Hukum Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Menurut Kajian Islam
-
Upload
rekkybudiman -
Category
Documents
-
view
123 -
download
0
Transcript of Hukum Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Menurut Kajian Islam
HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM POLITIK
MENURUT KAJIAN ISLAM
Makalah ini di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah hukum islam
Oleh :
Nama : Rena SofyanaJurusan : PPKN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SURYAKENCANA
CIANJUR2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM POLITIK MENURUT KAJIAN ISLAM”. Tentu banyak hambatan dan kendala
yang penulis hadapi dalam proses penyusunan makalah ini. Namun, berkat bantuan
semua pihak, khususnya bimbingan, dan petunjuk dosen bidang studi, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung
sehingga selesainya makalah ini.
1. Dosen pembimbing yang banyak membantu penulis dalam menyusun makalah ini.
2. Kedua orang tua yang telah banyak memberikan bantuan moril dan material dalam
penyelesaian makalah ini.
3. teman teman satu jurusan yang banyak memberi masukan berharga untuk penulis
dalam menyusun makalah ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, yang telah mendukung penulis
dalam menyusun makalah ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan
makalah ini. Semoga dapat membuahkan hasil yang besar bagi seluruh kalangan.Serta
kritik dan saran senantiasa penulis harapkan dari pembaca sebagai bahan
perbandingan dalam pengembangan makalah ini kedepannya.
Cianjur, 01 Desember 2013
Rena Sofyana
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Tujuan Makalah...............................................................................................................................4
C. Rumusan masalah............................................................................................................................4
BAB II ISI......................................................................................................................................................5
A. PERAN WANITA DALAM PERADABAN ISLAM...................................................................................5
1. Zaman Nabi Muhammad SAW.....................................................................................................5
2. Zaman Tabi’in..............................................................................................................................6
3. Zaman Abbasiyah.........................................................................................................................6
B. KEDUDUKAN WANITA......................................................................................................................7
C. DASAR HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM........................................................8
D. FAKTOR PENYEBAB KEPEMIMPINAN WANITA MENDAPAT TENTANGAN......................................10
1. QS : a l - N i s ā : 3 4 ......................................................................................................................10
2. hadist dari Abi B a k r a h . .........................................................................................................10
E. JAWABAN DIPERBOLEHKANNYA KEPEMIMPINAN PEREMPUAN...................................................10
1. Studi QS : a l - N i s ā : 3 4 .............................................................................................................10
2. Studi Hadist dari Abi B a k r a h . ................................................................................................12
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan
mengkoordinasikan aktifitas kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan yang
diinginkan membutuhkan staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang dikenal
dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk
mempengaruhi orang lain atau pengikut-pengikutnya sehingga orang lain tersebut
bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. (Abu Ahmadi,
1999: 123).
Sebelum agama Islam datang, kedudukan wanita sangat rendah, mereka
tidak berhak mendapat harta warisan. Harta hanya hak monopoli kaum pria saja.
Setelah Islam datang, wanita serasa mendapat angin segar. Mereka diperlakukan
selayaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita.
Pada zaman sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian hampir
pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia ada wanita yang menjadi
Menteri, Pemimpin Perusahaan, Angkatan Bersenjata, Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (DPR), Pegawai Negeri, Kepala Sekolah dan menjadi buruh
serta ibu rumah tangga yang saat ini dianggap sebagai lapisan bawah.
Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana fenomena ini apabila dikaji
menurut islam. Apakah diperbolehkan. Atau malah islam mengharamkannya. Untuk
mencari jawaban dari hal tersebut penulis perlu mencari dari pihak yang kontra dan dari
pihak yang pro. Lalu bagaimana ulama menanggapinya. Sehingga terciptalah
kesimpulan yang dapat dipercaya kebenarannya.
