Vol IV Edisi 2 Juli 2007

94
!" ! " #$ % " #% " & " ’ " ( !)* + , * - * + * + . ! * & #/0% " " # #1% #1(% & " " # % #! +% #*+% #* +% " #*!+% 2 " # % " 3 4 # % 5 5 # % , 5" - " 5 - ( 2 5 " 5 , )-) + % 55 #% 2 # % " ." " #67 889%

Transcript of Vol IV Edisi 2 Juli 2007

Page 1: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

1

PENGARUH PEMBERIAN PENGAWET (KULIT KESAMBI) PADA SAAT PENYADAPAN NIRA TERHADAP KUALITAS

GULA MERAH DI KABUPATEN SIDRAPZakaria1, Nadimin1, Sunarto1

1Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit kesambi terhadap kesegaran nira dan kualitas gula merah yang dihasilkan. Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah dengan konsentrasi 0 gram, 2,5 gram, 5 gram, 7,5 gram kulit kesambi perwadah (± 5 liter nira). Pengamatan dilakukan terhadap nira adalah kesegaran dengan indikator warna, pembentukan buih dan lendir, kadar sukrosa dan asam asetat. Mutu gula ditentukan atas kadar gula (sukrosa) dan tingkat kesukaan dengan indikator tekstur, warna, aroma dan rasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nira yang tidak diberi kulit kesambi nampak mutu fisik agak menyimpang dari kriteria nira segar yaitu berwarna putih,berbusa dan ada bau alkohol dan asam. Kandungan asam asetat yang terdapat dalam nira yang tidak diberi kulit kesambi setelah penyimpanan 4 jam sebanyak 17,86 %. Nira yang diberi kesambi ternyata asam asetat baru terdeteksi setelah 16 jam bagi perlakuan 2,5 gram dan 5 gram dengan kadar asam asetat masing-masing 16,25 % dan 6,5 %, Sementara perlakuan 7,5 gram belum terdeteksi setelah penyimpanan 16 jam. Hasil analisis statistik (Anova) menunjukkan bahwa pemberian pengawet (kulit kesambi pada saat penyadapan niri dapat mempertahankan kadar sukrosa gula (p=0,000) dan total gula(p=0,024).

Hasil uji tingkat kesukaan menunjukkan bahwa pada umumnya panelis menyukai produk jenis gula yang mendapat perlakuan pengawet (kulit kesambi) 5 gram yaitu dari segi aroma (70 %), rasa (62,5%), tekstur (62,5 %) dan warna (67,5%).

Disarankan kepada petani menggunakan pengawet (kulit kesambi) seberat 5 gram perwadah agar diperoleh kualitas gula merah yang optimal.

PENDAHULUANCairan nira merupakan salah satu

komoditas pangan sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Untuk menghasilkan gula merah (gula aren) yang berkualitas maka cairan nira yang digunakan harus dalam keadaan tetap segar, disamping proses pengolahannya perlu diperhatikan dengan baik. Jika kesegarannya tidak dapat dipertahankan atau mengalami kontaminasi maka nira cepat mengalami kerusakan yang ditandai dengan perubahan rasa (menjadi asam), berbuih dan berlendir. Nira yang telah mengalami kerusakan, jika digunakan akan menghasilkan gula merah dengan kualitas yang sangat mengecewakan. Keadaan ini tentu akan sangat merugikan terutama bagi masyarakat penyadap nira atau produsen gula merah yang rata-rata perekonomiannya masih rendah.

Proses penyadapan nira memerlukan waktu cukup yang lama yaitu sekitar 12 - 24

jam. Dalam proses penyadapan tersebut para petani menggunakan cara yang masih tradisional dengan wadah terbuka. Keadaan tersebut menyebabkan nira terkontaminasi oleh mikroba, sehingga nira cepat mengalami proses kerusakan.

Nira segar mempunyai kadar air 80-85 % dan sukrosa sekitar 15 % (Goutara dan Wujudi, 1985). Keadaan tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Mikroba yang terdapat pada nira adalah khamir dan bakteri (Muchtadi,1992). Dalam keadaan aerob, kedua bakteri tersebut sangat berperan dalam proses fermentasi, yaitu sukrosa diubah menjadi alkohol dan selanjutnya akan menjadi rusak (rasa asam, berbuih dan berlendir).

Kulit kesambi mengandung senyawa tanin. Senyawa tanin merupakan salah satu senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri dan khamir (Luqman, 1993).

Page 2: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

2

Untuk mempertahankan kesegaran nira maka diupayakan agar proses pertumbuhan mikroba harus dapat dihambat sehingga tidak dapat berperan dalam proses fermentasi yang mengarah pada kerusakan nira. Pemberian bahan pengawet alamiah seperti kulit kesambi pada saat penyadapan nira merupakan salah satu alternatif yang perlu diteliti, guna mempertahankan kesegaran nira dan meningkatkan kualitas gula merah yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan penghasilan para petani gula merah yang rata-rata berpenghasilan rendah, dan pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan pangan dan status gizi keluarganya.

Permasalahan yang ingin dijawab pada penelitian ini adalah “Berapakah kosentrasi kulit kesambi yang terbaik untuk mempertahan kesegaran nira dan tidak berpengaruh negatif terhadap kualitas gula merah .

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit kesambi terhadap kesegaran nira dan kualitas gula merah yang dihasilkan.

METODE PENELITIANA. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara Eksperimental dengan menggunakan rancangan eksperimental murni yaitu rancangan Post- test control group design. Kelompok ekperimen adalah nira dan gula merah yang menggunakan kulit kesambi dengan kosentrasi yang berbeda yaitu 2.5 gram, 5 gram dan 7.5 gram, dan kontrolnya adalah nira tanpa menggunakan kulit kesambi (0 gram).

B. Populasi dan SampelPopulasi target adalah semua

pohon nira (Arenga pinnata merr) yang berada pada suatu areal perkebunan atau hutan nira di Kabupaten SidrapSulawesi Selatan. Dari areal tersebut kemudian dipilih beberapa pohon nira sebagai sasaran (sampel) penelitian. Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling, dengan memperhatikan umur tanaman dan kesehatan/kesuburan tanaman.

C. Prosedur Penelitian dan Cara Pengumpulan Data1. Penyadapan nira. Setiap pohon

nira dipasang wadah penyadap. Masing-masing penyadap diberikan kulit kesambi dengan kosentrasi 0 gram, 2.5 gram, 5 gram, dan 7.5 gram.

2. Pengamatan tingkat kesegaran atau daya tahan nira. Tingkat kesegaran ditentukan secara fisik yaitu pengamatan terhadap warna, pembentukan buih dan lendir, dan uji laboratorium untuk menentukan keasaman nira (asam asetat).

3. Pengolahan atau pembuatan gula merah. Proses pengolahan gula merah dilakukan oleh petani masyarakat setempat yang berpengalaman, sesuai cara dan pengalamannya selama ini. Setiap hasil sadapan diolah menjadi gula merah dengan menggunakan wadah yang terpisah sesuai nomor dan kode masing-masing.

4. Uji kualitas gula merah. Penentuan kualitas gula merah yang dihasilkan dilakukan secara organoleptik dan kimiawi. Uji organoleptik dilakukan oleh panelis yang agak terlatih yaitu mahasiswa D-III Gizi. Unsur kualitas yang dinilai secara organoleptik meliputi: tekstur, warna, aroma dan rasa. Analisis kimiawi hanya digunakan untuk menentukan kadar gula (sukrosa).

D. Pengolahan dan Analisis Data1. Proses pengolahan dan analisis data

menggunakan program SPSS. 2. Pembuktian hipotesis dilakukan

secara statistik dengan menggunakan Uji Anova pada tingkat kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kualitas Nira

Penentuan kualitas nira dilakukan secara kimiawi, mikrobiologi dan fisik. Indikator kimiawi yang digunakan dalam menentukan kualitas nira didasarkan pada kandungan sukrosa dan kadar gula total. Aktivitas mikroba pembusuk ditentukan

Page 3: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

3

berdasarkan kandungan asam asetat dalam bahan (nira), sedangkan kualitas fisik ditentukan secara organoleptik, yaitu dengan pengamatan terhadap perubahan fisik bahan: bau, warna dan timbulnya busa.1. Kadar Sukrosa dan Gula Total

Tampak pada Gabmbar 1bahwa nira yang tidak diberi pengawet (kosentrasi kulit kesambi 0 gram) hanya mengandung sukrosa 1,88 %, sedangkan pada kosentrasi pengawet 2,5 gram kadar sukrosa nira mencapai 3,94 %. Peningkatan kadar sukrosa bahan semakin nyata pada kosentrasi pengawet 5 gram dan 7,5 gram, yaitu masing-masing 15,72 % dan 18,58 %.

Hasil analisis Anovamenunjukkan ada perbedaan kadar sukrosa nira menurut kosentrasi pengawet (p=0,0023). Artinya, pemberian kulit kesambi pada saat penyadapan nira dapat meningkatkan kadar sukrosa hasil sadapan nira tersebut.

Kadar gula total nira yang diberi pengawet berbeda pada setiap kosentrasi bahan pengawet. Pada kosentarsi pengawet 0 gram, rata-rata kadar gula total hanya mencapai 2,82 %. Kadar gula total nira pada kosentrasi pengawet 2,5 gram sangat tinggi yaitu rata-rata 15,86 %. Sedangkan pada kosentrasi pengawet 5 gram dan 7,5 gram, rata-rata kadar gula total masing-masing mencapai 18,37 %dan 20,08 %.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kandungan gula total nira menurut kosentrasi pengawet (p = 0,268).

2. Kadar Asam AsetatNira yang tidak diberi

pengawet kulit kesambi pada saat penyadapan, setelah disimpan selama 4 jam mengandung asam asetat rata-rata 17,86 %. Kandungan asam asetat pada nira tanpa pengawet semakin meningkat seiring dengan lama penyimpanan. Pada penyimpanan 10 jam rata-rata

kandungan asam asetat mencapai 32,89 %. Setelah disimpan selama 10 jam kadar asam asetat mencapai 65,68 %.

Pada sampel nira yang diberi pengawet (kulit kesambi) pada saat penyadapannya, belum mengandung asam asetat sampai pada penyimpanan selama 10 jam, baik pada kosentrasi pengawet 2,5 gram, 5 gram maupun 7.5 gram. Asam asetat nira yang diberi pengawet 2,5 gram dan 5 gram timbul setelah disimpan selama 16 jam. Sedangkan nira yang diberi pengawet 7,5 gram tetap segar (kandungan asam asetat = 0 gram) meskipun sudah disimpan sampai 16 jam (Tabel 1.).

Data tersebut dapat dipahami sebagaimana yag dikemukakan oleh Muchtadi, 1992 bahwa pada nira reaksi pertama terjadi inverse sukrosa bila terdapat asam atau enzim di dalam nira. Pada reaksi yang kedua glukosa/fruktosa hasil inverse difermentasi menjadi etanol dan pada reaksi ketiga terjadi oksidasi etanol oleh bakteri Acetobacter acetimenjadi asam. Peristiwa inversi tersebut terjadi karena sukrosa terhidrolisa menjadi D-glukosa dan D-fruktosa, hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim-fruktoforanosidase (-h-fruktose, invertase) yang dihasilkan mukroba. Jika terjadi fermentasi lanjut maka kadar gula akan menurun, kadar alkohol meningkat kemudian terjadi peningkatan kadar asam sehingga pH berkecenderungan menurun.

Jadi dapat diduga bahwa nira yang diberikan pengawet (kesambi) sebanyak 2,5 gram belum menunjukkan adanya asam asetat pada saat dianalisis sekalipun telah dilakukan penyimpanan 10 jam, namun dalam proses penyadapan kadar sukrosa terjadi penurunan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 1.

Page 4: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

4

B. Kualitas Gula Merah1. Kadar Sukrosa dan Gula Total

Kualitas produk gula merah pada penelitian ini ditentukan atas dasar sukrosa dan total gula yang terkandung pada produk gula merah yang dihasilkan yang dianalisis secara kimiawi. Sedangkan kualitas fisik ditentukan secara organoleptik, yaitu penilaian terhadap tingkat penerimaan/kesukaan dari aspek rasa, aroma, tekstur dan warna.

Gambar 2. memperlihatkan bahwa semakin tinggi kosentrasi pengawet yang digunakan pada saat penyadapan nira maka kadar sukrosa gula juga semakin meningkat. Kadar sukrosa gula yang tidak diberi pengawet hanya 21,03 %. Pada kosentrasi pengawet 2.5 gram kadar sukrosa gula mencapai 34,08%. Sedangkan pada kosentrasi pengawet 5 gram dan 7.5 grammasing-masing mengandung kadar sukrosa gula 36,73 % dan 37,75 %.

Total gula produk gula merah yang dihasilkan dari nira yang tidak diberi pengawet hanya 24,65 %, sementara yang mendapat perlakuan pengawet kulit kesambi 2,5 grm, 5 gram dan 7,5 gram masing-masing mengandung total gula 34,72 %, 37,75 % dan 41,39 %.

Data tersebut menunjukkan adanya kecenderungan semakin tinggi konsenrasi pengawet kulit kesambi yang digunakan dalam mengawetkan nira, maka baik sukrosa maupun total gula yang dihasilkan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil analisis Anova, diperoleh nilai p=0,000 (sukrosa) dan p=0,024 (gula total). Nira ini menunjukkan bahwa pemberian pengawet (kulit kesambi) pada saat penyadapan nira dapat mempertahankan kadar sukrosa gula dan total gula (p<0,05)

2. Tingkat kesukaanBerdasarkan tabel 2 nampak

bahwa paling disukai oleh panelis dari aspek aroma adalah produk gula dengan kosentrasi pengawet 5.0 gram. Sebaliknya aroma produk gula

yang kurang disukai adalah gula dengan kosentrasi pengawet 0 gram. Proporsi panelis yang menyatakan kurang suka dengan aroma gula dengan kosentrasi pengawet 0 gram tersebut sebanyak 70 %.

Jenis gula yang kurang dapat diterima oleh panelis dari aspek rasa adalah gula yang diberi pengawet dengan kosentrasi 7.5 gram. Dari 40 orang panelis, sebanyak 60 % menyatakan kurang suka dengan rasa gula tersebut. Rasa produk gula dengan kosentrasi pengawet 5.0 gram paling banyak disukai oleh panalis (62.5 %) (Tabel 3).

Tabel 4. menunjukkan bahwa proporsi panelis yang kurang suka terhadap tekstur produk gula yang tidak diberi pengawet (0 gram) dan yang diberi pengawet 2.5 gram masing-masing sebanyak 85 % dan 70 %. Sebaliknya, Tekstur produk gula yang banyak disukai oleh panelis adalah jenis gula dengan kosentrasi pengawet 5.0 gram. Proporsi panelis yang menyatakan suka dengan tekstur gula yang diberi pengawet 5.0 gram tersebut sebanyak 62.5 %.

Dilihat dari aspek warna, jenis gula yang kurang disukai oleh panelis adalah gula yang diberi pengawet dengan kosentrasi 0 gram dan kosentrasi 7.5 gram. Proporsi panelis yang kurang suka dengan warna kedu jenis gula tersebut masing-masing 70 % dan 60 %. Sebaliknya, jenis gula yang diberi pengawet dengan kosentrasi 5.0 gram adalah yang paling banyak disukai panelis dari aspek warnanya (67.5 %) (Tabel 5).

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dengan memberikan kulit kesambi pada saat penyadapan terbukti bahwa nira dapat dipertahankan kesegarannya dengan memberikan pengawet (kesambi) sebanyak 5 dan 7,5gram. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang relative asih tinggi yaitu rata-rata 15,72 % dan 18,58 %. Pada konsentrasi pengawet ini pula menunjukkan belum

Page 5: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

5

terdeteksinya asam asetat setelah penyimpanan 10 jam. Dengan demikian pemberian pengawet pada saat penyadapan nira dapat dipertahankan kesegarannya antara 22 jam hingga 28 jam tanpa dilakukan pemanasan sebelumnya.

Produk gula merah yang dihasilkan menunjukkan adanya kecenderungan kadar sukrosa dan gula total semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi pemberian pengawet (kulit kesambi). Berdasarkan hasil analisis Anova, diperoleh nilai p=0,000 (sukrosa) dan p=0,024 (gula total). Nira ini menunjukkan bahwa pemberian pengawet (kulit kesambi) pada saat penyadapan nira dapat mempertahankan kadar sukrosa gula dan total gula (p<0,05).

Berdasarkan hasil uji tingkat kesukaan menunjukkan bahwa panelis rata-rata menyukai produk jenis gula yang mendapat perlakuan pengawet (kesambi) dengan konsentrasi 5 gram yaitu dari indicator aroma 70 %, rasa 62,5 %, tekstur 62,5 % dan warna 67,5 %.

SARANDirekomendasikan kepada petani nira

dalam memproduksi gula merah agar menggunkan kulit kesambi dalam produksi gula merah dengan konsentrasi minimal 5 grm per wadah (bumbung). Perlunya diteliti

lebih lanjut tentang pengayaan nilai gizi pada produk gula merah khususnya dari zat gizi mikro.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S., 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PT Penerbit (IPB Press), Bogor

P.M. Gaman dan K.B. Sherringtong. 1994. Ilmu pangan; Pengantar ilmu pangan, nutrisi dan mikrobiologi. Jogyakarta; Gadjah Mada University Press.

Standar Industri Indonesia (SII). No.0225-79, Mutu dan Cara Uji Gula Aren, Departemen Perindustrian RI, Jakarta.

Tien R. Muchtadi dan Sogiono.1992. Ilmu pengetahuan bahan pangan. Bogor; IPB

Tony Lukman Lutony. 1993. Tanaman sumber pemanis. Jakarta; PT Penebar Swdaya.

Winarno. 1989. Kimia pangan dan gizi. Jakarta; PT Gramedia.

Winarno. 1993. Kimia pangan, teknologi dan konsumen. Jakarta; PT Gramedia.

Page 6: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

6

Lampiran :

1.882.823.94

15.86 15.72

18.37 18.5820.08

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0 gr 2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr

Konsentrasi kulit kesambi

Kadar Sukrosa (gr) Kadar Gula Total (gr)

Gambar 1. Kadar Sukrosa dan kadar gula total nira berdasarkan

konsentrasi pengawet (kulit kesambi)

21.0324.65

34.0834.7236.7337.75 37.75

41.39

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

0 gr 2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr

Konsentrasi kulit kesambi

Sukrosa (gr) Gula Total

Gambar 2.Rata-rata Kadar Sukrosa dan Gula Total Gula MerahBerdasarkan Kosentrasi Pengawet (kulit kesambi)

Page 7: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

7

Tabel 1Kandungan Asam Asetat Nira Berdasarkan Kosentrasi Kulit Kesambi dan Lama Penyimpanan

Kosentrasi Kulit KesambiLama Penyimpanan 0 gram 2,5 gram 5 gram 7,5 gram4 jam10 jam16 jam

17.86332.8965.68

00

16.26

00

6.50

000

Sumber: Data primer, 2006

Tabel 2Proporsi Panelis Berdasarkan Tingkat Kesukaan Terhadap Aroma Masing-Masing Jenis Gula Nira

Tingkat kesukaan terhadap AromaJenis gula nira menurut kosentrasi pengawet Sangat suka Suka Kurang suka0 gram2.5 gram5.0 gram7.5 gram

5.02.520.02.5

25.037.550.035.0

70.060.030.062.5

Sumber: Data primer, 2006

Tabel 3Proporsi Panelis Berdasarkan Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Masing-Masing Jenis Gula Nira

Tingkat kesukaan terhadap RasaJenis gula nira menurut kosentrasi pengawet Sangat suka Suka Kurang suka0 gram2.5 gram5.0 gram7.5 gram

12.510.07.510.0

42.547.555.030.0

45.042.537.560.0

Sumber: Data primer, 2006

Tabel 4Proporsi Panelis Berdasarkan Tingkat Kesukaan Terhadap Tekstur Masing-Masing Jenis Gula Nira

Tingkat kesukaan terhadap TeksturJenis gula nira menurut kosentrasi pengawet Sangat suka Suka Kurang suka0 gram2.5 gram5.0 gram7.5 gram

7.52.512.510.0

7.527.550.040.0

85.070.037.550.0

Sumber: Data primer, 2006

Tabel 5Proporsi Panelis Berdasarkan Tingkat Kesukaan Terhadap Warna Masing-Masing Jenis Gula Nira

Tingkat kesukaan terhadap WarnaJenis gula nira menurut kosentrasi pengawet Sangat suka Suka Kurang suka0 gram2.5 gram5.0 gram7.5 gram

2.57.520.05.0

27.542.047.535.0

70.050.032.560.0

Sumber: Data primer, 2006

Page 8: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

8

ESTIMASI ASUPAN ENERGI DENGAN METODE FOOD FREQUENCY QUESTIONNAIRE (FFQ), FOOD RECORDS

DAN RECALL 24 JAM PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH TAHUN 2006

Putu Candriasih1, Hamam Hadi2, Fahmi Hafid31Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan, Palu, Sulawesi Tengah

2Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta3Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan, Palu, Sulawesi Tengah

ABSTRACT

Background: Food Frequency Questionnaire (FFQ), food record and recall 24 hour are methods of consumption measurement most frequently used. Each has its own advantages and disadvantages. Consumption measurement among children has more complicated difficulties because children's cognitive capability to record diets depends on memory capability, age, social, cultural, ethnic aspects and so on. Therefore, age and culture of the group observed affect methods used in the measurement of consumption among children.Objective: To evaluate the difference of average energy intake using FFQ, food record and recall 24 hour methods among elementary school children of Palu Municipality.Method: The study was analytical observational with cross sectional design. The subject were elementary school children of Palu Municipality aged 10-13 years old. Samples were taken using simple random sampling technique (n=67). The study was carried out from November to December 2006. Paired T statistical test was used identify differences of energy intake in FFQ, food record and recall 24 hour methods whereas Coefficient of Variation (CV) was used to find out the reliability of these methods.Result: The measurement of energy intake among elementary school children was estimated using FFQ, food record and recall 24 hour methods and showed different results. Both food record and recall 24 hour methods had nearly equal average of energy intake; therefore there was no significant difference in the result of Paired t-test analysis on energy intake in both methods. But FFQ with food records method and FFQ with recall 24 jam method have significant difference.The result of CV analysis showed that food records method had better reliability (CV=7,50 %) than FFQ method (10,32 %) but was almost equal with recall 24 hours method (CV=7,68 %). Accordingly out of those two methods food records and recall 24 hours had very strong relationship in energy intake. Conclusion: Average energy intake estimated using food record and recall 24 hour method did not show any significant difference. Food record method had better reliability than FFQ method but was nearly equal with recall 24 hour method in energy intake estimated to elementary school children of Palu Municipality

Keywords: energy intake, FFQ, food records, recall 24 hours, reliability, elementary school children

PENDAHULUANPenilaian konsumsi makanan

merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Di Amerika Serikat survei konsumsi makanan digunakan sebagai salah satu cara dalam penentuan status gizi1.

Penelitian konsumsi pada anak-anak memiliki kesulitan yang lebih kompleks,

karena kemampuan kognitif anak-anak untuk mencatat konsumsi makan tergantung dari daya ingat mereka2, Umur rata-rata anak relevan dengan perkembangan ketrampilan kognitif untuk melaporkan intake konsumsinya sendiri, antar individu dan antar budaya yang berbeda3.

Umur dari kelompok yang diteliti mempengaruhi metode yang dipakai dan siapa yang mencatat konsumsi mereka.

Page 9: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

9

Semua faktor-faktor ini perlu menjadi pertimbangan dalam membuat dan menerapkan penelitian tentang konsumsi anak-anak dengan menggunakan metode-metode yang ada4.

Pada usia sekolah, anak-anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan kognitif, emosional, dan sosial yang luar biasa5. Penelitian pada awal tahun 1990 menyajikan bukti bahwa anak umur 10 tahun kelas ke empat, dapat dipercaya melaporkan intake makanan mereka untuk yang 24 jam sebelumnya. Anak-anak yang usianya lebih muda dari umur 10 tahun kemampuan untuk memberi tanggapan benar pada daftar FFQ dalam periode lebih dari satu hari adalah diragukan oleh karena ketidakmampuan mereka untuk mengerti tentang frekuensi3.

Di Indonesia penelitian dengan metode FFQ, food records dan recall 24 jam dilakukan pada 20 remaja SLTP yang obesitas dan 20 remaja tidak obesitas di Kota Yogya dan Kabupaten Bantul 2004, menunjukkan hasil bahwa ketiga metode tersebut memiliki perbedaan asupan energi yang bermakna dan metode recall 24 jam yang mempunyai reliabilitas yang terbaik6 .

Berdasarkan permasalah tersebut maka peneliti ingin mengetahui bagaimana estimasi asupan energi pada anak sekolah dasar yang diukur dengan metode FFQ, food

records dan recall 24 jam. Dan metode mana yang mempunyai reliabilitas yang terbaik untuk mengestimasi asupan energi pada anak sekolah dasar di Kota Palu, karena umur dan budaya juga dapat mempengaruhi metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi.

BAHAN DAN METODEEstimasi asupan energi merupakan

perkiraan asupan energi (kkal) dengan menggunakan instrumen food survey yang berbeda pada subjek yang sama (n=67). Instrumen food survey yang digunakan yaitu food frequency questionnaire (FFQ), food records (FR), dan recall 24 jam (Rc). Subjek dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar yang berumur 10-13 tahun yang duduk di kelas 4, 5 dan 6.

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional) yang bertujuan untuk mengetahui estimasi asupan energi dengan metode FFQ, food records dan recall 24 Jam pada anak sekolah dasar di Kota Palu.

Penelitian ini dilaksanakan bulan November sampai Desember 2006, dengan rancangan penelitian sebagai berikut :

Keterangan :FFQ1 : FFQ Awal, FFQ2 :FFQ akhir,Fr : Food records, Rc : Recall 24 jam ©© : Hari pengambilan data

A. Food Frequency Questionnaire (FFQ)Metode FFQ adalah untuk

memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu atau tahun. Cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi7.

Untuk memperoleh asupan zat gizi secara relatif atau kebanyakan FFQ sering

dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis makanan. Karena itu FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semikuantitatif (semi quantitative food history)8. Metode FFQ sering digunakan dalam Cohort epidemiologi yang berskala besar9.

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV (Senin) (Sabtu) (minggu) (Rabu) |©©===========|==========©©==|============©©|====©©=======|Fr I & Rc I Fr II & Rc II Fr III & Rc III Fr IV & Rc IV |------------------------------------------------------------------------------------------------------------|

FFQ I FFQII

Page 10: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

10

B. Metode Food RecordsPada metode ini responden diminta

mencatat semua yang dimakan dan diminum, setiap kali makan dalam URT atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode waktu tertentu (2-4 hari). Metode ini disebut juga diary records. Food records harus rinci, termasuk bagaimana cara makanan dipersiapkan dan dimasak. Jika makanan terbuat dari berbagai bahan pangan, misalnya gado-gado atau capcay, jenis serta bahan mentahnya itu perlu ditulis, disamping resep pembuatannya. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat denganmengacu pada URT. Makanan yang telah terukur ini kemudian disalin ke dalam gram11. Metode ini pun mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan8,9.

C. Metode Recall 24 jamMetode ini pada prinsipnya

dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Pada metode ini responden diminta menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam sebelumnya. Biasanya dimulai sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia istirahat mundur kebelakang sampai 24 jam penuh7. Mengingat kembali, dan mencatat jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak dan paling mudah digunakan. Cara ini cukup baik diterapkan dalam survey terhadap kelompok masyarakat. Sebab, pada umumnya, orang telah memiliki menu yang relatif tetap selama seminggu kecuali pada hari (libur) tertentu ketika mereka diundang untuk menghadiri jamuan tertentu, atau pada hari besar keagamaan misalnya hari raya 10 .

