Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020
Transcript of Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020
PENGELOLA JURNAL KESEHATAN PHARMASI
POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
Ketua : Dr. Sonlimar Mangunsong, Apt, M.Kes.
Sekretaris : Ferawati Suzalin, S.Far, Apt, M.Sc.
Reviewer : Muhamad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes.
Dra. Ratnaningsih Dewi Astuti, Apt, M.Kes.
Dra. Sarmalina Simamora, Apt, M.Kes.
Mindawarnis, S.Si, Apt, M.Kes.
Dewi Marlina, SF, Apt, M.Kes.
Editor / IT : Eddy Sutikno
Umar Akhmad
Ade Agustianingsih
Lia Puspita Sari
Sekretariat : Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No 5341, Sekip Jaya, Kecamatan Kemuning,
Kota Palembang, Sumatera Selatan
Email : [email protected]
DAFTAR ISI
1. MUTU EKSTRAK ETANOL DAUN ENCOK (Plumbago zeylanica L.) BERDASARKAN
PERBEDAAN WAKTU PENGAMBILAN SIMPLISIA
Mindawarnis,Ainun Jariah …………………………………………………………………. 1
2. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI BEBERAPA JAMU UNTUK PENGOBATAN KARIES GIGI
YANG DISEBABKAN OLEH STREPTOCOCCUS MUTANS
Muhammad Nizar,Danti Kurnia Putri ……………………………………………………… 11
3. GAMBARAN TEKANAN DARAH PENGGUNA KONTRASEPSI ORAL DAN KONTRASEPSI
SUNTIKAN DI PUSKESMAS SEKIP
Tedi,Dian Rizki Maharani…………………………………………………………………… 17
4. PENINGKATAN KUALITAS INFORMASI PADA PEMBELIOBAT MAAG SECARA BEBAS
SETELAH PEMBERIAN BROSUR PADA APOTEK KIMIA FARMA DIKOTA PALEMBANG
Sarmalina Simamora,Liwista……………………………………………………………….. 23
5. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN INFUSA DAUN SALAM ( Eugenia polyantha
Wight. ) DAN DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) DENGAN METODE DPPH
SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis
Dewi Marlina, Riandini Syafitri……………………………………………………………… 28
6. PERBANDINGAN KADAR VITAMIN C PADA BUAH ASAM GELUGUR (Garcinia atroviridis)
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS DAN METODE TITRASI 2,6-
DIKLOROFENOL INDOFENOL
Sonlimar Mangunsong,Riska Reza Juliani…………………………………………………… 38
7. FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK DAUN STEVIA(Stevia rebaudiana Bert.) DAN
DAUN SAMBILOTO(Andrographis folium) DENGAN VARIASI MANITOL-SORBITOL
SEBAGAI PENGISI
Ratnaningsih Dwi Astuti, Zyuliana Agustiani………………………………………………… 46
8. EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN ASAM JAWA (Tamarindus indica L.)
TERHADAP KADAR C-REAKTIF PROTEIN PADA TIKUS PUTIH JANTAN
(Rattusnovergicus) YANG DIINDUKSI KARAGENAN
Mona Rachmi Rulianti,Sonlimar Mangunsong,Ahlan Kanavi …………………………… 52
9. FORMULASI DAN EVALUASI KRIM EKSTRAK KULITMANGIUM (Acacia mangium W.)
DENGAN VARIASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEBAGAI EMULGATOR
Vera Astuti,Ratnaningsih Dwi Astuti,Ayu Septi Pratama………………………………….. 56
10. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU SUMBER DAYA MANUSIA TENTANG
DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN VAKSIN DI PUSKESMAS SEBERANG ILIR KOTA
PALEMBANG
Sarmadi,Tedi,Nur Rachma Waty ……………………………………………………………. 70
11. PENGARUH SUHU PENYIMPANAN KOMBINASI AMOKSISILIN DAN ASAM KLAVULANAT
DALAM SEDIAAN DRY SIRUP TERHADAP DAYA HAMBAT BAKTERI Staphylococcus
aureus
Muhamad Taswin,Bertha Tiara Handayani……………………………………………….. 76
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
1
MUTU EKSTRAK ETANOL DAUN ENCOK (Plumbago
zeylanica L.) BERDASARKAN PERBEDAAN WAKTU
PENGAMBILAN SIMPLISIA
Mindawarnis, Ainun Jariah
Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes, Palembang, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
Daun encok (Plumbago zeylanica L.) memiliki kandungan yang berkhasiat sebagai obat encok
atau rematik. Untuk mendapatkan senyawa aktif yang berkhasiat maka perlu dilakukan proses
ektraksi. Kemudian ekstrak yang diperoleh agar dapat dibuat menjadi produk obat maka perlu
dilakukan standarisasi mutu ekstrak. Pengujian mutu ekstrak dilakukan untuk mengetahui mutu
ekstrak etanol daun encok (Plumbago zeylanica L.) yang diambil berdasarkan perbedaan waktu
yaitu daun encok yang di ambil pagi (P) atau daun yang di ambil sore (S) yang akan memiliki
mutu baik untuk dijadikan ekstrak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Daun
encok (Plumbago zeylanica L.) diambil pada P dan S. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi
menggunakan pelarut etanol 96% lalu di destilasi vakum sehingga menghasilkan ekstrak P dan
ekstrak S. Masing-masing eksrak kemudian dilakukan pengujian standarisasi mutu ekstrak yang
meliputi pengujian parameter spesifik dan non spesifik ekstrak. Ekstraksi daun encok diperoleh
rendemen 7,96% untuk P dan 6,90% untuk S. Pada pengujian penapisan fitokimia ekstrak daun
encok pagi secara semi kualitatif lebih baik. Kedua ekstrak telah memenuhi syarat untuk
penetapan kadar sari larut etanol dan kadar air . Ekstrak P pada penetapan kadar sari larut air tidak
memenuhi syarat. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun encok pagi pada
pengujian parameter spesifik dan non spesifik lebih baik dalam penetapan rendemen, organoleptis
dan kandungan senyawa dibandingkan ekstrak daun sore.
Kata kunci : uji mutu ekstrak; ekstrak daun encok; waktu pagi; waktu sore.
PENDAHULUAN
Obat tradisional di Indonesia
sangat besar peranannya dalam
pelayanan kesehatan masyarakat
di Indonesia, sehingga obat
tradisional sangat berpotensi
untuk dikembangkan
(Notoadmodjo, 2007). Drs. Ketut
Rihasa, dari Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (Badan POM)
mengatakan bahwa obat
tradisional sudah digunakan secara
turun-temurun lebih dari tiga
generasi dan ada bukti tertulisnya
sehingga back to nature pun kini
dipercaya sebagai pola hidup sehat
(Rini, 2010). Obat tradisional
digunakan oleh masyarakat dalam
aspek pengobatan sebagai agen
preventif (pencegahan), promotif
(promosi) bahkan kuratif
(penyembuh) (Saifudin, Rahayu,
dan Teruna, 2011). Berbagai
upaya masyarakat mengangkat
layanan pengobatan dengan obat
tradisional telah memberikan
pilihan bagi pemakainya.Mereka
memanfaatkannya untuk
mengobati berbagai penyakit,
termasuk reumatik (Adi, 2006).
Penyakit reumatik (Reumatoid
arthritis) adalah penyakit kronis
yang menyebabkan nyeri,
kekakuan, pembengkakan dan
keterbatasan gerak serta fungsi
dari banyak sendi. Penyakit
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
2
reumatik dapat kambuh dan
sembuh secara berulang-ulang
sehingga menyebabkan
kerusakan sendi yang menetap.
Penyakit ini tidak hanya dapat
menyebabkan keterbatasan pada
mobilitas dan aktivitas hidup
sehari-hari tetapi juga efek
sistemik yang tidak jelas yang
dapat menimbulkan kegagalan
organ (Gordon et al., 2002).
Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (2013),
menunjukkan bahwa
kecenderungan prevalensi
rematik di Indonesia tahun 2013,
prevalensi tertinggi pada umur
≥75 tahun (33% dan 54,8%).
Prevalensi yang didiagnosis nakes
lebih tinggi pada perempuan
(13,4%) dibanding laki-laki
(10,3%) demikian juga yang
didiagnosis nakes atau gejala pada
perempuan (27,5%) lebih tinggi
dari laki-laki (21,8%) (Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian RI, 2013).
Seiring dengan tumbuhnya
kesadaran akan efek samping
produk-produk kimiawi, maka
tumbuh pula kesadaran akan
pentingnya produk-produk alami
termasuk dalam kesehatan
(pengobatan), karena produk alami
dianggap lebih aman, murah dan
sedikit memiliki efek samping.
Salah satu tumbuhan yang dikenal
sebagai tanaman obat yang
digunakan sebagai pencegahan
bahkan pengobatan pada penyakit
reumatik yaitu daun encok
(Plumbago zeylanica L.)
(Poeloengan, 2009 dalam Afrianti,
Fitrianda, dan Utari, 2013).
Daun encok (Plumbago
zeylanica L.) merupakan salah
satu tanaman obat multifungsi.
Daun dan akarnya berkhasiat
sebagai obat pada berbagai
penyakit di antaranya daun yang
digunakan untuk obat encok atau
rematik, masuk angin, susah
buang air kecil dan sakit kepala.
Akarnya secara empiris
digunakan untuk mengobati kurap
atau gatal- gatal. Selain itu
tanaman ini juga dapat
menghilangkan rasa sakit dan
mampu mengobati penyakit
kanker darah (Dalimartha dan
Wijayakusuma, 1999).
Kandungan senyawa kimia di
dalam daun encok diantaranya
minyak atsiri 2-3%, flavonoid,
tannin 1,5%, steroid atau
triterpenoid, plumbagin,
naftakinon, saponin dan
polifenol (Syamsuhidayat dan
Hutapea, 1991). Ekstrak yang
didapat dari hasil ekstraksi etanol
daun encok (Plumbago zeylanica
L.) dapat berkhasiat sebagai
pengobatan nyeri sendi pada tikus
putih jantan (Afrianti, Fitrianda,
dan Utari, 2013). Ekstraksi
merupakan proses penyarian zat-
zat yang dikandung oleh
simplisia berupa senyawa aktif
(Mahardika, Sirait, 2001). Kadar
senyawa aktif dalam suatu
simplisia berbeda-beda tergantung
pada bagian yang digunakan,
umur tanaman, waktu panen, dan
lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen sangat erat
hubungannya dengan
pembentukan senyawa aktif dalam
bagian tanaman yang akan
dipanen (Dalimartha, 1999).
Pengambilan simplisia sebaiknya
dilakukan pada saat tanaman
mengandung kadar metabolit
tertinggi atau saat fotosintesis
sedang optimal (Setiowati,
Furqonita, 2007).
Fotosintesis merupakan proses
konversi energi cahaya menjadi
energi kimia. Daun merupakan
organ utama dalam tubuh
tumbuhan sebagai tempat
berlangsungnya fotosintesis
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
3
(Setiowati, Furqonita, 2007).
Proses fotosintesis dipengaruhi
oleh intensitas cahaya,
konsentrasi CO2, ketersediaan
air, klorofil, unsur hara dan suhu
(Wijaya, Suryanti, dan
Sulirawati, 2006). Cahaya
matahari yang paling baik untuk
tanaman adalah pada pagi hari.
Saat itu kondisi udara masih
dingin sehingga kelembaban
meningkat membuat stomata
terbuka lebar sehingga unsur
karbodioksida (CO2) yang
diserap untuk proses fotosintesis
relatif banyak. Proses fotosintesis
pagi hari sangat optimal,
khususnya pukul 07.00-10.00
WIB. Sementara itu, pada siang
hari stomata akan menutup rapat
untuk menghindari dehidrasi
karena penguapan akibat suhu
yang meningkat sehingga
kelembaban menjadi berangsur
turun. Akibatnya, suplai CO2
sangat terbatas sehingga proses
fotosintesis juga terbatas,
khususnya pada pukul 10.00-
14.00 WIB. Setelah itu, pada sore
hari udara mulai dingin dan
kelembaban berangsur
meningkat, kondisi ini sama
dengan keadaan menjelang pagi
hari sehingga membuat stomata
mulai membuka kembali. Karena
itu, proses fotosintesis menjadi
lebih aktif dibandingkan dengan
kondisi pada waktu siang hari,
contohnya pada pukul 14.00 WIB
hingga menjelang malam
(Soeleman, Rahayu, 2013).
Suatu ekstrak dapat dikatakan
bermutu jika telah memenuhi
pengujian persyaratan parameter
standar umum ekstrak.
Standarisasi ekstrak mencakup
standarisasi spesifik dan non
spesifik. Standarisasi spesifik
meliputi: identitas, organoleptis,
kadar sari larut air, kadar sari
larut etanol, kandungan senyawa
kimia, sementara standarisasi non
spesifik meliputi: penetapan
susut pengeringan, bobot jenis,
kadar air, kadar abu, kadar abu
tidak larut asam, jumlah cemaran
jamur, cemaran logam berat
(Depkes RI, 2000).
Dari beberapa pernyataan
diatas peneliti telah melakukan
uji mutu ekstrak pada daun encok
(Plumbago zeylanica L.) yang
diambil pada waktu yang berbeda
yakni pagi dan sore. Penelitian
ini dilakukan dengan cara
mengekstrak dan identifikasi
mutu ekstrak secara spesifik
seperti identitas, organoleptis,
penetapan kadar sari larut air,
kadar sari larut etanol, serta uji
kandungan kimia ekstrak dan non
spesifik seperti bobot jenis, kadar
air, kadar abu, kadar abu tidak
larut asam, cemaran mikroba, dan
cemaran logam berat.
METODE PENELITIAN
Cara Pengumpulan Data
1. Persiapan Sampel
Masing-masing daun encok
yang diambil pada waktu pagi
dan sore hari dilakukan sortasi
lalu dicuci dengan air
mengalir, lalu dikering
anginkan dan di rajang kasar.
Ekstraksi Daun Encok
(Plumbago zeylanica L.)
Ekstraksi dilakukan dengan
cara maserasi menggunakan
etanol 96% lalu didestilasi
vakum untuk memperoleh
ekstrak kental.
2. Uji Parameter
Standarisasi Mutu Ektsrak
Identifikasi mutu ekstrak
secara spesifik seperti identitas, organoleptis,
penetapan kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, serta uji
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
4
kandungan kimia ekstrak dan secara non spesifik seperti
bobot jenis, kadar air, kadar
abu, kadar abu tidak larut asam, cemaran mikroba, dan
cemaran logam berat.
Pengolahan dan Analisis
Data
Pengumpulan data dilakukan
dengan cara melakukan
pengamatan dan pengukuran
terhadap hasil pengujian mutu
ekstrak. Analisa data dilakukan
dengan cara deskriptif analitik.
Data yang diperoleh akan
disajikan dalam bentuk tabel
berdasarkan hasil pengujian
parameter-parameter mutu
ekstrak.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Mutu Ektrak Etanol Daun Encok (Plumbago
zeylanica L.) Yang Di Ambil Berdasarkan Perbedaan Waktu
Parameter
Hasil
Syarat Pagi Sore
Standarisasi Simplisia
Rendemen 7,607% 6,9814% 5-30%
(Depkes, 2000).
Parameter Spesifik
Kadar sari larut air 5,071 11,296 ≥ 8,5
(Depkes, 1995)
Kadar sari larut
etanol
83,131 80,632 ≥ 4,5
(Depkes, 1995)
Parameter Non-Spesifik
Bobot jenis
ekstrak yang telah
diencerkan 5%
1,0146 1,0156 -
Kadar air 8,035% 8,720% 5-30 %
(Depkes, 2000)
Kadar abu
• Kadar abu total
• Kadar abu tidak
larut asam
21,34%
14.04%
21,13%
15,20%
≤ 14%
≤ 1%
(Depkes, 1995)
Cemaran Mikroba Bakteri Bakteri -
Cemaran Logam
Berat Timbal (Pb)
0,0316 mg/kg
0,0710 mg/kg Maks 10 mg/kg
(BPOM RI, 2006)
PEMBAHASAN
Penelitian uji mutu ekstrak
etanol daun encok (Plumbago
zeylanica L.) dilakukan dengan
beberapa tahap yang meliputi
pengujian parameter spesifik dan
parameter non spesifik ekstrak
(Saifudin, Rahayu, dan Teruna,
2011).
Ekstrak kental yang didapat
dari proses ekstraksi dengan cara
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
5
maserasi menggunakan pelarut
etanol 96%. Etanol merupakan
pelarut serba guna yang baik
untuk ekstraksi pendahuluan (J.B.
Harbone, 1987). Selain itu, etanol
juga memiliki kemampuan
menyari dengan polaritas yang
lebar mulai senyawa non polar
sampai dengan polar (Saifudin,
Rahayu, dan Teruna, 2011).
Setelah melalui proses maserasi,
filtrat yang didapatkan dipekatkan
dengan menggunakan rotary
evaporator, kemudian didapatkan
rendemen ekstrak kental untuk
ekstrak daun encok pagi sebesar
7,960 % dari 850 g simplisia daun
encok dan ekstrak daun sore
sebesar 6,981% dari 1100 g
simplisia daun encok. Persentase
rendemen ekstrak pada daun yang
di ambil pagi lebih besar hal ini di
karenakan ekstrak daun pagi juga
memiliki susut pengeringan
simplisia sebesar 80,70% yang
lebih besar dari daun encok yang
di ambil pada sore hari dengan
susut pengeringan sebesar
77,77%. Hal ini terjadi karena
cahaya matahari pada pagi hari
merupakan yang paling baik bagi
tanaman, pada pagi hari kondisi
udara masih dingin sehingga
kelembaban meningkat sehingga
unsur yang diserap untuk proses
fotosintesis lebih banyak
(Soeleman dan Rahayu, 2013).
Persentase rendemen menunjukkan
kemaksimalan dari pelarut yang
digunakan untuk menyari.
Setelah didapatkan ekstrak
kemudian dilakukan pengujian mutu ekstrak daun encok
(Plumbago zeylanica L.).
Pengujian mutu ekstrak ini meliputi pengujian parameter
spesifik dan non spesifik. Dalam penentuan nilai standarisasi ini
diperlukan acuan yang manandakan bahwa ekstrak
tersebut memenuhi persyaratan
yang telah di tetapkan (Depkes, 1995).
Pengujian parameter spesifik
meliputi identitas simplisia,
organoleptik ekstrak, senyawa
terlarut dalam pelarut tertentu (air
dan etanol), dan kandungan kimia
ekstrak. Tujuan identitas simplisia
atau sandarisasi simplisia adalah
untuk memberikan objektifitas
dari nama dan spesifikasi dari
tanaman, sedangkan pengamatan
organoleptik ekstrak bertujuan
sebagai pengenalan awal
menggunakan panca indra dengan
mendiskripsikan bentuk, warna,
bau dan rasa (Depkes RI, 2000).
Hasil organoleptik ekstrak
terlampir pada tabel 3.
Pada pengujian senyawa yang
terlarut dalam pelarut tertentu
dengan menggunakan etanol dan
air, hasilnya dapat dilihat pada
tabel 4 dan tabel 5. Pada pengujian
ini terlihat bahwa ekstrak lebih
larut dalam etanol yaitu pada
ekstrak daun pagi sebesar 83,13%
dan untuk ekstrak daun sore
sebesar 80,63%. Sedangkan, untuk
ekstrak yang larut dalam air yaitu
pada ekstrak daun pagi sebesar
5,07% dan untuk ekstrak daun
sore sebesar 11,29%. Penetapan
kadar senyawa yang terlarut dalam
air dan etanol ini bertujuan
sebagai perkiraan kasar
kandungan senyawa-senyawa aktif
yang bersifat polar (larut air) dan
senyawa aktif yang bersifat semi
polar – non polar (larut etanol)
(Saifudin, Rahayu, dan Teruna,
2011).
Kadar sari larut air pada
ekstrak daun pagi tidak memenuhi
syarat karena nilai yang di dapat
dibawah 8,5. Selain itu terdapat
hubungan yang erat antara
kandungan kadar sari yang terlarut
dalam air dan terlarut dalam
alkohol dengan kandungan zat
berkhasiat pada tanaman. Semakin
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
6
tinggi kadar sari larut air dan
kadar sari larut etanol
mengindikasikan tingginya
kandungan zat berkhasiat dalam
daun tanaman tersebut (Hermani
dan Syahid, 2001).
Parameter lain yang
termasuk dalam uji spesifik
adalah uji golongan senyawa
kimia ekstrak. Uji golongan
senyawa kimia ekstrak bertujuan
untuk memberikan gambaran
awal komposisi kandungan
kimia (Depkes RI, 2000). Uji
kandungan kimia dilakukan
dengan cara penapisan fitokimia
yang bertujuan untuk mengetahui
keberadaan golongan senyawa
metabolit sekunder yang ada di
dalam ekstrak, serta dapat pula
menjadi gambaran kandungan
ekstrak secara kualitatif.
Penapisan fitokimia yang
dilakukan terhadap ekstrak daun
encok (Plumbago zeylanica L.)
yang berasal dari pekarangan
rumah yang tumbuh liar di Desa
Ujung Tanjung Rt.06 Rw.02
No.05, Kecamatan Banyuasin III.
Dari pengujian didapatkan bahwa
kedua ekstrak memiliki senyawa
kimia alkaloid, saponin, tannin,
dan steroid. Untuk senyawa
flavonoid tidak menunjukkan
reaksi perubahan warna, menurut
literatur seharusnya memiliki
flavonoid (Depkes, 1995). Pada
penelitian terdahulu juga
menunjukkan bahwa flavonoid
tidak menunjukkan reaksi
perubahan warna (Rohimatun
dan Wiratno, 2015).
Tahapan standarisasi ekstrak
selanjutnya adalah pengujian
parameter non spesifik yang
meliputi kadar abu, bobot jenis,
kadar air, cemaran mikroba, dan
cemaran logam berat timbal (Pb).
Penentuan kadar abu
dilakukan bertujuan untuk
memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal
yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya ekstrak. Pada
tahap ini ekstrak di panaskan
hingga senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan
menguap sampai tinggal unsur
mineral dan anorganik saja. Kadar
abu ekstrak pagi sebesar 21,34%
dan kadar abu tidak larut asam
sebesar 14,04% sedangkan kadar
abu untuk ekstrak sore sebesar
21,13% dan kadar abu tidak larut
asam sebesar 15,20%, hal ini tidak
memenuhi syarat yang
seharusnya kadar abu ≤14% dan
kadar abu larut asam ≤1%. Hal ini
mungkin terjadi karena tanaman
yang merupakan tanaman liar
sehingga dan juga dapat terjadi
karena kandungan tanah tempat
tanaman tumbuh. Kadar abu
menunjukkan kadar sisa anorganik
dalam ekstrak dan kadar abu
tidak larut asam menunjukkan
kadar unsur anorganik yang tidak
larut asam (Arifin, dkk, 2006).
Sedangkan untuk penetapan kadar
abu yang tidak larut asam
diperoleh dari perlakuan kadar abu
total dengan asam sulfat encer
yang dimaksudkan untuk
mengevaluasi ekstrak terhadap
kontaminasi bahan-bahan yang
mengandung pengotor seperti
tanah dan pasir.
Pada penentuan parameter
non spesifik dilakukan juga
pengukuran kadar air pada ekstrak.
Pengukuran kadar air dilakukan
untuk menetapkan residu air
setelah proses pengentalan atau
pengeringan.
Hasil penentuan kadar air
pada ekstrak pagi diperoleh
8,16% sedangkan ekstrak sore
8,72%. Menurut literatur untuk
ekstrak kental kadar air bernilai
5- 30% (Voight, 1995) sehingga
kedua ekstrak etanol daun encok
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
7
(Plumbago zeylanica L.) masuk
dalam range kadar air mutu
ekstrak.
Selanjutnya dilakukan juga
penentuan bobot jenis ekstrak
pada penentuan parameter non
spesifik. Bobot jenis didefinisikan
sebagai perbandingan kerapatan
suatu zat terhadap kerapatan air
dengan nilai masa persatuan
volume. Penentuan bobot jenis ini
bertujuan untuk memberikan
gambaran kandungan kimia yang
terlarut pada suatu ekstrak
(Depkes RI, 2000). Pada
pengukuran bobot jenis ekstrak
dihitung dengan menggunakat
piknometer. Ekstrak yang
digunakan adalah ekstrak yang
telah diencerkan 5%
menggunakan aquadest sebagai
pelarut. Pada pengukuran ini,
didapatkan hasil untuk ekstrak
pagi sebesar 1,0146 m/v
sedangkan untuk ekstrak sore
sebesar 1,0156 m/v untuk
pengenceran 5% dari ekstrak
etanol daun encok.
Pada pengukuran parameter
non spesifik dilakukan pengujian
cemaran mikroba yang didapatkan
hasil bahwa kedua ekstrak
mengandung mikroba namun
untuk jumlah koloni belum
dilakukan pengujian. Pengujian
cemaran logam berat timbal. Dari
hasil yang diujikan pada tabel 6
dapat terlihat bahwa kadar
cemaran logam timbal pada
ekstrak pagi (0,0316 mg/kg) dan
ekstrak sore (0,0710 mg/kg).
Maksimal residu Pb tidak melebihi
10 mg/kg ekstrak (Depkes RI,
2000) sehingga untuk kedua
ekstrak masih aman untuk di
konsumsi karena masih jauh di
bawah batas yang ditentukan.
Berdasarkan hasil didapatkan
bahwa daun encok yang diambil
pada pagi hari memiliki rendemen
yang lebih besar dari daun yang
diambil sore. Uji kandungan kimia
dengan penapisan fitokimia
diamati secara semi kualitatif
menujukkan bahwa kedua ekstrak
memiliki kandungan senyawa
yang sama tetapi reaksi perubahan
warna yang dihasilkan
menunjukkan bahwa ekstrak daun
pagi lebih baik secara semi
kualitatif. Pengujian mutu ekstrak
etanol daun encok berdasarkan
parameter spesifik dan parameter
non spesifik maka didapatkan
hasil bahwa kedua ekstrak telah
memenuhi syarat pada penetapan
kadar sari larut etanol, penetapan
kadar air dan uji cemaran logam
berat Pb. Namun untuk uji kadar
abu total kedua ekstrak belum
memenuhi persyaratan.
Berdasarkan hasil diatas maka
ekstrak etanol daunencok yang
diambil pada pagi hari lebih baik.
KESIMPULAN
1. Secara organoleptis ekstrak
daun pagi dan daun sore
memiliki karakteristik yang
sama dalam hal warna, bau,
dan rasa. Sedangkan, dalam
segi bentuk ekstrak daun
pagi berupa ekstrak kental
agak kasar dan untuk ekstrak
daun sore berupa ekstrak
yang agak cair namun lebih
halus.
2. Kandungan kimia yang
terkandung baik didalam
simplisia maupun ekstrak
daun encok pagi dan daun
encok sore yaitu alkaloid,
saponin, tannin, dan steroid.
3. Parameter spesifik yang
terdiri dari kadar sari larut
air didapatkan sebesar
5,071% untuk ekstrak daun
encok pagi dan 11,296 %
7
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
8
untuk ekstrak daun encok
sore dengan syarat
≤8,5%. Sedangkan untuk
kadar sari yang larut etanol
sebesar 83,131% untuk daun
encok pagi dan 80,632%
untuk daun encok sore
dengan syarat ≤4,5%.
4. Parameter non-spesifik
ekstrak daun encok pagi
seperti bobot jenis sebesar
1,0146 g/mL, kadar air
8,035%, kadar abu total
21,34%, kadar abu tidak larut
asam 14,04% , cemaran
mikroba tmengandung
bakteri dan cemaran logam
Pb sebesar 0,0316 mg/kg.
Sedangkan pada ekstrak
daun encok sore, bobot jenis
sebesar 1,0156 g/mL, kadar
air 8,720%, kadar abu total
21,13%, kadar abu tidak
larut asam 15,20% cemaran
mikroba tmengandung
bakter dan cemaran logam
Pb sebesar 0,0316 mg/kg.
5. Didapatkan bahwa ekstrak
daun encok yang diambil
pada pagi hari lebih baik
daripada yang diambil sore
hari.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian
uji mutu ekstrak etanol daun
encok (Plumbago zeylanica L.)
yang diambil pada pagi dan sore
hari dapat disarankan perlu
pengujian lebih lanjut dari ekstrak
etanol daun encok (Plumbago
zeylanica L.), sehingga bisa
dilanjutkan untuk formulasi
pembuatan sediaan yang sesuai
untuk ekstrak etanol daun encok.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, L.T., 2006. Tanaman Obat &
jus untuk Asam Urat &
Rematik. AgroMedia
Pustaka, Jakarta, Indonesia.
Afrianti, R., Fitrianda, E., dan
Utari, N., 2013. Uji Ekstrak
Etanol Daun Encok
(Plumbago zeylanica L.)
dalam Pengobatan Nyeri
Sendi pada Tikus Putih
Jantan. Prosiding
SeminarNasional
Perkembangan Terkini Sains
Farmasi dan Klinik III.
Sekolah Tinggi Farmasi
Indonesia Yayasan Perintis
Padang, Padang, 4 – 5
Oktober 2013.
Arifini. H., Anggraini, N.,
Handayani, D., Rasyid, R.,
2006. Standarisasi Ekstrak
Etanol Daun Eugenia cumini
Merr. J. Sains Tek. Far.,
11(2).
Aryulina dkk, 2006. Biologi SMA
dan MA untuk Kelas X.
Eirlangga, Jakarta,
Indonesia.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementr
ian Kesehatan RI Tahun
2013 tentang Riset
Kesehatan Dasar,
Departemen Kesehatan RI.,
1995.Farmakope Indonesia,
Edisi
IV. Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan
Makanan : Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.,
2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan
Makanan : Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.,
2008. Farmakope Herbal
Indonesia, Edisi I.
Departemen Kesehatan
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
9
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI.,
1995.Materi Medika Indonesia,
Jilid
VI. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Ghosal, M. & Mandal, P., 2012.
Phytochemical Screening
And Antioxidant Activities
Of Two Selected ‘Bihi’
Fruits Used As Vegetables
In Darjeeling Himalaya.
International Journal Of
Pharmacy And
Pharmacetiucal Sciences.
ISSN
: 0975-1492. 4(2).
Gordon et al., 2002. Open label
study to asses infliximab
safety and timing of onset of
clinical benefit aming
patients with rheumatoid
arthritis. 29 (4),
(http://www.jrheum.org/cont
en t/29/4/667.short, Diakses
10
Februari 2018)
Harapan, 2017. Manfaat dan
Khasiat Daun Encok
(Plumbago
zeylanica L.),
(http://tanaman--
herbal.blogspot.co.id/2017/0
3/ manfaat-dan-khasiat-
daun- encok-plumbago.html,
Diakses 5 Februari 2018)
Hermani dan S.F. Syahid, 2001.
Kualitas Daun Tempuyung
Dari Beberapa Daerah.
Jurnal Gakuryoku. Vol VII
(4) : 99-103.
Khoirani, N., 2013. Karakteristik
Simplisia Dan Standarisasi
Ekstrak Etanol Herba
Kemangi (Ocinum
americanum L.). Skripsi,
Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
Indonesia.
Marjoni, R., 2016. Dasar-dasar
Fitokimia untuk Diploma III
Farmasi Cetakan I. CV.
Trans Info Media. Jakarta
Timur, Indonesia.
Mojab, F., Kamalinejad, M.,
Ghaderi. N., & Vahidipour,
H. R., 2003. Phytochemical
Screening Of Some Species
Of Iranian Plants. Iranian
Journal Of Pharmaceutical
Research
Notoatmodjo., 2007. Kesehatan
Masyarakat Ilmu dan Seni.
Rineka Cipta, Jakarta,
Indonesia.
Poeloengan, M., 2009, Pengaruh
Minyak Atsiri
Serai (Andropogon
citratus) Terhadap
Bakteri Yang Diisolasi Dari
Sapi Mastitis Subklinis.
Jurnal Penelitian, Balai
Besar Penelitian Veteriner,
Bogor.
Rini, A., 2010. Sehat Dengan
Lauk Herba Cetakan 1 : 4.
Pustaka Mina, Jakarta,
Indonesia.
Rohimatun dan Wiratno, 2015.
Potensi dan Prospek Daun
Encok (Plumbago
zeylanica L.) sebagai
Bahan Aktif Pestisida
Nabati. Jurnal Litbang. Vol
34. 3 September 2015.
Saifudin, A., Rahayu, V., Teruna,
H. Y, 2011. Standarisasi
Bahan Obat Alam. Graha
Ilmu, Yogyakarta,
Indonesia.
Sarma dan Babu., 2011.
Pharmacognostic and
Phytochemical Studies of
Ocinumamericanum. J.
Chem. Pharm. Res., 3(3) :
337-347.
Setiowati, T., dan Furqonita, D.,
2007. Biologi Interaktif.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
10
Azka Press, Jakarta,
Indonesia, hal. 332.
Sirait, M., dan Mahardika, I.D.,
2001. Tiga dimensi
farmasi: ilmu-teknologi,
pelayanan kesehatan, dan
potensi ekonomi :
kumpulan presentasi dan
tulisan. Institut Darma
Mahardika, Jakarta,
Indonesia.
Soeleman, S., dan Rahayu, D.,
2013. Halaman Organik.
PT Agromedia Pustaka,
Jakarta, Indonesia.
Soetarno, S., dan I.S., Soediro,
1997. Standarisasi Mutu
Simplisia dan Ekstrak
Bahan Obat Tradisional.
Presidium Temu Ilmiah
Nasional Bidang Farmasi.
Sudewo, B., 2009. Buku Pintar
Hidup Sehat Cara Mas
Dewo. PT. Agromedia
Pustaka, Jakarta Selatan,
Indonesia.
Susilowarno dkk, 2006. Biologi
untuk SMA/MA Kelas X.
Grasiondo Jakrta,
Indonesia.
Syamsul hidayat, S.S dan J.R,
Gutapea. 1991.
Inventarissasi Tanaman
Obat Indonesia.
Departemen Kesehatan RI.
Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
RI. Jakarta. Hal 472-473.
Syamsuni, A. 2006. Ilmu Resep.
Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, Indonesia.
Voight, R. 1995. Buku
Pendidikan Teknologi
Farmasi. Edisi Ke IV.
Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta,
Indonesia.
Watson, Davit G. 2009. Analisa
Farmasi Buku Ajar untuk
Mahasiswa Farmasi dan
Praktisi Kimia Farmasi.
ECG: Jakarta. Hal 269-171.
Wijayati, A., Suryati, B., dan
Sulirawati, D. 2006. IPA
Terpadu VIIA. Grasindo
Jakarta. Indonesia, Hal 134.
Wijayakusuma, H. 2006. Atasi
Rematik dan Asam Urat
Ala Hembing. Cetakan I.
Puspa Swara, Anggota
IKAPI,Jakart
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
11
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI BEBERAPA JAMU UNTUK
PENGOBATAN KARIES GIGI YANG DISEBABKAN
OLEH STREPTOCOCCUS MUTANS
M.Nizar, Danti Kurnia Putri
Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes Palembang
Email; [email protected]
ABSTRAK Karies gigi merupakan penyakit infeksi pada permukaan gigi yang disebabkan oleh asam
organis yang berasal dari makanan yang mengandung gula. Salah satu bakteri penyebab karies gigi
adalah bakteri Streptococcus mutans. Oleh sebab itu beberapa jamu sakit gigi memiliki komposisi yang
mengandung senyawa flavonoid yang merupakan zat antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
aktivitas antibakteri dengan menentukan diameter zona hambat dari beberapa jamu sakit gigi terhadap
bakteri Streptococcus mutans. Jenis penelitian ini adalah penelitian desktiptif yang dilakukan dengan
cara mengukur diameter zona hambat pada aktivitas antibakteri beberapa jamu sakit gigi terhadap
bakteri penyebab karies gigi Streptococcus mutans. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan
metode difusi agar darah yang dibuat dengan berbagai konsentrasi yaitu 5%, 15%, 25%, dan 50%.
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat pada beberapa jamu yang berkhasiat mengatasi
sakit gigi dengan berbagai konsentrasi, sampel C memiliki diameter rata-rata 19,3 mm dan sampel F
memiliki diameter rata-rata 10 mm, Kontrol negatif etanol 70% berdiameter 0 mm dan kontrol positif
berupa disk tetrasiklin berdiameter 27,7 mm. Dari hasil penelitian yang didapat tentang uji aktivitas
antibateri jamu sakit gigi terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dapat disimpulkan bahwa
sampel C dan F memiliki aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans.
PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut
merupakan bagian dari kesehatan
tubuh yang turut berperan dalam
menentukan status kesehatan
seseorang. Berdasarkan Hasil riset
kesehatan dasar (RISKERDAS)
tahun 2013, prevalensi nasional
infeksi gigi dan mulut sebesar
25,9% dan sebanyak 14 provinsi
memiliki prevalensi masalah gigi dan
mulut diatas prevalensi nasional
(Kemenkes, 2013). Penderita karies
gigi di Indonesia memiliki prevalensi
sebesar 50-70% dengan
penderita terbesar adalah golongan
balita (Departemen Kesehatan RI,
2010).
