jurnal mina laut indo.pdf

10
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 59 Kelimpahan Acanthaster planci pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Bero, Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Abundance of Acanthaster planci in Coral Reef Waters of Bero Island in Tiworo Strait, Muna Regency, Southeast Sulawesi Nur Ikhsan *), Baru Sadarun **), dan Romy Ketjulan ***) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 e-mail: * [email protected], ** [email protected], dan *** [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan kelimpahan A. planci pada perairan Pulau Bero Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret- September 2012 di perairan P. Bero. Stasiun penelitian dibagi menjadi 4 stasiun berdasarkan keberadaan terumbu karang di lokasi penelitian. Penilaian kondisi terumbu karang ditentukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) dan kelimpahan A. planci ditentukan dengan metode Belt Transect. Parameter kualitas perairan yang ditemukan pada seluruh lokasi pengambilan sampel masih sesuai untuk kehidupan terumbu karang dan A. planci. Terkecuali pada Stasiun III yang memiliki kecepatan arus (0,50 ms -1 ) yang sangat tinggi karena berhadapan langsung dengan selat, sehingga kurang baik untuk kehidupan terumbu karang, terkecuali terumbu karang dengan bentuk pertumbuhan coral massive, dan tidak sesuai untuk kehidupan A. planci sehingga pada daerah ini tidak ditemukan A. planci. Hasil penelitian juga menunjukkan, kondisi terumbu karang di perairan P. Bero tergolong kategori baik dengan rata-rata tutupan karang hidup sebesar 58,41%. Kelimpahan A. planci yang ditemukan pada Stasiun I dan Stasiun IV sebanyak 12,50 ind/1000 m 2 berada dalam kategori alami dan hampir mengancam, sedangkan pada pada Stasiun II dengan kelimpahan sebanyak 25,00 ind/1000 m 2 telah mengancam kondisi terumbu karang di daerah tersebut. Kata Kunci : Acanthaster planci, Terumbu Karang, Pulau Bero, Belt Transect Abstract The aim of this research was to know the condition of coral reef and abundance of A. planci located in Bero island waters of Tiworo strait, Muna regency, Southeast Sulawesi. This research was conducted from March to September in 2012 at Bero island waters. Observational station were devided into 4 stations based on coral reef existences. Line Intercept Transect (LIT) was selected to find out the condition of coral reef and the abundance of A. planci determined by Belt Transect method. Water quality parameters were measured in all sampling stations considered appropriate for the coral reef and A. Planci life. The fastest water current (0. 50 ms -1 ) was recorded in Stations III because directly opposite to the sea strait. Therefore, it was an unfavorable place to support A. planci and coral reef life, except for massive. Result showed that the condition of coral reef at Bero island waters were in good category with the average coral life coverage was 58.41%. Abundance of A. planci which had been found on Station I and Station IV was 12.50 ind/1000 m 2 and were in natural and threatened category, meanwhile there were 25.00 ind/1000m 2 on Station II which threatened coral reef at that region. Keywords: Acanthaster planci, coral reef, bero island, belt transect Pendahuluan Terumbu karang merupakan ekosistem perairan yang produktif dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Pentingnya peranan ekosistem terumbu karang tidak diragukan lagi, selain sebagai salah satu komponen penyokong utama kehidupan perairan laut, juga merupakan sumber kehidupan sehari-hari masyarakat melalui berbagai kegiatan seperti perikanan dan wisata. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan saat ini adalah tingkat kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh banyaknya aktivitas manusia yang bersifat destruktif dan mengancam kelestarian sumber daya terumbu karang seperti penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan, pengambilan terumbu karang hidup untuk hiasan, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak dan potassium sianida serta pencemaran di daerah daratan yang turut menyumbang kerusakan terumbu karang Indonesia (DKP, 2007). Selain maraknya aktivitas masyarakat, kehadiran Acanthaster planci turut andil dalam menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang, dimana hewan ini merupakan salah satu hewan Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 02 No. 06 Jun 2013 (5968) ISSN : 2303-3959

Transcript of jurnal mina laut indo.pdf

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 59

    Kelimpahan Acanthaster planci pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Bero, Selat

    Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara

    Abundance of Acanthaster planci in Coral Reef Waters of Bero Island in Tiworo Strait, Muna

    Regency, Southeast Sulawesi

    Nur Ikhsan *), Baru Sadarun **), dan Romy Ketjulan ***)

    Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo

    Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232

    e-mail: *[email protected],

    **[email protected], dan

    ***[email protected]

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan kelimpahan A. planci pada perairan

    Pulau Bero Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-

    September 2012 di perairan P. Bero. Stasiun penelitian dibagi menjadi 4 stasiun berdasarkan keberadaan

    terumbu karang di lokasi penelitian. Penilaian kondisi terumbu karang ditentukan dengan metode Line Intercept

    Transect (LIT) dan kelimpahan A. planci ditentukan dengan metode Belt Transect. Parameter kualitas perairan

    yang ditemukan pada seluruh lokasi pengambilan sampel masih sesuai untuk kehidupan terumbu karang dan A.

    planci. Terkecuali pada Stasiun III yang memiliki kecepatan arus (0,50 ms-1

    ) yang sangat tinggi karena

    berhadapan langsung dengan selat, sehingga kurang baik untuk kehidupan terumbu karang, terkecuali terumbu

    karang dengan bentuk pertumbuhan coral massive, dan tidak sesuai untuk kehidupan A. planci sehingga pada

    daerah ini tidak ditemukan A. planci. Hasil penelitian juga menunjukkan, kondisi terumbu karang di perairan P.

    Bero tergolong kategori baik dengan rata-rata tutupan karang hidup sebesar 58,41%. Kelimpahan A. planci yang

    ditemukan pada Stasiun I dan Stasiun IV sebanyak 12,50 ind/1000 m2 berada dalam kategori alami dan hampir

    mengancam, sedangkan pada pada Stasiun II dengan kelimpahan sebanyak 25,00 ind/1000 m2 telah mengancam

    kondisi terumbu karang di daerah tersebut.

