Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015

74

Transcript of Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015

iiiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

JURNAL PENGENDALIAN PENYAKITDAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

DEWAN REDAKSI

Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PLSekretaris Ditjen PP dan PLPenanggung Jawab : Kepala Bagian HukormasRedaktur : drg. Yossy Agustina , MH.Kesdr. Ita Dahlia, MH.KesIkron, SKM, MKMdr. Ratna Budi Hapsari, M.KesDewi Nurul Triastuti, SKMPenyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.DDr. Suwito, SKM, M.KesDesign Grafis : Putri Kusumawardani, STBukhari Iskandar, SKMEriana SitompulFotografer : Firman Septiadi, SKMHilwati, SKM, M.KesSri Sukarsih, AmdSekretariat : Mugi Wahidin, SKM, M.KesSuranti Amalia, AmdJohanes Eko K., SKM, M.KesAdhy PrasetyoRr. Trihastati R HPairinRidho Ichsan Saini, SKMPenerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit danPenyehatan LingkunganJl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560Telp/Fax: (021) 4225451email: [email protected]: www.pppl.depkes.go.idfacebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakitdan Penyehatan Lingkungan

vJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga JurnalPengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dapat diterbitkan demi memenuhikebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatankhususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular sertapenyehatan Iingkungan di Indonesia.Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 5 yang terbitdi penghujung tahun 2015. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasilpenelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit danpenyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang inginmengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan penyehatanlingkungan.Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnalini.Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaatbagi kita semua.Jakarta, Desember 2015Direktur Jenderal PP dan PL

dr. H. Mohamad Subuh, MPPM

viiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

DAFTAR ISI

HalamanInstalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dengan Menggunakan Teknologi MicroAutomatic System .......................................................................................................................................................... 1 – 8Deteksi Dini Hipertensi Pada Pengemudi Bus Akap Selama Arus Mudik Lebaran 2015di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, Jawa Timur ........................................................................................... 9 – 15Deteksi Dini Kanker Payudara dan Leher Rahim di Indonesia Tahun 2007-2014 ............................ 16 – 20Kinerja Jumantik dan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Rejang LebongTahun 2014 ...................................................................................................................................................................... 21 – 24Meta-Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue ........ 25 – 29Pengelolaan Limbah di Puskesmas di Sembilan Kabupaten/Kota Wilayah Kerja BBTKLPPJakarta Tahun 2013 ...................................................................................................................................................... 30 – 35Risiko Kesehatan Radioaktivitas Penambangan Timah di Provinsi Kepulauan BangkaBelitung, 2014 ................................................................................................................................................................. 36 – 40Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Desa Saitnihuta, KabupatenHumbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, 2015 ............................................................................... 41 – 48Peningkatan Peran Perawat dalam Penemuan Suspek TB di Kota Palu ................................................ 49 – 60Survei Epidemiologi Taeniasis/Sistiserkosis dan Soil Transmitted Helminthiases di KabupatenGianyar dan Karangasem, Bali, 2013 .................................................................................................................... 61 – 66Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Ditjen PP dan PL ..................................................................................... 67 – 68

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 1

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKITDENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI MICRO AUTOMATIC SYSTEM

Hospital Wastewater Treatment Plant by Using Micro Automatic System Technology

P.A. Kodrat Pramudho, WidodoBalai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta, Ditjen PP dan PL,Kementerian Kesehatan RIAbstrakAir limbah rumah sakit adalah air yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dengan kandungan bahan kimia B3 infeksius dannon infeksius yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Seiring denganperkembangan penduduk banyak didirikan rumah sakit baru dengan aktifitasnya akan berpotensi menimbulkan pencemaranbaru, sehingga perlu diupayakan pengembangan teknologi yang murah dan aman didalam pengolahan air limbah.Keunggulan teknologi “MAS” adalah pada penggunaan bakteri pengurai yang sudah diseleksi dan dimodifikasi lingkunganhidupnya yang ditambahkan ke dalam sistem IPAL, serta penggunaan sistem elektrikal yang mampu menggerakan unit IPALsecara otomatis dengan kelistrikan sederhana, dapat dikembangkan (duplikasi), sehingga teknologi ini akan memiliki nilaiekonomis, efektifitas yang tinggi dengan hasil pengolahan sesuai dengan standard KepMenLh No.58 Tahun 1995.Kata kunci : Pengolahan air limbah rumah sakit, teknologi micro automatic sistem

AbstractHospital waste water is water generated from the hospital with the chemicals B3 infectious and non-infectious potentiallypolluting and harmful to people and the environment. Along with the many established residents of the new hospital withpotentially polluting activities would be new, so it is necessary the development of a cheap and safe technology in wastewatertreatment. Technological advantage "MAS" is the use of bacterial decomposition that have been selected and modified theenvironment are added to the system WWTP, as well as system use electrical capable of moving unit WWTP automaticallywith electrical simple, can be developed (duplication), so that this technology will have economic value, high effectivenesswith the results of the processing in accordance with standard KepMenLH 58 1995.Keywords : Hospital waste water treatment, automatic micro system technologyAlamat Korespondensi: Widodo, Ssi, MM, BBTKLPPJakarta, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl, Balai RakyatNo.2 Cakung Timur Jakarta Timur, Hp: 08128103845,email: [email protected]

PENDAHULUANBalai Besar Teknik Kesehatan Lingkungandan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakartamerupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis(UPT) di bidang teknik kesehatan lingkungandan pengendalian penyakit yang berada di bawahdan bertanggung jawab kepada DirektoratJenderal Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan (Ditjen PP dan PL), KementerianKesehatan RI. Salah satu tugas BBTKLPP Jakartaadalah melaksanakan pengembangan modeldan teknologi tepat guna.Terkait Program Penilaian Peringkat KinerjaPerusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup(Proper), akhir November 2011 (dalam hal initermasuk rumah sakit), Kementerian LingkunganHidup telah menetapkan 14 Rumah Sakit (RS)

dengan kategori biru, 27 merah, dan 1 hitam.Kategori biru berarti RS menjalankan standarpengelolaan lingkungan, sedangkan merah danhitam dinilai masih abai dalam mengelolalingkungan. Pada tahun 2014, BBTKLPP Jakartatelah melakukan kajian di bidang analisisdampak kesehatan lingkungan (ADKL) di 12rumah sakit di Kota Bandung. Hasil kajianmenunjukkan bahwa kualitas outlet InstalasiPengolahan Air Limbah (IPAL) belum sesuaidengan standar Keputusan Menteri NegaraLingkungan Hidup No. 58 Tahun 1995 tentangBaku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan RumahSakit (Tabel 1).Dengan latar belakang permasalahan tersebutdan sesuai dengan tugas fungsinya sebagai JFTSanitarian dalam melakukan riset dan pengembangandi bidang teknologi penyehatan lingkungan,maka perlu dikembangkan perencanaan, desain,model dan penerapan teknologi IPAL rumahsakit.

2 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Perancangan disain mengacu ke PedomanTeknis Instalasi Pengolahan Air Limbah denganSistem Biofilter Anaerob Aerob Pada FasilitasPelayanan Kesehatan yang diterbitkan olehDirektorat Bina Pelayanan Penunjang MedikDan Sarana Kesehatan Tahun 2011.Dengan melihat keunggulan dan kelemahandesain yang ada dilakukan penyempurnaan,penerapan teknologi pengolahan air limbahrumah sakit. Hasil penyempurnaan dinamaidengan teknologi Micro Automatic Sistem (MAS).Penyempurnaan dilakukan pada desain bakpengolahan, pertumbuhan bakteri pengurai,perpipaan dan sistem kelistrikan.Teknologi IPAL dengan sistem MAS telahditerapkan di beberapa wilayah seperti KotaBogor, Kabupaten Bogor, DKI Jakarta, KotaTangerang Selatan, Kabupaten Tangerang,Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang.Kapasitas pengolahan bervariasi antara 25–500 M3/hari atau setara dengan 25–500tempat tidur. Penentuan 1M3 untuk satutempat tidur adalah atas dasar pengamatan dilapangan dan kegagalan–kegagalan unit IPALyang telah ada, yang pada umumnya karenakurangnya kapasitas unit pengolahan.Rumah sakit dalam melaksanakan kegiatannyayang terdiri dari pelayanan langsung maupuntidak langsung akan mengeluarkan limbah cair.Pengolahan air limbah rumah sakit menggunakanteknologi ”MAS” (MICRO AUTOMATIC SYSTEM),merupakan pengolahan gabungan antara fisika,kimia dan biologis dan didukung denganpenggunaan instrumen elektrik yang diatursecara otomatis. Pengertian dari Micro adalahmikroba/bakteri pengurai yang menguntungkanyang dikembangkan dalam teknologi ”MAS”adalah bakteri pengurai seperti:1. Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.Kelompok bakteri ini berperan besar dalamproses nitrifikasi yang merubah senyawa-senyawa nitrogen beracun menjadi bahan-bahan tak beracun. Nitrifikasi terjadi dalam2 tahap, yaitu: Perubahan amonia menjadinitrit oleh Nitrosomonas sp., dilanjutkandengan perubahan dari nitrit menjadi nitratoleh bakteri Nitrobacter sp.2. Aerobacter sp.Bakteri ini mengubah karbohidrat menjadiasam lemak dan ethanol.

3. Bacillus sp.Bakteri ini adalah kelompok anaerobfakultatif. Enzim yang dihasilkannya dapatdimanfaatkan untuk melarutkan proteinpadat yang tak larut, lemak dan karbohidrat.Bakteri ini dapat merubah lemak tak larutmenjadi gliserol yang larut dalam air danasam lemak.4. Pseudomonas sp.Sekelompok bakteri anaerob fakultatif. Iadapat melarutkan bermacam-macam bahanorganik di dalam lumpur.5. Shacaromyces sp.Sekelompok jamur/ragi yang dapat melakukanpermentasi bahan organik di dalam air danlumpur serta sangat tahan terhadap bahan–bahan yang digunakan dalam disinfektan,zat tersebut akan terendap bersama biomasayang sudah mati.Sedangkan pengertian dari AUTOMATIC SYSTEMadalah penggunaan sistem elektrik yang mampubekerja menggerakan dosing pump, blower,samersible pump, pengurasan pada unit biofilter, wasserjet, unit microfilter, ozon generatordan unit penerangan yang bekerja secara otomatis.Faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahandengan teknologi ”MAS” adalah jumlah bakteriyang dikembangkan, nutrisi, suhu, pH, oksigenterlarut serta daya toksik limbah terhadap sel-sel mikroba.Penggunaan teknologi ”MAS” mempunyai banyakkeuntungan, antara lain: Mudah dalam pemeliharaan dan operasional Tidak membutuhkan tenaga ahli yang khusus Rendah dalam biaya operasional Menghilangkan bau dan memperbaiki warnaair buangan Menguraikan NH3 dan senyawa N lainnya yangtinggi Menguraikan PO4 dan senyawa P lainnya yangtinggi Menguraikan H2S dan senyawa S lainnya yangtinggi Menurunkan COD dan BOD Menjaga kestabilan pH pada air buangan Mempunyai kemampuan yang tinggi dalammelakukan penguraian bahan organik (protein,karbohidrat, lemak).

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 3

Effluent yang diharapkanEffluent yang diharapkan dengan penggunaanteknologi “MAS” kualitas sesuai dengan baku mutuMenLH No. 58 Tahun 1995 untuk kegiatan RS.

Tabel 1. Baku mutu air limbah rumah sakitNo Parameter Satuan

MenLHNo. 58/1995Batas Syarat1 Suhu oC < 302 pH mg/l 6 - 93 BOD mg/l 30,04 COD mg/l 80,05 TSS mg/l 30,06 Amonia bebas mg/l 0,17 Posfat mg/l 2,08 Kumangolongan koli MPN/100ml 10.000

METODEKajian ini merupakan hasil analisis dampakkesehatan lingkungan di 12 rumah sakit diKota Bandung tahun 2014 dan berdasarkankajian literatur. Pengolahan air limbah rumahsakit dengan sistem “MAS“ mempunyai beberapaproses pengolahan seperti fisika, biologi, dankimiawi (absorbsi). Adapun proses siklus kimiadan biologi yang terjadi pada bak-bak pengolahanadalah sebagai berikut:a. Unit grease trapPada unit grease trap yang ditempatkan diunit gizi dan kantin dengan adanya bakteripengurai anaerob (Nitrosomonas sp, Nitrobacter

sp, Pseudomonas sp, dan Bacillus sp). Minyakdan lemak diuraikan menjadi senyawa yanglebih sederhana yang akan memudahkandalam proses berikutnya.b. Unit sub bak pengumpulPengolahan tersebut dimaksudkan untukmenurunkan kandungan bahan-bahan organikdan anorganik secara fisika (gaya gravitasi)untuk menahan kotoran kasar pencampuranair baku, mengendapkan partikel yangberukuran 10m, dan penguraian minyaklemak oleh bakteri anaerobik. Pada prosesini akan terjadi penurunan paramater, sehinggaakan memudahkan pengolahan pada prosesberikutnya.

c. Filter sand filter dan karbon (bio filter I dan II)Pengolahan tersebut dimaksudkan untukmenurunkan kandungan bahan-bahan organikdan anorganik secara fisika (gaya gravitasi)dan kimia karena dilengkapi dengan karbonaktif yang mempunyai daya absorpsi terhadapbahan–bahan pencemar seperti minyak lemak,detergent, PO4, NH3. Untuk membantu ketahanankarbon aktif dalam melakukan absorpsiditambahkan batu koral. Pada tahap prosesini dengan adanya bakteri pengurai anaerobdapat menyempurnakan penguraian bahanpencemar yang ada, sehingga akan memudahkandalam proses selanjutnya.d. Pengolahan biologis pada kolam aerasiPengolahan ini dimaksudkan untuk menurunkankandungan zat organik dan anorganik secarabiologis dengan menggunakan bakteri aerobikyang bekerja pada daerah tengah danpermukaan unit IPAL, sedangkan bakterianaerob bekerja di dasar lumpur. Kondisi aerobdikondisikan dengan bantuan penambahanudara bebas (blower) ini terjadi pada kolamaerasi. Pada proses ini akan terjadi penurunandan siklus rantai kimia secara biologi yangsangat mencolok untuk parameter BOD,COD, H2S, NH3-N, NO2-N, NO3-N, PO43-, danminyak lemak, sehingga akan memudahkanpengolahan pada proses berikutnya.e. Pengolahan disinfectionPengolahan ini dimasudkan untuk membunuhbakteri patogen dan virus dengan menggunakanOzongenerator. Selain itu juga mempunyaikemampuan dalam melakukan degradasi/penguraian bahan pencemar yang masih ada.Diharapkan air hasil pengolahan terbebasdari bakteri patogen dan virus.f. Uji hayati (test tank)Dalam uji hayati dilakukan terhadap ikanyang ditempatkan dalam aquarium darikaca setebal 10 mm dengan ukuran 50 cm x50 cm x 70 cm dengan sistem penambahanair secara kontinyu dari bak akhir denganmenggunakan pompa. Pada proses ini untukmengetahui kualitas air pengolahan yangdihasilkan apakah masih berbahaya atautidak terhadap biota perairan.g. Proses mikro filtrasiDalam proses ini menggunakan teknologispon membran dengan ukuran pori 0,1 µm,penambahan carbon filter, sand filter danmikro filter dengan ukuran pori 0,1µm. Pada

4 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

tahap ini air yang dihasilkan akan menjadiair bersih yang dapat digunakan untukmenyiram WC, sehingga menghemat penggunaanair bersih dan pengolahan limbah cair akanlebih bermanfaat.h. Pengolahan lumpurDalam tahap ini lumpur-lumpur sebelumdibuang baik dari proses IPAL sebelumkeluar/dibuang harus ditambahkan kaporit.Diharapkan lumpur yang dibuang sudahterbebas dari bakteri patogen dan virus.Proses pembuangan lumpur pada unit IPALdilakukan 2 kali dalam setahun, bekerjasama dengan dinas kebersihan setempat.Gambar dan disain pengolahan yang diterapkana. Disain tampak atas “MAS”

b. Disain tampak depan “MAS”

Peralatan operasional IPAL rumah sakitSistem pengolahan air limbah rumah sakitdengan sistem “MAS “dalam operasionalnya untukmendapatkan kualitas air buangan (outlet) yangmemenuhi persyaratan standar, dilengkapidengan peralatan (Tabel 2).

Tabel 2. Tabel peralatan operasional IPAL rumahsakitNo. Jenis peralatan Unit1. Blower (khusus untuk IPAL) 12. Samersible pump (lumpur) 23. Box pannel 14. Water automatic 15. Wasserjet 26. Klep angin untuk blowerbagian bawah 187. Karbon filter 18. Karbon aktif 500 kg9. Ozon generator 110. Micro filter 111. Ultra filter 112. Sarang tawon 6 M313. Micro/bakteri pengurai 48 liter14. Water meter flow 115. Automatic dosing 1a. Peralatan yang digunakan “MAS”

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 5

b. Bangunan IPAL di beberapa rumah sakit

Operasional IPAL harian Lakukan pengontrolan semua kondisi bakIPAL dari adanya kotoran sampah, danlakukan pengecekan peralatan IPAL sepertipompa, blower dan panel. Bila semua bak sudah terisi penuh hidupkanpanel pada posisi auto untuk peralatanblower dan pompa sumersible. Tambahkan bakteri pengurai BIODEKSTRAN(Anaerob) pada sub bak pengumpul dangrease trap 1 hari sekali sebanyak 2 lt. Tambahkan bakteri pengurai MICROPLUS(Aerob) pada bak aerasi 1 hari sekalisebanyak 3 liter dan perhatikan debit harianpenggunaan air bersih perhari. Lakukan pengecekan terhadap kualitas airIPAL baik secara visual maupun laboratorium,untuk pengujian di laboratorium dapatdilakukan sebulan sekali (mengacu standar

baku mutu MenLH No. 58 Tahun 1995).Untuk pengecekan harian lakukan terhadapkualitas visual seperti kerjernihan dan baudari air outlet IPAL.Operasional IPAL dengan kasus amonia,TSS, COD, BOD, PO4 Lakukan pengontrolan semua kondisi bakIPAL dari adanya kotoran sampah, danlakukan pula pengecekan peralatan IPALseperti pompa, blower dan panel. Bila semua bak sudah terisi penuh hidupkanpanel pada posisi auto untuk peralatan

blower dan pompa sumersible. Tambahkan bakteri pengurai ”BIODEKSTRAN(Anaerob)” pada sub bak pengumpul dan

grease trap 1 hari sekali sebanyak 2 liter. Tambahkan bakteri pengurai ”MICROPLUS(Aerob)” pada bak aerasi 1 hari sekalisebanyak 1 liter dan perhatikan debit harianpenggunaan air bersih perhari. Khusus untuk Amonia dan Phosphat, tambahkanbakteri pengurai ”AMONIA REMOVAL PLUS”dan Kapur (CaCO3) bila pH < 6,5 – 7,5 padabak aerasi 1 hari sekali sebanyak 3 lt danperhatikan debit harian penggunaan airbersih perhari. Lakukan pengecekan terhadap kualitas airIPAL baik secara visual maupun laboratorium,untuk pengujian di laboratorium dapat dilakukansebulan sekali (mengacu standard baku mutuMenLH No. 58 Tahun 1995). Untuk pengecekanharian lakukan terhadap kualitas visualseperti kerjernihan dan bau dari air outlet IPAL.Operasional Filter Pada IPAL Lakukan pengontrolan pompa pada unit filterdan isi dengan air. Tahap awal lakukan back wash denganmemutar katup filter pada posisi back wash(arah panah pada posisi back wash), lakukansampai air outlet filter bening/tidak keruhdan matikan pompa air. Tahap selanjutnya putar katup filter padaposisi rinse dan hidupkan pompa lakukansampai air outlet filter bening/jernih danmatikan pompa air. Kemudian putar katup filter pada posisi filterdan hidupkan pompa air dengan memutarselector panel pada posisi auto, pompa akanbekerja secara otomatis bila air pada bakpenampungan akhir IPAL habis pompa akan

6 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

mati dengan sendirinya dan bila terisikembali pompa akan hidup kembali.Pemeliharaan pada unit IPAL Unit Grease trap- Tambahkan “BIODEKSTRAN (Anaerob)” 1hari sekali sebanyak 2 liter pada saluranwastapel dapur/kantin dan siram denganair bersih.- Kontrol unit grease trap 3 hari sekali danbila terdapat lemak dan kotoran dilakukanpengambilan. Unit sub bak penampungan dan bak penampunganutamaLakukan pengontrolan saluran pipa danpompa dari kotoran seminggu sekali bilamemungkinkan lakukan setiap hari. Unit Bio Filter IPALBuka cek valve backwash dan udara pada bakbiofilter, lakukan backwash bila laju alir airlimbah terlihat tersendat atau lakukan seminggusekali. Bak no.11 lumpurnya dibuang kemedives/PT yang berizin. BlowerLakukan pengecekan harian blower denganmemonitor terhadap kebisingan, dan jalannya

blower.

HASILSistem pengolahan air limbah rumah sakitdengan sistem “MAS“ merupakan teknologiyang sangat sederhana dan mudah untukditerapkan dengan biaya yang relatif tidakmahal dengan bahan–bahan yang dapatdisesuaikan dengan wilayah dan sumber danayang tersedia. Teknologi “MAS” telah sesuaidengan baku mutu yang dipesyaratkan olehpemerintah yang mengacu pada KepMenLHNo.58 Tahun 1995, di dalam pelaksanaan ujicoba dapat dilihat hasil analisa laboratoriumselama satu tahun pada tahun 2014 adalahsebagai berikut:

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 7

Grafik di atas menggambarkan antara hasilpengukuran kualitas air buangan inlet danoutlet pada sistem “MAS” yang telah diterapkandi salah satu rumah sakit, untuk kualitas airbuangan selama periode satu tahun denganteknologi “MAS”. Hasil mengolahan air limbahrumah sakit telah memenuhi standardpemerintah dan telah aman bagi lingkungan.

PEMBAHASANPenerapan teknologi “MAS” pada pengolahanair limbah rumah sakit sejak dibangun dan

dioperasionalkan mempunyai keunggulan dankelemahan pada sistem. Bila ditinjau dari hasilpemeriksaan laboratorium untuk suhu, pH,COD, BOD, TSS, amoniak, posfat dan coliformdari bulan Januari sampai dengan Desemberditahun 2014 untuk kualitas inlet IPAL di atasbaku mutu, sehingga diperlukan pengolahanterlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan,sedangkan setelah melewati IPAL hasil outletdibawah baku mutu sehingga dapat langsungdibuang kelingkungan.Pada opersional harian pada sistem “MAS”,seperti pembersihan lumpur pada prosesbiofilter sangat mudah dilakukan dibandingkandengan teknologi biofilter yang telah ada. Prosespembuangan lumpur cukup dengan membukakatup udara pada sisi bak pengolahan udarablower dihembuskan sampai semua lumpurterangkat, kemudian kran pembuangan lumpurdibuka biarkan sampai semua lumpur terbawakepenampungan lumpur.Tenaga listrik yang digunakan pada teknologi“MAS” yang di gunakan untuk mengerakkanmesin blower sebagai supplai udara pada bakaerasi, penggunaan mesin blower untuk kapasitasolah 200 M3/hari diperlukan 2,2 KW. Sampaidengan saat ini penulis belum menemukanblower dengan tenaga listrik yang kecil.Biaya pembuatan IPAL dengan teknologi“MAS” sangat bervariasi tergantung ketersediaanbahan material bangunan yang tersedia dilokasi pembuatan sistem. Besar kecilnya biayayang dikeluarkan dapat diminimalisasi denganbahan, seperti untuk kapasitas olahan <10M3per hari dapat menggunakan bahan bata merahtampa di cor besi bertulang yang sangat cocokuntuk diterapkan di puskesmas–puskesmas,untuk diatas >10M3 per hari penulis menyarankanmenggunakan besi bertulang agar didapat hasilyang maksimal.

KESIMPULANDidalam operasional harian teknologi pengolahanair limbah “MAS” tidak membutuhkan keahlianyang khusus dan pendidikan tinggi, dapatdioperasikan oleh operator yang dilatih terlebihdahulu mengenai fungsi peralatan dan perpipaanyang ada didalam bak IPAL. Operator yangbertugas di IPAL dapat bekerja di posisi lain,karena sistem dapat bekerja secara otomatis

8 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

dengan kelistrikan yang sangat sederhana dandapat dikembangkan secara mandiri.Pada saat dilakukan observasi lapangan, biayaoperasional yang dikeluarkan dengan menggunakanbakteri yang dikembangkan oleh sistem “MAS”untuk pengolahan 200 M3 per hari membutuhkanbiaya Rp 2.500.000,- per bulan.Pengolahan air limbah rumah sakit denganteknologi “MAS” yang telah diterapkan dibeberapa kabupaten/kota provinsi Jawa Barat,DKI Jakarta dan Banten dapat menjadi alternatifpengolahan air limbah di klinik, rumah bersalin,puskesmas dan rumah sakit.SARAN1. Penggunaan teknologi “MAS” untuk pengolahanair limbah perlu sosialisasi, agar dapatditerapkan di puskesmas dan rumah sakit2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan danpenyempurnaan dalam penggunaan blowersebagai sumber oksigen dengan teknologialternatif lainnya agar didapatkan biayaoperasional yang lebih murah dan dapatditempatkan di daerah yang tidak mempunyaisumber listrik.

UCAPAN TERIMAKASIHUcapan terima kasih disampaikan kepadasemua pihak yang telah berperan dalampenerapan teknologi “MAS” pada pengolahanair limbah di di beberapa kabupaten/kota diprovinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten,sehingga teknologi ini dapat dituangkan dalambentuk tulisan dan diimformasikan kepadatenaga sanitarian di indonesia.DAFTAR PUSTAKAMetcalf & Eddy. 2004. Wastewater Engineering

Treatmen and Reuse. Fourth Edition. McGraw– Hill Companiies. New York. USA.C. Fred Gurnham. 1971. Industrial WastewaterControl. Academic Press. New York. USA.____1977. Fate of Pollutants in the Air and WaterEnvironments. Volume 8. Part 2. Chemical andbiological fate of pollutants in the environment”.New York. USA.

James G. Cappuccino Natalie Sherman. 1983.Microbiology Laboratory Manual. Addison –Wesley Publishing Company. Ney York. USARaswari. 1986. Sistem Perpipaan. UI Press.Indonesia.MenLH No 58 Tahun 1995 Tentang Baku MutuLimbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 9

Deteksi Dini Hipertensi pada Pengemudi Bus AKAPSelama Arus Mudik Lebaran 2015 di Pelabuhan Ketapang

Banyuwangi, Jawa Timur

Early Detection of Hypertension in Intercity and inter-provincial Bus DriversDuring Idul Fitri Celebration 2015 at Ketapang Port, Banyuwangi, East JavaPipin Arisandi, Rahmat Subakti, Rofiud Darojat, SholikahKantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI

AbstrakKantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo sebagai otoritas kesehatan di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi berupayamelakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) selama arus mudik lebaran Tahun2015 di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun2013. Sampel yang diambil sejumlah 102 pengemudi. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional dan pengambilansampelnya secara simple random sampling. Jumlah pengemudi bus yang mempunyai tekanan darah tinggi (hipertensi)sebesar 43,1%. Faktor yang mempunyai hubungan dengan kejadian hipertensi dengan tingkat signifikan sebesar 0,05 adalahumur (p=0,039; OR=2,556), waktu istirahat (p=0,037; OR=2,397), merokok (p=0,017; OR=3,333), minum kopi (p=0,040;OR=2,389), lingkar perut (p=0,030; OR=2,417), dan indeks massa tubuh (IMT) (p=0,022; OR=2,552). Faktor dominan yangberhubungan dengan kejadian hipertensi pada sopir bus AKAP adalah merokok (p=0,012), minum kopi (p=0,020), dan IMT(p=0,009). Hasil penelitian pada pengemudi bus AKAP ini dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan terhadapkejadian hipertensi adalah IMT. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak pemangku kebijakan terutamaperusahaan otobus untuk dapat memantau perkembangan kesehatan karyawannya.Kata kunci : Pengemudi bus, hipertensi, Pelabuhan KetapangAbstractPort Health Office of Probolinggo as health authorities in Port of Ketapang Banyuwangi that a have done examination AKAPbus (Inter-City Inter-Province) during Lebaran 2015 in the Port of Ketapang Banyuwangi as mandated by PresidentialInstruction Number 4 of 2013. Samples taken a number of 102 driver. Using cross-sectional design of this study and takingthe sample by simple random sampling. Number of bus drivers who have high blood pressure (hypertension) amounted to43.1%. Factors that have a relationship with hypertension with a significant level of 0.05, among others: age (p = 0.039; OR =2.556), breaks (p = 0.037; OR = 2.397), smoking (p = 0.017; OR = 3.333) , coffee (p = 0.040; OR = 2.389), waist circumference(p = 0.030; OR = 2.417), and body mass index (BMI) (p = 0.022; OR = 2.552). The dominant factors associated withhypertension in AKAP bus driver was smoking (p = 0.012), coffee (p = 0.020), and BMI (p = 0.009). Results of research on thisAKAP bus driver can be concluded that the most dominant factor on the incidence of hypertension is BMI. Expected results ofthis study can be used by the stakeholders, especially companies always otobus to monitor the development of the health ofits employees.Keywords : Bus driver, hypertention, Port of ketapangAlamat Korespondensi: Pipin Arisandi, KKP Probolinggo,Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl. Tanjung Tembaga BaruProbolinggo, Hp:082301661666, e-mail: [email protected]

PENDAHULUANMenurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),jumlah penderita hipertensi di seluruh duniadiperkirakan sebanyak 600 juta orang, dengan3 juta kematian setiap tahun. Di Indonesia,hipertensi merupakan penyebab kematiannomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis (6,8%)dari proporsi penyebab kematian pada semuaumur (Malope, 2012).

Bila dibandingkan hasil Riskesadas tahun2007 dan 2013, terjadi penurunan prevalensihipertensi di Indonesia, yaitu dari 31,7% tahun2007 (Riskesdas, 2007) menjadi 25,8% tahun2013 (Riskesdas, 2013). Asumsi terjadinyapenurunan bisa bermacam-macam mulai darialat pengukur tensi yang berbeda sampai padakemungkinan masyarakat sudah mulai datangberobat ke fasilitas kesehatan. Namun sebaliknyaterjadi peningkatan prevalensi hipertensiberdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosisnakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6%tahun 2007 menjadi 9,5% tahun 2013 (Riskesdas,2013).

