JURNALISME SASTRA -...
Transcript of JURNALISME SASTRA -...
JURNALISME SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
Lukman Alhakim
NIM 105051102017
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 Juni 2009
Lukman Alhakim
JURNALISME SASTRA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Lukman Alhakim
NIM 105051102017
Di Bawah Pembimbing
Tan Tan Hermansah, M.Si
NIP 150370228
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul JURNALISME SASTRA telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 26 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 26 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,
Drs. H. Mahmud Jalal, MA
NIP 150202342
Rubiyanah, MA
NIP 19730822 199803 2 001
Anggota,
Penguji 1
Dra. Mahmudah Fitriah ZA, M. Pd NIP 19640212 199703 2 001
Penguji 2
Drs. Suhaimi, M. Si NIP 19670906 199403 1 002
Pembimbing
Tan Tan Hermansah, M. Si
NIP 150370228
ABSTRAK
Lukman Alhakim
Jurnalisme Sastra
Jurnalisme Sastra merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana
reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya
sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolf, wartawan-cum-novelis, pada
1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme
baru).
Bentuk penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif
dengan metode deskriptif analitis yaitu bertujuan membuat deskripsi secara
sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau
objek tertentu.
Penilitian ini bertujuan mendeskripsikan penulisan Jurnalisme Sastra serta
dengan berita-berita yang ditulis dengan straight news maupun feature agar
terlihat letak perbedaan struktur penulisannya. Setelah data terkumpul, peneliti
mendeskripsikan data yang sudah terkumpul dan dijelaskan poin-poin penting
yang berkaitan dengan konstruksi berita tersebut. Di Indonesia Jurnalisme Sastra memberi tempat bagi wartawan untuk
mengakutalisasikan keberadaan dirinya. Sebab, Jurnalisme Sastra menuntut seorang wartawan untuk mampu membuat narasi, ataupun deksripsi yang rinci,
hidup, kontekstual, dan relevan. Jurnalisme Sastra merupakan sebuah metode penulisan dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada. Berbeda
dengan jurnalisme biasa yang ditulis dengan gaya cepat. Jurnalisme Sastra justru mengedepankan ketajaman, kedalaman, dan keluasan wawasan dan data dari
subjek yang ditulis. Upaya membangun Jurnalisme Sastra di kampus bisa menjadi
tradisi mitra yang sudah bisa dilakukan sebagai mitra akademik semakin kuat.
Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama dan dikenal beberapa jenis artikel
seperti berita lurus dan karangan khas. Berita lurus yang terdiri atas beberapa
elemen 5W+1H. Elemen yang dianggap terpenting menjadi teras berita yang
ditulis.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, atas limpahan karunia
dan ridho-Nya yang tidak pernah putus memberikan nikmat dan barakah-Nya
kepada seluruh makhluk-Nya. Sehingga peneliti dapat menempuh jenjang
pendidikan sampai saat ini dan dapat menyelesaikan karya ilmiah guna mencapai
gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I).
Sholawat serta salam senantiasa peneliti junjungkan dan curahkan kepada
baginda Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya dari jalan
kesasatan menuju jalan kebenaran.
Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menyadari betul bahwa tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak, peneliti tidak dapat menyelasaikan karya ini dengan
baik, semua berkat arahan, bantuan, petunjuk serta motivasi dari semua pihak
yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini pada
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Studi Konsentrasi Jurnalistik,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selanjutnya, pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan banyak
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Kepada kedua orang tua yang ku cintai dan ku sayangi, Ayahanda H.
Japarudin dan Ibunda Rumsinah yang selalu memberikan kasih sayang
yang berlimpah luah dan tidak akan pernah bisa terbalas, namun hanya
Doaku kepada Allah SWT semoga ridho-Nya selalu menyertai Ibunda
dan Ayahanda Tercinta.
2. Dr. Arief Subhan M.A. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi
3. Drs. Mahmud Jalal, M.A. Selaku Pembantu Dekan bidang
Kepagawaian.
4. Drs. Studi Rizal LK. M.A. selaku Pembantu Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
5. Drs. Suhaimi, M.Si. Selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik, dan
Rubiyanah, M.A. Selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang telah
memberikan banyak pengarahan, pendidikan, dan pengajaran kepada
peneliti tentang jurusan.
6. Drs. Tan Tan Hermansah, M.Si. Selaku Pembimbing yang telah
banyak mengarahkan bimbingan, petunjuk, dan pemikirannya kepada
peneliti di sela-sela kesibukan dan aktivitas beliau.
7. Para Dosen, Karyawan, dan Staf Tata Usaha Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Kakakku, Ahmad Baehaqi, dan Adik-adikku, Fauziah Fatmawati, M.
Luthfi, Haerul Umam, dan M. Fakhri Ridha yang juga senantiasa
memberikan dukungan dan supportnya kepada peneliti.
9. Para staf Yayasan Pantau dan Andreas Harsono, Budi Setiyono, Mbak
Siti, Mas Udin terima kasih atas data dan informasinya.
10. Sahabat-sahabatku, Aris, Nanda, Akbar, Emi, Tedy, Wildan, Arifin,
Alfan, Yudin, dll, yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu. Dan
rekan-rekan kostan Asep Saeful. R, Endang S, Enan, Dody, Sudirman,
Anwar, Imam, dan Rosyid. Semoga persahabatan kita tetap utuh dan
tidak sampai disini hingga akhir hayat hidup kita.
11. Teman-teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2005 dan adik-adik
kelasku Jurnalistik 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang banyak
memberikan kenangan, suka maupun duka kita bersama-sama selama
kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
12. Kepala Laboratorium FDK Drs. H Tarmi, MM, beserta staff, dan
rekan-rekan RDK 91,8 FM, Rere, Pita, Septiasari, Aditya, Icha, Rida,
Dito, Andri, Rani, Wiwit, Melisa, Bella, Bilqis, Lala, Rizka, Vivit,
Halimah, Sandika, Dimas, Ihsan dan Iqbal yang senantiasa bersama-
sama membangun Radio Dakwah dan Komunikasi menjadi eksis
sampai saat ini.
Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan
memberi pelajaran hidup kepada peneliti. Semoga Allah SWT semakin
menambah karunia-Nya kepada kita semua. Terimakasih atas segalanya
dan mohon maaf atas segala kekhilafan. Dan akhirnya semoga skripsi ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca, dan khsusnya bagi peneliti. Aamiin
Yaa Robbal Aalamiin.
Wassalam
Jakarta, 26 Juni 2009
Peneliti
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan dan Batasan Masalah ............................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
D. Metodologi Penelitian .............................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 8
BAB II TINJAUAN TEORETIS
A. Pengertian Jurnalisme dan Sastra............................................... 9
1. Etimologi ........................................................................... 9
2. Terminologi ....................................................................... 11
B. Sejarah Kelahiran Jurnalisme ................................................... 17
1. Kelahitan Jurnalisme di Dunia ............................................ 17
2. Kelahiran Jurnalisme di Indonesia ...................................... 20
C. Pengertian Jurnalisme Sastra ...................................................... 26
BAB III GAMBARAN UMUM JURNALISME SASTRA DI
INDONESIA
A. Konteks Kelahiran .................................................................... 31
B. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ......................................... 35
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Proses Kelahiran Jurnalisme Sastra dan Perkembangannya di
Indonesia .................................................................................. 36
B. Isi Jurnalisme Sastra serta unsur-unsur penulisan Feature dan Straight News ........................................................................... 39
1. Penulisan Jurnalisme Sastra................................................. 39
2. Aturan-aturan Jurnalisme Sastra.......................................... 40
3. Kategori Feature News ....................................................... 43
4. Struktur Penulisan Feature ................................................. 47
5. Unsur 5W+1H dalam Lead (Straight News)........................ 50
C. Konstruksi Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan
Straight News dan Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan Jurnalisme Sastra.................................................... 55
1. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan
pendekatan Straight News ................................................. 55
2. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan pendekatan Jurnalisme Sastra .............................................. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 74
B. Saran-saran .............................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media massa, atau dalam hal ini disebut media jurnalistik, merupakan alat
bantu utama dalam proses komunikasi massa. Sebab komunikasi massa sendiri,
secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media
(communication with media). Di dalam medium jurnalistik secara umum baik
media cetak maupun media elektronik keduanya memiliki fungsi yang sama,
yaitu: Pertama menyiarkan informasi, ini merupakan fungsi utama media massa,
sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi tentang
berbagai hal yang terjadi didunia ini. Kedua mendidik, karena fungsi yang kedua
ini, media massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan mengandung
pengetahuan, serta sekaligus dapat dijadikan media pendidikan massa. Ketiga
menghibur, dalam fungsinya untuk menghibur, media massa biasanya menyajikan
rubrik-rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Bertujuan untuk
mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang dapat
menguras perhatian dan fikiran pembaca. Keempat mempengaruhi, dalam hal ini
pers memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat
melakukan kontrol sosial (sosial control) secara bebas dan bertanggung jawab. Ia
dapat mempengaruhi proses pembentukan etika sosial, mekanisme interaksi dan
bahkan proses pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga pemegang
kebijakan formal.1
Untuk memainkan fungsi-fungsinya seperti disebutkan di atas, setiap
media massa memiliki strategi komunikasi masing-masing. Dalam hal ini media
massa cetak memiliki pendekatan yang berbeda dengan media massa elektronik.
Perbedaan itu terutama dapat dilihat pada strategi penyusunan pesan-pesan yang
akan disampaikannya kepada khalayak.
Pada media massa elektonik seperti salah satunya bisa dilihat dalam
televisi dan radio maupun online, pesan-pesan diterima khalayak hanya sekilas. Di
Indonesia, televisi merupakan medium terfavorit bagi para pemasang iklan, dan
karena itu mampu menarik investor untuk membangun industri televisi. Apalagi
televisi saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang.
Banyak orang menghabiskan waktunya lebih lama di depan pesawat televisi
dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk membaca, berdiskusi dengan
keluarga atau pasangan mereka.2
Sedangkan pada media cetak, pesan-pesan yang diterima khalyak dapat
dikaji ulang dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca kembali pada setiap
kesempatan dimana diperlukan.3
Di dalam media cetak terdapat beberapa gaya penelitian seperti gaya
penelitian straight news, feature, dan narasi. Gaya bahasa yang dilakukan dalam
straight news itu menggunakan bahasa yang informatif dengan data-data yang
faktual, lugas dan akurat yang berpedoman pada rumus 5W1H (what, when,
1 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, (Ciputat, PT Logos
Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah, 1999), h. 73, dan 84-85. 2 Morisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Ramdina Prakasa, 2005), h. 1 dan 3. 3 Asep Saeful Muhtadi, hal. 85.
where, who, why, dan how) dengan kaidah piramida terbalik.
Sedangkan feature itu sendiri adalah berita atau karangan khas yang
berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik, dan tidak
tunduk kepada kaidah pola piramida terbalik dengan rumus 5W1H. Karena
feature itu sendiri menggunakan bahasa yang menarik perhatian banyak pembaca
dengan di bubuhi unsur human touch, yaitu sentuhan penasaran manusia.
Sedangkan Jurnalisme Sastra menurut Andreas Harsono adalah :
“Berita atau karangan khas yang menarik dan relevan yang berpijak pada
fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik dan diambil dari dua
sudut pandang yang berbeda (multiple angles) namun tetap fokus pada struktur
penelitian berita atau karangan yang di buat.”4
Salah satu metode penelitian narasi ini pernah diliris Yayasan Pantau dan
sempat menerbitkan beberapa majalahnya dengan nama majalah Pantau yang
ditulis dengan menggunakan gaya penelitian narasi atau disebut dengan narative
reporting atau Jurnalisme Sastra dan menjadi proyek uji coba Majalah Pantau
semenjak akhir Desember 2000.
Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan meningkatkan
mutu jurnalisme di Indonesia. Sejak 2003, Pantau menjalankan program pelatihan
wartawan, konsultasi media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas demi
mendorong perbaikan mutu jurnalisme berbahasa Melayu.
Sejak 2001, Pantau menjalankan kursus menulis tiap semester: Kursus
Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele dari Universitas George
Washington dan Andreas Harsono dari Pantau. Sejak 2006, Pantau juga membuka
Kursus Narasi yang cocok untuk orang yang berminat menulis esai atau buku.
4 Hasil wawancara langsung dengan Andreas Harsono, pada tanggal 14 April 2009, pukul
11:00 wib, di apartemen Permata Senayan Jakarta Selatan
Kursus ini diampu Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Ini majalah pemantau
media massa yang melulu bicara tentang media dan jurnalisme. Ia mendapatkan
sokongan dari Ford Foundation 200.000 dollar Amerika.5
Di sini peneliti menggarisbawahi perkembangan mata kuliah jurnalistik di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Terutama dalam hal gaya penelitian
narasi atau Jurnalisme Sastra yang masih minim didapatkan di berbagai
perguruan tinggi terutama di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Dengan latar belakang inilah yang mengilhami peneliti untuk mengangkat
penelitian dengan judul “JURNALISME SASTRA”.
B. Perumusan dan Batasan Masalah
Dari judul yang peneliti angkat, peneliti membatasi riset ini terhadap
proses kelahiran dan isi Jurnalisme Sastra dalam media cetak dengan
menggunakan contoh kasus pada majalah Pantau edisi Februari 2004 serta contoh
dari buku Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka pokok
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses kelahiran Jurnalisme Sastra dan perkembangannya
di Indonesia?
2. Bagaimana isi Jurnalisme Sastra?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini peneliti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
5 Annex 1, Tentang Yayasan Pantau, di ambil pada tanggal 22 April 2009, pukul 14:30
wib.
1. Mengetahui proses kelahiran Jurnalisme Sastra dan perkembangannya
di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana isi Jurnalisme Sastra.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini berguna mengembangkan pengetahuan ilmiah
bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di bidang komunikasi massa khususnya yang
berhubungan dengan Jurnalisme Sastra.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi
mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca umumnya dan juga dapat
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
D. Metodologi Penelitian
1. Bentuk penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif analitis yaitu bertujuan membuat
deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-
sifat populasi atau objek tertentu.6
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif.
6 Rachmat Kriyantono, Metodologi Riset Komunikasi: Disertasi contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta:
Kencana Prenada Merdia Group, 2006), h. 69.
3. Tempat dan Waktu
Tempat pelaksanaan penelitian adalah kantor majalah Pantau Jalan
Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta Indonesia 12220. Untuk mencari
data yang diperlukan peneliti mencari data-data di majalah yang terkalit.
Waktu dalam melaksanakan penelitian ini adalah selama tiga bulan yaitu
dari bulan April sampai Juni 2009.
4. Subjek
Bahan penelitian adalah subjek penelitian. Menurut Suharsini
Arikunto menyebutkan bahwa subjek penelitian adalah subjek yang dituju
untuk diteliti oleh peneliti.7 Dalam penlitian ini bahan yang dijadikan
penelitian adalah majalah Pantau edisi Februari 2004.