    Kata Kunci : Acanthaster planci, Terumbu Karang, Pulau Bero, Belt Transect

    Abstract

    The aim of this research was to know the condition of coral reef and abundance of A. planci located in Bero

    island waters of Tiworo strait, Muna regency, Southeast Sulawesi. This research was conducted from March to

    September in 2012 at Bero island waters. Observational station were devided into 4 stations based on coral reef

    existences. Line Intercept Transect (LIT) was selected to find out the condition of coral reef and the abundance

    of A. planci determined by Belt Transect method. Water quality parameters were measured in all sampling

    stations considered appropriate for the coral reef and A. Planci life. The fastest water current (0. 50 ms -1

    ) was

    recorded in Stations III because directly opposite to the sea strait. Therefore, it was an unfavorable place to

    support A. planci and coral reef life, except for massive. Result showed that the condition of coral reef at Bero

    island waters were in good category with the average coral life coverage was 58.41%. Abundance of A. planci

    which had been found on Station I and Station IV was 12.50 ind/1000 m2

    and were in natural and threatened

    category, meanwhile there were 25.00 ind/1000m2 on Station II which threatened coral reef at that region.

    Keywords: Acanthaster planci, coral reef, bero island, belt transect

    Pendahuluan

    Terumbu karang merupakan ekosistem

    perairan yang produktif dan mempunyai nilai

    ekonomis yang tinggi. Pentingnya peranan

    ekosistem terumbu karang tidak diragukan lagi,

    selain sebagai salah satu komponen penyokong

    utama kehidupan perairan laut, juga merupakan

    sumber kehidupan sehari-hari masyarakat

    melalui berbagai kegiatan seperti perikanan dan

    wisata.

    Suatu kondisi yang sangat

    memprihatinkan saat ini adalah tingkat

    kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh

    banyaknya aktivitas manusia yang bersifat

    destruktif dan mengancam kelestarian sumber

    daya terumbu karang seperti penambangan

    terumbu karang untuk bahan bangunan,

    pengambilan terumbu karang hidup untuk

    hiasan, penggunaan alat tangkap yang tidak

    ramah lingkungan seperti bahan peledak dan

    potassium sianida serta pencemaran di daerah

    daratan yang turut menyumbang kerusakan

    terumbu karang Indonesia (DKP, 2007).

    Selain maraknya aktivitas masyarakat, kehadiran Acanthaster planci turut andil dalam

    menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang,

    dimana hewan ini merupakan salah satu hewan

    Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 02 No. 06 Jun 2013 (59 68) ISSN : 2303-3959

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 60

    predator karang. Kehadiran A. planci dalam

    batasan populasi normal merupakan hal yang

    umum di ekosistem terumbu karang, akan tetapi

    dalam keadaan yang melimpah hewan ini dapat

    memberikan dampak negatif bagi kehidupan

    karang karena mampu merusak daerah terumbu

    karang dalam skala yang luas. Menurut Azis

    (1995) jika populasinya lebih dari 14

    individu/1000 m2, maka keberadaannya sudah

    mengancam terumbu karang.

    Berdasarkan uraian tersebut sehingga

    kehadiran pemangsa karang ini perlu terus

    dipantau sebagai dasar dalam suatu pengambilan

    tindakan pengelolaan yaitu dengan melakukan

    penelitian lebih lanjut mengenai kelimpahan A.

    planci di kawasan terumbu karang Pulau Bero.

    Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui kondisi terumbu karang dan

    kelimpahan A. planci pada perairan Pulau Bero,

    Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi

    Tenggara.

    Manfaat dari penelitian ini diharapkan

    dapat memberikan informasi dasar bagi

    pemerintah dan lembaga terkait mengenai

    langkah pengelolaan ekosistem terumbu karang

    Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat

    Tiworo yang bijaksana, serta sebagai informasi

    dasar mengenai seberapa besar ancaman yang

    disebabkan oleh keberadaan A. planci terhadap

    ekosistem terumbu karang P. Bero.

    Metode Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

    Maret-September 2012. Lokasi penelitian

    bertempat di perairan P. Bero, Selat Tiworo,

    Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

    Stasiun pengamatan ditetapkan

    berdasarkan 4 (empat) arah mata angin (Utara,

    Selatan, Barat, Timur) dan penentuan titik-titik

    pengambilan sampel menggunakan metode time

    swimming (snorkeling) yaitu seorang peneliti

    melakukan penyelaman singkat di atas

    permukaan air sejajar garis pantai untuk melihat

    kondisi terumbu karang dan keberadaan A.

    planci sehingga dapat mewakili kondisi terumbu

    karang dan A. planci secara keseluruhan di

    lokasi penelitian. Setelah titik lokasi

    penelitian/titik stasiun telah ditentukan,

    kemudian dicatat posisi geografisnya

    menggunakan GPS (Global Position System) dan

    dipasang penanda menggunakan pelampung agar

    tidak terjadi perubahan posisi pada pengambilan

    data berikutnya.

    Metode yang digunakan untuk melihat

    bentuk pertumbuhan karang yaitu metode Line

    Intercept Transect (LIT) atau metode transek

    garis, dimana pemasangannya secara horisontal

    atau sejajar garis pantai. Pengamatan dilakukan

    dengan melihat bentuk pertumbuhan karang

    yang bersinggungan dan dilewati oleh garis

    transek. Pengambilan data atau pengukuran

    terumbu karang, menggunakan transek garis

    sepanjang 10 m (Supriharyono, 2007).