10 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Salah satu penyebab kematian yang jugacukup tinggi adalah kecelakaan. Menurut WHO(2009), pada tahun 2004, kecelakaan lalu lintasmerupakan penyebab kematian nomor sembilandi seluruh dunia yang didominasi olehkecelakaan lalu lintas darat. Diprediksi padatahun 2030 akan menjadi penyebab kematiannomor 5 di dunia. Guna mengantisipasi haltersebut, maka pada tahun 2010 ditetapkanAmanat Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) Nomor 64/255 untuk mengendalikandan mengurangi tingkat fatalitas korbankecelakaan lalu lintas jalan secara global. Padatahun 2011, dilaksanakan Konferensi WorldHealth Assembly (WHA) tentang isu Decade ofAction for Road Safety (DoA).Dalam kaitan ini, komitmen PemerintahIndonesia ditunjukkan dengan adanya UUNomor 22 Tahun 2009 tentang Rencana UmumNasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011-2035(pasal 203), Pencanangan Dekade Aksi KeselamatanJalan Indonesia di Istana Merdeka Tahun 2011,Penerbitan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun2013 yang melibatkan integrasi lintas sektordalam kelima pilar, dimana Menteri Kesehatansebagai koordinator pilar kelima, yaituPenanganan Pra dan Pasca Kecelakaan.Kecelakaan lalu lintas darat mendominasidiantara jenis cedera yang lain. Angka kejadiankecelakaan lalu lintas darat cenderungmeningkat dalam jumlah maupun jenisnya.Angka kematian diperkirakan meningkat dari5,1 juta pada tahun 1990 menjadi 8,4 juta padatahun 2020 atau meningkat sebesar 65%. DataRiskesdas menyebutkan bahwa prevalensikecelakaan transportasi darat mencapai 25,9%dari seluruh penyebab cedera Iainnya. Tahun2010, jumlah kematian akibat kecelakaan telahmencapai 31.234 jiwa, hal ini berarti setiap 1jam terdapat sekitar 3-4 orang meninggalakibat kecelakaan lalu lintas.Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggosebagai unit pelaksana teknis yang berada dibawah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakitdan Penyehatan Lingkungan telah melakukanupaya yang diamanatkan oleh Instruksi Presidenberupa pemeriksaan kesehatan pengemudiselama arus mudik Lebaran 2015 di PelabuhanKetapang Banyuwangi, sekaligus melakukanpenelitian pada pengemudi bus AKAP sebagaipopulasi penelitian dengan jalur Pulau Jawa-

Bali selama arus mudik Lebaran 2015 diPelabuhan Ketapang, Banyuwangi.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuifaktor-faktor yang berhubungan dengan kejadianhipertensi pada pengemudi bus AKAP (AntarKota Antar Propinsi) jurusan Pulau Jawa-Bali diPelabuhan Penyeberangan Ketapang, Banyuwangiselama arus mudik Lebaran 2015.Hasil penelitian ini diharapkan dapatdijadikan sebagai rujukan bagi pengambilkebijakan di wilayah Pelabuhan PenyeberanganKetapang dalam rangka deteksi dini hipertensipada pengemudi bus AKAP guna mengantisipasikejadian kecelakaan lalu lintas saat arus mudikdan balik di tahun mendatang.METODEPenelitian dilaksanakan selama arus mudikLebaran yaitu bulan Juli 2015, dengan jenisdesain cross sectional study. Jumlah sampelpenelitian sebanyak 102 pengemudi bus AKAPdengan lintasan Pulau Jawa dan Bali yangdiambil secara simple random sampling. Jenisdata adalah data primer yang diperoleh denganmelakukan wawancara secara langsung terhadappengemudi bus AKAP pada saat parkir diPelabuhan Penyeberangan Ketapang Banyuwangimenggunakan kuesioner dan dan melakukanpengukuran.Variabel independen penelitian terdiri dari:1)Karakteristik pengemudi bus, meliputi umurdan jenis kelamin; 2)Perilaku atau kebiasaanpengemudi bus yang meliputi merokok setiaphari, waktu istirahat, dan minuman yangdikonsumsi saat berkendara; dan 3)Pengukuranpada pengemudi bus meliputi tinggi badan,berat badan, lingkar perut, dan tekanan darah.Cara pengumpulan data dilakukan melaluidua tahapan, yaitu: 1)Melakukan wawancara;dan 2)Melakukan pengukuran tinggi badan danlingkar perut mengunakan meteran, sertapengukuran berat badan dan tekanan darahmenggunakan timbangan dan tensi meter.

HASILHasil penelitian adalah sebagai berikut:Analisis univariatKarakteristik responden:1. Jenis kelamin

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 11

Semua (100%) pengemudi bus AKAP berjeniskelamin laki-laki.2. UmurUmur responden sebagian besar (68,6%) diatas 40 tahun dengan rata-rata umur 43tahun, umur termuda 21 tahun, sedangkanumur tertua 62 tahun.3. Waktu IstirahatPada umumnya pengemudi istirahat setiap4 jam (63,7%). Rata-rata istirahat setiap 4,3jam. Istirahat yang paling lama setiap 8 jam,sedangkan yang paling cepat setiap 2 jamsekali.4. MerokokResponden pada umumnya (74,5%) merokoksetiap hari.5. Minum kopiHanya sebesar 35% pengemudi yangmempunyai kebiasaan minum kopi saatmengendarai bus.6. Lingkar perutSebagaian besar (51%) kurang dari 90 cm,rata-rata 91,1 cm, terkecil 67 cm, sedangkanyang tersbesar 133 cm.7. Indeks Massa Tubuh (IMT)

IMT didapatkan dari hasil pengukuran beratbadan dalam satuan kilogram dan tinggibadan dalam satuan meter. IMT didominasi(53%) oleh pengemudi dengan kategoriobesitas (≥25 kg/m2), rata-rata 25,8 kg/m2,terendah 17 kg/m2, sedangkan yang tertinggi44 kg/m2.8. Tekanan darahPada umumnya (56,9%) mempunyai tekanandarah normal, rata-rata tekanan darah sistolik136,4 mmHg, tekanan darah sistolik terendah100 mmHg, sedangkan tekanan sistolik yangtertinggi 220 mmHg.Analisis bivariatAnalisis ini untuk mengetahui hubungan antaravariabel independen (umur, waktu istirahat,merokok, minum kopi, lingkar perut, IMT) danvariabel dependen (kejadianhipertensi). Berdasarkanhasil uji statistik (bivariat) dengan tingkatkepercayaan 95% (α=0,05), menunjukkan bahwaada hubungan yang signifikan antara umur,waktu istirahat, merokok, minum kopi, lingkarperut dan IMT dan kejadian hipertensi (Tabel 1).

Tabel 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pengemudi bus AKAP selama arusmudik Lebaran 2015 di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang – BanyuwangiVariabel

Tekanan Darah Total(%) P value ORNormal Hipertensi

n(%) n(%)Umur- ≤ 40 tahun- > 40 tahunWaktu istirahat- Setiap 4 jam sekali- Lebih dari 4 jam sekaliMerokok- Tidak- YaMinum kopi- Tidak- YaLingkar perut- < 90 cm- ≥ 90 cmIndeks Massa Tubuh- < 25 cm- ≥ 25 cm

23(71,9)35(50,0)42(64,6)16(43,2)20(76,9)38(50,0)43(64,2)15(42,9)35(67,3)23(46,0)33(68,8)25(46,3)

9(28,1)35(50,0)23(35,4)21(56,8)6(23,1)38(50,0)24(35,8)20(57,1)15(31,3)(31,3)15(31,3)29(53,7)

32(100)70(100)65(100)37(100)26(100)76(100)67(100)35(100)52(100)50(100)48(100)54(100)

0,039*0,037*0,017*0,040*0,030*0,022*

2,5562,3973,3332,3892,4172,552

*)Signifikan dengan α=0,05

12 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Analisis multivariatAnalisis ini digunakan untuk mengetahuifaktor dominan yang berhubungan dengankejadian hipertensi. Hasil analisis multivariatmenunjukkan bahwa indeks massa tubuh/IMTmerupakan faktor dominan kejadian hipertensipada pengemudi bus AKAP lintasan Pulau Jawadan Bali selama arus mudik Lebaran 2015(Tabel 2).Tabel 2. Faktor dominan yang berhubungan dengankejadian hipertensi pada pengemudi bus AKAP saatarus mudik dan balik Lebaran 2015 di PelabuhanKetapang Banyuwangi.Variabel β Wald p-value

- Umur- Waktu istirahat- Merokok- Minum kopi- IMT

-0,919-0,892-1,488-1,161-1,2713,0833,3786,3724,4986,846

0,0790,0660,012*)0,020*)0,009*)Keterangan : *) signifikan dengan α=0,05PEMBAHASAN

UmurUmur pengemudi bus AKAP lintasan PulauJawa dan Bali di atas 40 tahun lebih banyakdaripada yang di bawah 40 tahun. Kejadianhipertensi pada pengemudi bus AKAP selamaarus mudik Lebaran 2015 paling banyak dialamioleh kelompok umur lebih dari 40 tahun.Berdasarkan hasil penelitian ini, umurmempunyai hubungan yang signifikan dengankejadian hipertensi (p<0,05) dengan OR=2,556.Hal ini menunjukkan bahwa umur di atas 40tahun 2,556 kali lebih tinggi berisiko hipertensidibandingkan dengan pengemudi yang berumurdi bawah 40 tahun. Hal tersebut sesuai danumumnya berkembang pada saat umur seseorangmencapai paruh baya yakni cenderung meningkatkhususnya yang berusia lebih dari 40 tahunbahkan pada usia lebih dari 60 tahun ke atas(Krummel, 2004). Kejadian hipertensi meningkatdrastis pada usia 55-64 tahun dan Indeks MassaTubuh (Tesfaye, 2007). Arteri kehilanganelastisitas dan tekanan darah meningkat seiringbertambahnya usia. Williams (1991) menyatakanbahwa umur, ras, jenis kelamin, merokok,kolesterol darah, intoleransi glukosa, dan beratbadan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi .Black dan Hawks (2005) menyatakan bahwaseseorang rentan mengalami hipertensi primer

50-60% pasien yang berumur diatas 60 tahunmempunyai tekanan darah di atas 140/90 mmHg.Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnyausia, karena perubahan struktur pada pembuluhdarah besar, sehingga lumen menjadi lebihsempit dan dinding pembuluh darah menjadilebih kaku yang mengakibatkan meningkatnyatekanan darah sistolik (Depkes RI, 2006). Hasilpenelitian lain (Wahyuni, 2013) bahwa hipertensidapat dipengaruhi oleh usia ≥40 tahun.Waktu istirahatPasal 90 dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan AngkutanJalan, bahwa pengemudi kendaraan bermotorumum setelah mengemudikan kendaraan selama4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahatpaling singkat setengah jam. Hasil dariwawancara didapatkan menunjukkan bahwapengemudi bus AKAP telah mengikuti aturantersebut, walaupun masih ada sekitar 36,3%yang belum menerapkannya. Hasil penelitianini bahwa waktu istirahat mempunyai hubunganyang signifikan dengan kejadian hipertensi(p<0,05) dan OR=2,387. Artinya bahwa pengemudibus yang tidak istirahat setiap 4 jam sekalimempunyai risiko 2,387 lebih tinggi menderitahipertensi dibandingkan dengan pengemudiyang istirahat setiap 4 jam sekali. Kemampuanpengemudi ada batasnya, semakin kurang istirahatakan meningkatkan kejadian kelelahan. Penderitahipertensi pada umumnya mengalami nyeri,selain itu penderita juga mudah lelah, merasatidak nyaman, sulit bernafas, sukar tidur(Dalimartha dkk, 2008), sehingga perlu istirahatyang cukup untuk memulihkannya.MerokokPengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawadan Pulau Bali pada umumnya mempunyaikebiasaan merokok setiap hari (74,5%).Berdasarkan hasil penelitian ini bahwamerokok mempunyai hubungan yang signifikandengan kejadian hipertensi (p<0,05) denganOR=3,333. Artinya bahwa pengemudi busAKAP yang merokok mempunyai risikohipertensi 3,333 kali lebih tinggi dibandingkandengan pengemudi bus AKAP yang tidakmerokok. Merokok merupakan faktor risikoperilaku yang masih dapat dirubah terjadinyahipertensi (Kemenkes, 2014). Hasil penelitianini sejalan dengan penelitian Namira (2013)

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 13

bahwa proporsi kejadian hipertensi jugabanyak ditemukan (72,2%) pada kelompokpramudi yang memiliki kebiasaan mengonsumsirokok.Penelitian dari Destry (2012), pada pengemudibusway di koridor 1 juga menemukan proporsikejadian hipertensi lebih tinggi pada respondendengan status perokok dibandingkan denganresponden dengan status bukan perokok danstatus mantan perokok. Selain itu penelitianSateesh (2013) pada supir bus di India menemukan60% supir bus yang memiliki kebiasaanmengonsumsi rokok lebih banyak menderitahipertensi (Anggraeni, 2012). Kejadian inidikarenakan merokok menyebabkan kebutuhanoksigen untuk disuplai ke jantung menjadimeningkat.Kebiasaan merokok pada orang yangmenderita tekanan darah tinggi akanmenyebabkan semakin besar risiko kerusakanpada pembuluh darah arteri (Hull, 1996).Penelitian lain yang sejalan adalah penelitianyang dilakukan oleh Syukraini Irza (2009)pada masyarakat Nagari Bungo TanjungSumatera Barat, mendapatkan bahwa perilakumerokok merupakan faktor risiko kejadianhipertensi dengan besar risiko 6,9 kali lebihbesar untuk terjadinya hipertensi danpenelitian yang dilakukan oleh Fajar Haninda(2011), menemukan bahwa ada hubunganantara jumlah rokok dengan kejadian hipertensipada pasien di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma.Minum KopiPengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawadan Bali yang mempunyai kebiasaan minumkopi terutama sebagai minuman penghilangdahaga saat aktifitas mengendarai bus, yaitumencapai 35%. Hasil penelitian ini menunjukkanbahwa pengemudi bus AKAP yang minum kopimempunyai hubungan yang signifikan (p<0,05)dengan kejadian hipertensi denga OR=2,389.Artinya bahwa pengemudi yang minum kopimempunyai risiko kejadian hipertensi sebesar2,389 kali lebih tinggi dibandingkan denganpengemudi yang tidak minum kopi. Hasilpenelitian ini sejalan dengan Wahyuni (2012)bahwa konsumsi kopi mempengaruhi terjadinyapenyakit hipertensi sebesar 82%.Minum kopi berbahaya bagi penderita hipertensi,karena senyawa kafein bisa menyebabkantekanan darah meningkat tajam. Cara kerja

kafein dalam tubuh dengan mengambil alihreseptor adinosin dalam sel saraf yang akanmemicu produksi hormon adrenalin danmenyebabkan peningkatan tekanan darah,sekresi asam lambung, dan aktivitas otot, sertaperangsang hati untuk melepaskan senyawagula dalam aliran darah untuk menghasilkanenergi ekstra. Kafein mempunyai sifat antagonisendogenus adenosin, sehingga dapat menyebabkanvasokontriksi dan peningkatan resistensipembuluh darah tepi (Hasrin, 2012).Menurut Yuda Hananta (2011), bahwahipertensi dipengaruhi oleh faktor risiko ganda,baik yang bersifat endogen (tidak dapat diganti),seperti usia, jenis kelamin dan genetik, maupunyang bersifat eksogen (dapat diubah), sepertikelebihan berat badan, konsumsi garam, rokokdan kopi. Penelitian yang sama juga dari HasrinMannan (2012), bahwa konsumsi kopimerupakan faktor risiko kejadian hipertensidengan OR=1,56. Hal tersebut menunjukkanbahwa responden yang mengonsumsi kopiberisiko 1,56 kali lebih tinggi menderitahipertensi dibandingkan dengan yang tidakmengonsumsi kopi.Lingkar perutHasil pengukuran lingkar perut padapengemudi bus AKAP lintasan Pulau Jawa–Balibahwa jumlah pengemudi yang lingkarperutnya <90 cm ternyata hampir sama denganjumlah pengemudi yang lingkar perutnya ≥90cm. Walaupun demikian, lebar yang <90 cmlebih banyak (52%) dibandingkan yang ≥90cm. Lingkar perut yang ≥90 cm menunjukkanbahwa seseorang tersebut mengalami obesitasabdominalis (Kemenkes, 2014). Hasil penelitianini menunjukkan bahwa lingkar perut padapengemudi bus mempunyai hubungan yangsignifikan dengan kejadian hipertensi (p<0,05)dengan OR=2,417. Artinya bahwa pengemudiyang lingkar perutnya ≥90cm mempunyairisiko hipertensi 2,417 kali lebih tinggidibandingkan dengan pengemudi yang mempunyailingkar perut di bawah 90 cm.Indeks Massa TubuhPengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawa–Bali yang mempunyai IMT≥25 Kg/m2 sebesar53%. Hasil dari penelitian ini menunjukkanbahwa ada hubungan yang signifikan antaraIMT pengemudi bus dengan kejadian hipertensi

14 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(p<0,05) dengan OR=2,552. Artinya bahwapengemudi bus yang mempunyai IMT ≥25 kg/m2berisiko 2,552 kali lebih tinggi menderitahipertensi dibandingkan dengan pengemudibus yang memiliki IMT <25 Kg/m2.Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Odadan Kawai (2010) bahwa ada hubungan positifantara IMT dengan peningkatan kejadianhipertensi. Menurut Nurrahmani (2012),peningkatan berat badan memainkan perananpenting pada mekanisme timbulnya hipertensipada orang dengan obesitas. Dalam penelitianNieky Greyti Dien (2014), terdapat hubunganIndeks Massa Tubuh (IMT) dengan tekanandarah pada penderita hipertensi di poliklinikhipertensi dan nefrologi BLU RSUP Prof. Dr. R.D.Kandou Manado dengan nilai p=0,033 danp=0,006. Adanya hubungan antara IMT dengantekanan darah (p<0.05) dan kekuatan hubungantersebut adalah rendah (0.200<r<0.399). Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa semakintinggi IMT seseorang maka akan disertai jugadengan peningkatan darah sistolik dan tekanandiastolik (Hendrik, 2011).Faktor dominanSemua variabel kecuali jenis kelamin, karenasemua pengemudi bus AKAP berjenis kelaminlaki-laki menunjukkan nilai yang signifikan.Untuk memperolah variabel yang dominanterhadap kejadian hipertensi maka dilakukan ujimultivariat dengan menggunakan regresilogistik. Hasil uji menunjukkan bahwa variabelyang dominan terjadinya hipertensi adalahmerokok, minum kopi, dan IMT. Dari ketigafaktor tersebut yang paling dominan adalahIMT. Artinya bahwa IMT mempunyai faktorrisiko yang paling besar di antara faktor risikolainnya yang berhubungan dengan kejadianhipertensi pada pengemudi bus AKAP jurusanPulau Jawa–Bali.

KESIMPULANKejadian hipertensi pada pengemudi busAKAP jurusan Pulau Jawa-Bali saat arus mudikLebaran 2015 adalah sebesar 43,1%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadianhipertensi tersebut adalah umur, waktuistirahat, merokok, minum kopi, lingkar perut,dan IMT. Faktor dominan adalah IMT, diikutimerokok dan minum kopi.

SARAN1. Perlu adanya aktivitas fisik yang cukupuntuk pengemudi bus agar lemak yangmenumpuk dapat berkurang sehingga beratbadan pengemudi bus ideal dengan tingginya.2. Perusahaan otobus maupun otoritas diterminal perlu membentuk Posbindu khususagar kesehatan pengemudi bus khususnyatekanan darah dapat terpantau dan ditanganisesegera mungkin.UCAPAN TERIMA KASIHDengan selesainya penelitian ini, kamimengucapkan terima kasih kepada seluruhkaryawan dan karyawati di Kantor KesehatanPelabuhan Probolinggo khususnya wilayahkerja Pelabuhan Tanjung Wangi yang telahmemberikan motivasi, dan bantuan tenagadalam pelaksanaan kegiatan ini, sehinggaterlaksana dengan baik, lancar dan sukses.

DAFTAR PUSTAKAKrummel. 2004.Medical Nutrition Therapy inCardiovascular Disease.Tesfaye.2007.Association between body massindex and blood pressure across threepopulation in Africa and Asia.William. 1991.Hypertensive vascular disease, didalam Wilson Jean D. et al., editor, Harrison’sPrinciples of Internal Medicine.Black & Hawks. 2005. Medical surfical nursing :clinical management for positive outcomes.Departemen Kesehatan RI. 2006.Pedoman TeknisPenemuan Dan Tatalaksana PenyakitHipertensi.UU Nomor 22. 2009. Tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan.Dalimartha Setiawan dkk. 2008. Care Your SelfHipertensi.Kementerian Kesehatan RI. 2014. Buku PintarPTM Penyakit Tidak Menular dan Faktor RisikoSeri 2.Namira Wadjir dkk. 2013. Hipertensi Pada PramudiBus TransJakarta di PT. Bianglala MetropolitanTahun 2013.Destry. 2012. Indeks masa tubuh, lama bekerja,kebiasaan makan, dan gaya hidup hubungannyadengan hipertensi pada pramudi (pengemudi)bus Transjakarta tahun 2012.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 15

Anggraeni, Vina. 2012. Tingkat kebisingan lalulintas dan risiko hipertensi pada supir angkutanumum KWK wilayah Jakarta Timur tahun 2012.Hull, Alison. 1996. Penyakit jantung hipertensidan nutrisi.Ika Puji Wahyuni. 2013. Faktor Risiko PenyakitHipertensi Pada Laki-Laki di Wilayah KerjaPuskesmas Tawangrejo Kota Madiun.Hananta Yuda, I Putu. 2011. Deteksi Dini danPencegahan 7 Penyakit Penyebab Mati Muda.Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko HipertensiPada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung,Sumatera Barat.Haninda, fajar, dkk. 2011. Hubungan AntaraKebiasaan Merokok dan Kejadian Hipertensidi Layanan Kesehatan Cuma-Cuma CiputatHasrin Mannan, dkk. 2012. Faktor RisikoKejadian Hipertensi di Wilayah Kerja PuskesmasBangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012Oda, Eiji and Ryu Kawai. 2010. Body Mass Indexis More Strongly Associated with Hypertension

than Waist Circumference in ApparentlyHealthy Japanese Men and Women.Nurrahmani, Ulfa. 2012. Stop! HipertensiMalope Sheila. 2012. Hubungan Lingkar LenganAtas dan Lingkar Pinggang dengan TingkatHipertensi pada Pasien Rawat Jalan diPoliklinik Interna RSJ Prof. Dr. V. L.Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara.Kemenkes. 2013. Riset Kesehatan DasarRiskesdas 2013Nieky Greyti Dien, dkk. 2014. Hubungan IndeksMassa Tubuh (IMT) Dengan Tekanan DarahPada Penderita Hipertensi di PoliklinikHipertensi dan Nefrologi Blu Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.Hendrik. 2011. Hubungan Indeks Massa TubuhDengan Tekanan Darah Pada MahasiswaFakultas Kedokteran Universitas SumateraUtara.

16 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Deteksi Dini Kanker Payudara dan Leher Rahim di IndonesiaTahun 2007-2014

Breast and Cervical Cancer Early Detection in Indonesia, 2007-2014Mugi WahidinSubdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL,Kementerian Kesehatan RIAbstrakKanker merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesiadengan prevalensi 1,4 per 1000 penduduk dan penyebab kematian nomor 7 dari seluruh penyebab kematian. Kankerpayudara merupakan salah satu jenis kanker dengan insidens tertinggi, diikuti kanker leher rahim. Untuk dapat mendeteksikanker payudara dan leher rahim secara dini dan pengobatan segera, maka Direktorat PPTM, Ditjen PP dan PL, KementerianKesehatan RI telah mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim secara nasionaldengan melibatkan lintas program dan lintas sektor serta organisasi/instansi terkait lainnya. Kajian ini merupakan tinjauanpustaka yang mengacu pada laporan Ditjen PP dan PL tahun 2007-2014, buku pedoman, Renstra Kemenkes 2015-2019,Keputusan dan Peraturan Menteri, buku dan jurnal penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptifsecara komprehensif berdasarkan pada pokok masalah dalam upaya pengendalian kanker payudara dan leher rahim diIndonesia. Sampai dengan tahun 2014, kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim telah dilaksanakan di seluruhprovinsi di Indonesia, meliputi 304 kabupaten/kota dan 1986 puskesmas. Jumlah kumulatif perempuan berusia 30-50 tahunyang telah diskrining tahun 2007-2014 sebanyak 904.099 orang. Dari jumlah yang telah diskrining tersebut, 2.368diantaranya (2,6 per 1000) menunjukkan adanya tumor payudara, sedangkan 44.654 (4,94%) dengan IVA positif, dan 1.056(1,2 per 1000) dengan suspek kanker leher rahim. Kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim perlu terusdikembangkan dan diperkuat di daerah yang sudah melaksanakan dan diperluas ke daerah lain yang belum melaksanakanuntuk mencapai target dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019.Kata kunci: Deteksi dini, kanker payudara, kanker leher rahim, IndonesiaAbstractCancer is not a contagious disease that is becoming one of the major public health problem in Indonesia with a prevalence of1.4 per 1000 population and the leading cause of death from all causes of death 7. Breast cancer is one type of cancer with thehighest incidence, followed by cervical cancer. To be able to detect breast cancer and cervical cancer early and immediatetreatment, the Directorate PPTM, DG of Disease Control and Environmental Health, Ministry of Health has been developingand strengthening the activities of early detection of breast cancer and cervical cancer nationally, involving cross-programand cross-sector as well as organizations / other relevant agencies. This study is a literature review that refers to reports DGand PL years 2007-2014, manuals, Ministry of Health Strategic Plan 2015-2019, Decision and Regulation, books and researchjournals. The analytical method used is descriptive analysis comprehensively based on the subject matter in an effort tocontrol breast and cervical cancer in Indonesia. Until 2014, the activities of early detection of breast and cervical cancer hasbeen implemented in all provinces in Indonesia, covering 304 districts / cities and 1986 health centers. The cumulativenumber of women aged 30-50 years who had been screened in 2007-2014 as many as 904 099 people. Of the amount thathas been screened, 2,368 of them (2.6 per 1000) indicate the presence of breast tumors, whereas 44 654 (4.94%) withpositive IVA, and 1,056 (1.2 per 1000) with suspected cancer of the cervix. Activities of early detection of breast and cervicalcancer need to be developed and strengthened in areas that are already carrying out and extended to other areas which havenot implemented to achieve the target in the Strategic Plan of the Ministry of Health Year 2015-2019.Keywords: Early detection, breast cancer, cervical cancer, IndonesiaAlamat Korespondensi: Mugi Wahidin, SubditPengendalian Penyakit Kanker, Direktorat PPTM, DitjenPP dan PL, Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat, Hp.085775088113, email: [email protected]

PENDAHULUANKanker merupakan penyakit tidak menularyang menjadi salah satu masalah kesehatanmasyarakat yang utama di Indonesia dengan

prevalensi 1,4 per 1000 penduduk danpenyebab kematian nomor 7 (5,7%) dariseluruh penyebab kematian di Indonesia(Riskesdas 2012).Kanker juga menyebabkan beban pemerintahyang sangat tinggi dalam pembiayaankesehatan bila tidak ditemukan secara dini.Kanker payudara merupakan salah satu jeniskanker dengan insidens tertinggi padaperempuan, dengan estimasi 40 per 100.000

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 17

perempuan, diikuti kanker leher rahim (17 per100.000 perempuan) (Globocan, IARC 2012).Insidens tersebut meningkat bila dibandingkandengan tahun 2002, yaitu berturut-turut 26 per100.000 perempuan (kanker payudara) dan 16per 100.000 perempuan (kanker leher rahim)(Globocan, IARC, 2002). Pada tahun 2010, jeniskanker tertinggi yang dilaporkan dari RSseluruh Indonesia pada pasien rawat inapadalah kanker payudara (28,7%), dan kankerleher rahim (12,8%).Untuk dapat mendeteksi kanker payudaradan leher rahim secara dini (early detection)dan pengobatan segera (prompt treatment),maka Direktorat PPTM, Ditjen PP dan PL,Kementerian Kesehatan telah mengembangkandan memperkuat kegiatan deteksi dini kankerpayudara dan leher rahim secara nasionaldengan melibatkan lintas program dan lintassektor, perguruan tinggi, organisasi profesi,pihak swasta, yayasan, lembaga swadayamasyarakat (LSM), dan organisasi terkaitlainnya seperti Female Cancer Program (FCP),Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu(SIKIB), Organisasi Aksi Solidaritas Era KabinetKerja (OASE-KK), dan Tim Penggerak PKK.Pada tahun 2007, Kementerian Kesehatan RItelah mulai mengembangkan Pilot ProyekDeteksi Dini Kanker Leher Rahim danPayudara di 6 kabupaten di 6 provinsi diIndonesia, yaitu 1)Kabupaten Deli Serdang(Sumatera Utara); 2)Gresik (Jawa Timur);3)Kebumen (Jawa Tengah); 4)Gunung Kidul (DIYogyakarta); 5)Karawang (Jawa Barat); dan6)Gowa (Sulawesi Selatan). Dalam pengembanganpilot proyek tersebut, secara teknis dibantuoleh the Johns Hopkins Program forInternational Education in Gynecology andObstetricts (JHPIEGO), yaitu LSM yang bergerakdalam bidang kesehatan perempuan yangberafiliasi dengan John Hopkins University,Amerika Serikat. Selain itu juga bekerja samadengan Female Cancer Program.Pada tanggal 21 April 2008, dicanangkanprogram nasional deteksi dini kanker leherrahim dan payudara oleh Ibu Negara (padawaktu itu Hj. Ani Yudhoyono).Selanjutnya pada tahun 2010 diterbitkanKepmenkes Nomor 796 Tahun 2010 tentangPedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudaradan Kanker Leher Rahim yang dijadikansebagai petunjuk dalam pelaksanan deteksi

dini kanker payudara dan leher rahim diIndonesia.Untuk memperkuat dan mengakselerasipencapaian target program, pada tanggal 21April 2015 dilakukan Pencanangan ProgramNasional Peran Serta Masyarakat dalamPencegahan dan Deteksi Dini Kanker padaPerempuan Indonesia 2015-2019 oleh IbuNegara (Iriana Jokowi).Program ini terus dikembangkan dandiperluas ke kabupaten/kota dan provinsi laindi Indonesia.Kemudian pada tahun 2015 diterbitkanPeraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun2015 tentang Penanggulangan Kanker Payudaradan Kanker Leher Rahim untuk penyesuaiankebutuhan program pengendalian kankerpayudara dan leher rahim yang ditetapkandengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor796 Tahun 2010.Deteksi dini (penapisan/skrining) adalahupaya pemeriksaan atau tes sederhana danmudah yang dilaksanakan pada populasimasyarakat sehat, yang bertujuan untukmembedakan masyarakat yang sakit atauberisiko terkena di antara masyarakat yangsehat.Untuk deteksi dini kanker payudara, kegiatanyang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalahPemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) atauClinical Breast Examination (CBE), sedangkanyang dilakukan sendiri oleh kelompokmasyarakat berisiko adalah Periksa PayudaraSendiri (SADARI). Untuk deteksi dini kankerleher rahim adalah dengan melakukan InspeksiVisual dengan Asam Asetat (IVA) danpengobatan segera dengan krioterapi(criotherapy) untuk IVA positif (lesi pra kankerleher rahim positif).Pemeriksaan SADANIS dan SADARI bertujuanuntuk mendeteksi adanya benjolan padapayudara sedini mungkin agar dapat dilakukanpenanganan sesegera mungkin, sedangkanpemeriksaan IVA untuk menemukan lesi prakanker leher rahim sebelum menjadi kanker.Kegiatan deteksi dini dengan melakukanSADANIS dan IVA memiliki beberapa keuntungan,sebagai berikut: 1)Pemeriksaan lebih sederhana,mudah, cepat, dan hasil dapat diketahui secaralangsung; 2)Tidak memerlukan saranalaboratorium; 3)Dapat dikerjakan oleh dokterumum dan bidan di puskesmas bahkan di

18 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

dalam mobil; 4)SADANIS dan IVA (termasukkrioterapi) dapat dilakukan dengan kunjungantunggal (single visit approach), sehingga lebihefektif dan meminimalisir kemungkinan lost tofollow-up. 5)Cakupan deteksi dini dengan IVAminimal 80% selama lima tahun akanmenurunkan insidens kanker leher rahimsecara signifikan (WHO, 2006); 6)Sensitifitas IVAsebesar 77% (56-94%) dan spesifisitas 86%(74-94%) (WHO, 2006); 7)Deteksi dini kankerleher rahim dengan frekuensi 5 tahun sekalidapat menurunkan kasus kanker leher rahim83,6% (IARC, 1986); dan 8)Deteksi dini kankerpayudara dengan CBE dapat menemukanstadium I dan II (downstaging) sebesar 68%(Regional Workshop NCCP, India 2010).Target cakupan deteksi dini pada perempuanberusia 30-50 tahun yang telah ditetapkan olehKementerian Keshetan RI,yaitu sebesar 50%pada tahun 2019 (Renstra Kemenkes RI, 2015-2019).Kegiatan deteksi dini kanker payudara danleher rahim dilaksanakan di puskesmas danrumah sakit rujukan di kabupaten/kota danprovinsi, dengan kegiatan pokok: 1)Advokasidan sosialisasi; 2)Pelatihan untuk Pelatih(ToT=Training of Trainer); 3)Pelatihan providerdi kabupaten/kota; 4)Pelatihan kader dipuskesmas; 5)Promosi kesehatan;6)Pelaksanaan skrining (deteksi dini);7)Pencatatan dan pelaporan (surveilans); dan8)Monitoring dan evaluasi.Pencatatan dan pelaporan menggunakanformulir baku sesuai dengan KepmenkesNomor 796 Tahun 2010 sebagaimana telahdiubah dengan Permenkes Nomor 34 Tahun2015. Data diinput ke dalam register danSistem Informasi Surveilans Penyakit TidakMenular berbasis web. Data diolah dandianalisis secara otomatis oleh sistem informasidan dapat diakses secara berjenjang mulai daripuskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota,dinas kesehatan provinsi, dan KementerianKesehatan RI (Direktorat PPTM, Ditjen PP danPL).

