Kajian Birokrasi dan Politik

download Kajian Birokrasi dan Politik

of 10

description

Birokrasi Weberian, Kepolitikan Birokrasi, New Public Management, New Public Service.

Transcript of Kajian Birokrasi dan Politik

Kajian Birokrasi dan Politik

Deddy Prasetya Maharani Moch. Ninja Jaka Putra Rizkal Ula Patriot Mariefulsyah Meyrza Ashrie Tristyana

070913001 070913006 070913014 070913028 070913042

Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS AIRLANGGA 2011

1. Birokrasi Weberian Birokrasi yang dikemukakan oleh Marx Weber pada masanya merupakan salah satu model birokrasi yang ideal, yang pada saat itu dikemukakan oleh Weber beranggapan bahwa adanya keterbatasan dalam birokrasi karena tidak memiliki seluruh aspek-aspek yang ada dalam birokrasi dan keterbatasan informasi dan lain-lain. Birokrasi Weberian hanya menekankan pada bagaimana seharusnya mesin birokrasi secara profesional dan rasional dijalankan. Weber juga berpendapat bahwa proses biriokrasi yang seperti itu bukannya menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi dan bukan pula menghasilkan deskripsi yang benar tntang konsep birokrasi secara keseluruhan. Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan secara rasional. rasional dan aspek pemahaman inilah yang merupakan kunci dari konsep biokrasi Weberian. Menurut Weber tipe ideal birokrasi dilakukan dengan cara berikut: a. Pejabat secara individual bebas, tetapi dibatasi jabatan apabila ia menjalankan tugastugas. Dengan kata lain pejabat tidak bebas menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi/keluarga b. Jabatan tersebut disusun dalam tingkatan-tingkatan hirarki yang sah c. Tugas dari masing-masing jabatan berbeda atau secara spesifik berbeda satu dengan yang lainnya. d. Setiap pejabat memiliki kontrak jabatan atau tugas yang harus dijalankan, kewajiban yang harus dilaksanakan e. Adanya seleksi trhadap pejabat berdasarkan profesionalitasnya, dilakukan melalui ujian kompetitif f. Setiap pejabat memiliki gaji sesuai dengan tngkatannya termasuk hak untuk menerima tunjangan pensiunan, hal ini juga diadakan promosi jabatan bagi pejabat yang kinerjanya baik, atau adanya reward dan punisment g. Terdapat struktur pengembanagan karir yang jelas, untuk memprmudah kerja dan peomosoi jabatan serta merit sesuai dengan pertimbanagan yang objektif h. Pejabat tidak dibenarkan menjalankan jabatan dan resources intansinya untuk kepentingan keluarga i. Jabatan berada dalam pengendalian sistem yang silaksanakan secara disiplin Birokrasi weberian banyak ditentang oleh ahli pada abad ini karena tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Weber karena pada saat itu Weber mengemukakan dengan pandangan tanpa adanya politik atau dalam kondisi tenang. Diantaranya David Beetham, ia mengatakan politik bisa mempengaruhi birokrasi, sehingga di zaman yang modern sekarang dengan politik yang kebanyakan mementingkan golongan/kelompok tertentu maka birokrasi Weberian tidak dapat terwujud dengan baik. Ada kalangan ahli yang menekankan bahwa orientasi birokrasi weberian hanya terbatas pada bagaimana sistem administrasi dan organisasi diatur secara rasional. Dengan kata lain Weber hanya melihat hal-hal dalam organisasi sendiri (in word looking) bukan melihat faktor-faktor luar (out word looking) yang mempengaruhi sistem birokrasi tersebut.

2. Kepolitikan Birokrasi Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan. Menurut Etzioni-Havely, birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuas aan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik. Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerin tah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik. Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah demokrasi yang normatif. Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi politik sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut. Seorang pemimpin eksekutif dalam relasinya dengan bawahannya yang merupakan unit mapan bernama birokrasi memiliki setidaknya beberapa kepentingan, pertama adalah current survival, mereka harus bisa bertahan diposisinya sampai jabatannya berakhir, kedua effective goverment dimana mereka harus memerintah dengan efektif, menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan prestasi yang dapat membuat para pemilih memilih mereka kembali pada pemilihan berikutnya, dan ketiga adalah creation of loyal machine dimana eksekutif perlu membuat organisasi politik dengan kesetiaan personal yang tinggi.