5. Objek
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah majalah Pantau edisi
Februari 2004
6. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, peneliti akan mendeskripsikan data yang
sudah terkumpul dan dijelaskan poin-poin penting yang berkaitan dengan
konstruksi berita yang ditulis menggunakan Jurnalisme Sastra.
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti memperoleh data-data dari beberapa sumber
tertulis yaitu berupa buku yang peneliti gunakan. Kepustakaan ini dilakukan
7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1992), h. 122.
dengan mengkaji, mempelajari dan mencoba mengimplementasikan sumber yang
terkait dengan Jurnalisme Sastra yang sedang berkembang.
Dalam buku yang berjudul “Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat (Jakarta Yayasan Pantau Kebayoran Lama 2005)”. Oleh
Andreas Harsono dan Budi Setiyono menggambarakan mengenai sejarah
terbentuknya jurnalime sastra serta beberapa contoh penulisan Jurnalisme Sastra.
Sedangkan judul skripsi peneliti “Jurnalisme Sastra”. Mengangkat tentang
gambaran mengenai sejarah lahirnya Jurnalisme Sastra di Dunia dan di Indonesia
dan bagaimana Isi dan struktur penulisan Jurnalisme Sastra.
F. Sistematika penulisan
Dalam skripsi ini peneliti membahas lima bab dan masing-masing bab
terdiri dari sub bab, yakni :
Bab I Merupakan pendahuluan, dijelaskan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka, dan sistematika
penelitian
Bab II Tinjauan teoretis, dijelaskan mengenai pengertian jurnalisme,
sejarah kelahiran jurnalisme di dunia dan di Indonesia, serta
pengertian Jurnalisme Sastra.
Bab III Merupakan gambaran umum, di jelaskan mengenai Jurnalisme
Sastra di Indonesia, konteks kelahiran, dan struktur organisasinya.
Bab IV Hasil dan Analisa data, hasil proses analisa data yang berupa
penjelasan teoretis proses kelahiran Jurnalisme Sastra dan
perkembangannya di Indonesia serta isi Jurnalisme Sastra dengan
contoh-contoh dan analisis berita yang ditulis menggunakan
pendekatan straight news dan Jurnalisme Sastra.
Bab V Penutup, membahas kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. Pengertian Jurnalisme dan Sastra
1. Etimologi:
Secara etimologi, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa
Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik
diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan
setiap hari. Dengan demikian, jurnalistik bukanlah pers, bukanlah media massa.
Jurnalistik adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja
dan diakui eksistensinya dengan baik.8
Sastra menurut kamus lengkap bahasa Indonesia Moderen adalah: bahasa,
kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari
kesusastraan, karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seperti gubahan-
gubahan prosa dan puisi yang indah-indah.9
Istilah jurnalistik berasal dari kata journalistik dalam bahasa Belanda atau
journalism dalam bahasa Inggris. Keduanya bersumber dari bahasa latin diurnal
yang berarti harian atau setiap hari. Sedangkan jurnalistik sendiri berarti kegiatan
mengumpulkan bahasa berita, mengelolanya sampai menyebarluaskannya kepada
khalayak. Bahan berita itu bisa berupa kejadian atau peristiwa dan pernyataan
8 AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung,
Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 2. 9 Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia Moderen, (Jakarta, Pustaka Amanai), h. 389.
yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat
dijadikan berita untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat.10
Jurnalistik atau “jurnalisme (journalism)” berasal dari istilah “jurnal” yang
berarti buku catatan tentang kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang.
Misalnya dalam usaha dagang (jual beli barang dan jasa). Atau tentang acara
rapat, pertemuan-pertemuan suatu organisasi atau kelompok orang yang
mempunyai profesi tertentu. Asal mula jurnalistik ialah berasal dari bahasa Latin,
Acta Diurna. Ketika Julio Caesar menjadi Konsul (penasehat Kerajaan) dalam
tahun 60 sebelum Masehi ia membuat peraturan yang mengharuskan
pengumuman tentang kegiatan Senat di dalam papan pengumuman setiap hari.
Itulah yang di sebut Acta Diurna atau Catatan Harian. Kata diurnal itu sendiri
berarti hari atau sehari-hari.11
Dengan demikian istilah jurnalistik pada mulanya adalah segala sesuatu
yang ditulis untuk diumumkan. Tidak disebut jurnalistik jika tidak tertulis atau
tercetak. Karena itu istilah “jurnalistik udara” (air journalism) atau jurnalistik
media elektronik sejauh ada hubungannya dengan penyiaran berita secara lisan,
misalnya wawancara yang disiarkan secara langsung (live), sudah menyimpang
dari usul pengertian jurnalistik.12
2. Terminologi:
10
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat, Kalam Indonesia Kampung Utan, 2005),
h. 9. 11
H. A. Muis, Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era
Cybercommunication Millenium Ketiga, (PT Dharu Anuttama, 1999), h. 23. 12
Ibid. h. 24.
Secara terminologi jurnalistik didefinisikan sebagai keterampilan atau
kegiatan mengelola bahan berita mulai dari liputan sampai kepada penyusunan
yang layak disebar luskan kepada masyarakat. Apa saja yang terjadi di dunia,
apakah itu fakta peristiwa atau pendapat yang diucapkan seseorang, jika
dieprkirakan akan menarik perhatian khalayak, akan merupakan bahan dasar bagi
jurnalistik, akan merupakan bahan berita untuk dapat sebarluaskan pada
masyarakat.13
Jurnalistik adalah tindakan diseminasi informasi, opini dan hiburan untuk
orang ramai (publik) yang sistematik dan dapat dipercaya kebenarnnya melalui
media komunikasi massa modern.
Roland E. Wolesely dan Laurence R. Cambell, 1949, buku mereka
berjudul EXPLORING JORNALISM : laporan tentang kejadian-kejadian yang
muncul pada saat laporan ditulis, bukan suatu kejadian yang bersifat tetap
menganai suatu situasi (Edwin Emery et al, 1965: 10, buku mereka berjudul
INTRODUCTION TO MASS COMMUNICATION). Menurut Edwin Emery:
“Dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau
aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, melaporkan
berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan
pada beritanya.” 14
F. Faros Bond dalam An Introduction to journalism (1961:1) menulis:
Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita
sampai pada kelompok pemerhati. Roland E. Wolsely dalam understending
13 AS Haris Sumadiria, h. 2.
14
H. A. Muis, h. 24-25.
megazine menyebutkan jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran,
pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, secara sistematik dan dapat
dipercaya untuk diterbitakan kepada suratkabar majalah dan disiarkan distasiun
siaran. Adi Negoro menjelaskan jurnalistik adalah semacam kepandaian
mengarang yang pokoknya memberi kekabaran pada masyarakat dengan selekas-
lekasnya agar tersiar seluas-luasnya (Amar, 1984:30). Astrid S. Susanto
menyebutkan, jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan serta
penyebaran tentang kejadian sehari-hari (Susanto, 1986:73). Onong Uchana
Efendy, mengemukakan, secara sederhanan jurnalistik dapat didefinisikan sebagai
tekhnik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada
menyebarluaskannya kepada masyarakat (Effendy, 2003:95).15
Menurut MacDogall menyebutkan bahwa:
“Journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan
melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun. Jurnalisme sangat di perlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apapun
perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan baik sosial, ekonomi, politik maupun lain-lainnya.”16
Menurut Jack Fuller, penulis, novelis, pengacara, dan presiden Tribune
Publishing Company yang menerbitkan Chicago Tribunes mengatakan:
“Tujuan utama Jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran sehingga
orang-orang akan mempunyai informasi yang mereka butuhkan untuk
berdaulat.”17
15
AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (
Bandung Simbiosa Rekatama Media), h. 4. 16
Muhammad Budyatna, M.A, Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya Offset , 2006), h. 15. 17 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme Apa Yang Seharusnya
Di Ketahui Wartawan Dan Diharapkan Publik, (Jakarta, Yayasan Pantau, 2006), h. 14-15.
Jurnalistik selalu berhubungan dengan “berita” (news) yang tertulis. Atau
proses penyampaian pesan tertulis kepada khalayak (banyak komunikan atau
penerima pesan). Tetapi dengan munculnya media massa elektronik baik yang
bersifat audial (dengar) maupun yang bersifat audio-visual (pandang-dengar)
maka berita dapat pula berbentuk lisan.18
Didalam buku Luwi Ishawara (2005). Dijelasakan ada beberapa ciri-ciri
Jurnalisme, diantaranya:
a. Skeptis
Menurut Tom Frideman dari New York Times mengatakan:
“Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu,
meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak
mudah ditipu.” Seorang yang skeptis akan berkata: “Saya kira itu tidak benar.
Saya akan menceknya.” Lain halnya dengan sikap sinis. Orang sinis selalu merasa bahwa dia sudah mempunyai jawaban mengenai seseorang atau
peristiwa yang dihadapinya. Ia akan berkata: “Saya yakin itu tidak benar. Itu tidak mungkin. Saya akan menolaknya.” Jadi inti dari sikap skeptis adalah
keraguan, sedangkan inti dari sikap sinis adalah ketidak percayaan.”
Sikap skeptis hendaknya juga menjadi sikap media. Hanya dengan
bersikap skeptis, sebuah media dapat ‘hidup’. Namun pada kenyataannya
banyak media tidak mampu untuk selalu berusaha bersikap skeptis. Banyak
media tidak mampu untuk selalu berusaha bersikap skeptis. Banyak dari
mereka lebih menyukai memilih dan menghidupi apa yang dinamakan
cheerleader complex19
, yaitu sifat untuk berhura-hura mengikuti arus yang
sudah ada, puas dengan apa yang ada, puas dengan permukaan sebuah
perstiwa, serta enggan mengingatkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam
masyarakat.
18 H. A. Muis, Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era
Cybercommunication Millenium Ketiga, (PT Dharu Anuttama 1999), h. 24. 19 Jhon Hohenberg, The Professional Journalist, (New York: Holt, Rinehart and
Winston, Inc., 1983), h. 5.
Joseph Pulitzer mengatakan:
“Surat kabar tidak pernah akan bisa menjadi besar dengan hanya sekedar
mencetak selebaran-selebaran yang disiarkan oleh pengusaha maupun tokoh-tokoh politik dan meringkas tentang apa yang terjadi setiap hari. Wartawan
harus terjun kelapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang eksklusif. Ketidaktahuan membuka kesempatan korup, sedangkan pengungkapan
mendorong perubahan. Masyarakat yang mendapat informasi yang lengkap, akan menuntut perbaikan dan reformasi.20
b. Bertindak
Bertindak atau action adalah corak kerja seorang wartawan. Karena
seorang wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan
mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan. Peristiwa
tidak terjadi di ruang redaksi. Ia terjadi luar. Karena itu, yang terbaik bagi
wartawan sebuah terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat
pertama.
Filosof Inggris Bertrand Russell menasihati mahasiswanya:
”Lakukanlah pengamatan sendiri. Aristoteles akan bisa menghindari
kekeliruan tentang perkiraannya bahwa wanita mempunyai gigi lebih sedikit dari pria asalkan saja ia mau meminta istrinya untuk membuka mulutnya dan
menghitungnya sendiri. Menganggap bahwa kita tahu, padahal tidak, adalah
kesalahan fatal yang cenderung kita lakukan.21
c. Berubah
Jurnalisme mendorong terjadinya perubahan. Perubahan memang
merupakan hukum utama jurnalisme. Debra Gresh Hernadez, dalam
makalahnya berjudul “Advice For The Future,” yang disampaikan pada
seminar API (American Press Institute), mengatakan:
20
Mitchell V.Charnley, Reporting, (New York: Holt, Rinehart an Winston Inc., 1965), h.
275-276. 21
Bertrand Russell, The Impact of Science on Society, (New York: Simon & Schuster,
1953), h. 7.
“Satu-satunya yang pasti dan tidak berubah yang dihadapi industri surat
kabar masa depan adalah justru ketidak pastian dan perubahan-the only things
certain and unchanging facing the newspaper industry in the future are
uncertainty and change.”22 Dalam perjalanan sejarahnya, surat kabar itu akan
selalu mendapat dampak dari perubahan yang terjadi di masyarakat dan dalam
teknologi.
d. Seni dan Profesi
Jurnalisme adalah seni dan profesi dengan tanggung jawab profesional
yang mensyaratkan wartawannya melihat dengan mata yang segar pada setiap
peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik. Tetapi mata itu harus
mempunyai fokus, suatu arah untuk mengawali pandangan. Hal ini penting
bagi penulis berita untuk menunjukkan arah yang wajar. Dave Barry, seorang
kolumnis berkata bahwa dirinya adalah seorang penulis yang baik dan
mengira itu sudah cukup untuk menjadi wartawan. Ia sadar bahwa ternyata itu
keliru. Jurnalisme bukanlah tentang menulis saja. Anda belajar tentang apa
sesungguhnya mencari itu dan apa sebenarnya bertanya mengenai hal-hal
pelik dengan kegigihan.
e. Peran Pers
Pers memainkan berbagai peranan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen
dalam advanced newagathering karangan Bryce T. Mcintyre menyebutkan
bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai
pelapor. Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan
22
D.G.Hernandez, “Advice for The Future”, dalam Editor & Publisher, Dec. 28, 1996, h.
9.
peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan
tanpa prasangka.23
Tugas sebagai pelapor ini juga diwujudkan ketika pers kadangkala
berperan sebagai alat pemerintah, misalnya ketika ada siaran langsung pidato
atau komentar seorang presiden di televisi. Tentu saja dalam peran tersebut
pers harus tetap netral. Memang, dalam perkembangan sejarah media kerap
dijadikan saluran untuk penyebaran pernyataan-pernyataan pemerintah yang
sering dieksploitasi oleh tokoh-tokoh politik yang berkuasa.
Selain sebagai pelapor, pers juga memiliki peran sebagai interpreter yang
memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa. Di sini selain
melaporkan peristiwa, pers menambah bahan dalam usaha menjelaskan
aetinya, misalnya analisis berita atau komentar berita.
Cohen melaporkan juga bahwa ada yang melihat pers sebagai wakil dari
publik. Hal ini benar bagi politikus, yang menganggap laporan atau berita
mengenai reaksi masyarakat adalah barometer terbaik bagi berhasilnya suatu
kebijaksanaan.24
Pers juga berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah. Konsep yang
sudah disebutkan di atas adalah peran jaga (watchdog).
Terakhir, Cohen menyebutkan bahwa pers sering berperan sebagai pemuat
kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini terutama tampak pada penulisan
editorial dan artikel, selain juga tercermin dari jenis berita yang dipilih untuk
ditulis oleh para wartawannya dan cara menyajikannya.
23
Bryce T. Mclntyre, Advanced Newsgathering, (New York: Praeger Publishers, 1991),
h. 8. 24 Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, (Jakarta, PT Kompas Media
Nusantara Jl. Palmerah Selatan, 2005), h.1-8.