METODEKajian ini merupakan tinjauan pustaka yangmengacu pada laporan Ditjen PP dan PL tahun2007-2014, buku pedoman, Renstra Kemenkes2015-2019, Keputusan dan Peraturan Menteri,

buku dan jurnal penelitian. Metode analisisyang digunakan adalah analisis deskriptifsecara komprehensif berdasarkan pada pokokmasalah dalam upaya pengendalian kankerpayudara dan leher rahim di Indonesia.HASILSampai dengan tahun 2014, kegiatan deteksidini kanker payudara dan leher rahim telahdilaksanakan di seluruh (34) provinsi diIndonesia, meliputi 304 dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia (59%), dan 1986puskesmas (19,9%). Jumlah tenaga kesehatanyang telah dilatih sebagai pelatih (trainer)sebanyak 430 orang, terdiri dari dokterspesialis (obgin, onkolog obgin, dan bedah),dokter umum dan bidan. Jumlah pelaksana(provider) deteksi dini di puskesmas sebanyak4.127 orang, terdiri dari 2.671 bidan dan 1.456dokter umum, atau rata-rata 2 orang perpuskesmas.Jumlah kumulatif sasaran (perempuanberusia 30-50 tahun) yang telah diskrining diIndonesia tahun 2007-2014, yaitu sebanyak904.099 orang (2,45%) (Gambar). Dari jumlahyang telah diskrining tersebut, 2.368 diantaranya(2,6 per 1000) menunjukkan adanya tumorpayudara, sedangkan 44.654 (4,94%) denganIVA positif, dan 1.056 (1,2 per 1000) dengan

suspect kanker leher rahim. Sejak tahun 2007jumlah sasaran yang diskrining meningkatseiring dengan bertambahnya jumlah providerdan daerah yang melaksanakan kegiatandeteksi dini (Gambar).

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 19

PEMBAHASANKeberhasilan kegiatan deteksi dini kankerpayudara dan leher rahim dengan caraSADANIS dan IVA di Indonesia dipengaruhioleh berbagai faktor, seperti jumlah tenagakesehatan yang dilatih, kondisi geografis, sertaketersediaan sarana. Selain itu, dalammelaksanakan SADANIS dan IVA memerlukanketerampilan tenaga kesehatan yang memadai,sehingga pelatihan yang diberikan harusterstandar, dan disertai dengan adanyasupervisi yang ketat.Deteksi dini kanker payudara dan leherrahim dilaksanakan secara bersamaan(terintegrasi) mengingat sasaran (subyek)pemeriksaan yang sama, yaitu perempuanberusia 30-50 tahun. Namun pemilihan sasaranini memiliki keterbatasan, karena perbedaankarakterisik kedua jenis kanker. Kankerpayudara cenderung dialami oleh perempuandengan umur yang lebih tua (≥40 tahun),sedangkan kanker leher rahim pada umur yanglebih muda. Hal ini memungkinkan adanyasasaran yang tidak tercakup dalam kegiatandeteksi dini.Walaupun kegiatan deteksi dini sudahdilaksanakan di seluruh (34) provinsi, 59%kabupaten/kota, namun jumlah puskesmasyang melaksanakan kegiatan deteksi dini(19,89%; 1986/10000) dan cakupan deteksi dinimasih sangat rendah (2,45%), sedangkan targetpada tahun 2019 sebesar 50%).Rendahnya cakupan, antara lain karenabelum tersedianya biaya kegiatan deteksi dinitersebut di semua daerah. Meskipunbelakangan ini BPJS Kesehatan sudah mulaimenanggung pembiayaan, tetapi jumlahnyamasih terbatas. Hasil deteksi dini kankerpayudara, menunjukkan bahwa suspek kankerpayudara sebesar 2,6 per 1000, yaitu lebihtinggi bila dibandingkan dengan estimasiGlobocan tahun 2012 (40 per 100.000 atau 0,4per 1000). Namun hal ini karena estimasiGlobocan memperhitungkan seluruh perempuan,sedang deteksi dini perempuan berusia 30-50tahun.Berdasarkan hasil pemeriksaan IVA tahun2007-2014, sebanyak 44.654 (4,94%)menunjukkan hasil positif. Angka ini dianggapmasih wajar, karena masih dalam rentang 3-5.Sementara itu jumlah suspek kanker leher rahim

yang ditemukan adalah sebesar 1,2 per 1000,hampir mendekati hasil pemeriksaansebelumnya yang dilakukan oleh FemaleCancer Program di DKI Jakarta, yaitu 1 per1000 perempuan. Hasil ini juga jauh lebihtinggi bila dibandingkan dengan estimasiGlobocan tahun 2012 (17 per 100.000), namun halini juga karena estimasi Globocanmemperhitungkan seluruh perempuan, sedangkanuntuk deteksi dini hanya pada perempuanberusia 30-50 tahun.

KESIMPULAN1. Hingga tahun 2014, kegiatan deteksi dinikanker payudara dan leher rahim telahdilaksanakan di seluruh (34) provinsi, 304(59%) kabupaten/kota, dan 1986 (19,8%)puskesmas di Indonesia, dengan rata-ratajumlah tenaga kesehatan terlatih sebanyak 2orang per puskesmas. Cakupan deteksi dinikanker payudara dan leher rahim masihrendah (2,45%), sedangkan target capaiantahun 2019 sebesar 50%.2. Hasil kegiatan deteksi dini kanker payudaradan leher rahim di Indonesia tahun 2007-2014, menunjukkan bahwa 2,6 per 1000perempuan (usia 30-50 tahun) merupakansuspek kanker payudara, sedangkan dengansuspek kanker leher rahim sebesar 1,2 per1000 perempuan.SARANUntuk meningkatkan cakupan deteksi dinikanker payudara dan leher rahim di Indonesiadan tercapainya target tahun 2019, maka:1. Perlu dorongan yang lebih besar dariKementerian Kesehatan RI dalam peningkatandan penguatan serta percepatan kegiatandeteksi dini kanker payudara dan leherrahim di berbagai daerah di Indonesia.2. Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/kota perlu lebih meningkatkan jumlahfasilitas pelayanan kesehatan khususnyapuskesmas yang mampu melakukan deteksidini kanker payudara dan leher rahimdengan dukungan pembiayaan lebihmemadai dari pemerintahan daerah setempatdan/atau BPJS3. Perlu peningkatan kerja sama lintasprogram, lintas sektor, LSM, organisasi

20 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

profesi, dan organisasi/instansi terkaitlainnya di berbagai tingkatan administratifbaik di pusat maupun daerah. Selain ituperlu melibatkan para tokoh masyarakat,tokoh agama, dan juga para suami.4. Perlu advokasi untuk daerah yang belummengembangkan kegiatan deteksi dini danmelakukan kegiatan monitoring yang lebihintensif ke daerah yang sudahmengembangkan kegiatan deteksi dini, sertaevaluasi di semua tingkatan administratif secaraberkala dan berkelanjutan.UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepadaDirektorat Jenderal PP dan PL KementerianKesehatan RI serta Pemerintah Daerah Provinsidan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakankegiatan deteksi dini kanker payudara dankanker leher rahim.

DAFTAR PUSTAKADepartemen Kesehatan RI. 2006. PedomanNasional Pengendalian Penyakit Kanker.Jakarta.Departemen Kesehatan RI. 2005-2010. StatistikMorbiditas dan Mortalitas di Rumah Sakit.

Departemen Kesehatan RI. 2007. PedomanPenemuan dan Penatalaksanaan PenyakitKanker Tertentu di Komunitas. Jakarta.Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset KesehatanDasar. Jakarta.International Agency for Research on Cancer(IARC). 2012. Globocan, Lyon.Kementerian Kesehatan RI. 2010. PedomanTeknis Pengendalian Kanker Payudara danKanker Leher Rahim. Jakarta.Kementerian Kesehatan RI. 2012. RisetKesehatan Dasar. Jakarta.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 796Tahun 2010 tentang Pedoman TeknisPengendalian Kanker Payudara dan KankerLeher Rahim.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun2015.Keputusan Menteri Kesehatan NomorHK.02.02/2015 tentang Rencana StrategisKementerian Kesehatan 2015-2019.Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi PenelitianKesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.Rasjidi, Imam. 2010. Epidemiologi Kanker padaWanita. Jakarta: CV Sagung Seto.WHO, 2002. National Cancer Control ProgrammesPolicy and Managerial Guidelines, Geneva.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 21

Kinerja Jumantik dan Kejadian Demam Berdarah Denguedi Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2014

Performance of “Jumantik” and Incidence of Dengue Hemorhagic Feverin Rejang Lebong District, 2014Rustam AjiPoliteknik Kesehatan Bengkulu

AbstrakDemam Berdarah (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang penyebarannya sangat cepat danseringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Salah satu kegiatan dalam pengendalian DBD adalah denganmelaksanakan program Jumatik, namun keberhasilan dalam menurunkan kejadian DBD sangat ditentukan oleh kinerjaJumantik. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Rejang Lebong dengan desain cross sectional study. Besar sampel adalahtotal populasi, berjumlah 40 responden. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara denganmenggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20 responden (50%) berumur di bawah 35 tahun,sebagian besar (55%) laki-laki, sebagian besar (40%) berpendidikan SMP, sebagian besar (30%) bekerja sebagai pedagang,dan pada umumnya (82,5%) lama menjadi Jumantik di bawah 1 tahun. Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa sebanyak 25Jumantik (62,5%) mempunyai kinerja baik, sedangkan sisanya (37,5%) kurang baik. Hasil analis bivariat menunjukkanadanya hubungan yang signifikan antara kinerja Jumantik dan kejadian DBD.Kata kunci: Kinerja Jumantik, kejadian DBD, Rejang LebongAbstractDengue Fever (DHF) is an infectious disease caused by the dengue virus is spreading fast and often lead to extraordinaryevents (KLB). One of the activities in dengue control is to implement the program Jumatik, but success in reducing theincidence of dengue is largely determined by the performance of Jumantik. This Peneliltian dilaksnakan in Rejang Lebongwith cross sectional study design. The sample size is the total population, were 40 respondents. This type of data is primarydata obtained through interviews using a questionnaire. The results showed that as many as 20 respondents (50%) agedunder 35 years, the majority (55%) of men, most (40%) junior high school education, the majority (30%) worked as a trader,and in general ( 82.5%) long been Jumantik under 1 year. From the above Table 2, it appears that as many as 25 Jumantik(62.5%) had a good performance, while the rest (37.5%) were less good. Analysts bivariate results showed a significantrelationship between performance Jumantik and incidence of dengue.Keywords: Performance of “ Jumantik”, DHF incidence, Rejang LebongAlamat Korespondensi: Rustam Aji, Politeknik KesehatanBengkulu, email: [email protected]

PENDAHULUANDemam Berdarah Dengue (DBD) merupakansalah satu jenis penyakit menular akut yangmasih menjadi masalah kesehatan baikindividu, keluarga maupun masyarakat. Hal inikarena penyebarannya yang sangat cepat danseringkali menimbulkan kejadian luar biasa(KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virusdengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedesaegypti melalui gigitan dan air liurnya,kemudian virus masuk ke dalam aliran darah,sehingga menimbulkan DBD (WHO 2004).Pada awalnya salah satu strategi KementerianKesehatan dalam pengendalian DBD adalahdengan cara melakukan fogging (pengasapan),

kemudian diperluas dengan menggunakanlarvasida yang ditaburkan ke tempatpenampungan air (TPA). Kedua cara tersebutternyata belum menunjukkan hasil yang optimal,hal ini ditandai dengan makin meningkatnyajumlah kasus dan penyebaran DBD di Indonesia(Kemenkes, 2013).Menyadari hal tersebut, maka dalamprogram pengendalian DBD saat ini lebihmengutamakan pengendalian kepadatanpopulasi vektor DBD dengan melakukanPemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD)dengan cara 3M atau 3M-plus.Demam Berdarah Dengue di Indonesiapertama kali dilaporkan di Kota Surabaya danDKI Jakarta pada tahun 1968, sedangkan virusDBD ditemukan tahun 1972. Kemudian DBDmulai menyebar ke berbagai provinsi di

22 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Indonesia, sehingga tahun 1980 seluruhprovinsi telah terjangkit penyakit ini.Indonesia merupakan daerah endemis DBDdengan jumlah kasus sebanyak 117.830 padatahun 2008 dan 953 kematian. Tahun 2010tercatat sebanyak 156.086 kasus, menempatiurutan tertinggi di ASEAN dengan 1.358 kematian.Pada tahun 2011, jumlah kasus menurundibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 49.486kasus dengan 403 kematian (Ditjen PP dan PL,2012).Kabupaten Rejang Lebong dengan luaswilayah 1.515.76 km2 terdiri dari 122 desa dan34 kelurahan dengan jumlah penduduk 250,608jiwa dan kepadatan penduduk 165 per km2(Dinkes Kabupaten Rejang Lebong, 2012).Berdasarkan Laporan Tahunan DinasKesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2012,jumlah kasus DBD di 4 kabupaten, yaitu sebanyak157 kasus, berturut- turut terdiri dari 66, 51, 24,dan 16 di Kabupaten Rejang Lebong, BengkuluSelatan, 51 Bengkulu Tengah, dan Kepahiang.Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten RejangLebong tahun 2014, jumlah kasus DBD diPuskesmas Perumnas Curup, Kabupaten RejangLebong selama 8 tahun sebanyak 324 kasus,terdiri dari 7 kasus tahun 2006, 52 (2007), 79(2008), 57 (2009), 16 (2010), 19 (2011), 66(2012), dan 28 (2013).Juru Pemantau Jentik (Jumantik) adalahanggota masyarakat yang secara sukarela memantaukeberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti dilingkungannya. Jumlah Jumantik DBD didesa/kelurahan di 10 Kabupaten/kota diProvinsi Bengkulu tahun 2012, adalah sebanyak58 orang, terdiri dari 8 Jumantik di KabupatenMuko-Muko, 8 (Kaur), 9 (Bengkulu Utara), 8(Bengkulu Tengah), 9 (Bengkulu Selatan), 8(Rejang Lebong), 8 (Seluma), 8 (Lebong), 8(Kepahiang), dan 8 (Kota Bengkulu) (DinkesProvinsi Bengkulu, 2012).Pada awal dibentuknya Jumantik, merekarajin, melakukan pengecekan TempatPenampungan Air (TPA) 2 kali per bulan,membagikan leaflet dan bubuk abate. Bila adakasus DBD melapor ke Puskesmas dan DinasKesehatan, dan bersama petugas puskesmas dandinas kesehatan melakukan penyemprotan(fogging).Namun demikian, masyarakat di KecamatanCurup Kota, Curup Tengah, dan Curup Selatanmengeluhkan kinerja para petugas kader

jumantik yang pernah dilatih, karena tidakmelaksanakan tugasnya sebagaimanamestinya.Di lain pihak, jumantik juga mengeluhkanmasalah honor. Pada waktu pelatihan merekamendapatkan honor, namun, setelah itu tidakpernah mereka dapatkan. Pembinaan danbimbingan berupa penyegaran dari DinasKesehatan Kabupaten Rejang Lebong tidakpernah didapatkan lagi, sehingga semangatuntuk bekerja sudah tidak ada. Harapan daripetugas Jumantik adalah agar pemerintahdaerah menyediakan honor khusus yangbersumber dari APBD, dan warga masyarakatdapat menjaga TPA di masing-masing rumahtidak menjadi tempat perindukan nyamuk.Tujuan Penelitian ini adalah: 1)Mengetahuidistribusi frekuensi karakteristik respondenyang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan,pekerjaan dan lama kerja menjadi petugaskader jumantik; dan 2)Mengetahui hubungankinerja kader Jumantik dengan kejadian DBD.METODEDesain penelitian adalah cross sectional

study. Penelitian dilaksanakan di KabupatenRejang Lebong. Pengambilan data danpengolahan data dilaksanakan dari bulan Aprilsampai bulan Desember 2014. Besar sampeladalah total populasi, yaitu sebanyak 40Jumantik. Data dikumpulkan dengan melakukanwawancara pada Jumatik (responden)menggunakan kuesioner.HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis univariat, karakteristikJumantik dapat dilihat pada Tabel 1, dankinerja jumantik pada Tabel 2.Tabel 1. Distribusi frekuensi Jumantik menurutkarakteristik di Kabupaten Rejang Lebong tahun2014

Karakteristik n %Umur< 35 tahun 20 50,0>35 tahun 20 50.0Jumlah 40 100Jenis KelaminLaki-laki 22 55,0

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 23

Perempuan 18 45,0Jumlah 40 100PendidikanSD 6 15,0SMP 16 40,0SMA 14 35,0D.3 2 5,0S.1 2 5,0Jumlah 40 100PekerjaanPNS 8 20,0Swasta 11 27,5Petani 3 7,5Tukang 2 5,0Pedagang 12 30,0Buruh 4 10,0Jumlah 40 100Lama menjadi Jumantik> 1 tahun 33 82,5< 1 tahun 7 17,5Jumlah 40 100Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahuibahwa karakteristik sebanyak 20 responden(50%) berumur di bawah 35 tahun, sebagianbesar (55%) laki-laki, sebagian besar (40%)berpendidikan SMP, sebagian besar (30%)bekerja sebagai pedagang, dan pada umumnya(82,5%) lama menjadi Jumantik di bawah 1tahun.Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jumantik menurut kinerjadi Kabupaten Rejang Lebong tahun 2014

Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa sebanyak25 Jumantik (62,5%) mempunyai kinerja baik,sedangkan sisanya (37,5%) kurang baik.Hasil analis bivariat, menunjukkan adanyahubungan yang signifikan antara kinerjaJumantik dan kejadian DBD.KESIMPULAN1. Setengah dari responden (50%) berumurdibawah 35 tahun, sebagian besarresponden (55%) laki-laki, sebesar 40%

berpendidikan SMP, 30% bekerja sebagaipedagang, dan pada umumnya (82,5%) lainnyamenjadi jumantik di bawah 1 tahun.2. Secara statistik ada hubungan yang signifikanantara kinerja kader jumantik dan kejadianDBD.SARAN1. Jumantik perlu lebih meningkatkankinerjanya, agar kejadian DBD dapat ditekanserendah mungkin.2. Perlu diberikan pembinaan dan penyegarankepada oleh Dinas Keshatan secara berkala.3. Bagi peneliti, diharakan dapat melaksankanpenelitian lanjutan dengan metode yanglebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepadasemua pihak yang telah membantu dalampelaksanaan penelitian ini.DAFTAR PUSTAKAArta Sapta Rini, Ferry Efendi, Eka Misbahatul MHas. 2011. Hubungan pemberdayaan ibu

pemantau jentik (Bumantik) dengan indikatorkeberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamukdi Kelurahan Wonokromo Surabaya.Direktorat Jenderal PP dan PL, KementerianKesehatan RI. 2012. Penanggulangan PenyakitDBD melalui kerjasama dengan kader jurupemantau jentik. Jakarta.Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.2012. Laporan Tahunan Geografi danKesehatan.Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. 2012.Profil Kesehatan Dinas Kesehatan ProvinsiBengkulu. Kabid P2M. Bengkulu.Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.2014. Laporan Kepala Bidang ProgramPencegahan dan Pengendalian PenyakitMenular Dinas Kesehatan Kabupaten RejangLebong.Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.2013. Laporan Kantor Statistik KabupatenRejang Lebong dalam Profil KesehatanKabupaten Rejang Lebong.Kementerian Kesehatan RI. 2013. BuletinJendela Epidemiologi: Demam Berdarah

Kinerja Jumantik n %Baik 25 62,5Kurang 15 37,5Jumlah 40 100

24 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Dengue. Vol 2. Agustus 2010. Pusat Data danSurveilans Epidemiologi.Marista Octaviani Tanjung. 2012. Perilaku KaderJumantik Dalam Melaksanakan PSN DBD 3MPlus di Kelurahan Jomblang KecamatanCandisari.Menurut Sumarmo. 2005. Epidemiologi Lingkungan.Universitas Gadjah Mada (UGM).Notoatmodjo. 2009. Konsep Dasar Perilaku danPromosi Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan MetodologiPenelitian Keperawatan (Pedoman Notoatmodjo.2009. Konsep Dasar Perilaku dan PromosiKesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan MetodologiPenelitian Keperawatan (Pedoman Skripsi,tesis dan instrumen penelitian keperawatan).Salemba Medika. Jakarta.Ni Putu Desi Ary Sandhi. 2013. Pengaruh FaktorMotivasi Terhadap Kinerja Juru PemantauJentik DalamPelaksanaan PSN Di KecamatanDenpasar Selatan.Rizqi Mubarokah. 2012. Upaya peningkatanAngka Bebas Jentik DBD melalui pergerakanjuru pemantau jentik (jumantik) di RW IKelurahan Danyang Kecamatan PurwodadiKabupaten Grobogan.Sri Suharti, R. 2010. Hubungan Pengetahuan danMotivasi dengan Perilaku Kepala Keluargadalam Pemberantasan PSN-DBD di Wilayah

Kerja Puskesmas Loa Ipuh Kabupaten KutaiKarta Negara.WHO. 2004. Panduan lengkap pencegahan danpengendalian dengue dan demam berdarahdengue. Jakarta: EGC.Yuristisia, Harinda Wina. 2012. Analisis ImplementasiKebijakan Pengendalian Demam BerdarahDengue pada Kader Juru Pemantau Jentik diWilayah Kelurahan Sendangmulyo KecamatanTembalang Kota Semarang.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 25

Meta-Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan dengan KejadianDemam Berdarah Dengue

Meta-Analysis of Environmental Conditions Associated with Dengue Hemorrhagic FeverSuwito1, Edwin Siswono21Subdit Pengendalian Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

AbstrakDemam Berdarah Dengue (DBD) merupakan permasalahan kesehatan, dan telah menyebar di semua kabupaten/kota diIndonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan dengan kejadian DBD. Desainpenelitian ini adalah studi literatur menggunakan metode meta-analisis. Sampel diambil dari 27 hasil penelitian metodekasus kontrol dan lima hasil penelitian metode potong lintang yang dipilih berdasarkan nilai OR. Hasil penelitianmendapatkan adanya hubungan bermakna antara kondisi tempat penampungan air (OR=2,63; 95% CI=1,79-3,88),keberadaan jentik metode kasus kontrol (OR=2,96; 95% CI=1,97-4,45), dan keberadaan jentik metode potong lintang(OR=4,67; 95% CI = 2, 68-8,14) dengan kejadian DBD.Kata kunci: Meta-analisis, kondisi lingkungan, demam berdarah dengueAbstractDengue hemorrhagic fever is a major health problem in Indonesia. All of areas in Indonesia are at risk of denguetransmission. The purpose of this study to determine the association between environmental conditions and denguehemorrhagic fever. Study design is a literature review using meta-analysis method with the total sample of 27 case-controlstudies and five cross sectional random effect model for the summary of OR. The results revealed a significant associatiatedwith dengue hemorrhagic fever are container conditions (OR=2.63; 95% CI=1.79-3.88), the presence of mosquito larvae inthe case control (OR=2.96; 95% CI=1.97-4.45), and the presence of larvae in the sectional (OR=4.67; 95% CI=2.68-8.14).Keywords: Meta-analysis, environmentak conditions, dengue hemorrhagic feverAlamat korespondensi: Suwito, Subdit PengendalianArbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL,Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat,Hp: 081379729578, e-mail: [email protected]

PENDAHULUANDemam Berdarah Dengue (DBD) adalahpenyakit yang ditandai dengan demam tinggi(mendadak tanpa sebab yang jelas),manifestasi perdarahan, trombositopeni,hemokonsentrasi dan disertai dengan atau tanpapembesaran hati (hepatomegali)Penyakit ini pertama kali dikenal di Filipinapada tahun 1953 (WHO, 2009). Berdasarkanetiologi, penyakit ini disebabkan oleh virusdengue serotipe 2, 3, dan 4 yang diisolasi daripasien tahun 1956. Dua tahun kemudian, virusdengue dengan berbagai serotipe diisolasi daripasien selama epidemik di Bangkok, Thailand.Selama kurang lebih tiga dekade, DBD telahditemukan di Kamboja, China, India, Indonesia,Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, SriLanka, Vietnam, dan beberapa kepulauan diPasifik (Shepard dkk, 2013).

Di Indonesia, kasus DBD pertama kaliditemukan di Surabaya dan DKI Jakarta padatahun 1968, kemudian mulai menyebar kebeberapa provinsi di Indonesia. Pada tahun2004, jumlah kabupaten/ kota terjangkit DBDsebanyak 334, tahun 2014 meningkat menjadi511 kabupaten/kota. Tahun 1968 InsidenceRate (IR) DBD dilaporkan sebesar 0,05 per100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate(CFR) sebesar 41,3%, sedangkan tahun 2007dan 2014, IR sebesar 71,18 dan 39,62 per100.000 penduduk, dengan CFR 1,00% dan0,09% (Kemenkes RI, 2015).Dari berbagai hasil penelitian menunjukkanbahwa secara statistik faktor lingkunganmemiliki hubungan yang bermakna dengankejadian DBD. Pemasangan kawat kassa padaventilasi misalnya dapat menekan risikogigitan nyamuk penular DBD. Studi di KotaBandar Lampung pada tahun 2012menunjukkan bahwa risiko terkena DBD orangyang tinggal di rumah yang tidak dipasangkawat kassa, 4,75 kali lebih tinggidibandingkan dengan orang yang tinggal di

26 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

rumah yang dipasang kawat kassa. (Tamza,2013).Kondisi tempat penampungan air ataukontainer yang ada di rumah merupakan salahsatu faktor risiko kejadian DBD. Penelitianyang dilakukan di Kota Medan, Sumatera Utaramenunjukkan bahwa risiko terjangkit DBDpada kondisi tempat penampungan air yangterbuka atau tidak baik 2,9 kali lebih tinggidibandingkan dengan kondisi tempatpenampungan air yang tertutup atau baik(Nurmaida, 2003).Salah satu faktor lingkungan lainnya yangmemiliki pengaruh terhadap kejadian DBDadalah keberadaan jentik nyamuk pada tempatpenampungan air atau kontainer. Hal ini dapatterlihat dari studi yang dilakukan di KotaKendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2011bahwa pada tempat penampung air yangterdapat jentik di dalamnya, risikoterjangkitnya DBD 3,17 kali lebih besardibandingkan dengan tempat penampungan airyang tidak terdapat jentik (Mulyawan, 2011).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuihubungan kondisi lingkungan (pemasangankawat kassa ventilasi, keberadaan jentiknyamuk dan kondisi tempat penampungan air(TPA) dengan kejadian DBD.METODEPenelitian ini merupakan review literaturedengan metode meta-analisis yang merupakananalisis terhadap studi-studi sebelumnyadengan melakukan penelusuran dan analisisilmiah secara sistematis, dengan kaidah statistikyang terstruktur, serta menarik kesimpulanmelalui nilai penggabungan ukuran efek studi.Penelitian yang diikutsertakan pada meta-analisis ini adalah desain studi case control dan

cross sectional pada penelitian epidemiologi.Variabel independen yang digunakan dalampenelitian ini faktor risiko DBD berupakarakteristik individu dan kondisi lingkungandengan variabel dependen adalah kejadianDBD. Data yang digunakan merupakan datatersier yang berasal dari penelitian yang telahdipublikasikan melalui mesin pencari GoogleScholar dan database Perpustakaan FKM UI.

Lokasi dan waktu penelitianPenelitian yang digunakan dalam meta-analisis ini merupakan laporan dari penelitianyang dilakukan di Indonesia. Studi inidilaksanakan dengan melakukan pencarianartikel pada database jurnal nasional yangditemukan melalui mesin pencari GoogleScholar dan koleksi skripsi dan tesis diPerpustakaan FKM UI. Langkah identifikasihingga analisis dilakukan pada bulan Mei-Juni2015.Populasi dan sampel penelitianPopulasi dalam penelitian ini merupakanseluruh penelitian yang telah terpublikasi dijurnal nasional dan dapat diakses melaluiinternet terutama dalam bentuk jurnal full-textdan juga database penelitian mahasiswa FKMUI. Sedangkan sampel penelitian adalah studiterpilih yang sesuai dengan kriteria inklusi daneksklusi. Proses penentuan jumlah danpemilihan sampel penelitian dimulai dariidentifikasi (identification), penyaringan (screening),pemenuhan syarat (eligibilty) hinggaditentukan jurnal yang akan dimasukkankedalam meta-analisis (inklusi studi).Instrumen penelitianInstrumen yang digunakan dalam penelitianini menggunakan instrumen abstraksi yangdianalisis menggunakan software STATA 12.0.Instrumen penelitian mencakup karakteristikmasing-masing penelitian seperti namapeneliti, tahun publikasi, lokasi penelitian,waktu penelitian, desain studi, usia subjekpenelitian, jumlah sampel, nilai asosiasi (ORdengan 95% CI). Selengkapnya bentuk instrumenpenelitian dapat dilihat pada bagian lampiran.Analisis dataAnalisis data yang digunakan pada penelitianini adalah uji heterogenitas, uji bias publikasi,dan odds ratio gabungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan kondisi tempat penampungan air dankejadian DBD pada penelitian case controlHasil uji statistik odds ratio gabungan padamodel random effect, terdapat hubungan yangsignifikan antara faktor tempat penampunganair dan kejadian DBD. Hal ini sejalan dengan

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 27

penilaian risiko, bahwa lingkungan yangmemiliki tempat penampungan air dengankondisi terbuka memiliki risiko 2,63 kali lebihtinggi untuk terkena penyakit demam berdarahdengue dibandingkan dengan tempatpenampungan air dengan kondisi tertutup.(95% CI; 1,79-3,88) (Gambar 1).

Gambar 1. Forest plot hubungan tempat penampunganair dan kejadian DBD pada penelitian case control

Hubungan keberadaan jentik nyamuk dankejadian DBD pada penelitian case controlHasil uji statistik odds ratio gabungan padamodel random effect, terdapat hubungan yangsignifikan antara faktor keberadaan jentiknyamuk dan DBD. Hal ini sejalan denganpenilaian risiko, bahwa lingkungan rumah yangditemukan jentik nyamuk memiliki risiko 2,96kali lebih tinggi untuk terkena penyakit demamberdarah dengue dibandingkan dengan lingkunganrumah yang tidak ditemukan jentik nyamuk.(95% CI; 1,97-4,45) (Gambar 2).

Gambar 2. Forest plot hubungan keberadaan jentiknyamuk dengan dan kejadian DBD pada penelitiancase control

Hubungan kondisi tempat penampungan air dankejadian DBD pada penelitian crosssectionalHasil uji statistik odds ratio gabungan padamodel random effect tidak ada hubungan yangsignifikan antara faktor kondisi tempatpenampungan air dan kejadian DBD (95% CI;0,64-1,81) (Gambar 3).