Politik terwujud sebagai persaingan antara lingkaran birokrat-birokrat tingkat tinggi berpangkat tinggi dan perwira-perwira militer. Kepolitikan birokrasi ini menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal: a. Lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. b. Parlemen, partai politik, kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah tanpa mampu mengontrol birokrasi. c. Massa di luar birokrasi secara politik adalah pasif. Dalam prakteknya, birokrasi justru kerap digunakan sebagai alat politik kepala eksekutif yang berasal dari institusi politik untuk kepentingan konstituennya sehingga bisa ditebak kemudian bahwa kemapanan birokrasi tidak bisa lepas dari intervensi politik y ang akhirnya menjadikan birokrasi tidak netral. Selanjutnya yang terjadi adalah penempatan jabatan yang tidak bisa lepas dari berbagai kalkulasi politik pemimpin eksekutif dengan pertimbangan tiga aspek di atas: survival, effective government, dan creation of loyal political machine. Kondisi empiris banyak menunjukkan bahwa justru kepala daerah sangat sulit mempertahankan citra netralitasnya dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk di dalamnya proses rekrutmen elit di bawah kepala daerah. Bahkan tak j rang ada mobilisasi massa a secara terselubung yang bermotif agenda kerja kepala daerah. Fenomena ini akan semakin menggejala manakala momen pemilihan kepala daerah memasuki tahapan pertarungan. Di sisi lain, birokrasi sebagai sebuah sistem justru masih ken dengan nuansa patrontal client. Kecenderungan menunjukkan bahwa pejabat yang meniti karir birokrasi, tidak memiliki kuasa berhadapan dengan jabatan politis yang notabene memang dikuasi oleh nuansa politik. Ironis terlihat dalam sistem penyelenggaran pemerintahan, utamanya dalam sistem rekrutmen jabatan, masih diwarnai oleh pengaruh asal bapak senang; tendensius; dan lebih mementingkan kepentingan kedekatan. Artinya, falsafah kapabilitas dan komptensi seseorang akan dikesampingkan dengan sendirinya. Kondisi ini misalnya dapat terlihat dalam berbagai segmen. Salah satunya adalah dalam sistem rekrutmen jabatan strategis di lingkungan pemerintah daerah, baik pada level propinsi maupun level kabupaten/kota. Terkadang Kepala Daerah hanya memandang sebelah m ata analisis jabatan yang sudah dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan, sehingga penempatan jabatan lebih didominasi oleh kekuasannya, terutama untuk menempatkan pejabat pada jenjang jabatan kepala biro, dinas dan ketuabadan di lingkungan pemda setempat. Dampaknya sangat jelas terlihat, yakni aroma kepentingan dan tendensius kepala daerah dalam mengambil keputusan. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak dijumpai munculnya kasus adanya sifat serampangan dalam penempatan jabatan strategis. Dalam dimensi ini, kualitas akan dikalahkan oleh faktor kedekatan, primordialisme dan faktor faktor lainnya, yang pada akhirnya pejabat ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Inilah konsekuensi logis adanya pertautan antara birokrasi dan politis.