B. Sejarah Kelahiran Jurnalisme
1. Kelahiran Jurnalisme di Dunia
Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif
saja. Ini tebukti pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman
romawi kuno ketika kaisar Julius Ceisar berkuasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, suratkabar yang bisa mencapai rakyat
secara masal itu dipergunakan oleh kaum idealis untuk melakukan sosial control
sehingga suratkabar tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga persuasif. Bukan
saja menyiarkan informasi, tetapi juga membujuk dan mengajak khalayak untuk
mengambil sikap tertentu, agar berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Bentuk jurnalistik yang bersifat persuasif, antara lain ialah, (tajuk rencana atau
editorial) dan pelaporan selidik (investigative reporting).25
Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di
Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di
provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma
2.000 tahun yang lalu Acta Diurna (“tindakan-tindakan harian”) – tindakan-
tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, berita kelahiran dan kematian
ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama Abad Pertengahan di Eropa, siaran
berita yang ditulis tangan merupakan media informasi yang penting bagi para
usahawan.
Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya
jurnalisme selama berabad-anad. Tetapi, jurnalisme itu sendiri baru benar-benar
dimuali ketika hurup-hurup lepas untuk percetaklan mulai digunakan di Eropa
25 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung, PT Remaja Rosadakarya
Offest ), h. 66.
pada sekitar tahun 1440. dengan mesin cetak, lembaran-lembaran berita dan
pamflet-pamflet dapat di cetak dengan kecepatan yang lebih tinggi, dalam jumlah
yang lebih banyak, dan dengan ongkos yang lebih rendah.
Suratkabar pertama yang terbit di Eropa secara teratur di mulai di Jerman
pada tahun 1609: Aviso di Wolfenbuttel dan Relation di Strasbourg. Tak lama
kemudian, suratkabar-suratkabar lainnya Strasbourgh. Tak lama kemudian,
suratkabar-suratkabar lainnya muncul di Belanda (1618), Prancis (1620), inggris
(1620), dan Italia (1636). Suratkabar-suratkabar abad ke-17 ini bertiras sekitar 100
sampai 200 eksemplar sekali terbit.
Pada tahun 1650, suratkabar pertama terbit sebagai harian adalah
Einkommende Zeitung di Leipzig, Jerman. Pada tahun 1702 menyusul Daily
Courrant di London yang menjadi harian pertama Inggris yang berhasil
diterbitkan. Pada tahun 1833, di New York City, Benjamin H. Day, menerbitkan
untuk pertama kalinya apa yang disebut Penny newspaper (suratkabar murah yang
harganya satu penny). Jurnalisme kini telah tumbuh jauh melampaui suratkabar
pada awal kelahirannya. 26
Jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad ke-17 dan betul-betul
lahir dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe Inggris, kemudian
di pub, atau “kedai minum,” di Amerika. Di sini, pemilik bar, menjadi tuan rumah
dari perbincangan yang seru dari para pengelana di kedainya. Para pengelana ini
juga sering mencatat apa yang mereka lihat dan dengar dalam sebuah buku yang
disimpan di ujung bar. Di Inggris, kafe mengkhususkan diri pada jenis informasi
spesifik. Suratkabar pertama muncul dari kafe-kafe ini sekitar 1609, ketika
26
Ibid. h. 16-17.
percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip, dan argumen politik
dari kafe dan mencetaknya di atas kertas.27
Dengan evolusi suratkabar-suratkabar pertama, para politikus Inggris
mulai membicarakan sebuah fenomena baru, yang mereka sebut opini publik.
Pada awal abad ke-18, wartawan atau penerbit mulai memformulasikan teori
kebebasan berbicara dan pers bebas. Pada 1720, dua orang dari sebuah suratkabar
London, yang menulis dengan nama samaran “Cato,” memperkenalkan ide bahwa
kebenaran harus bisa menjadi pertahanan melawan pencemaran nama baik. Pada
waktu itu, hukum adat Inggris berbunyi sebaliknya, bukan hanya tiap kritik pada
pemerintah adalah sebuah tindak kejahatan, tetapi juga makin besar kebenaran,
makin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya, mengingat
kebenaran mempunyai daya rusak yang lebih hebat.28
Sehingga sampai pada pertengahan dekade tahun 1990-an, The Annenberg
Washington Program in Communication Policy Studies of Northwestern
University memproyeksi “perubahan media berita.” Proyeksi ini mengembangkan
perkembangan jurnalisme yang telah menggunakan multimedia. Koran tidak lagi
menjadi pemeran utama. Media cetak bergabung dengan media televisi, radio dan
internet. Sebuah pola penerimaan informasipun dirancang sampai ketingkat
tekonologi begitu rupa.29
2. Kelahiran Jurnalisme Di Indonesia
Di Indonesia, sejarah jurnalistik atau persuratkabaran muncul sejak zaman
penjajahan sejak. Percobaan pertama penerbitan pers pada zaman Hindia-Belanda
27
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, h. 17. 28 Jhon Trenchard dan William Gordon, Free Press, Hohenberg, h. 38. 29 Septian Santana K, Jurnalisme Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005),
h. 2.
yaitu pada pertengahan abad ke-17. berita-berita dari Eropa yang sampai ke
Batavia disusun oleh kantor Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen untuk
selanjutnya dikirim dalam bentuk tulisan tangan antara lain ke Ambon. Berita ini
bertajuk miring Memorie de Nouvelles (sekitar 1615) dan merupakan prototipe
suratkabar Belanda di negeri jajahannya ini. Namun demikian, berita yang masih
ditulis tangan ini belum bisa disebut koran pertama yang terbit di Indonesia.30
Namun pada abad ke 18, tahun 1744 muncullah sebuah suratkabar
bernama Bataviasche Nouvelles terbit dengan pengusahaan orang-orang Belanda.
Kemudian di Jakarta terbit Vendi Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada
berita pelelangan.31
Pada abad ke-19, baik pada massa penjajahan Inggris maupun Belanda,
Koran terus terbit silih berganti. Ketika Inggris berhasil mencaplok kawasan
Hindia Timur pada 1811, terbit koran berbahasa Inggris java Government
Gazertte pada awal 1812. kemudian, sekembalinya Belanda menguasai kawasan
tersebut pada tahun 1814, mereka menghentikan koran Inggris itu dan
menerbitkan lagi koran resminya sendiri, Bataviasche Coureant. Di samping
memuat berita-berita harian, koran ini juga memuat artikel-artikel ilmu
pengetahuan. Lalu, pada 1829 bataviasche Courant diganti lagi dengan Javasche
Courant yang terbit tiga kali seminggu, dan memuat pengumuman-pengumuman
resmi, peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.32
Selain itu
juga terbit berbagai suratkabar lainnya yang semuanya diusahakan oleh orang-
orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir penduduk pribumi
30 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, (Ciputat, PT Logos
Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah, 1999), h. 21. 31 Sudirman Tebba, h. 17. 32
Asep Saeful Muhtadi, h. 21.
yang bisa bahasa Belanda. Semua suratkabar ini hanya menyuarakan kepentingan
pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1854 media massa mulai dikelola oleh
kaum pribumi dengan terbitnya Majalah Bianglala dan Bromartani, keduanya di
Weltevreden. Selain itu pada tahun 1865 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di
Surabaya.
Sejak itu bermuncullah berbagai suratkabar dengan pemberitaanya yang
bersifat informatif sesuai dengan pemberitaannya yang bersifat informatif sesuai
dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan. Umumnya media peribumi
menggunakan nama-nama seperti “cahaya”, “sinar”, “terang”, “bintang”, dan
nama-nama lain yag diharapkan membawa harapan bagi kemajuan dan
pembebasan dari penjajahan. Muncul misalnya media yang bernama “Tjahaja
Siang”, “Tjahaja India”, “Tjahaja Moelia”, “Sinar Terang”, “Bintang Timoer”,
“Bintang Barat”, “Bintang Djohar”, “Bintang Betawi”, “Matahari”, dan lain
sebagainya. Umumnya media itu terbit di Jawa. Ini karena percetakan sebagai
sarana yang sangat vital untuk menerbitkan media, fasilitas-fasilitas lainnya serta
khalayak yang melek huruf kebanyakan berada di Jawa.33
Pada awal abad ke-20 kaum pribumi mulai banyak yang menerbitkan
media sendiri. Misalnya terbit Medan Prijaji yang terbit di Bandung. Media ini di
kelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Mulanya media ini
tahun 1907. Tirto Hardisurjo kemudian dikenal sebagai pelopor yang meletakkan
dasar jurnalistik modren di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pembuatan
karangan, iklan dan lain sebagainya.
33
Sudirman Tebba, h. 17.
Pers yang dikelola oleh pribumi makin berkembang setelah lahir
organisasi-organisasi massa dan gerakan-gerakan kebangsaan dan keagamaan
yang turut menerbitkan media, karena media itu menjadi alat perjuangan mereka.
Akibatnya media massa ini menyatu dengan perjuangan organisasi dan gerakan
kebangsaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Moh. Yamin, Haji Agoes Salim,
Rangkajo Rasuna Said, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Hadji Misbach,
Soetomo, Iwa Koesoema Soemantri, Ki Hadjar Dewantara, Duwes Dekker alias
Setyabudhi, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan tokoh-tokoh lainnya yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu. Yang mengakibatkan jatuh bangunnya perjuangan
organisasi dan gerakan itu.34
Perkembangan jurnalistik atau persuratkabaran ini terus tumbuh
berbarengan dengan arus kehidupan pergerakan nasional. Diantara beberapa koran
Indonesia yang bersifat nasional dan dinilai radikal yang terbit di Jawa saat itu,
antara lain, adalah Oetoesan Hindia, terbit di Surabaya di bawah Sarekat Islam
(1914), Neratja di Batavia (1917), Boedi Oetomo di Yogya (1920), Sri Djojobojo
di Kediri (1920), dan lain sebagainya. Di luar Jawa juga muncul semarak koran-
koran yang sebagiannya membawakan citra nasionalis Islam, seperti Tjaja
Soematra di Padang (1914), Benih Merdeka di Medan (1919), Hindia Sepakat di
Sibolga (1920), Oetoesan Islam di Gorontalo dan Oetoesan Boerneo di Pontianak
(1927).35
Setelah negara Indonesia merdeka, kehidupan pers ikut menikmati
kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan. Media massa pun bermunculan
seperti cendawan di musim hujan. Misalnya di Jakarta terbit Merdeka pada 1
34
Ibid. h. 18. 35 Asep Saeful Muhtadi, h. 21-22.
Oktober 1945. Di Yogyakarta terbit kedaulatan Rakyat (bekas Sinar Matahari)
tahun 1945, di Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Post tahun
1953, di Semarang terbit Suara Merdeka tahun 1950, di Bandung terbit Pikiran
Rakyat tahun 1956, dan lain sebagainya.
Namun kehidupan pers bebas itu hanya berlangsung selama masa
demokrasi Liberal (1945-1959) atau disebut juga sebagai sistem pers liberal yang
berlanjut sampai pada tahun (1959-1965) yaitu pada masa Demokrasi Terpimpin.
Pada masa inilah banyak pembatasan terhadap kehidupan pers, karenanya,
kehidupan pers Indonesia pada masa itu disebut sebagai pers otoriter. Kehidupan
pers yang tidak bebas itu berubah menjadi sedikit lebih bebas pada masa lahirnya
Orde Baru pada tahun 1966 sampai pada tahun 1974 atau bertepatan pada
peristiwa Malari (malapetaka lima belas januari). Selain itu pers di masa Orde
Baru ini disebut sebagai pers Pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggung
jawab.36
Selain itu di Indonesia juga terdapat beberapa penyajian sastra dalam
penulisan jurnalisme dipelopori oleh majalah Tempo. Pada tahun 1970-an,
majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia.
1. Fenomena Puisi
Di berbagai majalah dan Koran, eksperimen puitik sengaja dibuat untuk
kepentingan sajian rubik-rubik tertentu. Salah satunya catatan pinggir di majalah
Tempo.
2. Sastra
36 Ibid. h. 24.
Menurut Seno Gumira Ajidarma ketika jurnalisme dibungkam, sastra
harus bicara. Karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra berbicara
dengan kebenaran.
3. Bahasa Kekuasaan
Bahasa menjadi sarana untuk membuat sajian informasi beritanya menarik
dan sekaligus berhasil menembus birokrasi bahasa Negara yang menyembunyikan
kebenaran.
4. Puisi
Bahasa puisi merupakan bahasa yang bebas dari dari manipulasi dan
pemalsuan arti. Bahasanya jujur, tulus, dan tertuju pada kehendak untuk
memurnikan arti kata-kata, menjadi sebuah pilihan bagi jurnalis. Dengan bahasa
ini jurnalis dapat menghindari bahasa yang klise, ruwet, takut-takut, penuh
indoktrinasi, dan terbirokrasi.37
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya
dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari
perkembangan pers, di antaranya yang terpenting ialaha munculnya suatu teori
jurnalistik yang disebut jurnalistik baru yang secara garis besar didefinisikan
sebagai kegiatan jurnalistik yang menggali fakta-fakta yang tersembunyi tidak
terbatas peristiwa yang kelihatan di permukaan saja. Fakta yang tersembunyi
hanya bisa diketahui dengan menggali pada berbagai sumber, seperti wawancara
37 www.bachtiarhakim.wordpress.com.jurnalisme-sastra-septiawan-santana, di ambil pada
tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:30 wib.
dengan orang atau nara sumber yang bersangkutan, berita surat kabar yang pernah
ada, ulasan di majalah dan buku, dan lain sebagainya.
Jika dilihat dari sisi lain jurnalistik juga sudah mulai memasuki dunia
perguruan tinggi setelah Indonesia merdeka. Jurnalistik dikaji dengan melibatkan
berbagai disiplin ilmu yang terkait. Sehingga secara formal, dari sisi kelembagaan,
ilmu itu di tempatkan pada fakultas yang berbeda-beda.38
C. Pengertian Jurnalisme Sastra
Gay Talase (1970) mengatakan: Meski seperti fiksi, jurnalisme ini
bukanlah fiksi. Pengaruh fiksi memang sangat kental dalam laporan jurnalis yang
dijalankan di sela-sela teks fakta.
Menurut Atmakusumah yang mengutip Tom wolf, mengatakan: sebuah
bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa kongkret, serta
melibatkan emosi dan mutu penulisnya.”
Menurut Mark Kramer:
“Istilah jurnalisme sastra yang kemudian menyebar dari new journalism
yang diperkenalkan oleh Tom Wolfe, berkembang pada pertengahan tahun 1960-
an yang penuh pemberontakan. Jurnalisme sastra lalu memasuki berbagai wilayah
penulisan, misalnya penulisan traveling, memoar, esai-esai historis dan etnografis,
dan sejumlah fiksi, bahkan semifiksi ambigu yang berasal dari peristiwa-peristiwa
nyata.” (Kurnia, 2002:9-18).
Tom Wolfe membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang
membedakannya dengan jurnalisme konvensional, diantaranya: Pemakaian
konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan pemakaian
sudut pandang orang ketiga.
38
Asep Saeful Muhtadi, h. 24.
Catatan yang rinci tentang gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol
kehidupan orang-orang yang muncul dalam peristiwa.
