Jurnal TA #5

28
PROPOSAL LAPORAN PENELITIAN PENJERNIHAN AIR GAMBUT MENGGUNAKAN HIDROSIAPATIT SEBAGAI ADSORBEN OLEH 1. DIAN AGUSTIN 2. HOTNI LAMTIAR 3. IWAN FAUZI 4. KAMALUDDIN ADITYA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

description

humat

Transcript of Jurnal TA #5

  • PROPOSAL LAPORAN PENELITIAN

    PENJERNIHAN AIR GAMBUT MENGGUNAKAN

    HIDROSIAPATIT SEBAGAI ADSORBEN

    OLEH

    1. DIAN AGUSTIN

    2. HOTNI LAMTIAR

    3. IWAN FAUZI

    4. KAMALUDDIN ADITYA

    JURUSAN TEKNIK KIMIA

    FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU

    PEKANBARU

    2012

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Air merupakan zat yang keberadaannya sangat vital dalam mendukung

    kehidupan dan aktivitas manusia. Kebutuhan air bersih terus meningkat sejalan

    dengan pertumbuhan penduduk dan industri. Jika peningkatan ini tidak diimbangi

    dengan sumber penyediaan yang baru maka akan menimbulkan krisis air bersih.

    Untuk mencegah terjadinya hal itu maka diperlukan studi lebih lanjut mengenai

    sumber daya air serta cara pengolahannya sehingga dapat menghasilkan air bersih

    yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang

    secara fisika dan kimia sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.

    Kondisi sumber air pada setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada keadaan

    alam dan kegiatan manusia yang terdapat di daerah tersebut. Pada daerah gambut,

    umumnya air permukaan yang tersedia sebagai sumber air baku masih sulit

    dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini karena air permukaan daerah

    tersebut berwarna kuning atau coklat dan mengandung zat organik yang tinggi serta

    bersifat asam sehingga perlu pengolahan khusus sebelum siap untuk digunakan.

    Air gambut di negara kita merupakan salah satu dari sumber daya air yang

    masih melimpah, kajian Pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber

    Daya Mineral melaporkan bahwa sampai tahun 2006 sumber daya lahan gambut di

    Indonesia mencakup luas 26 juta ha yang tersebar di Pulau Kalimantan ( 50%),

    Sumatera ( 40%) sedangkan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya. Dan

    untuk lahan gambut ini Indonesia menempati posisi ke-4 terluas di dunia setelah

    Canada, Rusia dan Amerika Serikat (Tjahjono, 2007).

    Berdasarkan data di atas, air gambut di negara kita secara kuantitatif sangat

    potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih

    atau air minum. Namun secara kualitatif, penggunaan air gambut masih banyak

    mengalami kendala. Salah satu kendala penggunaannya sebagai air bersih adalah

  • warnanya yang kuning atau merah kecoklatan, warna seperti ini sangat tidak layak

    untuk digunakan sebagai air bersih ataupun air minum.

    Menurut Effendi (2006) kandungan utama di dalam air gambut adalah

    kelompok senyawa humus, yaitu asam humat, asam fulvat, dan humin. Senyawa

    humus ini yang menyebabkan warna yang khas terhadap air gambut yakni kuning

    sampai coklat kemerah-merahan. Senyawa humus terbentuk dari dekomposisi zat

    organik alami yaitu senyawa humus seperti lignin, tanin, dan asam organik lainnya.

    Penelitian-penelitian tentang pengolahan air gambut yang telah dilakukan di

    antaranya :

    1. Dengan metode pertukaran ion menggunakan resin MIEXR dapat menghilangkan

    warna sejati air (asam humat dan fulfat) dari 109 Pt-Co menjadi 1 Pt-Co. Dengan

    mempertimbangkan sebagian besar pengolahan air di Indonesia masih

    menggunakan sistem konvensional. Cara pengolahan air secara

    konvensional/pengolahan lengkap (Koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi,

    netralisasi dan desinfeksi) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama

    pembentuk warna semu sekitar 80%, effisiensi penghilangan warna akan lebih

    efektif jika dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon

    aktif, reaksi redoks, dan koagulan-flokulan aid.

