen Padi Sawah dan Ladang di Jawa Barat............................................................ 17 Grafik 1.25. Produksi Tanaman Pangan Non Padi di Jawa Barat........................................................... 17 Grafik 1.26. Luas Panen Tanaman Pangan Non Padi di Jawa Barat....................................................... 17 Grafik 1.27. Luas Panen Padi Jawa Barat........................... .................................................................. 18 Grafik 1.28. Realisasi Kegiatan Industri Pengolahan............................................................................. 19 Grafik 1.29. Konsumsi Listrik Industri .................................................................................................. 19 Grafik 1.30. Penjualan Motor Nasional ................................................................................................ 19 Grafik 1.31. Penjualan Mobil Nasional.................................................................. ............................... 19 Grafik 1.32. Nilai Ekspor Kendaraan.................................................................................................... 20 Grafik 1.33. Volume Ekspor Kendaraan ................................................................................................ 20 Grafik 1.34. Indeks Penjualan Eceran .................................................................................................. 22 Grafik 1.35. Arus Bongkar Muat di Pelabuhan Cirebon ....................................................................... 22 Grafik 1.36. Perkembangan Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung ke Jawa Barat........................ 23 Grafik 1.37. Asal Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung ke Jawa Barat ........................................ 23 Grafik 1.38. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke Sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran........................................................................................................................... 23 Grafik 1.39. Jumlah Penumpang Domestik dan Internasional di Bandara Husein Sastranegara ............. 23 Grafik 1.40. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum ke Sektor Pengangkutan dan Komunikasi... .............. 25 Grafik 1.41. Posisi Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA)............. 25 Grafik 1.42. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke Sektor Konstruksi............................ 25 Grafik 1.43. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih.... 26 Grafik 1.44. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke Sektor Jasa Dunia Usaha dan Sosial. 27 Grafik 2.1. Inflasi Tahunan Jawa Barat dan Nasional.......................................................................... 35 Grafik 2.2. Inflasi Triwulanan Jawa Barat dan Nasional ...................................................................... 35 Grafik 2.3. Inflasi Bulanan Jawa Barat dan Nasional........................................................................... 36 Grafik 2.4. Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan................................................. ..................... 37 Grafik 2.5. Inflasi Tahunan Kelompok Sandang.................................................................................. 37 Grafik 2.6. Inflasi Tahunan Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa
Keuangan................................................ ........................................................................ 37 Grafik 2.7. Inflasi Triwulanan Kelompok Bahan Makanan di Jawa Barat Menurut Subkelompok
Triwulan I-2010............................................... ................................................................ 38
x
Grafik 2.8. Pertumbuhan Kapasitas Terpakai Industri di Jawa Barat ................................................... 43 Grafik 2.9. Laju Inflasi di Negara Mitra Dagang.................................................................................. 44 Grafik 2.10. Perkembangan Kurs Rupiah............................................................................................. 44 Grafik 2.11. Perkembangan Harga Emas dan Minyak Dunia di Pasar Internasional............................... 44 Grafik 2.12. Perkembangan Harga Barang dan Jasa Menurut Pengusaha di Jawa Barat........................ 44 Grafik 2.13. Ekspektasi Pedagang Eceran Terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung............... 45 Grafik 2.14. Ekspektasi Konsumen terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung......................... 45
Grafik 3.1. Komposisi Aset Perbankan di Jawa Barat Triwulan I-2010................................................ 55 Grafik 3.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) di Bank Umum Konvensional di Jawa Barat
berdasarkan Jenis Simpanan............................................................................................. 56 Grafik 3.3. Perkembangan DPK Bank Umum Konvensional di Jawa Barat berdasarkan Jenis Valuta ... 56 Grafik 3.4. Perkembangan DPK Valuta Asing & Kurs Tengah Rupiah Terhadap USD .......................... 56 Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Konvensional di Jawa Barat berdasarkan Kelompok
Bank .......................................................................................................................... 57 Grafik 3.6. DPK Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Triwulan IV-2009 berdasarkan Golongan
Kepemilikan ..................................... .............................................................................. 57 Grafik 3.7. Perkembangan SBI Bank Umum Konvensional di Jawa Barat dan SBI Perbankan
Nasional........................................................ .................................................................. 57 Grafik 3.8. Perkembangan Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa Barat ............. 58 Grafik 3.9. Perkembangan Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa Barat
Berdasarkan Jenis Penggunaan........................................................................................ 58 Grafik 3.10. Perkembangan Pertumbuhan Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa
Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan............................................................ ................... 58 Grafik 3.11. Pangsa Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan
Sektor Ekonomi Triwulan I-2010..................................................................................... . 59 Grafik 3.12. Perkembangan Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa Barat
Berdasarkan Kelompok Bank........................................................................................... 59 Grafik 3.13. Perkembangan Pertumbuhan Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa
Barat Berdasarkan Kelompok Bank.................................................................................. 59 Grafik 3.14. Perkembangan Kredit MKM Berdasarkan Skala Usaha ............... ..................................... 61 Grafik 3.15. Perkembangan Kredit MKM Berdasarkan Jenis Penggunaan................................... ......... 61 Grafik 3.16. Perkembangan Kredit Lokasi Proyek dan Kredit Bank Pelapor............. ............................. 61 Grafik 3.17. Perkembangan Jumlah Kredit Bermasalah Bank Umum Konvensional di Jawa Barat ........ 62 Grafik 3.18. Perkembangan NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan
Kelompok Bank......................................................................................................... ...... 62 Grafik 3.19. Perkembangan NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Jenis
Penggunaan .................................................................................. ................................. 62 Grafik 3.20. Perkembangan NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Beberapa Sektor
Ekonomi Utama.............................................................................................................. 62 Grafik 3.21. Perkembangan NPL Gross Kredit MKM dan Total Kredit ................................................. 64 Grafik 3.22. Perkembangan Indikator Bank Umum Syariah Di Jawa Barat........................................... . 64 Grafik 3.23. Perkembangan Indikator Bank Umum yang Berkantor Pusat di Jawa Barat....................... 65 Grafik 3.24. Perkembangan Indikator BPR Konvensional di Jawa Barat................................................ 66
Grafik 4.1. Tax Ratio dan Total Penerimaan Pajak di Provinsi Jawa Barat............................................ 70 Grafik 4.2. Perkembangan Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat ........................................................ 70 Grafik 4.3. Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat dari Pinjaman Luar Negeri ................................ 74
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow Uang Kartal di Jawa Barat ........................................ 79 Grafik 5.2. Perkembangan PTTB Kantor Bank Indonesia Bandung ..................................................... 81
Grafik 6.1. Indikator Jumlah Karyawan ............................................................................................. 85 Grafik 6.2. Indeks Penghasilan dan Indeks Ekspektasi Penghasilan .................................................... 86 Grafik 6.3. Nilai Tukar Petani ............................................................................................................ 87 Grafik 6.4. Indeks Pembangunan Manusia........................................................................................ 87
Grafik 7.1. Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Dunia Usaha................................................................ 91 Grafik 7.2. Indeks Keyakinan Konsumen........................................................................................... 91
xi
xii
Grafik 7.3. Indeks Ekspektasi Konsumen ........................................................................................... 91 Grafik 7.4. Perkembangan dan Prakiraan Inflasi Jawa Barat Triwulan II-2010 .......................... 92 Grafik 7.5. Ekspektasi Konsumen Terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung ........................ 93
TABEL INDIKATOR EKONOMI JAWA BARAT I. MAKRO
2008 2009 2010 INDIKATOR Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
PDRB - harga konstan (Rp Miliar)* 74.020 72.980 73.390 77.680 78.560 77.200
- Pertanian 8.096 11.380 9.080 10.180 9.470 11.450
- Pertambangan & Penggalian 1.719 1.720 1.780 1.920 2.000 1.890
- Industri Pengolahan 35.083 31.590 32.940 33.400 34.440 33.280
- Listrik. Gas. dan Air Bersih 1.536 1.580 1.650 1.830 1.970 1.860
- Bangunan 2.603 2.330 2.460 2.680 2.830 2.550
- Perdagangan. Hotel. dan Restoran 14.711 14.250 14.980 16.660 16.820 15.450
- Pengangkutan dan Komunikasi 3.098 3.180 3.270 3.480 3.440 3.600
- Keuangan. Persewaan. dan Jasa 2.309 2.140 2.350 2.550 2.580 2.220
- Jasa 4.879 4.820 4.870 4.980 5.010 4.900
Pertumbuhan PDRB (yoy %)* 4,5 4,4 3,2 4,0 6,1 5,8
Ekspor-Impor** 2.430,58 2.967,76 3.119,55 3.459,90 3.637,59 2.200,05
Nilai Ekspor Nonmigas (USD Juta) 5.057,99 4.063,09 4.681,69 5.053,79 5.306,40 3.292,02
Volume Ekspor Nonmigas (ribu ton) 1.767,00 1.434,01 1.921,40 1.727,67 1.998,84 1.033,95
Nilai Impor Nonmigas (USD Juta) 2.627,41 1.095,33 1.562,14 1.593,88 1.668,81 1.091,98
Volume Impor Nonmigas (ribu ton) 621,75 193,08 246,97 272,10 250,90 199,41
Indeks Harga Konsumen*** 113,54 113,54 113,37 115,49 115,83 116,94
- Kota Bandung 112,70 112,82 112.66 114,51 115,08 116,05
- Kota Bekasi 112,71 118,25 112,43 114,41 114,88 116,33
- Kota Bogor 116,00 116,92 116,60 118,60 118,50 119,81
- Kota Sukabumi 114,32 116,23 116,64 118,10 118,31 119,03
- Kota Cirebon 117,18 118,25 118,30 121,25 122,00 122,44
- Kota Tasikmalaya 115,07 115,97 117,23 118,51 119,87 121,47
- Kota Depok 113,91 112,92 112,69 115,43 115,39 116,26
Laju Inflasi Tahunan (yoy %)*** 11,11 7,45 3,13 1,87 2,02 2,99
- Kota Bandung 10,23 6,31 2,17 1,61 2,11 2,86
- Kota Bekasi 10,10 6,68 3,59 1,51 1,93 3,20
- Kota Bogor 14,20 6,17 2,57 2,24 2,16 2,47
- Kota Sukabumi 11,39 8,25 3,38 3,31 3,49 2,41
- Kota Cirebon 14,14 8,22 5,23 3,47 4,11 3,54
- Kota Tasikmalaya 12,07 9,18 6,91 2,99 4,17 4,74
- Kota Depok 11,70 N/A 6,87 1,33 1,30 2,96
Keterangan: * Proyeksi KBI Bandung untuk Triwulan I-2010 ** Data Ekspor-Impor Triwulan I-2010 adalah data bulan Januari s.d. Februari 2010 ** Data IHK Triwulan II-2008 hingga Triwulan II-2009 menggunakan Tahun Dasar 2007
xiii
II. PERBANKAN
2010
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
A Bank Umum
1 Total Aset (Rp Triliun) 162,80 170,85 178,02 181,92 187,08
2 DPK (Rp Triliun) 123,03 126,97 129,53 133,28 131,19
- Tabungan (Rp Triliun) 41,63 45,06 47,31 53,05 49,68
- Giro (Rp Triliun) 27,48 27,61 27,14 25,32 25,79
- Deposito (Rp Triliun) 53,91 54,31 55,08 54,91 55,72
3 Kredit (Rp Triliun) - berdasarkan lokasi proyek*) 167,13 171,39 174,16 177,76 181,00
- Investasi 24,28 24,25 24,74 26,43 27,59
- Modal Kerja 79,79 81,36 81,55 81,71 75,17
- Konsumsi 63,06 65,77 67,87 69,62 78,24
4 Kredit (Rp Triliun) - berdasarkan lokasi kantor cabang 87,58 95,46 98,77 102,62 109,17
- Modal Kerja 39,39 44,00 44,95 46,68 47,49
- Investasi 9,18 9,50 9,69 10,36 11,88
- Konsumsi 39,02 41,96 44,13 45,58 49,80
5 - LDR (%) 71,19 75,18 76,25 77,00 83,22
6 Rasio NPL Gross (%) 3,99 3,91 3,82 3,37 3,66
7 Kredit MKM (triliun Rp) 66,18 71,97 75,29 78,04 83,41
8 Kredit Mikro (< Rp50 juta) (triliun Rp) 26,49 28,42 29,92 30,40 30,09
- Kredit Modal Kerja 4,48 5,26 5,79 5,99 5,95
- Kredit Investasi 0,46 0,56 0,57 0,57 0,60
- Kredit Konsumsi 21,56 22,60 23,57 23,84 23,54
10 Kredit Kecil (Rp50 juta s.d. Rp 500 juta) (triliun Rp) 22,04 24,97 26,42 27,24 31,69
- Kredit Modal Kerja 6,39 6,85 7,09 7,13 7,26
- Kredit Investasi 0,99 1,15 1,28 1,41 1,94
- Kredit Konsumsi 14,66 16,97 18,05 18,71 22,50
11 Kredit Menengah (Rp500 juta s.d.Rp5 miliar) (triliun Rp) 17,65 18,57 18,95 20,39 21,62
- Kredit Modal Kerja 12,66 13,46 13,67 14,77 14,95
- Kredit Investasi 2,73 2,83 2,89 2,99 3,54
- Kredit Konsumsi 2,26 2,28 2,38 2,64 3,13
12 Pangsa Kredit MKM 76% 75% 76% 76% 76%
13 Rasio NPL MKM gross (%) 3,69 3,62 3,60 3,23 3,47
B Bank Umum Syariah*)
1 Total Aset (Rp Triliun) 5,20 5,66 5,61 6,02 6,57
2 DPK (Rp Triliun) 4,03 4,49 4,38 4,63 5,79
- Giro (Rp Triliun) 0,33 0,34 0,40 0,37 0,43
- Deposito (Rp Triliun) 1,87 1,90 2,14 2,26 2,91
- Tabungan (Rp Triliun) 1,89 2,25 2,06 2,00 2,45
3 Pembiayaan (Rp Triliun) - berdasarkan lokasi kantor cabang 3,41 3,53 3,72 3,91 4,77
- Modal Kerja 1,86 1,89 2,07 2,06 2,39
- Investasi 0,54 0,55 0,57 0,58 0,66
- Konsumsi 1,01 1,09 1,19 1,27 1,72
4 - FDR 86,26 78,50 84,83 84,52
C BPR Konvensional
1 Total Aset (Rp Triliun) 6,21 6,49 6,67 7,06 7,33
2 DPK (Rp Triliun) 4,40 4,62 4,78 5,08 5,38
- Tabungan (Rp Triliun) 0,96 1,03 1,03 1,16 1,27
- Deposito (Rp Triliun) 3,44 3,59 3,75 3,93 4,11
3 Kredit (Rp Triliun) - berdasarkan lokasi proyek 4,49 4,59 4,72 4,81 4,98
- Modal Kerja 2,42 2,45 2,48 2,64 2,73
- Investasi 0,14 0,14 0,14 0,13 0,13
- Konsumsi 1,93 2,00 2,08 2,03 2,11
4 Kredit MKM (triliun Rp) 4,49 4,59 4,72 4,81 4,98
*) Posisi Februari 2010
No Indikator2009
xiv
III. SISTEM PEMBAYARAN
2010
Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I
Transaksi Tunai
Posisi Kas Gabungan (Rp Triliun) 5,77 7,42 6,65 4,10 5,49
Inflow (Rp Triliun) 7,02 3,34 3,71 6,00 6,72
Outflow (Rp Triliun) 0,81 2,01 3,14 2,05 0,80
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 118,24 76,42 178,98 113,19 150,41
Transaksi Non Tunai
BI-RTGS
Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp Triliun) 130,57 138,64 159,53 147,18 157,56
Volume Transaksi BI-RTGS 188.863 196.533 232.945 238.919 236.283
Rata-rata Harian Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp Triliun) 2,18 2,24 2,57 2,37 2,58
Rata-rata Harian Volume Transaksi BI-RTGS 3.148 3.170 3.757 3.854 3.873
Kliring
Nominal Perputaran Kliring (triliun Rp) 9,94 10,38 10,64 11,70 10,76
Volume Perputaran Kliring 504.311 476.875 484.106 481.440 488.719
Rata-rata Harian Nominal Perputaran Kliring (triliun Rp) 0,17 0,17 0,17 0,19 0,18
Rata-rata Harian Volume Perputaran Kliring 8.405 7.692 7.808 7.765 8.012
Indikator2009
xv
Halaman ini sengaja dikosongkan
xvi
RINGKASAN EKSEKUTIF
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
RINGKASAN EKSEKUTIF
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO Perekonomian Jawa Barat
pada triwulan I-2010 diperkirakan masih
tumbuh relatif tinggi, yaitu 5,8% (yoy), walaupun
melambat dibandingkan pertumbuhan pada
triwulan sebelumnya
Seiring membaiknya perekonomian global maupun domestik, kinerja perekonomian Jawa Barat pun terdorong untuk tumbuh relatif tinggi. Pada triwulan I-2010, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan sebesar 5,8% (yoy). Walaupun tumbuh relatif tinggi, pencapaian tersebut sedikit melambat apabila dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 6,1% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan selama tahun 2010 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu berada pada kisaran 5,3% s.d. 5,8%.
Dari sisi permintaan, tingginya pertumbuhan ekonomi didorong oleh
membaiknya kinerja ekspor dan investasi
Dari sisi permintaan, ekspor serta investasi di Jawa Barat merupakan faktor utama yang mendorong perekonomian untuk tumbuh relatif tinggi. Peningkatan ekspor dan investasi tersebut didorong oleh meningkatnya permintaan eksternal seiring dengan pemulihan perekonomian global di tahun 2010, disamping permintaan domestik yang relatif masih kuat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga mengalami sedikit perlambatan, sejalan dengan turunnya produksi padi akibat mundurnya masa panen raya.
Dari sisi penawaran, sektor industri pengolahan
diperkirakan tumbuh meningkat, sementara
sektor pertanian dan PHR diindikasikan melambat
Dari sisi penawaran, sektor industri pengolahan diperkirakan mampu tumbuh positif, seiring dengan mulai pulihnya permintaan terhadap produk-produk Jawa Barat, terutama dari sisi ekspor. Sementara itu, sektor pertanian diperkirakan tumbuh melambat, akibat turunnya produksi padi pada periode laporan, dibandingkan produksi padi pada periode yang sama di tahun 2009. Walaupun demikian, produksi padi Jawa Barat sepanjang tahun 2010 diperkirakan masih relatif aman. Sejalan dengan sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran diindikasikan mengalami perlambatan. Selain akibat ketiadaan stimulus seperti Pemilu, perlambatan pada sektor ini terjadi terutama pada subsektor perdagangan, terkait dengan turunnya produksi pertanian.
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi tahunan Jawa Barat masih cukup
terkendali
Secara tahunan, laju Inflasi Jawa Barat masih berada pada level yang terkendali meskipun meningkat tipis dari 2,02% (yoy) pada triwulan IV-2009 menjadi 2,99% pada triwulan I-2010. Relatif terkendalinya inflasi Jawa Barat terutama disebabkan oleh terjaganya pasokan bahan pangan, khususnya komoditas strategis seperti daging ayam ras, telur ayam ras, sayur-sayuran, dan ikan segar yang relatif baik dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun sempat terjadi kenaikan harga beras yang cukup tinggi di awal periode laporan. Selain itu, pengaruh eksternal yakni apresiasi nilai tukar rupiah dan rendahnya inflasi dunia menyebabkan perbaikan ekspektasi harga pelaku usaha.
Secara triwulanan, laju inflasi mengalami
kenaikan terutama akibat faktor non fundamental
Sementara itu, tekanan inflasi Jawa Barat secara triwulanan meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, sebagaimana pola musimannya, yakni dari 0,29% (qtq) menjadi 0,96%. Sumbangan kenaikan laju inflasi pada triwulan I-2010 terutama berasal dari sisi non fundamental, yaitu kenaikan harga volatile foods khususnya beras, serta harga BBM nonsubsidi yang dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia.
PERKEMBANGAN PERBANKAN
Pertumbuhan penyaluran kredit meningkat
Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di Jawa Barat pada triwulan I-2010 menunjukkan peningkatan, setelah empat triwulan sebelumnya selalu mengalami perlambatan. Meskipun demikian pertumbuhan beberapa indikator lainnya seperti total aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) masih mengalami perlambatan. Dengan perkembangan tersebut, fungsi
3
RINGKASAN EKSEKUTIF
intermediasi perbankan yang dicerminkan oleh indikator loan to deposit ratio (LDR) mengalami peningkatan. Di sisi lain, risiko kredit masih tetap terkendali meskipun mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perkembangan perbankan di Jawa Barat tersebut terutama didorong oleh kinerja bank umum konvensional yang membaik.
Pertumbuhan DPK melambat
Pertumbuhan DPK bank umum konvensional di Jawa Barat pada triwulan I-2010 mengalami perlambatan. DPK yang berhasil dihimpun bank umum konvensional di Jawa Barat mencapai Rp131,18 triliun atau tumbuh 6,63% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya (13,18%). Perlambatan ini terutama disebabkan oleh melambatnya seluruh jenis simpanan baik giro, tabungan maupun deposito. Salah satu faktor dari melambatnya DPK diperkirakan merupakan indikasi dari penggunaan simpanan masyarakat di bank untuk membiayai kegiatan perekonomian.
Pertumbuhan kredit yang disalurkan mulai
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
Setelah empat triwulan sebelumnya mengalami perlambatan, pertumbuhan kredit bank umum konvensional di Jawa Barat pada triwulan I-2010 mulai menunjukan peningkatan. Kredit yang disalurkan posisi Maret 2010 adalah sebesar Rp109,17 triliun. Secara tahunan, kredit tumbuh 24,65% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 17,49%. Begitu juga secara triwulanan, kredit tumbuh 6,38% (qtq) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,90% (qtq). Peningkatan ini seiring dengan mulai membaiknya perekonomian Jawa Barat pada dua triwulan terakhir.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Transaksi sistem pembayaran non tunai
meningkat
Pada triwulan I-2010, transaksi sistem pembayaran di Jawa Barat menunjukkan peningkatan pada nilai transaksi khususnya sistem pembayaran non tunai. Transaksi pembayaran melalui Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), untuk wilayah Jawa Barat, secara nominal mengalami peningkatan, meskipun secara volume turun dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, jumlah aliran uang masuk (inflow) ke KBI di wilayah Jawa Barat, secara triwulanan mengalami peningkatan, namun aliran uang keluar (outflow) mengalami penurunan. Nilai transaksi pembayaran melalui kliring di wilayah Jawa Barat mengalami penurunan, namun secara volume sedikit mengalami peningkatan.
PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH Tingkat realisasi belanja
pemerintah pada triwulan I-2010 diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan dengan periode
sebelumnya
Baik tingkat realisasi APBD maupun APBN di Jawa Barat diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi APBD, realisasi belanja terbesar terutama untuk pos anggaran belanja barang/jasa dan pegawai. Sementara itu, kenaikan realisasi APBN yang disalurkan di wilayah Jawa Barat berupa dana tugas pembantuan untuk percepatan realisasi program transmigrasi dan dana dekonsentrasi untuk program pendidikan.
Penerimaan pajak baik pusat maupun provinsi di
Jawa Barat meningkat
Di sisi penerimaan, selama triwulan I-2010, baik pajak yang diterima pemerintah pusat maupun daerah meningkat. Kinerja penerimaan pajak pemerintah pusat telah kembali membaik sejalan dengan pemulihan perekonomian. Penerimaan yang berasal dari PPN Impor naik cukup tinggi sejalan dengan besarnya impor barang modal. Di sisi lain, kenaikan pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat terutama disebabkan oleh membaiknya penerimaan bea balik nama kendaraan bermotor.
4
RINGKASAN EKSEKUTIF
5
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat diindikasikan
masih relatif baik
Tumbuh tingginya perekonomian domestik menyebabkan kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat juga diperkirakan terus membaik. Penyerapan tenaga kerja baru di Jawa Barat diperkirakan terus mengalami peningkatan, meskipun sebagian industri pengolahan terancam mengalami penurunan kinerja paska implementasi ACFTA.
Kondisi kesejahteraan di Jawa Barat diperkirakan
juga terus membaik
Tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat juga diperkirakan terus meningkat. Kondisi tersebut didasarkan atas beberapa indikator, seperti kenaikan Nilai Tukar Petani. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat itu salah satunya didorong oleh bergeraknya kembali aktivitas perekonomian sejalan dengan pemulihan ekonomi global.
PROSPEK PEREKONOMIAN Perekonomian Jawa Barat
pada triwulan II-2010 diindikasikan mengalami
peningkatan
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan II-2010 diperkirakan berada pada kisaran 5,8% s.d. 6,2% (yoy). Perkiraan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada triwulan I-2010 yang diperkirakan sebesar 5,8% (yoy). Akselerasi perekonomian tersebut didukung terutama oleh menguatnya permintaan di pasar domestik serta tingginya permintaan eksternal. Di sisi permintaan, peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi merupakan faktor utama yang mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi. Sementara di sisi penawaran, ketiga sektor dominan di Jawa Barat tumbuh meningkat, seiring terus membaiknya permintaan serta panen raya padi.
Laju tahunan Jawa Barat pada triwulan I-2010
diperkirakan akan meningkat.
Secara tahunan laju inflasi Jawa Barat pada triwulan II-2010 diperkirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I-2010, yaitu berkisar 3,5%-4,1% (yoy) atau masih lebih rendah dibandingkan sasaran inflasi nasional (5%±1%). Faktor pendorong kenaikan laju inflasi antara lain berasal dari eksternal, yakni kenaikan laju inflasi negara mitra dagang utama dan beberapa harga komoditas strategis di pasar internasional. Sementara, distribusi dan produksi pangan ke depan diperkirakan akan relatif lancar. Secara triwulanan, laju inflasi Jawa Barat diperkirakan melambat menjadi 0,5%-1,0% (qtq) karena pasokan bahan pangan yang telah kembali normal dan membaiknya ekspektasi inflasi masyarakat.
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
7
,
BAB 1 KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
8
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Semakin membaiknya perekonomian global di awal tahun 2010 turut mendukung kinerja
perekonomian Jawa Barat untuk tumbuh relatif tinggi. Pada triwulan I-2010, perekonomian
Jawa Barat diperkirakan tumbuh 5,8% (yoy). Walaupun sedikit melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mencapai 6,1% (yoy), pertumbuhan pada triwulan laporan tersebut relatif lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan selama tahun 2009 yang tercatat sebesar 4,3%. Dilihat dari sisi
permintaan, tingginya pertumbuhan tersebut didukung oleh peningkatan kinerja ekspor dan investasi,
seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi global. Namun demikian, melambatnya konsumsi rumah
tangga pada periode laporan, walaupun masih tumbuh cukup tinggi, merupakan faktor yang
mendorong terjadinya perlambatan perekonomian di Jawa Barat. Dilihat dari sisi penawaran,
perlambatan terutama dipicu oleh melambatnya sektor pertanian akibat turunnya produksi padi
selama triwulan I-2010. Di sisi lain, sektor industri pengolahan, sebagai sektor dominan di Jawa Barat,
mampu tumbuh meningkat, sehingga menjaga tingkat pertumbuhan Jawa Barat pada level yang
relatif tinggi.
