jurnal potret komunitas grunge_0856011036.pdf
-
Upload
edy-timanta-tarigan -
Category
Documents
-
view
81 -
download
13
Transcript of jurnal potret komunitas grunge_0856011036.pdf
1
POTRET KOMUNITAS GRUNGE
(Studi Pada Komunitas Kucel di Bandar Lampung)
Oleh
Rizky Okto Danela
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang grunge, alasan tergabung dalam
anggota kelompok kaum kucel, dilihat dari identitas grunge dan gaya Hidup
grunge. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, dengan fokus
penelitian yaitu pengetahuan tentang grunge, alasan tergabung dalam anggota
kelompok kaum kucel, identitas grunge dan gaya hidup grunge. Sumber data
dalam penelitian ini adalah dari data primer yang meliputi wawancara secara
mendalam serta terjun langsung dalam komunitas grunge dan data sekunder yang
meliputi buku, leflet, video clip serta lagu yang bercirikan grunge juga diperkuat
dengan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini adalah anggota
komunitas kaum kucel yang berjumlah 3 orang dan telah memenuhi kriteria
informan yang ditentukan. Adapun kriteria dan informan yang ditunjuk atau
dipilih dalam penelitian ini adalah informan yang telah tergabung baik itu sudah
lama maupun baru di komunitas tersebut, orang yang dituakan (pendiri) dan
subjek yang masih aktif dalam komunitas tersebut. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu, reduksi data,
penyajian (display) data dan verifikasi data. Hasil yang didapatkan dari penelitian
yang penulis lakukan, penulis melihat ada beragam kondisi ekonomi dari masing-
masing anggota dan aktifitas yang dilakukan hampir memiliki keseragaman atau
kemiripan. Grunge (seringkali disebut juga Seattle Sounds) termasuk dalam
subgenre rock altenative. Mulai dikenal sepanjang pertengahan 1980an di
Washington, lebih tepatnya di Seattle. Adapun, dipercaya dari berbagai sumber
bahwasannya Mark Arm, vocalis band Green River dan kemudian berganti
menjadi Mudhoney, adalah orang yang pertama kali menggunakan kata grunge
untuk menyebut jenis musik tertenrtu. Mark Arm pertama kali menggunakan kata
tersebut sekitar tahun 1981.
di Bandar Lampung melalui cara yang berbeda-beda, ada yang melalui pergaulan
maupun dari media yang sudah ada. Alasan seorang remaja tergabung dalam
komunitas grunge dan mengimitasi gaya hidupnya karena dari pengaruh
pergaulan dan lingkungannya. Grunge merupakan jalan hidup, bukan sekedar
fashion yang dalam beberapa masa akan hilang dengan sendirinya. Disini
pemahaman tentang seorang grunge jelas terlihat dan lebih menekankan pada
pembentukan diri sendiri. .
2
THE GRUNGE PORTRAIT
(A Study on Kucel Community in Bandar Lampung)
By
Rizky Okto Danela
Student of Faculty of Social and Politic Science in Lampung University
ABSTRACT
The objective of this research was to find out the grunge, reasons for joining to be
members of kucel group, viewed from grunge identity and life style. This was a
qualitative research focusing on grunge reasons for joining to be members of
kucel group, viewed from grunge identity and life style. This research used
primary data coming from deep interviews and experiences of becoming grunge
community, and secondary data including books, leaflets, video clips and songs
characterized with grunge and literary study. Informants were 3 members of kucel
group having completed determined criteria for informant including that
informants should be members of the group, the public figures in the group
(founders) and subject should be still active in the community. Data were
analyzed using qualitative analysis by reducing, presenting, and verifying data.
The results showed that there were numerous economic conditions of each
member, and all conducted activities were almost similar or uniform. Grunge (or
often called as Seattle Sounds) belonged to sub-genre of alternative rock. It had
been known since the middle of 1980s in Washington, or specifically in Seattle. It
was believed from some sources that Mark Arm, the vocalist of Green River band
who was then change into Mudhoney, was the first person to use the word grunge
to refer to a particular type of music. Mark Arm was the first to use the word in
1981.
By different means, in Bandar Lampung, grunge was known from social
relationship or existing media. A reason a youngster joining grunge community
and imitating its life style was because the influences from relationships and
environments. Grunge was a way life, not only was a fashion to diminish over
time. Here, the person’s understanding about grunge was clear and likely to
emphasize on self-formation.
1
PENDAHULUAN
Masuknya budaya luar ke Indonesia yang kian meningkat membuat masyarakat
sedikit demi sedikit mengadopsi budaya luar dalam kesehariannya. Setiap
tahunnya atau tiap bulan atau bahkan tiap harinya budaya luar masuk ke negeri ini
dan tak jarang dapat mengabaikan budaya negerinya sendiri. Objek utama dari
transformasi budaya luar umumnya adalah kaum remaja, di mana mereka
tergolong masih senang mencari jati diri dan selalu ingin bebas dalam memilih
jalan hidupnya sehingga sangat mudah dipengaruhi. Kejenuhan bisa dikatakan
menjadi salah satu penyebab masyarakat memilih mengikuti budaya luar di
banding budaya sendiri. Atau juga budaya luar yang mereka terima itu terasa lebih
ideal di dalam diri mereka. Lama kelamaan hal seperti ini akan menimbulkan
pergeseran kebudayaan.
Pergeseran kebudayaan tersebut berarti menjadi perubahan sosial pula. Perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam
kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat dan seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta
aturan-aturan organisasi sosial.
