Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

90

Transcript of Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Page 1: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020
Page 2: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

PENGELOLA JURNAL KESEHATAN PHARMASI

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

Ketua : Dr. Sonlimar Mangunsong, Apt, M.Kes.

Sekretaris : Ferawati Suzalin, S.Far, Apt, M.Sc.

Reviewer : Muhamad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes.

Dra. Ratnaningsih Dewi Astuti, Apt, M.Kes.

Dra. Sarmalina Simamora, Apt, M.Kes.

Mindawarnis, S.Si, Apt, M.Kes.

Dewi Marlina, SF, Apt, M.Kes.

Editor / IT : Eddy Sutikno

Umar Akhmad

Ade Agustianingsih

Lia Puspita Sari

Sekretariat : Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang

Jl. Ismail Marzuki No 5341, Sekip Jaya, Kecamatan Kemuning,

Kota Palembang, Sumatera Selatan

Email : [email protected]

[email protected]

Page 3: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

DAFTAR ISI

1. MUTU EKSTRAK ETANOL DAUN ENCOK (Plumbago zeylanica L.) BERDASARKAN

PERBEDAAN WAKTU PENGAMBILAN SIMPLISIA

Mindawarnis,Ainun Jariah …………………………………………………………………. 1

2. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI BEBERAPA JAMU UNTUK PENGOBATAN KARIES GIGI

YANG DISEBABKAN OLEH STREPTOCOCCUS MUTANS

Muhammad Nizar,Danti Kurnia Putri ……………………………………………………… 11

3. GAMBARAN TEKANAN DARAH PENGGUNA KONTRASEPSI ORAL DAN KONTRASEPSI

SUNTIKAN DI PUSKESMAS SEKIP

Tedi,Dian Rizki Maharani…………………………………………………………………… 17

4. PENINGKATAN KUALITAS INFORMASI PADA PEMBELIOBAT MAAG SECARA BEBAS

SETELAH PEMBERIAN BROSUR PADA APOTEK KIMIA FARMA DIKOTA PALEMBANG

Sarmalina Simamora,Liwista……………………………………………………………….. 23

5. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN INFUSA DAUN SALAM ( Eugenia polyantha

Wight. ) DAN DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) DENGAN METODE DPPH

SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis

Dewi Marlina, Riandini Syafitri……………………………………………………………… 28

6. PERBANDINGAN KADAR VITAMIN C PADA BUAH ASAM GELUGUR (Garcinia atroviridis)

DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS DAN METODE TITRASI 2,6-

DIKLOROFENOL INDOFENOL

Sonlimar Mangunsong,Riska Reza Juliani…………………………………………………… 38

7. FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK DAUN STEVIA(Stevia rebaudiana Bert.) DAN

DAUN SAMBILOTO(Andrographis folium) DENGAN VARIASI MANITOL-SORBITOL

SEBAGAI PENGISI

Ratnaningsih Dwi Astuti, Zyuliana Agustiani………………………………………………… 46

8. EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN ASAM JAWA (Tamarindus indica L.)

TERHADAP KADAR C-REAKTIF PROTEIN PADA TIKUS PUTIH JANTAN

(Rattusnovergicus) YANG DIINDUKSI KARAGENAN

Mona Rachmi Rulianti,Sonlimar Mangunsong,Ahlan Kanavi …………………………… 52

9. FORMULASI DAN EVALUASI KRIM EKSTRAK KULITMANGIUM (Acacia mangium W.)

DENGAN VARIASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEBAGAI EMULGATOR

Vera Astuti,Ratnaningsih Dwi Astuti,Ayu Septi Pratama………………………………….. 56

10. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU SUMBER DAYA MANUSIA TENTANG

DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN VAKSIN DI PUSKESMAS SEBERANG ILIR KOTA

PALEMBANG

Sarmadi,Tedi,Nur Rachma Waty ……………………………………………………………. 70

11. PENGARUH SUHU PENYIMPANAN KOMBINASI AMOKSISILIN DAN ASAM KLAVULANAT

DALAM SEDIAAN DRY SIRUP TERHADAP DAYA HAMBAT BAKTERI Staphylococcus

aureus

Muhamad Taswin,Bertha Tiara Handayani……………………………………………….. 76

Page 4: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

1

MUTU EKSTRAK ETANOL DAUN ENCOK (Plumbago

zeylanica L.) BERDASARKAN PERBEDAAN WAKTU

PENGAMBILAN SIMPLISIA

Mindawarnis, Ainun Jariah

Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes, Palembang, Indonesia

Email: [email protected]

ABSTRAK

Daun encok (Plumbago zeylanica L.) memiliki kandungan yang berkhasiat sebagai obat encok

atau rematik. Untuk mendapatkan senyawa aktif yang berkhasiat maka perlu dilakukan proses

ektraksi. Kemudian ekstrak yang diperoleh agar dapat dibuat menjadi produk obat maka perlu

dilakukan standarisasi mutu ekstrak. Pengujian mutu ekstrak dilakukan untuk mengetahui mutu

ekstrak etanol daun encok (Plumbago zeylanica L.) yang diambil berdasarkan perbedaan waktu

yaitu daun encok yang di ambil pagi (P) atau daun yang di ambil sore (S) yang akan memiliki

mutu baik untuk dijadikan ekstrak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Daun

encok (Plumbago zeylanica L.) diambil pada P dan S. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi

menggunakan pelarut etanol 96% lalu di destilasi vakum sehingga menghasilkan ekstrak P dan

ekstrak S. Masing-masing eksrak kemudian dilakukan pengujian standarisasi mutu ekstrak yang

meliputi pengujian parameter spesifik dan non spesifik ekstrak. Ekstraksi daun encok diperoleh

rendemen 7,96% untuk P dan 6,90% untuk S. Pada pengujian penapisan fitokimia ekstrak daun

encok pagi secara semi kualitatif lebih baik. Kedua ekstrak telah memenuhi syarat untuk

penetapan kadar sari larut etanol dan kadar air . Ekstrak P pada penetapan kadar sari larut air tidak

memenuhi syarat. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun encok pagi pada

pengujian parameter spesifik dan non spesifik lebih baik dalam penetapan rendemen, organoleptis

dan kandungan senyawa dibandingkan ekstrak daun sore.

Kata kunci : uji mutu ekstrak; ekstrak daun encok; waktu pagi; waktu sore.

PENDAHULUAN

Obat tradisional di Indonesia

sangat besar peranannya dalam

pelayanan kesehatan masyarakat

di Indonesia, sehingga obat

tradisional sangat berpotensi

untuk dikembangkan

(Notoadmodjo, 2007). Drs. Ketut

Rihasa, dari Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (Badan POM)

mengatakan bahwa obat

tradisional sudah digunakan secara

turun-temurun lebih dari tiga

generasi dan ada bukti tertulisnya

sehingga back to nature pun kini

dipercaya sebagai pola hidup sehat

(Rini, 2010). Obat tradisional

digunakan oleh masyarakat dalam

aspek pengobatan sebagai agen

preventif (pencegahan), promotif

(promosi) bahkan kuratif

(penyembuh) (Saifudin, Rahayu,

dan Teruna, 2011). Berbagai

upaya masyarakat mengangkat

layanan pengobatan dengan obat

tradisional telah memberikan

pilihan bagi pemakainya.Mereka

memanfaatkannya untuk

mengobati berbagai penyakit,

termasuk reumatik (Adi, 2006).

Penyakit reumatik (Reumatoid

arthritis) adalah penyakit kronis

yang menyebabkan nyeri,

kekakuan, pembengkakan dan

keterbatasan gerak serta fungsi

dari banyak sendi. Penyakit

Page 5: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

2

reumatik dapat kambuh dan

sembuh secara berulang-ulang

sehingga menyebabkan

kerusakan sendi yang menetap.

Penyakit ini tidak hanya dapat

menyebabkan keterbatasan pada

mobilitas dan aktivitas hidup

sehari-hari tetapi juga efek

sistemik yang tidak jelas yang

dapat menimbulkan kegagalan

organ (Gordon et al., 2002).

Berdasarkan data Riset

Kesehatan Dasar (2013),

menunjukkan bahwa

kecenderungan prevalensi

rematik di Indonesia tahun 2013,

prevalensi tertinggi pada umur

≥75 tahun (33% dan 54,8%).

Prevalensi yang didiagnosis nakes

lebih tinggi pada perempuan

(13,4%) dibanding laki-laki

(10,3%) demikian juga yang

didiagnosis nakes atau gejala pada

perempuan (27,5%) lebih tinggi

dari laki-laki (21,8%) (Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian RI, 2013).

Seiring dengan tumbuhnya

kesadaran akan efek samping

produk-produk kimiawi, maka

tumbuh pula kesadaran akan

pentingnya produk-produk alami

termasuk dalam kesehatan

(pengobatan), karena produk alami

dianggap lebih aman, murah dan

sedikit memiliki efek samping.

Salah satu tumbuhan yang dikenal

sebagai tanaman obat yang

digunakan sebagai pencegahan

bahkan pengobatan pada penyakit

reumatik yaitu daun encok

(Plumbago zeylanica L.)

(Poeloengan, 2009 dalam Afrianti,

Fitrianda, dan Utari, 2013).

Daun encok (Plumbago

zeylanica L.) merupakan salah

satu tanaman obat multifungsi.

Daun dan akarnya berkhasiat

sebagai obat pada berbagai

penyakit di antaranya daun yang

digunakan untuk obat encok atau

rematik, masuk angin, susah

buang air kecil dan sakit kepala.

Akarnya secara empiris

digunakan untuk mengobati kurap

atau gatal- gatal. Selain itu

tanaman ini juga dapat

menghilangkan rasa sakit dan

mampu mengobati penyakit

kanker darah (Dalimartha dan

Wijayakusuma, 1999).

Kandungan senyawa kimia di

dalam daun encok diantaranya

minyak atsiri 2-3%, flavonoid,

tannin 1,5%, steroid atau

triterpenoid, plumbagin,

naftakinon, saponin dan

polifenol (Syamsuhidayat dan

Hutapea, 1991). Ekstrak yang

didapat dari hasil ekstraksi etanol

daun encok (Plumbago zeylanica

L.) dapat berkhasiat sebagai

pengobatan nyeri sendi pada tikus

putih jantan (Afrianti, Fitrianda,

dan Utari, 2013). Ekstraksi

merupakan proses penyarian zat-

zat yang dikandung oleh

simplisia berupa senyawa aktif

(Mahardika, Sirait, 2001). Kadar

senyawa aktif dalam suatu

simplisia berbeda-beda tergantung

pada bagian yang digunakan,

umur tanaman, waktu panen, dan

lingkungan tempat tumbuh.

Waktu panen sangat erat

hubungannya dengan

pembentukan senyawa aktif dalam

bagian tanaman yang akan

dipanen (Dalimartha, 1999).

Pengambilan simplisia sebaiknya

dilakukan pada saat tanaman

mengandung kadar metabolit

tertinggi atau saat fotosintesis

sedang optimal (Setiowati,

Furqonita, 2007).

Fotosintesis merupakan proses

konversi energi cahaya menjadi

energi kimia. Daun merupakan

organ utama dalam tubuh

tumbuhan sebagai tempat

berlangsungnya fotosintesis

Page 6: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

3

(Setiowati, Furqonita, 2007).

Proses fotosintesis dipengaruhi

oleh intensitas cahaya,

konsentrasi CO2, ketersediaan

air, klorofil, unsur hara dan suhu

(Wijaya, Suryanti, dan

Sulirawati, 2006). Cahaya

matahari yang paling baik untuk

tanaman adalah pada pagi hari.

Saat itu kondisi udara masih

dingin sehingga kelembaban

meningkat membuat stomata

terbuka lebar sehingga unsur

karbodioksida (CO2) yang

diserap untuk proses fotosintesis

relatif banyak. Proses fotosintesis

pagi hari sangat optimal,

khususnya pukul 07.00-10.00

WIB. Sementara itu, pada siang

hari stomata akan menutup rapat

untuk menghindari dehidrasi

karena penguapan akibat suhu

yang meningkat sehingga

kelembaban menjadi berangsur

turun. Akibatnya, suplai CO2

sangat terbatas sehingga proses

fotosintesis juga terbatas,

khususnya pada pukul 10.00-

14.00 WIB. Setelah itu, pada sore

hari udara mulai dingin dan

kelembaban berangsur

meningkat, kondisi ini sama

dengan keadaan menjelang pagi

hari sehingga membuat stomata

mulai membuka kembali. Karena

itu, proses fotosintesis menjadi

lebih aktif dibandingkan dengan

kondisi pada waktu siang hari,

contohnya pada pukul 14.00 WIB

hingga menjelang malam

(Soeleman, Rahayu, 2013).

Suatu ekstrak dapat dikatakan

bermutu jika telah memenuhi

pengujian persyaratan parameter

standar umum ekstrak.

Standarisasi ekstrak mencakup

standarisasi spesifik dan non

spesifik. Standarisasi spesifik

meliputi: identitas, organoleptis,

kadar sari larut air, kadar sari

larut etanol, kandungan senyawa

kimia, sementara standarisasi non

spesifik meliputi: penetapan

susut pengeringan, bobot jenis,

kadar air, kadar abu, kadar abu

tidak larut asam, jumlah cemaran

jamur, cemaran logam berat

(Depkes RI, 2000).

Dari beberapa pernyataan

diatas peneliti telah melakukan

uji mutu ekstrak pada daun encok

(Plumbago zeylanica L.) yang

diambil pada waktu yang berbeda

yakni pagi dan sore. Penelitian

ini dilakukan dengan cara

mengekstrak dan identifikasi

mutu ekstrak secara spesifik

seperti identitas, organoleptis,

penetapan kadar sari larut air,

kadar sari larut etanol, serta uji

kandungan kimia ekstrak dan non

spesifik seperti bobot jenis, kadar

air, kadar abu, kadar abu tidak

larut asam, cemaran mikroba, dan

cemaran logam berat.

METODE PENELITIAN

Cara Pengumpulan Data

1. Persiapan Sampel

Masing-masing daun encok

yang diambil pada waktu pagi

dan sore hari dilakukan sortasi

lalu dicuci dengan air

mengalir, lalu dikering

anginkan dan di rajang kasar.

Ekstraksi Daun Encok

(Plumbago zeylanica L.)

Ekstraksi dilakukan dengan

cara maserasi menggunakan

etanol 96% lalu didestilasi

vakum untuk memperoleh

ekstrak kental.

2. Uji Parameter

Standarisasi Mutu Ektsrak

Identifikasi mutu ekstrak

secara spesifik seperti identitas, organoleptis,

penetapan kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, serta uji

Page 7: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

4

kandungan kimia ekstrak dan secara non spesifik seperti

bobot jenis, kadar air, kadar

abu, kadar abu tidak larut asam, cemaran mikroba, dan

cemaran logam berat.

Pengolahan dan Analisis

Data

Pengumpulan data dilakukan

dengan cara melakukan

pengamatan dan pengukuran

terhadap hasil pengujian mutu

ekstrak. Analisa data dilakukan

dengan cara deskriptif analitik.

Data yang diperoleh akan

disajikan dalam bentuk tabel

berdasarkan hasil pengujian

parameter-parameter mutu

ekstrak.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Mutu Ektrak Etanol Daun Encok (Plumbago

zeylanica L.) Yang Di Ambil Berdasarkan Perbedaan Waktu

Parameter

Hasil

Syarat Pagi Sore

Standarisasi Simplisia

Rendemen 7,607% 6,9814% 5-30%

(Depkes, 2000).

Parameter Spesifik

Kadar sari larut air 5,071 11,296 ≥ 8,5

(Depkes, 1995)

Kadar sari larut

etanol

83,131 80,632 ≥ 4,5

(Depkes, 1995)

Parameter Non-Spesifik

Bobot jenis

ekstrak yang telah

diencerkan 5%

1,0146 1,0156 -

Kadar air 8,035% 8,720% 5-30 %

(Depkes, 2000)

Kadar abu

• Kadar abu total

• Kadar abu tidak

larut asam

21,34%

14.04%

21,13%

15,20%

≤ 14%

≤ 1%

(Depkes, 1995)

Cemaran Mikroba Bakteri Bakteri -

Cemaran Logam

Berat Timbal (Pb)

0,0316 mg/kg

0,0710 mg/kg Maks 10 mg/kg

(BPOM RI, 2006)

PEMBAHASAN

Penelitian uji mutu ekstrak

etanol daun encok (Plumbago

zeylanica L.) dilakukan dengan

beberapa tahap yang meliputi

pengujian parameter spesifik dan

parameter non spesifik ekstrak

(Saifudin, Rahayu, dan Teruna,

2011).

Ekstrak kental yang didapat

dari proses ekstraksi dengan cara

Page 8: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

5

maserasi menggunakan pelarut

etanol 96%. Etanol merupakan

pelarut serba guna yang baik

untuk ekstraksi pendahuluan (J.B.

Harbone, 1987). Selain itu, etanol

juga memiliki kemampuan

menyari dengan polaritas yang

lebar mulai senyawa non polar

sampai dengan polar (Saifudin,

Rahayu, dan Teruna, 2011).

Setelah melalui proses maserasi,

filtrat yang didapatkan dipekatkan

dengan menggunakan rotary

evaporator, kemudian didapatkan

rendemen ekstrak kental untuk

ekstrak daun encok pagi sebesar

7,960 % dari 850 g simplisia daun

encok dan ekstrak daun sore

sebesar 6,981% dari 1100 g

simplisia daun encok. Persentase

rendemen ekstrak pada daun yang

di ambil pagi lebih besar hal ini di

karenakan ekstrak daun pagi juga

memiliki susut pengeringan

simplisia sebesar 80,70% yang

lebih besar dari daun encok yang

di ambil pada sore hari dengan

susut pengeringan sebesar

77,77%. Hal ini terjadi karena

cahaya matahari pada pagi hari

merupakan yang paling baik bagi

tanaman, pada pagi hari kondisi

udara masih dingin sehingga

kelembaban meningkat sehingga

unsur yang diserap untuk proses

fotosintesis lebih banyak

(Soeleman dan Rahayu, 2013).

Persentase rendemen menunjukkan

kemaksimalan dari pelarut yang

digunakan untuk menyari.

Setelah didapatkan ekstrak

kemudian dilakukan pengujian mutu ekstrak daun encok

(Plumbago zeylanica L.).

Pengujian mutu ekstrak ini meliputi pengujian parameter

spesifik dan non spesifik. Dalam penentuan nilai standarisasi ini

diperlukan acuan yang manandakan bahwa ekstrak

tersebut memenuhi persyaratan

yang telah di tetapkan (Depkes, 1995).

Pengujian parameter spesifik

meliputi identitas simplisia,

organoleptik ekstrak, senyawa

terlarut dalam pelarut tertentu (air

dan etanol), dan kandungan kimia

ekstrak. Tujuan identitas simplisia

atau sandarisasi simplisia adalah

untuk memberikan objektifitas

dari nama dan spesifikasi dari

tanaman, sedangkan pengamatan

organoleptik ekstrak bertujuan

sebagai pengenalan awal

menggunakan panca indra dengan

mendiskripsikan bentuk, warna,

bau dan rasa (Depkes RI, 2000).

Hasil organoleptik ekstrak

terlampir pada tabel 3.

Pada pengujian senyawa yang

terlarut dalam pelarut tertentu

dengan menggunakan etanol dan

air, hasilnya dapat dilihat pada

tabel 4 dan tabel 5. Pada pengujian

ini terlihat bahwa ekstrak lebih

larut dalam etanol yaitu pada

ekstrak daun pagi sebesar 83,13%

dan untuk ekstrak daun sore

sebesar 80,63%. Sedangkan, untuk

ekstrak yang larut dalam air yaitu

pada ekstrak daun pagi sebesar

5,07% dan untuk ekstrak daun

sore sebesar 11,29%. Penetapan

kadar senyawa yang terlarut dalam

air dan etanol ini bertujuan

sebagai perkiraan kasar

kandungan senyawa-senyawa aktif

yang bersifat polar (larut air) dan

senyawa aktif yang bersifat semi

polar – non polar (larut etanol)

(Saifudin, Rahayu, dan Teruna,

2011).

Kadar sari larut air pada

ekstrak daun pagi tidak memenuhi

syarat karena nilai yang di dapat

dibawah 8,5. Selain itu terdapat

hubungan yang erat antara

kandungan kadar sari yang terlarut

dalam air dan terlarut dalam

alkohol dengan kandungan zat

berkhasiat pada tanaman. Semakin

Page 9: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

6

tinggi kadar sari larut air dan

kadar sari larut etanol

mengindikasikan tingginya

kandungan zat berkhasiat dalam

daun tanaman tersebut (Hermani

dan Syahid, 2001).

Parameter lain yang

termasuk dalam uji spesifik

adalah uji golongan senyawa

kimia ekstrak. Uji golongan

senyawa kimia ekstrak bertujuan

untuk memberikan gambaran

awal komposisi kandungan

kimia (Depkes RI, 2000). Uji

kandungan kimia dilakukan

dengan cara penapisan fitokimia

yang bertujuan untuk mengetahui

keberadaan golongan senyawa

metabolit sekunder yang ada di

dalam ekstrak, serta dapat pula

menjadi gambaran kandungan

ekstrak secara kualitatif.

Penapisan fitokimia yang

dilakukan terhadap ekstrak daun

encok (Plumbago zeylanica L.)

yang berasal dari pekarangan

rumah yang tumbuh liar di Desa

Ujung Tanjung Rt.06 Rw.02

No.05, Kecamatan Banyuasin III.

Dari pengujian didapatkan bahwa

kedua ekstrak memiliki senyawa

kimia alkaloid, saponin, tannin,

dan steroid. Untuk senyawa

flavonoid tidak menunjukkan

reaksi perubahan warna, menurut

literatur seharusnya memiliki

flavonoid (Depkes, 1995). Pada

penelitian terdahulu juga

menunjukkan bahwa flavonoid

tidak menunjukkan reaksi

perubahan warna (Rohimatun

dan Wiratno, 2015).

Tahapan standarisasi ekstrak

selanjutnya adalah pengujian

parameter non spesifik yang

meliputi kadar abu, bobot jenis,

kadar air, cemaran mikroba, dan

cemaran logam berat timbal (Pb).

Penentuan kadar abu

dilakukan bertujuan untuk

memberikan gambaran kandungan

mineral internal dan eksternal

yang berasal dari proses awal

sampai terbentuknya ekstrak. Pada

tahap ini ekstrak di panaskan

hingga senyawa organik dan

turunannya terdestruksi dan

menguap sampai tinggal unsur

mineral dan anorganik saja. Kadar

abu ekstrak pagi sebesar 21,34%

dan kadar abu tidak larut asam

sebesar 14,04% sedangkan kadar

abu untuk ekstrak sore sebesar

21,13% dan kadar abu tidak larut

asam sebesar 15,20%, hal ini tidak

memenuhi syarat yang

seharusnya kadar abu ≤14% dan

kadar abu larut asam ≤1%. Hal ini

mungkin terjadi karena tanaman

yang merupakan tanaman liar

sehingga dan juga dapat terjadi

karena kandungan tanah tempat

tanaman tumbuh. Kadar abu

menunjukkan kadar sisa anorganik

dalam ekstrak dan kadar abu

tidak larut asam menunjukkan

kadar unsur anorganik yang tidak

larut asam (Arifin, dkk, 2006).

Sedangkan untuk penetapan kadar

abu yang tidak larut asam

diperoleh dari perlakuan kadar abu

total dengan asam sulfat encer

yang dimaksudkan untuk

mengevaluasi ekstrak terhadap

kontaminasi bahan-bahan yang

mengandung pengotor seperti

tanah dan pasir.

Pada penentuan parameter

non spesifik dilakukan juga

pengukuran kadar air pada ekstrak.

Pengukuran kadar air dilakukan

untuk menetapkan residu air

setelah proses pengentalan atau

pengeringan.

Hasil penentuan kadar air

pada ekstrak pagi diperoleh

8,16% sedangkan ekstrak sore

8,72%. Menurut literatur untuk

ekstrak kental kadar air bernilai

5- 30% (Voight, 1995) sehingga

kedua ekstrak etanol daun encok

Page 10: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

7

(Plumbago zeylanica L.) masuk

dalam range kadar air mutu

ekstrak.

Selanjutnya dilakukan juga

penentuan bobot jenis ekstrak

pada penentuan parameter non

spesifik. Bobot jenis didefinisikan

sebagai perbandingan kerapatan

suatu zat terhadap kerapatan air

dengan nilai masa persatuan

volume. Penentuan bobot jenis ini

bertujuan untuk memberikan

gambaran kandungan kimia yang

terlarut pada suatu ekstrak

(Depkes RI, 2000). Pada

pengukuran bobot jenis ekstrak

dihitung dengan menggunakat

piknometer. Ekstrak yang

digunakan adalah ekstrak yang

telah diencerkan 5%

menggunakan aquadest sebagai

pelarut. Pada pengukuran ini,

didapatkan hasil untuk ekstrak

pagi sebesar 1,0146 m/v

sedangkan untuk ekstrak sore

sebesar 1,0156 m/v untuk

pengenceran 5% dari ekstrak

etanol daun encok.

Pada pengukuran parameter

non spesifik dilakukan pengujian

cemaran mikroba yang didapatkan

hasil bahwa kedua ekstrak

mengandung mikroba namun

untuk jumlah koloni belum

dilakukan pengujian. Pengujian

cemaran logam berat timbal. Dari

hasil yang diujikan pada tabel 6

dapat terlihat bahwa kadar

cemaran logam timbal pada

ekstrak pagi (0,0316 mg/kg) dan

ekstrak sore (0,0710 mg/kg).

Maksimal residu Pb tidak melebihi

10 mg/kg ekstrak (Depkes RI,

2000) sehingga untuk kedua

ekstrak masih aman untuk di

konsumsi karena masih jauh di

bawah batas yang ditentukan.

Berdasarkan hasil didapatkan

bahwa daun encok yang diambil

pada pagi hari memiliki rendemen

yang lebih besar dari daun yang

diambil sore. Uji kandungan kimia

dengan penapisan fitokimia

diamati secara semi kualitatif

menujukkan bahwa kedua ekstrak

memiliki kandungan senyawa

yang sama tetapi reaksi perubahan

warna yang dihasilkan

menunjukkan bahwa ekstrak daun

pagi lebih baik secara semi

kualitatif. Pengujian mutu ekstrak

etanol daun encok berdasarkan

parameter spesifik dan parameter

non spesifik maka didapatkan

hasil bahwa kedua ekstrak telah

memenuhi syarat pada penetapan

kadar sari larut etanol, penetapan

kadar air dan uji cemaran logam

berat Pb. Namun untuk uji kadar

abu total kedua ekstrak belum

memenuhi persyaratan.

Berdasarkan hasil diatas maka

ekstrak etanol daunencok yang

diambil pada pagi hari lebih baik.

KESIMPULAN

1. Secara organoleptis ekstrak

daun pagi dan daun sore

memiliki karakteristik yang

sama dalam hal warna, bau,

dan rasa. Sedangkan, dalam

segi bentuk ekstrak daun

pagi berupa ekstrak kental

agak kasar dan untuk ekstrak

daun sore berupa ekstrak

yang agak cair namun lebih

halus.

2. Kandungan kimia yang

terkandung baik didalam

simplisia maupun ekstrak

daun encok pagi dan daun

encok sore yaitu alkaloid,

saponin, tannin, dan steroid.

3. Parameter spesifik yang

terdiri dari kadar sari larut

air didapatkan sebesar

5,071% untuk ekstrak daun

encok pagi dan 11,296 %

7

Page 11: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

8

untuk ekstrak daun encok

sore dengan syarat

≤8,5%. Sedangkan untuk

kadar sari yang larut etanol

sebesar 83,131% untuk daun

encok pagi dan 80,632%

untuk daun encok sore

dengan syarat ≤4,5%.

4. Parameter non-spesifik

ekstrak daun encok pagi

seperti bobot jenis sebesar

1,0146 g/mL, kadar air

8,035%, kadar abu total

21,34%, kadar abu tidak larut

asam 14,04% , cemaran

mikroba tmengandung

bakteri dan cemaran logam

Pb sebesar 0,0316 mg/kg.

Sedangkan pada ekstrak

daun encok sore, bobot jenis

sebesar 1,0156 g/mL, kadar

air 8,720%, kadar abu total

21,13%, kadar abu tidak

larut asam 15,20% cemaran

mikroba tmengandung

bakter dan cemaran logam

Pb sebesar 0,0316 mg/kg.

5. Didapatkan bahwa ekstrak

daun encok yang diambil

pada pagi hari lebih baik

daripada yang diambil sore

hari.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian

uji mutu ekstrak etanol daun

encok (Plumbago zeylanica L.)

yang diambil pada pagi dan sore

hari dapat disarankan perlu

pengujian lebih lanjut dari ekstrak

etanol daun encok (Plumbago

zeylanica L.), sehingga bisa

dilanjutkan untuk formulasi

pembuatan sediaan yang sesuai

untuk ekstrak etanol daun encok.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, L.T., 2006. Tanaman Obat &

jus untuk Asam Urat &

Rematik. AgroMedia

Pustaka, Jakarta, Indonesia.

Afrianti, R., Fitrianda, E., dan

Utari, N., 2013. Uji Ekstrak

Etanol Daun Encok

(Plumbago zeylanica L.)

dalam Pengobatan Nyeri

Sendi pada Tikus Putih

Jantan. Prosiding

SeminarNasional

Perkembangan Terkini Sains

Farmasi dan Klinik III.

Sekolah Tinggi Farmasi

Indonesia Yayasan Perintis

Padang, Padang, 4 – 5

Oktober 2013.

Arifini. H., Anggraini, N.,

Handayani, D., Rasyid, R.,

2006. Standarisasi Ekstrak

Etanol Daun Eugenia cumini

Merr. J. Sains Tek. Far.,

11(2).

Aryulina dkk, 2006. Biologi SMA

dan MA untuk Kelas X.

Eirlangga, Jakarta,

Indonesia.

Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Kementr

ian Kesehatan RI Tahun

2013 tentang Riset

Kesehatan Dasar,

Departemen Kesehatan RI.,

1995.Farmakope Indonesia,

Edisi

IV. Direktorat Jendral

Pengawasan Obat dan

Makanan : Jakarta.

Departemen Kesehatan RI.,

2000. Parameter Standar

Umum Ekstrak Tumbuhan

Obat. Direktorat Jendral

Pengawasan Obat dan

Makanan : Jakarta.

Departemen Kesehatan RI.,

2008. Farmakope Herbal

Indonesia, Edisi I.

Departemen Kesehatan

Page 12: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

9

Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan RI.,

1995.Materi Medika Indonesia,

Jilid

VI. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Ghosal, M. & Mandal, P., 2012.

Phytochemical Screening

And Antioxidant Activities

Of Two Selected ‘Bihi’

Fruits Used As Vegetables

In Darjeeling Himalaya.

International Journal Of

Pharmacy And

Pharmacetiucal Sciences.

ISSN

: 0975-1492. 4(2).

Gordon et al., 2002. Open label

study to asses infliximab

safety and timing of onset of

clinical benefit aming

patients with rheumatoid

arthritis. 29 (4),

(http://www.jrheum.org/cont

en t/29/4/667.short, Diakses

10

Februari 2018)

Harapan, 2017. Manfaat dan

Khasiat Daun Encok

(Plumbago

zeylanica L.),

(http://tanaman--

herbal.blogspot.co.id/2017/0

3/ manfaat-dan-khasiat-

daun- encok-plumbago.html,

Diakses 5 Februari 2018)

Hermani dan S.F. Syahid, 2001.

Kualitas Daun Tempuyung

Dari Beberapa Daerah.

Jurnal Gakuryoku. Vol VII

(4) : 99-103.

Khoirani, N., 2013. Karakteristik

Simplisia Dan Standarisasi

Ekstrak Etanol Herba

Kemangi (Ocinum

americanum L.). Skripsi,

Program Studi Farmasi

FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

Indonesia.

Marjoni, R., 2016. Dasar-dasar

Fitokimia untuk Diploma III

Farmasi Cetakan I. CV.

Trans Info Media. Jakarta

Timur, Indonesia.

Mojab, F., Kamalinejad, M.,

Ghaderi. N., & Vahidipour,

H. R., 2003. Phytochemical

Screening Of Some Species

Of Iranian Plants. Iranian

Journal Of Pharmaceutical

Research

Notoatmodjo., 2007. Kesehatan

Masyarakat Ilmu dan Seni.

Rineka Cipta, Jakarta,

Indonesia.

Poeloengan, M., 2009, Pengaruh

Minyak Atsiri

Serai (Andropogon

citratus) Terhadap

Bakteri Yang Diisolasi Dari

Sapi Mastitis Subklinis.

Jurnal Penelitian, Balai

Besar Penelitian Veteriner,

Bogor.

Rini, A., 2010. Sehat Dengan

Lauk Herba Cetakan 1 : 4.

Pustaka Mina, Jakarta,

Indonesia.

Rohimatun dan Wiratno, 2015.

Potensi dan Prospek Daun

Encok (Plumbago

zeylanica L.) sebagai

Bahan Aktif Pestisida

Nabati. Jurnal Litbang. Vol

34. 3 September 2015.

Saifudin, A., Rahayu, V., Teruna,

H. Y, 2011. Standarisasi

Bahan Obat Alam. Graha

Ilmu, Yogyakarta,

Indonesia.

Sarma dan Babu., 2011.

Pharmacognostic and

Phytochemical Studies of

Ocinumamericanum. J.

Chem. Pharm. Res., 3(3) :

337-347.

Setiowati, T., dan Furqonita, D.,

2007. Biologi Interaktif.

Page 13: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

10

Azka Press, Jakarta,

Indonesia, hal. 332.

Sirait, M., dan Mahardika, I.D.,

2001. Tiga dimensi

farmasi: ilmu-teknologi,

pelayanan kesehatan, dan

potensi ekonomi :

kumpulan presentasi dan

tulisan. Institut Darma

Mahardika, Jakarta,

Indonesia.

Soeleman, S., dan Rahayu, D.,

2013. Halaman Organik.

PT Agromedia Pustaka,

Jakarta, Indonesia.

Soetarno, S., dan I.S., Soediro,

1997. Standarisasi Mutu

Simplisia dan Ekstrak

Bahan Obat Tradisional.

Presidium Temu Ilmiah

Nasional Bidang Farmasi.

Sudewo, B., 2009. Buku Pintar

Hidup Sehat Cara Mas

Dewo. PT. Agromedia

Pustaka, Jakarta Selatan,

Indonesia.

Susilowarno dkk, 2006. Biologi

untuk SMA/MA Kelas X.

Grasiondo Jakrta,

Indonesia.

Syamsul hidayat, S.S dan J.R,

Gutapea. 1991.

Inventarissasi Tanaman

Obat Indonesia.

Departemen Kesehatan RI.

Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

RI. Jakarta. Hal 472-473.

Syamsuni, A. 2006. Ilmu Resep.

Buku Kedokteran EGC.

Jakarta, Indonesia.

Voight, R. 1995. Buku

Pendidikan Teknologi

Farmasi. Edisi Ke IV.

Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta,

Indonesia.

Watson, Davit G. 2009. Analisa

Farmasi Buku Ajar untuk

Mahasiswa Farmasi dan

Praktisi Kimia Farmasi.

ECG: Jakarta. Hal 269-171.

Wijayati, A., Suryati, B., dan

Sulirawati, D. 2006. IPA

Terpadu VIIA. Grasindo

Jakarta. Indonesia, Hal 134.

Wijayakusuma, H. 2006. Atasi

Rematik dan Asam Urat

Ala Hembing. Cetakan I.

Puspa Swara, Anggota

IKAPI,Jakart

Page 14: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

11

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI BEBERAPA JAMU UNTUK

PENGOBATAN KARIES GIGI YANG DISEBABKAN

OLEH STREPTOCOCCUS MUTANS

M.Nizar, Danti Kurnia Putri

Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes Palembang

Email; [email protected]

ABSTRAK Karies gigi merupakan penyakit infeksi pada permukaan gigi yang disebabkan oleh asam

organis yang berasal dari makanan yang mengandung gula. Salah satu bakteri penyebab karies gigi

adalah bakteri Streptococcus mutans. Oleh sebab itu beberapa jamu sakit gigi memiliki komposisi yang

mengandung senyawa flavonoid yang merupakan zat antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji

aktivitas antibakteri dengan menentukan diameter zona hambat dari beberapa jamu sakit gigi terhadap

bakteri Streptococcus mutans. Jenis penelitian ini adalah penelitian desktiptif yang dilakukan dengan

cara mengukur diameter zona hambat pada aktivitas antibakteri beberapa jamu sakit gigi terhadap

bakteri penyebab karies gigi Streptococcus mutans. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan

metode difusi agar darah yang dibuat dengan berbagai konsentrasi yaitu 5%, 15%, 25%, dan 50%.

Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat pada beberapa jamu yang berkhasiat mengatasi

sakit gigi dengan berbagai konsentrasi, sampel C memiliki diameter rata-rata 19,3 mm dan sampel F

memiliki diameter rata-rata 10 mm, Kontrol negatif etanol 70% berdiameter 0 mm dan kontrol positif

berupa disk tetrasiklin berdiameter 27,7 mm. Dari hasil penelitian yang didapat tentang uji aktivitas

antibateri jamu sakit gigi terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dapat disimpulkan bahwa

sampel C dan F memiliki aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans.

PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut

merupakan bagian dari kesehatan

tubuh yang turut berperan dalam

menentukan status kesehatan

seseorang. Berdasarkan Hasil riset

kesehatan dasar (RISKERDAS)

tahun 2013, prevalensi nasional

infeksi gigi dan mulut sebesar

25,9% dan sebanyak 14 provinsi

memiliki prevalensi masalah gigi dan

mulut diatas prevalensi nasional

(Kemenkes, 2013). Penderita karies

gigi di Indonesia memiliki prevalensi

sebesar 50-70% dengan

penderita terbesar adalah golongan

balita (Departemen Kesehatan RI,

2010).

Karies gigi merupakan

penyakit infeksi dan merupakan

suatu proses demineralisasi yang

progresif pada jaringan keras

permukaan gigi oleh asam organis

yang berasal dari makanan yang

mengandung gula (A bahar 2011).