    Pengukuran diawali dengan pemasangan transek

    garis menggunakan meteran roll sepanjang 100

    m, kemudian melakukan pengukuran sepanjang

    10 m dengan interval 20 m. Pengukuran pertama

    dilakukan pada jarak 0-10 m, pengukuran kedua

    dilakukan pada jarak 30-40 m, pengukuran

    ketiga dilakukan pada jarak 60-70 m, dan

    pengukuruan keempat dilakukan pada jarak

    90-100 m (Gambar 2), sehingga pengukuran

    yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan

    sebanyak 4 kali pengambilan sampel.

    Transek sabuk (belt transect) digunakan

    untuk mengamati A. planci dimana pemasangan

    dan cara pengukurannya mengikuti transek garis

    (Gambar 3). Luasan transek yang digunakan

    yaitu 20 m2 dengan panjang 10 m dan lebar

    transek sepanjang 2 m, 1 m ke atas/kanan dan 1

    m ke bawah/kiri (Johan, 2003). Pengamatan

    dilakukan dengan melihat dan menghitung A.

    planci yang berada dalam transek sabuk, setelah

    itu dihitung kelimpahannya.

    Dalam rangka mempermudah

    pengambilan data terumbu karang, A. planci, dan

    parameter lingkungan digunakan kamera bawah

    air (alat pendukung) sebagai alat bantu foto atau

    video bawah air. Pengambilan data kelimpahan

    A. planci dilakukan pada siang hari, sehingga

    hasil dari penelitian ini hanya bisa

    menggambarkan kelimpahan A. planci pada

    siang hari, mengingat kebiasaan makan A. planci

    pada siang hari dan malam hari.

    Pengukuran parameter lingkungan

    dilakukan secara in situ pada setiap stasiun

    pengamatan yang meliputi suhu, salinitas,

    kecepatan arus, kecerahan, dan kedalaman.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 61

    Gambar 1. Sktsa lokasi penelitian.

    Analisis Data

    1. Persen Tutupan Karang

    Menurut English et.al. (1994) dalam

    Setyobudiandi, dkk. (2009), persen tutupan

    karang hidup dihitung dengan menggunakan

    rumus persen tutupan (cover) sebagai berikut:

    % Cover= Total panjang tiap kategori life form cm

    Panjang transek garis cm 100 %

    Menurut Keputusan Menteri Lingkungan

    Hidup No. 47 Tahun 2001, kondisi penilaian

    ekosistem terumbu karang berdasarkan persen

    tutupan karang hidupnya yaitu sebagai berikut:

    a. Karang rusak = 0-24,9%; b. Karang sedang = 25-49,9%; c. Karang baik = 50-74,9%; d. Karang sangat baik = 75-100%.

    2. Kelimpahan A. planci

    Menurut Brower dan Zar (1997),

    kelimpahan organisme dihitung dengan

    persamaan:

    =

    dimana:

    N = kelimpahan individu (ind/m2);

    n = jumlah individu pada tiap stasiun ;

    A = luas daerah pengamatan (m2).

    Hasil

    A. Keadaan Lokasi Penelitian

    Berdasarkan status kawasannya, Pulau

    Bero masuk ke dalam Kawasan Konservasi Laut

    Daerah (KKLD) Selat Tiworo, Kabupaten Muna,

    Sulawesi Tenggara.

    Berdasarkan tingkatan admisistratif

    pemerintahan desa, P. Bero masuk ke dalam

    wilayah Desa Mandike Kecamatan Tiworo

    Tengah dengan posisi geografis 0403433-

    0403454 LS dan 12201746-12201806 BT.

    P. Bero dimekarkan pada tahun 1998.

    Pulau ini memiliki luas wilayah sebesar

    562.500 m2 dengan panjang dan lebar daratan

    yang sama yaitu 750 m, serta panjang garis pantai

    1.044 km. Pulau ini dihuni oleh 425 jiwa dengan

    jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 112 KK.

    Masyarakat pulau ini 100% beragama islam dan

    sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yaitu

    sebagai nelayan tangkap dan nelayan

    pembudidaya (IPB, 2007).

    Sebagian besar penduduk P. Bero

    memanfaatkan sumber daya laut yang ada di

    perairan KKLD Kabupaten Muna sebagai sumber

    pendapatan atau mata pencahariannya. Penduduk

    P. Bero terdiri dari berbagai macam etnis yaitu

    etnis Muna, Bugis, dan Bajau. Masing-masing

    etnis hidup dengan teratur, rukun, dan saling

    menghargai.

    Secara umum daerah ini memiliki

    perairan yang landai dan curam, pantai berpasir,

    bangunan, vegetasi mangrove, kelapa, dan juga

    sering dilintasi oleh perahu. Tipe terumbu karang

    di daerah ini yaitu terumbu karang tepi karena

    menempel langsung pada pantai daratan P. Bero.

    Sarana dan prasarana yang tersedia di

    P. Bero dalam rangka menunjang kebutuhan

    kegiatan sosial-ekonomi yaitu memiliki satu buah

    sarana pendidikan (SD), satu buah kantor

    pelayanan publik (kantor desa), satu buah masjid,

    dan satu buah dermaga permanen. Ketersediaan

    sarana pendidikan dasar lanjutan (SMP) yang

    keberadaannya hanya di P. Mandike masih sangat

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 62

    susah dijangkau oleh anak sekolah yang ada di P.

    Bero, dimana jarak tempuh dengan perahu motor

    sekitar 1-2 jam. Setelah menamatkan SMP

    biasanya anak-anak P. Bero melanjutkan

    pendidikannya di daratan P. Muna yang jaraknya

    lebih jauh dan sebagian membantu orang tuanya

    sebagai penangkap ikan atau pembudidaya

    rumput laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-

    hari.

    Kecilnya ukuran pulau dan terbatasnya

    lahan merupakan kendala berkembangnya

    aktivitas sektor perkebunan di pulau ini.

    Sekalipun ada, aktivitas perkebunan (kelapa)

    hanya merupakan kegiatan alternatif oleh

    sebagian masyarakat setempat.