    2. Pemisahan berbasis membran yang sering digunakan untuk pengolahan air

    gambut adalah membran reverse osmosis (RO). Pemanfaatan ini merupakan

    teknologi baru dalam mengolah air gambut menjadi air minum. Salah satu

    keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik

    dari proses konvensional.

    3. Proses pengolahan air gambut dengan cara koagulasi yang lain yaitu, two staged

    coagulation. Two staged coagulation adalah proses koagulasi yang dilakukan

    dalam dua tahap, di mana pada setiap proses dilakukan pembubuhan dosis dan

    pengkondisian pH yang kemudian diikuti oleh satu kali proses flokulasi.

  • Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam pengolahan air gambut

    secara koagulasi dengan menggunakan koagulan-koagulan seperti protein biji kelor,

    tanah liat atau tanah lempung (clay) sedangkan pengolahan secara adsorpsi material

    material yang sudah digunakan sebagai adsorben yaitu karbon aktif, resin, zeolit, dan

    cangkang telur.

    Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa koagulasi dan adsorpsi adalah

    cara yang efektif, relatif mudah dan murah dilakukan untuk menurunkan intensitas

    warna air gambut.

    Menurut Effendi (2006) kandungan utama di dalam air gambut adalah

    kelompok senyawa humus, yaitu asam humat, asam fulvat, dan humin. Senyawa

    humus ini yang menyebabkan warna yang khas terhadap air gambut yakni kuning

    sampai coklat kemerah-merahan. Senyawa humus terbentuk dari dekomposisi zat

    organik alami yaitu senyawa humus seperti lignin, tanin, dan asam organik lainnya.

    Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa intensitas warna air gambut

    berhubungan erat dengan konsentrasi senyawa humusnya, bila intensitas warnanya

    menurun maka konsentrasi senyawa humusnya berkurang. Secara visual hal ini yang

    ditandai dengan memudarnya warna khas air gambut hingga menuju keadaan tidak

    berwarna.

    Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan intensitas warna air gambut

    dengan menggunakan serbuk dari tulang ayam (Hidrosiapatit) berukuran 80 mesh dan

    sampel air gambut yang digunakan berwarna coklat.

    Dalam keseharian, tulang ayam dapat diasumsikan sebagai sampah atau sisa

    makanan yang sampai saat ini pemanfaatannya masih minim. Secara kimia komposisi

    utamanya adalah garam-garam terutama kalsium karbonat, kalsium posfat. Serbuk

    tulang ayam memiliki potensi sebagai adsorben, pemanfaatan ini memberikan

    dampak positif terhadap penanggulangannya sebagai sampah mengingat konsumsi

    daging ayam di restoran-restoran umum atau cepat saji serta dalam industri catering

    cukup besar. Di samping itu dari sisi ekonomi, tulang ayam ini masih rendah nilainya.

  • 1.2 Perumusan Masalah

    Senyawa utama di dalam air gambut yaitu asam humat, asam fulvat, dan

    humin merupakan penyebab warna air gambut memiliki warna yang khas yaitu mulai

    dari kuning hingga merah kecoklatan. Apabila asam-asam tersebut bereaksi dengan

    material-material yang terkandung dalam tulang maka sangat dimungkinkan karakter

    warna air gambut tersebut mengalami perubahan.

    Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

    penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada penurunan intensitas warna

    air gambut berdasarkan perbedaan massa serbuk tulang ayam

    2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada penurunan intensitas warna

    air gambut berdasarkan perbedaan waktu kontak antara air gambut dengan

    serbuk tulang ayam?

    3. Bagaimana perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan karbon aktif

    dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam menurunkan

    intensitas warna air gambut?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah:

    1. Untuk menurunkan intensitas warna air gambut menggunakan serbuk tulang

    ayam sehingga terjadi penurunan intensitas warnanya.