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat (yoy)
5,7%6,2% 6,4%
7,3% 7,1%
4,7%
6,4%
4,5% 4,4%
3,2%
4,0%
6,1%5,8%
0%
2%
4%
6%
8%
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)
2007 2008 2009 2010
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat *) Proyeksi KBI Bandung
1. SISI PERMINTAAN
Hampir seluruh komponen permintaan, selain konsumsi rumah tangga, mengalami
perbaikan pertumbuhan pada periode laporan (Tabel 1.1). Ekspor Jawa Barat meningkat relatif
tinggi, seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat internasional yang mampu mendorong
peningkatan permintaan luar negeri, khususnya untuk produk-produk unggulan Jawa Barat. Investasi
juga diperkirakan meningkat, seiring meningkatnya optimisme pelaku usaha dalam memandang
9
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
10
prospek perekonomian. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga mengalami sedikit perlambatan,
disebabkan oleh ketiadaan stimulus yang mampu mendorong perekonomian untuk tumbuh lebih
tinggi lagi, seperti persiapan Pemilu Legislatif pada periode yang sama di tahun 2009 silam.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Provinsi Jawa Barat
Dari Sisi Permintaan (%)
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)Konsumsi rumah tangga 8,0% 4,8% 7,8% 4,3% 7,1% 5,6% 8,0% 3,5% 3,4%
Konsumsi pemerintah -2,9% -14,5% 11,0% 5,0% 4,5% 7,0% 3,2% 1,1% 3,4%
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10,4% 8,5% 14,0% 7,9% 12,7% 4,4% -9,0% 0,2% 2,8%
Ekspor -14,2% -10,5% -20,8% -8,4% -13,7% -13,0% 9,5% 5,3% 32,6%
Impor -5,5% -14,3% -19,8% -3,9% -8,8% -2,8% 5,8% -8,2% 10,4%
PDRB 7,1% 4,7% 6,4% 4,5% 4,4% 3,2% 4,0% 6,1% 5,8%
Komponen2008 2009 2010
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (data s.d. triwulan IV-2009) *) Proyeksi BI Bandung
1.1. Konsumsi
Pada triwulan I-2010, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh 3,4% (yoy) atau
mengalami sedikit perlambatan dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar
3,5%. Perlambatan konsumsi tersebut salah satunya disebabkan oleh turunnya produksi padi pada
triwulan laporan sebagai akibat dari mundurnya masa panen raya. Selain itu, perlambatan juga
disebabkan karena belum adanya stimulus yang secara signifikan mendorong konsumsi. Berbeda
dengan triwulan I tahun sebelumnya, yang tumbuh relatif tinggi akibat adanya stimulus berupa
persiapan kegiatan Pemilu Legislatif.
Perlambatan konsumsi rumah tangga ini
didukung pula oleh hasil survei yang dilakukan
Bank Indonesia (BI) Bandung. Rata-rata Indeks
Keyakinan Konsumen1 mengalami penurunan
dari sebesar 102,80 pada triwulan IV-2009
menjadi 92,37 pada triwulan I-2010 (Grafik
1.2). Namun demikian, IKK tersebut masih
lebih tinggi dibandingkan kondisi pada
periode yang sama di tahun 2009, yang
mengindikasikan pertumbuhan positif
konsumsi rumah tangga pada periode laporan. Penurunan nilai IKK pada triwulan I-2010 didorong
oleh penurunan keinginan konsumen untuk melakukan pembelian durable goods (barang tahan
lama).
1 Hasil Survei Konsumen KBI Bandung
Grafik 1.2. Indeks Keyakinan Konsumen
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2007 2008 2009 2010
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Garis 100
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Bandung.
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
11
Grafik 1.3. Komponen Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini
25
50
75
100
125
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
Penghasilan saat ini Pembelian durable goods
Garis 100 Ketersediaan lapangan kerja saat ini Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Bandung
Grafik 1.4. Komponen Indeks Ekspektasi
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
Ekspektasi penghasilan Ekspektasi kondisi perekonomian
Garis 100 Ekspektasi ketersediaan Lap. Kerja
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Bandung.
Perlambatan konsumsi rumah tangga juga
diindikasikan oleh melambatnya penjualan eceran
di Kota Bandung, sebagaimana tercermin dari
melambatnya Indeks Penjualan Eceran2 (Grafik
1.5). Selain itu, indikator lainnya perlambatan
konsumsi rumah tangga adalah perlambatan
konsumsi listrik rumah tangga dan penjualan
kendaraan bermotor di Jawa Barat, yang
tercermin dari perlambatan pertumbuhan
penerimaan daerah dari Pajak Kendaraan
Bermotor selama triwulan I-2010 (Grafik 1.6 dan
Grafik 1.7), dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Secara umum, pelaku usaha menyatakan bahwa terjadi perlambatan konsumsi domestik,
yang antara lain disebabkan oleh faktor low season.
Grafik 1.6. Konsumsi Listrik Rumah Tangga
0%
5%
10%
15%
20%
25%
-
800
1.600
2.400
3.200
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
%Juta kWh
Konsumsi Listrik Rumah Tangga Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: PT PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten
Grafik 1.7. Pajak Kendaraan Bermotor
0%
5%
10%
15%
20%
0
200
400
600
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2009 2010
%Rp Miliar
Pajak Kendaraan Bermotor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Dispenda Provinsi Jawa Barat
Grafik 1.5. Indeks Penjualan Eceran
-15
0
15
30
60
100
140
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
%
Indeks Penjualan Eceran Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan) Sumber: Survei Penjualan Eceran, Bank Indonesia
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
1.2. Investasi
Investasi diperkirakan mengalami pertumbuhan positif pada triwulan I-2010, didorong oleh
optimisme pelaku usaha dalam memandang prospek perekonomian ke depan. Peningkatan
investasi tercermin dari impor barang modal yang masuk ke Jawa Barat pada triwulan I-2010 yang
menunjukkan peningkatan signifikan, yaitu lebih dari 200% dibanding periode sebelumnya, didorong
oleh tingginya impor produk alat angkutan untuk industri (Grafik 1.8). Sementara itu, investasi dalam
bentuk bangunan mengalami peningkatan sebagaimana tercermin pada tingginya pertumbuhan
penjualan semen di Jawa Barat selama triwulan I-2010 (Grafik 1.9).
Grafik 1.8. Impor Barang Modal
-100%
0%
100%
200%
0
10
20
30
40
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyRibu Ton
Volume Impor Barang Modal Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.9. Penjualan Semen di Jawa Barat
-20
-10
0
10
20
30
40
0
400
800
1.200
1.600
2.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Ribu Ton
Penjualan Semen Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia.
Kenaikan investasi tercermin pula dari
pembiayaan perbankan. Kredit yang
disalurkan perbankan di Jawa Barat untuk
investasi mengalami kenaikan yang relatif
besar, yaitu dari Rp10,4 triliun pada triwulan
IV-2009, menjadi Rp11,9 triliun pada
triwulan I-2010 (Grafik 1.10). Dibandingkan
periode yang sama tahun lalu, kredit tumbuh
29,4% (yoy), lebih tinggi dari periode
sebelumnya sebesar 12,4%.
0
10
20
30
40
0
4
8
12
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Triliun
Posisi Baki Debet Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), BI Bandung.
Grafik 1.10 Posisi Penyaluran Kredit Investasi oleh Bank Umum di Jawa Barat
1.3. Ekspor
Peningkatan ekspor merupakan salah satu faktor utama yang menopang perekonomian
Jawa Barat pada triwulan I-2010. Hal ini terjadi seiring dengan perbaikan perekonomian global
yang mendorong peningkatan daya beli masyarakat internasional. Sementara itu, sejalan dengan
masih kuatnya permintaan domestik, impor Jawa Barat diperkirakan mengalami peningkatan. Namun
12
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
demikian, ekspor Jawa Barat diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan impor, sehingga
meningkatkan net ekspor Jawa Barat.
Peningkatan ekspor Jawa Barat tercermin dari kenaikan nilai maupun volume ekspor selama triwulan I-
2010 (Januari-Februari 2010). Secara rata-rata, nilai ekspor Jawa Barat selama triwulan I-2010 tumbuh
23,1% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,2% (yoy).
Demikian juga halnya dengan volume ekspor, yang meningkat dari rata-rata 13,8% (yoy) menjadi
14,1% (yoy). Bahkan, pertumbuhan volume ekspor tersebut merupakan yang tertinggi di Jawa Barat
sejak tahun 2008. Kondisi tersebut menunjukkan sudah bergerak kembalinya ekonomi Jawa Barat
pasca krisis keuangan global sejak tahun 2008 silam.
Grafik 1.11. Nilai Ekspor Jawa Barat
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
1.000
1.250
1.500
1.750
2.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
USD Juta
Nilai Ekspor Pertumbuhan (sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.12. Volume Ekspor Jawa Barat
-50%
-25%
0%
25%
50%
300
600
900
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
Ribu Ton
Volume Ekspor Pertumbuhan (sumbu kanan) Sumber: Bank Indonesia
Peningkatan realisasi ekspor terjadi pada mayoritas produk ekspor unggulan Jawa Barat, meliputi
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), alat telekomunikasi, mesin elektrik, serta kendaraan bermotor. Setelah
pada triwulan sebelumnya tumbuh rata-rata 6,2% (yoy), nilai ekspor TPT pada triwulan I-2010 tumbuh
meningkat 14,8%. Demikian juga halnya dengan nilai ekspor alat telekomunikasi, yang tumbuh
meningkat dari rata-rata 17,1% (yoy) selama triwulan IV-2009 menjadi tumbuh 37,2%. Serupa
dengan TPT dan alat telekomunikasi, nilai ekspor mesin elektrik juga mengalami kenaikan
pertumbuhan, yaitu dari rata-rata tumbuh 16,7% (yoy) melonjak menjadi tumbuh 55,5%.
Grafik 1.13. Nilai Ekspor TPT
-30%
-20%
-10%
0%
10%
20%
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
(yoy)USD Juta
Nilai Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.14. Volume Ekspor TPT
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
0
25
50
75
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
(yoy)Ribu Ton
Volume Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
13
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 1.15. Nilai Ekspor Alat Telekomunikasi
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
0
100
200
300
400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyUSD Juta
Nilai Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.16. Volume Ekspor Alat Telekomunikasi
-30%
0%
30%
60%
90%
120%
150%
180%
0
5
10
15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyRibu Ton
Volume Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.17. Nilai Ekspor Mesin Elektrik
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyUSD Juta
Nilai Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.18. Volume Ekspor Mesin Elektrik
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyRibu Ton
Volume Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Peningkatan ekspor didorong oleh meningkatnya perekonomian di negara-negara maju. Hal ini
tercermin dari pertumbuhan ekspor tertinggi yang terjadi pada ekspor Jawa Barat adalah ke Asia,
Amerika, serta Eropa. Apabila dilihat lebih detail, peningkatan terjadi terutama pada negara-negara
maju yang merupakan mitra dagang utama Jawa Barat, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Cina, serta
Singapura, seiring dengan peningkatan perekonomian pada keempat negara tersebut. ACFTA pun
disinyalir merupakan faktor pendorong peningkatan ekspor Jawa Barat ke Cina, hingga mampu
tumbuh rata-rata sebesar 83% (yoy) selama triwulan I-2010 (Januari s.d. Februari 2010).
Grafik 1.19. Nilai Ekspor Jawa Barat
Berdasarkan Benua Pembeli
0
300.000
600.000
900.000
1.200.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2
2008 2009 2010
USD Ribu
Asia
AmerikaEropa
AustraliaAfrika
Sumber: Bank Indonesia
Tabel 1.2. Pertumbuhan Nilai Ekspor
Berdasarkan Benua Asal Pembeli
BenuaPertumbuhan
Tw.IV-2009Pertumbuhan Tw.I-2010*)
Afrika 12,4% 18,8%
Amerika -0,7% 16,9%
Asia 7,2% 29,4%
Australia & Oceania 0,7% -8,1%
Eropa 3,3% 18,8%
Sumber: Bank Indonesia *) Meliputi realisasi ekspor selama bulan Januari-Februari 2010
14
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Peningkatan ekspor Jawa Barat tersebut sesuai dengan hasil liaison Bank Indonesia Bandung terhadap
perusahaan besar berorientasi ekspor (bergerak di industri TPT, alas kaki, dan alat angkutan, mesin,
dan peralatan), yang menyatakan adanya peningkatan permintaan ekspor selama Januari dan Februari
2010 dibandingkan triwulan sebelumnya, walaupun belum sepenuhnya pulih dari krisis. Sementara
itu, peningkatan ekspor yang signifikan dirasakan oleh produsen furniture rotan, dimana permintaan
dari negara-negara di Amerika dan Eropa sudah mulai menunjukkan peningkatan.
Sejalan dengan ekspor, impor Jawa Barat juga mengalami peningkatan, baik dari sisi nilai maupun
volume (Grafik 1.20 dan Grafik 1.21). Peningkatan tersebut diperkirakan sejalan dengan mulai
pulihnya aktivitas perekonomian di Jawa Barat, yang selanjutnya membutuhkan impor yang lebih
besar, baik sebagai bahan baku maupun bahan penolong pada proses produksi yang dilakukan.
Grafik 1.20. Nilai Impor Jawa Barat
-80%
-40%
0%
40%
80%
120%
160%
0
250
500
750
1.000
1.250
1.500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2009
USD Juta
Nilai Impor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.21. Volume Impor Jawa Barat
-100%
-50%
0%
50%
100%
0
100
200
300
400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2009
Ribu Ton
Volume Impor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
2. SISI PENAWARAN
Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan mampu mempertahankan laju pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat pada level yang relatif tinggi. Walaupun demikian, melambatnya sektor
pertanian serta PHR mendorong terjadinya perlambatan pada triwulan laporan (Tabel 1.3). Sektor
pertanian mengalami perlambatan pada periode laporan, akibat turunnya produksi padi selama
triwulan I-2010, didorong oleh mundurnya masa panen padi di beberapa daerah sentra produksi padi.
Sementara itu, sektor PHR juga melambat, akibat tidak adanya faktor stimulus pada periode laporan,
seperti persiapan Pemilu Legislatif yang terjadi pada triwulan I tahun lalu. Di sisi lain, sektor industri
pengolahan, yang masih menjadi kontributor utama PDRB Jawa Barat, diperkirakan tumbuh positif,
setelah tiga triwulan sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif. Perkiraan tersebut salah satunya
diindikasikan dari pergerakan nilai SBT masing-masing sektor dominan di Jawa Barat pada triwulan I-
20103, yang masih menunjukkan angka positif. Secara keseluruhan, nilai SBT pada triwulan I-2010
tercatat sebesar 6,5, lebih rendah dibandingkan SBT pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.22).
15
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 1.22. Realisasi Kegiatan Dunia Usaha
-20
-10
0
10
20
30
Tw.I Tw.II Tw.IIITw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
SBT
Total Seluruh Sektor
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
PHR
Sumber: Bank Indonesia Bandung
Tabel 1.3. Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Provinsi Jawa Barat
Dari Sisi Penawaran (%)
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)Pertanian 34,8% -2,0% -3,5% -11,2% 2,7% 9,7% 3,3% 16,9% 0,6%
Pertambangan & Penggalian -15,3% -15,9% -8,8% 2,4% 1,0% 4,6% 10,9% 16,1% 9,9%
Industri Pengolahan 5,5% 9,5% 10,5% 10,8% 4,3% -1,6% -1,2% -1,8% 5,3%
Listrik, Gas, & Air Bersih 4,7% 5,4% 3,7% 3,3% 4,5% 11,0% 22,6% 27,9% 18,0%
Bangunan / Konstruksi 2,1% 1,2% 13,4% 19,2% 3,9% 8,5% 2,4% 8,7% 9,4%
PHR 3,6% 2,8% 6,1% -0,8% 6,5% 6,8% 12,4% 14,4% 8,4%
Pengangkutan & Komunikasi 0,5% 7,0% 3,5% 0,7% 7,7% 11,1% 10,5% 11,2% 13,2%
Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan -1,8% 3,5% 8,6% 9,9% 2,5% 4,3% 5,0% 11,8% 3,7%
Jasa-jasa 1,1% -0,1% 2,4% 3,8% 2,7% 4,0% 3,4% 2,8% 1,7%
PDRB 7,1% 4,7% 6,4% 4,5% 4,4% 3,2% 4,0% 6,1% 5,8%
20102009Sektor
2008
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Keterangan: *) Proyeksi BI Bandung
2.1. Sektor Pertanian
Sektor pertanian diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan I-2010. Perlambatan
tersebut terjadi karena adanya penurunan produksi padi, yang merupakan kontributor utama sektor
pertanian di Jawa Barat. Selama triwulan I-2010, produksi padi di Jawa Barat4 tercatat sebesar 3,4 juta
ton, lebih rendah dibandingkan produksi pada periode yang sama di tahun 2009 yang mencapai 3,7
juta ton, atau turun 6,6% (yoy) (Grafik 1.23). Penurunan produksi tersebut terjadi akibat menurunnya
luas panen padi, yaitu dari sekitar 656 ribu hektar pada triwulan I-2009, menjadi 586 ribu hektar pada
periode yang sama di tahun 2010 yang disebabkan antara lain oleh mundurnya masa panen padi di
beberapa daerah sentra padi (Grafik 1.24).
16
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 1.23. Produksi Padi Sawah dan Ladang
di Jawa Barat
-50%
0%
50%
100%
150%
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
%Ton
Produksi Padi Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik 1.24. Luas Panen Padi Sawah dan Ladang di Jawa Barat
-50%
0%
50%
100%
150%
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
450.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
%Ha
Luas Panen Padi Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Penurunan produksi juga terjadi pada tanaman pangan lainnya, meliputi jagung, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar (Grafik 1.25). Produksi tanaman pangan tersebut selama
Januari s.d. Februari 2010 tercatat sekitar 632 ribu ton, atau mengalami penurunan 2% (yoy).
Penurunan tersebut juga disebabkan oleh berkurangnya luas panen, yaitu dari sekitar 116 ribu hektar
pada periode yang sama di tahun 2009, menjadi 106 ribu hektar pada periode laporan (Grafik 1.26).
Grafik 1.25. Produksi Tanaman Pangan Non Padi di Jawa Barat
-50%
0%
50%
100%
150%
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
%Ton
Produksi Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik 1.26. Luas Panen Tanaman Pangan Non Padi di Jawa Barat
-100%
0%
100%
200%
300%
-
20.000
40.000
60.000
80.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
%Ton
Luas Panen Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Angka Ramalan dari publikasi BPS Jawa Barat memperkuat perkiraan adanya perlambatan pada sektor
pertanian di Jawa Barat, khususnya padi (Grafik 1.27). Luas panen padi pada subround I (periode
Januari s.d. April 2010) diperkirakan mencapai 820 ribu hektar, lebih rendah dibandingkan pencapaian
pada periode yang sama di tahun 2009 yang sebesar 861 ribu hektar. Dibandingkan triwulan
sebelumnya, perkiraan luas panen pada subround I-2010 tersebut menunjukkan penurunan
pertumbuhan, yaitu dari sebelumnya 11,1% (yoy), menjadi -4,8% yoy).
17
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 1.27. Luas Panen Padi Jawa Barat
1.83
0.42
0.76
0.64
1.80
0.32
0.64
0.84
1.95
0.35
0.74
0.86
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
TotalJan-Des
IIISep-Des
IIMei-Ags
IJan-Apr
Juta Ha
Subround
2010 (ARAM I-2010)
2009 (Angka Sementara 2009)
2008 (Angka Tetap)
2007
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Sementara itu, dampak banjir terhadap produksi padi di Jawa Barat hingga Maret 2010 relatif tidak
signifikan. Luas lahan padi yang terkena banjir pada periode laporan tercatat sebesar 13.768 hektar,
sementara lahan yang puso tercatat seluas 3.030 hektar. Dampak tersebut masih jauh lebih rendah
dibandingkan kondisi pada periode yang sama di tahun 2009, dimana lahan yang terkena banjir
adalah seluas 42.855 hektar dengan lahan yang mengalami puso seluas 14.697 hektar. Pemerintah
daerah telah melakukan beberapa tindakan untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah banjir
tersebut, diantaranya adalah:
1. Memantau jumlah dan lokasi daerah yang mengalami banjir dan longsor sehingga dapat
dilakukan upaya penanganan dengan cepat.
2. Membagikan benih yang berasal dari Cadangan Benih Nasional (CBN) dan Bantuan Langsung Bibit
Unggul (BLBU) kepada petani yang lahannya mengalami puso.
3. Mengoptimalkan penggunaan alat-alat pasca panen seperti pengering padi dan terpal di
kelompok tani.
4. Mengendalikan hama melalui pengiriman Tim Pengendali Hama Provinsi dan memberikan
pendampingan kepada kelompok tani, karena bencana banjir berpotensi menimbulkan hama yang
lebih banyak.
2.2. Sektor Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan diperkirakan mengalami peningkatan, terutama didorong oleh
perbaikan kondisi perekonomian global dan domestik yang mendorong kenaikan
permintaan. Setelah mengalami kontraksi selama tiga triwulan berturut-turut, sektor industri
pengolahan diperkirakan tumbuh positif pada triwulan I-2010, yaitu sebesar 2,5% (yoy), sejalan
dengan kenaikan konsumsi listrik untuk industri di Jawa Barat selama periode yang sama (Grafik 1.29).
Peningkatan industri terutama ditopang oleh meningkatnya kinerja subsektor alat angkutan, mesin,
dan peralatannya, yang diperkirakan sudah bergerak menuju pemulihan pada triwulan I-2010,
18
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
khususnya akibat meningkatnya permintaan domestik. Sementara itu, subsektor dominan lainnya,
yaitu tekstil, barang kulit, dan alas kaki, diperkirakan juga mengalami kenaikan pertumbuhan, yang
didorong oleh meningkatnya permintaan eksternal terhadap produk TPT Jawa Barat, dan terjaganya
daya beli di pasar domestik.
Grafik 1.28. Realisasi Kegiatan Industri Pengolahan
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
SBT
Industri Pengolahan Tekstil, barang kulit, dan alas kaki Sumber: Bank Indonesia
Grafik 1.29. Konsumsi Listrik Industri
0%
10%
20%
30%
40%
-
2.000
4.000
6.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
%Juta kWh
Konsumsi Listrik Industri Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: PT PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten
Peningkatan kinerja subsektor alat angkutan, mesin, dan peralatannya didukung oleh meningkatnya
penjualan kendaraan bermotor secara nasional, baik motor maupun mobil (Grafik 1.30 dan 1.31).
Bahkan, penjualan mobil secara nasional diperkirakan mampu mencetak pertumbuhan tertinggi sejak
tahun 2008. Walaupun dibayangi tantangan di sisi penjualan sehubungan kenaikan harga jual
kendaraan bermotor sebagai dampak kenaikan pajak kendaraan dan bea balik nama, namun
produsen kendaraan masih menyatakan optimisme terhadap produksi serta penjualan produknya.
Adapun peningkatan penjualan kendaraan bermotor tersebut terus terjadi seiring membaiknya situasi
perekonomian domestik serta kemudahan perbankan dalam menyalurkan kredit kepemilikan
kendaraan bermotor.
Gambar 1.30. Penjualan Motor Nasional
-30%
0%
30%
60%
90%
0
600.000
1.200.000
1.800.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)
2007 2008 2009 2010
Unit
Penjualan Motor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia Keterangan: *) Prediksi Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia
Gambar 1.31. Penjualan Mobil Nasional
-40%
0%
40%
80%
0
60.000
120.000
180.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)
2007 2008 2009 2010
Unit
Penjualan Mobil Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia Keterangan: *) Prediksi Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia)
19
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Selain peningkatan permintaan domestik, industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya juga
semakin membaik akibat meningkatnya permintaan eksternal terhadap produk kendaraan asal Jawa
Barat. Setelah selama 1 tahun tumbuh negatif, baik nilai maupun volume ekspor kendaraan (road
vehicle) mengalami pertumbuhan positif yang relatif tinggi selama triwulan I-2010 (Grafik 1.32 dan
Grafik 1.33).
Gambar 1.32. Nilai Ekspor Kendaraan
-75%
-50%
-25%
0%
25%
50%
75%
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyUSD Juta
Nilai Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 1.33. Volume Ekspor Kendaraan
-75%
-50%
-25%
0%
25%
50%
75%
0
5
10
15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
yoyRibu Ton
Volume Ekspor Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Bank Indonesia
Optimisme terhadap prospek positif di industri alat angkutan, mesin, dan kendaraannya mendorong
salah satu produsen kendaraan bermotor, General Motors, untuk berencana menghidupkan kembali
PT General Motors AutoWorlds Indonesia di Pondok Ungu, Bekasi. Pabrik tersebut dipersiapkan untuk
memproduksi mobil serbaguna (Multi Purpose Vehicle/MPV) berkapasitas tujuh penumpang. Selain
untuk konsumsi domestik, hasil produksi pabrik tersebut juga akan diekspor, terutama ke wilayah
ASEAN. Investasi terbesar yang akan dilakukan adalah berupa peremajaan mesin-mesin perakitan,
sementara bangunan dan gedung hanya membutuhkan renovasi kecil. Selain itu, PT Dirgantara
Indonesia (DI) telah menerima pesanan pembuatan komponen tailboom (ekor) dan fuselage (turbin)
untuk hellikopter terbaru milik Eurocopter di Perancis. Produksi dimulai pada Januari 2010 dan
diperkirakan selesai pada Oktober 2010. PT DI ditargetkan mampu menjadi pemasok utama
komponen berbagai perusahaan dirgantara dunia. Kondisi serupa juga terjadi pada PT PINDAD yang
berpeluang besar untuk menerima pesanan 32 panser dari Malaysia. Saat ini, PT PINDAD masih
mengikuti proses tender, dengan pesaing perusahaan dari Perancis dan Korea Selatan.
Industri TPT diperkirakan juga mengalami peningkatan pada triwulan I-2010, sebagaimana tercermin
dari hasil survei kegiatan dunia usaha industri TPT di Jawa Barat. Kenaikan tersebut didorong terutama
oleh membaiknya permintaan luar negeri, seperti tercermin dari kenaikan ekspor produk TPT (lihat
Grafik 1.13 dan Grafik 1.14). Adapun peningkatan permintaan ekspor terutama berasal dari pasar
tradisional, akibat membaiknya perekonomian negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa
Barat. Dilihat dari produknya, jenis produk TPT yang mengalami peningkatan permintaan terutama
terjadi pada produk garmen. Di sisi lain, ekspansi perusahaan TPT Jawa Barat ke pasar non tradisional,
seperti Eropa Timur dan Asia Tengah, masih terhambat akan keterbatasan fasilitas perbankan pada
20
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
negara-negara tersebut. Oleh karena itu, peningkatan mediasi perbankan sangat diharapkan oleh para
pelaku usaha.
Produk kain polyester dan garmen telah mencapai kestabilan penerimaan order dan menunjukkan
peningkatan ekspor. Sementara itu, ekspor garmen ke Amerika Serikat dan Eropa terus mengalami
peningkatan pada triwulan I-2010, meskipun belum kembali ke kondisi normal. Perusahaan
menerapkan strategi menurunkan harga jual dan margin keuntungan demi menjaga kesinambungan
produksi dan penjualan. Produsen pakaian dan perlengkapan anak juga mengalami kenaikan
penjualan karena perusahaan telah mendapatkan target buyer di luar negeri yang cukup potensial,
yaitu dari negara-negara di Eropa, khususnya Jerman.