Jurnalistik sastra itu sendiri mengikuti terminologi Kolumnis Mahbub
Djunaidi. Kisahnya di mulai Amerika Serikat, yaitu pada dekade 1960 lahir dan
kemudian tumbuh apa yang disebut jurnalisme baru (new journalisme). Pada
dasarnya, penganut aliran jurnalisme baru menolak berbagai paham dan kinerja
yang sudah lama dikembangkan jurnalisme lama yang konvensional. Fadler
seorang komunikolog membagi jurnalisme baru dalam empat pengertian, di
antaranya:
a. Advocacy Journalism
Advocacy Journalismi atau jurnalisme advokasi adalah kegiatan jurnalistik
yang berupaya menyuntikkan opini kedalam berita. Tiap reportase, tanpa
menginkari fakta, diarahkan untuk membentuk opini publik. Rangkian opini yang
terbentuk dan hendak diapungkan didapat dari kerja para jurnalis ketika memroses
liputan fakta demi fakta secara intens dan sungguh-sunggh. Jadi, kesimpulan opini
mereka memiliki korelasi erat dengan ralitas fakta peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat.
b. Alternative Journalism
Alternative Journalism atau jurnalisme alternatif merupakan kegiatan
jurnalistik yang menyangkut publikasi internal dan bersifat lebih personal. Jurnal-
jurnal alternatif memunculkan tulisan-tulisan yang hendak membasmi korupsi,
dengan tampilan yang lain dari “anjing menyalak”, dan melebihi media
underground konvensional dalam performa kritikan dan liputannya. Tujuan
mereka adalah menggerakkan minat dan sikap dan prilaku. Tampilan profesional,
spesifikasi bidang pemberitaan, dan target umum pembaca digarap sebaik-baiknya
oleh jurnalisme alternatif.
c. Precision Journalism
Precision Journalism atau jurnalisme presisi adalah kegiatan jurnalistik
yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu
sosial dalam proses kerjanya. Perkembangan jurnalisme presisi difokuskan pada
kerja pencarian data. Kerja jurnalistik dibatasi dengan ukuran ketepatan informasi
yang empirik. Hasil kerja liputan para jurnalisnya harus memiliki kredibilitas
akademis ketika diinterpretasi oleh masyarakat dengan menggunakan kegiatan
penelitian yang terencana dan sistematis.
d. Literacy Journalism
Literacy Journalism atau jurnalisme sastra, membahas pamakaian gaya
penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel
menjadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang
memberikan detail-detail potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada
pembaca untuk dipikirkan, digambarkan, dan ditarik kesimpulannya. Pembaca
disuruhi mengimajikan tampakan fakta-fakta yang telah dirancang jurnalis dalam
urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana.39
Jurnalisme Sastra merupakan sebuah metode penulisan dalam jurnalistik di
samping metode penulisan yang sudah ada. Jurnalisme Sastra satu berada di ranah
fakta. Satu lagi di ranah fiksi dan menjadi sebuah konsep yang kontrakdiktif: fiksi
atau fakta. Ia seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia
39AS Haris Sumadiria, h. 168-172.
juga seratus persen fakta, bukan fiksi. Pada teknik penulisan dalam jurnalistik
lama, umpamanya, dikenal beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan
khas. Berita lurus, sebagai contoh, terdiri atas beberapa elemen 5W+1H. Elemen
yang dianggap terpenting menjadi teras.
Elemen-elemen selanjutnya memberikan penjelasan tambahan atas teras.
Informasi tambahan semakin lama semakin tidak penting atau semakin bisa
dibuang. Struktur penulisan semacam ini memungkinkan editor menyesuaikan
teks berita dengan keterbatasan ruang secara gampang. Jika ruang tak mampu
menampung teks berita secara penuh, bagian terbawah dipotong, atau dihapus
lantaran kurang penting dibanding bagian di atasnya.
Menurut Andreas Harsono ketua Yayasan Pantau memaparkan pengertian
Jurnalisme Sastra, yaitu:
“Jurnalisme adalah segala upaya menyampaikan informasi untuk
menyampaikan kebenaran atau faktual kepadaya khalayak luas. Namun ada beberapa bagian penting dalam struktur penulisan jurnalistik di media cetak,
seperti piramida terbalik atau disebut juga Straight news, yang kedua yaitu feature
yang penulisannya dibuat dengan satu sudut pandang yang berbeda (one angles)
dan tetap fokus pada struktur penulisannya dan yang ketiga yaitu narasi yang di
buat dari dua sudut pandang yang berbeda-beda (multiple angles) dan tetap fokus
pada struktur penulisannya. Salah satu penggunaan gaya penulisan yang
digunakan dalam jurnalistik sastrawi yaitu menggunakan gaya narasi atau di sebut
juga narative reporting.”40
Jurnalisme Sastra merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau
gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana
reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya
sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolf, wartawan-cum-novelis, pada
1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme
baru). Genre ini kemudian dikenal dengan nama literary journalism atau
40 Hasil wawancara langsung dengan Andreas Harsono, pada tanggal 14 April 2009,
pukul 11:00 wib, di apartemen Permata Senayan Jakarta Selatan.
narrative reporting. Suratkabar-suratkabar Amerika banyak memakai elemennya
ketika kecepatan televisi dan dotcom memaksa mereka tampil dengan laporan-
laporan yang analitis dan mendalam. Suratkabar tak mungkin bersaing cepat
dengan televisi.
Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida,
mengembangkan pedoman standar menjadi pendekatan baru yang naratif 5W 1H
adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), whene (kapan),
why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah
esei Nieman Report, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur,
where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, how menjadi
narasi. 41
Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap
serbuan televisi, radio, dan internet. Suratkabar bisa berkembang bila menyajikan
berita yang dalam dan analitis.
Dari beberapa pengertian tentang Jurnalisme Sastra yang telah dijelaskan
sebelumnya, penulis menyimpulkan bahawa narasi atau Jurnalisme Sastra
merupakan karya jurnalistik sastra yang dibuat dalam gaya penulisan fiksi, naratif,
dan imajinatif yang memiliki nilai sastra yang tinggi dan berupaya keras untuk
membuat hal yang penting menarik dan relevan sehingga pembaca tertarik untuk
masuk mendalami sebuah karya sastra jurnalistik tersebut.
41
Andreas Harsono dan Budi Setiyono, h.viii-ix.
BAB III
GAMBARAN UMUM
JURNALISME SASTRA DI INDONESIA
A. Konteks Kelahiran
Kehidupan pers bebas di Indonesia baru mulai pada 1998 saat Soeharto
ambruk. Buntutnya, republik ini tidak punya sejarah jurnalisme yang panjang.
Indonesia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar
menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritannya.
Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan meningkatkan
mutu jurnalisme. Mulanya ia didirikan sebagai sebuah majalah pada 1999. Namun
majalah Pantau ditutup pada 2003. Awaknya, mendirikan Yayasan Pantau untuk
meneruskan cita-cita majalah.
Pantau juga bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia. Sejak 2003,
Pantau aktif dan berinsiatif menjalankan program pelatihan wartawan, konsultan
media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas demi mendorong perbaikan mutu
jurnalisme di Indonesia, utamanya kawasan timur Indonesia.
Awalnya Pantau sebuah majalah yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) pada 1999. Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan
panjang dan mendalam, soal media, Aceh, terorisme, dan lain-lain. Isinya, sekitar
60 persen soal media dan 40 persen nonmedia. Pantau jadi fenomena baru dalam
jurnalisme Indonesia karena untuk kali pertama media Indonesia diliput media
lain dengan standar wajar -tanpa standar ganda karena khawatir saling
mengganggu sesama wartawan.
Sejak 2001, Yayasan Pantau menjalankan kursus menulis tiap semester:
Kursus Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele dari Universitas George
Washington, dan Andreas Harsono serta Linda Christanty dari Pantau.
Menurut Wakil Direktur Yayasan Pantau Budi Setiyono:
“Sejak 2001 Yayasan Pantau mengulas media dengan Jurnalisme Sastra (lebih mengadopsi unsusr-unsur sastra) dengan cangkupan lebih luas dan liputan
lebih mendalam lagi, serta terdapat standarisasi dari media-media lainnya. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa narasi akan tetapi lebih ke feature. Sistem yang bergerak di dalamnya terdapat kontributor-kontributor di berbagai daerah, selain
itu juga Pantau mengadakan kursus narasi, guna melatih para peserta bisa membuat narasi dengan baik.”42
Sejak 2003, Yayasan Pantau aktif menjalankan program pelatihan
wartawan serta diskusi demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia
dan sekitarnya. Pada Februari 2003, manajemen ISAI memutuskan menutup
majalah Pantau karena kesulitan cash flow. Ini mengecewakan cukup banyak
kontributor Pantau. Mereka merasa misi meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia
dan melayani publik lewat informasi-informasi yang independen dan bermutu jadi
terputus. Mereka ingin majalah ini diterbitkan lagi karena di Indonesia tak ada
media yang menyajikan informasi dengan bercerita atau "story telling" macam
The New Yorker atau The Atlantic Monthly. Riset dalam, banyak referensi, dan
enak dibaca.
Pada Agustus 2003, mereka berinsiatif mendirikan Yayasan Pantau.
Majalahnya terbit lagi. Isunya diperluas: politik-cum-kebudayaan. Tapi karena
investor yang tadinya mau masuk mengurungkan niatnya dan Pantau sendiri tak
punya tenaga bisnis yang mumpuni, majalah ini kembali berhenti terbit. Majalah
42 Hasil wawancara langsung dengan Budi Setiyono, pada tanggal 13 April 2009, pukul
13:00 wib, di Yaysan Pantau Jakarta Selatan.
ini hanya sempat hadir tiga edisi.
Berbagai kerjasama telah dilakukan. Pada Desember 2003 misalnya,
Pantau bekerjasama dengan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menghadirkan
Bill Kovach, wartawan terkemuka dunia, ketua Committee of Concerned
Journalist dan kurator Nieman Foundation, Harvard University. Kovach
berdiskusi di sejumlah kota di Indonesia, sambil meluncurkan bukunya "The
Elements of Journalism," yang diterbitkan Yayasan Pantau dalam bahasa Melayu.
Pada Desember 2004, Yayasan Pantau menggandeng Michael Cowan,
pengajar pada Columbia Graduate School of Journalism, New York, yang juga
produser acara "Today" NBC.
Kerjasama internasional lain adalah dengan penulis buku "Covering
Globalization," Anya Schiffrin dari Initiative of Policy Dialogue, sebuah lembaga
nirlaba yang dikembangkan penerima Nobel Joseph E. Stiglitz. Beberapa nama
lain adalah Mila Rosenthal dari Columbia University.
Sejak April 2005, Pantau bekerjasama dengan Bisnis Indonesia untuk
melakukan workshop terhadap 60 wartawannya yang berlangsung selama empat
bulan. Pada Mei 2005, Pantau bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia melatih
wartawan-wartawan di Papua. Pantau juga mengorganisir jadwal dan kunjungan
US Jefferson Fellows di Indonesia dan pada Juli hingga Desember 2005. Pantau
terlibat dengan sejumlah riset dan training di Kupang, Ende, Aceh, Lampung,
Pontianak, Jember dan sebagainya.
Yayasan Pantau juga membuka Kursus Narasi yang cocok untuk orang
yang berminat menulis esai atau buku sejak tahun 2007. Pendekatannya pada
materi nonfiksi. Kursus ini diampu oleh Andreas Harsono dan Budi Setiyono (klik
“TRAINING”).
Yayasan Pantau juga memiliki sebuah kantor di Aceh, yang menjalankan
program pemantauan atas rekonstruksi dan media di Aceh pascatsunami dan
pascakonflik. Seiring dengan kebutuhan pengembangan tema liputan dan
permintaan pembaca, kini kantor ini juga menyediakan feature atau narasi dari
luar Aceh. Liputan-liputannya dijual melalui Sindikasi Pantau.
Yayasan Pantau juga mengelola sebuah mailing list pantau-
[email protected] dengan anggota lebih dari 600 wartawan, produser,
dan mahasiswa. Ada juga mailing list [email protected] yang
jadi medium komunikasi anggota Pantau. Sejumlah anggota Pantau telah
memenangi beberapa penghargaan dalam bidang jurnalisme, fotografi, kartun,
desain, dan karya fiksi.43
Yayasan Pantau juga memiliki banyak cara untuk menunjukkan sikap
perduli terhadap jurnalisme di Indonesia, tak hanya sebatas menerbitkan majalah
tapi juga melatih wartawan-wartawan di Indonesia dan menjalin kerjasama
sinergi, baik dalam skala lokal, nasional, dan internasional. Banyak alumni dari
program-program ini ikut menulis. Kini ada sekitar 90 orang yang ikut menulis,
memotret atau menggambar untuk majalah maupun sindikasi Pantau.
43 www.pantau.com, di ambil pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10:30 wib
B. Struktur Organisasi Yayasan Pantau
Ketua Yayasan: Andreas Harsono
Sekretaris Yayasan: BudiSetiyono Bendahara Yayasan: Artine Utomo
44
44 Yayasan Pantau, (Jakarta, Kebayoran Lama, 2009).
BOARDBOARDBOARDBOARD RTS Masli
Daniel Dhakidae Hamid Basyaib Artine Utomo
DIREKTURDIREKTURDIREKTURDIREKTUR Andreas Harsono WAKIL DIREKTURWAKIL DIREKTURWAKIL DIREKTURWAKIL DIREKTUR
Budi Setiyono
MANAGER PROGRAMMANAGER PROGRAMMANAGER PROGRAMMANAGER PROGRAM Imam Shofwan
STAF KEUANGANSTAF KEUANGANSTAF KEUANGANSTAF KEUANGAN Widji Lestari
STAF PROGRAMSTAF PROGRAMSTAF PROGRAMSTAF PROGRAM
Siiti Nurrofiqoh
STAF UMUMSTAF UMUMSTAF UMUMSTAF UMUM Khoirudin
KONTRIBUTORKONTRIBUTORKONTRIBUTORKONTRIBUTOR//// HONORERHONORERHONORERHONORER
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Proses Kelahiran Jurnalisme Sastra dan Perkembangannya di Indonesia
Sejarah lahirnya Jurnalisme Sastra di awalai oleh Tom Wolfe, wartawan
cum novelis wartawan asal Amerika, pada 1960-an memperkenalkan genre atau
gerakan ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru). Ia memberikan
batasan Jurnalisme Sastra pada tahun 1973 dalam antologi berjudul The New
Journalism. Isinya kumpulan artikel-artikel terkemuka pada saat itu. Ia menyebut
artikel-artikel itu sebagai jurnalisme baru, sedangkan para penulisnya jurnalis
baru.
Pada 1973, Wolfe dan E. Johnson menerbitkan ontologi dengan judul The
New Journalism. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka pada zaman itu,
antara lain tulisan dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy
Breslin, dan Wolfe sendiri. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-
hari karena dalam bertutur menggunakan adegan demi adegan (scene by scene
construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan
sudut pandang orang ketiga (third person point of view), dan penuh dengan detail.
Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan bahkan ratusan narasumber. Risetnya
tidak main-main. Waktu bekerjanya bisa berbualn-bulan.
Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang
menyebut narrative reporting atau passionate journalism. Pulitzer Prize
menyebutnya explorative journalism. Apapun sebutannya, genre ini menukik
sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting.
Laporannya panjang dan utuh tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.45
Sejarah lahirnya jurnalisme baru menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru
dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan
investigatif atau unvestigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan
Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan
investigative di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.
Jurnalistik baru beritanya bersifat mulitilinier, tidak seperti jurnalistik lama
yang bersifat linier (satu referensi saja). Artinya jurnalistik baru mengunakan
referensi-refernsi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-
referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu,
kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya. Sehingga beritanya jauh lebih
lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama. Contohnya jika
terjadi banji, maka beritanya tidak terbatas banjir itu saja, tetapi dilengkapai
dengan data lain tentang peristiwa banjir ditempat itu di waktu yang lalu, seperti
minggu lalu atau bulan lalu atau sekian tahun lalu di tempat tersebut pernah terjadi
banjir yang sama besarnya atau malah lebih besar dari pada yang terjadi sekarang.
Jadi, jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi yang
kelihatan di permukaan saja. Fakta yang tersembunyi hanya bisa diketahui dengan
menggali pada berbagai sumber, seperti wawancara dengan orang yang
mengetahui kasus itu, berita surat kabar yang pernah ada, ulasan majalah dan
buku, dan sebagainya.46
45
Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, (Jakarta, Yayasan Pantau Kebayoran Lama), 2005, h. viii. 46 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat, Kalam Indonesia Kampung Utan, 2005),
h. 23-25.
Di Indoneisa Jurnalisme Sastra memberi tempat bagi wartawan untuk
mengakutalisasikan keberadaan dirinya. Sebab, ia menuntut seorang wartawan
untuk mampu membuat narasi, ataupun deksripsi yang rinci, hidup, kontekstual,
dan relevan. Tidak mungkin seorang wartawan hasil seminggu pelatihan hanya
dengan bekal 5W+1H bisa memenuhi standar karya Jurnalisme Sastra
Namun gerakan ini tidak berkembang karena tak ada media yang mau
menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah yang panjang. Mekipun
hanya ada satu media yaitu Yayasan Pantau dan sempat menerbitkan majalah
pantau sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2004. Namun di karenakan masalah
finacial yang kurang memadai dan biaya produksi semakin membengkak karena
ruang halaman harus tersedia lebih banyak. maka majalah ini tidak terbit lagi dan
tutup pada tahun 2004.
Untuk menutupi kegagalan itu Yayasan Pantau mengadakan kursus
menulis tiap semester: Kursus Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele
dari Universitas George Washington, dan Andreas Harsono serta Linda Christanty
dari Yayasan Pantau. Yang bertujuan mengembangkan bakat para penulis berita
atau wartawan yang ingin mendalami penulisan berita Jurnalisme Sastra.47
B. Isi Jurnalisme Sastra serta Unsur-unsur Penulisan Feature dan Straight News.
1. Penulisan Jurnalisme Sastra.
Ada tiga hal yang penting di dalam Jurnalisme Sastra, yaitu :
a. Tulisannya bersifat jurnalistik, yang disuguhkan kepada pembaca. Sifat
jurnalistiknya tercermin dari penggalian subyek berita yang sungguh-
47
Yayasan Pantau, Jakarta, 2009.
sungguh menerapkan asas-asas jurnalistik: berdasar peristiwa aktual,
wawancara atau datang langsung ke sumber berita, jujur, mencakup
sumber dua arah, dan lainnya.
b. Tak sekadar suatu laporan yang singkat dan dangkal. Yaitu berdasar pada
suatu investigasi yang mendalam, yang meliputi pengamatan dan
wawancara yang luas. Pada tingkat tertentu, boleh dikata, investigasi ini
sudah setara untuk tidak mengatakannya kadang bahkan melebihi suatu
penelitian sosial. Tak jarang ia diperlengkapi pula dengan studi pustaka.
Membacanya kita bukan semata beroleh keping-keping informasi, tapi
juga suatu pengetahuan. Kita tak sekadar mendapat kesan, tapi sungguh
seperti menemu ilmu.
c. Sebagaimana adjektif yang disandang Jurnalisme Sastra dihadirkan
sebagai laporan panjang atau sejenis feature yang ditulis dengan pola
seperti orang bercerita. Dan memang pada dasarnya ia hendak bercerita,
bukan sekadar berkabar. Lancar, mengalir, dan renyah. Tidak kaku dan
berat sebagaimana bahasa ilmiah, namun juga tidak dangkal sebagaimana
tulisan straight news biasa. Diksinya dipilih dengan cermat. Sebisa
mungkin tidak boleh ada pengulangan kata. Kalimat-kalimat yang panjang
dan bertingkat, yang membuat rumit dan berbelit, sedemikian rupa
dihindari. Pembaca lalu seperti disuguhkan sebuah tulisan bergaya sastra,
yang tak membosankan dan ingin terus mencicipinya.
Dari ketiga hal di atas setara pentingnya. Tak ada yang lebih utama dan tak
ada yang lebih di belakang. Ketiganya merupakan pokok yang menyatu dan
berada dalam satu tubuh yang disebut Jurnalisme Sastra itu. Kemampuan
jurnalistik, penelitian sosial, dan penulisan bergaya sastra sekaligus tampaknya
harus dimiliki oleh seorang pelaku Jurnalisme Sastra.48
2. Aturan-Aturan Jurnalisme Sastra
a. Riset mendalam dan melibatkan diri dengan subjek
Jurnalisme sastra membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan
reportase. Oleh sebab itu data yang ada lebih akurat dan mendalam. Selain itu para
jurnalis sastra harus lebih mendekatkan diri kepada sumber agar data yang ada
semakin akurat. Jurnalis juga harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap
perilaku sumber.
b. Jujur kepada pembaca dan sumber berita
Pembaca merupakan hakim yang tidak boleh dibohongi penulis.oleh
karena itu, jurnalis harus menjaga hubungan baik dengan pembaca dan sumber
berita.
• Hubungan penulis dengan pembaca
Penulis tidak boleh dengan sengaja mengkombinasi atau memperbaiki
adegan demi adegan, mengagregasi karakter, memoles kutipan, atau mengubah
keaslian materi liputan mereka. Ini yang membedakan mereka dengan penulis
fiksi.
• Hubungan penulis dengan sumber berita
Ini menyangkut cara mencari dan menjaga kepercayaan narasumber
terhadap penulis. Penulis harus tetap bisa memperoleh informasi yang otentik
berdasarkan kesepakatan dengan para narasumber seperti mitra bisnis, atau teman
dekat.
48 www.semestanet.com, di ambil pada tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:00 wib.
c. Fokus pada peristiwa rutin
Untuk memudahkan penulis memperoleh bahan maka biasanya mereka
mencarinya di tempat yang dapat dikunjungi.
d. Menyajikan tulisan yang akrab-informal-manusiawi
Penulis harus menulis secara akrab, tulus ironis, keliru, penuh penilaian
dan manusiawi. Namun tetap tanpa opini pribadi. Karena apa yang disajikan
kepada pembaca adalah fakta.
e. Gaya penulisan yang sederhana dan memikat
Penulisan sederhana dan memikat diperlukan untuk membuat pembaca
tidak hanya melihat tetapi juga merasakan peristiwa.
f. Sudut pandang yang langsung menyapa pembaca
Penulis tidak memposisikan diri secara statis.
g. Menggabungkan narasi primer dan narasi simpangan
Penulis menggabungkan antara kisah utama dengan kisah pendukung yang
akan melengkapi laporan.49
Menurut Robert Vare seoarang wartawan majalah The New Yorker dan
The Rolling Stones, mengatakan:
“ Ada tujuh pertimbangan bila anda hendak menulis narasi, diantaranya :
a. Fakta, jurnalisme menyucikan fakta. Walau pake dasar “sastra” tetapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama oarang adalah nama
49
www.wordpress.com, Jurnalisme-Sastra-Septiawan-Santana, di ambil pada tanggal
tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:15 wib.
sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.
Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru. Jurnalisme sastra bukan reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis, Narasi boleh puitis tapi tak
semua prosa yang puitis adalah narasi. b. Konflik, sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila
ada konflik atau sengketa. Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain, ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok, pertentangan
seseorang dengan hati nuraninya, bisa berupa pertentengan seseoarang dengan nilai-nilai dimasyarakatnya, dan lain sebagainya. Pendek kata, konflik atau
sengketa termasuk unur penting dalam narasi.
c. Karakter, narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat
cerita. Ada karakter utama dan karakter pembantu. Karakter utama
seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian
menarik. Tak datar dan tak menyerah denga mudah.
d. Akses, bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian,
gambar, kawan, musuh, dan lain sebagainya.
e. Emosi, ia bisa rasa cinta, pengkhianatan, kebencian, kesetiaan, kekaguman,
sikap menjilat dan lain sebagainya.
f. Perjalanan waktu, diibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah
potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang
berputar. Ia juga membedakan narasi dari feature. Narasi semacam vedeo
“series of time” peristiwa berjalan bersama waktu. Sedangkan feature semacam potret sekali jepret. Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan.
g. Unsur kebaruan, tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang
jadi saksi mata peristiwa besar.”50
Jika digambarkan, srtuktur penulisan jurnalisme sastra seperti gambar di
bawah ini:
50 Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, (Jakarta, Yayasan Pantau Kebayoran Lama, 2005), h. xii-xv.
3. Kategori Feature News
Friedlander dan Lee memilih beberapa ketegori feature. Ada 14 tipe
newspaper feature. Tiap kategori memiliki kekuatan Appeal tertentu dan tiap-
tiap kategori membangun tipoik-topik tertentu,
a. The Bussiness Story
Kisah-kisah human interest diseputar soal bisnis. Pengisahnya biasanya
melaporkan bagaimana dunia bisnis penjualan, para pelaku bisnis. Seperti
seorang direktur penjualan yang sukses dibeli oleh perusahaan lain dengan
harga mahal. Kisah feature melaporkan cara kerja, konsep dan filosofi
kerja, sampai kehidupan masa kecil dan keluarganya.
b. The Commemorative Story
Kisah-kisah human interest mengenai perayaan, peringatan, atau nostalgia
yang diupacarakan. Dalam hal ini media sering mengkhususkan laporan
mengenai peryaan Tahun Baru.
c. The Explanatory Story
Feature yang melaporkan proses kegiatan seperti bagaimana persiapan
partai-partai politik menghadapi pelaksanaan pemilihan umum, bagaimana
sebuah satsiun radio komersial memprogramkan acara siarannya,
bagaimana perajin lokal memproduksi barang yang berkualitas ekspor, dan
lain sebagainya.
d. The First-Person Story
Feature yang menceritakan seorang yang menuturkan pengalamannya.
Ada peristiwa personal yang ditunggu khalayak. Korban bencana alam
nasional yang selamat, pertemuan seseorang dengan tokoh terkenal, dan
lain sebagainya.
e. The Historical Story
Feature tentang sejarah. Tempat-tempat bersejarah, kisah di balik
peristiwa sejarah, dibalik kehidupan tokoh-tokoh sejarah, dan lain
sebagainya.
f. The Hobbyist Story
Feature yang menceritakan tentang kegemaran yang unik dari seseorang.
Kisah-kisah kolektor barang-barang antik seperti kolektor mainan
kendaraan perang, dan lain sebagainya.
g. The How-To Story
Feature yang menceritakan “how to how-how” bagaimana seseorang atau
sesuatu hal memproses sebuah kegiatan. Seperti bagaimana keberhasilan
seseorang mencangkok tanaman tertentu hingga tumbuh dan berbuah
dalam waktu yang tidak biasa, kisah pengacara yang selalu memenangkan
perkaranya, dan lain sebagainya.
h. The Invention Story
Feature yang menceritakan tentang penemuan-penemuan, seperti seorang
peneliti menemukan pengobatan dari tetumbuhan atau hewan-hewan atau
sesuatu yang tidak terduga, seperti menemukan rakitan teknologi robot,
dan lain sebagainya.
i. The Medical Story
Feature yang menceritakan tentang penyakit-penyakit yang diderita oleh
manusia yang menyebabkan kematian, seperti penyakit AIDS, kangker,
tumor, jantung, dan lain sebagainya.
j. The Odd-Ocuption Story
Feature yang menceritakan seorang pekerja yang memiliki pekerjakan
yang unik. Seperti kisah pembersih jendela luar gedung pencakar langit
yang menempel di ketinggian puluhan tingkat dikota-kota besar atau kisah
seorang penggali kuburm perias jenazah atau pembakar mayat orang yang
diabukan, dan lain sebagainya.
k. The Overview Story
Feature yang menceritakan sebuah fenomena aktual di masyarakat, seperti
peristiwa kebakaran yang dilaporkan melalui penuturan human interest,
problema-problema sosial, dan lain sebagainya.
l. The Participation Story
Kisah-kisah Feature yang dibuat dengan keterlibatan penuh dari penulis.
Seperti seorang wartawan tinggal dan hidup berbulan-berbulan di wilayah
konflik, mengikuti dan mengamati pertempuran yang terjadi. Laporannya
memberi detail-detail yang jarang terungkap pemberitaan reguler.
m. The Profile Story
Feature yang menceritakan profil tokoh-tokoh publik yang tengah jadi
pembicaraan. Yaitu menggambarkan potret diri seseorang. Tidak hanya
untuk lebih baik lagi penulis profil mengerjakan riset dan wawancara
orang-orang yang mengenali tokoh tersebut.
n. The Unfamiliar Visitor Story
Didalam kisah feature ini yaitu mengangkat perspektif orang-orang yang
menjadi unfamiliar visitor di masyarakat sehingga khalayak memahami
sebuah peristiwa denga lebih bak lagi. Seperti konflik agama dan suku
terjadi di wilayah timur Indonesia, orang-orang Ambon atau Maluku
(unfamiliar visitor) yang tengah berada di Jakarta diwawancara.
Tanggapan, kepedulian, dan kehidupan mereka di laporkan.51
4. Struktur Penulisan Feature
51
Septian Santana K, Jurnalisme Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005),
hal. 39-41.
Kisah penulisan feature berkembang sejak jurnalisme modern diterapkan
di Amerika. Pada fase “penny press” di tahun 1830-an. Kisahnya mengadopsi
struktur cerita pendek.
Struktur penulisan Feature terbagi kedalam tiga bagian, yaitu: awal
(beginnings), tengah (middles), dan akhir (ends). Berbeda dengan kisah berita,
feature tidak mengarahkan pembaca. Penulis feature membangun bacaan
seutuh mungkin, dalam urutan yang mudah dipahami. Kisahnya tidak bisa
dipenggal-penggal. Hanya bisa diedit dengan hati-hati, pada setip bagian dan
keseluruhan kisahnya, dari awal sampai akhir kisahnya.
Menurut Daniel R. Williamson (1975: 26) dalam buku Feature Writing for
Newspapers, mengatakan:
“Kunci pembuka kisah feature ada di paragraf pertama, the lead”
Lead menjadi awal pembaca hendak meneruskan bacaannya. Wartawan
berusaha keras mengarangsir kata-kata dibagian-bagian ini, agar bisa
mengajak pembaca masuk ke dalam pengisahan.