    B. Parameter Kualitas Air

    Parameter kualitas perairan

    P. Beromasidi yang diukur selama penelitian

    berupa suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan

    arus. Parameter fisika-kimia ini diukur langsung

    pada setiap stasiun pengamatan. Hasil

    pengukuran parameter kualitas perairan

    P. Beromasidi dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Pulau Beromasidi

    Stasiun Pengamatan Parameter Fisika - Kimia Perairan

    Suhu (0C) Kecerahan (m) Kecepatan arus (m/det) Salinitas (ppt)

    1 28 18 0.07 30

    2 29 18 0.09 30

    3 29 18 0.50 30

    4 29 18 0.08 30

    C. Persen Tutupan Karang

    Hasil pengukuran kondisi terumbu karang pada perairan P. Bero dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Nilai persen tutupan terumbu karang pada tiap stasiun pengamatan

    NO Bentuk Pertumbuhan % Cover

    Rata Rata (%) St. I St. II St. III St. IV

    1 Karang Hidup

    Acropora Branching (CB) 25.43 24.15 7.63 25.08 20.57

    Acropora Digitate (CD) 5.50 0.00 0.00 0.00 1.38

    Coral Branching (CB) 5.75 7.13 0.00 1.63 3.63

    Coral Massive (CM) 7.58 14.35 24.13 13.13 14.79

    Coral Encrusting (CE) 2.50 4.38 1.75 6.25 3.72

    Coral Foliose (CF) 5.75 5.68 0.00 6.13 4.39

    Coral Mushroom (CMR) 3.65 5.25 0.00 4.50 3.35

    Coral Submassive (CS) 12.13 8.75 7.00 4.88 8.19

    Total (%) 63.90 69.68 38.50 61.58 58.41

    Kriteria Tutupan Baik Baik Sedang Baik Baik

    2 Karang Mati

    Dead Coral (DC) 8.00 3.38 5.00 13.43 7.45

    Dead Coral With Alga

    (DCA) 1.78 1.13 13.74 10.37 6.75

    Total (%) 9.78 4.50 18.74 23.80 14.20 3 Biotik Lain 7.23 4.41 15.88 3.50 7.75 4 Abiotik

    Sand (S) 0.75 6.07 17.88 7.12 7.95

    Rubble (R) 13.85 9.25 1.88 1.00 6.49

    Water (WA) 4.50 6.10 7.13 3.00 5.18

    Total (%) 19.10 21.42 26.88 11.12 19.63

    Dari hasil pengukuran, ditemukan

    dominansi bentuk pertumbuhan, persentase

    tutupan karang hidup, karang mati, abiotik, dan

    biotik lain yang berbeda-beda pada tiap stasiun

    pengamatan. Hasil pengukuran tersebut dapat

    dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 63

    Gambar 4. Grafik perbedaan persen tutupan karang hidup berdasarkan bentuk pertumbuhan pada

    setiap stasiun pengamatan.

    Gambar 5. Grafik persen tutupan karang hidup, karang mati, biotik lain, dan abiotik.

    D. Kelimpahan Acanthaster planci

    Berdasarkan hasil pengamaatan di lokasi penelitian, ditemukan kelimpahan A. planci sebagai

    berikut.

    Gambar 6. Grafik kelimpahan A. planci pada setiap stasiun pengamatan.

    Pembahasan

    A. Parameter Kualitas Air

    1. Suhu Berdasarkan hasil pengamatan yang

    telah dilakukan menunjukkan bahwa, suhu

    perairan pada tiap stasiun pengamatan berkisar

    antara 28-290C (Tabel 1). Berdasarkan

    Tabel 1, suhu terendah berada pada Stasiun I

    (280C). Hal ini disebabkan, pada saat

    pengukuran dilakukan pada pagi hari (sekitar

    jam 08.00 Wita) dan kondisi cuaca saat itu

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    I II III IV

    % C

    over

    Stasiun Pengamatan

    Karang Hidup

    Karang Mati

    Biotik Lain

    Abiotik

    0.00

    6.25

    12.50

    18.75

    25.00

    31.25

    I II III IV

    Keli

    mp

    ah

    an

    A

    . p

    lan

    ci

    (in

    d/m

    2)

    Stasiun Pengamatan

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 64

    gerimis. Kisaran suhu pada semua stasiun

    pengamatan merupakan kisaran yang baik untuk

    pertumbuhan karang dan A. planci. Hal ini

    sesuai pernyataan Sadarun et.al. (2006) yang

    menyatakan bahwa suhu optimal bagi

    pertumbuhan terumbu karang berkisar antara

    23-300C. Suharsono (1991), juga menjelaskan

    bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan A.

    planci berkisar antara 26-280C. Suhu yang

    terlampau tinggi atau terlampau rendah akan

    sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup

    A. planci, pada keadaan yang ekstrim yaitu 140C

    dan 340C A. planci akan mengalami tingkat

    kematian yang besar.

    2. Kecerahan Rata-rata kecerahan yang ditemukan

    pada tiap stasiun pengamatan sebesar 18 m

    (Tabel 1). Hal ini disebakan, daerah tersebut

    merupakan daerah dengan perairan yang jernih

    sehingga cahaya matahari masih dapat

    menembus sampai ke dasar perairan tersebut,

    sehingga tergolong baik bagi pertumbuhan

    terumbu karang dan A. planci. Supriharyono

    (2007) menyatakan, pada perairan yang jernih

    memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai

    pada lapisan yang sangat dalam, sehingga hewan

    karang juga dapat hidup pada perairan yang

    cukup dalam.