Selo Soemarjan dan Soeloeman Soemardi (Soekanto.1990:189) merumuskan
budaya sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(materical culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-
nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam
arti yang luas. Selanjutnya,cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan
berpikir orang-orang yang hidup dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta
ilmu yang pengetahuan.
Secara singkat Samuel dan koenig (Soekanto, 1990:337) mengatakan bahwa
perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-
pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi terjadi karena sebab-sebab intern
maupun sebab-sebab ekstern.
Sebenarnya sulit sekali untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan karena tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki kebudayaan dan sebalik nya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak
terjelma dalam suatu masyarakat. Dalam perubahan sosial dan kebudayaan
mempunyai suatu aspek yang sama yaitu kedua-dua nya bersangkut paut dengan
suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam suatu masyarakat
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Banyak sekali budaya-budaya baru yang
muncul dikarenakan perpindahan suatu masyarakat atau individu ke daerah yang
baru (migrasi). Salah satunya aliran musik Grunge yang lama kelamaan menjadi
budaya/sub-kultur Grunge.
Grunge adalah salah satu sub-kultur yang mengibarkan bendera perlawanan yang
berwujudkan alunan nada. Musik sebagai effort perlawanan dan ketika
2
perlawanan itu tidak berhasil menjangkau tujuannya, bukan berarti gagal total.
Tapi setidaknya menjadi bukti bahwa kesadaran untuk “melawan” itu masih ada
dan terjaga, itu adalah selemah-lemahnya iman. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Eddie Vedder pada lagu “Insignificance” tersebut menjadi sebuah ajakan mulia
bahwa musik secara umum adalah menjadi media penyadaran dan koridor tepat
untuk mengemukakan pendapat atau pun bentuk protes sosial dan politik kepada
bentuk apapun yang menjadi tirani dan kesewenangan. Sebagaimana ditunjukkan
oleh Rage Against The Machine, sebagaimana Yusuf Islam, sebagaimana Iwan
Fals, sebagaimana Slank, sebagaimana Jeruji, sebagaimana musisi kritis lainnya
imani yaitu bahwa musik sebagai perlawanan adalah menjadi sesuatu yang pasti,
saat sudah muak dengan kondisi pengabaian, keterasingan, kezaliman,
kebohongan, atau disfungsi kondisi yang tidak bisa memberi keadilan dalam
sosial, politik atau aspek lainnya.
Perlawanan melalui musik bukan sesuatu yang baru, bahkan definisi seni (art)
sendiri adalah tak lepas dari upaya untuk memberontak atau melawan dari tatanan
statis yang menjenuhkan sebagaimana Albert Camus (filsuf absurditas-
eksistensialis Prancis) sampaikan sebelum ia wafat. Tapi sebagai salah satu
cabang dari seni, musik adalah media paling efektif dan to-the-point dalam
menyampaikan suatu “pesan” tertentu itu. Musik tidak dibatasi dimensi geometris.
Musik sanggup “menyerang” langsung pendengarnya, menyusuri ruang-ruang,
”mencuci” pendapat, dan pemikiran. Oleh karenanya musik dijadikan media
ekspresi yang sebenarnya paling lengkap. Sebagaimana blues menjadi medium
ekspresi sosial kaum kulit hitam Amerika, sebagaimana punk menjadi ekspresi
seni yang menakutkan bagi monarki Inggris, musik adalah karya seni terbesar
manusia didunia.(Yoyon Sukaryono.http://echolic.blogspot.com/2010/06/grunge-
indonesia-stillalivecatatan.html)
Dari berbagai aliran musik di atas, grunge adalah salah satu aliran musik yang
berasal dari Seattle, kota kecil di inggris. Grunge adalah salah satu dari sekian
banyak penanda revolusi musik dunia yang lahir pada pertengahan tahun 1980-an.
Dari berbagai literatur disebutkan bahwa grunge lahir dari suatu komunitas yang
sudah jenuh dengan konsep musik industri (mainstream) yang ada saat itu,
ditambah dengan kondisi represifnya politik dan ekonomi global masa tersebut
menandai eksistensi grunge tidak hanya sebagai produk kebudayaan modern tapi
“sumber kekuatan” baru bagi kaum muda dunia (awalnya hanya di scene
underground Seattle).
Grunge bukanlah pionir, bukan perintis, bukan pelopor yang pertama kali
membaca mantra besar dan mengagumkan bernama Perlawanan. Mengapa
perlawanan penulis sebut sebagai mantra, karena kata mantra adalah sakral, suci,
bahkan tabu, dan perlawanan hanya terjadi ketika barrier berupa norma yang
membatasi mampu kita coba terobos dan kita pertanyakan atau pun kita
dekonstruksi apakah untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik maupun ternyata
lebih buruk. Tapi sebagai suatu daur kehidupan sejatinya pattern tersebut akan
selalu bergulir. Dan mengapa penulis sebut Perlawanan sebagai mengagumkan
karena hakikatnya perlawanan adalah kondisi yang tak pernah puas untuk
mencapai suatu kondisi stabil atau mapan, adalah bagaimana selalu
3
mengkondisikan kegelisahan dan kecemasan mencapai pertanyaannya tentang
hidup dan kehidupan, di mana tak selalu mendapatkan jawaban.