    2. Untuk mengetahui kemungkinan adanya perbedaan yang signifikan pada

    penurunan penurunan intensitas warna air gambut dengan memvariasikan

    mass serbuk dari tulang ayam, dan waktu kontak.

    3. Untuk mengetahui perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan

    karbon aktif dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam

    menurunkan intensitas warna air gambut.

  • 1.4 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

    1. Dapat memberikan solusi alternatif yang mudah dan murah dalam

    menjernihkan air gambut pada masyarakat yang berada di sekitar lokasi lahan

    gambut.

    2. Memanfaatkan tulang ayam sebagai sisa makanan untuk menurunkan

    intensitas warna air gambut.

    3. Dapat mengetahui perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan

    karbon aktif dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam

    menurunkan intensitas warna air gambut.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Air Gambut

    Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa atau

    dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri

    sebagai berikut (Kusnaedi, 2006):

    1. Intensitas warna yang tinggi (berwarna coklat kemerahan).

    2. Keasamannya tinggi (pH yang rendah).

    3. Kandungan zat organik yang tinggi.

    4. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah.

    5. Kandungan kation yang rendah

    Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya

    kandungan zat-zat organik dalam air gambut tersebut berasal dari dekomposisi bahan

    organik seperti daun, pohon, dan kayu. Zat-zat organik ini dalam keadaan terlarut

    serta memiliki sifat sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup

    lama (Syarfi, 2007).

    Thompson & Troeh dalam Elisa (2004) menyatakan bahwa senyawa humus

    menyusun 90% material organik yang mempunyai berat molekul beragam dari 200 -

    300.000 g/mol. Material ini merupakan produk sintesis sekunder dari senyawa

    organik sederhana yang terbentuk karena pemecahan material organik oleh

    mikrobiologi, bahan organik ini bersifat stabil dan tahan terhadap proses

    biodegradasi.

    Senyawa humus ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya dalam

    alkali dan asam menjadi asam humat, asam fulvat dan humin (Tan, 1982). Klasifikasi

    senyawa humus tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut:

  • Karakteristik asam humat, asam fulvat dan humin adalah sebagai berikut:

    1. Asam Humat

    a. Asam humat atau humus dapat didefinisikan sebagai hasil akhir

    dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik. Asam ini

    mempunyai berat molekul 10.000 hingga 100.000 g/mol. Senyawa ini

    dibentuk oleh polimerisasi asam fulvat melalui rantai ester, larut dalam

    basa tapi tidak larut dalam asam (pH < 2) terjadi presipitasi (Collet,

    2007).

    b. Asam humat merupakan senyawa organik yang sangat kompleks, yang

    secara umum memiliki ikatan aromatik panjang dan non-

    biodegradable yang merupakan hasil oksidasi dari senyawa lignin

    (gugus fenolik).

    c. Asam humat bersifat heterogen yang memiliki komponen aromatik

    dan alifatik serta mengandung tiga gugus fungsi utama yaitu karboksil

  • (-COOH), alkohol fenolik (-OH), dan metoksi karbonil (C=O). Dalam

    molekul asam humat juga terdapat ikatan hidrogen aktif yang

    banyaksehingga molekul ini sangat reakstif secara kimia. Sifat lain

    dari asam humat adalah sebagai bahan kelator alami yang membawa

    mineral (Supriyati, 2006).

    2. Asam Fulvat

    a. Asam fulvat berasal dari kata fulvus yang berarti kuning, warna dari

    asam fulvat adalah kuning terang hingga mendekati coklat. Asam

    merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus,

    larut dalam air, sering ditemukan dalam air permukaan dengan berat

    molecular yang rendah yaitu antara rentang 1000 hingga 10.000

    (Collet, 2007).

    b. Asam ini larut dalam air pada berbagai kondisi pH dan sangat rentan

    terhadap serangan mikroba. Asam-asam fulvat mengandung atom

    oksigen dua kali lebih banyak dari pada asam humat. Karena

    banyaknya gugus carboksil (COOH) dan hidroksil (COH) sehingga

    secara kimia asam fulvat lebih reaktif dibandingkan senyawa-senyawa

    humus lainnya. Struktur asam humat dapat digambarkan sebagai

    berikut:

  • 3. Humin

    a. Humin adalah bagian dari senyawa humat yang tidak dapat larut baik

    di dalam larutan basa kuat-asam kuat maupun dalam asam lemah-basa

    lemah, atau tidak larut dalam air pada setiap pH. Kompleks humin

    dianggap sebagai molekul yang paling besar dari senyawa humus

    karena rentang berat molekulnya mencapai 100,000 hingga

    10,000,000. Sedangkan sifat kimia dan fisika humin belum banyak

    diketahui (Tan, 1982).

    b. Tan (1982) juga menyatakan bahwa karakteristik humin adalah

    berwarna coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat

    resisten akan serangan mikroba. Tidak dapat diekstrak oleh asam

    maupun basa.

    c. Petitt dalam Collet (2007) menyatakan keberadaan humin di dalam

    tanah paling resistan terhadap dekomposisi dari semua senyawa-

    senyawa humat. Beberapa fungsi utamanya di dalam tanah itu bersifat

    struktural, yaitu untuk memelihara kestabilan tanah, untuk

    meningkatkan tanah terhadap kapasitas penahan air, tetapi humin juga

    berfungsi sebagai sistim pertukaran kation, dan dapat memperbaiki

    kandungan tanah sehingga secara umum meningkatkan kesuburan

    tanah. Oleh karena fungsi fungsinya itu, humin merupakan kunci

    penting dari kesuburan tanah.

  • Dalam berbagai kasus, intensitas warna akan semakin tinggi karena adanya

    logam besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut.

    Kelima ciri yang telah disebutkan di atas ternyata mempunyai hubungan satu dengan

    lainnya. pH yang rendah juga disebabkan oleh kandungan kation yang rendah,

    kehadiran zat organik dalam bentuk asam, dan sedikitnya kation dan partikel

    tersuspensi. Hal ini yang menyebabkan kurangnya proses koagulasi secara alami.

    Karakteristik air gambut bersifat spesifik, tergantung pada lokasi ataupun dari segi

    vegetasi, jenis tanah dimana air gambut itu berada, ketebalan gambut, usia gambut,

    dan cuaca (Mahmud, 2002).

    2.2 Prospek Pengolahan

    Karakteristik air gambut relatif kurang menguntungkan untuk penyediaan air

    minum. Kondisi yang kurang menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai

    berikut:

  • 1. Kadar keasaman (pH) yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan

    menimbulkan sakit perut.

    2. Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi

    mikroorganisme dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila

    bahan organik tersebut terurai secara biologi (Wagner, 2001).

    3. Apabila pengolahan air gambut tersebut menggunakan klor sebagai

    desinfektan maka akan terbentuk trihalometan (THM) seperti senyawa

    organoklor yang dapat bersifat karsinogenik (Wagner, 2001).

    4. Ikatannya yang kuat dengan logam (besi dan mangan) dalam bentuk

    khelat menyebabkan kandungan logam dalam air tinggi dan dapat

    menimbulkan kerusakan organ tubuh jika dikonsumsi secara terus-

    menerus (Wagner, 2001).

    2.3 Pengertian Adsorben

    Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari

    suatu fase fluida (Saragih, 2008). Kebanyakan adsorben adalah bahan- bahan yang

    sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori- pori atau pada

    letak-letak tertentu di dalam partikel itu. Oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil

    maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada

    permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g. Pemisahan terjadi karena perbedaan

    bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul

    melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya. Adsorben yang

    digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar

    dan non polar (Saragih, 2008).

    Adsorben Polar Adsorben polar disebut juga hydrophilic. Jenis adsorben yang

    termasuk kedalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit.

    Adsorben non polar Adsorben non polar disebut juga hydrophobic. Jenis

    adsorben yang termasuk kedalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan

    karbon aktif.