    Kedalaman pengukuran kondisi terumbu

    karang dan kelimpahan A. planci berkisar antara

    3-8 m. Menurut Supriharyono (2007), secara

    umum karang dapat tumbuh dengan baik pada

    kedalaman < 20 m. Hal ini erat kaitannya dengan

    terdapatnya alga simbiotik yaitu zooxanthellae

    yang memerlukan sinar matahari untuk

    berfotosintesis. Moran et.al. (1990) juga

    menjelaskan, kedalaman maksimum yang pernah

    tercatat ditemukan A. planci adalah mencapai

    65 m pada perairan Great Barrier Reef,

    Australia.

    3. Kecepatan Arus Berdasarkan hasil pengukuran,

    menunjukkan bahwa kecepatan arus permukaan

    pada lokasi penelitian berkisar antara 0,07-0,50

    ms-1

    (Tabel 1), dimana kecepatan arus pada

    Stasiun I (0,07 ms-1

    ), II (0,09 ms-1

    ), dan IV (0,08

    ms-1

    ) relatif sama atau lebih rendah dari Stasiun

    III (0,50 ms-1

    ). Hal ini disebabkan, pada Stasiun

    I, II dan IV disebabkan adanya pengaruh

    halangan oleh pulau-pulau disekitarnya (P. Tiga,

    P. Simuang, dan P. Maginti), sedangkan pada

    Stasiun III berhadapan langsung dengan laut

    lepas (Perairan Kasipute, Kabupaten Bombana)

    sehingga kecepatan arus pada daerah tersebut

    cukup tinggi.

    Kecepatan arus pada Stasiun I, II, dan IV

    masih tergolong baik bagi pertumbuhan terumbu

    karang dan A. planci. Hal ini sesuai pernyataan

    Suharsono (1991), kisaran arus yang optimal

    bagi terumbu karang adalah 0,05-0,08 ms-1

    ,

    sedangkan menurut Aziz (1995), umumnya A.

    planci terdapat pada perairan dengan arus yang

    lambat.

    Kecepatan arus pada Stasiun III tidak

    cocok untuk kehidupan A. planci karena hewan

    tersebut tidak menyukai perairan terbuka dengan

    kecepatan arus yang cukup tinggi. Kecepatan

    arus pada Stasiun III juga kurang baik untuk

    pertumbuhan terumbu karang terkecuali pada

    terumbu karang dengan bentuk pertumbuhan

    masif karena karang tersebut mampu bertahan

    hidup pada kondisi perairan dengan arus yang

    cukup kuat. Hal ini sesuai pernyataan Johan

    (2003) bahwa, karang masif lebih banyak

    tumbuh di terumbu terluar dengan perairan

    berarus.

    4. Salinitas Rata-rata salinitas yang diperoleh pada

    tiap stasiun pengamatan yaitu 30 ppt (Tabel 1).

    Kisaran salinitas tersebut masih tergolong

    optimal bagi pertumbuhan terumbu karang. Hal

    ini sesuai pernyataan Supriharyono (2007),

    salinitas yang sesuai untuk pertumbuhan dan

    pembentukan terumbu karang adalah 27-35 ppt.

    Berbeda dengan pernyataan Birkeland

    dan Lucas (1990) yang menyatakan, toleransi

    salinitas bagi A. planci berkisar antara 19-25 ppt,

    sehingga kisaran salinitas tersebut kurang baik

    untuk kehidupan A. planci, namun berdasarkan

    hasil yang diperoleh di lokasi penelitian, masih

    ditemukan A. planci pada kisaran tersebut. Hal

    ini kemungkinan disebabkan oleh pola adaptasi

    A. planci untuk bertahan hidup dengan

    menyesuaikan diri pada kisaran salinitas

    tersebut.

    B. Persen Tutupan Karang dan Bentuk Pertumbuhan Karang

    Berdasarkan hasil pengamatan langsung,

    secara umum terumbu karang pada perairan

    P. Bero tumbuh dari daerah rataan terumbu

    sampai ke arah tubir dengan kedalaman 30 m.

    Tipe terumbu karang pada perairan pulau ini

    merupakan tipe terumbu karang tepi, dengan

    kondisi topografi yang landai sampai dengan

    curam. Pengambilan data terumbu karang pada

    semua stasiun pengamatan dilakukan di perairan

    P. Bero pada daerah rataan terumbu pada

    kedalaman 3-8 m.

    Berdasarkan penelitian yang telah

    dilakukan, didapatkan persen tutupan karang

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 65

    hidup yang berbeda-beda pada setiap stasiun

    pengamatan, dimana secara keseluruhan

    didapatkan dua bentuk pertumbuhan dari genus

    Acropora yaitu Acropora branching dan

    Acropora digitate, dan enam bentuk

    pertumbuhan dari genus Non-Acropora yaitu

    Coral branching, Coral massive, Coral

    encrusting, Coral foliose, Coral mushroom, dan

    Coral submassive. Persentase tutupan karang

    hidup yang ditemukan pada lokasi pengamatan

    berkisar antara 38,50-61,58% dengan kategori

    sedang-baik, sedangkan secara keseluruhan

    kondisi terumbu karang pada perairan P. Bero

    tergolong kategori baik dengan rata-rata

    persentase tutupan karang hidup sebesar 58,41%

    (Tabel 2).

    Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa,

    persen tutupan karang hidup tertinggi berada

    pada Stasiun II yaitu 69,68%, dimana persen

    tutupan karang tersebut tidak berbeda jauh

    dengan persen tutupan karang hidup yang berada

    pada Stasiun I (63,90%) dan IV (61,58%).

    Berdasarkan tutupan karang hidupnya Stasiun I,

    II, dan IV tergolong kategori baik (Tabel 2). Hal

    ini disebabkan daerah tersebut memiliki perairan

    yang jernih dan rata-rata intensitas cahaya yang

    tinggi, sehingga terumbu karang pada daerah

    tersebut dapat tumbuh dengan baik. Kondisi

    perairan ini juga sangat sesuai untuk kehidupan

    zooxanthellae sebagai biota yang berasosiasi

    dengan terumbu karang, dimana organisme ini

    memberikan makanan kepada karang melalui

    hasil fotosintesisnya dan berperan membantu

    karang dalam pembuatan kerangka. CoralWatch

    (2011) menjelaskan, zooxanthellae dapat

    membantu karang dalam pembentukan kerangka

    kapur. Melalui hasil fotosintesisnya, simbion

    karang ini memungkinkan karang menggunakan

    cahaya matahari untuk tumbuh dengan baik

    seperti tumbuhan.