Karies gigi merupakan
penyakit infeksi dan merupakan
suatu proses demineralisasi yang
progresif pada jaringan keras
permukaan gigi oleh asam organis
yang berasal dari makanan yang
mengandung gula (A bahar 2011).
Dua bakteri yang paling berperan
Streptococcus mutans dapat hidup
pada daerah kaya sukrosa dan
menghasilkan permukaan asam
dengan menurunkan pH di dalam
rongga mulut menjadi 5,5 atau lebih
rendah yang membuat email mudah
untuk gigi berlubang adalah
streptococcus mutans dan
lactobacillus (Siti Yundali 2017).
Streptococcus mutans memiliki
bentuk bulat dan tersusun seperti
rantai dengan diameter 0,5-0,7
mikron, tidak bergerak dan tidak
memiliki spora.larut
kemudian terjadi penumpukan
bakteri dan mengganggu kerja saliva
untuk membersihkan bakteri
tersebut, sehingga jaringan keras
gigi rusak dan menyebabkan
terjadinya karies gigi (Alfath dkk,
2013). Seiring berjalanya
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
12
waktu pengetahuan tentang
tumbuhan obat makin berkembang.
Masyarakat kini lebih cenderung
untuk menggunakan obat dari alam.
Hal ini karena banyaknya kendala
yang ditimbulkan dari penggunaan
obat sintesis, seperti harganya mahal
dan mnimbulkan resistensi bakteri
(Febriyanti, 2010). Menurut
RISKESDAS (2010)
Berdasarkan penelitian
Soeherwin Mangundjaja yang telah
dilakukan “Pengaruh Jamu terhadap
Streptococcus mutans dan Stomatitis
Aftosa Rekuren pada pengidap
HIV” menunjukkan bahwa jamu
aquanar dapat berfungsi untuk
menggobati penyakit karies gigi dan
efektif menurunkan perkembangan
dan pertumbuhan Streptococcus
mutans melaporkan sebanyak
95,60% penduduk Indonesia yang
mengkonsumsi obat tradisional
(jamu) menyatakan bahwa
mengkonsumsi jamu bermanfaat
bagi tubuh. Persentase penduduk
yang merasakan manfaat dari
mengkonsumsi jamu berkisar
83,23% hingga 96,66% dengan
jumlah koloni streptococcus mutan
sebelum meminum jamu aquanar
yaitu 524 dan sesudah minum jamu
tersebut berkurang menjadi 150
koloni Berdasarkan hal itu, peneliti
akan melakukan penelitian Beberapa
Jamu Untuk Pengobatan Karies Gigi
Yang Disebabkan Oleh
Streptococcus Mutan.
METODE PENELITIAN
1. Persiapan sample
Sediaan yang terdapat logo
jamu pada kemasannya yang
mempunyai indikasi untuk
mengobati,meredakan, mengurangi
sakit gigi atau gigi berlubang,
memiliki registrasi BPOM, dengan
merk dagang berbeda dan pabrik
yang berbeda Pembiakan bakteri
streptococcuss mutans
Ambil media kira-kira 150 ml
dari media blood agar plate yang
telah dibuat dan di panaskan pada
suhu 37°C sampai 40°C, kemudian
tambahkan sebanyak 10-15 ose
biakan murni bakteri streptococcus
mutans ke dalam media tersebut.
2. Uji aktivitas
Antibakteri Sediaan Jamu
Jamu yang telah memenuhi kriteria
inklusi di encerkan dengan 2 cara
yang pertama jamu berbentuk
serbuk sebelum diencerkan terlebih
dahulu digerus dan ditimbang
seluruhnya lalu diencerkan dengan
etanol, kemudian dilakukanlah uji
antibakteri dengan cara media Blood
Agar Plate dituangkan ke dalam
cawan petri masing-masing 10 ml an
dibiarkan hingga memadat sebagai
lapisan dasar. Kemudian ambil
suspensi bakteri Streptococcus
mutans dan dilakukan swab secara
streak (goresan) di atas media.
Sebagai baku pembanding
digunakan etanol 70% sebagai
kontrol negatif dan cakram
tetrasiklin sebagai kontrol positif.
Masing-masing cakram dimasukkan
ke dalam media yang terdapat
bakterinya, lalu diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 35°C
sampai 37°C. Setelah 24 jam
dilakukan pengamatan dan
pengukuran terhadap diameter zona
hambat yang mampu menghambat
bakteri yang dipindahkan agar tidak
terbentuknya zona bening
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada
penelitian ini yaitu dengan
menyajikan data dalam bentuk tabel.
Data diperolehdari pengukuran
diameter zona hambat antibakteri
jamu sakit gigi terhadap bakteri
Streptococcus mutans yang
dibandingkan dengan kontrol positif
dan kontrol negatif.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
13
HASIL PENELITIAN
Hasil uji aktivitas beberapa jamu
terhadap bakteri streptococcuss
mutans penyebab infeksi gigi dan
mulut didapat data diameter zona
hambat dan hasil uji identifikasi
senyawa flavonoid pada
seluruh sampel jamu.
PEMBAHASAN
Uji aktivitas antibakteri
beberapa jamu sakit gigi ini
diujikan pada bakteri Streptococcus
mutans di Balai Besar
Laboratorium Kesehatan
Palembang pada tanggal 27 Maret
sampai 29 Maret 2018. Peneliti
menggunakan metode difusi agar
dengan mengukur besarnya nilai
diameter zona hambatan
Pertumbuhan bakteri.
Metode ini digunakan karena
memiliki beberapa keunggulan
dibanding metode lainnya seperti
peralatan yang digunakan relatif
sederhana, pengamatan diameter
hambat (clear zone) yang mudah
dan cepat, serta biaya yang
digunakan relatif murah.
Hasil pengukuran rata-rata
diameter zona hambat dari aktivitas
beberapa jamu sakit gigi terhadap
bakteri Streptococcus mutans pada
konsentrasi 5%, 15%, 25% dan 50%
yaitu didapat rata-rata diameter zona
hambat pada bakteri Streptococcus
mutans sebesar 19,3 mm pada
sample C dan 10 mm sample F.
Salah satu komposisi dari
sample C dan F mengandung
minyak cengkeh dan minyak zaitun
dimana menurut penelitian
Rahmawati Nur Annisa, dkk tentang
Efektivitas Antimikroba Berbagai
Jenis Minyak Nabati Sebagai Bahan
Tambahan Pasta Gigi Terhadap
Bakteri Streptococcus mutans
mengatakan bahwa minyak cengkeh
dan minyak zaitun mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans dengan
diameter hambat 9,15 mm dan 13,5
mm dimana menurut penelitian
Yanti dkk tahun 2016 diameter
hambat 9,15 mm tergolong lemah
dan diameter hambat 13,5 tergolong
sedang.
Selain itu ada lima sampel
yaitu sampel A, B, D, E, dan G tidak
dapat menghambat bakteri
Streptococcus mutans. Salah satu
penyebab tidak adanya diameter
zona hambat dikarenakan kesalahan
dari peneliti dalam memilih sampel
yang seharusnya memiliki indikasi
untuk membunuh bakteri pada gigi
berlubang yang disebabkan oleh
bakteri Streptococcus mutans.
Sedangkan indikasi dari sampel
jamu yang diambil peneliti,
memiliki indikasi untuk mengobati,
meredakan, mengurangi sakit gigi
atau gigi berlubang. Sehingga
indikasi jamu tersebut tidak sesuai
dengan judul yang seharusnya
diambil oleh peneliti. Selain itu,
peneliti menggunakan dua macam
sediaan yaitu sediaan padat dan
sediaan cair. Namun bentuk sediaan
pada sample C dan sample F
berbentuk cair sehingga sample dan
pelarut tercampur secara homogen
yang membuat kedua sampel
tersebut menyebar secara merata
pada cakram disk.
Berdasarkan uji yang telah di
lakukan, pada sampel C dan F
dengan konsentrasi 5%, 15%, 25%
dan 50% memiliki aktivitas
antibakteri pada sample C tergolong
kuat dan sample F memiliki
aktivitas antibakteri tergolong
sedang. Hal ini menunjukan bahwa
sampel C dan F memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri
Streptococcus mutans penyebab
karies gigi atau biasa dikenal dengan
gigi berlubang menurut Sariningsih,
2014.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
14
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dari 7
sample jamu didapatkan aktivitas
antibakteri yang di sebabkan oleh
bakteri Streptococcus mutans yaitu
pada sample jamu C dan jamu F.
Diameter zona hambat dari uji
aktivitas antibakteri beberapa jamu
sakit gigi. Pada pengukuran
diameter zona hambat bakteri
streptococcus mutans didapatkan
hasil yaitu: pada sampel A, B, D, E,
dan G tidak memiliki rata-rata
diameter zona hambat terendah dan
tertinggi, sedangkan pada sampel C
memiliki rata-rata diameter zona
hambat 19,3 mm dan sampel F
SARAN
Disarankan pada peneliti selanjutnya
menggunakan metode lain untuk uji
aktivitas antibakteri seperti metoda
dilusi, menggunakan konsentrasi
yang lebih besar agar diameter zona
hambat minimum terlihat lebih jelas,
dan untuk menggunakan pelarut
yang dapat melarutkan sample.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, B.H., G. Blunden, M. O. Tanira
dan A. Nemmar. 2008. some
phytochemical,pharmacologi
c al and toxicological
properties of ginger (zingiber
officinale Roscoe): A review
of recent research. Food and
chemical toxicology. 46
:409- 420.
Alfath, C.R, Yuliana, dan Susanti.
2013. Antibacterial Effect of
Granati Fructus Cortex
Extract on Streptococcus
mutans Invitro. Aceh:
journalof Dentistry Indonesia
2013, Vol.20, No.1, 5-8.
Annisa Nur Rahmawati, dkk.
Efektivitas Antimikroba
memiliki rata-rata diameter
zona hambat 10 mm dimana
menurut penelitian Yanti dkk
tahun 2016 diameter hambat
9,15 mm tergolong lemah
dan diameter hambat 13,5
tergolong sedang. Berbagai
Jenis Minyak Nabati Sebagai
Bahan Tambahan Pasta Gigi
Terhadap Bakteri
Streptococcus mutans.
Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Hasanuddin,
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Hasanuddin.
Bahar A. Paradigma baru
pencegahan karies gigi.
Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia;
2011.h.93
Bartley, J. dan A. Jacobs. 2000.
Effects of drying on flavour
compounds in Australian-
grown ginger (Zingiber
officinale). Journal of the
Science of Food and
Agriculture. 80:209–215.
BPOM. 2004. Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik
Indonesia Nomor
HK.00.05.4.2411
tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokkan dan
Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia. Jakarta:
BPOM.
BPOM, 2005. Kriteria Dan
Tatalaksana Pendaftaran
Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar Dan
Fitofarmaka
K.00.05.41.1384. Jakarta:
BPOM
Corwin E.J. 2008. Buku Saku
Patofisiologi Corwin. Edisi
ke 3. EGC. Jakarta. h.235.
Depatemen kesehatan R.I.
farmakognosi. Departemen
Kesehata R.1. Jakarta,
indonesia.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
15
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan
pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Depkes RI. 1995. Farmakope
Indonesia.Edisi IV. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI.2010.Profil
Kesehatan Indonesia
2010.
Http://www.depkes.go.id
/do
wnload/PROFIL_KESE
HAT
AN_INDONESIA_2010.
pdf) (sitasi 19 januari
2018).
Febriyati, 2010. Analisis Komponen
Kimia Fraksi Minyak Atsiri
Daun Sirih (Piper bettla
Linn.) dan Uji Aktivitas
Antibakteri Terhadap
Beberapa Jenis Bakteri
Gram Positif [Skripsi]. UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta
Harborne, J.B. 1996. Metode
Fitokimia Penuntun Cara
Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan
Oleh: Padmawinata, K., dan
Soediro. Penerbit ITB
Bandung, Indonesia.
Harmita dan Radji, Maksum.
(2008). Buku Ajaran Analisis
Hayati. Jakarta: EGC.
Hartati Sri Agnes. 2012. Dasar-
Dasar Mikrobiologi
Kesehatan. Nuha Medika.
Yogyakarta.Khoiriyah, Atik,
Arna F, Ahmad S dan Eddy
B. (2012). Aplikasi
Pendukung Keputusan
Epidemiologi Resistensi
Bakteri Menggunakan
Metode Dilusi di RSUD dr.
Soetomo. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh
November.
Lestari Budi Purwaning, Hartati
Wahyu Triasih. 2017.
Mikrobiologi Berbasis
Inkuiry. Gunung Samudera.
Malang.
Lynch, M.A, 1994. Burket Ilmu
Penyakit Mulut (Jilid1).
Jakarta: Binarupa Aksara.
Hal 3.
Mangundjaja Soeherwin. 2002.
Pengaruh Jamu terhadap
Streptococcus mutans dan
stomatitis Afrosa Rekuren
pada pengidap HIV. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mumpuni Y & Pratiwi E. 2013. 45
Masalah & Solusi Penyakit
Gigi & Mulut. Jakarta :
Rapha Publishing.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2007.
Kesehatan Masyarkat : Ilmu
dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta. Nugraha, Ari,
Widya. 2008. Streptococcus
Mutans, Si-
Plak Dimana-mana
Yogyakarta : Fakultas
Farmasi USD.
Nugroho, Agung E. 2012.
Farmakologi obat-
obat penting dalam
pembelajaran ilmu farmasi
dan dunia kesehatan.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.
Peterson L. R, Thomson RB. 1999.
Use of the clinical
microbiology for the
diagnosis and management
of infections disease related
to the oral cavity. Infect Dis
Clins North Am (13):
775- 95
Regezi A. Joseph. 1993.
Oral Phatology Clinical-
Phatologic Correlation.
International Edition,
Philadhepia : W. B. Saunders
Company.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
16
(RISK ESDAS )Riset Kesehatan
Dasar. (2010). Jakarta:
Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Riwandy, A., Aspriyanto, D., dan
Budiarti L.Y. “Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Air
Kelopak Bunga
Rosella(Hibiscus sabdariffa
L.) terhadap Pertumbuhan
Streptococcus mutans In
Vitro’’. Jurnal kedokteran
Gigi Dentino. 2014, 1,
hal. 10-64.
Robinson, T. 1995. Kandungan
Organik Tumbuhan Tingkat
Tinggi. ITB, Bandung.
Sariningsih E. 2014. Gigi Busuk
dan Poket Periodontal
Sebagai Fokus Infeksi.
Jakarta : Elex Media
Komputindo.
Setyaningrum Dwi Hesti, Saparinto
Cahyo. 2013. Buku Jahe.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Suharmiati dan Handayani L. 2006.
Cara Benar Meracik Obat
Tradisional, 4-6, Agro
Pustaka, Jakarta. Hongini
Yundali Siti. 2012.
Kesehatan Gigi dan Mulut.
Pustaka Reka Cipta.
Bandung Tjay, Tan H dan
Kirana R. 2007. Obat-
obatan penting khasiat,
pengguanaan dan efek –
efek sampingnya. Jakarta:
PT. Elex Media
Komputindo: Gramedia.
Theodore M, Harald O, Edward J.
Sturdevant’s art and science
of operative dentistry. 4thed.
St. Louis, Missouri: Mosby,
Inc; 2002.p.65, 67, 80, 83-85,
89.
WHO.2003. The World Oral Health
Report.
http://www.who.int/oralhealt
/media/en/orh-report03-
en.pdf (di akses 18 januari
2018). Wikipedia. 2016.
Jamu.
(Id.wikipedia.org/wiki/Jamu
diakses 12 febuari 2018).
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
17
Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi
Suntikan di Puskesmas Sekip
Tedi, Dian Rizki Maharani
Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi dengan menggunakan alat atau obat-obatan.
kontrasepsi dibagi menjadi 2 jenis yaitu kontrasepsi non hormonal dan kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi
hormonal bisa menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), pada kurang lebih 4–5%
perempuan yang tekanan darahnya normal sebelum memakai kontrasepsi contohnya kontrasepsi oral
dan suntikan. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi
Oral dan Kontrasepsi Suntikan di puskesmas Sekip. Jenis penelitian ini adalah penelitian non eksperimental
deskriptif kuantitatif. Populasi pada penelitian ini yaitu ibu-ibu yang mengunakan kontrasepsi oral dan
suntikan di Puskesmas Sekip sebanyak 73 orang. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi dan
diambil dengan metode random sampling dari data tahun 2017. Pengguna kontrasepsi yaitu kontrasepsi
suntikan 3 bulan yaitu 39 orang (53,42%), kontrasepsi oral yaitu 20 orang (27,40%) dan kontrasepsi suntikan 1
bulan yaitu 14 orang (19,18%). pasien kontraepsi melakukan beberapa kali kunjungan mulai dari 2 - 10 kali
kunjungan dalam satu tahun. Pada penguna kontrasepsi oral terdapat 12 orang hipertensi, kontrasepsi suntikan
1 bulan 6 orang dan suntikan 3 bulan 12 orang. Tetapi yang mengalami kenaikan tekanan darah yaitu
kebanyakan yang hanya melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun sedangkan yang lama ada yang
mengalami ada juga yang tidak. Dari hasil yang didapat bahwa kontrasepsi oral dan suntkan belum tentu
menyebabkan hipertensi
Kata Kunci: Kontrasepsi oral; Kontrasepsi suntikan; Tekanan Darah
PENDAHULUAN Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah
terjadinya konsepsi dengan menggunakan alat atau
obat-obatan (Mochtar, 1998). Pada dasarnya
kontrasepsi dibagi menjadi 2 jenis yaitu kontrasepsi
non hormonal dan kontrasepsi hormonal
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan Laporan Hasil Pelayanan
Kontrasepsi Januari-Juli 2013 (BKKBN), cakupan
KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran
dibandingkan dengan cakupan peserta KB Baru
masih sebesar 13,27%. Capaian tersebut juga masih
didominasi oleh non MKJP yaitu suntikan (52,49%)
dan pil (18,95%), sementara capaian MKJP implan
(8,08%), IUD (14,06%), MOW (3,27%) dan
MOP (0,02%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Kontrasepsi hormonal jenis KB suntikan dan
pil KB ini di Indonesia semakin banyak
dipakai karena kerjanya yang efektif,
pemakaiannya yang praktis, harganya relatif murah
dan aman, bekerja dalam waktu lama, tidak
mengganggu menyusui, dapat dipakai segera
setelah keguguran atau setelah masa nifas.
Kontrasepsi hormonal kombinasi juga bisa
menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi
(hipertensi), pada kurang lebih 4–5% perempuan
yang tekanan darahnya normal sebelum memakai
kontrasepsi tersebut dan meningkatkan tekanan
darah pada kurang lebih 9–16% perempuan yang
telah menderita hipertensi sebelumnya (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Hormon yang terkandung dalam kontrasepsi
hormonal dapat merangsang pusat pengendali
nafsu makan di hypothalamus yang menyebabkan
akseptor makan lebih banyak daripada biasanya
(Hartanto, 2012). Dimana pada setiap sisi
hipothalamus tampak adanya suatu area
hipothalamus lateral yang besar, area ini terutama
untuk mempengaruhi rasa lapar, haus, dan hasrat
emosional (Guyton, 2012).
Hormon estrogen juga menyebabkan
peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan
subkutan, selain deposit lemak pada payudara dan
jaringan subkutan, estrogen juga menyebabkan
deposit lemak pada bokong dan paha yang
merupakan karakteristik dari sosok wanita,
(Guyton, 2012)
Kandungan hormon (estrogen dan progesteron)
dapat mengubah metabolisme cairan dalam tubuh
seringkali dapat menyebabkan retensi cairan
(edema).Para wanita pengguna kontrasepsi hormonal
dapat mengalami kenaikan berat badan sampai 10 Kg,
kenaikan ini biasanya merupakan efek samping yang
muncul temporer dan terjadi pada bulan pertama
selama 4-6 minggu. Berdasarkan penelitian yang
ditulis Journal Contraception efek samping seperti
muntah, terjadi pembengkakan pada kaki, sakit
kepala, malas, nafas pendek, sakit pada bagian
perut (Guyton, 2012).
Gangguan kesehatan pada pengguna
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
18
kontrasepsi hormonal antara lain dalah gangguan
haid, permasalahan berat badan, terlambatnya
kembali kesuburan, penurunan
libido, sakit kepala, hipertensi dan stroke (Saifuddin,
2006). Akseptor keluarga berencana yang
menggunakan kontrasepsi hormonal dalam kurun
waktu tertentu sering mengeluhkan masalah
kesehatan, salah satu masalah kesehatan yang sering
dialami oleh akseptor kontrasepsi hormonal adalah
hipertensi atau tekanan darah tinggi (Mochtar, 2008).
Berdasarkan Permasalahan yang diatas peneliti akan
melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat
gambaran tekanan darah pengguna kontrasepsi oral
dan kontrasepsi suntikan di puskesmas sekip
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian non
eksperimental deskriptif kuantitatif. Populasi pada
penelitian ini yaitu ibu-ibu yang mengunakan
kontrasepsi oral dan suntikan di Puskesmas Sekip
sebanyak 73 orang. Sampel diambil sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi dan diambil dengan
metode random sampling dari data tahun 2017.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sekip kota
Palembang yang telah mendapat izin dari Dinas
Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Puskesmas
Sekip. Populasi dari penelitian ini adalah wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal baik berupa
pil maupun suntikan dengan jumlah sampel diambil
dari metode random sampling yaitu sebanyak 73
Responden menggunakan kontrasepsi oral dan
suntikan pada tahun yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan ekslusi.
Penelitian ini dilakukan dengan cara meminta
data pasien yang menggunakan alat konstrasepsi baik
oral maupun suntikan pada tahun 2017. Dalam
penelitian ini didapatkan hasil yang disajikan dalam
bentuk tabel dan dideskripsikan menggunakan tabel
tabulasi silang dan grafik untuk melihat gambaran
tekanan darah pengguna kontrasepsi oral dan
suntikan.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengguna Kontrasepsi
Oral dan Kontrasepsi Suntikan di Puskesmas Sekip
Jenis Kontrasepsi F %
Oral 20 27.40%
Suntikan 1 Bulan 14 19.18%
Suntikan 3 Bulan 39 53.42%
Total 73 100%
Dari tabel diatas didapatkan bahwa pengguna
kontrasepsi yang terbanyak yaitu kontrasepsi suntikan
3 bulan yaitu sebanyak 39 orang (53,42%), kemudian
kontrasepsi oral yaitu sebanyak 20 orang (27,40%)
dan yang paling sedikit yaitu Kontrasepsi suntikan 1
bulan yaitu sebanyak 14 orang (19,18%). Pada
penelitian afinah karimatu dkk pada tahun 2016
dengan judul “Gambaran Faktor-Faktor Tekanan
Darah Pada Akseptor KB Hormonal di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu 2016” Pengguna
konntrasepsi suntik lebih banyak yaitu 19 orang,
sedangkan pengguna pil hanya 8 orang dan pengguna
implant hanya 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jumlah Kunjungan
Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi Suntikan
di Puskesmas Sekip
Jenis Jumlah N % Kontras
Oral
Suntika Bulan
Suntikan 3 Bulan 2 23 31.51%
3 9 12.33%
4 5 6.85%
5 2 2.74%
Total 73 100%
Dari tabel diatas didapatkan hasil bahwa pada
pengguna kontrasepsi oral yang terbanyak yaitu
hanya melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun
yaitu sebanyak 11 orang (15,07%) sedangkan yang
melakukan kunjungan 10 kali dalam satu tahun hanya
1 orang (1,37%), kemudian pada pengguna
kontrasepsi suntikan 1 bulan terbanyak yaitu hanya
melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun yaitu
sebanyak 7 orang (9,59%) sedangkan yang
melakukan kunjungan terbanyak yaitu 4 kali
kunjungan hanya 4 orang (5,48%), dan pada
pengguna kontrasepsi suntikan 3 bulan yang
terbanyak yaitu hanya melakukan 2 kali kunjungan
juga yaitu sebanyak 23 orang (31,51%) sedangkan
yang melakukan kunjungan terbanyak yaitu 5 kali
yaitu hanya 2 orang (2,74%).
Kontrasepsi oral yaitu dikonsumsi 1 bulan sekali
sedamgkan suntikan digunakan 1 bulan sekali dan 3
bulan sekali, tetapi dari hasil yang didapat itu yang
terbanyak melakukan kunjungan yaitu hanya 2 kali
kunjungan baik oral maupun suntikan. Hal ini
menunjukkan bahwa pengguna kontrasepsi tidak
patuh dalam menggunakan obat kontrasepsi.
Tabel 3. Tabulasi Silang Gambaran Tekanan Darah
Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi Suntikan
epsi Kunjungan
2
11
15.07%
3 3 4.11%
4 1 1.37%
5 2 2.74%
6 1 1.37%
7 1 1.37%
10 1 1.37%
1 2
7 9.59%
3 3 4.11%
4 4 5.48%
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
19
di Puskesmas Sekip
Jenis kontrasepsi Hipertensi Normal Hipotensi Total
% F % F % F %
Oral 12 60.00% 6 30.00% 2 10.00% 20 100%
Suntikan 1 6 42.86% 3 21.43% 5 35.71% 14 100%
Bulan
Suntikan 3 10 25.64% 12 30.77% 17 43.59% 39 100%
bulan
Total 28 38.36% 21 28.77% 24 32.88% 73 100%
Dari tabel diatas didapatkan hasil dari 73 pengguna
kontrasepsi yaitu 20 orang pengguna kontrasepsi oral
terdapat 12 orang (60 %) yang mengalami Hipertensi
sedangkan 6 orang (30%) nya normal dan 2 orang
(10%) mengalami Hipotensi. Dan 14 pengguna
kontrasepsi suntikan 1 bulan 6 (42,8%) mengalami
Hipertensi Sedangkan 3 Orang (21,43%) normal
dan 5 orang mengalami hipotensi (35,71%),
sedangkan pada 39 pengguna kontrasepsi suntikan 3
bulan terdapat 10 (25,6%) orang yang mengalami
Hipertensi sedangkan 12 (30,77%) nya normal dan 17
orang (43,59%) mengalami Hipotensi.
Menurut hasil penelitian jurnal kesehatan
masyarakat tahun 2017 menunjukkan bahwa proporsi
tekanan darah tinggi pada responden dengan waktu
lama pemakaian alat kontrasepsi hormonal pada
rentang waktu 0-1 tahun yaitu sebesar 100%.
Kecenderungan untuk mengalami kenaikan tekanan
darah mulai muncul pada pemakaian 0-1 tahun. Hasil
pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Dewi Nafisah dinyatakan bahwa
pemakaian alat kontrasepsi hormonal pil selama 12
tahun berturut dapat beresiko 5,38 kali mengalami
peningkatan tekanan darah ( Zahidah, A.K dkk,2016).
Tabel 4. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Oral di Puskesmas Sekip
No Nama Umur
(th)
Jumlah
Kunjungan
Data Tekanan Darah Ket
Awal Akhir
1 E 44 2 120/80 130/80 Ada Perubahan
2 N 42 2 100/80 120/80 Tidak
3 H 26 3 110/70 130/80 Ada Perubahan
4 L 29 5 90/60 130/80 Ada Perubahan
5 F 31 2 100/70 110/80 Tidak
6 E 42 10 110/70 100/80 Tidak
7 H 40 2 120/80 120/90 Ada Perubahan
8 K 32 6 120/80 130/90 Ada Perubahan
9 N 42 3 110/70 120/90 Ada Perubahan
10 K 32 2 110/70 120/80 Tidak
11 R 47 4 120/80 120/80 Tidak
12 R 29 2 110/70 110/60 Tidak
13 L 33 2 120/80 140/80 Ada Perubahan
14 H 28 4 110/70 130/90 Ada Perubahan
15 H 26 3 110/70 120/90 Ada Perubahan
16 J 35 2 110/70 120/90 Ada Perubahan
17 K 47 2 110/70 120/90 Ada Perubahan
18 J 28 2 120/70 120/80 Tidak
19 A 50 7 110/70 180/100 Ada Perubahan
20 JA 29 2 120/70 120/90 Ada Perubahan
Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada
pengguna kontrasepsi oral lebihbanyak yang
mengalami kenaikan yaitu yang hanya melakukan 2
kali kunjungan, sedangkan pada pengguna
kontrasepsi yang 10 kali tidak mengalami kenaikan
tekanan darah atau hipertensi.
Tabel 5. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Suntikan 1 Bulan di Puskesmas Sekip
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
20
No Nama Umur
(th)
Jumlah
Kunjungan
Data Tekanan Darah Ket
Awal Akhir
1 ET 32 4 110/70 120/80 Tidak
2 N 39 2 120/80 120/70 Tidak
3 HS 26 3 100/70 110/80 Tidak
4 K 28 3 110/70 130/80 Ada Perubahan
5 C 33 4 120/80 120/80 Tidak
6 JH 26 2 120/80 120/90 Ada Perubahan
7 I 38 2 100/60 130/80 Ada Perubahan
8 H 26 4 100/60 120/90 Ada Perubahan
9 M 35 4 120/80 110/80 Tidak
10 DM 27 2 120/80 120/90 Ada Perubahan
11 L 31 3 120/80 90/70 Tidak
12 MA 20 2 120/80 110/80 Tidak
13 AS 26 2 120/80 130/90 Ada Perubahan
14 R 30 2 120/80 110/70 Tidak
Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada
pengguna kontrasepsi Suntikan 1 bulan lebih banyak
yang mengalami kenaikan yaitu yang hanya
melakukan 2 kali kunjungan, sedangkan pada
pengguna kontrasepsi yang 4 kali ada yang
mengalami kenaikan tekanan darah atau hipertensi
ada juga yang tidak.
Tabel 5. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Suntikan 3 Bulan di Puskesmas Sekip
No Nama Umur
(th)
Jumlah
Kunjungan
Data Tekanan Darah Ket
Awal Akhir
1 YS 23 4 100/70 100/70 Tidak
2 J 36 3 110/70 120/90 Ada Perubahan
3 SS 28 4 120/80 130/90 Ada Perubahan
4 S 28 5 110/70 100/80 Tidak
5 H 33 2 100/70 110/70 Tidak
6 R 46 3 100/80 90/80 Tidak
7 N 38 2 120/70 110/70 Tidak
8 BS 18 4 120/70 120/80 Tidak
9 E 33 2 120/80 110/80 Tidak
10 K 43 3 110/80 120/90 Ada Perubahan
11 R 34 5 120/80 120/80 Tidak
12 S 33 4 110/70 110/80 Tidak
13 M 34 2 120/80 110/80 Tidak
14 R 37 4 110/70 130/90 Ada Perubahan
15 D 30 2 120/80 120/90 Ada Perubahan
16 K 31 2 110/70 130/90 Ada Perubahan
17 M 44 3 130/90 120/80 Tidak
18 HK 32 2 130/80 130/90 Ada Perubahan
19 MA 20 2 120/70 110/70 Tidak
20 Z 46 3 110/70 110/70 Tidak
21 Y 25 2 100/80 110/70 Tidak
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
21
22 VD 37 3 110/80 100/60 Tidak
23 T 32 2 120/80 120/80 Tidak
24 M 31 3 110/80 120/90 Ada Perubahan
25 J 26 2 120/80 100/70 Tidak
26 V 27 2 120/80 110/70 Tidak
27 I 38 2 120/80 120/80 Tidak
28 D 31 2 120/80 110/70 Tidak
29 E 47 3 110/70 100/70 Tidak
30 N 31 2 130/80 120/90 Ada Perubahan
31 YA 24 2 110/80 110/80 Tidak
32 N 30 2 110/80 110/70 Tidak
33 RP 32 2 110/70 110/80 Tidak
34 DA 46 2 120/80 120/80 Tidak
35 D 29 2 110/70 110/70 Tidak
36 R 46 2 110/80 120/90 Ada Perubahan
37 S 27 2 90/70 110/80 Tidak
38 N 32 2 110/70 110/80 Tidak
39 E 31 2 110/80 120/80 Tidak
Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada
pengguna kontrasepsi Suntikan 3 bulan lebih banyak
yang mengalami kenaikan yaitu yang hanya
melakukan 2 kali kunjungan, sedangkan pada
pengguna kontrasepsi yang 5 kali tidak ada
mengalami kenaikan tekanan darah atau hipertensi.
Tetapi sesuai data pada tabel 4,5 dan 6 baik
pengguna kontrasepsi oral maupun suntikan yang
banyak mengalami perubahan tekanan darah yaitu
yang hanya 2 atau 3 kali kunjungan, sedangkan untuk
penggunaan yang lama tidak mengalami perubahan
dan ada pula yang mengalami perubahan. Menurut
riskesdas 2013 biasanya perubahan tekanan darah itu
jika digunakan selama minimal 6 kali berturut-turut.
kenaikan tekanan pada pengguna kontrasepsi ini
sepertinya tidak disebabkan oleh penggunaan
kontrasepsi tapi bisa disebabkan beberapa faktor lain
yaitu umur, berat badan, genetik dan faktor-faktor
lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Dari 73 Responden pengguna kontrasepsi
terbayak yaitu pengguna kontrasepsi suntikan 3 bulan
dibandingkan oral dan suntikan 1 bulan dan
kunjungan terbanyak yaitu 2 kali kunjungan baik oral
maupun suntikan. Kemudian dari 73 Responden
pengguna kontrasepsi paling banyak mengalami
hipertensi yaitu kontrasepsi oral daripada kontrasepsi
suntikan ini membuktikan bahwa kontrasepsi belum
tentu menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
hipertensi pada pengguna kontrasepsi baik oral
maupun suntikan
SARAN Sebaiknya diadakan penelitian lebih lanjut untuk
mencari korelasi antara kontrasepsi oral, kontrasepsi
suntik dan tekanan darah. Kemudian Sebaiknya
diadakan penelitian lebih lanjut tentang gambaran
efek samping lainnya dari penggunaan kontrasepsi
oral dan kontrasepsi suntikan dan diadakan
penelitian tentang berapa banyak wanita pada usia
subur yang menggunakan kontrasepsi dan tidak
menggunakan kontrasepsi.
DAFTAR PUSTAKA
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar., 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Guyton A.C and J.E Hall. 2012. Buku ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta.
Hartanto, H., 2012. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Badan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Badan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
Mochtar, R., 1998. Sinopsis Obstetri, Jilid 2.
Jakarta: EGC.
Mochtar, R., 2008. Sinopsis Obstetri: Obstetri Operatif,
Obstetri Sosial. Jakarta: EGC.
Saifuddin, A.B., 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo
Zahidah, A.K. dkk., 2016. Gambaran Faktor-Faktor Tekanan
Darah Pada Akseptor KB Hormonal di Wilayah Kerja
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
22
Puskesmas Kedungmundu 2016. Universitas
Diponegoro
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
23
PENINGKATAN KUALITAS INFORMASI PADA PEMBELI OBAT
MAAG SECARA BEBAS SETELAH PEMBERIAN BROSUR PADA
APOTEK KIMIA FARMA
DIKOTA PALEMBANG
Sarmalina Simamora,Liwista
Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
* Email : [email protected]
ABSTRAK
Obat maag merupakan obat bebas yang dapat diperoleh tanpa menggunakan resep. Namun dalam penggunaan
nya obat maag harus di konsumsi dengan benar agar mendapat khasiat yang optimal. Di apotek terkadang
informasi tentang obat jarang diberikan oleh pegawai sehingga dapat menyebabkan pasien kurang tepat dalam
penggunaan obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas informasi pada pembeli obat maag
bebas setelah pemberian brosur pada Apotek Kimia Farma dikota Palembang. Jenis penelitian adalah quasi
experimental dengan rancangan equivalent pre-test and post-test with control group. Penelitian kuasi eksperimen
(Quasi Eksperimental research). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Apotek Kimia Farma Palembang.
sampel apotek dilakukan metode probability sampling dengan pengambilan secara acak sederhana (metode
sampel random sampling). Cara menentukannya dengan metode lotere. Dari data penelitian menunjukan bahwa
Apotek Kimia Farma cenderung memiliki kualitas informasi yang kurang baik dapat dilihat kelompok perlakuan
(37,5%) apotek yang memberikan informasi obat. Dan kelompok control (11,1%) apotek yang memberikan
informasi obat. Hasil penelitian ini nilai sig. 2-tailed lebih kecil dari 0,05%.
Kata kunci : obat maag, kualitas informasi, brosur
PENDAHULUAN
Pelayanan Informasi Obat merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh apoteker.
Informasi mengenai Obat termasuk obat
resep, obat bebas dan herbal (Permenkes,
2016). Informasi menurut McLeod
(2010:35) merupakan data yang telah
diproses atau memiliki arti. Informasi obat
penting di berikan untuk menjamin
ketepatan penggunaan obat. Ketepatan
dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan
mengingat obat dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 2007). ldealnya petugas apotek baik diminta ataupun tidak harus selalu pro aktif memberikan pelayanan informasi obat sehingga dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli. Informasi yang diberikan meliputi
dosis, cara pakai tentang cara dan waktu
penggunaan obat, serta cara penyimpanan
obat di rumah. penyakit-penyakit yang
paling sering diobati secara swamedikasi,
antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare,
dan gastritis. Menurut data dari World
Health Organization (WHO), terdapat
beberapa Negara didunia
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah quasi
experimental dengan rancangan equivalent
pre-test and post-test with control group.