Sementara itu, pemberlakuan ACFTA diperkirakan dapat membawa dampak positif dan negatif
terhadap industri TPT di Jawa Barat. Dampak positif yang mungkin terjadi adalah berupa harga bahan
baku yang lebih murah, sementara dampak negatifnya adalah berupa penurunan penjualan di pasar
domestik (lihat Boks 1. Dampak ACFTA terhadap Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil). Selain itu,
dampak positif lainnya adalah kemungkinan relokasi industri TPT Cina ke Indonesia, terutama Jawa
Barat, didorong oleh relatif masih rendahnya upah buruh di Indonesia. Selain itu, Cina menawarkan
pula mesin tekstilnya dengan harga lebih murah dibandingkan harga mesin Eropa atau Amerika
Serikat. Berdasarkan hasil survei, produsen kain tidak terlalu khawatir akan implementasi ACFTA,
karena penjualan kain akan diarahkan ke segmen produk dengan kualitas lebih tinggi untuk kalangan
menengah ke atas. Berkaitan dengan pasar domestik, beberapa strategi telah dijalankan oleh
pelaku usaha untuk mempertahankan pangsanya, antara lain dengan melakukan ekspansi penjualan
ke seluruh wilayah Indonesia, semakin aktif melakukan kegiatan promosi, memberikan potongan
harga kepada konsumen, serta melakukan komunikasi intensif dengan pihak distributor (seperti
departement store) untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan selera pasar terkini.
Industri elektronik diperkirakan juga menunjukkan peningkatan. Sejumlah perusahaan elektronik
berencana menjadikan Indonesia, khususnya Jawa Barat, sebagai basis produksi elektronik, antara lain
Toshiba yang menjadikan Cikarang sebagai basis produksi TV LCD. Terdapat beberapa faktor yang
mendorong ekspansi di Indonesia, seperti ketersediaan tenaga kerja yang besar, biaya produksi yang
relatif kompetitif, serta pasar produk elektronik di dalam negeri yang sangat prospektif. Berdasarkan
hasil survei, ekspor produk elektrik di tahun 2010 menunjukkan peningkatan, sebagai akibat
pengalihan pasar dari domestik, yang dikhawatirkan mengalami penurunan akibat implementasi
ACFTA, ke pasar luar negeri, dengan tujuan untuk meningkatkan omzet penjualan.
2.3. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan tumbuh pada level yang relatif tinggi,
meskipun melambat bila dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut terjadi
akibat beberapa faktor. Turunnya produksi padi pada triwulan laporan karena mundurnya masa panen
raya diperkirakan berdampak terhadap penurunan volume perdagangan komoditas pertanian.
Sementara itu, melambatnya subsektor perdagangan besar dan eceran juga disebabkan oleh tidak
21
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
adanya stimulus yang mampu mendorong kinerja sektor PHR di Jawa Barat untuk tumbuh lebih tinggi
lagi, sebagaimana halnya saat persiapan penyelenggaraan Pemilu pada triwulan I-2009. Disamping itu,
belum tibanya puncak panen raya pada sebagian besar daerah di Jawa Barat mengakibatkan aktivitas
perdagangan, terutama di wilayah pedesaan, belum mampu mendorong kinerja sektor PHR secara
keseluruhan.
Terdapat beberapa indikasi melambatnya subsektor perdagangan eceran, diantaranya adalah
perlambatan dari indeks Penjualan Eceran serta penurunan Indeks Pembelian Durable Goods (barang
tahan lama) selama triwulan I-2010 (Grafik 1.34). Kedua indikator tersebut mengindikasikan adanya
perlambatan pada subsektor perdagangan eceran. Sementara itu, melambatnya subsektor
perdagangan besar salah satunya tercermin dari turunnya arus bongkar muat di Pelabuhan Cirebon
selama triwulan I-2010 (Grafik 1.35). Tercatat sekitar 796 ribu ton muatan melalui Pelabuhan Cirebon
selama Januari s.d. Maret 2010, lebih rendah dibandingkan muatan pada periode yang sama di tahun
2009 yang tercatat sekitar 1.003 ribu ton.
Grafik 1.34. Indeks Penjualan Eceran
-15
0
15
30
60
100
140
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
%
Indeks Penjualan Eceran Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Survei Penjualan Eceran, Bank Indonesia Bandung
Grafik 1.35. Arus Bongkat Muat di Pelabuhan Cirebon
0
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2009 2010
ton
Sumber: PT Pelindo II
Sementara itu, perlambatan pertumbuhan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di Jawa Barat
mengindikasikan melambatnya subsektor hotel pada triwulan I-2010 (Tabel 1.4). Kunjungan
wisatawan mancanegara diperkirakan tidak banyak berubah, tercermin dari stabilnya angka jumlah
wisman yang masuk ke Jawa Barat melalui Bandara Husein Sastranegara dan Muarajati (Grafik 1.36).
Dilihat dari kebangsaannya, terjadi peningkatan jumlah wisman yang berkebangsaan Malaysia, yaitu
dari sebelumnya memiliki pangsa 78% dari keseluruhan wisman, meningkat menjadi 84% (Grafik
1.37).
Tabel 1.4. Indikator Perhotelan di Jawa Barat
2010
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
Hotel Bintang 42,31 41,40 40,03 40,45 43,65 43,10 46,93 49,67 48,16 22,8% 10,3%Hotel Non Bintang 24,54 25,24 25,18 27,13 24,96 28,08 27,40 32,35 31,65 19,3% 26,8%Hotel Bintang &
Non Bintang36,01 31,22 32,84 33,87 35,23 36,75 37,33 42,75 42,85 26,2% 21,6%
Pertumbuhan Tw.I-10 (yoy)
Tingkat Hunian Kamar
2008 Pertumbuhan Tw.IV-09 (yoy)
2009
Sumber: BPS Provinsi Jabar Keterangan: data merupakan rata-rata dari data TPK bulanan
22
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 1.36. Perkembangan Wisatawan
Mancanegara yang Berkunjung ke Jawa Barat
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2008 2009 2010
orang
Husein Sastranegara Muarajati Total
Sumber: BPS Provinsi Jabar
Grafik 1.37. Asal Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung ke Jawa Barat
Malaysia84%
Singapura8%
Eropa2%
Amerika1%
Lainnya5%
Sumber: BPS Provinsi Jabar
Data penyaluran kredit perbankan Jawa Barat juga
turut mengkonfirmasi perkiraan melambatnya
sektor PHR pada triwulan I-2010 (Grafik 1.38).
Posisi kredit tercatat turun lebih dari Rp1 triliun,
yaitu dari Rp23,3 triliun menjadi Rp21,6 triliun.
Pertumbuhan kredit juga mengalami perlambatan,
yaitu dari 24,1% (yoy), melambat menjadi 14,2%
(yoy).
Grafik 1.38. Penyaluran Kredit
ke Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0
10
20
30
40
0
5
10
15
20
25
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Triliun
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
2.4. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
Sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan I-
2010. Hal ini didukung oleh beberapa indikator di subsektor pengangkutan, seperti volume kegiatan
di Bandara Husein Sastranegara, jalan tol di Jawa Barat, serta angkutan kereta api.
Jumlah penumpang yang melalui Bandara Husein
Sastranegara, terus menunjukkan peningkatan,
baik kedatangan maupun keberangkatan (Grafik
1.39). Jumlah penumpang di bandara dimaksud
tercatat tumbuh melonjak sebesar 117% (yoy),
setelah sebelumnya juga tumbuh cukup tinggi,
yaitu 91% (yoy). Terus meningkatnya jumlah
penumpang tersebut diperkirakan terjadi akibat
semakin banyaknya rute penerbangan yang dilayani
melalui Bandara Husein Sastranegara, baik untuk
tujuan dalam maupun luar negeri.
Grafik 1.39. Jumlah Penumpang Domestik dan
Internasional di Bandara Husein Sastranegara
-25%
0%
25%
50%
75%
100%
125%
0
50.000
100.000
150.000
200.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
orang
Jumlah Penumpang Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: PT Persero Angkasa Pura II
23
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Kondisi transportasi darat di Jawa Barat juga memperlihatkan adanya kenaikan, baik angkutan rel
maupun angkutan jalan. Peningkatan kinerja angkutan rel tercermin dari naiknya pertumbuhan jumlah
penumpang kereta api di Jawa Barat selama triwulan I-2010 (Tabel 1.5). Kenaikan tersebut terjadi
pada hampir seluruh kelas di kereta api, kecuali kelas Lokal Bisnis. Sementara itu, kenaikan kinerja
subsektor angkutan jalan terindikasikan dari meningkatnya rata-rata pertumbuhan kendaraan yang
melewati 12 gerbang tol di Jawa Barat (Tabel 1.6). Adapun kenaikan pertumbuhan tersebut terjadi
pada gerbang tol Sadang, Jatiluhur, Padalarang, Baros 2, Pasteur, Pasir Koja, serta M. Toha.
Tabel 1.5. Jumlah Penumpang Kereta Api di Jawa Barat
2010 Pertumbuhan PertumbuhanTw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.IV-09 (yoy) Tw.I-10 (yoy)
Eksekutif 0.23 0.30 0.33 0.32 0.28 0.32 0.34 0.34 0.28 5.65% 2.15%Bisnis 0.20 0.26 0.33 0.32 0.27 0.29 0.35 0.31 0.28 -2.63% 5.24%Ekonomi 0.37 0.41 0.46 0.49 0.41 0.48 0.53 0.49 0.47 -0.45% 14.31%Lokal Bisnis 0.26 0.28 0.33 0.33 0.36 0.40 0.47 0.42 0.41 29.20% 12.39%Lokal Ekonomi 1.74 1.88 2.01 2.23 1.94 2.23 2.45 2.25 2.29 0.81% 18.42%Total 2.80 3.12 3.45 3.69 3.25 3.72 4.13 3.81 3.73 3.29% 14.77%
Kelas2008 2009
Sumber: PT Kereta Api DAOP Jawa Barat Catatan: terdiri dari DAOP Bandung dan Cirebon
Tabel 1.6. Jumlah Kendaraan yang Melintasi 12 Gerbang Tol di Jawa Barat
Tw.I-09 Tw.I-10 Pertumbuhan (yoy) Gerbang Tol
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Sadang 393,714 377,812 438,188 399,520 11.3% 5.7%
Jatiluhur 308,102 313,222 324,127 329,214 5.2% 5.1%
Padalarang Barat 1,689,950 1,886,200 1,887,696 2,123,232 11.7% 12.6%
Padalarang 1,492,629 1,391,195 1,582,929 1,428,344 6.0% 2.7%
Baros 1 474,804 712,583 483,061 757,126 1.7% 6.3%
Baros 2 711,611 507,080 750,347 481,465 5.4% -5.1%
Pasteur 2,387,054 2,315,270 2,493,329 2,432,528 4.5% 5.1%
Pasir Koja 1,376,649 1,116,020 1,404,538 1,174,216 2.0% 5.2%
Kopo 996,679 1,046,025 1,057,578 1,100,917 6.1% 5.2%
M Toha 790,560 861,141 832,119 916,162 5.3% 6.4%
Buah Batu 1,174,806 1,275,471 1,248,578 1,332,845 6.3% 4.5%
Cileunyi 1,700,145 1,707,876 1,833,390 1,945,335 7.8% 13.9%
TOTAL 13,496,703 13,509,895 14,335,880 14,420,904 6.2% 6.7%
Sumber: PT Jasa Marga Kantor Cabang Purbaleunyi
24
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Peningkatan kegiatan usaha di sektor
pengangkutan dan komunikasi tersebut
sejalan dengan kenaikan kredit yang
disalurkan perbankan ke sektor terkait
(Grafik 1.40). Posisi kredit pada Maret 2010
tercatat meningkat dari Rp5,6 triliun pada
triwulan IV-2009, menjadi Rp5,7 triliun, atau
tumbuh dari 82,1% (yoy) menjadi 84,6%
(yoy) pada Maret 2010.
Grafik 1.40. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum ke Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
0
150
300
450
0
2
4
6
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2006 2007 2008 2009
%Rp Triliun
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
2.5. Sektor Bangunan/Konstruksi
Sektor bangunan/konstruksi diperkirakan tumbuh meningkat, yaitu dari 8,7% (yoy) pada
triwulan IV-2009 menjadi 9,4% (yoy) pada triwulan I-2010. Hal ini diindikasikan antara lain oleh
relatif tingginya pertumbuhan penjualan semen di Jawa Barat serta penyaluran Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA) (Grafik 1.41). Selain itu, penyaluran kredit
perbankan di Jawa Barat ke sektor konstruksi juga menunjukkan adanya peningkatan (Grafik 1.42).
Proyek pemerintah di sektor konstruksi juga diperkirakan meningkat. Hal ini terjadi karena Dinas Bina
Marga Jawa Barat pada bulan Januari 2010 mulai melakukan lelang jasa pemborongan konstruksi
yang terdiri dari 121 paket dengan nilai Rp783 miliar, sebelum APBD Jawa Barat tahun 2010 disahkan.
Hal ini dimaksudkan agar penyerapan anggaran berjalan sesuai perencanaan dan proses
pembangunan berjalan dan selesai tepat pada waktunya. Paket yang dilelang Dinas Bina Marga
tersebut meliputi Balai Pengelolaan Jalan Wilayah Pelayanan I (24 paket), Balai Pengelolaan Jalan
Wilayah Pelayanan II (14 paket), Balai Pengelolaan Jalan Wilayah Pelayanan III (27 paket), Balai
Pengelolaan Jalan Wilayah Pelayanan IV (23 paket), Balai Pengelolaan Jalan Wilayah Pelayanan V (14
paket), Balai Pengelolaan Jalan Wilayah Pelayanan VI (18 paket), dan Kantor Pusat Dinas Bina Marga (1
paket). Seluruh proses lelang dilakukan melalui layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik
(LPSE), untuk meminimalisasi pertemuan antara peserta dan panitia lelang.
Grafik 1.41. Posisi Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA)
0%
10%
20%
30%
-
6.000.000
12.000.000
18.000.000
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Juta
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy) Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
Grafik 1.42. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke
Sektor Konstruksi
0
10
20
30
40
50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Triliun
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
25
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
2.6. Sektor Lainnya
Sektor listrik, gas, dan air bersih diperkirakan menunjukkan kinerja yang stabil pada triwulan
I-2010. Konsumsi listrik industri menunjukkan peningkatan, namun konsumsi listrik rumah tangga
mengalami penurunan, menjadikan konsumsi listrik secara keseluruhan di Jawa Barat relatif stabil
(Tabel 1.7). Sementara itu, penyaluran kredit perbankan ke sektor listrik, gas, dan air bersih
menunjukkan penurunan (Grafik 1.43).
Tabel 1.7. Pemakaian Listrik di Jawa Barat (Juta Kwh) 2010
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
Rumah Tangga 2,383 2,419 2,513 2,611 2,682 2,903 3,000 3,058 2,995 17% 12%
Industri 3,623 3,807 3,918 4,083 4,202 4,794 5,169 4,977 5,282 22% 26%
Total 6,006 6,226 6,431 6,694 6,884 7,697 8,170 8,035 8,276 20% 20%
2009 Pertumbuhan Tw.I-10 (yoy)
2008 Pertumbuhan Tw.IV-09 (yoy)
Penggunaan
Sumber: PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten.
Grafik 1.43. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Jawa Barat ke Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
-100
0
100
200
300
400
500
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Triliun
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
Setelah tumbuh relatif tinggi pada triwulan sebelumya, perlambatan diperkirakan terjadi
pada sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, yaitu tumbuh 3,7% (yoy), dari
sebelumnya tumbuh 11,8%. Salah satu indikasi perlambatan tersebut adalah melambatnya nilai
Salso Bersih Tertimbang dari realisasi sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan pada triwulan
I-2010, yaitu dari 2,97 pada triwulan IV-2009 menjadi 1,43. Selain itu, perlambatan subsektor
keuangan diperkirakan terjadi, salah satunya akibat kenaikan jumlah kredit bermasalah yang dialami
oleh perbankan Jawa Barat pada triwulan laporan.
26
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Sektor jasa-jasa diperkirakan mengalami
perlambatan pada triwulan I-2010, antara
lain sebagai dampak melambatnya sektor
PHR pada periode laporan. Kondisi tersebut
diindikasikan oleh penyaluran kredit perbankan
pada sektor jasa dunia usaha dan jasa sosial
pada triwulan I-2010. Kredit ke dua sektor
tersebut mengalami penurunan hampir Rp200
miliar pada triwulan I-2010, atau tumbuh
melambat dari 9,9% (yoy) pada triwulan IV-2009
menjadi 7,5% (yoy) (Grafik 1.44).
Grafik 1.44. Penyaluran Kredit oleh Bank
Umum di Jawa Barat ke Sektor Jasa Dunia Usaha dan Sosial
0
10
20
30
40
50
0
2
4
6
8
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%Rp Triliun
Posisi Kredit Pertumbuhan (yoy, sumbu kanan)
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Bandung
27
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
BOKS 1
DAMPAK ACFTA TERHADAP KINERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL
Beberapa pengamat menyatakan bahwa industri TPT merupakan salah satu industri yang diperkirakan mengalami
kerugian cukup besar sebagai dampak implementasi ACFTA, terutama pakaian jadi, yaitu berupa penurunan
penjualan. Untuk mendapat informasi yang lebih akurat, Bank Indonesia (BI) Bandung melakukan survei terhadap
75 perusahaan TPT skala menengah besar di Jawa Barat dan Banten, serta 51 pelaku UMKM yang bergerak di
bidang TPT.
Pendahuluan
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) atau Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Cina menjadi salah satu
topik terhangat sejak awal tahun 2010 ini. Namun demikian, isu tersebut bukanlah sama sekali baru, karena
perjanjian telah ditandatangani lebih dari 5 tahun lalu, yaitu tepatnya pada tanggal 4 November 2004 di Phnom
Penh, Kamboja oleh para kepala negara ASEAN dan RRC. ACFTA ini disepakati dengan tujuan untuk memperkuat
dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak melalui pengurangan atau penghapusan tarif, mencari
area baru serta mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan di antara kedua pihak.
Walaupun ACFTA baru ramai diperbincangkan mendekati awal tahun 2010, namun implementasinya telah
berjalan sebelum tahun 2010, secara bertahap. Terdapat tiga tahapan penurunan bea masuk melalui skema ACFTA
ini. Tahap pertama adalah program untuk mempercepat implementasi ACFTA dimana tarif beberapa kategori
komoditas sudah dapat dihapus sejak 1 Juli 2006. Tahap kedua adalah Normal Track dimana tarif seluruh
komoditas yang termasuk dalam kategori ini harus diturunkan menjadi 0-5% pada 1 Januari 2010. Hampir seluruh
komoditas masuk dalam kategori ini, kecuali mendapat pengecualian (yang berarti masuk kedalam kategori
sensitive track). Tahap terakhir adalah Sensitive Track, yaitu penurunan tarif komoditas hingga 20% sebelum 1
Januari 2012 dan menjadi 0-5% sebelum 1 Januari 2018 serta penurunan tarif komoditas tidak melebihi 50%
sebelum 1 Januari 2015.
Bagaimana dengan Jawa Barat?
Di Jawa Barat, Cina merupakan salah satu eksportir terbesar. Tahun 2009, nilai impor Jawa Barat dari Cina tercatat
sebesar USD910 juta atau 15% dari total nilai impor Jawa Barat. Sementara itu, ekspor Jawa Barat ke Cina relatif
kecil, hanya USD537 juta atau 3% dari total ekspor Jawa Barat. Dengan demikian, pada tahun 2009 Jawa Barat
mencatat defisit perdagangan ekspor dengan Cina sebesar USD373 juta.
Kondisi volume perdagangan di tahun 2009 tidak terlalu mengkhawatirkan, bahkan justru lebih menguntungkan
Jawa Barat, karena volume ekspor (163 ribu ton) lebih tinggi dibandingkan volume impor (136 ribu ton), sehingga
Jawa Barat masih dapat mencatat surplus volume perdagangan.
28
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
29
Grafik 1. Nilai Ekspor Impor Jawa Barat–Cina
Grafik 2. Volume Ekspor Impor Jawa Barat–Cina
‐
15
30
45
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008 2009
Ribu
Ton
‐
40
80
120
160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008 2009
USD
Juta
Volume Impor Volume EksporNilai Impor Nilai Ekspor
Industri TPT Jawa Barat
Industri pengolahan merupakan sektor dominan di Jawa Barat, dengan nilai tambah sebesar Rp270,55 triliun
(PDRB tahun 2008, Atas Dasar Harga Berlaku), atau memberikan kontribusi sebesar 45% terhadap PDRB Jawa
Barat, didukung oleh industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang memberikan kontribusi sebesar 24%
terhadap industri pengolahan. Industri tekstil di Jawa Barat memegang peranan yang cukup signifikan terhadap
industri TPT (Industri Tekstil dan Produk Tekstil) nasional, karena sebaran industri TPT nasional yang terfokus di
Jawa Barat (sekitar 57% industri TPT nasional berlokasi di Jawa Barat).
Dalam hal perdagangan produk TPT antara Jawa Barat dan Cina, Jawa Barat mencatat perdagangan defisit, yaitu
nilai ekspor sebesar USD36 juta, sementara nilai impornya USD133 juta. Ada beberapa faktor-faktor yang
menyebabkan tingginya daya saing produk TPT Cina dibandingkan produk lokal. Pertama, mesin yang digunakan
oleh industri TPT lokal mayoritas berumur tua, berbeda dengan industri Cina yang relatif menggunakan mesin
baru. Kedua, suplai listrik di Cina relatif stabil meskipun dengan biaya lebih tinggi. Ketiga, kebutuhan bahan kimia
industri TPT lokal masih sangat bergantung pada impor. Selain itu, industri TPT lokal menghadapi beberapa
kendala eksternal, diantaranya infrastruktur jalan darat yang kurang memadai, pajak-pajak dan pungutan yang
menghambat usaha, serta proses perizinan yang rumit.
Dampak ACFTA terhadap Industri TPT Jawa Barat dan Banten
Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa implementasi ACFTA
berpengaruh terhadap kegiatan usahanya, baik dampak positif maupun negatif. Dampak negatif terutama adalah
perkiraan penurunan penjualan di pasar dalam negeri, sementara dampak positif terutama adalah penurunan
harga bahan baku (Grafik 5 dan Grafik 6).
Meskipun merasakan dampak akan implementasi ACFTA, namun sebagian besar responden menyatakan siap
dalam menghadapi ACFTA, yakni dengan melakukan/merencanakan beberapa strategi, baik dari sisi input,
produksi, maupun pemasaran.
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
30
Grafik 3. Dampak Negatif yang Dirasakan Grafik 4. Dampak Positif yang Dirasakan
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Lainnya
Penjualan untuk ekspor menurun
Harga bahan baku lebih mahal
Biaya operasional meningkat
Penjualan di pasar dalam negeri menurun
Responden
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Lainnya
Penjualan untuk ekspor meningkat
Responden
Biaya tenaga kerja menurun
Penjualan di pasar dalam negeri meningkat
Biaya operasional menurun
Harga bahan baku lebih murah
a) Dari sisi input, responden menyatakan melakukan efisiensi biaya energi dan biaya bahan baku. Berkaitan
dengan tenaga kerja, kondisi ketenagakerjaan diperkirakan masih relatif stabil karena jumlah responden yang
menyatakan akan menambah jumlah tenaga kerjanya sama dengan jumlah responden yang menyatakan
sebaliknya.
b) Dari sisi produksi, mayoritas responden menyatakan masih akan meningkatkan kapasitas produksi dan
kualitas produk, sementara sebagian lainnya akan melakukan diferensiasi atau diversifikasi produk. Sementara
itu, hanya sebagian kecil yang menyatakan akan melakukan pengalihan usaha.
c) Dari sisi pemasaran, mayoritas responden akan berupaya untuk mempertahankan pangsa di pasar domestik,
antara lain dengan mencari konsumen baru di dalam negeri atau meningkatkan aktivitas pemasaran di dalam
negeri, melalui iklan, direct selling, menambah gerai baru, dll, agar pasar di dalam negeri tidak beralih ke
produk Cina.
Harapan Pelaku Usaha
Meskipun sudah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi dampak ACFTA, namun pelaku usaha
mengharapkan adanya dukungan dari Pemerintah (Grafik 5). Yang terpenting adalah ketersediaan infrastruktur
yang memadai, terutama jalan darat serta listrik, serta menjamin kepastian hukum dan proses perizinan yang
transparan dan sederhana. Pelaku usaha mengharapkan pula adanya pembebasan pungutan dan bea masuk untuk
impor bahan baku, pemberian kemudahan dan keringanan biaya ekspor produk, serta penerapan Standar Nasional
Indonesia (SNI), khususnya bagi produk impor. Selain itu, diharapkan pula peran asosiasi terutama dalam
memperluas jejaring bisnis dan memberikan informasi terkini mengenai perkembangan dunia usaha (Grafik 6).
Hingga akhir tahun 2010, pelaku usaha masih memandang optimis kinerja usahanya. Mayoritas responden (65%)
memperkirakan bahwa kinerja usaha mereka masih relatif stabil atau bahkan meningkat. Begitu pula dalam jangka
panjang.
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
Grafik 5. Harapan terhadap Upaya Pemerintah
Grafik 6. Harapan terhadap Peran Asosiasi
Dampak ACFTA terhadap Perusahaan TPT Skala Menengah Kecil (UMKM)
Dari responden yang disurvei, ternyata hampir 25% responden menyatakan tidak mengetahui mengenai
implementasi ACFTA serta dampaknya terhadap kinerja usahanya. Sementara itu, dampak yang dirasakan cukup
beragam, baik positif maupun negatif. Bentuk dampak negatif yang banyak dipilih oleh responden adalah
turunnya penjualan di pasar dalam negeri. Sementara itu, dampak positif yang akan dirasakan adalah berupa harga
bahan baku yang lebih murah, serta peningkatan produktivitas.
Walaupun implementasi ACFTA dirasakan berdampak, namun dirasakan belum mempengaruhi kinerja usaha dari
para responden. Sebagian besar responden (70% dari responden yang mengetahui ACFTA) menyatakan kinerja
usaha mereka diperkirakan masih tumbuh stabil atau mengalami kenaikan pasca implementasi ACFTA, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Mayoritas responden juga menyatakan kesiapan mereka dalam
menghadapi ACFTA. Adapun langkah-langkah antisipasi yang paling banyak dipilih oleh para responden antara
lain meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mencari konsumen baru, serta meningkatkan kualitas produk dan
aktivitas pemasaran.
Sementara itu, beberapa upaya yang diharapkan oleh pelaku usaha dari Pemerintah antara lain berupa bantuan
promosi dan mendorong penggunaan produk dalam negeri, memberikan kepastian hukum, perizinan yang jelas
dan sederhana, serta membantu penyediaan mesin baru.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi ACFTA berdampak terhadap kinerja pelaku usaha. Meskipun sebagian
pelaku usaha telah melakukan beberapa persiapan, namun daya saing industri tidaklah terlepas dari peran
pemerintah. Sehubungan dengan itu, diharapkan agar pemerintah senantiasa memberi perhatian terhadap
ketersediaan dan kelayakan infrastuktur –khususnya transportasi dan energi- sehingga kerja keras dunia usaha
dapat berjalan lancar yang akhirnya berdampak pula pada kesejahteraan masyarakat luas.
31
BAB 1. KONDISI MAKRO EKONOMI REGIONAL
32
BOKS 2
SURVEI PERSEPSI KONSUMEN (RUMAH TANGGA) TERHADAP ACFTA
Pendahuluan
Dalam rangka mendapatkan informasi mengenai sikap masyarakat terhadap implementasi ACFTA, selain dari sisi
pelaku usaha, Bank Indonesia Bandung juga melakukan survei kepada 400 responden rumah tangga di Kota
Bandung.
Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Konsumen
Sebagian besar responden sudah terekspos oleh pemberitaan mengenai ACFTA, namun hanya sebagian kecil
responden yang mempu menjelaskan detail mengenai definisi maupun dampak dari implementasi ACFTA tersebut.
Sementara itu, mayoritas konsumen memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai produk domestik/lokal
dibandingkan produk luar negeri5.