    Berbeda dengan stasiun lainnya, tutupan

    karang pada Stasiun III tergolong kategori

    sedang dengan tutupan karang hidup sebesar

    38,50% (Tabel 2). Hal ini disebabkan kondisi

    perairan pada daerah tersebut memiliki

    kecepatan arus yang sangat tinggi, dimana

    kecepatan arus pada stasiun ini mencapai 0,50

    ms-1

    (Tabel 1) sehingga kurang baik bagi

    pertumbuhan terumbu karang di daerah tersebut.

    Hal ini sesuai pernyataan Suharsono (1998)

    bahwa kisaran arus yang melebihi 0,05-0,08

    ms-1

    kurang baik untuk pertumbuhan terumbu

    karang. Terkecuali untuk terumbu karang dengan

    bentuk pertumbuhan masif karena karang

    tersebut mampu tumbuh dengan baik pada

    perairan yang berarus tinggi, sehingga bentuk

    pertumbuhan yang mendominasi pada daerah ini

    adalah karang masif (Gambar 4). Johan (2003)

    menjelaskan, karang masif lebih banyak tumbuh

    di terumbu terluar dengan perairan berarus. Rendahnya persen tutupan karang hidup

    pada Stasiun III bukan berarti kondisi terumbu

    karang pada daerah ini mengalami kerusakan.

    Tingginya tutupan abiotik, khususnya sand atau

    pasir pada daerah ini yaitu 17,88% (Tabel 2)

    merupakan alasan utama faktor penyebab

    rendahnya tutupan karang hidup pada daerah ini.

    Hal ini menunjukkan bahwa distribusi terumbu

    karang pada daerah ini tidak merata atau berspot-

    spot.

    Secara berturut, persen tutupan untuk

    Stasiun I, II, III, dan IV didominasi oleh karang

    hidup, abiotik, karang mati, dan biotik lain

    (Gambar 5). Adapun secara umum, bentuk

    pertumbuhan yang mendominasi pada Stasiun I,

    II, dan IV adalah acropora branching (Gambar

    4). Hal ini berhubungan dengan kondisi

    lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup,

    dimana acropora branching merupakan salah

    satu jenis karang yang tumbuh dengan baik pada

    daerah rataan terumbu. Hal ini sesuai pernyataan

    Johan (2003) bahwa karang dengan bentuk

    bercaban (acropora branching) banyak terdapat

    di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng,

    terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.

    Tingginya tutupan karang mati

    khususnya dead coral pada Stasiun IV yaitu

    23,80% dan tutupan patahan karang (rubble)

    pada Stasiun I yaitu 13,85% dan Stasiun II yaitu

    9,25% (Tabel 2) diduga akibat pemboman dan

    pembuangan jangkar di daerah terumbu karang

    tersebut, sedangkan tingginya tutupan karang

    mati yang telah ditumbuhi alga (dead coral with

    algae) pada Stasiun III yaitu 13,74% dan Stasiun

    IV yaitu 10,37% (Tabel 2) diduga akibat tekanan

    yang berasal dari aktivitas manusia dan faktor

    lingkungan yang sudah berlangsung lama.

    Menurut Tarigan dan Edward (2003)

    sejalan dengan krisis ekonomi yang

    berkepanjangan dan sulitnya mata pencaharian

    di darat, telah memaksa nelayan untuk

    melakukan penangkapan ikan dengan cara

    menggunakan bahan peledak, akibatnya banyak

    karang yang hancur dan ikan-ikan kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari

    makan. Fachry dan Pertamasari (2011) juga

    menjelaskan, lima aktivitas utama manusia yang

    mengancaman kelestarian terumbu karang,

    yaitu penangkapan ikan dengan bahan

    beracun, penangkapan ikan dengan bahan

    peledak, pengambilan batu karang, sedimentasi,

    dan pencemaran laut.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 66

    Menurut Bahartan et.al. 2010, penyebab

    utama kerusakan terumbu karang adalah akibat

    tekanan lingkungan dan antropogenik atau

    tekanan manusia. Selanjutnya, Smith et.al.

    (2008) menjelaskan, tekanan seperti ini dapat

    menyebabkan penurunan tutupan karang secara

    langsung melalui peningkatan angka kematian

    karang, atau secara tidak langsung melalui

    peningkatan penyakit karang dan penurunan

    peremajaan karang untuk dapat pulih kembali

    dari tekanan tersebut.

    C. Kelimpahan Acanthaster planci

    Berdasarkan hasil pengamatan di

    lapangan, ditemukan 4 individu Acanthaster

    planci, dimana pada Stasiun I dan IV masing-

    masing ditemukan satu individu A. planci

    dengan kelimpahan sebesar 12,50 ind/1000 m

    (Gambar 6), sedangkan pada Stasiun III tidak

    ditemukan individu A. planci karena daerah

    tersebut memiliki kondisi perairan yang tidak

    disukai oleh A. planci karena memiliki kecepatan

    arus yang cukup tinggi. Adapun pada Stasiun II

    ditemukan dua individu A. planci dengan

    kelimpahan sebesar 25 ind/1000 m (Gambar 6).