3
B. Tujuan Makalah
1. Mengetahui peran wanita dalam peradaban islam.
2. Mengetahui dasar hukum islam tentang kepemimpinan perempuan.
3. Mengetahui argumen yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan.
4. Mengetahui argument pro terhadap kepemimpinan perempuan.
C. Rumusan masalah
1. Bagaimana peranan wanita dalam peradaban islam?
2. Bagaimana dasar hukum Islam mengenai kepemimpinan perempuan?
3. Apa yang menyebabkan kepemimpinan wanita mendapat tentangan?
4. Apa jawaban diperbolehkannya kepemimpinan perempuan dalam islam ?
5. Apa persamaan hak perempuan dan laki- laki dalam islam ?
4
BAB II
ISI
A. PERAN WANITA DALAM PERADABAN ISLAM
1. Zaman Nabi Muhammad SAW.
Kiprah wanita dalam analisis sejarah islam telah menghasilkan tulisan
tentang kegemilangan mereka. Wanita diketahui telah memberikan jasa yang besar
dalam bidang intelektual klasik. Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi hadits,
sufi wanita bahkan dokter wanita.
Siti Khadijah adalah wanita yang mempunyai perjuangan luar biasa bagi
perkembangan Islam. Siti Khadijah sudah memberikan dukungan yang luar biasa
bagi Rasulullah pada masa awal kenabian beliau. Tidak hanya berupa dukungan
moril, Siti Khadijah turut menafkahkan hartanya demi perjuangan dakwah. Dia juga
adalah wanita yang masuk Islam pertama kali.
Siti Aisyah dikenal sebagai pembawa hadist yang sangat berarti, bahkan para
sahabat nabi belajar padanya. Aisyah dikenal sebagai wanita yang sangat cerdas.
Aisyah mampu menghafal ribuan hadis dan hal ini membuktikan dedikasinya dalam
hal intelektualitas.
Dalam keluarga Nabi sendiri, anak wanita menjadi sangat dominan. Dimana
Nabi pernah mempunyai anak laki-laki (Ibrahim bin Muhammad) akan tetapi
meninggal dunia ketika masih remaja. Sedangkan anak yang perempuan sebanyak
4 orang, dan yang paling utama adalah Fatimah Zahrah. Ini dapat dilihat dengan
kemunculan mazhab politik Syi'ah yang kemudian menjadi mazhab Aqidah. Lebih
jauh mazhab ini mampu mendirikan sebuah pemerintahan Fatimiyah Isma'liyyah di
Mesir.
Karya wanita dalam sejarah Islam adalah keterlibatannya dalam proses
ba'iah (sumpah setia). Sumpah setia dari 2 wanita Madinah untuk masuk Islam dan
5
setia kepada Nabi tercermin dalam Bai'ah An-Nisa'i (bai'ah Perempuan). Bukan
hanya itu saja, dalam bai'ah kedua jumlah wanita mencapai 449 wanita
menyatakan diri masuk Islam dan menerima kerasulan Muhammad SAW, yang
kemudian dikenal dengan bai'ah harbi (perang).
Hal lain yang sangat bertolak belakang dengan paradigma masa kina adalah
keterlibatan wanita dalam beberapa pertempuran. Baik dalam masa Nabi maupun
dalam masa khilafah Rasyidin. Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah adalah pahlawan
wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam
perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong
tangannya. Nusaibah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam
menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di
jalan Allah.
2. Zaman Tabi’in.
Disamping analisis disekitar shahabat dan keluarga nabi, wanita di zaman
tabi'in. Wanita seperti Amra binti Abdur Rahman, sebagai seorang ahli fiqih yang
mempunyai hubungan yang dekat dengan Aisyah. Terdapat pula Hafshah binti
Sirin, sebagai seorang ahli hadist generasi kedua dari Basrah, yang terkenal
dengan ketaqwaan dan kezahidannya. Ia digambarkan oleh Ibnu Jauzi
digambarkan sebagai wanita yang shaleh, ia melakukan shalat sepanjang waktu.
Terdapat pula Aisyah binti Thalhah cucu Abu Bakar yang dalam sejarah cukup
mengandung kontroversi, dari kepandaiannya sebagai penyampai hadist maupun
tentang kecantikannya.
