JURNAL PRAKTIKUM

34
JURNAL PRAKTIKUM ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK UJI PENDAHULUAN (SCREENING TEST) NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA OLEH : Kelompok II I Putu Krisnantara Wijana P 1108505017 Yuni Muftihatin 1108505023

description

Jurnal praktikum

Transcript of JURNAL PRAKTIKUM

JURNAL PRAKTIKUM ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK

UJI PENDAHULUAN (SCREENING TEST) NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

OLEH :

Kelompok II

I Putu Krisnantara Wijana P 1108505017

Yuni Muftihatin 1108505023

JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA2014

I. Tujuan

Untuk mengetahui metode apa saja yang dapat digunakan untuk uji

penapisan atau screening test pada pemeriksaan senyawa narkotika dan

psikotropika pada sampel biologis.

II. DASAR TEORI

II.1 Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Menkes RI, 2009). Narkotika

dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

1. Golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat

tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk

kepentingan apapun, kecuali untuk kepentingan penelitian ilmu

pengetahuan dan dilarang diproduksi atau digunakan untuk pengobatan.

Contohnya adalah ganja dan heroin.

2. Golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat tetapi

bermanfaat dalam bidang pengobatan dan penelitian ilmu pengetahuan.

Contohnya adalah petidin dan turunannya.

3. Golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan dan

banyak dimanfaatkan dalam bidang pengobatan dan penelitian ilmu

pengetahuan. Contohnya adalah kodein dan turunannya.

(Priyanto, 2008).

II.2 Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis yang bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku

(Menkes RI, 2009). Psikotropika dibagi menjadi empat golongan yaitu:

2

1. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat

untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk

pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi

(menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul),

sabu–sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).

2. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat dan

bermanfaat dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan. Contohnya

adalah amfetamin dan metamfetamin.

3. Golongan III adalah psikotropika daya adiktif sedang dan bermanfaat

dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan. Contohnya adalah

luminal dan flunitrazepam.

4. Golongan IV adalah psikotropika daya adiktif ringan dan bermanfaat

dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan. Contohnya adalah

nitrazepam dan diazepam.

(Priyanto, 2008).

II.3 Sampel Biologis

Sampel Biologis adalah sampel yang diambil dari sebagian tubuh untuk

tujuan analisis, misalnya darah, urin, cairan lambung, cairan hati, empedu, cairan

serebrospinal, daging, rambut atau bagian tubuh lainnya. Kandungan dalam

sampel biologis umumnya terdiri dari analit atau senyawa baik tunggal ataupun

campuran yang akan dianalisis, sedangkan komponen lainnya yang terkandung di

dalam sampel dikelompokkan sebagai matriks biologis. Terdapat berbagai tujuan

dalam pengambilan dan analisis sampel biologis salah satunya adalah

dimanfaatkan dalam analisis penyalahgunaan zat–zat berjenis narkotika,

psikotropika dan zat adiktif (NAPZA). Sampel biologis dikumpulkan dari subjek

yang kemudian akan dianalisis kandungan senyawa ataupun metabolit dari

golongan NAPZA di dalam sampel tersebut. Untuk tujuan ini, umumnya sampel

yang digunakan adalah sampel berupa cairan biologis, baik berupa darah (whole

blood), plasma, urin, saliva, ataupun keringat (Saito et al., 2011; Pouliopoulos,

2007). Pada tujuan yang lebih mendalam, seperti membedakan seseorang yang

3

telah mengkonsumsi NAPZA dalam jangka waktu lama atau hanya

menyalahgunakannya sementara waktu, sampel biologis lain biasanya digunakan

seperti rambut. Dari sampel ini dapat diketahui berbagai jenis senyawa atau

metabolitnya yang pernah dikonsumsi dalam jangka waktu lama karena sebagian

senyawa dan metabolit tersebut akan terdeposisi pada jaringan rambut (Balikova,

2005; Vassiliki et al., 2006). Contoh dari sampel biologis antara lain:

a. Urin

Urin adalah produk sisa dalam bentuk cair, warnanya bervariasi dari kuning

sampai bening.Pada umumnya urin bersifat asam.Pada urin normal tidak boleh

terdapat glukosa, albumin, darah, nanah, atau aseton. Adanya zat–zat tersebut

dalam urin menunjukkan adanya penyakit, trauma, atau infeksi. Zat–zat sisa yang

dikeluarkan dalam urin antara lain, urea, kreatinin, asam urat dan berbagai jenis