Dari ketiga metode tersebut yaitu FFQ, food records, dan recall 24 jam, yang dianggap sebagai standar emas (gold standard) untuk penilaian diet, adalah food records. Karena food records dianggap dapat menghasilkan jumlah data kuantitatif yang akurat dari diet seseorang selama jangka waktu tertentu1. Namun penelitian pada tahun 2003 menyatakan bahwa yang menjadi gold standard adalah pengukuran dengan doubly lebelled water (DLW) 9.

D. Keandalan dan Kesahihan Pengukuran

Istilah lain keandalan penelitian adalah keterandalan, reliabilitas, reproduksibilitas, presisi atau ketepatan pengukuran. Suatu pengukuran disebut andal, apabila memberikan nilai yang sama atau hampir sama apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang. Pengukuran yang makin tepat pada besar sampel yang ditentukan mempunyai nilai yang baik dalam memperkirakan nilai rerata (mean) serta untuk menguji hipotesis.

Penilaian keandalan pengukuran umumnya dilakukan dengan menggunakan simpangan baku (standard deviation) pada pengukuran numerik yang berulang. Salah satu statistik yang bermanfaat untuk keperluan ini adalah coefficient of variation(CV), yaitu hasil simpangan baku dibagi dengan rerata dikali 100 %. Pengukuran yang andal akan mempunyai coefficient of variation(CV) yang sempit (kecil), sedangkan pengukuran yang kurang andal mempunyai coefficient of variation (CV) yang lebar (besar). Interval kepercayaan juga dapat menunjukkan keandalan suatu pengukuran, semakin sempit rentang interval kepercayaan, makin andal pengukuran tersebut 11 .

E. Pola Konsumsi Makanan pada Anak-anak

Pola konsumsi makanan adalah merupakan hasil budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor manusia itu sendiri, seperti kebiasaan makan, pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi12. Konsumsi atau pola konsumsi makanan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan pangan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya13. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi makanan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu : 1. Faktor Internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri manusia seperti emosi, jenis kelamin, kebiasaan/tabu, tingkat pendidikan, aktifitas dan penyakit. 2. faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar seperti iklim, jenis tanaman, keadaan tanah, hama dan daya beli14. Selain faktor internal dan ekternal, ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan

Page 11: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

11

kebiasaan makan keluarga, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah15.

Variabel penelitian meliputi : variabel bebas (metode FFQ, food recods dan recall24 jam) dan variabel tergantung (asupan energi pada anak sekolah dasar di Kota Palu). Adapaun kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

ANALISIS DATAAnalisis zat gizi (energi) dengan

menggunakan perangkat lunak program dari komputer. Perbedaan rerata asupan energi dianalisis dengan menggunakan uji Paired t test dari program komputer, sedangkan untuk melihat reliabilitas dengan menghitung nilai coefficient of variation (CV) dan hubungan dari ketiga metode tersebut dengan menggunakan analisis korelasi Pearson.

Gambar 1. kerangka konsep penelitian

HASIL PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Kota

Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Subjek penelitian ini adalah anak sekolah dasar yang berusia 10-13 tahun yang duduk dikelas 4, 5 dan 6. Jumlah subjek yaitu 67 orang (Laki-laki 37,3% dan perempuan 62,7%). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji asupan energi pada anak sekolah dasar dengan menggunakan tiga metode food survey yaitu FFQ, food records dan recall 24 jam. Jadi masing-masing subjek mendapat tiga kuesioner yaitu FFQ, food records dan recall24 jam.

A. Rerata Asupan Energi Rerata asupan energi dari 2 kali

FFQ, 4 kali food records dan 4 kali recall 24 jam adalah bervariasi. Dari ketiga rerata asupan energi tersebut, metode food recordstidak terdistribusi normal, maka selanjutnya dilakukan test of normality (Kolmogorov-Smirnov) dengan mengabaikan dua rerata yang outlier dari masing-masing metode (n=65). Sehingga ketiga rerata tersebut terdistribusi normal p>0,05 (p=0,200). Dari hasil tersebut diperoleh rerata asupan energi masing-masing metode (tabel 1).

Tabel 1Distribusi Rerata Asupan Energi dengan Metode Food Survey

Metode n Mean ± SD CV (%) Minimum MaksimumFFQ 65 1755,0 ± 181,05 10,32 1365.05 2093.45FR 65 1445.19 ± 108,40 7,50 1268.90 1741.50Rc 65 1427,38 ± 109, 66 7,68 1182.00 1689.30

FFQ

Metode pengukuran Konsumsi

food records

Estimasi Asupan energi pada anak sekolah dasar

recall 24 jam

Page 12: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

12

Rerata asupan energi hasil pengukuran dengan metode FFQ adalah lebih besar dari metode FR dan Rc. Sedangkan Rerata asupan energi yang

terendah adalah dari hasil pengukuran dengan metode Rc. Penyebaran asupan energi dapat dilihat pada gambar 2.

1,400 1,600 1,800 2,000 2,200

Observed Value

-4

-2

0

2

4

Expecte

d Norma

l

Normal Q-Q Plot of FFQ

1,400 1,600 1,800 2,000

Observed Value

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

Dev from No

rmal

Detrended Normal Q-Q Plot of FFQ

1200.00 1400.00 1600.00 1800.00 2000.00 2200.00

FFQ

0

5

10

15

20

Freque

ncy

Mean = 1755.34Std. Dev. = 181.04637N = 65

FFQ

1,200 1,300 1,400 1,500 1,600 1,700 1,800

Observed Value

-4

-2

0

2

4

Expecte

d Norma

l

Normal Q-Q Plot of FR

1,200 1,300 1,400 1,500 1,600 1,700 1,800

Observed Value

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

Dev from

Norm

al

Detrended Normal Q-Q Plot of FR

1200.00 1300.00 1400.00 1500.00 1600.00 1700.00 1800.00

FR

0

2

4

6

8

10

12

Freque

ncy

Mean = 1445.1938Std. Dev. = 108.3952N = 65

FR

1,100 1,200 1,300 1,400 1,500 1,600 1,700

Observed Value

-4

-2

0

2

4

Expecte

d Norma

l

Normal Q-Q Plot of Rc

1,100 1,200 1,300 1,400 1,500 1,600 1,700

Observed Value

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

Dev from No

rmal

Detrended Normal Q-Q Plot of Rc

1100.00 1200.00 1300.00 1400.00 1500.00 1600.00 1700.00

Rc

0

3

6

9

12

15

Frequency

Mean = 1427.3777Std. Dev. = 109.66374N = 65

Rc

Gambar 2. Distribusi Penyebaran Rerata Asupan Energi

B. Perbedaan Rerata Asupan Energi Perbedaan rerata asupan energi

antar metode FFQ, food records dan recall 24 jam dianalisis dengan Paired t test. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa ada dua

pasangan metode yang mempunyai perbedaan signifikan dan ada satu pasangan metode yang tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2Perbedaan Rerata Asupan Energi Antar Metode Food Survey

95% CIMetode Mean ± SD Std. Error mean

p value Lower Bound Upper Bound

FFQ –FR 310,15 ± 191,78 23,78 .000 262,62 357,67

FR - Rc 17,82 ± 122,58 15,20 .246 -12,56 48,19

FFQ - Rc 327,96 ± 198,42 24,61 .000 278,80 377,13

Pada tabel 2 terlihat bahwa metode FFQ dengan metode FR mempunyai perbedaan rerata yaitu 310,15 dengan simpangan baku (SD) 191,78. Hasil analisis didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) dengan alpha 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan

energi dari metode FFQ dengan metode FR pada anak sekolah dasar.

Perbedaan rerata asupan energi antara metode FR dengan metode Rc adalah 17,82 dengan simpangan baku (SD) 122,58 dan alpha 0,05 diperoleh nilai p=0,246 (p>0,05), ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata

Page 13: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

13

asupan energi dari metode FR dengan metode Rc.

Perbedaan rerata asupan energi antara metode FFQ dengan metode Rc yaitu 327,96 dengan simpangan baku (SD) 198,42 dan alpha 0,05 diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupanenergi dari metode FFQ dengan metode Rc.

Dari ketiga metode tersebut yang tidak mempunyai perbedaan yang signifikan adalah asupan energi antara metode FR dan Rc. Sedangkan asupan energi antara metode FFQ dengan FR dan antara metode FFQ dengan Rc mempunyai perbedaan yang signifikan.

C. Reliabilitas Metode Food SurveyKeandalan (reliabilitas) dari suatu

pengukuran diperoleh dengan menentukan nilai coefficient of variation (CV) antar hasil

pengukuran. Nilai coefficient of variation(CV) diperoleh dari hasil simpangan baku (standard deviation) dibagi dengan mean dikali seratus persen (100%). Pengukuran yang andal akan mempunyai nilai coefficient of variation (CV) yang lebih kecil.

Reliabilitas dari ketiga metode tersebut dapat dilihat dari nilai Coefficient of Variation (CV). Pada tabel 1 terlihat bahwa nilai dari hasil pengukuran dua kali FFQ, empat kali food records dan empat kali recall24 jam adalah bervariasi. Dari ketiga metode tersebut yang reliabilitas terbaik adalah metode food records karena mempunyai nilai CV paling rendah.

Hasil uji koefisien korelasi Pearson antar metode food survey menunjukkan nilai korelasi yang positif. Nilai koefisien korelasi antar metode food survey tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3Nilai Koefisien Korelasi antar Metode Food Survey

Metode N r p valueFFQ - FR 65 0,197 0,115FR -Rc 65 0,368 0,003FFQ - Rc 65 0,137 0,277

Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa dari ketiga metode tersebut, metode FR dan Rc pada derajad kepercayaan 0,01 menunjukan hubungan yang sedang (r=0,368, p=0,003). Sedangkan antara metode FFQ dengan FR menunjukan hubungan yang lemah (r=0,197, p=0,115) demikian juga dengan metode FFQ dengan Rc menunjukan hubungan yang lemah (r=0,137, p=0,277). Jadi dari ketiga metode tersebut yang mempunyai hubungan yang kuat yaitu asupan energi antara metode FR dengan metode Rc. Hal ini menunjukkan bahwa metode FR dan Rc mempunyai reliabilitas yang hampir sama.

PEMBAHASAN

Estimasi asupan energi merupakan perkiraan asupan energi (kkal) dengan menggunakan instrumen food survey yang berbeda pada subjek yang sama (n=67). Instrumen food survey yang digunakan yaitu food frequency questionnaire (FFQ), food records (FR), dan recall 24 jam (Rc). Subjek

dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar yang berumur 10-13 tahun yang duduk di kelas 4, 5 dan 6.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi dari dua kali FFQ pada 67 subjek adalah bervariasi. Dan total dari rata-rata 67 subjek diperoleh rerata asupan energi dari metode FFQ. Hasil rerata asupan energi pada metode FFQ lebih banyak dari pada metode FR dan Rc. Kemungkinan bulan puasa dan lebaran juga berpengaruh terhadap pola makan keluarga yang berbeda dari hari-hari biasa, khususnya bahan makanan sumber karbohidrat atau energi. Oleh sebab itu FFQ dilakukan dua kali yaitu untuk mengurangi bias.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pelaksanaan satu kali FFQ untuk energi dan protein mempunyai faktor attenuation sebesar 0,04-0,16 dimana meningkat menjadi 0,08-0,19 dengan melaksanakan FFQ kedua9.

Page 14: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

14

Pengukuran asupan energi dengan menggunakan metode food records (FR) dilakukan empat kali pengukuran. Rata-rata asupan energi dari 4 kali pengukuran pada 67 subjek adalah bervariasi. Variasi dari hasil pengukuran dapat bersumber dari cara pengukuran dan orang yang mengukur. Oleh sebab itulah pengukuran asupan energi dilakukan beberapa kali dengan hari yang berbeda dan orang yang mengukur sama, untuk mengurangi hasil yang bias. Karena dengan beberapa kali pengulangan dapat meningkatkan reliabilitas dari alat ukur yang digunakan.

Ditribusi penyebaran asupan energi dari rerata hasil pengukuran sebelumnya adalah tidak normal, namun setelah ada outlier yang dihilangkan (n=65) distribusi rerata asupan energi menjadi normal p>0,05 (p=0.200). Dan rerata asupan energi tersebut juga mengalami perubahan, meskipun masih ada rerata yang outlier. Rerata yang outlier mungkin dapat disebabkan karena responden merasa jenuh dan terbebani sehingga menyebabkan subjek merubah kebiasaan makanannya. Ini adalah salah satu kelemahan dari metode food records 10.

Pengukuran asupan energi dengan metode recall 24 jam (Rc) dilakukan 4 kali yaitu sama dengan food records, tetapi pelaksanaan pengukuran yaitu sehari setelah dilakukan pengukuran food records. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali, maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut7. Satu kali pelaksanaan recall 24 jam memiliki faktor attenuation sebesar 0,15 – 0,25, dengan pengulangan empat kali memiliki faktor attenuation 0,4–0,5 dan terus akan meningkat dengan bertambahnya pengulangan instrumen9.

Rata-rata asupan energi dari empat kali Rc yang dilakukan pada 67 subjek adalah bervariasi. Sehingga diperoleh rerata asupan energi dari 67 subjek. Rerata asupan energi dari pengukuran Rc lebih rendah dari pengukuran dengan metode FFQ dan FR. Karena mengingat kembali makanan yang dikonsumsi selama 24 jam sebelumnya sangat tergantung dari daya ingat subjek.

Untuk melihat perbedaan asupan energi dari ketiga metode tersebut maka dilakukan analisis Paired t test, namun sebelumnya dilakukan uji Kormogorov Smornov, untuk melihat normalitas distribusi rerata asupan energi dari ketiga metode tersebut. Hasil analisis Paired t testmenunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan rerata asupan energi dari metode FFQ dengan FR dan metode FFQ dengan Rc, sedangkan rerata asupan energi antara metode FR dengan Rc tidak ada perbedaan yang signifikan.

Perbedaan asupan energi yang diukur menggunakan metode FFQ dan FR serta metode FFQ dan Rc menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Dimana hasil analisis keduannya diperoleh nilai p<0,05 (P=0,000). Hal ini dapat disebabkan karena asupan energi hasil pengukuran dengan metode FFQ mempunyai nilai rerata yang lebih tinggi dari metode FR dan Rc. Selain itu, kuesioner FFQ telah memuat beberapa jenis bahan makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat memperoleh data asupan zat gizi dalam jumlah besar karena mencakup 50-130 jenis makanan, dan juga dapat menyebabkan terjadi over estimate. Dan karena keterbatasan waktu maka sebagian koesioner diisi sendiri oleh anak-anak, sehingga ini sangat tergantung dari daya ingat mereka tentang makanan yang dimakan satu bulan yang lalu. Tapi pada FFQ awal bertepatan dengan bulan puasa dan lebaran jadi sebagian besar mereka masih ingat.

Hasil penelitian ini adalah sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa konsumsi dengan metode FFQ secara signifikan lebih tinggi (p<0.05) dari pada dengan metode weighed diet record (WR) 16. Hal ini juga dapat disebabkan karena metode FFQ yaitu merupakan metode semi quantitative food history8.

Penilaian konsumsi pada anak-anak dan remaja memiliki kesulitan yang lebih kompleks, karena kemampuan kognitif anak-anak untuk mencatat atau mengingat konsumsi mereka, sama seperti juga ketidaktahuan mereka tentang makanan dan cara mempersiapkannya2.

Umur rata-rata anak relevan dengan perkembangan ketrampilan kognitif

Page 15: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

15

untuk melaporkan asupan makanan sendiri antar individu dan antar budaya yang berbeda, umur yang minimum di mana kemampuan anak-anak untuk memperoleh yang berarti dalam instrumen konsumsi menggunakan batasan waktu (24 jam, 1 minggu, 1 bulan) merasa tidak mapan, karena kemampuan untuk memberi tanggapan benar pada daftar FFQ dalam periode lebih dari satu hari adalah diragukan oleh karena ketidakmampuan mereka untuk mengerti frekuensi3.

Hasil penelitian dilakukan di Oxford mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi yang diukur dengan metode FFQ dengan metode FR17. Hal ini terjadi mungkin karena subjek penelitian dilakukan pada orang dewasa, serta jumlah subjek dan faktor sosial budaya juga mempengaruhi hasil penelitian karena budaya dan pola makan orang Indonesia tidak sama dengan orang di Oxford.

Sedangkan asupan energi antara metode FR dengan metode Rc 24 jam dari hasil analisis menunjukkan bahwa kedua metode tersebut tidak ada perbedaan yang signifikan p>0,05 (0,405). Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kemampuan kognitif dan ketrampilan anak berkembang dengan cepat dari umur 8 tahun dan penelitian pada awal 1990 menyajikan bukti bahwa anak umur 10 tahun kelas keempat, dapat dipercaya melaporkan intake makanan mereka untuk yang 24 jam sebelumnya18.

Hasil penelitian yang dilakukan pada anak remaja SLTP yang obes dan tidak obes di Kodya Yogyakarta menyatakan bahwa ada perbedaan secara signifikan dari ketiga metode tersebut6. Hal ini dapat disebabkan karena umur anak yang diteliti adalah berbeda sehingga hasil analisinyapun bisa berbeda. Dimana anak usia 10-13 tahun masih mendapat perhatian penuh dari orang tua mereka khususnya dalam hal makan.

Reliabilitas ketiga metode tersebut dalam mengestimasi asupan energi pada anak sekolah dasar dapat dilihat dari nilai CV. Nilai CV yang paling tinggi adalah metode FFQ sedangkan nilai CV yang terendah adalah metode FR. Jadi dari ketiga metode tersebut, yang mempunyai reliabilitas baik adalah metode FR. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kota Yogya dan Bantul pada anak SLTP

yang menyatakan bahwa metode recall 24 jam mempunyai reliabilitas yang terbaik dari pada metode FFQ dan food records 24 jam6. Hal ini mungkin disebabkan anak remaja kurang perhatian terhadap makanan yang dimakan atau mereka kebanyakan jajan diluar rumah sehingga lupa untuk mecatat makanan yang dimakan. Beda dengan anak sekolah dasar yang masih perhatian terhadap makanan yang dimakan apalagi bila diberikan penghargaan, maka mereka akan rajin mencatat makanan yang mereka makan.

Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa doubly labelled water (DLW) dan metode recall 24 jam keduanya adalah valid, secara esensial tidak memiliki bias, bahwa mean kesalahan dari kedua instrument tersebut adalah nol dan tidak menghubungkan antara konsumsi nyata dan kesalahan. Sehingga recall 24 jam dianggap sebagai instrument pelapor diet urutan kedua. Dan doubly labelled water (DLW) adalah sebagai gold standard karena instrument tersebut dianggap sebagai instrument pelapor diet urutan pertama9. Penelitian tersebut hanya membandingkan metode FFQ dan recall 24 jam sehingga metode recall hasilnya lebih baik dari metode FFQ karena metode recall juga mempunyai reliabilitas yang hampir sama dengan metode food records. Selain itu, umur subjek dan tempat penelitian yang berbeda dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Kekuatan hubungan dari ketiga metode tersebut dalam mengestimasi asupan energi pada anak sekolah dasar dapat juga digunakan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang digunakan. Dari ketiga metode tersebut yang mempunyai hubungan sangat kuat yaitu antara metode FR dengan metode Rc 24 jam dengan p<0,05 (r=0,368, p=0,003). Hasil penelitian ini adalah sama dengan hasil penelitian di Yogya dan Bantul, yang mengatakan bahwa metode FR dengan Rc 24 jam mempunyai hubungan yang sangat baik atau hampir mendekati sempurna6.

Penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada anak-anak perempuan dengan menggunakan metode 3 hari food records didampingi dengan recall 24 jam dan 5 hari FFQ menunjukkan bahwa 3 hari food records memiliki korelasi spearman yang

Page 16: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

16

lebih tinggi dari pada metode recall dan FFQ19.

Sedangkan yang menunjukkan hubungan yang sangat lemah p>0,05 yaitu metode FFQ dengan metode FR (r=0,197, p=0,115) dan metode FFQ dengan metode Rc 24 jam (r=0,137 p=0,277). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, yang mengatakan bahwa metode FFQ mempunyai hubungan koefisien yang kuat dengan metode Rc 24 jam20. Hal ini mungkin disebabkan karena subjek dan tempat penelitian berbeda.

Ketiga metode tersebut mempunyai kemungkinan koefisien korelasi yang baik.Namun tidak boleh satu metode pengukuran digantikan dengan metode yang lain karena semua metode menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hasil pengukurannya. Dalam melakukan pengukuran konsumsi makanan dengan metode apapun perlu memperhatikan tujuan dan subjek penelitian, karena masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dua karakteristik alat ukur dan pengukuran yang penting adalah keandalan (reliabilitas) dan kesahihan (validitas). Kedua karakteristik tersebut harus selalu diperhitungkan dalam setiap proses pengukuran11.

Umur dari kelompok yang diteliti mempengaruhi metode yang digunakan dan siapa yang mencatat konsumsi mereka. Semua faktor-faktor ini perlu menjadi pertimbangan dalam membuat dan menerapkan penelitian tentang konsumsi makan pada anak-anak dengan menggunakan metode-metode yang ada4.

KESIMPULAN Hasil penelitian estimamsi asupan

energi dengan metode food frequency questionnaire (FFQ), food records (FR) dan recall 24 jam (Rc 24 jam) dapat disimpulkan bahwa :1. Ada perbedaan rerata asupan energi

(kkal) yang diestimasi dengan metode food frequency questionnaire (FFQ) dengan metode food records (FR) pada anak sekolah dasar di Kota Palu.

2. Tidak ada perbedaan rerata asupan energi (kkal) yang diestimasi dengan metode food records dan recall 24 jam pada anak sekolah dasar di Kota Palu

3. Ada perbedaan rerata asupan energi (kkal) yang diestimasi dengan metode food frequency questionnaire (FFQ) dengan metode recall 24 jam pada anak sekolah dasar di Kota Palu.

4. Metode food records mempunyai reliabilitas yang terbaik dari metode FFQ dan recall 24 jam dalam mengestimasi asupan energi pada anak sekolah dasar di Kota Palu. Tetapi metode food records dengan recall 24 jam masih mempunyai hubungan yang kuat atau hampir sempurna.

SARANDari kesimpulan hasil penelitian

tersebut maka yang dapat disarankan bahwa 1. Bila melakukan penelitian konsumsi pada

anak sekolah dasar sebaiknya menggunakan metode food records (FR) karena metode tersebut mempunyai reliabilitas yang lebih baik dari pada metode FFQ.

2. Selain itu dapat juga menggunakan metode recall 24 jam (Rc), karena antara metode recall 24 jam dengan food records tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mengestimasi asupan energi.

3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat validitas dari metode FFQ dalam mengestimasi asupan energi pada anak sekolah dasar.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih Penulis

sampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kota Palu, Kepala Sekolah Dasar Negeri (Inti Tondo dan 15 Palu) bersama guru-guru pelajaran dan wali kelas khususnya kelas 4, 5 dan 6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada petugas pengumpul data, para responden yang telah membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA1. Willet C.W. Nutrition Epidemiology: New

York: Oxford University Press, 1990.2. Baranowski T, Domel SB. A Cognitive

Model of children’s Reporting of Food Intake. Am J Clin Nutr 1994; 59(suppl):212S-7S

3. Domel SB, Baranowski T, Davish, Leonard SB, Riley P, Baranowski J. Fruit

Page 17: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

17

and vegetable food frequencies by fourth and fifth grade students; Validity and Reliability. J Am Coll Nutr 1994 ; 13:33-9.

4. Rockett RH. H, Breitenbach, M, Frazier, A.L, Witschi,J, Wolf, A.M, Field,A.Validation Of a Youth/ adolescent Food Frequency questionnaire. Am Journal Medicine 1997b;26:808-816.

5. Wooldridge, N.H. Child and Preadolescent Nutrition. In: Nutrition Through the lifecycle (Brown.J.E.,ed) 2002,pp.283-323. Wadsworth/ Thomson Learning, Belmont, CA.

6. Basuki, A. Perbandingan Jumlah Asupan Energi dengan Metode Food Frequency Qiestionnaire, Food Records, dan Food Recall 24 jam pada Remaja Siswa Siswi SLTP dengan Obesitas dan tidak Obesitas Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul . Universitas gajah Mada: Tesis, 2004

7. Juwita, R. Penerapan Prinsip Epidemiologi Dalam Penilaian Status Gizi. Jakarta: Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1991.

8. Gibson, S. R. Principle of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press, 1990.

9. Schatzkin, A, Kipnis,V, Carroll, R.J, Midthune, D, Subar, A.F, Bigham, S, Schoeller, D.A, Troiano, R.P, Freedman, L.S. A comparison of a food frequency questionnaire with a 24-hour recall for use in an epidemiological cohort study : results from the biomarker-based observating protein and energy nutrition (OPEN) study. International journal of epidemiology 2003; 32: 1054-1062

10. Arisman, MB. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC, 2004.

11. Sastroasmoro,S. dan Ismael, S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.

12. Tjokronegoro, A.H. Pengkajian Status Gizi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.

13. Martianto, D, Ariani, M. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan masyarakat dalam Dekade Terakhir. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004.

14. Suhardjo, Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia, 1986

15. Sediaoetama, AD. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat, 1987.

16. Masson, LF, Neill, G.Mc, Tomany,JO, Simpson, JA, Pecce, HS, Wei,L, Grubb,DA and Smith C.B. Statistical Approaches for assessing the Relative Validity of a food Frequency Questionnaire: Use of Correlation Coefficients and the Kappa statistic. Public Health Nutrition 2002; 6(3) : 313-321.

17. Hartwell, D.L, and Henry, C.J.K. Comparison of a self administered quantitative food frequency with 4-day estimated food records. Journal of food and Nutrition 2001; 52.151-159.

18. Livingstone, M.B. and Robson, P.J. Measurement of Dietary Intake in Children, Proc. Nutr.Soc 2000; 59:279-293.

19. Crawford PB, Obarzanek E, Marrison J, Sabry ZI. Comparative Advantage of 3-day Food records Over 24-hour and 5-Day Food Frequency Validated by Observation of 9 and 10 Year old girls. J. Am Diet Assoc 1994; 94: 626 -30.

20. Yaroch, L.A., Resnicow,K., Davis M., Smith, M., Khan, K.L. Development of a modified picture-sort food frequency questionnaire administered to low-income, overweight, African-American adolescent girl. J. Am Diet assoc 2000; 100; 1050-1056.

Page 18: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

18

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BBLR DI BLU RS. DR. WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSARMuhammad Yusuf M1

1Program Studi Keperawatan, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Resiko Kematian pada Bayi BBLR adalah 40 kali lebih tinggi dibandingkan bayi normal dan bila beratnya < 1500 gram, maka beresiko meningkat 100 kali dibanding bayi normal. BBLR adalah bayi dilahirkan dengan berat badan lahir < 2500 gram, tanpa melihat usia kehamilan. Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat rawan, oleh karena sangat erat hubungannya dengan tumbuh kembang anak.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR. Metode penelitian ini menggunakan sampel teknik consecuitive sampling dan deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak atau paritas dengan kejadian kelahiran BBLR, dimana dengan paritas tinggi kemungkinan melahirkan bayi BBLR adalah 1 kali. Ada hubungan antara usia ibu dengan berat bayi, dimana semakin badan baik usia ibu semakin baik pula berat badan bayi yang dilahirkan. Ada hubungan antara kadar Hb dengan berat lahir bayi, dimana semakin tinggi Hb ibu semakin baik pula berat badan bayi yang dilahirkan. Ada hubungan dengan kelahirna kembar dengan berat lahir bayi, dimana ibu yang melahirkan bayi kembar beresiko tinggi akan melahirkan bayi dengan BBLR.