3. Zaman Abbasiyah
Analisis tentang peran wanita dalam sejarah dalam zaman Abbasiyah
melebar kedalam masalah politik kenegaraan. Ummu Salamah istri dari Abu Al
Abbas sang pendiri Abbasiyah mempunyai pengaruh yang besar kepada suaminya,
bahkan Abu al-Abbas selalu meminta pertimbangannya dalam segala hal.
Kemenakan perempuan Harun al-Rasyid Zubaidah mampu mempengaruhi untuk
6
mendapatkan hak-hak istimewa. Pengaruh Zubaidah sendiri sampai masa
pemerintahan khalifah al-Makmun.
Dalam kekhilafahan Abbasiyah, puncak peran wanita dalam masalah politik
adalah dengan tampilnya Syajarat Ad-Durr yang sempat memerintah di Mesir
selama beberapa bulan. Kapasitas Durr sebelumnya adalah sebagai seorang selir
Sultan Ayyubiyah yakni Malik Ash-Shalih Najmuddin. Kemampuan Durr tidak hanya
dalam masalah pemerintahan, ia juga terlibat dalam perang melawan pasukan
Salib.
Dia memerintah karena kondisi yang sangat darurat, yang mengharuskan ia
mengambil kekuasaan ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal
sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang memerintah
mengatasnamakan putranya yang masih kecil setelah suaminya meninggal. Ia
dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan
tampilnya wanita dalam politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk dan
Seljuk.
B. KEDUDUKAN WANITA
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di
antaranya Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pria dan wanita saling tolong
menolong, terutama dalam satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan
kewajiban yang sama untuk menjalankan amar ma’ruf, nahi munkar.
Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisaa’: 32 “Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari
7
sebagia yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan...” (An-Nisaa: 32).
Kalau kita perhatikan, maka ayat ini pun cukup jelas memberi gambaran,
bahwa tidak ada diskriminasi bagi wanita, tidak ada alasan untuk merendahkan
derajat kaum wanita. Semuanya bergantung kepada amalan masing-masing.
Wanita mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimana pria, disamping juga
mempunyai kewajiban.
Akan tetapi dalam hal tertentu, kedudukan wanita tidak harus sama benar
dengan kaum pria. Bukan karena kurang penghargaan, tetapi karena kodrat wanita
yang menghendaki demikian. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan dari harta mereka...” (An-Nisa: 34).
Para musafir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung,
penanggung jawab, pendidik, dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan
bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan
akal dan fisiknya.
C. DASAR HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM.
Al-Qur’an memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar,
yaitu Ratu Balqis di negeri Saba’. hal ini disebutkan dalam QS: Saba :15 sebagai
berikut :
Artinya ”sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan) : “makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugrahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.
8
Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah, bersikap hati-
hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak gegabah dan buru-buru dalam
memutuskan sesuatu, sehingga ketika ditanya tentang singgasananya yang telah
dipindahkan itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis.
Bahkan kecerdasan Balqis dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia
melihat keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang berkilauan
laksana air. Dalam ketakjuban itu, Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada
Sulaiman. Tetapi ia mengatakan : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat
zalim terhadap diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman, kepada Allah, tuhan
semesta alam”.
Ini hanyalah sebuah ungkapan yang hanya dapat diucapkan oleh orang yang
cerdas. Dikala ia dalam kondisi seperti itu tetapi ia merangkul lawannya dan
menundukan diri kepada zat yang lebih tinggi daripada Sulaiman.
Demikian al-Qur’an bercerita tentang kepemimpinan seorang perempuan
dengan menceritakan contoh historis Ratu Balqis di negeri Saba’ yang merupakan
gambaran perempuan yang mempunyai kecemerlangan pemikiran. Ketajaman
pandangan, kebijaksanan dalam mengambil keputusan, dan stategi politik yang
baik.
Waktu ia mendapat surat dari nabi Sulaiman ia bermusyawarah dengan para
pembesarnya. Walaupun merasa kuat dan siap menghadapi perang melawan
Sulaiman, namun ia mempunyai pandangan yang jauh. Ia tidak ingin negerinya
hancur dan rakyat menjadi korbannya. Karena ia mempunyai intuisi, bahwa
Sulaiman itu seorang nabi.