Penelitian kuasi eksperimen (Quasi
Eksperimental research). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Apotek Kimia
Farma Palembang. Pemilihan sampel
apotek dilakukan metode dimulai dengan
Negara yang kejadian gastritis paling tinggi
Amerika dengan presentase 47%, india dengan
presentase 43%, Indonesia 40% (WHO,2012).
Di beberapa wilayah di Indonesia kejadian
gastritis juga cukup tinggi dari 238.452.952
jiwa penduduk, terdapat 274.398 kasus
prevalensi penyakit gastritis (Ahmad, 2011).
Namun masih saja di dapati Tenaga Teknis
Kefarmasian tidak memberi informasi obat,
Salah satu kemungkinan ialah Tenaga Teknis
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
24
Kefarmasian kurang memiliki pengetahuan
tentang obat. Faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu : pendidikan, media
masa/sumber informasi, sosial budaya dan
ekonomi, lingkungan dan pengalaman. Dari
kasus di atas maka peneliti tertarik untuk
mengetahui apakah upaya peningkatan kualitas
informasi pada pembeli obat maag secara
bebas setelah pemberian brosur pada beberapa
apotek Kimia Farma dikota Palembang dapat
meningkatkan pengetahuan pegawai di apotek
dalam pemberian informasi obat kepada pasien
swamedikasi probability sampling dengan
pengambilan secara acak sederhana
(metode sampel random sampling). Cara
menentukannya dengan metode lotere.
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini adalah alat tulis,
lembar penelitian (checklist), handphone
(sebagai alat perekam), brosur dan kamera.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan april –
juni 2018 dikota Palembangpada Tenaga
Teknis Kefarmasian di Apotek Kimia
Farma kota Palembang yang telah
mendapatkan persetujuan dari Branch
Manager Apotek Kimia Farma dikota
Palembang. Populasi pada penelitian ini
adalah semua TTK di Apotek Kimia Farma
kota Palembang. Berdasarkan data yang
didapat dari Dinas Kesehatan Kota
Palembang bahwa Apotek Kimia Farma
dikota Palembang terdapat 17 Apotek.
Terdiri atas 8 Apotek yang menjadi Apotek
perlakuan dan 9 Apotek sebagai control.
Penilaian pada penelitian ini adalah dengan
cara peneliti mendengar hasil rekaman
audio antara pasien simulasi dan Tenaga
Teknis Kefarmasian. Poin Penilaian
dilakukan peneliti dengan cara memberi
nilai pada poin-poin checklist yang telah
disiapkan lalu dihitung dan dikelompok
kedalam 2 kategori yaitu baik dan kurang
baik. Dalam penelitian ini di ambil data 2
kali yaitu saat TTK sebelum dan sesudah di
beri informasi obat pada Apotek perlakuan
dan Apotek kontrol. Tenaga Teknis
Kefarmasian yang diambil dari setiap
Apotek berjumlah 2 orang. Dari hasil ini
terdapat 34 orang TTK yang menjadi
responden atau penerima informasi.
Table 1. Hasil uji non parametric
Wilcoxon kelompok perlakuan sebelum
dan sesudah diberi perlakuan.
Berdasarkan Tabel hasil analisis yang
dilakukan dengan uji Wilcoxon didapatkan
hasil sig.2-tailed = 0,025 (p<0,05) maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan
Ada peningkatan kualitas informasi pada
pembeli obat maag bebas setelah
pemberian brosur pada Apotek Kimia
Farma dikota Palembang.
Table 2 Hasil uji non parametric Mann
Whitney kelompok kontrol
Berdasarkan Tabel hasil analisis yang
dilakukan dengan uji Mann Whitney
didapatkan hasil sig.2-tailed = 0,702
(p>0,05) maka dapat disimpulkan bahwa H0
diterima dan Tidak ada peningkatan
kualitas informasi pada pembeli obat maag
Kelompo
k
responden
Kualitas informasi Total Sig. (2-
taile d) Baik Kurang
baik
N % N % N %
Sebelum perlakuan
3 37,5% 5 62,5% 8 100% 0,02
5
Sesudah perlakuan
8 100% 0 0% 8 100%
Kelo
mpok
data
Kualitas informasi Total Asym
p.Sig.
(2-
tailed
)
Baik Kurang baik
N % N % N %
Data 1 11,1% 8 88,9 9 100% 0,702
awal %
Data 0 0% 9 100% 9 100%
akhir
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
25
bebas setelah pengamatan data awal dan
pengamatan akhir di apotek kimia farma
kelompok control.
Table 3. Hasil uji non parametric Mann
Whitney perbedaan antara kelompok
control dan kelompok perlakuan
Berdasarkan Tabel hasil analisis perbedaan
antara kelompok control dan kelompok
perlakuan yang dilakukan dengan uji Mann
Whitney didapatkan hasil sig.2-tailed =
0,000 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan
bahwa H0 ditolak dan terdapat peningkatan
kualitas informasi secara signifikan pada
pembeli obat maag bebas antara apotek
control dengan perlakuan di apotek kimia
farma kota Palembang.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang dihasilkan dari 17
Apotek Kimia Farma dikota Palembang,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut : Informasi yang diberikan oleh
TTK di apotek Kimia Farma memiliki
perbedaan kualitas informasi, pada saat
sebelum dan setelah diberi informasi obat
melalui brosur.
1. Informasi obat yang diberikan oleh
apotek kimia farma setelah diberi
brosur meliputi cara pakai obat,
waktu penggunaan obat, dosis
pemakaian, lama pemakaian obat,
interaksi obat, efek samping obat,
dan cara pencegahan penyakit
maag.
2. Kualitas informasi obat
apotek kelompok perlakuan
meningkat menjadi lebih baik
karena adanya stimulus pertanyaan
dari pasien simulasi bukan
spontanitas dari TTK.
B. SARAN
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian
ini, maka saran yang dapat diberikan oleh
penulis adalah sebagai berikut :
1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan
kota Palembang untuk memberi
penyuluhan terkait informasi obat di
apotek-apotek dikota Palembang.
Karena informasi obat sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien tentang obat.
2. Pada peneliti selanjutnya agar dapat
meneliti tentang interaksi obat
maag, karena dalam penelitian ini
terdapat apotek yang tidak
menginformasikan tentang interaksi
obat.
3. Di himbau kepada pegawai apotek
untuk membaca brosur obat agar
pelayanan informasi obat bebas
semakin optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kurnia., 2011. Manajemen
Penelitian. http: // skripsimahasiswa.
blogspot.com/2011/01/one-sample-t- tests-
uji-t-satusampel.html (13februari2018)
Afriwany, N.H., 2017. ”Hubungan tingkat
pengetahuan dan perilaku Penggunaan
antasida tablet pada pasien Di puskesmas
kalidoni Palembang”.Karya tulis ilmiah.
Jurusan farmasi Poltekkes Kemenkes
Kelompok
data Kualitas
informasi
Total Asy
m
p.Sig
.
(2-
tailed
)
Baik Kurang
baik
N % N % N %
Data akhir
kelompok
kontrol
0 0% 9 100 % 9 100%
0,000
Data
setelah
perlakuan
8 100% 0 100 % 8 100%
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
26
Palembang.(tidak di publikasikan).
Halaman 58.
Anief, M., 2007.Apa Yang Perlu Diketahui
Tentang Obat, Cetakan Kelima(Revisi),
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Arikunto, S., 2006.Prosedur penelitian:
suatu pendekatan praktik.Jakarta : Rineka
cipta
Budiman dan Riyanto A., 2013.Kapita
Selekta Kuisioner Pengetahuan Dan Sikap
Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Salemba Medika pp 66-69.
Depkes., 2006, Pedoman Obat Bebas dan
Bebas Terbatas, Depkes RI, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI., 2007.
Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan
Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik. Jakarta, Indonesia.
Depkes RI., 2008. Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI:
Jakarta.
Dinas kesehatan., 2012. Laporan Bulanan
Dinas Kesehatan Kota Palembang,
Palemban
g, Indonesia.Hal.9.
Dinas Kesehatan., 2013. Laporan Bulanan
Dinas Kesehatan Kota Palembang,
Palemban
g, Indonesia.hal.3.
FIP, 1999. Joint Statement By The
International
Pharmaceutic
al Federation and The World Self-
Medication Industry: Responsible Self-
Medication. FIP & WSMI, p.1- 2.
Gordon, B.Davis, 2002, Kerangka Dasar
Sistem Informasi Manajemen,
PPM, Jakarta.
Hendra, AW. 2008. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pengetahuan. Avaible :http
: //ajang-berkarya.
Hutahaean, Jeperson., 2014. Konsep
Sistem Imformasi. Yogyakarta:
Deepublish.
Kimia farma., 2017. Sejarah kimia
farma.Jakarta pusat. Indonesia.
K-24., 2018.Beranda apotek K-24.
Yogyakarta, Indonesia.
McLeod, Raymond Jr dan George
P.Schell., 2010.Sistem Informasi
Managemen.Jakarta: Indeks .hal 7.
Muffidah, lina., 2016. Manajemen
kemitraan waralaba sektor farmasi
perspektif ekonomi islam :Studi kasus di
apotek K-24 kabupaten banyumas. Skripsi
UIN Purwokerto, Purwokerto.
Nasution, M. N., 2001, Manajemen Mutu
Terpadu (Total Quality Management),
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, S., 2010.Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S., 2005, Promosi kesehatan
teori dan Aplikasi, Jakarta : PT Rineka
Cipta
Nurlaila, 2009.Peranan Promosi
Perpustakaan dalam Peningkatan Layanan
Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jurnal
Iqra’, Vol. 03, No.01. Jakarta.
Permenkes., 2016. Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 73 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
27
Apotek.Jakarta : Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Ranica, hamid., et al. (2014). Profil
penggunaan obat antasida yang diperoleh
secara swamedikasi (studi pada pasien
apotek “X” Surabaya). Surabaya.
Riyanto, Agus., 2012. Penerapan Analisis
Multivariat dalam Penelitian Kesehatan.
Nuha Medika, Yogyakarta, Indonesia, hal.
72.
Setiastuti, A,D., 2012.Laporan praktek
kerja profesi apoteker di apotek kimia
farma No.55 jalan kebayoran lama No. 50
jakarta barat periode 2 april – 12 mei 2012.
Depok, Indonesia.
Siregar, C.J., 2006, Farmasi Klinik Teori
dan Penerapan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Sukasediati, N. dan Sundari, D., 1996,
Tinjauan Hasil Penelitian Tanaman Obat di
Berbagai Institut
III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Supardi, S., dan Raharni., 2006,
Penggunaan Obat Yang Sesuai Dengan
Aturan Dalam Pengobatan Sendiri Keluhan
Demam - Sakit
kepala, Batuk dan Flu, Jurnal Kedokteran
Yarsi, Volume. 14, Nomor. 1, 61 – 69.
Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja,
2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya,
Edisi Keenam, 262, 269-271,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Utami, T.P., 2017. “Hubungan
Penggunaan Obat Dan Ketepatan
Penggunaan Obat Demam Pada Anak
Oleh Ibu Yang Telah Dan Belum
Diedukasi Di Posyandu Margoyoso
Palembang. Karya Tulis Ilmiah. Jurusan
farmasi poltekkes Kemenkes Palembang.
(tidak di publikasikan). Hal 37
Wibowo, A.W., Maslachah, L. dan Retno,
B. 2008. Pengaruh Pemberian Perasan
Buah Mengkudu (Morinda citrifolia)
Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Diet Tinggi
Lemak. Jurnal Veterinaria Medika
Universitas Airlangga.15:50-75.
World Health Organization (WHO)., 2012. Angka Kematian Bayi.Amerika : WHO.
Wordpress.com/ 2008/
06/ 07/ Konsep-Pengetahuan. Diakses (18/feb/2018).
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
28
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN INFUSA DAUN SALAM
(Eugenia polyantha Wight. ) DAN DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.)
DENGAN METODE DPPH SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis
Dewi Marlina, Riandini Syafitri,
ABSTRAK
Radikal bebas merupakan suatu elektron dalam tubuh yang tidak berpasangan. Radikal bebas
akan terus berusaha menyerang dan merusak sel-sel tubuh agar stabil, sehingga dapat menimbulkan
penyakit degeneratif, contohnya Asam Urat. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat
radikal bebas. Senyawa antioksidan alami adalah senyawa fenolik atau polifenol. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, Tanaman daun Salam dan daun tempuyung memiliki senyawa polifenol berupa flavonoid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar aktivitas antioksidan yang terdapat pada ekstrak dan infusa
daun salam dan daun tempuyung.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik. Sampel dibagi
menjadi dua jenis yaitu daun salam dan daun tempuyung. Yang pertama dilakukan ekstraksi menggunakan
metode maserasi dengan pelarut etanol. Yang kedua, sampel dibuat infusa dengan pelarut aquadest lalu
kemudian disaring dan dibuat konsentrasi. Kemudian, dibuat larutan uji DPPH untuk mengukur kurva
puncak. Lalu, dibuat larutan vitamin C sebagai Kontrol positif. Selanjutnya dibuat sampel dengan berbagai
konsentrasi untuk mengukur persen peredaman. Setelah didapatkan persen peredaman, maka dihitung
IC50 untuk menyatakan besar aktivitas antioksidan yang dihasilkan.berdasarkan hasil yang didapat, yaitu
menunjukan nilai IC50 ekstrak etanol salam yaitu 3,33 ppm dan infusa daun salam yaitu 5,08 ppm.
Sedangkan nilai IC50 dari ekstrak etanol daun tempuyung yaitu 2,45 ppm dan infusa daun tempuyung 2,92
ppm. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak dan infusa daun salam maupun daun tempuyung
memiliki aktivitas antioksidan.
PENDAHULUAN
Suatu penyakit yang timbul seiring
bertambahnya usia seseorang karena disebabkan
oleh menurunnya fungsi sel, jaringan, dan organ
disebut penyakit degeneratif (Nasren, 2013).
Menurut Subroto dan Saputro (2006) beberapa
penyakit yang tergolong kedalam penyakit
degeneratif adalah tumor, kanker, jantung
koroner dan asam urat. Asam urat atau dikenal
dengan gout merupakan hasil buangan zat purin
yang ikut mengalir bersama darah dalam
pembuluh darah (Suriana, 2014). Penyakit asam
urat merupakan salah satu jenis penyakit rematik
yang terjadi di bagian sendi, dan dikenal dengan
nama rematik sendi, atau radang sendi (Dewani
dan Sitanggang, 2006). Menurut Hasil riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa penyakit sendi di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)
sebesar 11.9% dan berdasarkan diagnosis dan
gejala sebesar 24.7%. Di Indonesia penyakit
kronis seperti darah tinggi, asam urat dan rematik
menurut susenas merupakan salah satu keluhan
penyakit yang paling tinggi pada usia lanjut
dengan persen sebesar 32,99 % (Kemenkes,
2013)
Menurut Winarto (2004) salah satu penyebab
atau pemicu terjadinya penyakit radang sendi
adalah karena adanya pembentukan senyawa
radikal bebas. Senyawa radikal bebas merupakan
molekul yangmemiliki satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan dan bersifat tidak stabil
sehingga bersifat reaktif dan mengakibatkan
kerusakan sel (Silalahi, 2006). Untuk mengatasi
kerusakan akibat radikal bebas, diperlukan
senyawa yang dapat menangkal serangan dari
molekul radikal tersebut dengan memberikan
elektron sehingga tidak terjadi kerusakan lebih
lanjut. Senyawa tersebut dikenal dengan nama
antioksidan (Winarno, Winarno dan Winarno,
2015). Menurut Agung (2016) Antioksidan
terbagi menjadi dua kelompok yaitu antioksidan
dari luar dan dari dalam tubuh manusia.
Antioksidan dari dalam (endogen) merupakan
antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh sebagai
system pertahanan tubuh untuk menangkal
radikal bebas. Akan tetapi, senyawa antioksidan
yang diproduksi oleh tubuh ini belum cukup
untuk menangkal radikal bebas yang ada
sehingga diperlukan sumber antioksidan dari luar
(Lingga, 2012).
Menurut Komarudin (2017) berdasarkan
sumber perolehannya terdapat dua jenis
antioksidan dari luar yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintetik. Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan penggunaan obat berbasis
bahan alam menjadikan antioksidan alami lebih
diminati masyarakat dibandingkan antioksidan
sintetik (Syah, 2006). Adapun beberapa sumber
antioksidan alami yaitu
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
29
daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun
tempuyung (Sonchus arvensis L.). Menurut Savitri
(2016). Daun salam memiliki kandungan senyawa
flavonoid adapun menurut Harismah dan
Chusniatun (2017) kandungan senyawa dalam
daun salam yaitu minyak atsiri 0,2% (sitral,
eugenol), flavonoid (katekin dan rutin), tannin dan
metil kavicol (methyl chavicol). Begitu pun daun
tempuyung sendiri memiliki kandungan senyawa
flavonoid (Winarto dan Karyasari, 2004), dan
menurut Putra, Kusrini, dan Fachriyah (2013) daun
tempuyung mengandung banyak senyawa kimia,
seperti golongan flavonoid (kaemferol, luteolin-7-
O-glukosida dan apigenin-7- O-glukosida),
kumarin, taraksasterol serta asam fenolat bebas.
Pada penelitian sebelumnya, telah didapatkan
bahwa ekstrak daun Salam dan daun Tempuyung
menunjukkan aktivitas antioksidan. Hal ini
dibuktikan dalam penelitian Bahriun, Rahman dan
Diah (2014) ekstrak daun salam meliputi daun
muda, setengah muda dan tua memiliki aktivitas
antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 yang
diperoleh masing-masing 37,441 ppm, 14,889 ppm
dan 11,001 ppm. Begitu pun aktivitas ekstrak daun
tempuyung memiliki aktivitas antioksidan
IC50
sebesar 150,860 ppm (Yuliarti, Kusrini dan Fachriyah, 2013). Kedua tanaman tersebut
te1la.h dikenal secara empiris digunakan dalam pengobatan asam urat. Menurut Suriana (2014), masing-
masing tanaman sebanyak 10 helai direbus dengan
air panas sebanyak 100 ml dan dikonsumsi secara
rutin untuk menurunkan kadar asam urat. Pada
penelitian Darussalam dan Rukmi (2016)
menunjukan bahwa
air rebusan daun salam dapat menurunkan ka2d.ar
asam urat dan dalam penelitian Chairul, Sumarny,
dan Chairul (2003) menunjukkan bahwa ekstrak
air
daun tempuyung dapat menurunkan kadar asam
urat. Oleh karena itu, peneliti telah meneliti
aktivitas antioksidan dari ekstrak maupun infusa
daun salam dan daun tempuyung dibandingkan
dengan vitamin C sebagai kelompok kontrol
positif.
Vitamin C atau asam l-askorbat adalah
vitamin yang larut dalam air (aqueous antioxidant)
(Winarsih, 2014). Vitamin larut ini akan bereaksi
dengan radikal bebas dan menghasilkan radikal
askorbil. Setelah terbentuk, radikal askorbil serta
asam askorbat dapat kembali menjadi asam
askorbat tetapi tidak seluruhnya kembali (Sayuti
dan Yenrina, 2015). Sebagai reduktor radikal
bebas, asam askorbat akan meminimalisir
kerusakan sel. Menurut Winarsi (2014)
Penangkapan radikal bebas oleh askorbat dapat
secara langsung menangkap radikal bebas oksigen
baik dengan atau tanpa katalisator enzim.
Pemilihan metode yang paling umum digunakan
dalam peredaman radikal bebas adalah metode
DPPH. Metode DPPH dipilih karena metode ini
mempunyai keuntungan yaitu mudah digunakan,
mempunyai tingkat sensitivitas tinggi dan dapat
menganalisis sejumlah besar sampel dalam jangka
waktu yang singkat (Praditya, 2014). Menurut
Molyneux (2004), senyawa antioksidan akan bereaksi
dengan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) yang
menstabilkan radikal bebas dan mereduksi DPPH.
Kemudian DPPH akan bereaksi dengan atom hidrogen
dari senyawa peredam radikal bebas membentuk 1,1-
difenil-2-pikrilhidrazin (DPPH-H) yang lebih stabil.
Reagen DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan
mengalami perubahan warna dari ungu ke kuning,
intensitas warna tergantung kemampuan dari
antioksidan.
Perbedaan penelitian yang telah diteliti dengan
penelitian sebelumnya adalah waktu, tempat,
konsentrasi pelarut dan ekstrak tanaman berupa infusa
(Pamungkas, Retyaningtyas dan Wulandari, 2015).
Ekstrak dan infusa pada penelitian ini menggunakan
daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun
tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang pada penelitian
sebelumnya telah adanya penelitian aktivitas
antioksidan Oleh karena itu peneliti meneliti aktivitas
antioksidan ekstrak dan infusa daun salam (Eugenia
polyantha Wight.) dan daun tempuyung (Sonchus
arvensis L.)
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum
Untuk mengukur aktivitas antioksidan ekstrak
etanol daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan
daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta infusa
kedua daun tersebut dibandingkan dengan vitamin C
sebagai kontrol positif menggunakan metode DPPH.
Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan yang
lebih baik dari ekstrak daun salam (Eugenia
polyantha Wight.) dan infusa daun salam
(Eugenia polyantha Wight.) dengan metode
DPPH.
b. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan yang
lebih baik dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus
arvensis L.) dan infusa daun tempuyung
(Sonchus arvensis L.) dengan metode DPPH.
c. Untuk mengukur nilai IC50 dari ekstrak daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan infusa
daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dengan
metode DPPH.
d. Untuk mengukur nilai IC50 dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan infusa
daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan
metode DPPH.
e. Untuk mengukur besar kemampuan aktivitas
antioksian vitamin c sebagai kontrol positif
dalam meredam radikal bebas dengan metode
DPPH.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
30
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik
dengan melakukan uji aktivitas antioksidan yang
terdapat pada ekstrak dan infusa daun Salam
(Eugenia polyantha Wight.) dan daun Tempuyung
(Sonchus arvensis L.) terhadap peredaman radikal
bebas DPPH secara spektrofotometri UV-Vis,
dilanjutkan dengan penentuan IC50.
Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah
daun Salam yang diambil dari halaman rumah
Bapak “X” yang berada di Air Batu, Banyuasin
dan daun Tempuyung yang dibeli secara Online
didaerah Yogyakarta, D.I. Yogyakarta.
Cara Pengumpulan Data
1. Pembuatan Ekstrak Kental Daun Salam dan
Daun Tempuyung
Jenis ekstraksi yang digunakan adalah maserasi
dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Daun dibersihkan dengan menggunakan air
mengalir.
b. Setelah itu, daun dirajang halus dengan pisau,
kemudian dikering anginkan lalu ditimbang
sebanyak 150 gram. Setelah ditimbang
masukkan ke dalam botol maserasi yang
berwarna gelap.
c. Kemudian tambahkan pelarut etanol sampai
seluruh sampel terendam dan ada selapis
etanol diatasnya.
d. Botol ditutup dan biarkan selama 5 hari di
tempat gelap atau terlindung dari cahaya
sambil sering dikocok, pengocokan dilakukan
sebanyak 3 kali dalam 1 hari.
e. Setelah 5 hari, sampel disaring dan dibiarkan
selama beberapa jam kemudian sampel
dienaptuangkan selama 2 hari dan saring lagi
dengan kertas saring whatman ke wadah lain.
f. Proses maserasi diulangi sebanyak 3 kali
sampai seluruh sampel tersari sempurna.
g. Maserasi dianggap selesai apabila cairan
penyari mendekati bening. Ekstrak cair yang
didapatkan, diuapkan pada suhu dan tekanan
yang rendah sehingga didapatkan ekstrak
kental.
h. Setelah itu ekstrak kental diencerkan sehingga
didapatkan larutan uji dengan berbagai
konsentrasi b/v, larutan uji disaring sehingga
dapat larutan uji yang sesuai untuk pengujian
pada spektrofotometri Uv-Vis
2. Pembuatan Infusa Daun Salam dan Daun
Tempuyung
a. Daun diambil kemudian dibersihkan dahulu
kemudian iris kecil-kecil dan ditimbang
sebanyak 10 gram.
b. Irisan daun dicampur dengan 100 ml air
Aquadest, lalu masukkan kedalam bejana non
logam seperti kaca ataupun keramik atau panic
infusa.
c. Kemudian tutup dan panaskan pada suhu 90 oC
selama 15 menit.
d. Setelah cairan infusa dingin, cairan ini diserkai
(peras dan saring) menggunakan kain flannel dan
corong gelas. Lalu ditambahkan lagi aquadest
hingga 100 ml.
3. Pengujian Fitokimia
Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui
kandungan metabolit sekunder pada daun salam dan
daun tempuyung. a. Uji Flavonoid
Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun
tempuyung masing-masing akan dilarutkan ke dalam
2 ml etanol, kemudian ditambahkan serbuk Mg dan
HCl pekat sebanyak 5 tetes. Adanya senyawa
flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah atau jingga (Ningsih, Zusfahair, dan Kartika,
2016).
b. Uji Alkaloid
Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun
tempuyung masing-masing ditambahkan dengan 3
tetes amonia 10% dan 1,5 ml kloroform lalu dikocok.
Lapisan kloroform diambil kemudian dilarutkan dalam
1 ml asam sulfat 2 N, kemudian dikocok. Setelah itu,
ekstrak ditambahkan dengan pereaksi Meyer.
Terbentuknya endapan putih menandakan adanya
senyawa alkaloid (Rasyid, 2012) c. Uji terpenoid dan Steroid
Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun
tempuyung masing-masing ditambahkan dengan 2
mL kloroform dalam tabung reaksi, kemudian
diteteskan ke dalam plat tetes, dan dibiarkan sampai
kering. Setelah itu, ditambahkan dengan 1 tetes
pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna
merah menandakan adanya senyawa terpenoid. Jika
timbul warna biru, positif mengandung steroid
(Rasyid, 2012). d. Uji Saponin
Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun
tempuyung masing-masing ditambah dengan etanol,
kemudian dipanaskan selama beberapa menit.
Larutan dituang kedalam tabung reaksi dalam
keadaan panas. Larutan diambil sebanyak 10 ml,
kemudian dikocok kuat secara vertikal. Adanya
saponin ditandai dengan terbentuknya busa dan tidak
hilang pada saat ditambahkan dengan satu tetes HCl 2
N (Rasyid, 2012).
e. Uji Tanin
Sebanyak 1 ml ekstak daun salam dan daun
tempuyung masing-masing dimasukkan kedalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan FeCL3 1%
sebanyak 2-3 tetes. Sampel positif mengandung tanin
bila mengalami perubahan warna menjadi hijau
kehitaman (Huliselan, Runtuwene dan
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
31
wewengkang, 2015).
4. Pembuatan Larutan Uji
a. Pembuatan Larutan DPPH
DPPH Kristal ditimbang sebanyak 4 mg,
kemudian dimasukkan kedalam labu takar100
ml, setelah itu tambahkan pelarut etanol sampai
batas sehingga didapatkan konsentrasi 0,004 %
atau 40 ppm (Wicaksono dan Ulfah, 2017).
b. Pembuatan Larutan Baku
Vitamin C ditimbang sebanyak 50 mg,
kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 50
ml. Setelah itu, tambahkan pelarut etanol sampai
batas hingga didapatkan konsentrasi 0,1%.
Kemudian dari larutan tersebut dibuat deret
larutan dengan konsentrasi yaitu 0,001%,
0,0008%, 0,0006%, 0,0004% dan
0,0002% (Karim, Jura dan Sabang, 2015).
5. Uji aktivitas antioksidan
a. Persiapan
Pelarut etanol diambil sebanyak 500 µL
pelarut ke dalam kuvet ditambah larutan DPPH
500 µL (Indranila dan Ulfah, 2015),
dihomogenkan dan segera dibuat dengan
spektrofotometri UV-Vis (400-600 nm).
Selanjutnya akan dicatat absorban yang terdapat
pada kurva puncak.
b. Larutan Uji Ekstrak Etanol Daun Salam
Pengukuran antiradikal bebas dengan
ekstrak
etanol daun salam yaitu dilarutkannya ekstrak
kedalam etanol pro analisis sehingga didapatkan
konsentrasi 0,1%. Kemudian dari larutan
tersebut akan dibuat deret larutan dengan
konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004%
dan 0,002%. Diambil
500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah
larutan DPPH 500 µL (Indranila dan Ulfah,
2015). Lalu segera dibuat dengaan
spektrofotometri UV-Vis (400-600 nm). Larutan
didiamkan selama 30 menit dan absorban akan
dibaca pada panjang gelombang maksimum.
c. Larutan Uji Ekstrak Etanol Daun
Tempuyung Pengukuran antiradikal bebas
dengan ekstrak
etanol daun tempuyung yaitu larutkan ekstrak
kedalam etanol pro analisis sehingga didapat
konsentrasi 0,1%. Kemudian dari larutan
tersebut dibuat deret larutan dengan konsentrasi
0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004% dan
0,002%.Diambil
500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah
larutan DPPH 500 µL(Indranila dan Ulfah,
2015). Lalu segera dibuat dengaan
spektrofotometri UV- Vis (400-600nm). Larutan
didiamkan selama 30 menit dan absorban dibaca
pada panjang gelombang maksimum
d. Larutan Uji Infusa daun Salam
Pengukuran antiradikal bebas dengan infusa daun
salam yaitu larutkan ekstrak kedalam pelarut etanol pro
analisis sehingga didapat konsentrasi 0,1%. Kemudian
dari larutan tersebut dibuat deret larutan dengan
konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004% dan
0,002%. Diambil 500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet,
ditambah larutan DPPH 500
µL(Indranila dan Ulfah, 2015). Lalu segera dibuat
dengaan spektrofotometri UV-Vis (400-600nm).
Larutan didiamkan selama 30 menit dan absorban
dibaca pada panjang gelombang maksimum.
e. Larutan Uji Infusa daun Tempuyung
Pengukuran antiradikal bebas dengan infusa daun
tempuyung yaitu larutkan ekstrak kedalam pelarut
etanol pro analisis sehingga didapat konsentrasi 0,1%.
Kemudian dari larutan tersebut dibuat deret larutan
dengan konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004%
dan 0,002%. Diambil
500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah
larutan DPPH 500 µL(Indranila dan Ulfah, 2015). Lalu
segera dibuat dengaan spektrofotometri UV- Vis (400-
600nm). Larutan didiamkan selama 30 menit dan
absorban dibaca pada panjang gelombang maksimum
f. Larutan Uji Vitamin C
Pengukuran antiradikal bebas dengan vitamin C
(kontrol positif) yaitu diambil sebanyak 500 µL larutan
vitamin C ke dalam kuvet, lalu ditambah larutan DPPH
500 µL (Indranila dan Ulfah, 2015). Larutan didiamkan
selama 30 menit dan diukur absorbannya pada panjang
gelombang maksimum. Kemudian dari larutan tersebut
dibuat deret larutan dengan konsentrasi 0,001%,
0,0008%, 0,0006%, 0,0004% dan 0,0002% (Karim,
Jura dan Sabang, 2015).
g. Penentuan Persen Peredaman Radikal Bebas DPPH
Pada Sampel Uji (Ekstrak Etanol dan infusa daun
salam dan daun tempuyung)
Penentuan aktivitas penangkapan radikal bebas dari
sampel uji mengggunakan metode penangkapan radikal
bebas DPPH. Hasil aktivitas penangkap radikal ekstrak
kombinasi daun salam dan daun tempuyung serta
ekstrak tunggal kedua daun tersebut dibandingkan
dengan Vitamin C sebagai kontrol positif.
Besar aktivitas penangkap radikal bebas dihitung
dengan rumus: % Peredaman DPPH = x 100 %
Selanjutnya hasil perhitungan dimasukkan kedalam
persamaan regresi dengan konsetrasi ekstrak sebagai
absis (sumbu X) dan nilai % peredaman (antioksidan)
sebagai ordinatnya (sumbu Y). nilai IC 50 dari
perhitungan pada saat % peredaman sebesar % 0 %. Y
= aX + b. secara spesifik suatu senyawa dkatakan
sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang
dari 50 ppm, kuat untuk IC 50 bernilai 50-100
ppm,cukup jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika
nilai bernilai 151-200 ppm (Molyneus, 2004).
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
32
Alat Pengumpulan Data
1. Alat
Pisau, destilator, botol penampung, gelas
ukur (pyrex), corong (pyrex), Bakerglass
(pyrex), timbangan gram, anak timbagan gram,
mortir, stamper, pengaduk kaca, timbangan
analitik, penjepit kayu, sudip, kertas saring,
perkamen, pH meter, waterbath, mikroskop,
alat semprot plastik, objek glass, cawan
porselin, stopwatch, viscometer Brookfield,
kuisioner dan penggaris Alat-alat yang
digunakan yaitu pipet volume 1,0 ml (pyrex),
spektrofotometri Uv-Vis, tabung reaksi kimia
(pyrex), vial, kuvet, pisau, timbangan kasar,
anak timbangan, destilasi vakum, botol
maserasi warna coklat, neraca analytic balance
(santorius), corong (pyrex), labu ukur (pyrex),
erlenmeyer (pyrex), gelas ukur (pyrex), plat
tetes, batang pengaduk, penangas air, kertas
saring whatman dan termometer
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah daun
Salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.), pereaksi
DPPH, larutan etanol, aquadest, Vitamin C,
serbuk Mg,larutan Amonia 10%, kloroform,
H2SO4 2 N, pereaksi Meyer,pereaksi
Liebermann-Burchard, dan Larutan FeCl3 1 %.
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Pembuatan Ekstrak Daun Salam
dan Daun Tempuyung
Dari ekstraksi 150 gram sampel masing-masing
didapatkan ekstrak kental daun Salam sebanyak
32,9798 gram serta ekstrak kental daun Tempuyung
16,1952 gram. Sedangkan untuk infusa masing-
masing daun diperoleh kadar infusa sebesar 10%
dengan sampel yang ditimbang 10 gram kemudian
dipanaskan dan disaring dengan ditambahkan
aquadest ad 100 ml.
2. Hasil Uji Identifikasi senyawa kimia
Hasil identifikasi senyawa Kimia dalam Ekstrak
dan Infusa Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.)
dan Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dapat
dilihat pada tabel 1
3. Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Daun Salam dan daun Tempuyung serta
Vitamin C sebagai Kontrol Positif (Vernonia
amygdalina) dengan Metode DPPH.
Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daun
Salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan metode
DPPH dapat dilihat pada tabel 2 sampai 6.
Dari tabel, untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara konsentrasi ekstrak dan aktivitas
peredaman radikal bebas DPPH, maka data tersebut di
analisis dengan menggunakan regresi linier melalui
program SPSS dengan taraf kepercayaan 95%. IC50
dihitung berdasarkan persamaan regresi linier yang
didapatkan dengan cara memplot konsentrasi larutan
uji dengan persen (%) peredaman puncak DPPH.
Dilihat pada tabel 7
Tabel 1. Hasil Identifikasi senyawa Kimia dalam Ekstrak dan Infusa daun Salam (Eugenia polyantha
Wight.) dan daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
Senyawa
Reagen Hasil
Positif
Hasil
Ekstrak
Daun Salam
Ekstrak Daun
Tempuyung
Infusa Daun
salam
Infusa Daun
Tempuyung
Alkaloid
Amonia 10 %
Kloroform
H2SO4 Pereaksi Meyer
Endapan
putih
-
-
-
-
Flavonoid
Serbuk Mg
HCl pekat
Warna
merah
hingga jingga
+
+
+
+
Saponin Dilakukan
pengocokan
Ada busa
+
+
-
-
Steroid
Kloroform
Pereaksi
Liebermann- Burchard
Warna
biru
_
-
-
-
Terpenoid
Kloroform
Pereaksi
Liebermann-
Burchard
Warna
merah
_
-
-
-
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
33
Tanin
Larutan FeCl3
Warna
hijau kehitaman
+
+
-
-
Keterangan tabel:
+ : Positif - : Negatif
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Salam dengan Metode DPPH
Ekstrak Daun Salam
T (menit) Larutan Uji % Peredaman
30
0,01 % 64,13 %
0,008 % 55,80 %
0,006 % 49,53 %
0,004 % 40,17 %
0,002 % 25,02 %
Tabel 3. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Tempuyung dengan Metode DPPH
Ekstrak Daun Tempuyung
T (menit) Larutan Uji % Peredaman
30
0,01 % 52,14 %
0,008 % 51,90 %
0,006 % 49,55 %
0,004 % 49,43 %
0,002 % 49,26 %
Tabel 4. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Infusa Daun Salam dengan Metode DPPH
Infusa Daun Salam
t (menit) Larutan Uji % Peredaman
30
0,01 % 48,31 %
0,008 % 48,04 %
0,006 % 41,30 %
0,004 % 35,85 %
0,002 % 34,12 %
Tabel 5. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Infusa Daun Tempuyung dengan Metode DPPH
Infusa Daun Tempuyung
t (menit) Larutan Uji % Peredaman
30
0,01 % 52,84 %
0,008 % 52,55 %
0,006 % 48,50 %
0,004 % 48,30 %
0,002 % 48,07 %
Tabel 6. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Kontrol (+) Vitamin C
Vitamin C
t (menit) Larutan Uji % Peredaman
30
0,01 % 68,14 %
0,008 % 58,17 %
0,006 % 57,73 %
0,004 % 55,71 %
0,002 % 52,78 %
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
34
Tabel 7. Nilai IC50 Ekstrak Daun Salam, Daun
Tempuyung, Infusa Daun Salam, Infusa Daun Tempuyung, dan Kontrol positif Vitamin C
Sampel Waktu Persamaan grafik IC50
Ekstrak Daun Salam 30 y = 18,775+9,385x 3,33
Ekstrak Daun Tempuyung 30 y = 47,987+0,823x 2,45
Infusa Daun Salam 30 y = 29,353+4,057x 5,08
Infusa Daun Tempuyung 30 y = 45,915+1,379x 2,96
Baku pembanding Vitamin C 30 y = 48,548+3,320x 0,437
Grafik1. Ekstrak Daun Salam
Grafik 2. Ekstrak Daun Tempuyung
Grafik 3. Infusa daun salam
Grafik 4. Infusa Daun Tempuyung
Grafik 5. Vitamin C
PEMBAHASAN
Antioksidan adalah senyawa pemberi electron atau
reduktan Antioksidan juga merupakan senyawa yang
dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat
radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif.