Dua bakteri yang paling berperan

Streptococcus mutans dapat hidup

pada daerah kaya sukrosa dan

menghasilkan permukaan asam

dengan menurunkan pH di dalam

rongga mulut menjadi 5,5 atau lebih

rendah yang membuat email mudah

untuk gigi berlubang adalah

streptococcus mutans dan

lactobacillus (Siti Yundali 2017).

Streptococcus mutans memiliki

bentuk bulat dan tersusun seperti

rantai dengan diameter 0,5-0,7

mikron, tidak bergerak dan tidak

memiliki spora.larut

kemudian terjadi penumpukan

bakteri dan mengganggu kerja saliva

untuk membersihkan bakteri

tersebut, sehingga jaringan keras

gigi rusak dan menyebabkan

terjadinya karies gigi (Alfath dkk,

2013). Seiring berjalanya

Page 15: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

12

waktu pengetahuan tentang

tumbuhan obat makin berkembang.

Masyarakat kini lebih cenderung

untuk menggunakan obat dari alam.

Hal ini karena banyaknya kendala

yang ditimbulkan dari penggunaan

obat sintesis, seperti harganya mahal

dan mnimbulkan resistensi bakteri

(Febriyanti, 2010). Menurut

RISKESDAS (2010)

Berdasarkan penelitian

Soeherwin Mangundjaja yang telah

dilakukan “Pengaruh Jamu terhadap

Streptococcus mutans dan Stomatitis

Aftosa Rekuren pada pengidap

HIV” menunjukkan bahwa jamu

aquanar dapat berfungsi untuk

menggobati penyakit karies gigi dan

efektif menurunkan perkembangan

dan pertumbuhan Streptococcus

mutans melaporkan sebanyak

95,60% penduduk Indonesia yang

mengkonsumsi obat tradisional

(jamu) menyatakan bahwa

mengkonsumsi jamu bermanfaat

bagi tubuh. Persentase penduduk

yang merasakan manfaat dari

mengkonsumsi jamu berkisar

83,23% hingga 96,66% dengan

jumlah koloni streptococcus mutan

sebelum meminum jamu aquanar

yaitu 524 dan sesudah minum jamu

tersebut berkurang menjadi 150

koloni Berdasarkan hal itu, peneliti

akan melakukan penelitian Beberapa

Jamu Untuk Pengobatan Karies Gigi

Yang Disebabkan Oleh

Streptococcus Mutan.

METODE PENELITIAN

1. Persiapan sample

Sediaan yang terdapat logo

jamu pada kemasannya yang

mempunyai indikasi untuk

mengobati,meredakan, mengurangi

sakit gigi atau gigi berlubang,

memiliki registrasi BPOM, dengan

merk dagang berbeda dan pabrik

yang berbeda Pembiakan bakteri

streptococcuss mutans

Ambil media kira-kira 150 ml

dari media blood agar plate yang

telah dibuat dan di panaskan pada

suhu 37°C sampai 40°C, kemudian

tambahkan sebanyak 10-15 ose

biakan murni bakteri streptococcus

mutans ke dalam media tersebut.

2. Uji aktivitas

Antibakteri Sediaan Jamu

Jamu yang telah memenuhi kriteria

inklusi di encerkan dengan 2 cara

yang pertama jamu berbentuk

serbuk sebelum diencerkan terlebih

dahulu digerus dan ditimbang

seluruhnya lalu diencerkan dengan

etanol, kemudian dilakukanlah uji

antibakteri dengan cara media Blood

Agar Plate dituangkan ke dalam

cawan petri masing-masing 10 ml an

dibiarkan hingga memadat sebagai

lapisan dasar. Kemudian ambil

suspensi bakteri Streptococcus

mutans dan dilakukan swab secara

streak (goresan) di atas media.

Sebagai baku pembanding

digunakan etanol 70% sebagai

kontrol negatif dan cakram

tetrasiklin sebagai kontrol positif.

Masing-masing cakram dimasukkan

ke dalam media yang terdapat

bakterinya, lalu diinkubasi

selama 24 jam pada suhu 35°C

sampai 37°C. Setelah 24 jam

dilakukan pengamatan dan

pengukuran terhadap diameter zona

hambat yang mampu menghambat

bakteri yang dipindahkan agar tidak

terbentuknya zona bening

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada

penelitian ini yaitu dengan

menyajikan data dalam bentuk tabel.

Data diperolehdari pengukuran

diameter zona hambat antibakteri

jamu sakit gigi terhadap bakteri

Streptococcus mutans yang

dibandingkan dengan kontrol positif

dan kontrol negatif.

Page 16: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

13

HASIL PENELITIAN

Hasil uji aktivitas beberapa jamu

terhadap bakteri streptococcuss

mutans penyebab infeksi gigi dan

mulut didapat data diameter zona

hambat dan hasil uji identifikasi

senyawa flavonoid pada

seluruh sampel jamu.

PEMBAHASAN

Uji aktivitas antibakteri

beberapa jamu sakit gigi ini

diujikan pada bakteri Streptococcus

mutans di Balai Besar

Laboratorium Kesehatan

Palembang pada tanggal 27 Maret

sampai 29 Maret 2018. Peneliti

menggunakan metode difusi agar

dengan mengukur besarnya nilai

diameter zona hambatan

Pertumbuhan bakteri.

Metode ini digunakan karena

memiliki beberapa keunggulan

dibanding metode lainnya seperti

peralatan yang digunakan relatif

sederhana, pengamatan diameter

hambat (clear zone) yang mudah

dan cepat, serta biaya yang

digunakan relatif murah.

Hasil pengukuran rata-rata

diameter zona hambat dari aktivitas

beberapa jamu sakit gigi terhadap

bakteri Streptococcus mutans pada

konsentrasi 5%, 15%, 25% dan 50%

yaitu didapat rata-rata diameter zona

hambat pada bakteri Streptococcus

mutans sebesar 19,3 mm pada

sample C dan 10 mm sample F.

Salah satu komposisi dari

sample C dan F mengandung

minyak cengkeh dan minyak zaitun

dimana menurut penelitian

Rahmawati Nur Annisa, dkk tentang

Efektivitas Antimikroba Berbagai

Jenis Minyak Nabati Sebagai Bahan

Tambahan Pasta Gigi Terhadap

Bakteri Streptococcus mutans

mengatakan bahwa minyak cengkeh

dan minyak zaitun mampu

menghambat pertumbuhan bakteri

Streptococcus mutans dengan

diameter hambat 9,15 mm dan 13,5

mm dimana menurut penelitian

Yanti dkk tahun 2016 diameter

hambat 9,15 mm tergolong lemah

dan diameter hambat 13,5 tergolong

sedang.

Selain itu ada lima sampel

yaitu sampel A, B, D, E, dan G tidak

dapat menghambat bakteri

Streptococcus mutans. Salah satu

penyebab tidak adanya diameter

zona hambat dikarenakan kesalahan

dari peneliti dalam memilih sampel

yang seharusnya memiliki indikasi

untuk membunuh bakteri pada gigi

berlubang yang disebabkan oleh

bakteri Streptococcus mutans.

Sedangkan indikasi dari sampel

jamu yang diambil peneliti,

memiliki indikasi untuk mengobati,

meredakan, mengurangi sakit gigi

atau gigi berlubang. Sehingga

indikasi jamu tersebut tidak sesuai

dengan judul yang seharusnya

diambil oleh peneliti. Selain itu,

peneliti menggunakan dua macam

sediaan yaitu sediaan padat dan

sediaan cair. Namun bentuk sediaan

pada sample C dan sample F

berbentuk cair sehingga sample dan

pelarut tercampur secara homogen

yang membuat kedua sampel

tersebut menyebar secara merata

pada cakram disk.

Berdasarkan uji yang telah di

lakukan, pada sampel C dan F

dengan konsentrasi 5%, 15%, 25%

dan 50% memiliki aktivitas

antibakteri pada sample C tergolong

kuat dan sample F memiliki

aktivitas antibakteri tergolong

sedang. Hal ini menunjukan bahwa

sampel C dan F memiliki aktivitas

antibakteri terhadap bakteri

Streptococcus mutans penyebab

karies gigi atau biasa dikenal dengan

gigi berlubang menurut Sariningsih,

2014.

Page 17: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

14

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian dari 7

sample jamu didapatkan aktivitas

antibakteri yang di sebabkan oleh

bakteri Streptococcus mutans yaitu

pada sample jamu C dan jamu F.

Diameter zona hambat dari uji

aktivitas antibakteri beberapa jamu

sakit gigi. Pada pengukuran

diameter zona hambat bakteri

streptococcus mutans didapatkan

hasil yaitu: pada sampel A, B, D, E,

dan G tidak memiliki rata-rata

diameter zona hambat terendah dan

tertinggi, sedangkan pada sampel C

memiliki rata-rata diameter zona

hambat 19,3 mm dan sampel F

SARAN

Disarankan pada peneliti selanjutnya

menggunakan metode lain untuk uji

aktivitas antibakteri seperti metoda

dilusi, menggunakan konsentrasi

yang lebih besar agar diameter zona

hambat minimum terlihat lebih jelas,

dan untuk menggunakan pelarut

yang dapat melarutkan sample.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, B.H., G. Blunden, M. O. Tanira

dan A. Nemmar. 2008. some

phytochemical,pharmacologi

c al and toxicological

properties of ginger (zingiber

officinale Roscoe): A review

of recent research. Food and

chemical toxicology. 46

:409- 420.

Alfath, C.R, Yuliana, dan Susanti.

2013. Antibacterial Effect of

Granati Fructus Cortex

Extract on Streptococcus

mutans Invitro. Aceh:

journalof Dentistry Indonesia

2013, Vol.20, No.1, 5-8.

Annisa Nur Rahmawati, dkk.

Efektivitas Antimikroba

memiliki rata-rata diameter

zona hambat 10 mm dimana

menurut penelitian Yanti dkk

tahun 2016 diameter hambat

9,15 mm tergolong lemah

dan diameter hambat 13,5

tergolong sedang. Berbagai

Jenis Minyak Nabati Sebagai

Bahan Tambahan Pasta Gigi

Terhadap Bakteri

Streptococcus mutans.

Jurusan Biologi FMIPA

Universitas Hasanuddin,

Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Hasanuddin.

Bahar A. Paradigma baru

pencegahan karies gigi.

Jakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia;

2011.h.93

Bartley, J. dan A. Jacobs. 2000.

Effects of drying on flavour

compounds in Australian-

grown ginger (Zingiber

officinale). Journal of the

Science of Food and

Agriculture. 80:209–215.

BPOM. 2004. Keputusan Kepala

Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik

Indonesia Nomor

HK.00.05.4.2411

tentang Ketentuan Pokok

Pengelompokkan dan

Penandaan Obat Bahan

Alam Indonesia. Jakarta:

BPOM.

BPOM, 2005. Kriteria Dan

Tatalaksana Pendaftaran

Obat Tradisional, Obat

Herbal Terstandar Dan

Fitofarmaka

K.00.05.41.1384. Jakarta:

BPOM

Corwin E.J. 2008. Buku Saku

Patofisiologi Corwin. Edisi

ke 3. EGC. Jakarta. h.235.

Depatemen kesehatan R.I.

farmakognosi. Departemen

Kesehata R.1. Jakarta,

indonesia.

Page 18: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

15

Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan

Dasar. Jakarta: Badan

Penelitian dan

pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI.

Depkes RI. 1995. Farmakope

Indonesia.Edisi IV. Jakarta :

Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI.2010.Profil

Kesehatan Indonesia

2010.

Http://www.depkes.go.id

/do

wnload/PROFIL_KESE

HAT

AN_INDONESIA_2010.

pdf) (sitasi 19 januari

2018).

Febriyati, 2010. Analisis Komponen

Kimia Fraksi Minyak Atsiri

Daun Sirih (Piper bettla

Linn.) dan Uji Aktivitas

Antibakteri Terhadap

Beberapa Jenis Bakteri

Gram Positif [Skripsi]. UIN

Syarif Hidayatullah: Jakarta

Harborne, J.B. 1996. Metode

Fitokimia Penuntun Cara

Modern Menganalisis

Tumbuhan. Terjemahan

Oleh: Padmawinata, K., dan

Soediro. Penerbit ITB

Bandung, Indonesia.

Harmita dan Radji, Maksum.

(2008). Buku Ajaran Analisis

Hayati. Jakarta: EGC.

Hartati Sri Agnes. 2012. Dasar-

Dasar Mikrobiologi

Kesehatan. Nuha Medika.

Yogyakarta.Khoiriyah, Atik,

Arna F, Ahmad S dan Eddy

B. (2012). Aplikasi

Pendukung Keputusan

Epidemiologi Resistensi

Bakteri Menggunakan

Metode Dilusi di RSUD dr.

Soetomo. Surabaya: Institut

Teknologi Sepuluh

November.

Lestari Budi Purwaning, Hartati

Wahyu Triasih. 2017.

Mikrobiologi Berbasis

Inkuiry. Gunung Samudera.

Malang.

Lynch, M.A, 1994. Burket Ilmu

Penyakit Mulut (Jilid1).

Jakarta: Binarupa Aksara.

Hal 3.

Mangundjaja Soeherwin. 2002.

Pengaruh Jamu terhadap

Streptococcus mutans dan

stomatitis Afrosa Rekuren

pada pengidap HIV. Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia. Jakarta.

Mumpuni Y & Pratiwi E. 2013. 45

Masalah & Solusi Penyakit

Gigi & Mulut. Jakarta :

Rapha Publishing.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2007.

Kesehatan Masyarkat : Ilmu

dan Seni. Jakarta: Rineka

Cipta. Nugraha, Ari,

Widya. 2008. Streptococcus

Mutans, Si-

Plak Dimana-mana

Yogyakarta : Fakultas

Farmasi USD.

Nugroho, Agung E. 2012.

Farmakologi obat-

obat penting dalam

pembelajaran ilmu farmasi

dan dunia kesehatan.

Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Pelajar.

Peterson L. R, Thomson RB. 1999.

Use of the clinical

microbiology for the

diagnosis and management

of infections disease related

to the oral cavity. Infect Dis

Clins North Am (13):

775- 95

Regezi A. Joseph. 1993.

Oral Phatology Clinical-

Phatologic Correlation.

International Edition,

Philadhepia : W. B. Saunders

Company.

Page 19: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

16

(RISK ESDAS )Riset Kesehatan

Dasar. (2010). Jakarta:

Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI.

Riwandy, A., Aspriyanto, D., dan

Budiarti L.Y. “Aktivitas

Antibakteri Ekstrak Air

Kelopak Bunga

Rosella(Hibiscus sabdariffa

L.) terhadap Pertumbuhan

Streptococcus mutans In

Vitro’’. Jurnal kedokteran

Gigi Dentino. 2014, 1,

hal. 10-64.

Robinson, T. 1995. Kandungan

Organik Tumbuhan Tingkat

Tinggi. ITB, Bandung.

Sariningsih E. 2014. Gigi Busuk

dan Poket Periodontal

Sebagai Fokus Infeksi.

Jakarta : Elex Media

Komputindo.

Setyaningrum Dwi Hesti, Saparinto

Cahyo. 2013. Buku Jahe.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Suharmiati dan Handayani L. 2006.

Cara Benar Meracik Obat

Tradisional, 4-6, Agro

Pustaka, Jakarta. Hongini

Yundali Siti. 2012.

Kesehatan Gigi dan Mulut.

Pustaka Reka Cipta.

Bandung Tjay, Tan H dan

Kirana R. 2007. Obat-

obatan penting khasiat,

pengguanaan dan efek –

efek sampingnya. Jakarta:

PT. Elex Media

Komputindo: Gramedia.

Theodore M, Harald O, Edward J.

Sturdevant’s art and science

of operative dentistry. 4thed.

St. Louis, Missouri: Mosby,

Inc; 2002.p.65, 67, 80, 83-85,

89.

WHO.2003. The World Oral Health

Report.

http://www.who.int/oralhealt

/media/en/orh-report03-

en.pdf (di akses 18 januari

2018). Wikipedia. 2016.

Jamu.

(Id.wikipedia.org/wiki/Jamu

diakses 12 febuari 2018).

Page 20: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

17

Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi

Suntikan di Puskesmas Sekip

Tedi, Dian Rizki Maharani

Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi dengan menggunakan alat atau obat-obatan.

kontrasepsi dibagi menjadi 2 jenis yaitu kontrasepsi non hormonal dan kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi

hormonal bisa menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), pada kurang lebih 4–5%

perempuan yang tekanan darahnya normal sebelum memakai kontrasepsi contohnya kontrasepsi oral

dan suntikan. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi

Oral dan Kontrasepsi Suntikan di puskesmas Sekip. Jenis penelitian ini adalah penelitian non eksperimental

deskriptif kuantitatif. Populasi pada penelitian ini yaitu ibu-ibu yang mengunakan kontrasepsi oral dan

suntikan di Puskesmas Sekip sebanyak 73 orang. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi dan

diambil dengan metode random sampling dari data tahun 2017. Pengguna kontrasepsi yaitu kontrasepsi

suntikan 3 bulan yaitu 39 orang (53,42%), kontrasepsi oral yaitu 20 orang (27,40%) dan kontrasepsi suntikan 1

bulan yaitu 14 orang (19,18%). pasien kontraepsi melakukan beberapa kali kunjungan mulai dari 2 - 10 kali

kunjungan dalam satu tahun. Pada penguna kontrasepsi oral terdapat 12 orang hipertensi, kontrasepsi suntikan

1 bulan 6 orang dan suntikan 3 bulan 12 orang. Tetapi yang mengalami kenaikan tekanan darah yaitu

kebanyakan yang hanya melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun sedangkan yang lama ada yang

mengalami ada juga yang tidak. Dari hasil yang didapat bahwa kontrasepsi oral dan suntkan belum tentu

menyebabkan hipertensi

Kata Kunci: Kontrasepsi oral; Kontrasepsi suntikan; Tekanan Darah

PENDAHULUAN Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah

terjadinya konsepsi dengan menggunakan alat atau

obat-obatan (Mochtar, 1998). Pada dasarnya

kontrasepsi dibagi menjadi 2 jenis yaitu kontrasepsi

non hormonal dan kontrasepsi hormonal

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan Laporan Hasil Pelayanan

Kontrasepsi Januari-Juli 2013 (BKKBN), cakupan

KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran

dibandingkan dengan cakupan peserta KB Baru

masih sebesar 13,27%. Capaian tersebut juga masih

didominasi oleh non MKJP yaitu suntikan (52,49%)

dan pil (18,95%), sementara capaian MKJP implan

(8,08%), IUD (14,06%), MOW (3,27%) dan

MOP (0,02%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Kontrasepsi hormonal jenis KB suntikan dan

pil KB ini di Indonesia semakin banyak

dipakai karena kerjanya yang efektif,

pemakaiannya yang praktis, harganya relatif murah

dan aman, bekerja dalam waktu lama, tidak

mengganggu menyusui, dapat dipakai segera

setelah keguguran atau setelah masa nifas.

Kontrasepsi hormonal kombinasi juga bisa

menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi

(hipertensi), pada kurang lebih 4–5% perempuan

yang tekanan darahnya normal sebelum memakai

kontrasepsi tersebut dan meningkatkan tekanan

darah pada kurang lebih 9–16% perempuan yang

telah menderita hipertensi sebelumnya (Kementerian

Kesehatan RI, 2013).

Hormon yang terkandung dalam kontrasepsi

hormonal dapat merangsang pusat pengendali

nafsu makan di hypothalamus yang menyebabkan

akseptor makan lebih banyak daripada biasanya

(Hartanto, 2012). Dimana pada setiap sisi

hipothalamus tampak adanya suatu area

hipothalamus lateral yang besar, area ini terutama

untuk mempengaruhi rasa lapar, haus, dan hasrat

emosional (Guyton, 2012).

Hormon estrogen juga menyebabkan

peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan

subkutan, selain deposit lemak pada payudara dan

jaringan subkutan, estrogen juga menyebabkan

deposit lemak pada bokong dan paha yang

merupakan karakteristik dari sosok wanita,

(Guyton, 2012)

Kandungan hormon (estrogen dan progesteron)

dapat mengubah metabolisme cairan dalam tubuh

seringkali dapat menyebabkan retensi cairan

(edema).Para wanita pengguna kontrasepsi hormonal

dapat mengalami kenaikan berat badan sampai 10 Kg,

kenaikan ini biasanya merupakan efek samping yang

muncul temporer dan terjadi pada bulan pertama

selama 4-6 minggu. Berdasarkan penelitian yang

ditulis Journal Contraception efek samping seperti

muntah, terjadi pembengkakan pada kaki, sakit

kepala, malas, nafas pendek, sakit pada bagian

perut (Guyton, 2012).

Gangguan kesehatan pada pengguna

Page 21: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

18

kontrasepsi hormonal antara lain dalah gangguan

haid, permasalahan berat badan, terlambatnya

kembali kesuburan, penurunan

libido, sakit kepala, hipertensi dan stroke (Saifuddin,

2006). Akseptor keluarga berencana yang

menggunakan kontrasepsi hormonal dalam kurun

waktu tertentu sering mengeluhkan masalah

kesehatan, salah satu masalah kesehatan yang sering

dialami oleh akseptor kontrasepsi hormonal adalah

hipertensi atau tekanan darah tinggi (Mochtar, 2008).

Berdasarkan Permasalahan yang diatas peneliti akan

melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat

gambaran tekanan darah pengguna kontrasepsi oral

dan kontrasepsi suntikan di puskesmas sekip

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian non

eksperimental deskriptif kuantitatif. Populasi pada

penelitian ini yaitu ibu-ibu yang mengunakan

kontrasepsi oral dan suntikan di Puskesmas Sekip

sebanyak 73 orang. Sampel diambil sesuai dengan

kriteria inklusi dan ekslusi dan diambil dengan

metode random sampling dari data tahun 2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sekip kota

Palembang yang telah mendapat izin dari Dinas

Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Puskesmas

Sekip. Populasi dari penelitian ini adalah wanita yang

menggunakan alat kontrasepsi hormonal baik berupa

pil maupun suntikan dengan jumlah sampel diambil

dari metode random sampling yaitu sebanyak 73

Responden menggunakan kontrasepsi oral dan

suntikan pada tahun yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan ekslusi.

Penelitian ini dilakukan dengan cara meminta

data pasien yang menggunakan alat konstrasepsi baik

oral maupun suntikan pada tahun 2017. Dalam

penelitian ini didapatkan hasil yang disajikan dalam

bentuk tabel dan dideskripsikan menggunakan tabel

tabulasi silang dan grafik untuk melihat gambaran

tekanan darah pengguna kontrasepsi oral dan

suntikan.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengguna Kontrasepsi

Oral dan Kontrasepsi Suntikan di Puskesmas Sekip

Jenis Kontrasepsi F %

Oral 20 27.40%

Suntikan 1 Bulan 14 19.18%

Suntikan 3 Bulan 39 53.42%

Total 73 100%

Dari tabel diatas didapatkan bahwa pengguna

kontrasepsi yang terbanyak yaitu kontrasepsi suntikan

3 bulan yaitu sebanyak 39 orang (53,42%), kemudian

kontrasepsi oral yaitu sebanyak 20 orang (27,40%)

dan yang paling sedikit yaitu Kontrasepsi suntikan 1

bulan yaitu sebanyak 14 orang (19,18%). Pada

penelitian afinah karimatu dkk pada tahun 2016

dengan judul “Gambaran Faktor-Faktor Tekanan

Darah Pada Akseptor KB Hormonal di Wilayah Kerja

Puskesmas Kedungmundu 2016” Pengguna

konntrasepsi suntik lebih banyak yaitu 19 orang,

sedangkan pengguna pil hanya 8 orang dan pengguna

implant hanya 2.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jumlah Kunjungan

Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi Suntikan

di Puskesmas Sekip

Jenis Jumlah N % Kontras

Oral

Suntika Bulan

Suntikan 3 Bulan 2 23 31.51%

3 9 12.33%

4 5 6.85%

5 2 2.74%

Total 73 100%

Dari tabel diatas didapatkan hasil bahwa pada

pengguna kontrasepsi oral yang terbanyak yaitu

hanya melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun

yaitu sebanyak 11 orang (15,07%) sedangkan yang

melakukan kunjungan 10 kali dalam satu tahun hanya

1 orang (1,37%), kemudian pada pengguna

kontrasepsi suntikan 1 bulan terbanyak yaitu hanya

melakukan 2 kali kunjungan dalam satu tahun yaitu

sebanyak 7 orang (9,59%) sedangkan yang

melakukan kunjungan terbanyak yaitu 4 kali

kunjungan hanya 4 orang (5,48%), dan pada

pengguna kontrasepsi suntikan 3 bulan yang

terbanyak yaitu hanya melakukan 2 kali kunjungan

juga yaitu sebanyak 23 orang (31,51%) sedangkan

yang melakukan kunjungan terbanyak yaitu 5 kali

yaitu hanya 2 orang (2,74%).

Kontrasepsi oral yaitu dikonsumsi 1 bulan sekali

sedamgkan suntikan digunakan 1 bulan sekali dan 3

bulan sekali, tetapi dari hasil yang didapat itu yang

terbanyak melakukan kunjungan yaitu hanya 2 kali

kunjungan baik oral maupun suntikan. Hal ini

menunjukkan bahwa pengguna kontrasepsi tidak

patuh dalam menggunakan obat kontrasepsi.

Tabel 3. Tabulasi Silang Gambaran Tekanan Darah

Pengguna Kontrasepsi Oral dan Kontrasepsi Suntikan

epsi Kunjungan

2

11

15.07%

3 3 4.11%

4 1 1.37%

5 2 2.74%

6 1 1.37%

7 1 1.37%

10 1 1.37%

1 2

7 9.59%

3 3 4.11%

4 4 5.48%

Page 22: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

19

di Puskesmas Sekip

Jenis kontrasepsi Hipertensi Normal Hipotensi Total

% F % F % F %

Oral 12 60.00% 6 30.00% 2 10.00% 20 100%

Suntikan 1 6 42.86% 3 21.43% 5 35.71% 14 100%

Bulan

Suntikan 3 10 25.64% 12 30.77% 17 43.59% 39 100%

bulan

Total 28 38.36% 21 28.77% 24 32.88% 73 100%

Dari tabel diatas didapatkan hasil dari 73 pengguna

kontrasepsi yaitu 20 orang pengguna kontrasepsi oral

terdapat 12 orang (60 %) yang mengalami Hipertensi

sedangkan 6 orang (30%) nya normal dan 2 orang

(10%) mengalami Hipotensi. Dan 14 pengguna

kontrasepsi suntikan 1 bulan 6 (42,8%) mengalami

Hipertensi Sedangkan 3 Orang (21,43%) normal

dan 5 orang mengalami hipotensi (35,71%),

sedangkan pada 39 pengguna kontrasepsi suntikan 3

bulan terdapat 10 (25,6%) orang yang mengalami

Hipertensi sedangkan 12 (30,77%) nya normal dan 17

orang (43,59%) mengalami Hipotensi.

Menurut hasil penelitian jurnal kesehatan

masyarakat tahun 2017 menunjukkan bahwa proporsi

tekanan darah tinggi pada responden dengan waktu

lama pemakaian alat kontrasepsi hormonal pada

rentang waktu 0-1 tahun yaitu sebesar 100%.

Kecenderungan untuk mengalami kenaikan tekanan

darah mulai muncul pada pemakaian 0-1 tahun. Hasil

pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Dewi Nafisah dinyatakan bahwa

pemakaian alat kontrasepsi hormonal pil selama 12

tahun berturut dapat beresiko 5,38 kali mengalami

peningkatan tekanan darah ( Zahidah, A.K dkk,2016).

Tabel 4. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Oral di Puskesmas Sekip

No Nama Umur

(th)

Jumlah

Kunjungan

Data Tekanan Darah Ket

Awal Akhir

1 E 44 2 120/80 130/80 Ada Perubahan

2 N 42 2 100/80 120/80 Tidak

3 H 26 3 110/70 130/80 Ada Perubahan

4 L 29 5 90/60 130/80 Ada Perubahan

5 F 31 2 100/70 110/80 Tidak

6 E 42 10 110/70 100/80 Tidak

7 H 40 2 120/80 120/90 Ada Perubahan

8 K 32 6 120/80 130/90 Ada Perubahan

9 N 42 3 110/70 120/90 Ada Perubahan

10 K 32 2 110/70 120/80 Tidak

11 R 47 4 120/80 120/80 Tidak

12 R 29 2 110/70 110/60 Tidak

13 L 33 2 120/80 140/80 Ada Perubahan

14 H 28 4 110/70 130/90 Ada Perubahan

15 H 26 3 110/70 120/90 Ada Perubahan

16 J 35 2 110/70 120/90 Ada Perubahan

17 K 47 2 110/70 120/90 Ada Perubahan

18 J 28 2 120/70 120/80 Tidak

19 A 50 7 110/70 180/100 Ada Perubahan

20 JA 29 2 120/70 120/90 Ada Perubahan

Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada

pengguna kontrasepsi oral lebihbanyak yang

mengalami kenaikan yaitu yang hanya melakukan 2

kali kunjungan, sedangkan pada pengguna

kontrasepsi yang 10 kali tidak mengalami kenaikan

tekanan darah atau hipertensi.

Tabel 5. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Suntikan 1 Bulan di Puskesmas Sekip

Page 23: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

20

No Nama Umur

(th)

Jumlah

Kunjungan

Data Tekanan Darah Ket

Awal Akhir

1 ET 32 4 110/70 120/80 Tidak

2 N 39 2 120/80 120/70 Tidak

3 HS 26 3 100/70 110/80 Tidak

4 K 28 3 110/70 130/80 Ada Perubahan

5 C 33 4 120/80 120/80 Tidak

6 JH 26 2 120/80 120/90 Ada Perubahan

7 I 38 2 100/60 130/80 Ada Perubahan

8 H 26 4 100/60 120/90 Ada Perubahan

9 M 35 4 120/80 110/80 Tidak

10 DM 27 2 120/80 120/90 Ada Perubahan

11 L 31 3 120/80 90/70 Tidak

12 MA 20 2 120/80 110/80 Tidak

13 AS 26 2 120/80 130/90 Ada Perubahan

14 R 30 2 120/80 110/70 Tidak

Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada

pengguna kontrasepsi Suntikan 1 bulan lebih banyak

yang mengalami kenaikan yaitu yang hanya

melakukan 2 kali kunjungan, sedangkan pada

pengguna kontrasepsi yang 4 kali ada yang

mengalami kenaikan tekanan darah atau hipertensi

ada juga yang tidak.

Tabel 5. Gambaran Tekanan Darah Pengguna Kontrasepsi Suntikan 3 Bulan di Puskesmas Sekip

No Nama Umur

(th)

Jumlah

Kunjungan

Data Tekanan Darah Ket

Awal Akhir

1 YS 23 4 100/70 100/70 Tidak

2 J 36 3 110/70 120/90 Ada Perubahan

3 SS 28 4 120/80 130/90 Ada Perubahan

4 S 28 5 110/70 100/80 Tidak

5 H 33 2 100/70 110/70 Tidak

6 R 46 3 100/80 90/80 Tidak

7 N 38 2 120/70 110/70 Tidak

8 BS 18 4 120/70 120/80 Tidak

9 E 33 2 120/80 110/80 Tidak

10 K 43 3 110/80 120/90 Ada Perubahan

11 R 34 5 120/80 120/80 Tidak

12 S 33 4 110/70 110/80 Tidak

13 M 34 2 120/80 110/80 Tidak

14 R 37 4 110/70 130/90 Ada Perubahan

15 D 30 2 120/80 120/90 Ada Perubahan

16 K 31 2 110/70 130/90 Ada Perubahan

17 M 44 3 130/90 120/80 Tidak

18 HK 32 2 130/80 130/90 Ada Perubahan

19 MA 20 2 120/70 110/70 Tidak

20 Z 46 3 110/70 110/70 Tidak

21 Y 25 2 100/80 110/70 Tidak

Page 24: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

21

22 VD 37 3 110/80 100/60 Tidak

23 T 32 2 120/80 120/80 Tidak

24 M 31 3 110/80 120/90 Ada Perubahan

25 J 26 2 120/80 100/70 Tidak

26 V 27 2 120/80 110/70 Tidak

27 I 38 2 120/80 120/80 Tidak

28 D 31 2 120/80 110/70 Tidak

29 E 47 3 110/70 100/70 Tidak

30 N 31 2 130/80 120/90 Ada Perubahan

31 YA 24 2 110/80 110/80 Tidak

32 N 30 2 110/80 110/70 Tidak

33 RP 32 2 110/70 110/80 Tidak

34 DA 46 2 120/80 120/80 Tidak

35 D 29 2 110/70 110/70 Tidak

36 R 46 2 110/80 120/90 Ada Perubahan

37 S 27 2 90/70 110/80 Tidak

38 N 32 2 110/70 110/80 Tidak

39 E 31 2 110/80 120/80 Tidak

Dari tabel diatas didapatkaan hasil bahwa pada

pengguna kontrasepsi Suntikan 3 bulan lebih banyak

yang mengalami kenaikan yaitu yang hanya

melakukan 2 kali kunjungan, sedangkan pada

pengguna kontrasepsi yang 5 kali tidak ada

mengalami kenaikan tekanan darah atau hipertensi.

Tetapi sesuai data pada tabel 4,5 dan 6 baik

pengguna kontrasepsi oral maupun suntikan yang

banyak mengalami perubahan tekanan darah yaitu

yang hanya 2 atau 3 kali kunjungan, sedangkan untuk

penggunaan yang lama tidak mengalami perubahan

dan ada pula yang mengalami perubahan. Menurut

riskesdas 2013 biasanya perubahan tekanan darah itu

jika digunakan selama minimal 6 kali berturut-turut.

kenaikan tekanan pada pengguna kontrasepsi ini

sepertinya tidak disebabkan oleh penggunaan

kontrasepsi tapi bisa disebabkan beberapa faktor lain

yaitu umur, berat badan, genetik dan faktor-faktor

lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN Dari 73 Responden pengguna kontrasepsi

terbayak yaitu pengguna kontrasepsi suntikan 3 bulan

dibandingkan oral dan suntikan 1 bulan dan

kunjungan terbanyak yaitu 2 kali kunjungan baik oral

maupun suntikan. Kemudian dari 73 Responden

pengguna kontrasepsi paling banyak mengalami

hipertensi yaitu kontrasepsi oral daripada kontrasepsi

suntikan ini membuktikan bahwa kontrasepsi belum

tentu menyebabkan kenaikan tekanan darah atau

hipertensi pada pengguna kontrasepsi baik oral

maupun suntikan

SARAN Sebaiknya diadakan penelitian lebih lanjut untuk

mencari korelasi antara kontrasepsi oral, kontrasepsi

suntik dan tekanan darah. Kemudian Sebaiknya

diadakan penelitian lebih lanjut tentang gambaran

efek samping lainnya dari penggunaan kontrasepsi

oral dan kontrasepsi suntikan dan diadakan

penelitian tentang berapa banyak wanita pada usia

subur yang menggunakan kontrasepsi dan tidak

menggunakan kontrasepsi.

DAFTAR PUSTAKA

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar., 2013. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Guyton A.C and J.E Hall. 2012. Buku ajar Fisiologi Kedokteran

Edisi 11. Jakarta.

Hartanto, H., 2012. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar.

Jakarta: Badan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar.

Jakarta: Badan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI.

Mochtar, R., 1998. Sinopsis Obstetri, Jilid 2.

Jakarta: EGC.

Mochtar, R., 2008. Sinopsis Obstetri: Obstetri Operatif,

Obstetri Sosial. Jakarta: EGC.

Saifuddin, A.B., 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan

Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo

Zahidah, A.K. dkk., 2016. Gambaran Faktor-Faktor Tekanan

Darah Pada Akseptor KB Hormonal di Wilayah Kerja

Page 25: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

22

Puskesmas Kedungmundu 2016. Universitas

Diponegoro

Page 26: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

23

PENINGKATAN KUALITAS INFORMASI PADA PEMBELI OBAT

MAAG SECARA BEBAS SETELAH PEMBERIAN BROSUR PADA

APOTEK KIMIA FARMA

DIKOTA PALEMBANG

Sarmalina Simamora,Liwista

Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang

* Email : [email protected]

ABSTRAK

Obat maag merupakan obat bebas yang dapat diperoleh tanpa menggunakan resep. Namun dalam penggunaan

nya obat maag harus di konsumsi dengan benar agar mendapat khasiat yang optimal. Di apotek terkadang

informasi tentang obat jarang diberikan oleh pegawai sehingga dapat menyebabkan pasien kurang tepat dalam

penggunaan obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas informasi pada pembeli obat maag

bebas setelah pemberian brosur pada Apotek Kimia Farma dikota Palembang. Jenis penelitian adalah quasi

experimental dengan rancangan equivalent pre-test and post-test with control group. Penelitian kuasi eksperimen

(Quasi Eksperimental research). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Apotek Kimia Farma Palembang.

sampel apotek dilakukan metode probability sampling dengan pengambilan secara acak sederhana (metode

sampel random sampling). Cara menentukannya dengan metode lotere. Dari data penelitian menunjukan bahwa

Apotek Kimia Farma cenderung memiliki kualitas informasi yang kurang baik dapat dilihat kelompok perlakuan

(37,5%) apotek yang memberikan informasi obat. Dan kelompok control (11,1%) apotek yang memberikan

informasi obat. Hasil penelitian ini nilai sig. 2-tailed lebih kecil dari 0,05%.

Kata kunci : obat maag, kualitas informasi, brosur

PENDAHULUAN

Pelayanan Informasi Obat merupakan

kegiatan yang dilakukan oleh apoteker.

Informasi mengenai Obat termasuk obat

resep, obat bebas dan herbal (Permenkes,

2016). Informasi menurut McLeod

(2010:35) merupakan data yang telah

diproses atau memiliki arti. Informasi obat

penting di berikan untuk menjamin

ketepatan penggunaan obat. Ketepatan

dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan

mengingat obat dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 2007). ldealnya petugas apotek baik diminta ataupun tidak harus selalu pro aktif memberikan pelayanan informasi obat sehingga dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli. Informasi yang diberikan meliputi

dosis, cara pakai tentang cara dan waktu

penggunaan obat, serta cara penyimpanan

obat di rumah. penyakit-penyakit yang

paling sering diobati secara swamedikasi,

antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare,

dan gastritis. Menurut data dari World

Health Organization (WHO), terdapat

beberapa Negara didunia

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah quasi

experimental dengan rancangan equivalent

pre-test and post-test with control group.