garam (Hegner dan Caldwell, 2003). Urin merupakan salah satu sampel analisis

yang ideal dan tidak bersifat invasif seperti halnya pada prosedur pengambilan

sampel darah. Konsentrasi obat di dalam darah hanya dapat menggambarkan

persen obat pada waktu tertentu dan tidak mampu untuk ditetapkan pada jangka

waktu lama.Pada sampel urin, senyawa obat dimungkinkan untuk dideteksi pada

jangka waktu tertentu dan memberikan konsentrasi yang lebih tinggi

dibandingkan konsentrasi di dalam darah (Lum dan Mushlin, 2004). Selain itu,

terdapat beberapa kelebihan sampel urin dibandingkan sampel cairan biologis lain

khususnya darah, yaitu tidak invansif serta cara pengumpulan sampel yang

mudah, tersedia dalam jumlah yang cukup, kandungan senyawa obat serta

analitnya umumnya stabil pada sampel urin, memberikan konsentrasi obat yang

lebih tinggi dibandingkan sampel biologis lainnya, dapat dideteksi dalam jangka

waktu yang cukup lama serta dapat mendeteksi metabolit yang dihasilkan oleh

obat yang dikonsumsi. Analisis sampel urin lebih mudah karena tidak adanya

kandungan protein serta material selular yang dapat mengganggu proses analisis

serta tersedia berbagai jenis reagen dan sistem analisis yang dapat diaplikasikan

untuk sampel ini (Lum dan Mushlin, 2004; Saito et al., 2011).

Spesimen urin untuk kepentingan uji metabolisme biasanya dikumpulkan

pada pagi hari, malam hari atau dapat dilakukan kapan saja sepanjang hari.Sangat

4

penting untuk dilakukan pencatatan terhadap waktu pengambilan urin karena

dapat digunakan dalam penentuan laju produksi urin. Urin segar berwarna kuning

atau kuning-hijau, namun pada penyimpanan sebagai larutan yang bersifat asam

warna urin akan berubah menjadi kuning-coklat akibat terjadinya oksidasi dari

urobilinogen menjadi urobilin. Sampel urin tahan selama beberapa minggu jika

disimpan pada suhu 2–80C. Namun, apabila dibekukan (-200C), sampel urin yang

diasamkan akan tahan sampai jangka waktu yang panjang tetapi sebelumnya

dilakukan sentrifugasi terlebih dahulu (Flanagan et al., 2007).

b. Plasma Darah

Darah merupakan sampel yang paling baik untuk identifikasi senyawa obat

atau zat aktif lainnya baik untuk tujuan kualitatif ataupun kuantitatif.Sampel darah

harus diambil oleh petugas yang terampil untuk memastikan kebenaran sampel

tersebut.Plasma darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat

sedikit alkali. Komposisi dari plasma darah adalah air, protein (albumin, globulin,

fibrinogen dan protrombin), ion–ion (Na, K, Ca, Mg, Cl, HCO3), nutrien (glukosa,

asam amino dan asam lemah), hormon dan nitrogen(Pearce, 2006).Plasma lebih

sering digunakan daripada serum pada analisis obat, karena dapat disentrifugasi

dengan segera, sedangkan pembentukan serum membutuhkan lebih banyak waktu

(Smyth, 1992).Plasma biasanya digunakan untuk analisis klinis ataupun deteksi

kandungan analit tertentu karena kandungan komponen darahnya lebih sedikit

dibandingkan darah utuh yang memiliki matriks biologi yang sangat komplek,

sehingga lebih menguntungkan untuk analisis dan meminimalisir kegagalan

ataupun kesalahan dalam analisis (Pearce, 2006).

c. Saliva

Saliva pada manusia merupakan cairan di dalam mulut yang memiliki

berbagai fungsi baik untuk mengkonsumsi makanan, melindungi mukosa mulut,

serta homeostasis. Dalam cairan saliva terdapat beberapa jenis protein yang dapat

bereaksi secara spesifik seperti imonuglobulin, ataupun secara tidak spesifik

seperti enzim lisosim, enzim peroksidase, laktoferin, histatin dan protein lainnya.