Disarankan untuk mencegah kejadian anemia pada kehamilan dengan resiko BBLR untuk itu dianjurkan kepada setiap ibu, baik sebelum maupun saat hamil senantiasa mempertahankan kondisi gizi yang yang baik.

PENDAHULUANBayi berat lahir rendah (BBLR)

merupakan suatu kondisi yang sangat rawan oleh karena sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan adan perkembangan kesehatan anak selanjutnya. Masa pertumbuhan dan perkembangan intra uterin adalah masa yang paling peka dalam siklus hidup manusia. Berat lahir bayi adalah indikator penting untuk pertumbuhan dan perkembangan hidup bayi. (Fuchs GI, 2003)

BBLR beresiko jauh lebih tinggi untuk dilahirkan dengan Cerebral Palsy, retardasi mental, gangguan kognitif dn sensoris. Namum BBLR yang berhasil hidup berkurang kemampuannya untuk beradaptasi secara sosial, psikologis dan fisik terhadap lingkungannya. Telah terbukti bahwa, pada orang dewasa dengan BBLR mempunyai resiko lebih tinggi menderita penyakit kardiovaskuler, hipertensi, DM, penyakit ginjal dan hati kronik (Anderson AD, 2000).

Menurut WHO, 25 juta BBLR dilahirkan setiap tahun di seluruh dunia. Di Indonesia

dengan estimasi kasar insidens BBLR sebanyak 7 – 14% diperkirakan sebanyak 365.000 – 710.000 bayi pertahun dengan BBLR. Terjadinya BBLR tidak lepas dari tiga faktor utama yaitu faktor ibu, faktor janin dan faktor plasenta. Faktor ibu dalam hal ini adalah umur ibu, paritas, gizi, penyakit ibu selama hamil, cukup tidaknya usia kehamilan, kebiasaan dan pendidikan ibu. Faktor kedua adalah faktor janin apakah terdapat kehamilan multi pel, hidramnion dan infeksi pada janin (Manuaba, 2003).

Menurut data yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medik BLU RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2005 didapatkan angka kejadian BBLR sebanyak 144 orang (21,11%) dari 682 kelahiran.

Calon ibu yang peka terhadap kemungkinan melahirkan bayi BBLR adalah ibu-ibu usia remaja, ibu-ibu yang lebih tua, dan ibu dengan paritas tinggi serta ibu dengan kekurangan gizi (anemia gizi) secara menahun.

Page 19: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

19

Adapun pengenalan secara dini faktor-faktor resiko terjadimya BBLR dan kemudian melakukan langkah-langkah yang sesuai guna penaggulangan dan pencegahan kelahiran BBLR akan menurunkan angka kematian dan kecacatan bayi, ini merupakan suatu hal yang sangat penting diketahui dan realisasi serta upaya dari semua pihak.

Upaya pemerintah yang telah dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, meliputi: perbaikan gizi keluarga, BKIA, pelayanan kesehatan dan upaya lainnya. Pelayanan ini sangat penting karena dapat digunakan untuk memantau dan menilai kondisi ibu dan janin selama kehamilan arag ibu dan janin tetap sehat dan meskipun terdapat kelainan tentunya dapat diketahui secara dini dan ditangani secara cepat dan tepat.

Bertitik tolak dengan uraian tersebut, penulis termotivasi untuk meneliti faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR di BLU RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

METODOLOGI PENELITIANA. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan case control study yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan penyakit (efek). Observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan (Husain Alatas, dkk. 1995).

Penelitian ini dilakukan yakni subyek kasus dengan karakteristik efek positif (bayi yang mengalami BBLR) yang secara retrospektif ditelusuri penyebabnya yang diduga berperan.

Hubungan faktor risiko terhadap terjadinya efek dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor resiko tersebut terhadap subyek kontrol (subyek dengan karakteristik negatif atau bayi yang tidak mengalami BBLR), yang dipilih dari bayi yang sejauh mungkin sama kondisinya dengan subyek kasus.

B. Populasi dan Sampel1. Populasi

Semua ibu yang melahirkan di ruang kebidanan Rumah Sakit

BLU dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, dengan jumlah kelahiran 682 bayi.

2. SampelSampel dalam penelitian ini

adalah semua ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah di ruangan kebidanan RS. BLU dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang berjumlah 144 bayi.

Pada penelitian ini penarikan sampel diambil dengan menggunakan sampel tehnik consecuitive sampling yaitu dengan menetapkan subyek yang diperlukan terpenuhi. (Nursalam, 2003). Selanjutnya penarikan sampel untuk kontrol dilakukan secara acak pada bayi dengan Berat Badan Normal dengan jumlah yang sama pada kelompok kasus.

Kriteria sampel Inklusi ialah ibu melahirkan yang telah dirawat di BLU RS. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, untuk periode Januari –Desember 2005. Kriteria Eksklusi ialah ibu yang memiliki data tidak lengkap

C. Tempat PenelitianPenelitian ini akan dilaksanakan

di RS. BLU DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bagian kebidanan. Alasan pemilihan tempat ini karena rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit terbesar di Indonesia Timur dan merupakan Rumah Sakit Rujukan dari berbagai daerah. Selain itu di Rumah Sakit ini terdapat sampel yang diinginkan dan memungkinkan mendapatkan responden yang diharapkan.

D. Pengumpulan DataData yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan pengukuran variabel baik variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek atau penyakit). Pengukuran/ penetapan faktor risiko dan pengukuran efek dapat dilakukan dengan pelbagai cara dalam hal ini peneliti akan menggunakan catatan medik sebagai sumber data.

Page 20: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

20

E. Instrumen Pengumpulan DataInstrumen pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan memakai lembar isian yang dibuat berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR, dimodifikasi oleh peneliti menurut variabel yang akan diteliti. Lembar isian ini akan diisi langsung oleh peneliti, yang berisi tentang data demografi pasien dan variabel-variabel yang akan diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Hubungan antara Umur ibu dengan

kejadian BBLRTabel 1, menunjukkan bahwa

distribusi umur ibu berisiko melahirkan bayi dengan Berat Lahir Rendah sebanyak 42 orang (60,9 %) dan kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 27 orang (39,1 %), dan untuk umur ibu yang berisiko terdapat kelahiran bayi BBLR sebanyak 102 orang (46,6 %), sedangkan kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 117 (53,4 %). Dari uraian ini terlihat bahwa dari 69 kelahiran bayi dari kelompok umur ibu yang berisiko terdapat kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 27 bayi dan dari 214 kelahiran bayi dengan kelompok umur ibu yang tidak berisiko terdapat 102 (46,6 %) kelahiran bayi dengan berat badan normal. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor umur, masih banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap berat lahir bayi seperti status gizi ibu, kadar Hb, perilaku ibu dan lain-lain. Pada usia uji X2 diperoleh nilai X2 = 4, 288 dengan nilai p=0,038. Karena nilai p < 0.05 dapat diartikan bahwa ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian BBLR.

Menurut Hanafi H, (2002) menyatakan bahwa kehamilan di usia > 35 tahun sebaiknya tidak terjadi karena kesehatan ibu sudah tidak sebaik pada umur 20 – 30 tahun. Usia < 20 tahun atau masih remaja masih berada dalam masa pertumbuhan, masih membutuhkan zat gizi yang banyak. Sehingga bila terjadi kehamilan pada usia tersebut maka zat gizi selain untuk pertumbuhan ibu juga akan diambil oleh janin yang sedang

dikandung. Jika ibu mengalami kurang gizi maka akan memperberat terjadinya BBLR. Ibu yang melahirkan pada umur < 20 tahun perkembangan organ reproduksinya belum optimal, jiwanya masih labil sehingga mudah mengalami komplikasi kehamilan. Umur 20 – 30 tahun adalah periode yang paling aman untuk melahirkan, dimana alat-alat reproduksi wanita sudah matang dan kesiapan mentalnya sudah cukup sehingga mempunyai persiapan untuk menghadapi persalinan.

B. Hubungan kadar Haemoglobin ibu dengan kejadian BBLR

Tabel 2, menunjukkan bahwa terdapat 143 responden (49,7%) kadar haemoglobinnya <11 gr% dan 145 responden (50,3%) > 11 gr%. Dan apabila dibandingkan antara kasus dan kontrol, ibu dengan kadar Hb berisiko didapatkan jumlah kelahiran bayi dengan Berat Lahir Rendah sebanyak 85 (59,4%) dan kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 58 (40,6%). Sedangkan ibu dengan kadar Hb tidak berisiko didapatkan kelahiran bayi BBLR sebanyak 59 (40,7%) dan kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 86 (59,3%). Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai X2

= 10,125 dengan nilai p = 0,01 yang berarti ada hubungan antara kadar Hb dengan kejadian BBLR.

Pada kelompok ibu dengan kadar Hb berisiko terdapat kelahiran bayi dengan berat badan normal sebanyak 58 (40,6%). Terdapatnya kelahiran bayi dengan berat badan normal pada ibu dengan kadar Hb berisiko mungkin disebabkan karena ibu tersebut tidak memiliki faktor resiko lain yang memperbesar kemungkinan terjadinya Berat Bayi Lahir Rendah. Selain itu terdapatnya kelahiran bayi dengan berat badan normal ini, mungkin karena kadar Hb ibu masih termasuk dalam kategori anemia ringan.

Anemia dalam kehamilan merupakan keadaan yang berbahaya bagi ibu maupun anak yang dikandungnya, dimana komplikasi terhadap janin dapat menyebabkan terjadinya BBLR. Hal ini terjadi oleh

Page 21: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

21

karena pada ibu hamil yang menderita anemia dimana kadar Hb ibu berkurang sehingga menyebabkan sirkulasi uteroplasenta berkurang yang berdampak pada gangguan retardasi pertumbuhan janin pada kandungan.

C. Hubungan Kelahiran Kembar Dengan kejadian BBLR

Tabel 3, menunjukkan bahwa faktor resiko kehamilan kembar atau anak yang lahir kembar lebih banyak menderita BBLR yaitu sebanyak 17 orang (77,3 %) dibanding dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal yaitu sebanyak 5 orang (22,7 %). Untuk kehamilan tidak kembar atau anak yang lahir tunggal terdapat kelahiran BBLR sebanyak 127 orang (47,7 %) dan kelahiran dengan berat badan normal yaitu sebanyak 139 orang (52,3 %).Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai X2 = 7,087 dengan nilai p = 0,008. Karena nilai p < 0,05 maka ditemukan hubungan yang bermakna antara kelahiran kembar dengan kejadian BBLR. Dimana ibu yang melahirkan anak kembar mempunyai resiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dengan peluang 3 kali lebih tinggi dibanding dengan ibu yang tidak melahirkan anak kembar (OR : 3, 721).

Besarnya pengaruh kelahiran kembar terhadap berat badan bayi disebabkan karena kehamilan kembar menyebabkan keterbatasan pertumbuhan janin. Makin banyak jumlah bayi kembar yang dikandung, makin menurun pertumbuhan janin. Gangguan pada uterus terjadi akibat uterus terbebani oleh volume bayi kembar yang melebihi kapasitas. Bayi kembar juga harus berbagi nutrien dari plasenta dengan kembarnya sehingga terjadi gangguan nutrisi intrauterin

D. Hubungan Paritas Dengan kejadian BBLR

Tabel 4, menunjukkan bahwa kejadian berat lahir bayi dengan faktor resiko (paritas > 3) didapatkan kelahiran BBLR sebanyak 27 (54,0 %) dan pada kejadian berat lahir normal yaitu sebanyak 23 orang (46,0 %). Sedangkan

pada kelompok ibu dengan paritas tanpa risiko kejadian kelahiran BBLR lebih banyak yaitu 117 orang (49,2 %) dan kejadian kelahiran dengan berat badan normal jumlahnya lebih sedikit yaitu 121 orang (50,8 %). Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai X = 0, 387 dengan nilai p = 0, 0534. Karena nilai p > 0,05 maka ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak atau paritas dengan kejadian kelahiran BBLR. Dimana ibu dengan paritas tinggi kemungkinan untuk melahirkan bayi BBLR adalah 1 kali (OR : 1, 214).

Paritas adalah salah satu faktor resiko oststetrik dari ibu yang dapat mempengaruhi berat lahir bayi. Paritas yang tinggi akan memberikan resiko terhadap janin dimana nantinya akan mendapat anak yang tidak sehat. Hal ini dapat diterangkan bahwa setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan pada uterus dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana jumlah nutrisi akan berkurang dibandingkan pada kehamilan

KESIMPULAN Dari hasil pengolahan dan analisa

data tentang kejadian BBLR pada kehamilan dilihat dari segi anemia, usia ibu,, paritas ibu dan kehamilan kembar di BLU RS. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Januari s/d Desember 2005, maka dapat disimpulkan bahwa, Ada hubungan antara umur ibu dengan berat lahir bayi dimana semakin baik umur ibu maka semakin baik pula berat badan bayi yang dilahirkan. Ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan berat lahir bayi dimana semakin tinggi kadar Hb ibu maka semakin baik pula berat badan bayi yang dilahirkan. Ada hubungan antara Kelahiran kembar dengan berat lahir bayi dimana ibu yang melahirkan bayi kembar mempunyai resiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Ada hubungan antara kadar haemoglobin dengan berat lahir bayi dimana semakin tinggi kadar Hb ibu maka semakin baik pula berat badan bayi yang

Page 22: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

22

dilahirkan. Tidak ada hubungan antara Paritas dengan berat lahir bayi dimana ibu yang melahirkan anak dengan paritas tinggi belum tentu melahirkan bayi dengan Berat Lahir Rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Asrining Surasmi, dkk, (2003), Perawatan Bayi Risiko Tinggi, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta

Adele Pilli ttiri (2002), Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta

Nursalam M. Nurs,Dr (2001) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untukPerawat dan Bidan, Penerbit Salemba Medika Jakarta

Jumiarni, Dra (1995), Asuhan Keperawatan Perinatal, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta

Suriadi SKp, dkk (2001), AsuhanKeperawatan Anak, Penebit PT. Fajar Interpratama Jakarta.

Page 23: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

23

Lampiran :

Tabel 1Hubungan antara Umur ibu dengan kejadian BBLR di BLU RS Wahidin Sudirohusodo

Makassar periode Januari s/d Desember 2005

Berat Lahir BayiBBLR BBLN JumlahKelompok

Umur n % n % n %Beresiko 42 60.9 27 39.1 69 100Tidak Beresiko 102 46.6 117 53.4 219 100Jumlah 144 50.0 144 50.0 288 100Sumber : Data sekunder (p = 0,038, OR : 1,784)

Tabel 2Hubungan kadar Haemoglobin ibu dengan kejadian BBLR di BLU RS Wahidin Sudirohusodo

Makassar periode Januari s/d Desember 2005

Berat Lahir BayiBBLR BBLN JumlahKadar

Haemoglobin n % n % n %Beresiko 85 59,4 58 40,6 143 100Tidak Beresiko 59 40,7 86 59,3 145 100Jumlah 144 50.0 144 50.0 288 100Sumber : Data sekunder (p = 0,01, OR : 2, 136)

Tabel 3Hubungan Kelahiran Kembar Dengan kejadian BBLR di BLU RS Wahidin Sudirohusodo

Makassar periode Januari s/d Desember 2005

Berat Lahir BayiBBLR BBLN JumlahJenis

Kehamilan n % n % n %

Kembar 17 77,3 5 22,7 22 100Tidak Kembar 127 47,7 139 52,3 266 100Jumlah 144 50.0 144 50 % 288 100

Sumber : Data sekunder (p = 0,008, OR : 3, 721)

Tabel 4Hubungan Paritas Dengan kejadian BBLR di BLU RS Wahidin Sudirohusodo Makassar

periode Januari s/d Desember 2005

Berat Lahir BayiBBLR BBLN JumlahParitas ibu

N % n % N %Beresiko 27 54,0 % 23 46,0 % 50 17,4 %Tidak Beresiko 117 49,2 % 121 50,8 % 238 82,6 %Jumlah 144 50 % 144 50 % 288 100 %Data sekunder

Page 24: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

24

DAYA TERIMA PEMBERIAN MP-ASI LOKAL PADA ANAKUMUR 6 – 24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

CEMPAE KOTA PAREPARE

Sukmawati1, Zainuri1, Andi Mariyani Massalassa21Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

2Dinas Kesehatan, Kota Pare-Pare, Alumni Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Kebutuhan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan umur, selama 6 bulan pertama hidup. Bayi seharusnya hanya diberi ASI dan setelah umur 6 bulan ASI tidak cukup lagi untuk pertumbuhannya, untuk mencegah malnutrisi yang menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan mental bayi, sehingga bayi dan anak harus diberikan makanan tambahan selain ASI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya terima MP-ASI lokal oleh anak balita 6 – 24 bulan pada keluarga miskin, di wilayah kerja Puskesmas Cempae Kota Parepare. Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dengan rancangan post test only design. Jumlah sampel 60 anak baduta. Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu 6–12 bulan mendapat formula tempe I dan II. sedangkan umur 13–24 bulan mendapat formula jagung I dan II, masing-masing besar porsi 100 gram setiap kali makan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula tempe II lebih baik yaitu 20 anak (66,7%) yang menghabiskan makanannya, sedangkan pada formula jagung menunjukkan formula jagung II juga lebih baik yaitu 18 anak (60%) yang menghabiskan makanannya. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan mengadakan analisis zat gizi perporsi asal setiap formula MP-ASI lokal.

PENDAHULUANPeranan gizi penting dalam siklus

hidup manusia. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat pula menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut sampai dewasa.

Umur 0–24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas, sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan, apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan zat gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya, apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas justru akan berubah menjadi periode kritis, yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).

Masalah gangguan tumbuh kembang pada bayi dan anak usia di bawah 2

tahun merupakan masalah yang perlu ditanggulangi secara serius. Umur 6–11 bulan merupakan masa yang amat penting, sekaligus masa kritis dalam proses tumbuh kembang bayi, baik fisik maupun mental psikologis (kecerdasan). Oleh karena itu, setiap bayi pada masa ini harus memperoleh asupan zat gizi sesuai dengan kebutuhannya. Hasil sejumlah survei menunjukkan, bahwa salah satu penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia di bawah dua tahun di Indonesia adalah rendahnya mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi mikro, terutama zat besi (Fe) dan seng (Zn) (Depkes RI, 2003).

Prevalensi gizi kurang (Johari, dkk, 2000) untuk golongan umur 0–59 bulan, secara nasional menurun 36,2 % tahun 1989 menjadi 29,8 %, di tahun 1995 menurun 1,0 % pertahun dan turun lagi 29,8 % tahun 1995, menjadi 28,3 % tahun 1998. Data Susenas 2004 untuk golongan umur 0–59 bulan menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 % dan gizi buruk 6,3 % (Gizi.net, 2006).

Page 25: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

25

Rekomendasi WHO/UNICEF sejalan dengan rencana pembangunan jangkapanjang dan menengah nasional (RPJPMN) bidang kesehatan, antara lain memberi prioritas kepada perbaikan kesehatan dan gizi bayi dan anak. Seluruh perbaikan gizi yang dilakukan diharapkan dapat menurunkanmasalah gizi kurang 27,3 % tahun 2003 menjadi 20 % pada tahun 2009, dan masalah gizi buruk dari 8,0 % tahun 2003 menjadi 5 % pada tahun 2009 (Depkes RI, 2006).

Untuk mencapai target di atas, dilakukan sejumlah kegiatan yang bertumpu kepada perubahan perilaku, melalui upaya mewujudkan keluarga sadar gizi (Kadarzi). Di dalam upaya penerapan perilaku keluarga sadar gizi, keluarga didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi, sejak lahir sampai berusia 6 bulan; memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada kelompok umur 6– 24 bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu relatif tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah menimbulkan keterbatasan ketersediaan pangan di rumah tangga (kuantitas maupun kualitas), yang berlanjut kepada rendahnya jumlah dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak (Depkes RI, 2006).

Salah satu program pemerintah dalam rangka menanggulangi keadaan gizi kurang dan gizi buruk, adalah pemberian MP-ASI lokal kepada golongan batita, pada kelompok umur 6–24 bulan asal keluarga miskin. Program perbaikan gizi ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan mutu MP-ASI, yang selama ini telah dilaksanakan (Depkes RI, 2006).

Secara umum, terdapat dua jenis MP-ASI, yaitu MP-ASI olahan pabrik dan MP-ASI yang diolah di rumah tangga, yang selanjutnyadisebut MP-ASI lokal. Mengingat pentingnya aspek sosial budaya dan aspek pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pemberian MP-ASI, maka MP-ASI yang akan diberikan pada tahun 2006, yaitu MP-ASI lokal atau disebut juga “MP-ASI dapur ibu” (Depkes RI, 2006).

Bahan yang dipilih untuk membuat makanan sapihan, sebaiknya mudah didapat (banyak tersedia di kebun keluarga atau di pasar terdekat), harganya murah, paling sering dimakan (merupakan bagian dari apa yang dimakan oleh anggota keluarga yang

lebih besar dan dewasa), dan sebaiknya diramu dengan resep lokal (Arisman, 2004).

Pemberian MP-ASI lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain ibu lebih memahami dan lebih terampil dalam membuat MP-ASI dengan bahan pangan lokal, sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai sosial budaya setempat.

Berdasarkan pada faktor-faktor di atas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti tentang bagaimana daya terima anak terhadap MP-ASI lokal.

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah quasi eksperimen dengan rancangan penelitian post test only design.

B. Waktu dan Tempat Penelitian1. Waktu Penelitian

Dilakukan pada bulan Juni-Juli 2007.2. Tempat Penelitian

Dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Cempe Kota Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Populasi dan Sampel1. Populasi

Semua anak balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cempae, Kota Parepare

2. SampelAnak balita umur 6–24 bulan pada keluarga miskin yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cempae Kota Parepare

D. Jenis dan Cara Pengambilan Data1. Data Primer

Daya terima diperoleh dengan cara memberikan formula MP-ASI lokal pada bayi dan anak selama 3 kali; selanjutnya mengidentifikasi proporsi yang dihabiskan dengan cara menimbang porsi saji makanan yang tidak dihabiskan.

2. Data SekunderData sekunder diperoleh dari

hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Cempae, Kota Parepare. Data sekunder ini lebih berkaitan dengan kelompok data Demografis dan Geografis wilayah kecamatan Soreang, lebih khusus lagi wilayah kerja Puskesmas Cempae.

Page 26: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

26

E. Cara Membuat Formula1. Alat yang digunakan

Timbangan, pisau, parutan, panci, sendok makan, sendok teh, baskom, dan piring.

2. Formula Tempea. Formula Tempe I untuk

Kelompok umur 6 – 12 bulanBahan : 30 gr tempe (1 ptg kcl), 10 gr terigu/tepung beras (1 sdm), 10 gr gula pasir (1 sdm), 5 gr minyak goreng (½ sdm), ½ sdt garam; air secukupnya.Caranya : Siapkan masing-masing bahan sesuai jumlahnya; Tempe dipotong-potong, kemudian direbus 10 menit lalu dihaluskan; Semua bahan dicampur, tambahkan satu gelas belimbing air, aduk menjadi satu; Kemudian dimasak di atas api kecil sambil diaduk-aduk selama kira-kira 5-10 menit.

b. Formula Tempe II untuk Kelompok Umur 6 – 12 bulanBahan : 30 gr tempe (1 ptg kcl), 10 gr terigu/tepung beras (1 sdm), 10 gr gula pasir (1 sdm), 5 gr minyak goreng (½ sdm), ½ sdt garam; air secukupnya.Caranya : Rebus tempe selama 10–15 menit, tiriskan dan haluskan; Gula halus dan tepung terigu diayak, kemudian campur dengan tempe yang sudah dihaluskan, garam, minyak, aduk rata sehingga menjadi adonan yang kompak; Ratakan dalam loyang tipis, kemudian panggang dalam oven selama 15 menit; Keluarkan dari oven, lalu potong kecil-kecil. Keringkan; Setelah kering, digiling menjadi bubuk yang halus.

3. Formula Jagunga. Formula Jagung Segar Ikan

Giling I untuk batita 13 – 24 bulanBahan : 75 gr jagung segar (1 bh sdg); 10 gr terigu/tepung beras (1 sdm); 15 gr daging ikan (½ ekor kcl); 15 gr daun sawi (½ ikat kcl); 10 gr gula pasir (1 sdm); 1 gr garam (½ sdt); Air secukupnya.

Caranya : Jagung segar diparut lalu ditimbang; Ikan dibersihkan dan dilumuri jeruk nipis kemudian direbus dengan setengah gelas air hingga matang ambil Dagingnya lalu haluskan; Daun sawi diiris halus; Campur semua bahan, tambahkan air masak di atas api sedang hingga matang; Haluskan/disaring.

b. Formula Jagung Segar Ikan Giling II untuk batita 13 – 24 bulanBahan : 75 gr jagung segar (1 bh sdg); 10 gr terigu/tepung beras (1 sdm); 15 gr daging ikan ( ½ ekor kcl); 15 gr daun sawi (½ ikat kcl); 10 gr gula pasir (1 sdm ); 1 gr garam (½ sdt);Caranya : Jagung segar diparut lalu ditimbang; Ikan dibersihkan dan dilumuri jeruk nipis kemudian direbus dengan setengah gelas air hingga matang ambil dagingnya lalu haluskan; daun sawi diiris halus; campur semua bahan, bentuk bola-bola lalu kukus sampai matang; hidangkan.

F. Pengolahan dan Analisis DataCara pengolahan dilakukan

dengan merekap semua nilai sesuai dengan kategori, selanjutnya total nilai tersebut dibagi dengan jumlah sampel sehingga mendapatkan rata-rata untuk mengetahui jenis formula yang diterima. Adapun kategori daya terima MP-ASI yaitu :1. Baik : > 75% porsi habis;2. Sedang : 50 – 75% porsi habis;3. Kurang : < 50% porsi habis.

HASIL DAN PEBAHASANA. Formula Tempe

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dikenal dengan berbagai istilah yaitu makanan pelengkap, makanan tambahan, makanan padat, makanan sapihan (weaning food), makanan peralihan.

Pemberian makanan padat sebaiknya selalu dimulai dengan jumlah sedikit dan encer, kemudian semakin lama semakin banyak dan kental;

Page 27: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

27

Hindarkan upaya memperkenalkan beberapa makanan sekaligus dalam waktu yang relatif pendek (1-2 minggu); sebaiknya satu persatu sampai bayi benar-benar dapat menerima dan menyukainya; serta tidak memberikannya dengan paksaan, oleh karena hal itu dapat mengakibatkan gangguan nafsu makan. Selain itu, dianjurkan untuk tidak diencerkan dan diberikan menggunakan botol, namun dengan memakai sendok kecil atau sendok teh. Hal ini dimaksudkan agar bayi dapat mengenal rasa dan tekstur makanan yang diberikan (Sayogo, 1996).

Produsen formula bayi dan bubur susu menganjurkan porsi yang terlalu besar untuk anak, hingga jumlah tersebut tidak dapat dihabiskannya. Berikan porsi yang lebih kecil supaya anak merasa tenang. Anak akan minta lebih banyak jika rasa laparnya belum hilang.

Nafsu makan tidak saja dipengaruhi oleh rasa lapar, melainkan pula oleh emosi. Kesukaran pemberian makanan sudah mulai disadari, jika anak merasa kenyang, akan tetapi dipaksa untuk menghabiskan porsinya (Pudjiadi, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap proporsi asupan formula tempe menunjukkan, bahwa pada formula tempe II lebih baik, yang ditunjukkan oleh temuan, bahwa sebanyak 20 orang (66,7 %) selama proses pengujian telah menghabiskan makanannya, yang apabila dibandingkan dengan hasil pengujian atas formula tempe I, yang hanya menemukan 3 orang (10,0 %) yang telah menghabiskan makanan formula yang disajikan (Tabel 1 dan Tabel 2). Berdasarkan uji Mann-Whitneydengan p = 0,05 diperoleh data (p = 0,00 < p = 0,05) memberi makna, bahwa Ho ditolak atau Ha diterima, atau dengan kata lain, bahwa terdapat perbedaan tingkat daya terima formula tempe I dengan formula tempe II (Tabel 5).