  • Menurut IUPAC (Internasional Union of Pure and Applied Chemical) ada beberapa

    klasifikasi pori yaitu : a.Mikropori : diameter < 2nm

    b.Mesopori : diameter 2 50 nm

    c.Makropori : diameter > 50 nm

    2.4 Tulang Ayam

    Hampir seluruh rangka pada vertebrata termasuk kelas unggas terdiri atas

    tulang, yang mempunyai fungsi utama (Yuwanta, 2004):

    a. Proteksi

    Tulang berfungsi melindungi organ-organ internal, seperti tengkorak yang

    melindungi otak ataupun tulang iga yang melindungi usus dan paru-paru.

    b. Pemberi bentuk

    Tulang merupakan rangka di mana tubuh dapat terbentuk.

    c. Produksi darah

    Sumsum, terletak di dalam rongga tulang, berfungsi memproduksi darah

    dalam proses yang dinamakan haematopoiesis.

    d. Penyimpanan/cadangan mineral

    Tulang berfungsi sebagai cadangan mineral-mineral penting bagi tubuh,

    khususnya kalsium dan fosfor.

    e. Pergerakan

    Tulang, bersama sendi, tendon, otot dan ligamen, berfungsi bersama-sama

    untuk menghasilkan dan mentransfer gaya sehingga tubuh dapat bergerak

    dalam ruang tiga dimensi.

    f. Keseimbangan asam dan basa

    Tulang merupakan buffer darah terhadap perubahan pH yang drastis dengan

    cara menyerap ataupun melepaskan garam-garam alkali.

    Matriks-matriks ekstraselular dari jaringan keras tulang tersusun atas fasa-fasa

    anorganik dan organik, fasa anorganik utama tersusun atas dari kristal-kristal

    hidroksiapatit (HA), dan fasa organik terutama terdiri atas kolagen dan sejumlah kecil

  • senyawa lain termasuk glycosaminoglycans (GAGs), proteoglycans dan glikoprotein

    (Sultana dalam Yildirim, 2004).

    Secara kimiawi komposisi penyusun tulang pada basis berat, terdiri dari

    kurang lebih 69% anorganik, 22% organik, dan 9% air. Sedangkan basis volume

    yaitu 40% anorganik, 35% organik, dan 25% air. Fasa organik utama dari tulang

    adalah collagen (90% berat) seperti ditunjukkan dalam tabel berikut:

    Fasa utama anorganik dari tulang adalah sebuah mineral garam kristalin yang

    merupakan kalsium fosfat dan sering kali diidealkan sebagai hidroksilapatit yang juga

    disebut hidroksiapatit. Sedangkan fasa anorganik tulang selain hidroksiapatit adalah

    garam-garam dari natrium, magnesium, kalium, klor, flour, dan sitrat dalam jumlah

    yang bervariasi.

    Kristal hidroksiapatit secara fisik merupakan material biokeramik dengan

    struktur permukaannya yang memiliki pori-pori (Kubo, 2003). Hal ini ditunjukkan

    gambar berikut:

  • Hidroksiapatit adalah mineral yang terjadi secara alami, dalam keadaan murni

    berbentuk kristal putih dengan rumus Ca5(PO4)3(OH), tetapi biasanya ditulis

    Ca10(PO4)6(OH)2. Secara teoritis hidroksiapatit, Ca10(PO4)6(OH)2 memiliki

    kandungan (dalam % berat) kalsium 39,68 ; posfor 18,45. Perbandingan Ca/P sebesar

    2,151 dan perbandingan molar Ca/P adalah 1,67 (Yildirim, 2004).

    Material yang bersifat keramik secara umum memiliki kemampuan sebagai

    adsorben, penyebabnya adalah permukaan material ini cenderung berpori-pori,

    adanya gaya adhesi mengakibatkan material ini dapat menyerap zat-zat lain ke dalam

    pori-porinya.

    Hidroksiapatit sebagai salah satu material keramik sangat memungkinkan

    memiliki kemampuan dalam mengadsorpsi zat-zat lain ke dalam pori-pori di

    permukaannya.