Dalam 4 bulan terakhir, yaitu dari Januari hingga April 2010, mayoritas responden cenderung tidak melakukan
pembelian terhadap produk buatan Cina. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden akan kualitas produk
buatan Cina yang dianggap lebih rendah dibandingkan produk lokal, atau kesadaran responden dalam memilih
produk dalam negeri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran akan pengalihan pangsa produk
domestik di dalam negeri ke produk Cina dirasakan agak berlebihan karena masyarakat masih cenderung memilih
produk lokal dibandingkan produk Cina.
Penutup
Relatif tingginya tingkat nasionalisme responden, serta preferensi masyarakat yang cenderung lebih memilih
produk lokal ketimbang produk Cina, menjadikan kebijakan demand side, dalam bentuk menumbuhkan rasa
kecintaan terhadap produk dalam negeri, menjadi kurang optimal. Sebagai alternatif kebijakan untuk
mempertahankan pangsa produk lokal setelah implementasi ACFTA adalah kebijakan yang mendukung sisi supply
side. Kebijakan tersebut dapat dilakukan antara lain melalui:
• Upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi
• Penerapan standar nasional (SNI) yang diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas produk lokal
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
35
BAB 2 PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
36
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
37
Wwalaupun menunjukkan peningkatan, laju inflasi tahunan Jawa Barat pada triwulan I-2010
masih relatif terkendali. Secara tahunan laju inflasi meningkat dari 2,02% (yoy) pada triwulan IV-2009
menjadi 2,99% (yoy) pada triwulan I-2010. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan
inflasi nasional yang tercatat sebesar 3,43%. Sementara itu, sebagaimana pola musimannya, laju inflasi
triwulanan Jawa Barat juga meningkat dari 0,29% (qtq) pada triwulan IV-2009 menjadi 0,96% pada
periode laporan. Sama halnya dengan laju inflasi tahunan, inflasi triwulanan Jawa Barat tersebut masih
lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional yang sebesar 0,99% (qtq).
Terkendalinya inflasi Jawa Barat terutama disebabkan oleh terjaganya pasokan kebutuhan pokok
masyarakat, meskipun harga beras meningkat cukup tinggi pada awal periode laporan. Di sisi lain, nilai
tukar rupiah yang cenderung menguat serta turunnya harga emas di pasar internasional menyebabkan
ekspektasi harga pelaku usaha membaik.
1. PERKEMBANGAN INFLASI
Secara tahunan, meskipun berada pada level yang terkendali, laju inflasi tahunan mengikuti
tren kenaikan, yakni dari 2,02% (yoy) pada triwulan IV-2009 menjadi 2,99% pada triwulan I-
2010 (Grafik 2.1). Kenaikan laju inflasi antara lain disebabkan oleh faktor teknis, yakni hilangnya
pengaruh penurunan harga BBM dalam perhitungan inflasi pada periode pengamatan (base-effect).
Namun demikian, harga sebagian besar komoditas pada komponen kelompok penyumbang inflasi (bahan
makanan, makanan jadi, sandang, dan kesehatan) relatif stabil bahkan cenderung lebih rendah.
Grafik 2.1. Inflasi Tahunan Jawa Barat dan Nasional
2,99
3,43
0
2
4
6
8
10
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2009 2010
% (yoy)
Jabar Nasional
Sumber: BPS Jawa Barat, TD 2002. Keterangan: * Inflasi dengan Tahun Dasar 2002;
** Inflasi dengan Tahun Dasar 2007.
Grafik 2.2. Inflasi Triwulanan Jawa Barat dan Nasional
0,96
0,99
0
1
2
3
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2009 2010
% (qtq)
Jabar Nasional
Sumber: BPS Jawa Barat, TD 2002. Keterangan: * Inflasi dengan Tahun Dasar 2002; ** Inflasi dengan Tahun Dasar 2007.
Secara triwulanan, inflasi Jawa Barat naik sesuai dengan pola musimannya (Grafik 2.2).
Gangguan cuaca yang mengakibatkan pergeseran musim panen padi merupakan salah satu faktor
penyebab kenaikan laju inflasi pada triwulan I. Namun demikian, besarnya inflasi kelompok bahan
makanan pada periode laporan masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai musimannya.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
38
Pergerakan inflasi bulanan menunjukkan laju yang
terus menurun selama triwulan I-2010 (Grafik 2.3).
Bulan Januari 2010 merupakan puncak laju inflasi
bulanan (0,77%, mtm) pada triwulan I-2010 terutama
disebabkan kenaikan harga beras yang terkait dengan
faktor cuaca. Tekanan laju inflasi pada bulan Februari
2010 relatif mereda, yakni menjadi 0,38% karena mulai
membaiknya pasokan komoditas pangan strategis
seperti beras. Pada bulan Maret 2010, Jawa Barat
mengalami deflasi 0,19% karena beberapa daerah
mulai melakukan panen padi.
1.1. INFLASI MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA
Inflasi Tahunan
Empat kelompok dari tujuh kelompok barang dan jasa mengalami penurunan laju inflasi
tahunan, yakni kelompok bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau;
sandang; dan kesehatan (Tabel 2.1). Di lain pihak, belum adanya kebijakan yang berpengaruh
signifikan terhadap harga bahan bakar (bensin dan bahan bakar rumah tangga) pada periode laporan
mendorong laju inflasi tahunan meningkat. Pemerintah menetapkan penurunan harga BBM bersubsidi
dan bahan bakar rumah tangga pada triwulan I-2009. Selain itu, pada triwulan I-2010 harga BBM
nonsubsidi mengalami kenaikan karena faktor eksternal sehingga laju inflasi tahunan kelompok transpor,
komunikasi, dan jasa keuangan mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Tabel 2.1. Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) 2009 2010 Andil
No. Kelompok Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.IV '09 Tw.I '10
1 Bahan makanan 11,67 5,96 6,22 4,10 3,42 0,98 0,83
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 10,08 7,71 4,95 6,66 6,52 1,19 1,19
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 4,97 3,59 0,45 1,06 1,75 0,25 0,41
4 Sandang 6,83 4,84 4,09 4,94 1,32 0,20 0,05
5 Kesehatan 5,43 4,57 3,83 3,95 2,74 0,16 0,11
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 7,15 6,22 4,94 3,61 3,80 0,25 0,27
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 3,53 -7,03 -8,34 -5,74 0,53 -1,05 0,08
Umum 7,45 3,13 1,87 2,02 2,99 2,02 2,99
Sumber: BPS Jawa Barat.
Grafik 2.3. Inflasi Bulanan Jawa Barat dan Nasional
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2008 2009 2010
% (mtm)Jabar Nasional
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
39
a. Kelompok Bahan Makanan
Grafik 2.4. Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan di Jawa Barat
11,67
5,96 6,22
4,10 3,42
2
4
6
8
10
12
14
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2009 2010
% (yoy)
Sumber: BPS Jawa Barat.
Berbeda halnya dengan kondisi Nasional, laju
inflasi kelompok bahan makanan Jawa Barat
menurun pada triwulan I-2010 (Grafik 2.4).
Penurunan inflasi tahunan pada kelompok dimaksud
disebabkan oleh laju inflasi pada sebagian besar
subkelompok menurun. Namun demikian,
subkelompok padi-padian dan bumbu-bumbuan
yang memiliki bobot IHK (Indeks Harga Konsumen)
cukup besar mengalami peningkatan laju inflasi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
b. Kelompok Sandang
Grafik 2.5. Inflasi Tahunan Kelompok Sandang di Jawa Barat
6,834,84
4,09
4,94
1,32
1
2
3
4
5
6
7
8
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
% (yoy)
Sumber: BPS Jawa Barat.
Kelompok sandang mengalami penurunan laju
inflasi yang cukup drastis dari triwulan
sebelumnya (Grafik 2.5). Pemulihan
perekonomian global merubah preferensi investor
dari emas menjadi surat berharga. Hal ini
menyebabkan stabilnya harga emas di pasar
internasional sehingga ekspektasi harga pedagang
emas perhiasan membaik dan mendorong laju
inflasi tahunan kelompok sandang turun drastis.
c. Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Grafik 2.6 Inflasi Tahunan Kelompok Transpor di Jawa Barat
3,53
-7,03 -8,34 -5,74
0,53
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2009 2010
% (yoy)
Sumber: BPS Jawa Barat.
Faktor utama pendorong kenaikan laju inflasi
tahunan Jawa Barat berasal dari kelompok
transpor, komunikasi, dan jasa keuangan.
Setelah pada 3 triwulan sebelumnya, kelompok
tersebut berturut-turut mengalami deflasi, pada
triwulan I-2010 kelompok transpor, komunikasi, dan
jasa keuangan mengalami inflasi. Berdasarkan
subkelompoknya, kenaikan laju inflasi tertinggi
berasal dari subkelompok transpor, khususnya
komoditas bensin.
Inflasi Triwulanan
Laju inflasi triwulanan Jawa Barat meningkat terutama disebabkan oleh kelompok dengan bobot IHK yang
cukup besar, yakni bahan makanan serta transpor, komunikasi, dan jasa keuangan (Tabel 2.2). Sementara
itu, kelompok yang lain menyumbangkan kenaikan laju inflasi yang relatif kecil. Meskipun secara tahunan
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
40
laju inflasi kelompok bahan makanan menurun, secara triwulanan meningkatnya inflasi Jawa Barat
terutama disumbangkan oleh kenaikan laju inflasi kelompok bahan makanan. Sesuai dengan pola
musimannya, laju inflasi kelompok bahan makanan meningkat pada triwulan I, terutama disebabkan oleh
kenaikan harga beras di awal tahun serta gangguan pasokan atau distribusi kebutuhan pokok masyarakat
akibat cuaca. Sementara, kenaikan laju inflasi kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan
disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang mendorong kenaikan harga BBM non-subsidi.
Tabel 2.2. Inflasi Triwulanan di Jawa Barat Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) 2009 2010 Andil
No. Kelompok Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.IV '09 Tw.I '10
1 Bahan makanan 2,06 -1,63 4,96 -1,20 1,39 -0,29 0,34
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 2,01 0,85 0,20 3,47 1,88 0,32 0,36
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar -0,10 0,45 -0,15 0,86 0,58 0,20 0,14
4 Sandang 4,44 -1,37 0,18 1,68 0,85 0,07 0,04
5 Kesehatan 1,57 0,69 0,78 0,86 0,40 0,04 0,01
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,14 0,08 3,12 0,25 0,33 0,01 0,03
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan -5,95 0,01 0,66 -0,45 0,31 -0,08 0,05
Umum 0,00 -0,15 1,87 0,29 0,96 0,29 0,96 Sumber: BPS Jawa Barat.
Inflasi kelompok bahan makanan terutama
berasal dari subkelompok padi-padian dan
umbi-umbian yang memberikan andil
sebesar 0,39% (qtq) (Grafik 2.7). Besarnya
andil inflasi subkelompok padi-padian
disebabkan oleh kenaikan harga beras yang
cukup tinggi pada awal tahun, meskipun harga
beras berangsur-angsur normal menjelang akhir
periode laporan. Di sisi lain, subkelompok buah-
buahan mengalami deflasi yang cukup besar
karena telah kembali pulihnya pasokan jeruk
dari luar pulau Jawa.
Grafik 2.7. Inflasi Triwulanan Kelompok Bahan Makanan di Jawa Barat Menurut Subkelompok
Triwulan I-2010
1,39
7,04
0,31
0,74
2,34
-0,55
0,43
0,43
-6,58
-0,32
1,33
0,48
0,34
0,39
-0,12
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
BAHAN MAKANAN
Padi
Daging
Ikan Segar
Ikan Diawetkan
Telur
Sayur-sayuran
Kacang-kacangan
Buah-buahan
Bumbu-bumbuan
Lemak & Minyak
Lainnya
%(qtq)
Sub
kelo
mp
ok
Andil Inflasi
Sumber: BPS Jawa Barat.
1.2. INFLASI MENURUT KOTA
Inflasi Tahunan
Sebagian besar kota di Jawa Barat mengalami kenaikan laju inflasi tahunan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya (Tabel 2.3). Hanya Kota Cirebon dan Sukabumi yang mengalami
penurunan laju inflasi. Inflasi Kota Bekasi naik paling tinggi dibandingkan dengan kota yang lain, sehingga
andil inflasi Kota Bekasi adalah yang tertinggi. Sementara itu, andil inflasi Kota Bandung yang relatif tinggi
terutama disebabkan oleh bobot kota yang cukup besar (28,88% dari total). Di sisi lain, meskipun bobot
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
41
Kota Tasikmalaya relatif kecil (2,79% dari total), andil inflasi Kota Tasikmalaya relatif besar dibandingkan
dengan Kota Sukabumi (bobot 3,92%) sehingga pada triwulan I-2010 andil inflasi terkecil disumbangkan
oleh Kota Sukabumi.
Tabel 2.3. Inflasi Tahunan di Jawa Barat Menurut Kota (yoy, %) 2009 2010 Andil Inflasi
No. Kota Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.IV ‘09 Tw.I ‘10
1 Bandung 6,31 2,17 1,53 2,11 2,86 0,61 0,83
2 Bekasi 6,68 3,59 1,54 1,93 3,20 0,54 0,90
3 Depok 0,00 2,57 1,52 1,30 2,96 0,26 0,60
4 Bogor 6,17 3,38 2,71 2,16 2,47 0,26 0,29
5 Cirebon 8,22 5,23 3,67 4,11 3,54 0,17 0,15
6 Sukabumi 8,25 6,91 4,67 3,49 2,41 0,14 0,09
7 Tasikmalaya 9,18 6,87 4,25 4,17 4,74 0,12 0,13
Gabungan 7,45 3,13 1,87 2,02 2,99 2,02 2,99 Sumber: BPS Jawa Barat.
Besarnya laju inflasi di Kota Bekasi terutama disebabkan oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok,
dan tembakau; serta sandang. Sementara itu, inflasi Kota Tasikmalaya terutama disebabkan oleh
kelompok bahan makanan serta perumahan, air, listrik, gas, dan air bersih. Di sisi lain, rendahnya inflasi di
Kota Sukabumi disebabkan oleh kelompok bahan makanan dan sandang, meskipun inflasi kelompok
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar adalah yang tertinggi.
Tabel 2.4. Inflasi Tahunan di Jawa Barat Menurut Kota & Kelompok Barang dan Jasa Triwulan I-2010 (yoy,%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 3,96 2,85 5,24 1,25 3,58 -1,49 7,09 3,42
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 5,39 8,54 6,50 5,09 5,30 5,17 6,98 6,52
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 1,97 0,45 1,52 2,34 2,31 7,06 5,42 1,75
4 Sandang -1,74 6,23 0,68 2,74 2,00 -1,91 -0,03 1,32
5 Kesehatan 2,20 4,21 0,30 7,93 2,53 1,02 1,77 2,74
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 3,71 3,85 4,40 2,58 7,01 2,42 0,86 3,80
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 1,09 0,68 -0,36 0,54 2,29 0,83 0,43 0,53
Umum 2,86 3,20 2,96 2,47 3,54 2,41 4,74 2,99 Sumber: BPS Jawa Barat.
Dalam upaya pengendalian inflasi di Jawa Barat, sejak tahun 2008 telah dilakukan upaya-upaya koordinasi
antara Kantor Bank Indonesia dengan berbagai instansi/dinas terkait dalam suatu wadah Forum
Koordinasi Pengendalian Inflasi (FKPI). Dari 7 kota yang disurvei oleh BPS di Jawa Barat, hingga saat ini
baru terbentuk FKPI di Kota Bandung, Cirebon, dan Tasikmalaya. Sementara pada 4 kota lainnya (Bekasi,
Depok, Bogor, dan Sukabumi), sedang dijajaki kemungkinan untuk pembentukan forum serupa. Melalui
koordinasi dan pertukaran informasi pada forum tersebut diharapkan upaya pengendalian inflasi dapat
lebih ditingkatkan.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
42
a. Kota Bandung
Sama halnya dengan laju inflasi Jawa Barat,
laju inflasi Kota Bandung pada triwulan I-2010
masih relatif terkendali (Tabel 2.5). Hal ini
terutama disebabkan oleh deflasi pada
kelompok sandang, yaitu penurunan harga
emas perhiasan. Sebaliknya, inflasi Kota
Bandung mengalami tekanan yang berasal dari
kelompok transpor, antara lain karena
kenaikan harga BBM non subsidi yang
dipengaruhi harga minyak bumi di pasar
internasional.
Tabel 2.5. Inflasi Tahunan Kota Bandung Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 5,30 4,35 4,02 3,96 2 Makanan jadi 5,93 6,21 5,85 5,39 3 Perumahan 2,62 0,11 1,74 1,97 4 Sandang 3,80 3,77 5,09 -1,74 5 Kesehatan 5,52 5,40 5,32 2,20 6 Pendidikan 6,88 7,55 3,31 3,71 7 Transpor -9,11 -8,64 -5,98 1,09
Umum 2,17 1,53 2,11 2,86 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
b. Kota Bekasi
Meskipun berada pada level yang terkendali,
kenaikan laju inflasi Kota Bekasi adalah yang
tertinggi dibandingkan dengan 6 kota lainnya
(Tabel 2.6). Kelompok yang mengalami
kenaikan laju inflasi cukup tinggi dibandingkan
kota lainnya adalah kelompok makanan jadi,
minuman, rokok, dan tembakau; serta
sandang.
Tabel 2.6. Inflasi Tahunan Kota Bekasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 4,75 5,64 2,86 2,85 2 Makanan jadi 6,29 4,77 6,86 8,54 3 Perumahan 2,76 0,07 -0,29 0,45 4 Sandang 4,41 3,16 5,49 6,23 5 Kesehatan 5,34 2,94 3,64 4,21 6 Pendidikan 6,82 3,52 3,56 3,85 7 Transpor -1,14 -6,30 -3,05 0,68
Umum 3,59 1,54 1,93 3,20 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
Inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau terutama disumbangkan oleh inflasi
subkelompok makanan jadi, sementara inflasi kelompok sandang terutama berasal dari subkelompok
sandang laki-laki. Kenaikan harga bubur didorong oleh naiknya harga beras dan diduga berasal dari
terpengaruhnya ekspektasi pedagang bubur terhadap kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras.
Sementara itu, sandang laki-laki seperti sepatu pria, kemeja panjang katun pria, baju kaos/T-shirt pria,
celana pendek pria mengalami kenaikan harga terutama pada bulan Januari 2010 yang disebabkan oleh
kenaikan harga kapas di pasar internasional.
c. Kota Depok
Laju inflasi Kota Depok meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, meskipun
masih berada pada level yang cukup terkendali (Tabel 2.7), didorong oleh inflasi pada kelompok bahan
makanan dan makanan jadi yang disebabkan oleh belum normalnya harga beras. Sementara itu inflasi
kelompok kesehatan di Kota Depok merupakan yang terendah dibandingkan kota lainnya karena tidak
adanya perubahan tarif rumah sakit (subkelompok jasa kesehatan). Kelompok transpor di Kota Depok
masih mengalami deflasi karena harga bensin nonsubsidi yang relatif stabil serta tarif pulsa telepon yang
turun.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
43
Tabel 2.7. Inflasi Tahunan Kota Depok Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%) 2009 2010
No. Kelompok Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
1 Bahan makanan 7.70 10.20 6.53 5.24 2 Makanan jadi 10.91 8.41 7.60 6.50 3 Perumahan 2.58 -1.82 -0.69 1.52 4 Sandang 5.67 5.22 4.97 0.68 5 Kesehatan 2.16 1.23 0.79 0.30 6 Pendidikan 5.46 4.04 3.91 4.40 7 Transpor -9.30 -9.73 -7.41 -0.36
Umum 2,57 1.52 1.30 2.96 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
d. Kota Bogor
Laju inflasi tahunan Kota Bogor cukup rendah karena relatif stabilnya seluruh komponen
kelompok penyumbang inflasi (Tabel 2.8). Inflasi kelompok bahan makanan turun drastis terutama
disebabkan oleh telah tibanya musim panen padi pada beberapa daerah di sekitar Bogor.
Namun demikian, laju inflasi Kota Bogor
akan relatif tertahan jika penurunan laju
inflasi kelompok kesehatan lebih rendah
lagi. Masih besarnya laju inflasi tahunan
kelompok kesehatan Kota Bogor
disebabkan oleh kenaikan tarif rumah sakit
yang mulai berlaku sejak pertengahan
tahun 2009.
Tabel 2.8. Inflasi Tahunan Kota Bogor Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 8.31 6.31 4.15 1.25 2 Makanan jadi 8.87 10.37 8.07 5.09 3 Perumahan 4.14 1.74 1.62 2.34 4 Sandang 6.25 3.39 2.72 2.74 5 Kesehatan 4.64 7.66 9.66 7.93 6 Pendidikan 1.65 3.26 3.33 2.58 7 Transpor -12.24 -11.81 -9.74 0.54
Umum 3,38 2.71 2.16 2.47 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
e. Kota Cirebon
Kota Cirebon mengalami laju inflasi
tertinggi dibandingkan dengan kota
lainnya (Tabel 2.9). Faktor pendorong
kenaikan laju inflasi terutama berasal dari
kelompok transpor, komunikasi, dan jasa
keuangan; serta, pendidikan, rekreasi, dan
olahraga di Kota Cirebon yang tertinggi
dibandingkan dengan kota lainnya.
Tabel 2.9. Inflasi Tahunan Kota Cirebon Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 1,84 3,72 4,68 3,58 2 Makanan jadi 7,67 6,55 5,99 5,30 3 Perumahan 9,17 4,11 3,64 2,31 4 Sandang 6,45 8,41 10,77 2,00 5 Kesehatan 6,85 6,68 5,48 2,53 6 Pendidikan 25,06 7,96 8,15 7,01 7 Transpor -6,67 -5,50 -2,95 2,29
Umum 5,23 3,67 4,11 3,54 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
Kelompok transpor Kota Cirebon mengalami laju inflasi yang cukup tinggi karena kenaikan harga BBM
nonsubsidi serta tarif jasa keuangan. Sementara itu, tarif kursus/pelatihan di Kota Cirebon relatif tinggi
dibandingkan dengan kota-kota lainnya, sehingga mendorong tingginya inflasi kelompok pendidikan.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
44
f. Kota Sukabumi
Laju inflasi Kota Sukabumi adalah yang
terendah dibandingkan dengan 6 kota
lainnya (Tabel 2.10). Rendahnya laju inflasi
Kota Sukabumi disebabkan oleh andil deflasi
kelompok bahan makanan dan sandang.
Kota Sukabumi merupakan satu-satunya
kota dengan kelompok bahan makanan
yang mengalami deflasi.
Tabel 2.10. Inflasi Tahunan Kota Sukabumi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 6,36 3,28 0,39 -1,49 2 Makanan jadi 12,84 8,52 7,70 5,17 3 Perumahan 15,15 12,27 11,32 7,06 4 Sandang 6,99 4,48 1,25 -1,91 5 Kesehatan 6,73 3,97 2,88 1,02 6 Pendidikan 1,19 3,34 2,83 2,42 7 Transpor -8,67 -7,78 -6,59 0,83
Umum 6,91 4,67 3,49 2,41 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
Deflasi kelompok bahan makanan disumbangkan oleh penurunan harga beras yang telah terjadi sejak
musim panen padi pada akhir triwulan sebelumnya. Sementara, deflasi kelompok sandang disebabkan
oleh penurunan harga emas perhiasan.
g. Kota Tasikmalaya
Di sisi lain, inflasi Kota Tasikmalaya
cukup tinggi terutama disebabkan oleh
kelompok bahan makanan dan
perumahan, air, listrik, gas, dan air bersih
(Tabel 2.11). Inflasi kelompok bahan
makanan meningkat drastis dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya karena harga
beras yang masih relatif tinggi.
Tabel 2.11. Inflasi Tahunan Kota Tasikmalaya Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%)
2009 2010 No. Kelompok
Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I 1 Bahan makanan 6,07 2,52 2,79 7,09 2 Makanan jadi 8,02 6,25 13,14 6,98 3 Perumahan 13,74 7,89 6,47 5,42 4 Sandang 5,17 4,83 4,63 -0,03 5 Kesehatan 2,19 2,39 0,77 1,77 6 Pendidikan 11,25 5,84 2,45 0,86 7 Transpor -5,30 -3,66 -3,85 0,43
Umum 6,87 4,25 4,17 4,74 Keterangan: Nama kelompok disingkat. Sumber: BPS Jawa Barat.
Harga beras yang masih relatif tinggi terutama disebabkan oleh pergeseran musim panen padi di daerah
sekitar Kota Tasikmalaya menjadi lebih lambat dan gangguan distribusi karena cuaca. Selain itu, inflasi
subkelompok bumbu-bumbuan terutama komoditas cabe merah mengalami kenaikan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya.
Inflasi Triwulanan
Secara triwulanan, andil inflasi Kota Bekasi masih memberikan kenaikan sumbangan yang
tertinggi (Tabel 2.12). Sementara itu, inflasi Kota Tasikmalaya adalah yang tertinggi dibandingkan 6 kota
lainnya. Selain itu, inflasi Kota Bogor lebih dari 1%. Di sisi lain laju inflasi Kota Cirebon adalah yang
terendah.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
45
Tabel 2.12. Inflasi Triwulanan di Jawa Barat Menurut Kota (qtq, %) 2009 2010 Andil Inflasi
No. Kota Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.IV '09 Tw.I '10
1 Bandung 0,11 -0,14 1,64 0,50 0,84 0,14 0,24
2 Bekasi 0,01 -0,26 1,76 0,41 1,26 0,12 0,36 3 Depok -0,87 -0,20 2,43 -0,03 0,75 -0,01 0,15 4 Bogor 0,79 -0,27 1,72 -0,08 1,11 -0,01 0,13
5 Cirebon 0,91 0,04 2,49 0,62 0,36 0,03 0,02
6 Sukabumi 1,67 0,35 1,25 0,18 0,61 0,01 0,02
7 Tasikmalaya 0,78 1,09 1,09 1,15 1,33 0,03 0,04
0,00 -0,15 1,87 0,29 0,96 0,29 0,96 Sumber: BPS Jawa Barat.
Khusus untuk Kota Bogor, peningkatan laju inflasi terutama disebabkan oleh kenaikan sewa dan kontrak
rumah. Sementara, penurunan laju inflasi Kota Cirebon disebabkan oleh rendahnya deflasi kelompok
sandang (terutama disebabkan komoditas emas perhiasan) dan bahan makanan (terutama komoditas
cabe merah).
Tabel 2.13. Inflasi Triwulanan di Jawa Barat Menurut Kota & Kelompok Barang dan Jasa Triwulan I-2010 (qtq,%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 2,09 1,23 0,30 2,53 -0,01 0,60 4,72 1,39 2 Makanan jadi 0,95 3,27 2,63 0,06 1,26 0,92 0,42 1,88 3 Perumahan 0,29 0,45 0,66 1,52 0,43 0,65 1,02 0,58 4 Sandang 0,03 3,30 -0,13 -0,19 -1,57 1,78 -0,01 0,85 5 Kesehatan 0,39 0,92 -0,06 0,15 0,24 0,45 0,17 0,40 6 Pendidikan 0,12 0,33 0,85 0,00 0,01 -0,24 -0,30 0,33 7 Transpor 0,68 0,23 0,15 0,10 0,10 0,02 0,10 0,31
Umum 0,84 1,26 0,75 1,11 0,36 0,61 1,33 0,96
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI
Pada triwulan I-2010 seluruh komponen faktor penyebab inflasi masih berada level yang cukup
stabil (Tabel 2.14). Inflasi inti (interaksi permintaan-penawaran, eksternal, dan ekspektasi harga) serta
volatile foods (bahan makanan) berada pada level yang rendah dan cenderung turun karena pasokan
bahan pangan yang relatif terjaga. Di lain pihak, hanya komponen administered price (harga barang yang
ditentukan pemerintah) yang mengalami kenaikan pada periode laporan.