Dalam konteks lokal, momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi semacam taruhan bagi hubungan birokrasi dan politik. Dalam banyak kasus, kepala daerah serigkali menggunakan birokrasi sebagai alat politik yang s angat efektif. Berbagai fenomena biasanya mewarnai proses kolaborasi antara birokrasi dan politik. 3. New Public Management Negara merupakan alat masyarakat dalam rangka mempertahankan eksistensinya baik secara intern maupun ekstern. Sedangkan pemerintah merupakan alat negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, pemerintah juga merupakan alat masyarakat, yang berfungsi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Tugas pemerintah Indonesia dinyatakan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang juga merupakan tujuan nasional. Pemerintah melaksanakan pelayanan publik, baik melalui Badan Layanan Umum (BLU) ataupun non BLU, yang mana pelayanan ini bersifat non profit oriented. Di samping itu, pemerintah juga melaksanakan kegiatan yang bersifat profit oriented melalui BUMN yang menyediakan barang atau jasa kepada masyarakat, dan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang tertentu untuk mendapatkannya seperti layaknya dengan sektor swasta. Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New Public Management (NPM), yang konsepnya terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, yang mana pengukuran kinerja merupakan salah satu dari prinsip-prinsipnya. New Public Management pada awalnya lahir di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Namun, negara-negara berkembang juga sudah mulai menggunakan konsep ini, begitu juga dengan Indonesia. Tuntutan masyarakat agar sektor publik dapat meningkatkan kinerjanya semakin besar. Jika sektor publik masih menggunakan pendekatan administrasi, maka sektor publik akan tidak mampu memenuhi tuntutan itu. Oleh karena itu, organisasi sektor publik perlu mengadopsi prinsip-prinsip New Public Management. Menurut Christopher Hood, New Public Management memiliki tujuh karakteristik atau komponen utama, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Manajemen profesional di sektor publik Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja Penekanan yang lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome Pemecahan unit-unit kerja di sektor public Menciptakan persaingan di sektor public Pengadopsian gaya manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor public Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya

Penerapan New Public Management di Indonesia dapat dilihat dari penerapan beberapa karakteristik-karakteristiknya di dalam praktek-praktek yang tengah di jalankan oleh instansi-instansi pemerintahan di Indonesia.

NPM menghendaki organisasi sektor publik dikelola secara profesional. Manajemen profesional mensyaratkan ditentukannya batasan tugas pokok dan fungsi serta deskripsi yang jelas, serta juga adanya kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Beberapa instansi pemerintahan di Indonesia sekarang sudah menyadari pentingnya prosedur kerja yang jelas. Untuk itu dibuatlah SOP (System Operating Prosedure), yang menjelaskan apa yang harus dikerjakan, siapa yang mengerjakan dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, serta bagaimana melaksanakannya. Pada Direktorat Jenderal Pajak juga dibangun nilai-nilai yang menunjukkan dedikasinya yang tinggi, yaitu integritas, profesionalisme, inovasi, dan teamwork. Konsep NPM mensyaratkan organisasi memiliki tujuan yang jelas dan adanya penetapan target kinerja. Penetapan target kinerja harus dikaitkan dengan standar kinerja dan indikator kinerja. Dalam pengukuran kinerja, digunakan istilah Key Performance Indicator (KPI). KPI merupakan ukuran keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk membantu suatu organisasi menentukan dan mengukur kemajuan menuju tujuan organisasi. Berdasarkan program prioritas Roadmap 2008-2009 dan arahan Menteri Keuangan, saat ini di Departemen Keuangan telah disusun lima tema peta strategi dan KPI, yang meliputi tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN, kekayaan negara, serta pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Dalam NPM, semua sumber daya organisasi harus dikerahkan dan diarahkan untuk mencapai target kinerja, yang mana penekanannya adalah pada pencapaian hasil (outcome), bukan pemenuhan prosedur. Sebagai contoh, outcome yang diharapkan pada Direktorat Jenderal Pajak adalah pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi; tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi; tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi; serta penambahan subyek dan obyek pajak. Output dan outcome harus menjadi fokus perhatian utama organisasi. Konsep NPM menghendaki organisasi dipecah-pecah dalam unit-unit kerja. NPM menghendaki adanya desentralisasi, devolusi (pendelegasian), dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada bawahan, yang bertujuan untuk menciptakan organisasi yang lebih efisien. Di indonesia, pelaksanaan desentralisasi terlihat jelas dengan adanya otonomi daerah, yang mana daerah diberikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Kemudian, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan (UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah). Contoh lain, pada Departemen Keuangan, telah dilakukan pemisahan beberapa fungsi yaitu antara penyusun anggaran dengan pelaksana anggaran, yaitu Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, dan Ditjen Perimbangan Keuangan.