Saliva dapat dengan mudah dikumpulkan sebagai sampel biologis. Penggunaan

saliva sebagai sampel biologis masih terbatas dibandingkan penggunaan sampel

5

plasma. Saliva dapat dianalisis dengan berbagai metode meliputi kolorimetri,

spektrofotometri, SPE, HPLC, CE serta immunoassay. Umumnya tersedia reagen

yang dimanfaatkan dalam analisis sampel saliva, akan tetapi penggunaan beberapa

kit yang tersedia dibutuhkan modifikasi dan beberapa perubahan untuk

penyesuaian dengan sampel ini. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa analisis

dengan saliva memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan menggunakan

sampel plasma.Untuk metode analisis secara immunoassay, tersedia kit untuk

serum, plasma ataupun urin yang dapat dimodifikasi sehingga dapat diaplikasikan

untuk sampel ini. Hingga saat ini telah tersedia beberapa kit untuk deteksi

melatonin, steroid dan beberapa senyawa lain di dalam sampel cairan saliva. Jenis

sampel ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari serum karena telah diketahui

bahwa konsentrasi zat aktif di serum memiliki korelasi yang relevan terhadap

konsentrasi di cairan saliva (Chiappin et al., 2007).

II.4 Metode Uji Penapisan

Uji penapisan atau uji skrining merupakan suatu pengujian terhadap sampel

untuk mengetahui golongan kandungan senyawa kimia secara kualitatif. Uji

penapisan merupakan suatu tahap awal yang penting dalam analisis.Dasar

pengetahuan mengenai golongan kandungan kimia analit di dalam sampelakan

memudahkan dalam penentuan metode dan sistem yang digunakan dalam analisis

karena karakteristik dan sifat fisikokimia golongan tersebut dapat dijadikan dasar

untuk proses selanjutnya. Berdasarkan informasi tersebut nantinya dapat

dipertimbangkan metode ekstraksi yang tepat, serta teknik yang digunakan dalam

uji konfirmasi ataupun determinasi. Menurut Badan Narkotika Nasional (2008),

pemeriksaan pendahuluan (uji skrining) merupakan pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada atau tidaknya dan

jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Uji

skrining dapat dilakukan dengan cardataustrip test (untuk spesimen urin) dan

reaksi warna (untuk sampel sediaan farmasi) (BNN, 2008), reaksi warna, teknik

immunoassay, kromatografi lapis tipis, ion scanner test, kromatografi cair kinerja

tinggi dan kromatografi gas (Menkes RI, 2009).

6

Uji skrining merupakan analisis kualitatif dari sampel biologis. Pada analisis

kandungan NAPZA dalam sampel biologis, khususnya setelah rentang waktu

tertentu jarang ditemukan analit yang merupakan senyawa induk yang

dikonsumsi. Pada kasus ini, sebagian besar senyawa yang akan diperoleh

merupakan metabolit–metabolit dari senyawa induk tersebut, khususnya pada

analisis sampel urin. Ekskresi senyawa tersebut dan konsentrasinya dalam sampel

urin akan dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi cara pemakaian, lama dan

seringnya penggunaan, fungsi organ, kecepatan metabolisme obat, kondisi fisik

dari subyek, umur, jenis kelamin, waktu pengambilan sampel, pengenceran dan

sebagainya (BNN,2008). Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika, uji skrining dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika

dan psikotropika) yang digunakan. Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar

dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan bukan merupakan bukti yang kuat bahwa

seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena uji skrining

belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika spesifik yang

terkandung di dalam sampel. Macam-macam metode uji penapisan antara lain:

II.4.1 Metode Reaksi Warna (Color test)

1. Chen’s Test

Uji ini dilakukan menggunakan 2 reagent yaitu reagent 1 yang terdiri dari

1% (b/v) tembaga (II) sulfat (CuSO4) dalam akuades, sedangkan reagent 2

yaitu 8 gram sodium hidroksida dalam 100 mL akuades ( 2 M NaOH).

Sampel sebanyak 1-2 mg atau 1-2 tetes diletakkan pada plat kemudian

ditambahkan 2 tetes reagent 1 dan 2 tetes reagent 2. Warna ungu yang

terbentuk menunjukkan sampel positif mengandung efedrin/pseudoefedrin,

phenylpropanolamine dan lidocain. Pada uji ini membutuhkan sampel

blank karena reagent berwarna biru muda sehingga lebih mudah dalam

pengamatan. Reaksi warna yang terbentuk adalah karena terdapat

pembentukan kompleks tembaga. Tembaga (II) yang bertindak sebagai

agent pengkhelat 2 molekul efedrin, seperti yang digambarkan pada

gambar 1 (JaVed et al., 2012).