Usai mengatasi lead, penulis feature berhadapan dengan body (tubuh
berita) dan ending (penutup). Bila diurut, struktur feature terdiri dari:
a. Judul
Setiap judul memerlukan penanganan yang cermat. Melalui judul,
pembaca diajak dan ditarik minat perhatiannya. Dalam feature, judul tidak
perlu berupa ringkasan. Yang penting, harus dibuat semenarik mungkin
dan dapat menggugah pembaca.
Judul feature tidak mesti berkaitan dengan lead. Model ini tidak harus
di tulis secara S-P-O-K (Subyek-Predikat-Objek-Keterangan). Tidak harus
tegas menyiratkan arti. Makna ambigu kerap dibutuhkan bahkan bila perlu
imajinatif karena semua ini diperlukan untuk menggugah pembaca.
b. Lead
Lead berguna sebagai pemancing minat dan atensi pembaca. Setiap
reporter punya kesadaran tinggi akan perlunya lead. Mereka menghindari
lead tidak bermutu dan itu-itu saja.
Lead pada feature memiliki dua tujuan, pertama, menarik pembaca
untuk mengikuti materi tulisan. Kedua, merupakan cara melancarkan
pemaparan kisah.
Untuk dua tujuan itu, lead pun terdiri dari beberapa pilihan dengan
kegunaan masing-masing. Ada yang untuk menyentak pembaca, atau
menggelitik rasa ingin tahu pembaca, atau merojok imajinasi pembaca,
atau meringkas isi feature yang akan dibaca.
Tapi, dalam feature, penulis punya banyak keleluasaan dalam
memaparkan atau menjelaskan yang ingin diungkapkan. Karena itu, dalam
lead, penulis bisa mengombinasi satu-dua jenis lead yang dianggap tepat.
c. Body
Body kisah feature memiliki karakteristik tertentu. Setiap bagiannya
bersifat unity (saling menyatu), koheren (saling berhubungan), dan
mengundang emphasis (penekanan tertentu) pada tiap paragrapnya.
Ketiga hal itu melancarkan pengisahan. Ketiganya mengarahkan tema
pokok laporan, mengemas materi penting, menjembatani perpindahan
paragraf dengan enak, mengalir, dan menjauhi kekakuan.
d. ending.
Penutup merupakan bagian akhir dari struktur penulisan feature. Suatu
feature memerlukan ending. Ending menjadi penguat tulisan disusun
dengan cermat, dan berhubungan dengan keseluruhan laporan. Penutup
mendorong akhir kisah menjadi satu kesatuan dengan lead dan Body.52
Jiga digambarkan, struktur penulisan feature seperti gambar di bawah ini:
5. Unsur 5 W + 1 H dalam Lead (Straight News)
52 Ibid. h. 41-47.
Jurnalisme seringkali disebut “literatur in hurry,” kesusastraan yang
terburu-buru. Dalam pekerjaan jurnalistik ada unsur ketergesa-gesaan dan
kebutuhan akan kecepatan. Itulah sebabnya, sejak munculnya suratkabar sampai
sekarang berkembang teknik-teknik penulisan berita yang mengacu pada
kecepatan ini, sehingga berita-berita yang ditulis di suratkabar-suratkabar, apalagi
di radio dan televisi bentuknya singkat, padat, dan ringkas.53
Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak ada satu cara pun yang sama yang
digunakan suratkabar dalam penulisan beritanya meskipun acuannya masih sama,
yaitu kecepatan. Cobalah perhatikan berita-berita yang ditulis suratkabar-
suratkabar tentang peristiwa yang sama, maka kita akan mengerti tentang maksud
kalimat diatas. Meskipun demikian, jika diperhatikan dengan lebih seksama, maka
terilaht bahwa berita-berita di suratkabar umumnya mengikuti sebuah pola, yakni
pola piramida terbalik.
53Muhammad Budyatna, Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya
Offset, 2006), h. 125.
Lead berarti “yang diatas”, “yang didepan”, dan “yang memimpin”.
Karena itu, lead atau teras atau intro dalam berita ialah sebuah kalimat atau
sejumlah kalimat pertama pada sebuah berita yang dimaksudkan untuk menarik
minat agar khalayak (pemonton, pendengar, pembaca) mengikuti berita itu. Juga
dimaksudkan untuk membuat jalan supaya alur berita jadi lancar dan untuk
menekankan arti berita.54
Lead harus mengungkapkan unsur terpenting dalam sebuah berita. Unsur
terpenting dalam sebuah berita, bisa berupa:
a. Pelaku kejahatan, misalnya:
54
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (-Ciputat, Kalam Indonesia Kampung Utan, 2005),
h. 96.
Lead
(5W+1H) ……………………
Pengembangan
secara
Lebih detail
Dua pengedar narkoba di bekuk polisi pagi tadi.
b. Korban jiwa atau harta benda, mislanya:
i. Delapan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam
tabrakan truk dengan bus di jalan Jagorawi kemarin.
ii. Sepuluh rumah musnah terbakar di Tanah Abang kemarin.
c. Kemajuan, misalnya:
Untuk menaiki kereta api cepat tidak perlu ke Jepang atau negara maju
lainnya, karena pemerintah sedang membangun rel kereta api sepat
yang mulai beroperasi tahun depan.
d. Baru, misalnya:
Pihak TNI tidak keberatan untuk menghapus Pasal 19 RUU TNI yang
banyak ditentang itu. Sebelumnya pihak TNI terkesan membela pasal
itu dengan mengatakan bahwa TNI tidak bermaksud menggunakan
pasal itu untuk melakukan kudeta.
e. Aneh, misalnya:
Seorang perempuan melahirkan seekor buaya di rumah sakit kemarin.
Lead berita yang ditulis dalam piramida terbalik dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
a. Formal lead, yaitu lead yang mengandung semua unsur berita
(5W+1H), contohnya:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri kongres Partai
Demokrat di Jakarta kemarin agar pihak-pihak yang berseteru bersatu
kembali mengembangakan partai ini.
Unsur who: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Unsur what: menghadiri kongres partai.
Unsur when: kemarin.
Unsur why: Adanya pihak-pihak yang berseteru.
Unsur how: bersatu kembali.
b. Informal lead, yaitu lead yang hanya mengandung sebagian unsur
berita. Contohnya:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri kongres Partai
Demokrat kemarin.
Hal itu dimaksudkan agar pihak-pihak yang berseteru dapat bersatu
kembali untuk membesarkan partai ini.55
Berita dimulai dengan ringkasan atau klimaks dalam alenia pembukanya
yang kemudaian dikembangkan lebih lanjut dalam alinea-alinea selanjutnya
dengan memaparkan rincian cerita secara kronologis atau dalam urutan yang
semakin menurun daya tariknya. Alinea-alinea berikutnya yang memuat rincian
berita disebut tubuh berita dan kalimat pembuka yang memuat ringkasan berita
yaitu teras berita atau lead. Contohnya ketika anda menceritakan peristiwa
kecelakaan: “Eh, tadi ada tukang sayur terserempet motor, kasihan, deh!” Dalam
hal ini, si penggambar pasti tidak akan menceritakan dulu berapa umur tukang
sayur, dan bagaimana tukang sayur itu berjalan sambil membawa sayurannya
tanpa disengaja ia terserempet motor. Apa yang dilakukan adalah pertama-tama
membuka ceritera anda dengan ringkasan ceritera tentang kejadian yang ingin
55
Ibid. h. 96-98.
disampaikan, kemudian baru menambah cerita itu dengan rincian yang mungkin
menarik untuk didengarkan.56
Rumus 5W+1H dalam jurnalistik termasuk kedalam unsur-unsur yang
lengkap dalam lead. Lead yang baik membutuhkan antara lain selektivitas, yaitu
penentuan tentang unsur apa saja yang paling penting. Contoh simpelnya :
peristiwa kebakaran (Apa) pengguna kendaraan yang membuang puntung rokok
dalam keadaan menyala (Bagaimana) di pom bensin Ciputat Tangerang (Dimana)
pengguna kendaraan truk (Siapa) karena api dari puntung rokok yang langsung
menyambar bensin (Mengapa) pada siang hari pukul 12:00 WIB (Kapan).
Dari beberapa pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa straight
news adalah kegiatan menyampaikan berita berupa fakta atau informasi untuk
disampaikan kepada khalayak luas dan tidak terlepas dari unsur 5W+1H dengan
struktur penulisan piramida terbalik. Sedangkan feature merupakan berita atau
cerita yang dibuat berupa fakta atau informasi semenarik mungkin namun tidak
selalu berpedoman pada unsusr 5W+1H. Sedangkan Jurnalisme Sastra atau
narrative reporting merupakan penulisan berita yang dibuat dalam bentuk narasi
dari berbagai sudut pandang yang berbeda sesuai dengan fakta-fakta yang ada dan
bukan karangan fiktif belaka.
C. Konstruksi Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan Staright News dan
Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan Jurnalisme Sastra
1. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan Pendekatan Straight News
PRESIDEN: HENTIKAN PROVOKASI MALAYSIA Ambalat Wilayah Indonesia
56 Muhammad Budyatna, M.A, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, (Ciputat, PT
Logos Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah, 1999), h 125-127.
Jakarta, Kompas – Presiden Susilo bambang Yudhoyono meminta
Malaysia menghentikan provokasi menggunakan armada perangnya di perairan Ambalat, Indonesia. Provokasi yang dilakukan saat diplomasi dan perundingan
untuk garis batas perairan berlangsung akan meperburuk hubungan baik selama ini.
Penegasan Presiden disampaikan saat menerima enam anggota Komisi I DPR di Kantor Presiden, sabtu (6/6) malam. Lima anggota Komisi I DPR yang
datang bersama ketua Komisi I Theol L Sambuaga adalah Yusron Ihza Mahendra, Happy Bone Zulkarnain, Sidky Wahab, Dojoko Susilo, dan Andreas Parera. Tim
ini akan ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk mengurus masalah Ambalat (wilayah
ambang batas lautan antara Indonesia dan Malaysia).
“Hentikan provokasi di Ambalat. Begitu kata Presiden. Tim ke Malaysia
untuk mengingatkan. Jangan sambil bicara (berunding) membuat maneuver-
manuver di Ambalat. Hentikan manuver itu,” ujar Yusron yang menjadi
pemimpin tim ke Malaysia seusai bertemu dengan Presiden.
Di Malaysia, Tim komisi I DPR akan bertemu dengan unsur pimpinan
parlemen Malaysia dan komisi terkait. Setelah itu, bersama-sama dengan
parlemen Malaysia, tim komisi I akan bertemu dengan pemerintah Malaysia, surat
yang dikirim untuk bertemu perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak belum
ada jawaban sampai semalam.
Sampai saat ini belum ada jawaban dari pihak Malaysia soal pertemuan
dengan pemerintah karena PM Najib sedang berada di China. Tidak ada penjelasan apakah Najib kembali saat tim Komisi I DPR masih berada di
Malaysia. Pertemuan ini, kata Theo, diprakarsai untuk mendesak Malaysia menjaga hubungan baik dengn Indonesia.
“Kami hendak meyakinkan Malaysia lewat parlemen mereka supaya menjaga hubungan baik Indonesia-Malaysia dengan tidak melakukan provokasi-
provokasi di perairan Ambalat. Provokasi itu jelas-jelas memperburuk hubungan baik, “ujar Theo dalam jumpa pers seusai melapor ke pada Presiden.57
Tabel.1
NO JUDUL LEAD TUBUH
BERITA
KAKI
BERITA
UNSUR
BERITA
(5W+1H)
1 Presiden
Hentikan
Provokasi
Malaysia
2
Ambalat
Wilayah
Indonesia
Jakarta, Kompas
– Presiden
Susilo bambang
Yudhoyono
Who (Siapa)
57 Kompas Minggu, Jakarta, 7 Maret 2009,h 1.
meminta
Malaysia
menghentikan
provokasi menggunakan
armada perangnya di
perairan Ambalat,
Indonesia. Provokasi yang
dilakukan saat
diplomasi dan
perundingan
untuk garis
batas perairan
berlangsung
akan
meperburuk
hubungan baik
selama ini.
3
Sabtu (6/6) malam.
When (Kapan)
4
Lima anggota
Komisi I DPR
yang datang
bersama ketua
Komisi I Theol
L Sambuaga adalah Yusron
Ihza Mahendra, Happy Bone
Zulkarnain, Sidky Wahab,
Dojoko Susilo, dan Andreas
Parera.
Who (Siapa)
5
Tim ini akan ke
Kuala Lumpur,
Malaysia, untuk
mengurus
masalah
Ambalat
(wilayah
What (Apa)
ambang batas
lautan antara
Indonesia dan
Malaysia).
6
Malaysia menggunakan
armada perangnya di
perairan ambalat
How
(Bagaimana)
7 Di Malaysia Where
(Dimana)
8
Malaysia jelas-
jelas ingin
memperburuk
hubungan baik
dengan
Indonesia
Why
(Mengapa)
9
Sampai saat
ini belum ada
jawaban dari
pihak
Malaysia soal
pertemuan dengan
pemerintah karena PM
Najib sedang berada di
China. Tidak ada penjelasan
apakah Najib
kembali saat
tim Komisi I
DPR masih
berada di
Malaysia.
Pertemuan ini,
kata Theo,
diprakarsai
untuk
mendesak
Malaysia
menjaga
hubungan baik
dengn
Indonesia.
2. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan Pendekatan Jurnalisme Sastra
Obrolan
Layar
Rantai Film Musikal
Sejarah Industri film modern di mulai dari film musical. Di tahun 1920, ketika film masih hitam-putih, dunia dihebohkan oleh kehadiran The Jazz Singer,
Sunny Side Up, dan The King of Jazz. Namun, pasang-naik film-film musical baru berlangsung 30 tahun kemudian ketika industri film diramaikan oleh AnAmerican
in Paris, Oklahoma!, Singin’ in the Rain, dan The King and I.
Hingga satu dasawarsa berikutnya, di tahun 1960-an film-film musical
tetap berjaya. Orang-orang tua kita mungkin ingat beberapa judul yang membekas
di benak mereka, macam Camelot, My Fair Lady, atau The Sound of Music.
Puncaknya, pada 1970-an ketika Grease yang dibintangi Jhon Travolta
menduduki box office di mana-mana. Dalam kurun waktu ini pula Cabaret, Jesus
Christ Superstar, dan Saturday Night Fever jadi topic perbincangan. Di Indonesia,
Jesus Christ Superstar bahkan sempat diangkat ke panggung teater oleh seniman
Remy Sylado di Senayan, Jakarta, dan memunculkan kontroversi, Pasalnya, Yesus
diperankan oleh seorang kulit gelap.