Hal ini memberi informasi, bahwa pertama, tingkat penerimaan makanan pada setiap anak itu mempunyai keragaman kondisi. Penerimaanmakanan dipengaruhi oleh sejumlah faktor-faktor, di antaranya rasa, aroma,

bentuk, jadwal pemberian, cara pemberian. Perihal serupa itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Pudjiadi (2000), bahwa pemberian makanan pada bayi harus bervariasi, baik dalam bentuk maupun rasanya. Bayi yang terbiasa dengan berbagai macam makanan, jika bertambah umurnya jarang menolak makanan yang baru, apabila diberikan kepadanya.

Jumlah protein dan energi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang normal tergantung pada kualitas zat gizi yang dimakan, seperti tingkat kemudah zat tersebut dicerna (digestibility), diserap (absorbability), kelengkapan asam amino esensial dan faktor-faktor lain, seperti umur, berat badan, aktifitas individu, suhu lingkungan, dan sebagainya.

B. Formula JagungSelama tahun kedua kehidupan

anak, pemasukan kalori per kilogram berat badan, secara berangsur-angsur akan berkurang, sebagai akibat penurunan kecepatan pertumbuhan yang berjalan dengan tetap; di samping itu, pada seorang anak sering ditemukan mengalami masa -masa khas, yang sifatnya hanya sementara (temporer); misalnya, ia tidak berminat terhadap suatu jenis makanan tertentu.

Pemberian makanan selama tahun kedua kehidupan anak dapat diperkenalkan sejumlah pilihan yang cukup luas atas makanan yang diinginkannya, tanpa harus menimbulkan kecemasan, asalkan prestasi makannya dalam masa yang lebih lama tetap dapat tercukupi.

Berdasar pada hasil penelitian terhadap proporsi asupan formula jagung menunjukkan, bahwa formula jagung segar II lebih baik, yang ditunjukkan oleh temuan, bahwa terdapat 18 orang (60,0 %) yang menghabiskan makanannya, dibanding jumlah sampel yang menghabiskan makanan formula jagung I (Tabel 03 dan Tabel 04). Berdasar uji statistik Mann-Whitney dengan p = 0,05 diperoleh data (p= 0,000 < p = 0,05) memberi makna, bahwa Ho ditolak atau Ha diterima, dengan kata lain, bahwa terdapat perbedaan tingkat daya terima formula jagung segar

Page 28: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

28

ikan giling I dengan formula jagung segar ikan giling II (Tabel 6).

Hal ini menunjukkan, bahwa tingkat penerimaan kelompok sampel umur 13-24 bulan terhadap formula memiliki keragaman, yang berpeluang disebabkan adanya kondisi anggota-anggota kelompok sampel umur tersebut, yang beragam pula. Salah satu faktor yang dicermati peneliti adalah karena adanya penggunaan bahan yang belum terlalu dikenal oleh indra pengecep si anak sebagai sampel dalam penelitian ini. Oleh karena, telah diketahui, bahwa upaya memperkenalkan suatu makanan pada anak, tidak cukup dalam jangka waktu yang pendek (Sayogo, 1996); sebaliknya memerlukan waktu yang relatif panjang, melalui proses yang berulang-ulang, sampai pada kondisi anak dapat menerimanya.

Pudjiadi (2000) menyatakan, bahwa kebutuhan nutrient (zat gizi) setiap anak berbeda untuk pertumbuhan dan aktifitasnya, walaupun umur dan berat badannya sama.

Nelson (1988) menyatakan, bahwa kebutuhan makanan persatuan berat badan, secara tetap terus menurun, sejalan dengan bertambahnya usia, namun pada setiap saat kebutuhan akan kalori maupun protein, vitamin dan mineral, secara relatif lebih besar, jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Sayogo (1996) menyatakan, bahwa selama tahun kedua kehidupan anak, perkembangan kebiasaan makan dapat dipengaruhi oleh anak-anak yang lebih besar, yang berada bersama dalam keluarga itu, terutama sekali dalam kaitannya dengan kegemaran dan ketidaksukaan akan bahan makanan tertentu. Pola serta kebiasaan makan yang berkembang dalam 2 tahun pertama kehidupan, besar kemungkinannya akan bertahan selama beberapa tahun.

Susunan makanan dasar setiap hari pada anak usia batita harus berimbang, yang cukup bermuatan zat-zat gizi makro dan mikro, sehingga zat-zat gizi yang dibutuhkan anak pada usia ini dapat terpenuhi.

Pemberian makanan anak yang berhasil dengan baik memerlukan fungsi

koordinatif yang terjalin dengan harmonis antara ibu dan anak, yang seharusnya sudah dimulai sejak pengalaman mendapatkan makan untuk yang pertama kali, yang akan berlanjut terus selama ketergantungan anak yang bersangkutan.

Seorang ibu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam hal pemilihan bahan, pengolahan, cara pemberian, jadwal pemberian, dan frekuensi pemberian MP-ASI lokal.

KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan

1. Formula tempe II lebih banyak diterima pada bayi umur 6–12 bulan sebagai MP-ASI lokal dibanding formula tempe I;

2. Formula jagung segar II lebih banyak diterima pada anak umur 13–24 bulan sebagai MP-ASI lokal dibanding formula jagung segar I;

3. Berdasarkan uji statistik atas nilai rata-rata tingkat daya terima kedua formula MP-ASI lokal pada kedua kelompok umur sampel masing-masing, ternyata formula tempe II maupun formula jagung II, menempati kondisi lebih baik/lebih diterima.

B. SaranDinilai tepat, apabila penelitian selanjutnya atas topik serupa ini melengkapi tujuannya dengan pelaksanaan analisis zat gizi per satuan saji asal formula tempe dan formula jagung segar.

DAFTAR PUSTAKA

Arisman, MB. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta. EGC.

Depkes RI. 2003. Spesifikasi dan Pedoman Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Instant Untuk Bayi Umur 6 – 11 Bulan. Jakarta. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Pudjiadi Solihin, 2005. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi Keempat. Jakarta. FKUI.

Sayogo Savitri, 1996. Makanan Pendamping Air Susu Ibu. Dalam Majalah Kesehatan Masyarakat. Jakarta. IAKMI.

Page 29: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

29

Lampiran :

Tabel 01.Sebaran Jumlah Anggota Sampel

Kelompok Umur 6-12 Bulan Menurut Tingkat Daya Terima Atas Formula

Tempe I

Tingkat Daya Terima n %

BaikSedangKurang

31116

10,036,753,3

Total 30 100,0Sumber : Data Primer

Tabel 02.Sebaran Jumlah Anggota Sampel

Kelompok Umur 6-12 Bulan Menurut Tingkat Daya Terima Atas Formula

Tempe II

Tingkat Daya Terima n %

BaikSedangKurang

2064

66,720,013,3

Total 30 100,0Sumber : Data Primer

Tabel 03.Sebaran Jumlah Anggota Sampel

Kelompok Umur 13-24 Bulan Menurut Tingkat Daya Terima Atas Formula

Jagung Ikan Giling I

Tingkat Daya Terima n %

BaikSedangKurang

8148

26,746,726,7

Total 30 100,0Sumber : Data Primer

Tabel 04.Sebaran Jumlah Sampel Kelompok Umur

13-24 Bulan Menurut Tingkat Daya Terima Atas Formula Jagung Ikan

Giling II

Tingkat Daya Terima n %

BaikSedangKurang

1875

60,023,316,7

Total 30 100,0Sumber : Data Primer

Tabel 05.Rincian Hasil Uji Mann-Whitney

Mann-Whitney Z Asymp.

SigRata-rata daya terima formula tempe

143,500 -4,536 0,000

p = 0,05

Tabel 06.Rincian Hasil Uji Mann-Whitney

Mann-Whitney Z Asymp.

SigRata-rata daya terima formula jagung segar ikan giling

334,000 -3,717 0,000

p = 0,05

Page 30: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

30

STUDI TENTANG GAMBARAN HIDUP SEHAT ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR

TAHUN 2006Chaeruddin Hasan1

1Program Studi Keperawatan, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Sasaran pertama pembangunan kesehatan antara lain meningkatkan kualitas manusia dan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa. Untuk itu diperlukan pembinaan dan peningkatan taraf hidup dan kesehatan anak dalam mendukung proses tumbuh kembang anak secara optimal.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui gambaran hidup sehat anak jalanan di Kota Makassar Tahun 2006.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai gambaran hidup sehat anak jalanan. Penarikan sampel dilakukan secara exhautif sampling. Sehingga diperoleh sampel sebanyak 130 orang. Pengumpulan data dengan cara kunjungan langsung ke lokasi penelitian dengan cara wawancara langsung dengan responden (anak jalanan) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah tersedia. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak jalanan yang memiliki motivasi hidup sehat cukup sebanyak 93 responden (71,5%) dan yang kurang sebanyak 37 responden (28,5%). Anak jalanan yang memiliki kebersihan perorangan cukup sebanyak 57 responden (43,8%) dan yang kurang sebanyak 73 responden (56,2%). Anak jalanan yang memiliki tindakan pencegahan penyakit cukup sebanyak 61 orang (46,9%) dan yang kurang sebanyak 69 orang (53,1%).

Dari hasil penelitian ini disarankan agar perlu diterapkan program pelayanan bimbingan dan konseling serta mencari mitra kerjasama dengan pengusaha/perusahaan yang menampung anak jalanan sebagai tenaga kerja paska pembinaan.

PENDAHULUANParadigma sehat merupakan salah

satu konsep pembangunan nasional berwawasan kesehatan. Paradigma sehat tidak akan terwujud dan hanya akan menjadi slogan semata, tanpa dibarengi dengan tindakan yang nyata secara konsisten dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat dan partisipasi aktif lintas sektor.(Depkes RI, 1999).

Sasaran pertama pembangunan kesehatan anatar lain meningkatkan kualitas manusia dan mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sasaran yang terpenting adalah anak. Mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa, untuk itu diperlukan pembinaan dan peningkatan taraf hidup dan kesehatan anak dalam mendukung proses tumbuh anak secara optimal (Depkes RI, 2001).

Berdasarkan paradigma Sehat 2010 terdapat tiga pilar yang menjadi prioritas

adalah aspek lingkungan, perilaku sehat serta pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata sebagai indikator pembangunan kesehatan. Khususnya untuk perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk meningkatkan derajat kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan ( Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2006 ).

Perilaku hidup sehat tidak dapat dilepaskan pada diri individu dan masyarakat sehingga diharapkan memiliki pengetahuan tentang hidup sehat yang benar serta tercermin pada nilai-nilai kesehatan. Untuk mencerminkan nilai-nilai kesehatan diharapkan kepada individu dan masyarakat memiliki tingkat pengetahuan, motivasi, keinginan, persepsi yang semuanya didasarkan atas pengalaman, keyakinan, social, ekonomi, budaya dan adapt istiadat. Bentuk perilaku masyarakat terhadap hidup

Page 31: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

31

sehat guna meningkatkan derajat kesehatan meliputi pemeliharaan kebersihan diri dan pencegahan penyakit dalam rangka meningkatkan daya tahan tubuh. Sehingga hidup sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat menjadi perilaku sehat (Dinkes Prov Sulsesl, 2006).

Permasalahan anak jalanan di Indonesia sejak lama menjadi masalah dengan skala besar dan kompleksitas. Keberadaan mereka juga luas tersebar di semua wilayah serta berada di kota maupun pedesaan. Menurut Bada Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun kebawah sebanyak 70.362.983 jiwa (34%) dari jumlah keseluruahan anak jalanan yang ada di Indonesia sebanyak 3.488.309 jiwa (Dinas Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, 2005).

Jumlah anak jalanan dari hari ke hari semakin bertambah. Alasan yang kerap terdengar, karena kondisi ekonomi yang semakin sulit dengan semakin jarangnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Berdasarkan hasil survey dan pemetaan anak jalanan yang dilaksanakan di Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya bekerja sama dengan Departemen Sosial RI Jakarta, pada tahun 1999 di 12 Provinsi termasuk Sulawesi Selatan, di Kota Makassar ditemukan 4.026 anak tersebar pada 57 lokasi yang dikonsentrasikan pada anak jalanan. Kemudian, pada tahun 2000, jumlah anak jalanan di Makassar bertambah menjadi 6.000 anak jalanan (www.kompas.com.2002).

Dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat pada perilaku konsep sehat yang dikonsentrasikan pada anak jalanan. Dengan melihat banyaknya penilaian dan gambaran kualitas perilaku konsep sehat. Maka dalam penelitian ini, peneliti hanya ingin melihat gambaran hidup sehat pada anak jalanan yaitu motivasi hidup sehat, kebersihan perorangan dan tindakan pencegahan penyakit.

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran

mengenai hidup sehat pada anak jalanan di Kota Makassar.

B. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilakukan di Kota

Makassar Tahun 2006.C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Populasi adalah semua anak

jalanan yang ada di Kota Makassar dan terdaftar pada Dinas Sosial Kota Makassar yang berjumlah 130 orang.

2. SampelSampel adalah semua anak

jalanan yang berusia 6 tahun sampai 18 tahun yang terdaftar di Dinas Sosial Di Kota Makassar Tahun 2005, yang berjumlah 130 orang. Teknik pengambilan sampel dengan cara exhaustive sampling, semua populasi merangkap sebagai sample penelitian.

D. Cara Pengumpulan Data1. Data Primer

Data primer diperolah dengan cara kunjungan ke lokasi penelitian dengan cara wawancara langsung dengan responden (anak jalanan) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah tersedia. Sehingga diperoleh jawaban dari masing-masing responden yang selanjutnya akan diskoring sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

2. Data SekunderData sekunder diperoleh dari

instansi terkait dan literatur-literatur.E. Pengelolaan dan Penyajian Data

Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan computer dengan program SPSS. Penyajian data dilakukan dalam bentuk distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Karakteristik Responden

Anak adalah amanah. Islam mengajarkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga Negara. Dalam kenyataannya, kita melihat banyak anak yang tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga mereka harus hidup di jalanan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 1 orang (0,8%) usia 6

Page 32: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

32

tahun, usia 7-12 tahun sebanyak 38 orang (29,2%), usia 7-12 tahun merupakan usia Sekolah Dasar atau sederajat. Usia 13-15 tahun sebanyak 65 orang (50.0%), usia 13-15 tahun merupakan usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat. Usia 16-18 tahun sebanyak 26 orang (20.0%), usia ini merupakan Sekolah Menengah Umum (SMA) atau sederajat (Tabel 1). Pada usia 7-18 tahun merupakan usia sekolah, bukan turun ke jalan mengais rejeki sebagai pengemis, mengamen, meminta-minta, berjualan koran dan aktivitas lainnya, mereka melakukan untuk membantu membiayai sekolah mereka dan membantu keperluan rumah tangga, tetapi karena faktor ekonomi yang membuat mereka menjadi anak jalanan.

Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah anak jalanan. Pada tahun 1998, menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400% (Kompas, 4/12/98). Tahun 2003, International Programme on the Elimination of Child Labour –International Labour Organization (IPEC-ILO), memprediksi jumlah pekerja anak Indonesia yang berusia di bawah 15 tahun mencapai 6-8 juta jiwa (Nani, 2006).

Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia anak jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi.

Kesulitan pemerintah Indonesia menghadapi sejumlah persoalan krisis menyebabkan kurangnya perhatian terhadap institusi keluarga dan anak-anak. Bahkan masyarakat dan keluargapun ikut melupakan anak-anaknya, karena terbelit oleh kesulitan hidup keluarga yang belum dapat diatasi. Keadaan krisis ini diberitakan meningkatnya jumlah orang miskin hingga mencapai 80 juta orang di

Indonesia. Semakin banyak jumlah anak usia Sekolah Dasar yang terlihat baik di jalanan atau di pasar tradisional pada waktu sekolah menunjukkan bahwa mereka tidak menghadiri sekolah lagi. Mereka ada yang berlaku sebagai pengamen, pengemis dan tenaga kasar di pasar (Ad’dien, M, dkk, 2002).

Krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka tidak bersekolah lagi karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Anak-anak jalanan ini terpaksa harus kerja di pinggir jalan, mengais rejeki tiap hari agar bisa bertahan, membiayai sekolahnya maupun membantu uang belanja ibunya, kalau nasib baik mereka dapat tetap bersekolah, jikalau tidak maka mereka terpaksa putus sekolah. Meminta dengan cara memelas dan memakai baju compang-camping sehingga orang iba melihatnya.

Hasil penelitian menunjukkan 54 responden (41,5%) yang tidak pernah menginjak bangku sekolah, dan 58 responden (44,6%) yang hanya mampu membiayai sekolah sampai Sekolah Dasar dan hanya 4 responden (3,1%) yang bisa sekolah sampai SMU (Tabel 3). Alasan kenapa mereka tidak sekolah karena mereka membantu orang tua mencari reski sehingga mereka lupa akan pentingnya pendidikan, sedangkan mereka yang sekolah sampai ketingkat Sekolah Menengah Umum karena mereka sendiri yang membiayai sekolah mereka.

Salah satu masalah dari meningkatnya jumlah anak jalanan adalah bahwa diantara mereka tidak sedikit anak perempuan. Mereka berumur antara 4 tahun sampai dengan 18 tahun, berada di jalanan untuk hidup bebas, lari dari keluarga/rumah atau untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung, pengasong, dan lain-lain (www.rahima, 2006). Ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 130

Page 33: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

33

responden, ada 41 anak jalanan perempuan (31,5%).

Dari hasil penelitian bahwa (Tabel 2) jumlah laki-laki sebanyak 89 responden (68,5%) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan sebanyak 41 responden (31,5%). Hal ini di dukung oleh penelitian Nur Rochaeti, dengan hasil pengumpulan jumlah anak jalanan sebanyak 379 responden yang terdiri dari laki-laki sebanyak 272 responden (71,8%) dan perempuan sebanyak 107 responden (28,2%).

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Departemen Sosial, Universitas Atmajaya Jakarta, SET Production (sebuah rumah produksi) dan ADB (Bank Pembangunan Asia) pada tahun 2000 menunjukkan bahwa sebagian besar (41,9%) anak perempuan turun ke jalanan untuk membantu menambah pendapatan orang tua baik atas kesadaran sendiri maupun disuruh orang tua. Hidup dijalanan bagi anak perempuan adalah sebuah “pilihan terakhir” yang penuh resiko.

B. Konsep Sehat berdasarkan aspek motivasi hidup sehat anak jalanan di Kota Makassar

Tabel 4 menunjukkan bahwa motivasi hidup sehat anak jalanan di kota Makassar tahun 2006 dalam kategori cukup sebanyak 93 responden (71,5%) dan kategori kurang sebanyak 37 responden (28,5%).

Ini terlihat dari kebiasaan mereka dimana ada 108 anak jalanan (83,1%) makan tidak teratur, dan ada 79 responden (60,8%) yang tidak olah raga setiap hari. Namun demikian, mereka mempunyai keinginan yang besar untuk hidup sehat karena menurut mereka sehat itu perlu dengan persentase (94,6%). Tetapi yang menjadi kendala bagi mereka adalah untuk hidup sehat menurut mereka itu memerlukan biaya yang besar. Hal ini diungkapkan oleh 71 responden (54,6%).

Kemiskinan dan krisis ekonomi berkolerasi positif terhadap peningkatan angka pekerja anak. Hal ini tidak hanya terjadi diwilayah perkotaan atau daerah urban industri tetapi juga terjadi didaerah perkebunan dan pertanian saat ini.

Dengan meningkatnya harga kebutuhan pangan, kesehatan dan biaya hidup mengakibatkan kondisi pekerja anak semakin terpuruk sehingga mengalami kondisi kemiskinan berganda. Hal ini didukung oleh penelitian Seto Mulyadi (2002) tentang nasib jutaan anak negeri ini. Misalnya, masih segar dalam ingatan laporan tentang anak-anak yangkekurangan gizi di NTT serta beberapa daerah lainnya, bahkan di Provinsi Banten yang dekat dengan Jakarta sekalipun. Data Komnas Anak menunjukkan, selama tahun 2005 terdapat 744.698 anak menderita malnutrisi, diantaranya 55,92% anak kurang gizi, 42,77% menderita gizi buruk dan 1,3% menderita busung lapar.

C. Konsep sehat berdasarkan aspek kebersihan perorangan anak jalanan di Kota Makassar

Tabel 5 menunjukkan bahwa kebersihan perorangan jalanan di Kota Makassar tahun 2006 dalam kategori cukup sebanyak 57 responden (43,8%) da kategori kurang sebanyak 73 responden (56,2%).

Ini terlihat dari kebiasaan anak jalanan sebelum makan, dimana berdasarkan kebiasaan 96 anak jalanan (73,8%) mereka tidak mencuci tangan sebelum makan. Hal ini didukung oleh hasil observasi, dimana berdasarkan hasil observasi keadaan tangan tidak bersih sebanyak 111 responden (85,4%). Kebersihan perorangan yang kurang juga terlihat dari kebiasaan anak jalanan yang tidak memotong kuku bila sudah panjang, berdasarkan wawancara yang dilakukan ternyata ada 91 anak jalanan yang tidak rutin memotong kuku bila sudah panjang. Hal ini didukung oleh hasil observasi keadaan kuku yang tidak bersih sebanyak 102 responden (78,5%). Kebersihan perorangan yang kurang juga terlihat pada kebiasaan mengganti pakaian 2 kali dalam sehari, berdasarkan wawancara yang tidak mengganti pakaian dalam sehari sebanyak 79 orang (60,8%). Hal ini juga didukung oleh hasil observasi kondidi pakaian yang tidak bersih sebanyak 121 responden (93,1%). Ini disebabkan karena mereka sengaja

Page 34: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

34

mengotori pakaian mereka sehingga orang merasa kasian kepada mereka.

Ada beberapa hal yang harus diketahui oleh seseorang dan masyarakat pada umumnya tentang kebersihan diri dan kesehatan lingkungan, salah satunya adalah semua anggota keluarga, termasuk anak-anak, harus mencuci tangan dengan sabun dan air sesudah buang air besar, sebelum menyentuh makanan dan sebelum memberikan makanan kepada anak. Selain itu yang harus dilakukan juga adalah :1. Kotoran manusia/ tinja harus dibuang

ke jamban.2. Semua anggota keluarga, termasuk

anak-anak harus mencuci tangan dengan sabun dan air sesudah buang air besar, sebelum menyentuh makanan dan sebelum memberi makanan kepada anak.

3. Jendela rumah harus dibuka setiap pagi sehingga pertukaran udara didalam rumah menjadi baik.

4. Pakailah air bersih dari sumber air bersih yang aman dan sehat. Tempat air harus ditutup agar air tetap bersih dan dikuras 1 kali seminggu.

5. Air untuk minum harus dimasak sampai mendidih. Buah dan sayuran harus dicuci sampai bersih sebelum diolah. Makanan yang sudah dimasak harus segera dimakan atau dipanaskan sesudah disimpan.

6. Makanan, alat-alat makan dan peralatan memasak harus selalu dalam keadaan bersih. Makanan harus disimpan di tempat yang tertutup.

7. Rumah harus mempunyai tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah yang aman dan sehat untuk membantu dalam pencegahan penyakit.

8. Asap dari dapur di rumah harus dapat keluar dengan baik dan hindari kebiasaan ibu membawa anak ketika memasak di dapur.

9. Rumah harus dilindungi dari serangga dan binatang penular penyakit seperti : kecoa, nyamuk dan tikus.

D. Konsep sehat berdasarkan aspek tindakan pencegahan penyakit anak jalanan di Kota Makassar

Tabel 6 menunjukkan bahwa tindakan pencegahan penyakit anak jalanan di Kota Makassar Tahun 2006 dalam kategori cukup sebanyak 61 responden (46,9%) dan kategori kurang sebanyak 69 responden (53,1%).

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden anak jalanan di Kota Makassar jika menderita sakit, maka ia berobat ke pelayanan kesehatan, ke dukun, beli obat sendiri, dan banyak pula yang bermasa bodoh tanpa usaha sama sekali. Sangat kurang diantara mereka berobat ke pelayanan kesehatan sebanyak 24 responden (18,5%). Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila ada anak jalanan yang sakit, maka upaya yang dilakukan untuk mendapatkan pertolongan hanya mengobati diri sendiri dengan obat modern sebanyak 56 responden (43,1%), mengobati diri sendiri dengan obat tradisional sebanyak 18 responden (13,8%) dan bahkan ada pula yang ke dukun sebanyak 12 responden (9,2%). Hal itu masih jauh lebih baik karena masih ada usaha, akan tetapi yang paling sulit diterima oleh akal sehat adalah membiarkan anak tersebut sakit tanpa ada upaya untuk menolong mereka sebanyak 20 responden (15,4%). Dengan kata lain bahwa keterpurukan ekonomi keluarga menjadikan mereka tidak mampu untuk mengantarkan anak-anaknya ke rumah sakit atau ke dokter praktek serta pelayanan kesehatan yang lain bila ia sedang sakit, sekalipun hal itu dipahami oleh orang tua akan pentingnya menjaga kesehatan.

Seperti yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung adalah masalah remaja dari kelompok anak jalanan yang populasinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sikap dan tingkah laku mereka cenderung melanggar norma-norma agama, adat istiadat, budaya, hukum dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Secara terselubung, diinformasikan mereka melakukan hubungan seksual bebas, pengedar atau pengguna obat

Page 35: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

35

terlarang, berjudi, dan beberapa tindak kejahatan lainnya, bahkan ada yang menderita penyakit kelamin gonnorhoe. Hasil survey Dinas Kesehatan Kotamadya Bandung tahun 1999 menunjukkan bahwa kasus penyakit kelamin gonnorhoe dikalangan anak jalanan cukup tinggi, yaitu dari 120 anak jalanan yang di survey, 10% diantaranya menderita penyakit kelamin gonnorhoe(Ismail, 2006).

Ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya, hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit (Ad’dien, dkk, 2002).

KESIMPULAN1. Motivasi hidup sehat anak jalanan di Kota

Makassar tahun 2006 dalam kategori cukup sebanyak 93 responden (71,5%) dan kategori kurang sebanyak 37 responden (28,5%).

2. Kebersihan perorangan anak jalanan di Kota Makassar tahun 2006 dalam kategori cukup sebanyak 53 responden

(43,8%) dan kategori kurang sebanyak 73 responden (56,8%).

3. Tindakan pencegahan penyakit anak jalanan di Kota Makassar tahun 2007 dalam kategori cukup sebanyak 61 responden (46,9%) dan kategori kurang sebanyak 69 responden (53,1%).

DAFTAR PUSTAKA

Ad’dien. M, dkk, 2002. Mobilisasi Anak Jalanan, Pengemis dan Gelandangan Di Kota Makassar. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Bapeda Kota Makassar dengan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar, Makassar.

Departemen Kesehatan RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta.

Depkes RI, 2001. Arrif Pedoman Manajemen Peran Serta Masyarakat. Edisi 6, Jakarta.

Dinkes Kota MKS Provinnsi Sulsel, 2003. Profil Kesehatan Kota Makassar.

Nani Desig, 2006. Anak Jalanan. http//desigNani.com/2006/02/13/anakjalanan. Diakses 13 Februari 2006

Sugiono, 2004. Metode Penelitian Administrasi. Edisi 11, Alpabeta. Bandung.

Page 36: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

36

Lampiran :

Tabel 1Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok UmurAnak Jalanan

di Kota Makassar Tahun 2006

No Kelompok Umur(Tahun) n %

1.2.3.4.

6 Tahun7 – 12 Tahun13 – 15 Tahun16 – 18 Tahun

1386526

0,829,250,020,0

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Tabel 2Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Jalanan

di Kota Makassar Tahun 2006

No Jenis Kelamin n %

1.2.