Gambar 3. Forest plot hubungan kondisi tempatpenampungan air dan kejadaian DBD padapenelitian cross sectional

Hubungan keberadaan jentik nyamuk dankejadian DBD pada penelitian crosssectionalHasil uji statistik odds ratio gabungan padamodel random effect, terdapat hubungan yangsignifikan antara faktor keberadaan jentiknyamuk dan kejadian DBD. Hasil penilaianrisiko juga menunjukkan terdapat adanyaperbedaan, yaitu kondisi tempat penampunganair yang terdapat jentik memiliki risiko 4,67kali lebih tinggi untuk terkena penyakit demamberdarah dengue dibandingkan dengan kondisitempat penampungan air tidak terdapat jentik.(95% CI; 2,68 - 8,14) (Gambar 4)

Gambar 4. Forest plot hubungan keberadaan jentiknyamuk dengan kejadian DBD pada penelitian crosssectional

28 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

KESIMPULAN1. Hasil meta-analsis kondisi yangmenunjukkan hubungan yang signifikandengan kejadian DBD pada penelitian casecontrol, yaitu kondisi tempat penampunganair terbuka memiliki risiko 2,63 kali lebihtinggi terkena DBD dan keberadaan jentikmemiliki risiko DBD 2,96 kali lebih tinggi.2. Hasil meta-analsis kondisi yangmenunjukkan hubungan yang signifikandengan kejadian DBD pada penelitian crosssectional, yaitu keberadaan jentik memilikirisiko DBD 4,67 kali lebih tinggi.

SARANPemberantasan sarang nyamuk (PSN)merupakan alternatif terbaik untuk menjagatempat penampungan air supaya tetap tertutupdan selalu dikuras setiap minggu, sehinggabebas dari jentik.UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepadaFakultas Kesehatan Masyarakat UniversitasIndonesia serta kasubdit dan staf SubditArbovirosis, Direktorat PPBB.

DAFTAR PUSTAKAAnker M and Arima Y. 2011. Male-femaledifferences in the number of reported incidentdengue fever cases in six Asiancountries. Western Pacific Surveillance andResponse Journal, 2(2):17-23.doi:10.5365/wpsar.2011.2.1.002Begg, Colin B & Jesse A. 1998. Publication bias:A problem in interpreting medical data.Journal ofRoyal Statistical Society A; 151(3): 419-463Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP,Farlow AW, Moyes CL et.al. 2013. The globaldistribution and burden of dengue.Nature;496:504-507.Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP,Brownstein JS, Hoen AG et al. 2012. Refiningthe global spatial limits of dengue virustransmission by evidence-based consensus.PLoS Negl Trop Dis. 2012 ;6:e1760.doi:10.1371/journal.pntd. 0001760.

Cendrawirda. 2008. Hubungan Faktor IndividuAnak, Faktor Sosio Demografi Keluarga, danFaktor Lingkungan Dengan Kejadian DemamBerdarah Dengue Pada Anak di KotaTembilahan Kabupaten Indra Giri HilirProvinsi Riau Tahun 2008. Tesis ProgramPascasarjana Program Studi EpidemiologiKomunitas, Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Indonesia.Hajar, Siti. 2013. Hubungan PemberantasanSarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) DenganKejadian Demam Berdarah Dengue diWilayah Kerja Puskesmas WatamponeKabupaten Bone Sulawesi Selatan Tahun 2013.Tesis Program Pascasarjana Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas IndonesiaHasyimi. 2011. Hubungan TempatPenampungan Air dan Faktor Lainnyadengan Kejadian Demam Berdarah Dengue(DBD) di Provinsi DKI Jakarta Dan Bali.Media Litbang Kesehatan Vol 21 Nomor 2Tahun 2011Kemenkes RI. 2010. Buletin JendelaEpidemiologi: Topik Utama DemamBerdarah Dengue. Vol. 2. JakartaMulyawan, I Kadek. 2011. Pola Sebaran danFaktor Risiko Kejadian DBD di Kota KendariTahun 2010. Tesis: Program PascasarjanaProgram Studi IKM Universitas GadjahMadaNurmaida. 2012. Hubungan Jarak PenangkaranWalet dan Faktor Risiko Lainnya denganKejadian Demam Berdarah Dengue Di KotaMedan Tahun 2013. Tesis ProgramPascasarjana Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas IndonesiaPurwanto. 2013. Hubungan Kondisi KesehatanLingkungan Rumah dan PerilakuPencegahan DBD dengan Kejadian PenyakitDemam Berdarah Dengue (DBD) di 3Kecamatan Endemis DBD KabupatenKarawangan Tahun 2012. Tesis ProgramPascasarjana Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas IndonesiaSalawati. 2010. Kejadian Demam BerdarahDengue Berdasarkan Faktor Lingkungan danPraktik Pemberantasan Sarang Nyamuk diWilayah Puskesmas Srondol KecamatanBanyumanik Kota Semarang Tahun 2010.Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol6 No 2 Tahun 2010

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 29

Sandra. 2010. Hubungan Karakteristik Individudan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)dengan Kejadian Demam Berdarah Denguedi Kelurahan Pabuaran Kecamatan CibinongTahun 2010. Skripsi FKM UI, Depok.Shepard DS, Undurraga EA, Halasa YA. 2013.Economic and Disease Burden of Dengue inSoutheast Asia. PLoS Negl Trop Dis 7(2):e2055. doi:10.1371/journal.pntd.0002055Sibe. 2009. Faktor Risiko Kejadian DemamBerdarah Dengue di Kecamatan TempeKabupaten Wajo 2009. Jurnal MKMI Vol 6No.4 Oktober 2010Sitio, Andi. 2005. Hubungan Perilaku TentangPemberantasan Sarang Nyamuk danKebiasaan Keluarga dengan KejadianDemam Berdarah Dengue di KecamatanMedan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008.Tesis Pascasarjana FKM UNDIPSubagia. 2012. Lingkungan Dalam Rumah,Mobilitas dan Riwayat Kontak sebagaiDeterminan Kejadian Demam BerdarahDengue di Denpasar Tahun 2012. RepositoryUNUD, BaliSuperiyatna, Herra. 2011. Hubungan FaktorRisiko Dengan Kejadian DBD di KabupatenCirebon Tahun 2011. Tesis ProgramPascasarjana Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Indonesia.Surya. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungandengan Kejadian Demam Berdarah Denguedi Kelurahan Abianse Kecamatan MengwiKabupaten Badung Tahun 2012. JurnalKesehatan Lingkungan Vol 4, No. 2 November2014Suryani. 2011. Faktor-Faktor yangMempengaruhi Kejadian Penyakit DemamBerdarah Dengue (DBD) di KelurahanLubang Buaya Kecamatan Cipayung, JakartaTimur Tahun 2010-Maret 2011. Skripsi FKMUI, Depok.Susanto, R. Heru. 2007. Systematic Review HasilPenelitian Kesehatan Masyarakat TentangDampak Program Pencegahan danPemberantasan Demam Berdarah Dengueterhadap Insiden Demam Berdarah Dengue.Tesis FKM UI, Depok.Tamza, Gema. (2013). Hubungan FaktorLingkungan dan Perilaku Dengan KejadianDemam Berdarah Dengue (DBD) di WilayahKelurahan Perumnas Way Halim KotaBandar Lampung. Jurnal Kesehatan

Masyarakat 2013, Volume 2, Nomor 2, April2013.Usman, Sarip. 2002. Faktor Risiko yangBerhubungan Dengan Kejadian DemamBerdarah Dengue di Kota Bandar LampungTahun 2002. Tesis Pascasarjana FKM UI,Depok.Wita, Refni. 2014. Faktor Risiko KejadianDemam Berdarah Dengue (DBD) diKelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan DurenSawit, Jakarat Timur Tahun 2014. SkripsiFKM UI, DepokWHO. 2009. Dengue guidelines for diagnosis,treatment, prevention, and control newedition. World Health Organization

30 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Pengelolaan Limbah di Puskesmas di Sembilan Kabupaten/KotaWilayah Kerja BBTKLPP Jakarta Tahun 2013

Waste Management in Local Healths Center in Nine Districtsof BBTKLPP Jakarta Authorities, 2013P.A.Kodrat Pramudho, Imelda HusdianiBalai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta,Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI

AbstrakLimbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan, sedangkan limbah medis atau limbah klinis mencakup semua hasilbuangan yang berasal dari instalasi kesehatan, fasilitas penelitian, dan laboratorium. Limbah medis adalah semua limbahyang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Pajanan limbah medis dapat menimbulkan penyakit atau luka. Sifatberbahaya dari limbah medis disebabkan oleh satu atau beberapa karakteristik, antara lain agen penyakit menular. Limbahpuskesmas berasal dari kegiatan baik medis maupun non-medis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaranpengelolaan limbah puskesmas di Wilayah Kerja Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit(BBTKLPP) Jakarta Tahun 2013. Penelitian dilakukan dengan pendekatan observasional dan deskriptif, untuk mengamati kondisipengelolaan limbah padat di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (86.7%) pengelolaan limbahpadat sudah dilakukan di puskesmas, artinya puskesmas sudah melakukan pemilahan dan pewadahan menggunakan plastikberwarna dan memberi simbol limbah sesuai dengan karakteristik limbah. Sebagian besar (83.3%) SDM pengelolaan limbahsudah sesuai persyaratan, yaitu petugas pengelola limbah adalah fungsional sanitarian minimal lulusan Akademi KesehatanLingkungan (AKL), setiap bekerja menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dan pernah mendapatkan pelatihan pengelolaanlimbah dari dinas kesehatan setempat. Namun demikian, hanya 47% petugas yang mengetahui kebijakan limbah puskesmasdan persentase puskesmas yang memiliki saran dan prasana Tempat Penampungan Sementara (TPS) B3 masih sangan rendah(11,7%). Untuk itu, perlu adanya kerjasama antara dinas kesehatan dan BBTKLPP Jakarta untuk melakukan sosialisasi yang lebihintensif tentang kebijakan pengelolaan limbah padat di puskesmas.Kata Kunci : Pengelolaan limbah, puskesmas, BBTKLPP JakartaAbstractWaste is the residue of a business and / or activity, while medical waste or clinical waste includes all waste productsoriginating from health facilities, research facilities, and laboratories. Medical waste is all waste generated by health carefacilities. Medical waste exposure can cause illness or injury. The dangerous nature of medical waste caused by one or severalcharacteristics, among other infectious disease agents. Puskesmas waste derived from the activities of both medical and non-medical. The purpose of this study is to describe the waste management clinics in the Work Area Technical Center forEnvironmental Health and Disease Control (BBTKLPP) Jakarta in 2013. The study was conducted with observational anddescriptive approach, to observe the condition of solid waste management in puskesmas. The result of research shows thatthe majority ( 86.7%) of solid waste management has been carried out in health centers, community health centers alreadysorting means and lug using colored plastic and give the symbol of the waste in accordance with the characteristics of thewaste. Most (83.3%) of HR management of waste is in compliance requirements, which is a functional waste managementofficers sanitarian minimal Academy graduates Environmental Health (AKL), each work using Personal Protective Equipment(PPE) and never received training waste management from local health department. However, only 47% of the officers whoknow the percentage of waste policy community health centers and community health centers and infrastructures havesuggestions temporary location (TPS) B3 still has very low (11.7%). To that end, the need for collaboration between healthauthorities and BBTKLPP Jakarta to conduct more intensive socialization of solid waste management policy at the center.Keywords: Waste management, local health centers, BBTKLPP JakartaAlamat Korespondensi: Imelda Husdiani, BBTKLPPJakarta, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl. Balai RakyatNo.2 Cakung Jakrta Timur, Hp: 08170090509, e-mail:[email protected]

PENDAHULUANLimbah adalah sisa suatu usaha dan/ataukegiatan. Limbah medis atau limbah klinis mencakup

semua hasil buangan yang berasal dari saranapelayanan kesehatan, fasilitas penelitian, danlaboratorium.Paparan terhadap limbah medis berbahayayang berasal dari sarana pelayanan kesehatandapat menimbulkan penyakit atau luka. Sifatberbahaya dari limbah medis dapat disebabkanoleh satu atau beberapa karakteristik, antara

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 31

lain agen penyakit menular, bersifat genotoksik,mengandung bahan kimia beracun atauberbahaya, bersifat radioaktif, dan mengandungbahan tajam (WHO, 1999). Kelompok orangyang berisiko terhadap paparan limbah medistidak hanya pekerja yang menangani limbahmedis dan pengunjung sarana pelayanankesehatan, tetapi juga dokter, perawat, pasien,dan pekerja binatu di pelayanan kesehatan(WHO, 1999). Menurut WHO (1999), limbahmedis adalah semua limbah yang dihasilkan olehlembaga pelayanan kesehatan, fasilitas riset,dan laboratorium. Limbah medis dihasilkandari proses diagnosis, pengobatan penyakit,penelitian di bidang medis, dan percobaanbiologis (EPA, 2012).Limbah yang dihasilkan oleh sarana pelayanankesehatan dan dapat menimbulkan penyakit atauluka adalah limbah infeksius, limbah jaringantubuh, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbahgenotoksik, limbah kimia, limbah radioaktif,dan limbah yang mengandung logam berattinggi. (WHO, 1999).Berdasarkan data WHO (1999), pada tahun1992 terjadi 8 kasus infeksi HIV, 2 kasusdiantaranya disebabkan oleh penularan melaluiluka. Kasus tersebut terjadi pada pekerja yangmenangani limbah medis. Pada tahun 1994terjadi 39 kasus infeksi HIV yang dilaporkanoleh Centers for Disease Control and Prevention(CDC), meliputi 32 kasus disebabkan oleh cederadari jarum suntik yang terinfeksi HIV, 1 kasusdisebabkan oleh cedera dari pisau yang telahterinfeksi, 1 kasus dari paparan tabung kaca yangberisi darah yang telah pecah dan terinfeksi, 1kasus disebabkan oleh kontak dengan bendatidak tajam yang telah terinfeksi, dan 4 kasusditularkan melalui kontak kulit dan membranmukosa dengan darah. Jumlah kasus tersebutmeningkat menjadi 51 kasus pada tahun 1996yang terjadi pada petugas kesehatan (perawat,dokter dan asisten laboratorium).Berdasarkan Keputusan Menteri KesehatanNomor 128/Kepmenkes RI/SK/II/ 2004 bahwaPuskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis DinasKesehatan Kabupaten/Kota (UPTD) yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatanmasyarakat di suatu wilayah kerja. Sebagai UPTD,puskesmas berperan dalam menyelenggarakansebagian dari tugas operasional dinas kesehatankabupaten/kota dan merupakan ujung tombakpembangunan kesehatan di Indonesia. Salah

satu peran puskesmas adalah melakukanpelayanan rawat jalan dan emergency, pelayananimunisasi dan BKIA, PONED (Pelayanan ObstetrikNeonatal Emergensi Dasar), pelayanan rawatinap, instalasi laundry dan lain-lain. Dalamkegiatan harian puskesmas di ruang pelayananakan menghasilkan limbah yang terdiri darilimbah cair, limbah padat dan sampah.Gangguan kesehatan dari pengelolaan limbahmedis yang buruk akan berdampak bagi pengunjungsarana pelayanan kesehatan, terutama pekerjayang menangani limbah medis, sehinggamembutuhkan prosedur yang tepat dalammelakukan pengolahan awal limbah medissebelum diangkut ke tempat pembuangan sampahatau dimusnahkan dengan mesin incenerator(Departemen Kesehatan RI, 2002).Berdasarkan banyaknya jumlah kasus infeksiyang diakibatkan oleh limbah medis, makasangat penting untuk dilakukan pengelolaanlimbah medis yang sesuai dengan prosedur.Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor1204/Menkes/SK/X/2004 tentang PersyaratanKesehatan Lingkungan Rumah Sakit, prosespengelolaan limbah medis terdiri dari: Minimisasi limbah Pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembalidan daur ulang Penampungan sementara Pengangkutan Pengolahan, pemusnahan, dan pembuanganakhir limbahManajemen limbah di berbagai pelayanankesehatan (puskesmas) termasuk di Indonesiamasih sangat minim. Di Indonesia, untuk fasilitaskesehatan yang paling dekat dengan masyarakat,yaitu puskesmas belum pernah dilakukan surveidan pemantauan manajemen pengelolaan limbahterutama lima medis padat. Keadaan tersebuttentu saja sangat mengkhawatirkan karena bahayayang ditimbulkan dari buruknya manajemenlimbah padat (medis dan domestik) dan dapatdialami oleh pengunjung puskesmas, pekerja dipuskesmas dan lingkungan di sekitar puskesmasberada.Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah medisperlu dilakukan pengawasan pengelolaan limbahmedis di beberapa sarana pelayanan kesehatanoleh instansi pemerintah, seperti yangdilakukan oleh Balai Besar Teknik KesehatanLingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP)Jakarta terhadap 35 puskesmas di 9 kabupaten/

32 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

kota di 3 provinsi wilayah kerja BBTKLPP Jakarta.BBTKLPP Jakarta merupakan Unit PelaksanaTeknis Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakitdan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI.Tujuan umum penelitian adalah mengetahuigambaran pengelolaan limbah padat puskesmasdi wilayah kerja BBTKLPP Jakarta tahun 2013dengan cara identifikasi karakteristik limbahpadat, penimbangan langsung limbah padat, danwawancara dengan responden. Tujuan khusus:1)Mengetahui pelaksanaan pengelolaan limbahmedis padat di puskesmas wilayah DKI Jakarta,Jawa Barat dan Lampung; 2)Mengetahui beraparata-rata kg/hari limbah medis padat yangdihasilkan di puskesmas Wilayah DKI Jakarta,Jawa Barat dan Lampung; 3) Mengetahui kondisisarana dan prasarana penyimpanan limbahmedis padat pada puskesmas wilayah DKIJakarta, Jawa Barat dan Lampung; 4)Mengetahuipengetahuan petugas mengenai kebijakan limbahpuskesmas Wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat danLampung; 5)Mengetahui implementasi pengelolaanlimbah di puskesmas wilayah DKI Jakarta, JawaBarat dan Lampung; dan 6)Mengetahui persyaratanSDM petugas pengelola limbah di puskesmasyang sudah memenuhi persyaratan wilayahDKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung.METODEPenelitian dilakukan dengan pendekatanobservasional dan deskriptif, untuk mengamatikondisi pengelolaan limbah padat di puskesmas.BBTKLPP Jakarta mempunyai 5 wilayah kerja,yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat,Lampung dan Banten. Dalam kajian ini sebanyak35 puskesmas di 9 kabupaten/kota di 3 provinsi,dijadikan sebagai sampel penelitian. Pemilihan35 puskesmas di 9 kabupaten/kota, berdasarkanhasil diskusi tim kajian BBTKLPP Jakarta dandinas kesehatan provinsi. Kategori puskesmasyang dipilih adalah puskesmas Tanpa TempatPerawatan (TTP) dan puskesmas Dengan TempatPerawatan (DTP). Jumlah pukesmas menurutlokasi kajian sebagaimana terlihat pada Tabel 1.Tabel 1. Jumlah puskesmas menurut lokas kajian,2013

No. Lokasi kajian JumlahPuskesmas1. Kabupaten Bandung, Jabar 122. Kabupaten Bogor, Jabar 73. Kab. Pesawaran, Lampung 44. Kota Metro Lampung 45. DKI Jakarta 8Jenis data adalah data primer yang dikumpulkandengan melakukan pengukuran massa limbahmedis padat yang dihasilkan dalam satuan kgper hari pada setiap fasilitas pelayanan kesehatandi 35 puskesmas dengan melakukan penimbanganlangsung di lokasi. Selain itu, mengidentifikasititik sumber penghasil limbah medis padat danmanajemen pengelolaan limbah medis padatdengan melakukan wawancara menggunakankuesioner (Gambar 1).

Gambar 1. Penimbangan limbah medis dan wawan-cara di puskesmas tahun 2013Perbandingan puskesmas TTP dan DTP dikabupaten/kota yang dijadikan sampel padapenelitian, terdiri dari 60% TTP dan 40% DTP(Gambar 2).

Gambar 2. Perbandingan puskesmas TTP dan DTPyang dijadikan sampel peneltian di kabupaten/kotatahun 2013

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 33

HASIL DAN PEMBAHASANPerbandingan pasien per hari di puskesmasmenurut tipe puskesmas dan kabupaten/kotatahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan pasien per hari menuruttipe puskesmas dan kabupaten/kota tahun 2013.Jenis limbah padat yang dihasilkan dipuskesmas menurut kabupaten/kota tahun2013 sebagimana terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Jenis limbah padat yang dihasilkan dipuskesmas menurut kabupaten/kota tahun 2013.Berdasarkan Gambar 4, limbah padat yangpaling banyak dihasilkan oleh puskesmasperhari di Kabupaten Bandung adalah limbahdomestik, rata-rata 11.85 kg/hari.Di wilayah DKI Jakarta, limbah yang palingbanyak dihasilkan adalah limbah B3 infeksius,rata-rata 4.5 kg/hari, sedangkan limbah domestikdi urutan kedua.Dari 5 wilayah kajian BBTKLPP Jakarta, 3wilayah diantaranya sudah melakukan pemusnahanlimbah B3 ke pihak ketiga berizin, yaituKabupaten Bogor dan Bandung, Jawa Barat, dan

DKI Jakarta. Di wilayah kajian Provinsi Lampung,pemusnahan limbah B3 di Kota Metro masihdalam proses perizinan, sedangkan di KabupatenPesawaran masih perlu pembinaan karenapemusnahan limbah B3 dilakukan dengan carapembakaran (Tabel 2 dan Gambar 5). Hal inidapat menyebabkan pencemaran udara, karenamenghasilkan gas dioksin dan furan. Sisa limbahB3 yang tidak dibakar secara sempurna dapatmencemari tanah dan menyebabkan berbagaipenyakit.Tabel 2. Pemusnahan limbah B3 di TPS B3 puskesmasmenurut wilayah kajian BBTKL, 2013Wilayah kajian Pemusnahan limbah1. KabupatenBogor Pihak ke-3 berizin(Medivest)2. KabupatenBandung Pihak ke-3 berizin(Medivest)3. Kota MetroLampung Incenerator khusus infeksius(proses perizinan)4. KabPesawaranLampung Dibakar bersama limbahorganik5. DKI Jakarta Pihak ke-3 berizin (PT. ARA)

Gambar 5. Pembakaran limbah B3 infeksius di tempatsampah domestikSebagian besar (86.7%) pengelolaan limbahpadat sudah dilakukan di puskesmas, artinyapuskesmas sudah melakukan pemilahan danpewadahan menggunakan plastik berwarna danmemberi simbol limbah sesuai dengan karakteristiklimbah. Sebagian besar (83.3%) SDM pengelolaanlimbah sudah sesuai persyaratan, yaitu petugaspengelola limbah adalah fungsional sanitarianminimal lulusan Akademi Kesehatan Lingkungan(AKL), setiap bekerja menggunakan Alat PelindungDiri (APD) dan pernah mendapatkan pelatihanpengelolaan limbah dari dinas kesehatansetempat. Hanya 47% petugas yang mengetahuikebijakan limbah puskesmas. Puskesmas yangmemiliki saran dan prasana Tempat PenampunganSementara (TPS) B3 sebesar 11,7%, sisanya hanya

34 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

disimpan di ruangan dan bercampur denganbarang-barang lainnya (Tabel 3 dan Gambar 6).Tabel. 3 Rekapitulasi hasil wawancara dan pengamatanpengelolaan limbah puskesmas tahun 2013Wawancara dan pengamatan % Pengetahuan petugasmengenai kebijakanpengelolaan limbah dipuskesmas

47,0 Pengelolaan limbah padat dipuskesmas 86,7 Persyaratan SDM pengelolaanlimbah 83,3 Sarana TPS B3 11,7 Sarana TPS domestik 88,3

.

Gambar 6. Contoh tempat penampungan sementara B3yang belum sesuai dengan Keputusan KaBapedalNomor 1 Tahun 1995 tentang Tata Cara PengumpulanLimbah B3KESIMPULAN1. Rata-rata limbah yang dihasilkan oleh puskesmasper hari adalah 4,1 kg limbah domestik, 1,9 kglimbah B3 infeksius, dan 0,3 kg limbah B3non infeksius.2. Petugas yang mengetahui kebijakan limbahpuskesmas hanya sebesar 47%.3. Sebagian besar puskesmas (86,7%) sudahmelakukan pengelolaan limbah, yaitu diKabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, DKIJakarta dan Kota Metro Lampung.4. Sebagian besar (83,32%) SDM pengelola limbahsudah memenuhi persyaratan di KabupatenBandung, Kabupaten Bogor, DKI Jakarta danKota Metro Lampung.5. Hanya 11,7% puskesmas yang mempunyaiTPS B3 sesuai peryaratan Kepka BapedalNomor 1 tahun 1995 tentang Tata CaraPengumpulan Limbah B3 yaitu di DKI Jakarta.6. Pada umumnya (88,3%) puskesmas sudahmemiliki TPS domestik yang sudah memenuhi

syarat (tertutup, mudah dibersihkan, kedapair, mudah dijangkau), yaitu di KabupatenBandung, Kabupaten Bogor, DKI Jakarta danKota Metro Lampung.7. Sebagian besar (77,1%) pemusnahan limbahB3 di puskesmas sudah dilaksanakan olehpihak ketiga berizin, yaitu di DKI Jakarta,Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung,sedangkan lainnya (22,9%) menggunakanincenerator dengan status dalam prosesperizinan, dan dibakar langsung bersamaandengan limbah domestik, yaitu di Kota Metrodan Kabupaten Pesawaran Lampung.

SARAN1. Perlu adanya kerjasama antara dinas kesehatandan BBTKLPP Jakarta untuk melakukansosialisasi yang lebih intensif tentangkebijakan pengelolaan limbah padat dipuskesmas.2. Perlu adanya Standar Opersaional Prosedur(SOP) pengelolaan limbah sesuai dengankaraketeristik limbah di puskesmas yangmengacu pada Kepmenkes Nomor 1204Tahun 2004, dan Peraturan PemerintahNomor 18 Tahun 1999.3. Tempat penyimpanan sementara limbah B3perlu disesuaikan dengan Kepka Bapedal No.1tahun 1995 tentang Tata Cara PengumpulanLimbah B3.4. Setiap puskesmas perlu membuat perencanaanpengolahan limbah, antara lain mencakupfasilitas yang diperlukan, keselamatan,kesehatan, dan pelatihan dan mengusulkanpenganggarannya sesuai dengan proseduryang berlaku.UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepadaDirektorat Penyehatan Lingkungan, PoltekkesJurusan Kesehatan Lingkungan Tanjung KarangLampung, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung,Jawa Barat, dan DKI Jakarta, Dinas KesehatanKota Metro Lampung, Dinas Kesehatan KabupatenBandung, Sudinkes di wilayah DKI Jakarta,Puskesmas di wilayah kerja Kota MetroLampung, Kabupaten Bandung dan DKI Jakarta,sehingga penelitian ini dapat terlaksanadengan baik.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 35

DAFTAR PUSTAKADamanhuri, E., & Padmi, T. 2010. PengelolaanSampah. Diktat Kuliah. pp. 1-30.EPA. 2012. U.S Environmental Protection Agency.Retrieved from Medical Waste: http://www.epa.gov /osw/nonhaz/industrial/medical.Himmelreich, H., Rabenau, H. F., Rindermann,M., Stephan, C., Bickel, M., Marzi, I., et al. 2011.The Management of Needlestick Injuries.Medicine. pp. 61-67.ICRC. 2011. Medical Waste Management. Geneva,Switzerland: International Committee of theRed Cross.Johannessen, L. M., Dijkman, M., Bartone, C.,Hanrahan, D., Boyer, M. G., & Chandra, C. 2000.Health Care Waste Management GuidanceNote. (A. S. Preker, Ed.) Washington DC: TheInternational Bank for Reconstruction andDevelopment/The World Bank.Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. BakuMutu Limbah Cair Bagi Kegiatan RumahSakit. Keputusan Menteri Negara LingkunganHidup No.58 Tahun 1995 tentang Baku MutuLimbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit. Jakarta.Lakbala, P., Azar, F. E., & Kamali, H. 2012.Needlestick and Sharps Injuries AmongHousekeeping Workers in Hospitals of Shiraz.Iran. BioMed Central Research Note, Vol.5,pp.1-5.Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006.Keputusan Menteri Kesehatan RepublikIndonesia Nomor 1428/Menkes/SK/XII/2006.Retrieved from http://diskesklungkung.net/wpcontent/uploads/2011/05/KMK No.1428tentang Pedoman Penyelenggaraan Keslingdi Puskesmas.pdf.Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2004.Keputusan Menteri Kesehatan RepublikIndonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004tentang Persyaratan Kesehatan LingkunganRumah Sakit. Retrieved Maret 17, 2013,fromhttp://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes.pdf.National Health and Medical Research Council.1999. National Guidelines for WasteManagement in The Healthcare Industry.Retrieved April 2, 2013, from NationalHealth and Medical Research Council:http://www.nhmrc.gov.au/_files_nhmrc/publications/attachments/eh11.pdf.

Pemerintah Republik Indonesia. 2012. PeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 81Tahun 2012 tentang Pengelolaan SampahRumah Tangga dan Sampah Sejenis SampahRumah Tangga. Retrieved Juli 27, 2013,from www.menlh.go.id: http://www.menlh.go.id/DATA/PP_NO_81_TAHUN_2012.pdf.Prüss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P. 2005.Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan.M. Fauziah, M. Sugiarti, & E. Laelasari, Trans.Jakarta: EGC.Surakusumah, W. 2008. Permasalahan SampahKota Bandung dan Alternatif Solusinya.Retrieved Juli 29, 2013, from http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/197212031999031-WAHYU_SURAKUSUMAH/Permasalahan_sampah_kota_bandung_dan_alternatif_solusinya.pdf.Tobing, I. S. 2005. Dampak Sampah TerhadapKesehatan Lingkungan dan manusia. hlm. 1-9.WHO. 2007. Safe Health-care Waste Management.Geneva: World Health Organization.WHO. 1999. Safe Management of Wastes fromHealth Care Activities. (A. Prüss, E. Giroult, &P. Rushbrook, Eds.) Geneva: World HealthOrganization.WHO. 2011. Waste From Health-Care Activities.Retrieved Maret 15, 2013, from World HealthOrganization:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs253/en/Wulandari, P. 2012. Skripsi: Upaya Minimisasidan Pengelolaan Limbah Medis di RumahSakit Haji Jakarta tahun 2011. Depok:Universitas Indonesia.Yacoub, R., Ali, R. A., Moukeh, G., Lahdo, A.,Mouhammad, Y., & Nasser, M. 2010. Hepatitis BVaccination Status and Needlestick InjuriesAmong Healthcare Workers in Syria. Journal ofGlobal Infectious Diseases. Vol. 2 (1). pp. 28-34.