7

Gambar 1. Kompleks tembaga (II) dengan molekul efedrin (JaVed et al.,

2012)

2. Dille-Koppanyi’s Test

Uji ini dapat dilakukan untuk skrining senyawa glutamid, teofilin,

chlorzoxazon, golongan barbiturate dan dilantin. Prosedur uji ini

melibatkan 2 reagent yaitu reagent 1 (0,1 g kobalt(II)asetat atau 0,1 g

kobalt (II) asetat tetrahidrat; 0,2 mL asam asetat glacial; 100 mL metanol.

Reagent 2 yaitu 5 mL isopropilamin dan 95 mL metanol. Prosedur dapat

dilakukan dengan meletakkan 1-2 g atau 1-2 tetes sampel pada plat

kemudian ditambahkan 3 tetes reagent 1 dan 3 tetes reagent 2. Warna yang

terbentuk ungu ketika positif glutamid, teofilin, chlorzoxazon, dan

golongan barbiturate. Sedangkan terbentuk warna biru ketika positif

dilantin. Kompleks yang terbentuk adalah antara kobalt (II) dan 2 molekul

target yang distabilkan dengan 2 molekul isopropilamin. Gambar 2

menunjukkan pembentukan kompleks antara kobalt (II) dengan barbiturate

(JaVed et al., 2012).

Gambar 2. Pembentukan kompleks Kobalt (II) dengan barbiturate (JaVed

et al., 2012)

8

3. Mecke’s Test

Uji ini dapat digunakan untuk skrining senyawa kodein, diazepam,

metkatinon, flunitrazepam, fenilakton, oksikodon, alkaloid opiate yaitu

morfin dan heroin. Reagent yang dibutuhkan adalah 1% asam selenous

(H2SeO3) dalam asam sulfat. Sampel sebanyak 1-2 mg atau 1-2 tetes

ditambahkan dengan 1 tetes reagent. Warna yang terbentuk jika sampel

positif kodein, diazepam, metkatinon, flunitrazepam, fenilakton dan

oksikodon adalah warna ungu. Jika sampel positif alkaloid opiate seperti

morfin dan kodein akan terbentuk warna hijau. Reagent akan

mengoksidasi opiate sehingga terbentuk ortho-quinon dari apomorfin yang

berwarna hijau, begitu pula pada heroin seperti pada gambar 3 (JaVed et

al., 2012).

Gambar 3. Pembentukan kompleks akibat reaksi warna pada heroin

(JaVed et al., 2012)

4. Marqui’s Test

Pada uji ini digunakan dua reagent yaitu reagent 1 (asam sulfat) dan

reagent 2 (8-10 tetes 37% formaldehid dalam 10 mL asam asetat glacial).

Sampel sebanyak 1-2 mg atau 1-2 tetes ditambahkan 1 tetes reagent 1 dan

1 tetes reagent 2. Interpretasi hasil pada uji ini adalah sebagai berikut:

Terbentuknya warna orange sampai coklat menunjukkan sampel

positif mengandung N,N-dimetilamfetamin, amfetamin,

metamfetamin, mescalin, dan golongan petidin.

Terbentuknya warna ungu menunjukkan sampel positif alkaloid

opiate, morfin, heroin dan kodein.

Terbentuknya warna merah coklat keunguan menunjukkan sampel

positif opium.

9

Terbentuknya warna merah muda sampai violet menunjukkan

sampel positif metadon.

Terbentuknya warna hijau sampai hitam menunjukkan sampel

positif MDA dan MDMA. Dalam hal ini reagent yang terlebih

dahulu ditambahkan adalah reagent 2.

Terbentuknya warna ungu sampai hitam menunjukkan sampel

positif MDA dan MDMA. Hal ini terjadi ketika sampel terlebih

dahulu ditambahkan reagent 1.

(JaVed et al., 2012).

Kompleks warna yang terbentuk dari alkaloid opiate sebagian besar

terbentuk karena kompleks yang terdiri dari 2 molekul opiate dan 2

molekul formaldehid. Warna yang terbentuk juga diakibatkan oleh

penambahan asam kuat yaitu asam sulfat. Pembentukan kompleks

pada uji skrining heroin dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Pembentukan kompleks pada uji skrining heroin (JaVed et

al., 2012)

Kompleks ion karbenium yang berwarna orange sampai cokelat dapat

terbentuk antara 2 molekul amfetamin atau metamfetamin seperti pada

gambar 5.

Gambar 5. Pembentukan kompleks berwarna orange sampai cokelat

pada amfetamin (JaVed et al., 2012)

10

5. Froehde’s Test

Pada uji ini dibutuhkan reagent berupa 0,5% sodium molibdat (Na2MoO4)

dalam asam sulfat. Sampel ditambahkan 1 tetes reagent kemudian dilihat

perubahan warnanya. Terbentuknya warna ungu menunjukkan sampel

positif mengandung alkaloid opiate (JaVed et al., 2012).