Grunge memberikan tawaran yang fresh ketika era rock, pop 80’s, metal, rap,
bahkan punk mulai memberikan harapan yang kosong untuk menjadi penanda
revolusi budaya dan sosial, lucunya grunge hadir ketika jaman-jamannya glam-
appearance is everything, glamrock look, Vanilla Ice look, Debbie Gibson, Axl
Rose, dan lain lainnya. Tapi saat itu grunge malah hadir dengan
kesederhanaannya. Grunge menawarkan semangat perlawanan dari
kesederhanaan. Sebagaimana revolusi musik yang lain, (pada awalnya) grunge
yang masih punya kekerabatan dengan punk ternyata memberi influence juga
tentang fashion. Grunge sebagai produk budaya yang memberikan ruang
perlawanan dengan caranya sendiri. Simpel dan efektif.
Grunge mulai dikenal di indonesia ketika televisi adalah satu-satunya media yang
menyajikan band Nirvana dengan hit globalnya “Smells Like Teen Spirit” dari
album Nevermind. Televisi seakan satu-satunya jendela yang “membuka” corak-
warna dunia saat itu. Melalui televisi pada era 90an itu kita (kaum muda
Indonesia) sebelumnya hanya disuguhi keseragaman dalam hal apapun (hampir
semuanya), berbeda dengan saat ini pasca reformasi 1998 yang lebih banyak
memberikan pilihan.
Adalah televisi swasta yang akhirnya membuka keran masuknya kultur grunge
saat itu ke Indonesia. Walaupun penulis yakin saat itu pun masih sedikit orang
yang mampu langsung mengapresiasi dan menikmati musik yang diberikan
Nirvana, Pearl Jam, ataupun Soundgarden di saat New Kids On The Block, Take
That, Tommy Page, Metallica, Megadeth, Run DMC, bahkan Tommy J Pisa
masih merajai kuping-kuping pendengar Indonesia. Perlu diketahui pada saat itu
untuk memperoleh record album (kaset) band luar negeri yang masih jarang
didengar umum adalah sesuatu yang sangat keren atau hebat karena butuh
perjuangan dan uang yang banyak untuk bisa memperolehnya atau membelinya di
luar negeri/import.
Nirvana datang saat itu dengan musik yang sederhana, videoklip yang sederhana,
kemasan cover kaset yang sederhana. Tapi entah kenapa ada semacam energi
yang terpompa dari uraian kesederhanaan itu, Nirvana memberi ambience yang
berbeda soal ekspresi musik, energi liar, dan ia meresonansi dan mentranformasi
emosi menjadi kesadaran bahwa memang revolusi musik waktu itu sedang terjadi
dan euforia itu pun berlangsung. Grunge menjadi fenomenal dan keniscayaan
untuk kaum muda saat itu. Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain
memiliki scene grunge masing-masing.
Nirvana menyuguhkan kesederhanaan dan heavy distorted sounds sebagai elemen
terkuat dalam ekspresivitas, adalah Pearl Jam yang kemudian memberi pilihan
baru lain tentang kesederhanaan, sikap hidup, pandangan politik, aktifitas sosial
dan konsistensi di luar batas musikalitas yang mereka berikan. Pearl Jam menjadi
sebuah penanda grunge dunia yang mungkin agak sedikit berbeda dengan awal
4
kehadiran Nirvana pada awalnya. Tapi kedua-duanya telah memberi awal
pencerahan baru untuk proses apresiasi diri dan hidup melalui media musik.
Ada sesuatu yang sedikit berbeda dengan “perlawanan” yang diberikan oleh
grunge. Kata kuncinya sebenarnya terletak di “kesederhanaan”. Grunge muncul
dengan corak musik yang jauh lebih sederhana (like punk but not aggresive), tapi
dengan sound yang lebih unik, lebih melodius, sound gitar lebih cenderung
menjangkau distorsi dan feedback. grunge muncul dengan style musisi grunge dan
komunitasnya yang berpakaian “nyeleneh”, “beda dengan yang lain” atau malah
terlihat “keras” dan maskulin (kemeja flanel, sepatu boots, celana PDL) tapi tidak
mau tampak seperti dandan atau dibuat-buat. Sehingga dari tampilannya pun
komunitas grunge adalah komunitas yang sederhana. Berbeda dengan scene atau
komunitas musik lain yang “sepertinya” tampak akan lebih berupaya
menunjukkan eksistensinya melalui atribut-atribut yang terkesan malah seperti
“dibuat-buat”.
Intinya adalah perlawanan melalui grunge adalah bagaimana transformasi
pemikiran perlawanan itu mewujud yaitu salah satunya melalui kekuatan lirik
yang kritis. Lirik yang kritis adalah lirik yang bisa cukup sederhana dan mudah
dimengerti tapi kandungannya adalah semacam peluru yang siap menyayat-nyayat
kesadaran.
Di bandar lampung komunitas Grunge bisa di jumpai di jalan Palapa, rajabasa dan
mereka menamakan komunitas mereka Kaum Kucel. Mereka biasa menghabiskan
waktu dengan berkumpul bersama, bercanda ria dan tak jarang mereka
menyanyikan lagu lagu Grunge ketika sedang berkumpul, berbagi info dan lain-
lain. Adapun tujuan dari penulisan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui
Potret Kehidupan Komunitas Grunge dilihat dari sisi identitas dan gaya hidup.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di rajabasa, Lampung. Dipilihnya tempat ini sebagai lokasi
penelitian dikarenakan daerah tersebut adalah tempat dimana para Grungies
berkumpul. Komunitas itu sudah ada dari beberapa tahun yang lalu. Pendekatan
kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan dengan pendekatan
kualitatif, sikap dan cara pandang subjektif bisa digali lebih optimal.
