jurnal mela.pdf
-
Upload
unconfusius -
Category
Documents
-
view
281 -
download
14
Transcript of jurnal mela.pdf
Prospek Pengembangan Berbagai Jenis Lobster Air Tawar
Sebagai Biota Akuakultur di Indonesia
Oleh :
Dr. G. Nugroho Susanto, M. Sc.
Email : [email protected] http://blog.unila.ac.id/gnugroho
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG 2010
2
Prospek Pengembangan Berbagai Jenis Lobster Air Tawar Sebagai Biota Akuakultur di Indonesia
G. Nugroho Susanto
Email : [email protected] http://blog.unila.ac.id/gnugroho
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
ABSTRAK Lobster air tawar merupakan anggota Crustacea, seperti udang dengan bentuk badan seperti lobster laut, tetapi seluruh siklus hidupnya berada di air tawar. Biota ini mulai banyak dikembangkan sebagai komoditas ikan hias maupun ikan konsumsi. Hingga saat ini lebih dari 500 species lobster dikenal di dunia yang dikelompokkan dalam 2 super famili utama : Astacoidea (dengan 2 anggota famili Astacidae dan Cambaridae) yang terdapat di hemisfer Utara dan super famili Parastacoidea (dengan anggota famili Parastacidae) yang terdapat di hemisfer Selatan. Di Indonesia lobster air tawar endemik terdapat di wilayah Papua dari species Cherax monticola, C. communis, C. lorentzi dan C. albertisii. Beberapa jenis lobster air tawar yang telah dibudidayakan di luar habitat aslinya antara lain Cherax quadricarinatus, C. tenuimanus, C. destructor, Procambarus clarkii dan Astacopsis gouldi. Biota akuatik ini banyak dikembangkan dalam akuakultur modern karena mempunyai beberapa keunggulan diantaranya mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, bersifat politrofik, pertumbuhannya cepat, fekunditas tinggi, resisten terhadap penyakit, disamping prospeknya akan permintaan pasar dunia yang terus meningkat.
Kata kunci : lobster air tawar, Crustacea, biota, akuakultur
Pendahuluan
Crayfish/ crawfish atau yang dikenal sebagai lobster air tawar merupakan
salah satu jenis Crustacea yang memiliki ukuran dan bentuk tubuh hampir sama
dengan lobster air laut. Lobster ini memiliki keunggulan dibandingkan lobster laut,
diantaranya sudah dapat dibudidayakan dan teknik budidayanya lebih mudah
dibanding udang windu dan udang galah. Perkembangan hidupnya sederhana
tanpa melalui stadia larva yang rumit (nauplius, zoea,mysis, postlarva), seperti
pada anggota Crustacea udang (Holdich, 1993). Sudah banyak dikembangkan
dalam skala akuarium atau kolam sebagai komoditi ikan hias dan ikan konsumsi.
Lobster ini tidak mudah stres dan tidak mudah terserang penyakit. Asalkan
kebutuhan pakan, kualitas air dan kebutuhan oksigen terpenuhi dapat tumbuh dan
berkembang cepat, sehingga sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Pada
3
umumnya lobster ini dibudidaya untuk makanan, meskipun ada species di
Amerika yang dikembangkan untuk pakan ikan dari jenis Orconectes immunis.
Biota akuatik ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan
lingkungan, terutama terhadap suhu dan salinitas (Henry dan Wheatly, 1988) dan
bersifat hiperosmoregulator pada perairan tawar melalui mekanisme adaptasi
fisiologis yang meliputi permeabilitas yang rendah dari tegumen terhadap air dan
ion, pengambilan ion secara aktif dari makanan melalui jaringan tranpor-ion pada
rongga insang, serta produksi urin yang bersifat hipotonik (encer) (Susanto dan
Charmantier, 2000). Hewan ini seperti juga kelompok udang dengan bentuk
badan seperti lobster laut yang dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu bagian
kepala-dada (chepalothoraks), bagian badan (abdomen) dan bagian ekor (telson).
Jenis-jenis lobster dapat dikenali dari ukuran dan warna tubuhnya, disamping ciri-
ciri yang lain sebagai pembeda diantaranya ukuran capit (besar/kecil), bagian
rostrum (bergerigi/polos, cembung/cekung pada bagian pangkalnya disebut
carina). Meskipun seluruh siklus hidupnya berada di air tawar, hewan tersebut
mampu hidup pada lingkungan air tawar maupun air payau dengan kadar garam
yang relatif cukup tinggi (Henry dan Wheatly, 1988; Susanto dan Charmantier,
2000). Di Indonesia komoditas lobster air tawar sebagai ikan hias mulai dikenal
sejak tahun 1991. Keberhasilan biota ini dalam teknik budidaya, disamping
pertumbuhannya yang cepat dan dapat mencapai ukuran besar, sehingga sejak
tahun 2003 para pembudidaya mengembangkan jenis udang tawar ini tidak hanya
sebagai komoditas ikan hias, tapi juga untuk komoditas konsumsi, seperti halnya
pada udang. Kebutuhan akan lobster air tawar konsumsi semakin meningkat,
namun produksinya masih sangat rendah sehingga harga di pasaran relatif tinggi.
Klasifikasi dan Morfologi Lobster Air Tawar
Klasifikasi dan morfologi lobster air tawar jarang disajikan dengan lengkap.
Padahal hal ini sangat penting bagi para mahasiswa dan juga para guru, dosen,
peneliti dan kalangan akademisi lainnya. Sebagai contoh Patasik (2004)
mengklasifikasikan jenis lobster air tawar red claw (huna merah) kedalam filum :
Arthropoda; subfilum : Mandibulata; kelas : Crustacea; subkelas : Malacostraca;
seri : Eumalacostraca; superordo : Eucarida; ordo : Decapoda; subordo :
Reptantia; famili : Parastacidae; genus : Cherax; spesies : Cherax quadricarinatus.
4
Sedangkan Holthuis (1950) mengklasifikasikan jenis huna merah kedalam filum :
Arthropoda; subfilum : Mandibulata; kelas : Crustacea; subkelas : Malacostraca;
superordo : Eucarida; ordo : Decapoda; subordo : Reptantia; famili : Parastacidae;
genus : Cherax; spesies Cherax quadricarinatus.
Secara morfologi tubuh lobster terbagi dua bagian, yaitu bagian depan dan
bagian belakang. Bagian depan terdiri dari bagian kepala dan dada. Kedua bagian
itu disebut chepalothoraks. Kepala udang ditutupi oleh cangkang kepala, yang
disebut carapace (karapaks). Kelopak kepala bagian depan disebut rostrum atau
cucuk kepala. Bentuknya runcing dan bergerigi. Kepala lobster terdiri dari enam
ruas. Pada bagian itu terdapat beberapa organ lain. Sepasang mata berada pada
ruas pertama. Kedua mata itu memiliki tangkai dan bisa bergerak. Pada ruas
kedua dan ketiga terdapat sungut kecil, yang disebut antennula, dan sungut besar
yang disebut antenna. Sedangkan pada ruang, keempat, kelima dan keenam
terdapat rahang (mandibula), maxilla I dan maxilla II. Ketiga bagian ini berfungsi
sebagai alat makan (Wiyanto dan Hartono, 2003). Organ lain yang ada pada
bagian kepala adalah kaki jalan. Jumlahnya empat pasang, dengan ukuran kaki
paling depan lebih besar. Bagian belakang terdiri dari badan dan ekor. Kedua
bagian itu disebut abdomen. Pada bagian atas abdomen ditutupi dengan enam
buah kelopak. Sedangkan bagian bawahnya tidak tertutup, tetapi berisi enam kaki
renang (pleopoda). Ekor terdiri dari bagian tengah yang disebut telson, dan bagian
samping yang disebut uropoda.
Gambar 1. Morfologi dan bagian-bagian utama dari tubuh lobster air tawar
5
Menurut Wiyanto dan Hartono (2003), ciri utama lobster air tawar dari jenis
red claw adalah kedua ujung capitnya berwarna merah. Untuk jantan warna merah
muncul di bagian capit sebelah luar, sedangkan betina tidak seperti itu, tetapi
terkadang dijumpai warna merah tersebut berada di bagian dalam. Tanda lainnya
hampir seluruh bagian tubuh didominasi, atau berwarna dasar warna biru laut
yang berkilau, tetapi mulai dari bagian hingga ekor berwarna biru pekat dengan
semburat kemerah-merahan, terutama tubuh bagian atas. Adapula terlihat dengan
bintik putih kemerah-merahan. Sementara antara ruas kaki jalan berwarna merah.
Kedua capit berwarna biru dan bagian pangkalnya dikelilingi warna merah, jika
dilihat seperti cincin melingkar.
Sedangkan menurut Iskandar (2003), lobster air tawar merupakan hewan
yang tidak memiliki tulang dalam (internal skeleton), tetapi seluruh tubuhnya
terbungkus cangkang (ekternal skeleton). Lalu, bila dilihat bagian luar, lobster air
tawar memiliki alat pelengkap, yaitu : (1). sepasang antena yang berfungsi
sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan kondisi lingkungann. (2)
sepasang antenula yang berfungsi sebagai alat penciuman, mulut dan sepasang
capit (cheliped) yang lebar dengan ukuran lebih panjang jika dibandingkan dengan
ruas dasar capitnya. (3) enam ruas badan (abdomen) memipih, sedikit dengan
lebar rata-rata hampir sama dengan lebar kepala. (4) ekor. Ekor terdiri dari ekor
tengah (telson) memipih, sedikit lebar dan dilengkapi duri-duri halus yang muncul
di semua bagian tepi ekor. Bagian ekor lainnya adalah dua pasang ekor samping
(uropod) yang juga memipih. (5) enam pasang kaki renang (pleopoda) yang
berperan dalam melakukan gerakan renang. Disamping sebagai alat berenang,
kaki induk pada betina digunakan sebagai alat untuk menambah oksigen dengan
pergerakannya. Selain itu juga digunakan untuk membersihkan telur atau larva
dari tumpukan kotoran yang terendap. (6) empat pasang kaki jalan (pereipoda).
Huna capit merah merupakan jenis lobster air tawar yang mempunyai capit
berwarna merah dan warna tubuhnya hijau kemerahan. Seluruh permukaan huna
capit merah memiliki duri-duri kecil berwarna putih. Telurnya berwarna kuning
kemerahan.
Distribusi Geografis dan Keberadaannya di Indonesia
Lobster air tawar secara geografis hidup tersebar di beberapa perairan
dunia. Lebih dari 500 species lobster air tawar di dunia yang termasuk dalam 3
6
famili utama yaitu Astacidae, Cambaridae dan Parastacidae (Hobbs, 1988;
Hunner dan Lindqvist, 1995). Famili Astacidae banyak ditemukan di perairan barat
Rocky Mountains di barat laut Amerika Serikat sampai Kolombia, Kanada, dan di
Eropa. Famili Cambaridae banyak ditemukan di bagian timur Amerika Serikat
(80 % dari jumlah species) dan bagian Selatan Meksiko. Sementara famili
Parastacidae ditemukan banyak di perairan Australia, Selandia Baru, Amerika
Selatan dan Madagaskar.
Ketiga famili ini tersebar secara geografis yang dapat dibedakan dalam 2
super famili utama : Astacoidea yang berada di belahan bumi (hemisfer) Utara
dan Parastacoidea di hemisfer Selatan. Secara alami lobster tersebut menyebar di
hampir semua benua kecuali Afrika dan Antartika, meskipun di kedua benua
tersebut pernah ditemukan fosilnya. Perbedaaan kedua superfamili ini terletak
pada tempat pelekatan larva selama perkembangannya, baik pada larva stadium I
maupun stadium II di kaki abdomen (pleopoda) induknya (Susanto, 2000).
Gambar 2. Distribusi geografis tiga famili penting lobster air tawar di dunia : famili Astacidae, Cambaridae dan Parastacidae (Hobbs, 1988; Crandall and Fetzner, 1998)
7
Gambar 3. Perbedaan pelekatan larva lobster air tawar pada kaki abdomen induk (pleopoda) Antara superfamili Parastacoidea pada larva stadium I (A) dan dan larva stadium II (B) dari species Parastacoides tasmanicus tasmanicus (Hamr, 1992) dan super famili Astacoidea pada larva stadium I (C) dari species Astacus leptodactylus (Arrignon, 1991).
Menurut Holthuis (1950), di Indonesia terutama di perairan Jayawijaya,
Papua, ditemukan beberapa jenis anggota Parastidae, diantaranya Cherax
monticola, C. communis, C. lorentzi, dan C. albertisii. Sabar (1975) menjelaskan
bahwa ada 14 jenis Cherax sp di Irian, 12 jenis di Irian Barat (sekarang Papua)
dan 2 jenis di Papua (Papua New Guinea). Berdasarkan hasil inventarisasi udang
Cherax di kabupaten Jayawijaya ada 9 jenis yang dapat dibedakan berdasarkan
ciri-ciri morfologi dan habitatnya, namun pemanfaatannya baru terbatas pada
penangkapan di alam dan belum dibudidayakan secara tradisional maupun
intensif.
Domestikasi Species Lobster Air Tawar Dalam Akuakultur
Domestikasi merupakan tahap awal dari budidaya sebagai upaya untuk
melakukan adaptasi terhadap lingkungan baru (Maskur dkk, 2005). Species
lobster yang telah didomestikasi dan dikembangkan oleh beberapa negara dalam
akuakultur antara lain :
- Famili Astacidae : Astacus astacus, Astacus leptodactylus (Turki, Eropa
Tengah), Pacifastacus leniusculus (AS, Swedia, UK)
8
- Famili Cambaridae : Orconectes immunis (AS), Procambarus clarkii (AS,
RRC) dan Procambarus zonangulatus, Pacifastacus leniusculus (USA)
- Familia Parastacidae : Cherax destructor, Cherax quadricarinatus, Cherax
tenuimanus (Australia, Indonesia).
Budidaya lobster air tawar asal Australia telah dimulai sejak 1991 dan terus
dikembangkan oleh para pembudidaya di Indonesia sejak species introduksi ini
disetujui oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Ada 3
jenis yang telah dimasukkan ke Indonesia Cherax tenuimanus (marron), Cherax
destructor/ albidus (yabbi) dan Cherax quadricarintus (red claw) (Sukmajaya dkk,
2004; Maskur dkk, 2005).
Selain lobster air tawar asal Australia juga dikembangkan species yang
berasal dari Lousiana, Amerika Serikat yaitu Procambarus sp (red crayfish) pada
tahun 1990 (Trubus, 2003). Procambarus clarkii adalah species yang paling
banyak dibudidayakan, lebih dari 80% dari lobster dunia kecuali di Australia dan
Antartika. Jumlah ini merupakan produksi kumulatif dari hasil buidaya maupun
tangkapan liar di alam. Species ini berhasil cepat diintroduksikan di seluruh dunia
dan dikembangkan dalam akuakultur secara besar-besaran. Sedangkan di
Australia species yang paling banyak dibudidaya adalah Cherax destructor yang
meliputi 80 % dari panen tahunan. Hasil budidaya lobster C. tenuimanus di
Australia dapat mencapai ukuran berat 2 kg, sedangkan C. quadricarinatus
mencapai 0,5 kg dalam waktu singkat (Masser and Rouse, 1997). Berdasarkan
hasil inventarisasi lobster di kabupaten Jayawijaya, terdapat 9 jenis Cherax yang
dibedakan berdasarkan ciri morfologi dan habitatnya (Dinas Perikanan dan
Kelautan Pemerintah Propinsi Papua, 2003).
Lobster air tawar adalah Decapoda air tawar yang dapat tumbuh menjadi
besar. Jumlah lobster air tawar saat ini mencapai lebih dari 500 jenis yang
tersebar di seluruh dunia sebagai specimen asli, antara lain Eropa Selatan,
Jepang Utara, Cina Timur Laut, Rusia Tenggara, Australia, Tasmania, New
Zealand, Uruguay, Brazil Selatan, Chili Selatan dan Madagaskar. Di Indonesia,
terutama di perairan Jaya Wijaya terdapat beberapa species, diantaranya Cherax
monticola, C. lorenzi, C. communis, C. papuana dan C. waselli (Amarullah dkk,
1984; Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Propinsi Papua, 2003). Pada
awalnya lobster air tawar dikenal sebagai komoditas ikan hias. Warna dan bentuk
tubuhnya menjadi daya tarik tersendiri untuk dijadikan sebagai pajangan di
9
akuarium. Berbagai jenis lobster air tawar telah didatangkan (diimpor) untuk
memenuhi pasar ikan hias di Indonesia. Selain itu, para hobiis lobster hias juga
berburu jenis-jenis species lokal asli Indonesia untuk pengembangannya dalam
akuakultur.