6. Janovsky Test

Reagent yang digunakan untuk uji ini adalah reagent 1 (0,2% (b/v) meta-

dinitrobenzen dalam 2-propanol dan reagent 2 (10% (b/v) potassium

hidroksida dalam metanol. Sampel sebanyak 1-2 tetes atau 1-2 mg

ditambahkan 1 tetes reagent 1 kemudian 1 tetes reagent 2. Terbentuknya

warna ungu menunjukkan sampel mengandung diazepam, metkatinon,

flunitrazepam, fenilaseton dan aksikodon (JaVed et al., 2012).

Berikut merupakan diagram ringkas uji skrining menggunakan reaksi

warna yang ditunjukkan pada gambar 6.

11

Gambar 6. Diagram ringkas uji skrining pada sampel biologis

menggunakan reaksi warna (JaVed et al., 2012)

12

II.4.2 Metode Immunoassay

Teknik yang banyak digunakan dalam uji skrining senyawa golongan

narkotika dan psikotropika adalah immunoassay. Teknik ini didasarkan atas reaksi

spesifik yang terbentuk antara suatu antigen dengan antibodi. Prinsip

immunoassay yaitu jika dijenuhi oleh narkoba sampel (sampel positif narkoba),

maka IgG anti-narkoba-substrat tidak akan berikatan dengan narkoba-enzimnya,

sehingga tidak terjadi reaksi enzim-subtrat yang berwarna. Sebaliknya jika tidak

dijenuhi (sampel negatif narkoba) atau hanya sebagian dijenuhi (sampel

mengandung narkoba dalam jumlah di bawah ambang batas pemeriksaan), maka

IgG anti-narkoba-substrat akan berikatan dengan narkoba-enzimnya secara penuh

atau sebagian, sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna penuh (gelap)

atau lamat-lamat (ragu-ragu) (Koivunen dan Krogsrud, 2006 ; Suwarso, 2002).

Reaksi imunologi yang menghasilkan kompleks antara dua senyawa

komplementer antigen dan antibodi berlangsung secara sangat spesifik. Karena

sifat kerja antiserum yang sangat spesifik, maka adanya senyawa – senyawa lain

dalam sistem reaksi dalam ribuan sampai jutaan kalipun tidak akan mempengaruhi

reaksi. Kespesifikan reaksi imunologi menghasilkan penentuan yang sangat

sensitif dan spesifik, sehingga sangat baik digunakan untuk uji skrining

(Koivunen dan Krogsrud, 2006). Macam-macam metode immunoassay antara

lain:

1. Enzyme - Multiplied Immunoassay Technique(EMIT)

Enzyme - Multiplied Immunoassay Technique(EMIT)merupakan metode

umum yang digunakan untuk uji kualitatif maupun kuantitatif senyawa obat

dan beberapa protein dalam serum dan urin. Metode EMIT pertama kali

diperkenalkan oleh Syva Company pada tahun 1973 dan pada saat itu pula

metode ini merupakan metode immunoassay yang paling banyak digunakan

secara komersil. EMIT paling banyak diaplikasikan dalam pelaksanaan TDM

(Therapeutic Drug Monitoring) dengan sampel serum dan dalam uji skrining

narkoba dan metabolitnya dalam urin.

Prinsip dari metode EMIT adalah berdasarkan pada kompetisi dari

senyawa obat bebas dan senyawa derivat obat yang terkonjugasi pada enzim

13

(enzim berlabel obat) untuk berikatan pada antibodi. Apabila dalam sampel

terdapat senyawa obat maka antibodi akan berikatan pada obat dan enzim

berlabel obat akan bereaksi dengan substrat. Enzim dan substrat yang

digunakan yaitu glukosa-6-fosfat dehidrogenase dan glukosa-6-fosfat dengan

koenzim NAD+. Reaksi enzim dengan substrat akan melepaskan ion hidrogen

kemudian ion hidrogen akan bereaksi dengan NAD+ menghasilkan NADH.

NADH inilah yang akan memberikan respon pada detektor karena NADH

mampu menyerap sinar pada panjang gelombang 340 nm. Jumlah absorbansi

akan berbanding lurus dengan jumlah NADH yang juga berbanding lurus

dengan jumlah obat dalam sampel. Metode EMIT banyak digunakan karena

kemudahan operasionalnya, automatisasi instrumen, dan kecepatan dalam

pengerjaannya(Pouliopoulos, 2007).