Penelitian kuasi eksperimen (Quasi

Eksperimental research). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh Apotek Kimia

Farma Palembang. Pemilihan sampel

apotek dilakukan metode dimulai dengan

Negara yang kejadian gastritis paling tinggi

Amerika dengan presentase 47%, india dengan

presentase 43%, Indonesia 40% (WHO,2012).

Di beberapa wilayah di Indonesia kejadian

gastritis juga cukup tinggi dari 238.452.952

jiwa penduduk, terdapat 274.398 kasus

prevalensi penyakit gastritis (Ahmad, 2011).

Namun masih saja di dapati Tenaga Teknis

Kefarmasian tidak memberi informasi obat,

Salah satu kemungkinan ialah Tenaga Teknis

Page 27: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

24

Kefarmasian kurang memiliki pengetahuan

tentang obat. Faktor yang mempengaruhi

pengetahuan yaitu : pendidikan, media

masa/sumber informasi, sosial budaya dan

ekonomi, lingkungan dan pengalaman. Dari

kasus di atas maka peneliti tertarik untuk

mengetahui apakah upaya peningkatan kualitas

informasi pada pembeli obat maag secara

bebas setelah pemberian brosur pada beberapa

apotek Kimia Farma dikota Palembang dapat

meningkatkan pengetahuan pegawai di apotek

dalam pemberian informasi obat kepada pasien

swamedikasi probability sampling dengan

pengambilan secara acak sederhana

(metode sampel random sampling). Cara

menentukannya dengan metode lotere.

ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan

data dalam penelitian ini adalah alat tulis,

lembar penelitian (checklist), handphone

(sebagai alat perekam), brosur dan kamera.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan april –

juni 2018 dikota Palembangpada Tenaga

Teknis Kefarmasian di Apotek Kimia

Farma kota Palembang yang telah

mendapatkan persetujuan dari Branch

Manager Apotek Kimia Farma dikota

Palembang. Populasi pada penelitian ini

adalah semua TTK di Apotek Kimia Farma

kota Palembang. Berdasarkan data yang

didapat dari Dinas Kesehatan Kota

Palembang bahwa Apotek Kimia Farma

dikota Palembang terdapat 17 Apotek.

Terdiri atas 8 Apotek yang menjadi Apotek

perlakuan dan 9 Apotek sebagai control.

Penilaian pada penelitian ini adalah dengan

cara peneliti mendengar hasil rekaman

audio antara pasien simulasi dan Tenaga

Teknis Kefarmasian. Poin Penilaian

dilakukan peneliti dengan cara memberi

nilai pada poin-poin checklist yang telah

disiapkan lalu dihitung dan dikelompok

kedalam 2 kategori yaitu baik dan kurang

baik. Dalam penelitian ini di ambil data 2

kali yaitu saat TTK sebelum dan sesudah di

beri informasi obat pada Apotek perlakuan

dan Apotek kontrol. Tenaga Teknis

Kefarmasian yang diambil dari setiap

Apotek berjumlah 2 orang. Dari hasil ini

terdapat 34 orang TTK yang menjadi

responden atau penerima informasi.

Table 1. Hasil uji non parametric

Wilcoxon kelompok perlakuan sebelum

dan sesudah diberi perlakuan.

Berdasarkan Tabel hasil analisis yang

dilakukan dengan uji Wilcoxon didapatkan

hasil sig.2-tailed = 0,025 (p<0,05) maka

dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan

Ada peningkatan kualitas informasi pada

pembeli obat maag bebas setelah

pemberian brosur pada Apotek Kimia

Farma dikota Palembang.

Table 2 Hasil uji non parametric Mann

Whitney kelompok kontrol

Berdasarkan Tabel hasil analisis yang

dilakukan dengan uji Mann Whitney

didapatkan hasil sig.2-tailed = 0,702

(p>0,05) maka dapat disimpulkan bahwa H0

diterima dan Tidak ada peningkatan

kualitas informasi pada pembeli obat maag

Kelompo

k

responden

Kualitas informasi Total Sig. (2-

taile d) Baik Kurang

baik

N % N % N %

Sebelum perlakuan

3 37,5% 5 62,5% 8 100% 0,02

5

Sesudah perlakuan

8 100% 0 0% 8 100%

Kelo

mpok

data

Kualitas informasi Total Asym

p.Sig.

(2-

tailed

)

Baik Kurang baik

N % N % N %

Data 1 11,1% 8 88,9 9 100% 0,702

awal %

Data 0 0% 9 100% 9 100%

akhir

Page 28: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

25

bebas setelah pengamatan data awal dan

pengamatan akhir di apotek kimia farma

kelompok control.

Table 3. Hasil uji non parametric Mann

Whitney perbedaan antara kelompok

control dan kelompok perlakuan

Berdasarkan Tabel hasil analisis perbedaan

antara kelompok control dan kelompok

perlakuan yang dilakukan dengan uji Mann

Whitney didapatkan hasil sig.2-tailed =

0,000 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan

bahwa H0 ditolak dan terdapat peningkatan

kualitas informasi secara signifikan pada

pembeli obat maag bebas antara apotek

control dengan perlakuan di apotek kimia

farma kota Palembang.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan yang dihasilkan dari 17

Apotek Kimia Farma dikota Palembang,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut : Informasi yang diberikan oleh

TTK di apotek Kimia Farma memiliki

perbedaan kualitas informasi, pada saat

sebelum dan setelah diberi informasi obat

melalui brosur.

1. Informasi obat yang diberikan oleh

apotek kimia farma setelah diberi

brosur meliputi cara pakai obat,

waktu penggunaan obat, dosis

pemakaian, lama pemakaian obat,

interaksi obat, efek samping obat,

dan cara pencegahan penyakit

maag.

2. Kualitas informasi obat

apotek kelompok perlakuan

meningkat menjadi lebih baik

karena adanya stimulus pertanyaan

dari pasien simulasi bukan

spontanitas dari TTK.

B. SARAN

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian

ini, maka saran yang dapat diberikan oleh

penulis adalah sebagai berikut :

1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan

kota Palembang untuk memberi

penyuluhan terkait informasi obat di

apotek-apotek dikota Palembang.

Karena informasi obat sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan

pengetahuan pasien tentang obat.

2. Pada peneliti selanjutnya agar dapat

meneliti tentang interaksi obat

maag, karena dalam penelitian ini

terdapat apotek yang tidak

menginformasikan tentang interaksi

obat.

3. Di himbau kepada pegawai apotek

untuk membaca brosur obat agar

pelayanan informasi obat bebas

semakin optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kurnia., 2011. Manajemen

Penelitian. http: // skripsimahasiswa.

blogspot.com/2011/01/one-sample-t- tests-

uji-t-satusampel.html (13februari2018)

Afriwany, N.H., 2017. ”Hubungan tingkat

pengetahuan dan perilaku Penggunaan

antasida tablet pada pasien Di puskesmas

kalidoni Palembang”.Karya tulis ilmiah.

Jurusan farmasi Poltekkes Kemenkes

Kelompok

data Kualitas

informasi

Total Asy

m

p.Sig

.

(2-

tailed

)

Baik Kurang

baik

N % N % N %

Data akhir

kelompok

kontrol

0 0% 9 100 % 9 100%

0,000

Data

setelah

perlakuan

8 100% 0 100 % 8 100%

Page 29: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

26

Palembang.(tidak di publikasikan).

Halaman 58.

Anief, M., 2007.Apa Yang Perlu Diketahui

Tentang Obat, Cetakan Kelima(Revisi),

Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Arikunto, S., 2006.Prosedur penelitian:

suatu pendekatan praktik.Jakarta : Rineka

cipta

Budiman dan Riyanto A., 2013.Kapita

Selekta Kuisioner Pengetahuan Dan Sikap

Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta :

Salemba Medika pp 66-69.

Depkes., 2006, Pedoman Obat Bebas dan

Bebas Terbatas, Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI., 2007.

Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan

Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi

Komunitas Dan Klinik. Jakarta, Indonesia.

Depkes RI., 2008. Profil Kesehatan

Indonesia. Jakarta.

Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah

No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI:

Jakarta.

Dinas kesehatan., 2012. Laporan Bulanan

Dinas Kesehatan Kota Palembang,

Palemban

g, Indonesia.Hal.9.

Dinas Kesehatan., 2013. Laporan Bulanan

Dinas Kesehatan Kota Palembang,

Palemban

g, Indonesia.hal.3.

FIP, 1999. Joint Statement By The

International

Pharmaceutic

al Federation and The World Self-

Medication Industry: Responsible Self-

Medication. FIP & WSMI, p.1- 2.

Gordon, B.Davis, 2002, Kerangka Dasar

Sistem Informasi Manajemen,

PPM, Jakarta.

Hendra, AW. 2008. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Pengetahuan. Avaible :http

: //ajang-berkarya.

Hutahaean, Jeperson., 2014. Konsep

Sistem Imformasi. Yogyakarta:

Deepublish.

Kimia farma., 2017. Sejarah kimia

farma.Jakarta pusat. Indonesia.

K-24., 2018.Beranda apotek K-24.

Yogyakarta, Indonesia.

McLeod, Raymond Jr dan George

P.Schell., 2010.Sistem Informasi

Managemen.Jakarta: Indeks .hal 7.

Muffidah, lina., 2016. Manajemen

kemitraan waralaba sektor farmasi

perspektif ekonomi islam :Studi kasus di

apotek K-24 kabupaten banyumas. Skripsi

UIN Purwokerto, Purwokerto.

Nasution, M. N., 2001, Manajemen Mutu

Terpadu (Total Quality Management),

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Notoatmodjo, S., 2010.Metodologi

Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Notoatmodjo, S., 2005, Promosi kesehatan

teori dan Aplikasi, Jakarta : PT Rineka

Cipta

Nurlaila, 2009.Peranan Promosi

Perpustakaan dalam Peningkatan Layanan

Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jurnal

Iqra’, Vol. 03, No.01. Jakarta.

Permenkes., 2016. Peraturan Menteri

Kesehatan RI No 73 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di

Page 30: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

27

Apotek.Jakarta : Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia.

Ranica, hamid., et al. (2014). Profil

penggunaan obat antasida yang diperoleh

secara swamedikasi (studi pada pasien

apotek “X” Surabaya). Surabaya.

Riyanto, Agus., 2012. Penerapan Analisis

Multivariat dalam Penelitian Kesehatan.

Nuha Medika, Yogyakarta, Indonesia, hal.

72.

Setiastuti, A,D., 2012.Laporan praktek

kerja profesi apoteker di apotek kimia

farma No.55 jalan kebayoran lama No. 50

jakarta barat periode 2 april – 12 mei 2012.

Depok, Indonesia.

Siregar, C.J., 2006, Farmasi Klinik Teori

dan Penerapan, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

Sukasediati, N. dan Sundari, D., 1996,

Tinjauan Hasil Penelitian Tanaman Obat di

Berbagai Institut

III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Supardi, S., dan Raharni., 2006,

Penggunaan Obat Yang Sesuai Dengan

Aturan Dalam Pengobatan Sendiri Keluhan

Demam - Sakit

kepala, Batuk dan Flu, Jurnal Kedokteran

Yarsi, Volume. 14, Nomor. 1, 61 – 69.

Jakarta.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja,

2007, Obat-Obat Penting Khasiat,

Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya,

Edisi Keenam, 262, 269-271,

PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Utami, T.P., 2017. “Hubungan

Penggunaan Obat Dan Ketepatan

Penggunaan Obat Demam Pada Anak

Oleh Ibu Yang Telah Dan Belum

Diedukasi Di Posyandu Margoyoso

Palembang. Karya Tulis Ilmiah. Jurusan

farmasi poltekkes Kemenkes Palembang.

(tidak di publikasikan). Hal 37

Wibowo, A.W., Maslachah, L. dan Retno,

B. 2008. Pengaruh Pemberian Perasan

Buah Mengkudu (Morinda citrifolia)

Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus

Putih (Rattus norvegicus) Diet Tinggi

Lemak. Jurnal Veterinaria Medika

Universitas Airlangga.15:50-75.

World Health Organization (WHO)., 2012. Angka Kematian Bayi.Amerika : WHO.

Wordpress.com/ 2008/

06/ 07/ Konsep-Pengetahuan. Diakses (18/feb/2018).

Page 31: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

28

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN INFUSA DAUN SALAM

(Eugenia polyantha Wight. ) DAN DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.)

DENGAN METODE DPPH SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis

Dewi Marlina, Riandini Syafitri,

ABSTRAK

Radikal bebas merupakan suatu elektron dalam tubuh yang tidak berpasangan. Radikal bebas

akan terus berusaha menyerang dan merusak sel-sel tubuh agar stabil, sehingga dapat menimbulkan

penyakit degeneratif, contohnya Asam Urat. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat

radikal bebas. Senyawa antioksidan alami adalah senyawa fenolik atau polifenol. Berdasarkan penelitian

sebelumnya, Tanaman daun Salam dan daun tempuyung memiliki senyawa polifenol berupa flavonoid.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar aktivitas antioksidan yang terdapat pada ekstrak dan infusa

daun salam dan daun tempuyung.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik. Sampel dibagi

menjadi dua jenis yaitu daun salam dan daun tempuyung. Yang pertama dilakukan ekstraksi menggunakan

metode maserasi dengan pelarut etanol. Yang kedua, sampel dibuat infusa dengan pelarut aquadest lalu

kemudian disaring dan dibuat konsentrasi. Kemudian, dibuat larutan uji DPPH untuk mengukur kurva

puncak. Lalu, dibuat larutan vitamin C sebagai Kontrol positif. Selanjutnya dibuat sampel dengan berbagai

konsentrasi untuk mengukur persen peredaman. Setelah didapatkan persen peredaman, maka dihitung

IC50 untuk menyatakan besar aktivitas antioksidan yang dihasilkan.berdasarkan hasil yang didapat, yaitu

menunjukan nilai IC50 ekstrak etanol salam yaitu 3,33 ppm dan infusa daun salam yaitu 5,08 ppm.

Sedangkan nilai IC50 dari ekstrak etanol daun tempuyung yaitu 2,45 ppm dan infusa daun tempuyung 2,92

ppm. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak dan infusa daun salam maupun daun tempuyung

memiliki aktivitas antioksidan.

PENDAHULUAN

Suatu penyakit yang timbul seiring

bertambahnya usia seseorang karena disebabkan

oleh menurunnya fungsi sel, jaringan, dan organ

disebut penyakit degeneratif (Nasren, 2013).

Menurut Subroto dan Saputro (2006) beberapa

penyakit yang tergolong kedalam penyakit

degeneratif adalah tumor, kanker, jantung

koroner dan asam urat. Asam urat atau dikenal

dengan gout merupakan hasil buangan zat purin

yang ikut mengalir bersama darah dalam

pembuluh darah (Suriana, 2014). Penyakit asam

urat merupakan salah satu jenis penyakit rematik

yang terjadi di bagian sendi, dan dikenal dengan

nama rematik sendi, atau radang sendi (Dewani

dan Sitanggang, 2006). Menurut Hasil riset

kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013

menunjukkan bahwa penyakit sendi di Indonesia

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)

sebesar 11.9% dan berdasarkan diagnosis dan

gejala sebesar 24.7%. Di Indonesia penyakit

kronis seperti darah tinggi, asam urat dan rematik

menurut susenas merupakan salah satu keluhan

penyakit yang paling tinggi pada usia lanjut

dengan persen sebesar 32,99 % (Kemenkes,

2013)

Menurut Winarto (2004) salah satu penyebab

atau pemicu terjadinya penyakit radang sendi

adalah karena adanya pembentukan senyawa

radikal bebas. Senyawa radikal bebas merupakan

molekul yangmemiliki satu atau lebih elektron

yang tidak berpasangan dan bersifat tidak stabil

sehingga bersifat reaktif dan mengakibatkan

kerusakan sel (Silalahi, 2006). Untuk mengatasi

kerusakan akibat radikal bebas, diperlukan

senyawa yang dapat menangkal serangan dari

molekul radikal tersebut dengan memberikan

elektron sehingga tidak terjadi kerusakan lebih

lanjut. Senyawa tersebut dikenal dengan nama

antioksidan (Winarno, Winarno dan Winarno,

2015). Menurut Agung (2016) Antioksidan

terbagi menjadi dua kelompok yaitu antioksidan

dari luar dan dari dalam tubuh manusia.

Antioksidan dari dalam (endogen) merupakan

antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh sebagai

system pertahanan tubuh untuk menangkal

radikal bebas. Akan tetapi, senyawa antioksidan

yang diproduksi oleh tubuh ini belum cukup

untuk menangkal radikal bebas yang ada

sehingga diperlukan sumber antioksidan dari luar

(Lingga, 2012).

Menurut Komarudin (2017) berdasarkan

sumber perolehannya terdapat dua jenis

antioksidan dari luar yaitu antioksidan alami dan

antioksidan sintetik. Meningkatnya kesadaran

masyarakat akan penggunaan obat berbasis

bahan alam menjadikan antioksidan alami lebih

diminati masyarakat dibandingkan antioksidan

sintetik (Syah, 2006). Adapun beberapa sumber

antioksidan alami yaitu

Page 32: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

29

daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun

tempuyung (Sonchus arvensis L.). Menurut Savitri

(2016). Daun salam memiliki kandungan senyawa

flavonoid adapun menurut Harismah dan

Chusniatun (2017) kandungan senyawa dalam

daun salam yaitu minyak atsiri 0,2% (sitral,

eugenol), flavonoid (katekin dan rutin), tannin dan

metil kavicol (methyl chavicol). Begitu pun daun

tempuyung sendiri memiliki kandungan senyawa

flavonoid (Winarto dan Karyasari, 2004), dan

menurut Putra, Kusrini, dan Fachriyah (2013) daun

tempuyung mengandung banyak senyawa kimia,

seperti golongan flavonoid (kaemferol, luteolin-7-

O-glukosida dan apigenin-7- O-glukosida),

kumarin, taraksasterol serta asam fenolat bebas.

Pada penelitian sebelumnya, telah didapatkan

bahwa ekstrak daun Salam dan daun Tempuyung

menunjukkan aktivitas antioksidan. Hal ini

dibuktikan dalam penelitian Bahriun, Rahman dan

Diah (2014) ekstrak daun salam meliputi daun

muda, setengah muda dan tua memiliki aktivitas

antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 yang

diperoleh masing-masing 37,441 ppm, 14,889 ppm

dan 11,001 ppm. Begitu pun aktivitas ekstrak daun

tempuyung memiliki aktivitas antioksidan

IC50

sebesar 150,860 ppm (Yuliarti, Kusrini dan Fachriyah, 2013). Kedua tanaman tersebut

te1la.h dikenal secara empiris digunakan dalam pengobatan asam urat. Menurut Suriana (2014), masing-

masing tanaman sebanyak 10 helai direbus dengan

air panas sebanyak 100 ml dan dikonsumsi secara

rutin untuk menurunkan kadar asam urat. Pada

penelitian Darussalam dan Rukmi (2016)

menunjukan bahwa

air rebusan daun salam dapat menurunkan ka2d.ar

asam urat dan dalam penelitian Chairul, Sumarny,

dan Chairul (2003) menunjukkan bahwa ekstrak

air

daun tempuyung dapat menurunkan kadar asam

urat. Oleh karena itu, peneliti telah meneliti

aktivitas antioksidan dari ekstrak maupun infusa

daun salam dan daun tempuyung dibandingkan

dengan vitamin C sebagai kelompok kontrol

positif.

Vitamin C atau asam l-askorbat adalah

vitamin yang larut dalam air (aqueous antioxidant)

(Winarsih, 2014). Vitamin larut ini akan bereaksi

dengan radikal bebas dan menghasilkan radikal

askorbil. Setelah terbentuk, radikal askorbil serta

asam askorbat dapat kembali menjadi asam

askorbat tetapi tidak seluruhnya kembali (Sayuti

dan Yenrina, 2015). Sebagai reduktor radikal

bebas, asam askorbat akan meminimalisir

kerusakan sel. Menurut Winarsi (2014)

Penangkapan radikal bebas oleh askorbat dapat

secara langsung menangkap radikal bebas oksigen

baik dengan atau tanpa katalisator enzim.

Pemilihan metode yang paling umum digunakan

dalam peredaman radikal bebas adalah metode

DPPH. Metode DPPH dipilih karena metode ini

mempunyai keuntungan yaitu mudah digunakan,

mempunyai tingkat sensitivitas tinggi dan dapat

menganalisis sejumlah besar sampel dalam jangka

waktu yang singkat (Praditya, 2014). Menurut

Molyneux (2004), senyawa antioksidan akan bereaksi

dengan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) yang

menstabilkan radikal bebas dan mereduksi DPPH.

Kemudian DPPH akan bereaksi dengan atom hidrogen

dari senyawa peredam radikal bebas membentuk 1,1-

difenil-2-pikrilhidrazin (DPPH-H) yang lebih stabil.

Reagen DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan

mengalami perubahan warna dari ungu ke kuning,

intensitas warna tergantung kemampuan dari

antioksidan.

Perbedaan penelitian yang telah diteliti dengan

penelitian sebelumnya adalah waktu, tempat,

konsentrasi pelarut dan ekstrak tanaman berupa infusa

(Pamungkas, Retyaningtyas dan Wulandari, 2015).

Ekstrak dan infusa pada penelitian ini menggunakan

daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun

tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang pada penelitian

sebelumnya telah adanya penelitian aktivitas

antioksidan Oleh karena itu peneliti meneliti aktivitas

antioksidan ekstrak dan infusa daun salam (Eugenia

polyantha Wight.) dan daun tempuyung (Sonchus

arvensis L.)

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum

Untuk mengukur aktivitas antioksidan ekstrak

etanol daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan

daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta infusa

kedua daun tersebut dibandingkan dengan vitamin C

sebagai kontrol positif menggunakan metode DPPH.

Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan yang

lebih baik dari ekstrak daun salam (Eugenia

polyantha Wight.) dan infusa daun salam

(Eugenia polyantha Wight.) dengan metode

DPPH.

b. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan yang

lebih baik dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus

arvensis L.) dan infusa daun tempuyung

(Sonchus arvensis L.) dengan metode DPPH.

c. Untuk mengukur nilai IC50 dari ekstrak daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dan infusa

daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dengan

metode DPPH.

d. Untuk mengukur nilai IC50 dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan infusa

daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan

metode DPPH.

e. Untuk mengukur besar kemampuan aktivitas

antioksian vitamin c sebagai kontrol positif

dalam meredam radikal bebas dengan metode

DPPH.

Page 33: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

30

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik

dengan melakukan uji aktivitas antioksidan yang

terdapat pada ekstrak dan infusa daun Salam

(Eugenia polyantha Wight.) dan daun Tempuyung

(Sonchus arvensis L.) terhadap peredaman radikal

bebas DPPH secara spektrofotometri UV-Vis,

dilanjutkan dengan penentuan IC50.

Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah

daun Salam yang diambil dari halaman rumah

Bapak “X” yang berada di Air Batu, Banyuasin

dan daun Tempuyung yang dibeli secara Online

didaerah Yogyakarta, D.I. Yogyakarta.

Cara Pengumpulan Data

1. Pembuatan Ekstrak Kental Daun Salam dan

Daun Tempuyung

Jenis ekstraksi yang digunakan adalah maserasi

dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Daun dibersihkan dengan menggunakan air

mengalir.

b. Setelah itu, daun dirajang halus dengan pisau,

kemudian dikering anginkan lalu ditimbang

sebanyak 150 gram. Setelah ditimbang

masukkan ke dalam botol maserasi yang

berwarna gelap.

c. Kemudian tambahkan pelarut etanol sampai

seluruh sampel terendam dan ada selapis

etanol diatasnya.

d. Botol ditutup dan biarkan selama 5 hari di

tempat gelap atau terlindung dari cahaya

sambil sering dikocok, pengocokan dilakukan

sebanyak 3 kali dalam 1 hari.

e. Setelah 5 hari, sampel disaring dan dibiarkan

selama beberapa jam kemudian sampel

dienaptuangkan selama 2 hari dan saring lagi

dengan kertas saring whatman ke wadah lain.

f. Proses maserasi diulangi sebanyak 3 kali

sampai seluruh sampel tersari sempurna.

g. Maserasi dianggap selesai apabila cairan

penyari mendekati bening. Ekstrak cair yang

didapatkan, diuapkan pada suhu dan tekanan

yang rendah sehingga didapatkan ekstrak

kental.

h. Setelah itu ekstrak kental diencerkan sehingga

didapatkan larutan uji dengan berbagai

konsentrasi b/v, larutan uji disaring sehingga

dapat larutan uji yang sesuai untuk pengujian

pada spektrofotometri Uv-Vis

2. Pembuatan Infusa Daun Salam dan Daun

Tempuyung

a. Daun diambil kemudian dibersihkan dahulu

kemudian iris kecil-kecil dan ditimbang

sebanyak 10 gram.

b. Irisan daun dicampur dengan 100 ml air

Aquadest, lalu masukkan kedalam bejana non

logam seperti kaca ataupun keramik atau panic

infusa.

c. Kemudian tutup dan panaskan pada suhu 90 oC

selama 15 menit.

d. Setelah cairan infusa dingin, cairan ini diserkai

(peras dan saring) menggunakan kain flannel dan

corong gelas. Lalu ditambahkan lagi aquadest

hingga 100 ml.

3. Pengujian Fitokimia

Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui

kandungan metabolit sekunder pada daun salam dan

daun tempuyung. a. Uji Flavonoid

Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun

tempuyung masing-masing akan dilarutkan ke dalam

2 ml etanol, kemudian ditambahkan serbuk Mg dan

HCl pekat sebanyak 5 tetes. Adanya senyawa

flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna

merah atau jingga (Ningsih, Zusfahair, dan Kartika,

2016).

b. Uji Alkaloid

Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun

tempuyung masing-masing ditambahkan dengan 3

tetes amonia 10% dan 1,5 ml kloroform lalu dikocok.

Lapisan kloroform diambil kemudian dilarutkan dalam

1 ml asam sulfat 2 N, kemudian dikocok. Setelah itu,

ekstrak ditambahkan dengan pereaksi Meyer.

Terbentuknya endapan putih menandakan adanya

senyawa alkaloid (Rasyid, 2012) c. Uji terpenoid dan Steroid

Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun

tempuyung masing-masing ditambahkan dengan 2

mL kloroform dalam tabung reaksi, kemudian

diteteskan ke dalam plat tetes, dan dibiarkan sampai

kering. Setelah itu, ditambahkan dengan 1 tetes

pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna

merah menandakan adanya senyawa terpenoid. Jika

timbul warna biru, positif mengandung steroid

(Rasyid, 2012). d. Uji Saponin

Sebanyak 1 gram ekstrak daun salam dan daun

tempuyung masing-masing ditambah dengan etanol,

kemudian dipanaskan selama beberapa menit.

Larutan dituang kedalam tabung reaksi dalam

keadaan panas. Larutan diambil sebanyak 10 ml,

kemudian dikocok kuat secara vertikal. Adanya

saponin ditandai dengan terbentuknya busa dan tidak

hilang pada saat ditambahkan dengan satu tetes HCl 2

N (Rasyid, 2012).

e. Uji Tanin

Sebanyak 1 ml ekstak daun salam dan daun

tempuyung masing-masing dimasukkan kedalam

tabung reaksi, kemudian ditambahkan FeCL3 1%

sebanyak 2-3 tetes. Sampel positif mengandung tanin

bila mengalami perubahan warna menjadi hijau

kehitaman (Huliselan, Runtuwene dan

Page 34: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

31

wewengkang, 2015).

4. Pembuatan Larutan Uji

a. Pembuatan Larutan DPPH

DPPH Kristal ditimbang sebanyak 4 mg,

kemudian dimasukkan kedalam labu takar100

ml, setelah itu tambahkan pelarut etanol sampai

batas sehingga didapatkan konsentrasi 0,004 %

atau 40 ppm (Wicaksono dan Ulfah, 2017).

b. Pembuatan Larutan Baku

Vitamin C ditimbang sebanyak 50 mg,

kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 50

ml. Setelah itu, tambahkan pelarut etanol sampai

batas hingga didapatkan konsentrasi 0,1%.

Kemudian dari larutan tersebut dibuat deret

larutan dengan konsentrasi yaitu 0,001%,

0,0008%, 0,0006%, 0,0004% dan

0,0002% (Karim, Jura dan Sabang, 2015).

5. Uji aktivitas antioksidan

a. Persiapan

Pelarut etanol diambil sebanyak 500 µL

pelarut ke dalam kuvet ditambah larutan DPPH

500 µL (Indranila dan Ulfah, 2015),

dihomogenkan dan segera dibuat dengan

spektrofotometri UV-Vis (400-600 nm).

Selanjutnya akan dicatat absorban yang terdapat

pada kurva puncak.

b. Larutan Uji Ekstrak Etanol Daun Salam

Pengukuran antiradikal bebas dengan

ekstrak

etanol daun salam yaitu dilarutkannya ekstrak

kedalam etanol pro analisis sehingga didapatkan

konsentrasi 0,1%. Kemudian dari larutan

tersebut akan dibuat deret larutan dengan

konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004%

dan 0,002%. Diambil

500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah

larutan DPPH 500 µL (Indranila dan Ulfah,

2015). Lalu segera dibuat dengaan

spektrofotometri UV-Vis (400-600 nm). Larutan

didiamkan selama 30 menit dan absorban akan

dibaca pada panjang gelombang maksimum.

c. Larutan Uji Ekstrak Etanol Daun

Tempuyung Pengukuran antiradikal bebas

dengan ekstrak

etanol daun tempuyung yaitu larutkan ekstrak

kedalam etanol pro analisis sehingga didapat

konsentrasi 0,1%. Kemudian dari larutan

tersebut dibuat deret larutan dengan konsentrasi

0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004% dan

0,002%.Diambil

500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah

larutan DPPH 500 µL(Indranila dan Ulfah,

2015). Lalu segera dibuat dengaan

spektrofotometri UV- Vis (400-600nm). Larutan

didiamkan selama 30 menit dan absorban dibaca

pada panjang gelombang maksimum

d. Larutan Uji Infusa daun Salam

Pengukuran antiradikal bebas dengan infusa daun

salam yaitu larutkan ekstrak kedalam pelarut etanol pro

analisis sehingga didapat konsentrasi 0,1%. Kemudian

dari larutan tersebut dibuat deret larutan dengan

konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004% dan

0,002%. Diambil 500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet,

ditambah larutan DPPH 500

µL(Indranila dan Ulfah, 2015). Lalu segera dibuat

dengaan spektrofotometri UV-Vis (400-600nm).

Larutan didiamkan selama 30 menit dan absorban

dibaca pada panjang gelombang maksimum.

e. Larutan Uji Infusa daun Tempuyung

Pengukuran antiradikal bebas dengan infusa daun

tempuyung yaitu larutkan ekstrak kedalam pelarut

etanol pro analisis sehingga didapat konsentrasi 0,1%.

Kemudian dari larutan tersebut dibuat deret larutan

dengan konsentrasi 0,01%, 0,008%, 0,006%, 0,004%

dan 0,002%. Diambil

500µL larutan ekstrak ke dalam kuvet, ditambah

larutan DPPH 500 µL(Indranila dan Ulfah, 2015). Lalu

segera dibuat dengaan spektrofotometri UV- Vis (400-

600nm). Larutan didiamkan selama 30 menit dan

absorban dibaca pada panjang gelombang maksimum

f. Larutan Uji Vitamin C

Pengukuran antiradikal bebas dengan vitamin C

(kontrol positif) yaitu diambil sebanyak 500 µL larutan

vitamin C ke dalam kuvet, lalu ditambah larutan DPPH

500 µL (Indranila dan Ulfah, 2015). Larutan didiamkan

selama 30 menit dan diukur absorbannya pada panjang

gelombang maksimum. Kemudian dari larutan tersebut

dibuat deret larutan dengan konsentrasi 0,001%,

0,0008%, 0,0006%, 0,0004% dan 0,0002% (Karim,

Jura dan Sabang, 2015).

g. Penentuan Persen Peredaman Radikal Bebas DPPH

Pada Sampel Uji (Ekstrak Etanol dan infusa daun

salam dan daun tempuyung)

Penentuan aktivitas penangkapan radikal bebas dari

sampel uji mengggunakan metode penangkapan radikal

bebas DPPH. Hasil aktivitas penangkap radikal ekstrak

kombinasi daun salam dan daun tempuyung serta

ekstrak tunggal kedua daun tersebut dibandingkan

dengan Vitamin C sebagai kontrol positif.

Besar aktivitas penangkap radikal bebas dihitung

dengan rumus: % Peredaman DPPH = x 100 %

Selanjutnya hasil perhitungan dimasukkan kedalam

persamaan regresi dengan konsetrasi ekstrak sebagai

absis (sumbu X) dan nilai % peredaman (antioksidan)

sebagai ordinatnya (sumbu Y). nilai IC 50 dari

perhitungan pada saat % peredaman sebesar % 0 %. Y

= aX + b. secara spesifik suatu senyawa dkatakan

sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang

dari 50 ppm, kuat untuk IC 50 bernilai 50-100

ppm,cukup jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika

nilai bernilai 151-200 ppm (Molyneus, 2004).

Page 35: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

32

Alat Pengumpulan Data

1. Alat

Pisau, destilator, botol penampung, gelas

ukur (pyrex), corong (pyrex), Bakerglass

(pyrex), timbangan gram, anak timbagan gram,

mortir, stamper, pengaduk kaca, timbangan

analitik, penjepit kayu, sudip, kertas saring,

perkamen, pH meter, waterbath, mikroskop,

alat semprot plastik, objek glass, cawan

porselin, stopwatch, viscometer Brookfield,

kuisioner dan penggaris Alat-alat yang

digunakan yaitu pipet volume 1,0 ml (pyrex),

spektrofotometri Uv-Vis, tabung reaksi kimia

(pyrex), vial, kuvet, pisau, timbangan kasar,

anak timbangan, destilasi vakum, botol

maserasi warna coklat, neraca analytic balance

(santorius), corong (pyrex), labu ukur (pyrex),

erlenmeyer (pyrex), gelas ukur (pyrex), plat

tetes, batang pengaduk, penangas air, kertas

saring whatman dan termometer

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun

Salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun

Tempuyung (Sonchus arvensis L.), pereaksi

DPPH, larutan etanol, aquadest, Vitamin C,

serbuk Mg,larutan Amonia 10%, kloroform,

H2SO4 2 N, pereaksi Meyer,pereaksi

Liebermann-Burchard, dan Larutan FeCl3 1 %.

HASIL PENELITIAN

1. Hasil Pembuatan Ekstrak Daun Salam

dan Daun Tempuyung

Dari ekstraksi 150 gram sampel masing-masing

didapatkan ekstrak kental daun Salam sebanyak

32,9798 gram serta ekstrak kental daun Tempuyung

16,1952 gram. Sedangkan untuk infusa masing-

masing daun diperoleh kadar infusa sebesar 10%

dengan sampel yang ditimbang 10 gram kemudian

dipanaskan dan disaring dengan ditambahkan

aquadest ad 100 ml.

2. Hasil Uji Identifikasi senyawa kimia

Hasil identifikasi senyawa Kimia dalam Ekstrak

dan Infusa Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.)

dan Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dapat

dilihat pada tabel 1

3. Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Daun Salam dan daun Tempuyung serta

Vitamin C sebagai Kontrol Positif (Vernonia

amygdalina) dengan Metode DPPH.

Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daun

Salam (Eugenia polyantha Wight.) dan daun

Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan metode

DPPH dapat dilihat pada tabel 2 sampai 6.

Dari tabel, untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan antara konsentrasi ekstrak dan aktivitas

peredaman radikal bebas DPPH, maka data tersebut di

analisis dengan menggunakan regresi linier melalui

program SPSS dengan taraf kepercayaan 95%. IC50

dihitung berdasarkan persamaan regresi linier yang

didapatkan dengan cara memplot konsentrasi larutan

uji dengan persen (%) peredaman puncak DPPH.

Dilihat pada tabel 7

Tabel 1. Hasil Identifikasi senyawa Kimia dalam Ekstrak dan Infusa daun Salam (Eugenia polyantha

Wight.) dan daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

Senyawa

Reagen Hasil

Positif

Hasil

Ekstrak

Daun Salam

Ekstrak Daun

Tempuyung

Infusa Daun

salam

Infusa Daun

Tempuyung

Alkaloid

Amonia 10 %

Kloroform

H2SO4 Pereaksi Meyer

Endapan

putih

-

-

-

-

Flavonoid

Serbuk Mg

HCl pekat

Warna

merah

hingga jingga

+

+

+

+

Saponin Dilakukan

pengocokan

Ada busa

+

+

-

-

Steroid

Kloroform

Pereaksi

Liebermann- Burchard

Warna

biru

_

-

-

-

Terpenoid

Kloroform

Pereaksi

Liebermann-

Burchard

Warna

merah

_

-

-

-

Page 36: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

33

Tanin

Larutan FeCl3

Warna

hijau kehitaman

+

+

-

-

Keterangan tabel:

+ : Positif - : Negatif

Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Salam dengan Metode DPPH

Ekstrak Daun Salam

T (menit) Larutan Uji % Peredaman

30

0,01 % 64,13 %

0,008 % 55,80 %

0,006 % 49,53 %

0,004 % 40,17 %

0,002 % 25,02 %

Tabel 3. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Tempuyung dengan Metode DPPH

Ekstrak Daun Tempuyung

T (menit) Larutan Uji % Peredaman

30

0,01 % 52,14 %

0,008 % 51,90 %

0,006 % 49,55 %

0,004 % 49,43 %

0,002 % 49,26 %

Tabel 4. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Infusa Daun Salam dengan Metode DPPH

Infusa Daun Salam

t (menit) Larutan Uji % Peredaman

30

0,01 % 48,31 %

0,008 % 48,04 %

0,006 % 41,30 %

0,004 % 35,85 %

0,002 % 34,12 %

Tabel 5. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Infusa Daun Tempuyung dengan Metode DPPH

Infusa Daun Tempuyung

t (menit) Larutan Uji % Peredaman

30

0,01 % 52,84 %

0,008 % 52,55 %

0,006 % 48,50 %

0,004 % 48,30 %

0,002 % 48,07 %

Tabel 6. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Kontrol (+) Vitamin C

Vitamin C

t (menit) Larutan Uji % Peredaman

30

0,01 % 68,14 %

0,008 % 58,17 %

0,006 % 57,73 %

0,004 % 55,71 %

0,002 % 52,78 %

Page 37: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

34

Tabel 7. Nilai IC50 Ekstrak Daun Salam, Daun

Tempuyung, Infusa Daun Salam, Infusa Daun Tempuyung, dan Kontrol positif Vitamin C

Sampel Waktu Persamaan grafik IC50

Ekstrak Daun Salam 30 y = 18,775+9,385x 3,33

Ekstrak Daun Tempuyung 30 y = 47,987+0,823x 2,45

Infusa Daun Salam 30 y = 29,353+4,057x 5,08

Infusa Daun Tempuyung 30 y = 45,915+1,379x 2,96

Baku pembanding Vitamin C 30 y = 48,548+3,320x 0,437

Grafik1. Ekstrak Daun Salam

Grafik 2. Ekstrak Daun Tempuyung

Grafik 3. Infusa daun salam

Grafik 4. Infusa Daun Tempuyung

Grafik 5. Vitamin C

PEMBAHASAN

Antioksidan adalah senyawa pemberi electron atau

reduktan Antioksidan juga merupakan senyawa yang

dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat

radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif.