36 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

RISIKO KESEHATAN RADIOAKTIVITAS PENAMBANGAN TIMAHDI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, 2014

Health Risks of Tin Mining Radioactivity in Bangka Belitung Islands Province, 2014Adhy Prasetyo WidodoSubdit PLUR, Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian KesehatanAbstrakKandungan zat radioaktif yang melebihi baku mutu pada TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring RadioactiveMaterial) dapat menimbulkan masalah kesehatan akibat radioaktivitas, jika masuk ke dalam tubuh manusia melaluipernapasan, pencernaan, luka terbuka pada kulit dan mata. TENORM merupakan material hasil proses dari bahan NORM(Naturally Occuring Radioactive Material) yang mengandung radioaktif lebih besar daripada radioaktif pada NORM. Hal inimerupakan akibat dari penambangan masyarakat yang pada umumnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuanpenelitian ini untuk mendapatkan tingkat radioaktivitas dan potensi dampak kesehatan masyarakat akibat pertambangantimah di daerah permukiman di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka, BangkaTengah, dan Belitung dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara sampling bertingkat, yaitusebanyak 420 sampel untuk kesehatan masyarakat dan 180 sampel untuk radioaktivitas. Pengumpulan data kesehatanmasyarakat dilakukan menggunakan kuesioner dan data pajanan radiasi (Radon dan Gamma) dengan pengukuran. Hasilyang didapatkan adalah pajanan radiasi di wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebesar 3 mSv/tahun, sedikitdi atas ambang batas 1 mSv/tahun yang ditetapkan oleh Bapeten.Kata kunci: Radioaktivitas, penambangan timah, Kepulauan Bangka BelitungAbstractRadioactive substances that exceed quality standards in TENORM (Technologically Enhanced Naturally occuring RadioactiveMaterial) can cause health problems caused by radioactivity, if it enters the human body through the respiratory, digestive,open sores on the skin and eyes. TENORM the material results of the process of material NORM (Naturally occuringRadioactive Material) containing radioactive greater than radioactive NORM. This is a result of the mining communities ingeneral are not in accordance with the applicable legislation. The research objective is to get the level of radioactivity and thepotential public health impact due to tin mining in a residential area in Bangka Belitung Islands. The study was conducted inBangka regency, Central Bangka and Belitung with cross sectional design. Sampling was done by stratified sampling, as manyas 420 samples for public health and 180 samples for radioactivity. Public health data collection is done using a questionnaireand the data of radiation exposure (radon and gamma) with the measurement. The results obtained are radiation exposure inthe area of Bangka Belitung Province is 3 mSv / year, slightly above the threshold limit of 1 mSv/year set by Bapeten.Keywords: Radioactivity, tin mining, Bangka Belitung IslandsAlamat korespondensi: Adhy Prestyo Widodo, SubditPLUR, Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Jl. PercetakanNegara No.29 Jakarta Pusat, Hp 08111682347, email:[email protected]

PENDAHULUANProvinsi Bangka Belitung memiliki kekayaansumber daya alam mineral yang cukup melimpah,hal tersebut ditandai dengan banyaknya jumlahpenambang timah baik milik negara, swastamaupun rakyat. Sebagai sumber dan aktivitasekonomi utama, penambangan timah di ProvinsiKepulauan Bangka Belitung menghasilkan “hasilsamping tambang timah” yang dimanfaatkandan dijual secara bebas.Pada umumnya hasil samping tambang timahmemiliki kandungan zat radioaktif yang melebihi

batas pengecualian. Tin slag, ilmenit, dan mineralmonazit adalah produk sampingan dari prosespenambangan timah di Belitung. Di dalammineral ini terdapat beberapa unsur radioaktifseperti Polonium, Radon, Thorium dan Uranium.Aktivitas penambangan ini telah meningkatkanradioaktivitas lingkung-an.Di alam, terdapat material yang secara alamiahmengandung zat radioaktif yang dikenal denganNORM radionuklida, yaitu U‐238, Th‐232, bersamadengan hasil peluruhannya Ra‐226, Pb‐210,Po‐210, Ra‐228, dan Th‐228, sedangkan pasiryang ada dalam tambang timah mengandungbahan radioaktif, seperti Th‐232 yang terbentuksecara alami. TENORM adalah suatu materialhasil proses dari bahan NORM yang mengandungradioaktif lebih besar daripada NORM. Tin slag,

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 37

ilmenit, dan mineral monazit adalah hasil sampingdari proses pemurnian (smelting) pasir timah.Mineral ini mengandung zat radioaktif dalamjumlah yang melampaui batas dari pengecualianizin sesuai dengan Keputusan Kepala BapetenNomor:019/Ka‐BAPETEN/IV‐00 tentang Pengecualiandari Kewajiban Memiliki Izin PemanfaatanTenaga Nuklir.Fokus dari TENORM adalah pada limbah ataubuangan dari proses industri itu sendiri. Kerakair (scale) yang melekat pada pipa (pengerasangaram pada permukaan pipa penyalur minyakdan gas), residu, dan sludge adalah obyek dimanaTENORM dapat dijumpai (Akhmad YR, Suryawati,dan Tuka V).Pajanan radiasi dapat terjadi melalui tigajalur, yaitu pernapasan, pencernaan, atau pajananlangsung. Tubuh terpajan melalui rute pernapasanoleh partikel debu dan asap yang terkontaminasiradioaktif atau oleh radionuklida berbentukgas seperti Radon.Pajanan melalui pencernaan adalah masuknyaradiasi akibat tertelan material radioaktif.Pajanan radiasi melalui pencernaan yang perludiantisipasi adalah radionuklida yang memancarkansinar Alpha dan Beta, karena dapat melepasenergi dalam jumlah besar, langsung ke jaringantubuh dan menyebabkan kerusakan sel, kromosom,dan DNA.Pajanan secara langsung dari material radioaktifyang perlu diantisipasi adalah pajanan partikelBeta yang dapat membakar kulit (dalambeberapa kasus) dan merusak mata. Adapunradiasi Gamma adalah yang paling dikhawatirkan,karena dapat masuk atau menembus tubuhsepenuhnya (US EPA, 2012).METODEPengumpulan data dilakukan di KabupatenBangka, Bangka Tengah, dan Belitung, ProvinsiKepulauan Bangka Belitung yang dilakukanpada Juni s.d. Desember 2014. Populasi penelitianadalah rumah tangga di daerah permukimanpertambangan timah. Sampel dan unit analisisjuga rumah tangga yang ditentukan dengancara bertingkat (multistage sampling) sebanyak420 sampel untuk kesehatan masyarakat sepertiBagan 1 dan 180 sampel untuk radioaktivitasseperti Bagan 2.

Bagan 1. Penentuan sampel rumah tangga untukkesehatan masyarakat.Bagan 2. Penentuan sampel rumah tangga untukradioaktivitas.Data kesehatan masyarakat yang dikumpulkandengan kuesioner meliputi data umum, epidemiologi,sarana sanitasi, perilaku higiene, dan pengetahuankesehatan. Data sekunder berupa data penyakitjuga dikumpulkan dari fasilitas pelayanankesehatan. Data yang didapat kemudian dianalisisdengan menggunakan analisis risiko kesehatanlingkungan (ARKL).Data radioaktivitas yang dikumpulkan berupaRadon dalam rumah dan koordinat lokasi sertapajanan radiasi Gamma. Pengukuran laju dosisradiasi Gamma dilakukan dengan Survey meterExploranium GR-135. Pengukuran konsentrasiRadon menggunakan pemantau Radon-Thoronrancangan Batan menggunakan detektor jejaknuklir CR-39.Pemantau Radon-Thoron ini dipasang di dalamrumah selama tiga bulan dengan cara digantungdi tengah ruangan dengan ketinggian dari tanahsekitar 2,5 m. Setelah tiga bulan kemudian dietsamenggunakan 6N NaOH selama 7 jam lalu dibacadengan pembesaran 400x sebanyak 25 titik.Hasil pembacaan dianalisis untuk mendapatkankonsentrasi Radon di dalam rumah dengan rumussebagai berikut:

tECCC bB

Rn1

2 (1)tECCCC bBB

Tn2

21 (2)Keterangan:

CRn/Tn : konsentrasi radon/thoron (Bq/m3)CB1 : jumlah jejak radon – thoron (jejak/cm2)CB2 : jumlah jejak radon (jejak/cm2)Cb : jumlah jejak latar (jejak/cm2)E1 : Faktor kalibrasi radon {jejak/(Bq.j.m-3)}E2 : Faktor kalibrasi thoron {jejak/(Bq.j.m-3)}t : waktu pemaparan (j = jam)

38 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

HASILTabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaansignifikan antara kawasan peruntukan danbukan kawasan peruntukan dalam hal lajudosis Gamma dan konsentrasi Radon-Thoron.Rerata laju dosis radiasi Gamma di kawasanperuntukan 146±86 nSv/jam, bukan kawasanperuntukan 148±27 nSv/jam, secara keseluruhanuntuk provinsi adalah 147±53 nSv/jam denganrentang dari 46 s.d. 437 nSv/jam. Reratakonsentrasi Radon di dalam rumah di kawasanperuntukan 48±21 Bq/m3, bukan kawasanperuntukan 45±8 Bq/m3, secara keseluruhanuntuk provinsi adalah 46±22 Bq/m3 denganrentang dari tak terdeteksi (ttd) s.d. 147Bq/m3. Rerata konsentrasi Thoron di dalamrumah di kawasan peruntukan 73±23 Bq/m3,bukan kawasan peruntukan 65±23 Bq/m3,secara keseluruhan untuk provinsi adalah 69±23Bq/m3 dengan rentang dari tak terdeteksi (ttd)s.d. 452 Bq/m3.Tabel 1. Rerata hasil pengukuran laju dosis Gammadan konsentrasi Radon dan Thoron di ProvinsiKepulauan Bangka Belitung, 2014Kawasanperuntukkan Bangka BangkaTengah Belitung ProvinsiLaju Dosis Gamma(nSv/jam) 159 ± 31 158 ±69 120 ± 55 146 ± 86Konsentrasi Radon(Bq/m3) 60 ± 29 41 ± 7 42 ± 18 48 ± 21Konsentrasi Thoron(Bq/m3) 86 ± 28 56 ± 13 78 ± 18 73 ± 23Bukan Kawasanperuntukkan Bangka BangkaTengah Belitung ProvinsiLaju Dosis Gamma(nSv/jam) 161 ± 12 132 ±35 151 ± 23 148 ± 27Konsentrasi Radon(Bq/m3) 47 ± 9 44 ± 11 43 ± 6 45 ± 8Konsentrasi Thoron(Bq/m3) 73 ± 13 60 ± 23 60 ± 32 65 ± 23Berdasarkan hasil pengukuran radiasi Gammalingkungan, rekapitulasi laju dosis, dan tingkatrisiko pajanan radiasi Gamma untuk efek non-karsinogenik menurut kawasan dan kabupatendapat dilihat pada Tabel 2.Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak terlihatadanya perbedaan rerata yang signifikansecara statistik antara kawasan peruntukandan kawasan bukan peruntukan, serta antarkabupaten. Didapatkan juga bahwa 67,89%sampel yang dihitung risiko pajanannyamelampaui nilai batas dosis dan data jumlahsampel dengan risiko pajanan tidak aman lebihbesar pada kawasan bukan peruntukan.

Tabel 2. Distribusi laju dosis radiasi Gamma dantingkat risiko berdasarkan kawasan dan kabupatenDaerah Kawasan Nilaimini-mal Nilai rerata NilaiMaksi-mal Risikotidakaman

Risikotidakaman(%)Bangka

Peruntukan 0,77 1,40 ± 0,33 1,85 24 80,0Bukanperuntukan 1,13 1,41 ± 0,24 1,85 30 100,0

BangkaTengah

Peruntukan 0,77 1,38 ± 0,68 3,83 21 70,0Bukanperuntukan 0,77 1,16 ± 0,37 2,03 15 50,0

BelitungPeruntukan 0,59 1,05 ± 0,51 2,57 12 40,0Bukanperuntukan 0,41 1,32 ± 0,41 1,85 22 73,3

ProvinsiPeruntukan 0,59 1,28 ± 0,55 3,83 57 63,3Bukanperuntukan 0,41 1,30 ± 0,36 2,03 67 74,4

Tabel 3 tidak memperlihatkan adanya perbedaanrerata yang signifikan secara statistik antarakawasan peruntukan dan kawasan bukanperuntukan, serta antar kabupaten. Dari Tabel 3diketahui bahwa seluruh sampel yang dihitungtingkat risiko karsinogeniknya masih aman.Tabel 3. Distribusi laju dosis Radon dan tingkatrisiko menurut kawasan dan Kabupaten

Daerah Kawasan Nilaiminimal Nilai rerata Nilai

maksimalLaju dosis inhalasi Radon (mSv/tahun)

BangkaPeruntukan 0,45 1,49 ± 0,76 3,71

Bukanperuntukan 0,34 1,20 ± 0,46 2,22

BangkaTengah

Peruntukan 0,46 1,05 ± 0,38 1,96Bukan

peruntukan 0,46 1,11 ± 0,48 2,8

BelitungPeruntukan 0,37 1,05 ± 0,57 2,84

Bukanperuntukan 0,25 1,03 ± 0,46 2,48

ProvinsiPeruntukan 0,37 1,28 ± 0,55 3,83

Bukanperuntukan 0,25 1,11 ± 0,47 2,48

Tingkat risiko pajanan Radon

BangkaPeruntukan 8,75E-09 2,86E-08 ±

1,47E-08 7,14E-08

Bukanperuntukan 6,80E-09 2,31E-08 ±

8,88E-09 4,28E-08

BangkaTengah

Peruntukan 8,75E-09 2,02E-08 ±7,36E-09 3,79E-08

Bukanperuntukan 8,75E-09 2,15E-08 ±

9,24E-09 4,03E-08

BelitungPeruntukan 7,29E-09 2,03E-08 ±

1,11E-08 5,49E-08

Bukanperuntukan 4,86E-09 1,98E-08 ±

8,87E-09 4,76E-08

ProvinsiPeruntukan 7,29E-09 2,32E-08 ±

1,21E-08 7,14E-08

BukanPeruntukan 4,86E-09 2,14E-08 ±

8,98E-09 4,76E-08

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 39

PEMBAHASANDampak radiasi terhadap kesehatan dibedakanmenjadi efek pada sel yang akan diwariskan padaketurunan dan efek somatis yang merusaktubuh, baik segera maupun tertunda. Pajananradiasi dari lingkungan yang masuk ke dalamtubuh disebut dosis radiasi. Berdasarkan dosisradiasinya, efek pajanan radiasi dibedakanmenjadi efek stokastik dan deterministik. Efekstokastik bersifat acak, tidak memiliki dosisambang, kemungkinan kejadian bergantung padadosis, dan dapat terjadi baik pada individuterpajan maupun keturunannya. Efek deterministikmemiliki dosis ambang, tingkat keparahannyatergantung dosis, dan hanya dimungkinkanterjadi pada individu yang terpajan. Hubunganantara dosis dan tanggapan tubuh terhadappajanan radiasi sangat bervariasi, keterkaitanantara dosis radiasi tubuh dengan efeknyadapat dilihat pada Tabel 4.Tabel 4. Hubungan antara dosis dan respon tubuhterhadap pajanan radiasi (US EPA, 2012)Pajanan(rem) Efek kesehatan Onset (tanpapengobatan)5-10 Perubahan pada kimia darah beberapa jam50 Nausea55 Kelelahan70 Muntah75 Rambut rontok 2-3 minggu90 Diare100 Hemorrhagic400 Mungkin menyebabkan kematian kurang dari 2 minggu1.000 Kerusakan pada dinding usus 1-2 minggupendarahan dalamkematian2.000 Kerusakan sistem saraf pusat beberapa menithilang kesadarankematian beberapa jam s.d. hariNilai batas dosis yang selanjutnya disingkatNBD adalah dosis terbesar yang diizinkan olehBAPETEN yang dapat diterima oleh pekerjaradiasi dan anggota masyarakat dalam jangkawaktu tertentu tanpa menimbulkan efek genetikdan somatis yang berarti akibat pemanfaatantenaga nuklir (Bapeten, 2013). Menurut Bapeten,dosis efektif yang diperkenankan diterimamasyarakat adalah maksimal 1 mSv/tahun,sedangkan dosis ekuivalen pada mata dan kulitmasing-masing maksimal sebesar 15 mSv dan50 mSv.Berdasarkan Tabel 1 setelah dihitung makarerata dosis tahunan yang diterima pendudukProvinsi Bangka Belitung dari radiasi Gamma

adalah 1,29±0,46 mSv/tahun, sedangkan dariRadon adalah 1,16±0,55 mSv/tahun.Efek non-karsinogenik dari pajanan radiasiGamma belum banyak dipublikasi. Sebagianbesar literatur membatasi dosis radiasi sebesar1 mSv/tahun untuk pajanan publik dari semuasumber radiasi (Bapeten, 2013), sedangkanefek karsinogenik dari paparan Radon sudahbanyak diteliti. Radon diketahui merupakansalah satu penyebab kanker paru-paru melaluipajanan jalur pernapasan (NSC, 2005). Meskipuntidak ada dosis yang benar-benar aman dariefek karsinogenik, tingkat risiko yang dihitungpada Tabel 3. masih bisa diterima, karenakeseluruhannya masih lebih kecil dari 1E-04.Namun masih ada beberapa perilaku negatifyang harus diperhatikan yaitu perilaku (tidakpernah dan kadang-kadang) membuka jendela/pintu rumah setiap hari (15,3% pada kawasanperuntukan dan 16,7% pada kawasan bukanperuntukan); perilaku (selalu dan sering) tidurdi lantai (26,2% pada kawasan peruntukan dan21,9% pada kawasan bukan peruntukan); perilaku(tidak pernah dan kadang-kadang) memakaialat pelindung diri saat bekerja (84,7% padakawasan peruntukan dan 89% pada kawasanbukan peruntukan); dan perilaku (selalu dansering) menyimpan bahan galian (timah) dalamrumah (8,1% pada kawasan peruntukan dan2% pada kawasan bukan peruntukan). Semuaperilaku ini meningkatkan kemungkinan pajanan.KESIMPULANBedasarkan hasil penelitian, pajanan radiasidi wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitungadalah sebesar 3 mSv/tahun, sedikit di atasambang batas 1 mSv/tahun yang ditetapkanoleh Bapeten. Namun potensi risiko tetap ada,karena efek risiko radiasi berbanding terbalikdengan jarak dari sumber dan berbandinglurus dengan waktu pajanan. Hal ini diperkuatkarena masih ada masyarakat yang menyimpanpasir galian tambang di dalam rumah sertamasyarakat yang belum mengetahui tentangradiasi dan risikonya terhadap kesehatan.Berdasarkan lokasi, tidak ada perbedaanpajanan radiasi antara kawasan peruntukandan kawasan bukan peruntukan tambang,berarti masyarakat di wilayah KepulauanBangka Belitung mempunyai risiko yang sama.Gejala keluhan kesehatan yang dirasakan oleh

40 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

masyarakat tidak hanya dipengaruhi olehradioaktivitas saja, tetapi juga faktor lainnyaseperti sarana sanitasi dan perilaku higienemasyarakat.SARAN1. Peningkatan deteksi dini karena radiasitidak dapat dideteksi oleh indra manusiasehingga memerlukan alat dan sumber dayamanusia untuk mengetahui keberadaan danbesar pajanannya.2. Peningkatan perlindungan, penyesuaiankondisi tempat tinggal dan bangunan untukmenurunkan radioaktivitas di dalam ruangbangunan.3. Perubahan perilaku dengan penguranganjangka waktu pajanan dan penambahanjarak dari sumber radiasi.4. Penelitian lebih mendalam mengenairadioaktivitas pada media lingkungan air,udara, tanah, dan pangan serta penelitianlanjutan dengan metode studi kasusterkendali (case-control study).5. Pemerintah daerah dapat melakukan sosialisasidan advokasi, melakukan promosi kesehatan,serta menyusun media komunikasi, informasi,dan edukasi.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih kami sampaikan kepadapihak yang telah mendukung yaitu:1. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung2. Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen PPdan PL Kemenkes RI.3. Kepala Pusat Teknologi Keselamatan danMetrologi Radiasi (PTKMR) BATAN.4. Kepala Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan (Balitbangkes) RI.5. Kepala Balai Besar Teknologi KesehatanLingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP)Jakarta.6. Tim teknis Provinsi Kepulauan BangkaBelitung7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka,Bangka Tengah, dan Belitung.8. Segenap petugas kesehatan di lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKAKeputusan Kepala Bapeten No. 019/Ka‐BAPETEN/IV‐00tentang Pengecualian dari Kewajiban MemilikiIzin Pemanfaatan Tenaga Nuklir.Akhmad, Yus Rusdian dkk. 2006. Kajian ProteksiRadiasi TENORM dari Industri dan Pertambangan.Bapeten. Jakarta.International Radon Project. 2007. Final Report:Survey on Radon Guidelines, Programmes andActivities. WHO Health Security andEnvironment, Public Health and Environment,Radiation and Environmental Health. Geneva.Dr. Suminory Akiba, et. Al. 2009. Handbook onIndoor Radon A Public Health Perspective.WHO.Jason P. de Koff, et. al. Radon: How to Assess theRisks and Protect Your Home. Purdue UniversityUnited States Environment Protection Agency.Radon. http://www2.epa.gov/radon (diaksespada 25 November 2015).United States Environment Protection Agency.Radiation Health Effects. http://www2.epa.gov/radiation/radiation-health-effects(diakses pada 25 November 2015).Buddemeier, Brooke. 2003. Lawrence LivermoreNational Laboratory. Understanding Radiationand Its Effects. California.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 41

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di DesaSaitnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan,

Provinsi Sumatera Utara, 2015

Factors Associated with Nutritional Status of Under Five Years of Age Childrenin Saitnihuta Village, Humbang Hasundutan District, North Sumatra, 2015Ivan Elisabeth Purba, Sandra Simamora, Toni WandraDirektorat Pascasarjana, Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan, Sumatera Utara

AbstrakMenurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), malnutrisi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius yang berkaitandengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Sebanyak 130 juta (21% dari semua anak) menderita kurang gizi padatahun 2005. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 dan 2013, prevalensi malnutrisi pada Balita meningkatdari 17,9% tahun 2010 menjadi 19,6% tahun 2013. Di Sumatera Utara, prevalensi malnutrisi tahun 2013 sebesar 22,4%.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gizi tidak baik (kurang-buruk) pada Balita dan faktor-faktor yangberhubungan di Desa Saitnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara tahun 2015. Desain penelitian adalahCross-sectional study, dengan jumlah sampel sebanyak 150 Balita yang dipilih secara acak. Definisi operasional gizi tidak baikdalam penelitian ini adalah jika nilai berdasarkan BB/U berada diantara -3SD s/d <-2 SD dan <-3SD. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa bahwa prevalensi gizi kurang pada Balita di Saitnihuta Village, Kabupaten Humbang Hasundutan,Sumatera Utara sangat tinggi (49,3%) dibandingkan dengan data nasional (19,6%) dan Provinsi Sumatera Utara ( 22,4%)pada tahun 2013. Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat, faktor dominan yang berhubungan dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan adalah penentu keputusan (OR=16,2), berturut-turut diikutioleh pengetahuan ibu (OR=6,6), jumlah anak (OR=4,3), umur Balita (OR=3,8), dan pendapatan keluarga (OR=3,7). Untukmencapai target nasional dan SDG 2019, diperlukan pengendalian faktor risiko kejadian malnutrisi dengan pendekatan localarea specific.

Kata kunci: Status gizi, Balita, Humbang Hasundutan, Sumatera UtaraAbstractAccording to WHO, 2005, malnutrition is a serious public-health problem that has been linked to a substantial increase in therisk of mortality and morbidity. A total of 130 million (21% of all children) were malnutrition in 2005. In Indonesia, based onNational Basic Health Research, 2010 and 2013, the prevalence of malnutrition under five years of age children increasedfrom 17.9% in 2010 to 19.6% in 2013. In North Sumatra, the prevalence of malnutrition under five years of age children was22.4%. The goals of this study are to determine the prevalence of malnutrition and factors associated with nutritional statusof under five years of age children in Saitnihuta Village, Humbang Hasundutan District, North Sumatra, 2015. A cross-sectional study was carried out with a total of 150 radomly selected sample under five years of age children. Malnutritiondefined as under five years of age children whose weight is from -3SD up to <-2 SD and <-3SD score of the median weight ofchildren of the same age in the reference population. Results of this study revealed that the prevalence of malnutrition amongunder five years of age children in Saitnihuta Village, Humbang Hasundutan District, North Sumatra was very high (49,3%)compared to the national data (19,6%) and North Sumatra Province (22.4%) in 2013. Bi-and multi-variate analysis showedthat role of grandmother-in-low, mother’s knowledge, number of children, age of under five of age children, and socio-economic were the most significant factors that had an independent and direct influence on the malnutrition of under five ofage children, respectively. To achieve national and the SDG target of malnutrition prevalence by 2019, it is important to havespecific government intervention to focus on the causes that directly influence the malnutrition with consideration of thelocal area specific.Key words: Nutritional status, under five years of age children, Humbang Hasundutan, North SumatraAlamat korespondensi: Toni Wandra, Program StudiMagister Ilmu Kesehatan Masyarakat, DirektoratPascasarjana, Universitas Sari Mutiara Indonesia, Jl.Kapten Muslim No. 79 Medan, Hp. 081388422934, e-mail:[email protected]

PENDAHULUANMenurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),malnutrisi merupakan masalah kesehatanmasyarakat yang serius yang berkaitan denganpeningkatan angka kesakitan dan kematian.Sebanyak 130 juta (21% dari semua anak)menderita kurang gizi pada tahun 2005.

42 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Bank Dunia (2006) dalam dokumennya“Repositioning Nutrition as Central to Development:A Strategy for Large-Scale Action”, menyatakankeprihatinannya bahwa “salah gizi”, terutamakekurangan gizi, masih merupakan masalahkesehatan dunia yang paling serius dan merupakankontributor utama terhadap kematian Balita.Masyarakat internasional juga semakin khawatirbahwa tujuan Millenium Development Goals(MDGs) tidak akan tercapai apabila masalah gizitersebut tidak diatasi. Hal ini karena masalahgizi merupakan faktor dasar (underlying factor)dari berbagai masalah kesehatan, terutamapada Balita. Dengan demikian, jelas bahwa giziharus mendapatkan perhatian serius daripembangunan suatu bangsa.Saat ini Indonesia menduduki peringkat kelima dalam status gizi kurang-buruk di dunia.Termasuk diantara 36 negara di dunia yangmemberi 90% kontribusi masalah gizi dunia.Prevalensi gizi kurang-buruk pada Balitaberdasarkan BB/U memberikan gambaran yangfluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi17,9% (2010), kemudian meningkat lagi menjadi19,6% (2013). Adapun jumlah Balita yangmengalami gizi kurang-buruk di Indonesiaadalah 4,6 juta dari total 23.708.844 Balita(Riskesdas, 2013). Sumatera Utara merupakanprovinsi dengan peringkat ke-18 dari 33Provinsi dalam hal gizi kurang-buruk denganprevalensi 22,4% pada tahun 2013 (Riskesdas,2013).Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, ProvinsiSumatera Utara merupakan salah satu desa diwilayah kerja Puskesmas Saitnihuta, denganjumlah Balita sebanyak 1.626 orang dan 35Balita diantaranya (2,15%) dilaporkan mengalamigizi kurang-buruk dan telah ditangani secaramedis. Kasus-kasus gizi kurang-buruk yangtidak terpantau diyakini masih ada, karenabelum semua ibu yang mempunyai Balitabelum memanfaatkan keberadaan posyandu(Puskesmas Saitnihuta, 2015).Hasil survei pendahuluan menunjukkanbahwa jumlah Balita di Desa Saitnihuta, yaitusebanyak 308 Balita, dan 3 Balita diataranyagizi buruk (sedang dalam penangan tenagakesehatan) dan 71 orang mengalami gizi kurang.Di Desa Saitnihuta menunjukkan bahwasebagian besar masyarakat memiliki jenispekerjaan sebagai petani dan memiliki pendidikan

menengah kebawah dengan pendapatan yangmasih rendah. Jumlah anak dalam tanggunganpada umumnya >2 orang. Balita menjaditanggung jawab penuh dari ibu. Pada umumnyaibu-ibu bekerja di ladang ikut serta membantusuami. Hasil wawancara ditemukan juga kebiasaanibu-ibu menitipkan anak mereka untuk diasuhorang lain (nenek) ketika bekerja, dan sebagianlagi membawanya ke tempat kerja (ladang).Hasil wawancara dengan ibu yang membawaanaknya ke ladang diperoleh informasi bahwaanaknya diberi makanan yang sama denganyang dimakan ayah dan ibu, tanpa makanantambahan lainnya, anak dibiarkan makan sendiridan jarang menghabiskan porsi makanan yangdisediakan, sehingga memungkinkan menudan porsi makanan yang diperoleh anak tidaksesuai dengan kebutuhan. Selain itu rangsanganpsikososial antara ibu dan anak kurang baik,karena ibu lebih banyak menghabiskan waktuuntuk bekerja daripada mengasuh anaknya,demikian juga sanitasi lingkungan anak sepertitempat bermain dan tempat istirahat/tidur yangkurang baik.Sebagian dari ibu menjelaskan bahwa penentuanmenu makanan dalam keluarga adalah mertuanya.Dalam masyarakat Batak Toba, cucu adalahsebagai pengganti dari dirinya, sehingga mertualebih bertanggung jawab terhadap cucunya(Balita) bahkan untuk makanan sehari-hari, mertuamerasa paling bertanggung jawab terhadap cucunya.Berdasarkan latar belakang di atas, makarumusan masalah adalah seberapa besarprevalensi gizi tidak baik pada Balita danfaktor-faktor apa saja yang berhubungan diDesa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, ProvinsiSumatera Utara tahun 2015.Tujuan umum penelitian ini adalah untukmengetahui prevalensi dan faktor-faktor yangberhubungan dengan status gizi pada Balita diDesa Saitnihuta Kecamatan DoloksanggulKabupaten Humbang Hasundutan ProvinsiSumatera Utara tahun 2015.METODEDesain penelitian ini adalah cross sectional

study yang dilaksanakan di Desa Saitnihuta,Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten HumbangHasundutan, Provinsi Sumatera Utara padatahun 2015.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 43

Populasi penelitian adalah seluruh Balitayang ada di Desa Saitnihuta, yaitu sebanyak308 Balita. Populasi sampel adalah sebagianBalita yang ada di desa tersebut, yaitusebanyak 150 Balita yang dipilih secara acak(systematic random sampling) melalui pemilihanrumah tempat tinggal Balita. Bila dalam saturumah terdapat 2 atau lebih Balita, maka hanyadipilih satu diantaranya dengan cara simplerandom sampling. Responden pada penelitianini adalah ibu-ibu dari Balita yang menjadisampel penelitian.Jenis data adalah data primer denganmelakukan wawancara menggunakan kuesionerdan pengukuran berat badan Balita, sedangkandata sekunder diperoleh dari catatan PetugasKesehatan Desa (Bidan). Variabel dependen,yaitu status gizi pada Balita dibagi menjadi 2kategori yaitu: 1) Gizi baik (normal) apabilaberdasarkan pengukuran BB/U berada diantara -2 SD s/d 2 SD; dan 2) Gizi tidak baik (kurang-buruk), apabila berdasarkan pengukuran BB/U<-2 SD (gizi kurang) dan <-3SD (gizi buruk)(Depkes, 2010). Analisis data meliputi analisaunivariat, bivariat menggunakan uji Chi-squaredengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), danmultivariat (regresi logistik).

HASIL

Keadaan geografisDesa Saitnihuta adalah salah satu desa dari153 desa dan 1 kelurahan yang ada diKabupaten Humbang Hasundutan, berjarak 8km dari ibukota Kecamatan Doloksanggul, dan9 km dari ibukota kabupaten. Sebelah Utaraberbatasan dengan Desa Pakkat, Aeklung danLumban Purba; Sebelah Selatan dengan DesaSimarigung; Sebelah Timur dengan Desa DolokSipalakki, Hutasoit 1, dan Dolok Saribu; SebelahBarat dengan Desa Lumban Purba, Batunajagardan Sigulok. Desa Saitnihuta berada padaketinggian +1.500m di atas permukaan lautdengan kondisi dataran tinggi dan berbukit-bukit dengan luas wilayah 1.200 Ha.Dinamika kependudukanJumlah Kepala Keluarga di Desa Sitnihutatercatat sebanyak 530 KK dan jumlah penduduksebanyak 2355 jiwa. Mayoritas penduduk diDesa Sitnihuta adalah Suku Batak Toba yangmenganut berbagai budaya atau kebiasaan.