Metode pengumpulan data yang digunakan, yakni wawancara mendalam,
observasi dan dokumentasi. Tahapan proses pengambilan data diawali dengan
observasi lapangan dengan tujuan mangetahui lokasi-lokasi kativitas Grungies
dalam berinteraksi sekaligus mengenali Grungies yang akan dijadikan informan.
Metode wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai
guide interview agar didapat gambaran utuh tentang pengalaman yang Grungies
lakukan dalam berinteraksi. Metode dokmentasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah gambar foto. Gambar foto bergunakan untuk menguatkan hasil data
sebelumnya seperti data hasil wawancara dan observasi. Analisis data kualitatif
digunakan untuk memahami bagaimana potret komunitas grunge di Bandar
Lampung.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang telah peneliti lakukan dengan studi wawancara mendalam
kepada sejumlah orang dengan kriteria orang yang mengadopsi idoelogi Grunge
serta mengimitasi identitas dan gaya hidup Grunge sehari-hari, diperoleh hasil
dengan jumlah informan 3 (tiga) orang yang telah mewakili atau representative
responden lainnya dan hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan tentang Grunge
a. Popoy
Popoy mempunyai persepsi sendiri dalam mendefinisikan tentang Grunge. ia
mendeskripsikan sebuah arti dari Grunge dari apa yang dia rasakan saat
memberikan pernyataan ini. Dia mempunyai pandangan yang berbeda dari
penjelasan tentang Grunge pada umumnya. Popoy merasa bahwa Grunge bisa
memberikan pangaruh secara psikis khususnya memberikan rasa ingin lebih
menghargai sesuatu apapun itu dengan kesederhanan dan jiwa yang tidak
pasrah terhadap keadaan dengan cara memberontak.
Popoy mulai mengenal grunge ketika dia tertarik kepada band yang mendunia
pada pertengahan tahun 1990, yaitu Nirvana. Dia mulai mencari tahu aliran
musik apa band tersebut dan ketika ia tau apa itu Grunge, Popoy mulai
menerapkan apapun yang berbau Grunge hampir dalam semua aktifitas
kesehariannya. Popoy mengetahui kultur ini dari orang lain yang akhirnya
dikembangkan dengan mencari info-info melalui video, buku, bahkan artikel
di internet sekalipun. Dia juga tertarik dengan kultur ini karena
kesederhanaan Grunge yang beda dengan kultur lainnya yang seperti dibuat-
buat dan tidak apa adanya.
b. Binban
Menurut Binban Grunge itu sama hal nya dengan komunitas lain pada scene
underground seperti punk, metal, dan lainnya. Yaitu sebuah kultur yang
berawal dari aliran musik Binban mengenal Grunge ketika dia duduk di
bangku SMP pada tahun 1992.
c. Edo
Edo mempunyai paradigma tersendiri terhadap Grunge, berbeda dengan yang
lainnya edo mengenal sub-kultur Grunge dari kakaknya, dikarenakan
kakaknya sering mendengarkan lagu yang bergenre Grunge, sejak itu dia
mulai tertarik untuk mengetahui Grunge lebih dalam lagi. Ia mulai mencari
biografi para musisi Grunge, meresapi karya-karya mereka, bahkan
mengimitasi ideologi para petinggi Grunge tersebut.
“Pada umumnya harus kita katakan bahwa mutu suatu ciptaan, terutama
daripada sifat yang khas yang tidak ada pada ciptaan lain. Seni sebagai suatu
ciptaan mutunya terletak pada kekhasannya, sifat individualnya. Sifat
individual itu adalah pandangan pribadi penciptanya. Pandangan pribadi
tersebut, merupakan ekspresi yang lahir atau terbakar di dalam bentuk wujud
nyata. terlahirnya wujud yang nyata sebagai ekspresi artistik harus melalui
pengolahan. fase pengolahan aktifitas mencipta itu dapat digambarkan
sebagai berikut: fase persepsi (fase pengamatan), fase aransemen (fase
penyusunan daripada hasil pengamatan), dan fase ekspresi (fase penyesuaian
6
dengan keadaan dan suasana perasaan pada waktu itu)”(Ilmu Budaya Dasar,
M. Habib Mustopo, 1983)
Setidaknya ada tiga tahapan yang dilalui oleh grungies Lampung dalam
upaya mengimitasi budaya grunge Seattle. Ketiga tahapan itu, ialah:
1. Tahap Proyeksi, pada tahap ini individu memperoleh kesan dari sesuatu
yang akan diimitasi. Para remaja yang sedang bergolak jiwanya dan
sedang mencari jati dirinya ini pada tahap awal menemukan apa yang
mereka cari pada band-band grunge asal Seattle. Cara-cara mereka
berpakaian, gaya hidupnya, serta permainan musiknya menimbulkan
kesan yang mendalam, sehingga timbul niat bagi individu atau
kelompok para remaja itu untuk mengimitasi budaya grunge dari
Seattle.
2. Tahap Subjektif, pada tahap ini individu cende rung untuk menerima
hal-hal yang akan diimitasi, misalnya sikap dan tingkah laku dari
individu lain. Dalam kata lain, apapun tindakan yang dilakukan oleh
musisi asal Seattle adalah benar, dan mencerminkan gaya hidup grunge
yang telah dipersiapkan oleh individu maupun kelompok untuk
diimitasi, dianggap benar, meskipun itu adalah gaya hidup yang bersifat
destruktif, beberapa individu menelan secara mentah-mentah bahwa
untuk menjadi musisi grunge mereka juga harus mabuk dan
mengkonsumsi obat-obatan ilegal.