Tabel 2.14. Inflasi Tahunan Menurut Faktor Penyebab (yoy, %) 2009 2010
Komponen Tw.II Tw.III Tw.IV Tw. I
Inti 3,33 1,83 1,87 1,74
Administered Price -2,45 -1,49 -0,91 0,32
Volatile Foods 1,00 1,46 0,98 0,83 Umum 3,13 1,87 2,02 2,99
Sumber: BPS Jawa Barat, diolah Keterangan: dihitung dengan menggunakan exclusion method menurut subkelompok.
Di sisi lain, kenaikan laju inflasi secara triwulanan terutama berasal dari volatile foods, sebagaimana yang
terjadi setiap awal tahun. Sementara itu, inflasi inti menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
yang diperkirakan disebabkan oleh membaiknya ekspektasi harga pelaku usaha terkait penguatan nilai
tukar rupiah.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
46
Tabel 2.15. Inflasi Triwulanan Menurut Faktor Penyebab (qtq, %) 2009 2010
Komponen Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw. I
Inti 0,59 0,12 0,60 0,56 0,46
Administered Price -1,08 0,08 0,08 0,01 0,15
Volatile Foods 0,49 -0,39 1,17 -0,29 0,34
Umum 0,00 -0,15 1,87 0,29 0,96 Sumber: BPS Jawa Barat, diolah
Keterangan: dihitung dengan menggunakan exclusion method menurut subkelompok.
2.1. FUNDAMENTAL
a. Interaksi Permintaan dan Penawaran
Grafik 2.9. Pertumbuhan Kapasitas Terpakai Industri di Jawa Barat
0
3
6
9
12
15
-20
-15
-10
-5
0
5
10
Tw.I Tw.II Tw.IIII Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.IIII Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.IIII Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
% (yoy)% (Pertumbuhan
Utilisasi Kapasitas)
Utilisasi Kapasitas Inflasi Jabar
Sumber: SKDU-BI Bandung
Kenaikan permintaan dapat diatasi dengan
peningkatan penawaran (kapasitas industri) di Jawa
Barat (Grafik 2.9). Kapasitas terpakai industri
tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan
permintaan (proyeksi pertumbuhan ekonomi) juga
diikuti dengan tingginya pertumbuhan investasi
pada periode laporan. Peningkatan investasi
kemudian menyebabkan kapasitas terpasang
industri mengalami kenaikan.
b. Eksternal
Tekanan eksternal pada triwulan I-2010 cenderung melemah sebagaimana yang terlihat pada
perkembangan laju inflasi negara mitra dagang utama dan apresiasi nilai tukar rupiah. Laju inflasi Negara
Amerika Serikat menurun dan inflasi Negara Jepang dan Singapura masih relatif rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan akan menurunkan imported inflation yang berasal dari bahan
baku. Selain itu, berlanjutnya apresiasi nilai tukar rupiah pada periode laporan terutama terkait dengan
masih derasnya aliran modal masuk ke Indonesia terutama dalam bentuk penanaman portofolio jangka
pendek seiring dengan membaiknya peringkat risiko negara (country risk) serta meningkatnya ekspor yang
tercermin pada besarnya surplus pos transaksi berjalan (net ekspor-impor) neraca pembayaran Indonesia.
Grafik 2.10. Laju Inflasi di Negara Mitra Dagang
‐4
‐2
0
2
4
6
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2007 2008 2009 2010
% (yoy)Amerika Jepang Singapura
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 2.11. Perkembangan Kurs Rupiah
8.800
9.300
9.800
10.300
10.800
11.300
11.800
12.300
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2007 2008 2009 2010
Rp/USD
Kurs Tengah Bulanan Kurs Tengah (Triwulanan)
Sumber: Bank Indonesia
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
47
Grafik 2.12. Perkembangan Harga Emas dan Minyak Dunia di Pasar Internasional
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
600
700
800
900
1000
1100
1200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2007 2008 2009 2010
USD/troy onsIndeks TekstilEmas Minyak Dunia (WTI, RHS)
Sumber: Bloomberg
Harga emas di pasar internasional cenderung menurun
sehingga mampu menjaga ekspektasi harga emas
perhiasan pedagang di Jawa Barat, sebagaimana
terlihat dari penurunan laju inflasi kelompok sandang.
Di sisi lain, pemulihan perekonomian global
meningkatkan permintaan terhadap minyak di pasar
internasional. Hal ini berdampak kepada meningkatnya
harga bensin nonsubsidi di pasar domestik.
c. Ekspektasi Inflasi
Sementara itu, di sisi domestik, ekspektasi para
pelaku ekonomi (khususnya pengusaha,
pedagang eceran, dan konsumen) di Jawa Barat
terhadap harga barang dan jasa membaik
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal
ini terutama disebabkan oleh membaiknya
fundamental ekonomi Indonesia yang tercermin
dari apresiasi nilai tukar rupiah dan relatif
terkendalinya tingkat inflasi.
Grafik 2.13. Perkembangan Harga Barang dan Jasa Menurut Pengusaha di Jawa Barat
-1
0
1
2
3
4
5
T.I T.II T.III T.IV T.I T.II T.III T.IV T.I T.II T.III T.IV T.I
2007 2008 2009 2010
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
% (inflasi) SBT (SKDU)
SBT hasil SKDU inflasi gab 7 kota (qtq)
Sumber: Bank Indonesia.
Grafik 2.14. Ekspektasi Pedagang Eceran Terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung
100
110
120
130
140
150
160
-1
0
1
2
3
4
5
Tw.ITw.IITw.IIITw.IVTw.ITw.IITw.IIITw.IVTw.ITw.IITw.IIITw.IV Tw.ITw.IITw.IIITw.IVTw.I
2006 2007 2008 2009 2010
SB% (inflasi)
Inflasi Gab.7 Kota (qtq) SPE* SPE**
Sumber: SPE-BI Bandung; BPS Jawa Barat. Keterangan: SPE*=Moving Average (3 bulan) Ekspektasi pedagang terhadap harga pada bulan tsb. menurut SPE pada 3 bulan sebelumnya; SPE**= Moving Average (3 bln) Ekspektasi pedagang terhadap harga pada bulan tsb. menurut SPE 6 bulan sebelumnya.
Grafik 2.15. Ekspektasi Konsumen Terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung
100110120
130140150160170180190200
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
Tw.IIITw.IVTw.I Tw.IITw.IIITw.IVTw.I Tw.IITw.IIITw.IV Tw.I Tw.IITw.IIITw.IVTw.I
2006 2007 2008 2009 2010
SB% (inflasi)
Inflasi Jabar TD 07 (qtq) SK* SK** Sumber: SK-BI Bandung, BPS Jawa Barat Keterangan: SK*= Moving Average (3 bln) Ekspektasi konsumen terhadap harga pada bulan tsb. menurut SK 3 bulan sebelumnya; SK**= Moving Average (3 bln) Ekspektasi konsumen terhadap harga pada bulan tsb. menurut SK 6 bulan sebelumnya.
2.2. NON FUNDAMENTAL
a. Volatile Foods
Inflasi tahunan volatile foods (bahan makanan) turun. Khusus Jawa Barat, laju inflasi kelompok
bahan makanan masih lebih rendah bahkan menurun dibandingkan dengan laju inflasi kelompok bahan
makanan secara Nasional yang justru meningkat. Hal ini tidak terlepas dari terjaganya pasokan produk
hortikultura maupun perikanan.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
48
Tabel 2.16. Inflasi Kelompok Bahan Makanan (yoy, %) Jawa Barat Nasional
No. Subkelompok Tw.IV '09 Tw.I '10 Tw.IV '09 Tw.I '10
1 Padi-padian, Umbi-umbian & Hasilnya 5,62 10,66 6,34 10,62
2 Daging dan Hasil-hasilnya 4,93 3,09 4,23 2,53
3 Ikan Segar 3,19 -3,38 0,90 -1,23
4 Ikan Diawetkan 2,65 5,77 3,12 1,30
5 Telur, Susu & Hasil-hasilnya 0,64 -0,27 0,17 0,52
6 Sayur-sayuran 0,14 -6,86 1,59 3,12
7 Kacang-kacangan -0,05 0,95 -0,80 -0,37
8 Buah-buahan 12,82 7,03 10,25 9,85
9 Bumbu-bumbuan 11,08 9,87 14,97 7,57
10 Lemak & Minyak -1,34 -0,71 -3,52 -1,90
11 Bahan Makanan Lainnya 1,85 1,46 3,20 2,24
Bahan Makanan 4,10 3,42 3,88 4,11 Sumber: BPS Jawa Barat & Nasional, diolah
Meskipun pada awal tahun intensitas pemberitaan tentang bencana banjir dan longsor di Jawa
Barat meningkat, namun Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat menyatakan
bahwa dampaknya masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel 2.17).
Selain itu untuk mengurangi dampak bencana terhadap lahan pertanian, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
melakukan beberapa upaya, yakni antara lain (i) memantau jumlah dan lokasi daerah yang mengalami
banjir dan longsor sehingga dapat dilakukan upaya penanganan dengan cepat; (ii) membagikan benih
yang berasal dari Cadangan Benih Nasional (CBN) dan Bantuan Langsung Bibit Unggul (BLBU) kepada
petani yang lahannya mengalami puso; (iii) mengoptimalkan penggunaan alat-alat pasca panen seperti
pengering padi dan terpal di kelompok tani; serta, (iv) mengendalikan hama melalui pengiriman Tim
Pengendali Hama Provinsi dan memberikan pendampingan kepada kelompok tani untuk mengantisipasi
musim penghujan yang berpotensi menimbulkan hama yang lebih banyak.
Tabel 2.17. Luas Lahan Pertanian yang Terkena Puso (Ribu Ha) s/d Maret
No. Kategori MH 2008/2009
MH 2009/2010
Sepanjang MH
2008/2009
Rata-rata Sepanjang (MH
2004/2005 – 2008/2009)
1 Banjir 14,69 3,03 14,69 19,49
2 Longsor 267 591 267 244
Jumlah 281,69 594,03 281,69 263,49 Keterangan: MH (Musim Hujan) Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, diolah
b. Administered Price
Kenaikan tekanan inflasi yang berasal dari administered price (harga barang yang ditentukan
oleh pemerintah) terutama berasal dari hilangnya pengaruh penurunan harga BBM bersubsidi
dan tarif angkutan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya (base-effect). Hal ini
menyebabkan laju inflasi subkelompok transpor meningkat drastis, yakni dari deflasi 7,71% (yoy) menjadi
inflasi 0,87%. Selain itu, kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok yang mulai berlaku sejak bulan
Januari 2010 mendorong produsen dan pedagang eceran rokok untuk menaikkan harga rokok secara
bertahap.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
49
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau tanggal 16 November 2009 telah menaikkan cukai rokok yang mulai berlaku sejak 1
Januari 2010. Besaran kenaikan tarif cukai 2010 untuk rokok (sigaret) adalah rokok kretek mesin (SKM)
Golongan I rata-rata sebesar Rp20/batang (btg), SKM II sebesar Rp20. Sedangkan rokok putih mesin (SPM)
I sebesar Rp35/btg, SPM II sebesar Rp28/btg. Sementara untuk rokok kretek tangan (SKT) I sebesar
Rp15/btg, SKT II sebesar Rp15/btg, dan SKT III sebesar Rp25/btg. Pada bulan Januari dan Maret 2010,
harga rokok, rokok kretek filter, dan rokok putih tercatat naik di beberapa kota di Jawa Barat.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
50
BOKS 3
RISET PENGARUH STRUKTUR PASAR TERHADAP PERKEMBANGAN HARGA MAKANAN DAN MINUMAN DI JAWA BARAT
Berbagai literatur menyebutkan bahwa harga barang dan jasa sangat dipengaruhi, antara lain oleh
biaya input produksi, depresiasi nilai tukar, kebijakan pemerintah, ekspektasi kenaikan harga
masyarakat, serta struktur pasar. Di antara faktor-faktor tersebut, struktur pasar diperkirakan memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan harga.
Pembentukan harga berbagai komoditas di Jawa Barat diperkirakan dipengaruhi oleh pengaruh
struktur pasarnya. Penelitian Bank Indonesia Bandung yang bekerja sama dengan Fakultas Pertanian
Universitas Padjajaran mengenai value chain beras menyimpulkan bahwa nilai tambah terbesar dalam
rantai distribusi beras berada pada pedagang pengumpul yang jumlahnya relatif sedikit (UNPAD & BI
Bandung, 2008)1. Hal ini merupakan indikasi bahwa stok beras dikuasai oleh beberapa pemain
(pengumpul) atau dengan kata lain struktur pasar pedagang pengumpul beras bersifat oligopoli.
Selain itu, survei persepsi produsen, distributor, dan pengecer mengenai pembentukan harga produk
manufaktur di Jawa Barat menunjukkan bahwa keputusan produsen dan pedagang dalam
menentukan harga, sangat memperhatikan tingkat harga tertinggi yang dapat diterima oleh pasar
serta keputusan dari pesaing (BI Bandung, 2009)2. Para pelaku pasar juga cenderung tidak
menurunkan harga karena penurunan harga (i) dapat memberikan kesan kepada konsumen bahwa
terjadi penurunan kualitas barang (price means quality), (ii) mengakibatkan persaingan harga
(coordination failure), serta (ii) membutuhkan biaya yang cukup signifikan (physical menu cost).
Untuk memahami fenomena inflasi di Indonesia, khususnya Jawa Barat, maka Bank Indonesia
Bandung melakukan riset untuk mengetahui pengaruh struktur pasar terhadap perkembangan harga
makanan dan minuman di Jawa Barat, khususnya perilaku downward price rigidity (kekakuan harga
yang cenderung naik).
Gambar 1. Hipotesis dan Indikator yang Digunakan
Perilaku harga yang cenderung naik (downward price rigidity) diukur dengan menggunakan skewness
(derajat ketidaksimetrian distribusi data). Semakin distribusi data semakin memusat ke sumbu positif
(lebih sering mengalami kenaikan harga) atau ekor distribusi berada pada sumbu negatif, maka data
1 FE- UNPAD & BI Bandung. (2008). Analisis Supply dan Value Chain Beras di Jawa Barat. Bandung: BI 2 BI Bandung. (2009). Survei Pembentukan Harga Produk Manufaktur. Bandung: BI
Downward Price Rigidity Struktur Pasar
Herfindahl Hirschman Index
(HHI)
Concentration Ratio (CR4)
Skewness
?
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
51
harga cenderung berperilaku downward price rigidity. Sementara ukuran struktur pasar menggunakan
tingkat konsentrasi penguasaan perusahaan, yakni dengan CR4 dan HHI. CR4 adalah hasil
penjumlahan 4 buah perusahaan dengan pangsa yang paling tinggi, sementara HHI adalah hasil
penjumlahan kuadrat pangsa seluruh perusahaan yang ada di pasar. Semakin tinggi tingkat
konsentrasi sebuah pasar maka menunjukkan struktur pasar yang cenderung oligopoli.
Sementara, industri daging-dagingan, buah-buahan & sayur-sayuran, produk turunan susu terbukti
memiliki perilaku downward price rigidity. Sementara, industri daging-dagingan, buah-buahan &
sayur-sayuran, produk turunan susu, hasil fermentasi, anggur, minuman beralkohol, serta tembakau
memiliki HHI yang cukup tinggi (struktur pasar oligopoli).
Untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis, maka dilakukan regresi panel antara skewness
dengan HHI maupun CR4, sebagai berikut :
a. Menggunakan HHI
b. Menggunakan CR4
Hasil kedua regresi tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara struktur pasar
yang terkonsentrasi dengan perilaku downward price rigidity khususnya untuk makanan dan minuman
di Jawa Barat.
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
52
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
53
BAB 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
54
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
55
Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian, pertumbuhan penyaluran kredit
perbankan di Jawa Barat pada triwulan I-2010 menunjukkan peningkatan, setelah empat
triwulan sebelumnya selalu mengalami perlambatan. Meskipun demikian pertumbuhan
beberapa indikator lainnya seperti total aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) masih mengalami
perlambatan. Dengan perkembangan tersebut, fungsi intermediasi perbankan yang dicerminkan oleh
indikator loan to deposit ratio (LDR) mengalami peningkatan. Di sisi lain, risiko kredit masih tetap
terkendali meskipun mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perkembangan perbankan di Jawa Barat tersebut terutama didorong oleh kinerja bank umum
konvensional yang membaik.
1. STRUKTUR PERBANKAN DI JAWA BARAT Aset bank umum konvensional masih
mendominasi (93,12%) struktur aset
perbankan di Jawa Barat. Sementara itu,
pangsa bank umum syariah dan BPR
konvensional masing-masing sebesar 3,24% dan
G
nasional, aset perbankan
arat memiliki pangsa sebesar 7,9%.
. BANK UMUM KONVENSIONAL
2.1 Pendanaan dan Risiko Likuiditas
B
3,65% (Grafik 3.1.).
Pangsa dari sepuluh bank umum terbesar
mencapai lebih dari 80% aset perbankan di Jawa
Barat. Pada triwulan I-2010, aset perbankan di
Jawa Barat tumbuh 14,92% (yoy) menjadi
Rp187,08 triliun. Pertumbuhan ini antara lain
didorong oleh peningkatan penyaluran kredit
serta perluasan jaringan kantor baru. Jika
dibandingkan dengan
di Jawa B
2
Perkembangan Dana Pihak Ketiga
Pertumbuhan DPK bank umum konvensional di Jawa Barat pada triwulan I-2010 mengalami
perlambatan. DPK yang berhasil dihimpun bank umum konvensional di Jawa Barat mencapai
Rp131,18 triliun atau tumbuh 6,63% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya (13,18%). Perlambatan ini terutama disebabkan oleh melambatnya seluruh jenis
simpanan baik giro, tabungan maupun deposito. Salah satu faktor dari melambatnya DPK diperkirakan
merupakan indikasi dari penggunaan simpanan masyarakat di bank untuk membiayai kegiatan
rafik 3.1. Pangsa Aset Perbankan di Jawa arat Triwulan I-2010
BU Konvensional
93,12%
BU Syariah3,24%
BPR3,65%
Sumber: LBU, LBUS, LBPR KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
56
perekonomian. Sementara itu, pemerintah dan perbankan Indonesia melakukan pencanangan
Gerakan Indonesia Menabung yang secara resmi dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 20 Februari 2010. Gerakan ini terutama ditujukan sebagai salah satu upaya memelihara serta
menumbuhkembangkan budaya menabung di masyarakat terutama untuk golongan menengah ke
bawah maupun generasi muda. Diharapkan potensi tabungan yang ada di kelompok masyarakat
bangunan nasional.
simpanan giro juga melambat dari 10,15% (yoy)
Rp9.400/USD pada akhir triwulan IV-2009 menjadi
seb
Konvensional di Jawa Barat berdasarkan Jenis Valuta
tersebut dapat bermanfaat bagi pembiayaan pem
Berdasarkan jenis simpanannya, deposito
masih mendominasi DPK bank umum
konvensional di Jawa Barat. Pada triwulan
I-2010, pangsa deposito mencapai 42,47%,
disusul tabungan 37,87% dan giro 19,66%.
Perlambatan pertumbuhan DPK pada triwulan
laporan terutama diakibatkan oleh
melambatnya pertumbuhan tabungan dari
26,05% (yoy) menjadi 19,33% (yoy) atau
mencapai Rp49,68 triliun. Sementara itu,
pertumbuhan deposito sedikit melambat dari
4,23% (yoy) menjadi 3,35% atau mencapai
Rp55,72 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan jenis
menjadi -6,36% atau mencapai Rp25,79 triliun.
Berdasarkan jenis valuta, pada triwulan I-2010, DPK dalam rupiah mengalami pertumbuhan
yang lebih tinggi dibandingkan DPK dalam valas. DPK dalam rupiah tumbuh 9,61% (yoy) menjadi
Rp135,39 triliun. Sementara itu, meskipun nilai tukar rupiah terus mengalami apresiasi, DPK dalam
valas tetap mengalami pertumbuhan sebesar 2,07% (yoy) menjadi Rp16,49 triliun. Posisi kurs tengah
rupiah terhadap USD mengalami penguatan dari
esar Rp9.115/USD pada akhir triwulan I-2010.
Grafik 3.3. Perkembangan DPK Bank Umum
0
10
20
30
40
50
60
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
Triliun Rp
10
20
30
40
50
60
70
Triliun Rp
Deposito (skala kanan)
Tabungan (skala kanan)
Giro (skala kiri)
Sumber: LBU KBI Bandung
Grafi ng & Kurs Tengah Rupiah Terhadap USD
k 3.4. Perkembangan DPK Valuta Asi
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
Rp
0
5
10
15
20
Triliun Rp
Kurs Tengah Rp thdp USD (kiri)
DPK Valas (skala kanan)
Sumber: LBU KBI Bandung
G(DPK wa
Barat berdasarkan Jenis Simpanan
rafik 3.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga ) di Bank Umum Konvensional di Ja
0
10
20
30
40
50
60
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
Triliun Rp
10
20
30
40
50
60
70
Triliun Rp
Deposito (skala kanan)
Tabungan (skala kanan)
Giro (skala kiri)
Sumber: LBU KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
57
Berdasarkan kelompok bank, pada triwulan I-2010 DPK di kelompok bank pemerintah,
swasta, dan campuran masing-masing sebesar Rp64,44 triliun, Rp61,01 triliun, dan Rp5,74
triliun (Grafik 3.5.). Secara tahunan, pertumbuhan kelompok bank pemerintah, bank swasta dan
bank asing/campuran masing-masing menjadi sebesar 5,95% (yoy), 7,73% dan 2,85%. Dengan
kondisi tersebut, pangsa DPK kelompok bank mengalami perubahan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pangsa DPK kelompok bank pemerintah sedikit naik dari 49,09% menjadi 49,12%,
han triwulanan tertinggi terjadi pada DPK
ilik pemerintah daerah sebesar 62,09% (qtq). Pertumbuhan tahunan tertinggi terjadi pada DPK milik
yaya ).
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Konvensional di Jawa Barat
Berdasarkan Kelompok Bank
pangsa bank asing/campuran naik dari 4,13% menjadi 4,37%, sebaliknya pangsa bank swasta turun
dari 46,78% menjadi 46,50%.
Berdasarkan golongan pemilik, pada triwulan I-2010, DPK milik perseorangan masih
mendominasi pangsa DPK bank umum konvensional di Jawa Barat yakni sebesar 72% (Grafik
3.6.). Sementara itu, jika dilihat pertumbuhannya, pertumbu
m
san dan badan sosial sebesar 29,15% (yoy
20TW I TW II TW III TW TW
25303540455055606570
IV I TW II TW III TW
IVTW I TW II TW III TW
IVTW I
2007 2008 2009 2010
Triliun Rp
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Triliun Rp
Bank Campuran (skala kanan)
Bank Pemerintah (skala kiri) Bank Swasta
(skala kiri)
Grafik 3.6. DPK Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Triwulan I-2010 Berdasarkan
Golongan Kepemilikan
Sumber: LBU KBI Bandung
3%
3%
8%
4%
10%
72%
Perorangan Perusahaan Swasta
Badan Usaha Milik Negara Pemerintah Daerah
Yayasan dan Badan Sosial Lain-lain
Sumber: LBU KBI Bandung
tidak lagi tercatat di Jawa Barat. Sementara itu, posisi SBI perbankan nasional sampai bulan Februari
Grafik 3.7. Perkembangan SBI Bank Umum
Nasional
Ekses Likuiditas
Penempatan perbankan Jawa Barat
pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
pada bulan Maret 2010, mengalami
penurunan yang signifikan
dibandingkan posisi triwulan
sebelumnya. Jumlah penempatan SBI
oleh perbankan Jawa Barat pada posisi
bulan Maret 2010 mencapai Rp2,27 triliun
atau turun sebesar 60% dibandingkan
posisi akhir Desember 2009. Hal ini
terutama disebabkan oleh pindahnya
kantor pusat salah satu bank nasional ke Jakarta sehingga penempatan pada SBI oleh bank tersebut
Konvensional di Jawa Barat dan SBI Perbankan
0
1
2
3
4
5
6
7
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2007 2008 2009 2010
Triliun Rp
6080100120140160180200220240260
Triliun Rp
SBI Perbankan Jawa Barat (skala kiri) SBI Perbankan Nasional (skala kanan) Sumber: LBU KBI Bandung
c
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
58
2010 mencapai Rp237 triliun, sehingga porsi penempatan SBI perbankan Jawa Barat terhadap
perbankan nasional hanya sebesar 1,15% atau lebih rendah dibandingkan pangsa pada bulan
esember 2009 yang mencapai 2,67%.
2.2 Perkembangan Kredit dan Risikonya
atkan indikator LDR meningkat dari 77% pada triwulan IV-
2009 menjadi 83% pada triwulan I-2010.
disalurkan Ba vensional di Jawa Barat
D
Perkembangan Kredit
Setelah empat triwulan sebelumnya
mengalami perlambatan, pertumbuhan kredit
bank umum konvensional di Jawa Barat pada
triwulan I-2010 mulai menunjukan
peningkatan (Grafik 3.8.). Kredit yang disalurkan
posisi Maret 2010 adalah sebesar Rp109,17 triliun.
Secara tahunan, kredit tumbuh 24,65% (yoy)
meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang sebesar 17,49%. Begitu juga
secara triwulanan, kredit tumbuh 6,38% (qtq) atau
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 3,90% (qtq). Peningkatan ini seiring
dengan mulai membaiknya perekonomian Jawa
Barat pada dua triwulan terakhir.Dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan kredit di tengah
perlambatan pertumbuhan DPK, mengakib
Berdasarkan jenis penggunaannya, pertumbuhan kredit modal kerja, investasi maupun
konsumsi mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit modal
kerja, investasi dan konsumsi masing-masing tumbuh sebesar 20,58% (yoy), 29,40% dan 27,64%
(grafik 3.10.). Sementara itu, secara triwulanan, pertumbuhan investasi dan konsumsi meningkat
masing-masing sebesar 14,64% (qtq) dan 9,26%, sedangkan pertumbuhan kredit modal kerja
Grafik 3.8. Perkembangan Kredit yang nk Umum Kon
-
20
40
60
80
100
120
Tw.I Tw. IITw.IIITw.IV Tw.I Tw. IITw.IIITw.IV Tw.I Tw.II Tw.IIITw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
Trili
un R
p
-5%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Kredit Growth yoy Growth qtq
Sumber: LBU KBI Bandung
Jawa Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan
Grafik 3.9. Perkembangan Kredit yang Disalurkan Bank Umum Konvensional di
-
10
20
30
40
50
60
Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
Triliun Rp
Konsumsi Modal Kerja Investasi
mber: LBU KBI Bandung
Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan
Su
Grafik 3.10. Perkembangan Pertumbuhan Kredit yang Disalurkan Bank Umum
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
yoy
Modal Kerja Investasi Konsumsi Sumber: LBU KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
59
mengalami perlambatan sehingga hanya tumbuh sebesar 1,74% (qtq). Dengan perkembangan
tersebut, nominal kredit modal kerja, investasi dan konsumsi posisi bulan Maret 2010 masing-masing
besar Rp47,49 triliun, Rp11,88 trilun dan Rp49,80 triliun (grafik 3.9.).
g-m
sektor pertambangan dan sektor lain-lain (konsumsi) masing-
mas
Jawa Barat Berdasarkan Kelompok Bank
se
Berdasarkan sektor ekonominya, kredit yang disalurkan masih tetap didominasi oleh tiga
sektor utama yakni sektor lain-lain (konsumsi), sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
(PHR) dan sektor industri pengolahan masin
16,5%. Secara tahunan, kredit yang disalurkan
berdasarkan sektor ekonomi pada umumnya
mengalami peningkatan kecuali pada sektor
pertanian, sektor listrik, gas dan air serta sektor
jasa dunia usaha. Kredit ke sektor pengangkutan
dan komunikasi masih mengalami pertumbuhan
sangat signifikan, yakni sebesar 84,63% (yoy)
menjadi Rp5,71 triliun. Sementara pertumbuhan
kredit ke sektor industri pengolahan meningkat
dari -3,97% menjadi 11,94%. Di sisi lain, kredit
yang disalurkan ke sektor PHR mengalami
pertumbuhan yang menurun dari 23,93%
menjadi 14,23%. Secara triwulanan,
pertumbuhan kredit yang disalurkan juga mengalami peningkatan kecuali sektor listrik, gas & air,
sektor pertanian, sektor jasa dunia usaha dan sektor PHR. Sektor jasa sosial mengalami pertumbuhan
terbesar yakni 39,01% (qtq), diikuti oleh
asing dengan pangsa 48,5%, 19,8% dan
ing tumbuh 20,52% dan 15,49%.