    Karakteristik Hidroksiapatit

    a) Modulus elastisnya 85 GN m-2 dan kekuatan tariknya 40-100 MN m-2.

    b) Hidroksiapatit yang berbasis senyawa kalsium fosfat yang mempunyai rumus

    kimia Ca10 (PO4) 6 (OH) 2 merupakan bagian keluarga apatit (struktur kimia

    sama tetapi komposisi kimia yang berbeda).

  • c) HA dapat diproduksi dalam 2 metode utama yaitu menggunakan bahan

    mentah dari bahan alami (tulang sapi dan karang) dan secara sintetis.

    Bahan alami sesuai karena memiliki koneksi pori-pori yang sama seperti

    tulang manusia, namun masalah pencemaran dan benda asing yang ada telah

    membatasi penggunaannya. Dengan demikian, produksi HA sintetis telah diberi

    fokus secara meluas untuk mengatasi masalah tersebut.

    Sifat mekanis merupakan faktor yang membatasi penggunaan Hidroksiapatit

    (HA) sebagai implan pada bagian yang menanggung beban tinggi. Umumnya faktor

    yang mempengaruhi sifat mekanis HA adalah bentuk serbuk, pori-pori dan besar

    butir. Serbuk HA yang memiliki stoikiometri yang tepat yaitu rasio molar Ca/P

    sebanyak 1,67 dapat menghasilkan sifat mekanis HA yang unggul. Pori-pori HA yang

    letaknya tidak teratur dan tidak saling berhubungan satu sama lain ( tidak rekat)

    menyebabkan pori-pori menjadi faktor yang melemahkan kekuatan bahan HA .

    Ukuran butir juga menurunkan kekuatan bahan HA dengan mempengaruhi ikatan

    antara butir .

    Hidroksiapatit merupakan suatu kalsium fosfat yang banyak digunakan

    sebagai material pengganti tulang atau untuk bone filler (pengisi tulang) karena

    kemiripannya dengan struktur kimia tulang dan jaringan keras pada mamalia.

    Material ini dapat mendorong pertumbuhan tulang baru, serta mempercepat proses

    penyatuan tulang. Dengan sifat-sifat mekanik dan struktur kimia yang dimiliki

    sehingga HA banyak digunakan sebagai implan tulang femur (paha) manusia dan

    dalam aplikasi bidang medis lainnya.

    Kelebihan dari hidroksiapatit sehingga cukup aman di gunakan sebagai bahan

    implant adalah karena sifatnya yang non toxic, cepat membangun ikatan dengan

    tulang (bioaktif), memiliki biokompatibilitas dengan jaringan sekitar dan dapat

    mendorong pertumbuhan tulang baru dalam strukturnya yang berpori. Namun, pori-

    pori Hidroksiapatit ini tidak teratur dalam bentuk dan ukuran serta tidak sepenuhnya

    saling berhubungan satu sama lain. Hal ini menyebabkan porositas hidroksiapatit

    yang dihasilkan rendah, akibatnya struktur keramik hidroksiapatit tidak kompak

  • sehingga apabila digunakan sebagai implant ortopedik karakteristiknya rapuh atau

    mudah patah.

    Karena hal tersebut, dikembangkanlah IP-CHA (Interconnecte Porous

    Hydroxypatite Ceramics) yaitu hidroksiapatit yang memiliki pori-pori yang letaknya

    teratur dan ukurannya seragam sehingga dapat meningkatkan kekerasannya ketika

    digunakan sebagai material implan.

  • BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1. Alat dan Bahan Kimia yang Digunakan

    3.1.1. Alat-alat

    Alat yang dipakai pada penelitian ini yaitu:

    1. Magnetic stirrer.

    2. Hotplate (Thermolyne, Mirak).

    3. Alat sentrifuga (Fisher Scientific).

    4. Indikator universal (E merck).

    5. Ayakan mesh ukuran 80 mesh.

    6. Neraca analitis.

    7. Termometer.

    8. Kuvet.

    9. Desikator.

    10. Alat spektrofotometer uv-vis (Diode Array Spectrophotometer, hp 8452A).

    11. Dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium.

    3.1.2. Bahan Kimia yang Digunakan

    Bahan kimia yang dipakai pada penelitian ini yaitu:

    1. K2PtCl6 (Merck).

    2. CoCl2. 6 H2O (Merck).

    3. HCl pekat (p a).

    4. Aquades.

    5. Karbon aktif.

    6. CaCO3 murni.

    7. Air gambut di Desa Aek Lobu Hutabalang Kecamatan Badiri Kabupaten

    (Divisi 3 PT AEP Perkebunan Kelapa Sawit) Tapanuli Tengah.