Laki-LakiPerempuan

8941

68,531,5

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Tabel 3Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Anak Jalanan

di Kota Makassar Tahun 2006

No Pendidikan n %

1.2.3.4.

Tidak SekolahSD/SederajatSMP/SederajatSMA/Sederajat

5458144

41,544,610,83,1

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Tabel 4Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Hidup Sehat Anak Jalanan di Kota

Makassar Tahun 2006

No Motivasi Hidup Sehat n %

1.2.

CukupKurang

9337

71,528,5

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Page 37: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

37

Tabel 5Distribusi Responden Berdasarkan Kebersihan Anak Jalanan

di Kota Makassar Tahun 2006

No Kebersihan Perorangan n %

1.2.

CukupKurang

5773

43,856,2

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Tabel 6Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan Anak Jalanan di Kota

Makassar Tahun 2006

No Tindakan PencegahanPenyakit n %

1.2.

CukupKurang

6169

46,553,5

Jumlah 130 100Sumber : Data Primer

Tabel 7Distribusi Responden Berdasarkan Observasi Anak Jalanan

di Kota Makassar Tahun 2006

Ya Tidak TotalNo Observasi

n % n % n %1.2.3.4.5.

Kondisi badan bersihKondisi gigi bersihKeadaan kuku bersihKeadaan pakaian bersihKondisi tangan bersih

384328919

29,233,121,56,914,6

9287102121111

70,866,978,593,185,4

130130130130130

100100100100100

Sumber : Data Primer

Page 38: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

38

ANALISA BIAYA SISA LAUK HEWANI DAN NABATI PADA MENU UTAMA PASIEN DI RUMAH SAKIT PT INCO SOROAKO

KECAMATAN NUHA KABUPATEN LUWU TIMUR

Mustamin1, Lydia Fanny11Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Pelayanan kesehatan berubah sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,untuk itu diselenggarakan usaha-usaha yang dapat meningkatkan mutu pelayanan bagi masyarakat.Rumah Sakit memiliki brbagai upaya guna pemulihan penderita yaitu: Upaya preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa biaa sisa lauk hewani dan nabati pada menu utama pasien di Rumah Sakit PT. INCO Soroako di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan dekskriptif.Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 sampel di Rumah Sakit PT.INCO Soroako di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur. Hasil penelitian terhadap jumlah rata-rata isa lauk hewani dan nabati sisa banyak >25% sebanyak 50 porsi (53,20%) dan sisa sedikit ≤ 25% sebanyak 44 porsi (46,80%). Jumlah rata-rata zat gizi per orang yang paling banyak terbuang adalah energi sebesar 196,96 kkal, protein sebesar 18,146 gram, lemak sebesar 13,33 gram dan jumlah rata-rata biaya per orang yang peling banyak terbuang adalah biaya untuk pengadaan bahan makanan hewani sebesar Rp 2964,75 dan bahan makanan nabati sebesar Rp.276.Bagi pihak institusi sebaiknya menyajikan makanan yang bervariasi sehingga pasien tidak bosan dan mudah menghafal jenis makanan yang disajikan, lebih memperhatikan penampilan makanan yang disajikan dan melakukan pendekatan kepada pasien yang tidak menghabiskan makanan yang disajikan oleh pihak rumah sakit.

PENDAHULUANPelayanan kesehatan berubah sejalan

dengan perkembangan ilrnu pengetahuan dan teknologi, untuk itu diselenggarakan usaha-usaha yang dapat meningkatkan mutu pelayanan bagi masyarakat. Rumah sakit memiliki berbagai upaya guna pemulihan penderita yang meliputi : Upaya preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif (Depkes, 2003).

Pengaturan makanan dan diit untuk penyembuhan penyakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan upaya perawatan untuk penyembuhan penyakit yang diderita. Penggunaan makanan untuk penyembuhan penyakit, bukanlah semata-mata sebagai alat penyembuh tetapi juga memberikan rasa kenyang, rasa puas dan nyaman serta rasa diperhatikan (Moehji, 1999).

Apabila seseorang dirawat di rumah sakit berarti memisattkan orang sakit dari kebiasaan hidupnya sehari-hari, baik

iingkungan atau dalam hal makanan, bukan saja macam makanan tetapi cara makanan dihidangkan, waktu makan, tempat makan dan sebagainya (Moehji, 1999).

Makanan sehat adalah makanan yang bersih, bebas dari bibit penyakit, cukup kualitas dan kuantitasnya (Entjang, 1993). Makanan tersebut diperlukan untuk kehidupan, karena dari makanan didapatkan energi (tenaga) yang diperlukan untuk melangsungkan berbagai faal tubuh. Pengolahan bahan makanan mempunyai tujuan agar tercipta makanan yang memenuhi syarat kesehatan, mempunyai cita rasa yang sesuai serta mempunyai bentuk yang merangsang selera makan (Azwar, 1996). Bila makanan yang disajikan sesuai kebutuhan, tetapi tidak dihabiskan apalagi berlangsung dalam waktu yang lama, akan menyebabkan pasien mengalami defisiensi zat-zat gizi (Moehji, 1999).

Makanan yang tidak dihabiskan merupakan sisa makanan yang akhirnya

Page 39: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

39

akan dibuang. Padahal untuk menyediakan makanan perlu biaya yang tidak sedikit sehingga dengan adanya sisa makanan tersebut berarti pula ada biaya yang terbuang.

Biaya makanan adalah biaya bahan-bahan yang dipakai untuk menghasilkan makanan yang diperlukan. Biaya untuk makanan mengambil bagian yang terbesar dari biaya pengolahan rumah sakit, sebanyak 20-40% dari belanja barang di rumah sakit adalah untuk bahan makanan. Dengan demikian, suatu sistem pelayanan kesehatan harus efektif dan serasi (Depkes, 2003).

METODE PENELITIANA. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan dekskriptif.

B. Waktu Dan Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan awal

Juni tahun 2006, tempat penelitian di rumah sakit PT. INCO Soroako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur dengan pertimbangan bahwa di rumah sakit tersebut belum pernah diadakan penelitian mengenai jumlah, zat gizi, dan biaya sisa lauk hewani dan nabati pasien.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit PT. INCO Sorowako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur.

2. SampelSampel adalah semua pasien rawat inap di rumah sakit PT. INCO Sorowako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur.

D. Cara Pengumpulan Data 1. Data sekunder

Data sekunder berupa profil mengenai Rumah Sakit PT. INCO Sorowako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur.

2. Data primera. Data karakteristik pasien (umur,

jenis kelamin, pendidikan, Was perawatan, dan diagnosa penyakit) didapat dari catatan medis pasien dengan menggunakan formulir.

b. Data jumlah sisa ]auk hewani dan nabati, diukur dengan menggunakan taksiran visual dengan skala Comstock 6 poin yang dikonversikan ke dalam berat (gram) setiap makan pagi, makan siang dan makan sore selama tiga hari berturut-turut sejak hari pertama dirawat, agar tidak terjadi kekeliruan, pada alat makan pasien diberi label yang berisi nomor identitas, pesan bahwa makanan tersebut hanya untuk pasien, jangan membuang sisa lauk hewani dan nabati kalau masih tersisa dan segera memberitahu petugas segera setelah makan, sebelumnya penunggu pasien diminta untuk ikut mengigatkan atau mengawasi pasien.

c. Zat gizi dari sisa lauk hewani dan nabati diperoleh melalui cara hasil taksiran visual Comstock yang dikonversikan kedalam berat (gram) kemudian dikalikan dengan zat gizi per porsi lauk hewani rumah sakit.

d. Data biaya sisa lauk hewani diperoleh dengan cara hasil taksiran visual Comstock kemudian dikalikan dengan harga per porsi standar lauk hewani rumah sakit.

e. Data gambaran umum instalsi gizi Rumah Sakit PT. INCO Soroako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur, diperoleh dari buku laporantahunan Instalasi Gi2i Rumah Sakit PT. INCO Soroawko Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur.

E. Pengolahan Dan Analisis DataData diolah dengan

menggunakan distribusi frekuensi dan sajian dalam bentuk tabel dan narasi.

F. Instrumen Penelitian1. Formulir untuk mendapatkan

karakteristik pasien (umur, jenis kelamin, pendidikan, kelas perawatan, dan diagnosa penyakit)

Page 40: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

40

2. Formulir skala Comstock 6 poin untuk menaksir sisa lauk hewani dan nabati pasien.

Skor dari skala Comstock 6 poin adalah sebagai berikut :0 : Jika tidak ada porsi lauk hewani

yang tersisa (100% dikonsumsi)1 : Jika tersisa ¼ porsi (hanya 75%

yang dikonsumsi)2 : Jika tersisa ½ porsi (hanya 50%

yang dikonsumsi)3 : Jika tersisa ¾ porsi (hanya 25%

yang dikonsumsi)4 : Jika tersisa hampir mendekati

utuh (hanya 5% yang dikonsumsi)

5 : Jika lauk hewani tidak dikonsumsi sama sekali (utuh)

3. Formuir untuk menganalisa zat gizi sisa lauk hewani dan nabati.

4. Formulir untuk menghitung biaya sisa lauk hewani dan nabati.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Gambaran Umum Dapur Gizi Rumah

Sakit PT. INCO Sorowako.Dapur gizi rumah sakit PT.

INCO Sorowako berbentuk dapur catering dengan jumlah karyawan (juru masak) 5 orang. Dapur gizi berada dibagian belakang, memiliki fasilitas gudang pelayanan bahan makanan (basah dan kering) dimana letak gudang penyimpanan terpisah dengan dapur, ruang ganti dan sholat untuk juru masak. Dapur gizi juga dilengkapi dengan alat-alat yang memadai (elemen dan oven listrik, mesin pencuci piring, tempat pemasakan air listrik), pengolahan dan penyajian yang memadai, kamar mandi dan WC serta wastafel yang dilengkapi dengan penyediaan air panas dan air dingin yang terletak dibagian dalam dapur.

Tempat pengolahan bahan makanan berlantai dan berdinding keramik, plavon tripleks, sirkulasi udara dan cerobong asap yang baik. Dapur gizi juga diliengkapi dengan peralatan safety dan pintu Emergency untuk menjaga setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.

B. Sistem Penyelenggaraan Makanan Di Rumah Sakit PT. INCO Sorowako.

Perencanaan menu pasien di rumah sakit PT. INCO Sorowako tidak berdasarkan siklus menu melainkan menu disesuaikan dengan juru masak dan diusahakan agar menu yang disajikan tidak sama. Pembagian waktu makan di rumah sakit PT. INCO 3 x sehari (pagi pukul 05.00, siang pukul 11.00, sore pukul 17.00), ditambah dengan 2 kali snack (pukul 09.00 dan 14.00). Adapun pembelian bahan makanan (basah dan kering) dilakukan secara kontrak dengan rekanan belanja (perusahaan penyediaan makanan) yang telah ditentukan oleh pihak rumah sakit dengan penentuan bajet pembelian bahan makanan dalam sebulan. Besar bajet yang diberikan oleh pihak rumah sakit adalah U$ 66. 000 yang diserahkan pada bagian gizi untuk dikelolah dengan baik sehingga mencukupi kebutuhan penyelenggaraan makanan dalam waktu sebulan. Penerimaan bahan makanan terutama bahan makanan basah (sayur-sayuran dan buah-buahan) tidak dilakukan penyortiran bahan makanan oleh petugas sedangkan untuk bahan makanan seperti ikan, ayam, daging telah dipaketkan oleh rekanan belanja. Untuk semua bahan makanan yang masuk dilakukan pengecekan oleh petugas apakah sesuai dengan jumlah orderan/pesanan. Pengorderan bahan makanan dilakukan setiap 3 hari sekali atau 2 kali dalam seminggu. Perencanaan dan evaluasi terhadap makanan yang disajikan kepada pasien dilakukan sebulan sekali untuk lebih meningkatkan pelayanan gizi yang diberikan kepada pasien.

Layanan penyajian makanan yang diberikan kepada pasien dalam bentuk non Profit jadi setiap makanan yang disajikan untuk semua kelas sama jenisnya kecuali untuk kelas prokcrt dan ex.spuct tempat untuk penyajian makanannya saja yang berbeda dengan kelas bangsal. Tempat penyajian untuk kelas VIP menggunakan piring batu sedangkan untuk bangsal menggunakan plato. Distribusi makanan menggunakan sistem sentralisasi yaitu makanan pasien

Page 41: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

41

langsung dibagikan pada masing-masing alat makan dipusat penyelenggaraan makanan, selanjutnya didistribusikan ketiap ruangan dengan kereta dorong oleh petugas ruangan.

C. Sisa MakananPenyelenggaraan makanan di

rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendisrtibusian makanan kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat.

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel makan pagi, siang dan makan sore pasien untuk semua kelas di rumah sakit PT. INCO Soroako. Makanan yang disajikan untuk setiap kelas tidak ada perbedaan, semua pasien tersebut memperoleh hidangan yang sama.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sisa makanan selain faktor internal yaitu nafsu makan, kebiasaan makan, rasa bosan dan adanya makanan dari luar juga adanya faktor eksternal yaitu cita rasa makanan. Nafsu makan biasanya sangat dipengaruhi oleh keadaan atau kondisi pasien. Pada umumnya, bagi pasien yang berada dalam keadaan sedih merasa takut karena menderita suatu penyakit, ketidak bebasan gerak karena adanya penyakit tertentu sering menimbulkan putus asa, sehingga pasien kehilangna nafsu makan. Sebaliknya pasien dalam keadaan sehat dan senang biasanya mempunyai nafsu makan lebih baik atau meningkat (Moehji, 1999).

Dari hasil pengamatan terhadap makanan yang dihabiskan dengan menggunakan skala Comstock 6 poin (Tabel 6) pada pasien rawat inap rumah sakit PT. INCO Soroako sisa banyak > 25% sebanyak 50 porsi (53,20%), dan sisa sedikit < 25% sebanyak 44 porsi (46,80%). Hal ini disebabkan karena nafsu makan yang kurang baik, dan

kebiasaan makan sebagian responden dalam menggunakan bumbu-bumbu yang tajam dan bahan penyedap makanan, sedangkan di rumah sakit penggunaan bumbu-bumbu seperti itu yang sifatnya merangsang sangat dibatasi atau bahkan tidak digunakan sama sekali, juga dipengaruhi oleh adanya makanan dari luar rumah sakit yang dibawa oleh pihak keluarga. Selain itu juga dipengaruhi oleh jenis bahan makanan yang disajikan oleh pihak rumah sakit yang tidak bervariasi dalam hal ini jenis bahan makanan yang terbatas (ikan tenggiri, ayam, daging, tahu dan tempe). Adanya keterbatasan bahan makanan ini disebabkan karena pihak rumah sakit telah mengadakan kontrak dengan perusahaan penyediaan bahan makanan yang hanya dapat menyediakan bahan makanan tersebut di atas, serta dipengaruhi juga oleh hasil olah makanan yang tiak bervariasi karena pihak rumah sakit tidak memiliki siklus menu sehingga pasien mudah menghafal jenis makanan yang disajikan dan penampilan makanan yang kurang menarik.

D. Zat Gizi dan Biaya yang Terbuang pada Sisa Makanan

Bila makanan yang disajikan sesuai kebutuhan, tetapi tidak dihabiskan apalagi berlangsung dalam waktu yang lama akan menyebabkan pasien mengalami defesiensi zat-zat gizi (Moehji, 1999).

Dari hasil pengamatan terhadap makanan yang tidak dihabiskan maka dapat diketahui jumlah zat gizi yang paling banyak terbuang adalah energi sebesar 5908,8 kkal dengan rata-rata per orang sebesar 196,96 kkal dan lemak sebesar 400,055 dengan rata-rata perorang sebesar 13,33 gram (Tabel 7). Jadi dapat ditarik kesimpulan dengan adanya makanan yang tidak dihabiskan menyebabkan adanya zat-zat gizi yang terbuang dan menghambat proses penyembuhan penyakit serta memperpanjang had perawatan.

Biaya merupakan variabel lansung karena mempunyai hubungan langsung terhadap makanan yang diselenggarakan. Makanan yang tidak

Page 42: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

42

dihabiskan merupakan sisa makanan yang akhirnya akan dibuang. Padahal untuk menyediakan makanan perlu biaya yang tidak sedikit sehingga dengan adanya sisa makanan berarti pula ada biaya yang terbuang (Depkes, 2003).

Jumlah biaya yang paling banyak terbuang adalah biaya untuk bahan makanan hewani sebesar Rp. 88942,5 dengan rata-rata sebesar Rp. 2964,75 per orang dan untuk bahan makanan nabati sebesar Rp. 8280 dengan rata-rata sebesar Rp. 276 per orang (tabel 8). Dengan adanya biaya yang terbuang berarti pihak rumah sakit dirugikan padahal biaya makanan mengambil bagian terbesar dari pengolahan rumah sakit, dengan demikian suatu pelayanan kesehatan harus efektif dan serasi.

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya terima pasien terhadap makanan yang disajikan. Seperti faktor psikologis dan kebiasaan yang secara tidak langsung mempengaruhi pasien untuk menghabiskan makanan yang disajikan, olehnya itu diperlukan pengelolaan makanan yang baik.

KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan

1. Jumlah rata-rata sisa lauk hewani dan nabati pada menu utama pasien per orang per hari di rumah sakit PT. INCO Sorowako sisa banyak > 25% sebanyak 50 porsi (53,20%) dan sisa sedikit sebanyak (46,80%).

2. Jumlah rata-rata zat gizi sisa ]auk hewani dan nabati pada menu utama pasien di rumah sakit PT. INCO Sorowako per orang per hari yang paling banyak terbuang adalah energi sebesar 196,96 kkal, protein sebesar 18,146 gram, lemak 13,33 gram.

3. Jumlah rata-rata biaya sisa lauk hewani dan nabati pada menu utama pasien di rumah sakit PT. INCO Sorowako yang paling banyak terbuang adalah biaya untuk pengadaan bahan makanan hewani sebesar Rp. 2964,75 per orang dan bahan makanan nabati sebesar Rp. 276 per orang.

B. Saran1. Bagi pihak institusi sebaiknya

menyajikan makanan yang bervariasi sehingga pasien tidak bosan dan mudah menghafal jenis makanan yang disajikan.

2. Bagi pihak institusi juga lebih memperhatikan penampilan makanan yang disajikan kepada pasien.

3. Bagi pihak institusi sebaiknya melakukan pendekatan kepada pasien yang tidak menghabiskan makanan yang disajikan oleh pihak rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. (1996) Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Comstock, E. M., Pierre, R. G,. and Mackiernan, Y. D. (1981) Measuring Indivisual Plate waste in School Lunches, J. Am. Diet. Assoc., 94 : 290-297.

Departemen Kesehatan RI, (2003). Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Dirjen Pelayanan Medik, Direktorat Rumah Sakit Khusus Swasta, Jakarta.

Mien K. Mahmud, Hermana, Nils Aria Zulfianto, dkk (2005). Daftar Komposisi Bahan Makanan. PERSAGI. Jakarta.

Entjang Indan. (1993) Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Khumaidi, M. (1994) Gizi Masyarakat. BPK Gunung Mulia. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Moehji, S. (1992) Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bhratara, Jakarta.

Moehji, S. (1999) Pengantar Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Gramedia, Jakarta.

Moehji, S. (2003) Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk. Bhratara Niaga Media, Jakarta.

Page 43: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

43

Mulyadi, (1993) Akuntansi Biaya, Edisi 5, Badan Penerbit STIE YKPN, Yokyakarta.

Mulyadi, (1993) Strategic Cost Manajemen Suatu Ilnggulan Kompetitif, PMK dan MMR FK UGM. Yokyakarta.

Mukrie, A. N. (1990) Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Departemen Kesehatan RI., Jakarta.

Raymond, T. (2001) Analisis Biaya Pelayanan Rumah Sakit Untuk Perencanaan Sistem Pelayanan Rumah Saki., PMPK, FK UGM, Yokyakarta

Soetardjo, S., Soekirman, S., W,. Farkhan, B., H., Sumedi, E., H., Damayanti, D., Pritasari (1990) Diit Pada Penyakit Infeksi dan Saluran Pencernaan, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat bekerja sama dengan Akademi Gizi, Departemen Kesaehatan RI, Jakarta.

Supariasa, I. D. N., Bakri, B., Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC Jakarta.

Syaaf, A. C (1994) Pengawasan Biaya di Rumah Sakit, Jurnal Administrasi Rumah Sakit, Vol. 1 : hal 18-31, FKM-UI, Jakarta.

Page 44: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

44

Lampiran :

Tabel. 1.Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur n %

1-12 Tahun24-30 Tahun31-42 Tahun43-50 Tahun51-62 Tahun63-70 Tahun71-82 Tahun

51361212

16,6743,33203,336,673,336,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Tabel 2.Distribusi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-lakiPerempuan

921

3070

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Tabel. 3.Distibusi Responden Berdasarkan

Pendidikan

Jenis Pendidikan n %

Tidak Sekolah 4 13,33SD 6 20SLTP 5 16,67SMU 14 46,67

SARJANA 1 3,33

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 200b.

Tabel. 4.Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa

Penyakit

Diagnosa penyakit n %

Observasi febrisPost Partum

InfartuPneumoniaCombustioHipertensi

Dermatitis AlergiHT + CHFLambungDHF

3745221411

1023,3413,3316,676,676,673.3313,333.333,33

Jumlah 30 100Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Tabel. 5.Distribusi Berdasarkan Kelas Perawatan

Kelas Perawatan n %

WARD BWARD C

1218

4060

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Tabel. 6.Distribusi Taksiran Visual Skala Comstock 6

Poin

Sisa Lauk Porsi %

Jika sisa sedikit < 25%Jika sisa banyak > 25%

4450

46,8053,20

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Page 45: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

45

Tabel. 7.Distribusi Analisa Zat Gizi Sisa lauk Hewani dan Nabati

Zat GiziKode Sampel

Energi Protein Lemak,

123456789101112131415161718192021222324252627282930

455,55131,75115,75

-418,5-

155,525084,3527,95

--

634,5137,65269,3--

11,6225,35186,6291,2490,05166224,3474,1-

115,3546,55

--

42,9513,6511.86-

42,325-

22,2322,738,94

39,575--

60,0913,66525,52--

11,1817,212,8122,5636,3714,0816,6845,44-

15,4349,095

--

30,0958,1257,2-

26,395 -

6,2615,454,45139,4--

38,728,3518,56--6,416,914,321,8435,8711,817

31,18-4,2

36,95--

Jumlah 5908,8 kkal 544,38 gram 400,055 gramRata-rata 196,96 kkal 18,146 gram 13,33 gram

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Page 46: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

46

Tabel. 8.Distribusi Analisa Biaya Sisa Lauk Hewani dan Nabati

Biaya Sisa Lauk Per OrangKode Sampel

Hewani Nabati

12345678910111213141S161718192021222324252627282930

Rp. 8214Rp. 3900Rp. 3420Rp. -Rp. 9960Rp. -Rp. 3240Rp. 3076,6Rp. 900Rp. 5146,5Rp. -Rp. -Rp. 6751,5Rp. 318Rp. 4518Rp. -Rp. -Rp. 2400Rp. 3015Rp. 1395Rp. 4395Rp. 3508,5Rp. 2076Rp. 3636Rp. 9960Rp. -Rp. 720Rp. 8392,5Rp. -Rp. -

Rp. 360Rp. -Rp. -Rp. -Rp. 945Rp -Rp. 450Rp. 360Rp. 360Rp. 135Rp. -Rp. -Rp.1440Rp. 675Rp. 720Rp. -Rp. -Rp. 180Rp. -Rp. 90Rp. 180Rp. 540Rp. -Rp. -Rp. 360Rp. -Rp. 810Rp. 675Rp. -Rp. -

Jumlah Rp.88942,5,- Rp.8280,Rata-rata Rp.2964,75 Rp.276

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.

Page 47: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

47

STUDI TINGKAT ASUPAN ZAT BESI DARI MAKANAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN KARYAWAN PT. KATINGAN TIMBER

COMPANY MAKASSARHendrayati1, Lydia Fanny1, Abdullah Thamrin1

1Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Makassar

ABSTRAK

Gizi merupakan salah satu faktor terpenting untuk mencapai hidup sehat dan sejahtera. Perbaikan tingkat keadaan gizi buruh di berbagai lapangan kerja berhubungan erat dengan peningkatan produktifitas kerja,sehingga keadaan gizi buruh sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas pekerjaan.

Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi tenaga kerja di Indonesia, dimana 30 –40 % pekerja yang anemia gizi mempunyai produktifitas kerja 20 % lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak anemia. Saat ini prevalensi anemia gizi besi kaum buruh berpenghasilan rendah mencapai 30 %.

Tingkat asupan zat besi dari makanan yang dikonsumsi sehari – hari merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia gizi besi pada kaum buruh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat asupan zat besi dari makanan yang dikonsumsi terhadap kadar Hemoglobin (Hb) karyawan. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dan metode survei, adapun desain yang digunakan adalah adalah post test only. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik propabilitas.

Uji statistik produk moment (uji r) pada taraf signifikan 5% diperoleh bahwa r hitung lebih kecil dari nilai r tabel ini berarti bahwa tidak ada pengaruh yang langsung antara tingkat asupan zat besi dari makanan yang dikonsumsi terhadap kadar Hb karyawan PT. Katingan Timber Company (KTC) Makassar.

PENDAHULUANAnemia gizi merupakan salah satu

masalah gizi tenaga kerja di Indonesia 30-40 % pekerja yang mengalami anemia gizi mempunyai produktifitas kerja 20 % lebih rendah dari pekerja yang tidak mengalami anemia gizi. Saat ini prevalensi anemia gizi para pekerja mencapai 30 % pada pekerja dengan penghasilan rendah.

Hasil penelitian terhadap buruh kerja yang sedang membangun irigasi di Renteng dan Saldarma (Jawa Barat) dan buruh-buruh kerja yang sedang memperbaiki bandara Halim, menunjukan ada perbedaan yang bermakna (p < 0,01) antara buruh yang anemia dan tidak anemia dalam melakukan kerja naik turun bangku Harvard. Sesudah diberikan suplemen besi 100 mg perhari untuk setiap buruh yang menjadi sampel selama 30 hari, maka skor naik turun bangku Harvard itu naik sangat bermakna (p <0,01) dibanding dengan kelompok plasebo.

Penelitian yang dilakukan pada buruh penyadap karet di Sukabumi menunjukan

buruh yang mengalami anemia gizi mendapatkan lateks hasil sadapan lebih sedikit dari pada penyadap yang tidak anemia. Penyadap yang menderita anemia mendapatkan lateks 18,7 % lebih rendah daripada yang tidak menderita anemia.

Salah satu faktor yang menyebabkan anemia gizi adalah faktor ketersediaan zat besi dari bahan makanan yang dikonsumsi untuk itu penelitian ini ingin melihat hubungan tingkat asupan zat besi dari makanan yang dikonsumsi terhadap kadar Hemoglobin (Hb) karyawan di PT. Katingan Timber Company Makassar.

METODE PENELITIANA. Desain

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan metode survei, desain yang digunakan adalah post test only.

B. SampelSampel adalah semua karyawan

PT. Katingan Timber Company bagian

Page 48: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

48

packing (pengepakan). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik sampel non propabilitas. Besar sampel ditentukan dengan purposive sampel dengan kriteria : Jenis kelamin laki-laki, dalam keadaan sehat, tidak mendapat suplemen zat besi dan bersedia untuk mengikuti penelitian.

C. Pengumpulan dataData asupan zat besi dari

makanan diukur dengan mengunakan formulir food recall 24jam. Food recalldilakukan selama 7 hari berturut turut. Pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) menggunakan metode sahli yang dilakukan oleh seorang analis dari puskesmas Daya.