Maka tidaklah bijaksana melawan Sulaiman itu kebenaran yang tentu dijamin
oleh tuhan dengan kemenangan juga tidaklah bijaksana mengahalangi kaum dan
rakyatnya untuk menikmati kebenaran tersebut dengan berperang melawannya
untuk mempertahankan kebatilan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk
memimpin suatu negara (Presiden atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya
kaum laki-laki. Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung
9
makna implicit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya
laki-laki.
D. FAKTOR PENYEBAB KEPEMIMPINAN WANITA MENDAPAT TENTANGAN.
Dibawah ini adalah hal-hal yang menjadi perdebatan akan kepemimpinan
perempuan dalam islam :
1. QS : a l -N isā :34
Artinya : “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka) Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
2. hadist dari Abi B a k r a h .
“Telah bercerita kepada kami Ustman bin al-Haitsan, telah bercerita kepada
kami ‘Auf dari al-Hasan dari Abu Barkah berkata : “Sungguh Allah memberi
manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat pada hari (perang) Jamal. Tatkala Nabi
mendengar orang-orang Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai
pemimpin, maka beliau bersabda : “Tidaklah sekali-kali suatu kaum memperoleh
kemakmuran, apabila menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (H.R.
Bukhari).
E. JAWABAN DIPERBOLEHKANNYA KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
1. Studi QS : a l -N isā :34
Menurut Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Mishbah, adalah sebagai
berikut :
10
Pertama : “oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita)”. masing-masing memi l i k i
ke is t imewaan-ke is t imewaan. Te tap i ke is t imewaan yang d im i l i k i
l e lak i l eb ih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang
dimiliki perempuan. Bagi Ayatullah Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah
bukti kemuliaan atau kelebihan yang patut dibanggakan. Melainkan tugas
dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Maka lelaki diharapkan untuk
tidak bersikap tidak adil terhadap apa-apa yang dipimpinnya.
Kedua : “karena mereka (laki-laki)telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka”. Kalimat ini menunjukkan bahwa member na fkah kepada
wan i ta te lah men jad i sua tu ke laz iman bag i le lak i , se r ta kenya taan
umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.
Disini terdapat dua persoalan penting yang berada dibawah rentetan
penggunaan kata qawwam ini :
1 . K a u m l e l a k i b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k m e n y e d i a k a n
s e g a l a k e p e r l u a n m a t e r i a l d a n s p i r i t u a l w a n i t a d a l a m b e n t u k
y a n g m e m u a s k a n s e s u a i d e n g a n k e s e n a n g a n d a n perasaannya
sehingga dia tenang dan tenteram.
2 . Kaum le lak i memeber ikan per l indungan dan pen jagaan
te rhadap anggota ke luarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap
keluarganya.
Bagi Quraish Shihab, ayat ini tidak mengenai kepemimpinan lelaki dalam
segala hal ( t e r m a s u k s o s i a l d a n p o l i t i k ) a t a s p e r e m p u a n ,
m e l a i n k a n k e p e m i m p i n a n l e l a k i a t a s perempuan dalam rumah
tangga. Artinya menggunakan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan
untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat.
Melihat konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan
rumah tangga, tampaknya hal ini mendukung pendapat Quraish Shihab.
11
Kemudian dalam bukunya Wawasan al-Qur`an mengatakan bahwa ada ayat lain
yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan kepemimpinan
perempuan, yakni QS: al-Taubah : 71 Melalui teks ayatnya, kata “sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” .
be ra r t i seorang perempuan dapa t men jad i awliyā bag i le lak i .
K e m u d i a n i a m e n y e b u t k a n b a h w a a r t i k a t a awliya ada lah
pemimp in , pe l indung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag
menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa
keluasan makna kata awliyā` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.
Hasil kesimpulan dari Quraish Shihab diambil setelah beliau menggali
pendapat ulama klasik yang mengatakan sedang dan hanya berkaitan dengan
urusan rumah tangga. Penelitian yang dia lakukan adalah untuk mencari jawaban
dari banyak ulama tradisional yang menggunakan ayat ini sebagai ketidak bolehan
terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik.