    Umumnya semua organisme A. planci tersebut

    ditemukan pada jenis karang bercabang dengan

    bentuk pertumbuhan Acropora branching. Hal

    ini disebabkan, Acropora branching merupakan

    bentuk pertumbuhan yang paling disukai oleh A.

    planci setelah acropora tabulate. Hal ini sesuai

    pernyataan Rani et.al. (2007) bahwa bentuk

    pertumbuhan Acropora branching merupakan

    bentuk pertumbuhan setelah Acropora tabulate

    yang lebih banyak dimangsa pada kedua fase

    hidup A. planci yaitu fase juvenile dan fase early

    juvenile. Tanda et.al. (2008) menyatakan, A.

    planci sangat menyenangi karang bercabang,

    terutama yang berbentuk meja (tabulate).

    Pratchett et.al. (2009) juga menjelaskan,

    dari hasil penelitian yang mereka lakukan di

    perairan Papua New Guinea, terlihat bahwa

    A. planci lebih menyukai memangsa karang jenis

    Acroporidae dan Pocilloporidae dibanding

    karang jenis Poritiidae.

    Menurut Azis (1995), tingkat populasi

    normal dari A. planci adalah apabila jumlahnya

    kurang dari 14 ind/1000 m2, sedangkan tingkat

    kelimpahan yang melebihi 14 ind/1000 m2

    dianggap telah mengkhawatirkan/mengancam.

    Mengacu pada penjelasan tersebut, dapat

    dikatakan bahwa kelimpahan A. planci pada

    Stasiun I dan IV masih tergolong alami atau

    belum mengancam kondisi terumbu karang pada

    daerah tersebut. Kelimpahan dengan status alami

    ini bermanfaat bagi terumbu karang yang

    pertumbuhannya lambat untuk tetap tinggal di

    daerah tersebut. Selain itu, dalam keadaan yang

    masih alami, polip atau kerangka karang yang

    mati akibat pemangsaan A. planci dapat menjadi

    tempat penempelan larva dan spora penghuni

    terumbu karang lainnya. Fraser et.al. (2000)

    menjelaskan, pemangsaan selektif A. planci

    mempunyai dampak ekologi yang positif karena

    memberikan bantuan kepada karang yang

    tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu

    tersebut.

    Kelimpahan A. planci pada Stasiun II

    telah mengancam kondisi terumbu karang pada

    daerah tersebut. Hal ini disebabkan, pada stasiun

    tersebut dekat dengan pemukiman penduduk dan

    merupakan wilayah dengan penduduk yang padat

    atau lebih banyak penduduknya dibanding

    wilayah lainnya sehingga limbah-limbah rumah

    tangga yang berasal dari pemukiman penduduk

    tersebut dapat manjadi makanan tambahan yang

    dapat meningkatkan kelulushidupan larva A.

    planci di wilayah perairan tersebut, karena

    sebelum mencapai dewasa untuk memakan polip

    karang, larva A. planci memakan bahan organik

    yang diantaranya berasal dari limbah rumah

    tangga yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai

    penjelasan CoralWatch (2011) bahwa kenaikan

    persediaan unsur hara yang berasal dari limbah

    industri, pertanian, dan rumah tangga yang

    masuk ke perairan dapat menyebabkan

    peningkatan populasi A. planci karena

    menyediakan sejumlah besar alga yang dimakan

    oleh larva A. planci.

    Menurut Gerard et.al. (2008), hilangnya

    pemangsa alami seperti Triton raksasa (Charonia

    tritonis) yang tertangkap oleh nelayan,

    merupakan penyebab peledakan populasi A.

    planci. Faktor lain yang mendukung kelimpahan

    A. planci pada daerah tersebut adalah

    ketersediaan makanan, dimana persen tutupan

    karang hidup di daerah tersebut masih tergolong

    tinggi atau baik, sehingga ketersediaan makanan

    yang dibutuhkan untuk A. planci dewasa dapat

    terpenuhi. Menurut Moran et.al. (1990), A.

    planci menyukai daerah terumbu karang dengan

    persentase tutupan karang yang tinggi.

    Walaupun pada Stasiun I dan IV masih

    dalam kategori alami, namun jika terjadi

    penambahan satu individu A. planci atau lebih

    pada daerah tersebut, maka kehadiran A. planci

    di daerah tersebut sudah mengancam kondisi

    terumbu karang di daerah tersebut, sehingga

    dapat dikatakan bahwa kelimpahan A. planci

    pada Stasiun I dan IV berada dalam kategori

    hampir mengancam.

    Menurut Budiyanto (2002), jika terjadi

    peledakan populasi A. planci dampaknya

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 67

    terhadap pemangsaan komunitas karang sangat

    besar, utamanya akan mempengaruhi semua

    kehidupan pada ekosistem terumbu karang,

    karena kerusakan karang yang luas dapat

    merusak komunitas binatang yang hidupnya

    tergantung pada karang, baik sebagai tempat

    mencari makan ataupun sebagai tempat

    berlindung.

    Simpulan

    Secara rata-rata kondisi terumbu karang

    pada Stasiun III dengan tutupan karang hidup

    sebesar 38,50% tergolong kategori sedang dan

    pada Stasiun I sebesar 63,90%, Stasiun II sebesar

    69,68%, dan Stasiun IV sebesar 61,58%

    tergolong kategori baik. Bentuk pertumbuhan

    yang paling dominan pada semua stasiun

    pengamatan adalah Acropora branching.

    Kelimpahan A. planci yang ditemukan pada

    Stasiun I dan IV sebanyak 12,50 ind/1000 m2

    berada dalam kategori alami dan hampir

    mengancam, sedangkan kelimpahan A. planci

    yang ditemukan pada Stasiun II sebanyak 25,00

    ind/1000 m2 telah mengancam kondisi terumbu

    karang di daerah tersebut.

    Persantunan

    Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. LM.

    Aslan, M.Sc selaku dekan FPIK Unhalu yang

    telah memberikan izin kepada penulis untuk

    melakukan penelitian, Ruslaini, S.Pi., M.Pi atas

    pinjaman alat selam, dan Dr. Baru Sadarun,

    S.Pi., M.Si atas bimbingannya selama penelitian,

    serta Muh. Andi atas izinnya untuk melakukan

    penelitian di pulau Bero.