Akibatnya kerusakan sel akan dihambat dan radikal

bebas tidak dapat mencuri electron lagi (Winarsi, 2007).

Pada penelitian ini peneliti menguji aktivitas

antioksidan dari dua jenis tanaman yang berbeda yaitu

daun salam dan daun tempuyung. Penggunaan kedua

tanaman yang berbeda ini didasarkan pada empiris yang

berkembang di masyarakat dengan khasiat daun sebagai

obat asam urat. Namun dengan berkembangnya

teknologi dan pengetahuan mendorong semakin banyak

penelitian mengenai daun salam dan daun tempuyung.

Menurut selain digunakan dalam pengobatan

antiinflamasi, daun salam juga memiliki khasiat sebagai

analgesic, antibakteri dan diuretik. Begitu pun dengan

daun tempuyung selain sebagai antiinflamasi, daun

tempuyung memiliki khasiat sebagai diuretik,

antiplatelet dan analgesic (Soenanto, 2009). Adapun

senyawa antioksidan dalam salam dan daun tempuyung

terdiri dari bermacam-macam senyawa baik polar

maupun non polar salah satunya berupa senyawa

polifenol golongan flavonoid yang berfungsi sebagai

antioksidan kuat.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar

aktivitas antioksidan yang terdapat pada daun salam dan

daun tempuyung ekstrak serta infusa dengan

menggunakan metode DPPH. Sebelum dilakukan

pengujian aktivitas antioksidan, ekstrak maupun infusa

hasil dari ekstraksi dibuat menjadi larutan uji dalam

variasi konsentrasi larutan dengan konsentrasi 0,010%,

0,0080%, 0,0060%, 0,0040% dan 0,0020%.

Larutan diuji berdasarkan panjang gelombang DPPH

dengan panjang gelombang 518 nm dan absorban

maksimum sebesar 0,6496. Menurut Molyneux (2004),

absorban maksimum larutan DPPH ialah pada panjang

gelombang 518 nm. Hal ini berarti telah sesuai dengan

penelitian yang telah dilakukan.

Dalam penelitian ini konsentrasi ekstrak dapat

mempengaruhi nilai absorbansi, semakin meningkat

konsentrasi ekstrak maka semakin kecil absorbansi

yang dihasilkan dan semakin kecil absorbansi maka

semakin besar persen peredaman yang dihasilkan

Page 38: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

35

(Molyneux, 2004). Berdasarkan pada table

8,9,10,dan 11 konsentrasi ekstrak mempengaruhi

% peredaman radikal bebas DPPH sehingga

semakin tinggi konsentrasi maka semakin besar

% peredaman radikal bebas DPPH (Sudhana,

Sianita, dan Taufikurohmah, 2014).

Pada table 8 dan 10. Uji aktivitas antioksidan

ekstrak serta infusa daun salam. Hasil dari

ekstrak etanol daun salam menunjukkan bahwa

persen peredaman terbesar ekstrak ada pada

konsentrasi tertinggi yaitu 0,01 % sebesar 64,13

%. Dan Persen peredaman infusa daun salam

pada konsentrasi 0,01

% yaitu 48,31 %. Serta % peredaman terendah

terdapat pada konsentrasi terkecil yaitu 0,0020%

yaitu 25,01 % untuk ekstrak daun salam dan

untuk infusa daun salam konsentrasi 0,0020%

yaitu 34,12

%. Penurunan daya peredaman disebabkan

karena semakin rendah konsentrasi ekstrak maka

semakin sedikit senyawa antioksidan yang

bereaksi dengan DPPH sehingga menyebabkan

daya peredaman semakin kecil (Martha, 2008).

Pada table 9 dan 11. Uji aktivitas antioksidan

ekstrak dan infusa daun tempuyung. Hasil dari

ekstrak etanol daun tempuyung menunjukkan

bahwa persen peredaman terbesar ekstrak ada

pada konsentrasi tertinggi yaitu 0,01 % sebesar

52,14%. Dan Persen peredaman infusa daun

tempuyung pada konsentrasi 0,01 % yaitu

52,84%. Serta % peredaman terendah terdapat

pada konsentrasi terkecil yaitu 0,0020% yaitu

49,26% untuk ekstrak etanol daun tempuyung

dan untuk infusa daun tempuyung konsentrasi

0,0020% yaitu 48,07%. Penurunan daya

peredaman dikarenakan, semakin banyak

kandungan senyawa antioksidan dalam suatu

ekstrak maka akan secara visual warna kuning

terbentuk. semakin pekat warna yang ditujukan

maka persen peredaman semakin tinggi

(Molyneux, 2004).

Dari hasil penelitian uji aktivitas antioksidan

ekstrak dan infusa daun salam dan daun

tempuyung yang dapat terlihat pada tabel 8,9,10,

dan 11, ekstrak etanol daun salam dan daun

tempuyung memiliki persen peredaman lebih

tinggi bila dibandingkan dengan persen

peredaman masing-masing infusa daun salam

dan daun tempuyung tersebut. Hal ini

dikarenakan bentuk metode ekstraksi secara

maserasi dinilai lebih baik dalam penyarian

senyawa flavonoid yang tidak tahan pemanasan

dan mudah teroksidasi dalam suhu tinggi (Ritna,

Anam, dan Khumaidi, 2016). Dalam proses

penyarian ekstrak kental dilakukan pula

pengulangan sebanyak 3 kali dengan

menggunakan pelarut yang berbeda sehingga

menyebabkan penyarian lebih sempurna jika

dibandingkan dengan infusa.

Perbedaan hasil antara ekstrak dan infusa didasari

pula pada zat aktif yang tersari dari masing-masing

pelarut yang digunakan, dimana terdapat senyawa-

senyawa metabolit sekunder tanaman yang tidak larut

atau sukar larut dalam air salah satunya aglikon

flavonoid (Sjahid, 2008). Senyawa aglikon flavonoid

yang terkandung dalam daun salam sendiri berupa

golongan katekin yang diketahui mempunyai sifat

kelarutan baik dalam etanol dan sukar larut dalam air

(Rahmawati, dan Erdiana, 2013). Adapun daun

tempuyung memiliki kandungan senyawa berupa

golongan flavon yaitu luteolin dan apigenin dengan

sifat kelarutannya. Hal ini dapat mengakibatkan tidak

tersarinya senyawa antioksidan tersebut dalam proses

penyarian infusa. Dari hasil ini membuktikan bahwa

daun salam dan daun tempuyung masing-masing

memiliki aktivitas antioksidan baik ekstrak kental

maupun infusa dari daun salam dan daun tempuyung

.

Pengujian aktivitas antioksidan dengan kontrol (+)

larutan vitamin C dapat dilihat pada tabel 12 Dari tabel

tersebut dapat diketahui bahwa dengan konsentrasi

0,01% dapat memberikan % peredaman terbesar

dibandingkan dengan konsentrasi lainnya yaitu sebesar

68,14%. Dan konsentrasi 0,0020% memberikan %

peredaman terendah yaitu sebesar 52,78 %. Demikian

pula pada vitamin C, sebagai kontrol positif antioksidan

vitamin C menunjukkan hal yang sama dengan ekstrak

dan infusa. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin

besar persen peredaman yang dihasilkan.

Dari hasil uji regresi linier dapat diketahui bahwa

nilai Sig. Hampir mendekati 1, yang artinya bahwa

konsentrasi dengan % peredaman memiliki hubungan

yang kuat. Hal ini dikarenakan konsentrasi ekstrak

sangat mempengaruhi dari besarnya % peredaman

radikal bebas yang didapat. Adapun penentuan nilai

IC50 masing-masing ekstrak maupun infusa daun sirsak

dan daun belimbing wuluh tersebut bertujuan agar dapat

mengetahui berapa besar konsentrasi ekstrak yang dapat

memberikan % penghambatan 50%. Zat yang memiliki

aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga

IC50 yang rendah. Dari persamaan yang didapatkan dari uji regresi

linier diketahui bahwa nilai IC50 ekstrak dan infusa daun

tempuyung tersebut lebih rendah dibandingkan dengan

nilai IC50 ekstrak dan infusa daun salam. Dengan nilai

IC50 ekstrak tempuyung, infusa tempuyung, ekstrak

salam, dan infusa daun salam masing-masing yaitu 2,45

ppm, 2,92 ppm, 3,33 ppm dan 5,08 ppm. Untuk nilai

IC50 larutan vitamin C sebagai baku pembanding sebesar 0, 437 ppm. Hal ini berarti bahwa nilai

aktivitas antioksidan terbesar terletak pada nilai IC50

larutan vitamin C sebagai baku pembanding dengan

nilai IC50 terendah sebesar 0,437 ppm. Sehingga dapat

Page 39: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

36

diartikan bahwa semakin kecil nilai IC50 maka

semakin besar aktivitas antioksidan maka

semakin kecil nilai IC50 yang dihasilkan.

(Molyneux, 2007).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

yang telah diuraikan mengenai “Aktivitas

Antioksidan Ekstrak dan Infusa Daun Salam

(Eugenia polyantha Wigh.) dan daun

Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan

metode DPPH secara Spektrofotometri UV-Vis

dapat disimpulkan :

1. Ekstrak Etanol daun dan infusa daun salam

(Eugenia polyantha Wight.) dan daun

Tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki

daya aktivitas antioksidan

2. Nilai IC50 dari ekstrak dan infusa daun salam masing-masing sebesar 3,33 ppm dan 5,08

ppm. Kemudian nilai IC50 ekstrak serta infusa

daun tempuyung masing-masing 2,45 ppm dan 2,92 ppm.

3. Aktivitas Antioksidan ekstrak kental daun

salam dan daun tempuyung lebih besar

dibandingkan dengan infusa pada daun salam

dan daun tempuyung.

4. Nilai IC50 sebagai kontrol positif sebesari

0,437 ppm. Hal ini berarti aktivitas

antioksidan vitamin C lebih besar

dibandingkan dengan kedua ekstrak dan

infusa sampel.

SARAN

Dari penelitian ini dapat disarankan:

1. Dapat dilakukan pengujian aktivitas

antioksidan daun salam dan daun

tempuyung dengan metode lain seperti

metode CUPRAC, dan FRAP, serta

menggunakan pelarut lain selain etanol dan

aquadest.

DAFTAR PUSTAKA

Ain, Q., 2007. Aktivitas Penangkap Radikal

DPPH oleh kurkumin dan turunan 4-

fenilkurkumin. Universtitas

Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hal

24-25.

Agung, K.R.I.G, 2016. Podriatri (Atlas “Suku

Awon”). Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,

Indonesia, hal 31.

Bahriul, P., N Rachman, dan A. W. M. Diah,

2014. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Daun Salam Dengan menggunakan

metode DPPH. Jurnal Akademika Kimia.

3 (3) : 143-149.

Chairul, S. M., R. Sumarny, dan Chairul. 2003.

Aktivitas antioksidan ekstrak daun sair daun

tempuyung secara in vitro. Fakultas Farmasi

Universitas pancasila, Jakarta. Hal 1-6

Dalimartha, S., dan F. Adrian,. 2013. Ramuan Herbal

Tumpas Penyakit. Penebar swadaya, Jakarta,

Indonesia, hal 6.

Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia,

Edisi III. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, hal. 752.

Departemen Kesehatan RI, 1995. Farmakope

Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, hal. 7

Departemen Kesehatan RI, 2000. Parameter Standar

Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta

Dewani, dan M. Sitanggang, 2006. 33 Ramuan

Penakluk Asam Urat. Pustaka Agromedika ,Depok, Indonesia, hal 33.

Enda, W.G., 2009. Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol

Kulit Batang Salam (Syzygium polyanthum

(Wight) Walph.) terhadap Mencit Jantan.

Fakultas Farmasi Univesitas Sumatera Utara,

Medan.

Faturrachman, D.A., 2014. Pengaruh Konsentrasi

Pelarut terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Etanol Daun Sirsak (Annona mucirata Linn)

dengan Metode Peredaman Radikal Bebas

DPPH, Fakultas Kedokterak dan Ilmu

Kesehatan, Jakarta.

Harbone, J.B.,1987. Phytochemical Methods

diterjemahkan Padmawinata K, Soedro I.

Penerbit ITB, Bandung.

Hidayat, R.S., dan Napitupulu, R.M., 2015. Kitab

Tumbuhan Obat. Agriflo. Jakarta, Indonesia, hal

336-337.

Huliselan, Y.M., M.R.J. Runtuwene dan D.S.

Wewengkang, 2015. Aktivitas antioksidan

ekstrak etanol, etil asetat, dan n-heksan dari

daun sesewanua (Clerodendron squamatum

Vahl.) Pharmacon Jurnal Ilmu Farmasi, 4(3) :

2302-2493.

Indranila, dan M. Ulfah, 2015. Uji Aktivitas Antioksidan

Ekstrak Etanol Daun Kartika dengan Metode

DPPH beserta Identifikasi Senyawa Alkaloid,

Fenol, dan Flavonoid. Prosiding. Seminar

Nasional Peluang Herbal sebagai Alternatif

Medicine. Fakultas Farmasi Universitas Wahid

Hasyim, Semarang.

Karim, K., M. R. Jura, dan S. M. Sabang, 2015. UJi

Aktivitas Antioksidan Daun Patikan Kebo

(Eurharbia birta L.). Jurnal Akademika

Kimia,4(2) : 56-63.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

Gambaran Kesehatan Lanjut Usia Di Indonesia.

Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal 11.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

Page 40: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

37

Riset Kesehatan Nasional. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Komarudin, O., 2017. New Edition Big Book

Kimia SMA/MA Kelas X, XI & XII.

Cmedia, Jakarta, Indonesia, hal 579.

Leba, M.A.U., 2017. Buku Ajar Ejstraksi Dan

Real Kromatografi. Deepublish CV Budi

Utama, Yogyakarta, Indonesia, hal 1.

Lingga, L., 2012. Bebas Penyakit Asam Urat

Tanpa Obat. Pustaka Agromedia, Jakarta,

Indonesia, hal 191.

Manganti, I., 2017. 42 Resep Ampuh Tanaman

Obat Unuk Menurunkan Kolesterol dan

Mengobati Asam Urat. Araska,

Yogyakarta, Indonesia, hal 71-78.

Martha, H., M. Mardawati, dan filianty. Kajian

aktivitas antioksidan ekstrak kulit

manggis dalam rangka pemanfaaan

limbah kulit manggis. Farmasi universitas

Padjajaran.

Molyneux, P., 2004. The Use Of The Stable Free

Radikal Diphenilpicrylhydrazyl (DPPH)

for Estimating Antioxidant

Activity,

Songklanakarin J. Sci. Technol. 26 (2) :

211-

219.

Nasren, I. H., 2013. Fostisifaksi Yogurt

menggunakan Sari Buah mengkudu

Morinda Citrfolia Bebas Bau Berkadar

Antioksidan Tinggi. Uneversitas

Pendidikan Indonesia, Indonesia.

Ningsih, D.R., Zusfahair dan D. Kartika, 2016.

Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder

Serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak

Sebagai Antibakteri Molekul, 11(1) : 101-

111.

Pamungkas, D.K., Y.Retyaningtyas, dan L.

Wulandari, 2017. Pengujian Aktivitas

Antioksidan Kombinasi Ekstrak Metanol

Daun Mangga Gadung dan Ekstrak

Etanol Daun Pandan Wangi, e-journal

Pustaka Kesehatan 5(1),

Praditya, A. G., 2014. Penangkapan Radikal

Bebas DPPH oleh Piperin. Fakulta

Farmasi Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta, Hal 15. Rasyid, R., 2015. Green

Smoothie. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia, hal 29.

Savitri, A., 2016. Basmi Penyakit dengan TOGA

(Tanaman Obat Keluarga). Bibit

Publisher, Depok, Indonesia, hal 43-45.

Sayuti, K., R. Yenrina, 2015. Antioksidan Alami

dan Sintetik. Andalas University Press,

Padang, Indonesia, hal. 1-81.

Silalahi, J., 2006. Makanan Fungsional. Cetakan-1

Kasinius, Yogyakarta, Indonesia, hal 54.

Soenanto, H., 2009. 100 Resep Sembuhkan Hipertensi

Asam Urat dan Obesitas. PT Elex Media

Komputindo. Jakarta, Indonesia, hal 61-62.

Subroto, M., dan H. Saputro, 2006. Gempur Penyakit

dengan sarang semut. Penebar swadaya, Jakarta,

Indonesia, hal 7.

Subroto, M.A., 2008. Real Food True Health. Pustaka

Agromedia, Jakarta, Indonesia hal 15- 20.

Suriani, N., 2014. Herbal Sakti Atasi Asam Urat.

Mutiara Allamah Utama, Indonesia,Depok,

Indonesia, hal 2-5.

Syah, A.N.A., 2006. Taklukan Penyakit Dengan The

Hijau. Pustaka Agromedia,Depok, Indonesia, hal

7.

Tapan, E., 2005. Kanker Antioksidan dan Terapi

Komplementer. Pt Elex Media Komputindo,

Jakarta, hal 114-118.

Voight, R., 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi

Edisi V, University Press, Yogyakarta,

Indonesia, hal, 564- 584.

Wicaksono, H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal

Bebas. Kasinius. Yogyakarta, Indonesia, hal.19-

20.

Winarno, F.G., W. Winarno, dan A.D.A. Winarno,

2015. Telomer Membalik Proses Penuaan.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia, hal

35.

Winarsi, H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal

Bebas. Cetakan ke-5 Kanisius. Yogyakarta,

Indonesia, hal 122 – 204.

Winarsi, H.,2014. Antioksidan Daun Kapulaga :

Aplikasinya di Bidang Kesehatan. Graha Ilmu,

Yogyakarta, Indonesia, hal 19-20.

Winarto, W.P., dan T. Karyasari, 2004. Tempuyung

Tanaman Penghancur Batu Ginjal.pustaka

Agromedika,Depok,Indonesia, hal 12.

Winarto, W.P., dan T. Lentera. 2004. Mememanfaatkan

Tanaman Sayur Untuk Mengatasi Aneka

Penyakit. Pustaka Agromedika, Depok,

Indonesia, hal 22.

Yuliarti, W., D. Kusrini, dan E. Fachriyah, 2013. Isolasi

Identifikasi dan Uji antioksidan Asam Fenolat

Dalam Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

dengan Metode DPPH. Chemical Info.1(1) :

294-304.

Yuswantina, R., I. Sunnah, dan E. Septiarni. 2014. Uji

aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun rumput

laut teki (Cyprus rotundus L.) dengan metode

DPPH. Universitas Diponegoro.

Page 41: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

38

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN C PADA BUAH

ASAM

GELUGUR (Garcinia atroviridis) DENGAN

METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS DAN

METODE TITRASI 2,6-DIKLOROFENOL

INDOFENOL

Sonlimar Mangunsong, Riska Reza Juliani

Prodi Farmasi, Poltekkes Kemenkes, Palembang, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Vitamin C merupakan salah satu senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh untuk proses metabolisme

dan aktivitas khusus lainnya. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin C dalam tubuh harus terpenuhi. Vitamin

C dapat diperoleh dari asupan makanan sehari-hari berupa sayur-sayuran dan buah. Asam Gelugur

merupakan salah satu buah yang mengandung vitamin C. Kandungan vitamin C pada buah asam gelugur

perlu diketahui jumlahnya. Untuk itu peneliti melakukan analisis kandungan vitamin C pada buah asam

gelugur menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis dan Titrasi 2,6-Diklorofenol Indofenol. Jenis

penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan membandingkan kadar rata-rata vitamin C pada buah asam

gelugur menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dan metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol.

Sampel penelitian ini adalah buah asam gelugur yang ditentukan secara random sampling. Data dianalisis

dengan uji Independent sample t-test menggunakan aplikasi analisis statistik. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kadar rata-rata vitamin C pada buah asam gelugur menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis

sebesar 143,85 mg/100 gram buah sedangkan kadar rata-rata vitamin C pada buah asam gelugur

menggunakan titrasi 2,6-diklorofenol indofenol sebesar 141,44 mg/100 gram buah. Dari hasil uji

Independent sample t- test, diperoleh nilai t hitung < t tabel (0,0939 < 2,048) dan P value (0,356 > 0,05)

dimana Ho diterima artinya tidak ada perbedaan kadar vitamin C pada buah asam gelugur (Garcinia

atroviridis) menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dan metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol.

PENDAHULUAN

Pada dasarnya tubuh manusia

memerlukan beberapa senyawa organik

dalam proses metabolisme dan aktivitas

khusus lainnya. Salah satu senyawa

organik yang diperlukan tubuh adalah

vitamin. Menurut Satyanarayana dan

Chakrapani (2013) vitamin dapat

dianggap sebagai senyawa organik yang

dibutuhkan dalam makanan dalam

jumlah kecil untuk melakukan fungsi

biologis tertentu untuk pemeliharaan

normal pertumbuhan optimum dan

kesehatan organisme. Oleh karena itu,

apabila tidak terpenuhi vitamin akan

menjadi salah satu masalah kompleks

yang dapat mengakibatkan banyak

masalah lainnya.

Vitamin dikenal sebagai mikronutrien

karena vitamin dibutuhkan pada

makanan manusia hanya dalam jumlah

miligram atau mikrogram per hari

(Sumardjo, 2009). Salah satu vitamin

yang dibutuhkan oleh tubuh adalah

vitamin C. Menurut Gonzales dan

Miranda-Massari (2014) Vitamin C

memainkan peran penting dalam

beberapa fungsi biologis termasuk

biosintesis kolagen dan L- karnitin,

metabolisme kolesterol, aktivitas

sitokrom P450, sistem neurotransmitter

serta berfungsi sebagai sistem kekebalan

yang efisien. Tidak hanya itu, vitamin C

juga berperan sebagai zat antioksidan

yang dapat menetralkan radikal bebas

hasil oksidasi lemak, sehingga dapat

mencegah beberapa penyakit seperti

kanker, jantung, penuaan dini serta

penyakit akibat defisiensi vitamin C

lainnya (Sumbono, 2016). Untuk itu,

kebutuhan vitamin C dalam tubuh harus

terpenuhi.

Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor

75 Tahun 2013, Angka Kecukupan

Gizi Vitamin C yang dianjurkan

perharinya untuk anak-anak berkisar

Page 42: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

39

antara 40-75 mg dan untuk orang

dewasa antara 75-90 mg. Akan tetapi,

tubuh manusia tidak dapat

memproduksi vitamin C secara alami.

Vitamin C hanya dapat diperoleh dari

asupan makanan sehari-hari serta

mengkonsumsi suplemen vitamin C.

Namun mengkonsumsi buah dan sayur

lebih dianjurkan dibanding

mengkonsumsi suplemen. Salah satu

buah yang mengandung vitamin C

adalah asam gelugur. Menurut Dweck

(1999) buah asam gelugur

mengandung asam sitrat, asam malat,

dan asam askorbat.

Buah asam gelugur memiliki

aktivitas antibakteri, antifungi dan

antioksidan (Mackeen, 1998). Buah

asam gelugur berfungsi sebagai

antioksidan karena kandungan vitamin

C yang terkandung didalamnya. Buah

asam gelugur telah dimanfaatkan oleh

beberapa masyarakat Sumatera Utara

sebagai obat jerawat dan untuk

menurunkan berat badan dan

kolesterol (Dweck, 1999). Asam

gelugur juga berpotensi sebagai

antihiperurisemia karena asam

askorbat dapat meningkatkan ekskresi

asam urat melalui urin sehingga

meringankan keadaan hiperurisemia

(Soeroso dan Algristian, 2012).

Namun masih banyak masyarakat

daerah lain yang tidak mengetahui

manfaat dari buah asam gelugur.

Salah satu alasan yang membuat

masyarakat belum mengetahui manfaat

dari buah asam gelugur karena informasi

mengenai kadar vitamin C yang

terkandung dalam buah asam gelugur

sangat sulit dijumpai. Tingkat

ketertarikan dan kepercayaan masyarakat

pada buah ini akan meningkat jika

terdapat informasi yang telah teruji

secara ilmiah, bahkan buah ini nantinya

berpotensi untuk diolah lebih lanjut

menjadi minuman kemasan seperti buah

jeruk atau buah lain yang mengandung

vitamin C tinggi. Untuk itu peneliti

melakukan analisis kandungan vitamin C

pada buah asam gelugur. Analisis kadar

vitamin C ini akan dilakukan dengan 2

metode, yakni metode spektrofotometri

UV-Vis dan titrasi 2,6-diklorofenol

indofenol. Metode spektrofotometri UV-

Vis dapat digunakan untuk penetapan

kadar vitamin C dengan spektrum yang

tumpang tindih tanpa pemisahan terlebih

dahulu (Karinda, Fatimawali dan

citraningtyas, 2013).

Penetapan kadar vitamin C dengan

cara Spektrofotometri UV-Visibel

dilakukan untuk mengetahui pergeseran

serapan panjang gelombang maksimum

dari vitamin C. Analisis organik dengan

spektrofotometri UV-Visibel mempunyai

keterbatasan, tetapi vitamin C

mempunyai gugus kromofor yang akan

memberikan serapan kuat dalam daerah

UV apabila terkonjugasi satu dengan

lainnya (Wardani, 2012). Metode ini

berdasarkan kemampuan vitamin C yang

terlarut dalam air untuk menyerap sinar

ultraviolet, dengan panjang gelombang

maksimum pada 265 nm. Vitamin C

dalam larutan mudah sekali

mengalami kerusakan, maka pengukuran

dengan cara ini harus dilakukan secepat

mungkin (Andarwulan dan Koswara,

1992). Menurut Putri dan Setiawati

(2015) metode analisis dalam penetapan

kadar asam askorbat dengan

spektrofotometri UV-Vis merupakan

metode yang baik digunakan, relative

murah, dan mudah yang dapat

menghasilkan ketelitian dan ketepatan

yang tinggi.

Selain metode spektrofotometri UV-

Vis, metode titrasi 2,6-diklorofenol

indofenol juga dapat digunakan untuk

penetapan kadar vitamin C. Menurut

Sumardjo (2009) dasar penetapan ini

adalah sifat asam askorbat sebagai

reduktor sehingga dapat bereaksi dengan

zat warna pengoksidasi 2,6- diklorofenol

indofenol tersebut. Zat warna ini

berwarna merah dalam suasana asam dan

berwarna biru dalam suasana basa.

Warna akan hilang pada penambahan

asam askorbat yang setara. Namun,

titrasi ini harus dilakukan dengan cepat,

karena banyak faktor yang

menyebabkan oksidasi vitamin C,

misalnya pada saat penyiapan sampel

Page 43: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

40

dan penggilingan (blender). Oksidasi ini

dapat dicegah dengan menggunakan

asam metafosfat, asam asetat, asam

trikloroasetat, dan asam oksalat.

Penggunaan asam-asam di atas juga

berguna untuk mengurangi oksidasi

vitamin C oleh enzim-enzim oksidase

yang terdapat dalam jaringan

tanaman (Andarwulan dan Koswara,

1992). Metode 2,6-diklorofenol

indofenol banyak digunakan untuk

menentukan kadar vitamin C karena

zat pereduksi lain tidak mengganggu

penetapan kadar vitamin C.

Berdasarkan uraian diatas, penulis

telah melakukan penelitian tentang

analisis kadar vitamin C pada buah

asam gelugur dengan metode

spektrofotometri UV-Vis dan metode

titrasi 2,6-diklorofenol indofenol serta

membandingkan hasil dari kedua

metode tersebut.

METODE PENELITIAN

Preparasi Bahan

Buah asam gelugur yang diperoleh

dari salah satu daerah di Kabupaten

Simalungun, Sumatera Utara dicuci

bersih. Setelah itu, buah asam gelugur

dipotong kecil-kecil dan ditimbang

sebanyak 100 g, ditambahkan

aquabidest sebanyak 50 ml lalu

diblender hingga halus kemudian

disaring untuk diambil filtratnya.

Filtrat dimasukkan kedalam labu ukur

100 ml lalu ditambahkan aquabidest

hingga tanda batas dan dihomogenkan.

Identifikasi Vitamin C (Uji Kualitatif)

a. Sebanyak 2 ml larutan sampel

dalam tabung reaksi ditambahkan

larutan kalium permanganat

KMnO4 0,1% kemudian warna

KMnO4 akan hilang dan terbentuk

warna kecoklatan (Auterhoff dan

Kovar, 1987).

b. 1 ml larutan sampel dinetralkan

dengan NaHCO3 atau HCl, lalu

direaksikan dengan 2 tetes larutan

FeCl3 1% yang dibuat segar.

Adanya kandungan vitamin C pada

sampel ditandai dengan adanya

perubahan warna merah sampai

ungu terbentuk pada pH 6-8

(Auterhoff dan Kovar, 1987).

c. Sebanyak 2 ml larutan sampel

dalam tabung reaksi ditambahkan 4

tetes larutan biru metilen P,

hangatkan hingga suhu 40ºC. Hasil

positif ditandai dengan

terbentuknya warna biru tua yang

dalam waktu 3 menit berubah

menjadi lebih muda atau hilang

(Depkes RI, 1979).

Penetapan Kadar Vitamin C buah

Asam Gelugur dengan Metode

Spektrofotometri UV-Vis

Pembuatan Larutan Induk Vitamin C 100

ppm

Asam askorbat sebanyak 10 mg

dimasukkan ke dalam labu ukur 100

ml dan dilarutkan dengan aquabides

sampai tanda batas (Wardani, 2012).

Penentuan Panjang Gelombang

Maksimum Larutan Vitamin C

Dipipet 1 ml larutan vitamin C 100

ppm dan dimasukkan kedalam labu ukur

50 ml (konsentrasi 2 ppm) lalu

ditambahkan aquabidest sampai tanda

batas dan dihomogenkan.Serapan

maksimum diukur pada panjang

gelombang 200-300 nm dengan

menggunakan blanko aquabidest.

Pembuatan Kurva Kalibrasi

Dipipet larutan vitamin C 100 ppm

kedalam labu ukur 50 ml masing-masing

sebesar 2 ml, 4 ml, 6 ml,

dan 7 ml (4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, dan 14

ppm). Masing-masing larutan

ditambahkan aquabidest sampai tanda

batas dan dihomogenkan. Kemudian

diukur pada panjang gelombang

maksimum yang diperoleh (Wardani,

2012).

Penentuan Kadar Sampel

Sampel buah asam gelugur yang telah

diberi perlakuan diambil 25 ml dan

dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

lalu ditambahkan asam oksalat 2%

sampai tanda batas kemudian

Page 44: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

41

dihomogenkan. Selanjutnya, diukur

serapannya pada panjang gelombang

maksimum yang didapat. Setelah

didapatkan konsentrasi sampel dihitung

kadar sampel menggunakan rumus

(Karinda, Fatimawali dan citraningtyas,

2013).

Penetapan Kadar Vitamin C buah

Asam Gelugur dengan Metode Titrasi

2,6-diklorofenol indofenol

Pembuatan Larutan Asam Oksalat 2%

Asam Oksalat sebanyak 40 gram

dimasukkan kedalam labu ukur 2000 ml

lalu ditambahkan aquabidest sampai

tanda batas dan kemudian

dihomogenkan.

Pembuatan Larutan Vitamin C Standar

Asam askorbat sebanyak 50 mg

dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml

kemudian dilarutkan dengan asam

oksalat 2% sampai tanda batas

(Kemenkes, 2013).

Pembakuan Larutan 2,6-diklorofenol

indofenol

Dipipet sebanyak 2 ml larutan vitamin

C standar kedalam erlenmeyer 50 ml

yang berisi 5 ml asam oksalat 2%.

Lakukan titrasi secara cepat dengan

larutan 2,6-diklorofenol indofenol hingga

warna merah muda mantap yang

bertahan tidak kurang dari 5 detik

(Kemenkes, 2013).

Penentuan Kadar Sampel

Sampel sebanyak 2 ml dimasukkan

kedalam erlemeyer 50 ml dan

ditambahkan asam oksalat 2% sebanyak

5 ml. Lakukan titrasi secara cepat dengan

larutan 2,6-diklorofenol indofenol hingga

warna merah muda mantap yang

bertahan tidak kurang dari 5 detik

(Helrich, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui perbandingan kadar

vitamin C pada buah asam gelugur

dengan menggunakan 2 metode, yaitu

metode spektrofotometri UV-Vis dan

metode titrasi dengan 2,6-diklorofenol

indofenol. Vitamin C merupakan

vitamin yang mudah larut dalam air,

maka dari itu pada penelitian ini

digunakan pelarut aquabidest yang

steril dengan tujuan untuk mengurangi

resiko keberadaan zat pengotor dan

bebas dari pirogen. Penentuan kadar

vitamin C pada penelitian ini

menggunakan 15 sampel dari buah

asam gelugur yang berbeda ukuran

serta kematangannya.

Vitamin C mempunyai sifat yang

sangat mudah teroksidasi, oleh karena

itu dilakukan penambahan asam

oksalat pada proses pengolahan sampel

buah asam gelugur untuk mengurangi

oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim

oksidasi dan pengaruh glutation yang

ada pada jaringan tanaman (Wahyuni,

2016). Asam oksalat mempertahankan

pH asam pada larutan yang membuat

pencegahan oksidasi vitamin C terjadi.

Pemeriksaan kadar vitamin C pada

buah asam gelugur diawali dengan

melakukan analisa kualitatif dengan

beberapa pereaksi sebagai analisa

pendahuluan untuk mengetahui ada

tidaknya vitamin C pada buah asam

gelugur. Hasil penelitian menunjukkan

hasil perubahan warna yang sesuai

dengan pustaka dan menandakan hasil

yang positif. Hasil perubahan warna

dapat dilihat pada Tabel 1dibawah ini.

Tabel 1. Hasil Identifikasi Buah Asam

Gelugur

Sampel Perea

ksi

Hasil Pengamatan

Hasil Uji

KMnO

4

Warna KMnO4

hilang dan lama- lama

menjadi coklat

+

Vitamin

C

Standar

FeCl3 Warna Merah

hingga ungu +

Biru Metilen

Warna Biru

Muda +

KMnO

4

Warna

KMnO4

hilang dan

lama- lama

menjadi

coklat

+

Buah Asam Gelugur

Page 45: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

42

FeCl3 Warna Merah +

Biru Metilen Warna Biru

Muda +

Penelitian dilanjutkan dengan

penentuan kadar vitamin C pada

sampel buah asam gelugur dengan

metode Spektrofotometri UV-Vis.

Penentuan kadar vitamin C dengan

metode ini dilakukan berdasarkan

kemampuan vitamin C yang terlarut

dalam air dan sifat vitamin C yang

mempunyai gugus kromofor yang akan

memberikan serapan kuat dalam

daerah UV apabila terkonjugasi satu

dengan lainnya (Wardani, 2012).

Penelitian dimulai dengan membuat

deret larutan standar untuk menentukan

kurva kalibrasi larutan standar vitamin C.

Berdasarkan deretan larutan standar

tersebut, kemudian diukurabsorbansinya

pada panjang gelombang maksimum

yang didapat. Panjang gelombang

optimum dengan dengan menggunakan

spektrofotometri UV-Vis dilakukan

terhadap larutan standar vitamin C pada

rentang 200-300 nm. Dari hasil yang

diperoleh, panjang gelombang

maksimum larutan standar vitamin C

yaitu 265 nm. Dari hasil tersebut,

konsentrasi standar dari larutan standar

vitamin C dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsentrasi Vitamin C pada

berbagai panjang gelombang

Penentuan kadar vitamin C

menggunakan metode titrasi 2,6-

diklorofenol indofenol didasarkan pada

pengukuran jumlah larutan titran yang

bereaksi dengan analit (Wahyuni,

2016). Titrasi dilakukan dengan cara

menambahkan sedikit demi sedikit

titran kedalam analit. Prinsip

penetapan kadar vitamin C dengan

metode ini berdasarkan sifat asam

askorbat sebagai reduktor sehingga dapat

bereaksi dengan zat warna pengoksidasi

2,6-diklorofenol indofenol (Sumbono,

2016).

Penentuan kadar vitamin C

menggunakan metode ini diawali

dengan standarisasi larutan 2,6-

diklorofenol indofenol dengan larutan

baku standar vitamin C. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui 1 ml

larutan 2,6- diklorofenol indofenol

setara dengan berapa mg vitamin C.