3. Tahap Objektif, pada tahap ini individu telah menguasai apa yang akan
diimitasi sehingga akhirnya ia dapat berbuat seperti individu lain yang
akan diimitasi. Beberapa band grunge Lampung menganggap bahwa
apabila mereka telah mengkoleksi album band-band Seattle, memainkan
lagu-lagunya, membaca buku-buku atau biografi yang bersangkutan,
maka secara psikologis, band itu merasa telah menjadi band yang akan
ditirunya, bertingkah sehari-hari, berpakaian, dan bahkan gaya
bernyanyi atau memainkan alat musik sangat identik dengan band asal
Seattle yang ditirunya. Terlihat dengan adanya band grunge Lampung,
bahkan Indonesia yang mempunyai penyanyi dengan suara yang
dimirip-miripkan Kurt Cobain, Dave Ghroll, Eddie Vedder, Courtney
Love, dan lain-lain.
Berawal dari ketidakteraturan itulah akhirnya grunge menemukan
keteraturan. Ada kata suka karena ada kata benci. Sesuatu itu dipandang
“ada” karena ada sesuatu yang tidak “ada”. Berisi adalah kosong, kosong
adalah berisi. Demikian filsafat buddish menyebut dua sisi yang berbeda
tapi hakekatnya sama.
Proses untuk menjadi genre yang bisa diterima dan dipandang mempunyai
gaya dan ritme sendiri membutuhkan waktu yang panjang. Pearl Jam,
Alice in Chains, Soundgarden, Mudhoney adalah orang-orang yang berjasa
dalam mempelopori eksisnya musik grunge ini. Mereka ada di Seattle,
sehingga anggapan bahwa Seattle adalah kiblat grunge semakin
7
terkukuhkan.
Sebelum tahun 1992, band-band seperti Pearl Jam, Alice in Chains dan
Mudhoney hijrah dari Seattle. Sedikitnya penggemar adalah faktor utama
yang membuat mereka tidak betah. album Mudhoney yang berjudul Touch
Me I’m Sick hanya dua bar dan satu klub kecil yang mau untuk
memutarnya. Dan ini mengandung makna bahwa Seattle sendiri belum
menerima musik jenis ini.
Perjalanan musik grunge jatuh bangun untuk di kenal orang. Akhirnya,
ditangan Nirvanalah grunge menemukan puncak kepopulerannya.
Walaupun peran grup musik yang lain seperti Melvin, Ten Minute
Warning, Malfusnkshun, U-Men, Coffin Break dan lainnya, tidak bisa
dipandang remeh dan dinafikan begitu saja. Istilah yang dilekatkan kepada
musik yang berasal dari Seattle ini adalah Seattle Sound sebagai aplikasi
dari musik grunge itu sendiri. Dan mungkin inilah alasan mengapa grunge
tidak bisa dilepaskan dengan grup musik yang penyanyinya mati bunuh
diri ini
Walau ada sedikit perbedaan, kesimpulan yang dapat diambil adalah
walaupun mereka mengetahui subkulutur Grunge dengan cara yang
berbeda-beda tetapi mereka bisa mengetahui inti dari subkultur ini yaitu
kesederhanaan dan apa adanya, bukan hanya cara berpakaian melainkan
lebih ditekankan pada gaya hidupnya. Walaupun terkadang sub-kultur ini
di anggap salah satu budaya yang dipandang sebelah mata oleh sebagian
orang, karena pemberitaan media yang kurang proporsional, Grunge
sendiri tetap memegang teguh jalan hidup ini, karena mereka yakin bahwa
ada kebanggaan tersendiri menjadi Grungies yang membuat mereka tetap
bertahan.
2. Alasan Tergabung Dalam Anggota Kelompok Penggemar Musik
Grunge.
a. Popoy
Bermain musik merupakan hobi Popoy. Kegemarannya itu di salurkan
dengan ia membuat band Grunge bersama teman-temannya. Dengan
membentuk band itu ia bersama teman-temannya sesama penggemar musik
Grunge bisa saling bertukar pikiran dan bertukar pengalaman. Popoy
mempunyai sebuah Band yang dinamai G.U.R.V.I.E yang beraliran
Grunge. Tetapi karena kesibukan masing-masing personilnya maka band
ini menjadi vakum. alasan dia tergabung dalam anggota kelompok
penggemar musik Grunge adalah lebih berat karena individu-individu yang
ada di dalamnya sesuai atau sama dengan apa yang dia inginkan dalam
sebuah pergaulan.
b. Binban
Binban mulai menyukai grunge pada tahun 1992 tepat ketika ia masih
duduk di bangku SMP. Saat itu dia tertarik karena karakteristik dari
kelompok Grunge yang lahir apa adanya tanpa keterikatan apapun hanya
dengan satu peraturan yaitu ketidakaturan. Alasan Binban menggemari
8
Grunge dan bergabung dengan komunitas Kaum Kucel (anggota kelompok
penggemar musik Grunge) ini juga guna menambah pergaulan. Dapat
disimpulkan oleh penulis, bahwa Binban sangat menyukai kebebasan
berekspresi, dengan musik yang jujur ini dapat membangkitkan semangat
dia menjalani hidupnya.
c. Edo
edo mempunyai beberapa alasan mengapa ia bergabung dalam komunitas
penggemar musik Grunge, yaitu kesamaan minat terhadap musik grunge
dan kenyamanan di dalam komunitas grunge itu sendiri.