    8. Tulang ayam (diperoleh dari dapur katering asrama SMA Negeri 1 Matauli

    Pandan)

  • 3.2. Prosedur Penelitian

    3.2.1. Preparasi Serbuk Tulang Ayam

    1. Tulang ayam dipisahkan bagian tulang rawannya dan dibersihkan dari

    daging yang masih melekat

    2. Lalu dipecah/dibelah dan dibersihkan dari sum-sum yang melekat dari

    bagian dalamnya.

    3. Tulang ayam dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air sebanyak tiga

    (3 kali lalu dibilas dengan aquadest.

    4. Dikeringkan dengan terik matahari selama satu hari lalu digerus dan

    diblender.

    5. Serbuk dari tulang ayam selanjutnya diayak hingga ukuran 80 mesh,

    selanjutnya serbuk tulang tersebut dioven selama 45 sampai 60 menit

    sebelum digunakan.

  • 3.2.2 Preparasi Larutan Induk (Larutan Skala Warna 500 ppm Pt-Co)

    Larutan standar Pt-Co dibuat dengan melarutkan 1,246 gram kalium heksa

    kloro platina (IV), K2PtCl6 (ekivalen dengan 500 mg logam platina), dan 1,00

    gram kobal klorida, CoCl2.6 H2O (ekivalen dengan 250 mg kobal) dalam 600

    mL aquadest. Kemudian ditambahkan 100 mL HCl pekat dan diencerkan

  • dengan aquadest hingga volume 1 liter. Larutan standar tersebut mempunyai

    skala warna 500 ppm Pt-Co.

    3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Skala Warna 500 Pt-Co

    Larutan standar Pt-Co dibuat sesuai dengan diagram alir pada gambar berikut:

    3.2.4 Preparasi Kurva Kalibrasi Larutan Standar Pt-Co

    1. Dari larutan induk skala warna 500 ppm Pt-Co dipipet sebanyak 0,5 mL lalu

    dimasukkan ke dalam tabung Nessler 50 mL lalu diencerkan dengan aquadest

    sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan warna standar skala 5 ppm

    PtCo.

    2. Dengan cara yang sama dari larutan induk skala warna 500 ppm Pt-Co dipipet

    sebanyak 1,0 ; 1,5 ; 2,0 ; 2,5 ; 3,0 ; 3,5 ; 4,0 dan 4,5 mL. Lalu masing-masing

  • diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan

    warna standar skala 10 ; 15 ; 20, 25 ; 30 ; 35 ; 40 dan 45 ppm Pt-Co.

    3.2.5 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar

    1.Diambil titik tengah dari larutan standar skala warna yang digunakan yaitu

    konsentrasi 25 ppm Pt-Co, lalu dimasukkan ke dalam kuvet spektrofotometer

    uv.

    2.Pengikuran ini menghasilkan panjang gelombang maksimum dihasilkan 300

    nm.

    3.2.6 Identifikasi Warna Air Gambut

    Warna air gambut diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang

    gelombang 300 nm larutan standar. Sebelum dilakukan pengukuran warna

    dengan spektrofotometer, dibuat larutan standar warna dengan konsentrasi: 5,

    10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 40 Pt-Co dan diukur absorbannya pada panjang

  • gelombang 300 nm. Dari hasil pengukuran dibuat kurva standar antara

    absorbansi terhadap konsentrasi warna (Pt-Co). Kurva standar ini selanjutnya

    digunakan untuk menentukan konsentrasi warna air gambut sebagai fungsi

    dari nilai absorbansi.