Akibatnya kerusakan sel akan dihambat dan radikal
bebas tidak dapat mencuri electron lagi (Winarsi, 2007).
Pada penelitian ini peneliti menguji aktivitas
antioksidan dari dua jenis tanaman yang berbeda yaitu
daun salam dan daun tempuyung. Penggunaan kedua
tanaman yang berbeda ini didasarkan pada empiris yang
berkembang di masyarakat dengan khasiat daun sebagai
obat asam urat. Namun dengan berkembangnya
teknologi dan pengetahuan mendorong semakin banyak
penelitian mengenai daun salam dan daun tempuyung.
Menurut selain digunakan dalam pengobatan
antiinflamasi, daun salam juga memiliki khasiat sebagai
analgesic, antibakteri dan diuretik. Begitu pun dengan
daun tempuyung selain sebagai antiinflamasi, daun
tempuyung memiliki khasiat sebagai diuretik,
antiplatelet dan analgesic (Soenanto, 2009). Adapun
senyawa antioksidan dalam salam dan daun tempuyung
terdiri dari bermacam-macam senyawa baik polar
maupun non polar salah satunya berupa senyawa
polifenol golongan flavonoid yang berfungsi sebagai
antioksidan kuat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar
aktivitas antioksidan yang terdapat pada daun salam dan
daun tempuyung ekstrak serta infusa dengan
menggunakan metode DPPH. Sebelum dilakukan
pengujian aktivitas antioksidan, ekstrak maupun infusa
hasil dari ekstraksi dibuat menjadi larutan uji dalam
variasi konsentrasi larutan dengan konsentrasi 0,010%,
0,0080%, 0,0060%, 0,0040% dan 0,0020%.
Larutan diuji berdasarkan panjang gelombang DPPH
dengan panjang gelombang 518 nm dan absorban
maksimum sebesar 0,6496. Menurut Molyneux (2004),
absorban maksimum larutan DPPH ialah pada panjang
gelombang 518 nm. Hal ini berarti telah sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan.
Dalam penelitian ini konsentrasi ekstrak dapat
mempengaruhi nilai absorbansi, semakin meningkat
konsentrasi ekstrak maka semakin kecil absorbansi
yang dihasilkan dan semakin kecil absorbansi maka
semakin besar persen peredaman yang dihasilkan
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
35
(Molyneux, 2004). Berdasarkan pada table
8,9,10,dan 11 konsentrasi ekstrak mempengaruhi
% peredaman radikal bebas DPPH sehingga
semakin tinggi konsentrasi maka semakin besar
% peredaman radikal bebas DPPH (Sudhana,
Sianita, dan Taufikurohmah, 2014).
Pada table 8 dan 10. Uji aktivitas antioksidan
ekstrak serta infusa daun salam. Hasil dari
ekstrak etanol daun salam menunjukkan bahwa
persen peredaman terbesar ekstrak ada pada
konsentrasi tertinggi yaitu 0,01 % sebesar 64,13
%. Dan Persen peredaman infusa daun salam
pada konsentrasi 0,01
% yaitu 48,31 %. Serta % peredaman terendah
terdapat pada konsentrasi terkecil yaitu 0,0020%
yaitu 25,01 % untuk ekstrak daun salam dan
untuk infusa daun salam konsentrasi 0,0020%
yaitu 34,12
%. Penurunan daya peredaman disebabkan
karena semakin rendah konsentrasi ekstrak maka
semakin sedikit senyawa antioksidan yang
bereaksi dengan DPPH sehingga menyebabkan
daya peredaman semakin kecil (Martha, 2008).
Pada table 9 dan 11. Uji aktivitas antioksidan
ekstrak dan infusa daun tempuyung. Hasil dari
ekstrak etanol daun tempuyung menunjukkan
bahwa persen peredaman terbesar ekstrak ada
pada konsentrasi tertinggi yaitu 0,01 % sebesar
52,14%. Dan Persen peredaman infusa daun
tempuyung pada konsentrasi 0,01 % yaitu
52,84%. Serta % peredaman terendah terdapat
pada konsentrasi terkecil yaitu 0,0020% yaitu
49,26% untuk ekstrak etanol daun tempuyung
dan untuk infusa daun tempuyung konsentrasi
0,0020% yaitu 48,07%. Penurunan daya
peredaman dikarenakan, semakin banyak
kandungan senyawa antioksidan dalam suatu
ekstrak maka akan secara visual warna kuning
terbentuk. semakin pekat warna yang ditujukan
maka persen peredaman semakin tinggi
(Molyneux, 2004).
Dari hasil penelitian uji aktivitas antioksidan
ekstrak dan infusa daun salam dan daun
tempuyung yang dapat terlihat pada tabel 8,9,10,
dan 11, ekstrak etanol daun salam dan daun
tempuyung memiliki persen peredaman lebih
tinggi bila dibandingkan dengan persen
peredaman masing-masing infusa daun salam
dan daun tempuyung tersebut. Hal ini
dikarenakan bentuk metode ekstraksi secara
maserasi dinilai lebih baik dalam penyarian
senyawa flavonoid yang tidak tahan pemanasan
dan mudah teroksidasi dalam suhu tinggi (Ritna,
Anam, dan Khumaidi, 2016). Dalam proses
penyarian ekstrak kental dilakukan pula
pengulangan sebanyak 3 kali dengan
menggunakan pelarut yang berbeda sehingga
menyebabkan penyarian lebih sempurna jika
dibandingkan dengan infusa.
Perbedaan hasil antara ekstrak dan infusa didasari
pula pada zat aktif yang tersari dari masing-masing
pelarut yang digunakan, dimana terdapat senyawa-
senyawa metabolit sekunder tanaman yang tidak larut
atau sukar larut dalam air salah satunya aglikon
flavonoid (Sjahid, 2008). Senyawa aglikon flavonoid
yang terkandung dalam daun salam sendiri berupa
golongan katekin yang diketahui mempunyai sifat
kelarutan baik dalam etanol dan sukar larut dalam air
(Rahmawati, dan Erdiana, 2013). Adapun daun
tempuyung memiliki kandungan senyawa berupa
golongan flavon yaitu luteolin dan apigenin dengan
sifat kelarutannya. Hal ini dapat mengakibatkan tidak
tersarinya senyawa antioksidan tersebut dalam proses
penyarian infusa. Dari hasil ini membuktikan bahwa
daun salam dan daun tempuyung masing-masing
memiliki aktivitas antioksidan baik ekstrak kental
maupun infusa dari daun salam dan daun tempuyung
.
Pengujian aktivitas antioksidan dengan kontrol (+)
larutan vitamin C dapat dilihat pada tabel 12 Dari tabel
tersebut dapat diketahui bahwa dengan konsentrasi
0,01% dapat memberikan % peredaman terbesar
dibandingkan dengan konsentrasi lainnya yaitu sebesar
68,14%. Dan konsentrasi 0,0020% memberikan %
peredaman terendah yaitu sebesar 52,78 %. Demikian
pula pada vitamin C, sebagai kontrol positif antioksidan
vitamin C menunjukkan hal yang sama dengan ekstrak
dan infusa. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin
besar persen peredaman yang dihasilkan.
Dari hasil uji regresi linier dapat diketahui bahwa
nilai Sig. Hampir mendekati 1, yang artinya bahwa
konsentrasi dengan % peredaman memiliki hubungan
yang kuat. Hal ini dikarenakan konsentrasi ekstrak
sangat mempengaruhi dari besarnya % peredaman
radikal bebas yang didapat. Adapun penentuan nilai
IC50 masing-masing ekstrak maupun infusa daun sirsak
dan daun belimbing wuluh tersebut bertujuan agar dapat
mengetahui berapa besar konsentrasi ekstrak yang dapat
memberikan % penghambatan 50%. Zat yang memiliki
aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga
IC50 yang rendah. Dari persamaan yang didapatkan dari uji regresi
linier diketahui bahwa nilai IC50 ekstrak dan infusa daun
tempuyung tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
nilai IC50 ekstrak dan infusa daun salam. Dengan nilai
IC50 ekstrak tempuyung, infusa tempuyung, ekstrak
salam, dan infusa daun salam masing-masing yaitu 2,45
ppm, 2,92 ppm, 3,33 ppm dan 5,08 ppm. Untuk nilai
IC50 larutan vitamin C sebagai baku pembanding sebesar 0, 437 ppm. Hal ini berarti bahwa nilai
aktivitas antioksidan terbesar terletak pada nilai IC50
larutan vitamin C sebagai baku pembanding dengan
nilai IC50 terendah sebesar 0,437 ppm. Sehingga dapat
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
36
diartikan bahwa semakin kecil nilai IC50 maka
semakin besar aktivitas antioksidan maka
semakin kecil nilai IC50 yang dihasilkan.
(Molyneux, 2007).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah diuraikan mengenai “Aktivitas
Antioksidan Ekstrak dan Infusa Daun Salam
(Eugenia polyantha Wigh.) dan daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan
metode DPPH secara Spektrofotometri UV-Vis
dapat disimpulkan :
1. Ekstrak Etanol daun dan infusa daun salam
(Eugenia polyantha Wight.) dan daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki
daya aktivitas antioksidan
2. Nilai IC50 dari ekstrak dan infusa daun salam masing-masing sebesar 3,33 ppm dan 5,08
ppm. Kemudian nilai IC50 ekstrak serta infusa
daun tempuyung masing-masing 2,45 ppm dan 2,92 ppm.
3. Aktivitas Antioksidan ekstrak kental daun
salam dan daun tempuyung lebih besar
dibandingkan dengan infusa pada daun salam
dan daun tempuyung.
4. Nilai IC50 sebagai kontrol positif sebesari
0,437 ppm. Hal ini berarti aktivitas
antioksidan vitamin C lebih besar
dibandingkan dengan kedua ekstrak dan
infusa sampel.
SARAN
Dari penelitian ini dapat disarankan:
1. Dapat dilakukan pengujian aktivitas
antioksidan daun salam dan daun
tempuyung dengan metode lain seperti
metode CUPRAC, dan FRAP, serta
menggunakan pelarut lain selain etanol dan
aquadest.
DAFTAR PUSTAKA
Ain, Q., 2007. Aktivitas Penangkap Radikal
DPPH oleh kurkumin dan turunan 4-
fenilkurkumin. Universtitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hal
24-25.
Agung, K.R.I.G, 2016. Podriatri (Atlas “Suku
Awon”). Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,
Indonesia, hal 31.
Bahriul, P., N Rachman, dan A. W. M. Diah,
2014. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Daun Salam Dengan menggunakan
metode DPPH. Jurnal Akademika Kimia.
3 (3) : 143-149.
Chairul, S. M., R. Sumarny, dan Chairul. 2003.
Aktivitas antioksidan ekstrak daun sair daun
tempuyung secara in vitro. Fakultas Farmasi
Universitas pancasila, Jakarta. Hal 1-6
Dalimartha, S., dan F. Adrian,. 2013. Ramuan Herbal
Tumpas Penyakit. Penebar swadaya, Jakarta,
Indonesia, hal 6.
Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia,
Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, hal. 752.
Departemen Kesehatan RI, 1995. Farmakope
Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, hal. 7
Departemen Kesehatan RI, 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta
Dewani, dan M. Sitanggang, 2006. 33 Ramuan
Penakluk Asam Urat. Pustaka Agromedika ,Depok, Indonesia, hal 33.
Enda, W.G., 2009. Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol
Kulit Batang Salam (Syzygium polyanthum
(Wight) Walph.) terhadap Mencit Jantan.
Fakultas Farmasi Univesitas Sumatera Utara,
Medan.
Faturrachman, D.A., 2014. Pengaruh Konsentrasi
Pelarut terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Daun Sirsak (Annona mucirata Linn)
dengan Metode Peredaman Radikal Bebas
DPPH, Fakultas Kedokterak dan Ilmu
Kesehatan, Jakarta.
Harbone, J.B.,1987. Phytochemical Methods
diterjemahkan Padmawinata K, Soedro I.
Penerbit ITB, Bandung.
Hidayat, R.S., dan Napitupulu, R.M., 2015. Kitab
Tumbuhan Obat. Agriflo. Jakarta, Indonesia, hal
336-337.
Huliselan, Y.M., M.R.J. Runtuwene dan D.S.
Wewengkang, 2015. Aktivitas antioksidan
ekstrak etanol, etil asetat, dan n-heksan dari
daun sesewanua (Clerodendron squamatum
Vahl.) Pharmacon Jurnal Ilmu Farmasi, 4(3) :
2302-2493.
Indranila, dan M. Ulfah, 2015. Uji Aktivitas Antioksidan
Ekstrak Etanol Daun Kartika dengan Metode
DPPH beserta Identifikasi Senyawa Alkaloid,
Fenol, dan Flavonoid. Prosiding. Seminar
Nasional Peluang Herbal sebagai Alternatif
Medicine. Fakultas Farmasi Universitas Wahid
Hasyim, Semarang.
Karim, K., M. R. Jura, dan S. M. Sabang, 2015. UJi
Aktivitas Antioksidan Daun Patikan Kebo
(Eurharbia birta L.). Jurnal Akademika
Kimia,4(2) : 56-63.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Gambaran Kesehatan Lanjut Usia Di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal 11.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
37
Riset Kesehatan Nasional. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Komarudin, O., 2017. New Edition Big Book
Kimia SMA/MA Kelas X, XI & XII.
Cmedia, Jakarta, Indonesia, hal 579.
Leba, M.A.U., 2017. Buku Ajar Ejstraksi Dan
Real Kromatografi. Deepublish CV Budi
Utama, Yogyakarta, Indonesia, hal 1.
Lingga, L., 2012. Bebas Penyakit Asam Urat
Tanpa Obat. Pustaka Agromedia, Jakarta,
Indonesia, hal 191.
Manganti, I., 2017. 42 Resep Ampuh Tanaman
Obat Unuk Menurunkan Kolesterol dan
Mengobati Asam Urat. Araska,
Yogyakarta, Indonesia, hal 71-78.
Martha, H., M. Mardawati, dan filianty. Kajian
aktivitas antioksidan ekstrak kulit
manggis dalam rangka pemanfaaan
limbah kulit manggis. Farmasi universitas
Padjajaran.
Molyneux, P., 2004. The Use Of The Stable Free
Radikal Diphenilpicrylhydrazyl (DPPH)
for Estimating Antioxidant
Activity,
Songklanakarin J. Sci. Technol. 26 (2) :
211-
219.
Nasren, I. H., 2013. Fostisifaksi Yogurt
menggunakan Sari Buah mengkudu
Morinda Citrfolia Bebas Bau Berkadar
Antioksidan Tinggi. Uneversitas
Pendidikan Indonesia, Indonesia.
Ningsih, D.R., Zusfahair dan D. Kartika, 2016.
Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
Serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak
Sebagai Antibakteri Molekul, 11(1) : 101-
111.
Pamungkas, D.K., Y.Retyaningtyas, dan L.
Wulandari, 2017. Pengujian Aktivitas
Antioksidan Kombinasi Ekstrak Metanol
Daun Mangga Gadung dan Ekstrak
Etanol Daun Pandan Wangi, e-journal
Pustaka Kesehatan 5(1),
Praditya, A. G., 2014. Penangkapan Radikal
Bebas DPPH oleh Piperin. Fakulta
Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Hal 15. Rasyid, R., 2015. Green
Smoothie. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia, hal 29.
Savitri, A., 2016. Basmi Penyakit dengan TOGA
(Tanaman Obat Keluarga). Bibit
Publisher, Depok, Indonesia, hal 43-45.
Sayuti, K., R. Yenrina, 2015. Antioksidan Alami
dan Sintetik. Andalas University Press,
Padang, Indonesia, hal. 1-81.
Silalahi, J., 2006. Makanan Fungsional. Cetakan-1
Kasinius, Yogyakarta, Indonesia, hal 54.
Soenanto, H., 2009. 100 Resep Sembuhkan Hipertensi
Asam Urat dan Obesitas. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta, Indonesia, hal 61-62.
Subroto, M., dan H. Saputro, 2006. Gempur Penyakit
dengan sarang semut. Penebar swadaya, Jakarta,
Indonesia, hal 7.
Subroto, M.A., 2008. Real Food True Health. Pustaka
Agromedia, Jakarta, Indonesia hal 15- 20.
Suriani, N., 2014. Herbal Sakti Atasi Asam Urat.
Mutiara Allamah Utama, Indonesia,Depok,
Indonesia, hal 2-5.
Syah, A.N.A., 2006. Taklukan Penyakit Dengan The
Hijau. Pustaka Agromedia,Depok, Indonesia, hal
7.
Tapan, E., 2005. Kanker Antioksidan dan Terapi
Komplementer. Pt Elex Media Komputindo,
Jakarta, hal 114-118.
Voight, R., 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi
Edisi V, University Press, Yogyakarta,
Indonesia, hal, 564- 584.
Wicaksono, H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal
Bebas. Kasinius. Yogyakarta, Indonesia, hal.19-
20.
Winarno, F.G., W. Winarno, dan A.D.A. Winarno,
2015. Telomer Membalik Proses Penuaan.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia, hal
35.
Winarsi, H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal
Bebas. Cetakan ke-5 Kanisius. Yogyakarta,
Indonesia, hal 122 – 204.
Winarsi, H.,2014. Antioksidan Daun Kapulaga :
Aplikasinya di Bidang Kesehatan. Graha Ilmu,
Yogyakarta, Indonesia, hal 19-20.
Winarto, W.P., dan T. Karyasari, 2004. Tempuyung
Tanaman Penghancur Batu Ginjal.pustaka
Agromedika,Depok,Indonesia, hal 12.
Winarto, W.P., dan T. Lentera. 2004. Mememanfaatkan
Tanaman Sayur Untuk Mengatasi Aneka
Penyakit. Pustaka Agromedika, Depok,
Indonesia, hal 22.
Yuliarti, W., D. Kusrini, dan E. Fachriyah, 2013. Isolasi
Identifikasi dan Uji antioksidan Asam Fenolat
Dalam Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
dengan Metode DPPH. Chemical Info.1(1) :
294-304.
Yuswantina, R., I. Sunnah, dan E. Septiarni. 2014. Uji
aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun rumput
laut teki (Cyprus rotundus L.) dengan metode
DPPH. Universitas Diponegoro.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
38
PERBANDINGAN KADAR VITAMIN C PADA BUAH
ASAM
GELUGUR (Garcinia atroviridis) DENGAN
METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS DAN
METODE TITRASI 2,6-DIKLOROFENOL
INDOFENOL
Sonlimar Mangunsong, Riska Reza Juliani
Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes, Palembang, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Vitamin C merupakan salah satu senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh untuk proses metabolisme
dan aktivitas khusus lainnya. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin C dalam tubuh harus terpenuhi. Vitamin
C dapat diperoleh dari asupan makanan sehari-hari berupa sayur-sayuran dan buah. Asam Gelugur
merupakan salah satu buah yang mengandung vitamin C. Kandungan vitamin C pada buah asam gelugur
perlu diketahui jumlahnya. Untuk itu peneliti melakukan analisis kandungan vitamin C pada buah asam
gelugur menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis dan Titrasi 2,6-Diklorofenol Indofenol. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan membandingkan kadar rata-rata vitamin C pada buah asam
gelugur menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dan metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol.
Sampel penelitian ini adalah buah asam gelugur yang ditentukan secara random sampling. Data dianalisis
dengan uji Independent sample t-test menggunakan aplikasi analisis statistik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kadar rata-rata vitamin C pada buah asam gelugur menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis
sebesar 143,85 mg/100 gram buah sedangkan kadar rata-rata vitamin C pada buah asam gelugur
menggunakan titrasi 2,6-diklorofenol indofenol sebesar 141,44 mg/100 gram buah. Dari hasil uji
Independent sample t- test, diperoleh nilai t hitung < t tabel (0,0939 < 2,048) dan P value (0,356 > 0,05)
dimana Ho diterima artinya tidak ada perbedaan kadar vitamin C pada buah asam gelugur (Garcinia
atroviridis) menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dan metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tubuh manusia
memerlukan beberapa senyawa organik
dalam proses metabolisme dan aktivitas
khusus lainnya. Salah satu senyawa
organik yang diperlukan tubuh adalah
vitamin. Menurut Satyanarayana dan
Chakrapani (2013) vitamin dapat
dianggap sebagai senyawa organik yang
dibutuhkan dalam makanan dalam
jumlah kecil untuk melakukan fungsi
biologis tertentu untuk pemeliharaan
normal pertumbuhan optimum dan
kesehatan organisme. Oleh karena itu,
apabila tidak terpenuhi vitamin akan
menjadi salah satu masalah kompleks
yang dapat mengakibatkan banyak
masalah lainnya.
Vitamin dikenal sebagai mikronutrien
karena vitamin dibutuhkan pada
makanan manusia hanya dalam jumlah
miligram atau mikrogram per hari
(Sumardjo, 2009). Salah satu vitamin
yang dibutuhkan oleh tubuh adalah
vitamin C. Menurut Gonzales dan
Miranda-Massari (2014) Vitamin C
memainkan peran penting dalam
beberapa fungsi biologis termasuk
biosintesis kolagen dan L- karnitin,
metabolisme kolesterol, aktivitas
sitokrom P450, sistem neurotransmitter
serta berfungsi sebagai sistem kekebalan
yang efisien. Tidak hanya itu, vitamin C
juga berperan sebagai zat antioksidan
yang dapat menetralkan radikal bebas
hasil oksidasi lemak, sehingga dapat
mencegah beberapa penyakit seperti
kanker, jantung, penuaan dini serta
penyakit akibat defisiensi vitamin C
lainnya (Sumbono, 2016). Untuk itu,
kebutuhan vitamin C dalam tubuh harus
terpenuhi.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
75 Tahun 2013, Angka Kecukupan
Gizi Vitamin C yang dianjurkan
perharinya untuk anak-anak berkisar
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
39
antara 40-75 mg dan untuk orang
dewasa antara 75-90 mg. Akan tetapi,
tubuh manusia tidak dapat
memproduksi vitamin C secara alami.
Vitamin C hanya dapat diperoleh dari
asupan makanan sehari-hari serta
mengkonsumsi suplemen vitamin C.
Namun mengkonsumsi buah dan sayur
lebih dianjurkan dibanding
mengkonsumsi suplemen. Salah satu
buah yang mengandung vitamin C
adalah asam gelugur. Menurut Dweck
(1999) buah asam gelugur
mengandung asam sitrat, asam malat,
dan asam askorbat.
Buah asam gelugur memiliki
aktivitas antibakteri, antifungi dan
antioksidan (Mackeen, 1998). Buah
asam gelugur berfungsi sebagai
antioksidan karena kandungan vitamin
C yang terkandung didalamnya. Buah
asam gelugur telah dimanfaatkan oleh
beberapa masyarakat Sumatera Utara
sebagai obat jerawat dan untuk
menurunkan berat badan dan
kolesterol (Dweck, 1999). Asam
gelugur juga berpotensi sebagai
antihiperurisemia karena asam
askorbat dapat meningkatkan ekskresi
asam urat melalui urin sehingga
meringankan keadaan hiperurisemia
(Soeroso dan Algristian, 2012).
Namun masih banyak masyarakat
daerah lain yang tidak mengetahui
manfaat dari buah asam gelugur.
Salah satu alasan yang membuat
masyarakat belum mengetahui manfaat
dari buah asam gelugur karena informasi
mengenai kadar vitamin C yang
terkandung dalam buah asam gelugur
sangat sulit dijumpai. Tingkat
ketertarikan dan kepercayaan masyarakat
pada buah ini akan meningkat jika
terdapat informasi yang telah teruji
secara ilmiah, bahkan buah ini nantinya
berpotensi untuk diolah lebih lanjut
menjadi minuman kemasan seperti buah
jeruk atau buah lain yang mengandung
vitamin C tinggi. Untuk itu peneliti
melakukan analisis kandungan vitamin C
pada buah asam gelugur. Analisis kadar
vitamin C ini akan dilakukan dengan 2
metode, yakni metode spektrofotometri
UV-Vis dan titrasi 2,6-diklorofenol
indofenol. Metode spektrofotometri UV-
Vis dapat digunakan untuk penetapan
kadar vitamin C dengan spektrum yang
tumpang tindih tanpa pemisahan terlebih
dahulu (Karinda, Fatimawali dan
citraningtyas, 2013).
Penetapan kadar vitamin C dengan
cara Spektrofotometri UV-Visibel
dilakukan untuk mengetahui pergeseran
serapan panjang gelombang maksimum
dari vitamin C. Analisis organik dengan
spektrofotometri UV-Visibel mempunyai
keterbatasan, tetapi vitamin C
mempunyai gugus kromofor yang akan
memberikan serapan kuat dalam daerah
UV apabila terkonjugasi satu dengan
lainnya (Wardani, 2012). Metode ini
berdasarkan kemampuan vitamin C yang
terlarut dalam air untuk menyerap sinar
ultraviolet, dengan panjang gelombang
maksimum pada 265 nm. Vitamin C
dalam larutan mudah sekali
mengalami kerusakan, maka pengukuran
dengan cara ini harus dilakukan secepat
mungkin (Andarwulan dan Koswara,
1992). Menurut Putri dan Setiawati
(2015) metode analisis dalam penetapan
kadar asam askorbat dengan
spektrofotometri UV-Vis merupakan
metode yang baik digunakan, relative
murah, dan mudah yang dapat
menghasilkan ketelitian dan ketepatan
yang tinggi.
Selain metode spektrofotometri UV-
Vis, metode titrasi 2,6-diklorofenol
indofenol juga dapat digunakan untuk
penetapan kadar vitamin C. Menurut
Sumardjo (2009) dasar penetapan ini
adalah sifat asam askorbat sebagai
reduktor sehingga dapat bereaksi dengan
zat warna pengoksidasi 2,6- diklorofenol
indofenol tersebut. Zat warna ini
berwarna merah dalam suasana asam dan
berwarna biru dalam suasana basa.
Warna akan hilang pada penambahan
asam askorbat yang setara. Namun,
titrasi ini harus dilakukan dengan cepat,
karena banyak faktor yang
menyebabkan oksidasi vitamin C,
misalnya pada saat penyiapan sampel
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
40
dan penggilingan (blender). Oksidasi ini
dapat dicegah dengan menggunakan
asam metafosfat, asam asetat, asam
trikloroasetat, dan asam oksalat.
Penggunaan asam-asam di atas juga
berguna untuk mengurangi oksidasi
vitamin C oleh enzim-enzim oksidase
yang terdapat dalam jaringan
tanaman (Andarwulan dan Koswara,
1992). Metode 2,6-diklorofenol
indofenol banyak digunakan untuk
menentukan kadar vitamin C karena
zat pereduksi lain tidak mengganggu
penetapan kadar vitamin C.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
telah melakukan penelitian tentang
analisis kadar vitamin C pada buah
asam gelugur dengan metode
spektrofotometri UV-Vis dan metode
titrasi 2,6-diklorofenol indofenol serta
membandingkan hasil dari kedua
metode tersebut.
METODE PENELITIAN
Preparasi Bahan
Buah asam gelugur yang diperoleh
dari salah satu daerah di Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara dicuci
bersih. Setelah itu, buah asam gelugur
dipotong kecil-kecil dan ditimbang
sebanyak 100 g, ditambahkan
aquabidest sebanyak 50 ml lalu
diblender hingga halus kemudian
disaring untuk diambil filtratnya.
Filtrat dimasukkan kedalam labu ukur
100 ml lalu ditambahkan aquabidest
hingga tanda batas dan dihomogenkan.
Identifikasi Vitamin C (Uji Kualitatif)
a. Sebanyak 2 ml larutan sampel
dalam tabung reaksi ditambahkan
larutan kalium permanganat
KMnO4 0,1% kemudian warna
KMnO4 akan hilang dan terbentuk
warna kecoklatan (Auterhoff dan
Kovar, 1987).
b. 1 ml larutan sampel dinetralkan
dengan NaHCO3 atau HCl, lalu
direaksikan dengan 2 tetes larutan
FeCl3 1% yang dibuat segar.
Adanya kandungan vitamin C pada
sampel ditandai dengan adanya
perubahan warna merah sampai
ungu terbentuk pada pH 6-8
(Auterhoff dan Kovar, 1987).
c. Sebanyak 2 ml larutan sampel
dalam tabung reaksi ditambahkan 4
tetes larutan biru metilen P,
hangatkan hingga suhu 40ºC. Hasil
positif ditandai dengan
terbentuknya warna biru tua yang
dalam waktu 3 menit berubah
menjadi lebih muda atau hilang
(Depkes RI, 1979).
Penetapan Kadar Vitamin C buah
Asam Gelugur dengan Metode
Spektrofotometri UV-Vis
Pembuatan Larutan Induk Vitamin C 100
ppm
Asam askorbat sebanyak 10 mg
dimasukkan ke dalam labu ukur 100
ml dan dilarutkan dengan aquabides
sampai tanda batas (Wardani, 2012).
Penentuan Panjang Gelombang
Maksimum Larutan Vitamin C
Dipipet 1 ml larutan vitamin C 100
ppm dan dimasukkan kedalam labu ukur
50 ml (konsentrasi 2 ppm) lalu
ditambahkan aquabidest sampai tanda
batas dan dihomogenkan.Serapan
maksimum diukur pada panjang
gelombang 200-300 nm dengan
menggunakan blanko aquabidest.
Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dipipet larutan vitamin C 100 ppm
kedalam labu ukur 50 ml masing-masing
sebesar 2 ml, 4 ml, 6 ml,
dan 7 ml (4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, dan 14
ppm). Masing-masing larutan
ditambahkan aquabidest sampai tanda
batas dan dihomogenkan. Kemudian
diukur pada panjang gelombang
maksimum yang diperoleh (Wardani,
2012).
Penentuan Kadar Sampel
Sampel buah asam gelugur yang telah
diberi perlakuan diambil 25 ml dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml
lalu ditambahkan asam oksalat 2%
sampai tanda batas kemudian
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
41
dihomogenkan. Selanjutnya, diukur
serapannya pada panjang gelombang
maksimum yang didapat. Setelah
didapatkan konsentrasi sampel dihitung
kadar sampel menggunakan rumus
(Karinda, Fatimawali dan citraningtyas,
2013).
Penetapan Kadar Vitamin C buah
Asam Gelugur dengan Metode Titrasi
2,6-diklorofenol indofenol
Pembuatan Larutan Asam Oksalat 2%
Asam Oksalat sebanyak 40 gram
dimasukkan kedalam labu ukur 2000 ml
lalu ditambahkan aquabidest sampai
tanda batas dan kemudian
dihomogenkan.
Pembuatan Larutan Vitamin C Standar
Asam askorbat sebanyak 50 mg
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml
kemudian dilarutkan dengan asam
oksalat 2% sampai tanda batas
(Kemenkes, 2013).
Pembakuan Larutan 2,6-diklorofenol
indofenol
Dipipet sebanyak 2 ml larutan vitamin
C standar kedalam erlenmeyer 50 ml
yang berisi 5 ml asam oksalat 2%.
Lakukan titrasi secara cepat dengan
larutan 2,6-diklorofenol indofenol hingga
warna merah muda mantap yang
bertahan tidak kurang dari 5 detik
(Kemenkes, 2013).
Penentuan Kadar Sampel
Sampel sebanyak 2 ml dimasukkan
kedalam erlemeyer 50 ml dan
ditambahkan asam oksalat 2% sebanyak
5 ml. Lakukan titrasi secara cepat dengan
larutan 2,6-diklorofenol indofenol hingga
warna merah muda mantap yang
bertahan tidak kurang dari 5 detik
(Helrich, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui perbandingan kadar
vitamin C pada buah asam gelugur
dengan menggunakan 2 metode, yaitu
metode spektrofotometri UV-Vis dan
metode titrasi dengan 2,6-diklorofenol
indofenol. Vitamin C merupakan
vitamin yang mudah larut dalam air,
maka dari itu pada penelitian ini
digunakan pelarut aquabidest yang
steril dengan tujuan untuk mengurangi
resiko keberadaan zat pengotor dan
bebas dari pirogen. Penentuan kadar
vitamin C pada penelitian ini
menggunakan 15 sampel dari buah
asam gelugur yang berbeda ukuran
serta kematangannya.
Vitamin C mempunyai sifat yang
sangat mudah teroksidasi, oleh karena
itu dilakukan penambahan asam
oksalat pada proses pengolahan sampel
buah asam gelugur untuk mengurangi
oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim
oksidasi dan pengaruh glutation yang
ada pada jaringan tanaman (Wahyuni,
2016). Asam oksalat mempertahankan
pH asam pada larutan yang membuat
pencegahan oksidasi vitamin C terjadi.
Pemeriksaan kadar vitamin C pada
buah asam gelugur diawali dengan
melakukan analisa kualitatif dengan
beberapa pereaksi sebagai analisa
pendahuluan untuk mengetahui ada
tidaknya vitamin C pada buah asam
gelugur. Hasil penelitian menunjukkan
hasil perubahan warna yang sesuai
dengan pustaka dan menandakan hasil
yang positif. Hasil perubahan warna
dapat dilihat pada Tabel 1dibawah ini.
Tabel 1. Hasil Identifikasi Buah Asam
Gelugur
Sampel Perea
ksi
Hasil Pengamatan
Hasil Uji
KMnO
4
Warna KMnO4
hilang dan lama- lama
menjadi coklat
+
Vitamin
C
Standar
FeCl3 Warna Merah
hingga ungu +
Biru Metilen
Warna Biru
Muda +
KMnO
4
Warna
KMnO4
hilang dan
lama- lama
menjadi
coklat
+
Buah Asam Gelugur
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
42
FeCl3 Warna Merah +
Biru Metilen Warna Biru
Muda +
Penelitian dilanjutkan dengan
penentuan kadar vitamin C pada
sampel buah asam gelugur dengan
metode Spektrofotometri UV-Vis.
Penentuan kadar vitamin C dengan
metode ini dilakukan berdasarkan
kemampuan vitamin C yang terlarut
dalam air dan sifat vitamin C yang
mempunyai gugus kromofor yang akan
memberikan serapan kuat dalam
daerah UV apabila terkonjugasi satu
dengan lainnya (Wardani, 2012).
Penelitian dimulai dengan membuat
deret larutan standar untuk menentukan
kurva kalibrasi larutan standar vitamin C.
Berdasarkan deretan larutan standar
tersebut, kemudian diukurabsorbansinya
pada panjang gelombang maksimum
yang didapat. Panjang gelombang
optimum dengan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis dilakukan
terhadap larutan standar vitamin C pada
rentang 200-300 nm. Dari hasil yang
diperoleh, panjang gelombang
maksimum larutan standar vitamin C
yaitu 265 nm. Dari hasil tersebut,
konsentrasi standar dari larutan standar
vitamin C dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsentrasi Vitamin C pada
berbagai panjang gelombang
Penentuan kadar vitamin C
menggunakan metode titrasi 2,6-
diklorofenol indofenol didasarkan pada
pengukuran jumlah larutan titran yang
bereaksi dengan analit (Wahyuni,
2016). Titrasi dilakukan dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit
titran kedalam analit. Prinsip
penetapan kadar vitamin C dengan
metode ini berdasarkan sifat asam
askorbat sebagai reduktor sehingga dapat
bereaksi dengan zat warna pengoksidasi
2,6-diklorofenol indofenol (Sumbono,
2016).
Penentuan kadar vitamin C
menggunakan metode ini diawali
dengan standarisasi larutan 2,6-
diklorofenol indofenol dengan larutan
baku standar vitamin C. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui 1 ml
larutan 2,6- diklorofenol indofenol
setara dengan berapa mg vitamin C.
Dari hasil standarisasi yang telah
dilakukan diperoleh volume rata-rata
titran sebesar 13,65 ml. Setelah
dilakukan perhitungan, maka kesetaraan
vitamin C yang didapat untuk 1 ml 2,6-
diklorofenol indofenol setara dengan
0,15 mg vitamin C. Penentuan kadar
vitamin C menggunakan titrasi 2,6-
diklorofenol indofenol dilakukan
terhadap sampel buah asam gelugur.