Dari hasil standarisasi yang telah

dilakukan diperoleh volume rata-rata

titran sebesar 13,65 ml. Setelah

dilakukan perhitungan, maka kesetaraan

vitamin C yang didapat untuk 1 ml 2,6-

diklorofenol indofenol setara dengan

0,15 mg vitamin C. Penentuan kadar

vitamin C menggunakan titrasi 2,6-

diklorofenol indofenol dilakukan

terhadap sampel buah asam gelugur.

Hasil analisa dengan metode ini dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis kadar vitamin C

dengan metode titrasi 2,6-diklorofenol

indofenol.

Sampel Absorban

rata-rata

Kadar

(mg/100 g)

6 0,4868 154,36 7 0,4283 135,18

8 0,4698 148,78

9 0,4792 151,87

10 0,4746 150,36

11 0,4274 134,88

12 0,4222 133,18

13 0,4836 153,31

14 0,4636 146,75

15 0,4476 141,51

No. Konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 4 0,268

2 8 0,495

3 12 0,752

4 14 0,879

Page 46: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

43

Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar Vitamin C

Dari hasil perhitungan persamaan

regresi kurva diperoleh persamaan garis

y = 0,061x + 0,016 dengan koefisien

korelasi (r) sebesar 0,9991. Dari hasil

tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat

korelasi yang positif antara konsentrasi

dan serapan. Artinya, dengan

meningkatnya konsentrasi, maka

absorbansi juga akan meningkat. Hal ini

berarti bahwa terdapat 99,9% data yang

memiliki hubungan linier. Selanjutnya,

dilakukan penetapan kadar vitamin C

pada buah asam gelugur dengan metode

Spektrofotometri UV-Vis. Hasil analisa

kadar vitamin C pada buah asam gelugur

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis kadar

vitamin C dengan metode

spektrofotometri UV-Vis

Samp

el

Absorban rata-rata

Kadar (mg/100 g)

1 0,4582 144,

98

2 0,4502 142,

36

3 0,4481 141,

67

4 0,4298 135,

67

5 0,4520 142,

95

Samp

el

Absorba

n rata-

rata (ml)

Kadar

(mg/100

g)

1 1,22 143,00

2 1,18 138,32

3 1,18 132,32

4 1,15 134,80

5 1,20 140,66

6 1,30 152,38

7 1,13 132,45

8 1,25 146,52

9 1,28 150,04

10 1,27 148,86

11 1,13 132,45

12 1,12 131,28

13 1,28 150,04

14 1,23 144,18

15 1,18 138,32

Penetapan kadar vitamin C pada

buah asam gelugur dilakukan sebanyak

3 kali replikasi, dengan maksud untuk

meminimalisir kesalahan kadar

kandungan vitamin C pada buah asam

gelugur. Dalam hal ini vitamin C

bertindak sebagai zat pereduksi

(reduktor) dan 2,6-diklorofenol

indofenol sebagai zat pengoksidasi

(oksidator). Berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan tidak ada

perbedaan kadar vitamin C pada buah

asam gelugur (Garcinia atroviridis)

menggunakan metode spektrofotometri

UV-Vis dan metode titrasi 2,6-

diklorofenol indofenol setelah diuji

Independent sample t-test

menggunakan aplikasi aalisis statistik.

KESIMPULAN

Hasil penetapan kadar vitamin C pada

buah asam gelugur menggunakan metode

spektrofotometri UV- Vis diperoleh

kadar rata-rata sebesar 143,85 mg/100

gram buah. Hasil penetapan kadar

vitamin C pada buah asam gelugur

menggunakan metode titrasi 2,6-

diklorofenol indofenol diperoleh kadar

rata-rata sebesar 141,44 mg/100 gram

buah. Tidak ada perbedaan kadar vitamin

C pada buah asam gelugur (Garcinia

atroviridis) menggunakan metode

spektrofotometri UV-Vis dan metode

titrasi 2,6- diklorofenol indofenol setelah

diuji Independent sample t-test

menggunakan aplikasi aalisis statistik.

DAFTAR PUSTAKA

AKG. 2013. Permenkes RI NO 75 Tahun

2013 tentang Angka Kecukupan

Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa

Page 47: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

44

Indonesia. Menteri Kesehatan RI,

Jakarta

Andarwulan, N., dan Koswara, S.

(1992). Kimia Vitamin. Rajawali

Press. Jakarta. Hal. 23-26, 32-36.

Auterhoff, H dan K.A. Kovar., 1987.

Identifikasi Obat. Institut

Teknologi Bandung. Bandung,

Indonesia. Hal. 30, 94.

Ditjen POM, 1979. Farmakope

Indonesia Edisi Ketiga.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta. Hal 47, 661

Dweck, A. C.,1999, A Review of Asam

Gelugur (Garcinia atroviridis

Griff. ex. T. Anders).

Febrianti, N., I. Yunianto, dan R.

Dhaniaputri. 2015. Kandungan

Antioksidan dan Asam Askorbat

pada Jus Buah-buahan Tropis.

Jurnal Bioedukatika. Vol. 3 No. 1.

Hal 6-9.

Gandjar, I. G., A. Rohman. 2018.

Spektroskopi MolekulerUntuk

Analisis Farmasi. Penerbit Gadjah

Mada University Press.

Yogyakarta. Hal 73.

Gonzales, Michael J., Miranda-Massari,

Jorge R. 2014. New Insights on

Vitamin C and Cancer. Springer

New York Heidelberg Dordrecht

London. Hal.3-4

Helrich, K. 1990. Official Methods of

Analysis of the Association of

Official Analytical Chemist Edisi

XV Volume II. Arlington, Virginia

22201 USA, AOAC Suite 400.

Hal. 1059.

Karinda, Monalisa, Fatimawali, Gayatri

Citraningtyas. 2013. Perbandingan

Hasil Penetapan Kadar Vitamin C

Mangga Dodol Dengan

Menggunakan Metode

Spektrofotometri Uv-Vis Dan

Iodometri.

Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2

No. 01. ISSN 2302 – 2493. Hal.

86-89

Kemenkes. 2013. Farmakope

Indonesia Edisi Lima.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta. Hal. 40-41;

149; 1756.

Mackeen, M. M. 1998. Bioassay-

guided isolation and

identification of bioactive

compounds from Garcinia

atroviridis (Asam gelugor).

Tesis. Faculty of Food Science

and Biotechnology, University

Putra Malaysia.

Moehji, S., 2017. Dasar-dasar Ilmu

Gizi. Penerbit Pustaka Kemang.

Depok Timur. Hal. 57

Padang, S. A., R. M. Maliku. 2017.

Penetapan Kadar Vitamin C

pada Buah Jambu Biji Merah

(Psidium guajava L.) dengan

Metode Titrasi Na-2,6

Dichlorophenol Indophenol

(DCIP). Media Farmasi Volume

XIII No. 2. Hal. 1-6

Putri, M. P., Y. H. Setiawati. 2015.

Analisis KadarVitamin C Pada

Buah Nanas Segar (Ananas

comosum (L.) Merr) dan Buah

Nanas Kaleng dengan Metode

Spektrofotometri UV-Vis. Jurnal

Witaya. Volume 2 No. 1. Hal.

34-38

Satyanarayana, U., Chakrapani, U.

2013. Biochemistry Fourth

Edition. Haryana. (IN): Elsevier.

Hal.116

Sibuea, M., Buhari, Thamrin,

Muhammad, Khairunnas. 2012.

Analisis Usahatani dan

Pemasaran Asam Gelugur di

Kabupaten Deli Serdang.

Agrium. Volume 17 No 3. Hal.

202-209

Soeroso, J. dan H. Algristian. 2012.

Asam Urat.Penebar Plus. Jakarta.

Hal. 100

Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan

Makanan dan Pertanian.

Penerbit Liberti. Yogyakarta.

Hal. 24

Sumbono, Aung. 2016. Biokimia

Pangan Dasar. Penerbit

Deepublish. Jakarta. Hal. 323-

324 Utami, Sri. 2016.

Patentabilitas Antibakteri dari

Tanaman Garcinia. Jurnal

Page 48: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 2019

45

Kedokteran Yarsi 24 (1): 069-

079.

Wahyuni, L. E. T. 2016. Pengaruh

Pengolahan Terhadap Kadar

Vitamin C Serta Kandungan dan

Aktivitas Antioksidan Apel

(Malus sylvestris Mill) Varietas

Rome Beauty. Bogor:Fakultas

Ekologi Manusia IPB. Skripsi

Wardani, L. A. 2012. Validasi Metode

Analisis dan Penentuan Kadar

Vitamin C pada Minuman Buah

Kemasan dengan

Spektofotometri UV Visible.

Depok: FMIPA UI. Skripsi.

Zhang, Yuyang. 2013. Ascorbic Acid

in Plants Biosynthesis,

Regulation and Enhancement.

Springer New York Heidelberg

Dordrecht London. Hal1-

Page 49: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

46

FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK DAUN STEVIA

(Stevia rebaudiana Bert.) DAN DAUN SAMBILOTO (Andrographis

folium) DENGAN VARIASI MANITOL-SORBITOL

SEBAGAI PENGISI

Ratnaningsih Dewi Astuti, Zyuliana Agustiyani

Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palembang

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tablet kunyah diharapkan dapat memberi residu rasa enak dan mudah ditelan sehingga diperlukan

pengisi yang manis. Pengisi yang digunakan yaitu manitol dan sorbitol. Kedua pengisi tersebut dapat

menutupi rasa pahit dari zat aktif. Zat aktif yang digunakan yaitu daun stevia dan daun sambiloto yang

mempunyai kandungan steviosida dan andrografolid yang berkhasiat untuk menurunkan kadar gula darah.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat tablet kunyah dengan variasi manitol-sorbitol sebagai pengisi.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Daun stevia dan daun sambiloto dimaserasi

menggunakan etanol 70%. Ekstrak yang telah didapatkan diformulasikan menjadi tablet kunyah dengan

variasi manitol-sorbitol (90%:10%), (80%:20%), dan (70%:30%). Metode yang digunakan yaitu granulasi

basah. Granul yang diperoleh diuji sifat fisiknya yaitu kecepatan alir, sudut diam dan kompresibilitas.

Kemudian diuji sifat fisik tablet meliputi keseragaman bobot, keseragaman ukuran, kekeraasan, kerapuhan,

waktu hancur dan kualitas rasa. Berdasarkan hasil uji sifat fisik granul dari ketiga formula memenuhi

persyaratan. Sedangkan uji sifat fisik tablet memenuhi persyaratan yang ditinjau dari keseragaman bobot,

kerapuhan, dan waktu hancur. Namun, pada keseragaman ukuran ketiga formulasi tidak memenuhi syarat.

Pada uji kekerasan dan kualitas hanya formula 1 yang tidak memenuhi syarat karena kekerasannya 3,65 kg

dan memiliki rasa yang tidak enak. Ekstrak daun stevia dan daun sambiloto dapat diformulasikan menjadi

tablet kunyah yang memenuhi syarat dan stabil secara fisik kecuali keseragaman ukuran yaitu pada formula

2 dan formula 3 dengan konsentrasi manitol:sorbitol (80%:20%) dan (70%:30%).

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan

penyakit degeneratif yang mulai

menjadi sorotan utama dalam

permasalahan kesehatan di Indonesia.

Penyakit ini ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah yang

melebihi normal (hiperglikemia) akibat

tubuh kekurangan insulin. Berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

dari Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementrian

Kesehatan pada tahun 2013 terjadi

peningkatan prevalensi pada penderita

diabetes mellitus di Indonesia yaitu dari

1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1%

pada tahun 2013.

Peningkatan prevalensi penderita

diabetes mellitus tersebut menjadi

masalah yang serius di Indonesia,

sehingga perlu dilakukan pencegahan

dan pengobatan. Salah satu upaya yang

telah dilakukan oleh masyarakat untuk

mencegah penyakit diabetes mellitus

adalah melaksanakan diet sehat dengan

kalori seimbang sebagai tindakan

pencegahan. Pemerintah dengan

program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) menyediakan pengobatan untuk

diabetes mellitus seperti antidiabetic

oral dan insulin. Namun, masyarakat

saat ini tidak terlalu menyukai

pengobatan yang mengandung bahan

kimia obat dan lebih memilih

pengobatan herbal dengan

menggunakan tanaman obat tradisional.

Tanaman yang dapat dijadikan

obat tradisional untuk penyakit diabetes

adalah daun stevia dan daun sambiloto.

Daun stevia telah digunakan untuk

menurunkan kadar gula darah dengan

cara menyeduhnya menggunakan air

panas, setelah itu airnya langsung dapat

di minum. Senyawa yang paling banyak

terkandung dalam daun stevia adalah

steviosida yang berkhasiat untuk

menurunkan kadar gula darah. Hal ini

Page 50: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

47

telah dibuktikan oleh Fatimah (2012)

bahwa ekstrak daun stevia pada dosis

100 mg/kgBB mampu menurunkan

kadar gula darah tikus. Sedangkan daun

sambiloto memiliki

kandungan utama andrografolid yang dapat

menurunkan kadar gula darah dengan dosis 3,2

g/kgBB mencit (Paramitha dan Rahamanisa,

2016). Secara empiris, daun sambiloto

dimanfaatkan masyarakat dengan cara direbus,

setelah itu disaring dan diminum tiga kali sehari

sebanyak ¾ gelas.

Kombinasi ekstrak etanol daun sambiloto

dan daun stevia lebih efektif menurunkan kadar

glukosa darah pada tikus dibandingkan

pemberian secara tunggal (Pradini, Pambudi,

dan Dinah, 2017). Dimana kombinasi kedua

ekstrak ini dapat menurunkan kadar gula darah

sebesar 23% yang mendekati kontrol positifnya,

yaitu glibenklamid. Mengingat belum

tersedianya kombinasi kedua ekstrak tersebut,

maka peneliti tertarik untuk membuat sediaan

dalam bentuk tablet kunyah. dengan bahan

pengisi yang manis sehingga dapat menutupi

rasa pahit dari ekstrak tersebut.

Bahan pengisi yang cocok untuk sediaan

tablet kunyah yang akan di konsumsi oleh pasien

diabetes mellitus adalah manitol dan sorbitol.

Manitol memberikan rasa enak, manis yang

ringan dan rasa lembut sehingga disukai banyak

pasien (Ansel, 1989). Sedangkan sorbitol

memiliki kompresibilitas yang baik, cukup

stabil, dan rendah kalori sehingga aman bagi

penderita diabetes (Rowe, Sheskey, dan Owen,

2006). Kombinasi kedua pengisi ini telah

dibuktikan oleh Uwamaretatyalovi (2010) dapat

menghasilkan tablet kunyah yang baik dan

memenuhi standar persyaratan tablet.

Berpedoman dari

penelitian

Uwamaretatyalovi (2010) dan mengingat khasiat

kombinasi ekstrak daun stevia (Stevia

rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto

(Andrographis folium) yang dapat dijadikan obat

diabetes, maka peneliti tertarik untuk

memformulasikan kedua ekstrak tersebut dalam

bentuk tablet kunyah dengan memvariasikan

manitol-sorbitol sebagai bahan pengisi dan

menguji kestabilan fisiknya.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian

eksperimental yang dilakukan dengan beberapa

formula tablet yang mengandung kombinasi

ekstrak daun stevia (Stevia rebaudiana Bert.)

dan daun sambiloto (Andrographis folium)

dengan variasi pengisi manitol dan sorbitol

menggunakan granulasi basah.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di

Laboratorium Farmakognosi, Laboratorium

Farmasetika dan Laboratorium Fisika di Jurusan

Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang pada

bulan Februari-Juli 2018.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah ekstrak daun

stevia dan daun sambiloto yang diperoleh dari

proses ekstraksi. Daun stevia diperoleh dari

Kabupaten Sukoharjo-Bendosari, Jawa Tengah

dengan karakteristik berdaun rimbun, berumur

40-60 hari, tinggi tanaman mencapai 40-60 cm,

dan menjelang stadium berbunga (Rukmana,

2003). Sedangkan daun sambiloto diperoleh

dari halaman rumah ibu “X” di daerah Belitang

Kabupaten OKU Timur dengan karakteristik

berwarna hijau tua, panjang daun 2-8 cm dan

lebar 1-3 cm (Prapanza dan Marianto, 2003).

D. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu botol

maserasi, kertas saring, corong gelas, rotary

evaporator, timbangan biasa, timbangan

Analytical Balance, kertas perkamen, mortir,

stamper, ayakan, sudip, lemari pengering,

jangka sorong Tricle brand, Friability

Apparatus, hardness tester, disintegration

tester, dan kuisioner.

Bahan yang digunakan yaitu daun

stevia, daun sambiloto, aerosil, manitol,

sorbitol, povidon, mg stearat, dan aspartam.

E. Cara Pengumpulan Data

1. Persiapan Simplisia

Daun stevia dan daun sambiloto disortasi

kering terlebih dahulu untuk memastikan tidak

ada benda asing yang masih tertinggal selama

proses pengeringan. Selanjutnya simplisia

dirajang untuk memperkecil ukuran

partikelnya.

2. Ekstraksi Daun Stevia dan Daun

Sambiloto

Daun stevia sebanyak 1.500 gram dan

daun sambiloto sebanyak 150 gram dimaserasi

dengan etanol 70%. Tutup dan biarkan selama

5 hari terlindung dari cahaya dan dikocok tiga

kali sehari. Pengocokan dilakukan selama 15

menit. Setelah 5 hari cairan disaring lalu

ekstrak cair yang didapatkan kemudian

dipekatkan dengan cara destilasi vakum.

3. Formulasi Tablet Kunyah Ekstrak

Daun Stevia dan Daun Sambiloto

Formula tablet pada penelitian ini

mengacu pada formulasi tablet kunyah ekstrak

daun sirih (Piper betle L.) dengan variasi

pengisi manitol- sorbitol (Uwamaretatyalovi,

2010) dan formulasi tablet kunyah serbuk jahe

merah (Yetti dkk, 2015). Dalam penelitian

tersebut diketahui bahwa perubahan komposisi

Page 51: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

48

manitol dan sorbitol berpengaruh terhadap sifat

fisik granul dan tablet kunyah yang dihasilkan.

Formula tersebut lalu diaplikasikan untuk

pembuatan tablet kunyah ekstrak daun stevia

(Stevia rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto

(Andrographis folium) yang berkhasiat untuk

menurunkan kadar gula darah dengan variasi

pengisi manitol dan sorbitol pada formula satu

(90%:10%), formula dua (80%:20%) dan

formula tiga (70%:30%). Tablet yang dibuat

dengan 600 mg sebanyak 200 tablet setiap

formulanya.

4. Pembuatan Granul dan Tablet Kunyah

Timbang semua bahan, masukkan ekstrak

kering daun stevia dan daun sambiloto kedalam

lumpang gerus homogeny. Lalu tambahkan

manitol, sorbitol, aspartame dan povidon.

Basahi dengan aquadest hingga massa dapat

dikepal, ayakk dengan ayakan 12 mesh.

Keringkan dalam lemari pengering selama 24

jam, lalu ayak kembali. Lakukan uji sifat fisik

granul. Setelah granul dievaluasi kemudian

tambahkan mg stearat gerus homogen.

5. Evaluasi Granul

a. Kecepatan Alir

Ditimbang 100 gram granul, kemudian

dimasukkan dalam corong yang bagian

bawahnya ditutup. Penutup corong dibuka dan

granul dibiarkan keluar sampai habis. Hitung

keceptan alir granul.

b. Sudut Diam

Tumpukan granul yang telah dialirkan

saat pemeriksaan kecepatan alir tadi dihitung

tinggi dan diameternya. Hitung tinggi dan

diameternya.

c. Kompresibilitas

Ditimbang gelas ukur 25 ml kosong,

kemudian diisi granul sampai volume 25 ml

lalu timbang. Hentakkan sebanyak 500 kali

ketukan. Baca volume granul didalam gelas

ukur.

6. Evaluasi Tablet

a. Keseragaman Bobot

Timbang 20 tablet hitung bobot rata-

rata, lalu timbang tablet satu per satu. Catat

masing- masing bobt, hitung penyimpangan

bobot setiap tablet.

b. Keseragaman ukuran

Ambil 20 tablet, diukur ketebalan dan

diameter satu per satu tablet dengan

menggunakan jangka sorong.

c. Kekerasan

Siapkan 10 tablet lalu tegak lurus pada

alat, putar ujunng alat hingga tablet pecah.

d. Kerapuhan

20 tablet dibebasdebukan kemudian

timbang, masukkan pada alat friabilator atur

dengan kecepatan 25 rpm dengan waktu selama 4 menit. Keluarkan lalu timbang kembali.

e. Waktu Hancur

Masukkan 6 tablet dalam alat

disintegration tester. Atur suhu sebesar 37ºC,

amati tablet yang telah hancur dalam air dan

catat waktunya.

Tabel 1. Formula Tablet Kunyah Ekstrak daun stevia (Stevia rebaudiana Bert.) dan daun sambiloto

(Andrographis folium).

(Berdasarkan penelitian Uwamaretatyalovi (2010) dan Yetti dkk

(2015)) Keterangan :

Formula I : tablet kunyah dengan variasi

manitol(90%) dan sorbitol (10%)

Formula II : tablet kunyah dengan variasi

manitol(80%) dan sorbitol (20%)

Formula III : tablet kunyah dengan variasi

manitol(70%) dan sorbitol (30%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Evaluasi Sediaan Tablet Kunyah

A. Hasil Ekstraksi

Ekstrak kental yang diperoleh dari hasil

ekstraksi daun stevia sebanyak 283,66 gram dan

daun sambiloto sebanyak 28,22 gram.

Rendemen yang diperoleh dari ekstrak

daun stevia yaitu 9,44% dan daun sambiloto

9,40%.

1. Uji Sifat Fisik Granul

a. Kecepatan Alir

Pemeriksaan kecepatan alir granul

bertujuan untuk mengetahui waktu yang

dibutuhkan granul untuk mengalir pada sat akan

dicetak. Granul yang baik akan mempunyai sifat

alir yang baik maka pengisian pada ruang cetak

menjadi konstan (Parrot, 1970). Hasil

pengamatan kecepatan alir granul menunjukkan

bahwa kecepatan alir granul pada formula I, II,

Bahan FI FII FIII Keterangan

Ekstrak + aerosil (2:1) 340 mg 340 mg 340 mg Zat aktif

Manitol 190 mg 170 mg 150 mg Pengisi

Sorbitol 25 mg 45 mg 65 mg Pengisi

Povidon 30 mg 30 mg 30 mg Pengikat

Mg Stearat 15 mg 15 mg 15 mg Pelincir

Aspartam 6 mg 6 mg 6 mg Pemanis

Page 52: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

49

dan III secara berturut-turut adalah 7,76 g/s,

7,08 g/s, dan 5,95 g/s. Dari hasil kecepatan alir

granul ini menunjukkan sifat granul yang baik

karena berada dalam standar ketetapan Aulton

(2002) yaitu dalam kolom 4-10 g/s. Kecepatan

alir yang paling baik terdapat pada formula I

karena kecepatan alir granulnya tinggi sehingga

membuat granul mudah mengalir. Aliran granul

juga dipengaruhi oleh sorbitol yang digunakan

dalam formula ini, dimana sorbitol bersifat

higroskopis. sehingga kelembaban menjadi

meningkat.

b. Sudut Diam

Uji Sifat

Fisik Granul

Formula

I II III

Tinggi (cm) 2,86 2,96 3,13

Jari-jari (cm) 9,45 8,98 8,05

Tan α 0,3026 0,3296 0,3888

Sudut diam (º)

16,8358 18,2422 21,2460

Keterangan MS

(Sangat

Baik)

MS

(Sangat

Baik)

MS

(Baik)

Sudut diam merupakan salah satu

parameter baik tidaknya sifat alir suatu granul.

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan

sudut diam yaitu formula I (16,8458º), formula

II (18,2422º) dan formula III (21,2460º).

Menurut Aulton (2002), sudut diam <20º

menunjukkan granul yang sangat baik. Pada

hasil sudut diam ini terjadi peningkatan yang

dikarenakan meningkatnya konsentrasi sorbitol.

Hal ini dikarenakan sifat sorbitol yang

higroskopis menyebabkan massa granul menjadi

lembab sehingga memperlama waktu alir dan

sudut diam semakin tinggi.

c. Kompresibilitas

Uji Sifat Fisik

Granul

Formula

I II III

BJ Nyata 0,6957 0,6843 0,6834

BJ Mampat 0,7247 0,7249 0,8136

Kompresibilitas (%)

4,0 5,6 16,0

Keterangan MS (Istimewa)

MS (Istimewa)

MS (Baik)

Uji kompresibilitas digunakan untuk

mengetahui baik tidaknya sifat alir suatu granul.

Semakin kecil indeks kompresibilitas, maka

semakin baik sifat alirnya. Dari hasil

pengamatan sudut diam diperoleh nilai

kompresibilitas yaitu pada formula I (4,0%),

formula II (5,6 %), dan formula III (16,0 %).

Menurut Aulton (2002), nilai kompresibilitas

antara 5-15 % dinyatakan istimewa, sedangkan

<16 % bersifat baik. Hal ini berarti formula I

mempunyai sifat granul yang paling baik.

Kenaikan konsentrasi sorbitol menyebabkan

granul menjadi lembab sehingga pemampatan

granul lebih sedikit dan penurunan granul

semakin rendah.

2. Uji Sifat Fisik Tablet

a. Keseragaman Bobot

Keseragaman bobot tablet dilihat dari

banyaknya penyimpangan yang diperoleh dari

rata-rata seluruh tablet dari sejumlah tablet yang

ditimbang satu per satu. Dari hasil pengamatan

yang diperoleh, menunjukkan semua formula

memenuhi persyaratan keseragaman tablet yaitu

tidak boleh lebih dari 2 tablet yang menyimpang

dari bobot rata-rata yang ditetapkan dalam

kolom A dan tidak boleh 1 tabletpun yang

bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih

dari harga dalam kolom B (Depkes RI, 1979).

b. Keseragaman Ukuran

Dari hasil pengamatan yang diperoleh,

keseragaman ukuran tablet pada masing-masing

formula yaitu formula I (3,40), formula II

(3,43), dan formula III (3,43). Hal ini

menunjukkan semua formula tidak memenuhi

syarat yang ditentukan oleh Farmakope

Indonesia Edisi III dimana keseragaman ukuran

yang baik jika diameter tablet tidak lebih dari 3

kali dan tidak kurang dari 1 1/3 kali tebal tablet.

Pada penelitian ini, diameter tablet yang

dihasilkan terlalu besar sehingga ukuran tablet

yang dihasilkan kurang tebal. Adanya ukuran

tablet yang tidak memenuhi persyaratan ini

dikarenakan alat pencetak tablet dalam

perbaikan sehingga dalam pengempaan tablet

menggunakan alat manual.

c. Kekerasan

Uji kekerasan tablet dilakukan untuk

mengetahui kekuatan tablet yang

menggambarkan ketahanan tablet dalam

melawan tekanan mekanik seperti guncangan

dan terjadinya keretakan tablet selama

pengemasan, pengangkutan dan pendistribusian

(Ansel, 1989). Data yag diperoleh dari hasil

pengamatan uji kekerasan yaitu pada formula I

(3,65), formula II (4,00) dan formula III (4,20).

Hasil ini membuktikan bahwa formula I tidak

memenuhi persyaratan karena kurang dari 4 kg.

Sedangkan formula II dan formula III

mempunyai kekerasan yang baik. Hal ini

menunjukkan bahwa sifat manitol yang tidak

membuat tablet sekeras tablet yang

mengandung banyak sorbitol sehingga pada

formula tablet I mempunyai kekerasan yang

kurang sedangkan pada formula III mempunyai

kekerasan yang baik.

d. Kerapuhan

Uji kerapuhan digunakan untuk

mengetahui kemampuan tablet mencegah

sumbing dan goresan pada penanganan selama

pengemasan dan pengiriman. Data yang

diperoleh dari hasil pengamatan kerapuhan

yaitu formula I (0,6705). Formula II (0,5818)

dan formula III (0,2483). Ketiga formula

tersebut memenuhi syarat karena nilai

kerapuhan kurang dari 4% (Siregar, 2010).

Kerapuhan tablet paling rendah dimiliki oleh

Page 53: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

50

formula dengan konsentrasi sorbitol paling

tinggi dan kerapuhan paling tinggi dimiliki oleh

formula dengan konsentrasi sorbitol paling

rendah. Hal ini disebabkan sorbitol yang

bersifat higroskopis dan memperkuat ikatan

antar partikelnya sehingga dapat menahan

pengikisan dan juga fines yang dihasilkan

sedikit.

e. Waktu Hancur

Uji waktu hancur digunakan untuk

mengetahui komponen obat dapat larut dan

hancur melepaskan obatnya kedalam cairan

tubuh. Data yang diperoleh dari hasil

pengamatan yaitu pada formula I memiliki

waktu hancur selama 5,59 menit, formula II

selama 11,30 menit, dan formula III selama

14,45 menit. Tablet yang baik mempunyai

waktu hancur kurang dari

15 menit (Depkes RI, 1979). Waktu hancur

tercepat terdapat pada formula I sedangkan

waktu hancur yang lama pada formula III. Hal

ini disebabkan sifat manitol yang mudah larut

dalam air, sehingga banyaknya konsentrasi

manitol akan menyebabkan waktu hancur tablet

semakin cepat. Selain itu, tekanan pada saat

pengempaan tablet akan mempengaruhi waktu

hancur tablet, dimana tablet yang keras akan

memperlama waktu hancur.

f. Kualitas Rasa

Uji tanggapan kualitas rasa dilakukan

pada 30 orang responden yang telah mengunyah

tablet untuk menilai rasa tablet yang telah

dibuat lalu mengisi kuisioner tanggapan rasa.

Uji kualitas rasa dibagi menjadi dua, yaitu enak

dan tidak enak. Data yang diperoleh dari hasil

pengamatan, formula I menunjukkan rasa yang

tidak enak, sedangkan formula II dan formula

III memiliki rasa yang enak. Hal ini

menunujukkan bahwa variasi konsentrasi

sorbitol paling paling kecil memiliki raba mulut

kurang baik, sedangkan variasi konsentrasi

manitol paling banyak memiliki raba mulut yang

baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji sifat fisik granul

dan tablet kunyah ekstrak daun stevia dan daun

sambiloto dapat diformulasikan menjadi tablet

kunyah yang memenuhi syarat dan stabil secara

fisik kecuali keseragaman ukuran yaitu pada

formula 2 dan formula 3.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 2006. Pengembangan Sediaan

Farmasi. ITB. Bandung. Hal 191-195

Agoes, 2013. Pengembangan Sediaan Farmasi

(SFI-1) Edisi revisi dan perluasan.

Penerbit ITB, Bandung. Hal 206-207

Anief, M., 2010. Ilmu Meracik Obat. Teori dan

Praktik. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. Hal 211-216

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan

Farmasi edisi IV. Diterjemahkan oleh :

Ibrahim, F. Universitas Indonesia Press,

Jakarta. Hal 249-283

Aulton, M., 2002. Pharmaceutical Practice of Dosage Form Design. Curcill

Livingstone, Edirberd, London. Hal 134-

208

Banker, G.S. dan N.R. Anderson. 1994. Teori

dan Praktek Farmasi Industri Edisi III.

Dalam: Lachman, L., H.A. Lieberman,

and J.L. Kanig (editor). Terjemahan

oleh: Siti Suyatmi. Universitas Indonesia

Press, Jakarta.

Bawane, 2012. An Overview on Stevia: A

Natural Calorie Free Sweetener.

International Journal of Advantages in

Pharmacy, Biology and Chemistry.

IJAPBC-vol. 1 (3): 2277-4688

Departemen Kesehatan, 1979. Farmakope

Indonesia edisi III Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Hal 6-8

Departemen Kesehatan, 1995. Farmakope

Indonesia edisi IV Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Hal 4-6

Dalimartha, Setiawan, 2008. Atlas Tumbuhan

Obat Indonesia Jilid 1. Wisma Hijau,

Yogyakarta. Hal 121.

Edi, B., D. Mardiani., 2015. Panduan Budidaya

Stevia sebagai Penghasil Gula Rendah

Kalori. Koperasi Nukita, Bandung. Hal

5- 7

Fatimah, S., 2012. Perbedaan Efek Ekstrak

Etanol Stevia (Stevia rebaudiana Bert.)

Dibandingkan Madu Terhadap

Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus

Wistar Model Diabetik. Skripsi, Jurusan

Farmasi UNS.

Kementrian Kesehatan RI, 2013. Laporan Hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Nasional 2013. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Hal 87-89. Lachman, L., H.A. Lieberman dan J.L. Kanig,

1994. Teori dan Praktek Farmasi

Industri Edisi Kedua. Terjemahan oleh :

Siti Suyatmi. Universitas Indonesia

Press, Jakarta.

Marjoni, R., 2016. Dasar-dasar Fitokimia.

Trans Info Media, Jakarta Timur. Hal 15.

urtie, Afin, 2015. Infused Ice Cubes. PT

Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Hal 75.

Paramitha, Mulya D., Rahmanisa, S., 2016.

Ekstra etanol herba sambiloto

(Andrographis paniculata) sebagai

antidiabetik terhadap mencit wistar

terinduksi aloksan. Majority. 5(5) : 76-

78.

Parrott, E.L., 1970. Pharmaceutical Technology

Page 54: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

51

Fundamental Pharmaceutics. Thirth Ed.

Mineapolis: Burgess Publishing

Company.

Pradini, S.A., P.R. Pambudi dan F.A. Dinah.,

2017. Uji Efek Antidiabetik Kombinasi

Ekstrak Etanol Daun Stevia (Stevia

rebaudiana Bert.) dan Daun Sambiloto

(Andrographis folium) Pada Tikus

Jantan Galur Wistar yang Diinduksi

Aloksan. Indonesian Journal On Medical

Science. 4(2) : 177-181.

Purba, P.O, R. Sari, A. Fahrurroji., 2014.

Formulasi Sediaan Tablet Kunyah

Ekstrak Etanol Daun Sambiloto

(Andrographis paniculata Ness.) dengan

Variasi Pengisi Manitol-Sukrosa

Menggunakan Metode Granulasi Basah.

Skripsi, Jurusan Farmasi Universitas

Tanjungpura Pontianak.

Prapanza, I., L.A. Marianto, 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto : Raja Pahit

Penakhluk Aneka Penyakit. Agromedia,

Jakarta. Hal 6.

Rahayu, F., 2012. Formulasi Tablet Kunyah

Ekstrak Etanol Kayu Secang

(caesalpinia sappan L.) dengan Variasi

Konsentrasi Bahan Pengikat

Polivinilpirolidon Secara Granulasi

Basah. Karya Tulis Ilmiah, Jurusan

Farmasi UNS, hal. 40.

Rowe, R.C., P.J. Sheskey dan S.C. Owen, 2006,

Sorbitol, In: Rowe, R. C., Shesky, P. J.,

and Owen, S. C. (eds.), Handbook of

Pharmaceutical Excipients, Fifth

Edition, 743, Pharmaceutical Press, UK.

Rowe, R.C., P.J. Sheskey dan M.E. Quinn.,

2009. Handbook of Pharmaceutical

Excipients Six Edition. America

Pharmaceutical Press. Washington DC.

Rukmana, H. R., 2003. Budi Daya Stevia,

Bahan Pembuatan Pemanis Alami.

Kanisius, Yogyakarta.

Rukmana, H. R. dan H.H. Yudirachman, 2016.

Budi Daya dan Pascapanen Tanaman

Obat Unggulan. Lily Publisher,

Yogyakarta. Hal 371-394.

Rukmini, Feni Aditya. 2010. Formulasi Tablet

Kunyah Ekstrak Biji Jinten Hitam

(Nigella sativa) sebagai Anti Inflamasi

dengan Kombinasi Bahan Pengisi

Sorbitol- Laktosa. Skripsi, Jurusan

Farmasi UMS.

Siregar, Charles. J. P., 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar-dasar Praktis,

Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Subroto, 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes

Melitus. Penebar Swadaya, Yogyakarta.

Tim Bumi Medika, 2017. Berdamai dengan

Diabetes. Bumi Medika, Jakarta. Hal 4-

11.

Uwamaretatyalovi, A., 2010. Formulasi Tablet

Kunyah Ekstrak Daun Sirih (Piper betle

L.) dengan Kombinasi Bahan Pengisi

Manitol-Sorbitol. Skripsi, Jurusan

Farmasi UII.

Voight, R., 1994. Buku Pelajaran Teknologi

Farmasi Edisi Kelima. Terjemahan oleh :

Soendani Noerono Soewandhi. Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

Wardhana, Y. W., 2007. Formulasi Tablet

Kunyah Serbuk Jahe Kuning (Zingiber

gramineum BI). Karya Tulis Ilmiah,

Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.

Hal 12.

Yeti, O.K., Handayani, Surban, 2015.

Formulasi Tablet Kunyah serbuk Jahe

Merah (Zingiber officinale Rosc). Cerata

Journal Of Pharmacy Science. Hal 18-

26.

Yodyinguard, V. dan S. Bunyawong, 1991.

Effect of Stevioside on Growth and

reproduction. Human Reproduction 6.

Hal 158-165.

Zhang, X. F. dan B.K. Tan, 2000. Anti-diabetic

property of ethanolic extract of

Andrographis panicula in

streptozotocin-diabetic rats. Acta

Pharmacol Sin, 21, 1157-64.