Grafik 3.12. Perkembangan Kredit yang Disalurkan Bank Umum Konvensional di
-
10
20
30
40
50
60
70
Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
Trili
un R
p
Bank Pemerintah Bank Swasta Nasional Bank Asing/Campuran
Sumber: LBU KBI Bandung
Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Kelompok Bank
Grafik 3.13. Perkembangan Pertumbuhan Kredit yang Disalurkan Bank Umum
-32%
-12%
8%
28%
48%
68%
88%
108%
Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
YOY
Bank Asing/Campuran Bank Pemerintah Bank Swasta Nasional Sumber: LBU KBI Bandung
Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan I-2010
Berdasarkan kelompok bank di Jawa Barat, kredit yang disalurkan kelompok bank
asing/campuran mengalami peningkatan drastis. Setelah tiga triwulan sebelumnya mengalami
penurunan, pertumbuhan kredit kelompok bank asing/campuran pada triwulan I-2010 menunjukkan
Grafik 3.11. Pangsa Kredit yang disalurkan Bank Umum Konvensional di Jawa Barat
0,2%16,5%
1,4%
0,1%
2,6%
19,8%
5,2%3,8%2,0%
48,5%
Pertanian PertambanganPerindustrian Listrik, Gas & AirKonstruksi Perdag., Rest & HotelPengktn, Gudg& Kmnks Jasa Dunia UsahaJasa Sosial Lain-lain
Sumber: LBU KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
60
peningkatan signifikan sebesar 94,65% (yoy) atau menjadi Rp5,81 triliun. Sementara itu pertumbuhan
kredit kelompok Bank swasta pada triwulan laporan terus meningkat dari 4,85% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi 14,74% atau menjadi sebesar Rp39,76 triliun. Sebaliknya, pada kelompok bank
pemerintah masih mengalami tren perlambatan (Grafik 3.13.). Pada triwulan I-2010 kelompok bank
pemerintah tumbuh 27,34% (yoy) menjadi Rp63,60 triliun atau sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya (28,65%). Secara triwulan, seluruh kelompok mengalami
eningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Bekasi (6,76%), disusul Kab. Bekasi (6,23%) dan sisanya tersebar di 22 kabupaten
dan kota lainnya.
Ta al di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota
Triwulan I-2010
p
Sebagian besar kredit bank umum konvensional di Jawa Barat masih didominasi oleh kantor
bank yang berada di Kota Bandung (44,61% dari total kredit). Pangsa tersebut sedikit
mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya (47,00%). Tingginya pangsa kredit di Kota
Bandung cukup beralasan mengingat sebagian besar kantor bank di Jawa Barat berada di Kota
Bandung dan sekitarnya. Sementara itu, pangsa kabupaten dan kota lainnya di bawah 7%. Terbesar
kedua adalah Kota
bel 3.1. Posisi Kredit Bank Umum Konvension
KREDIT (Juta Rupiah)
Kota Bandung 48.706.579 44,61%Kota Bekasi 7.378.228 6,76%Kab. Bekasi 6.800.753 6,23%Kota Bogor 6.584.331 6,03%Kota Cirebon 6.115.742 5,60%Kota Tasikmalaya 4.213.589 3,86%Kab. Karawang 3.584.722 3,28%Kab. Subang 2.424.547 2,22%Kota Sukabumi 2.207.870 2,02%Kab. Bandung 1.988.662 1,82%Kab. Garut 1.982.457 1,82%Kab. Purwakarta 1.837.763 1,68%Kota Depok 1.818.852 1,67%Kab. Cianjur 1.643.365 1,51%Kab. Bogor 1.574.547 1,44%Kab. Indramayu 1.498.131 1,37%Kota Cimahi 1.341.919 1,23%Kab. Majalengka 1.293.544 1,18%Kab. Sumedang 1.266.487 1,16%Kab. Kuningan 1.101.460 1,01%Kab. Ciamis 987.842 0,90%Kota Banjar 894.059 0,82%Kab. Sukabumi 840.106 0,77%Kab. Tasikmalaya 543.646 0,50%Kab. Cirebon 542.508 0,50%
JUMLAH 109.171.709 100,00%
KABUPATEN/KOTA Pangsa
Sumber: LBU KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
Kredit Mikro, Kecil dan Menengah (MKM)
Pertumbuhan kredit MKM (Mikro, Kecil dan Menengah) yang disalurkan bank umum
konvensional di Jawa Barat masih mengalami peningkatan. Sampai dengan triwulan I-2010,
posisi kredit MKM tercatat sebesar Rp83,41 triliun atau tumbuh sebesar 26,03% (yoy) lebih tinggi dari
pertumbuhan triwulan sebelumnya (19,55%). Jika dilihat berdasarkan skalanya, kredit kecil (di atas
Rp50 juta namun di bawah Rp500 juta) memiliki pangsa terbesar yakni 38,00%, kredit mikro (di
bawah Rp50 juta) pangsanya mencapai 36,08%, dan sisanya 25,92% merupakan kredit menengah (di
atas Rp500 juta namun di bawah Rp5 miliar). Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, kredit
MKM masih didominasi oleh kredit konsumsi dengan pangsa sebesar 59% sedangkan sisanya sebesar
41% merupakan kredit produktif (modal kerja dan investasi).
Grafik 3.14. Perkembangan Kredit MKM Berdasarkan Skala Usaha
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
TW I TWII
TWIII
TWIV
TW I TWII
TWIII
TWIV
TW I TWII
TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
Trili
un R
p
Mikro Kecil Menengah
Sumber: LBU KBI Bandung
Grafik 3.15. Perkembangan Kredit MKM Berdasarkan Jenis Penggunaan
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
Trili
un R
p
Modal Kerja Investasi Konsumsi
Sumber: LBU KBI Bandung
Kredit yang berlokasi proyek di Jawa Barat
Pertumbuhan kredit yang disalurkan ke
Jawa Barat (kredit lokasi proyek) lebih
rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan kredit yang disalurkan
bank umum konvensional di Jawa Barat
(kredit bank pelapor). Sampai dengan
posisi triwulan I-2010 (bulan Februari 2010),
kredit yang berlokasi di Jawa Barat tercatat
sebesar Rp181,00 triliun jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kredit yang
disalurkan oleh bank umum yang berlokasi
di Jawa Barat (Rp109,17 triliun). Hal ini
menunjukkan daya tarik provinsi Jawa Barat
dalam menarik investor. Sementara itu, dari
sisi pertumbuhan, kredit lokasi proyek
tercatat sebesar 11,36% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit bank pelapor yang
tercatat sebesar 24,65%.
Grafik 3.16. Perkembangan Kredit Lokasi Proyek dan Kredit Bank Pelapor
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Triliun Rp
Kredit Lokasi Proyek 73,9 91,2 100,7 122,5 127,2 140,1 151,2 161,9 167,1 171,4 174,2 181,4 181,0
Kredit Bank Pelapor 40,7 50,5 57,8 69,7 71,0 77,9 82,9 87,3 87,6 95,5 98,8 100,4 109,2
2004 2005 2006 2007 TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I
2008 2009 2010
Keterangan:
Kredit Lokasi Proyek adalah kredit yang diberikan ke wilayah Jawa Banat
Kredit bank pelapor adalah kredit yang diberikan oleh bank umum konvensional di Jawa Barat
Sumber: LBU KBI Bandung
61
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit berlokasi proyek di Jawa Barat masih didominasi oleh kredit
produktif (modal kerja dan investasi) yang mencapai 57% dari total kredit, sedangkan sisanya (43%)
merupakan kredit untuk konsumsi. Sementara itu, berdasarkan sektor ekonominya, kredit masih
didominasi oleh kredit konsumsi (45%), kredit sektor industri pengolahan sebesar 26%, serta kredit
sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14%.
Risiko kredit
Pada triwulan I-2010, risiko kredit yang disalurkan bank umum konvensional di Jawa Barat
meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Persentase jumlah kredit bermasalah
kotor atau Non Performing Loan (NPL) Gross meningkat dari 3,37% di triwulan IV-2009 menjadi
3,66% pada triwulan I-2010. Begitu juga dengan nominalnya, naik dari Rp3,46 triliun menjadi Rp4,00
triliun.
Grafik 3.17. Perkembangan Jumlah Kredit Bermasalah Bank Umum Konvensional di Jawa
Barat
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
Tw.I Tw. IITw.IIITw.IV Tw.I Tw. IITw.IIITw.IV Tw.I Tw.IITw.IIITw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
Trili
un R
p
0.0%
0.5%
1.0%
1.5%
2.0%
2.5%
3.0%
3.5%
4.0%
4.5%
5.0%
Nominal NPL Gross NPL Gross
Sumber: LBU KBI Bandung
Grafik 3.18. Perkembangan Non Performing Loan Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Kelompok Bank
0
1
2
3
4
5
6
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
%
0
2
4
6
8
10
12%
Bank Campuran (skala kanan)
Bank Pemerintah (skala kiri)
Bank Swasta (skala kiri)
Sumber: LBU KBI Bandung
Grafik 3.19. Perkembangan NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan
Jenis Penggunaan
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I TW II TWIII
TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
%
0,00,51,01,52,02,53,03,54,04,55,0
%
Konsumsi (skala kanan)
Modal Kerja (skala kiri)
Investasi (skala kiri)
Sumber: LBU KBI Bandung
Grafik 3.20. Perkembangan NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Beberapa
Sektor Ekonomi Utama
0
1
2
3
45
6
7
8
9
TW I TW II TW III TWIV
TW I TW II TW III TWIV
TW I TW II TW III TWIV
TW I
2007 2008 2009 2010
%
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
%Jasa Sosial PHR
Industri Pengolahan Pertanian
Sumber: LBU KBI Bandung
Pada triwulan I-2010, berdasarkan kelompok bank, persentase NPL gross seluruh kelompok
bank meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Persentase NPL gross kelompok
62
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
bank pemerintah relatif stabil dari 3,24% pada triwulan IV-2009 menjadi 3,27% pada triwulan I-
2010. Hal yang sama terjadi pada NPL di kelompok bank swasta, yaitu dari 3,23% menjadi 3,28%.
Sementara itu, persentase NPL gross pada kelompok bank asing/campuran mengalami peningkatan
dari 8,63% menjadi 10,47%.
Berdasarkan jenis penggunaannya, pada triwulan I-2009, hanya NPL kredit investasi yang
mengalami penurunan. Persentase NPL gross kredit investasi mengalami penurunan dari 5,84%
pada triwulan IV-2009 menjadi 4,97%. Adapun NPL gross kredit konsumsi meningkat dari 1,99%
menjadi 2,60%. Sementara itu, untuk kredit modal kerja NPL gross naik dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya dari 4,20% menjadi 4,44%.
Pada triwulan I-2010, risiko kredit pada sebagian besar sektor ekonomi mengalami kenaikan
kecuali sektor pertambangan, sektor jasa dunia usaha, sektor angkutan & komunikasi dan
sektor PHR. Persentase NPL gross kredit yang disalurkan kepada sektor industri pengolahan naik dari
4,33% pada triwulan IV-2009 menjadi 4,58% pada triwulan I-2010. Sedangkan NPL gross kredit
kepada sektor PHR turun dari 4,68% menjadi 4,47%. Sementara itu, NPL gross kredit kepada sektor
angkutan dan komunikasi mengalami penurunan dari 0,30% menjadi 0,21%.
Berdasarkan lokasi
kota/kabupaten, persentase
kredit bermasalah terbesar
terdapat di Kabupaten
Purwakarta yang mencapai
9,56% terhadap kredit yang
disalurkan di kabupaten
tersebut. Jumlah tersebut lebih
rendah dibandingkan posisi
triwulan sebelumnya yang
mencapai 13,17%. Daerah lainnya
yang memiliki persentase kredit
bermasalah di atas 7% adalah
Kabupaten Bekasi yang mencapai
7,02%. Sementara itu, daerah yang
memiliki persentase NPL terendah
masih sama seperti triwulan
sebelumnya yaitu Kabupaten
Cirebon (0,30%).
Tabel 3.2. NPL Gross Bank Umum Konvensional di Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota
KREDIT
(Juta Rp)NOMINAL (Juta Rp) %
Kab. Purwakarta 1.837.763 175.616 9,56 Kab. Bekasi 6.800.753 477.137 7,02 Kota Bekasi 7.378.228 331.108 4,49 Kab. Karawang 3.584.722 148.647 4,15 Kab. Subang 2.424.547 98.759 4,07 Kota Cirebon 6.115.742 238.353 3,90 Kota Bandung 48.706.579 1.827.948 3,75 Kota Depok 1.818.852 64.895 3,57 Kota Bogor 6.584.331 199.699 3,03 Kota Sukabumi 2.207.870 65.146 2,95 Kab. Sukabumi 840.106 23.720 2,82 Kab. Bogor 1.574.547 36.522 2,32 Kota Tasikmalaya 4.213.589 88.753 2,11 Kab. Cianjur 1.643.365 33.946 2,07 Kab. Bandung 1.988.662 37.032 1,86 Kab. Majalengka 1.293.544 21.963 1,70 Kab. Indramayu 1.498.131 24.876 1,66 Kab. Tasikmalaya 543.646 8.941 1,64 Kab. Sumedang 1.266.487 19.474 1,54 Kota Banjar 894.059 13.599 1,52 Kab. Garut 1.982.457 25.032 1,26 Kota Cimahi 1.341.919 14.290 1,06 Kab. Ciamis 987.842 10.116 1,02 Kab. Kuningan 1.101.460 7.951 0,72 Kab. Cirebon 542.508 1.641 0,30
JUMLAH 109.171.709 3.995.164 3,66
KABUPATEN/KOTANPL Gross
Sumber: LBU KBI Bandung
63
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
Risiko kredit mikro kecil dan
menengah (MKM) pada triwulan I-
2010 masih relatif terkendali dan
lebih rendah dibandingkan risiko
kredit keseluruhan. Persentase NPL
gross kredit MKM mengalami kenaikan
dari 3,23% pada triwulan IV-2009
menjadi 3,47%, sama halnya dengan
persentase NPL Gross kredit total yang
naik dari 3,37% menjadi 3,66%.
Lebih rendahnya NPL MKM
menunjukkan bahwa sektor MKM
memiliki ketahanan yang relatif lebih baik.
Grafik 3.21. Perkembangan NPL Gross Kredit MKM dan Total Kredit
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw. II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
%
NPL Kredit MKM NPL Kredit Sumber: LBU KBI Bandung
3. BANK UMUM SYARIAH Pada triwulan I-2010, secara
umum, perkembangan bank
umum syariah di Jawa Barat
mengalami peningkatan kecuali
total aset. Pertumbuhan total aset
bank umum syariah secara tahunan,
sampai dengan posisi bulan Februari
2010, sedikit melambat dari 25,08%
(yoy) pada triwulan IV-2009 menjadi
24,91% atau menjadi sebesar Rp6,50
triliun. Sementara itu, pertumbuhan
penyaluran pembiayaan meningkat
dari 18,12% (yoy) menjadi 41,94%
atau menjadi sebesar Rp4,77 triliun. Begitu juga dengan pertumbuhan DPK meningkat dari 27,54%
(yoy) menjadi 43,59% atau menjadi sebesar Rp5,79 triliun. Secara triwulanan, pertumbuhan total aset
bank umum syariah menurun dari 17,21% (qtq) pada triwulan sebelumnya menjadi -1,05%. Begitu
juga dengan pertumbuhan DPK pada triwulan laporan yang mengalami perlambatan dari 15,71%
(qtq), menjadi 14,21%. Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran pembiayaan mengalami peningkatan
dari 8,97% (qtq) pada triwulan IV-2009 menjadi 17,71% pada triwulan I-2010. Dengan kondisi
tersebut, Financing to Deposit Ratio (FDR) bank umum syariah di Jawa Barat meningkat dari 80%
menjadi sebesar 82% pada triwulan laporan. Di sisi lain, risiko pembiayaan mengalami peningkatan.
Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah/Non Performing Financing (NPF)
yang mengalami naik dari 3,13% pada Desember 2009 menjadi 4,38% pada Februari 2010.
Grafik 3.22. Perkembangan Indikator Bank Umum Syariah Di Jawa Barat
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV Feb-10
2007 2008 2009
Trili
un R
p
Aset DPK Pembiayaan
Sumber: LBUS KBI Bandung
64
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
65
4. BANK UMUM YANG BERKANTOR PUSAT DI JAWA BARAT Dengan pindahnya salah satu
kantor pusat bank umum dari
wilayah Jawa Barat sejak akhir
tahun 2009, maka berakibat
pada penurunan signifikan
terhadap indikator perbankan
yang berkantor pusat di Jawa
Barat. Secara tahunan,
pertumbuhan aset bank umum
yang berkantor pusat di Jawa
Barat turun dari 33,11% (yoy) pada triwulan IV-2009 menjadi -15,67% pada Maret 2010 atau
menjadi Rp44,47 triliun. Demikian juga dengan kredit yang disalurkan, anjlok dari 30,09% menjadi -
20,34% atau menjadi Rp25,56 triliun. Pertumbuhan DPK turun dari 38,55% menjadi -20,79% atau
menjadi Rp34,19 triliun. Sementara itu secara triwulanan, penurunan juga terjadi pada total aset,
penyaluran kredit dan DPK. Pertumbuhan total aset turun dari 4,79% (qtq) menjadi -28,18%.
Pertumbuhan penyaluran kredit turun dari 6,03% (qtq) menjadi -36,76% dan pertumbuhan DPK
turun dari 0,31% (qtq) menjadi -29,57%. Dengan perkembangan tersebut, LDR bank umum yang
berkantor pusat di wilayah Jawa Barat pada triwulan laporan tercatat sebesar 75% atau lebih rendah
dibandingkan posisi triwulan sebelumnya (83%). Di sisi lain, risiko kredit meningkat seperti yang
terlihat dari persentase kredit bermasalah (NPL gross) yang naik dari 1,13% pada triwulan sebelumnya
menjadi 1,94% pada triwulan I-2010. Rendahnya angka NPL gross tersebut, mencerminkan relatif
terkendalinya risiko kredit. Hal tersebut juga didukung oleh survei Kantor Bank Indonesia mengenai
dampak ACFTA terhadap debitur utama dari bank-bank umum yang berkantor pusat di Jawa Barat.
Hasil survei mengindikasikan bahwa pemberlakukan ACFTA belum memberikan dampak yang
signifikan terhadap kinerja/usaha dari masing-masing debitur, sehingga diperkirakan kinerja bank
umum dimaksud relatif tidak akan terganggu.
5. BANK PERKREDITAN RAKYAT Dari sisi penyaluran kredit, kinerja BPR konvensional menunjukkan peningkatan. Sementara
dari sisi total aset dan penghimpunan DPK menunjukkan perlambatan. Pada triwulan laporan,
pertumbuhan penyaluran kredit BPR secara tahunan meningkat dari 9,46% (yoy) menjadi 10,83%
atau menjadi Rp4,98 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan total aset melambat dari 20,44% (yoy) menjadi
17,87% atau menjadi sebesar Rp7,33 triliun. Sementara itu, pertumbuhan DPK melambat dari
26,17% (yoy) menjadi 22,29% atau menjadi Rp5,38 triliun. Walaupun sedikit melambat, namun
pertumbuhan DPK masih pada level yang cukup tinggi, terutama jika dibandingkan dengan
pertumbuhan DPK bank umum. Hal ini diduga terkait dengan masih relatif lebih menariknya suku
bunga simpanan di BPR. Secara triwulanan, perkembangan BPR menunjukkan kondisi yang tidak jauh
Grafik 3.23. Perkembangan Indikator Bank Umum yang Berkantor Pusat di Jawa Barat
41,50 40,52
45,82 46,52
52,7455,45
59,1061,93
44,47
33,84 32,5136,48 35,04
43,1745,13
48,40 48,55
34,19
24,99 24,55
30,09 31,07 32,0934,20
38,1240,42
25,56
-
10
20
30
40
50
60
70
TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I
2008 2009 2010
Trili
un R
p
Aset DPK Kredit Sumber: LBU KBI Bandung
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
66
berbeda. Pertumbuhan total aset melambat dari 5,87% (qtq) pada triwulan IV-2009 menjadi 3,74%
pada triwulan laporan. Demikian juga halnya dengan DPK yang tumbuh melambat dari 6,32% (qtq)
menjadi 5,77%. Di sisi lain, pertumbuhan kredit yang disalurkan mengalami peningkatan dari 1,99%
(qtq) menjadi 3,41%.
Sebagian besar kredit yang
disalurkan BPR merupakan kredit
produktif (modal kerja dan
investasi). Pangsa kredit produktif
tersebut mencapai 58% dari total kredit
BPR dan sisanya (42%) merupakan
kredit konsumtif. Jika dilihat secara
lebih rinci, penyaluran kredit untuk
kebutuhan modal kerja mengalami
peningkatan pertumbuhan yang
tertinggi dari 8,67% (yoy) menjadi
12,85% (yoy) atau mencapai posisi
Rp2,73 triliun. Hal ini diperkirakan
merupakan indikasi dari meningkatnya aktivitas perekonomian khususnya di sektor usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM). Namun di sisi lain, risiko kredit BPR masih relatif tinggi, seperti yang
ditunjukkan oleh persentase kredit bermasalah (NPL gross) yang mencapai 8,50% pada triwulan
laporan, walaupun mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2009
(8,68%).
Grafik 3.24. Perkembangan Indikator BPR Konvensional di Jawa Barat
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
TW. I TW. II TW. III TW. IV TW. I TW. II TW. III TW. IV TW. I
2008 2009 2010
Triliu
n Rp
Aset DPK Kredit
Sumber: LBPR KBI Bandung
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
67
BAB 4 KEUANGAN DAERAH
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
68
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
Pembiayaan pemerintah terhadap perekonomian diperkirakan meningkat dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari realisasi belanja pemerintah
pusat maupun provinsi Jawa Barat yang meningkat. Proses pengadaan barang/jasa dimulai lebih cepat
dibandingkan tahun sebelumnya serta usaha pemerintah daerah untuk mempercepat program
transmigrasi dan bantuan pendidikan menjadi faktor utama pendukung membaiknya kinerja keuangan
pemerintah.
Sementara itu, realisasi penerimaan baik APBN maupun APBD di Jawa Barat pada periode
laporan meningkat. Penerimaan pajak pemerintah pusat meningkat terutama pada pos PPN untuk
impor barang-barang modal. Selain itu, penerimaan Pemerintah Provinsi juga diperkirakan meningkat
yang terutama bersumber dari bea balik nama kendaraan bermotor.
1. APBD PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2010 Kapasitas fiskal Pemerintah Provinsi Jawa Barat meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan terutama berasal dari pendanaan transfer pemerintah pusat ke daerah (dana
perimbangan) serta pendapatan pajak Provinsi. Selain itu, sisa lebih anggaran dari beberapa tahun
sebelumnya yang masih relatif besar akan digunakan kembali sebagai alternatif penerimaan
pembiayaan pada tahun 2010.
Di sisi belanja, Provinsi Jawa Barat menganggarkan dana yang cukup besar. Alokasi belanja Provinsi
Jawa Barat adalah sebesar Rp9,56 triliun atau meningkat 15,71% dari tahun sebelumnya. Bahkan
pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi meningkatkan belanja infrastruktur 2 kali lipat menjadi sebesar
Rp1 triliun yang berasal dari cadangan fiskal Provinsi.
Tabel 4.1. APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 dan 2010
No. Uraian
APBD 2009
(Rp Miliar)
APBD 2010
(Rp Miliar)
Perubahan (%)
I Pendapatan 6.952 7.758 11,59
1 Pendapatan Asli Daerah 5.177 5.623 8,63
2 Dana Perimbangan 1.763 2.105 19,40
3 Lain-lain PAD yang Sah 12 30 135,76
II Belanja 8.263 9.561 15,71
1 Belanja Tidak Langsung 5.399 6.469 19,82
2 Belanja Langsung 2.864 3.092 7,96
III Pembiayaan 1.311 1.803 37,57
1 Penerimaan Daerah 1.311 1.803 37,56
2 Pengeluaran Daerah 1 1 -57,65
3 SILPA
Sumber: Perda APBD Provinsi Jawa Barat
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010 menerapkan kebijakan
penentuan APBD secara tematik atau berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan
menggunakan pola tematik maka Pemerintah Provinsi Jabar dapat lebih fokus kepada sasaran strategis
69
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
70
atau common goals dan mendorong efektivitas organisasi pemerintahan. Efisiensi perjalanan dinas
juga dilakukan pada tahun 2010 sehingga hasil efisiensi belanja pegawai dalam bentuk honorarium
maupun perjalanan dinas dapat dialokasikan kepada belanja modal.
2. PENDAPATAN PEMERINTAH DI JAWA BARAT Tax ratio1 (rasio pajak terhadap PDRB) Jawa
Barat menurun dibandingkan dengan periode
sebelumnya (Grafik 4.1). Penurunan terutama
disebabkan oleh pertumbuhan penerimaan pajak
pemerintah pusat di Jawa Barat yang lebih rendah
dibandingkan dengan prakiraan pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat. Namun demikian, baik posisi
penerimaan pajak pemerintah pusat maupun
provinsi pada periode laporan meningkat
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun
sebelumnya. Secara keseluruhan, tax ratio di Jawa
Barat tahun 2010 diperkirakan akan lebih tinggi.
Grafik 4.1. Tax Ratio dan Total Penerimaan Pajak di Provinsi Jawa Barat
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
9%
10%
8
9
10
11
12
13
14
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
% (yoy)Rp Triliun
Penerimaan Pajak* Tax Ratio** Keterangan: *) Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat serta penerimaan pajak pemerintah provinsi, **) Tax ratio adalah pembagian antara total pajak pusat dan provinsi dengan PDRB Jawa Barat (Atas Dasar Harga Berlaku) Sumber: BPS, Dipenda Provinsi Jawa Barat, & KBI Bandung
2.1. PENDAPATAN PAJAK PEMERINTAH PUSAT
Baik posisi maupun pertumbuhan tahunan
pendapatan pajak pemerintah pusat di Jawa
Barat meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya (Grafik 4.2). Hal ini diduga sejalan
dengan pemulihan perekonomian sehingga terjadi
peningkatan terutama pada pendapatan negara yang
berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Berdasarkan klasifikasinya, PPNBM (PPN Bea Masuk)
Impor meningkat drastis dibandingkan periode lalu.