Hasil analisa dengan metode ini dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis kadar vitamin C
dengan metode titrasi 2,6-diklorofenol
indofenol.
Sampel Absorban
rata-rata
Kadar
(mg/100 g)
6 0,4868 154,36 7 0,4283 135,18
8 0,4698 148,78
9 0,4792 151,87
10 0,4746 150,36
11 0,4274 134,88
12 0,4222 133,18
13 0,4836 153,31
14 0,4636 146,75
15 0,4476 141,51
No. Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 4 0,268
2 8 0,495
3 12 0,752
4 14 0,879
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
43
Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar Vitamin C
Dari hasil perhitungan persamaan
regresi kurva diperoleh persamaan garis
y = 0,061x + 0,016 dengan koefisien
korelasi (r) sebesar 0,9991. Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat
korelasi yang positif antara konsentrasi
dan serapan. Artinya, dengan
meningkatnya konsentrasi, maka
absorbansi juga akan meningkat. Hal ini
berarti bahwa terdapat 99,9% data yang
memiliki hubungan linier. Selanjutnya,
dilakukan penetapan kadar vitamin C
pada buah asam gelugur dengan metode
Spektrofotometri UV-Vis. Hasil analisa
kadar vitamin C pada buah asam gelugur
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis kadar
vitamin C dengan metode
spektrofotometri UV-Vis
Samp
el
Absorban rata-rata
Kadar (mg/100 g)
1 0,4582 144,
98
2 0,4502 142,
36
3 0,4481 141,
67
4 0,4298 135,
67
5 0,4520 142,
95
Samp
el
Absorba
n rata-
rata (ml)
Kadar
(mg/100
g)
1 1,22 143,00
2 1,18 138,32
3 1,18 132,32
4 1,15 134,80
5 1,20 140,66
6 1,30 152,38
7 1,13 132,45
8 1,25 146,52
9 1,28 150,04
10 1,27 148,86
11 1,13 132,45
12 1,12 131,28
13 1,28 150,04
14 1,23 144,18
15 1,18 138,32
Penetapan kadar vitamin C pada
buah asam gelugur dilakukan sebanyak
3 kali replikasi, dengan maksud untuk
meminimalisir kesalahan kadar
kandungan vitamin C pada buah asam
gelugur. Dalam hal ini vitamin C
bertindak sebagai zat pereduksi
(reduktor) dan 2,6-diklorofenol
indofenol sebagai zat pengoksidasi
(oksidator). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan tidak ada
perbedaan kadar vitamin C pada buah
asam gelugur (Garcinia atroviridis)
menggunakan metode spektrofotometri
UV-Vis dan metode titrasi 2,6-
diklorofenol indofenol setelah diuji
Independent sample t-test
menggunakan aplikasi aalisis statistik.
KESIMPULAN
Hasil penetapan kadar vitamin C pada
buah asam gelugur menggunakan metode
spektrofotometri UV- Vis diperoleh
kadar rata-rata sebesar 143,85 mg/100
gram buah. Hasil penetapan kadar
vitamin C pada buah asam gelugur
menggunakan metode titrasi 2,6-
diklorofenol indofenol diperoleh kadar
rata-rata sebesar 141,44 mg/100 gram
buah. Tidak ada perbedaan kadar vitamin
C pada buah asam gelugur (Garcinia
atroviridis) menggunakan metode
spektrofotometri UV-Vis dan metode
titrasi 2,6- diklorofenol indofenol setelah
diuji Independent sample t-test
menggunakan aplikasi aalisis statistik.
DAFTAR PUSTAKA
AKG. 2013. Permenkes RI NO 75 Tahun
2013 tentang Angka Kecukupan
Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
44
Indonesia. Menteri Kesehatan RI,
Jakarta
Andarwulan, N., dan Koswara, S.
(1992). Kimia Vitamin. Rajawali
Press. Jakarta. Hal. 23-26, 32-36.
Auterhoff, H dan K.A. Kovar., 1987.
Identifikasi Obat. Institut
Teknologi Bandung. Bandung,
Indonesia. Hal. 30, 94.
Ditjen POM, 1979. Farmakope
Indonesia Edisi Ketiga.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Hal 47, 661
Dweck, A. C.,1999, A Review of Asam
Gelugur (Garcinia atroviridis
Griff. ex. T. Anders).
Febrianti, N., I. Yunianto, dan R.
Dhaniaputri. 2015. Kandungan
Antioksidan dan Asam Askorbat
pada Jus Buah-buahan Tropis.
Jurnal Bioedukatika. Vol. 3 No. 1.
Hal 6-9.
Gandjar, I. G., A. Rohman. 2018.
Spektroskopi MolekulerUntuk
Analisis Farmasi. Penerbit Gadjah
Mada University Press.
Yogyakarta. Hal 73.
Gonzales, Michael J., Miranda-Massari,
Jorge R. 2014. New Insights on
Vitamin C and Cancer. Springer
New York Heidelberg Dordrecht
London. Hal.3-4
Helrich, K. 1990. Official Methods of
Analysis of the Association of
Official Analytical Chemist Edisi
XV Volume II. Arlington, Virginia
22201 USA, AOAC Suite 400.
Hal. 1059.
Karinda, Monalisa, Fatimawali, Gayatri
Citraningtyas. 2013. Perbandingan
Hasil Penetapan Kadar Vitamin C
Mangga Dodol Dengan
Menggunakan Metode
Spektrofotometri Uv-Vis Dan
Iodometri.
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2
No. 01. ISSN 2302 – 2493. Hal.
86-89
Kemenkes. 2013. Farmakope
Indonesia Edisi Lima.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta. Hal. 40-41;
149; 1756.
Mackeen, M. M. 1998. Bioassay-
guided isolation and
identification of bioactive
compounds from Garcinia
atroviridis (Asam gelugor).
Tesis. Faculty of Food Science
and Biotechnology, University
Putra Malaysia.
Moehji, S., 2017. Dasar-dasar Ilmu
Gizi. Penerbit Pustaka Kemang.
Depok Timur. Hal. 57
Padang, S. A., R. M. Maliku. 2017.
Penetapan Kadar Vitamin C
pada Buah Jambu Biji Merah
(Psidium guajava L.) dengan
Metode Titrasi Na-2,6
Dichlorophenol Indophenol
(DCIP). Media Farmasi Volume
XIII No. 2. Hal. 1-6
Putri, M. P., Y. H. Setiawati. 2015.
Analisis KadarVitamin C Pada
Buah Nanas Segar (Ananas
comosum (L.) Merr) dan Buah
Nanas Kaleng dengan Metode
Spektrofotometri UV-Vis. Jurnal
Witaya. Volume 2 No. 1. Hal.
34-38
Satyanarayana, U., Chakrapani, U.
2013. Biochemistry Fourth
Edition. Haryana. (IN): Elsevier.
Hal.116
Sibuea, M., Buhari, Thamrin,
Muhammad, Khairunnas. 2012.
Analisis Usahatani dan
Pemasaran Asam Gelugur di
Kabupaten Deli Serdang.
Agrium. Volume 17 No 3. Hal.
202-209
Soeroso, J. dan H. Algristian. 2012.
Asam Urat.Penebar Plus. Jakarta.
Hal. 100
Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberti. Yogyakarta.
Hal. 24
Sumbono, Aung. 2016. Biokimia
Pangan Dasar. Penerbit
Deepublish. Jakarta. Hal. 323-
324 Utami, Sri. 2016.
Patentabilitas Antibakteri dari
Tanaman Garcinia. Jurnal
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019
45
Kedokteran Yarsi 24 (1): 069-
079.
Wahyuni, L. E. T. 2016. Pengaruh
Pengolahan Terhadap Kadar
Vitamin C Serta Kandungan dan
Aktivitas Antioksidan Apel
(Malus sylvestris Mill) Varietas
Rome Beauty. Bogor:Fakultas
Ekologi Manusia IPB. Skripsi
Wardani, L. A. 2012. Validasi Metode
Analisis dan Penentuan Kadar
Vitamin C pada Minuman Buah
Kemasan dengan
Spektofotometri UV Visible.
Depok: FMIPA UI. Skripsi.
Zhang, Yuyang. 2013. Ascorbic Acid
in Plants Biosynthesis,
Regulation and Enhancement.
Springer New York Heidelberg
Dordrecht London. Hal1-
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
46
FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK DAUN STEVIA
(Stevia rebaudiana Bert.) DAN DAUN SAMBILOTO (Andrographis
folium) DENGAN VARIASI MANITOL-SORBITOL
SEBAGAI PENGISI
Ratnaningsih Dewi Astuti, Zyuliana Agustiyani
Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palembang
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tablet kunyah diharapkan dapat memberi residu rasa enak dan mudah ditelan sehingga diperlukan
pengisi yang manis. Pengisi yang digunakan yaitu manitol dan sorbitol. Kedua pengisi tersebut dapat
menutupi rasa pahit dari zat aktif. Zat aktif yang digunakan yaitu daun stevia dan daun sambiloto yang
mempunyai kandungan steviosida dan andrografolid yang berkhasiat untuk menurunkan kadar gula darah.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat tablet kunyah dengan variasi manitol-sorbitol sebagai pengisi.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Daun stevia dan daun sambiloto dimaserasi
menggunakan etanol 70%. Ekstrak yang telah didapatkan diformulasikan menjadi tablet kunyah dengan
variasi manitol-sorbitol (90%:10%), (80%:20%), dan (70%:30%). Metode yang digunakan yaitu granulasi
basah. Granul yang diperoleh diuji sifat fisiknya yaitu kecepatan alir, sudut diam dan kompresibilitas.
Kemudian diuji sifat fisik tablet meliputi keseragaman bobot, keseragaman ukuran, kekeraasan, kerapuhan,
waktu hancur dan kualitas rasa. Berdasarkan hasil uji sifat fisik granul dari ketiga formula memenuhi
persyaratan. Sedangkan uji sifat fisik tablet memenuhi persyaratan yang ditinjau dari keseragaman bobot,
kerapuhan, dan waktu hancur. Namun, pada keseragaman ukuran ketiga formulasi tidak memenuhi syarat.
Pada uji kekerasan dan kualitas hanya formula 1 yang tidak memenuhi syarat karena kekerasannya 3,65 kg
dan memiliki rasa yang tidak enak. Ekstrak daun stevia dan daun sambiloto dapat diformulasikan menjadi
tablet kunyah yang memenuhi syarat dan stabil secara fisik kecuali keseragaman ukuran yaitu pada formula
2 dan formula 3 dengan konsentrasi manitol:sorbitol (80%:20%) dan (70%:30%).
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan
penyakit degeneratif yang mulai
menjadi sorotan utama dalam
permasalahan kesehatan di Indonesia.
Penyakit ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang
melebihi normal (hiperglikemia) akibat
tubuh kekurangan insulin. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan pada tahun 2013 terjadi
peningkatan prevalensi pada penderita
diabetes mellitus di Indonesia yaitu dari
1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1%
pada tahun 2013.
Peningkatan prevalensi penderita
diabetes mellitus tersebut menjadi
masalah yang serius di Indonesia,
sehingga perlu dilakukan pencegahan
dan pengobatan. Salah satu upaya yang
telah dilakukan oleh masyarakat untuk
mencegah penyakit diabetes mellitus
adalah melaksanakan diet sehat dengan
kalori seimbang sebagai tindakan
pencegahan. Pemerintah dengan
program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) menyediakan pengobatan untuk
diabetes mellitus seperti antidiabetic
oral dan insulin. Namun, masyarakat
saat ini tidak terlalu menyukai
pengobatan yang mengandung bahan
kimia obat dan lebih memilih
pengobatan herbal dengan
menggunakan tanaman obat tradisional.
Tanaman yang dapat dijadikan
obat tradisional untuk penyakit diabetes
adalah daun stevia dan daun sambiloto.
Daun stevia telah digunakan untuk
menurunkan kadar gula darah dengan
cara menyeduhnya menggunakan air
panas, setelah itu airnya langsung dapat
di minum. Senyawa yang paling banyak
terkandung dalam daun stevia adalah
steviosida yang berkhasiat untuk
menurunkan kadar gula darah. Hal ini
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
47
telah dibuktikan oleh Fatimah (2012)
bahwa ekstrak daun stevia pada dosis
100 mg/kgBB mampu menurunkan
kadar gula darah tikus. Sedangkan daun
sambiloto memiliki
kandungan utama andrografolid yang dapat
menurunkan kadar gula darah dengan dosis 3,2
g/kgBB mencit (Paramitha dan Rahamanisa,
2016). Secara empiris, daun sambiloto
dimanfaatkan masyarakat dengan cara direbus,
setelah itu disaring dan diminum tiga kali sehari
sebanyak ¾ gelas.
Kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto
dan daun stevia lebih efektif menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus dibandingkan
pemberian secara tunggal (Pradini, Pambudi,
dan Dinah, 2017). Dimana kombinasi kedua
ekstrak ini dapat menurunkan kadar gula darah
sebesar 23% yang mendekati kontrol positifnya,
yaitu glibenklamid. Mengingat belum
tersedianya kombinasi kedua ekstrak tersebut,
maka peneliti tertarik untuk membuat sediaan
dalam bentuk tablet kunyah. dengan bahan
pengisi yang manis sehingga dapat menutupi
rasa pahit dari ekstrak tersebut.
Bahan pengisi yang cocok untuk sediaan
tablet kunyah yang akan di konsumsi oleh pasien
diabetes mellitus adalah manitol dan sorbitol.
Manitol memberikan rasa enak, manis yang
ringan dan rasa lembut sehingga disukai banyak
pasien (Ansel, 1989). Sedangkan sorbitol
memiliki kompresibilitas yang baik, cukup
stabil, dan rendah kalori sehingga aman bagi
penderita diabetes (Rowe, Sheskey, dan Owen,
2006). Kombinasi kedua pengisi ini telah
dibuktikan oleh Uwamaretatyalovi (2010) dapat
menghasilkan tablet kunyah yang baik dan
memenuhi standar persyaratan tablet.
Berpedoman dari
penelitian
Uwamaretatyalovi (2010) dan mengingat khasiat
kombinasi ekstrak daun stevia (Stevia
rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto
(Andrographis folium) yang dapat dijadikan obat
diabetes, maka peneliti tertarik untuk
memformulasikan kedua ekstrak tersebut dalam
bentuk tablet kunyah dengan memvariasikan
manitol-sorbitol sebagai bahan pengisi dan
menguji kestabilan fisiknya.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
eksperimental yang dilakukan dengan beberapa
formula tablet yang mengandung kombinasi
ekstrak daun stevia (Stevia rebaudiana Bert.)
dan daun sambiloto (Andrographis folium)
dengan variasi pengisi manitol dan sorbitol
menggunakan granulasi basah.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di
Laboratorium Farmakognosi, Laboratorium
Farmasetika dan Laboratorium Fisika di Jurusan
Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang pada
bulan Februari-Juli 2018.
C. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah ekstrak daun
stevia dan daun sambiloto yang diperoleh dari
proses ekstraksi. Daun stevia diperoleh dari
Kabupaten Sukoharjo-Bendosari, Jawa Tengah
dengan karakteristik berdaun rimbun, berumur
40-60 hari, tinggi tanaman mencapai 40-60 cm,
dan menjelang stadium berbunga (Rukmana,
2003). Sedangkan daun sambiloto diperoleh
dari halaman rumah ibu “X” di daerah Belitang
Kabupaten OKU Timur dengan karakteristik
berwarna hijau tua, panjang daun 2-8 cm dan
lebar 1-3 cm (Prapanza dan Marianto, 2003).
D. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu botol
maserasi, kertas saring, corong gelas, rotary
evaporator, timbangan biasa, timbangan
Analytical Balance, kertas perkamen, mortir,
stamper, ayakan, sudip, lemari pengering,
jangka sorong Tricle brand, Friability
Apparatus, hardness tester, disintegration
tester, dan kuisioner.
Bahan yang digunakan yaitu daun
stevia, daun sambiloto, aerosil, manitol,
sorbitol, povidon, mg stearat, dan aspartam.
E. Cara Pengumpulan Data
1. Persiapan Simplisia
Daun stevia dan daun sambiloto disortasi
kering terlebih dahulu untuk memastikan tidak
ada benda asing yang masih tertinggal selama
proses pengeringan. Selanjutnya simplisia
dirajang untuk memperkecil ukuran
partikelnya.
2. Ekstraksi Daun Stevia dan Daun
Sambiloto
Daun stevia sebanyak 1.500 gram dan
daun sambiloto sebanyak 150 gram dimaserasi
dengan etanol 70%. Tutup dan biarkan selama
5 hari terlindung dari cahaya dan dikocok tiga
kali sehari. Pengocokan dilakukan selama 15
menit. Setelah 5 hari cairan disaring lalu
ekstrak cair yang didapatkan kemudian
dipekatkan dengan cara destilasi vakum.
3. Formulasi Tablet Kunyah Ekstrak
Daun Stevia dan Daun Sambiloto
Formula tablet pada penelitian ini
mengacu pada formulasi tablet kunyah ekstrak
daun sirih (Piper betle L.) dengan variasi
pengisi manitol- sorbitol (Uwamaretatyalovi,
2010) dan formulasi tablet kunyah serbuk jahe
merah (Yetti dkk, 2015). Dalam penelitian
tersebut diketahui bahwa perubahan komposisi
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
48
manitol dan sorbitol berpengaruh terhadap sifat
fisik granul dan tablet kunyah yang dihasilkan.
Formula tersebut lalu diaplikasikan untuk
pembuatan tablet kunyah ekstrak daun stevia
(Stevia rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto
(Andrographis folium) yang berkhasiat untuk
menurunkan kadar gula darah dengan variasi
pengisi manitol dan sorbitol pada formula satu
(90%:10%), formula dua (80%:20%) dan
formula tiga (70%:30%). Tablet yang dibuat
dengan 600 mg sebanyak 200 tablet setiap
formulanya.
4. Pembuatan Granul dan Tablet Kunyah
Timbang semua bahan, masukkan ekstrak
kering daun stevia dan daun sambiloto kedalam
lumpang gerus homogeny. Lalu tambahkan
manitol, sorbitol, aspartame dan povidon.
Basahi dengan aquadest hingga massa dapat
dikepal, ayakk dengan ayakan 12 mesh.
Keringkan dalam lemari pengering selama 24
jam, lalu ayak kembali. Lakukan uji sifat fisik
granul. Setelah granul dievaluasi kemudian
tambahkan mg stearat gerus homogen.
5. Evaluasi Granul
a. Kecepatan Alir
Ditimbang 100 gram granul, kemudian
dimasukkan dalam corong yang bagian
bawahnya ditutup. Penutup corong dibuka dan
granul dibiarkan keluar sampai habis. Hitung
keceptan alir granul.
b. Sudut Diam
Tumpukan granul yang telah dialirkan
saat pemeriksaan kecepatan alir tadi dihitung
tinggi dan diameternya. Hitung tinggi dan
diameternya.
c. Kompresibilitas
Ditimbang gelas ukur 25 ml kosong,
kemudian diisi granul sampai volume 25 ml
lalu timbang. Hentakkan sebanyak 500 kali
ketukan. Baca volume granul didalam gelas
ukur.
6. Evaluasi Tablet
a. Keseragaman Bobot
Timbang 20 tablet hitung bobot rata-
rata, lalu timbang tablet satu per satu. Catat
masing- masing bobt, hitung penyimpangan
bobot setiap tablet.
b. Keseragaman ukuran
Ambil 20 tablet, diukur ketebalan dan
diameter satu per satu tablet dengan
menggunakan jangka sorong.
c. Kekerasan
Siapkan 10 tablet lalu tegak lurus pada
alat, putar ujunng alat hingga tablet pecah.
d. Kerapuhan
20 tablet dibebasdebukan kemudian
timbang, masukkan pada alat friabilator atur
dengan kecepatan 25 rpm dengan waktu selama 4 menit. Keluarkan lalu timbang kembali.
e. Waktu Hancur
Masukkan 6 tablet dalam alat
disintegration tester. Atur suhu sebesar 37ºC,
amati tablet yang telah hancur dalam air dan
catat waktunya.
Tabel 1. Formula Tablet Kunyah Ekstrak daun stevia (Stevia rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto
(Andrographis folium).
(Berdasarkan penelitian Uwamaretatyalovi (2010) dan Yetti dkk
(2015)) Keterangan :
Formula I : tablet kunyah dengan variasi
manitol(90%) dan sorbitol (10%)
Formula II : tablet kunyah dengan variasi
manitol(80%) dan sorbitol (20%)
Formula III : tablet kunyah dengan variasi
manitol(70%) dan sorbitol (30%)
HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Hasil Evaluasi Sediaan Tablet Kunyah
A. Hasil Ekstraksi
Ekstrak kental yang diperoleh dari hasil
ekstraksi daun stevia sebanyak 283,66 gram dan
daun sambiloto sebanyak 28,22 gram.
Rendemen yang diperoleh dari ekstrak
daun stevia yaitu 9,44% dan daun sambiloto
9,40%.
1. Uji Sifat Fisik Granul
a. Kecepatan Alir
Pemeriksaan kecepatan alir granul
bertujuan untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan granul untuk mengalir pada sat akan
dicetak. Granul yang baik akan mempunyai sifat
alir yang baik maka pengisian pada ruang cetak
menjadi konstan (Parrot, 1970). Hasil
pengamatan kecepatan alir granul menunjukkan
bahwa kecepatan alir granul pada formula I, II,
Bahan FI FII FIII Keterangan
Ekstrak + aerosil (2:1) 340 mg 340 mg 340 mg Zat aktif
Manitol 190 mg 170 mg 150 mg Pengisi
Sorbitol 25 mg 45 mg 65 mg Pengisi
Povidon 30 mg 30 mg 30 mg Pengikat
Mg Stearat 15 mg 15 mg 15 mg Pelincir
Aspartam 6 mg 6 mg 6 mg Pemanis
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
49
dan III secara berturut-turut adalah 7,76 g/s,
7,08 g/s, dan 5,95 g/s. Dari hasil kecepatan alir
granul ini menunjukkan sifat granul yang baik
karena berada dalam standar ketetapan Aulton
(2002) yaitu dalam kolom 4-10 g/s. Kecepatan
alir yang paling baik terdapat pada formula I
karena kecepatan alir granulnya tinggi sehingga
membuat granul mudah mengalir. Aliran granul
juga dipengaruhi oleh sorbitol yang digunakan
dalam formula ini, dimana sorbitol bersifat
higroskopis. sehingga kelembaban menjadi
meningkat.
b. Sudut Diam
Uji Sifat
Fisik Granul
Formula
I II III
Tinggi (cm) 2,86 2,96 3,13
Jari-jari (cm) 9,45 8,98 8,05
Tan α 0,3026 0,3296 0,3888
Sudut diam (º)
16,8358 18,2422 21,2460
Keterangan MS
(Sangat
Baik)
MS
(Sangat
Baik)
MS
(Baik)
Sudut diam merupakan salah satu
parameter baik tidaknya sifat alir suatu granul.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan
sudut diam yaitu formula I (16,8458º), formula
II (18,2422º) dan formula III (21,2460º).
Menurut Aulton (2002), sudut diam <20º
menunjukkan granul yang sangat baik. Pada
hasil sudut diam ini terjadi peningkatan yang
dikarenakan meningkatnya konsentrasi sorbitol.
Hal ini dikarenakan sifat sorbitol yang
higroskopis menyebabkan massa granul menjadi
lembab sehingga memperlama waktu alir dan
sudut diam semakin tinggi.
c. Kompresibilitas
Uji Sifat Fisik
Granul
Formula
I II III
BJ Nyata 0,6957 0,6843 0,6834
BJ Mampat 0,7247 0,7249 0,8136
Kompresibilitas (%)
4,0 5,6 16,0
Keterangan MS (Istimewa)
MS (Istimewa)
MS (Baik)
Uji kompresibilitas digunakan untuk
mengetahui baik tidaknya sifat alir suatu granul.
Semakin kecil indeks kompresibilitas, maka
semakin baik sifat alirnya. Dari hasil
pengamatan sudut diam diperoleh nilai
kompresibilitas yaitu pada formula I (4,0%),
formula II (5,6 %), dan formula III (16,0 %).
Menurut Aulton (2002), nilai kompresibilitas
antara 5-15 % dinyatakan istimewa, sedangkan
<16 % bersifat baik. Hal ini berarti formula I
mempunyai sifat granul yang paling baik.
Kenaikan konsentrasi sorbitol menyebabkan
granul menjadi lembab sehingga pemampatan
granul lebih sedikit dan penurunan granul
semakin rendah.
2. Uji Sifat Fisik Tablet
a. Keseragaman Bobot
Keseragaman bobot tablet dilihat dari
banyaknya penyimpangan yang diperoleh dari
rata-rata seluruh tablet dari sejumlah tablet yang
ditimbang satu per satu. Dari hasil pengamatan
yang diperoleh, menunjukkan semua formula
memenuhi persyaratan keseragaman tablet yaitu
tidak boleh lebih dari 2 tablet yang menyimpang
dari bobot rata-rata yang ditetapkan dalam
kolom A dan tidak boleh 1 tabletpun yang
bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih
dari harga dalam kolom B (Depkes RI, 1979).
b. Keseragaman Ukuran
Dari hasil pengamatan yang diperoleh,
keseragaman ukuran tablet pada masing-masing
formula yaitu formula I (3,40), formula II
(3,43), dan formula III (3,43). Hal ini
menunjukkan semua formula tidak memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Farmakope
Indonesia Edisi III dimana keseragaman ukuran
yang baik jika diameter tablet tidak lebih dari 3
kali dan tidak kurang dari 1 1/3 kali tebal tablet.
Pada penelitian ini, diameter tablet yang
dihasilkan terlalu besar sehingga ukuran tablet
yang dihasilkan kurang tebal. Adanya ukuran
tablet yang tidak memenuhi persyaratan ini
dikarenakan alat pencetak tablet dalam
perbaikan sehingga dalam pengempaan tablet
menggunakan alat manual.
c. Kekerasan
Uji kekerasan tablet dilakukan untuk
mengetahui kekuatan tablet yang
menggambarkan ketahanan tablet dalam
melawan tekanan mekanik seperti guncangan
dan terjadinya keretakan tablet selama
pengemasan, pengangkutan dan pendistribusian
(Ansel, 1989). Data yag diperoleh dari hasil
pengamatan uji kekerasan yaitu pada formula I
(3,65), formula II (4,00) dan formula III (4,20).
Hasil ini membuktikan bahwa formula I tidak
memenuhi persyaratan karena kurang dari 4 kg.
Sedangkan formula II dan formula III
mempunyai kekerasan yang baik. Hal ini
menunjukkan bahwa sifat manitol yang tidak
membuat tablet sekeras tablet yang
mengandung banyak sorbitol sehingga pada
formula tablet I mempunyai kekerasan yang
kurang sedangkan pada formula III mempunyai
kekerasan yang baik.
d. Kerapuhan
Uji kerapuhan digunakan untuk
mengetahui kemampuan tablet mencegah
sumbing dan goresan pada penanganan selama
pengemasan dan pengiriman. Data yang
diperoleh dari hasil pengamatan kerapuhan
yaitu formula I (0,6705). Formula II (0,5818)
dan formula III (0,2483). Ketiga formula
tersebut memenuhi syarat karena nilai
kerapuhan kurang dari 4% (Siregar, 2010).
Kerapuhan tablet paling rendah dimiliki oleh
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
50
formula dengan konsentrasi sorbitol paling
tinggi dan kerapuhan paling tinggi dimiliki oleh
formula dengan konsentrasi sorbitol paling
rendah. Hal ini disebabkan sorbitol yang
bersifat higroskopis dan memperkuat ikatan
antar partikelnya sehingga dapat menahan
pengikisan dan juga fines yang dihasilkan
sedikit.
e. Waktu Hancur
Uji waktu hancur digunakan untuk
mengetahui komponen obat dapat larut dan
hancur melepaskan obatnya kedalam cairan
tubuh. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan yaitu pada formula I memiliki
waktu hancur selama 5,59 menit, formula II
selama 11,30 menit, dan formula III selama
14,45 menit. Tablet yang baik mempunyai
waktu hancur kurang dari
15 menit (Depkes RI, 1979). Waktu hancur
tercepat terdapat pada formula I sedangkan
waktu hancur yang lama pada formula III. Hal
ini disebabkan sifat manitol yang mudah larut
dalam air, sehingga banyaknya konsentrasi
manitol akan menyebabkan waktu hancur tablet
semakin cepat. Selain itu, tekanan pada saat
pengempaan tablet akan mempengaruhi waktu
hancur tablet, dimana tablet yang keras akan
memperlama waktu hancur.
f. Kualitas Rasa
Uji tanggapan kualitas rasa dilakukan
pada 30 orang responden yang telah mengunyah
tablet untuk menilai rasa tablet yang telah
dibuat lalu mengisi kuisioner tanggapan rasa.
Uji kualitas rasa dibagi menjadi dua, yaitu enak
dan tidak enak. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan, formula I menunjukkan rasa yang
tidak enak, sedangkan formula II dan formula
III memiliki rasa yang enak. Hal ini
menunujukkan bahwa variasi konsentrasi
sorbitol paling paling kecil memiliki raba mulut
kurang baik, sedangkan variasi konsentrasi
manitol paling banyak memiliki raba mulut yang
baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji sifat fisik granul
dan tablet kunyah ekstrak daun stevia dan daun
sambiloto dapat diformulasikan menjadi tablet
kunyah yang memenuhi syarat dan stabil secara
fisik kecuali keseragaman ukuran yaitu pada
formula 2 dan formula 3.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G. 2006. Pengembangan Sediaan
Farmasi. ITB. Bandung. Hal 191-195
Agoes, 2013. Pengembangan Sediaan Farmasi
(SFI-1) Edisi revisi dan perluasan.
Penerbit ITB, Bandung. Hal 206-207
Anief, M., 2010. Ilmu Meracik Obat. Teori dan
Praktik. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Hal 211-216
Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi edisi IV. Diterjemahkan oleh :
Ibrahim, F. Universitas Indonesia Press,
Jakarta. Hal 249-283
Aulton, M., 2002. Pharmaceutical Practice of Dosage Form Design. Curcill
Livingstone, Edirberd, London. Hal 134-
208
Banker, G.S. dan N.R. Anderson. 1994. Teori
dan Praktek Farmasi Industri Edisi III.
Dalam: Lachman, L., H.A. Lieberman,
and J.L. Kanig (editor). Terjemahan
oleh: Siti Suyatmi. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Bawane, 2012. An Overview on Stevia: A
Natural Calorie Free Sweetener.
International Journal of Advantages in
Pharmacy, Biology and Chemistry.
IJAPBC-vol. 1 (3): 2277-4688
Departemen Kesehatan, 1979. Farmakope
Indonesia edisi III Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Hal 6-8
Departemen Kesehatan, 1995. Farmakope
Indonesia edisi IV Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Hal 4-6
Dalimartha, Setiawan, 2008. Atlas Tumbuhan
Obat Indonesia Jilid 1. Wisma Hijau,
Yogyakarta. Hal 121.
Edi, B., D. Mardiani., 2015. Panduan Budidaya
Stevia sebagai Penghasil Gula Rendah
Kalori. Koperasi Nukita, Bandung. Hal
5- 7
Fatimah, S., 2012. Perbedaan Efek Ekstrak
Etanol Stevia (Stevia rebaudiana Bert.)
Dibandingkan Madu Terhadap
Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus
Wistar Model Diabetik. Skripsi, Jurusan
Farmasi UNS.
Kementrian Kesehatan RI, 2013. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Nasional 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Hal 87-89. Lachman, L., H.A. Lieberman dan J.L. Kanig,
1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri Edisi Kedua. Terjemahan oleh :
Siti Suyatmi. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Marjoni, R., 2016. Dasar-dasar Fitokimia.
Trans Info Media, Jakarta Timur. Hal 15.
urtie, Afin, 2015. Infused Ice Cubes. PT
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Hal 75.
Paramitha, Mulya D., Rahmanisa, S., 2016.
Ekstra etanol herba sambiloto
(Andrographis paniculata) sebagai
antidiabetik terhadap mencit wistar
terinduksi aloksan. Majority. 5(5) : 76-
78.
Parrott, E.L., 1970. Pharmaceutical Technology
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
51
Fundamental Pharmaceutics. Thirth Ed.
Mineapolis: Burgess Publishing
Company.
Pradini, S.A., P.R. Pambudi dan F.A. Dinah.,
2017. Uji Efek Antidiabetik Kombinasi
Ekstrak Etanol Daun Stevia (Stevia
rebaudiana Bert.) dan Daun Sambiloto
(Andrographis folium) Pada Tikus
Jantan Galur Wistar yang Diinduksi
Aloksan. Indonesian Journal On Medical
Science. 4(2) : 177-181.
Purba, P.O, R. Sari, A. Fahrurroji., 2014.
Formulasi Sediaan Tablet Kunyah
Ekstrak Etanol Daun Sambiloto
(Andrographis paniculata Ness.) dengan
Variasi Pengisi Manitol-Sukrosa
Menggunakan Metode Granulasi Basah.
Skripsi, Jurusan Farmasi Universitas
Tanjungpura Pontianak.
Prapanza, I., L.A. Marianto, 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto : Raja Pahit
Penakhluk Aneka Penyakit. Agromedia,
Jakarta. Hal 6.
Rahayu, F., 2012. Formulasi Tablet Kunyah
Ekstrak Etanol Kayu Secang
(caesalpinia sappan L.) dengan Variasi
Konsentrasi Bahan Pengikat
Polivinilpirolidon Secara Granulasi
Basah. Karya Tulis Ilmiah, Jurusan
Farmasi UNS, hal. 40.
Rowe, R.C., P.J. Sheskey dan S.C. Owen, 2006,
Sorbitol, In: Rowe, R. C., Shesky, P. J.,
and Owen, S. C. (eds.), Handbook of
Pharmaceutical Excipients, Fifth
Edition, 743, Pharmaceutical Press, UK.
Rowe, R.C., P.J. Sheskey dan M.E. Quinn.,
2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Six Edition. America
Pharmaceutical Press. Washington DC.
Rukmana, H. R., 2003. Budi Daya Stevia,
Bahan Pembuatan Pemanis Alami.
Kanisius, Yogyakarta.
Rukmana, H. R. dan H.H. Yudirachman, 2016.
Budi Daya dan Pascapanen Tanaman
Obat Unggulan. Lily Publisher,
Yogyakarta. Hal 371-394.
Rukmini, Feni Aditya. 2010. Formulasi Tablet
Kunyah Ekstrak Biji Jinten Hitam
(Nigella sativa) sebagai Anti Inflamasi
dengan Kombinasi Bahan Pengisi
Sorbitol- Laktosa. Skripsi, Jurusan
Farmasi UMS.
Siregar, Charles. J. P., 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar-dasar Praktis,
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Subroto, 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes
Melitus. Penebar Swadaya, Yogyakarta.
Tim Bumi Medika, 2017. Berdamai dengan
Diabetes. Bumi Medika, Jakarta. Hal 4-
11.
Uwamaretatyalovi, A., 2010. Formulasi Tablet
Kunyah Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
L.) dengan Kombinasi Bahan Pengisi
Manitol-Sorbitol. Skripsi, Jurusan
Farmasi UII.
Voight, R., 1994. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi Edisi Kelima. Terjemahan oleh :
Soendani Noerono Soewandhi. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Wardhana, Y. W., 2007. Formulasi Tablet
Kunyah Serbuk Jahe Kuning (Zingiber
gramineum BI). Karya Tulis Ilmiah,
Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.
Hal 12.
Yeti, O.K., Handayani, Surban, 2015.
Formulasi Tablet Kunyah serbuk Jahe
Merah (Zingiber officinale Rosc). Cerata
Journal Of Pharmacy Science. Hal 18-
26.
Yodyinguard, V. dan S. Bunyawong, 1991.
Effect of Stevioside on Growth and
reproduction. Human Reproduction 6.
Hal 158-165.
Zhang, X. F. dan B.K. Tan, 2000. Anti-diabetic
property of ethanolic extract of
Andrographis panicula in
streptozotocin-diabetic rats. Acta
Pharmacol Sin, 21, 1157-64.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
52
EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN ASAM JAWA
(Tamarindus indica L.) TERHADAP KADAR C-REAKTIF PROTEIN
PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus) YANG DIINDUKSI
KARAGENAN
Mona Rahmi Rulianti, Sonlimar Mangunsong, Kanavi, A,
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang :Telah dilakukan penelitian efek antiinflamasi ekstrak daun asam jawa (Tamarindus indica L.)
yang memiliki kandungan flavonoid dan tanin yang menunjukan efek antiinflamasi pada tikus putih jantan
(Rattus novergicus) setelah diinduksi karagenan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dosis ekstrak
daun asam jawa yang menunjukan efek antiinflamasi serta mengevaluasi peningkatan kadar C-Reaktif Protein
(CRP). Metode : Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan mengukur kadar C-Reaktif
protein dalam darah dan hewan percobaan tikus putih jantan sebanyak 24 ekor dan di bagi menjadi 6
kelompok yaitu kelompok normal, kelompok negatif (hanya diinduksi karagenan), kelompok positif (diberi
Na diklofenak), kelompok dosis I (13,4 mg/200 g BB), kelompok dosis II (26,8 mg/200 g BB), kelompok
dosis III (53,6 mg/200 g BB). Data yang didapatkan kemudian di analisis secara statistik menggunakan uji
kruskal-Wallis dan di dapatkan hasil p<0,05 Hasil : Hasil pengukuran kadar CRP kelompok normal (negatif),
kelompok yang diinduksi karagenan (positif), kelompok yang diberi Na diklofenak (negatif), kelompok dosis I
(negatif), kelompok dosis II (negatif), kelompok dosis III (negatif). Hasil penelitian kemudian dianalisis
dengan Kruskal-Wallis menunjukan pengaruh pemberian ekstrak daun asam jawa yang secara signifikan
terhadap efek antiinflamasi dan penurunan kadar CRP pada serum darah tikus putih jantan. Kesimpulan :
Ekstrak daun asam jawa (Tamarindus indica L.) mempunyai efek antiinflamasi dan mampu menurunkan
kadar CRP pada tikus putih jantan setelah diinduksi karagenan.