Page 55: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

52

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN ASAM JAWA

(Tamarindus indica L.) TERHADAP KADAR C-REAKTIF PROTEIN

PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus) YANG DIINDUKSI

KARAGENAN

Mona Rahmi Rulianti, Sonlimar Mangunsong, Kanavi, A,

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Latar Belakang :Telah dilakukan penelitian efek antiinflamasi ekstrak daun asam jawa (Tamarindus indica L.)

yang memiliki kandungan flavonoid dan tanin yang menunjukan efek antiinflamasi pada tikus putih jantan

(Rattus novergicus) setelah diinduksi karagenan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dosis ekstrak

daun asam jawa yang menunjukan efek antiinflamasi serta mengevaluasi peningkatan kadar C-Reaktif Protein

(CRP). Metode : Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan mengukur kadar C-Reaktif

protein dalam darah dan hewan percobaan tikus putih jantan sebanyak 24 ekor dan di bagi menjadi 6

kelompok yaitu kelompok normal, kelompok negatif (hanya diinduksi karagenan), kelompok positif (diberi

Na diklofenak), kelompok dosis I (13,4 mg/200 g BB), kelompok dosis II (26,8 mg/200 g BB), kelompok

dosis III (53,6 mg/200 g BB). Data yang didapatkan kemudian di analisis secara statistik menggunakan uji

kruskal-Wallis dan di dapatkan hasil p<0,05 Hasil : Hasil pengukuran kadar CRP kelompok normal (negatif),

kelompok yang diinduksi karagenan (positif), kelompok yang diberi Na diklofenak (negatif), kelompok dosis I

(negatif), kelompok dosis II (negatif), kelompok dosis III (negatif). Hasil penelitian kemudian dianalisis

dengan Kruskal-Wallis menunjukan pengaruh pemberian ekstrak daun asam jawa yang secara signifikan

terhadap efek antiinflamasi dan penurunan kadar CRP pada serum darah tikus putih jantan. Kesimpulan :

Ekstrak daun asam jawa (Tamarindus indica L.) mempunyai efek antiinflamasi dan mampu menurunkan

kadar CRP pada tikus putih jantan setelah diinduksi karagenan.

PENDAHULUAN

Radang atau inflamasi adalah

suatu respon protektif normal terhadap

luka jaringan yang di sebabkan oleh

trauma fisik, zat kimia yang merusak,

atau zat-zat mikrobiologik. Inflamsi

adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi

atau merusak organisme yang

menyerang, menghilangkan zat iritan,

dan mengatur derajat perbaikan jaringan

(Mycek, 2001).Pada proses inflamasi

penyakit sistemik kronik pada sendi-

sendi tubuh dapat mengakibatkan gejala

berupa nyeri disertai kekauan,

kemerahan, pembengkakan, yang timbul

bukan karena benturan atau kecelakaan

namun hal ini berlangsung kronis.

Menurut data riset kesehatan dasar tahun

2013, penyakit sendi termasuk penyakit

yang prevalensinya tertinggi kedua, yaitu

24,7% setelah penyakit hipertensi.

Provinsi dengan prevalensi mengidap

penyakit sendi tertinggi adalah Nusa

Tenggara Timur (NTT) dengan

prevalensi (33,1%), Jawa Barat (32,1%)

dan Bali (30,0%),

(Kemenkes, 2013).

Pada pengobatan radang atau

inflamasi dapat di golongan menjadi dua

golongan yaitu golongan steroid dan non

steroid, dan juga dapat memilki aktivitas

menekan peradangan. Aktivitas ini dapat

dicapai melalui berbagai cara, yaitu

menghambat migrasi sel-sel leukosit ke

daerah radang, menghambat

pembentukan mediator radang

prostagladin, menghambat pelepasan

prostagladin, menghambat pelepasan

prostagladin dari sel-sel tempat

pembentukannya (Kee dan Hayes, 1996).

Pada pengobatan tradisional menjadi

pilihan utama karena tumbuhan obat

lebih murah dan mudah diperoleh di

sekitar kita, mudah ditanam, dan mudah

cara meramunya (Saifudin dkk, 2011).

Pemanfaatan tanaman asam jawa

ini memiliki berbagai macam khasiat,

antara lain daunnya dapat digunakan

sebagai antiseptik, demam, rematik,

luka dan anti radang (Quisumbing,

1978), daun asam jawa juga dapat di

gunakan sebagai obat alternatif di

Page 56: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

53

masyarakat khususnya untuk mengobati

penyakit radang dan sistem imun tubuh,

dengan cara merebus beberapa daun

asam dengan menggunakan 2 gelas air,

rebuslah hingga tersisa 1 gelas air

kemudian saring. lalu diminum selagi

hangat, atau bisa di buat jus dengan

menambahkan sedikit air (Chy Ana,

2018). Menurut Bandawe dkk, (2013)

ekstrak etanol daun asam jawa

(Tamarindus indica L.) mengandung

senyawa kimia berupa flavonoid dan

tanin yang berkhasiat sebagai

antiinflamasi

Senyawa flavonoid

dapat menghambat

beberapa enzim antara lain,

siklooksigenase, lipooksigenase

(Narayana dkk, 2001). Sedangkan tanin

mempunyai efek antiinflamasi karena

dapat menghambat pengeluaran

prostaglandin pada jalur arakhidonat

yang merupakan mediator peradangan

(Agni, 2013). Sehingga daun asam jawa

diduga mempunyai aktivitas

antiinflamasi karena memiliki

kandungan flavonoid dan tanin.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian ini adalah

eksperimental dengan melakukan

pengukuran ekstrak daun asam jawa

(Tamarindus indica L.) terhadap kadar

C- Reaktif protein (CRP) pada serum

darah tikus putih jantan setelah diinduksi

karagenan.

Penelitian ini telah di lakukan pada

bulan April-Juni 2018 di laboratorium

farmakologi,farmakognosi dan

farmasetika di Politeknik Kesehatan

Jurusan Farmasi Palembang, serta di

Balai Besar Laboratorium Kesehatan

Palembang.

Objek penelitian adalah daun asam

jawa (Tamarindus indica L.) segar yang

diambil pada pagi hari di Jalan Bay

Salim, no 1, komplek Percetakan

Rambang, Sekip Jaya, kemuning, kota

palembang depan rumah Bapak X. Dan

hewan percobaan adalah tikus putih

jantan jalur wistar yang berumur sekitar

2-3 bulan, dengan berat badan lebih

kurang 200 gram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ekstraksi Daun Asam Jawa

Daun Asam Jawa (Tamarindus

indica L.) diekstraksi dengan cara

dimaserasi menggunakan pelarut etanol

selama lima hari. Hasil proses ekstraksi

setelah itu di destilasi vakum dan

diperoleh ekstrak kental daun asam jawa

(Tamarindus indica L.) sebanyak

157,995 gram, yang di dapat dari 1000 gr

simplisia kering. Rendemen yang di

dapatkan yaitu 15,7995%. Dosis ekstrak

daun asam jawa (Tamarindus indica L.)

diambil dari penelitian Assagaf. Bodhi.

Yamlean (2015) tentang penggunaan

efek ekstrak daun asam jawa terhadap

penurunan kadar kolestrol darah tikus

putih jantan. Dosis yang digunakan

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

kelompok dosis I 13,4 mg/200grBB,

kelompok dosis II 26,8 mg/200grBB, dan

kelompok dosis III 53,6 mg/200grBB.

Karena digunakan dosis tersebut dengan

alasan sudah terbukti tidak toksis pada

tikus putih jantan.

2. Pengujian Kadar C-Reaktif Protein

(CRP) Pada Serum Darah Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus)

Pada pengujian CRP yang di ukur

adalah jumlah protein dalam darah (yang

disebut C-reaktif protein).

Meningkatnya kadar C-Reaktif Protein

(CRP) merupakan salah satu indikator

terjadinya inflamasi. Oleh karena itu

dalam penelitian ini dilakukan pengujian

terhadap kadar CRP dalam serum darah

tikus jantan.

Page 57: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

54

Tabel Hasil pemeriksaan Kadar C-Reaktif Protein pada serum darah tikus putih jantan

yang diinduksi karagenan 1% dan diberi dosis ekstrak dau asam jawa.

No

Kelompok

Normal Negatif Positif Dosis I Dosis II Dosis III

1 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif

2 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif

3 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif

4 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif

Keterangan :

- Negatif : <5 mg/L (Kadar normal)

- Positif : >5

mg/L Tabel Hasil Uji

Kruskall-Wallis

Keterangan :

Sig<0,05 = Berbeda bermakna (Ho ditolak)

Sig>0,05 = Tidak berbeda (Ho diterima)

Tabel Hasil Uji Mann Whitney

Hasil pemeriksaan kadar C-Reaktif protein

(CRP) yang telah dilakukan di BBLK

menunjukan bahwa pada kelompok

normal terlihat kadar CRP pada serum

darah tikus memiliki nilai negatif,

sedangkan untuk kelompok kontrol negatif

(hanya diinduksi karagenan) kadar CRP

meningkat yaitu bernilai positif (>5

mg/L). Hal ini menunjukan bahwa

terjadinya inflamasi terhadap tikus putih

jantan pada kelompok negatif, karena CRP

merupakan indikator terjadinya suatu

inflamasi. Dalam keadaan normal kadar

CRP didalam darah (<5 mg/L) (Wirawan,

2010).

Dari hasil pengolahan data menggunakan metode Kruskal-Wallis) dan didapatkan hasil p<0,05 menunjukan bahwa ekstrak daun asam jawa mempunyai efek antiinflamasi pada tikus putih jantan yang diinduksi karagenan 1% yaitu pada kelompok Dosis I (13,4 mg/200 gr BB), kelompok Dosis II (26,8 mg/200 gr BB), dan kelompk Dosis III (53,6 mg/200 gr BB), terlihat hasil kadar CRP menurun yaitu bernilai negatif (<5 mg/L), hal ini membuktikan bahwa ekstrak daun asam jawa sama seperti natrium diklofenak yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar CRP pada serum darah tikus putih jantan dan mempunyai efek yang sama sebagai

Perbedaan kelompok Sig

Negatif-Normal

Negatif-Positif

Negatif-Dosis (I, II, dan III)

Normal-Positif

Normal-Dosis (I, II, dan III)

0,029

0,029

0,029

1,000

1,000

Kelompok N Mean Rank Sig Normal 4 10,50

Negatif 4 22,50

Hasil Positif 4 10,50 0,000 Dosis I 4 10,50

Dosis II 4 10,50

Dosis III 4 10,50

Total 24

Page 58: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

55

antiinflamasi, karena Natrium diklofenak merupakan derivat sederhana dari phenylacetic acid (asam fenilasetat) yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamat. Obat ini adalah penghambat cyclooxygenase yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas arachidonic acid. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa (Katzung, 2002. Hal. 450) sama seperti kerja flavonoid dalam ekstrak daun asam jawa, selain itu Natrium Diklofenak sama fungsinya dari tanin untuk menghambat pengeluaran prostaglandin pada jalur asam arakhidonat yang merupakan mediator peradangan penting (Agni, 2013)

KESIMPULAN

Ekstrak daun asam jawa (Tamarindus

indica L.) mampu menurunkan kadar C-

Reaktif Protein pada tikus putih jantan

dengan nilai kadar normal (<0,05).

DAFTAR PUSTAKA

Agni, N., 2013. Respon Antiinflamasi

Eksttrak Kulit Buah Manggis

(Garcinia Magostama. L)

Terhadap Jumlah Limfosit Pada

Gingiva Tikus Wistar Jantan Pasca

Diinduksi Porphyromonas

Gingiralis.Skripsi. Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas

Jember. Jawa Timur.

Assagaf, Bodhi, Yamlean, 2015. Uji

Efektivitas Ekstrak Etanol Daun

Asam Jawa (Tamarindus Indica

L.) Terhadap Penurunan Kadar

Kolestrol Darah Tikus Putih

Jantan Galur Wistar (Rattus

novergicus)

Bandawane D, Mayuri H, Ashish M,

Nilam M. Evaluation Of Anti-

Inflammatory And Analgesic

Activity Of Tamarind (Tamarindus

Indica L.) Seeds.Int J Pharm

Pharm Sci. 2013; Vol 5: 623-9.

Chy Ana 2018

https://manfaat.co.id/manfaat-

daun- asam [diakses Friday 02nd,

March 2018]

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi :

Dasar dan Klinik. Salemba

medika. Jakarta. Indonesia (hal.

450, 462).

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset

Kesehatan Dasar. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kementerian

Kesehatan RI. Jakarta Selatan.

Diunduh

da

ri

(http://www.depkes.go.id/resources/

download/general/Hasil%20Riskes

d a%202013.pdf diakses tanggal 28

Februari 2018)

Kee J. L dan Hayes E.R . 2014.

Pharmacology: A Patient-Centered

Nursing Process Approach 8th

edition. Amsterdam. Elsevier

Health Sciences.

Mycek, J. M.,Harvey RA, Champe PC .

(2001). Farmakologi Ulsan

Bergambar Edisi 2. Widya

Medica,Jakarta. Hal 404.

Narayana K. R, Reddy M. R, Chaluvadi

M. R. 2001.

Bioflavonoids

Classification,

Pharmacological,

Biochemical Effects and

Therapeutic

Potential.(http://medind.nic.in/ibi/t

0 1/il/ibit01ilp2.pdf) [25 Januari

2018]

Saifuddin, Abdul Bari. 2011. Ilmu

Kebidanan

Sarwo

no Prawirohardjo.Edisi Ke-4

Cetakan Ke-4. Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wirawan, Riadi, 2010 Biomedika

Manfaat Pemeriksaan CRP

(http://www.

Biomedika.co.id//diaksestanggal

24

Februari 2018)

Page 59: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

56

FORMULASI DAN EVALUASI KRIM EKSTRAK KULIT

MANGIUM (Acacia mangium W.) DENGAN VARIASI TWEEN 80 DAN

SPAN 80 SEBAGAI EMULGATOR

Vera Astuti, Ratnaningsih Dewi Astuti, Ayu Septi Pratama

Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang Email: [email protected]

ABSTRAK

Kulit mangium (Acacia mangium W.) positif mengandung senyawa fenolik (fenol hidrokinin,

flavonoid, dan tanin) serta alkaloid. Ekstrak Kulit mangium (Acacia mangium W.) mampu menghambat

aktivitas enzim tirosinase. Pengembangan kulit mangium menjadi sediaan krim dianggap perlu sehingga

penggunaannya lebih efektif. Penelitian dilakukan untuk memformulasikan ekstrak kulit mangium sebagai

sediaan krim yang stabil secara fisik. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Ekstrak

diformulasikan dalam sediaan krim sebesar 2,2% dengan variasi tween 80 dan span 80 sebagai emulgator

dengan konsentrasi (3,43%:0,56% ; 6,01%:0,98% ; 8,58%:1,41%) pada tiap formula. Selajutnya dilakukan

uji kestabilan fisik selama 28 hari penyimpanan suhu kamar dan uji dipercepat (cycling test) meliputi pH.

Viskositas, daya sebar, pemisahan fase, homogenitas, tipe emulsi, warna, bau dan uji iritasi. Rendemen

ekstrak kulit mangium diperoleh sebesar 6,25%. Berdasarkan hasil pengukuran pH dan viskositas formula I,

II dan III cenderung meningkat, sedangkan pengukuran daya sebar formula I,II dan III cenderung menurun

pada pengujian suhu kamar tetapi masih memenuhi syarat. Hasil Uji dipercepat cenderung berbanding

terbalik dengan pengujian suhu kamar. Ditinjau dari tipe emulsi, homogenitas, warna, bau dan iritasi kulit,

ketiga formula memenuhi syarat selama penyimpanan 28 hari. Ditinjau dari pemisahan fase hanya formula

III yang memenuhi syarat. Ekstrak kulit mangium (Acacia mangium W.) hanya dapat diformulasikan

menjadi sediaan krim mengunnakan formula III yang stabil dan memenuhi persyaratan. Formula yang

paling optimal dengan variasi kombinasi tween 80 dan span 80 dengan konsentrasi (8,58%:1,41%).

kata kunci :Krim M/A , Kulit mangium, tween 80 dan span 80

PENDAHULUAN

Kulit merupakan bagian tubuh

terluar manusia yang memiliki berbagai

macam fungsi, salah satunya adalah

melindungi tubuh dari paparan sinar UV.

Kulit yang terkena paparan sinar UV

dalam jangka waktu yang lama dapat

meningkatkan sintesis melanin di kulit

dan menyebabkan hiperpigmentasi

(Juwita, Djajadisastra dan Azizahwati,

2011). Hiperpigmentasi merupakan

suatu gangguan pada pigmen kulit wajah

yang umum terjadi karena adanya

peningkatan proses melanogenesis yang

dapat menyebabkan penggelapan dari

warna kulit. Selain itu peningkatan

sintesis melanin secara lokal atau tidak

merata dapat menyebabkan pigmentasi

lokal atau noda hitam pada bagian

tertentu wajah (Cayce, McMichael dan

Feldman, 2004). Berbagai penelitian

menunjukan bahwa 55% dari 85%

perempuan Indonesia yang berkulit

gelap ingin agar kulitnya menjadi lebih

putih (Rini, Musutikaningsih dan

Handoko, 2016).

Pengobatan hiperpigmentasi dapat

dilakukan dengan berbagai macam

bahan sintetik dan bahan alam. Salah

satu bahan dari alam yang dapat

mengobati hiperpigmentasi ialah kulit

mangium (Acacia mangium Wild.) yang

positif mengandung senyawa fenolik

(fenol hidrokinin, flavonoid, dan tanin)

serta alkaloid, pada penelitian ini

menunjukan bahwa dengan konsentrasi

7,2% (Fase mofenolase) dan 2,2% (Fase

difenolase) kulit mangium (Acacia

mangium Wild.) dapat menghambat

aktivitas enzim tirosinase dengan

pembanding kadar maksimal asam kojat

yaitu 1% (Sari dkk., 2015.). Berdasarkan

hasil penelitian tersebut menunjukan

bahwa kulit mangium (Acacia mangium

Wild.) berpotensi untuk diformulasikan

menjadi sediaan farmasi yang efektif

sebagai anti hiperpigmentasi.

Berpedoman pada penelitian Sari

Page 60: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

57

dkk (2015) yang menyatakan bahwa

kulit mangium (Acacia mangium W.)

berpotensi sebagai anti hiperpigmentasi

dan belum adanya sediaan krim dari

kulit mangium (Acacia mangium W.),

maka peneliti tertarik untuk

memformulasikan kulit mangium

(Acacia mangium W.) menjadi sediaan

krim. Krim ekstrak kulit mangium

mengacu pada formula krim dengan

bahan aktif menggunakan ekstrak daun

duwet (Syzigium cumini (L.)Skeels)

dengan memvariasikan kombinasi span

80 dan tween 80 sebagai emulgator

(Wijayanti, 2017.). Daun duwet

(Syzigium cumini (L.)Skeels)

mem

punyai kandungan yang sama dengan

kulit mangium yaitu flavonoid.

Berdasarkan hal itu, peneliti akan

membuat sediaan krim tipe M/A dari

ektstrak kulit mangium (Acacia

mangium Wild.) dengan

memvariasikan kombinasi tween 80

dan span 80 sebagai emulgator dan

menguji kestabilan fisiknya.

TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk

memformulasikan kulit mangium

(Acacia mangium Wild.). menjadi

sediaan krim yang memenuhi syarat dan

stabil secara fisik. Tujuan Khusus

a. Memperoleh sediaan krim

memformulasikan kulit mangium

(Acacia mangium Wild.) yang stabil

dan memenuhi syarat setelah uji

penyimpanan pada suhu kamar.

b. Memperoleh sediaan krim kulit

mangium (Acacia mangium Wild.)

yang stabil dan memenuhi syarat

setelah uji dipercepat (Cycling Test). c. Mengukur pH sediaan krim kulit

mangium (Acacia mangium Wild.).

d. Mengukur viskositas sediaan krim

kulit mangium (Acacia mangium

Wild.).

e. Mengukur daya sebar sediaan krim

kulit mangium (Acacia mangium

Wild.).

f. Mengamati pemisahan fase

sediaan krim kulit mangium

(Acacia mangium Wild.).

g. Mengamati tipe emulsi sediaan

krim kulit mangium (Acacia

mangium Wild.).

h. Mengamati homogenitas sediaan

krim kulit mangium (Acacia

mangium Wild.).

i. Mengamati perubahan warna

sediaan krim kulit mangium

(Acacia mangium Wild.).

j. Mengamati perubahan bau sediaan

krim kulit mangium (Acacia

mangium Wild.).

k. Mengamati efek iritasi kulit dari

sediaan krim kulit mangium

(Acacia mangium Wild.).

1. Formulasi Krim Minyak Timi

Dalam penelitian ini, digunakan

tiga formula dengan dengan tipe krim

minyak dalam air (M/A). Formula krim

yang digunakan berpedoman pada

Wijayanti (2017) dengan

memvariasikan kombinasi span 80 dan

tween 80 sebagai emulgator. Peneliti

akan memvariasikan kombinasi span

80 dan tween 80 sebagai emulgator.

Variasi tween 80 dan span 80 sebagai

emulgator dengan konsentras

(3,43%:0,56%) ; (6,01%:0,98%) ;

(8,58%:1,41%).

. krim yang mengandung ekstrak

kulit mangium (Acacia mangium W.)

berfungsi sebagai zat aktif. Konsentrasi

ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) yang digunakan pada

penelitian ini adalah 2,2%.

Tabel 3. Formula Krim yang Mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.) No Nama Bahan Konsentrasi Penggunaan Keterangan

Formula I Formula II Formula III

Page 61: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

58

1 Ekstrak kulit mangium 2,20% 2,20% 2,20% Bahan aktif

2 TEA 0,20% 0,20% 0,20% Pengemulsi

3 Asam stearat 13,00% 13,00% 13,00% Pengemulsi

4 Tween 80 3,43% 6,01% 8,58% Pengemulsi

5 Span 80 0,56% 0,98% 1,41% Pengemulsi

6 Na tetraborat 0,15% 0,15% 0,15% Pengawet

7 Minyak zaitun 8,00% 8,00% 8,00% Emolien

8 Gliserin 8,00% 8,00% 8,00% Humektan

9 Setil alkohol 0,50% 0,50% 0,50% Pengental

10 Aquadest ad 100% ad 100% ad 100% Pelarut

Modifikasi formula Wijayanti (2017).

2. Pembuatan Krim

Adapun cara pembuatan formula

kontrol, I, II, dan III adalah sebagai

berikut: a. Cara pembuatan Formula I, II dan

III

1) Masukkan asam stearat, setil alkohol,

span 80, minyak zaitun ke dalam

cawan (fase minyak). Lebur fase

minyak pada suhu 75C (massa 1).

2) Panaskan aquadest, tambahkan

trietanolamin, gliserin, tween 80 dan

Na tetraboras pada suhu 75C (fase

air), kemudian aduk homogen (massa

2).

3) Masukkan fase air ke dalam mortir

panas.

4) Campurkan fase minyak ke dalam

fase air sedikit demi sedikit dalam

keadaan sama-sama panas sambil

diaduk dengan pengaduk elektrik

sampai terbentuk massa krim yang

stabil (massa 3).

5) Masukkan mi ke dalam mortir,

tambahkan massa krim pada suhu

45C sedikit demi sedikit sambil

digerus homogen.

3. Uji Kestabilan Fisik

Uji kestabilan fisik sediaan krim

dalam penelitian ini dilakukan

dengan 2 metode, yaitu uji stabilitias

penyimpanan suhu kamar dan uji dipercepat (Cycling Test).

1) Uji Stabilitas Penyimpanan Suhu

Kamar (28±2C)

Uji kestabilan fisik yang dilakukan

antara lain, pH, viskositas, daya sebar,

pemisahan fase, homogenitas, tipe

emulsi, dan organoleptik sediaan (warna

dan bau). setelah dilakukan

penyimpanan selama 28 hari, yaitu pada

hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28. a. pH

Nilai pH sediaan dapat diukur dengan

menggunakan pH meter pada suhu 250C.

Untuk mengukur nilai pH ini dibutuhkan

sampel sebanyak

± 1

gram.

Cara

kerja :

1) Nyalakan alat pH meter dengan

menekan tombol “ON” 2) Kalibrasi alat pH meter dengan cara : 3) Menekan tombol pH 4) Celupkan electrode kedalam larutan

dapar pH 7, putar tombol skala

sehingga menunjukkan angka 7,0

5) Bilas electrode dengan aquadest,

celupkan kedalam larutan dapar pH 4,

bila angka yang ditunjukkan belum

tepat maka diatur dengan memutar

tombol skala agar didapatkan angka

4,0

6) Setelah itu bilas electrode dengan

aquadest lalu di celupkan kedalam

sediaan gel semprot

7) Catat pH yang tertera di layar untuk

mengamati perubahan pH

b. Viskositas/kekentalan

Mengukur kekentalan dilakukan

dengan menggunakan alat viskometer

Brookfield (Pierce, 1981). Adapun cara

kerjanya adalah sebagai berikut: 1) Nyalakan alat dengan menekan

tombol “ON”. 2) Sampel sebanyak 20 gr dimasukkan

Page 62: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

59

dalam wadah sampel.

3) Pasang spindel no. 6 pada bagian

rotor penggerak.

4) Pasang wadah sampel di guard leg

sampai sampel tercelup pada batas

tertentu.

5) Putar spindel dengan kecepatan 6 rpm

sampai viskometer menunjukkan

angka tertentu.

6) Catat hasil pengukuran viskositas

tersebut yang terdapat pada tampilan

monitor viskometer, angka ini

dinyatakan dalam centipoise (cp).

7) Pengukuran viskositas ini dilakukan

pada suhu kamar. c. Daya sebar

Untuk mengukur daya sebar gel

semprot pada kulit. Dilakukan dengan

cara :

1) sebanyak 1 gram sediaan diletakkan di tengah cawan petri yang telah dibalik dan dilapisi plastik transparan di bawah dan di atas gel

2) Tambahkan berat sebesar 125 g. 3) Didiamkan selama 1 menit

kemudian diukur menggunakan

penggaris dan catat daya sebarnya

lakukan sebayak 3 kali (Garg et al,

2002).

d. Pemisahan Fase

Diambil sebanyak 2 gram

dimasukkan ke dalam tabung reaksi

kemudian dimasukkan ke dalam

sentrifugator dengan kecepatan 3750

selama 5 jam. Cara kerja :

1) Krim dimasukkan ke dalam tabung

sentrifugasi 10 cm. Volume krim

dalam setiap tabung harus sama.

2) Masukkan tabung ke dalam alat

sentrifugasi lalu tutup. 3) Tekan tombol “ON” 4) Atur kecepatan 3750 rpm selama 5

jam. 5) Catat pemisahan fase yang terjadi

tiap jam. e. Uji Homogenitas

Sampel diambil dari 3 tempat

berbeda (atas, tengah, dan bawah)

masing-masing sebanyak ± 0,10 gram.

Sampel kemudian diletakkan pada kaca

objek, tutup dengan deck glass dan

dilihat di bawah mikroskop dengan

pembesaran 100 kali. Amati

homogenitas antar partikelnya. f. Tipe Emulsi

Penentuan tipe emulsi ditetapkan

dengan cara menambahkan reagen

methylen blue secara mikroskopik

(Anief, 2007). Formula emulsi

dipreparasi di objek glass, kemudian

tipe emulsi diamati dibawah

mikroskop. Methylen blue akan terlarut

ke dalam fase air. Jika medium dispersi

berwarna biru merata maka emulsi

krim bertipe minyak dalam air (M/A) g. Warna

Pengamatan warna dilakukan

dengan menggunakan 30 orang

responden untuk mengamati perubahan

warna yang terjadi dalam sediaan krim

yang disimpan selama 28 hari. h. Bau

Pengamatan bau dilakukan dengan

menggunakan 30 orang responden

untuk mengamati perubahan bau yang

terjadi dalam sediaan krim yang

disimpan selama 28 hari. i. Iritasi Kulit

Iritasi kulit dilakukan dengan cara

pacth test yaitu mengoleskan sediaan

pada punggung tangan. Lalu tunggu

hingga mengering. Kemudian amati

reaksi yang mungkin terjadi misalnya

gatal, kemerahan dan perih. 2) Uji Dipercepat (Cycling Test)

Ketiga formula krim disimpan pada

suhu 2-8C selama 2 hari dilanjutkan

dengan menyimpan sediaan pada suhu

40C selama 2 hari (1 siklus).

Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3

siklus (Niazi, 2004). Dan diamati

terjadinya perubahan fisik dari sediaan

krim sebelum dan setelah cylcling test

dengan pengujian yang sama seperti

pada uji penyimpanan suhu kamar

meliputi pengukuran terhadap pH,

viskositas, daya sebar, pemisahan fase,

homogenitas, tipe emulsi, dan

organleptis sediaan (warna dan bau).

Alat Pengumpulan Data

Page 63: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

60

1. Alat

a. Alat-alat untuk proses pembuatan

ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) yaitu, seperangkat

alat sokletasi dan seperangkat alat

destilasi vakum.

b. Alat-alat untuk proses pembuatan

krim ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) yaitu, gelas ukur,

beacker glass, timbangan gram

kasar, timbangan analitik, anak

timbangan, mortir, stamper, cawan,

batang pengaduk, penjepit kayu,

sudip, kertas perkamen, gelas arloji,

pot plastik.

c. Alat-alat untuk evaluasi krim

ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) yaitu,: Viskometer

Brookfield, pH meter Hanna,

mikroskop, objek gelas, kuesioner,

pena, centrifuge, cawan petri dan

plastik. 2. Bahan

a. Bahan untuk membuat ekstrak yaitu

kulit mangium (Acacia mangium

W.) dan metanol pro analis.

b. Bahan untuk formula krim ekstrak

kulit mangium (Acacia mangium

W.) yaitu ekstrak kulit mangium,

aquadest, tween 80, span 80, asam

stearat, trietanolamin, setil alkohol,

gliserin, minyak zaitun dan

natrium tetraborat.

HASIL PENELITIAN

1. Hasil Uji Kestabilan Fisik Gel

Semprot

Pembuatan formula krim minyak

timi (Thymus vulgaris L.) dengan

memvariasikan trietanolamin dan asam

stearat sebagai emulgator kemudian

dilakukan uji kestabilan sifat fisik

setiap minggunya selama 28 hari pada

penyimpanan suhu kamar dan 12 hari

pada uji dipercepat (cycling test)

meliputi pH, viskositas, daya sebar,

pemisahan fase, homogenitas, tipe

emulsi, warna dan bau serta dilakukan

pengujian terhadap iritasi kulit.

a. Uji Stabilitas Penyimpanan Suhu

Kamar

Stabilitias krim disimpan pada suhu

kamar (28±2C) selama 28 hari.

Kemudian dilakukan evaluasi setiap

minggunya meliputi pH, viskositas,

daya sebar, pemisahan fase,

homogenitas dan tipe emulsi. Hasil

pengamatan kestabilan fisik krim

minyak timi pada penyimpanan suhu

kamar dapat dilihat dalam tabel dan

gambar berikut:

Tabel 2. Hasil Pemangamatan pH Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.)

Formula Krim pH Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I 6,01 6,09 6,12 6,16 6,19 MS

Formula II 6,04 6,13 6,13 6,14 6,20 MS

Formula III 6,03 6,08 6,10 6,17 6,19 MS

PH yang memenihu syarat 4-8 (Aulton, 2002)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 5. Hasil Pengukuran Viskositas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.) Formula Krim Viskositas (cp) Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I 8772 8793 8854 9002 9200 MS

Formula II 9188 9196 9202 9234 9268 MS

Page 64: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

61

Formula III 10089 10120 11106 11247 11377 MS

Viskositas yang memenihu syarat 5000-50000 cP (Gad, 2008)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium

(Acacia mangium

W.) Formula Krim Daya Sebar (cm) Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I 5,2 5,2 5,0 5,1 5,0 MS

Formula II 5,3 5,1 5,2 5,1 5,1 MS

Formula III 5,3 5,2 5,1 5,2 5,1 MS

Daya sebar yang memenuhi syarat berdiameter 5-7 cm (Garg et al, 2002)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 7. Hasil Pengamatan Homogenitas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium

(Acacia mangium

W.) Formula Krim Homogenitas Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I H H H H H MS

Formula II H H H H H MS

Formula III H H H H H MS

Homogenitas memenuhi syarat bila distribusi partikel krim merata

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat H = Homogen TMS = Tidak Memenuhi Syarat TH = Tidak Homogen

Tabel 8. Hasil Pengamatan Pemisahan Fase Krim yang mengandung Ekstrak Kulit

Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Pemisahan Fase Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I TM TM TM M M TMS

Formula II TM TM TM TM M TMS

Formula III TM TM TM TM TM MS

Memenuhi syarat jika tidak terjadi pemisahan antara fase minyak dan air

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat M = Memisah

TMS = Tidak Memenuhi Syarat TM = Tidak Memisah

Tabel 9. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium

(Acacia mangium

W.) Formula Krim Tipe Emulsi Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I M/A M/A M/A M/A M/A MS

Formula II M/A M/A M/A M/A M/A MS

Formula III M/A M/A M/A M/A M/A MS

Memenuhi syarat jika medium dispersi berwarna biru merata (tipe krim M/A)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Page 65: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

62

Tabel 10. Hasil Pengamatan Iritasi Kulit Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium

(Acacia mangium

W.) Formula Krim Uji Iritasi (Hari Ke- 0,7,14,21,28) Ket

Iritasi Tidak Iritasi

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 0 0% 30 100% MS

Formula II 0 0% 30 100% MS

Formula III 0 0% 30 100% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 11. Hasil Pengamatan Perubahan Warna Krim yang mengandung Ekstrak Kulit

Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Kestabilan Fisik Ket

Uji Warna (Hari Ke- 0,7,14,21,28)

Berubah Tidak Berubah

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 3 10,0% 27 90,0% MS

Formula II 5 16,6% 30 83,3% MS

Formula III 5 16,6% 30 83,3% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 12. Hasil Pengamatan Perubahan Bau Krim yang mengandung Ekstrak Kulit

Mangium (Acacia mangium W.) Formula Krim Kestabilan Fisik Ket

Uji Bau (Hari Ke- 0,7,14,21,28)

Berubah Tidak Berubah

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 4 13,3% 26 86,7% MS

Formula II 3 10,0% 27 90,0% MS

Formula III 4 13,3% 26 86,7% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

b. Uji Stabilitas Dipercepat (Cycling Test)

Pemeriksaan dilakukan sebanyak 6 sikus (12 hari) dan diamati terjadinya perubahan

fisik dari sediaan krim pada sebelum dan setelah uji dipercepat (cycling test).

Tabel 13.Hasil Pemangamatan pH Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium W.)

Formula Krim pH Ket

Sebelum Cycling Test Setelah Cycling Test

Formula I 5,97 6,00 MS

Formula II 5,91 6,01 MS

Formula III 5,98 6,10 MS

pH yang memenihu syarat 4-8 (Aulton, 2002)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 5. Hasil Pengukuran Viskositas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.)

Formula Krim Viskositas (cp) Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Page 66: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

63

Formula I 8772 8793 8854 9002 9200 MS

Formula II 9188 9196 9202 9234 9268 MS

Formula III 10089 10120 11106 11247 11377 MS

Viskositas yang memenihu syarat 5000-50000 cP (Gad, 2008)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.)

Formula Krim Daya Sebar (cm) Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I 5,2 5,2 5,0 5,1 5,0 MS

Formula II 5,3 5,1 5,2 5,1 5,1 MS

Formula III 5,3 5,2 5,1 5,2 5,1 MS

Daya sebar yang memenuhi syarat berdiameter 5-7 cm (Garg et al, 2002)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 7. Hasil Pengamatan Homogenitas Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.)

Formula Krim Homogenitas Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I H H H H H MS

Formula II H H H H H MS

Formula III H H H H H MS

Homogenitas memenuhi syarat bila distribusi partikel krim merata

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat H = Homogen

TMS = Tidak Memenuhi Syarat TH = Tidak Homogen

Tabel 8. Hasil Pengamatan Pemisahan Fase Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia

mangium W.)

Formula Krim Pemisahan Fase Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I TM TM TM M M TMS

Formula II TM TM TM TM M TMS

Formula III TM TM TM TM TM MS

Memenuhi syarat jika tidak terjadi pemisahan antara fase minyak dan air

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat M = Memisah

TMS = Tidak Memenuhi Syarat TM = Tidak Memisah

Tabel 9. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.)

Formula Krim Tipe Emulsi Ket

Hari Ke-

0 7 14 21 28

Formula I M/A M/A M/A M/A M/A MS

Formula II M/A M/A M/A M/A M/A MS

Formula III M/A M/A M/A M/A M/A MS

Memenuhi syarat jika medium dispersi berwarna biru merata (tipe krim M/A)

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 10. Hasil Pengamatan Iritasi Kulit Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia mangium

W.)

Formula Krim Uji Iritasi (Hari Ke- 0,7,14,21,28) Ket

Iritasi Tidak Iritasi

Page 67: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

64

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 0 0% 30 100% MS

Formula II 0 0% 30 100% MS

Formula III 0 0% 30 100% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 11. Hasil Pengamatan Perubahan Warna Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia

mangium W.)

Formula Krim Kestabilan Fisik Ket

Uji Warna (Hari Ke- 0,7,14,21,28)

Berubah Tidak Berubah

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 3 10,0% 27 90,0% MS

Formula II 5 16,6% 30 83,3% MS

Formula III 5 16,6% 30 83,3% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

Tabel 12. Hasil Pengamatan Perubahan Bau Krim yang mengandung Ekstrak Kulit Mangium (Acacia

mangium W.)

Formula Krim Kestabilan Fisik Ket

Uji Bau (Hari Ke- 0,7,14,21,28)

Berubah Tidak Berubah

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Formula I 4 13,3% 26 86,7% MS

Formula II 3 10,0% 27 90,0% MS

Formula III 4 13,3% 26 86,7% MS

Keterangan : MS = Memenuhi Syarat

TMS = Tidak Memenuhi Syarat

PEMBAHASAN

1. Kestabilan Fisik

Evaluasi stabilitas fisik sediaan krim

pada penelitian ini dilakukan dengan

dua metode. Pertama, evaluasi stabilitas

fisik krim berdasarkan metode

penyimpanan suhu selama 28 hari.

Kedua, evaluasi sifat fisik krim

berdasarkan metode uji dipercepat

(cycling test) selama 12 hari. Dua

metode ini dilakukan untuk melihat

kestabilan fisik krim tidak hanya pada

penyimpanan suhu kamar, tetapi juga

kestabilan fisik krim pada suhu ekstrim

yaitu panas ke dingin atau sebaliknya

yang dapat berubah setiap tahun bahkan

setiap hari selama penyimpanan produk.

a. pH Sediaan

Berdasarkan hasil pengamatan

kestabilan pH selama penyimpanan 28

hari pada dan selama 12 hari

penyimpanan pada uji dipercepat

(cycling tets) secara keseluruhan

formula tersebut cenderung mengalami

peningkatan setelah disimpan 28 hari

dan 12 hari (cycling test). Dengan

persentase kenaikan untuk penyimpanan

20 hari pada suhu kamar pada formula I

2,99%, formula II 2,64%, formula III

2,65%, dan pesentase kenaikan untuk

penyimpanan 12 pada uji dipercepat

(cycling test) pada formula I 0,55%,

formula II 1,69%, dan formula III

2,00%. Ketidakseragaman pH antar

formula ini dapat terjadi karena

perbedaan variasi Tween 80 dn Span 80

pada tiap formula..