Gambar 7. Prinsip Metode EMIT (Pouliopoulos, 2007)

2. Radioimmunoassay (RIA)

Metode RIA merupakan metode immunoassay heterogen yang

dikembangkan pada tahun 1970-an menggunakan radiotracer H3. Kekurangan

penggunaan radiotracer H3 adalah kurang spesifik dan penggunaan alat liquid

scintillation counting dimana alat tersebut sangat jarang ditemukan dan

harganya yang cukup mahal. Kini, metode RIA lebih banyak menggunakan

isotop I125 sebagai label. Dengan menggunakan label tersebut metode RIA

memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Walaupun demikian,

metode tersebut masih dikategorikan dalam metode yang cukup mahal dalam

pengadaan alat dan bahan karena berhubungan dnegan radioaktif

(Pouliopoulos, 2007).

14

3. Fluorescence Polarization Immunoassay (FPIA)

Berbagai macam metode immunoassay berbasis fluoresensi telah

dikembangkan untuk diagnostik klinik dan toksikologi.

Fluorescencepolarization dapat diamati ketika molekul fluoresens atau

fluorofor tereksitasi oleh cahaya terpolarisasi datar (plane polarized light).

Obat dalam sampel berkompetisi dengan fluorescein-labeled drug pada situs

ikatan antibodi dalam jumlah yang terbatas. apabila dalam sampel

mengandung obat dalam jumlah yang tinggi, maka antibodi akan cenderung

berasosiasi dengan obat dalam sampel. Sebagian besar dari zat fluorescein

tidak berikatan dengan antibodi. pada kasus tersebut, zat fluoresens akan

terikat pada molekul kecil. Jika konsentrasi antibodi-obat-fluorescein tinggi,

molekul antibodi yang berukuran besar akan mempengaruhi kecepatan rotasi

sehingga menghasilkan polarisasi yang tinggi (Pouliopoulos, 2007).

Metode ini memerlukan instrumen yang tepat untuk pengukuran cahaya

fluoresens terpolarisasi dan memelukan biaya yang relatif mahal. namun,

kelebihan dari metode ini adalah memiliki kualitas reagen yang baik dan

menghasilkan tingkat kalibrasi dan presisi yang tinggi (Pouliopoulos, 2007).

4. Cloned Enzyme Donor Immunoassay (CEDIA)

CEDIA merupakan metode immunoassay yang memiliki metode hampir

menyerupai EMIT. Dalam CEDIA, enzim yang digunakan akan teraktivasi

jika dalam sampel terdapat obat dan kemudian sinyal yang dihasilkan

diperbesar dengan reaksi berulang dari enzim ketika enzim tersebut

teraktivasi. ketika enzim teraktivasi, maka substrat yang berada dalam reagen

akan mengalami proses biologi dan mengasilkan produk. Jumlah produk yang

terbentuk diamati secara spektrofotometri dimana jumlah tersebut akan

berbanding lurus dengan obat yang berada dalam sampel.

CEDIA merupakan metode immunoassay homogen yang menggunakan

enzim b-galaktosidase yang dibuat dengan teknik rekayasa genetika dari

enzim mikroba. metode ini sangat cepat dan terotomatisasi.

15

5. Immunoassay dengan One Step Integrated Cup (Urine) Package Insert

Obat – obat yang dapat dideteksi menggunakan One Step Integrated Cup

(Urine) Package Insert adalah amfetamin, barbiturat, benzodiazepin,

buprenorfin, kokain, ganja, metamfetamin, metilendioksimetamfetamin

(MDMA), morfin, opiat, oksikodon, fensiklidin dan antidepresan trisiklik.

One Step Integrated Cup (Urine) Package Insert adalah prosedur pengujian

berdasarkan teknik immunoassay dengan prinsip ikatan kompetitif. Obat –

obatan tersebut yang mungkin terdapat dalam sampel urin akan berkompetisi

dengan drug conjugate untuk berikatan pada binding site dari antibodi. Suatu

obat, jika kadarnya terdapat dalam sampel urin dibawah kadar cut-off nya,

tidak akan menjenuhkan binding site antibodi spesifik sehingga binding site

antibodi spesifik tersebut akan ditangkap oleh immobilized drug conjugate

dan garis berwarna akan muncul pada test line region. Garis berwarna tidak

akan muncul pada test line region apabila kadar obat berada diatas kadar cut-

off nya. Hal tersebut disebabkan oleh jenuhnya semua binding site dari

antibodi oleh obat tersebut. Sampel urin yang positif mengandung obat – obat

tersebut tidak akan menghasilkan garis berwarna pada test line region

sedangkan sampel urin yang negatif mengandung obat – obatan tersebut atau

sampel urin mengandung obat – obatan tersebut dengan kadar dibawah kadar

cut-off nya akan menghasilkan garis berwarna pada test line region (Anonim,

2012).