Kini bagaimana kabar film-film musical? Memasuki kurun 2000-an
sekarang, film-film musical kurang dari hitungan jari, dan hanya dua saja yang
berhasil menerobos pasar internasional: Moulin Rouge! Dan Chicago. Di
Indonesia, nasibnya lebih mengenaskan lagi. Hanya ada satu judul, Pertualangan
Sherina yang di buat oleh Riri Riza. Ini pun tak sepenuhnya musical. Riri Riza pada film ini berada dalam situasi tarik-menarik antara membuat film musical dan
film drama tidur. Pertualangan Sherina mungkin sama bentuknya dengan film-film musikal
Indonesia di masa lalu, sebagaimana ditunjukkan oleh film-film Bing Slamet, Benyamin, atau Rohma Irama. Film-film mereka tak sepenuhnya musical, musik
sekedar “tempelan,” dalam artian bukan bagian dari cara bertutur. Demikian juga
Gejolak Kawula Muda, Tari Kejang, dan Demam Tari, atau operat lebaran Papiko
rancangan Titiek Puspa.
Alhasil, di Indonesia tradisi pembikinan film-film musical mengalami
mata rantai terputus, terhitung sejak pasang naik di paroh kedua tahun 1950-an
sampai 1960-an. Dari titik pandang ini, selayaknya kita berterima kasih pada IndraYudistira membuat film musikal di tengah menjamurnya film-film drama.
Yudistira membuat film musical di tengah menjamurnya film-film drama. Yudistira membuat Biarkan Bintang Menari (BBM) dan siap berlaga untuk
memperebutkan kue pasar film di Indonesia. Mampukah BBM jadi trend-setter
seperti film-film musical di masa lalu?
Pada 1950-an, Tiga Dara dan Asmara Dara -keduanya disutradarai oleh Usmar Ismail dengan musik oleh Sjaiful Bachrie, yang mengambil beberapa
soundtrack dari karya Ismail Marzuki seperti Rindu Lukisan dan Sersan Mayorku-
boleh dibilang punya nilai penting bagi sejarah film itu dinyanyikan banyak orang
dan seolah menjadi penanda zaman. Lalu Tiga Dara prosuksi Perfini tahun1956
berhasil melejitkan nama Chitra Dewi, Mieke Widjaya, dan Indiarti iskak. Busana
dan rambut mereka ditiru banyak orang. Bahkan sempat orang menggelar lomba
mirip karakter-karakter dalam Tiga Dara itu.
Belum lagi Asmara Dara produksi perfini pada 1958. Film ini tak kalah
dahsyat. Masih tetap berbalut musical yang kental dengan tarian dan nyanyian ala
Broadway., film ini menghadirkan tema yang tak lapuk di makan usia, semisal
soal cinta segiempat atau intrik dalam keluarga. Film ini melambungkan nama-
nama dari Aminah Cendrakasih, Bambang Irawan, Baby Huwae, Bambang
Hermanto, Nurbani Jusuf, hingga Suzanna si “Ratu Mistik.” Suzanna mendapat
penghargaan Festival film Asia 1960 sebagai cilik terbaik. BBM punya kemungkinan untuk jadi trend-setter. Pertama, film ini
menganut “system bintang.” Ladya Cherryl, pameran Alya dalam segmen remaja. Orang tahu, pangsa pasar film terbesar di mana pun adalah remaja. Dan ketiga,
mutu dari film itu sendiri. Monty Tiwa, penulis scenario, mengatakan bahwa film ini adalah gabungan dari grease dan The Sound of Music. Tariannya sendiri kental
dengan nuansa Broadway, garapan koreografer Johan Jaffar yang tempo hari bekerja di sana selama dua tahun.
Beberapa tarian dalam film tersebut mengingatkan orang pada Les
Parapluies de Cherbourg (Jacques Demy, 1964). Sepintas pula, tariannya
mengadopsi Les Demoiselles de Rochefort (Demy, 1967) yang meraih Grand prix
di Festival Film Cannes 1964, di susul nominasi Oscar untuk musik dan scenario
terbaik. Tetapi, nuansa The Sound of Music, khusunya adegan masa kecil di awal
film, dan Grease, sangat membelut BBM.
Yang menarik, adegan saat Ariyo menari dan tiba-tiba melompat dan tidur
di kursi panjang dengan iringan lagu ingin yang dilantunkan vokalis Ariyo dan
Dea Mirella. Adegan itu mengingatkan pada film Asmara Dara saat Bambang
Hermanto merayu kekasihnya, Baby Huwae, dengan iringan lagu Rindu Lukisan
karya Ismail Marzuki.
Ada juga catatan lain dari mutu film ini. Taruhlah memasuki lagu
Dongeng Kalsik yang dibawakan oleh aktris cilik Ratna Dewi ketika bermain-main dengan “Sang Pengembara” dan berupa-pura jadi seekor kelinci, dengan
didiringi lagu Dongeng Klasik…ini sungguh perpaduan tari, nyanyian, dan gambar yang menawan –terutama karena setting nya dibuat seperti di negeri
dongeng. Atau tengok adegan saat Neyna (Ladya Cherry) yang telat ikut orientasi di perguruan tinggi. Adegan tarian dan nyanyian klosal itu sungguh merupakan
sesuatu yang baru dalam dunia perfilman kita.
Apa artinya? Sekalipun, misalnya, pasarnya jeblok kelak, Yudistira layak
mendapat acungan jempol, terutama untuk susah-payahnya mengayuh ide di tengah-tengah ketakpercayaan sekian banyak produser yang mau terjun ke film
musical. Bukan produser Indonesia saja, tapi juga produser internasional.-EKKY
IMANJAYA.58
Tabel. 2
NO JUDUL BERITA
UNSUR BERITA (5W+1H)
1 Rantai Film Musikal
2
Sejarah Industri film
modern di mulai dari film musical. Di tahun
1920.
When (kapan)
3
Ketika film masih hitam-
putih, dunia dihebohkan
oleh kehadiran The Jazz
Singer, Sunny Side Up,
dan The King of Jazz.
How (Bagaimana)
4
Pasang-naik film-film
musical baru
berlangsung 30 tahun
kemudian ketika Industri film diramaikan oleh
AnAmerican in Paris,
Oklahoma!, Singin’ in
the Rain, dan The King
and I.
Hingga satu dasawarsa berikutnya,
What (apa)
5 di tahun 1960-an film-film musical tetap
berjaya.
When (Kapan)
6
Orang-orang tua kita mungkin ingat beberapa
judul yang membekas di benak mereka, macam
What (Apa)
58 Majalah Pantau edisi Februari 2004, h. 13-14.
Camelot, My Fair Lady,
atau The Sound of
Music..
7
Puncaknya, pada 1970-
an ketika Grease yang dibintangi Jhon Travolta
menduduki box office di mana-mana.
When (Kapan)
8
Dalam kurun waktu ini pula Cabaret, Jesus
Christ Superstar, dan Saturday Night Fever
jadi topic perbincangan.
What (Apa)
9
Di Indonesia Where (Dimana)
10
Jesus Christ Superstar
Who (Siapa)
11
bahkan sempat diangkat
ke panggung teater oleh
seniman Remy Sylado di
Senayan, Jakarta, dan
memunculkan
kontroversi, Pasalnya, Yesus diperankan oleh
seorang kulit gelap. Memasuki kurun 2000-
an sekarang, film-film musical kurang dari
hitungan jari, dan hanya dua saja yang berhasil
menerobos pasar
internasional: Moulin
Rouge! Dan Chicago. Di
Indonesia, nasibnya lebih
mengenaskan lagi.
How (Bagaimana)
12
Hanya ada satu judul,
Pertualangan Sherina
yang di buat oleh Riri
Riza. Ini pun tak sepenuhnya musical. Riri
Riza pada film ini berada dalam situasi tarik-
menarik antara membuat film musical dan film
drama tidur.
What (Apa)
13
Pertualangan Sherina
mungkin sama
bentuknya dengan film-film musikal Indonesia
di masa lalu, sebagaimana ditunjukkan
oleh film-film Bing Slamet, Benyamin, atau
Rohma Irama. Film-film mereka tak sepenuhnya
musical, musik sekedar
“tempelan,” dalam artian
bukan bagian dari cara
bertutur. Demikian juga
Gejolak Kawula Muda,
Tari Kejang, dan Demam
Tari, atau operat lebaran
Papiko rancangan Titiek
Puspa.
What (Apa)
Alhasil, di Indonesia
tradisi pembikinan film-
film musical mengalami
mata rantai terputus,
terhitung sejak pasang
naik di paroh kedua tahun 1950-an sampai
1960-an. Dari titik pandang ini, selayaknya
kita berterima kasih pada IndraYudistira membuat
film musikal di tengah menjamurnya fllm-film
drama.
How (Bagaimana)
14
Yudistira membuat film
musical di tengah
menjamurnya film-film
drama. Yudistira membuat Biarkan
Bintang Menari (BBM) dan siap berlaga untuk
memperebutkan kue pasar film di Indonesia.
Who (Siapa) dan
What (Apa)
15
Pada 1950-an When (kapan)
16
Tiga Dara dan Asmara
Dara -keduanya disutradarai
What (Apa)
17
oleh Usmar Ismail
dengan musik oleh Sjaiful Bachrie
Who (Siapa)
18
yang mengambil
beberapa soundtrack dari karya Ismail Marzuki
seperti Rindu Lukisan
dan Sersan Mayorku-
boleh dibilang punya
nilai penting bagi sejarah
film itu dinyanyikan
banyak orang dan seolah
menjadi penanda zaman.
How (Bagaimana)
19
Lalu Tiga Dara prosuksi
Perfini tahun1956
berhasil melejitkan nama
Chitra Dewi, Mieke
Widjaya, dan Indiarti
iskak. Busana dan
rambut mereka ditiru banyak orang. Bahkan
sempat orang menggelar lomba mirip karakter-
karakter dalam Tiga
Dara itu.
How (Bagaimana)
dan When (Kapan)
20
Belum lagi Asmara Dara
produksi perfini pada 1958
What (Apa) dan
Whene (Kapan)
21
Film ini tak kalah
dahsyat. Masih tetap
berbalut musical yang
kental dengan tarian dan nyanyian ala Broadway.,
film ini menghadirkan tema yang tak lapuk di
makan usia, semisal soal cinta segiempat atau
intrik dalam keluarga. Film ini melambungkan
nama-nama dari Aminah
Cendrakasih, Bambang
Irawan, Baby Huwae,
Bambang Hermanto,
Nurbani Jusuf, hingga
Suzanna si “Ratu
Mistik.” Suzanna
mendapat penghargaan
Festival film Asia 1960
sebagai cilik terbaik.
BBM punya
kemungkinan untuk jadi
trend-setter. Pertama, film ini menganut
“system bintang.” Ladya Cherryl, pameran Alya
dalam segmen remaja. Orang tahu, pangsa pasar
film terbesar di mana pun adalah remaja. Dan
ketiga, mutu dari film itu
sendiri. Monty Tiwa,
penulis scenario,
mengatakan bahwa film
ini adalah gabungan dari
grease dan The Sound of
Music. Tariannya sendiri
kental dengan nuansa
Broadway, garapan
koreografer Johan Jaffar
yang tempo hari bekerja
di sana selama dua tahun
Beberapa tarian dalam film tersebut
mengingatkan orang pada Les Parapluies de
Cherbourg (Jacques
Why (Mengapa)
Demy, 1964). Sepintas
pula, tariannya
mengadopsi Les
Demoiselles de
Rochefort (Demy, 1967)
yang meraih Grand prix di Festival Film Cannes
1964, di susul nominasi Oscar untuk musik dan
scenario terbaik. Tetapi, nuansa The Sound of
Music, khusunya adegan
masa kecil di awal film,
dan Grease, sangat
membelut BBM. Yang
menarik, adegan saat
Ariyo menari dan tiba-
tiba melompat dan tidur
di kursi panjang dengan
iringan lagu ingin yang
dilantunkan vokalis.
Cermin Jakarta, Cermin New York
Jatuh-bangun majalah The New Yorker
Waktu itu Salatiga hangat dengan macam-macam diskusi politik dan distribusi novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang pemerintah. Mahasiswa
mengagumi Arief Budiman, seorang pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, yang melancarkan banyak kritik terhadap kapitalisme dan
libralisme, seraya mempromosikan sosialisme. Orang suka bicara politik walau berbisik.
Suatu sore yang tenang, disebuah pondokan di jalan Cemara II, seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris yang berisi laporan
tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseturuan Jenderal Benny Moerdani dan
Wakil Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur, dan sebagainya.
Saya kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat “A Reporter at Large”
yang mencolok. Desain majalahnya agak tak lazim, model majalah kuno pada
1960-an.
“Berapa ongkos fotokopi ini?” Tanya saya.
“Gampang,” ujarnya singkat.
Malam ini saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner. Laporan
dibuka dengan isi dokumen rahasia Rand Corporation –lembaga think tank
berpengaruh di Washington DC-beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran
tersingkir oleh gerakan revolusi Islam. Menurut laporan itu, ada tiga Negara lain yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia.
Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter: Chun Doo Hwan, Ferdinand
Marcos, serta Soeharto, yang tak segan memanipulasi Pemilihan Umum,
melakukan pembunuhan politik, korupsi, serta dekat dengan dunia Barat. Pada lapisan menengah dan bawah ada ketakpuasan yang akut terhadap Chun, Marcos,
dan Soeharto. Konon saking rahasia, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20 eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan termasuk
satu diantaranya. Perlahan laporan itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik
Indonesia. Bonner mengutip professor-professor Yogyakarta, mahasiswa Bandung, cendikiawan Padang, wartawan Jakarta, dan seorang rector Makasar.
Bagai film kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan memahami
kerumitan sebuah negara yang bernama Indonesia.
Bonner tinggal selama dua bulan di Indonesia. Dia membuat janji
wawancara di Jakarta, Padang, Makassar, Yogyakarta, Bandung, bahkan Darwin
di Australia, ketika dia tak mendapat izin pergi ke Timor Timur.
Bonner bicara dengn orang-orang asing yang kenal Indonesia, misalnya Ed
Masters dan Marshall Green, keduanya mantan duta besar Amerika di Jakarta.
Fredick Bunnel, professor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton, duta besar
kanada di Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa Alves yang menjadi
konsul jenderal Portugis di Darwin atau Gubernur Timor Timur Mario Viegas
Carrascalao, serta pengusaha “Hotel Turismo” Dili Sebastian Calado.
Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena
informasi yang jarang dimuat media massa Jakarta tercetak lengkap, dari fakta, gossip, hingga rasa kecewa, marah, dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik
Jakarta dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa berapa lama say abaca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi
seingat saya, semalam saya pakai buat membacanya. Esok hari saya terlambat bangun.
Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel sedahsyat ini.
Namanya…. The New Yorker. –Andreas Harsono.59
Tabel. 3
NO JUDUL BERITA
UNSUR BERITA
(5W+1H)
1 Cermin Jakarta, Cermin New York
Jatuh-bangun
majalah The New
Yorker
2
Waktu itu Salatiga
hangat dengan macam-
macam diskusi politik dan distribusi novel
What (apa)
59
Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, (Jakarta, Yayasan Pantau Kebayoran Lama), 2005, h. 307-309.
Pramoedya Ananta
Toer yang dilarang
pemerintah.