Data pH yang didapatkan pada

penelitian ini hampir sama dengan yang

Page 68: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

65

dilakukan oleh Wijayanti (2017) yang

memvariasikan tween 80 dan span 80

pada tiap formula krimnya. Berdasarkan

hasil pengukuran pH menunjukan bahw

pH sedian sebelum dan sesudah uji

dipercepat (cycling test) menunjukan

bahwa mengalami kenaikan pH hal ini

dipengaruhi oleh penggunaan emulgator

nonionik dan suhu penyimpanan

(Nonci., Nurshakati., dan Qoriatul,

2016)

Selain itu, peningkatan pH juga

dipengaruhi oleh lama penyimpanannya.

Berdasarkan hasil penelitian Iswindari

(2014) menyatakan kenaikan pH ini

juga dapat dipengaruhi oleh lamanya

penyimpanan dan suhu penyimpanan.

Dengan demikian kenaikan pH yang

terjadi pada masing-masing formula

selama 28 hari masa penyimpanan suhu

kamar dan 12 hari penyimpanan pad

auji dipercepat (cycling test) masih

memenuhi syarat pH untuk sediaan

topikal yaitu 4-8 (Aulton, 2002).

b. Viskositas Sediaan

Pemeriksaan viskostas krim baik

berdasarkan uji stabilitas penyimpanan

pada suhu kamar dan uji dipercepat

(Cycling Test) dilakukan dengan

menggunakan viscometer Brookfield

pada kecepatan 20 rpm dengan spindel

nomor 6. Pada tabel 5 dapat dilihat

hasil pengamatan viskositas krim yang

mengandung ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) selama

penyimpanan 28 hari pada suhu kamar

cenderung mengalami peningkatan,

pada formula I dengan persentase

kenaikan 4,82%, formula II denga

persentase kenaikan sebesar 0,87%,

dan formula III dengan persentase

kenaikan sebesar 12,72%.

Pengingkatan viskositas antar

formula dalam penelitian ini sama

dengan yang dilakukan oleh Wijayanti

(2010) dimana semakin tinggi

konsentrasi Tween 80 menghasilkan

viskositas yang semakin tinggi. Pada

perbandingan komposisi tween 80 dan

span 80 Formula III (8,5% dan 1,4%)

memiliki viskositas paling tinggi dan

Formula I (3,4% dan 0,5%) memiliki

viskositas yang paling rendah. semakin

tinggi konsentrasi Tween 80 akan

membuat medium dispersi menjadi

lebih tinggi sehingga dapat

meningkatkan viskositas sistem emulsi.

Viskositas sistem emulsi meningkat

maka viskositas sediaan krim juga akan

meningkat. Selain itu, peningkatan

viskositas sediaan juga dipengaruhi

oleh lama penyimpanan, semakin lama

sediaan disimpan maka viskositas

cenderung mengalami kenaikan

(Iswindari, 2014). Penyimpanan

sediaan krim selama 28 hari

menyebabkan viskositas krim

meningkat. Walaupun demikian

viskositas sediaan krim yang

mengandung ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) masih

memenuhi persyaratan viskositas yakni

berkisar 5000-50000 cp (Gad, 2008).

Pada uji stabilitas cycling test

sediaan krim dipindahkan dari suhu

yang panas ke dingin, begitu

seterusnya sampai terjadi 6 siklus yaitu

selama 12 hari. Setalah dilakukan

pengujian dan pengamatan sebelum

dan sesudah cycling test viskositas

sedian mengalami penurunan, namun

penurunan tersebut tidak terlalu jauh.

Pada tabel 14 dapat dilihat pengamatan

viskositas krim yang mengandung

ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) selama penyimpanan 12

hari pada uji dipercepat (cycling test)

cenderung mengalami penurunan ,

pada formula I dengan persentase

penurunan 2,73%, formula II denga

persentase penurunan sebesar 1,52%,

dan formula III dengan persentase

penurunan sebesar 8,35%.

Hal ini diduga karena uji

stabilitas cycling test dimulau dari suhu

panas di ovven yaitu 40oC selama 1

hari kemudian krim dipindahkan

kedalam kulkas 2-4oC, begitu

seterusnya. pada hari terakhir

Page 69: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

66

pengujian krim berada di dalam kulkas,

sehingga krim kembali mengental. hal

ini terjadi karena krim cenderung

menyusut pada suhu rendah, sehingga

partikel-partikel akan cenderung

bergabung dan membentuk ikatan antar

partikel yang lebih rapat, akibatnya

kekentalan dan laju air manurun

(Joshita, 1998). Data viskositas yang

didapatkan pada penelitian ini hampir

sama dengan yang dilakukan oleh

Nonci., Nurshakati., dan Qoriatul

(2016) yang memvariasikan emulgator

nonionik pada tiap formula krimnya

bahwa viskositas mengalami

penurunan setelah dilakukannya uji

dipercepat (cycling test), hal ini

dipengaruhi suhu penyimpanan.

Walaupun terjadi penurunan

kekentalan uji stabilitas cycling test.

Nilai viskositas krim masih dalam range

yang memenuhi syarat viskositas

sediaan krim yakni berkisar 5000-50000

cp (Gad, 2008). Dengan demikian,

ditinjau dari pengujian penyimpanan

pada suhu kamar dan cycling test krim

yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.)

memenuhi syarat untuk sedian krim. c. Daya Sebar Sediaan

Dari hasil pengamatan kestabilan

daya sebar krim ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) selama 28 hari

pennyimpanan pada ketiga formula

dapat dilihat rentang daya sebar sediaan

sebesar 5-5,3 cm. Dengan rincian pada

formula I 5,0-5,2, formula II 5,1-5,3,

dan formula III 5,1-5,3. Perbedaan daya

sebar yang dihasilkan antar formula

disebabkan karena adanya variasi tween

80 dan span 80 sebagai emulgator yang

mengakibatkan adanya perbedaan

viskositas yang dihasilkan sehingga

berpengaruh pada daya sebar krim.

Daya sebar krim cenderung

mengalami penurunan setelah disimpan

selama 28 hari dengan rincian formula I

mengalami penurunan daya sebar 3,84%

formula II 5,66% dan formula III 3,84

%. Penurunan daya sebar disebabkan

karena meningkatnya viskositas sediaan

krim selama penyimpanan 28 hari. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Garg

(2002) bahwa umumnya daya sebar

berbanding terbalik dengan viskositas

dimana semakin besar viskositas, maka

semakin kecil daya sebar sediaan.

Hasil pengamatan kestabilan daya

sebar krim ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) uji dipercepat

(cycling test) mengalami kenaikan. Hal

ini di karenakan viskositas meningkat

setelah dilakukan uji dipercepat (cycling

test). Hal ini sesuai dengan pernyataan

Garg (2002) bahwa umumnya daya

sebar berbanding terbalik dengan

viskositas dimana semakin kecil

viskositas , maka semakin besar daya

sebar krim begitupun sebaliknya.

Dengan demikian ditinjau dari

pengujian dan pengamatan terhadap

daya sebar pada penyimpanan suhu

kaamr dan uji dipercepat (cycling test)

krim yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.) telah

memenuhi persyaratan yakni berkisaran

5-7 cm (Garg, 2002).

d. Homogenitas Sediaan

Pada tabel 7 dan 16 dapat dilihat

hasil pengujian dan pengamatan

terhadao homogenitas krim yang

mengandung ekstrak kulit mangium

(Acacia mnagium W.) sealama 28 hari

penyimpanan pada suhu kamar, dan

selama 12 hari penyimpanan pada uji

dipercepat. Pengamatan selama masa

penyimpanan sediaan krim

menunjukan tidak ada perubahan

homogenitas. Pengujian ini dilakukan

secara visual dengan mengoleskan

krim setipis mungkin pada kaca objek

lalu diamati partikel-partikel krim yang

tertekan deck glass dapat dilihat bahwa

permukaan krim halus dan merata, hal

tersebut membuktikan bahwa sediaan

krim homogen.

Hal ini sesuai dengan yang

dikatakan Idson (1994) sediaan krim

yang stabil menunjukan homogenitas

Page 70: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

67

yang baik selama penyimpanan.

homogenitas suatu sediaan krim

dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti ketepatan suhu untuk peleburan,

pengadukan dan pencampuran. Jika

suhu yang digunakan untuk peleburan

suatu bahan tidak sesuai dengan titik

lebur bahan tersebut, maka bahan itu

tidak akan larut dan bercampur dengan

bahan lainnya sehingga pada hasil

akhir akan terdapat partike- partikel

halus pada kaca sebagai indikator

pengujiaan homogenitasnya (Maulidia,

2010).

Selain itu, homogenitas krim ini

juga dipengaruhi oleh ekstrak yang

tidak bercampur secara merata dan

homogen pada saat pencampuran.

Penambahan ekstrak kulit mangium ke

dalam formula dapat bercampur dengan

baik. Sehingga dapat menyusahkan

disimpulkan bahwa krim yang

mengandung ektrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) memiliki

homogenitas sediaan yang memenuhi

syarat dan stabil selama uji

penyimpanan suhu kamar maupun

selama uji dipercepat (Cycling Test). e. Pemisahan Fase Sediaan

Uji pemisahan fase dilakukan

dengan menguji secara mekanik atau

uji sentrifugasi yang bertujuan

mengetahui apakah terjadi pemisahan

fase minyak dan fase air dari sediaan

krim tersebut. uji dengan alat

sentrifugasi dilakukan dengan

kecepatan 3750 rpm selama 5 jam. Dari

tabel 8 dapat dilihat hasil pengujian

terhadap pemisahan fase krim yang

mengandung ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) selama

penyimpanan pada suhu kamar. pada

krim yang disimpan pada suhu kamar

selama 28 hari hanya formula III yang

tidak terjadi pemisahan fase hingga

hari ke-28, sedangkan fromula I

memisah pada hari ke-28 dan formula

II memisah pada hari ke-21.

Pada uji penyimpanan cycling test

tabel 17, juga terjadi pemisahan fase

setelah uji dipercepat pada formula I &

II. berhasil atau tidaknya proses cycling

test tergantung dari kemampuan sediaan

untuk segera pulih dari tekanan air

Kristal. pada proses di suhu rendah (2o-

4oC), terbentuk kristal yang memiliki

struktur lebih teratur dan rapat sehingga

sediaan tidak mengalir. pada proses di

suhu tinggi (40oC), kristal akan mencair

dan air akan kembali menyebar pada

sistem. jika kecepatan pemulihan dari

sediaan lambat maka dapat terjadi

ketidakstabilan (Joshita, 1998).

Pemisahan fase sediaan yang di

uji pada penyimpanan suhu kamar dan

uji dipercepat (cycling test) diatas salah

satu penyebabnya adalah emulgator

yang berperan pentin dalam menentukan

derajat pemisahan fase krim, dalam

penelitian ini digunakan emulgator non

ionik yaitu Tween 80 dan Span 80.

Dalam penelitian Nonci., Nurshakati.,

dan Qoriatul (2016) tentang formulasi

krim yang menggunakan emulgator

nonionik <10% mengalami pemisahan

fase selama penyimapan suhu kamar

dan uji dipercepat (cycling test), hal ini

dipengaruhi oleh penggunaan emulgator

nonionik menyebabkan ketidakstabilan

krim. Menurut Wedana, Leliqia, dan

Arisanti 2010, digunakan pada

kombinasi yang kurang sesuai dapat

menyebabkan terjadina Phase Inversion

Temperature (PIT). Kondisi PIT ini

dapat terjadi selama proses pembuatan

emulsi dan penyimpanan sediaan

emulsi, perubahan fase emulsi akan

mempengaruhi stabilitas fisik sediaan.

emulsi yang stabil dapat dicapai dengan

menggunakan emulgator tunggal atau

kombinasi yang baik dan stabil,

sehingga fase minyak dan fase air pada

sediaan tidak terjadi pemisahan fase. f. Tipe Emulsi Sediaan

Uji tipe emulsi bertujuan untuk

mengetahui apakah krim yang dibuat

yakni tipe minyak dalam air (M/A) tetap

stabil atau mengalami perubahan tipe

emulsi. Pengujian tipe emulsi ditetapkan

dengan cara menambahkan reagen

Page 71: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

68

methylene blue secara mikroskopik

(Syamsuni 2007). Hasil pengujian tipe

emulsi menunjukkan bahwa sediaan

krim tidak mengalami perubahan tipe

emulsi selama penyimpanan dilihat

dengan warna biru dari indikator

methylene blue yang laru t dalam fase

pendispersi (fase air). Dari pengamatan

yang dilakukan pada ketiga formula

krim pada penyimpanan suhu kamar

selama 28 hari penyimpanan dan uji

dipercepat (cycling test) selama 12 hari

penyimpanan menunjukkan bahwa tidak

ada perubahan tipe emulsi.

Kestabilan tipe emulsi ini sesuai

dengan pernyataan Lachman dkk

(1994) bahwa untuk mendapatkan krim

tipe M/A yang stabil dapat

menggunakan kombinasi emulgator

dari surfaktan lipofilik dan surfaktan

hidrofilik. Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) ke dalam

formula dapat bercampur dengan baik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa

krim yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.)

memiliki tipe emulsi M/A yang baik

dan stabil selama penyimpanan 28 hari

pada suhu kamar dan penyimpanana

selama 12 hari uji dipercepat (cycling

test). g. Uji Iritasi Kulit

Pada tabel 10 dapat dilihat hasil

pengujian iritasi kulit sediaan krim

yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.). Data

hasil kuesioner tersebut menunjukkan

bahwa

30 orang responden yang menguji

iritasi kulit sediaan krim ini 100% tidak

mengalami gejala kemerahan, rasa

terbakar atau gatal pada kulit setelah

diolesi krim yang mengandung ekstrak

kulit mangium (Acacia mangium W.).

Hal ini menunjukkan bahwa bahan-

bahan dalam formula tidak

menyebabkan iritasi kulit. h. Warna

Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa

data kuesioner dari 30 orang responden

menunjukkan berturut-turut formula

I,II, dan III sebanyak 90,0%, 83,3%,

dan 83,3% menyatakan tidak terjadi

perubahan homogenitas warna dan

sebanyak 10%, 16,6% dan 16,6%

menyatakan terjadi perubahan

homogenitas warna sediaan krim

selama penyimpanan 28 hari.

Perubahan warna tersebut dikarenakan

saat proses penyimpanan yang kurang

terkontrol suhu dan cahayanya

sehingga mempengaruhi kestabilan

warna krim. Menurut Vadas (2000),

faktor yang dapat mempengaruhi

stabilitas warna dan bau sediaan

farmasi antara lain dari proses

pembuatan, proses pengemasan, dan

kondisi lingkungan selama

penyimpanan, dan penanganan, serta

jangka waktu produk antara pembuatan

hingga pemakaian. Namun, meski

sebagian responden menyatakan terjadi

perubahan warna hal tersebut tidak

terlalu signifikan karena responden

yang menyatakan perubahan warna

tidak melebihi 50%. Menurut Istijanto

(2010), kategori data yang berjumlah

lebih dari 50% dalam analisis

persentase sering disebut mayoritas.

Dengan demikian sediaan krim dari

ekstrak kulit mangium (Acacia

mangium W.) telah stabil ditinjau dari

warna selama 28 hari penyimpanan. i. Bau

Pada tabel 12 dapat dilihat bahwa data

kuesioner dari 30 orang responden

menunjukkan berturut- turut formula

I,II, dan III sebanyak 86,7%, 90%, dan

86,7% menyatakan tidak terjadi

perubahan bau dan sebanyak 13,3%,

10%, dan 13,3% menyatakan terjadi

perubahan bau sediaan krim selama

penyimpanan 28 hari. Faktor yang dapat

mempengaruhi stabilitas warna dan bau

sediaan farmasi antara lain dari proses

pembuatan, proses pengemasan, dan

kondisi lingkungan selama

penyimpanan, dan penanganan, dan

Page 72: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

69

jangka waktu produk antara pembuatan

hingga pemakaian (Vadas, 2000).

Dalam proses penyimpanan dimana

kondisi tutup yang kurang rapat

sehingga menungkinkan terpaparnya

udara dan cahaya yang menyebabkan

terjadinya reaksi oksidasi sehingga

timbulnya bau pada sediaan. Menurut

Budiman (2008), perubahan bau dapat

disebabkan oleh oksigen dari udara

terhadap minyak atau lemak. Selain itu,

efek dari cahaya merupakan katalisator

timbulnya bau, yaitu adanya kombinasi

dari dua faktor tersebut dapat

menyebabkan oksidasi lemak

dipercepat. Namun, meski sebagian

responden menyatakan terjadi

perubahan bau hal tersebut tidak terlalu

signifikan karena responden yang

menyatakan perubahan bau tidak

melebihi 50%. Menurut Istijanto (2010),

kategori data yang berjumlah lebih dari

50% dalam analisis persentase sering

disebut mayoritas. Dengan demikian

sediaan krim dari ekstrak kulit mangium

(Acacia mangium W.) telah stabil

ditinjau dari bau selama 28 hari

penyimpanan.

SARAN

Dari hasil penelitian tentang krim

yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.) dapat

disarankan :

1. Dilakukan pengujian nilai anti

hiperpigmentasi sediaan krim

yang mengandung ekstrak kulit

mangium (Acacia mangium W.).

2. Kepada peneliti selanjutnya

disanrankan menggunakan

formula yang berbeda dan

ditambahkan pendapar pH dalam

formula krim. DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 2007. Farmasetika. Gajah

Mada University Press,

Yogyakarta, Indonesia.

Anief, M., 2010. Ilmu Meracik Oba

Teori dan Praktik Cetakan XV.

Gajah Mada University Press,

Yogyakarta, Indonesia.

Ashok, P., dan K. Upadhyaya, 2012.

Tanin are Astrigent. Journal of

Pharmacognosy and

Phytochemistry vol.1 no.3.

hal.45-50.

Aulton, M., 2002. Pharmaceutical

Practice of Dosage From Design.

Curchill Livingstone, Edinberd,

London. Hal 181- 186.

Bentley, V., 2005. Siasat Jitu Awet

Muda. Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Cayce, K.A., J. McMichael., dan S.R.

Feldman, 2014.

Hiperpigmentation : An

Overview of the Common

Afflictions. Dermatol Nurs 16(15)

: 401- 416.

Chang, T.S., 2009. An updated review

of tyrosinase inhibitor. Dalam:

Sari, R.K., R.Utami., I.Batubara.,

A.Carolina., S.Febrianty, 2015.

Aktivitas Antioksidan dan

Inhibotor Tirosinase Ekstrak

Metanol Mangium (Acacia

mangium). Institut Pertanian

Bogor, Bogor, Indonesia.

Collet D.M., dan M.E. Aulton, 1994.

Pharmaceutical Practice.

Curchill Livingstone, London,

Melbourne, Newyork. Hal 109-

123.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1979. Farmakope

Indonesia Edisi III. Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan

Makanan, Jakarta. Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1995. Farmakope

Indonesia Edisi IV. Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan

Makanan, Jakarta. Indonesia.

Dewan Standar Nasional, 1996. SNI

16.4399.1996. Standar Mutu

Page 73: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

70

Sediaan Tabir Surya.

(www.bsn.go.id, diakses 2

Februari 2018)

Dwikarya, M., 2002. Merawat Kulit

dan Wajah. Kawan Pustaka,

Jakarta Selatan, Indonesia.

Fatmawaty, A., A. Tjendra, R. Riski,

dan M. Nisa, 2012. Formulasi,

Evaluasi Fisik dan Permeasi

Krim Pemutih Asam Kojat

Dengan Variasi Enhancer.

Majalah Farmasi dan

Farmakologi. 16 (3) : 139-

142.

Page 74: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

70

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU SUMBER DAYA

MANUSIA TENTANG DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN VAKSIN DI

PUSKESMAS SEBERANG ILIR

KOTA PALEMBANG

Sarmadi,Tedi, Nur Rachma Waty

Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Farmasi [email protected]

ABSTRAK

Vaksin merupakan produk biologis yang memiliki karakteristik tertentu yang harus disimpan disuhu 2-8°C agar

terjaga mutu dan efektivitasnya. Pengetahuan dan perilaku adalah hal yang mempengaruhi distribusi dan

penyimpanan vaksin dipuskesmas. Bagaimana pengetahuan dan perilaku sdm puskesmas berkaitan tentang

distribusi dan penyimpanan vaksin. Untuk melihat hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan

pengetahuan dan perilaku sdm tentang distribusi dan penyimpanan vaksin di puskesmas seberang ilir kota

palembang. Penelitian ini merupakan survey analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional.

Pengumpulan data dimulai dari membagikan kuisioner kepada sumber daya manusia (sdm) di puskesmas.Data

yang telah diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisis uji statistik Chi Square (Uji Chi-Kuadrat).

Berdasarkan hasil yang di dapatkan dari 29 responden terdapat 23 responden memiliki pengetahuan tinggi dan 6

responden memiliki pengetahuan rendah. Untuk perilaku, didapatkan hasil bahwa dari 29 responden terdapat 21

responden memiliki perilaku baik dan 8 responden memiliki perilaku yang tidak baik. Adanya hubungan antara

pengetahuan dan perilaku sumber daya manusia (sdm) tentang distribusi dan penyimpanan vaksin di puskesmas

seberang ilir kota palembang.

Kata kunci : Vaksin, Depkes RI, Distribusi dan Penyimpanan.

PENDAHULUAN

Vaksin merupakan produk biologis

yang memiliki karakteristik tertentu dan

memerlukan penanganan rantai dingin

secara khusus sejak diproduksi di pabrik

hingga dipakai di unit pelayanan. Rantai

dingin vaksin ialah suatu prosedur yang

digunakan untuk menjaga vaksin pada

suhu dingin yang telah ditetapkan. Maka

jika terjadi penyimpangan dari ketentuan

yang ada dapat mengakibatkan kerusakan

vaksin sehingga menurunkan atau bahkan

menghilangkan potensi dari khasiat

penggunaan vaksin. Sehingga pada

penanganan vaksin itu sendiri perlu

pedoman dalam pengelolaan vaksin secara

benar dan tepat agar tidak terjadi kesalahan

pada saat penanganan vaksin di unit

layanan kesehatan. vaksin harus

didinginkan pada temperatur 2°-8°C dan

tidak membeku. Sejumlah vaksin seperti

(BCG, campak dan polio) akan rusak bila

terpapar pada suhu panas yang berlebih

namun pada vaksin polio boleh mencair

dan membeku tanpa membahayakan

potensi vaksin. Sedangkan vaksin DPT,

DT,TT dan DPT-HB akan rusak bila

membeku pada temperature 0°C dan untuk

vaksin Hepatitis B akan membeku sekitar -

0,5°C. (Depskes RI, 2004).

Pada penelitian Kamau dan

Mukui,(2005) mencatat bahwa kurangnya

kesadaran oleh distributor dalam

pengendalian penyimpanan dan

penanganan terhadap suhu pada saat

transportasi distribusi produk rantai dingin,

ini dapat memicu dampak besar pada

kualitas produk dari rantai dingin sehingga

tidak efisien dalam mekanisme

pemantauannya. Seperti hal nya produk

rantai dingin vaksin kasus yang terjadi

Pada penelitian Nelson, et.al, (2007)

mereka memantau suhu rantai dingin

vaksin selama pengiriman vaksin DTP-

HB-Hib di Bolivia. Dalam 11 pengiriman

yang dipantau, vaksin terkena suhu di

bawah 0°C dicatat selama 2-50% periode

pemantauan. Pembekuan terjadi hampir di

setiap tingkat sistem distribusi rantai

dingin dan tujuh dari 11 pengiriman

terkena suhu di atas 8°C sehingga ini dapat

memicu dampak buruk bagi kualitas vaksin

Page 75: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

71

dan membuat vaksin menjadi rusak akibat

pengiriman yang buruk. Dan kemudian

pada penelitian Kalsum,(2011) distribusi

vaksin di Kab. Majene belum optimal

karena kurangnya pengetahuan petugas

puskesmas tentang cara membawa vaksin

yang benar dan SOP distribusi vaksin

belum ada. Kemudian penyimpanan vaksin

di semua puskesmas di Kab. Majene belum

memenuhi standar dan puskesmas

Ulumanda yang mempunyai kondisi

penyimpanan yang paling buruk di antara

semua puskesmas. Pada kasus yang terjadi

pada penelitian diatas perlu kita pahami

dengan seksama bahwa hal yang berkaitan

dengan distribusi dan penyimpanan vaksin

ini sangat diperlukan terhadap penanganan

khusus dikarenakan vaksin itu sendiri

merupakan produk yang sangat sensitif

jika terkena atau terpapar pada kondisi

temperatur panas dan tidak dapat pula

terpapar pada temperatur suhu yang

terlewat beku, ini dapat menyebabkan

vaksin menjadi rusak, maka perlu kita

pahami bahwa dalam proses

pendistribusian maupun saat

penyimpanan vaksin ini harus di tangani

secara benar dan tepat. Jika dalam

penanganan vaksin ini masih saja terjadi

kesalahan baik secara penyimpanan

maupun secara distribusi maka ini dapat

menyebabkan efek terapi atau nilai dari

suatu obat tersebut menjadi menurun dan

tidak tercapai khasiatnya bahkan bisa

mengalami toksisitas terhadap pasien jika

obat tersebut telah sampai di tangan pasien.

. Sehubungan dari semua permasalahan

yang terkait pada distribusi dan

penyimpanan vaksin diatas peneliti merasa

perlu melakukan penelitian tentang

pengetahuan dan perilaku sdm yang ada di

unit layanan kesehatan masyarakat

terutama di puskesmas tentang distribusi

dan penyimpanan vaksin apakah masih

banyak pengetahuan sdm yang masih

kurang mengetahui tentang cara distribusi

dan penyimpanan vaksin yang baik dan

benar sehingga masih saja terjadi

kesalahan dalam menangani vaksin ini

baik secara penyimpanan maupun

distribusi.

METODE

Jenis penelitian ini adalah non-

eksperimental dengan pendekatan analitik

cross sectional. Populasi pada penelitian

ini ialah SDM puskesmas yang bertugas

sebagai Korim atau koordinasi imunisasi

yang mengelola vaksin. Dimana pada

penelitian ini terdapat 29 puskesmas yang

berada di wilayah seberang ilir kota

palembang. Sehingga jumlah sampel dari

penelitian ini sebanyak 29 orang dari

masing- masing puskesmas yang ada di

wilayah seberang ilir kota palembang.

Variabel pada penelitian ini ialah

pengetahuan SDM dan Perilaku SDM

tentang distribusi dan penyimpanan vaksin.

Pengumpulan data dilakukan

dengan cara peneliti langsung bertemu

dengan petugas pengelola vaksin yang ada

di puskesmas kemudian penelitian

menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan

langsung memberikan kuisioner kepada

SDM puskesmas. Alat yang digunakan

untuk pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah kuisioner, alat tulis, lembar

penelitian, dan alat dokumentasi kamera.

HASIL

Hasil dari penelitian ini terdapat

29 orang SDM di puskesmas yang

berpindidikan non farmasi

Karakteristik responden ditampilkan pada

tabel berikut :

Karakteristik Frekuensi Persentase

Pendidikan

Farmasi 0 0%

Non Farmasi 29 100%

Total 29 100%

Pada Karakteristik responden dimana pada

tabel diatas terdapat 0% tenaga Farmasi

pada petugas pengelola vaksin. Dimana

terdapat 100% tenaga non Farmasi yang

bertugas sebagai petugas pengelola vaksin.

Page 76: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

72

Sehingga pada karakteristik responden di

atas terdapat

29 responden yang berstatus sebagai

petugas pengelola vaksin di pendidikan

non farmasi. Dimana pada 29 responden

tersebut terdapat 27 orang responden

berprofesi sebagai bidan dan 2 orang

responden berprofesi sebagai perawat yang

ditugaskan sebagai penanggung jawab

dalam pengelolaan vaksin di puskesmas.

Menurut keputusan menteri kesehatan No.

1611 tahun 2005 dan PMK No. 12 tahun

2017 menyebutkan bahwa tenaga

pengelola vaksin minimal berpendidikan

SLTA dan telah mendapatkan pelatihan

mengenai cold chain pada karakteristik

responden pada penelitian ini bahwa

seluruh responden atau tenaga kesehatan

pada petugas pengelola vaksin (korim) ini

telah memenuhi syarat sesuai dengan

aturan kementerian kesehatan di atas.

Salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat

pendidikan dan pengalaman. Namun di

dalam sebuah puskesmas tentunya terdapat

SDM yang berbeda- beda, maka

pengetahuan mereka pun berbeda-beda.

Dari hasil penelitian ini pengetahuan SDM

terlihat dari tabel dibawah ini :

Bahwa Perilaku SDM Puskesmas juga

berkategorikan baik walaupun Masih

terdapat petugas pengelola vaksin yang

berkategori perilaku yang tidak baik, hal

tersebut terlihat dari jawaban responden

yang memilih opsi yang salah. Dimana

terlihat juga pada tabel diatas dimana

Bahwa pengetahuan SDM di Puskesmas

sudah lebih banyak berpengetahuan tinggi

tentang distribusi dan penyimpanan vaksin,

hal ini juga terlihat pada tabel diatas

dimana terdapat 23 orang responden

mempunyai pengetahuan tinggi dengan

persentase 79,31% dan 6 orang responden

mempunyai pengetahuan rendah dengan

persentase 20,69%.

Pengetahuan yang baik diharapkan

akan mendukung perilaku yang baik juga,

namun oleh karena sesuatu yang lain

terkadang hal tersebut tidak dapat tercapai

maksimal, maka dalam hal ini peneliti

ingin mengetahui bagaimana perilaku

petugas pengelola vaksin di puskesmas

terkait dengan distribusi dan penyimpanan

vaksin, hasil selengkapnya akan disajikan

dalam tabel berikut : terdapat 21 orang

responden yang berperilaku baik dengan

persentase 72,41% dan 8 orang yang

berperilaku tidak baik dengan persentase

27,59%.

Dari hasil persentase penelitian ini

pada persentase pengetahuan dan perilaku

SDM puskesmas ( Korim) maka akan di

hubungkan lah pengetahuan dan perilaku

SDM tentang distribusi dan penyimpanan

vaksin di puskesmas seberang ilir kota

palembang dengan hasil di bawah ini :

Tabel. 4 Hubungan Pengetahuan dan

Perilaku Sumber Daya Manusia (SDM)

pendidikan Non Farmasi.

pengetahuan

Perilaku

Total

Baik Tidak baik

n % n % n %

Tinggi 19 82,6% 4 17,4% 23 72,4%

Rendah 2 33,3% 4 66,7% 6 27,6%

Total 21 100 8 100 29 100

Perilaku

SDM

Frekuensi Persentase

Baik 21 72,41%

Tidak Baik 8 27,59%

Total 29 100%

Pengetahuan

SDM

Frekuensi Persentase

Tinggi 23 79.31%

Rendah 6 20,69%

Total 29 100%

Page 77: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

73

p-value 0,033 OR 9,500

95% CI 1,272-70,96

Dari hasil statistik cross tab

didapatkan P value = 0,033 (alpha = 0,05),

dengan demikian P value lebih kecil dari

pada alpha sehingga HO ditolak, dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan

pengetahuan dan perilaku sumber daya

manusia (sdm) tentang distribusi dan

penyimpanan vaksin di puskesmas

seberang ilir kota palembang.

PEMBAHASAN

Pengetahuan SDM puskesmas

Pemerintah telah mengatur tentang

distribusi dan penyimpanan penyimpanan

vaksin yang sesuai dengan standar dalam

PMK no 12 tahun 2017 dan di dalam

pedoman pengelolaan vaksin telah di atur

tata cara distribusi dan penyimpanan

vaksin yang benar dan sesuai dengan

standar operasional prosedur. Segala

sesuatu yang berkaitan dengan distribusi

maupun penyimpanan vaksin terdapat

dalam aturan tersebut dalam hal ini pun

kenyataannya pada petugas pengelola

vaksin (Korim) yang ada di puskesmas

mempunyai persentase sebesar 79,31%

yang dimana termasuk dalam kategori

tinggi. Walaupun masih terdapat petugas

pengelola vaksin (korim) yang berkategori

rendah dengan persentase 20,69% hal ini

tidak mempengaruhi pengetahuan mereka

menjadi rendah di karenakan pada

persentase pengetahuan sdm pengelola

vaksin (korim) yang berkategori tinggi

sebesar 79,31% persentase ini masih

berkategori pengetahuan tinggi karena

menurut Modifikasi Budiman dan Riyanto,

2013 mereka menyatakan bahwa tingkat

pengetahuan dengan kategori tinggi

apabila nilainya ≥ 70% dan pada

persentase kategori yang berpengetahuan

tinggi pada penelitian ini sebesar 79,31%

sehingga petugas pengelola vaksin yang

ada di puskesmas seberang ilir kota

palembang mempunyai tingkat

pengetahuan yang tinggi.

Perilaku SDM puskesmas

Petugas pengelola vaksin (Korim)

yang mempunyai tanggung jawab dalam

pengelolaan vaksin di Puskesmas (PMK

No.12 tahun 2017), seharusnya telah

menjalankan tugasnya sesuai dengan

standar operasional prosedur dalam

pengelolaan vaksin. Pada penelitian ini

didapatkan bahwa persentase responden

Puskesmas sebagian besar telah melakukan

tugasnya sesuai dengan standar operasional

prosedur walaupun masih ada beberapa

petugas pengelola vaksin yang masih saja

salah dalam melakukan tugasnya sesuai

dengan standar operasional prosedur, Pada

kesalahan yang terjadi dalam perilaku

petugas pengelola vaksin (Korim) dalam

penanganan atau pengelolaan vaksin yang

benar dari persentase yang didapat yang

mempunyai tingkat perilaku yang tidak

baik sebesar 27,59% namun tidak menutup

kemungkinan bahwa perilaku petugas

pengelola vaksin ini mempunyai tingkat

perilaku yang baik pula dimana persentase

pada tingkat perilaku petugas pengelola

vaksin (Korim) ini mempunyai persentase

sebesar 72,41 %. Dengan demikian

walaupun terdapat 8 orang responden yang

menjawab salah dalam pertanyaan

perilaku, ini tidak mempengaruhi bahwa

kategori perilaku petugas pengelola vaksin

menjadi tidak baik. Karena terlihat dari

hasil penelitian ini bahwa terdapat 21 orang

responden yang mampu menjawab

pertanyaan perilaku dengan jawaban yang

benar dengan persentase sebesar 72,41%

yang dimana persentase ini telah melebihi

70% tingkat perilaku yang berkategori

baik. Hubungan pengetahuan dan perilaku

SDM puskesmas

Dari hasil statistik cross tab di

dapatkan P value = 0,033 (alpha = 0,05),

dengan demikian P value lebih kecil dari

pada alpha sehingga HO ditolak, dapat di

simpulkan bahwa ada hubungan

pengetahuan dan perilaku sumber daya

Page 78: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

74

manusia (sdm) tentang distribusi dan

penyimpanan vaksin di puskesmas

seberang ilir kota palembang. Nilai Odds

Ratio (OR) = 9,500 (95% Cl = 1,272-

70,964) menunjukkan bahwa pengetahuan

mempunyai 9,5 kali pengaruh terhadap

perilaku sumber daya manusia (sdm) dan

dari 95% Cl mencakup angka 9 maka

perilaku juga menentukan faktor yang

mempengaruhi pengetahuan sumber daya

manusia (sdm) puskesmas. Bahwa perilaku

yang baik dapat mempengaruhi faktor yang

menyebabkan pengetahuan sumber daya

manusia (sdm) puskesmas. Menurut

Notoadmodjo (2011), pengetahuan dan

kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior). Karena dari

pengalaman dan penelitian ternyata

perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasarkan oleh pengetahuan.

bahwa pada penelitian ini apabila

pengetahuan petugas pengelola vaksin

dikategorikan tinggi dan perilaku petugas

pengelola vaksin juga berkategori baik

maka pengetahuan dapat membentuk

tindakan sesorang dimana perilaku yang

didasarkan oleh pengetahuan yang tinggi

maka akan menghasilkan perilaku yang

baik pula. Maka hasil dari penelitian ini

petugas pengelola vaksin yang ada di

puskesmas seberang ilir kota

palembang telah mempunyai tingkat

pengetahuan yang tinggi dan perilaku yang

baik dalam mengelola vaksin baik secara

distribusi maupun penyimpanan. Sehingga

pada uji chi square pun terlihat bahwa ada

hubungan pengetahuan dan perilaku

sumber daya manusia (sdm) tentang

distribusi dan penyimpanan vaksin di

puskesmas seberang ilir kota palembang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah

dilaksanakan oleh peneliti pada 29

Puskesmas di wilayah seberang ilir kota

palembang dan terdapat 29 petugas

pengeola vaksin dari masing-masing

puskesmas di dapatkan beberapa

kesimpulan bahwa pada pengetahuan

sumber daya manusia (sdm) tentang

distribusi dan penyimpanan vaksin di

puskesmas seberang ilir kota palembang

secara umum berkategori tinggi dan pada

Perilaku sumber daya manusia (sdm)

tentang distribusi dan penyimpanan vaksin

di puskesmas seberang ilir kota palembang

secara umum berkategori baik. Kemudian

dari hasil pengetahuan dan perilaku SDM

petugas pengelola vaksin yang ada

dipuskesmas wilayah seberang ilir secara

umum telah berkategori tinggi dan baik

sehingga pada uji cross tab dengan nilai P-

value = 0,033 dan nilai OR nya adalah

9,500 maka terdapat (ada) hubungan

pengetahuan dan perilaku sumber daya

manusia (sdm) tentang distribusi dan

penyimpanan vaksin di puskesmas

seberang ilir kota palembang.