NPM menyatakan bahwa organisasi sektor publik perlu mengadopsi mekanisme pasar untuk menciptakan persaingan, yang dilakukan dengan mekanisme kontrak dan tender. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menghemat pengeluaran dan memperoleh hasil yang lebih berkualitas, serta dapat mendorong sektor swasta atau sektor ketiga (misalnya LSM) agar lebih berkembang. Contoh pelayanan publik yang dikontrakkan ke pihak ketiga adalah seperti pemungutan sampah, perawatan dan pemeliharaan aset pemerintah, pengawasan pelaksanaan kebijakan/program pemerintah, dan lain-lain. NPM atau Manajemen Berbasis Kinerja di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1999 dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dalam perkembangannya, sampai sekarang pelaksanaan New Public Management pada organisasi pemerintahan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif, yang berpengaruh pada peningkatan kinerja pemerintah. 4. New Public Service Pemahaman terhadap kebijakan publik (public policy), paling tidak berkisar pada tiga hal penting yaitu: perumusan kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan evaluasi kebijakan publik (Riant Nugroho D, 2004). Dalam kesempatan yang terbatas ini, penulis lebih fokus pada pembahasan tentang perumusan kebijakan publik. Sedangkan kata public policy yang sering kali diterjemahkan bebas dengan kebijakan publik, dalam khasanah ilmu administrasi publik dimaknai secara beragam yaitu tergantung sudut mana akan digunakan. Menurut James P. Lester (2000) kebijakan publik adalah proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didisain untuk mengatasi masalah publik, apakah hal itu riil ataukah masih direncanakan. Secara lebih sederhana kebijakan publik dapat dipahami sebagai jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Dalam konteks Indonesia cita-cita dan tujuan negara kita adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian kebijak publik adalah seluruh an prasarana dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Atau dengan kata lain kebijakan publik adalah suatu manajemen pencapaian tujuan nasional. Dari pemahaman di atas, sebetulnya kebijakan publik itu mudah dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional. Kebijakan publik juga mudah diukur, karena ukurannya sudah jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh. Namun, bukan berarti kebijakan publik itu mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan atau diawasi, karena kebijakan publik itu menyangkut faktor-faktor politik, hukum, dan lebih-lebih apabila bersinggungan dengan faktor ekonomi. Terbukti dalam kurun penyelenggaraan negara di negeri tercinta ini, kebijakan publik yang diterapkan oleh masing-masing Presidennya juga berbeda-beda, bak pelangi pagi sehabis musim hujan.

Presieden Soekarno lebih memilih jalan populis-politik, dan dapat dikatakan hasilnya masih jauh dari target, dan ia jatuh karena krisis politik. Presiden Soeharto memilih jalan pragmatis-elitis-ekonomis, dan dapat mencapai keberhasilan namun keberhasilannya rapuh di dalam dan akhirnya jatuh ketika ada krisis ekonomi. Presiden Habibi hanya melakukan stabilisasi politik agar pesawat yang sudah meluncur ke bawah tidak jatuh dan terhempas. Ia berhasil, namun tidak dapat melanjutkan karena krisis kepercayaan. Presiden Gus Dur lebih memilih jalan supra demokratis karena membiarkan semua orang berbicara dan mengerjakan apa saja yang dianggap baik. Hasilnya, Indonesia belajar untuk berdemokrasi secara absolut, meski biaya yang harus dibayar sangat mahal. Presiden Megawati secara hati-hati belajar dari kegagalan pendahulunya, namun hingga habis masa jabatannya belum menemukan dan menentukan pilihan tegas, sehingga terkesan perjalanan pembangunan Indonesia pada posisi ambigu (penuh keragu-raguan). Presiden SBY sekarang ini sedang mencoba mengawinkan jalan antara penyelenggaraan negara secara demokratis dengan mencoba menjadikan isu pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sebagai ikon utamanya. Manajemen pencapaian tujuan nasional oleh masing-masing Presiden di atas pilihannya berbeda-beda, karena tentu disesuaikan oleh kondisi riil dan kondisi obyektif yang ada. Hal ini juga akan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah. Yang jelas, perbedaan karakter pemimpin akan menyebabkan perbedaan paradigma, perbedaan paradigma akan mempengaruhi pada kebijakan publik yang diambilnya, demikian seterusnya sampai pada tataran praktis yaitu perbedaan pada tugas pelayanan publiknya. Oleh karena itu, di antara tugas-tugas penting pemerintah yang paling terpenting adalah merumuskan kebijakan publik. Ada isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang, menyangkut keselamatan bersama, berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu semacam ini biasanya dijadikan agenda politik untuk diselesaikan. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh pengelola negara dan termasuk warga negaranya. Setelah dirumuskan, kebijakan publik itu kemudian dilaksanakan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat, atau pemerintah bersama-sama masyarakat, dan stake holder lainnya. Namun di dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan setelah itu diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru dalam penilaian apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar serta telah diimplementasikan dengan baik dan benar pula. Implementasi kebijakan publik bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat. Di dalam jangka panjang kebijakan publik tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk dampak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut. Dalam perumusan kebijakan publik yang paling mendasar biasanya dikaitkan dengan tiga jenis tugas pokok yang diperlukan masyarakat, agar mereka