Sebagian besar dari mereka bekerja sebagaipetani. Fasilitas kesehatan yang ada di DesaSaitnihuta terdiri dari puskesmas (1 unit),poskesdes (1 unit), dan posyandu Balita (4unit). Jumlah kader Posyandu Balita sebanyak20 orang.Posyandu dilaksanakan satu kali dalamsebulan. Kader posyandu yang merupakan bentuknyata dari partisipasi masyarakat dalampeningkatkan kesehatan khususnya Balita belummelaksanakan tugas dengan maksimal. Berdasarkanhasil wawancara dengan kader posyandu padasaat studi pendahulua, sebagian dari merekabelum mengerti tentang tugas, fungsi, dantanggung jawabnya sebagai kader posyandu.Pelaksanaan posyandu setiap bulan hanyadijadikan sebagai kebiasaan saja. Kader posyandubelum terlibat secara penuh dalam pemantauantumbuh kembang Balita. Sebagian besar kaderposyandu juga belum mengerti tentang manfaatdari penimbangan berat badan Balita.Hasil analisa univariatHasil analisis univariat sebagaimana terlihatpada Tabel 1 dan 2.Tabel 1. Distribusi frekuensi status gizi Balita di DesaSaitnihuta, Kecamatan Doloksanggul, KabupatenHumbang Hasundutan, 2015

Status gizi Balita n %Tidak BaikBaik 7476 49,350,7Total 150 100,0Tabel 1 menunjukkan bahwa, hampir separuh(49,3%) Balita di Desa Saitnihuta, KecamatanDoloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan,Provinsi Sumatera Utara memiliki status gizitidak baik (kurang-buruk).Tabel 2. Distribusi frekuensi status gizi Balitamenurut variabel independen di Desa Saitnihuta,Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten HumbangHasundutan, 2015

Variabel independen n %Pendidikan Pendidikan menengah kebawah Pendidikan tinggi 12822 85,314,7

44 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Pekerjaan Petani Tidak petaniPendapatan KeluargaRendah TinggiJumlah anak ≥ 3 orang ≤ 2 orangPola asuh makan Tidak baikBaikPengetahuan tentang giziseimbangKurangBaikUmur Balita 37-59 bulan 12-36 bulanPenentu keputusan menumakananKeluarga besarKeluarga inti

10842106441014998528367906044106

72,028,070,729,367,332,765,334,755,344,760,040,029,370,7Total 150 100,0Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar(85,3%) ibu yang memiliki Balita berpendidikanmenengah ke bawah dan sebagian besar (72%)bekerja sebagai petani. Sebagian besar keluarga(70,7%) berpendapatan rendah, sebagian besar(67,3%) memiliki anak ≥3 orang, sebagian besaribu (65,3%) dalam hal untuk pola asuh makanadalah tidak baik, sebagian besar ibu (72%)memiliki pengetahuan yang kurang tentanggizi seimbang, sebagian besar Balita (60%)berumur 37-59 bulan, dan sebesar 29,3 % penentukeputusan dalam hal menu makanan adalahkeluarga besar.

Analisis bivariatHubungan tingkat pendidikan ibu dengan statusgizi Balita dapat dilihat pada Tabel 3.Tabel 3. Hubungan tingkat pendidikan dengan statusgizi Balita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Pendidikan

Status Gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n % Pendidikanmenengahke bawah Pendidikantinggi

722 56,29,1 5620 43,890,9 12822 100,0100,0 0,0000,000

Tabel 3 menunjukkan bahwa status gizi Balitayang tidak baik, lebih tinggi (56,2%) pada ibu(Balita) yang mempunyai tingkat pendidikanmenengah ke bawah daripada ibu yangmempunyai tingkat pendidikan tinggi (9,1%).Secara statistik (analisis bivariat menggunakanuji Chi-square), ada hubungan yang bermaknaantara tingkat pendidikan ibu (yang mempunyaiBalita) dengan status gizi Balita (p=0,000).Hubungan pekerjaan ibu dengan status giziBalita sebagaimana terlihat pada Tabel 4.Tabel 4. Hubungan pekerjaan ibu dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Pekerjaan

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n % PetaniBukanpetani

6410 59,323,8 4432 40,776,2 10842 100,0100,0 0,000Tabel 4 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik, lebih tinggi (59,3%) pada ibu denganpekerjaan sebagai petani daripada yang bukapetani (23,8%). Secara statistik, ada hubunganyang bermakna antara pekerjaan ibu denganstatus gizi pada Balita (p=0,000).Hubungan pendapatan keluarga dengan statusgizi Balita, dapat dilihat pada Tabel 5.Tabel 5. Hubungan pendapatan keluarga dengan statusgizi Balita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Pendapa-

tankeluarga

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n % Rendah Tinggi 686 63,014,6 3838 37,086,4 10644 100,0100,0 0,000Tabel 5 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (63,0%) pada keluargayang berpendapatan rendah daripada keluargayang berpendapatan tinggi (14,6%). Secarastatistik, ada hubungan yang bermakna antarapendapatan keluarga dengan status gizi padaBalita (p=0,000).Hubungan jumlah anak dengan status giziBalita sebagaimana terlihat pada Tabel 6.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 45

Tabel 6. Hubungan jumlah anak dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Jumlah

anak

Status gizi BalitaTotal pTidak Baik Baik

n % n % n % ≥3 orang ≤2 orang 6212 61,424,5 3937 38,675,5 10149 100,0100,0 0,000Tabel 6 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (61,4%) pada ibu denganjumlah anak dalam tanggungan keluarga ≥3orang daripada ≤2 orang (24,5%). Hasil ujistatistik, ada hubungan yang bermakna antarajumlah anak dalam tanggungan dengan statusgizi pada Balita (p=0,000).Hubungan pola asuh makan dengan statusgizi Balita dapat dilihat pada Tabel 7.Tabel 7. Hubungan pola asuh makan dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015

Pola asuhmakan

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n % Tidak baik Baik 686 63,014,6 3838 37,086,4 10644 100,0100,0 0,000Tabel 7 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (63,0%) pada keluargadengan pola asuh makan tidak baik daripadapola asuh makan baik (14,6%). Secara statistik,ada hubungan yang bermakna antara pola asuhmakan dengan status gizi Balita (p=0,000).Hubungan pengetahuan ibu dengan statusgizi Balita dapat dilihat pada Tabel 8.Tabel 8. Hubungan pengetahuan ibu dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015

Pengeta-huan ibu

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n %Kurang Baik 6113 73,519,4 2254 26,580,6 8367 100,0100,0 0,000Tabel 8 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (73,5%) pada ibu denganpengetahuan kurang tentang gizi seimbangdaripada pengetahuan ibu baik (19,4%). Secarastatistik, ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan ibu dengan status gizi Balita(p=0,000).Hubungan umur Balita dengan status giziBalita dapat dilihat pada Tabel 9.Tabel 9. Hubungan umur Balita dengan status giziBalita di Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Umur Balita

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n % 37-59 bulan 12-36 bulan 5321 58,935,0 3739 41,165,0 9060 100,0100,0 0,000

Tabel 9 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (58,9%) pada umurBalita 37-59 bulan daripada umur Balita 12-36bulan (35,0%). Secara statistik, ada hubunganyang bermakna antara umur Balita denganstatus gizi Balita (p=0,007).Hubungan penentu keputusan dengan statusgizi Balita sebagaimana terlihat pada Tabel 10.Tabel 10. Hubungan penentu keputusan denganstatus gizi Balita di Desa Saitnihuta, KecamatanDoloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Penentu

keputusan

Status gizi BalitaTotal pTidak

BaikBaik

n % n % n %KeluargabesarKeluargainti

3836 86,434,0 670 44,066,0 44106 100,0100,0 0,000Tabel 10 menunjukkan bahwa status gizi Balitatidak baik lebih tinggi (86,4%) pada penentukeputusan menu makanan adalah keluarga besardaripada keluarga inti (34%). Secara statistik,ada hubungan yang bermakna antara penentukeputusan menu makanan dengan status gizipada Balita (p=0,000).

Analisa multivariatSetelah dilakukan analisis bivariat, dilanjutkandengan analisis multivariat menggunakan ujiregresi logistik. Seluruh variabel yang mempunyainilai p<0,25 (hasil uji Chi-square), dimasukkanke dalam uji regresi logistik. Pemilihan modeldilakukan secara hierarkis dengan cara semuavariabel dimasukkan ke dalam model, kemudianvariabel dengan nilai p terbesar, dikeluarkan

46 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

satu per satu dari dalam model secara bertahap.Bila dalam model multivariat terdapat variabelp>0,05, maka variabel tersebut dikeluarkandari model, sehingga diperoleh model akhir(Tabel 11).Tabel 11. Model akhir analisis multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi Balitadi Desa Saitnihuta, Kecamatan Doloksanggul,Kabupaten Humbang Hasundutan, 2015Variabel β p OR CI 95%

Pendapatan Jumlah anak Pengetahuan Umur Balita Penentukeputusanconstant

1,2991,4491,8831,3462,783-4,688

0,0480,0300,0000,0060,0000,000

3,6654,2586,5733,84216,1610,009

1,009-13,3131,149-15,7712,343-18,4391,460-10,1104,296-60,794Berdasarkan Tabel 11 di atas, variabel yangpaling dominan berhubungan dengan statusgizi Balita di Desa Saitnihuta, KecamatanDoloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutanadalah penentu keputusan (OR=16,2), kemudianberturut-turut diikuti oleh pengetahuan ibu(OR=6,6), jumlah anak (OR=4,3), umur Balita(OR=3,8), dan pendapatan (OR=3,7).

PEMBAHASANHasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensigizi tidak baik pada Balita di Desa Saitnihuta,Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten HumbangHasundutan, Provinsi Sumatera Utara, jauhlebih tinggi (49,3%) bila dibandingkan dengandata nasional dan Provinsi Sumatera Utaratahun 2013, yaitu 19,6% dan 22,4%.Berdasarkan hasil analisis bivariat danmultivariat, faktor-faktor yang menunjukkanadanya hubungan yang bermakna (p<0.05)dengan kejadian gizi tidak baik tersebut adalahpenentu keputusan (OR=16,2), diikuti variabelpengetahuan ibu (OR=6,6), jumlah anak (OR=4,3),umur Balita (OR=3,8), dan pendapatan (OR=3,7).Hal ini dapat dijelaskan sebagaimana uraian dibawah ini.Keluarga besar (dalam hal ini mertua) tidakmempunyai pengetahuan yang baik tentang giziseimbang yang diperlukan untuk menentukanmenu makanan Balita. Keluarga besar memberikanmakanan apa saja yang disukai Balita, tanpamemperhatikan nilai gizinya. Hal ini berkaitandengan pekerjaan ibu sebagai petani yang

menghabiskan waktu sampai sore hari diladang atau di sawah. Keluarga besar, dalamhal ini mertua merasa senang apabila tinggalbersama dengan Balita (cucunya) tersebut. Dimasyarakat Batak Toba, cucu (Balita) adalahpengganti dirinya dikemudian hari, sehinggamertua beranggapan bahwa yang palingbertanggung jawab terhadap Balita tersebutadalah dirinya sendiri. Di daerah penelitian,sebagian besar mertua berpendidikan rendah.Biasanya perananan keluarga dalam pengambilankeputusan urusan keluarga salah satunyauntuk menentukan menu makanan lebihbanyak diambil alih oleh istri. Namun padakenyataannya hal ini tidak menjadi patokandalam sebuah rumah tangga. Terutama rumahtangga yang berbeda-beda suku di WilayahIndonesia. Ternyata peranan keluarga yanglain (mertua, orangtua) pada keluarga dapatmempengaruhi pemilihan menu dalam keluarga(Depkes RI, 1996).Responden (ibu Balita) dengan pengetahuanbaik lebih mengerti tentang sumber, fungsi danmanfaat gizi seimbang bagi Balita. MenurutSyukriwati (2011), variabel pengetahuan ibutentang makanan bergizi memiliki p=0,004. Halini menunjukan bahwa variabel pengetahuangizi ibu memiliki hubungan yang bermaknadengan status gizi buruk-kurang pada anakusia 12-59 bulan di Kelurahan Pamulang BaratKota Tangetang Selatan tahun 2011.Mengistu K, dkk. telah meneliti tentang faktorpenyebab meningkatnya prevalensi gizi buruk-kurang pada Balita, salah satunya adalahkurangnya tingkat pengetahuan ibu tentanggizi seimbang. Muqni AD dkk yang telahmelakukan penelitian tentang status gizi Balitadi Kelurahan Tamamaung Makassar, menemukanbahwa gizi buruk-kurang dapat disebabkankarena kekurangan asupan makanan yangdipengaruhi banyak faktor, salah satunya olehtingkat pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah.Jumlah anak yang banyak dapat menyebabkanberkurangnya pemenuhan gizi keluarga sehubungandengan pendapatan keluarga yang rendah.Keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhangizi Balita baik kuantitas dan kualitasnya.Hasil National Institutte of Nutrition Hyderabad,India yang dikutip Kunanto menunjukkanbahwa lebih dari 60% penderita gizi buruk-kurang adalah anak ke-tiga atau yang lahirsesudahnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 47

dengan jumlah anggota keluarga yang besardibarengi dengan distribusi makanan yangtidak merata akan menyebabkan Balita dalamkeluarga tersebut menderita kekurangan gizi.Menurut Goner (2008), ada hubungan antarajumlah anak dalam tanggungan dengan statusgizi Balita di Wilayah Kerja UPTD PuskesmasTanjung Agung, Kecamatan Baturaja Barat,Kabupaten Oku Tahun 2008. Hasil uji statistikdiperoleh nilai p=0,037 dengan OR=3,09.Balita yang berumur 37-59 bulan lebihbanyak mengalami status gizi tidak baikdibandingkan dengan Balita yang burumur 12-36 bulan, karena di daerah penelitianditemukan bahwa Balita yang berusia 12-36minggu masih ikut dengan orang tua ke ladangsaat bekerja, sehingga masih belum terlepasdari pantauan orang tua. Selanjutnya dalam halmakanan pun, bahwa anak tersebut pastidiperhatikan oleh orang tuanya. Sedangkananak yang berusia 37-59 minggu sudahditinggalkan di rumah sampai sore hari. Balitasudah dibiarkan untuk mengambil makanannyasendiri tanpa adanya pantauan dari orang tua.Hal ini sudah menjadi kebiasaan di desatersebut. Orang tua juga memberikan uangjajan supaya anaknya mau tinggal di rumah,agar pekerjaan di ladang menjadi lancar.Persagi dalam Proverawaty, dkk (2010), padausia 37-59 bulan rentan terhadap gangguangizi dan infeksi. Sehingga pemberian makananbergizi harus tetap menjadi perhatian orangtua. Anak menjadi konsumen aktif, yaitu anaksudah dapat memilih makanan yang disukainya.Akibat pergaulan dengan lingkungannya anakmulai senang jajan. Jika hal ini dibiarkan,jajanan dapat mengurangi asupan zat gizi yangdiperlukan oleh tubuh Balita.Menurut Soetjiningsih (1995) pada anak usia37-59 bulan, aktifitas yang dapat dilakukanantara lain berjalan-jalan sendiri, melompat danmenari. Kegiatan tersebut memerlukan energiyang besar, apabila energi yang keluarkan tidaksesuai dengan yang dibutuhkan maka akanmengakibatkan Balita tersebut kekuranganenergi atau mengalami gizi kurang.Pendapatan keluarga yang rendah dapatmenyebabkan terbatasnya daya beli yangmempengaruhi variasi menu yang disajikan.Keluarga dengan pendapatan terbatas besar,kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan

makanan yang diperlukan tubuh, setidaknyakeanekaragaman bahan makanan.Daerah penelitian termasuk daerah tandus,membutuhkan modal yang sangat besar apabilaingin bertanam holtikultura, sehingga masyarakatsulit bangkit dari kemiskinan. Hampir sepertigadari jumlah kepala keluarga adalah keluargamiskin, sehingga kemampuan mereka untukmemenuhi kebutuhan gizi sangat kurang.Menurut penelitian Dewi Novitasari A (2012)bahwa terdapat hubungan yang bermaknaantara pendapatan dengan gizi buruk-kurang(OR=21,000, CI 95%= 6,46-68,28). Pendapatanmerupakan faktor risiko gizi buruk-kurang, karenaakan berdampak pada daya beli makanan.Rendahnya kualitas dan kuantitas makananmerupakan penyebab langsung dari gizi burukpada Balita.Pendapatan adalah tingkat kemampuan masyarakatdalam membelanjakan pendapatannya dinilaiberdasarkan kebutuhannya serta merupakanfaktor yang menentukan kuantitas dan kualitaspangan yang dikonsumsinya (Berg, 1986).Rendahnya pendapatan merupakan salah satupenyebab rendahnya konsumsi pangan dan giziserta kurangnya status gizi.KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian, disimpulkansebagai berikut:1. Prevalensi gizi tidak baik pada Balita di DesaSaitnihuta, Kecamatan Doloksanggul, KabupatenHumbang Hasundutan, Provinsi SumateraUtara sangat tinggi (49,3%).2. Faktor dominan uang berhubungan denganstatus gizi Balita di Desa Saitnihuta, KecamatanDoloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan(p<0.05) adalah penentu keputusan (OR=16,2),kemudian berturut-turut diikuti pengetahuanibu (OR=6,6), jumlah anak (OR=4,3), umurBalita (OR=3,8), dan pendapatan (OR=3,7).

SARANSaran untuk petugas kesehatan dan pihakterkait lainnya:1. Dalam meningkatkan pengetahuan ibu tentangmakanan bergizi, sangat penting dilakukanpenyuluhan tentang gizi seimbang padaBalita terutama dalam kegiatan posyandu

48 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

disamping kegiatan penyuluhan yang telahdilakukan selama ini.2. Masyarakat melalui tokoh agama dan tokohmasyarakat perlu dihimbau untuk berpartisipasidalam posyandu sehingga dengan cepatterdeteksi Balita yang mengalami status gizipada Balita.3. Pertumbuhan dan perkembangan Balita diwilayah kerja setempat perlu dipantau denganmelibatkan kader-kader posyandu.4. Disamping memberikan penyuluhan kepadaibu yang mempunyai Balita, perlu dilakukanpendekatan/penyuluhan kepada keluargabesar (mertua) dalam hal menentukan menumakanan.UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih kepada semua pihakyang telah banyak memberikan bantuan dalampenyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKAAlimul Aziz. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. SalembaMedika, Jakarta.Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, Jakarta.Arisman Dr. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan.EGC, Cetakan III, Jakarta.Dahlan, Sopiyudin M. 2012. Statistik untukKedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika,Cetakan Kedua, Jakarta.Departemen Gizi dan Kesehatan MasyarakatFakultas Masyarakat Universitas Indonesia.2012. Cetakan VII, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta.Depkes RI. 2010. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh KembangAnak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.Jakarta.(______2010). Keluarga Sadar Gizi. Jakarta(______2010). Buku Standar Pemantauan PertumbuhanBalita dan Modul Pelatihan PenilaianPertumbuhan Anak. Jakarta.Endang. 2011. Kebutuhan Gizi Balita. Available:www/http:/digilib.unnes.ac.id. (Acessed: 12Desember 2012).Francin, Erna, dkk. 2010. Gizi dalam KesehatanReproduksi. EGC, Cetakan I, Jakarta.

Hidayat. 2010. Daur Kehidupan. EGC, Jakarta.Kemenkes RI. 2015. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). 2013.Kurniasih. 2010. Hubungan Perilaku Ibutentang Nutrisi dengan Status Gizi Balita diWilayah Kerja Puskesmas Jabung KabupatenMalang Tahun 2010. http://digilib. unimus.ac.id (diakses, 24 Maret 2012).Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Pendidikan danPerilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Cetakan I,Jakarta.( 2009). Metodologi Penelitian Kesehatan.Rineka Cipta, Cetakan III, Jakarta.(_______2011). Metodologi Penelitian Kesehatan.Rineka Cipta, Jakarta.Priyatno, Duwi, 2010. Paham Analisa StatistikData dengan SPSS. Media Kom, Cetakan I,Yogyakarta.Proverawati, dkk, 2009. Gizi untuk Kebidanan.Nuha Medika, Cetakan I, Yogyakarta.Profil Dinas Kesehatan Kabupaten HumbangHasundutan Tahun 2013Riwidikdo, Handoko. 2009. Statistik PenelitianKesehatan dengan Aplikasi Program R danSPSS. Pustaka Rihama, Cetakan I, Yogyakarta.RS Cipto Mangunkusuma. 2011. Penuntun DiitAnak. Jakarta.Santoso dkk. 2004. Kesehatan dan Gizi. RinekaCipta, Cetakan II, Jakarta.Sibagariang, Eva, dkk, 2010. Kesehatan ReproduksiWanita. Penerbit Trans Info Media, Jakarta.Vivi. 2015. Panduan Penentuan Skoring KriteriaKuesioner (Skala Pengukuran). Diakses 10Oktober 2015, http://lentera-ena.blogspot.com/2012/06/panduan-penentuan-skoring-kriteria.htmlWaryana. 2010. Gizi Reproduksi. Pustaka Rihama,Cetakan Pertama, Yogyakarta.Wijayanti, Amalia. 2005. Hubungan Pengetahuan,Sikap dan Tindakan Ibu Balita dengan StatusGizi Balita di Kabupaten Semarang Tahun2005. http://digilib.UNM.ac.id (diakses, 24Maret 2012).www.depkes.go.id. 2015. Hari Gizi Nasional.(diakses, 20 Juni 2015).Yasril, dkk. 2009. Analisis Multivariat UntukPenelitian Kesehatan. Mitra Cendikia Press,Cetakan Pertama, Yogyakarta.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 49

Peningkatan Peran Perawat dalam Penemuan Suspek TB di Kota Palu

Enhanced the Role of Nurses in the finding of Suspected TB in PaluIrfanita Dwi Yuniarti1, Lutfiah2, Sitti Rachmah3, Muh. Jusman Rau4, Herawanto4,Ari Probandari5,7, Chatarina Umbul Wahyuni,6,7, Sity Kunarisasi81Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2Fakultas Kedokteran, Universitas Alkhairaat, 3Dinas KesehatanKota Palu, 4Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Tadulako, 5Fakultas Kedokteran, UniversitasSebelas Maret, 6Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, 7Tuberculosis Operational Research Group,8Subdit TB, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI

AbstrakSebagai profesional kesehatan, perawat memiliki tugas dalam asuhan keperawatan. Beberapa kegiatan perawatan kesehatanmasyarakat, antara lain menemukan tersangka atau kasus TB. Pada 2013, perawat telah menemukan sebanyak 408tersangka TB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur peningkatan peran perawat dalam penemuan tersangka TBdi Palu. Penelitian ini menggunakan metode kuasi-eksperimen dengan sampel adalah total populasi (149 perawat) yangdibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok intervensi sebanyak 70 perawat, dan sisanya kelompok kontrol 79 perawat.Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Penemuantersangka TB lebih tinggi pada kelompok intervensi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Oleh karena itu, untukmeningkatkan cakupan suspek TB, diperlukan adanya upaya peningkatan peran perawat yang lebih intensif dalam penemuantersangka TB.Kata Kunci: Peran perawat, suspek TB, PaluAbstractAs health professionals, nurses have a duty in nursing care. Some of the activities of public health care, among others, to find asuspect or a TB case. In 2013, nurses have found as many as 408 suspected TB. The aim of this study was to measure theincrease in the role of nurses in the discovery of TB suspects in Palu. This study used a quasi-experimental sample is totalpopulation (149 nurses) were divided into two groups: the intervention group of 70 nurses, and the remaining 79 controlgroup of nurses. The results showed significant differences between the intervention group and the control group. Thediscovery of TB suspects was higher in the intervention group compared with the control group. Therefore, to increasecoverage with suspected TB, efforts are required to increase the role of nurses is more intensive in the discovery of TBsuspects.Keywords: Role of nurses, suspected TB, PaluAlamat Korespondensi: Muh. Jusman Rau, UniversitasTadulako, Provinsi Sulawesi Tengah, telp. 081355141216,e-mail: [email protected].

PENDAHULUANTuberkulosis (TB) adalah penyakit menularlangsung yang disebabkan oleh Mycobacteriumtuberkulosis. Sebagian besar kuman menyerangparu, tetapi dapat juga menyerang organ tubuhlainnya. Diperkirakan sekitar sepertiga pendudukdunia telah terinfeksi oleh Mycobacteriumtuberkulosis. Sekitar 95% kasus TB dan 98%kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara-negara berkembang. Demikian juga kematianwanita akibat TB lebih banyak dari padakematian karena kehamilan, persalinan dannifas (Depkes RI, 2011).

Meskipun prevalensinya menurun secarasignifikan dalam beberapa tahun terakhir,jumlah penderita TB di Indonesia masihterbilang tinggi. Bahkan, saat ini menempatiperingkat empat terbanyak di dunia. PrevalensiTB di Indonesia pada tahun 2013 adalah 297per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiaptahun mencapai 460.000 kasus (Kemenkes, 2013).Berdasarkan Laporan Situasi TerkiniPerkembangan TB di Indonesia 2013, angkapenemuan kasus/Case Detection Rate (CDR)lebih dari 70% dengan adanya peningkatankasus secara signifikan dari tahun ke tahun.Sulawesi Tengah termasuk dalam sembilanbelas propinsi yang belum memenuhi targetpenemuan kasus Case Detection Rate >70%.Walaupun demikian, jumlah kasus yang ditemukanserta angka penjaringan suspek secara umum

50 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahunsecara signifikan (Ditjen PP dan PL, 2011).Angka cakupan penemuan penderita TB diKota Palu sampai dengan tahun 2012 sebesar52,50% dengan jumlah suspek 5.177 orang, adapeningkatan dibanding tahun sebelumnya yanghanya 49,52% dengan jumlah suspek 5.081orang (Dinkes Kota Palu, 2012).Sebagai petugas kesehatan, perawat memilikitugas asuhan keperawatan. Beberapa kegiatanperawatan kesehatan masyarakat, antara lainpenemuan suspek atau kasus dan meningkatkankemandirian keluarga. Perawatan kesehatanmasyarakat merupakan program nasional yangtelah ditetapkan dalam Keputusan MenteriKesehatan RI Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006,dilaksanakan di seluruh puskesmas, namunsampai saat ini belum berjalan secara maksimal.Kota Palu sejak tahun 2009 telah menggiatkanprogram perawatan kesehatan masyarakat dansampai tahun 2011 telah memperlihatkan hasilyang baik meskipun belum signifikan.Berdasarkan data program TB dinas kesehatan,pada tahun 2009 perawat telah menemukan 55suspek TB, tahun 2010, 51 suspek TB, dantahun 2011, 33 suspek TB. Dari angka tersebut,tahun 2011 rata-rata penemuan suspek TBadalah 0,22 dengan jumlah perawat 149 orang.Program perawatan kesehatan masyarakat dikota Palu dilaksanakan oleh perawat yangbertugas di puskesmas dengan sasaran masyarakatyang berada di wilayah kerja puskesmas.Permasalahan dalam penelitian ini adalahrata-rata suspek TB yang ditemukan oleh perawatdalam 1 tahun terakhir masih sangat kecil,yaitu 0,22 dari jumlah perawat 149 orang. Olehkarena itu perlu dilakukan suatu intervensi untukmeningkatkan cakupan penemuan suspek TB.Tujuan penelitian ini adalah mengukurpeningkatan peran perawat dalam penemuansuspek TB di Kota Palu, yaitu denganmengidentifikasi kebutuhan perkesmas dalammelaksanakan program pengendalian TB untukmerancang intervensi pelatihan dan mengukurpengaruh pelatihan terhadap peningkatanperan perkesmas dalam meningkatkan angkapenemuan suspek TB.METODEPenelitian ini menggunakan metode kuantitatifdengan rancangan quasi Experimental berupa

Nonequivalent Control Group Design dimanaakan dilakukan intervensi pada kelompokperlakuan dan tidak dilakukan intervensi padakelompok kontrol. Pengaruh intervensi akandiukur setelah enam bulan dengan caramembandingkan rata-rata jumlah suspek yangditemukan pada kelompok intervensi denganrata-rata jumlah suspek yang ditemukan padakelompok kontrol. Selain itu, juga dilakukananalisis kualitatif dengan FGD dan wawancaramendalam terhadap suspek yang ditemukanperawat.Jumlah sampel dalam penelitian ini totalpopulasi, yaitu seluruh perawat yang bertugasdi wilayah kerja puskesmas di Kota Palu,Sulawesi Tengah. Pada kelompok kontrol sebanyak79 orang dan pada kelompok intervensi sebanyak70 orang yang terdistribusi di 12 puskesmas diKota Palu. Perawat pada kelompok intervensibertugas di wilayah Kecamatan Palu Barat danPalu Utara, sedangkan perawat pada kelompokkontrol bertugas di wilayah kecamatan PaluTimur dan Palu Selatan.Kriteria inklusi: 1)Perawat PNS; dan 2)Perawatyang bertugas di puskesmas, sedangkan kriteriaeksklusi: 1)Tidak bersedia mengikuti kegiatanpenelitian; dan 2)Tidak berada di tempat saatpenelitian.Pengumpulan data dilakukan sebanyak duakali, yakni sebelum intervensi dengan menggunakankuesioner untuk mengidentifikasi karakteristikperawat, serta pengumpulan data setelah intervensidilakukan dengan mengumpulkan data suspekyang ditemukan oleh perkesmas melalui formulirkhusus yang dicetak dan dicross-check denganlaporan TB (TB 06) dan buku kohor perkesmas.Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakanuji statistik regresi linier dan regresi poisondengan Stata, sedangkan analisis kualitatifdilakukan setelah dilaksanakannya FGD yangdihadiri oleh petugas dari 4 puskesmas (masing-masing 2 puskesmas dari kelompok kontroldan kelompok intervensi), dengan jumlah petugassebanyak 2 orang per puskesmas (koordinatorperkesmas dan pengelola TB puskesmas). SelainFGD, dilakukan wawancara kepada suspekyang ditemukan oleh perawat, namun tidakmemeriksakan diri ke puskesmas.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 51

HASILKarakteristik perawat perkesmas daerah intervensidan kontrol, dapat dilihat pada Tabel 1-8.Tabel 1. Distribusi frekuensi perawat menurut jeniskelamin dan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014Jenis kelamin

PuskesmasIntervensi Kontroln % n %Laki-laki 8 11,4 14 17,7Perempuan 62 88,6 65 82,3Total 70 100 79 100Tabel 1 menunjukkan, sebagian besar perawatdi daerah intervensi dan kontrol adalahperempuan, masing-masing 88,6% dan 82,3%Tabel 2. Distribusi frekuensi perwat menurut umurdan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014

Umur(tahun)

PuskesmasIntervensi Kontrol

n % n %20-24 2 2,9 1 1,325-29 13 18,6 12 15,230-34 29 41,4 34 43,035-39 8 11,4 9 11,440-44 10 14,3 9 11,4> 45 8 11,4 14 17,7Total 70 100 79 100Tabel 2 menunjukkan, sebagian besar umurperawat di daerah intervensi dan kontrol adalah30-34 tahun, masing-masing 41,4% dan 43,0%Tabel 3. Distribusi frekuensi perawat menurut pendidikandan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014Pendidikan

PuskesmasIntervensi Kontroln % n %SPK/Sederajat 19 27,1 17 21,5DIII Perawatan 45 64,3 55 69,6S1 Perawatan 6 8,6 7 8,9Total 70 100 79 100Tabel 3 menunjukkan, sebagian besar pendidikanperawat di daerah intervensi dan kontrol adalahDIII Perawatan, masing-masing 64,3% dan 69,6%.Tabel 4. Distribusi frekuensi perawat menurut masakerja dan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014

Masa kerja(tahun)

PuskesmasIntervensi Kontroln % n %< 5 15 21,4 14 17,75-10 31 44,3 33 41,811-15 5 7,1 5 6,3

16-20 2 2,9 8 10,1> 20 17 24,3 19 24,1Total 70 100 79 100Tabel 4 menunjukkan, sebagian besar masakerja perawat di daerah intervensi dan kontroladalah 5-10 tahun, masing-masing 44,3% dan41,8%.Tabel 5. Distribusi frekuensi perawat menurut tingkatpengetahuan dan puskesmas perlakukandi Kota Palu,2014Tingkat

pengetahuan

PuskesmasIntervensi Kontroln % n %Cukup 44 26,9 38 48,1Kurang 26 37.1 41 51.9Total 70 100 79 100Tabel 5 menunjukkan, sebagian besar tingkatpengetahuan perawat di daerah intervensi dankontrol adalah kurang, masing-masing 37,1%dan 51,9%.Tabel 6. Distribusi frekuensi perawat menurut motivasidan puskesmas perlakukan di Kota Palu, 2014

MotivasiPuskesmas

Intervensi Kontroln % n %Cukup 55 78,6 59 74,7Kurang 15 21,4 20 25,3Total 70 100,0 79 100,0Tabel 6 menunjukkan, sebagian besar motivasiperawat di daerah intervensi dan kontroladalah cukup, masing-masing 78,6% dan 74,7%.Tabel 7. Distribusi frekuensi perawat menurut bebankerja dan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014

Beban kerjaPuskesmas

Intervensi Kontroln % n %Rendah 44 62,9 35 44.3Tinggi 26 37,1 44 55,7Total 70 100 79 100Tabel 7 menunjukkan, sebagian besar bebankerja perawat di daerah intervensi adalah rendah(62,9%), sedangkan di daerah kontrol tinggi (55,7%).Tabel 8. Distribusi frekuensi perawat menurutpelatihan dan puskesmas perlakuan di Kota Palu, 2014

PelatihanPuskesmas

Intervensi Kontroln % n %Pernah 20 28,6 32 40,5Tidak Pernah 50 71,4 47 59,5Total 70 100 79 100

52 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Tabel 8 menunjukkan, sebagian besar pelatihanpada perawat di daerah intervensi adalah tidakpernah, masing-masing 71,4% dan 59,5%.Perbandingan jumlah suspek TB di puskesmasdan temuan perawat menurut puskesmasperlakuan di Kota Palu tahun 2014 dapat dilihatpada Gambar 1.