Saran

walaupun kategori pengetahuan

dan perilaku SDM ini terlah terbilang

tinggi dan juga baik sebaiknya SDM

puskesmas yang bertugas sebagai Korim

juga dapat meningkatkan atau

mengoptimalkan lagi terhadap kepatuhan

dalam hal penyimpanan vaksin di

puskesmas dan juga pada distribusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Riyanto, A. 2013. Kapita Selekta

Kuesioner Pengetahuan dan Sikap

Dalam Penelitian Kesehatan.

Salemba Medika, Jakarta,

Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Keputuasan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1611 Tahun 2005Tentang

PenyelenggaraanImunisasi.

DepartemenKesehatan RI. 2005..

Page 79: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

75

Departemen Kesehatan R.I .Pedoman

Pengelolaan Vaksin . Jakarta 2009.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 42 Tahun 2013 Tentang

Penyelenggaraan Imunisasi.

Departemen Kesehatan RI.

2014;(1):9-10.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2017 tentang

penyelenggaraan Imunisasi.

Departemen Kesehatan RI 2018;(1)

14-16.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 75 Tahun 2014 tentang

pusat kesehatan masyarakat

Departemen Kesehatan RI 2015.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 74 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas. Departemen Kesehatan

RI 2017; 11-25

Indonesian-publichealth.com. 2017.

Standar penyimpanan vaksin

menurut Depkes RI dan WHO.

Indonesia publichealth.com, 22

juli 2017 http://www.indonesian

publichealth.com/standar

penyimpanan-vaksin. Diakses 25

januari 2018

Kalsum, U., 2011. Evaluasi Distribusi dan

Penyimpanan Vaksin di Dinas

Kesehatan Kabupaten Majene

Sulawesi Barat. Yogyakarta :

fakultas ilmu kesehatan masyarakat

Universitas Gajah Mada.

http://etd.repository.ugm.ac.id.

Diakses 27 januari 2018

Kamau, T, M, and Mukui , J. 2005. A

Strategic Approach to Reforming

the Pharmaceutical Sector in

Kenya. Report Prepared for the

Ministry of Health. Nairobi:

Ministry of Health.

Lestari, T. 2015. Kumpulan Teori Untuk

Kajian Pustaka Penelitian

Kesehatan. Nuha Medika,

Yogyakarta.

Nelson Cl, Froes P, Dyck AM, Chavarría J,

Boda E, Coca A, Crespo G, Lima

H., 2007.Monitoring temperatures

in the vaccine cold chain in Bolivia.

25 (3).

Notoatmodjo S, 2007 Promosi Kesehatan

dan Ilmu Perilaku, Rhineka

Cipta,Jakarta, Indonesia.

Notoatmodjo S,2010. Metodologi

Penelitian Bidang Kesehatan,

Rhineka Cipta, Jakarta, Indonesia.

Notoatmodjo S,2011. Kesehatan

Masyarakat Ilmu dan Seni, Rhineka

Cipta, Jakarta, Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan

Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,

Jakarta.

Page 80: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

76

PENGARUH SUHU PENYIMPANAN KOMBINASI AMOKSISILIN DAN

ASAM KLAVULANAT DALAM SEDIAAN DRY SIRUP TERHADAP

DAYA HAMBAT BAKTERI

Staphylococcus aureus

Muhamad Taswin,Bertha Tiara Handayani

Prodi farmasi, Ploktekkes Kemenkes Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Sediaan dry sirup kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan

penyakit infeksi seperti pneumonia. Sediaan dry sirup kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat merupakan

sediaan antibiotik yang perlu disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu penyimpanan dan stabiltas

zat aktif didalam sediaan sangatlah penting karena dengan adanya penambahan air didalam sediaan suspensi

kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat akan mempengaruhi degradasi kimiawi, fisik dan mikrobiologi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur adanya pengaruh suhu penyimpanan kombinasi amoksisilin dan asam

klavulanat dalam sediaan dry sirup yang telah disuspensikan terhadap daya hambat bakteri Staphylococcus

aureus. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental karena adanya perlakuan terhadap sediaan antibiotik

kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan terhadap aktivitas

antibakteri. Berdasarkan hasil pengukuran diameter daya hambat pada antibiotik suspensi kombinasi amoksisilin

dan asam klavulanat pada penyimpanan hari ke-7 semua sampel suspensi dry sirup mengalami penurunan.

Penurunan diameter zona hambat tertinggi terjadi pada sampel suspensi dry sirup generik yang disimpan pada

suhu kamar. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh suhu penyimpanan kombinasi

amoksisilin dan asam klavulanat dalam sediaan dry sirup terhadap daya hambat bakteri Staphylococcus aureus

dengan adanya penurunan daya hambat di akhir penyimpanan.

Dry sirup. kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat, daya hambat antibakteri, dan Staphylococcus

aureus.

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan salah satu

masalah kesehatan yang utama di

Indonesia. Peranan dalam menentukan

tingkat kesehatan masyarakat cukup besar

karena sampai saat ini penyakit infeksi

masih termasuk ke dalam salah satu

penyebab tingginya angka kesakitan dan

angka kematian di Indonesia. Hasil

pemetaan penyakit menular yang dilakukan

di Indonesia, dinyatakan bahwa terjadi

kecenderungan peningkatan periode

prevalensi pneumonia semua umur dari

tahun 2007 hingga tahun 2013 (Riskesdas,

2013).

Pneumonia merupakan penyebab

dari 15% kematian balita, yaitu

diperkirakan sebanyak 922.000 balita di

tahun 2015. Pneumonia adalah infeksi akut

yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)

yang dapat disebabkan oleh berbagai

mikroorganisme seperti virus, jamur dan

bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu

menggigil, demam, sakit kepala, batuk,

mengeluarkan dahak, dan sesak napas.

Pneumonia yang disebabkan

oleh Staphylococcus

aureus pilihan obat utamanya yaitu

kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat

(Tjay dan Rahardja, 2015). Amoksisilin

merupakan analog dari ampisilin yang

dianggap sebagai antibiotik spectrum luas

karena antibiotik amoksisilin dapat

mengobati infeksi yang disebabkan oleh

berbagai bakteri baik gram positif maupun

negatif. Beberapa penyakit umum yang

sering diobati dengan amoksisilin meliputi;

radang tenggorokan, infeksi telinga,

sinusitis, bakteri pneumonia, bronkitis,

radang amandel, infeksi saluran kemih, dan

penyakit lyme (Frynkewicz, 2013).

Dalam mengurangi terjadinya resistensi

antibiotik amoksisilin, amoksisilin

dikombinasikan dengan asam klavulanat.

Amoksisilin dan asam klavulanat

merupakan kombinasi dari β-laktam

dengan inhibitor β-laktamase yang

mengembalikan potensi amoksisilin

Page 81: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

77

melawan bakteri yang memproduksi β-

laktamase seperti bakteri Staphylococcus

aureus, E.Coli, K. Pneumonia,

Enterobacter H (Alburyhi, 2013).

Mengetahui kadar antibiotik pada suatu

sediaan termasuk dalam faktor-faktor yang

harus dipertimbangkan pada

penggunaan antibiotik. Sangat diperlukan

untuk menetapkan jenis dan dosis

antibiotik secara tepat. Agar dapat

menunjukkan aktivitasnya sebagai

bakterisida ataupun bakteriostatik.

Semakin tinggi kadar antibiotik, semakin

banyak tempat ikatannya pada sel bakteri

(PERMENKES, 2011). Sediaan

amoksisilin yang beredar berupa tablet dan

suspensi. Pada sediaan suspensi yang

mengandung air dapat memungkinkan

terjadinya hidrolisis. Hal ini menyebabkan

amoksisilin dibuat dalam bentuk sediaan

sirup kering yang bertujuan untuk menjaga

stabilitas zat aktif pada masa penyimpanan.

Perubahan stabilitas zat aktif dengan

adanya penurunan kadar dapat

memproyeksikan kepada resistensi

antibiotik (Talogo, 2014). Temperatur

sangat mempengaruhi degradasi kimiawi,

fisik, dan mikrobiologi. Keterangan bahwa

sediaan disimpan dilemari es atau suhu

kamar pada etiket menunjukkan bahwa

temperatur penyimpanan sediaan juga

mempengaruhi stabilitas zat aktif. Suspensi

amoksisilin – asam klavulanat sangat stabil

pada suhu dibawah 10˚C dalam jangka

waktu 7 hari. Dan kedua zat aktif ini tidak

stabil pada suhu lebih dari 30˚C (Owusu,

2011).

Berdasarkan penelititan Talogo (2014),

tentang pengaruh waktu dan temperatur

penyimpanan terhadap tingkat degradasi

kadar amoksisilin dalam sediaan suspensi

amoksisilin – asam klavulanat

dihasikankan bahwa persentase kadar

amoksisilin yang disimpan di suhu kamar

pada hari ke-0 mencapai 95,42% dan pada

hari ke-7 mencapai 41,43%. Serta

persentase kadar amoksisilin yang

disimpan di suhu dingin pada hari ke-0

mencapai 99,72% dan pada hari ke-7

mencapai 88,85%. Berdasarkan penelitian

Talogo juga disarankan bahwa

diperlukannya pengujian antimikroba

terhadap suspensi amoksisilin – asam

klavulanat. Sehubungan dengan latar

tersebut maka peneliti telah melakukan

penelitian “pengaruh suhu penyimpanan

kombinasi amoksisilin dan asam

klavulanat dalam sediaan dry sirup

terhadap daya hambat bakteri staphyloccus

aureus ”. Suhu terbagi menjadi dua yaitu

suhu dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-

30˚C). Rentang suhu yang dipilih peneliti

dibedakan dengan penelitian sebelumnya

karena peneliti mengikuti acuan Farmakope

Indonesia Edisi ke- IV. Selanjutnya

disimpan selama tujuh hari dan dilakukan

pengukuran daya hambat bakteri pada hari

ke 0, 3, 5, dan 7.

METODE PENELITIAN

Cara Pengumpulan Data

1. Persiapan Sampel

Sampel yang telah dibeli kemudian di

suspensikan dengan aquadest. Setelah

sampel disuspensikan, sampel terbagi

menjadi dua cara persiapan yaitu sampel

yang belum mengalami penyimpanan (hari

ke-0) dan sampel yang telah mengalami

penyimpanan (hari ke-3, ke-5, dan ke-7).

Saat akan dilakukan pengujian daya

hambat, ambil sampel sebanyak 5ml

kemudian dimasukkan ke dalam vial yang

sudah disterilkan dan sudah diberi

penandaan mengenai suhu dan hari

sehingga sampel siap untuk diuji di Balai

Besar Laboratorium Kesehatan Kota

Palembang.

2. Prosedur Kerja

Sediaan dry sirup yang mengandung

antibiotik kombinasi amoksisilin dan asam

klavulanat digunakan sebagai sampel.

Sediaan dry sirup dibeli dengan merek

generik dan merek dagang dalam satu

apotek. Kemudian dry sirup di suspensikan

terlebih dahulu dengan aquadest. Suspensi

tersebut disimpan menjadi dua

kelompok suhu yaitu suhu dingin (2-8˚C)

dan suhu kamar (15-30˚C). Pengukuran

diameter zona hambat dimulai hari ke-0

sebelum dilakukan penyimpanan. Setelah

itu dilakukan penyimpanan selama tujuh

hari. Selama penyimpanan obat, pada hari

Page 82: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

78

ke 3, hari ke 5, dan hari ke 7 dilakukan

pengukuran diameter zona hambat.

3. Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan disterilkan terlbih

dahulu dicuci bersih dan dikeringkan.

Untuk alat berbahan kaca atau gelas seperti

tabung reaksi, gelas ukur dan pipet tetes

disterilkan dalam Dry Heat Oven pada

suhu 160˚C selama 2 jam. Alat logam

seperti jarum ose dan pinset di flambeer

dengan menggunakan lampu spiritus.

Aquadest, medium, dan kertas cakram

disterilkan dengan autoclave pada suhu

121˚C selama 15 menit sebelum

digunakan.

4. Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan

Antibiotik Dry sirup

a. Penyiapan cakram

Cakram disediakan dengan cara membeli

kertas cakram yang siap pakai, kemudian

kertas cakram disterilkan dahulu dalam

autoclave pada suhu 121˚C selama 2 jam

sebelum digunakan.

b. Pembuatan Media Hinton Agar (MHA)

Menurut Snyder dan Atlas (2006),

pembuatan Media Mueller Hinton Agar

adalah sebagai berikut : Bahan-bahan

media Mueller Hinton Agar (MHA) yang

terdiri dari beef infusion 300 gr, bacio

amino acid (kasein hidrolisat) 17,5 gr,

starch 1,5 gr, dan bacio agar 17 gr

dilarutkan dalam 1 liter aquadest. Lalu

ukur pH sampai 7,4. Kemudian disterilkan

dalam autoclave selama 15 menit pada

suhu 121˚C. Masukkan ke dalam cawan

petri steril dengan ketebalan 3-2mm.

Kemudian sterilkan kembali dalam

autoclave.

c. Pembuatan suspensi

Staphylococcus aureus

Ambil media ± 150 ml dari Media Mueller

Hinton Agar (MHA) yang telah dibuat dan

dipanaskan pada suhu 37-40˚C, kemudian

di tambahkan biakan murni bakteri

sebanya 3-5 koloni ke dalam media.

d. Pengukuran Diameter Zona Hambat

Media Mueller Hinton Agar (MHA)

dituangkan ke dalam cawan petri masing-

masing 10 ml dan biarkan hingga memadat

sebagai lapisan dasar. Kemudian ambil

suspensi bakteri Staphylococcus aureus,

torehkan pada permukaan media Mueller

Hinton Agar (MHA) secara merata dan

biarkan mengering. Masing-masing kertas

cakram dicelupkan ke dalam masing-

masing sediaan antibiotik kombinasi

amoksisilin dan asam klavulanat yang telah

disuspensikan. Masing- masing cakram

dimasukkan ke media yang ada bakterinya.

Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada

suhu 37ºC. Setelah diinkubasi lakukan

pengamatan dan pengukuran terhadap zona

hambat dengan menggunakan jangka

sorong.

5. Cara pengolahan data dan analisis

data

Data yang diolah pada penelitian ini adalah

hasil pengukuran diameter zona hambat

sediaan dry sirup antibiotik kombinasi

amoksisilin dan asam klavulanat yang

telah disuspensikan yang dipengaruhi suhu

penyimpanan dengan membandingkan

efektivitas sebelum dan sesudah dilakukan

penyimpanan serta membandingkan

efektifitas sediaan dry sirup dengan merek

dagang yang berbeda. Percobaan ini

dilakukan dengan 3 kali ulangan dan data

tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Data

yang akan diperoleh dari hasil penelitian

diuji independent sampel t-test

menggunakan aplikasi analisis statistik,

kemudian dilanjutkan perhitungan AUC

(Area Under Curve).

HASIL

Hasil penelitian tentang pengaruh suhu

penyimpanan kombinasi amoksisilin dan

asam klavulanat yang pertama yaitu hasil

data sampel dari kemasan obat sebagai

berikut:

1. Data sampel dari kemasan obat

Page 83: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

79

Hasil penelitian diameter zona hambat

antibiotik amoksisilin dan asam klavulanat

sediaan dry sirup yang telah di suspensikan

sebelum dan sesudah disimpan selama 7

hari pada suhu dingin dan suhu kamar.

Tabel 2. Hasil pengukuran diameter zona

hambat

Kemudian hasil uji normalitas data

perbedaan suhu dingin dengan suhu kamar

dry sirup generik, perbedaan suhu dingin

dan suhu kamar dry sirup merek dagang

dan perbedaan daya hambat antibakteri

antara dry sirup generik dengan dry sirup

merek dagang dilakukan untuk

menentukan apakah data yang diperoleh

berdistribusi normal atau tidak. Uji

normalitas terhadap suhu dingin dan suhu

kamar dry sirup generik maupun dry sirup

merek dagang,dan uji normalitas

perbedaan daya hambat antibakteri dry

sirup generik dengan merek dagang

tersebut dilihat pada kolom Shapiro- Wilk

dengan menggunakan program SPSS 23

dengan taraf signifikansi 0,05. Setelah

dilakukan pengolahan data, tampilan

output dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4

dan tabel 5.

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas

Perbandingan Suhu Dingin (2-8˚C) dan

Suhu Kamar (15-30˚C) Dry Sirup Generik

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas

Perbandingan Suhu Dingin (2-8˚C) dan

Suhu Kamar (15-30˚C) Dry Sirup Merek

Dagang

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas

Perbandingan Dry Sirup Generik dengan

Dry Sirup Merek Dagang

Setelah dilakukan uji normalitas pada

penelitian ini maka dilanjutkan untuk

melakukan uji perbedaan. Uji perbedaan

pada penelitian ini menggunakan teknik

statistik Independent-Sample T Test

dengan bantuan SPSS 23. Hasil uji

perbedaan data penelitian

ditampilkan sebagai berikut.

Tabel 6. Hasil Uji Perbedaan Independent

Sampel T Test Perbandingan Suhu Dingin

(2-8˚C) dan Suhu Kamar (15-30˚C) Dry

Sirup Generik

Page 84: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

80

Tabel 7. Hasil Uji Perbedaan Independent

Sampel T Test Perbandingan Suhu Dingin

(2-8˚C) dan Suhu Kamar (15-30˚C) Dry

Sirup Merek Dagang

Tabel 8. Hasil Uji Perbedaan Independent

Sampel T Test Perbandingan Dry Sirup

Generik denga Dry Sirup Merek Dagang

Kemudian hasil persentase daya hambat

pada hari ke-0, hari ke-3, hari ke-5 dan

hari ke-7 ditampilkan dalam bentuk

persentase daya hambat seperti tabel

berikut ini.

Tabel 9. Persentase daya hambat pada suhu

dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-30˚C)

pada dry sirup generik dan dry sirup merek

dagang

Kemudian kurva hubungan persentase daya

hambat terhadap waktu (hari) yaitu sebagai

berikut:

Gambar 1. Profil kurva hubungan

persentase daya hambat terhadap waktu

(hari) pada dry sirup generik suhu dingin

(2-8˚C)

Gambar 2. Profil kurva hubungan

persentase daya hambat terhadap waktu

(hari) pada dry sirup generik suhu kamar

(15-30˚C)

Gambar 3. Profil kurva hubungan

persentase daya hambat terhadap waktu

(hari) pada dry sirup merek dagang suhu

dingin (2-8˚C)

Page 85: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

81

Gambar 4. Profil kurva hubungan

persentase daya hambat terhadap waktu

(hari) pada dry sirup merek dagang suhu

kamar (15-30˚C)

Berdasarkan data persentase daya hambat,

dihitung luas area dibawah kurva (AUC)

dari kurva hubungan persentase daya

hambat antibakteri terhadap waktu (hari)

didapatkan hasil seerti tabel berikut.

Tabel 10. Hasil perhitungan Area Under

the Curve (AUC)

PEMBAHASAN

1. Uji Aktivitas Antibakteri

terhadap Staphylococcus aureus

Penelitian ini menggunakan sampel antibiotik kombinasi amoksisilin dan

asam klavulanat sediaan dry sirup generik dan

merek dagang yang sudah ditentukan dan

dibeli dalam satu apotek kota Palembang. Data

kemasan yang diperoleh dari sampel adalah

komposisi, no registrasi BPOM, dan exp date.

Hasil dari penelitian tentang uji aktivitas

antibiotik dalam sediaan dry srup yang telah

disuspensikan terlebih dahulu terhadap

staphylococcus aureus yang dipengaruhi suhu

penyimpan di Balai Besar Laboratorium

Kesehatan Palembang menunjukkan hasil

bahwa sampel tersebut mempunyai daya

hambat terhadap bakteri staphylococcus

aureus dan menunjukkan penurunan daya

hambat karena adanya pengaruh suhu

penyimpanan selama 7 hari.

Kekuatan daya hambat terhadap bakteri

diukur dengan diameter zona hambat

antibakteri yang ditunjukkan dengan besar

kecilnya daerah jernih disekitar cakram

disk, semakin besar diameter daerah jernih

disekitar cakram maka semakin besar daya

hambat antibakteri dan begitu pula

sebaliknya. Pada saat persiapan sampel

sebelum dilakukan penelitian daya hambat

antibakteri, sampel dilakukan pengocokan

agar zat aktif sampel terdispersi kembali

sehingga suspensi homogen dan

konsentrasi sampel pada cakram merata.

Berdasarkan data yang didapat sampel

suspensi dry sirup generik disimpan di

suhu dingin (2- 8˚C) sebelum dilakukukan

penyimpanan atau hari ke-0 dapat

menghambat pertumbuhan bakteri yaitu

sebesar 48,33 dan termasuk kategori sangat

kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri

sebesar 48,33mm, hari ke-5 daya hambat

bakteri sebesar 45,00mm dan hari ke-7

daya hambat bakteri sebesar 44,67mm.

Sedangkan sampel suspensi dry sirup

merek dagang disimpan di suhu dingin (2-

8˚C) sebelum dilakukukan penyimpanan

atau hari ke-0 dapat menghambat

pertumbuhan bakteri yaitu sebesar

50,67mm dan termasuk kategori sangat

kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri

sebesar 48,67mm, pada hari ke-5 daya

hambat bakteri sebesar 45,00mm dan pada

hari ke-7 daya hambat bakteri sebesar

45,00mm. Sehingga suspensi dry sirup

generik maupun dry sirup merek dagang

yang disimpan di suhu dingin

menunjukkan bahwa daya hambat terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus termasuk kategori sangat kuat.

Untuk sampel suspensi dry sirup generik

disimpan di suhu kamar (27- 30˚C)

sebelum dilakukukan penyimpanan atau

hari ke-0 dapat menghambat pertumbuhan

bakteri sebesar 49,33mm dan termasuk

kategori sangat kuat. Pada hari ke-3 daya

hambat bakteri sebesar 46,33mm, pada hari

ke-5 daya hambat bakteri sebesar

42,67mm dan pada hari ke-7 daya hambat

bakteri sebesar 41,67mm. Sedangkan

untuk sampel suspensi merek dagang

disimpan di suhu kamar (27-30˚C) sebelum

dilakukukan penyimpanan hari ke-0 dapat

Page 86: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

82

menghambat pertumbuhan bakteri sebesar

49,67mm dan termasuk kategori sangat

kuat. Pada hari ke-3 daya hambat bakteri

sebesar 47,00mm, pada hari ke-5 daya

hambat bakteri sebesar 44,00mm dan pada

hari ke-7 daya hambat bakteri sebesar

43,67mm. Sehingga suspensi dry sirup

generik maupun dry sirup merek dagang

yang disimpan di suhu kamar menunjukkan

bahwa daya hambat terhadap pertumbuhan

bakteri Staphylococcus aureus termasuk

kategori sangat kuat. Dalam hal ini daya

hambat pertumbuhan bakteri masih

dikategorikan sangat kuat dikarenakan

adanya kombinasi antara amoksisilin

dengan asam klavulanat yang bekerja

sinergis sehingga amoksisilin menjadi 50

kali lebih kuat terhadap bakteri

Staphyloccus aureus (Tjay dan Rahardja,

2015). Asam klavulanat sendiri

berkhasiat untuk menghambat

enzim β-laktamase yang diproduksi oleh

bakteri yang memproduksi β-laktamase

seperti bakteri Staphyloccus aureus

(Alburyhi, 2013).

2. Uji Statistik

Kemudian untuk mengetahui adanya

perbedaan daya hambat antibakteri

amoksisilin dan asam klavulanat dalam

sediaan dry sirup yang disimpan pada suhu

dingin (2- 8˚C) dengan suhu kamar (27-

30˚C) baik dry sirup generik maupun dry

sirup merek dagang dan untuk mengetahui

perbedaan daya hambat antara dry sirup

generik dengan merek dagang maka

dilakukan uji perbedaan menggunakan

statistik, sebelum dilakukan uji perbedaan

maka hal penting yang harus dilakukan

yaitu melakukan uji normalitas dahulu

sebagai prasyarat untuk menetukan

statistika yang akan digunakan dalam uji

perbedaan. Uji normalitas dilakukan untuk

mengetahui apakah distribusi sebuah data

yang didapatkan berdistribusi normal atau

tidak normal. Apabila sebaran data normal

maka teknik analisis yang digunakan yaitu

Independent- Sampel T Test. Uji

normalitas tersebut dilakukan dengan uji

Shapiro-Wilk dengan menggunakan

program SPSS dengan taraf signifikansi

0,05.

Berdasarkan hasil output uji normalitas

dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk

untuk perbedaan daya hambat

penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan

suhu kamar (27- 30˚C) dry sirup generik

nilai signifikansi pada kolom signifikansi

yaitu 0,338 (P>0,05) yang artinya data

perbedaan daya hambat penyimpanan suhu

dingin dengan suhu kamar dry sirup

generik berdistribusi normal. Untuk

perbedaan daya hambat

penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan

suhu kamar (27-30˚C) dry sirup merek

dagang nilai signifikansi pada kolom

signifikansi yaitu 0,122 (P>0,05) yang

artinya data perbedaan daya hambat

penyimpanan suhu dingin (2-8˚C) dengan

suhu kamar (15-30˚C) dry sirup merek

dagang berdistribusi normal. Untuk

perbedaan daya hambat dry sirup generik

dengan dry sirup merek dagang nilai

signifikansi pada kolom signifikansi yaitu

0,069 (P>0,05) yang artinya data

perbedaan daya hambat dry sirup generik

dengan dry sirup merek dagang

berdistribusi normal.

Setelah dilakukan uji normalitas pada

penelitian ini maka dilanjutkan untuk

melakukan uji perbedaan. Uji perbedaan

pada penelitian ini menggunakan teknik

statistik Independent-Sample T Test.

Berdasarkan hasil uji perbedaan daya

hambat suhu dingin (2-8˚C) dengan suhu

kamar (27-30˚C) dry sirup generik

diketahui pada kolom Leven’s Test Equality

of Variances memiliki nilai sig. 0,023 (P <

0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa

kedua varians adalah tidak sama, maka

penggunaan varians untuk

membandingkan rata-rata populasi (t- test

for Equality of Means) dalam pengujian t-

test harus dengan dasar equal varians not

assumed. Pada equal varians not assumed

diperoleh nilai sig.(2-tailed) 0,167. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa P > 0,05

yang artinya tidak terdapat perbedaan

yang bermakna antara daya hambat dry

sirup generik yang disimpan pada suhu

dingin dengan suhu kamar.

Untuk hasil uji perbedaan daya hambat

suhu dingin (2-8˚C) dengan suhu kamar

(27-30˚C) dry sirup merek dagang

Page 87: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

83

diketahui pada kolom Leven’s Test Equality

of Variances memiliki nilai sig. 0,874 (P >

0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa

kedua varians adalah sama, maka

penggunaan varians untuk

membandingkan rata- rata populasi (t-test

for Equality of Means) dalam pengujian t-

test harus dengan dasar equal varians

assumed.

Pada equal varians assumed diperoleh nilai

sig.(2-tailed) 0,256. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa P > 0,05 yang artinya

tidak terdapat perbedaan yang bermakna

antara daya hambat dry sirup generik yang

disimpan pada suhu dingin dengan suhu

kamar.

Dan untuk perbedaan daya hambat antara

dry sirup generik dengan dry sirup merek

dagang diketahui pada kolom Leven’s Test

Equality of Variances memiliki nilai sig.

0,790 (P > 0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa kedua varians adalah

sama, maka penggunaan varians untuk

membandingkan rata- rata populasi (t-test

for Equality of Means) dalam pengujian t-

test harus dengan dasar equal varians

assumed. Pada equal varians assumed

diperoleh nilai sig.(2-tailed) 0,265. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa P > 0,05

yang artinya tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara daya hambat dry sirup

generik dengan dry sirup merek dagang.

Menurut hasil uji statiatik berdasarkan

penelitian Hidayanti (2016) tentang

pengaruh kemasan terhadap aktivitas

antibakteri suspensi eritromisin setelah

penyinaran dengan sinar matahari langsung

bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara larutan baku eritromisin

yang digunakan sebagai kontrol positif

dengan larutan uji eritromisin tanpa

mendapatkan perlakuan penyinaran dengan

sinar matahari langsung, sehingga dapat

disimpulkan bahwa suspensi dry sirup yang

disimpan pada suhu dingin dan suhu kamar

tanpa terpapar sinar matahari langsung

tidak memiliki perbedaan daya hambat

yang bermakna.

3. Area Under the Curve (AUC)

Kemudian berdasarkan perhitungan Area

Under the Curve (AUC) yang di dapat

yaitu pada sediaan dry sirup generik yang

disimpan di suhu dingin untuk tiga kali

pengulangan yaitu 679,17, 675,49 dan

681,25. Sedangkan suhu kamar untuk tiga

kali pengulangan yaitu 632, 637 dan

658,315. Lalu pada sediaan dry sirup

merek dagang yang disimpan di suhu

dingin untuk tiga kali pengulangan yaitu

660, 660, dan 649,525. Pada suhu kamar

untuk tiga kali pengulangan yaitu 644, 652

dan 659,145. Dan untuk rata-rata

persentase daya hambat sediaan dry sirup

generik yang disimpan di suhu dingin

untuk tiga kali pengulangan yaitu 96,35%,

95,91% dan 96,87%.

Untuk rata-rata persentase daya hambat

sediaan dry sirup generik yang disimpan di

suhu kamar untuk tiga kali pengulangan

yaitu 90%, 90% dan 93,74%. Rata-rata

persentase daya hambat sediaan dry sirup

merek dagang yang disimpan di suhu

dingin untuk tiga kali pengulangan yaitu

94%, 94% dan 92,15% serta rata-rata

persentase daya hambat yang disimpan di

suhu kamar untuk tiga kali pengulangan

yaitu 92%, 92,5% dan 93,87%. Dari data

diatas, dapat disimpulkan bahwa pada suhu

dingin, semakin besar harga AUC maka

semakin besar pula persentase daya hambat

antibakteri dan pada suhu kamar, semakin

besar harga AUC maka semakin besar pula

persentase daya hambat bakteri.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian pengaruh suhu

penyimpanan kombinasi amoksisilin dan

asam klavulanat dalam sediaan dry sirup

terhadap daya hambat bakteri

Staphylococcus aureus, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Adanya pengaruh suhu

penyimpanan kombinasi amoksisilin dan

asam klavulanat dalam sediaan dry sirup

yang telah disuspensikan terhadap daya

hambat bakteri

Staphylococcus aureus dengan adanya

penurunan diameter zona hambat diakhir

penyimpanan.

2. Menurut hasil statistik uji

Independen Sampel T Test menyatakan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bemakna antara daya hambat antibakteri

suspensi dry sirup yang disimpan pada

Page 88: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

84

suhu dingin dengan yang disimpan pada

suhu kamar serta tidak terdapat perbedaan

yang bermakna antara daya hambat

antibakteri suspensi dry sirup generik

dengan suspensi dry sirup merek dagang.

3. Berdasarkan perhitungan Area

Under the Curve (AUC) bahwa pada suhu

dingin, semakin besar harga AUC maka

semakin besar pula persentase daya hambat

antibakteri dan pada suhu kamar, semakin

besar harga AUC maka semakin besar pula

persentase daya hambat bakteri.

SARAN

Disarankan untuk penelitian lebih lanjut

dengan waktu penyimpanan diperpanjang,

penambahan kelompok suhu dan

pemaparan sinar matahari langsung. Dan

untuk pemakaian dimasyarakat agar

tercapainya terapi yang efektif , disarankan

penyimpanan sediaan dry sirup kombinasi

amoksisilin dan asam klavulanat di suhu

dingin (2- 8˚C).

DAFTAR PUSTAKA

Alburyhi, Mahmoud Mahyoob, Abdulwali

Ahmad Siaf, dan Maged alwan

Noman. 2013. Stability study of six

brands of amoxicillin trihydrate and

clavulanic acid oral suspension

present in Yamen market. Journal

of chemical and Pharmaceutical

Research. Vol 5. Hal : 293-296.

Ansel, H.C., 2008. Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi. Edisi Ke- UI

Press. Jakarta.hal. 353 dan 373.

Brooks, G.F., J.S Butel, dan S.A Morse.,

2005. Mikrobiologi Kedokteran.

Terjemahan oleh: FK Universitas

Airlangga. Salemba Medika,

Jakarta.

Capppucino, J.G., and Natalie S., 2001.

Microbiology : A Laboratory

Manual. Benjamin Cummings. San

Fransisico

Carstensen, J.T. dan Rhodes, C.T. 2000.

Drug Stability Principles and

Practices, Third Edition. New York,

Dalam : Tologo Adina Siti

Maryam, 2014. Pengaruh Suhu dan

Temperatur Penyimpanan

Terhadap Tingkat Degradasi Kadar

Amoksisilin dalam Sediaan

Suspensi Amoksisilin-Asam Klavulanat. Skripsi,

Program Studi Farmasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

(http://repository.uinjkt.ac.i

d/dspace/bitstream/1234567

89/25479/1/ADINA SITI

MARYAM TALOGO- fkik.pdf,

Diakses 21 januari 2018), hal.12.

Davis, W.W., dan T.R. Stout, 1971. Disc

Plate Method of Microbiological

Antibiotic Assay Applied

Microbilogy, 22:659-665

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1995. Farmakope

Indonesia Edisi IV. Direktur

Jendral Pengawas Obat dan

Makanan, Jakarta, Indonesia.

Depkes. RI, 2000. IONI.

Informatorium Obat Nasional

Indonesia. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2013. Riset Kesehatan

Dasar 2013. Jakarta :

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Frynkewicz, Heidi, Hannah Feezle., dan

Melinda Richardson. 2013.

Thermostability Determination of

Broad Spectrum Antibiotics at High

Temperatures by Liquid

Chromatography – Mass

Spectrometry. Proceedings of The

National Conference On

Undergraduate Research (NCUR)

2013 University Of Wisconsin La

Crosse,WI.

Gavin, J.J., 1956. Microbiological Process

Report, Analytical Microbiology.

Goodman and Gilman, 2007. Dasar

Farmakologi Terapi. Jakarta. EGC :

Page 89: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

85

Vol 2.

Harmita., dan Radji, M. 2008. Analisis

Hayati. Penerbit Buku Kedokteran,

Jakatra, Indonesia.

Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, 2008.

Mikrobiologi Kedokteran. Salemba

Medika, Jakarta,hal. 318 Kementerian Kesehatan RI, 2010. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.

HK.02.02/MENKES/068/1/ 2010

tentang Kewajiban Menggunakan Obat

Generik di fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah. Jakarta:

Menkes RI.

Kementerian Kesehatan RI, 2015. Profil

Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta :

Kementerian Kesehatan RI. 2016.

Kusmiyati, Agustini., 2007. Uji Aktivitas

Senyawa Antibakteri dari

Mikroalga Porphyridium cruentum.

Pusat Penelitian Bioteknologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(Lipi), Cibinong. Jurnal Biodiversitas

Volume 8, Nomor 1, hal 48-53.

Lachman, L., H.A. Lieberman, dan

J.L. Kanig, 2012. Teori dan

Praktek Farmasi Industri Edisi

Ketiga diterjemahkan oleh : Siti

Suyatmi. Universitas Indonesia

Press, Jakarta,Indonesia, hal. 986.

Locke Thomas dkk, 2013. Microbilogy

and Infectious Diseases on the

move. PT Indeks, Jakarta, hal. 120.

Misnadiarly dan Djajaningrat, H., 2014.

Mikrobiologi untuk klinik dan

Laboratorium. PT. Rineka Cipta,

Jakarta, Indonesia. Hal. 12-13, 52- 53.

Neal, M.J, 2007. At a Glance Farmakologi

Medis. Erlangga, Jakarta, hal. 83.

Nurhayati, Nunung, 2016. Biologi untuk

siswa SMA/MA Kelas X

(Peminatan). Yrama Widya,

Bandung, hal. 134- 136.

Owusu, Patrick. 2011. HPLC Method

Development For The

Quantification and Stability Studies

Of Amoxicillin and Clavulanic Acid

In Liquid Oral Formulation. The

Departement of Pharmaceutical

Chemisty, Faculty of Pharmacy and

Pharmaceutical sciences.

Pelczar, J. Michael, Chan, E.C.S., 2008.

Dasar-dasar mikrobiologi 1. Diterjemahkan oleh: Ratna Siri

Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutami

Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka.

Universitas Indonesia Press, Jakarta,

Indonesia, hal. 46.

Pratiwi, T.T., 2008. Mikrobiologi Farmasi.

Erlangga, Jakarta, Indonesia, hal.

115- 117,154-155,188.

Sampurno, 2011. Manajemen Pemasaran

Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Hal.95-97 dan

139-141.

Setiati Siti dkk, 2014.Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Interna

Publishing, Jakarta Pusat, hal 1608-

1618.

Syahputri V.Mimi, 2006. Pemastian Mutu

Obat :”Kompendium Pedoman &

Bahan-bahan Terkait”. Dalam :

July, M. (Editor). Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, hal.44-

47.

Tjay,T,H., Rahardja, K., 2015. Obat- Obat

Penting; “khasiat, penggunaan,

dan efek-efek sampingnya”. PT

Elex Media Komputindo, Jakarta,

hal 69-71.

Talogo, 2014. Pengaruh Suhu dan

Temperatur Penyimpanan

Terhadap Tingkat Degradasi Kadar

Amoksisilin dalam Sediaan

Suspensi Amoksisilin-Asam

Page 90: Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.2 No.1 Juli 2020

Jurnal Kesehatan Pharmasi (JKPharm) Vol.1 No.1 Juni 2019

86

Klavulanat. Skripsi, Program Studi

Farmasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (dipublikasikan), hal. 2.

Unal, Kemal, Palabiyik, Murat. I.,

Keracan, Elif, Onur, Feyyaz. 2008.

Spectophotometric Determination

of Amoxicilin In Phrmaceutical

Formulation. Turk J.Pharm.Sci.

Vol.5,Hal.1-16.

Warsa, U.C., 1994. Staphylococcus dalam

Buku Ajar Mikrobiologi

Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta :

Penerbit Binarupa Aksara.hal. 103-

110.

Widodo, R., 2004. Panduan Keluarga

Memilih dan Menggunakan Obat.

Yogyakarta: Kreasi wacana. Hal:

21-23, 27-31, dan 66.