Grafik 4.2. Perkembangan Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat
-0,50
0,00
0,50
1,00
0
2
4
6
8
10
12
14
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
% (yoy)Rp Triliun
Penerimaan Pajak Pertumbuhan
Sumber: Mutasi Rekening Pemerintah Pusat di KBI Bandung
Kenaikan penerimaan PPNBM Impor sejalan dengan peningkatan jumlah barang yang diimpor
khususnya alat angkutan serta barang modal yang dipergunakan sebagai bahan baku industri maupun
investasi perusahaan. Namun demikian, kinerja perpajakan dalam PPh (Pajak Penghasilan) diduga
mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) Jawa Barat I2 melaporkan bahwa pada triwulan I-2010 penerimaan PPh yang lebih rendah. Hal ini
disebabkan oleh perpanjangan sunset policy yang diduga turut menyumbangkan penurunan dalam
penerimaan PPh Orang Perorang (OP), serta adanya peraturan perubahan batas waktu penyampaian
SPT Tahunan PPh Badan yang semula 31 Maret menjadi 30 April.
1 Tax ratio adalah rasio penerimaan pajak terhadap PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) 2 Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I meliputi Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
Tabel 4.1. Perkembangan Pendapatan Pemerintah Pusat
di Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I 2009 2010
Jenis Pajak Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I
A. Pajak Penghasilan 1.399 1.324 1.633 2.372 1.292 B. PPN dan PPN BM 589 641 737 1.455 624 C. PL dan PIB 35 41 40 70 26 D. PBB dan BPHTB 107 296 561 630 86 Jumlah 2.130 2.302 2.971 4.527 2.028 Pertumbuhan (%, yoy) 17,07 18,54 25,57 55,66 (4,76)
Sumber: DJP Jawa Barat I
2.2. PENDAPATAN PEMERINTAH PROVINSI
Pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat meningkat. Hingga triwulan I-2010 Pendapatan Asli
Daerah (PAD) telah terealisasi sebesar 27% (ytd) lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya
yang sebesar 22,5%. Peningkatan pendapatan terutama berasal dari meningkatnya pendapatan pajak,
yakni Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan Bermotor. Faktor utama penyebab
kenaikan pendapatan pajak adalah pemulihan perekonomian dan meningkatnya kepercayaan
konsumen atas kondisi perekonomian.
Tabel 4.2. Realisasi Penerimaan Pajak Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Rp Miliar) 2009 2010 Jenis Pajak
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Pajak Kendaraan Bermotor 411 458 520 473 429 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 404 423 565 544 647
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 266 263 283 273 265
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
23 24 35 14 23
Jumlah 1.103 1.168 1.403 1.305 1.365 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat
Selain itu, peningkatan alokasi Dana Perimbangan juga diikuti dengan tingkat realisasi yang cukup
baik, yakni sebesar 27,4% pada periode laporan atau lebih tinggi dari periode sebelumnya yang
sebesar 25%. Bahkan tingkat realisasi pada periode laporan merupakan yang tertinggi dari periode
pengamatan (tahun 2004 hingga 2009). Tingkat realisasi dana perimbangan yang cukup baik
merupakan indikasi upaya pemerintah pusat untuk mempercepat pendanaan belanja pembangunan
sehingga mampu mempercepat pemulihan perekonomian.
71
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
Tabel 4.3. Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat Triwulan I-2009 Triwulan I-2010
No. Uraian APBD
2009 (Rp Miliar)
Realisasi (Rp Miliar)
% Realisasi thd APBD
APBD 2010 (Rp Miliar)
Realisasi (Rp Miliar)
% Realisasi thd APBD
I PAD 5.176 1.163 22,48 5.623 1.503,63 26,74
a. Pajak Daerah 4.835 1.103 22,82 5.147 1.450,73 28,19
b. Retribusi Daerah 29 6 22,63 29 5,321 18,22
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah 138 1 0,57 204,20 0,13 0,06
d. Lain-lain PAD 174 53 30,38 242,3 47,637 19,66
II Dana Perimbangan 1.763 441 25,03 2.105,00 577,38 27,43
a. Bagi Hasil Pajak 786 116 14,71 980,70 362,04 36,92
b. Dana Alokasi Umum 977 326 33,33 1086 215,339 19,83
c. Dana Alokasi Khusus - - - 38,6 0 -
III Lain-lain Pendapatan 12 753 6.053,02 8,30 N/A N/A
a. Bantuan Keuangan 10 1 11,75 N/A N/A
b. Lain-lain Penerimaan 3 752 26.439,89 N/A N/A
Total Pendapatan 6.952 2.358 33,91 7.736,00 2.000-2.100* 26-27* Keterangan: *) Angka Perkiraan Bank Indonesia Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat
3. BELANJA DAERAH
Belanja pemerintah di Jawa Barat pada triwulan I-2010 diperkirakan meningkat
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada periode laporan, belanja
pemerintah lebih ditujukan untuk keperluan belanja barang/jasa, khususnya dalam rangka
mempercepat proses pengadaan yang dilakukan melalui mekanisme lelang secara konvensional
maupun elektronis. Selain itu, realisasi anggaran pada pos belanja pegawai digunakan terutama untuk
meningkatkan pengawasan maupun menyelenggarakan pertemuan-pertemuan koordinasi di awal
tahun.
2.1. BELANJA APBN DI JAWA BARAT
Baik pertumbuhan maupun tingkat realisasi belanja pemerintah pusat di Jawa Barat
mengalami kenaikan. Pertumbuhan realisasi belanja dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan,
serta program yang didanai pinjaman luar negeri meningkat. Naiknya pertumbuhan realisasi belanja
terutama terjadi untuk percepatan program bantuan pendidikan dan transmigrasi.
Belanja Dana Dekonsentrasi
Realisasi dana dekonsentrasi diduga meningkat dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh realisasi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang
lebih awal dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi dari Dinas Pendidikan, skema BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) tahun 2009 telah cukup dimengerti oleh baik pihak pemerintah
maupun sekolah, setelah pada tahun sebelumnya Dinas Pendidikan mengalami kesulitan
merealisasikan anggaran dari sebelumnya secara langsung melalui beasiswa menjadi menggunakan
kegiatan bimbingan belajar.
72
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
Di sisi lain, pelaporan realisasi dana dekonsentrasi mengalami kendala karena beberapa dinas belum
dapat menyampaikan laporan. BAPPEDA Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa pada tahun ini
sistem pelaporan dana dekonsentrasi mengalami perubahan menjadi lebih formal.
Dana dekonsentrasi berfungsi sebagai pembiayaan kegiatan pendukung dalam pelaksanaan program
pemerintah pusat di daerah. Kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi meliputi
koordinasi, pembinaan, dan pengawasan. Pada umumnya, anggaran yang dialokasikan pada dana
dekonsentrasi lebih besar dibandingkan dengan dana tugas pembantuan yang bersifat pembangunan
fisik. Pengalokasian dana dekonsentrasi juga ditujukan langsung kepada dinas/instansi di tingkat
provinsi sementara wewenang dana tugas pembantuan diserahkan kepada pemerintah
kota/kabupaten/provinsi untuk mengatur.
Tabel 4.4 Realisasi (ytd) Dana Dekonsentrasi Jawa Barat di Lima Dinas Penerima Anggaran Terbesar
2009 2010 Dinas Anggaran
(Rp Miliar) Realisasi Tw.I (%)
Anggaran (Rp Miliar)
Realisasi Tw.I* (%)
Dinas Pendidikan 4.540,44 0 3848,75 0,99 Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) 42,97 0 53,2 N/A
Dinas Pertanian 30,41 0 24,3 N/A Dinas Sosial 25,21 0 22,61 0,00 Dinas Tata Ruang dan Pemukiman 14,50 0 2,6 0,00
Jumlah 4.637,44 0,14% 4067,39 0,16%
Keterangan: *) Angka Perkiraan Sumber: BAPPEDA Provinsi Jawa Barat
Belanja Dana Tugas Pembantuan
Tingkat realisasi Dana Tugas Pembantuan diperkirakan meningkat dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan realisasi terutama berasal dari kinerja Pemerintah
Provinsi Jawa Barat khusunya untuk program percepatan rehabilitasi jalan dan jembatan. Dinas Bina
Marga Provinsi Jawa Barat telah mulai melaksanakan perbaikan infrastruktur di beberapa ruas jalan
provinsi.
Tabel 4.5 Realisasi Dana Tugas Pembantuan Jawa Barat di Lima Pemerintah Daerah Penerima Alokasi Anggaran Terbesar
2009 2010 Provinsi/Kabupaten/Kota Anggaran
(Rp Miliar) Realisasi Tw.I (%)
Anggaran (Rp Miliar)
Realisasi Tw.I* (%)
Provinsi Jawa Barat 204,89 0 215,06 0,31 Kabupaten Garut 117,34 0 17,06 N/A Kabupaten Sukabumi 100,33 0 19,84 0 Kabupaten Tasikmalaya 87,94 0 8,34 N/A Kabupaten Cianjur 75,29 0 9,21 3,48 Jumlah 1.145,16 0,14% 442,03 0,17%
Sumber: BAPPEDA Provinsi Jawa Barat
Selain itu, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat pada triwulan I-
2010 mulai melakukan pengerahan dan fasilitasi perpindahan serta penempatan transmigrasi di
wilayah strategis dan cepat tumbuh. Pada tahun 2010 Disnakertrans menargetkan peningkatan
partisipasi masyarakat, membangun jejaring pendanaan investasi, dan peningkatan kompetensi
transmigran. Sementara, Kabupaten Sumedang memperoleh alokasi dana tugas pembantuan yang
73
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
cukup besar pada tahun 2010, yakni sebesar Rp61,56 miliar terutama untuk pembangunan gedung
kantor untuk pelayanan sarana/prasarana daerah.
Belanja APBN yang Berasal dari Pinjaman Luar Negeri
Realisasi belanja pemerintah pusat di Jawa
Barat yang dibiayai Pinjaman luar negeri
menurun dibandingkan triwulan
sebelumnya. Perlambatan laju pertumbuhan
semata-mata disebabkan oleh realisasi belanja
yang dibiayai utang luar negeri baru mulai
dilakukan pada bulan Februari 2010 berbeda
dengan tahun lalu yang direalisasikan sejak awal
tahun (Grafik 4.3).
Grafik 4.3. Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat dari Pinjaman Luar Negeri
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2008 2009 2010
% (yoy)Rp Triliun
Belanja dari Utang Luar Negeri Pertumbuhan
Sumber: KBI Bandung
Realisasi belanja pemerintah yang dibiayai utang luar negeri pada periode laporan terutama untuk
program pemberdayaan petani miskin dan masyarakat pedesaan serta pengembangan lingkungan
sekitar. Program tersebut merupakan bentuk lain dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri) yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dengan ruang lingkup
pada sektor pertanian, pemerintahan, irigasi, pendidikan, dan infrastruktur lainnya.
2.2. BELANJA APBD PROVINSI JAWA BARAT
Realisasi belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada triwulan I-2010 diperkirakan mencapai
kisaran 6% hingga 8% dari total anggaran atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode
yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi dalam hal percepatan proses pengadaan belanja modal.
Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat menginformasikan bahwa pada akhir triwulan I-2010 beberapa
pemenang hasil lelang proyek infrastruktur telah diumumkan dan sedang melalui proses pembuatan
kontrak. Sementara, sisanya masih berada masa evaluasi panitia pengadaan. Realisasi belanja
infrastruktur diperkirakan mulai dilaksanakan pada triwulan II-2010.
Pada tahun 2009, hanya 3 pemerintah daerah (Kab. Kuningan, Kab. Purwakarta, dan Kota Sukabumi)
yang memanfaatkan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE). Pada tahun 2010
jumlah peserta bertambah menjadi 12 kabupaten/kota, dengan tambahan 9 daerah baru, yakni Kab.
Indramayu, Kab. Tasikmalaya, Kab. Karawang, Kab. Garut, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, Kab.
Sumedang, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya.
Sesuai dengan pola musimannya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan realisasi anggaran
terutama untuk belanja pegawai serta perjalanan dinas. Sementara itu, dinas terkait telah melakukan
persiapan program pembangunan meskipun belum terdapat realisasi secara keuangan.
74
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
BOKS 4
PENINGKATAN BELANJA INFRASTRUKTUR
PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2010
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat merubah kebijakan anggaran
dengan menggunakan sistem tematik sehingga dapat lebih fokus kepada common goals Provinsi
Jawa Barat. Di antara tujuan strategis Provinsi Jawa Barat pembangunan infrastruktur diduga dapat
memberikan pengaruh yang baik kepada sektor lainnya.
Kondisi jalan Provinsi dan Kab/Kota menunjukkan perbaikan sebagaimana terlihat dari persentase
panjang ruas jalan tidak rusak yang meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, jika
dibandingkan dengan kualitas jalan nasional maka jalan provinsi dan kab/kota dapat lebih
ditingkatkan terutama untuk mendukung kegiatan perekonomian.
Grafik 1. Tingkat Kerusakan Jalan di Jawa Barat
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008
Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kab/Kota
Rusak berat
Rusak
Sedang
Baik
Sumber: Jawa Barat dalam Angka
Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi mengalokasikan belanja infrastruktur yang cukup besar, yakni
sebesar Rp1 triliun atau meningkat 2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Dengan peningkatan alokasi
tersebut, maka diharapkan kondisi jalan dapat lebih baik (mencapai target tingkat kemantapan jalan
tahun 2010 sebesar 92% dari tahun 2009 yang sebesar 86%) sehingga dapat meningkatkan
kelancaran aktivitas perekonomian. Hal ini mencerminkan upaya Pemprov untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Berdasarkan alokasinya, Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat memperoleh dana pembangunan
terbesar, yakni Rp656,8 miliar untuk pembangunan jalan/jembatan dan Rp321,3 miliar untuk
rehabilitas jalan/jembatan. Sementara itu, Pemprov Jabar juga mengalokasikan pembebasan lahan
untuk proyek pembangunan infrastruktur multi-years seperti pembangunan Bandara Kertajati,
reaktivasi jalur kereta api, dan pembangunan jalan tol Cisumdawu.
75
BAB 4. KEUANGAN DAERAH
Halaman ini sengaja dikosongkan
76
BAB 5 PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
BAB 5. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
78
BAB 5. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran nasional baik tunai maupun non tunai
merupakan salah satu tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat
memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang
sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar (clean money policy). Sementara itu kebijakan di bidang
instrumen pembayaran non tunai tetap diarahkan untuk menyediakan sistem pembayaran yang efektif,
efisien, aman dan handal dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
Pada triwulan I-2010, transaksi sistem pembayaran di Jawa Barat menunjukkan peningkatan
pada nilai transaksi khususnya sistem pembayaran non tunai. Transaksi pembayaran melalui Bank
Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), untuk wilayah Jawa Barat, secara nominal mengalami
peningkatan, meskipun secara volume turun dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, jumlah
aliran uang masuk (inflow) ke KBI di wilayah Jawa Barat, secara triwulanan mengalami peningkatan,
namun aliran uang keluar (outflow) mengalami penurunan. Nilai transaksi pembayaran melalui kliring di
wilayah Jawa Barat mengalami penurunan, namun secara volume sedikit mengalami peningkatan.
1. PENGEDARAN UANG KARTAL
1.1. Aliran Uang Kartal Masuk/Keluar (Inflow/Outflow)
Perkembangan aliran uang kartal pada triwulan I-2010 di wilayah kerja BI Bandung, BI Cirebon
dan BI Tasikmalaya menunjukkan terjadinya net inflow. BI Bandung mengalami net inflow sebesar
Rp3,40 triliun, sedangkan BI Cirebon dan BI Tasikmalaya masing-masing sebesar Rp1,30 triliun dan
Rp0,49 triliun. Secara gabungan Inflow di BI wilayah Jawa Barat menjadi Rp6,72 triliun atau naik 11,87%
(qtq) atau turun 4,34% (yoy). Sementara outflow di BI wilayah Jawa Barat menjadi Rp0,80 triliun atau
turun sebesar 60,87% (qtq) atau 0,91% (yoy) (Grafik 5.1). Peningkatan inflow pada triwulan laporan
merupakan siklus yang biasa terjadi setelah pada triwulan sebelumnya terjadi outflow yang cukup tinggi
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow Uang Kartal Di Jawa Barat
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I
2007 2008 2009 2010
(Rp
Triliu
n)
Outflow Net Inflow Inflow
Sumber: BI Bandung, BI Tasikmalaya & BI Cirebon
79
BAB 5. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Selama triwulan I-2010, uang kertas yang keluar dari KBI Bandung mengalami penurunan yang
cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Tabel 5.1). Secara nominal, uang
kertas yang keluar dari KBI Bandung selama triwulan I-2010 adalah sebesar Rp593,22 miliar atau turun
68,52% (qtq), sedangkan uang logam yang keluar Rp0,258 miliar atau turun 66,75% (qtq). Sementara
itu, jumlah bilyet uang kertas yang keluar mencapai 18,14 juta bilyet atau turun 44,44% (qtq), demikian
juga dengan uang logam yang keluar turun sebesar 68,58% (qtq) menjadi 1,92 juta keping.
Tabel 5.1. Perkembangan Outflow Uang Kertas dan Uang Logam melalui KBI Bandung
Tw. IV-2009 Tw. I-2010 Pertumbuhan (qtq)
Nominal Bilyet/Keping Nominal Bilyet/Keping Nominal Bilyet/Keping Jenis Pecahan
(Rp Miliar) (Juta) (Rp Miliar) (Juta) Uang Kertas
100.000 965,82 9,66 304,01 3,04 -68,52% -68,52% 50.000 863,97 17,28 223,52 4,47 -74,13% -74,13% 20.000 12,11 0,61 20,25 1,01 67,17% 67,17% 10.000 11,48 1,15 26,56 2,66 131,35% 131,35%
5.000 7,83 1,57 12,15 2,43 55,22% 55,22% 2.000 3,10 1,55 4,41 2,21 42,13% 42,13%
1.000 0,84 0,84 2,32 2,32 176,97% 176,97%
Total 1.865,16 32,65 593,22 18,14 -68,19% -44,44%
Nominal Bilyet/Keping Nominal Bilyet/Keping Nominal Bilyet/Keping Jenis Pecahan (Rp Juta) (Juta) (Rp Juta) (Juta) (Juta)
Uang Logam 1,000 - - 80,00 0,08 n/a n/a
500 24,77 0,05 5,76 0,01 -76,76% -76,76% 200 458,00 2,29 81,20 0,41 -82,27% -82,27% 100 213,29 2,13 56,22 0,56 -73,64% -73,64% 50 79,05 1,58 27,00 0,54 -65,84% -65,84% 25 1,51 0,06 8,03 0,32 433,54% 433,54%
Total 776,62 6,11 258,21 1,92 -66,75% -68,58% Sumber: BI Bandung
1.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan pemusnahan atau kegiatan pemberian
tanda tidak berharga (PTTB) terhadap uang kartal yang sudah tidak layak edar (lusuh/rusak)
sebagai upaya untuk memelihara kualitas uang kartal yang diedarkan di masyarakat (clean
money policy),
Selama triwulan I-2010, BI Bandung melakukan pemusnahan uang kertas sebanyak 114,69 juta lembar
atau naik 10,33% (qtq) (Grafik 5.2). Berdasarkan jumlah lembar yang dimusnahkan, yang paling banyak
adalah pecahan Rp1,000, Rp50,000, Rp5,000, dan Rp20,000 masing-masing sebesar 34%, 25%, 13%,
dan 11%.
80
BAB 5. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 5.2. Perkembangan PTTB Kantor Bank Indonesia Bandung
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
TW. I TW. II TW. III TW. IV TW. I TW. II TW. III TW. IV TW. I
2008 2009 2010
Lem
bar
Sumber: BI Bandung
1.3. Uang Palsu
Selama triwulan I-2010, BI Bandung telah menemukan uang rupiah palsu di wilayah kerjanya
sebanyak 1,451 lembar atau turun 794 lembar dibandingkan triwulan sebelumnya. Pecahan uang
palsu yang paling banyak ditemukan selama triwulan I-2010, adalah uang kertas pecahan Rp50,000 dan
Rp100,000 masing-masing sebesar 44% dan 32% dari total lembar uang palsu yang ditemukan.
Meskipun demikian, BI Bandung terus berupaya menekan perkembangan peredaran uang palsu,
diantaranya melalui sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada semua lapisan masyarakat,
menyediakan sarana informasi hotline service, serta iklan layanan masyarakat.
2. SISTEM PEMBAYARAN NON TUNAI
2.1 Kliring lokal
Pada triwulan I-2010, transaksi sistem pembayaran non tunai melalui kliring di wilayah Jawa
Barat, mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Rata-rata volume transaksi
kliring per bulan pada triwulan I-2010, adalah sebanyak 488,719 warkat, meningkat sebesar 1,51% (qtq)
namun secara tahunan turun 3,09% (yoy). Rata-rata nominal transaksi kliring per bulan pada triwulan I-
2010 turun 8,01% (qtq) namun secara tahunan meningkat 8,27% (yoy) menjadi Rp10,76 triliun (Tabel
5.2).
Tabel 5.2. Perkembangan Transaksi Kliring Lokal Rata-rata per Bulan di Jawa Barat
2010TW I TW II TW III TW IV TW I qtq yoy
Nominal (Rp Triliun) 9,94 10,38 10,64 11,70 10,76 -8,01 8,27Volume (Lembar) 504.311 476.875 484.106 481.440 488.719 1,51 -3,09
Pertumbuhan (%)Keterangan
2009
Sumber: Bank Indonesia
81
BAB 5. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
82
2.2 Real Time Gross Settlement (RTGS)
Transaksi RTGS masih mendominasi sistem pembayaran non tunai di Jawa Barat. Hal ini
disebabkan BI RTGS mempunyai keunggulan dalam kecepatan penyelesaian transaksi (seketika) dan risiko
penyelesaian transaksi yang dapat diperkecil. Perkembangan penyelesaian transaksi RTGS per bulan (dari
dan ke Jawa Barat), selama triwulan I-2010, secara nominal mengalami peningkatan, namun secara
volume turun dibandingkan triwulan sebelumnya. Selama triwulan I-2010, rata-rata nominal transaksi
RTGS per bulan adalah sebesar Rp52,52 triliun atau tumbuh 7,05% (qtq). Di sisi lain, rata-rata volume
transaksi RTGS per bulan adalah sebanyak 78,761 transaksi atau turun 1,10% (qtq) (Tabel 5.3). Total
nominal dan volume transaksi RTGS pada triwulan I-2010, masing-masing sebesar Rp157,56 triliun dan
236,283 transaksi.
Tabel 5.3. Perkembangan Transaksi RTGS di Jawa Barat
Nominal (Triliun Rp)
VolumeNominal
(Triliun Rp)Volume
Nominal (Triliun Rp)
Volume
Januari 17,58 25.993 24,19 33.736 41,77 59.729Februari 18,33 29.266 22,77 34.240 41,10 63.506Maret 18,73 31.282 28,97 34.346 47,70 65.628 Rata2 Tw I-09 18,21 28.847 25,31 34.107 43,52 62.954 April 20,58 31.562 27,91 32.396 48,49 63.958Mei 16,52 28.440 23,16 36.509 39,68 64.949Juni 21,33 31.807 29,14 35.819 50,47 67.626 Rata2 Tw II-09 19,48 30.603 26,74 34.908 46,21 65.511 Juli 25,54 36.708 32,92 46.480 58,46 83.188Agustus 19,18 32.520 30,45 47.482 49,63 80.002September 20,17 30.164 31,27 39.591 51,44 69.755Rata2 Tw III-09 21,63 33.130,667 31,55 44.518 53,18 77.648 Oktober 15,72 30.323 25,30 34.783 41,01 65.106November 17,32 31.508 28,52 41.202 45,84 72.710Desember 22,63 42.739 37,70 58.364 60,33 101.103Rata2 Tw IV-09 18,56 34.856,667 30,50 44.783 49,06 79.640 Januari 20,10 36.239 32,85 46.175 52,96 82.414Februari 20,35 20.319 31,11 39.570 51,47 59.889Maret 20,32 41.278 32,81 52.702 53,13 93.980 Rata2 Tw I-10 20,26 32.612 32,26 46.149 52,52 78.761 Pertumbuhan 9,19% -6,44% 5,75% 3,05% 7,05% -1,10%
Keluar Masuk Keluar + MasukBulan
Sumber: Bank Indonesia
BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
BAB 6 PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
84
BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
Seiring dengan semakin bergeraknya perekonomian Jawa Barat pada triwulan laporan, kondisi
ketenagakerjaan di Jawa Barat juga terus menunjukkan perbaikan. Dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya, jumlah penyerapan tenaga kerja baru diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan I-
2010, terutama pada sektor pertanian dan PHR.
Sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan, tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat juga
diperkirakan terus meningkat. Kondisi tersebut didasarkan atas beberapa indikator, seperti tren
kenaikan Indeks Penghasilan, Nilai Tukar Petani (NTP), serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa
Barat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat itu salah satunya didorong oleh bergeraknya kembali
aktivitas perekonomian ke arah pemulihan ekonomi, setelah sempat dihantam oleh krisis keuangan
global.
1. KETENAGAKERJAAN
Keadaan Ketenagakerjaan Jawa Barat
Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat, memasuki tahun 2010, diperkirakan masih
menunjukkan perkembangan yang positif. Tenaga kerja baru diperkirakan masih banyak terserap
oleh beberapa sektor di Jawa Barat. Berdasarkan survei yang dilakukan, jumlah pelaku usaha yang
menyatakan melakukan penambahan jumlah tenaga kerja masih meningkat. Hal ini tercermin dari nilai
SBT indikator jumlah karyawan pada triwulan I-2010, yang masih bernilai positif, yaitu 1,72.
Berdasarkan lapangan usahanya, sektor pertanian merupakan sektor yang melakukan penambahan
jumlah tenaga kerja terbesar, yang tercermin dari naiknya nilai SBT indikator jumlah karyawan, dari 0,63
pada triwulan IV-2009 menjadi 1,23 pada triwulan I-2010. Kenaikan tersebut diperkirakan terjadi karena
mulai terjadinya panen pada periode tersebut di beberapa daerah Jawa Barat, sehingga membutuhkan
tenaga yang lebih besar sebagai buruh tani untuk mengerjakan panen tersebut. Kondisi serupa juga
terjadi pada sektor PHR yang diperkirakan juga menyerap tenaga kerja yang lebih besar pada triwulan I-
2010.
Grafik 6.1. Indikator Jumlah Karyawan
-7,79
-10,39
1,6
-1,43
4,754,2
1,76
-6,47
2,3
-1,61
4,76
2,681,72
-12
-6
0
6
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I
2007 2008 2009 2010
SBT
Total Sektor Pertanian Industri Pengolahan PHR
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha, KBI Bandung
85
BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
Walaupun dibayang-bayangi oleh isu terjadinya gelombang PHK sebagai dampak negatif implementasi
ACFTA, kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat diperkirakan masih relatif stabil. Kesimpulan tersebut
didapat berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KBI Bandung terhadap 75 industri yang bergerak di
bidang TPT. Hampir setengah dari total responden menyatakan akan tetap mempertahankan jumlah
tenaga kerja yang dimilikinya. Sementara itu, jumlah responden yang menyatakan akan mengurangi
tenaga kerjanya hampir sama besarnya dengan jumlah responden yang menyatakan akan menambah
tenaga kerjanya. Kondisi tersebut diperkirakan terjadi karena pelaku usaha masih merasakan optimisme
akan kinerja usahanya pasca implementasi ACFTA. Selain itu, ancaman ACFTA tidak serta merta
mendorong pelaku usaha untuk mengurangi tenaga kerjanya, karena mereka lebih memilih untuk
melakukan efisiensi biaya operasional terlebih dahulu, sebagai opsi pertama yang dilakukan pelaku usaha
untuk mempertahankan kelangsungan usaha (lihat Boks 1. Dampak ACFTA terhadap Kinerja Industri
Tekstil dan Produk Tekstil).