    3.2.7 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Pt-Co

    Kurva standar dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar pada

    panjang gelombang, = 300 nm

  • 3.2.8 Penentuan Volume Optimal Air Gambut

    1. Sebanyak 40 mL sampel air gambut dimasukkan ke dalam gelas beaker

    dan ditambahkan 1 gram serbuk tulang ayam, diaduk dengan magnetik

    stirer lalu disentrifuge, supernatan yang diperoleh diukur absorbansinya

    dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 300 nm

    2. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap 50 ; 60 ; dan 70 mL sampel air

    gambut dan diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer

    3.2.9. Proses Penurunan Intensitas Warna Air Gambut

    3.2.9.1. Pengaruh Massa Serbuk Tulang Ayam

    Proses adsorpsi warna air gambut oleh adsorban serbuk dari tulang ayam

    dilakukan dengan metode batch, yaitu sebagai berikut:

    1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk dari tulang ayam yang

    massanya divariasikan (0,5 ; 1,0 ; 1,5 ; 2,0 ; 2,5 dan 3,0 gram).

    2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan

    magnetic stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.

    3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang

    ayam dipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan

    kecepatan 400 rpm.

    4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya

    dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang

    yang sesuai.

    3.2.9.2. Pengaruh Waktu Kontak

    Untuk pengaruh waktu ini massa serbuk dari tulang ayam yang digunakan

    sebanyak 5 gram, dengan prosedur sebagai berikut:

    1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk dari tulang ayam yang

    massanya 2,5 g (Perbandingan serbuk tulang ayam dengan air gambut = 1

    : 20).

  • 2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan

    magnetic stirrer pada suhu kamar. Pengadukan dilakukan dengan waktu

    kontak bervariasi (10 ; 20 ; 30 ; 40, 50 dan 60 menit).

    3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang

    ayam dipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan

    kecepatan 400 rpm.

    4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya

    dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang

    yang sesuai.

    3.2.9.3. Perbandingan Serbuk Tulang Ayam, Karbon Aktif, dan Kalsium

    Karbonat dalam Penurunan Intensitas Warna Air Gambut Massa, ukuran

    kehalusan partikel (mesh), banyaknya air gambut sampel, waktu kontak antara

    serbuk tulang ayam dan karon aktif yang ditambahkan dibuat sama demikian

    juga dengan pH sistem (bila perlu).

    1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk tulang ayam (1,5 ; 2,0

    dan 2,5 g).

    2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan

    magnetic stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.

    3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang

    ayamdipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan

    kecepatan 400 rpm.

    4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya

    dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang

    yang sesuai.

    Dengan cara yang sama dengan mengganti serbuk tulang ayam dengan

    karbon aktif dan kalsium karbonat.

  • 3.3. Bagan Penelitian

    3.3.1. Dengan Massa Sebagai Variabel

  • 3.3.2. Dengan Waktu Kontak Sebagai Variabel

  • DAFTAR PUSTAKA

    Effendi, Hefni. 2006. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 61-62

    Elisa. 2008. Reaksi Kimia Tanah. http://elisa.ugm.ac.id. akses, 20 November 2012

    Kusnaedi. 2006. Mengolah Air Gambut dan Kotor untuk Air Minum. Penebar

    Swadaya. Jakarta. Hal. 17-20

    Syarfi, Syamsu Herman. 2007. Rejeksi Zat Organik Air Gambut dengan Membran

    Ultra filtrasi. Jurnal Sains dan Teknologi. Jakarta. Vol. XII. hal. 9-14

    Tjahyono, Eko. 2007. Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia Berdasarkan Aspek

    Lingkungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jakarta.

    Hal. 6 14

    Anonymous, a. 2012. http://infosaya.meugah.com/2012/03/bahan-organik-tanah.html

    Anonymous,b.2012.http://cms.1m-bio.com/bahan-organik/

    Arsyad,S. 1979. Konservasi Tanah.Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor.