Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

23
MENSUKSESKAN OTONOMI DESA Suryanto Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Pendahuluan Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. ABSTRAK Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.

description

ABSTRAK Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.

Transcript of Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Page 1: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

MENSUKSESKAN OTONOMI DESA

Suryanto Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara

Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

Pendahuluan

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana

dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 memberi kesempatan kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan potensi yang ada di

daerah masing-masing. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

ABSTRAK

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah

Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan

mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.

Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar

penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan

oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun

industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi

yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana

otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004.

Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya

membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah

urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.

Page 2: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana

keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung

tombak pembangunan, maka perhatian terhadap keberhasilan otonomi desa

menjadi penting. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal

merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan

pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan

kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi

masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat

menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian,

maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma

menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu

memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah

Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada

masyarakatnya dan mampu membawa masyarakat desa ke arah kehidupan

yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan

menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat

ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa.

Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan

desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan

transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks

di desa. Dimana pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat

daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang

otonom. Masyarakat atau kelompok masyarakat diperkenalkan dengan hal

baru dalam konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat

serta meniru demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan

tanpa batas.

Beberapa kendala yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu

dicari jalan keluarnya, antara lain: Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik

di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap

Page 3: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan daerah. Sehingga untuk

melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis

dan segala tuntunan dari atas (Tuntas). Kedua, usulan-usulan tentang prioritas

program pembangunan di desa yang disampaikan kepada Pemerintah

Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa dan kecamatan sering

terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan sungguh-sungguh

oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang prioritas

program pembangunan di desa dan kecamatan yang "itu-itu saja" dari tahun ke

tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan

daerah dalam hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN

model baru yang menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam

laci. Bukan rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai

orang yang memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun

Eksekutif, sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh

prioritas proyek-proyek pembangunan. Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar

dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang

memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru mempersulit

untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah sumber daya alam dan

tidak memiliki aset yang cukup. Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten

dalam penanganan aset Kabupaten yang ada di desa. Di satu sisi aset tersebut

dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di

sisi lain, Desa yang memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan

aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima

penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang

mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten

yang ada di desa.

Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau

keseimbangan dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten,

desa-desa mesti tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki

kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU

Kabupaten.

Page 4: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Mengenai kasus persatuan desa-desa di salah satu kabupaten yang tidak

membayarkan hasil penarikan PBB kepada Pemerintah Kabupaten selama

pemanfaatan DAU Kabupaten tidak memperhatikan dan memihak kepada

kepentingan masyarakat desa, mungkin bukan cara yang pantas untuk ditiru.

Namun, ternyata manuver tersebut dapat membawa hasil. Terbukti tidak

kurang 30% DAU Kabupaten dimaksud akhirnya benar-benar diperuntukkan

bagi desa-desa yang ‘mogok’ menyetor hasil penarikan PBB.

Tentu masih banyak cara lain yang lebih santun dapat dilakukan, dalam

rangka mensejahterakan masyarakat desa yang notabene merupakan warga

terbanyak dari satu Negara, Propinsi, atau Kabupaten. Untuk itu, kita perlu

mencermati seluruh aspek yang dapat mempengaruhi tercapainya

kesejahteraan masyarakat desa dalam penyelenggaraan otonomi desa menurut

UU Nomor 32 Tahun 2004.

Otonomi Desa Menurut UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 32 Tahun 2004 merumuskan bahwa desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di

daerah kabupaten. Dalam pasal 1 ayat (12) dinyatakan: desa atau yang disebut

dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat

istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan

mengurus kepentingannya sendiri berarti kesatuan masyarakat hukum

tersebut mempunyai otonomi. Dengan demikian, desa mempunyai otonomi.

Hanya saja otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki

pemerintah propinsi, kabupaten dan kota, tetapi otonomi berdasarkan asal-usul

dan adat istiadat. Otonomi berdasarkan asal-usul dan adat istiadat adalah

Page 5: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

otonomi yang telah dimiliki sejak dahulu kala dan telah menjadi adat istiadat

yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.

Sumber: Hanif Nurcholis, 2005:136

Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa otonomi yang dimiliki oleh

pemerintah propinsi, kabupaten dan kota adalah otonomi formal, karena

urusan-urusan pemerintahan yang dimiliki atau yang menjadi kewenangannya

ditentukan dengan undang-undang. Sebagai contoh, urusan-urusan (wajib)

pemerintahan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota meliputi: a)

perencanaan dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan,

dan pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat, d) penyediaan sarana dan prasarana umum, e)

penanganan bidang kesehatan, f) penyelenggaraan pendidikan, g)

penanggulangan masalah sosial, h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, i)

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, j) pengendalian

lingkungan hidup, k) pelayanan pertanahan, l) pelayanan kependudukan dan

catatan sipil, m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, n) pelayanan

administrasi penanaman modal, o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,

dan p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Selain itu, masih ada pula urusan

pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,

kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

PEMERINTAHKABUPATEN

DESA DESA DESA DESA

OTONOMI

FORMAL

OTONOI

ADAT

Page 6: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Berbeda dengan pemerintah desa, ternyata urusan yang dimiliki tidak

secara formal ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana

tercantum pada Pasal 206 bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan desa mencakup: a) urusan pemerintahan yang sudah ada

berdasarkan hak asal-usul desa, b) urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, c)

tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau pemerintah

kabupaten kota. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-

usu desa tersebut misalnya: urusan lumbung desa, urusan pengairan desa,

urusan pengelolaan makam keramat, urusan penyelenggaraan upacara adat,

dan sebagainya.

Kelembagaan Pemerintah Desa

1. Tugas pokok dan fungsi

Pemerintah desa adalah unsur penyelenggara pemerintahan desa,

yang memiliki tugas pokok: a) melaksanakan urusan rumah tangga desa,

urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat, b)

menjalankan tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi dan

pemerintah kabupaten.

Untuk menjalankan tugas pokok tersebut, pemerintah desa

mempunyai fungsi:

a. penyelenggaraan urusan rumah tangga desa;

b. pelaksanaan tugas di bidang pembangunan dan pembinaan

kemasyarakatan yang menjadi tanggung jawabnya;

c. pelaksanaa pembinaan perekonomian desa;

d. pelaksanaan pembinaan partisipasi dan swadaya gotong royong

masyarakat;

e. pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

f. pelaksanaan musyawarah penyelesaian perselisihan masyarakat desa;

Page 7: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

g. penyusunan, pengajuan rancangan peraturan desa;

h. pelaksanaan tugas yang dilimpahkan ke pemerinah desa.

2. Struktur organisasi

Struktur organisasi pemerintah desa terdiri dari kepada desa, sekretaris

desa, kepaa urusan, pelaksanan urusan, kepala dusun dan badan

permusyawaratan desa.

a. Kepala Desa

Tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian urusan rumah tangga

desa, urusan pemerintahan umum, pembinaan dan pembangunan

masyarakat serta menjalankan tugas pembinaan dan pembangunan

masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah di

atasnya. Kepala desa memimpin para staf/pembantunya untuk

menyelenggarakan pemerintah desa.

b. Sekretaris Desa

Sekretaris desa adalah staf yang memimpin sekretariat desa. Sekretaris

desa bertugas membantu kepada desa di bidang pembinaan administrasi

dan memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh

perangkat pemerintah desa. Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi

persyaratan.

c. Kepala Urusan

Kepala urusan atau disebut Kaur adalah staf yang membantu sekretaris

desa sesuai dengan bidangnya. Kaur betanggung jawab kepada Sekdes.

Kaur terdiri atas: 1) Kaur pemerintahan, 2) Kaur Pembangunan, 3) Kaur

Administrasi. Untuk desa yang besar dan urusannya banyak bisa

ditambahkan dengan : 1) Kaur Kesejahteraan rakyat, 2) Kaur Keuangan

dan 3) Kaur Umum.

d. Pelaksana Urusan

Page 8: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Adalah staf yang melaksanakan urusan teknis di apangan seperti urusan

aur (uu-ulu), urusan agama Islam (modin), dan lain-lain. Pelaksana

urusan bertanggung jawab kepada kepala desa.

e. Kepala Dusun

Kepala dusun atau disebut Kadus berkedudukan sebagai unsur

pelaksana tugas kepala desa di wilayah kerjanya. Tugas Kadus

menjalankan tugas kepala desa di wilayah kerjanya.

f. Badan Pemusyawaratan Desa

Adalah badan pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan

desa. BPD adalah mitra kepala desa. BPD dan kepala desa memikirkan

desanya agar maju dan sejahtera. Tugas BPD adalah: a) mengayomi adat

istiadat, b) membuat peraturan desa, c) menampung dan mengayomi

aspirasi masyarakat, dan d) melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan desa.

3. Analisis kelembagaan desa

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 desa tidak lagi berada di bawah

kecamatan, tetapi di bawah kabupaten/kota (terdapat sebagian desa yang

berada di bawah pemerntah kota, namun sesuai amanat pasal 200 ayat 3,

desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan

statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa

bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan denga Perda).

Dengan demikian, kepala desa langsung di bawah pembinaan

bupati/walikota. Kecamatan bukan lagi sebagai suatu wilayah yang

membawahi desa-desa tetapi hanya merupakan wilayah kerja camat. Camat

tidak lagi berperan sebagai penguasa tunggal di wilayahnya seperti pada

masa UU No 5 Tahun 1974, tetapi ia hanya sebagai perangkat pemerintah

kabupaten. Gambaran sederhana mengenai kedudukan pemerintah

kabupaten, kecamatan dan desa adalah sebagaimana bagan berikut:

KABUPATEN

Page 9: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Sumber: Hanif Nurcholis, 2005:137.

Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan badan

pemusyawaratan desa (Pasal 200 ayat 1), sedangkan pemerintah desa

terdiri dari kepala desa dan perangkat desa (Pasal 202 ayat 1). Rumusan ini

berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1979 yang menyebutkan bahwa

pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan lembaga masyarakat desa

(LMD). LMD adalah semacam badan permusyawaratan desa, tetapi karena

LMD dipimpin oleh kepala desa maka kedudukan, peran, fungsi dan tugas

pokoknya tidak jelas. UU No. 22 Tahun 1999 membedakan secara tegas

peran kepada desa dan BPD (badan perwakilan desa – dalam UU No.32

Tahun 204 BPD adalah badan permusyawaratan desa). Kepala desa adalah

pelaksana kebijakan, sedangkan BPD adalah lembaga pembuat dan

pengawas kebijakan desa (Perdes). Jadi BPD merupakan badan seperti

DPRD kecil di desa.

Upaya penguatan institusi Badan Perwakilan Desa sebagai

representasi masyarakat desa untuk mengontrol jalannya pemerintah desa

serta menampung aspirasi masyarakat baru mulai berjalan. Ironisnya,

secara mengejutkan ternyata revisi terhadap UU No 22/1999 menjadi UU

No 32/2004 telah mengebiri peran politis dan kontrol publik (masyarakat

desa) terhadap jalannya pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa

dalam UU No 32/2004 tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan melalui

musyawarah mufakat, sebagaimana tertuang pada Pasal 210 ayat (1)

“Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa

KECAMATAN

DESA

Page 10: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. Hal

ini berarti memasung kembali penguasaan dan kontrol masyarakat

terhadap sumber daya ekonomi pedesaan. Dan peran penguasan serta

kontrol sumber daya ekonomi pedesaan diambil alih kembali oleh

pemerintah daerah dan swasta demi lancarnya iklim investasi.

Peningkatan Sosial Ekonomi Desa melalui Industrialisasi Desa

Peningkatan sosial ekonomi masyarakat pedesaan, menurut Francis

Wahono (2005), adalah jika masyarakat desa memiliki akses dalam penguasaan

dan kontrol terhadap tenaga kerja dan tanah yang ada di desanya. Dalam

otonomi daerah yang telah berjalan selama 5 tahun, prores pengembalian

kekuasaan dan kontrol masyarakat desa terhadap tanah (komunal/adat dan

individual) serta tanaga kerja berjalan sangat lamban. Badan Perwakilan Desa

sebagai institusi baru di pemerintahan desa sebagian besar masih mencari

bentuknya, apalagi menampung aspirasi masyarakat dan menyalurkannya

masih jauh dari kenyataan. Kendati demikian, fungsi kontrol BPD terhadap

jalannya pemerintahan desa sebagian besar telah dilakukan, baik sebagai

pribadi yang telah dipilih secara langsung oleh rakayat maupun secara institusi.

Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan

"leading-sectors" telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan.

Doktrin pertumbuhan sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan

metode produksi modern ke dalam masyarakat desa Indonesia, cenderung

memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi dan proses pemanfaatan

hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi problem-

problem pokok yang berada di tengah masyarakat.

Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal,

menurunnya hasil produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah,

dan sebagainya (Husken, 1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan

ekonomi golongan miskin di pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang

menggantungkan hidupnya dari kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan

ekonomi yang timpang antara kawasan perkotaan dan pedesaan telah

Page 11: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

menimbulkan apa yang disebut premature urbanization bersamaan dengan

terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief, 1990).

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak

dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi

perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu

terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah

terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam

penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini bukan disebabkan oleh

permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi semata-mata disebabkan

oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja dalam

jumlah banyak.

Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan

terjadinya pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai

jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental

membaluti proses pembangunan. Bahkan, secara sistematik skema

pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan berbagai resiko. Jika kita

klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam pembangunan desa

sejauh ini.

Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara.

Sebagai aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan

pemberdayaan melalui skema “pembangunan nasional” dan “pembangunan

daerah”, sebagai “master plan” yang direncanakan secara sentralistik

(terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan prosedur birokrasi) dan

teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat (dalam katagori

kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya

diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara,

dengan demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan,

regulasi, informasi dan dana untuk memobilisasi agenda kegiatan

pembangunan. Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari

pemerintahan, melalui skema pem-bangunan nasional dan daerah, sangat giat

melancarkan berbagai program yang dimaksudkan untuk melancarkan

Page 12: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari pembangunan desa terpadu

sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui pembangunan itulah,

pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa. Diantaranya,

memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan

pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan

keterbalakangan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan

sosial-ekonomi warga.

Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural

development) merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-

lembaga internasional seperti Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema

perbaikan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan

pemasaran), peningkatan produksi pertanian melalui revolusi hijau, maupun

pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan layanan

sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan prasarana fisik

spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang

menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat

melalui Inpres Bandes, mulai 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana

fisik yang berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka

pembangunan sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek

atau kelompok penerima manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral

dikemas menjadi rangkaian “proyek berkelanjutan” yang didanai oleh APBN

dan ditangani langsung oleh birokrasi negara baik di pusat maupun daerah

(yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu mengatakan bahwa

semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri, pasti

mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang

terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan

yang dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini

merupakan skema sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan

desentralisasi pembangunan secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal

perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning).

Page 13: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi

warga masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi

dirinya masing-masing tanpa digerakkan secara langsung oleh negara. Ada

warga yang mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang

berdagang, ada yang membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah,

ada yang merantau ke kota, dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa

yang sukses mendongkrak mobilitas sosial, karena usaha mereka sendiri atau

karena memanfaatkan dampak positif pembangunan yang digerakkan negara.

Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya, memungkinkan warga

desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilir-mudik ke kota dengan lancar

dan mudah.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat

tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika

ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong

masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak

dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru,

swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam

pembangunan pra-sarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan

bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa

merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya

lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit

untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil,

sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan

desa yang berskala lebih besar.

Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut

kapitalisasi atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan

akses permodalan kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional

maupun internasional, untuk melancarkan industrialisasi di kawasan

pedesaan. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang

digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya konveksi,

keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan

Page 14: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang

padat modal, yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi

rakyat desa. Tetapi yang lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat

modal berskala besar yang betul-betul melakukan eksploitasi terhadap tanah

maupun sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Kita bisa menyebut industri

pariwisata, pengolahan hasil pertanian-perkebunan (gula, kayu lapis, rokok,

minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll), pengolahan tanah-batu (genting,

batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan sampah, pengolahan air

minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall),

pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan

komunitas desa.

Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan

politik yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan

Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi

dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui

negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi

dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan menciptakan stabilitas

politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan

(stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas

politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan

pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi

politik terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan

demokrasi.

Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya

dengan penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang

waktu di bawah kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas

desa dengan cara-cara otoriter tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi

UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan itu diantaranya, pertama,

korporatisasi-birokratisasi, yakni menejemen politik atas desa yang ditandai

oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem politik

dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua,

Page 15: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan

asosiasi sipil setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga,

eksploitatif yakni memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah

tetapi hanya dimanfaatkan demi keuntungan negara semata, tentu

mengabaikan peruntukan kepentingan warga desa.

Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung

semangat suatu konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser

statusnya secara struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-

administratif. Desa, dengan demikian, dipaksa untuk membuat preferensi yang

sama (dalam hal format, struktur dan orientasi) yang pada substansinya

cenderung bias Jawa -- sesuai skenario pemerintah (pusat). Maksudnya adalah

mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa ke dalam arus

utama, atau ideologi negara.

Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi

pengaturan desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa,

dengan dampak lama-kelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi

lokal tidak memperoleh lahan berkembang, dan stagnasi menjadi sulit

dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan itu muncul, pemerintah Orde

Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desa-desa dengan kesatuan

hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat otonom

tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian.

Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan

perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap

akan menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde

Baru, desa-desa ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem

yang ada pada negara. Oleh karena itulah, untuk menempatkan desa dalam

kedudukan dan peran terintegrasi kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-

desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila mungkin, penyeragaman bukan

hanya dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya saja, melainkan

dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk memudahkan pengawasan dan

Page 16: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

kendali, juga agar mempermudah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi

pelayanan.

Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas

makna kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras

politik, yang berarti kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan.

Pola yang semacam itu berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus

merosot dan bahkan hancur, dimana desa pada umumnya relatif gagal

menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan pertumbuhan dan

kesejahteraan ekonomi warganya.

Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang

ditopang dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu

menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga

kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan

devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan,

maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah

mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan

marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Banyak

industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi

yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga

industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah

menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa.

Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa,

perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan

struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk

desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil,

telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan

sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur,

karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari

para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa

yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.

Page 17: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi

fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa.

Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan

kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin

dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para

petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan

lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong

pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia

telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar

68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan

selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin

menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali

meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS,

pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4%

dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan

32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami

peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang

tergolong sebagai kaum miskin.

Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan

ekonomi dan industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas

lebih banyak menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi

sehingga belum mengarah pada kesejahteraan dan keadilan di desa. Tetapi ini

adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Riset-advokasi ini hendak

melakukan kajian secara empirik mengenai bekerjanya industrialisasi desa,

sekaligus hendak menawarkan prakarsa pembaharuan tata kelola

industrialisasi desa agar proyek kapitalisasi ini mem-peroleh sentuhan

governance reform dan mendukung penguatan basis ekonomi bagi otonomi

desa secara berkelanjutan.

Karakter Industri Pedesaan

Page 18: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan

ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi,

birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan

pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth,

1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah

ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan

perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan informasi dari

orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan memberikan

ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini

merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan

bahkan dilanggengkan.

Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola

suatu usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat

kekurangan "know-how" usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha,

tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode

pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong

pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini

dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek

pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih

lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia

menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam

usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan

produksi.

Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang

lembaga-lembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa

kunjungan-kunjungan tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan

juga tidak ada usaha mencari informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga

keengganan pengusaha-pengusaha kecil menjadi anggota atau himpunan

produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya dalam ekonomi, atau

sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti

pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.

Page 19: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di

seluruh desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia

mempunyai perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa

Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap

jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur

menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.

Industrialisasi desa-democratic governance

Industrialisasi di desa tidak hanya akan berdampak pada bidang

ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi

adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian

tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di

desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.

Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan

otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak

ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa

tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun

pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi

secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan

rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua

agenda transformasi politik itu. Karena itu kami meyakini bahwa industrialisasi

desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-

demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.

Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes

yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi

Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat

basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju

urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.

Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah

maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan

desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah

Page 20: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

menyentuh isu kaitan desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa

pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang

tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke

wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang

hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi,

sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi.

Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional

akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran

(marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks

demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh

kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan

dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah

(regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu,

program ketiga IRE ini juga akan menyentuh isu ketimpangan desa-kota dalam

konteks hubungan produksi-distribusi tersebut, seraya mendorong perubahan

hubungan ekonomi baru yang berpihak pada desa.

Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana

sudah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dan akan kami perkuat dalam

argumen di bawah, tata kelola industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa

sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat)

dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan untuk membuka hadirnya

investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan pemerintah

supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek

industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk

mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan

masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses

ekonomi-politik yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform

dalam tata kelola industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah

bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan

kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa,

Page 21: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan

perusahaan (industri).

Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah

terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai

tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di

masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa (pertanian),

kesejahteraan warga dan democratic governance menjadi tantangan tersendiri

bagi pemerintah desa masa depan.

Penutup

Hingar-bingar pembahasan tentang kebijakan otonomi daerah

belakangan ini dapat dikatakan hamper tidak pernah membicarakan tentang

otonomi desa. Padahal semua mafhum bahwa desa merupakan kesatuan

masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-

usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, desa

sesungguhnya merupakan daerah otonom ‘adat’ yang sepantasnya

mendapatkan tempat dari daerah otonom ‘formal’ untuk mensukseskannya.

Di sisi lain, desa merupakan entitas pemerintahan terrendah yang juga

selama ini menjadi obyek dan komoditas Pemerintah dan daerah otonom

formal dalam berbagai kegiatannya. Dijadikan obyek/komoditas ekonomi

dalam arti desa senantiasa menjadi sasaran pelaksanaan program dan kegiatan

Pemerintah dan daerah otonom ’formal’, tetapi ternyata program dan kegiatan

tersebut selalu tidak memihak kepentingan masyarakat desa. Pencanangan

ekonomi kerakyatan misalnya, tidak lebih sebagai jargon yang tidak pernah

membumi, apalagi bagi masyarakat pedesaan. Industri kecil tidak pernah bisa

tumbuh di desa karena sumber- sumber daya sebagian besar berada di

perkotaan.

Sedangkan desa dijadikan komoditas politik, dalam arti masyarakat desa

selama ini lebih banyak menjadi pihak yang menjadi sasaran kamuflase politik,

Page 22: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

apakah dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala

daerah, dan termasuk pemilihan kepala desa. Singkatnya, masyarakat sudah

terbiasa menjadi ’wong cilik’ yang dicatut namanya demi kepentingan politik.

Mengingat kondisi yang demikian, tentu kita semua patut prihatin

karena desa merupakan inspirasi dan sumber bagi berlangsungnya

pemerintahan tingkat di atasnya. Tanpa adanya desa, niscaya pemerintahan

keamatan tidak akan berjalan, kabupaten/kota tidak akan berdaya, dan

propinsi tidak akan berguna, akhirnya negara pun tidak akan bisa berbuat apa-

apa.

Dengan perkataan lain, otonomi desa – terlepas apakah otonomi formal

ataukah adat – perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh para

pelaksana pemerintahan daerah. Pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam

desa yang bercirikan agraris dan dipadukan dengan industrialisasi (pertanian)

tentu akan membawa desa kita lebih maju dan masyarakatnya lebih sejahtera.

Page 23: Jurnal lan mp-desanew (suryanto)

Daftar bacaan

Arief, Sritua, Dari Prestasi Pembangunan Sampai Prestasi Politik-Kumpulan Karangan, Penerbit Univ. Indonesia, Jakarta, 1990

Booth, Anne Barbara, Agricultural Development in Indonesia, Harry Ransom

Humanities Research Center Publication, USA, 1990 Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solohin, Otonomi

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Gaffar, Affan, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Jakarta, 2002 Husken, Frans, Development and Social Welfare: Indonesia’s Experiences

Undre the New Order, Cellar Book Shop, Netherland, 1998 Kansil, C.S.T, Dan Cristine S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi

Aksara, Jakarta, 2005 Nugroho, Riant D., Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi, Elex Media

Komputindo, Jakarta 2000 Nurcholis, Hanif, Teori Dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Grasindo, Jakarta, 2005 Wahono, Francis, Ph.D, SJ (Romo), Mengenali Wajah Globalisasi Ekonomi di

Pedesaan, Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2005 IRE Report, 2005