Dari sisi penghasilan tenaga kerja, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengizinkan penangguhan penerapan
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2010 kepada 40 perusahaan di Jawa Barat, dari total 48
perusahaan yang mengajukan penangguhan. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan tahun 2009,
yakni 69 perusahaan yang disetujui dari 83 perusahaan yang mengajukan penangguhan. Perusahaan
yang disetujui untuk melakukan penangguhan penerapan UMK pada tahun 2010 bergerak di industri TPT
(25), alas kaki (3), kertas dan produk kertas (3), elektronik (2), bahan logam (2), kayu/rotan (2), produk
pangan (1), kimia (1), dan karoseri (1). Sementara itu, perusahaan yang usulan penangguhannya ditolak
bergerak di industri TPT (7) dan kayu (1).
2. KESEJAHTERAAN
Sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan,
tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa
Barat diperkirakan meningkat di awal tahun
2010. Hal ini terjadi karena tingkat penghasilan
masyarakat Jawa Barat memiliki kecenderungan
untuk meningkat. Walaupun sempat menurun
pada Februari 2010, Indeks Penghasilan Saat Ini
meningkat sejak Maret 2010, bahkan mencapai
level optimis (Grafik 6.2). Kenaikan ini merupakan
dampak dari bergeraknya aktivitas perekonomian
Jawa Barat akibat pemulihan perekonomian.
Grafik 6.2. Indeks Penghasilan dan Indeks
Ekspektasi Penghasilan
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2008 2009 2010
Penghasilan saat ini Ekspektasi penghasilan Garis 100
Sumber: Survei Konsumen, KBI Bandung
Kesejahteraan masyarakat petani juga terindikasikan meningkat. Kondisi ini tercermin dari rata-rata Nilai
Tukar Petani (NTP) Jawa Barat selama triwulan I-2010 yang sebesar 98,3, lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya, yang tercatat sebesar 98,0. Kedua komponen, baik Indeks yang Diterima Petani (IT)
maupun Indeks yang Dibayar Petani (IB) mengalami peningkatan, namun karena kenaikan IT lebih besar
dibandingkan kenaikan IB, maka terjadi kenaikan NTP pada triwulan I-2010. Adapun kenaikan IB
86
BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAERAH
87
terutama datang dari naiknya indeks harga bahan makanan dan kesehatan (untuk kelompok konsumsi
rumah tangga), serta harga penambahan barang modal (untuk kelompok biaya produksi dan
penambahan barang modal).
Tabel 6.1. Nilai Tukar Petani di Jawa Barat (2007 = 100) No. Sektor, Kelompok, & Subkelompok Tw.I-09 Tw.II-209 Tw.III-09 Tw.IV-09 Tw.I-101 Indeks harga yang diterima petani 116,4 117,2 120,6 122,4 125,1 2 Indeks harga yang dibayar petani 120,2 121,8 123,4 124,9 127,3
2.1. Konsumsi Rumah Tangga 121,9 123,5 125,3 127,0 129,6
- Bahan Makanan 123,3 122,8 124,7 126,7 130,1
- Makanan Jadi 117,1 119,8 121,0 122,7 125,5
- Perumahan 132,3 138,0 141,0 141,9 143,6
- Sandang 114,9 118,0 121,2 122,7 123,7
- Kesehatan 113,9 117,5 119,0 121,0 124,0
- Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 112,9 116,5 118,3 119,2 120,1
- Transportasi & Komunikasi 113,2 112,2 112,4 113,0 113,8
2.2. Biaya Produksi & Penambahan Barang Modal 115,2 116,6 117,6 118,6 120,2
- Bibit 113,9 115,4 116,6 117,8 119,5
- Obat-obatan & Pupuk 111,6 112,1 112,5 113,4 115,3
- Sewa Lahan, Pajak & Lainnya 112,0 116,7 117,2 117,7 118,6
- Transportasi 114,1 113,8 113,7 115,7 116,6
- Penambahan Barang Modal 117,7 119,1 120,7 122,8 125,2
- Upah Buruh Tani 116,7 118,1 119,4 120,6 122,0
3 Nilai tukar petani (NTP) 96,9 96,2 97,7 98,0 98,3 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Angka Indikator Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat juga mengalami kenaikan hingga akhir tahun
2009. IPM ini juga sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat Jawa Barat, karena
berperan sebagai salah satu tolak ukur kemajuan masyarakat di suatu daerah. IPM ini sendiri terdiri atas
tiga komponen, yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, serta Indeks Daya Beli. Pada tahun 2009, IPM
Jawa Barat tercatat sebesar 71,5, dan tergolong dalam kategori “sedang”. Pencapaian tersebut
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 yang tercatat sebesar 71,1.
Grafik 6.3. Nilai Tukar Petani
100
110
120
130
140
80
90
100
5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2008 2009 2010
NTP (LHS) Indeks yang diterima petani (RHS)
Indeks yang dibayar petani (RHS) Sumber: BPS Jawa Barat
Grafik 6.4. Indeks Pembangunan Manusia
69,1
69,970,3
71,171,5
67
68
69
70
71
72
2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: BAPPEDA Jabar
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
89
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
90
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
91
1. PROSPEK EKONOMI MAKRO
Kinerja perekonomian Jawa Barat diperkirakan kembali terindikasikan meningkat pada
triwulan II-2010. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada periode tersebut diperkirakan mencapai
5,8% s.d. 6,2% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan I-2010 yang
diperkirakan sebesar 5,8% (yoy). Akselerasi
perekonomian tersebut didukung terutama
oleh semakin membaiknya permintaan
eksternal dan domestik. Pemulihan
perekonomian global yang lebih cepat
dibandingkan perkiraan sebelumnya
mendorong proyeksi pertumbuhan ekonomi
dunia lebih tinggi lagi1.
Peningkatan perkiraan perekonomian Jawa
Barat salah satunya tercermin dari
meningkatnya ekspektasi para pelaku usaha di
Jawa Barat dalam memandang kinerja usaha
mereka di triwulan II-2010 (Grafik 7.1).
Dari sisi permintaan, peningkatan perekonomian Jawa Barat pada triwulan II-2010 ditopang oleh
meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta investasi. Semakin bergeraknya aktivitas
perekonomian, terutama akibat masuknya puncak panen raya padi pada triwulan II-2010 serta
meningkatnya ekspor, mendorong kenaikan pendapatan masyarakat, sehingga mendorong pula
aktivitas konsumsi rumah tangga. Kondisi ini terindikasikan dari tren peningkatan Indeks Keyakinan
Konsumen (Grafik 7.2) serta Indeks Ekspektasi Konsumen (Grafik 7.3).
Grafik 7.2. Indeks Keyakinan Konsumen
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
2007 2008 2009 2010
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Garis 100
Sumber: Survei Konsumen BI Bandung
Grafik 7.3. Indeks Ekspektasi Konsumen
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2008 2009 2010
Ekspektasi penghasilan Ekspektasi kondisi perekonomian
Garis 100 Ekspektasi ketersediaan Lap. Kerja
Sumber: Survei Konsumen BI Bandung
1 IMF meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2010, dari 3,9% (Januari 2010) menjadi 4,2% (April 2010)
Grafik 7.1. Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Dunia Usaha
-20
-10
0
10
20
30
Tw.I
Tw.II
Tw.III
Tw.IV
Tw.I
Tw.II
Tw.III
Tw.IV
Tw.I
Tw.II
Tw.III
Tw.IV
Tw.I
Tw.II*)
2007 2008 2009 2010
SBT
Total Seluruh Sektor
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
PHR
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI Bandung Keterangan: Tw.I-2007 s.d. Tw.I-2010 merupakan an ka realisasi gTw.II-2010 merupakan angka ekspektasi
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Investasi di Jawa Barat diperkirakan mengalami peningkatan pula, akibat semakin kondusifnya iklim
usaha, serta prospek bisnis yang semakin optimis, sejalan dengan tren kenaikan penjualan semen di
Jawa Barat. Di sisi lain, kinerja ekspor Jawa Barat diperkirakan masih mampu tumbuh relatif tinggi,
sebagai dampak kuatnya permintaan eksternal terhadap produk Jawa Barat. Penguatan perkiraan
pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Jawa Barat, yang mayoritas merupakan negara-
negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Cina, merupakan faktor utama yang mendorong
permintaan ekspor untuk tumbuh tinggi.
Di sisi penawaran, ketiga sektor dominan di Jawa Barat diperkirakan mendukung proyeksi peningkatan
perekonomian pada triwulan II-2010, yang tercermin dari naiknya nilai SBT ekspektasi kegiatan dunia
usaha ketiga sektor tersebut (Grafik 7.1). Meningkatnya sektor pertanian, akibat masuknya puncak
panen raya padi, merupakan salah satu penyumbang utama kenaikan perekonomian Jawa Barat pada
periode tersebut. Salah satu indikasi meningkatnya kinerja sektor pertanian adalah kenaikan luas panen
padi pada subround II (April s.d. Juli 2010). Sektor industri pengolahan, sebagai sektor dengan
kontribusi terbesar terhadap PDRB Jawa Barat, juga terindikasikan meningkat, seiring dengan
pergerakan permintaan eksternal menuju pemulihan dan relatif tingginya pertumbuhan impor barang
modal. Sementara itu, sektor PHR, terutama sektor perdagangan, juga diperkirakan tumbuh
meningkat. Hal ini dodorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, serta kegiatan perdagangan
produk pertanian pasca panen raya padi.
2. PRAKIRAAN INFLASI
Inflasi Jawa Barat pada triwulan II-2010 masih
relatif terkendali. Namun demikian, laju inflasi
diprakirakan meningkat dibandingkan triwulan I-
2010, yakni dari 2,99% (yoy) menjadi berkisar
antara 3,5% s.d. 4,1% (Grafik 7.2). Faktor
pendorong kenaikan laju inflasi tahunan antara lain
adalah tekanan dari sisi eksternal (laju inflasi negara
mitra dagang utama) dan permintaan sejalan
dengan pemulihan ekonomi global. Sementara itu,
pasokan bahan pangan diperkirakan masih cukup
baik dan ekspektasi inflasi relatif terjaga.
Grafik 7.4. Perkembangan dan Prakiraan Inflasi Jawa Barat Triwulan II-2010
4,15 4,023,14
0,15 0 -0,151,87
0,290,96 0,7
6,88
10,8312,3
11,11
7,45
3,131,87 2,02
2,993,85
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II*
2008 2009 2010
%
Inflasi (qtq) Inflasi (yoy)
Keterangan: *) Proyeksi KBI Bandung Sumber: BPS, diolah
Terkendalinya laju inflasi tahunan, juga disebabkan oleh penurunan laju inflasi Jawa Barat secara
triwulanan. Jawa Barat diprakirakan mengalami inflasi pada kisaran 0,6%-0,9% (qtq) pada triwulan II-
2010 dari 0,96% pada triwulan I-2010. Hal ini disebabkan oleh pasokan bahan pangan yang telah
kembali normal dan membaiknya ekspektasi inflasi masyarakat. Namun demikian, potensi tekanan
inflasi berasal dari kebijakan pemerintah menaikkan HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk bersubsidi dan
tekanan permintaan faktor musiman masa libur sekolah.
92
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Faktor Fundamental
Ekspektasi konsumen terhadap harga barang dan
jasa di Jawa Barat membaik. (Grafik 7.3). Jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
ekspektasi harga konsumen mengalami perbaikan
disebabkan oleh nilai tukar rupiah pada awal
tahun terapresiasi dan level inflasi masih relatif
rendah. Namun demikian, perbaikan ekspektasi
inflasi relatif tertahan akibat pemberitaan di media
massa terkait rencana pemerintah menaikkan HET
pupuk bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Grafik 7.5. Ekspektasi Konsumen Terhadap Harga Barang dan Jasa di Kota Bandung
100110120
130140150160170
180190200
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
Tw.IVTw.I Tw.IITw.IIITw.IVTw.I Tw.IITw.IIITw.IV Tw.I Tw.IITw.IIITw.IVTw.I Tw.II
2007 2008 2009 2010
SB% (inflasi)
Inflasi (qtq) SK* SK** Sumber: SK-BI Bandung; BPS Jawa Barat. Keterangan: SK*=Ekspektasi terhadap harga pada 3 bulan sebelumnya; SK**= Ekspektasi terhadap harga pada 6 bulan sebelumnya
Beberapa negara mitra dagang utama menunjukkan tren kenaikan laju inflasi. Hal ini berpotensi
meningkatkan harga bahan baku maupun impor yang digunakan oleh industri. Selain itu, harga
komoditas strategis di pasar internasional cenderung naik sebagaimana yang ditunjukkan oleh
perkembangan harga minyak dunia yang cenderung meningkat sejalan dengan pemulihan
perekonomian global.
Pemulihan perekonomian global diduga turut mendorong tekanan permintaan Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi negara maju diprakirakan meningkat dan perekonomian negara-negara di
kawasan Asia diprakirakan menjadi penggerak utama pemulihan ekonomi global. Dalam jangka
menengah, pertumbuhan ekonomi negara maju berpotensi kembali ke tingkat sebelum krisis global.
Faktor Non Fundamental
Pasokan bahan pangan diperkirakan masih cukup baik. Jawa Barat telah melewati musim hujan
sehingga pasokan sayur-sayuran tidak mudah membusuk dan hama tanaman relatif sedikit. Selain itu,
stok beras masih mencukupi sebagaimana yang dilaporkan oleh Bulog Jawa Barat bahwa hingga awal
bulan April cadangan beras yang dimiliki adalah sebesar 219.000 ton atau ketahanan stok 5 bulan ke
depan.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah menaikkan HET pupuk bersubsidi dapat menyebabkan naiknya
ekspektasi harga beras oleh pedagang. Meskipun hingga bulan April petani padi belum terlalu
merasakan kenaikan HET pupuk bersubsidi, namun kebijakan tersebut dapat direspon negatif oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab. FKPI (Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi) Jawa Barat telah
berupaya untuk mengantisipasi aksi oknum yang melakukan penimbunan pupuk bersubsidi melalui
koordinasi pengawasan antara KP3 dan Kepolisian.
93
BAB 7. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Halaman ini sengaja dikosongkan
94
LAMPIRAN
95
LAMPIRAN
LAMPIRAN
96
LAMPIRAN
97
1. EKONOMI MAKRO
Tabel 1.A. Perkembangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat Menurut Sektor Ekonomi (Triliun Rupiah)
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)Pertanian 11,01 8,23 9,05 8,10 11,38 9,08 10,18 9,47 11,45
Pertambangan & Penggalian 1,45 1,49 1,73 1,72 1,72 1,78 1,92 2,00 1,89
Industri Pengolahan 31,16 33,47 34,26 35,08 31,59 32,94 33,40 34,44 33,28
Listrik, Gas, & Air Bersih 1,52 1,48 1,50 1,54 1,58 1,65 1,83 1,97 1,86
Bangunan / Konstruksi 2,24 2,27 2,62 2,60 2,33 2,46 2,68 2,83 2,55
PHR 13,37 14,04 14,82 14,71 14,25 14,98 16,66 16,82 15,45
Pengangkutan & Komunikasi 3,07 3,08 3,15 3,10 3,18 3,27 3,48 3,44 3,60
Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaa 2,09 2,25 2,42 2,31 2,14 2,35 2,55 2,58 2,22
Jasa-jasa 4,69 4,68 4,82 4,87 4,82 4,87 4,98 5,01 4,90
PDRB 70,59 71,01 74,38 74,02 72,98 73,39 77,68 78,56 77,20
Sektor2008 2009 2010
*) Proyeksi KBI Bandung
Tabel 1.B. Perkembangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat Menurut Jenis Penggunaan (Triliun Rupiah)
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*)Konsumsi rumah tangga 45,64 45,93 47,73 48,00 48,89 48,60 50,60 49,69 50,55
Konsumsi pemerintah 3,15 4,11 4,71 6,19 3,78 4,44 4,95 6,26 3,91
Pembentukan Modal Tetap Bruto 12,35 12,59 13,28 13,46 11,61 12,03 13,23 13,63 11,94
Perubahan Inventori 1,85 1,83 1,90 1,86 2,20 2,43 2,80 3,07 2,12
Diskrepansi Statistik 3,03 1,21 (0,62) 1,12 3,71 (2,95) (3,31) (3,60)
Ekspor 31,18 29,28 29,18 28,86 25,25 32,11 32,49 32,98 33,48
Impor 26,62 23,94 21,81 25,50 22,47 23,26 23,07 23,42 24,80
PDRB 70,59 71,01 74,38 74,02 72,98 73,38 77,68 78,56 77,20
2009Komponen
2008 2010
*) Proyeksi KBI Bandung
2. INFLASI
Tabel 2.A. Perkembangan Inflasi IHK Tahun Dasar 2007 Bulanan (mtm) di Jawa Barat Menurut Kota dan Kelompok Barang dan Jasa Bulan Januari 2010 (%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 1,88 1,85 0,38 2,11 2,11 1,87 4,21 1,59
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,32 2,52 2,24 0,64 1,23 0,33 0,10 1,41
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,21 0,16 0,44 0,00 0,30 0,64 0,51 0,25
4 Sandang -0,18 2,15 -
0,28 -
0,22 -
0,47 1,66 0,20 0,48
5 Kesehatan 0,22 0,38 -0,02 0,00 0,23 0,28 0,08 0,18
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,12 0,00 0,87 0,00 0,02 0,00 0,06 0,25
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,12 0,06 0,03 0,01 0,05 0,00 -
0,12 0,06
Umum 0,55 1,10 0,63 0,70 0,84 0,83 1,02 0,77 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Keterangan: Bd= Bandung, Bks=Bekasi, Dpk=Depok, Bgr=Bogor, Cn=Cirebon, Skbm=Sukabumi, Ts=Tasikmalaya
LAMPIRAN
Tabel 2.B. Perkembangan Inflasi IHK Tahun Dasar 2007 Bulanan (mtm) di Jawa Barat Menurut Kota dan Kelompok Barang dan Jasa Bulan Februari 2010 (%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 0,79 1,54 1,21 0,70 0,47 0,06 2,31 1,09
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,08 0,99 0,30 -0,27 0,06 0,33 0,16 0,36
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,07 0,07 0,16 -0,06 -0,08 0,05 0,28 0,08
4 Sandang 0,08 0,08 -0,50 -0,16 -0,87 0,64 -0,11 -0,08
5 Kesehatan 0,16 0,06 0,11 0,03 0,01 0,00 0,14 0,10
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,00 0,25 -0,03 0,00 0,00 -0,03 0,05 0,07
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,26 0,12 0,03 0,13 0,02 0,01 0,12 0,13
Umum 0,26 0,65 0,36 0,14 0,07 0,13 0,61 0,38 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat.
Tabel 2.C Perkembangan Inflasi IHK Tahun Dasar 2007 Bulanan (mtm) di Jawa Barat Menurut Kota dan Kelompok Barang dan Jasa Bulan Maret 2010 (%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan -0,57 -2,12 -1,27 -0,28 -2,53 -1,32 -1,79 -1,28
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,55 -0,26 0,08 -0,30 -0,03 0,25 0,16 0,10
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,01 0,21 0,06 1,58 0,21 -0,04 0,23 0,24
4 Sandang 0,13 1,05 0,66 0,20 -0,24 -0,51 -0,10 0,45
5 Kesehatan 0,01 0,49 -0,16 0,13 0,00 0,17 -0,05 0,11
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,00 0,08 0,01 0,00 -0,01 -0,21 -0,41 0,01
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,30 0,05 0,10 -0,04 0,04 0,01 0,10 0,12
Umum 0,03 -0,48 -0,24 0,26 -0,54 -0,34 -0,30 -0,19 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat.
Tabel 2.D. Perkembangan Inflasi IHK Tahun Dasar 2007 Triwulanan (qtq) di Jawa Barat Menurut Kota dan Kelompok Barang dan Jasa Triwulan I-2010 (%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 2,09 1,23 0,30 2,53 -0,01 0,60 4,72 1,39
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,95 3,27 2,63 0,06 1,26 0,92 0,42 1,88
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar
0,29 0,45 0,66 1,52 0,43 0,65 1,02 0,58
4 Sandang 0,03 3,30 -0,13 -0,19 -1,57 1,78 -0,01 0,85
5 Kesehatan 0,39 0,92 -0,06 0,15 0,24 0,45 0,17 0,40
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,12 0,33 0,85 0,00 0,01 -0,24 -0,30 0,33
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,68 0,23 0,15 0,10 0,10 0,02 0,10 0,31
Umum 0,84 1,26 0,75 1,11 0,36 0,61 1,33 0,96 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat.
98
LAMPIRAN
99
Tabel 2.E. Perkembangan Inflasi IHK Tahun Dasar 2007 Tahun Kalender (yoy) di Jawa Barat Menurut Kota dan Kelompok Barang dan Jasa Bulan Maret 2010 (%)
Kota No. Kelompok
Bd Bks Dpk Bgr Cn Skbm Tsm Gab.
1 Bahan makanan 3,96 2,85 5,24 1,25 3,58 -1,49 7,09 3,42
2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 5,39 8,54 6,50 5,09 5,30 5,17 6,98 6,52
3 Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 1,97 0,45 1,52 2,34 2,31 7,06 5,42 1,75
4 Sandang -1,74 6,23 0,68 2,74 2,00 -1,91 -0,03 1,32
5 Kesehatan 2,20 4,21 0,30 7,93 2,53 1,02 1,77 2,74
6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 3,71 3,85 4,40 2,58 7,01 2,42 0,86 3,80
7 Transpor, komunikasi dan jasa keuangan
1,09 0,68 -0,36 0,54 2,29 0,83 0,43 0,53
Umum 2,86 3,20 2,96 2,47 3,54 2,41 4,74 2,99 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat.
3. DATA PERBANKAN
Tabel 3.A. Indikator Bank Umum di Jawa Barat Posisi bulan Maret 2010 (Rp Triliun) Bank Umum Konvensional
2010
Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I q-t-q y-o-y
Total Aset 133,59 139,72 145,03 154,91 162,80 170,85 178,02 181,92 187,08 2,84% 14,92%
DPK 101,76 105,98 107,03 117,76 123,03 126,97 129,53 133,28 131,18 -1,57% 6,63%
Kredit bank pelapor 70,98 77,92 82,86 87,35 87,58 95,45 98,77 102,62 109,17 6,38% 24,65%
Kredit lokasi proyek 127,22 135,29 147,46 163,33 162,54 171,39 174,16 177,76 181,00 1,82% 11,36%
LDR % 69,75 73,52 77,42 74,18 71,19 75,17 76,25 77,00 83,22
Rasio NPLs (%) 3,78 3,63 3,57 3,52 3,99 3,91 3,82 3,37 3,66
Kredit MKM (triliun Rp) 55,82 60,77 63,85 65,27 66,18 71,97 75,29 78,04 83,41 6,88% 26,04%
Pangsa Kredit MKM 79% 78% 77% 75% 76% 75% 76% 76% 76%
Rasio NPL MKM gross (%) 3,71 3,55 3,32 3,06 3,69 3,62 3,60 3,23 3,47
PertumbuhanIndikator
2008 2009
Sumber: LBU KBI Bandung
Bank Umum Syariah 2010
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I*) qtq yoy
Total Aset (Rp Triliun) 4,10 4,73 4,91 5,25 5,23 5,66 5,61 6,57 6,50 -1,05% 24,29%
DPK (Rp Triliun) 3,21 3,73 3,65 3,97 4,09 4,49 3,72 4,05 4,77 8,97% 2,02%
Pembiayaan (Rp Triliun) 2,84 3,07 3,37 3,43 3,41 3,53 4,38 4,63 5,07 5,60% 34,89%
- FDR (%) 88,40 82,28 92,21 86,26 86,26 78,50 84,83 84,52 1,06
NPF (%) 5,63 5,14 4,81 3,55 2,92 3,31 4,01 3,13 4,38
*) Posisi bulan Februari 2010
IndikatorPertumbuhan2008 2009
Sumber: LBU KBI Bandung
DAFTAR ISTILAH
101
DAFTAR ISTILAH
Administered price
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya diatur oleh pemerintah.
Andil inflasi Sumbangan perkembangan harga suatu komoditas/kelompok barang/kota terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan.
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Bobot inflasi Besaran yang menunjukkan pengaruh suatu komoditas terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan, yang diperhitungkan dengan melihat tingkat konsumsi masyarakat terhadap komoditas tersebut.
Dana Perimbangan
Sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah.
Faktor Fundamental
Faktor fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yakni interaksi permintaan-penawaran atau output gap, eksternal, serta ekspektasi inflasi masyarakat
Faktor Non Fundamental
Faktor non fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang berada di luar kewenangan otoritas moneter, yakni produksi maupun distribusi bahan pangan (volatile foods), serta harga barang/jasa yang ditentukan oleh pemerintah (administered price)
Imported inflation Salah satu disagregasi inflasi, yaitu inflasi yang berasal dari pengaruh perkembangan harga di luar negeri (eksternal)
Indeks Ekspektasi Konsumen
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap ekspektasi kondisi ekonomi 6 bulan mendatang, dengan skala 1–100.
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Sebuah indeks yang merupakan ukuran perubahan rata-rata harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat pada suatu periode tertentu.
Indeks Kondisi Ekonomi
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan skala 1–100.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi kondisi ekonomi enam bulan mendatang, dengan skala 1–100.
Indeks Pembangunan Manusia
Ukuran kualitas pembangunan manusia, yang diukur melalui pencapaian rata-rata 3 hal kualitas hidup, yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli.
Investasi Kegiatan meningkatkan nilai tambah suatu kegiatan produksi melalui peningkatan modal.
Inflasi inti Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental
Liaison Kegiatan pengumpulan data/statistik dan informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara periodik melalui wawancara langsung kepada pelaku ekonomi mengenai perkembangan dan arah kegiatan ekonomi dengan cara yang sistematis dan didokumentasikan dalam bentuk laporan
Migas Minyak dan gas. Merupakan kelompok sektor industri yang mencakup industri minyak dan gas.
Mtm Month to month. Perbandingan antara data satu bulan dengan bulan sebelumnya.
Omzet Nilai penjualan bruto yang diperoleh dari satu kali proses produksi.
PDRB Produk Domestik Regional Bruto. Pendapatan suatu daerah yang mencerminkan
DAFTAR ISTILAH
102
hasil kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah tertentu.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi suatu daerah seperti hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.
Perceived risk Persepsi risiko yang dimiliki oleh investor terhadap kondisi perekonomian sebuah negara
Qtq Quarter to quarter. Perbandingan antara data satu triwulan dengan triwulan sebelumnya.
Saldo Bersih Selisih antara persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “meningkat” dengan persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “menurun” dan mengabaikan jawaban “sama”.
SBT Saldo Bersih Tertimbang. Nilai yang diperoleh dari hasil perkalian saldo bersih sektor/subsektor yang bersangkutan dengan bobot sektor/subsektor yang bersangkutan sebagai penimbangnya.
Sektor ekonomi dominan
Sektor ekonomi yang mempunyai nilai tambah besar sehingga mempunyai pengaruh dominan pada pembentukan PDRB secara keseluruhan.
Volatile food Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya sangat bergejolak karena faktor-faktor tertentu.
West Texas Intermediate
Jenis minyak bumi yang menjadi acuan untuk transaksi perdagangan minyak dunia.
Yoy Year on year. Perbandingan antara data satu tahun dengan tahun sebelumnya.