    Daftar Pustaka

    Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan tentang

    Kehadiran Bintang Laut Jenis

    Acanthaster planci di Perairan

    Indonesia. Oseana. 20(2) : 23-32J.

    Bahartan, K., Zibdah, M., Ahmed, Y., Israel, A.,

    Brickner, I., Abelson, A. 2010.

    Macroalgae in the coral reefs of Eilat

    (Gulf of Aqaba, Red Sea) as a possible

    indicator of reef degradation. Marine

    Pollution Bulletin. 60(5) : 759-764.

    Birkeland, C., Lucas, J.S., 1990. Acanthaster

    planci: A Major Management Problem

    of Coral Reefs. CRC Press. Boca Raton.

    p 257.

    Budiyanto, A. 2002. Sang Bintang Pemburu

    Karang. Teknisi Litkayasa Bidang

    Sumber Daya Laut. Puslit Oseanografi-

    LIPI. Warta Oseanografi. 16(4) : 3-19.

    Brower, J. E. and J. H. Zar, 1997. Field and

    Laboratory Method forGeneral Ecology

    Wm. C. Brown Company Publisher.

    America. p 301.

    CoralWatch. 2011. Terumbu Karang dan

    Perubahan Iklim. Panduan Pendidikan

    dan Pembangunan Kesadartahuan. The

    University of Queensland. Australia.

    272 hal.

    DKP. 2007. Pengenalan Jenis-Jenis Karang di

    Kawasan Konservasi Laut. Ditjen.

    KP3K. Jakarta. Edisi V. 67 hal.

    Fachry, M.E., Pertamasari, A. 2009. Analisis

    Efektifitas Metode Penyuluhan pada

    Masyarakat Pesisir di Kabupaten

    Pangkep Sulawesi Selatan. Jurnal

    Agribisnis. 10(3) : 69-80.

    Fraser, N., Crawford, B.R., Kusen, J. 2000.

    Panduan Pembersihan Bintang Laut

    Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir.

    USAID-ICRMP, Jakarta. 45 hal.

    Gerard, K., Charlotte, R., Nicolas, C., Bernard,

    T., Anne, C., Jean P.F. 2008.

    Assessment of three mitochondrial loci

    variability for the crown-of-thorns

    starfish: A first insight into Acanthaster

    phylogeography. Comptes Rendus

    Biologies. 331(2) : 137-143.

    IPB. 2007. Profil Pulau-Pulau Kecil Gugus

    Kepulauan Tiworo. IPB. Bogor. 22 hal.

    Johan, O. 2003. Beberapa Genus Karang Yang

    Umum Dijumpai di Indonesia. Training

    Course. PSK-UI dan Yayasan

    TERANGI, serta didukung oleh IOI-

    Indonesia. Jakarta. 98 hal.

    Johan,O. 2003. Metode Survey Terumbu Karang

    Indonesia. Yayasan Terangi. Jakarta.

    9 hal.

    Kementerian Lingkungan Hidup. 2001.

    Himpunan Peraturan Perundang-

    undangan di Bidang Pengelolaan

    Lingkungan Hidup dan Pengendalian

    Dampak Lingkungan Era Otonomi

    Daerah. Jakarta. 737-739 hal.

    Moran, P.J., Bradbury, R.H., Greve, W.,

    Reichelt, R.E. 1990. Acanthaster planci

    outbreak initiation: A starfish-coral site

    model. Ecological Modelling. 49(3-4) : 153-177.

    Pratchett, M.S., Schenk, T.J., Baine, M., Sysms,

    C., Baird, A.H. 2009. Selective coral

    mortality associated with outbreaks of

    Acanthaster planci in Bootless Bay,

    Papua New Guinea. Marine

    Environmental Research. 67(4-5) :

    230-236.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU 68

    Rani, C., Yusuf, S., Benedikta, F. 2007.

    Preferensi dan Daya Predasi Acanthaster

    planci Terhadap Karang Keras. Jurusan

    Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan

    dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.

    Makassar. 14 hal.

    Sadarun, B., Nezon, E., Wardono, S., Afandy, Y.

    A., dan Nuriadi, L. 2006. Petunjuk

    Pelaksanaan Transplantasi Karang.

    Departemen Kelautan dan Perikanan.

    Jakarta. 36 hal.

    Setyobudiandi, I., Sulistiono, Yulianda,

    Kusmana, Hariyadi, Damar, Sembiring,

    dan Bahtiar. 2009. Sampling dan

    Analisis, Data Perikanan dan Kelautan.

    312 hal.

    Smith, T.B., Nemeth, R.S., Blondeau, J., Calnan,

    J.M., Kadison, E., Herzlieb, S. 2008.

    Assessing coral reef health across

    onshore to offshore stress gradients in

    the US Virgin Islands. Center for Marine

    and Environmental Studies. University

    of the Virgin Islands. 56(12) : 83-91. Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster

    planci). Balai Penelitian dan

    Pengembangan Biologi Laut. Puslitbang

    Oseanologi-LIPI. Jakarta. 16(3) : 1-7.

    Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem

    Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.

    129 hal.

    Tanda, L., Budimawan, dan Rani, C. 2008.

    Status dan Kondisi Terumbu Karang dan

    Ikan Karang pada Beberapa Daerah

    Perlindungan Laut (DPL)-Coremap II,

    Kabupaten Biak Numfor Tahun 2008.

    Unhas. Makassar. 19 hal.

    Tarigan, Z., dan Edward. 2003. Pemantauan

    Kondisi Hidrologi di Perairan Raha

    P. Muna Sulawesi Tenggara dalam

    Kaitannya dengan Kondisi Terumbu

    Karang. Pusat Penelitian Oseanografi.

    Lipi. Jakarta. 7(2) : 73-82.