Pada tahun 1994 Amerika Serikat (AS) mengekspor lobster, terutama jenis
redswamp crayfish, Procambarus clarkii dan signal crayfish, Pacifastacus
leniusculus lebih dari 4.000 ton. Semakin tahun produksinya semakin menurun,
sehingga impornya menjadi semakin meningkat. Pada tahun 2000, AS sudah tidak
atau sedikit mengekspor lobster air tawar. Pada tahun 2004 impor lobster air tawar
AS mencapai 7000 ton, sedangkan produksinya pada tahun 2002 mencapai
30.000 ton. Melihat permasalahan tersebut ternyata pengembangan lobster air
tawar sebagai komoditas konsumsi dinilai lebih potensial. Hal ini didasarkan pada
beberapa alasan, antara lain adalah permintaan pasar yang masih belum
terpenuhi, baik domestik maupun ekspor. Selain itu salah satu hal yang
melatarbelakangi adalah ketidakstabilan hasil tangkapan lobster air laut. Alasan
lain adalah apabila lobster air tawar sebagai komoditas yang dikonsumsi, maka
ketersediaan stok lobster air tawar akan selalu dibutuhkan. Hal ini tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor, karena pasar domestikpun saat ini
masih belum terpenuhi secara stabil.
Di Indonesia, hidangan lobster air tawar masih terbatas pada restauran di
kota-kota besar dan hotel berbintang dengan harga yang sangat tinggi. Kondisi
tersebut menjadikan komoditas lobster air tawar akan menjadi peluang bisnis yang
potensial. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan
masyarakat menuntut dilakukannya upaya menggali berbagai alternatif untuk
meningkatkan produksi sebagai penunjang ketersediaan bahan pangan. Kondisi
sumberdaya alam di Indonesia secara umum juga sangat cocok untuk
pengembangan budidaya lobster air tawar.
Beberapa Keunggulan Lobster Air Tawar Sebagai Biota Akuakultur
Lobster air tawar banyak dikembangkan karena mempunyai kemampuan
adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, terutama iklim, salinitas dan
10
suhu. Selain itu biota tersebut berperan dalam mengatur rantai makanan yaitu
melalui proses penghancuran (detritivor) vegetasi maupun sampah-sampah daun
sebagai makanannya di perairan. Hal ini akan meningkatkan kandungan nutrien
dan bahan-bahan organik yang tentunya akan dimanfaatkan oleh organisme lain.
Habitatnya meliputi daerah yang beriklim sedang sampai daerah beriklim tropis.
Ada beberapa keunggulan lobster air tawar yang menguntungkan sehingga
banyak dikembangkan dalam akuakultur modern di banyak negara, termasuk di
Indonesia (Holdich, 1993; Holdich et al. 1997; Susanto dan Charmantier, 2000;
Iskandar, 2003; Wiyanto dan Hartono, 2003), yaitu :
1) kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan (iklim,
salinitas, suhu, dll.)
2) bersifat politrofik, artinya memakan segala jenis makanan dari tumbuhan
termasuk biji-bijian sampai berbagai jenis hewan yang ada di dalam
perairan. Hewan ini mempunyai sistem pencernaan (digestiva) yang sangat
sederhana, sehingga dengan makanan yang cukup dapat mempertahankan
kehidupannya.
3) pertumbuhan yang relatif cepat untuk mencapai ukuran dan berat tertentu
4) fekunditas yang tinggi yang meliputi jumlah individu yang dihasilkan dalam
masa reproduksi dan jumlah masa reproduksi dalam periode waktu tertentu.
Lobster ini dapat melakukan proses reproduksi sekali atau beberapa kali
dalam setahun.
5) resisten terhadap penyakit
6) permintaan pasar dunia yang terus mengalami peningkatan
Kesimpulan
Lobster air tawar mempunyai kawasan distribusi geografis yang sangat luas
di dunia dan memiliki beberapa keunggulan sebagai hewan budidaya. Beberapa
species lobster ini telah berhasil didomestikasi dan diintroduksikan ke dalam
habitatnya yang baru, sehingga mampu meningkatkan keanekaragaman jenis
dari biota akuatik yang ada, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam
akuakultur modern. Permintaan pasar dunia akan hasil perikanan budidaya yang
terus meningkat, khususnya jenis lobster ini merupakan tantangan dalam upaya
pengembangannya di masa mendatang termasuk di Indonesia.