363

584

91 14045 88

10 120

200

400

600

800

Kontrol Intervensi

TotalSuspekPKM

TemuanPerkesmasGambar 1. Perbandingan jumlah suspek TB di puskesmasdan temuan perawat menurut puskesmas perlakuandi Kota Palu, 2014

Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah suspekTB di puskemas dan temuan perawat di daerahkontrol lebih rendah, masing 363 dan 91 kasusdibandingkan di daerah intervensi, masing-masing 584 dan 140 kasus.Perbandingan jumlah suspek TB, temuan,pemeriksaan dan jumlah BTA (+) di puskesmasdi daerah kontrol dan intervensi di Kota Palutahun 2014 dapat dilihat pada diagram alur(Gambar 2).

DiagramAlur

TOTAL SUSPEK KELOMPOKKONTROL

363

Ditemukan dandiperiksa PKM45 (49,45 %)

Ditemukan diluarPerkesmas (cara lain)

252 (69,42 %)

Ditemukan Perkemas140 (23,97%)

Ditemukan diluarPerkesmas (cara lain)

444 (76,02)

Ditemukan Perkemas91 (25,06)

TOTAL SUSPEK KELOMPOKINTERVENSI

584

Ditemukan dandiperiksa PKM

88 (62,85%)

Hasilnya BTA

10 (22,22%)

Hasilnya BTA

12 (13,63 %)

Gambar 2. Perbandingan jumlah suspek TB, temuan, pemeriksaan dan jumlah BTA (+) di puskesmas di daerahkontrol dan intervensi di Kota Palu, 2014.Ganbar 2 menunjukkan bahwa di puskesmasdi daerah kontrol, total suspek TB sebanyak363, ditemukan bukan oleh perawat sebanyak252 (69,42%), ditemukan perawat sebanyak 91(25,06%), ditemukan dan diperiksa puskesmassebanyak 45 (49,45%), dan BTA positif sebanyak10 (22,22%). Sedangkan di puskesmas di daerahintervensi, total suspek TB sebanyak 584,

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 53

ditemukan bukan oleh perawat sebanyak 444(76,02%), ditemukan perawat sebanyak 140(23,97%), ditemukan dan diperiksa puskesmassebanyak 88 (62,85%), dan BTA positif sebanyak12 (13,63%).Rerata perbedaan penemuan suspek TBsebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat

pada Tabel 9 dan Gambar 3 rasio proporsi suspekTB yang memeriksakan diri ke puskesmassebagaimana terlihat pada Tabel 10, rasioproporsi suspek yang BTA+ pada Tabel 11, danrasio proporsi suspek yang BTA+ pada Tabel 12.Tabel 9. Rerata perbedaan penemuan suspek TB sebelum dan sesudah intervensi di Kota Palu, 2014

Kelompok Waktu Rerata suspek TB SE 95%CIKontrol Sebelum intervensi 9 4,1 0,96-17.04 Sesudah intervensi 15,17 4,1 7,12 -23,21Beda 6,1 0 6,15-6,17Intervensi Sebelum intervensi 13 4,1 4,95-21,01 Sesudah intervensi 23,2 4,1 15,29-31,38Beda 10,2 0 10,33-10-34Beda 4,1 8,16

010

2030

Linea

r Pred

iction

sebelum sesudahwaktu pengamatan

kontrol intervensi

Adjusted Predictions of status#waktu with level(95)% CIs

Gambar 3. Perbandingan beda penemuan suspek sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol danintervensi.Tabel 10. Perbedaan rerata penemuan suspek TB antara kelompok control dan intervensi dan kelompok kontrolsetelah dikontrol dengan konfoundingPerbedaan rerata SE p 95%CI

Crude 4,17 8,2 0,62 -12,45-21,28Adjusted* 4,17 5,72 0.48 -8,02-16,35

54 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Tabel 11. Rasio proporsi suspek yang memeriksakan diri ke Puskesmas yang ditemukan oleh Perkesmas di KotaPalu Tahun 2014Rasio proporsi SE p 95%CI

Crude 1,27 0,23 0.19 0.08-1.02Adjusted* 1,35 0.32 0.18 0.87-2,11

Tabel 12. Rasio proporsi suspek yang BTA+ yang ditemukan oleh perkesmas di Kota Palu, 2014Rasio roporsi SE p 95%CI

Crude 0,61 0,26 0,25 0,27-1,42Adjusted* 1,05 0,56 0,93 0,37-3,01

Hasil FGD, untuk mengetahui kebutuhanintervensi/pelatihan adalah sebagai berikut:Pendapat pasien mengenai peran puskesmasdalam program pengendalian TB Paru Menyebutkan semua peranan perawat

(dalam hal ini yang dimaksud perawatadalah perawat di puskesmas yang berperandalam kegiatan perawatan kesehatanmasyarakat/”Perkesmas”), dalam pengendalianTB paru, mulai dari penemuan suspek TB,pemeriksaan sputum, pengobatan dan evaluasi:”sampai saat ini masih dalam tahappenemuan suspek, sedangkan pada tahappemeriksaan sputum menjadi tanggung jawabpetugas TB di puskesmas, demikian jugapengobatan dan evaluasi, hanya sebagianyang melakukan dan belum maksimal”

Menggali informasi siapa saja yang sudahberperan dan yang belum berperan dalamprogram pengendalian TB: ”yang berperanaktif selama ini adalah petugas TB puskesmas,sedangkan perawat puskesmas berpartisipasisecara pasif, yaitu jika dibutuhkan bantuannya”

Menggali informasi tentang alasan mengapabisa dan tidak bisa berperan dalam programpengendalian TB Paru: ”karena merupakantugas pokok, untuk melakukan kegiatanPERKESMAS, namun selama ini untuk seluruhpenyakit, tidak spesifik pada TB. Namun bagiyang tidak berperan karena banyaknyakegiatan dan tugas lain yang harus dilakukan”

Masalah yang dihadapi dalam kegiatan perawat,terutama dalam program pengendalian TB Masalah yang berhubungan dengan diri perawat- Tugas rangkap

- Kurangnya keterampilan dan pengetahuantentang TB- Beban kerja terlalu berat Masalah yang berhubungan dengan kebijakan- Program TB oleh perawat belum menjadikeharusan dan bukan prioritas, karenamerasa ada yang bertanggungjawab, yaitupetugas TB puskesmas- Kepala peskesmas merasa kegiatan tersebutsudah menjadi tanggung jawab koordinatorprogram. Masalah yang berhubungan dengan motivasi- Merasa tupoksi yang dilakukan terlalubanyak, antara lain karena beban kerjadianggap tinggi, koordinasi lintas programbelum maksimal.- Kegiatan perawat dianggap belum memberikanpengaruh terhadap pengembangan karir.- Merasa belum nyaman dalam pelaksanaankegiatan perawat, karena beban kerja danpengembangan karir yang belum jelas.- belum ada insentif dari kegiatan perawat- Belum merata dana operasional di seluruhpuskesmas Masalah yang berhubungan dengan fasilitas

”Dukungan fasilitas belum merata untukpelaksanaan kegiatan perawat di seluruhpuskesmas”

Kendala/hambatan dalam melaksanakankegiatan perawat terutama dalam programpengendalian TB Kendala/hambatan yang berhubungan diriperawat?- Pengetahuan dasar TB- Pengetahuan perawat tentang kriteria suspekTB masih rendah

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 55

Kendala/hambatan yang berhubungan denganjenis peran perawat dalam program pengendalianTB- Dukungan logistik (pot, Alat Pelindung Diri)dalam hal ketersediaan tidak cukup- Masih adanya stigma di kalangan masyarakatmengenai TB- Mobilisasi penduduk yang cukup tinggi(tidak menetap) membuat perawat kesulitandalam melakukan kegiatan. Harapan untuk mendukung peranan perkesmasterutama dalam program pengendalian TB Paru

- Pengetahuan?“Peningkatan pengetahuan PERKESMAS tentangprogram TB”.- Keterampilan?“keterampilan berkomunikasi dengan masyarakatdan keterampilan melakukan asuhan keperawatantentang TB”.- Ketersediaaan Logistik“tersedia logistik yang memadai untukmelaksanakan program TB”. Hasil indeptinterview, alasan suspek TB tidak berkunjungke puskesmas dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Alasan suspek TB yang tidak berkunjung ke puskesmas menurut puskesmas perlakuanPuskesmas Kode

informanKategori hambatan

Transportasi Kesibukan Kesadaran Ekonomi Persepsi sakit

IntervensiHSN saya juga tidakada kendaraandan tidak tahujuga bawakendaraan

Biaya kePuskesmascukup mahal,PP itu sampai20 ribuRKY kendaraanumum jarangdatang, jadinyasulit kepuskesmassaya tidakada biaya kepuskesmas saya bukanmenderitapenyakit paru-paru, Cuma alergisaja

MNR sibuk kerja, sayamendingan kerjadari pada kepuskesmas, Cumasakit batuk juga....kalau batuk-batuk, beli sajaobat di apotik,nanti sembuhsendiri

Kontrol RWN bekerja dilapangan sayasampai hari sabtu,jadi tidak sempatke puskesmassaya sakitbiasa saja, inikarena Cumamerokok sajajadinya batuk

saya hanya batukkarena rokok dankerja di lapanganuang berdebu....IRW tidak ada yangantar dankendaraan umumjarang ada

jaga anak kecildirumah saya cuma batuk-batuk biasa sajaHasil FGD, hambatan dan kendala perawat Hambatan- Masih ada tugas rangkap, karena kekuranganSDM.- Kendala teknis sering dialami perawat,misalnya lokasi binaan yang sulit, kendaraandan kemampuan mengendarai kendaraan.- Mengajak keluar gedung perawat untukmelakukan kegiatan masih sulit, karenakebiasaan kerja dalam gedung.- Ada perawat yang takut

- Ada beberapa suspek TB yang sudah ditemukandi lapangan tidak datang memeriksakandiri ke puskesmas dengan berbagai alasan.- Masih ada perawat yang kurang memahamiciri-ciri dan penyebab penderita TB maupuntanda-tanda dan gejala.- Pencatatan kurang lengkap pada bukukohort perkesmas.- Suspek TB yang di sekitar rumah sakitbiasanya datang memeriksakan diri ke rumahsakit dan dokter praktik.- Bahan materi KIE seperti leaflet masihkurang, dan lembar balik yang tidak tersedia

56 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kebutuhan yang dibutuhkan perkesmasdalam memaksimalkan kinerja- Perlunya pemberian informasi pada perawattentang penyakit yang ada di masyarakattermasuk TB- Tupoksi perlu dibuatkan alur sistemnya/SPO (Standar Prosedur Operasional)- Pemberian reward lain kepada perawatyang berprestasi- Memaksimalkan koordinasi antara pengelolaTB dan koordinator perawat- Dukungan perlu ditingkatkan, termasukketersediaan dana operasional- Atasan memberikan punishment/teguran kepadaperawat yang tidak menjalankan kegiatanperawat (perawatan kesehatan masyarakat).- Tersedianya buku panduan dengan indikatoryang jelas Upaya yang pernah dilakukan petugas- Untuk kelengkapan pelaporan, perawatmembuat buku bantu- Untuk mengatasi banyaknya pekerjaan dipuskesmas, maka pembinaan dilakukandiluar jam kantor- Pelatihan dan pemberian informasi kepadasebagian perawat.- Merujuk suspek TB ke rumah sakit yangmemiliki gejala TB seperti keringat padamalam hari, tapi batuk tidak berdahak.

PEMBAHASAN

Mengidentifikasi kebutuhan perawat dalammelaksanakan program pengendalian TBuntuk merancang intervensiBerdasarkan pengumpulan data awal yangdilakukan menggunakan kuisioner menunjukkanbahwa rata-rata pengetahuan dasar perkesmastentang tuberkulosis masih rendah. Hal inimendasari pentingnya intervensi berupa pelatihan.Sampai saat ini peran perawat di Kota Palumasih dalam tahap penemuan suspek TB,sedangkan pada tahap pengobatan belumdilakukan secara optimal.Hasil lainnya bahwa dalam programpengendalian TB yang paling berperan aktifselama ini adalah petugas TB puskesmas,sedangkan perawat (untuk kegiatan perawatankesehatan masyarakat), hanya berpartisipasisecara pasif, yaitu jika dibutuhkan bantuannya.

Sedangkan alasan ikut berperan dalam programpengendalian TB, karena merupakan tugas pokok,dan selama ini kegiatan perawat dilakukanuntuk seluruh penyakit, tidak spesifik pada TB.Namun bagi yang tidak berperan alasannyaadalah, karena banyaknya kegiatan dan tugaslain yang harus dilakukan serta kegiatan perawattidak berpengaruh dalam pengembangan karir.Masalah yang dihadapi dalam kegiatan perawat,terutama dalam program pengendalian TByang berhubungan dengan diri perawat, yaitutugas rangkap, dana operasional yang kurang,kurangnya keterampilan dan pengetahuantentang TB dan beban kerja terlalu berat.Secara umum pelatihan diharapkan dapatmeningkatkan peran perawat dalam programpengendalian TB khususnya penemuan suspekTB, serta mampu memberikan Komunikasi,Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakatserta membuat perawat merasakan betapapenting peran dalam program TB. Sebagai upayapemberian motivasi kepada perawat, perlupemberian penghargaan bagi perawat berprestasi,serta kritik/saran yang membangun padaperawat dengan kinerja yang kurang baik,sehingga pelaksanaan perawat ke depan semakinoptimal.Karakteristik perawatFaizin dan Winarsih (2008), menemukanbahwa ada hubungan yang bermakna antaratingkat pendidikan dan masa kerja dengankinerja perawat. Hal ini membuktikan bahwafaktor yang dapat meningkatkan kinerjaperawat adalah pendidikan formal perawat.Pendidikan memberikan pengetahuan bukansaja yang langsung dengan pelaksanaan tugas,tetapi juga hal lain untuk mengembangkan diridan kemampuan memanfaatkan sarana yangdapat menunjang kelancaran tugas. Sedangkanmasa kerja merupakan faktor yang mempengaruhikarena semakin lama seseorang bekerja makadiharapkan pengalaman dan keahliannya semakinbaik, karena pekerjaan tersebut merupakankegiatan yang dilakukan oleh perawat secaraberulang-ulang.Pengetahuan perawat juga berperan dalamkinerja perawat dalam melakukan kegiatanKIE, sehingga masyarakat dengan mudahmengikuti anjuran perawat terutama untukmelakukan upaya-upaya pengobatan. Banyaksuspek TB yang ada di masyarakat dan termasuk

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 57

keluarga rawan tetapi tidak memeriksakan dirike puskesmas karena kemampuan Komunikasi,Informasi dan Edukasi (KIE) perawat dalammenyampaikan informasi tentang penyakit TBmasih rendah.Motivasi kerja memainkan peran pentingdalam meningkatkan kinerja perawat. Untukmenjaga efektivitas dan pengembangan, atasanperlu mengadopsi sistem motivasi yang jelasdan dapat dicapai dalam organisasi. Ayyashdan Aljeesh (2011), mengemukakan bahwaperawat yang memiliki motivasi yang baikakan memiliki kinerja yang baik dalammenjalankan tugas dan tanggungjawabnya.Suarli dan Bahtiar (2009) menyebutkan bahwamotivasi merupakan salah satu faktor yangdapat mempengaruhi kinerja seseorang, dimanakinerja merupakan hasil kerja secara kualitasdan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorangpegawai dalam melaksanakan tugas sesuaidengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.Untuk meningkatkan motivasi perawat dalammembina keluarga binaanya, maka perlu ditetapkantarget kinerja setiap perawat di lapangan.Selain itu perlu diberikan penghargaan bagiperawat yang beprestasi. Dan yang lebihpenting adalah penetapan SKP (satuan kreditpoin) oleh organisasi profesi dalam hal iniadalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia(PPNI), berkoordinasi dengan pimpinan instansi.Secara umum pada penelitian ini bahwa tidakada pebedaan karakteristik perawat antarakelompok intervensi dan kontrol. Begitu jugadalam analisis menunjukkan bahwa karakteristikperawat yang secara subtansi dianggap faktorpengganggu, secara statistik tidak bermakna.Peran Perawat dalam penemuan suspek TBdi daerah intervensi dan kontrolDari hasil analisis multivariat dengan regresilinear untuk melihat perbedaan rerata,menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-ratapenemuan suspek TB antara kelompok intervensidan kelompok kontrol sebesar 4,1. Perbedaanini sudah memasukkan faktor pengganggu ataukonfounding yaitu jenis kelamin, masa kerja,pengetahuan, motivasi, beban kerja dan pernahmengikuti pelatihan.Hasil ini menggambarkan bahwa setiapperkesmas pada kelompok intervensi menemukan4 suspek TB, maka kelompok kontrol hanyamenemukan 1 (satu) suspek TB. Meskipun

secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Hasilini sama dengan penelitian sebelumnya di KotaPalu tentang faktor-faktor yang mempengaruhipenemuan penderita TB paru di Kota Palubahwa tidak ada hubungan yang bermaknasecara statistik antara pengetahuan petugas TBdan penemuan penderita TB paru dan tidakada hubungan yang bermakna secara statistikantara lama kerja dan penemuan penderita TBparu. Penelitian ini juga menemukan bahwatidak ada hubungan yang bermakna secarastatistik antara tugas rangkap dan penemuanpenderita TB paru (Awusi et al, 2008).Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitiandi Yogyakarta yang menemukan bahwa adahubungan yang bermakna secara statistikantara pengetahuan petugas kesehatan danpenemuan penderita TB. Kecenderungan inidimungkinkan karena pada kelompok intervensitelah ada peningkatan pengetahuan pada perawattentang kebijakan program pengendalian TB,penemuan suspek TB, monitoring pengobatanTB serta KIE. Hasil uji univariat pengetahuanperawat di Kota Palu untuk kategori cukuplebih tinggi (62,9 %) pada kelompok intervensidibandingkan dengan pada kelompok kontrol(51,9%).Kecenderungan peningkatan penemuan suspekTB pada kelompok intervensi ini sama denganhasil penelitian Duhri (2012) di KabupatenWajo yang menunjukkan bahwa petugasdengan pengetahuan baik dan kinerja baiksama besar dengan petugas yang memilikipengetahuan baik dan kinerja kurang danpetugas yang memiliki pengetahuan kurangdan kinerja kurang lebih banyak dibandingpetugas yang memiliki pengetahuan kurangdan kinerja baik dalam penemuan penderitaTB paru. Hal ini mengindikasikan bahwapengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatankinerja perawat dalam penemuan suspek TB.Salah satu hal yang mendasari masihkurangnya penemuan suspek TB adalah belumlengkapnya pencatatan dan pelaporan dariperawat pada saat melaksanakan pembinaankeluarga rawan, sehingga banyak suspek TByang ditemukan, tapi tidak tercatat dalam bukukohort perkesmas.

58 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Proporsi Suspek yang memeriksakan dirike puskesmasTingkat kecenderungan perbedaan proporsimenunjukkan bahwa ada pengaruh pelatihanyang diberikan pada kelompok intervensiterutama tentang penemuan suspek TB danKIE. Hal ini mengindikasikan bahwa pelatihanyang diberikan pada perawat kelompokintervensi merupakan faktor positif dalammenunjang kinerja perawat dalam meningkatkanpartisipasi suspek TB untuk datang kepuskesmas dan memeriksakan dahaknya.Penelitian Awusi et al (2009), menemukanbahwa ada hubungan yang bermakna antarapelayanan KIE TB dengan penemuan penderitaTB paru. Hal ini memperkuat bahwa KIEmemiliki dampak yang cukup baik dalammelaksanakan program pengendalian TB. SelainKIE, faktor lain yang dianggap berpengaruhadalah karakteristik responden antara laintingkat pendidikan, masa kerja, pengetahuan,motivasi, beban kerja dan riwayat pelatihan TByang pernah diikuti.Hasil indepth interview ditemukan data tentangsuspek tidak datang ke puskesmas karenaberbagai alasan, antara lain adanya stigmamasyarakat bahwa penyakit TB adalahpenyakit yang memalukan dan kepercayaanmasyarakat bahwa penyakit TB tidak dapatdisembuhkan oleh kedokteran juga dianggapmenjadi penyebab masyarakat malu untuk berobat.Peran perawat diharapkan memberikan KIEkepada pasien agar mereka dapat mempertahankantingkat kesejahteraan yang optimum, mencegahpenyakit, menangani penyakit, dan mengembangkanketerampilan sehingga bisa memberikanperawatan pendukung bagi anggota keluarga(Bastabel, 2008). Sesuai dengan ruang lingkupkeperawatan tersebut, perawat berperan sebagaipendidik dalam menjalankan tugasnya sesuaidengan hak dan kewenangan yang ada. Sebagaipendidik, perawat berperan memberikanpendidikan kesehatan bagi individu, keluargadan masyarakat sebagai upaya menciptakanperilaku yang kondusif bagi kesehatan (Asmadi,2008).Salah satu yang harus dilakukan oleh perawatuntuk mengoptimalkan kegiatan pembinaankeluarga rawan dalam hal ini suspek TB yangditemukan adalah melakukan KIE agar suspekTB yang ditemukan memeriksakan diri atau

berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan ataupuskesmas.Proporsi BTA positif diantara suspek yangmemeriksakan diri pada daerah intervensidan kontrolProporsi suspek yang BTA (+) dari suspekTB yang ditemukan dan datang ke puskesmasuntuk memeriksakan dahaknya pada kelompokintervensi yakni 13,63% sudah memenuhistandar nasional (5%-15%). Hal ini dimungkinkan,karena petugas perkesmas pada kelompokintervensi mendapat materi lebih mendalamtentang kriteria suspek TB dalam pelatihandibandingkan dengan kelompok kontrol,sehingga pada saat perawat melaksanakanpembinaan keluarga rawan di wilayah tanggungjawabnya, mereka menemukan suspek TBsesuai kriteria suspek TB dan menganjurkansetiap suspek TB untuk datang memeriksakandahaknya ke puskesmas.Di lain pihak, perawat pada kelompokkontrol tidak mengetahui kriteria suspek TBsecara khusus, sehingga proporsi suspek TByang ditemukan oleh perawat pada kelompokkontrol sebesar 22% yang menggambarkanpenemuan suspek secara ketat. Hal inidimungkinkan karena masih banyak suspek TByang belum ditemukan pada kelompok kontrol.Perawat pada kelompok kontrol dalam menentukanseseorang suspek TB sangat selektif, yangmemenuhi kriteria TB tahap lanjut sepertiberat badan turun, batuk berdahak sampaiberdarah yang didiagnosis suspek TB. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa perawatperlu dibekali dengan pengetahuan kriteriasuspek TB pada saat lokakarya mini yangsudah rutin di setiap puskesmas atau padarapat dan kegiatan rutin lainnya di puskesmas.Salah satu faktor lain yang mempengaruhihasil BTA positif pada sputum TB adalah kualitasdan kuantitas sputum yang baik. Penelitian inimenunjukkan bahwa perkesmas juga melakukanpengambilan sputum di lapangan, sedangkanpengetahuan dan keterampilan pengambilansputum yang baik hanya dimiliki pengelola TB.Peran perawat dalam program pengendalianTB di Indonesia khususnya dalam penemuansuspek TB diharapkan dalam kegiatan penyuluhandan penemuan suspek TB. Suspek TB yangditemukan pada keluarga rawan kesehatandianjurkan untuk memeriksakan diri ke pengelola

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 59

TB puskesmas tanpa dibekali pot sputum.Penelitian yang dilakukan oleh Maleseme dipapua Barat tahun 2010 menunjukkan bahwaada perbedaan suspek dengan hasil BTA (+)pada kelompok intervensi (yang diberikanpenyuluhan) dengan kontrol (tanpa penyuluhan).KESIMPULAN1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuanperawat tentang TB relatif rendah.2. Belum adanya pembagian tugas yang jelasdalam program pengendalian TB antaraperawat dan pengelola TB puskesmas3. Perawat belum optimal dalam memberikanpenjelasan tentang penyakit TB pada suspekyang ditemukan4. Kurangnya motivasi perawat dalam melaksanakanprogram pegendalian TB5. Pencatatan dan pelaporan perawat dalamsetiap kegiatan di lapangan termasuk penemuansuspek TB tidak lengkap.6. Belum ada dalam Tupoksi agar perawatmelakukan penemuan suspek TB7. Ada pengaruh pelatihan dengan peningkatanpenemuan suspek TB

SARAN1. Pemerintah Daerah mengalokasikan danauntuk penemuan suspek TB, pengobatan,pemeriksaan laboratorium dan rontgen,serta monitoring pengobatan.2. Dinas Kesehatan Kota Palu Perlu kebijakan berupa pembagian tugasPengendalian TB antara Petugas Perkesmasdan Pengelola TB Puskesmas Kepala dinas berkoordinasi dengan organisasiprofesi (PPNI) untuk memberikan SKP padaperawat yang menemukan suspek TN Perlu kebijakan berupa penghargaan bagiperawat berprestasi Perlu pemantauan dan penilaian oleh bidangpelayanan dasar dalam kegiatan pencatatandan pelaporan hasil kerja perawat dalammembina keluarga binaannya. Perlu Tupoksi perawat dalam Penemuansuspek TB3. Petugas Perkesmas Perlu peningkatan pengetahuan perawattentang TB melalui pelatihan, on the job

training, sosialisasi/workshop atau kegiatanlainnya Perlu penyuluhan intensif menggunakanmedia seperti lembar balik dan leaflet didaerah binaan yang bermasalah kesehatan.

UCAPAN TERIMA KASIHKepada semua pihak yang telah membantudalam pelaksanaan penelitian ini.DAFTAR PUSTAKAAdisasmito. 2005. Presepsi pegawai dinas kesehatan

kabupaten Bogor terhadap penilaian prestasikerja. Jurnal, akses 28 Mei 2012.Al-Kandari F, Thomas D. 2006. Adverse nurseoutcomes: correlation to nurses’ workload,staffing, and shift rotation in Kuwaiti hospitals,Applied Nursing Research 21 (2008) 139– 146Ayyash, H,Yousef A. 2011. Nurses' Motivationand their Performance at European GazaHospital in Gaza Strip, Journal of Al AzharUniversity-Gaza (Natural Sciences), 2011, 13: 55-68Awusi RYE, Yusrizal D, Yuwono D. 2009.Faktor-faktor yang mempengaruhi penemuanPenderita TB paru di kota Palu Provinsi SulawesiTengah, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.25, No. 2.Awosusi, 2011, Motivation and jon paformancesamong nurses in the ekiti State Environmentof Nigeria.Bestable, S.B 2002, Perawat sebagai pendidik:Prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran,Alih Bahasa: Gerda Wulandari & GiyantoWidiyanto, Penerbit Buku Kedokteran EGC,JakartaCrofton J, Horne N, Miller F, 2002, TuberkulosisKlinis Edisi 2.Widya Medika: Jakarta.Danusantoso, H. 2000, Buku Saku Ilmu PenyakitParu.Hipokrates: Jakarta.Demas, F. 2007, Study Penggunaan obat antituberkulosis (penelitian pada bagian penyakitparu rsu. dr. soetomo surabaya), UniversitasAirlangga, Surabaya.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2006. Keputusan Menteri Kesehatan RepublikIndonesia Nomor 279/Menkes/SK/IV/2006Tentang Pedoman Penyelenggaraan UpayaKeperawatan Kesehatan Masyarakat DiPuskesmas, Depkes RI, Jakarta.

60 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Departemen Kesehahatan Republik Indonesia.2007. Pedoman Nasional PenanggulanganTuberkulosis edisi 2 cetakan pertama, DepkesRI, Jakarta.Departemen Kesehatan Republik Indonesiadan Ikatan Dokter Indonesia . 2009. Pedomannasional penanggulangan tuberkulosis, Depkesdan IDI, Jakarta.Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah. 2011. ProfilKesehatan Sulawesi Tengah Tahun 2010,Dinkes Sulawesi Tengah, Palu.Dinas Kesehatan Kota Palu. 2011. Profil Kesehatankota Palu tahun 2011, Dinkes Kota Palu, Palu.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit danPenyehatan Lingkungan. 2011. Laporan situasiterkini perkembangan tuberkulosis di IndonesiaJanuari-Juni 2011. Ditjen PP&PL KementerianKesehatan, Jakarta.Duffield, O’brien-Pallas L. 2003. The causes andconsequences of nursing shortages: a helicopterview of the research, Australian Health Review,[Vol 26, No 1] 2003Duhri AP, Laida I, Asariadi. 2012. Kinerja petugaspuskesmas dalam penemuan penderita TBparu di Puskesmas kab. Wajo, Tesis 2012Emma M. 2010. Pengaruh pemberian penyuluhanpada penderita suspek tuberkulosis paruterhadap hasil pemeriksaan sputum basiltahan asam (BTA) di RSUD. Sele be solu kotasorong provinsi Papua barat.Faizin dan Winarsih. 2008. Hubungan tingkatpendidikan dan lama kerja perawat dengankinerja perawat di RSU Panda ArangKabupaten Boyolali.Berita Ilmu KeperawatanVol . 1 No.3, September 138 2008 : 137-142Gurses. 2007. Peformance obstancles of intensiveare nurses in Wisconsin Hospital. Jurnal, akses25 Mei 2012.Haryanto, Ginandjar P, Wuryanto MA. 2005.Perbedaan batuk efektif metode pursed LIPBreathing terhadap kualitas sputum, JurnalKesehatan Masyarakat UnimusIswanto, Y. 2003. Manajemen Sumber DayaManusia. Jakarta; Universitas Terbuka.Ivancevich JM, Konopaske R, Matteson MT.2008. Perilaku dan Manajemen Organisasi,jilid 1 dan 2, Erlangga, Jakarta.

Kementrian Kesehahatan Republik Indonesia.2011. Pedoman Nasional PenanggulanganTuberkulosis edisi 2, Kementerian KesehatanRI, Jakarta.Martini. 2007. Hubungan karakteristik perawat,sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitasdengan pendokumentasian asuhan keperawatandi rawat inap BPRSUD Kota Salatiga, tesis.Akses 28 Mei 2012.Mathis R.L, Jackson JH. 2002. Manajemen SumberDaya Manusia, Salemba Empat, JakartaMangkunegara A. 2005. Evaluasi Kinerja SDM.Refika Aditama, BandungMedia, Y. 2011. Faktor-faktor sosial budayayang melatarbelakangi randahnya cakupanpenderita tuberkulosis (TB) paru di pukesmaspadang kandis, kecamatan guguk kabupaten50 kota (Provinsi Sumatera BaratPamungkas. 2008. Hubungan antara faktorpengetahuan, sikap dan kepercayaan denganperilaku ibu berkunjung ke posyandu III kelurahanGrabab, kecamatan Grabag. Magelang, skripsiSiregar. 2008. Pengaruh motivasi terhadapkinerja perawat pelaksana di ruang rawatinap RSUD Swadana Tarutang TapanuliUtara, tesis.Sumarna J. 2013. Analisis Kebutuhan Diklat(Training Need Analys = Akd/Tna)SebagaiSuatu Solusi Lahirnya Program Diklat, Artikel.Suharjana B. 2004. Pelaksanaan penemuanpenderita Tuberkolosis di kabupaten Sleman.Tesis tidak dipublikasikan Program pascasarjanaUGM Jogjakarta.Suarli, M & Bahtiar, Y. 2009. Manajemen Keperawatandengan Pendekatan Praktis, Penerbit Erlangga,Jakarta.Thimalioos. 2011. Hubungan antara pengetahuandan motivasi perawat dengan tata laksanapneumonia balita di puskesmas KabupatenTimur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.SkirpsiWinardi. 2001. Motivasi dan pemotivasiandalam manajer, Rajawali Press, Jakarta.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 61

Survei Epidemiologi Taeniasis/Sistiserkosis dan Soil Transmitted Helminthiasesdi Kabupaten Gianyar dan Karangasem, Bali, 2013

Epidemiological Survey of Taeniasis/Cysticercosis and Soil Transmitted Helminthiasesin Gianyar and Karangasem Districts, Bali, 2013Toni Wandra1, Kadek Swastika2, John M. Saragih3, Ivan Elisabeth Purba1

1Direktorat Pascasarjana, Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan, Sumatera Utara,2Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, 3Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RIAbstrakTaeniasis perlu mendapat perhatian dengan adanya perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain, kebiasaanmembuang air besar tidak pada tempatnya (toilet), tidak mengandangkan ternak sapi/babi (berkeliaran), kebiasaan makandaging sapi/babi yang mentah/kurang matang, serta higiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Sistiserkosis(neurosistiserkosis) merupakan salah satu penyakit yang berbahaya dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Hinggasaat ini kasus-kasus taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, terutamaBali, Papua, dan Sumatera Utara. Untuk mengetahui situasi masalah taeniasis/sistiserkosis termasuk Soil TransmittedHelminthiasis (STH) tahun 2013, dilakukan survei epidemiologi taeniasis/sistiserkosis dan STH sekaligus pengobatanpenderita di Kabupaten Gianyar dan Karangasem pada bulan Januari dan September 2013. Lokasi survei adalah di salah satuatau lebih kecamatan di masing-masing kabupaten. Populasi survei adalah semua penduduk (anggota keluarga dari semuarumah tangga) yang berdomisili di salah satu atau lebih desa di masing-masing kecamatan, sedangkan populasi sampeladalah semua penduduk (anggota keluarga dari semua rumah tangga) yang berdomisili di salah satu atau lebih Banjar(dusun) di masing-masing desa. Hasil survei menunjukkan bahwa dua dari 9 kabupaten/kota yang ada di Bali masihmerupakan daerah endemis taeniasis/sistisekosis, yaitu Kabupaten Gianyar (T. saginata taeniasis) dan Karangasem(T. solium taeniasis/sistisekosis). Faktor risiko (dominan) taeniasis/sistiserkosis adalah kebiasaan makan lawar sapimentah/kurang matang untuk T. saginata taeniasis, lawar babi mentah/kurang matang untuk T. solium taeniasis, sertahigiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik untuk sistiserkosis.Kata kunci: Taeniasis, sistiserkosis, STH, Gianyar, Karangasem, BaliAbstractTaeniasis require special attention, due to movements of people from one area to another, the defecation habits is not in itsplace (toilet), do not keep cattle/pigs indoor (roam free), consumption of uncooked or udercooked beef/pork, and poor ofhygiene and environmental sanitation. Cysticercosis (neurocysticecosis) is one of dangerous disease that a public healthproblem. Up to now, cases of taeniasis/cysticercosis has been widely reported and spread across several provinces inIndonesia, mainly Bali, Papua and North Sumatra. To determine the problen situation of taeniasis/cysticercosis and STH in2013, an epidemiological survey including treatment of the patient was carried out in Gianyar and Karangasem Districts, Baliin January and September 2013. Location survey were one or more sub-districts in each district. Population survey were allresidents (family members of all households), which is domiciled in one or more villages in each sub-district, while thepopulation sample were all residents (family members of all households), which is domiciled in one or more of Banjar (sub-village) in each village. The survey results showed that, two of the nine districts/city in Bali are still endemic fortaeniasis/cistycecosis, they are Gianyar District (for T. saginata taeniasis) and Karangasem (for T. soliumtaeniasis/cistycercosis). The most important risk factors were consumption habit of uncooked/undercooked ‘beef lawar’ forT. saginata taeniasis, uncooked/undercooked ‘pork lawar’ for T. solium taeniasis, and poor hygiene and environmentalsanitation for cysticercosis.Key words: Taeniasis, cysticercosis, STH, Gianyar, Karangasem, BaliAlamat korespondensi: Toni Wandra, Program StudiMagister Ilmu Kesehatan Masyarakat, DirektoratPascasarjana, Universitas Sari Mutiara Indonesia, Jl.Kapten Muslim No. 79 Medan, Hp. 081388422934, e-mail:[email protected]

PENDAHULUANTaeniasis perlu mendapat perhatian denganadanya perpindahan penduduk dari satu

daerah ke daerah lain, kebiasaan membuangair besar tidak pada tempatnya (toilet), tidakmengandangkan ternak sapi/babi (berkeliaran),kebiasaan makan daging sapi/babi yangmentah/kurang matang, serta higiene perorangandan sanitasi lingkungan yang kurang baik.Sedangkan sistiserkosis (neurosistiserkosis)merupakan penyakit yang berbahaya danmerupakan masalah kesehatan masyarakat.

62 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Hingga saat ini kasus-kasus taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dantersebar di beberapa provinsi di Indonesia,terutama Bali, Papua, dan Sumatera Utara.Untuk mengetahui situasi masalah taeniasis/sistiserkosis termasuk Soil Transmitted Helminthiasis(STH) tahun 2013, maka dilakukan surveiepidemiologi taeniasis/sistiserkosis dan STHsekaligus pengobatan penderita di KabupatenGianyar dan Karang Asem pada bulan Januaridan September 2013Tujuan survei adalah: 1)Untuk mengetahuisumber (faktor risiko) penularan taeniasis/sistiserkosis STH; 2)Untuk mengetahui jumlahkasus/prevalensi taeniasis tahun 2013 denganmelakukan wawancara dan pemeriksaan tinja;3)Untuk mengetahui jumlah kasus/prevalensisistiserkosis/neurosistisekosis dengan pemeriksaanELISA dan immunoblot; 4)Mengidentifikasi cacingpita yang ditemukan dengan pemeriksaan DNA;5)Melaksanakan pengobatan penderita taeniasis/sistiserkosis dan STH; 6)Melaksanakan penyuluhantentang taeniasis/sistiserkosis dan STH;7)Hasil yang diperoleh sebagai bahan masukanbagi dinas kesehatan provinsi dan kabupaten,puskesmas, dan lintas sektor terkait dalampengendalian taeniasis/sistiserkosis dan STHdi Provinsi Bali, khususnya di KabupatenGianyar dan Karang-asem.METODELokasi survei adalah di salah satu atau lebihkecamatan di masing-masing kabupaten. Populasisurvei adalah semua penduduk (anggotakeluarga dari semua rumah tangga) yangberdomisili di salah satu atau lebih desa dimasing-masing kecamatan, sedangkan populasisampel adalah semua penduduk (anggotakeluarga dari semua rumah tangga) yangberdomisili di salah satu atau lebih banjar(dusun) di masing-masing desa. Besar sampel,yaitu sebanyak 100 atau lebih di salah satuatau lebih banjar di masing-masing kabupaten/kota.Sumber data dari anggota keluarga/responden yang berdomisili di lokasi survei,jenis data adalah data primer, diperoleh darihasil wawancara menggunakan kuesioner,pemeriksaan fisik, laboratorium dan analisis DNA.Sehari sebelumnya kepada penduduk dilokasi survei dibagikan pot tinja dengan nomor

kode dan nama sampel masing-masing,keesokan harinya contoh tinja dibawa sendirioleh yang bersangkutan ke tempat pemeriksaan.Pengisian kuesioner dilakukan pada saatpemeriksaan di tempat yang telah ditentukansebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukankepada responden atau kepala keluarga/iburumah tangga maupun anggota keluargalainnya yang berumur ≥18 tahun, antara lainmeliputi umur, pendidikan, pekerjaan, adanyagejala-gejala klinis/keluhan taeniasis/sistiserkosis seperti riwayat mengeluarkanproglottid (potongan cacing pita), riwayat kejang(epilepsi), sumber air yang digunakan untukkeperluan sehari-hari, kebiasaan mencuci tangansebelum makan, tempat buang air besar, jenisdan cara memasak makanan dan lain sebagainya.Setelah pengisian kuesioner, dilanjutkandengan pemeriksaan fisik terutama mencariadanya nodul sub-kutan dengan inspeksi danpalpasi. Pemeriksaan mikroskopis tinja untukcacing pita dan STH dilaksanakan di lokasisurvei. Pengambilan sampel darah dilakukansetelah pemeriksaan fisik, dan khusus diKarangasem, juga dilakukan pengambilansampel darah babiPengobatan penderita taeniasis berdasarkanhasil wawancara dan/atau pemeriksaan tinja.Pengobatan taeniasis menggunakan Yomesan(niclosimide) sesuai dengan dosis (umur >6tahun: 4 tablet @500mg; 2-6 tahun: 2 tablet;<2 tahun: 1 tablet, dikunyah disertai denganbanyak minum). Dua jam sesudah obatdiberikan, penderita diberi larutan magnesiumsulfat sebagai laksansia (30 gram untukdewasa, dan 15 gram atau 7,5 gram untukanak-anak) sesuai dengan umur yangdilarutkan dengan air/sirop; dan tidak makansebelum sampai buang air besar yang pertama.Tinja yang keluar setelah pemberian obatditampung di dalam ember plastik, laludisaring dengan saringan kawat untuk mencariskoleks dan proglottid. Semua bagian-bagiancacing yang ditemukan dicuci bersih denganair, lalu dimasukkan kedalam wadah berisiethanol absolute untuk analisis DNA.Pengobatan STH (Soil Transmitted Helminthiases)diberikan secara langsung di tempat pemeriksaanatau diantar oleh petugas puskesmas ataukader kesehatan ke rumah penduduk yangpositif STH. Pengobatan STH menggunakanAlbendazol pada penduduk berumur >2 tahun

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 63

sesuai dengan dosis, yaitu 1 x 1 tablet @ 400mg untuk Ascaris lumblicoides, hookworm, danmix infection tanpa Trichuris trichiura), dan 2x 1 tablet @ 400 mg untuk T. trichiura, dan mixinfection dengan T. trichiura.Penyuluhan kesehatan dilaksanakan olehpetugas dinas kesehatan atau puskesmas ataupetugas lainnya, antara lain tentang gejalapenyakit cacing pita, penyebab, cara penularandan cara pencegahannya termasuk penyuluhantentang STH.Pemeriksaan serologis (ELISA) serum sampeldilakukan di lokasi survei (tanpa mengguna-kan reader ELISA) kemudian dilakukanpemeriksaan ulang (menggunakan reader

ELISA) dan pemeriksaan immunoblot (biladiperlukan) untuk konfirmasi di BagianParasitologi, FK UNUD, Bali. Analisis DNAdilakukan dengan pemeriksaan PCR dansequencing mengidentifiasi spesies dan genotype.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil survei yang dilakasanakan pada bulanJanuari dan September 2013 di KabupatenGianyar dan Karangasem dapat dilihat padaTabel.Tabel. Hasil survei epidemiologi taeniasis/sistiserkosis dan STH menurut kabupaten di Bali, bulan Januari danSeptember 2013No. Hasil wawancara, pemerksaan fisik dan

laboratorium

KabupatenGianyar Karangasem

Jan.2013

Sept.2013

2013 Jan.2013

Sept.2013

2013

1. Jumlah penduduk yang diperiksa(responden: kepala keluarga/ibu rumahtangga/anggota keluarga berumur ≥18tahun)13 14 27 148 117 265

2. Jumlah penduduk dengan riwayat kejang 0 0 0 1 0 13. Jumlah penduduk dengan kista (benjolansistiserkosis di bawah kulit) 0 0 0 0 0 04. Jumlah sampel tinja yang diperiksa(pemeriksaan mikroskopis) 13 10 23 206 37 2435. Jumlah penduduk dengan tinja postif STH 0 (0,0%) 1 (10,0%) 1 (4,3%) 55 (26,7%) 3 (8,1%) 58 (23,9%)6. Jumlah penduduk yang didiagnosistaeniasis (berdasarkan hasil wawancara:riwayat mengeluarkan proglottid dan/atauhasil pemeriksaan mikroskopis)6 9 15 6 2 8

7. Jumlah sampel serum (manusia) yangdiambil 13 14 27 214 118 3328. Jumlah serum sampel (manusia) yangpositif serologi (ELISA/Immunoblot) 1 (7,7%) 1 (7,1%) 2 (7,4%) 11 (5,1%) 5 (4,2%) 16 (4,8%)9. Jumlah sampel serum babi yang diambil NA NA - 164 101 26510. Jumlah sampel serum babi yang positifserologi NA NA - 31 (18,0%) 7 (6,9%) 38 (14,3%)11. Spesies cacing pita (hasil pemeriksaanPCR/Sequencing) T. saginata T. solium (Asian genotype)NA: no data availableTabel menunjukkan bahwa di KabupatenGianyar, hanya sebagian kecil penduduk yangdapat diwawancarai dan diperiksa, yaitusebanyak 27 orang (dari 27 keluarga), terdiridari 13 orang bulan Januari dan 14 orang bulanSeptember. Jumlah yang diperiksa tersebutmasih sangat sedikit dari jumlah yangdiharapkan. Hal ini, karena pada umumnya

masyakat setempat masih malu untuk datangberobat, kecuali kalau sudah merasa tergagguoleh penyakitnya. Dari 27 responden yangdiperiksa, sebagian besar (55,6%, 15/23)menderita cacing pita, yaitu 6 (46,2%, 6/13)bulan Januari dan 9 (63,3%, 18/14) bulanSeptember. Angka ini sangat tinggi, namuntidak mencerminkan prevalensi yang sebenarnya,

64 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

karena responden yang memeriksakan diri ketempat yang telah ditentukan selama surveiadalah responden yang sudah merasamenderita penyakit cacing pita dan inginmengobati peyakitnya. Diagnosis ditegakkanberdasar hasil wawancara (anamnesis) danpemeriksaan mikroskopis. Dari 15 penderita,semua mempunyai riwayat mengeluarkanproglottid, dan sebagian diantaranya positifditemukan telur cacing dengan pemeriksaanmikroskopis.Tidak seorangpun dari responden yangmempunyai riwayat kejang, dan hasilpemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanyakista, namun hasil pemeriksan serologissebanyak 2 responden (7,4%) diantaranyapositif sistiserkosis tanpa menunjukkangejala/tanda (asimptomatik). Hal ini hanyabisa terjadi apabila responden pernahterinfeksi telur T. solium. Hasil analisis DNAsemua sepesies cacing pita yang ada diKabupaten Gianyar adalah T. saginata.Sebaliknya, di Kabupaten Karangasem,cukup banyak penduduk yang dapatdiwawancarai dan diperiksa, yaitu 265 orang(dari 265 keluarga), terdiri dari 148 orangbulan Januari dan 117 orang bulan September.Dari 265 responden yang diperiksa, sebanyak 8orang (3,0%, 8/265) menderita cacing pita (T.solium), terdiri dari 6 (4,1%, 6/148) bulanJanuari dan 2 (1,7%, 2/117) bulan September.Angka ini termasuk tinggi dibandingkandengan prevalensi T. solium taeniasis negaralain. Diagnosis ditegakkan berdasar hasilanamnesis dan pemeriksaan mikroskopis. Dari8 penderita, semua mempunyai riwayatmengeluarkan proglottid (walaupun tidakspesifik seperti pada penderita T. saginata atauT. asiatica), dan sebagian diantaranya positifditemukan telur cacing dengan pemeriksaanmikroskopis.Responden yang mempunyai riwayat kejanghanya 1 orang, sedangkan hasil pemeriksaanfisik tidak menunjukkan adanya kista, namunpemeriksan serologis menunjukkan hasilpositif (sistiserkosis) yang cukup tinggi, yaitusebanyak 16 responden (4,8%, 16/332).Pemeriksaan serologis pada babi (hospesperantara T. solium) juga menunjukkan hasilpositif yang cukup tinggi (14,3%). Hasil analisisDNA menunjukkan bahwa sepesies dangenotype cacing pita yang ditemukan di

Kabupaten Karangasem adalah T. solium Asiangenotype.Di Bali, sebelumnya survei epidemiologitaeniasis/sistiserkosis telah dilaksanakan diseluruh (9) kabupaten/kota yang dimulai sejaktahun 2002 hingga 2011. Sebanyak lebih dari1200 penduduk dan 1100 serum sampel telahdiperiksa. Hasil survei menunjukkan prevalen-si T. saginata taeniasis yang sangat bervariasi(1,1%-27,5%) dengan 117 kasus T. saginatataeniasis dan 3 kasus T. solium taniasis.Sebanyak 6 kasus T. Saginata taeniasisdiantaranya (bulan Januari 2011) adalahpenjual lawar. Sedangkan seroprevalenssistiserkosis berkisar antara 0,8-6,3%.Pada tahun 2002-2004, 3 diantara 56penderita taeniasis (5.4%) yang ditemukanjuga adalah pedagang/penjual lawar yang telahmenderita 1-10 tahun. Sebagian penderitataeniasis lain membeli lawar pada penjuallawar yang menderita taeniasis tersebut. Hasilanalisis bivariat menunjukkan bahwa adahubungan yang signifikan antara kejadiantaeniasis dengan tingkat pendidikan responden(p<0.01), konsumsi lawar (p<0.01), dansumber lawar (dibeli ke pedagang lawar ataudibuat sendiri) (p< 0.01).Sementara itu di Rumah Sakit Sanglah,Denpasar dan lokasi survei, kasussistiserkosis/neurosistiserkosis hanya terde-teksi secara sporadik dengan anamnesis,pemeriksaan klinis, serologis (ELISA danImmunoblot), dan CT Scan, sedangkanT. solium taeniasis baru pertama kali ditemu-kan di Kabupaten Karangasem pada tahun2011.Diperkirakan sumber penularan kasus-kasussistisekosis yang ditemukan secara sporadis dirumah sakit dan lokasi survei di kabupaten/kota lainnya di Bali berasal dari KabupatenKarangasem, sehingga keberhasilan pengen-dalian T. solium taeniasis/sistiserkosis diKabupaten Karangasem dapat memutus rantaipenularan di di Bali pada umumnya.Hasil pemeriksaan STH di Kabupaten Gianyardan Karangasem, hanya 1 diantara 23 (4,3%)di Kabupaten Gianyar dan 58 diantara 243sampel tinja yang diperiksa (26,9%) diKabupaten Karangasem menunjukkan hasilpositif STH.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 65

KESIMPULAN1. Dua dari 9 kabuapten/kota yang ada di Balimasih merupakan daerah endemis taeni-asis/sistisekosis, yaitu kabupaten Gianyar(T. saginata taeniasis) dan Karang-asem (T.solium taeniasis/sistisekosis).2. Hingga saat ini belum ditemukan adanyaTaenia asiatica di Bali3. Faktor risiko (dominan) taeniasis adalahkebiasaan makan lawar sapi mentah/kurangmatang untuk T. saginata taeniasis, lawarbabi mentah/kurang matang untuk T. soliumtaeniasis, dan higiene perorangan dansanitasi lingkungan yang kurang baik untuksistiserkosis.

SARAN1. Perlu dukungan pendanaan dari dinaskesehatan provinsi dan kabupaten sertasumber pendanaan lainnya dalam pengen-dalian taeniasis/sistiserkosis (termasukSTH) di Provinsi Bali, khususnya diKabupaten Gianyar dan di KabupatenKarangasem.2. Program pengendalian antara lainmeliputi:a. Memperkuat aspek legalb. Melaksanakan advokasi, sosialisasi danpenyuluhan secara intensif tentangpencegahan taeniasis/sistiserkosis danSTH terutama pada anak sekolah (SD,SMP dan SMA), khusunya mengkon-sumsi daging yang sudah matang danPHBS.c. Memperkuat jejaring kerja terutamadengan sektor peternakan untukpengendalian pada babi dan sapisebagai hospes perantara cacing pitad. Penemuan penderita secara aktif(active case finding) dan pengobatanantara lain dengan melakukan skriningtinja terutama pada penduduk berumur≥18 tahun tahun atau lebih danpemeriksaan sistiserkosise. Penemuan penderita taeniasis/sistiserkosis secara pasif (passive casefinding) dan pengobatan di fasilitaskesehatanf. Surveilans epidemiologi cacing pita danSTH

g. Monitoring dan evaluasi.3. Perlu dilakukan penelusuran danpemeriksaan kesehatan daging secaraperiodik di tempat pembelian daging yangdigunakan pedagang lawar untukpembuatan lawar dan pemeriksaan lawardan daging (meat hygiene) di tempatpenjualan/pasar dan Rumah PemotonganHewan (RPH).4. Perlu pengembangan dan memperkuatsarana laboratorium (laboratory center)untuk pemeriksaan taeniasis/sistiserkosis(serologis dan PCR) pada manusia dansistiserkosis pada babi.UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepadasemua pihak yang telah banyak membantubaik secara langsung maupun tidak langsung,sehingga survei epidemiologi ini dapatterlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAIto A., Nakao M., Wandra T. Human taeniasisand cysticercosis in Asia. The Lancet 2003;362: 1918-1920.Ito A, Wandra T, Yamasaki H, Nakao M, Sako Y,Nakaya K, Margono SS, Suroso T, Gauci C,Lightowlers MW. Cysticercosis/taeniasis inAsia and the Pacific. Review. Vector-borneand zoonotic diseases 2004; 4:95-107.Wandra T, Sutisna P, Dharmawan NS, MargonoSS, Sudewi R, Suroso T, Craig PS, Ito A. Highprevalence of Taenia saginata taeniasis andstatus of Taenia solium cysticercosis in Bali,Indonesia, 2002-2004. Trans. R. Soc. Trop.Med. Hyg. 2006; 100: 346-353.Wandra T, Depary, AA, Sutisna P, Margono, SS,Suroso T, Okamoto M, Craig PS, Ito A.Taeniasis and cysticercosis in Bali and NorthSumatra, Indonesia. Parasitol. Internat.2006; 55 Suppl: S155-S160.Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A.Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol.Internat. 2006; 55 suppl: S161-S165.Toni Wandra. High prevalence of Taeniasaginata taeniasis and status of Taeniasolium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2006. JSPS Ronpaku (Dissertation Ph.D)

66 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Program: Abstracts of Dissertation for FY2006. Asian Program Division, JSPS. BookletJapan Society for the Promotion of Science2007: 31-33.Toni Wandra, Sri S. Margono, Made S. Gafar,John M. Saragih, Putu Sutisna, A.A. RakaSudewi, A.A. Depary, Hemma Yulfi, DewiMasyithah Darlan, Munehiro Okamoto,Marcello Otake Sato, Kazuhiro Nakaya,Philip S. Craig, Akira Ito.Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med PublicHealth 2007; 38 suppl 1: 140-143.Toni Wandra, Sri S. Margono, Made S. Gafar,John M. Saragih, Putu Sutisna, A.A. RakaSudewi, A.A. Depary, Hemma Yulfi, DewiMasyithah Darlan, Munehiro Okamoto,Marcello Otake Sato, Yasuhito Sako, MinoruNakao, Kazuhiro Nakaya, Philip S. Craig,Akira Ito. Current situation of taeniasis andcysticercosis in Indonesia. Trop. Med. Health2007; 35 (4): 323-328.

A.A. R. Sudewi, T. Wandra, A. Artha, A.Nkouawa, A. Ito. Taenia solium cysticercosisin Bali: serology and mtDNA analysis. Trans.R. Soc. Trop. Med. Hyg 2008; 102: 96-98.Toni Wandra, A.A. Raka Sudew, Putu Sutisna,Nyoman S Dharmawan, Hemma Yulfi, DewiMasyithah Darlan, I Nengah Kapti, KadekSwastika, Gina Samaan, Marcello Otake Sato,Munehiro Okamoto, Yasuhito Sako, AkiraIto. Taeniasis/cysticercosis in Bali,Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med.Public Health 2011;42 (4):793-802.Kadek Swastika, Cokorda I. Dewiyani, TetsuyaYanagida, Yasuhiko Sako, Made Sudarmaja,Putu Sutisna, Toni Wandra, Nyoman S.Dharmawan, Kazuhiro Nakaya, MunehiroOkamoto, Akira Ito. An ocular cysticercosisin Bali, Indonesia caused by Taenia soliumAsian genotype. Parasitology International,Volume 61, Issue 2, June 2012: 378-380.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 67

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNALDITJEN PP DAN PL1. Jurnal ini memuat naskah di bidang PengendalianPenyakit dan Penyehatan Lingkungan meliputiEpidemiologi, Biostatik, Administrasi danKebijakan Kesehatan, danKesehatanLingkungan.2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikelpenelitian, artikel telaahan, dan makalahkebijakan yang belum pernah dipublikasikandi tempat lain dan tidak sedang diajukan ketempat lain.3. Komponen Artikel Penelitian :

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia,dengan menggunakan tipe huruf Cambriaukuran 11 pt, single spasi di kertasberukuran A4 dengan batas tepi/marginatas bawah 3 cm dan kiri kanan 2 cm. Judul dalam bahasa Indonesia ditulissingkat dan jelas maksimal 15 patah kata,diketik dengan huruf besar pada setiapawal kata dengan menggunakan tipehuruf Cambria ukuran 14 pt. Judul dalambahasa Inggris ditulis dibawahnya denganukuran 11 pt. Identitas penulis ditulis di bawah judulmemuat nama lengkap tanpa gelar daninstansi menggunakan tipe huruf Cambriaukuran 10 pt. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesiadan bahasa Inggris maksimal 250 katadengan menggunakan tipe huruf Cambriaukuran 9 pt yang dituangkan dalam satualinea mencakup latar belakang, metode,hasil, dan kesimpulan, disertai kata kunci(keywords) terdiri dari 3-6 kata ataugugus kata dengan huruf besar di awalkata, dan selanjutnya huruf kecil. Alamat korespondensi ditulis menggunakantipe huruf Cambria ukuran 9 pt memuatnama, instansi, alamat lengkap, nomortelepon, dan email. Pendahuluan berisi latar belakang,tinjauan pustaka secara singkat danrelevan serta tujuan penelitian. Metode meliputi desain, populasi, sampel,sumber data, teknik/instrumen pengumpuldata, dan prosedur analisis data. Hasil adalah temuan penelitian yangdisajikan tanpa pendapat.

Pembahasan menguraikan secara tepatdan argumentatif hasil penelitian denganteori dan temuan terdahulu yang relevan. Tabel dan gambar dibuat dalam bentukterbuka (berisikan border line atas danbawah tanpa garis batas), dengan judultabel (di atas tabel) dan judul gambar (dibawah gambar) dan diberi nomor urutsesuai dengan penampilan dalam teks.Nomor dan judul ditulis menggunakantipe huruf Cambria ukuran 10 pt. Kesimpulan menjawab masalah penelitiantidak melampaui kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulanberbentuk narasi, logis, dan tepat guna. Ucapan terima kasih sebagai bentukapresiasi kepada pihak yang telahmembantu penulis.4. Daftar pustaka sebagai rujukan ditulisberdasarkan urutan abjad nama akhirpenulis pertama, dan diutamakan rujukanjurnal terkini. Nama penulis pertama danpenulis berikutnya didahului nama famili/belakang yang diikuti singkatan namapertama dan nama tengah tanpa dipisahkantanda koma atau titik, maksimal 6 orangselebihnya diikuti “dkk (et al)”.5. Huruf pertama judul acuan ditulis denganhuruf kapital, selebihnya dengan huruf kecil,kecuali nama orang, tempat, dan waktu.Judul tidak boleh digaris bawah danditebalkan hurufnya.Contoh bentuk referensi :Artikel Jurnal Penulis Individu:Zainuddin AA. 2010. Kebijakan pengelolaankualitas udara terkait transportasi diProvinsi DKI Jakarta. Kesmas JurnalKesehatan Masyarakat Nasional. 4 (6):281-8.Artikel Jurnal Penulis Organisasi:Diabetes Prevention Program Research Group.2002. Hypertension, insulin, and proinsulinin participants with impaired glucosetolerance. Hypertension. 40 (5): 679-86.

68 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Buku yang ditulis Individu:Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS,Pfaller MA. 2002. Medical microbiology.4th ed. St. Louis: Mosby.Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:Royal Adelaide Hospital: University ofAdelaide, Departement of Clinical Nursing.2001. Compendium of nursing research

and practice development, 1999-2000.Adelaide (Australia): Adelaide University.Bab dalam Buku:Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. 2002.Chromosome alterations in human solidtumors. In: Vogelstein B, Kinzler KW, editors.

The genetic basis of human cancer. NewYork: Mc Graw-Hill; 2002.p.93-113.Materi Hukum atau Peraturan:Regulated Health Professions Act, 1991, Stat.Of Ontario, 1991. Ch. 18, as amended by1993, Ch, 37: office consolidation. Toronto:Queens’s Printer for Ontario; 1994.CD-ROM:Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronicatlas of hematology (CD-ROM). Philadelphia:Lippincott. Williams Wilkin; 2002.

Artikel Jurnal di Internet:Abood S. 2002. Quality improvement initiativein nursing homes; the ANA acts in anadvisory role. Am I Nurse (serial on theinternet. Jun (cited 2002 Aug 12); 102(6); (about 3 p). Available from: http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/wawatch.htm.Buku di Internet:Foley KM, Gelband H, editors. 2001. Improvingpalliative care for cancer (monograph onthe internet). Washington: National AcademyPress. (cited 2002 Jul 9). Available from:http://www.nap.edu/books/030907402/9/html/.Ensiklopedia di Internet:A.D.A.M. 2005. medical encyclopedia. (Internet).Atlanta: A.D.A.M, Inc. (cited 2007 Mar26). Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html.6. Naskah dikirim kepada: Sekretariat JurnalDitjen PP dan PL, Gedung A lantai 1 BagianHukormas, Direktorat Jenderal PengendalianPenyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jl.Percetakan Negara no.29 Jakarta Pusat10560, telf & fax: (021) 4223451, atau e-mail: [email protected].