3
Mahasiswa mengagumi
Arief Budiman, seorang pembangkang-
cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana,
Who (Siapa)
4
yang melancarkan
banyak kritik terhadap kapitalisme dan
libralisme, seraya mempromosikan
sosialisme. Orang suka bicara politik walau
berbisik.
Why (Mengapa)
5 Suatu sore yang tenang,
disebuah pondokan di
jalan Cemara II,
seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi
majalah berbahasa Inggris yang berisi
laporan tentang
Soeharto, bisnis anak-
anaknya, perseturuan
Jenderal Benny
Moerdani dan Wakil
Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur,
dan sebagainya.
How (Bagaimana)
6
Saya kurang perhatikan
judulnya. Tapi ada
kalimat “A Reporter at
Large” yang mencolok.
Desain majalahnya
agak tak lazim, model
majalah kuno pada
1960-an.
“Berapa ongkos
fotokopi ini?” Tanya
saya.“Gampang,”
ujarnya singkat.
What (Apa)
7
Malam ini When (Kapan)
8
saya baca laporan yang
ditulis oleh Raymond
Bonner. Laporan
dibuka dengan isi
dokumen rahasia Rand
Corporation –lembaga think tank berpengaruh
di Washington DC-
beberapa saat setelah
Shah Reza Pahlevi dari
Iran tersingkir oleh
gerakan revolusi Islam.
Menurut laporan itu,
ada tiga Negara lain
yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina,
dan Indonesia.
What (Apa)
9
Ketiganya dipimpin
oleh penguasa otoriter: Chun Doo Hwan,
Ferdinand Marcos, serta Soeharto,
Who (Siapa)
10
yang tak segan
memanipulasi Pemilihan Umum,
melakukan pembunuhan politik,
korupsi, serta dekat
dengan dunia Barat.
What (Apa)
11
Pada lapisan menengah
dan bawah ada
ketakpuasan yang akut
terhadap Chun,
Marcos, dan Soeharto.
Konon saking rahasia,
laporan Rand
Corporation hanya
dicetak 20 eksemplar
dan dibagikan ke
kalangan terbatas.
Presiden Ronald Reagan termasuk satu
Why (Mengapa)
diantaranya.
Perlahan laporan itu
menarik saya masuk ke
detail demi detail politik Indonesia.
12
Bonner mengutip
professor-professor Yogyakarta, mahasiswa
Bandung, cendikiawan Padang, wartawan
Jakarta, dan seorang rector Makasar.
Who (Siapa)
13
Bagai film kolosal,
Bonner menghanyutkan
pembaca, pelan-pelan
memahami kerumitan
sebuah negara yang
bernama Indonesia.
What (Apa)
14
Bonner tinggal selama
dua bulan di Indonesia. Dia membuat janji
wawancara di Jakarta, Padang, Makassar,
Yogyakarta, Bandung,
bahkan Darwin di
Australia, ketika dia tak
mendapat izin pergi ke Timor Timur.
Bonner bicara dengn
orang-orang asing yang kenal Indonesia,
misalnya Ed Masters dan Marshall Green,
keduanya mantan duta
besar Amerika di
Jakarta. Fredick
Bunnel, professor ilmu
politik dari Amerika.
Jack Whittleton, duta
How (Bagaimana)
besar kanada di Jakarta.
Bonner juga bicara
dengan Jose Costa
Alves yang menjadi konsul jenderal
Portugis di Darwin atau Gubernur Timor Timur
Mario Viegas Carrascalao, serta
pengusaha “Hotel Turismo” Dili
Sebastian Calado.
15
Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan
itu menyenangkan
karena informasi yang
jarang dimuat media
massa Jakarta tercetak
lengkap, dari fakta,
gossip, hingga rasa
kecewa, marah, dan
kecut. Ibaratnya, saya
mengerti politik Jakarta
dengan memandang
cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak
lupa berapa lama say abaca laporan Bonner.
Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat
saya, semalam saya pakai buat
membacanya. Esok hari saya terlambat bangun.
Why (Mengapa)
16
Dalam kantuk, saya
perhatikan apa nama
majalah yang memberi
tempat buat artikel
sedahsyat ini.
Namanya…. The New
Yorker
What (Apa)
Dari ke tiga tabel tersebut peneliti menyimpulkan bahwa berita yang
ditulis dengan menggunakan straight news hanya memaparkan berita secara
langsung, singkat, padat dan jelas dan hanya mengandung satu unsure 5W+1H..
Sedangkan berita dengan menggunakan gaya narasi atau jurnalisme sastra ditulis
menggunakan metode riset dan investigasi yang lebih mendalam lagi, dengan
unsur 5W+1H yang lebih dari satu unsur dan bisa bercabang-cabang seperti pada
contoh Tabel. 3 dan Tabel. 4.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lahirnya Jurnalisme Sastra di Indonesia seperti yang diliris Yayasan
Pantau sejak tahun 1999 dan sempat menerbitkan majalah pantau sampai pada
tahun 2004 di karenakan urusan financial yang tidak memadai. Namun pihak
Yayasan Pantau menggantinya dengan mengadakan kursus narasi yang di adakan
setiap semester sampai sekarang.
Peneliti mengambil judul Jurnalisme Sastra atau di kenal dengan narrative
reporting guna ingin mengenal lebih jauh lagi struktur dan isi penulisannya.
Banyak sekali perbedaan yang di buat dalam Jurnalisme Sastra dengan straight
news (berita langsung) maupun feature. Bahwa Jurnalisme Sastra merupakan
berita yang ditulis menggunakan gaya narasi yang berkenaan dengan rangkaian
peristiwa dengan fakta-fakta yang ada. Tujuannya adalah mengatakan pembaca
apa-apa yang terjadi. Selain itu juga struktur penulisannya dibuat dari dua sudut
pandang yang berbeda-beda (multiple angles) dan tetap fokus pada struktur
penulisan jurnalistik (5W+1H).
Jika dibandingkan dengan straight news maupun feature bahwa Jurnalisme
Sastra lebih banyak memuat berita layaknya bercerita dengan unsur sastra dengan
melakukan observasi atau investigasi jauh lebih dalam dan lebih panjang. Maka
Jurnalisme Sastra di kenal dengan liputan panjang. Karena proses liputannya
memakan waktu yang sangat lama bahkan sampai berbulan-bulan.
B. Saran-saran
Jurnalisme Sastra sudah menjadi tren global dalam hal penulisan berita
khususnya di media cetak. Seorang wartawan media cetak harus mampu membuat
berita dengan gaya narasi atau Jurnalisme Sastra. Karena tidaklah mungkin
seorang wartawan dengan hasil seminggu mengikuti kursus narasi hanya dengan
bekal 5W+1H bisa memenuhi standar karya Jurnalisme Sastra.
Jurnalisme Sastra sebaiknya di masyarakatkan di lingkungan akademik
agar pemakai Jurnalisme Sastra semakin banyak dan berkembang. Peneliti
menyarankan supaya diadakan mata kuliah junalisme sastrawi di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi. Guna mengembangkan bakat dan wawasan mahasiswa
khususnya Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Konsentrasi Jurnalistik
dan umumnya bagi mahasiswa lainnya terutama dalam hal membuat berita tidak
hanya straight news ataupun feature yang dikuasai namun Jurnalisme Sastra pun
sangat di perlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1992.
Annex 1, Tentang Yayasan Pantau, di ambil pada tanggal 22 April 2009, pukul 14:30 wib.
Budyatna, Muhammad, Jurnalistik Teori dan Praktik, PT Remaja Rosdakarya
Offset – Bandung, 2006.
- - - - -, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, PT Logos Wacana Ilmu Bukit
Pamulang Indah – Ciputat, 1999.
Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, PT Remaja Rosadakarya Offest
–Bandung.
Harsono, Andreas dan Setiyono, Budi, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau Kebayoran Lama, Jakarta, 2005.
Hernandez, D.G, “Advice for The Future”, dalam Editor & Publisher, Dec. 28,
1996.
Hohenberg, Jhon, The Professional Journalist, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1983.
Ishwara, Luwi, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, PT Kompas Media Nusantara
Jl. Palmerah Selatan, 2005.
Kompas Minggu, Jakarta, 7 Maret 2009.
Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom, Sembilan Elemen Jurnalisme Apa Yang
Seharusnya Di Ketahui Wartawan Dan Diharapkan Publik, Yayasan
Pantau Jakarta, 2006.
Kriyantono, Rachmat, Metodologi Riset Komunikasi: Disertasi contoh Praktis
Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,
Komunikasi Pemasaran, Jakarta: Kencana Prenada Merdia Group, 2006.
Mclntyre, Bryce T, Advanced Newsgathering, New York: Praeger Publishers,
1991.
Morisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Ramdina Prakasa, 2005.
Muhtadi, Asep Saeful, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, PT Logos
Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah – Ciputat, 1999
Muis, H.A., Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era
Cybercommunication Millenium Ketiga, PT Dharu Anuttama, 1999.
Russell, Bertrand, The Impact of Science on Society, New York: Simon & Schuster, 1953.
Santana, Septian K, Jurnalisme Kontemporer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2005.
Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2006.
- - - - -, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, Simbiosa
Rekatama Media – Bandung.
Majalah Pantau edisi Februari 2004.
Tebba, Sudirman, Jurnalistik Baru, Kalam Indonesia Kampung Utan-Ciputat,
2005.
Trenchard, Jhon dan Gordon, William, Free Press, Hohenberg.
V.Charnley, Mitchell, Reporting, New York: Holt, Rinehart an Winston Inc.,
1965.
www.bachtiarhakim.wordpress.com.jurnalisme-sastra-septiawan-santana, di ambil pada tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:30 wib.
www.pantau.com, di ambil pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10:30 wib.
www.semestanet.com, di ambil pada tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:00 wib.
www.wordpress.com, Jurnalisme-Sastra-Septiawan-Santana, di ambil pada
tanggal tanggal 25 Maret 2009, pukul 20:15 wib.
LAMPIRAN WAWANCARA
Laporan hasil wawancara langsung dengan Andreas Harsono, pemilik Yayasan
Pantau.
P :Kapan terbentuknya jurnalisme sastrawi di Indonesia ?
J :Ide itu berjalan dari tempat lain ke sini, dan sebenarnya tidak tahu kapan
di bentuknya. Mungkin salah satu pencetus pertama di Indonesia secara
sadar yaitu Yayasan Pantau dan sempat menerbitkan majalah pantau yang
isi beritanya menggunakan bahasa jurnalisme sastrawi.
P :Aktor-aktor terpenting dalam jurnalisme sastrawi selain bapak sendiri
terutama di Indonesia?
J :Arif Hidayat dari majalah Rolling stones, Budi Setiyono dkk dari majalah
pantau, dan kelompok-kelompok yang terbentuk di berbagai daerah.
P :Apakah unsur feature yang digunakan majalah pantau dalam penulisan
jurnalisme satrawi akan hilang?
J :Jurnalisme sastrawi tidak pernah menyebut jumlah enol, artinya tidak
semua unsur-unsurnya hilang, meskipun berbeda dengan feature tetapi ia
tidak lepas dari unsur yang ada didalam feature.
P :Apa yang membedakan antara penulisan straight news, feature, dan
jurnalisme sastrawi?
J :Yang membedakannya adalah struktur penulisannya saja. Jurnalisme
sastrawi bisa di sebut juga sebagai feature yang bertumpuk-tumpuk, yaitu
satu fokus dan memiliki beberapa sudut pandang yang berbeda-beda
(multiple angeles). Tidak seperti struktur penulisan straight news yang
beritanya di tulis secara langsung atau disebut dengan susunan piramida
terbalik, ataupun feature yang beritanya ditulis secara tidak langsung
(dilayed news) dan hanya memiliki satu sudut pandang yang sama (one
angele). Menurut Robert Vare straight news diibaratkan type recorder,
feature diibaratkan kamera foto sedangkan jurnalisme sastrawi diibaratkan
video dan bisa menyimpan sepuluh ribu kata.
Mengatahui,
(Andreas
Harsono)
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DEPARTEMEN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI Telephone/Fak. : (021)
7432728/74703580
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Indonesia Website: www.fdkuinjakarta.ac.id , E-mail :
FORMULIR PENDAFTARAN CALON PESERTA WISUDA KE-76
TAHUN AKADEMIK 2008/2009
1. Nama : Lukman Alhakim
2. Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 6 Mei 1988
3. Nomor Pokok : 105051102017
4. Fakultas : Dakwah dan Komunikasi
5. Jurusan : Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Konsentrasi Jurnalistik
6. Program : S1/S2/S3
7. Judul Skripsi : Jurnalisme Sastra
8. Tanggal Lulus : 26 Juni 2009
9. No. Ijazah :
10. Indek Prestasi : 3, 54 Yudisium: Cum Laude
11. Jabatan dalam Organisasi
Kemahasiswaan
: -
12. Alamat Asal : Jl. Kedaung Barat RT/RW 001/003 No. 6, Desa Pondok Jaya, Kap. Benda Baru, Kec.
Sepatan, Kab. Tangerang, Banten 15520 13. Alamat Sekarang : Jl. Kedaung Barat RT/RW 001/003 No. 6,
Desa Pondok Jaya, Kap. Benda Baru, Kec. Sepatan, Kab. Tangerang, Banten 15520
14. Nama Ayah : H. Japarudin 15. Pendidikan Ayah : SD
16. Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
17. Nama Ibu : Rumsinah
18. Pendidikan Ibu : SD
19. Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Jakarta, 29
Juni 2009
Lukman Alhakim
DEPARTEMEN AGAMA
Pas Foto 3 X 4
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI Telephone/Fak. : (021) 7432728/74703580
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Indonesia Website: www.fdkuinjakarta.ac.id , E-mail :
IDENTITAS ALUMNI
Wisuda ke: 76/Tahun Akademik: 2008/2009
Yang bertandatangan di bawah ini,
1. Nama : Lukman Alhakim 2. Nomor Pokok/ NIM : 105051102017
3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 6 Mei 1988
5. Alamat Asal : Jl. Kedaung Barat RT/RW 001/003 No. 6, Desa Pondok Jaya, Kap. Benda Baru, Kec.
Sepatan, Kab. Tangerang, Banten 15520 6. Alamat Sekarang : Jl. Kedaung Barat RT/RW 001/003 No. 6,
Desa Pondok Jaya, Kap. Benda Baru, Kec.
Sepatan, Kab. Tangerang, Banten
7. Kode Pos : 15520
8. Telepon : ……………………Hp: 05868308810
9. Jurusan/Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam/Konsentrasi
Jurnalistik
10. Judul Skripsi : Jurnalisme Sastra
11. Pembimbing : Tan Tan Hermansah, M.Si
12. Penguji 1 : Dra. Mahmudah Fitriah ZA, M. Pd
13. Penguji 2 : Drs. Suhaimi, M. Si
14. Tanggal Lulus Ujian : 26 Juni 2009
15. IP/Yudisium : 3, 54 Yudisium: Cum Laude
16. Nomor & Tgl. Ijazah : 17. Pekerjaan :
18. Alamat Pekerjaan :
Mengetahui, Jakarta, 29 Juni 2009
Ketua Konsentrasi Jurnalistik
Drs. Suhaimi, M.Si Lukman
Alhakim
Pas Foto 4 X 6