HASIL PENELITIANSampel pada penelitian ini berjumlah

30 orang, dengan tingkat pendiddikan 96,7 % SLTA. Sebaran usia sample dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1Sebaran umur sampel pada Karyawan PT. Katingan Timber Company Makassar (KTC) tahun 2000

Umur (Tahun) n %

19 -30 25 83,331 - 40 5 16,7Jumlah 30 100

Sumber : Data primer terolahDari tabel 1 terlihat proporsi sampel

terbanyak berada di kelompok usia sangat produktif sebagai buruh yaitu 19 – 30 Tahun.

Survei konsumsi yang dilakukan dengan metode food recall 24 jam selama 7 hari berturut turut dilakukan untuk melihat asupan zat gizi pada sampel. Pada penelitian ini diperoleh asupan zat besi seperti terlihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2Sebaran tingkat asupan zat besi sampel PT. Katingan Timber Company Makassar tahun 2000

Asupan zat besi n %Cukup 16 53,3Kurang 14 46,7Jumlah 30 100Sumber : Data primer terolah

Untuk tingkat asupan zat besi pada sampel diperoleh data tingkat asupan zat

besi yang hampir sama jumlahnya antara yang cukup dengan yang kurang.

Untuk mengetahui kadar Hemoglobin (Hb) pada seluruh sampel dilakukan pengukuran kadar Hb dengan menggunakan metode sahli, adapun hasil pengukuran kadar Hb tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3.Sebaran Kadar Hemoglobin sampel PT.

Katingan Timber Company Makassar tahun 2000

Kadar Hemoglobin n %Normal 25 83,3Anemia 5 16,7

Sumber : Data primer terolahDari tabel 3 di atas terlihat bahwa

sebagian besar (83,3 %) sampel mempunyaikadar hemoglobin yang normal yaitu di atas 13 mg % pada saat dilakukan penelitian.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji produk moment diperoleh r hitung 0,221, r tabel 0,361, dengan demikian r hitung < r tabel ini berarti bahwa Ho diteima dan Ha ditolak. Dari hasil uji ini menunjukan bahwa tidak ada pengaruh tingkat asupan zat besi dari makanan yang dikonsumsi terhadap kadar Hemoglobin karyawan PT. Katingan Timber Company Makassar.

DISKUSIBerdasarkan hasil pengukuran kadar

Hemoglobin sampel diperoleh bahwa sebagian besar karyawan (83,3 %) tidak mengalami anemia, sedangkan tingkat asupan zat besi dari bahan makanan pada karyawan mencapai 53,3 % untuk kategori cukup dan 46,7 % masih kurang tingkat asupan zat besinya. Hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara asupan zat besi dari makanan terhadap kadar Hemoglobin.

Tidak berpengaruhnya tingkat asupan zat besi terhadap kadar Hemoglobin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya pola menu yang tergolong rendah absorpsi zat besi misalnya pola menu yang hanya terdiri dari nasi, umbi-umbian dan kacang-kacangan sangat sedikit sumber protein hewani dan kurang Vitamin C. Pala menu makanan seperti ini lebih banyak terdiri dari bahan makanan yang mengandung phytat, serat, polyphenol, bekatul yang

Page 49: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

49

mempunyai sifat dapat menghambat absorpsi zat besi.

Pada menu makanan sehari-hari untuk menghindari terjadinya anemia harus ditunjang oleh bahan makanan yang dapat menunjang atau membantu absorbsi zat besi. Bahan makanan yang bersifat menunjang absorpsi zat besi adalah bahan makanan sumber hewani dan Vitamin C. Dengan tidak memperhitungkan sumber bahan makanan penunjang maka absorpsi zat besi sangat bervariasi antara 1 sampai 40 %.

Derajat absorpsi zat besi dari menu makanan yang monoton mungkin hanya 5%, tetapi apabila menu makanan ini dikonsumsi oleh orang-orang yang umumnya anemia, maka absorpsi zat besi dapat naik setinggi 10 %. Hal ini karena seseorang dengan status besi yang lebih rendah akan mempunyai kemampuan mengabsorpsi zat besi lebih tinggi dibanding dengan status besi normal.

KESIMPULAN1. Tingkat Asupan zat besi sampel pada

karyawan PT. Katingan Timber Company Makassar yang diukur menggunakan food recall 24 jam mencapai 55,3 % cukup dan 46,7 % kurang.

2. Hasil pengukuran kadar Hemoglobin darah (Hb) dengan menggunakan metode sahli pada sampel karyawan PT Katingan Timber Company Makassar 83,3 % normal dan 16,7% anemia

3. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat asupan zat besi dengan kadar Hemoglobin (Hb) sampel pada karyawan PT. Katingan Timber Company Makassar

DAFTAR PUSTAKADepartemen Kesehatan RI 1991. Menyusun

Menu Makanan Karyawan, Jakarta, Depkes RI Dirjen Pembinaan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat

Evelyn C Pearce. 1999. Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta

Husaini dan Darwin Karyadi. 1998. Anemia Gizi Penetapan Masalah, pencegahan dan Pengobatan, Jakarta

Joko Suharso. 1999. Gizi kerja pada masyarakat pekerja sektor informal. Materi upaya kesehatan kerja, Departemen Kesehatan RI Jakarta

M.Husaini. 1989. Prevalensi Anemia Gizi, Buletin Gizi, Jakarta, Persagi No 2 Vol 13

Muhilal 1989. Mengatasi lesu darah dengan makanan yang seimbang, Buletin Gizi Persagi No 3 Vol 9

Suharjo 1995. Pangan Gizi dan Pertanian Jakarta

Page 50: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

50

PEMBERIAN WEDANG BUNGA BELIMBING WULUH DAN DIIT RENDAH GARAM II DALAM MENURUNKAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN

DI PUSKESMAS MACCINI SAWAH KOTA MAKASSAR.

Siti Nur Rochimiwati1, Lydia Fanny1, Hendrayati11Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Angka prevalensi yang tinggi serta akibat jangka panjang yang ditimbulkannya menyebabkan hipertensi sebagai masalah kesehatan penting pada pelayanan kesehatan. Pasien adalah penderita hipertensi sedang dengan riwayat penyakit jantung yang dideritanya.

Penelitian ini merupakan kasus kontrol dengan desain pretest-postest, dimana dilakukan pemberian wedang bunga belimbing wuluh dan diit rendah garam II, kemudian dilakukanpengamatan sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi selama penelitian.

Anamnesis asupan rata-rata zat gizi yang diperoleh pada pasien pemberian wedang bunga belimbing dengan diit rendah garam II (sampel) tergolong kurang untuk energi 82,3%, protein 101,06%, lemak 40,7%, karbohidrat 93,71%, Na 10,7% dan K 28,36%.Sedangkan pada pasien dengan diit rendah garam II (kontrol) asupan rata-rata zat gizi juga tergolong kurang yaitu energi 68%, protein 95,3%, lemak 36,2%, karbohidrat 80,34%, Na 13,68% dan K 11,9%.

Terjadi penurunan tekanan darah secara bertahap pada kedua pasien meskipun belummencapai tekanan darah normal, tekanan darah mulai baik pada hari ke-7 penelitian. Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti pada sampel dan kontrol. Tekanan darah awal sampel yaitu 160/120 mmHg menjadi 160/95 mmHg, sedangkan pada kontrol tekanan darah awal 170/120 mmHg menjadi 160/100 mmHg setelah penelitian 10 hari.

PENDAHULUANDi Indonesia secara nasional

prevalensi (angka kejadian) penderita hipertensi dapat digambarkan secara umum berkisar antara 1.8 - 28.6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun (Soeparman, 1990). Angka kejadian pasien hipertensi di Sulawesi Selatan pada tahun 2001 sebanyak 4,150 ribu atau sekitar 43,6%. (Dinas kesehatan Sul-Sel, 2001)

Hipertensi sering ditemukan pada usia menengah dan lanjut, dapat ditemukan pada orang muda dan anak-anak. Wanita 2 kali lebih banyak daripada pria, tetapi wanita lebih tahan daripada pria tanpa terjadinya kerusakan jantung/pembuluh darah, keturunan juga merupakan faktor (Sutisna, 1991)

Pada penderita hipertensi, penurunan tekanan darah dengan pemberian diit rendah garam yang dapat dibagi atas diit Rendah Garam I/II/III sesuai dengan berat ringannya hipertensi (Penuntun keperawatan, 1997). Keseimbangan antara natrium dengan kalium dalam sel dapat membantu mempertahankan

volume darah dan resistensi perifer sehingga tekanan darah normal. (Basri, 2003)

Saat ini banyak orang beralih ke pengobatan tradisional dengan menggunakan berbagai ramuan ataupun buah yang memiliki kandungan kimia khusus yang dapat meringankan gejala. Bahan atau buah yang sering digunakan salah satunya adalah belimbing wuluh. Buah tersebut memiliki kandungan potassium (K) sebanyak 163 mg dalam 100 gr buah. Kalium (potassium) yang dikandung oleh belimbing wuluh dapat melancarkan keluarnya air seni atau diuretik sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Buah tersebut memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi yang dapat membantu menjaga keseimbangan Natrium dan Kalium pada tubuh penderita hipertensi, selain itu terkandung juga protein, lemak, fosfor, besi dan vitamin lainnya (A dan B1). Khasiat inilah yang antara lain diduga dapat menurunkan penyakit tekanan darah tinggi (Santoso, 2000)

Page 51: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

51

METODE PENELITIANA. Desain

Penelitian ini merupakan kasus kontrol dengan desain pretest – posttest dimana dilakukan pemberian wedang bunga belimbing waluh, kemudian dilakukan pengamatan sehingga peneliti mengetahui dan menilai perubahan yang terjadi selama penelitian.

B. SampelSampel adalah pasien hipertensi

yang berobat jalan di Puskesmas Maccini Sawah, wanita yang berumur diatas 50 tahun dengan status gizi baik. Kontrol dipilih pasien yang mempunyai umur, jenis kelamin dan status gizi yang sama dengan sampel.

C. Pengumpulan dan Pengolahan DataData riwayat gizi dan intake

pasien yaitu jumlah zat makanan yang dikonsumsi pasien yang dilakukan dengan metode recall dan diolah manual menggunakan kalkulator kemudian dibandingkan dengan kebutuhan dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Rumus yang digunakan untuk kebutuhan kalori sehari adalah rumus Harris Benedict, yaitu:

BEE : 655 + (9,6 x BBA) + ( 1,8 x TB) –(4,7 x Umur)

TEE : BEE x FS x FAKeterangan:BEE : Basal Energy ExpenditureFS : Faktor StreesTEE : Total Energy ExpenditureFA : Faktor Aktivitas

Data antropometri dipeoleh dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan, kemudian status gizi dihitung menggunakan ideks massa tubuh (IMT). Tekanan darah diukur pagi hari (basal).

HASIL PENELITIANTabel 1 menjelaskan bahwa terjadi

penurunan tekanan darah secara bertahap pada kedua pasien meskipun belum mencapai tekanan darah normal, tekanan darah mulai baik pada hari ke-7 penelitian. Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti pada sampel dan kontrol. Pengukuran tekanan darah dilakukan pada pagi hari, sebelum pasien melakukan banyak aktivitas.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Klinik

Sampel KontrolHari Tekanan darah

(mmHg) Keterangan Tekanan darah (mmHg) Keterangan

Tekanan Darah Normal (mmHg)

I.IIIII.IV.V.VI.VII.VIIIIX.X.

160/120160/120160/110160/115170/110160/110160/105158/100150/95160/95

TinggiTinggiTinggiTinggiTinggiTinggiBaikBaikBaikBaik

170/120170/110170/115160/115170/110170/100160/100160/98160/100160/100

TinggiTinggiTinggiTinggiTinggi TinggiBaik BaikBaikBaik

160/90160/90160/90160/90160/90160/90160/90160/90160/90160/90

(Sumber: Data Primer, 2004)

Page 52: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

52

Tabel 2.Asupan Rata-Rata Zat gizi

Asupan Zat GiziSampel Kontrol

Zat Gizi Jumlah Rata-rata Kebutuhan %Keb Jumlah Rata-rata Kebutuhan %Keb

Energi 15989,7 1598,97 1946,2 82,3 13153,2 1315,32 1936,74 68Protein 492,23 49,223 48,65 101,06 461,46 46,146 48,41 95,3Lemak 217,25 21,725 54,06 40,7 187,59 18,759 53,7 36,2KH 2792,8 279,28 298 93,71 2394,3 239,43 298 80,34Na 752,92 75,292 700 10,7 957,96 95,756 700 13,68K 5673,2 567,32 2000 28,63 2394,3 239,43 2000 11,9

Sumber: Data primer terolah, 2004

Berdasarkan tabel diatas, asupan rata-rata zat gizi pasien selama penelitian tergolong kurang untuk energi, lemak, natrium dan kalium. Ini terlihat pada persen kebutuhan yang kurang dari kebutuhan (< 90%). Sedangkan untuk protein dan karbohidrat tergolong cukup.

PEMBAHASANPada penelitian ini yang menjadi

kasus adalah 2 orang pasien. Berdasarkan pemeriksaan klinik, pasien didiagnosa menderita hipertensi dengan tekanan darah 160/120 mmHg (pemberian wedang bunga belimbing wuluh dengan diit rendah garam II) dan tekanan darah kontrol 170/120 mmHg (diit rendah garam II) yang sedang rawat jalan di Puskesmas Maccini Sawah Kecamatan Makassar. Keluhan utama pasien sering merasa tegang bagian belakang leher (tengkuk) dan penglihatan berkunang-kunang, keadaan umum pasien dalam keadaan baik serta memiliki status gizi baik.

Penelitian ini dilakukan selama 10 hari dengan metode recall makanan serta mengambil data fisik, data antropometri dan data klinik. Adapun parameter yang dionitor adalah tekanan darah, asupan zat gizi makro serta asupan natrium dan kalium. Diit yang diberikan adalah diit rendah garam II (700 mg Na/hari) dengan tujuan mempertahankan status gizi dan menurunkan tekanan darah menjadi normal. Bunga belimbing wuluh yang memiliki kandungan kalium tinggi (163 mg/100 gr) digunakan sebagai wedang dalam membantu menurunkan tekanan darah pasien. Pemberian dilakukan 3-4 jam sebelum pemberian obat hipertensi

(captopril) sebanyak 25 gr/ hari dalam 250 cc air (K= 10,75 mg).

Data antropometri diperoleh hasil pengukuran berat badan sampel sebelum penelitian 52 kg dan sesudah penelitian menjadi 51 kg, demikian pula pada pasien kontrol pengukuran berat badan sebelum penelitian 53 kg menjadi 52 kg sesudah penelitian. Terjadi penurunan berat badan selama 10 hari penelitian dengan status gizi baik, hal ini disebabkan oleh asupan makanan sehari kurang dibandingkan kebutuhan.

Anamnesa asupan rata-rata zat gizi yang diperoleh pada sampel tergolong kurang untuk energi 82,3%, protein 101,6%, lemak 40,7%, karbohidrat 93,71%, Na 10,7% dan K 28,36%. Sedangkan pada kontrol, asupan rata-rata zat gizi tergolong kurang yaitu energi 68% , protein 95,3% , lemak 36,2% , karbohidrat 80,34% , Na 13,68% dan K 11,9%.

Kurangnya asupan makan pasien disebabkan oleh nafsu makam pasien selama penelitian tergolong kurang, cepat merasa kenyang, pola kebiasaan makan yang kurang beranekaragam, ragu-ragu dalam mennilih bahan makanan serta ketersediaan pangan keluarga yang kurang.

Terjadi penurunan tekanan darah secara bertahap pada kedua pasien meskipun belum mencapai tekanan darah normal, tekanan darah mulai baik pada hari ke-7 penelitian Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti pada sampel dan kontrol. Pengukuran tekanan darah dilakukan pada pagi hari, sebelum pasien melakukan banyak aktifitas.

Page 53: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

53

Penggunaan bunga belimbing wuluh dalam jumlah yang kurang serta prosedur kerja pembuatan wedang bunga belimbing wuluh yang belum sesuai, berakibat penurunan tekanan darah (diastole) yang diharapkan belum tercapai.

Penurunan tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adanya asupan natrium yang cukup rendah dan didukung oleh pemerian wedang bunga belimbing wuluh yang mengandung kalium yang dapat membantu menurunkan tekanan darah, diit rendah garam II, psikologis, aktifitas dan obat anti hipertensi, yaitu captopril.

Pembatasan konsumsi natriurn sehari dengan pemberian kalium yang cukup dari kandungan bunga belimbing wuluh pada pasien hipertensi mampu menyeimbangkan natrium – kalium dalam sel. Volume darah menurun disertai penurunan kemampuan transmisi saraf terhadap curah jantung dan tahanan ferifer sehingga desakan darah pada dinding pembuluh darah menjadi berkurang.

KESIMPULAN1. Pasien adalah penderita hipertensi

dengan pemberian wedang bunga belimbing wuluh dan diit rendah garam II (sampel) serta pasien diit rendah garam II (kontrol).

2. Terjadi penurunan tekanan darah secara bertahap pada sampel, meskipun belum mencapai normal. Tekanan darah awal sampel yaitu 160/120 mmHg menjadi 160/95 dan tekanan darah awal pasien kontrol 170/120 mmHg menjadi 160/100 setelah penelitian 10 hari.

3. Asupan rata-rata gizi kedua pasien selama penelitian tergolong kurang, ini terlihat pada persen kebutuhan yang kurang dari 90%.

4. Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti pada sampel dan kontrol. Tekanan darah mengalami penurunan setelah hari ke- 7 penelitian.

DAFTAR PUSTAKAAdam Syamsunir, 1993. Dasar-Dasar

Patologi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Almatsier. S, 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Bagian Gizi RS. Dr. Cipto Mangunkusomo dan Persagi, 1996. Penuntun Diit. T Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Depkes RI, 1997. Data Kesehatan. Jakarta. Guyton. AC, 1983. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Khomsan. A, 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada Jakarta.

Notoatmodjo S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rhineka Cipta. Jakarta. _______, 1997. Penuntun Keperawatan SPK. Makassar.

Santoso. D dan Didik Gunawan, 2000. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sidharta. P, 1986. Tekanan Darah Tinggi. Gaya Favorit. Jakarta.Sub Dinas Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2001. Profil Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas kesehatan Sul-Sel.

Sukarmadji, Kartini, 1995. Hipertensi dan Diit Masalah Sadar Pangan dan Gizi. Jakarta

Toengadjaja, 2003. Bunga Belimbing Atasi Hipertensi dan Hepatitis. http/www.Mekarsari.com. 11/12/03._______, 2003. Belimbing dan Darah Tinggi. http/www. Pipernnail nasional. Agustus 2003

Page 54: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

54

ASUPAN GIZI DAN POLA MAKAN SISWA OBESITAS PADA SMUN 5 MAKASSAR

Asmarudin Pakhri1, Abdullah Tamrin1, Nur Aliah Patola21Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

2Alumni Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

Abstrak

The obesity prevalence on teen trends increases during the city welfare and change life style in big cities. In fact, obesity of teen is far riskier of hypertensi than others. For that reason study about obesity on teen is absolutely necessary

The study was descriptivly surveied, purposed to gain the describe of food pattern and nutrient consumes on obesity students in SMUN 5 Makassar. Data was collected by interviewed and body mass index measured.

The result found energy and carbohydrate consumes on obesity student was mostly overneed, beside that fat consumes 40 % higher than proper need but protein consumes is sufficient. Eating frequency on 45 % obesity student with ≥ four times and for 35 % is three times and the menu was not balance. The frequency of snack consume was pretty high but low for fast food.

It could be concluded that the obesity on students was dominated of high carbohydrate consumses, high frequent of daily food and snack such noodle, bread, candy and frying with bad food pattern. It’s suggested to inform the schools in balancely consume daily food and limit the snacks.

PENDAHULUANKeberadaan obesitas berkaitan

dengan peningkatan kemakmuran yang diikuti oleh perubahan gaya hidup, kebiasaan pola makan terutama di kota besar bergeser dari pola makan tradisional ke pola makan barat yang dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang. Pola makan padat energi dibarengi dengan gaya hidup yang semakin dimanjakan dan adanya kemajuan pada bidang komunikasi, informasi dan transportasi (Supriyatno & Fauzan, 2000).

Prevalensi obesitas di Indonesia mulai meningkat. Penelitian yang dilakukan FKUI tahun 2002 mendapatkan prevalensinya mencapai 22-24 %. Di Makassar para remaja usia 12-17 tahun juga mengalami obesitas, dengan prevalensi 6,84 %. (Health News, 2003). Penelitian yang dilakukan Himpunan Studi Obesitas Indonesia tahun 2004 mendapatkan angka prevalensi obesitas berat (IMT > 30) pada pria 9,16 % dan pada wanita 11,02 % Anak dan remaja yang kegemukan mempunyai kemungkinan meningkatnya resiko hipertensi tiga kali dibandingkan yang tidak kegemukan (Khomsan, 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pola makan dan asupan zat gizi pada siswa SMUN 5 Makassar yang mengalami obesitas. Secara khusus tujuan penelitian adalah memperoleh gambaran pola makan, asupan energi, asupan protein, asupan lemak dan pola makan pada siswa SMUN 5 Makassar.

METODE PENELITIANJenis penelitian adalah survey

dengan desain deskriptif, yang dilaksanakan di SMUN 5, dengan asumsi sekolah tersebut tergolong unggulan dan pada umumnya siswa berasal dari keluarga mampu. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2007, populasi penelitian adalah seluruh siswa SMUN 5 Makassar, sampel adalah kelas 1 dan 2 yang mengalami kegemukan (IMT >25). Pengambilan sampel dilakukandengan teknik purposive sampling.

Cara pengumpulan data adalah dengan wawancara, pola makan dan metode recall 3x24 jam untuk data asupan zat gizi, sedangkan penentuan obesitas dengan indeks massa tubuh.

Page 55: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

55

HASIL DAN PEMBAHASANKarakteristik sampel

Berdasarkan hasil penelitian pada siswa SMUN 5 kelas I dan 2 diperoleh data siswa yang mengalami obesitas sebanyak 20 siswa, terdiri dari laki-laki 11 siswa dan perempuan 9 siswa. Dilihat dari tingkatan obesitas ada 11 siswa (55%) obesitas ringan dan 9 siswa (45%) obesitas berat. Hasil ini

hampir sama dengan penelitian Handayani tahun 2005 pada 30 siswa obesitas di SMA Rajawali yang menemukan 73, 6 % obesitas ringan dan 26,4 % obesitas berat.

Dilihat dari pekerjaan ayah sebagian besar (60%) adalah PNS, lainnya adalah wiraswasta (20%), dan pegawai swasta (20%). Tingkat obesitas terlihat menyebar pada berbagai jenis pekerjaan ayah.

Tabel 1.Tkt Obesitas Siswa SMU menurut Pekerjaan Ayah

Obesitas ringan Obesitas berat TotalNo Pekerjaan ayah n % n % n %1 PNS 7 35 5 25 12 602 Wiraswasta 2 10 2 10 4 203 Peg.Swasta 2 10 2 10 4 20

Jumlah 11 55 9 45 20 100

Asupan energiAsupan energi siswa dapat

menggambarkan kejadian obesitas, sebanyak 15 siswa (75%) asupan energi lebih dan 5 siswa (25%) energi cukup. Rata-rata asupan energi per hari dari recall selama 3 hari adalah 2420± 496 Kkal. Namun tingkat

asupan energi tersebut tidak menggambarkan tingkat obesitas. Pada obesitas ringan jumlah asupan energi cukup 3 siswa (15%) dan energi lebih 8 siswa(40%). Sedangkan pada obesitas berat jumlah asupan energi cukup 2 siswa (10%) dan energi lebih 7 siswa (35%).

Tabel 2.Asupan Energi menurut Tingkat Obesitas Siswa SMU

Energi cukup Energi lebih TotalNo Tingkat Obesitas n % n % n %

1 Ringan 3 15 8 40 11 552 Berat 2 10 7 35 9 45

Jumlah 5 25 15 75 20 100

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Indrawaty (2005) pada siswa obesitas di SMU Rajawali yang mendapatkan konsumsi energi yang lebih sebanyak 61,3 %. Menurut Khomsan (2003) obesitas timbul akibat mengkonsumsi lebih banyak kalori dibandingkan kebutuhan. Hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan metabolik dalam tubuh yang menyebabkan meningkatnya napsu makan, di lain pihak aktivitas fisik menurun. Sedangkan menurut Fauzan (2000), dua faktor utama penyebab obesitas yaitu ketidak seimbangan antara jumlah konsumsi energi dengan kebutuhan dan faktor keturunan.

Asupan lemakAsupan lemak siswa obesitas

terdapat sebanyak 8 siswa (40%) lebih dan 12 siswa (60%) cukup. Rata-rata asupan lemak sehari 65,4±13,2 gram. Terlihat asupan lemak tidak menggambarkan kejadian obesitas. Berdasarkan tingkat obesitas, pada obesitas ringan jumlah asupan lemak cukup 7 siswa (35%) dan pada lemak lebih 4 siswa (20%). Sedangkan pada obesitas berat jumlah asupan lemak cukup 5 siswa (25%) dan lemak lebih 4 siswa (20%).

Page 56: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

56

Tabel 3.Asupan Lemak menurut Tingkat Obesitas Siswa SMU

Lemak cukup Lemak lebih TotalNo Tingkat Obesitas n % n % n %

1 Ringan 7 35 4 20 11 552 Berat 5 25 4 20 9 45

Jumlah 12 60 8 40 20 100

Asupan karbohidratAsupan karbohidrat dapat

menggambarkan kejadian obesitas, sebanyak 13 siswa (65%) yang mengkonsumsi karbohidrat lebih dan 7 siswa(35%) karbohidrat cukup. Rata-rata asupan karbohidrat sehari 392,7 ± 88,0 gram. Namun terlihat asupan karbohidrat tersebut tidak

menggambarkan tingkat obesitas. Asupan karbohidrat berdasarkan tingkat obesitas terlihat bahwa pada obesitas ringan jumlah asupan karbohidrat cukup 4 siswa (20%) dan pada karbohidrat lebih 7 siswa (35%). Sedangkan pada obesitas berat jumlah asupan karbohidrat cukup terdapat 3 siswa(15%) dan energi lebih 6 siswa (30%).

Tabel 4.Asupan Karbohidrat menurut Tingkat Obesitas Siswa SMU

K.hidrat cukup K.hidrat lebih TotalNo Tk Obesitas n % n % n %1 Ringan 4 20 7 35 11 552 Berat 3 15 6 30 9 45

Jumlah 7 35 13 65 20 100

Asupan proteinAsupan protein pada obesitas ringan dan berat seluruhnya tergolong cukup, dengan rata-rata asupan 49,4 ± 6,6 gram.

Tabel 5.Asupan Protein menurut Tingkat Obesitas

Siswa SMUProtein cukup

Protein lebih TotalNo Tingkat

Obesitas n % n % n %1 Ringan 11 55 0 0 11 552 Berat 9 45 0 0 9 45

Jumlah 20 100 0 0 20 100

Pola makanFrekuensi makan sampel cukup,

dimana ada 45 % minimal 4 kali makan sehari, sisanya sebanyak 35 % 3 kali makan dan 20 % kurang dari 3 kali. Namun dalam susunan hidangan belum seimbang, dimana hanya 35 % dengan pola makan seimbang nasi, lauk pauk, sayuran, buah/susu, selebihnya pola makan tidak seimbang dengan 2-3 macam makanan.

Tabel 6.Frekuensi Makan sehari Siswa SMU

No Frekuensi makan n %

1 2 kali/hari 4 202 3 kali/hari 7 353 ≥ 4 kali/hari 9 45

Jumlah 20 100

Hal ini sejalan dengan penelitian Handayani tahun 2005 di SMU Rajawali yang menemukan pola makan siswa obesitas 33 % baik dan 67 % buruk. Handayani juga menemukan frekuensi makan siswa obesitas ≥ 4 kali sebanyak 56,7 %, dan jenis makanan selingan yang digemari adalah fast food khususnya fried chicken serta soft drink.