2. Studi Hadist dari Abi B a k r a h .
Hadis ini pada tingkat sahabat disandarkan kepada sahabat Abu Barkah,
salah seorang mantan budak yang dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, ia harus
memilih antara mendukung Ali, Khalifah ke empat, suami Fatimah anak
kesayangan Nabi, atau mendukung A’isyah, istri kesayangan Nabi, putrid Abu
Bakar, khalifah pertama. Dalam posisi ini Abu Barkah mempopulerkan hadis di atas
karena ia berpihak kepada Ali.
Menurut Fatima Mernissi, penyampaian Abu Bakrah bersamaan dengan
kondisi kritis A’isyah memiliki muatan politis yang signifikan. Dengan kata lain hadis
ini menjadi alat untuk mengambil hati pihak penguasa. Padahal Mernissi
membuktikan secara empiris bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk
memimpin. Para pemimpin ini dihimpun Mernissi dalam bukunya The Forgotten
Queens of Islam (Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan).
12
Disinilah paradoksal hadis yaitu keputusan antara muatan nilai dengan
praksisnya apabila dipahami secara tekstual. Menurut Asghar Ali, hadis ini tidak
dipahami secara kontekstual dan bertentangan dengan fakta sosial. Fakta tersebut
dapat dilihat dari berkuasanya Benazir Bhutto di Pakistan, Ratu Saba’ pada zaman
Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an.
Sejarah dunia mencatat, pergantian Raja Kisra oleh anak perempuannya
mengandung persoalan mendasar. Anak perempuan Kisra tidak memiliki
kemampuan untuk memimpin. Namun, demi menjaga nasab keluarga, anak
perempuan Kisra dipaksa untuk menjadi ratu di negeri Persia yang luas itu. Apabila
Rasulullah menyampaikan hadis dalam soal ini, maka yang dilarang bukan karena
jenis kelaminnya, tetapi karena kemampuan memimpin yang tidak dimilikinya.
Siapapun, baik laki-laki atau perempuan, yang diserahi tugas yang bukan ahlinya
niscaya akan mendapati kehancuran.
Menurut Gus Dur, untuk mengkaji dan memahami sebuah hadis, mutlak
diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadian yang
melingkupi teks hadis tersebut. Jauh pada masa sebelum hadis tersebut muncul,
yaitu saat Rsulullah SAW berdakwah ke berbagai daerah, ia pernah berkirim surat
kepada para pembesar negeri lain untuk memeluk Islam. Diantaranya adalah
kepada Raja Kisra di Persia.
Setelah menerima surat itu, Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut.
Rasulullah begitu menerima laporan dari Hudzaifah bahwa suratnya dirobek-robek,
bersabda : “Siapa saja yang merobek-robek surat saya, diri dan kerajaan orang itu
akan di robek-robek,” (HR. Ibn Musayab). Tak lama kemudian, Persia dilanda
kekacauan dan berbagai pembunuhan didalam keluarga kerajaan akibat suksesi
kepemimpinan.
Diangkatlah puteri Buwaran binti Syairawaih ibn Kisra sebagai Ratu
menggantikan ayahnya yang meninggal dan saudara laki-lakinya yang terbunuh.
Sementara tradisi masyarakat Persia pada waktu itu, jabatan sebagai kepala
negara atau raja selalu dipegang kaum laki-laki, dan perempuan sama sekali tidak
13
diizinkan untuk turut serta mengurus kepentingan masyarakat umum. Jadi,
bagaimana mungkin Putri Buwaran bisa sukses menjadi pemimpin bila keadaan
tradisi masyarakatnya seperti itu.
Sebelum memeluk agama Islam, Abu Bakrah menjalani kehidupan yang
keras dan hina sebagai seorang budak di kota Taif. Abu Bakrah telah lahir sebelum
risalah Islam sehingga dia termasuk salah seorang sahabat yang sulit dilacak garis
keturunannya. Masuknya Abu Bakrah kedalam Islam bukan saja telah
menyelamatkan dirinya dari hinaan sebagai budak, tetapi juga menyejajarkan
dirinya dengan orang-orang muslim yang lain.