PENDAHULUAN
Radang atau inflamasi adalah
suatu respon protektif normal terhadap
luka jaringan yang di sebabkan oleh
trauma fisik, zat kimia yang merusak,
atau zat-zat mikrobiologik. Inflamsi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi
atau merusak organisme yang
menyerang, menghilangkan zat iritan,
dan mengatur derajat perbaikan jaringan
(Mycek, 2001).Pada proses inflamasi
penyakit sistemik kronik pada sendi-
sendi tubuh dapat mengakibatkan gejala
berupa nyeri disertai kekauan,
kemerahan, pembengkakan, yang timbul
bukan karena benturan atau kecelakaan
namun hal ini berlangsung kronis.
Menurut data riset kesehatan dasar tahun
2013, penyakit sendi termasuk penyakit
yang prevalensinya tertinggi kedua, yaitu
24,7% setelah penyakit hipertensi.
Provinsi dengan prevalensi mengidap
penyakit sendi tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (NTT) dengan
prevalensi (33,1%), Jawa Barat (32,1%)
dan Bali (30,0%),
(Kemenkes, 2013).
Pada pengobatan radang atau
inflamasi dapat di golongan menjadi dua
golongan yaitu golongan steroid dan non
steroid, dan juga dapat memilki aktivitas
menekan peradangan. Aktivitas ini dapat
dicapai melalui berbagai cara, yaitu
menghambat migrasi sel-sel leukosit ke
daerah radang, menghambat
pembentukan mediator radang
prostagladin, menghambat pelepasan
prostagladin, menghambat pelepasan
prostagladin dari sel-sel tempat
pembentukannya (Kee dan Hayes, 1996).
Pada pengobatan tradisional menjadi
pilihan utama karena tumbuhan obat
lebih murah dan mudah diperoleh di
sekitar kita, mudah ditanam, dan mudah
cara meramunya (Saifudin dkk, 2011).
Pemanfaatan tanaman asam jawa
ini memiliki berbagai macam khasiat,
antara lain daunnya dapat digunakan
sebagai antiseptik, demam, rematik,
luka dan anti radang (Quisumbing,
1978), daun asam jawa juga dapat di
gunakan sebagai obat alternatif di
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
53
masyarakat khususnya untuk mengobati
penyakit radang dan sistem imun tubuh,
dengan cara merebus beberapa daun
asam dengan menggunakan 2 gelas air,
rebuslah hingga tersisa 1 gelas air
kemudian saring. lalu diminum selagi
hangat, atau bisa di buat jus dengan
menambahkan sedikit air (Chy Ana,
2018). Menurut Bandawe dkk, (2013)
ekstrak etanol daun asam jawa
(Tamarindus indica L.) mengandung
senyawa kimia berupa flavonoid dan
tanin yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi
Senyawa flavonoid
dapat menghambat
beberapa enzim antara lain,
siklooksigenase, lipooksigenase
(Narayana dkk, 2001). Sedangkan tanin
mempunyai efek antiinflamasi karena
dapat menghambat pengeluaran
prostaglandin pada jalur arakhidonat
yang merupakan mediator peradangan
(Agni, 2013). Sehingga daun asam jawa
diduga mempunyai aktivitas
antiinflamasi karena memiliki
kandungan flavonoid dan tanin.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah
eksperimental dengan melakukan
pengukuran ekstrak daun asam jawa
(Tamarindus indica L.) terhadap kadar
C- Reaktif protein (CRP) pada serum
darah tikus putih jantan setelah diinduksi
karagenan.
Penelitian ini telah di lakukan pada
bulan April-Juni 2018 di laboratorium
farmakologi,farmakognosi dan
farmasetika di Politeknik Kesehatan
Jurusan Farmasi Palembang, serta di
Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Palembang.
Objek penelitian adalah daun asam
jawa (Tamarindus indica L.) segar yang
diambil pada pagi hari di Jalan Bay
Salim, no 1, komplek Percetakan
Rambang, Sekip Jaya, kemuning, kota
palembang depan rumah Bapak X. Dan
hewan percobaan adalah tikus putih
jantan jalur wistar yang berumur sekitar
2-3 bulan, dengan berat badan lebih
kurang 200 gram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ekstraksi Daun Asam Jawa
Daun Asam Jawa (Tamarindus
indica L.) diekstraksi dengan cara
dimaserasi menggunakan pelarut etanol
selama lima hari. Hasil proses ekstraksi
setelah itu di destilasi vakum dan
diperoleh ekstrak kental daun asam jawa
(Tamarindus indica L.) sebanyak
157,995 gram, yang di dapat dari 1000 gr
simplisia kering. Rendemen yang di
dapatkan yaitu 15,7995%. Dosis ekstrak
daun asam jawa (Tamarindus indica L.)
diambil dari penelitian Assagaf. Bodhi.
Yamlean (2015) tentang penggunaan
efek ekstrak daun asam jawa terhadap
penurunan kadar kolestrol darah tikus
putih jantan. Dosis yang digunakan
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok dosis I 13,4 mg/200grBB,
kelompok dosis II 26,8 mg/200grBB, dan
kelompok dosis III 53,6 mg/200grBB.
Karena digunakan dosis tersebut dengan
alasan sudah terbukti tidak toksis pada
tikus putih jantan.
2. Pengujian Kadar C-Reaktif Protein
(CRP) Pada Serum Darah Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus)
Pada pengujian CRP yang di ukur
adalah jumlah protein dalam darah (yang
disebut C-reaktif protein).
Meningkatnya kadar C-Reaktif Protein
(CRP) merupakan salah satu indikator
terjadinya inflamasi. Oleh karena itu
dalam penelitian ini dilakukan pengujian
terhadap kadar CRP dalam serum darah
tikus jantan.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
54
Tabel Hasil pemeriksaan Kadar C-Reaktif Protein pada serum darah tikus putih jantan
yang diinduksi karagenan 1% dan diberi dosis ekstrak dau asam jawa.
No
Kelompok
Normal Negatif Positif Dosis I Dosis II Dosis III
1 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
2 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
3 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
4 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
Keterangan :
- Negatif : <5 mg/L (Kadar normal)
- Positif : >5
mg/L Tabel Hasil Uji
Kruskall-Wallis
Keterangan :
Sig<0,05 = Berbeda bermakna (Ho ditolak)
Sig>0,05 = Tidak berbeda (Ho diterima)
Tabel Hasil Uji Mann Whitney
Hasil pemeriksaan kadar C-Reaktif protein
(CRP) yang telah dilakukan di BBLK
menunjukan bahwa pada kelompok
normal terlihat kadar CRP pada serum
darah tikus memiliki nilai negatif,
sedangkan untuk kelompok kontrol negatif
(hanya diinduksi karagenan) kadar CRP
meningkat yaitu bernilai positif (>5
mg/L). Hal ini menunjukan bahwa
terjadinya inflamasi terhadap tikus putih
jantan pada kelompok negatif, karena CRP
merupakan indikator terjadinya suatu
inflamasi. Dalam keadaan normal kadar
CRP didalam darah (<5 mg/L) (Wirawan,
2010).
Dari hasil pengolahan data menggunakan metode Kruskal-Wallis) dan didapatkan hasil p<0,05 menunjukan bahwa ekstrak daun asam jawa mempunyai efek antiinflamasi pada tikus putih jantan yang diinduksi karagenan 1% yaitu pada kelompok Dosis I (13,4 mg/200 gr BB), kelompok Dosis II (26,8 mg/200 gr BB), dan kelompk Dosis III (53,6 mg/200 gr BB), terlihat hasil kadar CRP menurun yaitu bernilai negatif (<5 mg/L), hal ini membuktikan bahwa ekstrak daun asam jawa sama seperti natrium diklofenak yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar CRP pada serum darah tikus putih jantan dan mempunyai efek yang sama sebagai
Perbedaan kelompok Sig
Negatif-Normal
Negatif-Positif
Negatif-Dosis (I, II, dan III)
Normal-Positif
Normal-Dosis (I, II, dan III)
0,029
0,029
0,029
1,000
1,000
Kelompok N Mean Rank Sig Normal 4 10,50
Negatif 4 22,50
Hasil Positif 4 10,50 0,000 Dosis I 4 10,50
Dosis II 4 10,50
Dosis III 4 10,50
Total 24
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
55
antiinflamasi, karena Natrium diklofenak merupakan derivat sederhana dari phenylacetic acid (asam fenilasetat) yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamat. Obat ini adalah penghambat cyclooxygenase yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas arachidonic acid. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa (Katzung, 2002. Hal. 450) sama seperti kerja flavonoid dalam ekstrak daun asam jawa, selain itu Natrium Diklofenak sama fungsinya dari tanin untuk menghambat pengeluaran prostaglandin pada jalur asam arakhidonat yang merupakan mediator peradangan penting (Agni, 2013)
KESIMPULAN
Ekstrak daun asam jawa (Tamarindus
indica L.) mampu menurunkan kadar C-
Reaktif Protein pada tikus putih jantan
dengan nilai kadar normal (<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Agni, N., 2013. Respon Antiinflamasi
Eksttrak Kulit Buah Manggis
(Garcinia Magostama. L)
Terhadap Jumlah Limfosit Pada
Gingiva Tikus Wistar Jantan Pasca
Diinduksi Porphyromonas
Gingiralis.Skripsi. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas
Jember. Jawa Timur.
Assagaf, Bodhi, Yamlean, 2015. Uji
Efektivitas Ekstrak Etanol Daun
Asam Jawa (Tamarindus Indica
L.) Terhadap Penurunan Kadar
Kolestrol Darah Tikus Putih
Jantan Galur Wistar (Rattus
novergicus)
Bandawane D, Mayuri H, Ashish M,
Nilam M. Evaluation Of Anti-
Inflammatory And Analgesic
Activity Of Tamarind (Tamarindus
Indica L.) Seeds.Int J Pharm
Pharm Sci. 2013; Vol 5: 623-9.
Chy Ana 2018
https://manfaat.co.id/manfaat-
daun- asam [diakses Friday 02nd,
March 2018]
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi :
Dasar dan Klinik. Salemba
medika. Jakarta. Indonesia (hal.
450, 462).
Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset
Kesehatan Dasar. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta Selatan.
Diunduh
da
ri
(http://www.depkes.go.id/resources/
download/general/Hasil%20Riskes
d a%202013.pdf diakses tanggal 28
Februari 2018)
Kee J. L dan Hayes E.R . 2014.
Pharmacology: A Patient-Centered
Nursing Process Approach 8th
edition. Amsterdam. Elsevier
Health Sciences.
Mycek, J. M.,Harvey RA, Champe PC .
(2001). Farmakologi Ulsan
Bergambar Edisi 2. Widya
Medica,Jakarta. Hal 404.
Narayana K. R, Reddy M. R, Chaluvadi
M. R. 2001.
Bioflavonoids
Classification,
Pharmacological,
Biochemical Effects and
Therapeutic
Potential.(http://medind.nic.in/ibi/t
0 1/il/ibit01ilp2.pdf) [25 Januari
2018]
Saifuddin, Abdul Bari. 2011. Ilmu
Kebidanan
Sarwo
no Prawirohardjo.Edisi Ke-4
Cetakan Ke-4. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wirawan, Riadi, 2010 Biomedika
Manfaat Pemeriksaan CRP
(http://www.
Biomedika.co.id//diaksestanggal
24
Februari 2018)
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
56
FORMULASI DAN EVALUASI KRIM EKSTRAK KULIT
MANGIUM (Acacia mangium W.) DENGAN VARIASI TWEEN 80 DAN
SPAN 80 SEBAGAI EMULGATOR
Vera Astuti, Ratnaningsih Dewi Astuti, Ayu Septi Pratama
Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang Email: [email protected]
ABSTRAK
Kulit mangium (Acacia mangium W.) positif mengandung senyawa fenolik (fenol hidrokinin,
flavonoid, dan tanin) serta alkaloid. Ekstrak Kulit mangium (Acacia mangium W.) mampu menghambat
aktivitas enzim tirosinase. Pengembangan kulit mangium menjadi sediaan krim dianggap perlu sehingga
penggunaannya lebih efektif. Penelitian dilakukan untuk memformulasikan ekstrak kulit mangium sebagai
sediaan krim yang stabil secara fisik. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Ekstrak
diformulasikan dalam sediaan krim sebesar 2,2% dengan variasi tween 80 dan span 80 sebagai emulgator
dengan konsentrasi (3,43%:0,56% ; 6,01%:0,98% ; 8,58%:1,41%) pada tiap formula. Selajutnya dilakukan
uji kestabilan fisik selama 28 hari penyimpanan suhu kamar dan uji dipercepat (cycling test) meliputi pH.
Viskositas, daya sebar, pemisahan fase, homogenitas, tipe emulsi, warna, bau dan uji iritasi. Rendemen
ekstrak kulit mangium diperoleh sebesar 6,25%. Berdasarkan hasil pengukuran pH dan viskositas formula I,
II dan III cenderung meningkat, sedangkan pengukuran daya sebar formula I,II dan III cenderung menurun
pada pengujian suhu kamar tetapi masih memenuhi syarat. Hasil Uji dipercepat cenderung berbanding
terbalik dengan pengujian suhu kamar. Ditinjau dari tipe emulsi, homogenitas, warna, bau dan iritasi kulit,
ketiga formula memenuhi syarat selama penyimpanan 28 hari. Ditinjau dari pemisahan fase hanya formula
III yang memenuhi syarat. Ekstrak kulit mangium (Acacia mangium W.) hanya dapat diformulasikan
menjadi sediaan krim mengunnakan formula III yang stabil dan memenuhi persyaratan. Formula yang
paling optimal dengan variasi kombinasi tween 80 dan span 80 dengan konsentrasi (8,58%:1,41%).
kata kunci :Krim M/A , Kulit mangium, tween 80 dan span 80
PENDAHULUAN
Kulit merupakan bagian tubuh
terluar manusia yang memiliki berbagai
macam fungsi, salah satunya adalah
melindungi tubuh dari paparan sinar UV.
Kulit yang terkena paparan sinar UV
dalam jangka waktu yang lama dapat
meningkatkan sintesis melanin di kulit
dan menyebabkan hiperpigmentasi
(Juwita, Djajadisastra dan Azizahwati,
2011). Hiperpigmentasi merupakan
suatu gangguan pada pigmen kulit wajah
yang umum terjadi karena adanya
peningkatan proses melanogenesis yang
dapat menyebabkan penggelapan dari
warna kulit. Selain itu peningkatan
sintesis melanin secara lokal atau tidak
merata dapat menyebabkan pigmentasi
lokal atau noda hitam pada bagian
tertentu wajah (Cayce, McMichael dan
Feldman, 2004). Berbagai penelitian
menunjukan bahwa 55% dari 85%
perempuan Indonesia yang berkulit
gelap ingin agar kulitnya menjadi lebih
putih (Rini, Musutikaningsih dan
Handoko, 2016).
Pengobatan hiperpigmentasi dapat
dilakukan dengan berbagai macam
bahan sintetik dan bahan alam. Salah
satu bahan dari alam yang dapat
mengobati hiperpigmentasi ialah kulit
mangium (Acacia mangium Wild.) yang
positif mengandung senyawa fenolik
(fenol hidrokinin, flavonoid, dan tanin)
serta alkaloid, pada penelitian ini
menunjukan bahwa dengan konsentrasi
7,2% (Fase mofenolase) dan 2,2% (Fase
difenolase) kulit mangium (Acacia
mangium Wild.) dapat menghambat
aktivitas enzim tirosinase dengan
pembanding kadar maksimal asam kojat
yaitu 1% (Sari dkk., 2015.). Berdasarkan
hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa kulit mangium (Acacia mangium
Wild.) berpotensi untuk diformulasikan
menjadi sediaan farmasi yang efektif
sebagai anti hiperpigmentasi.
Berpedoman pada penelitian Sari
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
57
dkk (2015) yang menyatakan bahwa
kulit mangium (Acacia mangium W.)
berpotensi sebagai anti hiperpigmentasi
dan belum adanya sediaan krim dari
kulit mangium (Acacia mangium W.),
maka peneliti tertarik untuk
memformulasikan kulit mangium
(Acacia mangium W.) menjadi sediaan
krim. Krim ekstrak kulit mangium
mengacu pada formula krim dengan
bahan aktif menggunakan ekstrak daun
duwet (Syzigium cumini (L.)Skeels)
dengan memvariasikan kombinasi span
80 dan tween 80 sebagai emulgator
(Wijayanti, 2017.). Daun duwet
(Syzigium cumini (L.)Skeels)
mem
punyai kandungan yang sama dengan
kulit mangium yaitu flavonoid.
Berdasarkan hal itu, peneliti akan
membuat sediaan krim tipe M/A dari
ektstrak kulit mangium (Acacia
mangium Wild.) dengan
memvariasikan kombinasi tween 80
dan span 80 sebagai emulgator dan
menguji kestabilan fisiknya.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk
memformulasikan kulit mangium
(Acacia mangium Wild.). menjadi
sediaan krim yang memenuhi syarat dan
stabil secara fisik. Tujuan Khusus
a. Memperoleh sediaan krim
memformulasikan kulit mangium
(Acacia mangium Wild.) yang stabil
dan memenuhi syarat setelah uji
penyimpanan pada suhu kamar.
b. Memperoleh sediaan krim kulit
mangium (Acacia mangium Wild.)
yang stabil dan memenuhi syarat
setelah uji dipercepat (Cycling Test). c. Mengukur pH sediaan krim kulit
mangium (Acacia mangium Wild.).
d. Mengukur viskositas sediaan krim
kulit mangium (Acacia mangium
Wild.).
e. Mengukur daya sebar sediaan krim
kulit mangium (Acacia mangium
Wild.).
f. Mengamati pemisahan fase
sediaan krim kulit mangium
(Acacia mangium Wild.).
g. Mengamati tipe emulsi sediaan
krim kulit mangium (Acacia
mangium Wild.).
h. Mengamati homogenitas sediaan
krim kulit mangium (Acacia
mangium Wild.).
i. Mengamati perubahan warna
sediaan krim kulit mangium
(Acacia mangium Wild.).
j. Mengamati perubahan bau sediaan
krim kulit mangium (Acacia
mangium Wild.).
k. Mengamati efek iritasi kulit dari
sediaan krim kulit mangium
(Acacia mangium Wild.).
1. Formulasi Krim Minyak Timi
Dalam penelitian ini, digunakan
tiga formula dengan dengan tipe krim
minyak dalam air (M/A). Formula krim
yang digunakan berpedoman pada
Wijayanti (2017) dengan
memvariasikan kombinasi span 80 dan
tween 80 sebagai emulgator. Peneliti
akan memvariasikan kombinasi span
80 dan tween 80 sebagai emulgator.
Variasi tween 80 dan span 80 sebagai
emulgator dengan konsentras
(3,43%:0,56%) ; (6,01%:0,98%) ;
(8,58%:1,41%).
. krim yang mengandung ekstrak
kulit mangium (Acacia mangium W.)
berfungsi sebagai zat aktif. Konsentrasi
ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) yang digunakan pada
penelitian ini adalah 2,2%.
Tabel 3. Formula Krim yang Mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.) No Nama Bahan Konsentrasi Penggunaan Keterangan
Formula I Formula II Formula III
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
58
1 Ekstrak kulit mangium 2,20% 2,20% 2,20% Bahan aktif
2 TEA 0,20% 0,20% 0,20% Pengemulsi
3 Asam stearat 13,00% 13,00% 13,00% Pengemulsi
4 Tween 80 3,43% 6,01% 8,58% Pengemulsi
5 Span 80 0,56% 0,98% 1,41% Pengemulsi
6 Na tetraborat 0,15% 0,15% 0,15% Pengawet
7 Minyak zaitun 8,00% 8,00% 8,00% Emolien
8 Gliserin 8,00% 8,00% 8,00% Humektan
9 Setil alkohol 0,50% 0,50% 0,50% Pengental
10 Aquadest ad 100% ad 100% ad 100% Pelarut
Modifikasi formula Wijayanti (2017).
2. Pembuatan Krim
Adapun cara pembuatan formula
kontrol, I, II, dan III adalah sebagai
berikut: a. Cara pembuatan Formula I, II dan
III
1) Masukkan asam stearat, setil alkohol,
span 80, minyak zaitun ke dalam
cawan (fase minyak). Lebur fase
minyak pada suhu 75C (massa 1).
2) Panaskan aquadest, tambahkan
trietanolamin, gliserin, tween 80 dan
Na tetraboras pada suhu 75C (fase
air), kemudian aduk homogen (massa
2).
3) Masukkan fase air ke dalam mortir
panas.
4) Campurkan fase minyak ke dalam
fase air sedikit demi sedikit dalam
keadaan sama-sama panas sambil
diaduk dengan pengaduk elektrik
sampai terbentuk massa krim yang
stabil (massa 3).
5) Masukkan mi ke dalam mortir,
tambahkan massa krim pada suhu
45C sedikit demi sedikit sambil
digerus homogen.
3. Uji Kestabilan Fisik
Uji kestabilan fisik sediaan krim
dalam penelitian ini dilakukan
dengan 2 metode, yaitu uji stabilitias
penyimpanan suhu kamar dan uji dipercepat (Cycling Test).
1) Uji Stabilitas Penyimpanan Suhu
Kamar (28±2C)
Uji kestabilan fisik yang dilakukan
antara lain, pH, viskositas, daya sebar,
pemisahan fase, homogenitas, tipe
emulsi, dan organoleptik sediaan (warna
dan bau). setelah dilakukan
penyimpanan selama 28 hari, yaitu pada
hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28. a. pH
Nilai pH sediaan dapat diukur dengan
menggunakan pH meter pada suhu 250C.
Untuk mengukur nilai pH ini dibutuhkan
sampel sebanyak
± 1
gram.
Cara
kerja :
1) Nyalakan alat pH meter dengan
menekan tombol “ON” 2) Kalibrasi alat pH meter dengan cara : 3) Menekan tombol pH 4) Celupkan electrode kedalam larutan
dapar pH 7, putar tombol skala
sehingga menunjukkan angka 7,0
5) Bilas electrode dengan aquadest,
celupkan kedalam larutan dapar pH 4,
bila angka yang ditunjukkan belum
tepat maka diatur dengan memutar
tombol skala agar didapatkan angka
4,0
6) Setelah itu bilas electrode dengan
aquadest lalu di celupkan kedalam
sediaan gel semprot
7) Catat pH yang tertera di layar untuk
mengamati perubahan pH
b. Viskositas/kekentalan
Mengukur kekentalan dilakukan
dengan menggunakan alat viskometer
Brookfield (Pierce, 1981). Adapun cara
kerjanya adalah sebagai berikut: 1) Nyalakan alat dengan menekan
tombol “ON”. 2) Sampel sebanyak 20 gr dimasukkan
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
59
dalam wadah sampel.
3) Pasang spindel no. 6 pada bagian
rotor penggerak.
4) Pasang wadah sampel di guard leg
sampai sampel tercelup pada batas
tertentu.
5) Putar spindel dengan kecepatan 6 rpm
sampai viskometer menunjukkan
angka tertentu.
6) Catat hasil pengukuran viskositas
tersebut yang terdapat pada tampilan
monitor viskometer, angka ini
dinyatakan dalam centipoise (cp).
7) Pengukuran viskositas ini dilakukan
pada suhu kamar. c. Daya sebar
Untuk mengukur daya sebar gel
semprot pada kulit. Dilakukan dengan
cara :
1) sebanyak 1 gram sediaan diletakkan di tengah cawan petri yang telah dibalik dan dilapisi plastik transparan di bawah dan di atas gel
2) Tambahkan berat sebesar 125 g. 3) Didiamkan selama 1 menit
kemudian diukur menggunakan
penggaris dan catat daya sebarnya
lakukan sebayak 3 kali (Garg et al,
2002).
d. Pemisahan Fase
Diambil sebanyak 2 gram
dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian dimasukkan ke dalam
sentrifugator dengan kecepatan 3750
selama 5 jam. Cara kerja :
1) Krim dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi 10 cm. Volume krim
dalam setiap tabung harus sama.
2) Masukkan tabung ke dalam alat
sentrifugasi lalu tutup. 3) Tekan tombol “ON” 4) Atur kecepatan 3750 rpm selama 5
jam. 5) Catat pemisahan fase yang terjadi
tiap jam. e. Uji Homogenitas
Sampel diambil dari 3 tempat
berbeda (atas, tengah, dan bawah)
masing-masing sebanyak ± 0,10 gram.
Sampel kemudian diletakkan pada kaca
objek, tutup dengan deck glass dan
dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100 kali. Amati
homogenitas antar partikelnya. f. Tipe Emulsi
Penentuan tipe emulsi ditetapkan
dengan cara menambahkan reagen
methylen blue secara mikroskopik
(Anief, 2007). Formula emulsi
dipreparasi di objek glass, kemudian
tipe emulsi diamati dibawah
mikroskop. Methylen blue akan terlarut
ke dalam fase air. Jika medium dispersi
berwarna biru merata maka emulsi
krim bertipe minyak dalam air (M/A) g. Warna
Pengamatan warna dilakukan
dengan menggunakan 30 orang
responden untuk mengamati perubahan
warna yang terjadi dalam sediaan krim
yang disimpan selama 28 hari. h. Bau
Pengamatan bau dilakukan dengan
menggunakan 30 orang responden
untuk mengamati perubahan bau yang
terjadi dalam sediaan krim yang
disimpan selama 28 hari. i. Iritasi Kulit
Iritasi kulit dilakukan dengan cara
pacth test yaitu mengoleskan sediaan
pada punggung tangan. Lalu tunggu
hingga mengering. Kemudian amati
reaksi yang mungkin terjadi misalnya
gatal, kemerahan dan perih. 2) Uji Dipercepat (Cycling Test)
Ketiga formula krim disimpan pada
suhu 2-8C selama 2 hari dilanjutkan
dengan menyimpan sediaan pada suhu
40C selama 2 hari (1 siklus).
Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3
siklus (Niazi, 2004). Dan diamati
terjadinya perubahan fisik dari sediaan
krim sebelum dan setelah cylcling test
dengan pengujian yang sama seperti
pada uji penyimpanan suhu kamar
meliputi pengukuran terhadap pH,
viskositas, daya sebar, pemisahan fase,
homogenitas, tipe emulsi, dan
organleptis sediaan (warna dan bau).
Alat Pengumpulan Data
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
60
1. Alat
a. Alat-alat untuk proses pembuatan
ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) yaitu, seperangkat
alat sokletasi dan seperangkat alat
destilasi vakum.
b. Alat-alat untuk proses pembuatan
krim ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) yaitu, gelas ukur,
beacker glass, timbangan gram
kasar, timbangan analitik, anak
timbangan, mortir, stamper, cawan,
batang pengaduk, penjepit kayu,
sudip, kertas perkamen, gelas arloji,
pot plastik.
c. Alat-alat untuk evaluasi krim
ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) yaitu,: Viskometer
Brookfield, pH meter Hanna,
mikroskop, objek gelas, kuesioner,
pena, centrifuge, cawan petri dan
plastik. 2. Bahan
a. Bahan untuk membuat ekstrak yaitu
kulit mangium (Acacia mangium
W.) dan metanol pro analis.
b. Bahan untuk formula krim ekstrak
kulit mangium (Acacia mangium
W.) yaitu ekstrak kulit mangium,
aquadest, tween 80, span 80, asam
stearat, trietanolamin, setil alkohol,
gliserin, minyak zaitun dan
natrium tetraborat.
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Uji Kestabilan Fisik Gel
Semprot
Pembuatan formula krim minyak
timi (Thymus vulgaris L.) dengan
memvariasikan trietanolamin dan asam
stearat sebagai emulgator kemudian
dilakukan uji kestabilan sifat fisik
setiap minggunya selama 28 hari pada
penyimpanan suhu kamar dan 12 hari
pada uji dipercepat (cycling test)
meliputi pH, viskositas, daya sebar,
pemisahan fase, homogenitas, tipe
emulsi, warna dan bau serta dilakukan
pengujian terhadap iritasi kulit.
a. Uji Stabilitas Penyimpanan Suhu
Kamar
Stabilitias krim disimpan pada suhu
kamar (28±2C) selama 28 hari.
Kemudian dilakukan evaluasi setiap
minggunya meliputi pH, viskositas,
daya sebar, pemisahan fase,
homogenitas dan tipe emulsi. Hasil
pengamatan kestabilan fisik krim
minyak timi pada penyimpanan suhu
kamar dapat dilihat dalam tabel dan
gambar berikut:
Tabel 2. Hasil Pemangamatan pH Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.)
Formula Krim pH Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I 6,01 6,09 6,12 6,16 6,19 MS
Formula II 6,04 6,13 6,13 6,14 6,20 MS
Formula III 6,03 6,08 6,10 6,17 6,19 MS
PH yang memenihu syarat 4-8 (Aulton, 2002)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 5. Hasil Pengukuran Viskositas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.) Formula Krim Viskositas (cp) Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I 8772 8793 8854 9002 9200 MS
Formula II 9188 9196 9202 9234 9268 MS
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
61
Formula III 10089 10120 11106 11247 11377 MS
Viskositas yang memenihu syarat 5000-50000 cP (Gad, 2008)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium
(Acacia mangium
W.) Formula Krim Daya Sebar (cm) Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I 5,2 5,2 5,0 5,1 5,0 MS
Formula II 5,3 5,1 5,2 5,1 5,1 MS
Formula III 5,3 5,2 5,1 5,2 5,1 MS
Daya sebar yang memenuhi syarat berdiameter 5-7 cm (Garg et al, 2002)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 7. Hasil Pengamatan Homogenitas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium
(Acacia mangium
W.) Formula Krim Homogenitas Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I H H H H H MS
Formula II H H H H H MS
Formula III H H H H H MS
Homogenitas memenuhi syarat bila distribusi partikel krim merata
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat H = Homogen TMS = Tidak Memenuhi Syarat TH = Tidak Homogen
Tabel 8. Hasil Pengamatan Pemisahan Fase Krim yang mengandung Ekstrak Kulit
Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Pemisahan Fase Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I TM TM TM M M TMS
Formula II TM TM TM TM M TMS
Formula III TM TM TM TM TM MS
Memenuhi syarat jika tidak terjadi pemisahan antara fase minyak dan air
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat M = Memisah
TMS = Tidak Memenuhi Syarat TM = Tidak Memisah
Tabel 9. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium
(Acacia mangium
W.) Formula Krim Tipe Emulsi Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I M/A M/A M/A M/A M/A MS
Formula II M/A M/A M/A M/A M/A MS
Formula III M/A M/A M/A M/A M/A MS
Memenuhi syarat jika medium dispersi berwarna biru merata (tipe krim M/A)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
62
Tabel 10. Hasil Pengamatan Iritasi Kulit Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium
(Acacia mangium
W.) Formula Krim Uji Iritasi (Hari Ke- 0,7,14,21,28) Ket
Iritasi Tidak Iritasi
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 0 0% 30 100% MS
Formula II 0 0% 30 100% MS
Formula III 0 0% 30 100% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 11. Hasil Pengamatan Perubahan Warna Krim yang mengandung Ekstrak Kulit
Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Kestabilan Fisik Ket
Uji Warna (Hari Ke- 0,7,14,21,28)
Berubah Tidak Berubah
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 3 10,0% 27 90,0% MS
Formula II 5 16,6% 30 83,3% MS
Formula III 5 16,6% 30 83,3% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 12. Hasil Pengamatan Perubahan Bau Krim yang mengandung Ekstrak Kulit
Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Kestabilan Fisik Ket
Uji Bau (Hari Ke- 0,7,14,21,28)
Berubah Tidak Berubah
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 4 13,3% 26 86,7% MS
Formula II 3 10,0% 27 90,0% MS
Formula III 4 13,3% 26 86,7% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
b. Uji Stabilitas Dipercepat (Cycling Test)
Pemeriksaan dilakukan sebanyak 6 sikus (12 hari) dan diamati terjadinya perubahan
fisik dari sediaan krim pada sebelum dan setelah uji dipercepat (cycling test).
Tabel 13.Hasil Pemangamatan pH Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.)
Formula Krim pH Ket
Sebelum Cycling Test Setelah Cycling Test
Formula I 5,97 6,00 MS
Formula II 5,91 6,01 MS
Formula III 5,98 6,10 MS
pH yang memenihu syarat 4-8 (Aulton, 2002)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 5. Hasil Pengukuran Viskositas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.)
Formula Krim Viskositas (cp) Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
63
Formula I 8772 8793 8854 9002 9200 MS
Formula II 9188 9196 9202 9234 9268 MS
Formula III 10089 10120 11106 11247 11377 MS
Viskositas yang memenihu syarat 5000-50000 cP (Gad, 2008)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.)
Formula Krim Daya Sebar (cm) Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I 5,2 5,2 5,0 5,1 5,0 MS
Formula II 5,3 5,1 5,2 5,1 5,1 MS
Formula III 5,3 5,2 5,1 5,2 5,1 MS
Daya sebar yang memenuhi syarat berdiameter 5-7 cm (Garg et al, 2002)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 7. Hasil Pengamatan Homogenitas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.)
Formula Krim Homogenitas Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I H H H H H MS
Formula II H H H H H MS
Formula III H H H H H MS
Homogenitas memenuhi syarat bila distribusi partikel krim merata
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat H = Homogen
TMS = Tidak Memenuhi Syarat TH = Tidak Homogen
Tabel 8. Hasil Pengamatan Pemisahan Fase Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia
mangium W.)
Formula Krim Pemisahan Fase Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I TM TM TM M M TMS
Formula II TM TM TM TM M TMS
Formula III TM TM TM TM TM MS
Memenuhi syarat jika tidak terjadi pemisahan antara fase minyak dan air
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat M = Memisah
TMS = Tidak Memenuhi Syarat TM = Tidak Memisah
Tabel 9. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.)
Formula Krim Tipe Emulsi Ket
Hari Ke-
0 7 14 21 28
Formula I M/A M/A M/A M/A M/A MS
Formula II M/A M/A M/A M/A M/A MS
Formula III M/A M/A M/A M/A M/A MS
Memenuhi syarat jika medium dispersi berwarna biru merata (tipe krim M/A)
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 10. Hasil Pengamatan Iritasi Kulit Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium
W.)
Formula Krim Uji Iritasi (Hari Ke- 0,7,14,21,28) Ket
Iritasi Tidak Iritasi
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
64
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 0 0% 30 100% MS
Formula II 0 0% 30 100% MS
Formula III 0 0% 30 100% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 11. Hasil Pengamatan Perubahan Warna Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia
mangium W.)
Formula Krim Kestabilan Fisik Ket
Uji Warna (Hari Ke- 0,7,14,21,28)
Berubah Tidak Berubah
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 3 10,0% 27 90,0% MS
Formula II 5 16,6% 30 83,3% MS
Formula III 5 16,6% 30 83,3% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 12. Hasil Pengamatan Perubahan Bau Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia
mangium W.)
Formula Krim Kestabilan Fisik Ket
Uji Bau (Hari Ke- 0,7,14,21,28)
Berubah Tidak Berubah
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Formula I 4 13,3% 26 86,7% MS
Formula II 3 10,0% 27 90,0% MS
Formula III 4 13,3% 26 86,7% MS
Keterangan : MS = Memenuhi Syarat
TMS = Tidak Memenuhi Syarat
PEMBAHASAN
1. Kestabilan Fisik
Evaluasi stabilitas fisik sediaan krim
pada penelitian ini dilakukan dengan
dua metode. Pertama, evaluasi stabilitas
fisik krim berdasarkan metode
penyimpanan suhu selama 28 hari.
Kedua, evaluasi sifat fisik krim
berdasarkan metode uji dipercepat
(cycling test) selama 12 hari. Dua
metode ini dilakukan untuk melihat
kestabilan fisik krim tidak hanya pada
penyimpanan suhu kamar, tetapi juga
kestabilan fisik krim pada suhu ekstrim
yaitu panas ke dingin atau sebaliknya
yang dapat berubah setiap tahun bahkan
setiap hari selama penyimpanan produk.
a. pH Sediaan
Berdasarkan hasil pengamatan
kestabilan pH selama penyimpanan 28
hari pada dan selama 12 hari
penyimpanan pada uji dipercepat
(cycling tets) secara keseluruhan
formula tersebut cenderung mengalami
peningkatan setelah disimpan 28 hari
dan 12 hari (cycling test). Dengan
persentase kenaikan untuk penyimpanan
20 hari pada suhu kamar pada formula I
2,99%, formula II 2,64%, formula III
2,65%, dan pesentase kenaikan untuk
penyimpanan 12 pada uji dipercepat
(cycling test) pada formula I 0,55%,
formula II 1,69%, dan formula III
2,00%. Ketidakseragaman pH antar
formula ini dapat terjadi karena
perbedaan variasi Tween 80 dn Span 80
pada tiap formula..