Tabel 1. Kadar cut-off Beberapa Obat (Lum dan Mushlin, 2004).

16

No. Jenis / Golongan Zat Kadar cut-off (ng/mL)

1 Amfetamin/Metamfetamin 1

2 Barbiturat 200

3 Benzodiazepin 200

4 Canabinoid 50, 100

5 Kokain 300

6 Metadon 300

7 Propoksifen 300

8 Opiat 300, 2000

Sampel urin yang digunakan untuk pengujian harus ditampung dalam

tempat yang kering dan bersih. Untuk mencegah terbentuknya endapan,

sampel urin harus disentrifugasi atau disaring untuk menghasilkan larutan

sampel tanpa endapan untuk pengujian. Sampel urin dapat disimpan pada

suhu 20 – 80C selama 48 jam sebelum dilakukan pengujian. Apabila akan

dilakukan pengujian jangka panjang, sampel urin dapat disimpan pada suhu -

200C. Jika sampel urin dalam keadaan beku harus dicairkan dan diaduk

terlebih dahulu sebelum pengujian (Anonim, 2012).

Gambar 1. Hasil Pengujian Negatif, Positif dan Tidak Valid (Anonim,

2012).

Interprestasi hasil pengujian menggunakan One Step Integrated Cup

(Urine) Package Insert adalah :

Negatif

Terdapat dua garis berwarna, yaitu satu garis pada area kontrol (C)

dan satu garis berwarna merah muda sampai merah pada test line

region (T). hasil negatif ini menunjukkan bahwa dalam sampel urin

tidak terdapat obat – obatan tersebut atau dalam sampel urin terdapat

obat – obatan tersebut dengan kadar di bawah kadar cut-off nya.

17

Positif

Terdapat satu garis pada area kontrol (C) dan tidak terdapat garis pada

test line region (T). Tidak adanya garis yang muncul pada test line

region (T) menunjukkan bahwa dalam sampel urin terdapat obat –

obatan tersebut.

Tidak Valid

Tidak munculnya garis pada area kontrol (C) dikarenakan tidak

cukupnya volume sampel urin atau prosedur pengujian yang tidak

dilakukan tidak sesuai.

(Anonim, 2012).

Pada uji skrining, hasil yang diperoleh tidak sepenuhnya benar, karena

terdapat kemungkinan hasil yang didapat merupakan positif palsu akibat

adanya reaksi silang (Wirasuta, 2008). Reakti silang (cross reactivity) adalah

gangguan yang paling umum dalam immunoassay, tapi kebanyakan dalam tes

kompetitif. Reaktivitas silang adalah pengaruh non-spesifik zat dalam sampel

yang secara struktural mirip analit (membawa epitop yang serupa atau sama

dengan analit) dan bersaing untuk mengikat antibodi, sehingga menyebabkan

kesalahan penafsiran konsentrasi analit. Reaksi silang adalah masalah dalam

immunoassay di mana molekul endogen memiliki struktur yang mirip dengan

analit yang diukur (Kroll and Elin, 1994). Reaksi silang ini dapat disebabkan

oleh enzim ataupun alat uji skrining itu sendiri (Liu and Daniel, 1997).

Adapun zat atau obat yang dapat menimbulkan reaksi silang pada uji skrining

golongan narkotika dan psikotropika adalah sebagai berikut.

18

Tabel 2. Zat atau obat yang dapat menimbulkan reaksi silang pada uji skrining

(Liu and Daniel, 1997; BNN, 2008 ; Wirasuta, 2008).