Kebanggan ini tercermin dari perkataan yang sering dilontarkan ke
sekelilingnya, “Saya adalah saudara seagamamu.” Bahkan, Islam telah menjadikan
dirinya sebagai pemuka terhormat di kota Basrah sepanjang hidupnya. Dia dikenal
faqih dan saleh serta seutama-utama sahabat.
Menurut Fatima Mernissi, latar belakang seperti ini menjadikan Abu Bakrah
memusuhi setiap perang saudara yang bisa merusak berdirinya masyarakat Islam.
Hal ini menjadi alasan penting kenapa Abu Bakrah menolak ajakan ‘Aisyah untuk
mendukungnya dalam Perang Jamal dan disampaikan hadis ini.
Perang saudara hanya menjadikan dirinya kembali ke masa-masa sebelum
memeluk Islam. Dan secara politis, perang dapat memupus kesempatannya untuk
menjadi penduduk Basrah yang terhormat.
Dalam biografinya, Abu Bakrah pernah dihukum cambuk oleh Khalifah Umar
bin Khathab karena memberi kesaksian bersama ‘Nafi dan Syibl bin ‘Ma’bad bahwa
al-Mugirah telah melakukan zina. Tuduhan tersebut tidak disertai bukti yang kuat.
Karenanya, ‘Nafi dan Sibl meminta maaf.
Adapun Abu Bakrah bersikeras dengan tuduhannya dan enggan meminta
maaf. Keteguhan Abu Bakrah dengan tuduhannya selalu diekspresikan dengan
perkataan : “Sungguh mereka telah mendustakanku.” Abu Bakrah wafat pada tahun
51 H dan ada yang mengatakan pada tahun 52 H.
14
Dengan mengacu kepada criteria Imam Malik dalam kritik sanad hadis,
Fatima Mernissi meragukan validitas Abu Bakrah. Imam Malik mengatakan :
“Pengetahuan tidak bisa diterima dari seseorang yang terbelakang mental, orang
yang berada dalam cengkraman nafsu dan yang pernah melakukan bid’ah serta
seorang pembohong yang menceritakan segala sesuatu kepada orang lain.
Akhirnya, seseorang tidak boleh menerima pengetahuan dari seorang Syekh,
meskipun dia terhormat dan shaleh, jika dia tidak menguasai ajaran yang hendak
dia sampaikan
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa kepemimpinan
perempuan dalam politik menurut kajian islam adalah diperbolehkan. tidak ada
diskriminasi bagi wanita, tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum wanita.
Wanita mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimana pria, disamping juga
mempunyai kewajiban.
B. Saran
Ayat dan hadist yang disampaikan untuk memperkuat argumen bahwa wanita
tidak diperbolehkan untuk memimpin dalam politik, mutlak diperlukan informasi yang
memadai mengenai latar belakang kejadian yang melingkupi teks hadist dan ayat
tersebut.
16
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Murtadho. 2010. Ratu Kalinyamat. LKiS Pustaka Sastra : Yogyakarta.
Ibad, M. N. 2011. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek. LKiS
Pustaka Pesantren : Yogyakarta.
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Kreasi Wacana : Yogyakarta
Subhan, Zaitunah. 2006. PEREMPUAN dan Politik Dalam Islam. LKiS Pelangi Aksara :
Yogyakarta.
Umar, Nasaruddin. 2010. Fikih Wanita untuk Semua. Serambi Ilmu Semesta : Jakarta.
Hasan, Ali. (2003). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad, Husein. (2001). Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LKiS.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/makalah-kepemimpinan-wanita-dalam-
islam.html.
http://garasikeabadian.blogspot.com/2013/03/kepemimpinan-perempuan-dalam-
islam.html.
http://jumadiattayani.blogspot.com/2012/12/kepemimpinan-perempuan-dalam-
perspektif.html.
http://www.academia.edu/3529945/Kepemimpinan_Perempuan_dalam_Perspektif_Al-
Quran_Perempuan_sebagai_Pimpinan_Publik.
17