hidup, tumbuh, dan berkembang yaitu: tugas pelayanan publik, tugas pembangunan, dan tugas pemberdayaan. Tugas pelayanan publik adalah tugas memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau denagan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu-pun mampu menjangkaunya. Tugas ini diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui salah satu lengannya, yaitu lembaga eksekutif (pemerintah sebagai pelaksana). Tugas pembangunan adalah tugas untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dari masyarakat. Tugas ini fokus kepada upaya membangun produktivitas dari masyarakat dan mengkreasikan nilai ekonomi atas produktivitas ekonomi tersebut. Tugas pembangunan ini menjadi misi dari organisasi ekonomi/dunia usaha atau lembaga bisnis. Sedangkan tugas pemberdayaan adalah peran untuk membuat setiap warga masyarakat mampu meningkatkan kualitas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Tugas ini adalah tugas yang non-for-profit. Organisasi-organisasi nirlaba ciri utamanya adalah organisasi yang memiliki kompetensi pokok di bidang pemberdayaan. Menurut Kantor Kementerian PAN, pelayanan publik adalah seg ala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-undangan (Lihat Naskah Akademik RUU tentang Pelayanan Publik). Sedangkan menurut Komisi Hukum Nasional dalam kajiannya merilis, Pelayanan Publik adalah suatu kewajiban yang diberikan oleh Konstitusi atau Undang-undang kepada Pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atau penduduk atas suatu pelayanan (publik). Khusus terhadap tugas pelayanan umum (publik) yang diselenggrakan pemerintah tersebut, secara umum dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga macam yaitu: Pertama, pelayanan primer. Pelayanan primer adalah pelayanan yang paling mendasar atau dapat disebut juga pelayanan minimum, seperti: pelayanan kewargaan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan pelayanan ekonomi. Kedua, pelayanan sekunder yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik. Dan ketiga, pelayanan tersier yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik. Terhadap perumusan kebijakan dalam pelayanan minimum sejak awal harus dirumuskan standar pokok pelaksanaan dan standar pokok audit implementasi kebijakannya. Penentuan standar pokok pelaksanaan dan standar pokok audit implementasinya dikelompokkan lagi dalam tiga isu utama, yaitu: 1. Kebijakan dari pelayanan minimum, yaitu kebijakan yang sudah ada dan kebijakan yang akan dibuat. 2. Implementasi pelayanan minimum, terdiri dari; manusia (SDM), organisasi, infrastruktur, mekanisme, dan pembiayaan. 3. Nilai pelayanan minimum, yang terdiri dari indikator; akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan responsivitas.

Simpulan yang dapat diambil adalah bahwa tugas pemberian pelayanan minimum ini merupakan tugas pokok yang diemban oleh pemerintah dan sekaligus menjadi tolok ukur akan keberhasilan kinerja pemerintahnya. Karena itu tugas pelayanan minimum ini harus dijadikan komitmen politiknya, yang kemudian disusun dalam rancangan strategis, sistem evaluasi, sistem pendampingan, dan sitem audit secara baik dan proporsional. Satu kata kunci untuk menilai seberapa jauh pemerintah sudah melakukan standar pelayanan minimum sesuai dengan misi, standar acuan, dan standar audit terhadap tugas yang diembannya adalah terletak pada nilai akuntabilitas, karena akuntabilitas adalah ruh/jiwa dari prinsip good governance.