11
Daftar Pustaka
Amarullah, M.H., Aliah, R. S., Sabar, F., Hartoto, D. I., Kusmiati, Wowor, D., Irawati, S., Rachmatika, I.., Surachman, M., Siluba, M., Pranowo, M. 1984. Pengkajian ekologi Udi, Cherax monticola sebagai dasar teknik budidaya. Progress Report. Kerjasama Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan LBN -LIPI.
Arrignon, J. 1991. L’ecrevisse et son elevage. 2° edition revue et augmentee,
Lavoisier, Technique et Documentation, Paris, 208 p. Crandall, K.A., Fetzner, J.W.JR. 1998. Astacidea-crayfish. Website Decapoda
1995-2000. Department of Zoology et Monte L. Bean Life Science Museum, Birgham Young University, Provo, USA.
Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Propinsi Papua. 2003. Inventarisasi
potensi pengembangan udang Cherax spp di kabupaten Jayawijaya. Laporan Akhir, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Papua.
Hamr, P. 1992. Embryonic and postembryonic development in the Tasmanian
freshwater crayfish, Astacopsis gouldi, Astacopsis franklinii, Parastacoides tasmanicus tasmanicus (Decapoda, Parastacidae). Aust. J. Mar. Freshwat. Res. 43:861-878.
Henry, R. P. and Wheatly, M. G. 1988. Dynamics of salinity adaptations in the
euryhaline crayfish. Pacifastacus leniusculus. Physiol. Zool.,61 (3) : 260-271.
Hobbs, H. H, Jr. 1988. Crayfish distribution, adaptive radiation and evolution. In :
Freshwater crayfish : biology, management and exploitation, p. 52-82. D.M. Holdich, R.S. Lowery, eds. Chapman and Hall, London.
Holdich, D. M. 1993. A review of astaciculture : freshwater crayfish farming. Aquat.
Living Resour. 6, 307-317. Holdich, D. M., Horlioglu, M.M., Firkins, I. 1997. Salinity adaptations of crayfish in
British waters with particular reference to Austropotamobius pallipes, Astacus leptodactylus, and Pacifastacus leniusculus. Est. Coast. Shelf Sci. 44: 147-154.
Holthuis, L. B., 1950. The Crustacea Decapoda Macrura collected by the Archbold
New Guinea Expeditions. Result of the Archbold expeditions no. 63. The American Museum of Natural History City of New York, June 23, Number 1461.
Huner, J. V. and Lindqvist, O.V. 1995. Physiological adaptations of freshwater
crayfishes that permit successful aquacultural enterprises. Amer. Zool., 35 : 12-19.
12
Iskandar, T. 2003. Budidaya Lobster Air Tawar. Agro Media Pustaka. Jakarta. Masser, M. P. and Rouse, D.B, 1997. Australian red claw crayfish. SRAC
Publication No. 244. Maskur, Sukmajaya, Y., Mudjiutami, E., Murtiati. 2005. Domestikasi dan
pengembangan Cherax albertisii di Indonesia. Paper pada Temu Udang Nasional, Jakarta.
Patasik, S. 2004. Pembenihan Lobster Air Tawar Lokal Papua. Penebar Swadaya.
Jakarta. Sabar, F. 1975. Udi (crayfish) di Irian. Buletin Kebun Raya, vol. 2. No. 1, April
1975. Sukmajaya, Y., dkk. 2004. Domestikasi Cherax sp. Laporan Tinjauan Hasil Proyek
Pengembangan Rekayasa Teknologi Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Susanto, G. N., Charmantier, G. 2000. Ontogeny of osmoregulation in the crayfish
Astacus leptodactylus. Physiological and Biochemical Zoology, 73 (2) : 169-176.
Susanto, G. N. 2000. Crayfish adaptation to freshwater : ontogeny of
osmoregulation in Astacus leptodactylus. Doctoral dissertation, Universite Montpellier II, France, 129p.
Trubus, 2003. Lobster akuarium 10 bulan kembali modal. Trubus 401-April 2003/
XXXIV. Wiyanto, R. H., Hartono, R. 2003. Lobster air tawar, pembenihan dan
pembesaran. Penebar Swadaya, Jakarta, 79 hal.