NoUji Skrining Golongan

Narkotika atau Psikotropika

Zat atau Obat yang Dapat

Menimbulkan Reaksi Silang

1 Derivat Amfetamin Efedrin, Norpseudoefedrin,

Pseudoefedrin, Fenilpropanolamin,

Fentermin, Mefentermin, Fenfluramin,

Fenmetrazin, Metoksifenamin,

Ranitidin, Prokain, Asetilprokain,

Tiramin, Tolmetin, Kloroquin,

Kuinikrin, Kuinakrin, Selegilin,

Bupropion, Klorpromazin,

Benzfetamin, Propranolol,

Tranilsipromin, Isometeften, Nilidrin,

Isoksuprin, Fenkamin, Furfenorex,

Fenproporex, Mefenorex, Klobenzorex,

Prenilamin, Fenetilin

2 Opiat Kodein, Hidrokodon, Oksikodon,

Levorfanol, Hidromorfon

3 Benzodiazepin Ecgonin Metil Ester, Alprazolam,

Triazolam, Klobazam, Tetrazolam,

Oksazolam, Ketazolam, Midazolam,

Hidroksialprazolam, Hidroksitriazolam,

Oksaprozin, Klorazepat

4 Kokain Ecgonin

19

BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

- Gelas beaker

- Pipet tetes

3.1.2 Bahan

- Sampel urin

- Strip test untuk masing-masing golongan senyawa

3.2 Skema Kerja

20

Sampel ditempatkan ke dalam tempat yang kering dan bersih.

Strip test dicelupkan ke dalam wadah penampung urin

Ditunggu beberapa saat. Diamati hasil yang diperoleh

Dilakukan pemeriksaan warna, bau dan pH pada urin

Disiapkan strip test untuk masing-masing golongan senyawa

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. One Step Test Integrated Cup (Urine) Package Insert. Available at :http://www.sierraresources.com/pdf/Drugcupinsert.pdf(1Oktober 2014)

Badan Narkotika Nasional. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium

Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya. Jakarta : Badan Narkotika

Nasional. Hlm. 5 – 41.

Balikova, M. 2005. Hair Analysis For Drugs of Abuse. Plausibility of

Interpretation. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub.

Vol. 149 (2) : 199–207.

Chiappin, S., G. Antonelli, R. Gatti and E. F. De Palo. 2007. Saliva Specimen : A

New Laboratory Tool for Diagnostic and Basic Investigation. Clinica

Chimica Acta. Vol. 383 :30–40.

Flanagan, R. J., A. Taylor, I. D. Watson and R. Whelpton. 2007. Fundamental

Analytical Toxicology. New Delhi: John Wiley &Sons, Ltd.

Hegner, B. R. dan E. Caldwell.2003. Asisten Keperawatan Suatu Pendekatan

Proses Keperawatan.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

JaVed, I., T. J. Kennedy., Donnell, Christian. 2012. Basic Principles of Forensic

Chemistry. USA: Humana Press.

Koivunen, M. E and R. L. Krogsrud. 2006. Principles of Immunochemical

Techniques Used in Clinical Laboratories. Lab Medicine. Vol. 37 (8) : 490 –

497.

Kroll, M. H. and R. J. Elin. 1994. Interference with Clinical Laboratory Analysis. Clin Chem. Vol. 40 : 1996 – 2005.

Liu, R. H. and D. E. Gadzala. 1997. Handbook of Drug Analysis. Washington DC : American Chemical Society. Pg. 76 – 94.

Lum, G. and B. Mushlin. 2004. Urine Drug Testing: Approaches to Screening and

Confirmation Testing. Laboratory Medicine. Vol. 35 (6) : 363 – 368.

Menkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

923/Menkes/SK/X/2009 tentang Petunjuk Teknis Laboratorium Pemeriksa

Narkotika dan Psikotropika Projustisia. Jakarta : Menteri Kesehatan

Reublik Indonesia.

21

Pearce, E. C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : P. T.

Gramedia.

Pouliopoulos, A., K. Spagou, N. Raikos and H. Tsoukali. 2007. Immunoassay

Technologies for Drugs of Abuse Testing : General Principles, Recognized

Advantages and Disadvantages. Aristotle University Medical

Journal. Vol. 34 (2) :19 – 25.

Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi

Farmakologi.

Saito, K., R. Saito, R. Kikhuci, Y. Iwasaki, R. Ito and H. Nakazawa. 2011.

Analysis of Drugs of Abuse in Biological Specimens. Journal of Health

Sciences. Vol. 57 (6) :472 – 487.

Smyth, M. R. 1992. Chemical Analysis in Complex Matrices.England : Ellis

Horword PTR Prentice Hall.

Suwarso. 2002. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan

Komplikasinya.. Yogyakarta : Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Gajah Mada.

Vassiliki, A. B., K. S. Ziavrou dan T. Vougiouklakis. 2006. Hair as a Biological

Indicator of Drug Use, Drug Abuse or Chronic Exposure to Environmental

Toxicants. International Journal of Toxicology. Vol. 25 :143–163.

Wirasuta, I M. A. G. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. Vol. 1 (1) : 47 – 55.

22