3. Identitas Grunge Pada Anggota Komunitas Kaum Kucel di Bandar
Lampung
Setiap manusia akan digolongkan menurut jenis kelamin, ras, kebangsaan,
suku, umur, agamanya, dan banyak lagi kategori lainnya. Dan rasa
memiliki sebuah identitas ini adalah sesuatu yang amat penting bagi
manusia. Memiliki identitas akan menjadi sumber lahirnya kebanggaan,
kebahagiaan, juga sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri.
Rasa tentang identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan
kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota
komunitas yang sama, sesama warga negara, atau penganut agama yang
sama. Perhatian kita pada identitas tertentu bisa mempererat pertalian dan
membuat kita bersedia melakukan berbagai hal satu sama lain dan turut
membawa kita melampaui hidup yang berpusat pada diri sendiri. Namun
pemahaman macam ini harus disertai oleh sebuah pemahaman yang lebih
dalam bahwa suatu rasa akan identitas dapat sungguh-sungguh membuat
orang menampik yang lain.
Dalam diri manusia, terdapat suatu identitas tertentu yang melekat pada
dirinya. Identitas dapat didefinisikan secara ringkas sebagai suatu
penyadaran yang dipertajam akan diri sendiri dan sebagai suatu kesatuan
yang memlihara kesinambungan arti masa lalunya sendiri bagi orang lain
dan bagi diri sendiri yang terintegrasi dengan segala gambaran diri yang
diberikan atau dipaksakan padanya oleh orang lain bersama dengan
perasaan-perasaannya sendiri tentang siapakah dia dan apakah yang akan
diperbuatnya. Secara lebih mudah, Erikson dalam bukunya “Identitas dan
Siklus Hidup Manusia” (1989) menjelaskan mengenai aspek-aspek
identitas sebagai berikut:
1. Identitas sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap walaupun
berubah ketika menjadi tua.
2. Identitas sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat
berubah dan selalu berubah-ubah.
3. Identitas adalah “gaya hidupku sendiri” yang berkembang dalam tahap-
tahap terdahulu dan menentukan cara-cara bagaimana peran sosial ini
harus diwujudkan.
9
4. Identitas sebagai perolehan khusus pada tahap adolesensi (tahap
peralihan) dan sebagai sesuatu yang sesudah tahap adoselensi senantiasa
akan berubah dan diperbaharui.
5. Identitas sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan serta
kesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu.
6. Identitas sebagai kesinambungan dengan diri sendiri dalam pergaulan
dengan orang lain.
Hampir semua poin yang disebutkan di atas tersebut sama dengan dengan
yang penulis lihat di lapangan dalam hal identitas yang dimiliki oleh para
anggota komunitas Kaum Kucel. Pengimitasian identitas dilakukan bukan
atas pengaruh diri sendiri saja akan tetapi jauh lebih banyak pengaruh dari
faktor ekstrenal khususnya lingkungan pergaulan.
Sama hal nya yang terjadi dalam kelompok band Minuman Keras, para
anggotanya yang tergolong masih dalam kategori remaja, mereka masih
mencari jati diri mereka. Mereka mempunyai kesamaan-kesamaan dalam
kelompok yaitu sama-sama menggemari musik Grunge dan mengadopsi
identitas dan gaya hidup seorang Grunge.
Perbincangan mengenai identitas di masyarakat kita yang tidak dapat
dipisahkan dari arus globalisaasi sesungguhnya adalah perbincangan
mengenai perjuangan, tekanan, pengaruh, perubahan, transformasi,
pergeseran, kontradiksi dan paradoks identitas. Artinya perbincangan
mengenai identitas adalah perbincangan mengenai “dinamika identitas” itu
sendiri.
Masa pembentukan identitas pada manusia adalah masa adoselensi yang
dimulai pada umur 13-14 tahun. Pada remaja ini masa ini muncullah suatu
“krisis identitas”, krisis ini dapat menentukan identitas seseorang, dan
dapat mengakibatkan timbulnuya kasus-kasus patologis dan kehilangan
diri. Pada masa ini, remaja akan mencari identitas dan karakter yang akan
disandangnya.
Jika dikaitkan dengan yang penulis lihat di dalam imitasi identitas yang
dilakukan dalam kelompok, komunitas Kaum Kucel pernyataan itu sangat
tepat karena dari hasil wawancara yang dilakukan, para anggota subkultur
Grunge tersebut mulai mengenal Subkultur ini sejak mereka duduk di
bangku SMP. Dari pencarian identitas yang dimulai dari SMP tersebut
semakin berkelanjutan hingga sekarang.
Pembentukan suatu identitas pada diri manusia tidak pernah bergerak
secara otonom atau berjlan atas inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor yang beroperasi bersama-sama. Ada 5 (lima) faktor
yang mempengaruhi pembentukan identitas pada manusia, yaitu kreatifitas,
ideologi kelompok, status sosial, media massa dan kesenangan.
Sebagian besar dari para remaja tersebut mengimitasi identitas Grunge.
Identitas yang umumnya di imitasi adalah memakai jeans belel sampai
10
dengan kemeja flannel. Walaupun Grunge memiliki image yang buruk
bahkan aliran musik yang dipandang sebelah mata, tapi pada kenyataannya
Grunge dapat menjadi pengaruh yang besar terhadap dunia fashion
terutama perusahaan sepatu ternama seperti converse, yang memproduksi
sepatu dimana kurt cobain yang menjadi ikon khusus dalam desain sepatu
tersebut. Bukan hanya itu, kurt cobain juga pernah menjadi sebuah ikon
dalam strategi pemasaran brand sepatu ternama seperti doc marts. Terlihat
untuk di Bandar Lampung khususnya, mengimitasi gaya berpakaian
tersebut tampaknya telah banyak dilakukan oleh anak-anak yang
mengadopsi subkultur ini.