Ada dua pola makan tidak normal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak dan makan di malam hari. Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stress (Supriyatno & Fauzan, 2000).

Makanan pokok yang sering dimakan (≥4 kali seminggu) selain nasi adalah mie (65%) dan ubi-ubian (40 %)

Page 57: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

57

Tabel 7.Frekuensi Makanan Pokok Siswa SMU

≥ 1 kali/hari ≥ 4 kali/minggu 2 kali/minggu Jarang TotalNo Makanan

n % n % n % n % n %1 Nasi 20 100 0 0 0 0 0 0 20 1002 Mie 1 5 12 60 7 35 0 0 20 1003 Ubi-ubian 0 0 8 40 6 30 6 30 20 1004 Jagung 0 0 7 35 8 40 5 25 20 100

Lauk hewani yang sering dimakan adalah ikan, telur dan ayam sedangkan lauk

nabati yang sering dikonsumsi adalah tempe dan tahu.

Tabel 8.Frekuensi Makanan Lauk Hewani Dan Nabati Siswa SMU

≥ 1 kali/hari ≥ 4 kali/minggu 2 kali/minggu Jarang TotalNo

Makanan Lauk pauk n % n % n % n % n %

1 Ikan segar 8 40 6 30 6 30 0 0 20 1002 Telur 4 20 10 50 6 30 0 0 20 1003 Ayam 3 15 6 30 8 40 3 15 20 1004 Dag.sapi 0 0 8 40 7 35 5 25 20 1005 Udang 0 0 7 35 8 40 5 25 20 1006 Tempe 7 35 9 45 4 20 0 0 20 1007 Tahu 2 10 11 55 7 35 0 0 20 100

8 Kacang-kacangan 5 25 5 25 8 40 2 10 20 100

Sayuran yang sering dimakan adalah daun bayam, daun kac panjang, daun sawi dan kangkung, sedangkan buah-buahan yang sering dikonsumsi adalah pisang, jeruk dan pepaya.

Konsumsi makanan selingan 75 % sering makan roti manis dan 65 % sering makan permen, sehingga akan memberikan kontribusi karbohidrat yang besar.

Tabel 9.Frekuensi Makanan Selingan Siswa SMU

≥ 1 kali/hari ≥ 4 kali/minggu 2 kali/minggu Jarang TotalNo

Makanan selingan n % n % n % n % n %

1 Roti manis 8 40 7 35 5 25 0 0 20 1002 Permen 5 25 8 40 7 35 0 0 20 1003 Biskuit 0 0 8 40 7 35 2 10 20 1004 Ice cream 0 0 4 20 7 35 11 55 20 100

Namun dalam hal konsumsi gorengan terdapat sebanyak 55 % mengkonsumsi tiap hari ≥ 2 kali. Konsumsi gorengan yang tinggi ternyata memberikan kontribusi yang tinggi pada karbohidrat dan lemak.

Tabel 10.Frekuensi Konsumsi Makanan Gorengan

Siswa SMU

No Konsumsi gorengan dalam sehari n %

1 Tidak 3 152 1 kali 6 303 2 kali 8 404 ≥ 3 kali 3 15

Jumlah 20 100

Page 58: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

58

Konsumsi fast food 2-3 kali seminggu 65 %. Jenis fast food yang disukai adalah fried chiken, pizza, mie dan bakso. Konsumsi fast food ini ternyata memberikan kontribusi yang tinggi pada karbohidrat dan lemak. Data tersebut sedikit lebih tinggi dari hasil penelitian Handayani, 2005 yang mendapatkan frekuensi konsumsi fast food 2-3 kali seminggu 56,7 %.

Tabel 11.Frekuensi Konsumsi Fast Food Siswa SMU

No Konsumsi fast food seminggu n %

1 1 kali 7 352 2 kali 8 403 3 kali 5 25

Jumlah 20 100

KESIMPULAN1. Asupan energi siswa obesitas 75 %

melebihi dari kebutuhan2. Asupan lemak dan karbohidrat siswa

obesitas adalah 40 % dan 65 % melebihi dari kebutuhan, sedangkan asupan protein seluruhnya cukup.

3. Frekuensi makan siswa obesitas 45 % dengan ≥ 4 kali makan dan 35 % dengan 3 kali makan, namun susunan makanan umumnya belum seimbang (nasi-lauk pauk-sayuran)

4. Frekuensi konsumsi makanan selingan (roti dan permen) dan gorengan cukup tinggi yaitu 15 % dengan 3 kali sehari dan 40 % konsumsi 2 kali sehari namun dalam konsumsi fast food belum tinggi (1-2 kali per minggu).

SARAN1. Agar pihak sekolah membuat program

pemantauan berat badan siswa dengan melengkapi sarana penimbangan dan informasi pencegahan kegemukan

2. Aparat terkait disarankan untuk mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah agar mengkonsumsi makanan seimbang dan membatasi makanan jajanan.

DAFTAR PUSTAKAHealth News, 2003. Awas Jantung Anak

(http;www,google.com) diakses 8-10-2005

HISUBI, 2004. Prevalensi Obesitas. www.SuaraMerdeka.com, diakses 8-12-2006

Indrawati, 2005. Gambaran Asupan Zat Gizi Siswa SMU Rajawali yang Mengalami Kegemukan. KTI Poltekkes Jurusan Gizi Makassar.

Khomsan, 2003. Obesitas Bahaya dan Cara Mengatasinya. Bisnis Indonesia Yakarta

Handayani, S, 2005. Gambaran Pola Aktivitas, Pola Makan dan Prestasi Relajar Anak Obesitas di SMU Rajawali. KTI, Poltekkes Jurusan Gizi Macasar

Supriyatno & Fauzan, 2000. Obesitas pada Kecantikan Dewasa. www, medikaholostika, com.

Page 59: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

59

PENERIMAAN ABON IKAN PADA ANAK GIZI KURANG UMUR 24-59 BULAN(Studi di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan)

Suriani Rauf1, Salmiah1, Mustamin11Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

ABSTRAK

Latar belakang : Sebanyak 24,7% anak balita mengalami gizi kurang dan 6,3% mengalami gizi buruk diseluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung protein merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak. Ikan merupakan sumber protein yang baik dan relatif murah sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif penanggulangan gizi kurang. Salah satu bentuk olahan ikan adalah abon ikan.Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui penerimaan abon ikan pada anak gizi kurang umur 24-59 bulanMetode : Penelitian Quasi Eksperiment dilaksanakan pada 29 anak gizi kurang umur 24-59 bulan yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok I (n=16 anak) mendapat abon ikan 15 g (5 g protein) per hari dan kelompok II (n=13 anak) mendapat abon 30 g (10 g protein) per hari sebagai makanan suplemen. Hasil : Suplementasi direncanakan untuk diberikan selama tiga bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan abon ikan hanya 3 minggu karena anak-anak sudah merasa bosan mengkonsumsi abon ikan setiap hari, walaupun mereka sangat menyukaiSimpulan : Pemberian suplementasi abon ikan dapat diterima dengan baik pada anak gizi kurang umur 24-59 bulan selama tiga minggu.

Kata Kunci : Peneriman abon ikan, anak gizi kurang, Kabupaten Pankep, Sulawesi Selatan

PENDAHULUANBerdasarkan hasil Susenas 2000

kondisi gizi anak balita sangat memprihatinkan. Sebanyak 75% dari seluruh kabupaten dan kota di Indonesia mempunyai masalah gizi kurang pada balita. Selama masa krisis, ditemukan setiap tahun ada 1,3 juta balita berpotensi menderita gizi kurang. Selain itu menurut data dari Depkes RI sebanyak 24,7% anak balita mengalami gizi kurang dan 6,3% mengalami gizi buruk (Catharina, 2004 : 30). Bagi anak tidak ada kata besok dalam hal pertumbuhan, karena setiap saat tulang dibentuk, darah dibuat dan indra berkembang (Mistral, 2000).

Upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi kurang antara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) melalui rumah sakit dan puskesmas, Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang dikembangkan sejak Tahun 1989 (Almatsier, 2002 : 304), dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada

tenaga kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut telah berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada Tahun 1998; 8,1% pada Tahun 1999 dan 6,3% pada Tahun 2001. Namun pada Tahun 2002 terjadi peningkatan kembali kasus sehingga menjadi 8% (Untoro. 2003 : i).

Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan usaha yang cepat untuk memperbaiki makanan anak agar mereka bisa mendapatkan sumber protein yang baik dengan harga yang murah dan mudah diperoleh. Salah satu alternatif untuk itu adalah pemberian ikan ke dalam makanan anak sebagai sumber protein yang baik dan murah.

Konsumsi ikan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain di kawasan Asian, karena masih ada anggapan di kalangan masyarakat bahwa makan ikan kurang bergensi, menyebabkan kecacingan, alergi, dan ibu-ibu enggan masak ikan karena sangat merepotkan pengolahannya (Dahuri, 2004 : 33).

Page 60: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

60

Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan pada masyarakat adalah dengan mengembangkan produk-produk baru yang mudah diterima oleh masyarakat, salah satu upaya pengembangan produk ikan adalah abon ikan. Abon ikan adalah jenis makanan awetan yang terbuat dari ikan laut yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan dan penggorengan (Margono, 2000 : 2) dikemas dalam satu sachet yang menyumbangkan 5 g protein (21 % AKG).

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah quasi eksperimen dengan rancangan penelitian post test only design.

B. Waktu dan Tempat Penelitian1. Waktu penelitian

Dilakukan pada bulan Mei-Juli 20062. Tempat Penelitian

Dilaksanakan di 3 wilayah Puskesmas Kabupaten Pangkep yaitu, Puskesmas Labakkang, Puskesmas Pundata Baji dan Puskesmas Bungoro.

C. Populasi dan Sampel1. Populasi

Semua anak balita gizi kurang yang ada di 3 wilayah Puskesmas Kabupaten Pangkep yaitu, Puskesmas Labakkang, Puskesmas Pundata Baji dan Puskesmas Bungoro.

2. SampelAnak balita gizi kurang umur 24-59 bulan yang ada di 3 wilayah Puskesmas Kabupaten Pangkep yaitu, Puskesmas Labakkang, Puskesmas Pundata Baji dan Puskesmas Bungoro.

D. Jenis dan Cara Pengambilan Sampel1. Data Primer

Daya terima diperoleh dengan cara memberikan abon ikan pada anak gizi kurang umur 24-59 bulan setiap hari selama 3 minggu dengan menggunakan form pemantauan abon ikan.

2. Data SekunderData sekunder adalah data yang berhubungan dengan data Demografis dan Geografis diperoleh

dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Labakkang, Puskesmas Pundata Baji dan Puskesmas Bungoro

E. Pelaksanaan Penelitian1. Tahap 1. Formulasi

a. Pembuatan abon ikan dilakukan di laboratorium Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (UNHAS).

b. Analisis nilai gizi abon ikan dilakukan di Laboratorium Balai Industri Makassar.

c. Penentuan jumlah abon ikan dalam satu sachet, yaitu setiap satu sachet mengandung 5 g protein (21% AKG). Penetapan 5 g dalam satu sachet berdasarkan hasil penelitian Ipa (2003) di tiga puskesmas Kota Makassar terhadap balita gizi kurang dan gizi buruk dengan hasil bahwa konsumsi protein balita hanya 61,62% (masih kurang 18% untuk memenuhi kecukupan protein yaitu minimal 80% AKG)

d. Pengemasan abon ikan dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Politeknik Kesehatan Makassar Jurusan Gizi.

2. Tahap 2. Pemberian Abon ikan.a. Pemberian abon ikan dilakukan

di lapangan terhadap anak gizi kurang umur 24-59 bulan selama tiga bulan dengan pendekatan petugas Gizi Puskesmas, Bidan Desa dan Kader Posyandu.

b. Pemberian abon ikan dibagi menjadi dua Kelompok perlakuan, yaitu Kelompok I anak diberi satu sachet abon ikan dalam satu hari, dan Kelompok II anak diberi dua sachet abon ikan dalam satu hari. Masing-masing satu sachet mengandung 5 g protein (15 g abon ikan). Pemberian abon ikan tiap hari dipantau oleh Pembantu Peneliti dengan menggunakan form pemantauan konsumsi abon ikan oleh anak.

Page 61: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

61

F. Pengolahan dan Analisis DataPengolahan dilakukan dengan merekap semua data dari form pemantau abon ikan, selanjutnya dinilai penerimaan abon ikan pada anak gizi kurang unur 24-59 bulan.

HASIL DAN PEMBAHASANAwal penelitian jumlah anak yang

ikut dalam intervensi sebanyak 36 anak untuk masing-masing kelompok, namun sejalan dengan penelitian ternyata tidak semua anak bisa ikut sampai selesai intervensi. Alasan anak tidak bisa ikut sampai selesai intervensi pada umumnya merasa bosan setiap hari harus makan abon ikan.Dua anak dengan alasan mencret pada Kelompok I dan satu muntah pada Kelompok II setiap makan abon ikan.

Penerimaan abon ikan di awal penelitian ternyata sangat disukai anak-anak yang menjadi subjek penelitian. Hasil observasi di lapangan anak-anak mengkonsumsi abon ikan seperti mengonsumsi kudapan sambil bermain.

Alasan penerimaan abon ikan yang baik karena lokasi penelitian adalah salah satu daerah penghasil ikan terbesar di wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Selain itu abon ikan yang dikembangkan dengan formulasi bumbu menggunakan rempah-rempah alami yang dimodifikasi dari makanan tradisional khas etnik Bugis dengan nama daerah bajabuk ikan (Nurlela, 1997). Pengembangan pemberian makanan tambahan (PMT) yang sesuai dengan kebiasaan makan anak penting karena berhubungan dengan kesukaan anak, seperti yang dikemukakan oleh Endang dan Sunaryo (2004) bahwa pengembangan PMT (MP-ASI) disamping memperhatikan nilai biologis juga harus memperhatikan harga agar terjangkau dan diolah dengan memperhatikan kebiasaan makan masyarakat setempat.

KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan

Pemberian suplementasi abon ikan dapat diterima dengan baik pada anak gizi kurang umur 24-59 bulan selama tiga minggu.

B. SaranPada penelitian selanjutnya

perlu dipertimbangkan mengenai frekuensi pemberian abon ikan. Lebih baik frekuensi pemberian bertahap dalam seminggu yaitu dua kali atau tiga kali seminggu sehingga ada selang waktu untuk pemberian abon ikan. Hal ini banyak dikeluhkan oleh orang tua anak.

DAFTAR PUSTAKAMargono, SS. 1997. nematodologi usus

dalam s. Gandahusada, GD Ilaude dan W pribadi (cds). Parasitologi Kedokteran. 3rd cdn. Balai penerbit fakultas kedokteran UI. Jakarta. p.18

Ipa, A, dkk. 2003. Peningkatan Kemandirian keluarga menanggulangi balit gizi buruk di tiga wilayah puskesmas kota Makassar. Media Gizi Makassar. Makassar.

Depkes RI. 2005. Rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan gizi buruk 2005-2009. Depeks RI. Jakarta.

Dahuri R. 2004. WNPG VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Peran pengembangan kelautan dan perikanan dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Sambutan WNPG VIII. Jakarta : 29-33

Nurlela, 1997. Program Vucer. Penerapan teknologi tepat guna dalam peningkatan nilai tambah ikan menjadi abon ikan. Lembaga penelitian Unhas-Depdikbud. Jakarta

Soenaryo, E. 2004. Pengembangan produk pangan untuk optimalisasi tumbuh kembangn anak: perspektif indofood. Prosiding inovasi pangan dan gizi untuk optimalisasi tumbuh kembang anak. American Soybean Association. Jakarta. 2004

Untoro. 2002. Pedoman formulasi MP-ASI pangan lokal. Depkes RI. Jakarta

Almatsier, S. 2002. Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia. Jakarta : 28-304

Page 62: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

62

Lampiran :

Tabel 1.Distribusi Lama Pemberian Abon Ikan pada Anak Gizi Kurang Umur 24-59 Bulan

Kelompok I Kelompok IILama Pemberian

N % n %

< 1 minggu 36 100 36 1001 minggu 27 75,0 27 75,02 minggu 26 72,2 21 58,33 minggu 16 44,4 13 36,114 minggu 13 36,11 2 5.565 minggu 8 22,22 0 0.06 minggu 3 8,33 0 0.07 minggu 3 8,33 0 0.08 minggu 1 2,78 0 0.0

Jumlah 36 100 36 100

Tabel 2.Persentasi Kandungan Zat Gizi Abon Ikan

No. Zat Gizi Hasil Uji (%)

1 Kadar Air 9,182 Kadar Abu 5,063 Kadar lemak 38,954 Protein 33,745 Karbohidrat 6,02

Sumber: Balai Riset dan standarisasi Industri Makassar. 2006

Tabel 3.Kandungan Zat Gizi Abon Ikan Menurut Kelompok Intervensi

Berat Kandungan Zat GiziKelompok

Abon Ikan Energi Protein

Intervensi I 15 g 76 Kalori 5 g

Intervensi II 30 g 153 Kalori 10 g

Page 63: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

63

KESESUAIAN ASUPAN GIZI DENGAN PRESKRIPSI DIET PADA PASIEN DIABETES TIPE II RUANG RAWAT INAP DI RSUP DR.

WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR TAHUN 2007

Fahmi Hafid1, Siti Nur Rochimiwati2, Yustini31Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan, Palu, Sulawesi Tengah

2Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Makassar3Instalasi Gizi, RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

ABSTRAK

Indikator keberhasilan pelayanan gizi rumah sakit adalah: terwujudnya penentuan kebutuhan gizi, terselenggaranya evaluasi terhadap preskripsi Diet yang diberikan sesuai perubahan keadaan klinis, status gizi dan status laboratorium dan terwujudnya penterjemahan preskripsi Diet (Depkes,2005). Panjangnya alur pemenuhan kebutuhan gizi dari mulai anamnesis status gizi hingga konsumsi memungkinkan adanya ketidaksesuaian dari kebutuhan gizi yang telah ditetapkan dengan asupan gizi pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian asupan gizi dengan preskripsi diet pada pasien diabetes tipe II ruang rawat inap di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif, Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Pebruari – maret 2007 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bagian rawat inap dan instalasi Gizi, Metode penarikan sampel dilakukan dengan cara total sampling, jumlah sampel 30 Orang. Data Preskripsi diperoleh dari Buku Rekam Medik Form MR.5, Data Distribusi melalui penimbangan makanan di Instalasi Gizi dan di Pantry Lontara II, Data Asupan Melalui Recall 24 jam Frekuensi 3 Hari diolah dengan Wfood dan Persentase dengan SPSS 11,5.

Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok preskripsi 1300 persentase distribusi energi terhadap preskripsi sebesar 142%, asupan energi dari rumah sakit sebesar 89% dan energi dari luar rumah sakit sebesar 9%. Pada kelompok preskripsi 1500 persentase distribusi energi terhadap preskripsi sebesar 124%, asupan energi dari rumah sakit sebesar 78% dan energi dari luar rumah sakit sebesar 16%. Pada kelompok preskripsi 1700 persentase distribusi energi terhadap preskripsi sebesar 109%, asupan energi dari rumah sakit sebesar 71% dan energi dari luar rumah sakit sebesar 10%. Pada kelompok preskripsi 1900 persentase distribusi energi terhadap preskripsi sebesar 97%, asupan energi dari rumah sakit sebesar 62% dan energi dari luar rumah sakit sebesar 7%.

Sebagai kesimpulan kesesuaian antara preskripsi dengan asupan adalah pada diet DM 1300, kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi adalah pada diet DM 1700 dan diet DM 1900.Dengan demikian disarankan, mempertahankan kesesuaian antara preskripsi dengan asupan pada diet DM 1300, diet DM 1500 dan diet DM 1700 dan mencapai kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1900. Mempertahankan kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1700 dan diet DM 1900 dan mencapai kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1300 dan diet DM 1500.

LATAR BELAKANG Usaha pelayanan kesehatan di rumah

sakit termasuk pelayanan gizi yang bertujuan tercapainya kesembuhan penderita dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tetapi rata-rata 75% status gizi penderita yang dirawat di rumah sakit akan menurun dibandingkan dengan status gizi waktu masuk perawatan. Hal ini membuktikan bahwa penurunan status gizi terjadi di rumah sakit. Penurunan status

gizi menyebabkan angka mortalitas naik dan memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit (Soegih, 1997 dalam Daldiyono, Thaha).

Tiga dari sembilan indikator keberhasilan pelayanan gizi rumah sakit adalah: (1) terwujudnya penentuan kebutuhan gizi sesuai keadaan pasien. (2) terselenggaranya evaluasi terhadap preskripsi Diet yang diberikan sesuai perubahan keadaan klinis, status gizi dan

Page 64: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

64

status laboratorium dan (3) terwujudnya penterjemahan preskripsi Diet, penyediaan dan pengolahan sesuai dengan dengan kebutuhan dan keadaan pasien (Depkes,2005).

Perhatian khusus akan kebutuhan gizi ditujukan kepada semua pasien di rumah sakit terutama kepada pasien-pasien dengan hipermetabolisme akibat stress penyakit, diabetes melitus, infeksi, tindakan medis dan bedah, gangguan fungsi ginjal, hati dan saluran cerna, balita dan anak, luka bakar, serta penyakit kronis (Depkes, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian Manusiwa tentang terapi Diet diabetes melitus pada pasien rawat inap di Perjan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Mei-Juni tahun 2002 mengatakan bahwa terapi diet yang diberikan rumah sakit masih kurang memenuhi kebutuhan dan asupan zat gizi pasien. Rata-rata kebutuhan dan asupan gizi pasien masih kurang di bawah 90% dari kebutuhan kalori. Terjadi perubahan status gizi pada status gizi lebih, rumah sakit memberikan Diet masih bersifat umum, belum menghitung kebutuhan pasien (Manusiwa, 2002).

Diabetes melitus merupakan suatu masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses regenerasi yang juga merupakan penyebab kematian yang penting terutama di negara maju dan di negara berkembang di Indonesia terutama di kota-kota besar (Soegondo dalam Soewondo, 1993).

Untuk mencapai kontrol gula darah yang optimal, selain dari efek obat, asupan makanan juga sangat berpengaruh, resep diet yang telah diberikan oleh dokter diterjemahkan oleh ahli gizi dalam bentuk menu, menu yang telah disusun kemudian dibuatkan makanannya, makanan didistribusikan dan di konsumsi oleh pasien. Panjangnya alur pemenuhan kebutuhan gizi dari mulai anamnesis status gizi hingga konsumsi memungkinkan adanya ketidaksesuaian dari kebutuhan gizi yang telah ditetapkan dengan asupan gizi pasien.

Hal ini perlu mendapat perhatian terutama pada pasien dengan penyakit yang mendapat terapi Dietetik yaitu penyakit-penyakit gangguan metabolisme dan biokimia zat gizi seperti diabetes melitus (Moehyi, 1995).

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan karakteristik responden.

B. Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilaksanakan bulan

22 Pebruari - 3 Maret 2007 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bagian rawat inap dan instalasi Gizi.

C. Populasi Dan Sampel1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pasien Diabetes Tipe II dengan atau tanpa komplikasi di rawat inap di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. SampelSampel adalah seluruh Pasien Diabetes Tipe II dengan atau tanpa komplikasi di rawat inap di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar, dengan kriteria:a.Berumur >30 Tahunb.Laki-laki dan perempuanc.Menerima bentuk makanan biasad.Dapat berkomunikasi dalam keadaan sadar.e.bersedia menjadi responden

3. Metode Penarikan SampelMetode penarikan sampel dilakukan dengan cara total sampling

4. Jumlah Sampel sebanyak 30 Orang. D. Pengumpulan Data

1. Data Primer diperoleh dengan pengamatan langsung pada kegiatan pembagian makanan, kegiatan distribusi sampai di meja pasien dan asupan pasien dengan menggunakan form standar recall 24 jam. Preskripsi diet diperoleh dari data rekam medik MR.5. Status gizi dihitung dengan menggunakan perhitungan IMT klasifikasi IOTF.

2. Data Sekunder diperoleh melalui buku status pasien data rekam medik meliputi diagnosa, terapi diet, dan data deskripsi diet diperoleh dari catatan buku les makanan, dan catatan diit pada etiket makanan petugas gizi ruangan.

Page 65: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

65

E. PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN DATA

Data diolah dengan software SPSS 11.5, data preskripsi diet adalah numerik, data deskripsi diet adalah numerik, data makanan rumah sakit adalah numerik, dan data asupan gizi adalah numerik. Data disajikan dalam bentuk narasi, persentase, tabel. Format Isian SPSS terlampir.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Kesesuaian Preskripsi dengan Status

Diabetes Melitus.Pasien dengan DM tipe 2 disertai

dengan komplikasi selain diet DM diberikan pula diet lain. Untuk komplikasi Dislipidemia diberikan pembatasan lemak, untuk penyakit penyerta infeksi seperti ulcus diabetik dan TB paru ditambahkan kalori 100 kkal – 200 kalori. Untuk pasien DM tipe 2 dengan hipertensi diberi pembatasan garam dengan diet DMRG (Diabetes Melitus Rendah Garam).

Pada pasien dengan nefropati diabetika diberikan pembatasan protein sesuai derajat gagal ginjalnya. Sebagai contoh pada pasien ID07 selain mendapatkan diet DM 1700 juga diatur pembatasan protein sebesar 0,6 gr/Kg BB dengan diet rendah protein. Demikian juga pada pasien ID15 dengan komplikasi CKD (Chronic Kidney Diseases) diberikan pembatasan protein sebesar 0,8 gr/Kg/BB dengan diet rendah protein. Sedangkan pada pasien ID18 dengan komplikasi sindrome nefrotik diberi pembatasan protein sebesar 0,6 gr/Kg/BB/hari.

Untuk pasien dengan komplikasi Hipertensi pasien ID13 dan ID19 diberikan pembatasan garam dengan tambahan diet Rendah Garam (RG), meskipun tidak menyebutkan spesifik dari diet rendah garam I, II atau III. Jika pasien belum mendapatkan preskripsi diet tetap maka diberikan preskripsi diet sementara biasanya dengan diet DM 1700. Jika penderita mengalami komplikasi maka disesuaikan dengan jenis penyakitnya. Responden pada penelitian ini semua telah mendapatkan preskripsi diet tetap dari masing-masing dokter penanggung jawab.

B. Kesesuaian Preskripsi dengan Distribusi

Berdasarkan penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi pada diet DM 1300 dan DM 1500 belum sesuai dengan preskripsi. Hanya pada diet DM 1700 dan diet DM 1900 distribusi energi sesuai dengan preskripsi. Trend yang dapat dilihat bahwa makin rendah preskripsi maka makin tinggi distribusi atau antara preskripsi dengan distribusi berbanding terbalik.

Faktor ketidaksesuaian ini karena pada saat penulisan les makanan tidak mencantumkan jumlah kalori yang ditetapkan, sehingga pada saat membagi makanan terutama nasi dilakukan secara merata baik pada diet DM 1300, 1500 1700 dan 1900. Dari hasil penelitian terdahulu oleh Suminarti, dkk menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh pada ketidaktepatan pemberian diet pasien adalah (1) Diagnosa dengan terapi diit sebesar 1,67% (2). Terapi diet dengan penulisan di buku les/catatan makan sebesar 13,33% (3). Buku les makanan dengan etiket 16,67%.

Secara khusus untuk pasien dengan Diet DM 1300 rata-rata distribusi energi sebesar 1841.16 kkal (141% dari preskripsi), dapat dilihat bahwa terjadi kelebihan distribusi energi pada kelompok ini. Pada kelompok ini kebutuhan nasi adalah sebesar 300 gr dengan pembagian 100 gr pada pagi hari, 100 gr untuk siang hari dan 100 gr pada malam hari. Namun yang didistribusikan pada pagi hari diberikan nasi 100 gr, pada siang hari 200 gr dan malam hari 200 gr, sehingga distribusi energi untuk kelompok diet DM 1300 ini belum sesuai dengan preskripsi 1300.