Data pH yang didapatkan pada
penelitian ini hampir sama dengan yang
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
65
dilakukan oleh Wijayanti (2017) yang
memvariasikan tween 80 dan span 80
pada tiap formula krimnya. Berdasarkan
hasil pengukuran pH menunjukan bahw
pH sedian sebelum dan sesudah uji
dipercepat (cycling test) menunjukan
bahwa mengalami kenaikan pH hal ini
dipengaruhi oleh penggunaan emulgator
nonionik dan suhu penyimpanan
(Nonci., Nurshakati., dan Qoriatul,
2016)
Selain itu, peningkatan pH juga
dipengaruhi oleh lama penyimpanannya.
Berdasarkan hasil penelitian Iswindari
(2014) menyatakan kenaikan pH ini
juga dapat dipengaruhi oleh lamanya
penyimpanan dan suhu penyimpanan.
Dengan demikian kenaikan pH yang
terjadi pada masing-masing formula
selama 28 hari masa penyimpanan suhu
kamar dan 12 hari penyimpanan pad
auji dipercepat (cycling test) masih
memenuhi syarat pH untuk sediaan
topikal yaitu 4-8 (Aulton, 2002).
b. Viskositas Sediaan
Pemeriksaan viskostas krim baik
berdasarkan uji stabilitas penyimpanan
pada suhu kamar dan uji dipercepat
(Cycling Test) dilakukan dengan
menggunakan viscometer Brookfield
pada kecepatan 20 rpm dengan spindel
nomor 6. Pada tabel 5 dapat dilihat
hasil pengamatan viskositas krim yang
mengandung ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) selama
penyimpanan 28 hari pada suhu kamar
cenderung mengalami peningkatan,
pada formula I dengan persentase
kenaikan 4,82%, formula II denga
persentase kenaikan sebesar 0,87%,
dan formula III dengan persentase
kenaikan sebesar 12,72%.
Pengingkatan viskositas antar
formula dalam penelitian ini sama
dengan yang dilakukan oleh Wijayanti
(2010) dimana semakin tinggi
konsentrasi Tween 80 menghasilkan
viskositas yang semakin tinggi. Pada
perbandingan komposisi tween 80 dan
span 80 Formula III (8,5% dan 1,4%)
memiliki viskositas paling tinggi dan
Formula I (3,4% dan 0,5%) memiliki
viskositas yang paling rendah. semakin
tinggi konsentrasi Tween 80 akan
membuat medium dispersi menjadi
lebih tinggi sehingga dapat
meningkatkan viskositas sistem emulsi.
Viskositas sistem emulsi meningkat
maka viskositas sediaan krim juga akan
meningkat. Selain itu, peningkatan
viskositas sediaan juga dipengaruhi
oleh lama penyimpanan, semakin lama
sediaan disimpan maka viskositas
cenderung mengalami kenaikan
(Iswindari, 2014). Penyimpanan
sediaan krim selama 28 hari
menyebabkan viskositas krim
meningkat. Walaupun demikian
viskositas sediaan krim yang
mengandung ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) masih
memenuhi persyaratan viskositas yakni
berkisar 5000-50000 cp (Gad, 2008).
Pada uji stabilitas cycling test
sediaan krim dipindahkan dari suhu
yang panas ke dingin, begitu
seterusnya sampai terjadi 6 siklus yaitu
selama 12 hari. Setalah dilakukan
pengujian dan pengamatan sebelum
dan sesudah cycling test viskositas
sedian mengalami penurunan, namun
penurunan tersebut tidak terlalu jauh.
Pada tabel 14 dapat dilihat pengamatan
viskositas krim yang mengandung
ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) selama penyimpanan 12
hari pada uji dipercepat (cycling test)
cenderung mengalami penurunan ,
pada formula I dengan persentase
penurunan 2,73%, formula II denga
persentase penurunan sebesar 1,52%,
dan formula III dengan persentase
penurunan sebesar 8,35%.
Hal ini diduga karena uji
stabilitas cycling test dimulau dari suhu
panas di ovven yaitu 40oC selama 1
hari kemudian krim dipindahkan
kedalam kulkas 2-4oC, begitu
seterusnya. pada hari terakhir
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
66
pengujian krim berada di dalam kulkas,
sehingga krim kembali mengental. hal
ini terjadi karena krim cenderung
menyusut pada suhu rendah, sehingga
partikel-partikel akan cenderung
bergabung dan membentuk ikatan antar
partikel yang lebih rapat, akibatnya
kekentalan dan laju air manurun
(Joshita, 1998). Data viskositas yang
didapatkan pada penelitian ini hampir
sama dengan yang dilakukan oleh
Nonci., Nurshakati., dan Qoriatul
(2016) yang memvariasikan emulgator
nonionik pada tiap formula krimnya
bahwa viskositas mengalami
penurunan setelah dilakukannya uji
dipercepat (cycling test), hal ini
dipengaruhi suhu penyimpanan.
Walaupun terjadi penurunan
kekentalan uji stabilitas cycling test.
Nilai viskositas krim masih dalam range
yang memenuhi syarat viskositas
sediaan krim yakni berkisar 5000-50000
cp (Gad, 2008). Dengan demikian,
ditinjau dari pengujian penyimpanan
pada suhu kamar dan cycling test krim
yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.)
memenuhi syarat untuk sedian krim. c. Daya Sebar Sediaan
Dari hasil pengamatan kestabilan
daya sebar krim ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) selama 28 hari
pennyimpanan pada ketiga formula
dapat dilihat rentang daya sebar sediaan
sebesar 5-5,3 cm. Dengan rincian pada
formula I 5,0-5,2, formula II 5,1-5,3,
dan formula III 5,1-5,3. Perbedaan daya
sebar yang dihasilkan antar formula
disebabkan karena adanya variasi tween
80 dan span 80 sebagai emulgator yang
mengakibatkan adanya perbedaan
viskositas yang dihasilkan sehingga
berpengaruh pada daya sebar krim.
Daya sebar krim cenderung
mengalami penurunan setelah disimpan
selama 28 hari dengan rincian formula I
mengalami penurunan daya sebar 3,84%
formula II 5,66% dan formula III 3,84
%. Penurunan daya sebar disebabkan
karena meningkatnya viskositas sediaan
krim selama penyimpanan 28 hari. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Garg
(2002) bahwa umumnya daya sebar
berbanding terbalik dengan viskositas
dimana semakin besar viskositas, maka
semakin kecil daya sebar sediaan.
Hasil pengamatan kestabilan daya
sebar krim ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) uji dipercepat
(cycling test) mengalami kenaikan. Hal
ini di karenakan viskositas meningkat
setelah dilakukan uji dipercepat (cycling
test). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Garg (2002) bahwa umumnya daya
sebar berbanding terbalik dengan
viskositas dimana semakin kecil
viskositas , maka semakin besar daya
sebar krim begitupun sebaliknya.
Dengan demikian ditinjau dari
pengujian dan pengamatan terhadap
daya sebar pada penyimpanan suhu
kaamr dan uji dipercepat (cycling test)
krim yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.) telah
memenuhi persyaratan yakni berkisaran
5-7 cm (Garg, 2002).
d. Homogenitas Sediaan
Pada tabel 7 dan 16 dapat dilihat
hasil pengujian dan pengamatan
terhadao homogenitas krim yang
mengandung ekstrak kulit mangium
(Acacia mnagium W.) sealama 28 hari
penyimpanan pada suhu kamar, dan
selama 12 hari penyimpanan pada uji
dipercepat. Pengamatan selama masa
penyimpanan sediaan krim
menunjukan tidak ada perubahan
homogenitas. Pengujian ini dilakukan
secara visual dengan mengoleskan
krim setipis mungkin pada kaca objek
lalu diamati partikel-partikel krim yang
tertekan deck glass dapat dilihat bahwa
permukaan krim halus dan merata, hal
tersebut membuktikan bahwa sediaan
krim homogen.
Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Idson (1994) sediaan krim
yang stabil menunjukan homogenitas
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
67
yang baik selama penyimpanan.
homogenitas suatu sediaan krim
dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti ketepatan suhu untuk peleburan,
pengadukan dan pencampuran. Jika
suhu yang digunakan untuk peleburan
suatu bahan tidak sesuai dengan titik
lebur bahan tersebut, maka bahan itu
tidak akan larut dan bercampur dengan
bahan lainnya sehingga pada hasil
akhir akan terdapat partike- partikel
halus pada kaca sebagai indikator
pengujiaan homogenitasnya (Maulidia,
2010).
Selain itu, homogenitas krim ini
juga dipengaruhi oleh ekstrak yang
tidak bercampur secara merata dan
homogen pada saat pencampuran.
Penambahan ekstrak kulit mangium ke
dalam formula dapat bercampur dengan
baik. Sehingga dapat menyusahkan
disimpulkan bahwa krim yang
mengandung ektrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) memiliki
homogenitas sediaan yang memenuhi
syarat dan stabil selama uji
penyimpanan suhu kamar maupun
selama uji dipercepat (Cycling Test). e. Pemisahan Fase Sediaan
Uji pemisahan fase dilakukan
dengan menguji secara mekanik atau
uji sentrifugasi yang bertujuan
mengetahui apakah terjadi pemisahan
fase minyak dan fase air dari sediaan
krim tersebut. uji dengan alat
sentrifugasi dilakukan dengan
kecepatan 3750 rpm selama 5 jam. Dari
tabel 8 dapat dilihat hasil pengujian
terhadap pemisahan fase krim yang
mengandung ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) selama
penyimpanan pada suhu kamar. pada
krim yang disimpan pada suhu kamar
selama 28 hari hanya formula III yang
tidak terjadi pemisahan fase hingga
hari ke-28, sedangkan fromula I
memisah pada hari ke-28 dan formula
II memisah pada hari ke-21.
Pada uji penyimpanan cycling test
tabel 17, juga terjadi pemisahan fase
setelah uji dipercepat pada formula I &
II. berhasil atau tidaknya proses cycling
test tergantung dari kemampuan sediaan
untuk segera pulih dari tekanan air
Kristal. pada proses di suhu rendah (2o-
4oC), terbentuk kristal yang memiliki
struktur lebih teratur dan rapat sehingga
sediaan tidak mengalir. pada proses di
suhu tinggi (40oC), kristal akan mencair
dan air akan kembali menyebar pada
sistem. jika kecepatan pemulihan dari
sediaan lambat maka dapat terjadi
ketidakstabilan (Joshita, 1998).
Pemisahan fase sediaan yang di
uji pada penyimpanan suhu kamar dan
uji dipercepat (cycling test) diatas salah
satu penyebabnya adalah emulgator
yang berperan pentin dalam menentukan
derajat pemisahan fase krim, dalam
penelitian ini digunakan emulgator non
ionik yaitu Tween 80 dan Span 80.
Dalam penelitian Nonci., Nurshakati.,
dan Qoriatul (2016) tentang formulasi
krim yang menggunakan emulgator
nonionik <10% mengalami pemisahan
fase selama penyimapan suhu kamar
dan uji dipercepat (cycling test), hal ini
dipengaruhi oleh penggunaan emulgator
nonionik menyebabkan ketidakstabilan
krim. Menurut Wedana, Leliqia, dan
Arisanti 2010, digunakan pada
kombinasi yang kurang sesuai dapat
menyebabkan terjadina Phase Inversion
Temperature (PIT). Kondisi PIT ini
dapat terjadi selama proses pembuatan
emulsi dan penyimpanan sediaan
emulsi, perubahan fase emulsi akan
mempengaruhi stabilitas fisik sediaan.
emulsi yang stabil dapat dicapai dengan
menggunakan emulgator tunggal atau
kombinasi yang baik dan stabil,
sehingga fase minyak dan fase air pada
sediaan tidak terjadi pemisahan fase. f. Tipe Emulsi Sediaan
Uji tipe emulsi bertujuan untuk
mengetahui apakah krim yang dibuat
yakni tipe minyak dalam air (M/A) tetap
stabil atau mengalami perubahan tipe
emulsi. Pengujian tipe emulsi ditetapkan
dengan cara menambahkan reagen
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
68
methylene blue secara mikroskopik
(Syamsuni 2007). Hasil pengujian tipe
emulsi menunjukkan bahwa sediaan
krim tidak mengalami perubahan tipe
emulsi selama penyimpanan dilihat
dengan warna biru dari indikator
methylene blue yang laru t dalam fase
pendispersi (fase air). Dari pengamatan
yang dilakukan pada ketiga formula
krim pada penyimpanan suhu kamar
selama 28 hari penyimpanan dan uji
dipercepat (cycling test) selama 12 hari
penyimpanan menunjukkan bahwa tidak
ada perubahan tipe emulsi.
Kestabilan tipe emulsi ini sesuai
dengan pernyataan Lachman dkk
(1994) bahwa untuk mendapatkan krim
tipe M/A yang stabil dapat
menggunakan kombinasi emulgator
dari surfaktan lipofilik dan surfaktan
hidrofilik. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) ke dalam
formula dapat bercampur dengan baik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
krim yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.)
memiliki tipe emulsi M/A yang baik
dan stabil selama penyimpanan 28 hari
pada suhu kamar dan penyimpanana
selama 12 hari uji dipercepat (cycling
test). g. Uji Iritasi Kulit
Pada tabel 10 dapat dilihat hasil
pengujian iritasi kulit sediaan krim
yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.). Data
hasil kuesioner tersebut menunjukkan
bahwa
30 orang responden yang menguji
iritasi kulit sediaan krim ini 100% tidak
mengalami gejala kemerahan, rasa
terbakar atau gatal pada kulit setelah
diolesi krim yang mengandung ekstrak
kulit mangium (Acacia mangium W.).
Hal ini menunjukkan bahwa bahan-
bahan dalam formula tidak
menyebabkan iritasi kulit. h. Warna
Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa
data kuesioner dari 30 orang responden
menunjukkan berturut-turut formula
I,II, dan III sebanyak 90,0%, 83,3%,
dan 83,3% menyatakan tidak terjadi
perubahan homogenitas warna dan
sebanyak 10%, 16,6% dan 16,6%
menyatakan terjadi perubahan
homogenitas warna sediaan krim
selama penyimpanan 28 hari.
Perubahan warna tersebut dikarenakan
saat proses penyimpanan yang kurang
terkontrol suhu dan cahayanya
sehingga mempengaruhi kestabilan
warna krim. Menurut Vadas (2000),
faktor yang dapat mempengaruhi
stabilitas warna dan bau sediaan
farmasi antara lain dari proses
pembuatan, proses pengemasan, dan
kondisi lingkungan selama
penyimpanan, dan penanganan, serta
jangka waktu produk antara pembuatan
hingga pemakaian. Namun, meski
sebagian responden menyatakan terjadi
perubahan warna hal tersebut tidak
terlalu signifikan karena responden
yang menyatakan perubahan warna
tidak melebihi 50%. Menurut Istijanto
(2010), kategori data yang berjumlah
lebih dari 50% dalam analisis
persentase sering disebut mayoritas.
Dengan demikian sediaan krim dari
ekstrak kulit mangium (Acacia
mangium W.) telah stabil ditinjau dari
warna selama 28 hari penyimpanan. i. Bau
Pada tabel 12 dapat dilihat bahwa data
kuesioner dari 30 orang responden
menunjukkan berturut- turut formula
I,II, dan III sebanyak 86,7%, 90%, dan
86,7% menyatakan tidak terjadi
perubahan bau dan sebanyak 13,3%,
10%, dan 13,3% menyatakan terjadi
perubahan bau sediaan krim selama
penyimpanan 28 hari. Faktor yang dapat
mempengaruhi stabilitas warna dan bau
sediaan farmasi antara lain dari proses
pembuatan, proses pengemasan, dan
kondisi lingkungan selama
penyimpanan, dan penanganan, dan
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
69
jangka waktu produk antara pembuatan
hingga pemakaian (Vadas, 2000).
Dalam proses penyimpanan dimana
kondisi tutup yang kurang rapat
sehingga menungkinkan terpaparnya
udara dan cahaya yang menyebabkan
terjadinya reaksi oksidasi sehingga
timbulnya bau pada sediaan. Menurut
Budiman (2008), perubahan bau dapat
disebabkan oleh oksigen dari udara
terhadap minyak atau lemak. Selain itu,
efek dari cahaya merupakan katalisator
timbulnya bau, yaitu adanya kombinasi
dari dua faktor tersebut dapat
menyebabkan oksidasi lemak
dipercepat. Namun, meski sebagian
responden menyatakan terjadi
perubahan bau hal tersebut tidak terlalu
signifikan karena responden yang
menyatakan perubahan bau tidak
melebihi 50%. Menurut Istijanto (2010),
kategori data yang berjumlah lebih dari
50% dalam analisis persentase sering
disebut mayoritas. Dengan demikian
sediaan krim dari ekstrak kulit mangium
(Acacia mangium W.) telah stabil
ditinjau dari bau selama 28 hari
penyimpanan.
SARAN
Dari hasil penelitian tentang krim
yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.) dapat
disarankan :
1. Dilakukan pengujian nilai anti
hiperpigmentasi sediaan krim
yang mengandung ekstrak kulit
mangium (Acacia mangium W.).
2. Kepada peneliti selanjutnya
disanrankan menggunakan
formula yang berbeda dan
ditambahkan pendapar pH dalam
formula krim. DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 2007. Farmasetika. Gajah
Mada University Press,
Yogyakarta, Indonesia.
Anief, M., 2010. Ilmu Meracik Oba
Teori dan Praktik Cetakan XV.
Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, Indonesia.
Ashok, P., dan K. Upadhyaya, 2012.
Tanin are Astrigent. Journal of
Pharmacognosy and
Phytochemistry vol.1 no.3.
hal.45-50.
Aulton, M., 2002. Pharmaceutical
Practice of Dosage From Design.
Curchill Livingstone, Edinberd,
London. Hal 181- 186.
Bentley, V., 2005. Siasat Jitu Awet
Muda. Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.
Cayce, K.A., J. McMichael., dan S.R.
Feldman, 2014.
Hiperpigmentation : An
Overview of the Common
Afflictions. Dermatol Nurs 16(15)
: 401- 416.
Chang, T.S., 2009. An updated review
of tyrosinase inhibitor. Dalam:
Sari, R.K., R.Utami., I.Batubara.,
A.Carolina., S.Febrianty, 2015.
Aktivitas Antioksidan dan
Inhibotor Tirosinase Ekstrak
Metanol Mangium (Acacia
mangium). Institut Pertanian
Bogor, Bogor, Indonesia.
Collet D.M., dan M.E. Aulton, 1994.
Pharmaceutical Practice.
Curchill Livingstone, London,
Melbourne, Newyork. Hal 109-
123.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1979. Farmakope
Indonesia Edisi III. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta. Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta. Indonesia.
Dewan Standar Nasional, 1996. SNI
16.4399.1996. Standar Mutu
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
70
Sediaan Tabir Surya.
(www.bsn.go.id, diakses 2
Februari 2018)
Dwikarya, M., 2002. Merawat Kulit
dan Wajah. Kawan Pustaka,
Jakarta Selatan, Indonesia.
Fatmawaty, A., A. Tjendra, R. Riski,
dan M. Nisa, 2012. Formulasi,
Evaluasi Fisik dan Permeasi
Krim Pemutih Asam Kojat
Dengan Variasi Enhancer.
Majalah Farmasi dan
Farmakologi. 16 (3) : 139-
142.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
70
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU SUMBER DAYA
MANUSIA TENTANG DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN VAKSIN DI
PUSKESMAS SEBERANG ILIR
KOTA PALEMBANG
Sarmadi,Tedi, Nur Rachma Waty
Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Farmasi [email protected]
ABSTRAK
Vaksin merupakan produk biologis yang memiliki karakteristik tertentu yang harus disimpan disuhu 2-8°C agar
terjaga mutu dan efektivitasnya. Pengetahuan dan perilaku adalah hal yang mempengaruhi distribusi dan
penyimpanan vaksin dipuskesmas. Bagaimana pengetahuan dan perilaku sdm puskesmas berkaitan tentang
distribusi dan penyimpanan vaksin. Untuk melihat hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan
pengetahuan dan perilaku sdm tentang distribusi dan penyimpanan vaksin di puskesmas seberang ilir kota
palembang. Penelitian ini merupakan survey analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional.
Pengumpulan data dimulai dari membagikan kuisioner kepada sumber daya manusia (sdm) di puskesmas.Data
yang telah diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisis uji statistik Chi Square (Uji Chi-Kuadrat).
Berdasarkan hasil yang di dapatkan dari 29 responden terdapat 23 responden memiliki pengetahuan tinggi dan 6
responden memiliki pengetahuan rendah. Untuk perilaku, didapatkan hasil bahwa dari 29 responden terdapat 21
responden memiliki perilaku baik dan 8 responden memiliki perilaku yang tidak baik. Adanya hubungan antara
pengetahuan dan perilaku sumber daya manusia (sdm) tentang distribusi dan penyimpanan vaksin di puskesmas
seberang ilir kota palembang.
Kata kunci : Vaksin, Depkes RI, Distribusi dan Penyimpanan.
PENDAHULUAN
Vaksin merupakan produk biologis
yang memiliki karakteristik tertentu dan
memerlukan penanganan rantai dingin
secara khusus sejak diproduksi di pabrik
hingga dipakai di unit pelayanan. Rantai
dingin vaksin ialah suatu prosedur yang
digunakan untuk menjaga vaksin pada
suhu dingin yang telah ditetapkan. Maka
jika terjadi penyimpangan dari ketentuan
yang ada dapat mengakibatkan kerusakan
vaksin sehingga menurunkan atau bahkan
menghilangkan potensi dari khasiat
penggunaan vaksin. Sehingga pada
penanganan vaksin itu sendiri perlu
pedoman dalam pengelolaan vaksin secara
benar dan tepat agar tidak terjadi kesalahan
pada saat penanganan vaksin di unit
layanan kesehatan. vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2°-8°C dan
tidak membeku. Sejumlah vaksin seperti
(BCG, campak dan polio) akan rusak bila
terpapar pada suhu panas yang berlebih
namun pada vaksin polio boleh mencair
dan membeku tanpa membahayakan
potensi vaksin. Sedangkan vaksin DPT,
DT,TT dan DPT-HB akan rusak bila
membeku pada temperature 0°C dan untuk
vaksin Hepatitis B akan membeku sekitar -
0,5°C. (Depskes RI, 2004).
Pada penelitian Kamau dan
Mukui,(2005) mencatat bahwa kurangnya
kesadaran oleh distributor dalam
pengendalian penyimpanan dan
penanganan terhadap suhu pada saat
transportasi distribusi produk rantai dingin,
ini dapat memicu dampak besar pada
kualitas produk dari rantai dingin sehingga
tidak efisien dalam mekanisme
pemantauannya. Seperti hal nya produk
rantai dingin vaksin kasus yang terjadi
Pada penelitian Nelson, et.al, (2007)
mereka memantau suhu rantai dingin
vaksin selama pengiriman vaksin DTP-
HB-Hib di Bolivia. Dalam 11 pengiriman
yang dipantau, vaksin terkena suhu di
bawah 0°C dicatat selama 2-50% periode
pemantauan. Pembekuan terjadi hampir di
setiap tingkat sistem distribusi rantai
dingin dan tujuh dari 11 pengiriman
terkena suhu di atas 8°C sehingga ini dapat
memicu dampak buruk bagi kualitas vaksin
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
71
dan membuat vaksin menjadi rusak akibat
pengiriman yang buruk. Dan kemudian
pada penelitian Kalsum,(2011) distribusi
vaksin di Kab. Majene belum optimal
karena kurangnya pengetahuan petugas
puskesmas tentang cara membawa vaksin
yang benar dan SOP distribusi vaksin
belum ada. Kemudian penyimpanan vaksin
di semua puskesmas di Kab. Majene belum
memenuhi standar dan puskesmas
Ulumanda yang mempunyai kondisi
penyimpanan yang paling buruk di antara
semua puskesmas. Pada kasus yang terjadi
pada penelitian diatas perlu kita pahami
dengan seksama bahwa hal yang berkaitan
dengan distribusi dan penyimpanan vaksin
ini sangat diperlukan terhadap penanganan
khusus dikarenakan vaksin itu sendiri
merupakan produk yang sangat sensitif
jika terkena atau terpapar pada kondisi
temperatur panas dan tidak dapat pula
terpapar pada temperatur suhu yang
terlewat beku, ini dapat menyebabkan
vaksin menjadi rusak, maka perlu kita
pahami bahwa dalam proses
pendistribusian maupun saat
penyimpanan vaksin ini harus di tangani
secara benar dan tepat. Jika dalam
penanganan vaksin ini masih saja terjadi
kesalahan baik secara penyimpanan
maupun secara distribusi maka ini dapat
menyebabkan efek terapi atau nilai dari
suatu obat tersebut menjadi menurun dan
tidak tercapai khasiatnya bahkan bisa
mengalami toksisitas terhadap pasien jika
obat tersebut telah sampai di tangan pasien.
. Sehubungan dari semua permasalahan
yang terkait pada distribusi dan
penyimpanan vaksin diatas peneliti merasa
perlu melakukan penelitian tentang
pengetahuan dan perilaku sdm yang ada di
unit layanan kesehatan masyarakat
terutama di puskesmas tentang distribusi
dan penyimpanan vaksin apakah masih
banyak pengetahuan sdm yang masih
kurang mengetahui tentang cara distribusi
dan penyimpanan vaksin yang baik dan
benar sehingga masih saja terjadi
kesalahan dalam menangani vaksin ini
baik secara penyimpanan maupun
distribusi.
METODE
Jenis penelitian ini adalah non-
eksperimental dengan pendekatan analitik
cross sectional. Populasi pada penelitian
ini ialah SDM puskesmas yang bertugas
sebagai Korim atau koordinasi imunisasi
yang mengelola vaksin. Dimana pada
penelitian ini terdapat 29 puskesmas yang
berada di wilayah seberang ilir kota
palembang. Sehingga jumlah sampel dari
penelitian ini sebanyak 29 orang dari
masing- masing puskesmas yang ada di
wilayah seberang ilir kota palembang.
Variabel pada penelitian ini ialah
pengetahuan SDM dan Perilaku SDM
tentang distribusi dan penyimpanan vaksin.
Pengumpulan data dilakukan
dengan cara peneliti langsung bertemu
dengan petugas pengelola vaksin yang ada
di puskesmas kemudian penelitian
menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan
langsung memberikan kuisioner kepada
SDM puskesmas. Alat yang digunakan
untuk pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah kuisioner, alat tulis, lembar
penelitian, dan alat dokumentasi kamera.
HASIL
Hasil dari penelitian ini terdapat
29 orang SDM di puskesmas yang
berpindidikan non farmasi
Karakteristik responden ditampilkan pada
tabel berikut :
Karakteristik Frekuensi Persentase
Pendidikan
Farmasi 0 0%
Non Farmasi 29 100%
Total 29 100%
Pada Karakteristik responden dimana pada
tabel diatas terdapat 0% tenaga Farmasi
pada petugas pengelola vaksin. Dimana
terdapat 100% tenaga non Farmasi yang
bertugas sebagai petugas pengelola vaksin.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
72
Sehingga pada karakteristik responden di
atas terdapat
29 responden yang berstatus sebagai
petugas pengelola vaksin di pendidikan
non farmasi. Dimana pada 29 responden
tersebut terdapat 27 orang responden
berprofesi sebagai bidan dan 2 orang
responden berprofesi sebagai perawat yang
ditugaskan sebagai penanggung jawab
dalam pengelolaan vaksin di puskesmas.
Menurut keputusan menteri kesehatan No.
1611 tahun 2005 dan PMK No. 12 tahun
2017 menyebutkan bahwa tenaga
pengelola vaksin minimal berpendidikan
SLTA dan telah mendapatkan pelatihan
mengenai cold chain pada karakteristik
responden pada penelitian ini bahwa
seluruh responden atau tenaga kesehatan
pada petugas pengelola vaksin (korim) ini
telah memenuhi syarat sesuai dengan
aturan kementerian kesehatan di atas.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat
pendidikan dan pengalaman. Namun di
dalam sebuah puskesmas tentunya terdapat
SDM yang berbeda- beda, maka
pengetahuan mereka pun berbeda-beda.
Dari hasil penelitian ini pengetahuan SDM
terlihat dari tabel dibawah ini :
Bahwa Perilaku SDM Puskesmas juga
berkategorikan baik walaupun Masih
terdapat petugas pengelola vaksin yang
berkategori perilaku yang tidak baik, hal
tersebut terlihat dari jawaban responden
yang memilih opsi yang salah. Dimana
terlihat juga pada tabel diatas dimana
Bahwa pengetahuan SDM di Puskesmas
sudah lebih banyak berpengetahuan tinggi
tentang distribusi dan penyimpanan vaksin,
hal ini juga terlihat pada tabel diatas
dimana terdapat 23 orang responden
mempunyai pengetahuan tinggi dengan
persentase 79,31% dan 6 orang responden
mempunyai pengetahuan rendah dengan
persentase 20,69%.
Pengetahuan yang baik diharapkan
akan mendukung perilaku yang baik juga,
namun oleh karena sesuatu yang lain
terkadang hal tersebut tidak dapat tercapai
maksimal, maka dalam hal ini peneliti
ingin mengetahui bagaimana perilaku
petugas pengelola vaksin di puskesmas
terkait dengan distribusi dan penyimpanan
vaksin, hasil selengkapnya akan disajikan
dalam tabel berikut : terdapat 21 orang
responden yang berperilaku baik dengan
persentase 72,41% dan 8 orang yang
berperilaku tidak baik dengan persentase
27,59%.
Dari hasil persentase penelitian ini
pada persentase pengetahuan dan perilaku
SDM puskesmas ( Korim) maka akan di
hubungkan lah pengetahuan dan perilaku
SDM tentang distribusi dan penyimpanan
vaksin di puskesmas seberang ilir kota
palembang dengan hasil di bawah ini :
Tabel. 4 Hubungan Pengetahuan dan
Perilaku Sumber Daya Manusia (SDM)
pendidikan Non Farmasi.
pengetahuan
Perilaku
Total
Baik Tidak baik
n % n % n %
Tinggi 19 82,6% 4 17,4% 23 72,4%
Rendah 2 33,3% 4 66,7% 6 27,6%
Total 21 100 8 100 29 100
Perilaku
SDM
Frekuensi Persentase
Baik 21 72,41%
Tidak Baik 8 27,59%
Total 29 100%
Pengetahuan
SDM
Frekuensi Persentase
Tinggi 23 79.31%
Rendah 6 20,69%
Total 29 100%
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
73
p-value 0,033 OR 9,500
95% CI 1,272-70,96
Dari hasil statistik cross tab
didapatkan P value = 0,033 (alpha = 0,05),
dengan demikian P value lebih kecil dari
pada alpha sehingga HO ditolak, dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan
pengetahuan dan perilaku sumber daya
manusia (sdm) tentang distribusi dan
penyimpanan vaksin di puskesmas
seberang ilir kota palembang.
PEMBAHASAN
Pengetahuan SDM puskesmas
Pemerintah telah mengatur tentang
distribusi dan penyimpanan penyimpanan
vaksin yang sesuai dengan standar dalam
PMK no 12 tahun 2017 dan di dalam
pedoman pengelolaan vaksin telah di atur
tata cara distribusi dan penyimpanan
vaksin yang benar dan sesuai dengan
standar operasional prosedur. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan distribusi
maupun penyimpanan vaksin terdapat
dalam aturan tersebut dalam hal ini pun
kenyataannya pada petugas pengelola
vaksin (Korim) yang ada di puskesmas
mempunyai persentase sebesar 79,31%
yang dimana termasuk dalam kategori
tinggi. Walaupun masih terdapat petugas
pengelola vaksin (korim) yang berkategori
rendah dengan persentase 20,69% hal ini
tidak mempengaruhi pengetahuan mereka
menjadi rendah di karenakan pada
persentase pengetahuan sdm pengelola
vaksin (korim) yang berkategori tinggi
sebesar 79,31% persentase ini masih
berkategori pengetahuan tinggi karena
menurut Modifikasi Budiman dan Riyanto,
2013 mereka menyatakan bahwa tingkat
pengetahuan dengan kategori tinggi
apabila nilainya ≥ 70% dan pada
persentase kategori yang berpengetahuan
tinggi pada penelitian ini sebesar 79,31%
sehingga petugas pengelola vaksin yang
ada di puskesmas seberang ilir kota
palembang mempunyai tingkat
pengetahuan yang tinggi.
Perilaku SDM puskesmas
Petugas pengelola vaksin (Korim)
yang mempunyai tanggung jawab dalam
pengelolaan vaksin di Puskesmas (PMK
No.12 tahun 2017), seharusnya telah
menjalankan tugasnya sesuai dengan
standar operasional prosedur dalam
pengelolaan vaksin. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa persentase responden
Puskesmas sebagian besar telah melakukan
tugasnya sesuai dengan standar operasional
prosedur walaupun masih ada beberapa
petugas pengelola vaksin yang masih saja
salah dalam melakukan tugasnya sesuai
dengan standar operasional prosedur, Pada
kesalahan yang terjadi dalam perilaku
petugas pengelola vaksin (Korim) dalam
penanganan atau pengelolaan vaksin yang
benar dari persentase yang didapat yang
mempunyai tingkat perilaku yang tidak
baik sebesar 27,59% namun tidak menutup
kemungkinan bahwa perilaku petugas
pengelola vaksin ini mempunyai tingkat
perilaku yang baik pula dimana persentase
pada tingkat perilaku petugas pengelola
vaksin (Korim) ini mempunyai persentase
sebesar 72,41 %. Dengan demikian
walaupun terdapat 8 orang responden yang
menjawab salah dalam pertanyaan
perilaku, ini tidak mempengaruhi bahwa
kategori perilaku petugas pengelola vaksin
menjadi tidak baik. Karena terlihat dari
hasil penelitian ini bahwa terdapat 21 orang
responden yang mampu menjawab
pertanyaan perilaku dengan jawaban yang
benar dengan persentase sebesar 72,41%
yang dimana persentase ini telah melebihi
70% tingkat perilaku yang berkategori
baik. Hubungan pengetahuan dan perilaku
SDM puskesmas
Dari hasil statistik cross tab di
dapatkan P value = 0,033 (alpha = 0,05),
dengan demikian P value lebih kecil dari
pada alpha sehingga HO ditolak, dapat di
simpulkan bahwa ada hubungan
pengetahuan dan perilaku sumber daya
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
74
manusia (sdm) tentang distribusi dan
penyimpanan vaksin di puskesmas
seberang ilir kota palembang. Nilai Odds
Ratio (OR) = 9,500 (95% Cl = 1,272-
70,964) menunjukkan bahwa pengetahuan
mempunyai 9,5 kali pengaruh terhadap
perilaku sumber daya manusia (sdm) dan
dari 95% Cl mencakup angka 9 maka
perilaku juga menentukan faktor yang
mempengaruhi pengetahuan sumber daya
manusia (sdm) puskesmas. Bahwa perilaku
yang baik dapat mempengaruhi faktor yang
menyebabkan pengetahuan sumber daya
manusia (sdm) puskesmas. Menurut
Notoadmodjo (2011), pengetahuan dan
kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behavior). Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasarkan oleh pengetahuan.
bahwa pada penelitian ini apabila
pengetahuan petugas pengelola vaksin
dikategorikan tinggi dan perilaku petugas
pengelola vaksin juga berkategori baik
maka pengetahuan dapat membentuk
tindakan sesorang dimana perilaku yang
didasarkan oleh pengetahuan yang tinggi
maka akan menghasilkan perilaku yang
baik pula. Maka hasil dari penelitian ini
petugas pengelola vaksin yang ada di
puskesmas seberang ilir kota
palembang telah mempunyai tingkat
pengetahuan yang tinggi dan perilaku yang
baik dalam mengelola vaksin baik secara
distribusi maupun penyimpanan. Sehingga
pada uji chi square pun terlihat bahwa ada
hubungan pengetahuan dan perilaku
sumber daya manusia (sdm) tentang
distribusi dan penyimpanan vaksin di
puskesmas seberang ilir kota palembang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan oleh peneliti pada 29
Puskesmas di wilayah seberang ilir kota
palembang dan terdapat 29 petugas
pengeola vaksin dari masing-masing
puskesmas di dapatkan beberapa
kesimpulan bahwa pada pengetahuan
sumber daya manusia (sdm) tentang
distribusi dan penyimpanan vaksin di
puskesmas seberang ilir kota palembang
secara umum berkategori tinggi dan pada
Perilaku sumber daya manusia (sdm)
tentang distribusi dan penyimpanan vaksin
di puskesmas seberang ilir kota palembang
secara umum berkategori baik. Kemudian
dari hasil pengetahuan dan perilaku SDM
petugas pengelola vaksin yang ada
dipuskesmas wilayah seberang ilir secara
umum telah berkategori tinggi dan baik
sehingga pada uji cross tab dengan nilai P-
value = 0,033 dan nilai OR nya adalah
9,500 maka terdapat (ada) hubungan
pengetahuan dan perilaku sumber daya
manusia (sdm) tentang distribusi dan
penyimpanan vaksin di puskesmas
seberang ilir kota palembang.