Lalu apa yang bisa dijadikan tolak ukur pembeda antara grunge dengan
komunitas musik dari genre lain. salah satunya adalah dalam hal
berpakaian, meskipun hal yang utama dalam grunge adalah berpakaianlah
apapun yang bisa membuat dirimu nyaman.
a. Style Berpakaian
Yang dimaksud dengan style berpakaian adalah bagaimana cara dan
tampilan seorang Grunge berpakaian dan produk apa saja yang biasa
digunakan. Style berpakaian disini, kita batasi hanya celana jeans, kemeja
dan sepatu yang mencirikan bahwa seorang Grunge. Dari pernyataan
mereka diatas, penulis dapat melihat bahwa gaya berpakaian mereka
adalah celana jeans yang dicirikan dengan jeans yang sudah lusuh, belel,
bahkan robek. Baju yang digunakan adalah kaos benar-benar polos.
Penggunaan sepatu converse, dan boot juga mencirikan mereka sebagai
Grungies. Kemeja kotak-kotak yang bermerek flannel kerap kali mereka
gunakan dalam keseharian sebagai ciri yang dapat dijadikan sebagai
pembeda mereka sebagai Grungies.
b. Potongan Rambut
Potongan rambut merupakan salah satu ciri dari mereka, bagaimana
potongan rambut mereka dan juga aksesoris yang mereka gunakan di
kepala mereka. Dilihat dari semua pernyataan tersebut, potongan rambut
panjang, pendek, hingga berantakan di cat merah, dapat disimpulkan
bahwa tidak ada aturan potongan rambut khusus untuk menjadi seorang
Grunge. Membiarkan rambut apa adanya itu lebih baik.
4. Gaya Hidup Grunge Pada Komunitas Kaum Kucel
Remaja yang masih dalam proses pencarian identitas, maka kaum muda
muda atau remaja sekarang adalah kaum muda yang sangat peduli dengan
gaya hidup. Analisis ini diperkuat oleh data dari Simmons Market Research
Data Beurau, Targetting Today’s Teens 1994, New York tentang aktivitas
kaum muda pada umumnya. Menurut survei tersebut, aktiviotas kaum
muda yang menghabiskan banyak waktu adalah belanja (10,5 jam/hari),
menonoton TV (8,7 jam/hari) dan mendengarkan radio (7,1 jam/hari). Pada
intinya, kaum muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-
senang. (Kusuma, Jurnal Mahasiswa Balairung Edisi 36)
Gaya hidup merupakan suatu bentuk pernyataan diri keluar menekankan
pada aspek penampilan fisik dan aspek tingkah laku yang dapat dianggap
11
khas bai sekelompok orang dan berfungsi sebagai ekspresi sosial.
(Suryabrata, 1995: 113)
Suatu kelompok berkumpul karena ada kesamaan kegemaran, kecintaan
dalam konsumsi. Yang menjadi acuan gaya hidup yang penulis akan lihat
di komunitas Kaum Kucel ini adalah cara berfikir, cara bersikap dan, latar
belakang orangtua dan individunya sendiri serta musik sebagai salah satu
bentuk ekspresi mereka.
Berbicara mengenai gaya hidup sudah tentu tidak dapat dilepaskan dengan
pembicaraan mengenai identitas, sebab gaya hidup merupakan sebuah
“permainan” untuk menegaskan identitas seseorang. Seolah-olah identitas
seseorang bisa tercermin dari gaya hidupnya. Begitu pula komunitas Kaum
Kucel, mereka memiliki kecenderungan untuk lebih suka mengimitasi
identitas dan gaya hidup skinhead karena ketertarikan terhadap hal
tersebut.
Penulis memfokuskan makna gaya hidup dalam imitasi yang dilakukan
seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan tingkah laku dan latar belakang individu serta orang
tuanya yang dilakukan oleh anggota komunitas Kaum Kucel penggemar
musik Grunge kesehariannya. Setelah beberapa kali penulis berkunjung ke
tempat berkumpulnya mereka, penulis dapat melihat beberapa gaya hidup
mereka yang mengimitasi dari gaya hidup Grunge.
a. Cara Berfikir
Pertama sekali yang penulis lihat adalah cara berfikir komunitas Kaum
Kucel terhadap subkultur Grunge. Apakah ada dari cara berfikir seorang
Grunge yang mereka adopsi dan mereka terapkan dalam kehidupan cara
mereka berfikir sehari-hari.
b. Cara bersikap
Dari pernyataan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa dalam aktifitas
dan sosialisasi mereka para Grungies diluar kesibukan mereka bekerja
masing-masing yang berbeda memiliki pola interaksi yang terbuka. cara
mereka berfikir dan bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar tergolong
baik, dengan tetap menggunakan nilai-nilai yang telah ada pada diri
mereka masing-masing. Ideologi Grunge juga sedikit berpengaruh
terhadap cara bersikap mereka, dapat dilihat dari keterbukaan mereka
terhadap orang lain terutama keterbukaan mereka terhadap individu yang
berada di jalur Underground atau masyarakat awam sekalipun.
c. Latar Belakang Orang Tua
Dari pernyataan di atas walaupun kedua informan menolak secara halus
untuk diketahui latar belakang keluarganya, orang tua Grungies di bandar
lampung memili pola asuh terhadap anak yang demokrasi, beragama, dan
memiliki keberagaman profesi, tingkat pendidikan, serta tingkat ekonomi
orang tua Grungies. Bahkan yang menariknya mereka para Grungies
sangat mencintai keluarga mereka seperti mereka mencintai diri mereka
sendiri baik dalam kondisi baik bahkan terpuruk sekalipun.