Saran
walaupun kategori pengetahuan
dan perilaku SDM ini terlah terbilang
tinggi dan juga baik sebaiknya SDM
puskesmas yang bertugas sebagai Korim
juga dapat meningkatkan atau
mengoptimalkan lagi terhadap kepatuhan
dalam hal penyimpanan vaksin di
puskesmas dan juga pada distribusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Riyanto, A. 2013. Kapita Selekta
Kuesioner Pengetahuan dan Sikap
Dalam Penelitian Kesehatan.
Salemba Medika, Jakarta,
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Keputuasan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1611 Tahun 2005Tentang
PenyelenggaraanImunisasi.
DepartemenKesehatan RI. 2005..
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
75
Departemen Kesehatan R.I .Pedoman
Pengelolaan Vaksin . Jakarta 2009.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Imunisasi.
Departemen Kesehatan RI.
2014;(1):9-10.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2017 tentang
penyelenggaraan Imunisasi.
Departemen Kesehatan RI 2018;(1)
14-16.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 75 Tahun 2014 tentang
pusat kesehatan masyarakat
Departemen Kesehatan RI 2015.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 74 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas. Departemen Kesehatan
RI 2017; 11-25
Indonesian-publichealth.com. 2017.
Standar penyimpanan vaksin
menurut Depkes RI dan WHO.
Indonesia publichealth.com, 22
juli 2017 http://www.indonesian
publichealth.com/standar
penyimpanan-vaksin. Diakses 25
januari 2018
Kalsum, U., 2011. Evaluasi Distribusi dan
Penyimpanan Vaksin di Dinas
Kesehatan Kabupaten Majene
Sulawesi Barat. Yogyakarta :
fakultas ilmu kesehatan masyarakat
Universitas Gajah Mada.
http://etd.repository.ugm.ac.id.
Diakses 27 januari 2018
Kamau, T, M, and Mukui , J. 2005. A
Strategic Approach to Reforming
the Pharmaceutical Sector in
Kenya. Report Prepared for the
Ministry of Health. Nairobi:
Ministry of Health.
Lestari, T. 2015. Kumpulan Teori Untuk
Kajian Pustaka Penelitian
Kesehatan. Nuha Medika,
Yogyakarta.
Nelson Cl, Froes P, Dyck AM, Chavarría J,
Boda E, Coca A, Crespo G, Lima
H., 2007.Monitoring temperatures
in the vaccine cold chain in Bolivia.
25 (3).
Notoatmodjo S, 2007 Promosi Kesehatan
dan Ilmu Perilaku, Rhineka
Cipta,Jakarta, Indonesia.
Notoatmodjo S,2010. Metodologi
Penelitian Bidang Kesehatan,
Rhineka Cipta, Jakarta, Indonesia.
Notoatmodjo S,2011. Kesehatan
Masyarakat Ilmu dan Seni, Rhineka
Cipta, Jakarta, Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan
Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,
Jakarta.
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
76
PENGARUH SUHU PENYIMPANAN KOMBINASI AMOKSISILIN DAN
ASAM KLAVULANAT DALAM SEDIAAN DRY SIRUP TERHADAP
DAYA HAMBAT BAKTERI
Staphylococcus aureus
Muhamad Taswin,Bertha Tiara Handayani
Prodi farmasi, Ploktekkes Kemenkes Palembang E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sediaan dry sirup kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan
penyakit infeksi seperti pneumonia. Sediaan dry sirup kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat merupakan
sediaan antibiotik yang perlu disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu penyimpanan dan stabiltas
zat aktif didalam sediaan sangatlah penting karena dengan adanya penambahan air didalam sediaan suspensi
kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat akan mempengaruhi degradasi kimiawi, fisik dan mikrobiologi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur adanya pengaruh suhu penyimpanan kombinasi amoksisilin dan asam
klavulanat dalam sediaan dry sirup yang telah disuspensikan terhadap daya hambat bakteri Staphylococcus
aureus. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental karena adanya perlakuan terhadap sediaan antibiotik
kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan terhadap aktivitas
antibakteri. Berdasarkan hasil pengukuran diameter daya hambat pada antibiotik suspensi kombinasi amoksisilin
dan asam klavulanat pada penyimpanan hari ke-7 semua sampel suspensi dry sirup mengalami penurunan.
Penurunan diameter zona hambat tertinggi terjadi pada sampel suspensi dry sirup generik yang disimpan pada
suhu kamar. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh suhu penyimpanan kombinasi
amoksisilin dan asam klavulanat dalam sediaan dry sirup terhadap daya hambat bakteri Staphylococcus aureus
dengan adanya penurunan daya hambat di akhir penyimpanan.
Dry sirup. kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat, daya hambat antibakteri, dan Staphylococcus
aureus.
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di
Indonesia. Peranan dalam menentukan
tingkat kesehatan masyarakat cukup besar
karena sampai saat ini penyakit infeksi
masih termasuk ke dalam salah satu
penyebab tingginya angka kesakitan dan
angka kematian di Indonesia. Hasil
pemetaan penyakit menular yang dilakukan
di Indonesia, dinyatakan bahwa terjadi
kecenderungan peningkatan periode
prevalensi pneumonia semua umur dari
tahun 2007 hingga tahun 2013 (Riskesdas,
2013).
Pneumonia merupakan penyebab
dari 15% kematian balita, yaitu
diperkirakan sebanyak 922.000 balita di
tahun 2015. Pneumonia adalah infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti virus, jamur dan
bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu
menggigil, demam, sakit kepala, batuk,
mengeluarkan dahak, dan sesak napas.
Pneumonia yang disebabkan
oleh Staphylococcus
aureus pilihan obat utamanya yaitu
kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat
(Tjay dan Rahardja, 2015). Amoksisilin
merupakan analog dari ampisilin yang
dianggap sebagai antibiotik spectrum luas
karena antibiotik amoksisilin dapat
mengobati infeksi yang disebabkan oleh
berbagai bakteri baik gram positif maupun
negatif. Beberapa penyakit umum yang
sering diobati dengan amoksisilin meliputi;
radang tenggorokan, infeksi telinga,
sinusitis, bakteri pneumonia, bronkitis,
radang amandel, infeksi saluran kemih, dan
penyakit lyme (Frynkewicz, 2013).
Dalam mengurangi terjadinya resistensi
antibiotik amoksisilin, amoksisilin
dikombinasikan dengan asam klavulanat.
Amoksisilin dan asam klavulanat
merupakan kombinasi dari β-laktam
dengan inhibitor β-laktamase yang
mengembalikan potensi amoksisilin
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
77
melawan bakteri yang memproduksi β-
laktamase seperti bakteri Staphylococcus
aureus, E.Coli, K. Pneumonia,
Enterobacter H (Alburyhi, 2013).
Mengetahui kadar antibiotik pada suatu
sediaan termasuk dalam faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan pada
penggunaan antibiotik. Sangat diperlukan
untuk menetapkan jenis dan dosis
antibiotik secara tepat. Agar dapat
menunjukkan aktivitasnya sebagai
bakterisida ataupun bakteriostatik.
Semakin tinggi kadar antibiotik, semakin
banyak tempat ikatannya pada sel bakteri
(PERMENKES, 2011). Sediaan
amoksisilin yang beredar berupa tablet dan
suspensi. Pada sediaan suspensi yang
mengandung air dapat memungkinkan
terjadinya hidrolisis. Hal ini menyebabkan
amoksisilin dibuat dalam bentuk sediaan
sirup kering yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas zat aktif pada masa penyimpanan.
Perubahan stabilitas zat aktif dengan
adanya penurunan kadar dapat
memproyeksikan kepada resistensi
antibiotik (Talogo, 2014). Temperatur
sangat mempengaruhi degradasi kimiawi,
fisik, dan mikrobiologi. Keterangan bahwa
sediaan disimpan dilemari es atau suhu
kamar pada etiket menunjukkan bahwa
temperatur penyimpanan sediaan juga
mempengaruhi stabilitas zat aktif. Suspensi
amoksisilin – asam klavulanat sangat stabil
pada suhu dibawah 10˚C dalam jangka
waktu 7 hari. Dan kedua zat aktif ini tidak
stabil pada suhu lebih dari 30˚C (Owusu,
2011).
Berdasarkan penelititan Talogo (2014),
tentang pengaruh waktu dan temperatur
penyimpanan terhadap tingkat degradasi
kadar amoksisilin dalam sediaan suspensi
amoksisilin – asam klavulanat
dihasikankan bahwa persentase kadar
amoksisilin yang disimpan di suhu kamar
pada hari ke-0 mencapai 95,42% dan pada
hari ke-7 mencapai 41,43%. Serta
persentase kadar amoksisilin yang
disimpan di suhu dingin pada hari ke-0
mencapai 99,72% dan pada hari ke-7
mencapai 88,85%. Berdasarkan penelitian
Talogo juga disarankan bahwa
diperlukannya pengujian antimikroba
terhadap suspensi amoksisilin – asam
klavulanat. Sehubungan dengan latar
tersebut maka peneliti telah melakukan
penelitian “pengaruh suhu penyimpanan
kombinasi amoksisilin dan asam
klavulanat dalam sediaan dry sirup
terhadap daya hambat bakteri staphyloccus
aureus ”. Suhu terbagi menjadi dua yaitu
suhu dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-
30˚C). Rentang suhu yang dipilih peneliti
dibedakan dengan penelitian sebelumnya
karena peneliti mengikuti acuan Farmakope
Indonesia Edisi ke- IV. Selanjutnya
disimpan selama tujuh hari dan dilakukan
pengukuran daya hambat bakteri pada hari
ke 0, 3, 5, dan 7.
METODE PENELITIAN
Cara Pengumpulan Data
1. Persiapan Sampel
Sampel yang telah dibeli kemudian di
suspensikan dengan aquadest. Setelah
sampel disuspensikan, sampel terbagi
menjadi dua cara persiapan yaitu sampel
yang belum mengalami penyimpanan (hari
ke-0) dan sampel yang telah mengalami
penyimpanan (hari ke-3, ke-5, dan ke-7).
Saat akan dilakukan pengujian daya
hambat, ambil sampel sebanyak 5ml
kemudian dimasukkan ke dalam vial yang
sudah disterilkan dan sudah diberi
penandaan mengenai suhu dan hari
sehingga sampel siap untuk diuji di Balai
Besar Laboratorium Kesehatan Kota
Palembang.
2. Prosedur Kerja
Sediaan dry sirup yang mengandung
antibiotik kombinasi amoksisilin dan asam
klavulanat digunakan sebagai sampel.
Sediaan dry sirup dibeli dengan merek
generik dan merek dagang dalam satu
apotek. Kemudian dry sirup di suspensikan
terlebih dahulu dengan aquadest. Suspensi
tersebut disimpan menjadi dua
kelompok suhu yaitu suhu dingin (2-8˚C)
dan suhu kamar (15-30˚C). Pengukuran
diameter zona hambat dimulai hari ke-0
sebelum dilakukan penyimpanan. Setelah
itu dilakukan penyimpanan selama tujuh
hari. Selama penyimpanan obat, pada hari
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
78
ke 3, hari ke 5, dan hari ke 7 dilakukan
pengukuran diameter zona hambat.
3. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang akan disterilkan terlbih
dahulu dicuci bersih dan dikeringkan.
Untuk alat berbahan kaca atau gelas seperti
tabung reaksi, gelas ukur dan pipet tetes
disterilkan dalam Dry Heat Oven pada
suhu 160˚C selama 2 jam. Alat logam
seperti jarum ose dan pinset di flambeer
dengan menggunakan lampu spiritus.
Aquadest, medium, dan kertas cakram
disterilkan dengan autoclave pada suhu
121˚C selama 15 menit sebelum
digunakan.
4. Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan
Antibiotik Dry sirup
a. Penyiapan cakram
Cakram disediakan dengan cara membeli
kertas cakram yang siap pakai, kemudian
kertas cakram disterilkan dahulu dalam
autoclave pada suhu 121˚C selama 2 jam
sebelum digunakan.
b. Pembuatan Media Hinton Agar (MHA)
Menurut Snyder dan Atlas (2006),
pembuatan Media Mueller Hinton Agar
adalah sebagai berikut : Bahan-bahan
media Mueller Hinton Agar (MHA) yang
terdiri dari beef infusion 300 gr, bacio
amino acid (kasein hidrolisat) 17,5 gr,
starch 1,5 gr, dan bacio agar 17 gr
dilarutkan dalam 1 liter aquadest. Lalu
ukur pH sampai 7,4. Kemudian disterilkan
dalam autoclave selama 15 menit pada
suhu 121˚C. Masukkan ke dalam cawan
petri steril dengan ketebalan 3-2mm.
Kemudian sterilkan kembali dalam
autoclave.
c. Pembuatan suspensi
Staphylococcus aureus
Ambil media ± 150 ml dari Media Mueller
Hinton Agar (MHA) yang telah dibuat dan
dipanaskan pada suhu 37-40˚C, kemudian
di tambahkan biakan murni bakteri
sebanya 3-5 koloni ke dalam media.
d. Pengukuran Diameter Zona Hambat
Media Mueller Hinton Agar (MHA)
dituangkan ke dalam cawan petri masing-
masing 10 ml dan biarkan hingga memadat
sebagai lapisan dasar. Kemudian ambil
suspensi bakteri Staphylococcus aureus,
torehkan pada permukaan media Mueller
Hinton Agar (MHA) secara merata dan
biarkan mengering. Masing-masing kertas
cakram dicelupkan ke dalam masing-
masing sediaan antibiotik kombinasi
amoksisilin dan asam klavulanat yang telah
disuspensikan. Masing- masing cakram
dimasukkan ke media yang ada bakterinya.
Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37ºC. Setelah diinkubasi lakukan
pengamatan dan pengukuran terhadap zona
hambat dengan menggunakan jangka
sorong.
5. Cara pengolahan data dan analisis
data
Data yang diolah pada penelitian ini adalah
hasil pengukuran diameter zona hambat
sediaan dry sirup antibiotik kombinasi
amoksisilin dan asam klavulanat yang
telah disuspensikan yang dipengaruhi suhu
penyimpanan dengan membandingkan
efektivitas sebelum dan sesudah dilakukan
penyimpanan serta membandingkan
efektifitas sediaan dry sirup dengan merek
dagang yang berbeda. Percobaan ini
dilakukan dengan 3 kali ulangan dan data
tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Data
yang akan diperoleh dari hasil penelitian
diuji independent sampel t-test
menggunakan aplikasi analisis statistik,
kemudian dilanjutkan perhitungan AUC
(Area Under Curve).
HASIL
Hasil penelitian tentang pengaruh suhu
penyimpanan kombinasi amoksisilin dan
asam klavulanat yang pertama yaitu hasil
data sampel dari kemasan obat sebagai
berikut:
1. Data sampel dari kemasan obat
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
79
Hasil penelitian diameter zona hambat
antibiotik amoksisilin dan asam klavulanat
sediaan dry sirup yang telah di suspensikan
sebelum dan sesudah disimpan selama 7
hari pada suhu dingin dan suhu kamar.
Tabel 2. Hasil pengukuran diameter zona
hambat
Kemudian hasil uji normalitas data
perbedaan suhu dingin dengan suhu kamar
dry sirup generik, perbedaan suhu dingin
dan suhu kamar dry sirup merek dagang
dan perbedaan daya hambat antibakteri
antara dry sirup generik dengan dry sirup
merek dagang dilakukan untuk
menentukan apakah data yang diperoleh
berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas terhadap suhu dingin dan suhu
kamar dry sirup generik maupun dry sirup
merek dagang,dan uji normalitas
perbedaan daya hambat antibakteri dry
sirup generik dengan merek dagang
tersebut dilihat pada kolom Shapiro- Wilk
dengan menggunakan program SPSS 23
dengan taraf signifikansi 0,05. Setelah
dilakukan pengolahan data, tampilan
output dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4
dan tabel 5.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas
Perbandingan Suhu Dingin (2-8˚C) dan
Suhu Kamar (15-30˚C) Dry Sirup Generik
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas
Perbandingan Suhu Dingin (2-8˚C) dan
Suhu Kamar (15-30˚C) Dry Sirup Merek
Dagang
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas
Perbandingan Dry Sirup Generik dengan
Dry Sirup Merek Dagang
Setelah dilakukan uji normalitas pada
penelitian ini maka dilanjutkan untuk
melakukan uji perbedaan. Uji perbedaan
pada penelitian ini menggunakan teknik
statistik Independent-Sample T Test
dengan bantuan SPSS 23. Hasil uji
perbedaan data penelitian
ditampilkan sebagai berikut.
Tabel 6. Hasil Uji Perbedaan Independent
Sampel T Test Perbandingan Suhu Dingin
(2-8˚C) dan Suhu Kamar (15-30˚C) Dry
Sirup Generik
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
80
Tabel 7. Hasil Uji Perbedaan Independent
Sampel T Test Perbandingan Suhu Dingin
(2-8˚C) dan Suhu Kamar (15-30˚C) Dry
Sirup Merek Dagang
Tabel 8. Hasil Uji Perbedaan Independent
Sampel T Test Perbandingan Dry Sirup
Generik denga Dry Sirup Merek Dagang
Kemudian hasil persentase daya hambat
pada hari ke-0, hari ke-3, hari ke-5 dan
hari ke-7 ditampilkan dalam bentuk
persentase daya hambat seperti tabel
berikut ini.
Tabel 9. Persentase daya hambat pada suhu
dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-30˚C)
pada dry sirup generik dan dry sirup merek
dagang
Kemudian kurva hubungan persentase daya
hambat terhadap waktu (hari) yaitu sebagai
berikut:
Gambar 1. Profil kurva hubungan
persentase daya hambat terhadap waktu
(hari) pada dry sirup generik suhu dingin
(2-8˚C)
Gambar 2. Profil kurva hubungan
persentase daya hambat terhadap waktu
(hari) pada dry sirup generik suhu kamar
(15-30˚C)
Gambar 3. Profil kurva hubungan
persentase daya hambat terhadap waktu
(hari) pada dry sirup merek dagang suhu
dingin (2-8˚C)
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
81
Gambar 4. Profil kurva hubungan
persentase daya hambat terhadap waktu
(hari) pada dry sirup merek dagang suhu
kamar (15-30˚C)
Berdasarkan data persentase daya hambat,
dihitung luas area dibawah kurva (AUC)
dari kurva hubungan persentase daya
hambat antibakteri terhadap waktu (hari)
didapatkan hasil seerti tabel berikut.
Tabel 10. Hasil perhitungan Area Under
the Curve (AUC)
PEMBAHASAN
1. Uji Aktivitas Antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus
Penelitian ini menggunakan sampel antibiotik kombinasi amoksisilin dan
asam klavulanat sediaan dry sirup generik dan
merek dagang yang sudah ditentukan dan
dibeli dalam satu apotek kota Palembang. Data
kemasan yang diperoleh dari sampel adalah
komposisi, no registrasi BPOM, dan exp date.
Hasil dari penelitian tentang uji aktivitas
antibiotik dalam sediaan dry srup yang telah
disuspensikan terlebih dahulu terhadap
staphylococcus aureus yang dipengaruhi suhu
penyimpan di Balai Besar Laboratorium
Kesehatan Palembang menunjukkan hasil
bahwa sampel tersebut mempunyai daya
hambat terhadap bakteri staphylococcus
aureus dan menunjukkan penurunan daya
hambat karena adanya pengaruh suhu
penyimpanan selama 7 hari.
Kekuatan daya hambat terhadap bakteri
diukur dengan diameter zona hambat
antibakteri yang ditunjukkan dengan besar
kecilnya daerah jernih disekitar cakram
disk, semakin besar diameter daerah jernih
disekitar cakram maka semakin besar daya
hambat antibakteri dan begitu pula
sebaliknya. Pada saat persiapan sampel
sebelum dilakukan penelitian daya hambat
antibakteri, sampel dilakukan pengocokan
agar zat aktif sampel terdispersi kembali
sehingga suspensi homogen dan
konsentrasi sampel pada cakram merata.
Berdasarkan data yang didapat sampel
suspensi dry sirup generik disimpan di
suhu dingin (2- 8˚C) sebelum dilakukukan
penyimpanan atau hari ke-0 dapat
menghambat pertumbuhan bakteri yaitu
sebesar 48,33 dan termasuk kategori sangat
kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri
sebesar 48,33mm, hari ke-5 daya hambat
bakteri sebesar 45,00mm dan hari ke-7
daya hambat bakteri sebesar 44,67mm.
Sedangkan sampel suspensi dry sirup
merek dagang disimpan di suhu dingin (2-
8˚C) sebelum dilakukukan penyimpanan
atau hari ke-0 dapat menghambat
pertumbuhan bakteri yaitu sebesar
50,67mm dan termasuk kategori sangat
kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri
sebesar 48,67mm, pada hari ke-5 daya
hambat bakteri sebesar 45,00mm dan pada
hari ke-7 daya hambat bakteri sebesar
45,00mm. Sehingga suspensi dry sirup
generik maupun dry sirup merek dagang
yang disimpan di suhu dingin
menunjukkan bahwa daya hambat terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus termasuk kategori sangat kuat.
Untuk sampel suspensi dry sirup generik
disimpan di suhu kamar (27- 30˚C)
sebelum dilakukukan penyimpanan atau
hari ke-0 dapat menghambat pertumbuhan
bakteri sebesar 49,33mm dan termasuk
kategori sangat kuat. Pada hari ke-3 daya
hambat bakteri sebesar 46,33mm, pada hari
ke-5 daya hambat bakteri sebesar
42,67mm dan pada hari ke-7 daya hambat
bakteri sebesar 41,67mm. Sedangkan
untuk sampel suspensi merek dagang
disimpan di suhu kamar (27-30˚C) sebelum
dilakukukan penyimpanan hari ke-0 dapat
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
82
menghambat pertumbuhan bakteri sebesar
49,67mm dan termasuk kategori sangat
kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri
sebesar 47,00mm, pada hari ke-5 daya
hambat bakteri sebesar 44,00mm dan pada
hari ke-7 daya hambat bakteri sebesar
43,67mm. Sehingga suspensi dry sirup
generik maupun dry sirup merek dagang
yang disimpan di suhu kamar menunjukkan
bahwa daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus termasuk
kategori sangat kuat. Dalam hal ini daya
hambat pertumbuhan bakteri masih
dikategorikan sangat kuat dikarenakan
adanya kombinasi antara amoksisilin
dengan asam klavulanat yang bekerja
sinergis sehingga amoksisilin menjadi 50
kali lebih kuat terhadap bakteri
Staphyloccus aureus (Tjay dan Rahardja,
2015). Asam klavulanat sendiri
berkhasiat untuk menghambat
enzim β-laktamase yang diproduksi oleh
bakteri yang memproduksi β-laktamase
seperti bakteri Staphyloccus aureus
(Alburyhi, 2013).
2. Uji Statistik
Kemudian untuk mengetahui adanya
perbedaan daya hambat antibakteri
amoksisilin dan asam klavulanat dalam
sediaan dry sirup yang disimpan pada suhu
dingin (2- 8˚C) dengan suhu kamar (27-
30˚C) baik dry sirup generik maupun dry
sirup merek dagang dan untuk mengetahui
perbedaan daya hambat antara dry sirup
generik dengan merek dagang maka
dilakukan uji perbedaan menggunakan
statistik, sebelum dilakukan uji perbedaan
maka hal penting yang harus dilakukan
yaitu melakukan uji normalitas dahulu
sebagai prasyarat untuk menetukan
statistika yang akan digunakan dalam uji
perbedaan. Uji normalitas dilakukan untuk
mengetahui apakah distribusi sebuah data
yang didapatkan berdistribusi normal atau
tidak normal. Apabila sebaran data normal
maka teknik analisis yang digunakan yaitu
Independent- Sampel T Test. Uji
normalitas tersebut dilakukan dengan uji
Shapiro-Wilk dengan menggunakan
program SPSS dengan taraf signifikansi
0,05.
Berdasarkan hasil output uji normalitas
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
untuk perbedaan daya hambat
penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan
suhu kamar (27- 30˚C) dry sirup generik
nilai signifikansi pada kolom signifikansi
yaitu 0,338 (P>0,05) yang artinya data
perbedaan daya hambat penyimpanan suhu
dingin dengan suhu kamar dry sirup
generik berdistribusi normal. Untuk
perbedaan daya hambat
penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan
suhu kamar (27-30˚C) dry sirup merek
dagang nilai signifikansi pada kolom
signifikansi yaitu 0,122 (P>0,05) yang
artinya data perbedaan daya hambat
penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan
suhu kamar (15-30˚C) dry sirup merek
dagang berdistribusi normal. Untuk
perbedaan daya hambat dry sirup generik
dengan dry sirup merek dagang nilai
signifikansi pada kolom signifikansi yaitu
0,069 (P>0,05) yang artinya data
perbedaan daya hambat dry sirup generik
dengan dry sirup merek dagang
berdistribusi normal.
Setelah dilakukan uji normalitas pada
penelitian ini maka dilanjutkan untuk
melakukan uji perbedaan. Uji perbedaan
pada penelitian ini menggunakan teknik
statistik Independent-Sample T Test.
Berdasarkan hasil uji perbedaan daya
hambat suhu dingin (2-8˚C) dengan suhu
kamar (27-30˚C) dry sirup generik
diketahui pada kolom Leven’s Test Equality
of Variances memiliki nilai sig. 0,023 (P <
0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kedua varians adalah tidak sama, maka
penggunaan varians untuk
membandingkan rata-rata populasi (t- test
for Equality of Means) dalam pengujian t-
test harus dengan dasar equal varians not
assumed. Pada equal varians not assumed
diperoleh nilai sig.(2-tailed) 0,167. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa P > 0,05
yang artinya tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara daya hambat dry
sirup generik yang disimpan pada suhu
dingin dengan suhu kamar.
Untuk hasil uji perbedaan daya hambat
suhu dingin (2-8˚C) dengan suhu kamar
(27-30˚C) dry sirup merek dagang
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
83
diketahui pada kolom Leven’s Test Equality
of Variances memiliki nilai sig. 0,874 (P >
0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kedua varians adalah sama, maka
penggunaan varians untuk
membandingkan rata- rata populasi (t-test
for Equality of Means) dalam pengujian t-
test harus dengan dasar equal varians
assumed.
Pada equal varians assumed diperoleh nilai
sig.(2-tailed) 0,256. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa P > 0,05 yang artinya
tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara daya hambat dry sirup generik yang
disimpan pada suhu dingin dengan suhu
kamar.
Dan untuk perbedaan daya hambat antara
dry sirup generik dengan dry sirup merek
dagang diketahui pada kolom Leven’s Test
Equality of Variances memiliki nilai sig.
0,790 (P > 0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa kedua varians adalah
sama, maka penggunaan varians untuk
membandingkan rata- rata populasi (t-test
for Equality of Means) dalam pengujian t-
test harus dengan dasar equal varians
assumed. Pada equal varians assumed
diperoleh nilai sig.(2-tailed) 0,265. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa P > 0,05
yang artinya tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara daya hambat dry sirup
generik dengan dry sirup merek dagang.
Menurut hasil uji statiatik berdasarkan
penelitian Hidayanti (2016) tentang
pengaruh kemasan terhadap aktivitas
antibakteri suspensi eritromisin setelah
penyinaran dengan sinar matahari langsung
bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara larutan baku eritromisin
yang digunakan sebagai kontrol positif
dengan larutan uji eritromisin tanpa
mendapatkan perlakuan penyinaran dengan
sinar matahari langsung, sehingga dapat
disimpulkan bahwa suspensi dry sirup yang
disimpan pada suhu dingin dan suhu kamar
tanpa terpapar sinar matahari langsung
tidak memiliki perbedaan daya hambat
yang bermakna.
3. Area Under the Curve (AUC)
Kemudian berdasarkan perhitungan Area
Under the Curve (AUC) yang di dapat
yaitu pada sediaan dry sirup generik yang
disimpan di suhu dingin untuk tiga kali
pengulangan yaitu 679,17, 675,49 dan
681,25. Sedangkan suhu kamar untuk tiga
kali pengulangan yaitu 632, 637 dan
658,315. Lalu pada sediaan dry sirup
merek dagang yang disimpan di suhu
dingin untuk tiga kali pengulangan yaitu
660, 660, dan 649,525. Pada suhu kamar
untuk tiga kali pengulangan yaitu 644, 652
dan 659,145. Dan untuk rata-rata
persentase daya hambat sediaan dry sirup
generik yang disimpan di suhu dingin
untuk tiga kali pengulangan yaitu 96,35%,
95,91% dan 96,87%.
Untuk rata-rata persentase daya hambat
sediaan dry sirup generik yang disimpan di
suhu kamar untuk tiga kali pengulangan
yaitu 90%, 90% dan 93,74%. Rata-rata
persentase daya hambat sediaan dry sirup
merek dagang yang disimpan di suhu
dingin untuk tiga kali pengulangan yaitu
94%, 94% dan 92,15% serta rata-rata
persentase daya hambat yang disimpan di
suhu kamar untuk tiga kali pengulangan
yaitu 92%, 92,5% dan 93,87%. Dari data
diatas, dapat disimpulkan bahwa pada suhu
dingin, semakin besar harga AUC maka
semakin besar pula persentase daya hambat
antibakteri dan pada suhu kamar, semakin
besar harga AUC maka semakin besar pula
persentase daya hambat bakteri.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pengaruh suhu
penyimpanan kombinasi amoksisilin dan
asam klavulanat dalam sediaan dry sirup
terhadap daya hambat bakteri
Staphylococcus aureus, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Adanya pengaruh suhu
penyimpanan kombinasi amoksisilin dan
asam klavulanat dalam sediaan dry sirup
yang telah disuspensikan terhadap daya
hambat bakteri
Staphylococcus aureus dengan adanya
penurunan diameter zona hambat diakhir
penyimpanan.
2. Menurut hasil statistik uji
Independen Sampel T Test menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bemakna antara daya hambat antibakteri
suspensi dry sirup yang disimpan pada
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
84
suhu dingin dengan yang disimpan pada
suhu kamar serta tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara daya hambat
antibakteri suspensi dry sirup generik
dengan suspensi dry sirup merek dagang.
3. Berdasarkan perhitungan Area
Under the Curve (AUC) bahwa pada suhu
dingin, semakin besar harga AUC maka
semakin besar pula persentase daya hambat
antibakteri dan pada suhu kamar, semakin
besar harga AUC maka semakin besar pula
persentase daya hambat bakteri.
SARAN
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut
dengan waktu penyimpanan diperpanjang,
penambahan kelompok suhu dan
pemaparan sinar matahari langsung. Dan
untuk pemakaian dimasyarakat agar
tercapainya terapi yang efektif , disarankan
penyimpanan sediaan dry sirup kombinasi
amoksisilin dan asam klavulanat di suhu
dingin (2- 8˚C).
DAFTAR PUSTAKA
Alburyhi, Mahmoud Mahyoob, Abdulwali
Ahmad Siaf, dan Maged alwan
Noman. 2013. Stability study of six
brands of amoxicillin trihydrate and
clavulanic acid oral suspension
present in Yamen market. Journal
of chemical and Pharmaceutical
Research. Vol 5. Hal : 293-296.
Ansel, H.C., 2008. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi. Edisi Ke- UI
Press. Jakarta.hal. 353 dan 373.
Brooks, G.F., J.S Butel, dan S.A Morse.,
2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Terjemahan oleh: FK Universitas
Airlangga. Salemba Medika,
Jakarta.
Capppucino, J.G., and Natalie S., 2001.
Microbiology : A Laboratory
Manual. Benjamin Cummings. San
Fransisico
Carstensen, J.T. dan Rhodes, C.T. 2000.
Drug Stability Principles and
Practices, Third Edition. New York,
Dalam : Tologo Adina Siti
Maryam, 2014. Pengaruh Suhu dan
Temperatur Penyimpanan
Terhadap Tingkat Degradasi Kadar
Amoksisilin dalam Sediaan
Suspensi Amoksisilin-Asam Klavulanat. Skripsi,
Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
(http://repository.uinjkt.ac.i
d/dspace/bitstream/1234567
89/25479/1/ADINA SITI
MARYAM TALOGO- fkik.pdf,
Diakses 21 januari 2018), hal.12.
Davis, W.W., dan T.R. Stout, 1971. Disc
Plate Method of Microbiological
Antibiotic Assay Applied
Microbilogy, 22:659-665
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Direktur
Jendral Pengawas Obat dan
Makanan, Jakarta, Indonesia.
Depkes. RI, 2000. IONI.
Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Jakarta: Depkes RI
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2013. Riset Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Frynkewicz, Heidi, Hannah Feezle., dan
Melinda Richardson. 2013.
Thermostability Determination of
Broad Spectrum Antibiotics at High
Temperatures by Liquid
Chromatography – Mass
Spectrometry. Proceedings of The
National Conference On
Undergraduate Research (NCUR)
2013 University Of Wisconsin La
Crosse,WI.
Gavin, J.J., 1956. Microbiological Process
Report, Analytical Microbiology.
Goodman and Gilman, 2007. Dasar
Farmakologi Terapi. Jakarta. EGC :
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
85
Vol 2.
Harmita., dan Radji, M. 2008. Analisis
Hayati. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakatra, Indonesia.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, 2008.
Mikrobiologi Kedokteran. Salemba
Medika, Jakarta,hal. 318 Kementerian Kesehatan RI, 2010. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.
HK.02.02/MENKES/068/1/ 2010
tentang Kewajiban Menggunakan Obat
Generik di fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah. Jakarta:
Menkes RI.
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Profil
Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2016.
Kusmiyati, Agustini., 2007. Uji Aktivitas
Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga Porphyridium cruentum.
Pusat Penelitian Bioteknologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(Lipi), Cibinong. Jurnal Biodiversitas
Volume 8, Nomor 1, hal 48-53.
Lachman, L., H.A. Lieberman, dan
J.L. Kanig, 2012. Teori dan
Praktek Farmasi Industri Edisi
Ketiga diterjemahkan oleh : Siti
Suyatmi. Universitas Indonesia
Press, Jakarta,Indonesia, hal. 986.
Locke Thomas dkk, 2013. Microbilogy
and Infectious Diseases on the
move. PT Indeks, Jakarta, hal. 120.
Misnadiarly dan Djajaningrat, H., 2014.
Mikrobiologi untuk klinik dan
Laboratorium. PT. Rineka Cipta,
Jakarta, Indonesia. Hal. 12-13, 52- 53.
Neal, M.J, 2007. At a Glance Farmakologi
Medis. Erlangga, Jakarta, hal. 83.
Nurhayati, Nunung, 2016. Biologi untuk
siswa SMA/MA Kelas X
(Peminatan). Yrama Widya,
Bandung, hal. 134- 136.
Owusu, Patrick. 2011. HPLC Method
Development For The
Quantification and Stability Studies
Of Amoxicillin and Clavulanic Acid
In Liquid Oral Formulation. The
Departement of Pharmaceutical
Chemisty, Faculty of Pharmacy and
Pharmaceutical sciences.
Pelczar, J. Michael, Chan, E.C.S., 2008.
Dasar-dasar mikrobiologi 1. Diterjemahkan oleh: Ratna Siri
Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutami
Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka.
Universitas Indonesia Press, Jakarta,
Indonesia, hal. 46.
Pratiwi, T.T., 2008. Mikrobiologi Farmasi.
Erlangga, Jakarta, Indonesia, hal.
115- 117,154-155,188.
Sampurno, 2011. Manajemen Pemasaran
Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal.95-97 dan
139-141.
Setiati Siti dkk, 2014.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna
Publishing, Jakarta Pusat, hal 1608-
1618.
Syahputri V.Mimi, 2006. Pemastian Mutu
Obat :”Kompendium Pedoman &
Bahan-bahan Terkait”. Dalam :
July, M. (Editor). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal.44-
47.
Tjay,T,H., Rahardja, K., 2015. Obat- Obat
Penting; “khasiat, penggunaan,
dan efek-efek sampingnya”. PT
Elex Media Komputindo, Jakarta,
hal 69-71.
Talogo, 2014. Pengaruh Suhu dan
Temperatur Penyimpanan
Terhadap Tingkat Degradasi Kadar
Amoksisilin dalam Sediaan
Suspensi Amoksisilin-Asam
Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019
86
Klavulanat. Skripsi, Program Studi
Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (dipublikasikan), hal. 2.
Unal, Kemal, Palabiyik, Murat. I.,
Keracan, Elif, Onur, Feyyaz. 2008.
Spectophotometric Determination
of Amoxicilin In Phrmaceutical
Formulation. Turk J.Pharm.Sci.
Vol.5,Hal.1-16.
Warsa, U.C., 1994. Staphylococcus dalam
Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Binarupa Aksara.hal. 103-
110.
Widodo, R., 2004. Panduan Keluarga
Memilih dan Menggunakan Obat.
Yogyakarta: Kreasi wacana. Hal:
21-23, 27-31, dan 66.