12
d. Latar Belakang Individu Grunge
usia, gender, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan dan agama tidak menjadi
pembatas mereka sesama Grungies untuk bersama dalam satu wadah
komunitas di bandar lampung. Semua itu dapat dilihat ketika mereka
berkumpul bersama, tidak ada kesenjangan di antara mereka. Mereka
bersama tanpa melihat perbedaan di antara mereka.
e. Musik Sebagai Salah Satu Bentuk Apresiasi
Yang dimaksud musik sebagai salah satu bentuk apresiasi oleh penulis
adalah musik yang di apresiasikan seorang Grungies dalam kesehariannya.
mereka komunitas Kaum Kucel selalu mendengarkan bahkan
membawakan lagu Grunge di atas panggung, untuk sebagian mereka yang
menjadikan musik ke jenjang yang lebih profesional membuat mereka
terkadang tak dapat membawakan tembang-tembang Grunge tersebut
dikarenakan musik Grunge yang dulu popularitas pendengarnya tinggi
sekarang sudah rendah namun eksistensi tersebut masih ada. Mereka pun
terkadang menyempatkan mencari panggung hanya untuk
mengapresiasikan Grunge di atas panggung. Dari banyaknya pendapat
mereka para Grungies tentang Grunge, dapat diwakilkan hanya dengan
satu kata, yaitu kesederhanaan. Begitu sederhananya untuk memudahkan
semua term yang mewakilkan tentang gaya hidup, musikalitas, cara
berfikir dan lain lain untuk dipahami dan di mengerti.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya
tentang Identitas dan Gaya Hidup Grunge Studi kasus pada komunitas Kaum
Kucel di Bandar Lampung dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
A. Kesimpulan
1. Pengenalan mereka terhadap sukultur Grunge dengan cara yang berbeda-
beda, walaupun berbeda setelah mendapatkan sedikit pengetahuan tentang
Grunge, mereka merasakan hal yang sama tentang Grunge ini, bahwa ini
membuat mereka lebih menjadi diri sendiri dan kebanggaan tersendiri bagi
mereka yang menganutnya.
2. Alasan seorang remaja tergabung dalam komunitas Grunge dan
mengimitasi gaya hidupnya karena dari pengaruh pergaulan lingkungan
pertemanannya, selain itu ada pula dikarenakan adanya kesamaan dalam
hal kegemaran dengan musik Grunge . Atas dasar kesaman itulah mereka
membentuk sebuah
3. kelompok penggemar musik Grunge dengan nama Kaum Kucel.
Pembentukan kelompok ini bertujuan untuk menyalurkan hobi para
anggotanya yang menggemari musik Grunge. Walaupun mempunyai latar
belakang yang berbeda satu sama lainnya, di Komunitas Kaum Kucel ini.
Mereka dipersatukan karena merasa berada di jalur yang sama.
4. Identitas Grunge yang dapat terlihat secara kasat mata adalah dari
pakaiannya yang menggunakan kemeja flannel, kaos lusuh, jeans belel,
cardigans dengan model v-neck, baju dengan merk Lonsdale, ataupun
baju kaos yang bergambar tentang Grunge, sepatu boot yang bermerk Dr.
Martens, Monkey Boot, atau sepatu casual Converse. Sedangkan untuk
13
potongan rambut mereka membiarkan rambut mereka panjang tak
beraturan bahkan sampai mewarnainya.
5. Gaya hidup Grunge adalah menjadi individu yang lebih peraya diri untuk
jadi diri sendiri. Walaupun terkadang subkultur ini dipandang sebelah mata
oleh masyarakat karena pemberitaan yang tidak benar oleh media mereka
tetap memakai nilai-nilai Grunge sebagai salah satu jalan hidup mereka.
B. Saran
1. Pengetahuan tentang budaya baru yang coba masuk ke suatu lingkungan
dapat dari bermacam cara. Baik itu melalui media maupun sekedar obrolan
saja. Baiknya seorang yang coba mengenal suatu budaya baru, mempunyai
pemahaman tentang budaya lokal yang kuat. Agar budaya yang baru
tersebut dapat menyesuaikan dengan kearifan lokal.
2. Dalam pengenalan budaya baru yang masuk ke Indonesia khususnya pada
remaja yang sedang mencari jati diri, baiknya tetap memperhatikan budaya
yang telah ada. Karena tidak semua dari budaya Grunge ini sesuai dengan
kultur Indonesia yang telah ada sebelumnya. Disinilah peran orang tua
maupun individu-individu yang sudah mengerti tentang sub-kultur
skinhead ini.
3. Sebaiknya untuk style Grunge ini sendiri disesuaikan dengan kondisi
ekonomi tiap individu, jangan memaksakan untuk membeli produk yang
harganya terbilang mahal karena kebanyakan produk untuk style Grunge
merupakan produk luar negeri.
4. Sepenuhnya penulis mendukung gaya hidup seorang Grunge, karena
dengan ini mereka dapat menjadi orang yang optimis, sederhana, lebih
percaya diri, bangga akan dirinya, seorang yang pintar dalam mensiasati
hidupnya dan selalu bersemangat menjalani hidup.