Pada diet DM 1500 rata-rata distribusi energi sebesar 1864.4 kkal (124% dari preskripsi), dapat dilihat bahwa terjadi kelebihan distribusi energi pada kelompok ini. Pada kelompok ini kebutuhan nasi adalah sebesar 350 gr dengan pembagian 100 gr pada pagi hari, 150 gr untuk siang hari dan 100 gr pada malam hari. Namun yang didistribusikan pada pagi hari diberikan

Page 66: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

66

nasi 100 gr, pada siang hari 200 gr dan malam hari 200 gr, sehingga distribusi energi untuk kelompok diet DM 1500 ini belum sesuai dengan preskripsi 1500.

Pada diet DM 1700 rata-rata distribusi energi sebesar 1854.21 kkal (109% dari preskripsi), dapat dilihat bahwa distribusi energi pada kelompok ini sudah sesuai dengan preskripsi 1700 kkal. Pada kelompok ini kebutuhan nasi adalah sebesar 500 gr dengan pembagian 150 gr pada pagi hari, 200 gr untuk siang hari dan 150 gr pada malam hari.

Pada diet DM 1900 rata-rata distribusi energi sebesar 1843.66 kkal (97% dari preskripsi), dapat dilihat bahwa distribusi energi pada kelompok ini sudah sesuai dengan preskripsi 1900 kkal. Pada kelompok ini kebutuhan nasi adalah sebesar 550 gr dengan pembagian 150 gr pada pagi hari, 200 gr untuk siang hari dan 200 gr pada malam hari. Secara efesiensi kelebihan distribusi dibandingkan dengan kebutuhan akan menyebabkan kerugian bahan makanan pada rumah sakit jika berlangsung dalam waktu yang lama.

Untuk kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi karbohidrat pada kempat kelompok diet DM, hanya pada kelompok diet DM 1900 yang tergolong baik. Dan 3 kelompok lainnya mempunyai persentase distribusi karbohidrat yang lebih besar dari preskripsi.

Kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi lemak terdapat kesesuaian pada diet DM 1500, diet DM 1700 dan diet DM 1900. ini menunjukkan bahwa pola proporsi lemak menu rumah sakit sudah cukup baik. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi pasien dengan dislipidemia dan pasien dengan berat badan lebih. Namun, pada kelompok diet DM 1300 terjadi kelebihan distribusi lemak sebesar 123% sehingga pada kelompok ini perlu mendapat perhatian lebih untuk mengontrol distrbusi lemak guna mencegah dislipidemia dan kemungkinan peningkatan berat badan yang tidak diinginkan.

Kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi protein terdapat pada

kelompok diet DM 1700 dan DM 1900, sedangkan pada kelompok diet DM 1300 dan DM 1500 terdapat kelebihan distribusi protein (121% dan 130%). Ada kecendrungan hubungan antara karbohidrat dengan protein, dimana jika asupan karbohidrat sesuai dengan preskripsi maka asupan protein juga sesuai dengan preskripsi ataupun sebaliknya. Hal ini disebabkan karena kontribusi nasi sebagai bahan makanan pokok yang selalu ada dalam setiap menu mengandung karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Pada setiap 100 g Nasi mengandung 79,5 g karbohidrat dan 6,7 g protein. Sehingga untuk menurunkan komposisi karbohidrat dan protein dalam suatu menu dapat dilakukan dengan menurunkan kontribusi makanan pokok nasi dalam menu yang didistribusikan.

Khusus untuk pasien DM dengan Nefropati Diabetika, CKD, dan sindrome nefrotik, terdapat kelebihan distribusi protein pada semua pasien dengan komplikasi tersebut. Hal ini juga disebabkan karena distribusi nasi yang mengandung protein nabati juga cukup tinggi. Kontribusi protein dari ikan, telur, dan daging sebagai sumber protein bernilai biologis tinggi sangat diperlukan pada kelompok ini dan harus tetap ada dalam susunan menu rumah sakit.

C. Kesesuaian Preskripsi dengan AsupanBerdasarkan penelitian ternyata

asupan sesuai dengan preskripsi pada diet DM 1300, DM 1500 dan DM 1700. Namun asupan tidak sesuai dengan preskripsi pada diet DM 1900. Pada kelompok diet DM 1900 energi yang diasup lebih rendah dibanding preskripsi. Kontribusi makanan dari rumah sakit (78%, 71%, 62%) yang tidak mencukupi sedikit terpenuhi oleh asupan energi dari luar rumah sakit (16%, 10%, 7%), sehingga dengan asupan dari luar rumah sakit menambah kecukupan kebutuhan energi dari kelompok DM 1500 dan DM 1700. sedangkan pada kelompok DM 1900 asupan baik dari rumah sakit maupun dari luar rumah sakit tidak mencukupi dari kebutuhan energi yang dipreskripsikan.

Page 67: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

67

Makanan luar rumah sakit menjadi penting ketika asupan dari rumah sakit rendah, namun makanan dari luar rumah sakit sulit dikontrol terutama untuk bahan makanan tinggi lemak yang berisiko untuk menimbulkan dislipidemia pada pasien diabetes. Dari hasil penelitian, berdasarkan tabel 19 ternyata presentase asupan total lemak terhadap preskripsi baik yaitu 91%, 78%, 84% (DM 1300, DM 1500, DM 1700). Namun untuk DM 1900 masih kurang yaitu hanya 69%. Kontribusi asupan lemak dari luar rumah sakit berturut turut adalah 11%, 14%, 14% dan 12% untuk diet DM 1300, DM 1500, DM 1700 dan DM 1900.

Persentase asupan protein dari makanan rumah sakit terhadap preskripsi pada keempat kelompok diet DM masih kurang (72% -73%). Karena pasien juga memperoleh makanan dari luar rumah sakit maka asupan total protein menjadi baik kecuali pada diet DM 1900 yang asupan proteinnya masih kurang (78%).

Namun khusus untuk pasien dengan komplikasi nefropati diabetika, CKD dan sindrome nefrotik, justru terjadi kelebihan asupan pada semua pasien dengan komplikasi tersebut. Hal ini menjadi penyulit dalam upaya untuk mengontrol asupan protein yang dapat berakibat memperburuk/memperberat kerja ginjal. Olehnya itu sangat penting untuk mengurangi asupan bahan makanan yang tinggi protein pada kelompok pasien tersebut.

Rendahnya asupan dibandingkan dengan kebutuhan bila berlangsung dalam waktu lama akan berpengaruh terhadap status gizi pasien diabetes. Pada kondisi tertentu terutama dengan IMT yang lebih hal ini akan menguntungkan karena membantu penurunan berat badan. Tetapi jika hal ini terjadi pada pasien yang dengan IMT kurang maka akan menyebabkan penurunan berat badan yang tidak diinginkan.

Kekhawatiran yang berlebih dari pasien untuk patuh terhadap diet juga menyebabkan pasien mengurangi porsi makanan dari biasanya. Kondisi psikologis ini tentunya akan memberikan dampak yang buruk pasien itu sendiri. Peran ahli gizi menjadi sangat penting untuk memantau perkembangan asupan dari

pasien terutama dengan diet DM 1900 kkal. Disamping itu perilaku membatasi makanan juga disebabkan karena besarnya motivasi untuk cepat sembuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata asupan Energi responden sebesar 1379.86 kkal, jika dibandingkan kebutuhan energi basal rata-rata pasien yang sebesar 1320 kkal maka asupan energi lebih besar dari kebutuhan energi basal responden. Keuntungan yang diperoleh jika energi yang dikonsumsi minimal tidak lebih kecil dari kebutuhan basal pasien ialah untuk mencegah pemecahan glikogen hati yang dapat memicu kenaikan gula darah dan juga untuk mencegah pemecahan glikogen otot yang dapat menyebabkan penurunan berat badan terutama untuk pasien yang berstatus gizi kurang. Namun dalam penelitian ini ternyata tidak ada yang berstatus gizi kurang, sehingga risiko tersebut dinilai tidak ada.

D. Kesesuaian Distribusi dengan Asupan.

Berdasarkan penelitian ternyata dari keempat kelompok distribusi ternyata asupan pasien DM tipe 2 tidak sesuai dengan distribusi makanan. Dari tabel 17 memberikan informasi bahwa ternyata asupan energi jauh lebih rendah dibanding dengan energi yang didistribusikan. Pada 4 kelompok diet DM tersebut persentase asupan terhadap energi yang didistribusikan hanya sebesar 62,5%, 62,9%, 65,1% dan 64%. Secara umum dapat dilihat bahwa asupan tidak melebihi dari energi yang didistribusikan oleh rumah sakit.

Dari 30 responden rata-rata asupan energi dari rumah sakit 1182 kkal, Jika dibandingkan dengan rata-rata distribusi energi 1857 kkal (63,7%) maka ada sekitar 36,3% sisa makanan dari pasien DM tipe 2 di Ruang rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Analisis ini penting bagi instalasi gizi untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor tingginya sisa makanan pada pasien-pasien rawat inap terutama pada pasien diabetes di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Page 68: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

68

KESIMPULANDari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, maka kesesuaian asupan gizi dengan preskripsi diet pada pasien diabetes tipe II ruang rawat inap di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2007 dapat disimpulkan:1. Ada kesesuaian antara preskripsi dengan

status DM dan jenis dietnya pada keempat kelompok jenis diet DM.

2. Ada kesesuaian antara preskripsi dengan deskripsi diet yang dibuat oleh instalasi gizi.

3. Ada kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1700 dan diet DM 1900.

4. Ada kesesuaian antara preskripsi dengan asupan pada diet DM 1300.

5. Tidak terdapat kesesuaian antara distribusi dengan asupan pada keempat kelompok diet DM.

SARAN1. Mempertahankan kesesuaian antara

preskripsi dengan status DM pada diet DM 1300, DM 1500, DM 1700 dan DM 1900.

2. Mempertahankan kesesuaian antara preskripsi dengan deskripsi diet pada diet DM 1300, DM 1500, DM 1700 dan DM 1900.

3. Mempertahankan kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1700 dan diet DM 1900 dan mencapai kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1300 dan diet DM 1500 dengan cara mencatat jumlah kalori pada les makanan pasien diabetes.

4. Mempertahankan kesesuaian antara preskripsi dengan asupan pada diet DM 1300, diet DM 1500 dan diet DM 1700 dan mencapai kesesuaian antara preskripsi dengan distribusi pada diet DM 1900.

5. Mencapai kesesuaian antara distribusi dengan asupan pada diet DM 1300, DM 1500, DM 1700 dan DM 1900.

6. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap rendahnya asupan dibanding distribusi makanan rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKADaldiyono, Thaha Razak, Abd(editor), Kapita

Selekta Nutrisi Klinik, diterbitkan oleh Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral, Indonesia, 1998.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta, 2003.

Moehyi,S, Pengaturan Makanan dan DietUntuk PenyembuhanPenyakit, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Sarwono Waspadji, Slamet Suyono (editor), Pengkajian Status Gizi Studi Epidemologi, Jakarta: Balai Penerbit, FKUI, 2003.

Soewondo,Pradana, Hariyono (editor), Simposium Hidup Sehat dengan Diabetes, Jakarta: Balai Penerbit, FKUI, 1993.

Waspadji, S, Dietetik dan Pelayanan Medis: Tantangan dan Wacana Mutakhir dalam menghadapi era globalisasi. Dalam Prosiding Konas Persagi dan Temu Ilmiah Jakarta 8-10 Juli 2002.

Page 69: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

69

Lampiran :

Tabel 1. Persentase Distribusi dan Asupan Energi terhadap Preskripsi Pasien Diabetes Melitus RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

AsupanDistribusi Makanan

RSMakanan Luar RS TotalKelompok

PreskripsiKkal %* Kkal %* Kkal %* Kkal %*

1300 1841 142 1152 89 119 9 1271 981500 1864 124 1173 78 242 16 1415 941700 1854 109 1207 71 174 10 1381 811900 1844 97 1181 62 127 7 1308 69

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap preskripsi

Tabel 2. Persentase Asupan terhadap Distribusi Energi Pasien Diabetes Melitus RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Asupan EnergiDistribusi Makanan Rumah sakitKelompok Preskripsi Kkal Kkal %*1300 1841 1152 62.61500 1864 1173 62.91700 1854 1207 65.11900 1844 1181 64.0

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap Distribusi.

Tabel 3. Persentase Distribusi dan Asupan Karbohidrat terhadap Preskripsi Pasien Diabetes Melitus RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

AsupanPreskripsi Distribusi Makanan

RSMakanan Luar RS Total

Kelompok gr gr %* gr %* gr %* gr %*1300 195 290 149 181 93 20 10 200 1031500 225 302 134 192 85 43 19 234 1041700 260 294 113 184 71 29 11 213 821900 300 297 99 181 60 24 8 204 68

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap preskripsi.

Tabel 4. Persentase Distribusi dan Asupan Lemak terhadap Preskripsi Pasien Diabetes Melitus RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

AsupanPreskripsi Distribusi Makanan RS Makanan

Luar RS Total

Kelompok gr gr %* gr %* gr %* gr %*1300 35 43 123 28 80 4 11 32 911500 40 40 99 26 64 6 14 31 781700 45 43 95 31 69 6 14 38 841900 50 40 81 29 57 6 12 35 69

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap preskripsi.

Page 70: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

70

Tabel 5. Persentase Distribusi dan Asupan Protein terhadap Preskripsi Pasien Diabetes Melitus RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

AsupanPreskripsi Distribusi Makanan RS Makanan

Luar RS Total

Kelompok gr gr %* gr %* gr %* gr %*1300 55 72 130 42 77 2 4 45 811500 60 72 121 43 71 7 11 49 821700 65 73 112 49 75 6 9 55 841900 70 73 104 49 70 5 8 55 78

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap preskripsi.

Tabel 6. Persentase Distribusi dan Asupan Protein terhadap Preskripsi Pasien Diabetes Melitus Khusus dengan Gangguan Ginjal RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

AsupanPreskripsi Distribusi Makanan

RSMakanan Luar RS Total

ID Kg/BB/hari gr gr %* gr %* gr %* gr %*

07 0.6 27 68 253 44 161 4 13 47 17413 0.6 36 71 198 41 115 0 1 42 11515 0.8 39 76 194 34 86 12 31 46 11618 0.6 34 72 215 40 120 9 28 50 14725 0.6 33 67 201 43 128 2 5 44 133

Sumber : Data Primer, 2007*Persentase terhadap preskripsi.

Page 71: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

71

KADAR IODIUM URINE DAN PEMBESARAN KELENJAR GONDOK ANAK SEKOLAH DASAR

DI DAERAH PANTAI POLMASSirajuddin2, Suriani Rauf2, Andi Salim1

1Dinas Kesehatan Prop. Sulbar2Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

Abstrak Iodine Deficiency Disorders (IDD) prevalence in Polmas Regency changes from 34,06%

in 1998 to 23,7% in 2003. Why is area to be come height prevalence whereas nearest from the beaches that having seafood any rich iodine element.

The objectives of these study are to investigate food consume and its has relationship iodine deficiencies, iodine urine excretion, and iodine food content.

These research is ecology by cross sectional study that used of case control. Data collection on July 2005 for student elementary school as sampling and mothers as respondent. Sample size to be calculated by case control study formula, power test 0,10 and degree of freedom 0,05 (95%), proportion for iodine prevalence in non endemic area 0,049 and endemic area 0,340. Sample size are 84

Result Of Research indicate that hyperthyroid gland at elementary schoolchild 24,43% endemic district and 6,16% in district non endemic. Food-stuff Taking possession of frequency and mean consume good for two group and also interregional not differ, except food-stuff with frequency and small mean consumption. Type of food of Source Iodine Consumed with frequency and high amount of district second is fish (cakalang, layang) with content iodine which relative of equal.

Food-stuff of source goitrogenic consumed by group second is cassava leaf, spinach which in amount (< 10kg/days) not cause the happening of absorption trouble, so that its influence earn disregarded. Mean excretion iodine urine in these research district reside in above normal (endemic=295,125±172 and non endemic = 228,926 ± 164,879) representing high risk rate to occurrence hyperthyroid.

Key Words : Hyperthyroid, Iodine Urine Excretion, Iodine Content of Food, Elementary School Student, Beach Area

PENDAHULUANGangguan Akibat Kekurangan

Iodium (GAKI) merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Akibat negatif GAKI adalah Defisit Inteligence Quotient (IQ).Penderita gondok defisit 5 IQ point, penderita kretin 50 IQ point, dan bayi yang baru lahir di daerah endemik GAKI 10 IQ point (Depkes. RI.2003).

Survei Nasional pemetaan GAKI di seluruh Indonesia pada tahun 1998 diperoleh temuan 53,8 juta penduduk tinggal di daerah endemik GAKI dengan rincian 8,8 juta penduduk tinggal di daerah endemik berat, 8,2 juta tinggal di daerah endemik sedang dan 36,8 juta tinggal di daerah endemik ringan (Depkes. 2002). Program intervensi lebih dari 20 tahun memberi dampak positif Rata-rata nasional Total Goiter Rate (TGR)

menurun dari 30,2 % tahun 1982 menjadi 27,2 % tahun 1990, dan tahun 1998 menurun lagi menjadi 9,8 % (Depkes, 2003).

Hasil studi dan pemetaan GAKI (1998) di 4 (empat) Propinsi di Sulawesi menunjukkan penurunan angka prevalensi di tingkat Propinsi kecuali di Sulawesi Tenggara(Sultra). TGR di Sulut, Sulteng, Sulsel dan Sultra berturut-turut 3,0 %; 16,5 %; 10,1 % dan 29,3%. Hasil ini memperlihatkan kecenderungan penurunan prevalensi dibanding hasil TGR tahun 1990, berturut-turut 6,4 %; 46,9%; 23,9% dan 26,1%. Hasil pemetaan GAKI tahun 1998 di Kabupaten Polmas ( sebelum pemekaran Kabupaten) termasuk endemik berat dengan TGR 34,06 %. Sedangkan untuk Kecamatan Tinambung TGR 23,00 % (Thaha dkk, 1998)

Page 72: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

72

Hasil evaluasi survei GAKI tahun 2003 secara nasional kembali terjadi peningkatan TGR, dari 9,8 % tahun 1998 meningkat menjadi 11,1 % tahun 2003. Demikian juga di Sulawesi Selatan terjadi peningkatan dari 10,1 % tahun 1998 menjadi 10,5 % tahun 2003. Kabupaten Polmas terjadi penurunan dari 34,06 tahun 1998 menjadi 23,7 % tahun 2003. (Depkes. 2003)

Menurut Djokomoeljanto (1994) bahwa penderita GAKI pada umumnya banyak ditemukan di daerah pegunungan , Namun ditemukannya daerah pantai dengan angka prevalensi gondok yang cukup tinggi di sepanjang pantai Kepulauan Maluku mengalami peningkatan dari 11,3% Tahun 1982 menjadi 33,3% tahun 1995 sama dengan di Kabupaten Polmas ada 2 Kecamatan Pantai termasuk endemik sedang yaitu Kecamatan. Polewali dan Kecamatan Tinambung.

Berdasarkan adanya kenyataan tersebut, maka diteliti assosiasi antara kadar Iodium Urine, Kadar Iodium BM, Pembesaran Kelenjar gondok pada anak SD di daerah pantai endemik dan non endemik.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian

ekologi dengan pendekatan kasus kontrol yaitu kejadian gondok merupakan suatu akibat yang akan ditelusuri faktor yang berpengaruh. Pengumpulan data dilakukan secara cross-sectional (Friedman, 1986 dalam Gunanti, 1999).

Penelitian dilaksanakan bulan Juni-Juli 2005 dipilih secara sengaja (purposive), yaitu Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas Propinsi Sulawesi Barat karena merupakan daerah pantai dengan prevalensi TGR anak sekolah dasar 30 % pada survey GAKI 1998. Sebagai pembanding dipilih Desa Amesangan Kec. Binuang dengan TGR < 5 % (non endemik) dengan letak geografis yang hampir sama dengan Desa Karama.

Populasi adalah murid-murid Sekolah Dasar (SD) di kedua desa. Sampel adalah anak sekolah dasar kelas 2-4 yang mengalami kasus pembesaran kelenjar tiroid yang berada di daerah pantai. Sampel dipilih masing-masing 1- 2 buah SD per desa. Seluruh murid SD yang terdaftar resmi diperiksa pembesaran kelenjar gondoknya secara palpasi. Semua kasus diambil sebagai

sampel dan untuk menentukan Pembanding dilakukan secara random sederhana.

Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus case-control study(Lameshow, 1997); α = 95% atau 1,96, β= 90% atau 1,28; pο = perkiraan proporsi gondok pada daerah non endemik (Kecamatan Binuang) = 0,049 (Survei GAKI, 1998) p1 = perkiraan proporsi yang menderita gondok pada daerah endemik berat (Kecamatan Tinambung/Balanipa) = 0,340 (Survei GAKI, 1998) d.o=10%, dengan perbandingan 1:3. Maka sampel seluruhnya adalah 56 Pembanding + 28 kasus = 84

Berat badan ditimbang memakai SECA ketelitian 0,1 kg; pengukuran tinggi badan dengan menggunakan microtoice ketelitian 0,1 cm, status gizi dengan z skor BB/TB NCHW-WHO Pembesaran kelenjar gondok dengan metode palpasi oleh palpator terlatih, Kadar iodium urine, tanah dan makanan dengan pemeriksaan laboratorium dengan metode cerrium sedangkan iodium garam dengan “iodina test” produksi PT. Kimia Farma. Konsumsi makanan dengan food recall2x24 jam diolah dengan program W-FOOD. Data prosesing dengan SPSS 10.0.

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 10.0. Mann-Whitney U Test , Regresi logistik dengan Dimana, y = Variabel terikat (kejadian gondok) , variabel bebas Xn = (konsumsi energi, konsumsi protein, status gizi, kadar iodium dalam urine, pendapatan) (Sugiyono.2005).

HASIL PENELITIANA. Status Iodium Anak SD Daerah Pantai

menurut KelompokDitemukan bahwa status iodium

anak sekolah dasar didaerah penelitian berturut-turut; normal, defisiensi ringan dan defisiensi sedang masing masing 91,7% 7,1% dan 1,2%. Perbandingan kelompok kasus dengan kelompok Pembanding untuk defisiensi ringan 8,6%:6,1% sedangkan defisiensi sedang 2,9%:0.0%.

Status iodium urine yang tergolong defisiensi jumlahnya sangat kecil pada kedua kelompok. Dapat dibuktikan bahwa status iodium urineumumnya di atas normal (>100 ug/liter). Distribusi status iodium anak sekolah dasar menurut kelompok (Tabel 1).

Page 73: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

73

Status iodium urine antar kelompok memiliki rataan diatas normal (>100 ug/liter). Diduga terkait dengan suplai makanan sumber iodium relatif sama. Bahan makanan ikan dan, cumi-cumi memiliki rataan asupan yang sama antara kasus dan pembanding. Perbedaan hanya terjadi pada udang dan kerang, akan tetapi rataan kedua bahan makanan ini hanya dikonsumsi sebanyak 0,1 gram/kapita perhari, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan. Uji statitisk tidak ditemukan beda rataan status iodium urine antar kasus dengan Pembanding (Tabel 2)

B. Status Gizi AnakDistribusi status gizi anak

sekolah dasar di daerah penelitian menurut indikator BB/TB adalah gizi baik 60 orang (92,3%) dan gizi kurang sebanyak 4 orang (6,2%). Jika dibandingkan antar kelompok kasus dengan pembanding maka status gizi baik pada kelompok kasus sebanyak 23 orang (95,8%) dan kelompok pembanding sebanyak 37 orang (90,2%). Status gizi kurang terdapat pada kedua kelompok. Pada kelompok kasus status gizi kurang sebanyak 1 orang (4,3%) dan pada kelompok pembanding sebanyak 3 orang (7,3%). Status gizi anak menurut indikator BB/U dan TB/U tertera pada Tabel 3.

C. Konsumsi Pangan Sumber Iodium Food Frequency Questioner

digunakan untuk mengetahui jenis pangan potensial sumber iodium yang dikonsumsi oleh kedua kelompok. Ditemukan empat jenis bahan makanan sumber iodium yaitu ikan, udang, cumi-cumi dan kerang. Pada uji statistik ditemukan rataan konsumsi berbeda hanya pada udang (P=0.000) dan kerang (P=0.000). (Tabel 4)

Ditelusuri sepuluh jenis bahan makanan yang sering dikonsumsi lalu di analisis kadar iodiumnya dan dibandingkhan hasilnya dengan beberapa studi lain maka tidak ditemukan kadar yang berbeda jauh antara kajian peneliti dengan peneliti lain. Variasi kadar iodium bahan makanan antar lokasi selalu ditemukan. (Tabel 5).

PEMBAHASANA. Status Iodium (Ekskresi Iodium Urine)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa status iodium urine anak sekolah dasar tidak berbeda nyata antar kelompok kelompok kasus dan kelompok pembanding (p>0,05), akan tetapi berbeda nyata antar daerah endemik dan nonendemik (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa meskipun kedua kelompok berada di wilayah pantai akan tetapi nilai rata-rata ekskresi Iodium urine daerah endemik lebih tinggi (295,125±172,081) dibanding daerah nonendemik (228,926±164,87).

Pertanyaan sederhana yang perlu dijawab apakah perbedaan ekskresi Iodium antar daerah menyebabkan kejadian gondok disaat rataan seksresi berada di atas > 100 ug/L. Berdasarkan beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa dalam keadaan normal ekskresi Iodium urine berada di atas 100 ug/L. Hal ini berarti bahwa belum cukup bukti untuk menjelaskan perbedaan ekskresi Iodium yang nilai rataanya di atas normal menyebabkan perbedaan peluang untuk kejadian gondok.

Pada penelitian ini rataan EIU sebesar 274,7 ug/L/hari. Pada percentile 10 nilai EIU sebesar 110 ug/L dan pada percentile 90 nilai EIU sebesar 513,2 ug/L. Merujuk pada penetapan endemisitas GAKI menurut nilai median urine, maka nilai median dibawah 100 ug/L urine adalah menunjukkan gejala defisiensi Iodium, maka kelompok kasus umumnya berada dibawah P10. Pada penelitian ini percentil 10 (P10) sebesar 110 ug/L urine. Pada posisi diatas P90 terjadi dua kasus yaitu positif pembesaran pada kelompok kasus dan negatif pembesaran pada kelompok pembanding.

Perbedaan status Iodium antar daerah menunjukkan bahwa faktor keterpaparan menjadi penting untuk diperhatikan dalam penelitian ini. Meskipun kedua daerah merupakan daerah pantai namun dari hasil analisis data membuktikan bahwa kedua daerah memiliki status Iodium urine yang berbeda (P<0,05). Banyak faktor yang dapat menyebabkan perbedaan ini,

Page 74: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

74

diantaranya asupan makanan dan faktor hydrasi sebagai faktor yang memengaruhi status Iodium dalam urine.

Remer, Fonteyn dan Alex (2006) melakukan penelitian tentang sensitifitas ekskresi Iodium urine, dan hydrasi sebagai parameter untuk mengukur status iodium pada anak sekolah di Jerman. Jumlah sampel urine yang diperiksa sebanyak 1046 yang dikoleksi antara tahun 1996 sampai 2003 yang berasal dari 358 anak di Jerman usia 6-12 tahun. Intake energi dikumpulkan dengan metode penimbangan yang dikumpulkan secara paralel dengan pengambilan sample urine. Hasil penelitiannya ditemukan bahwa median urine anak sehat adalah 120 ug/liter/hari. Makanan yang dapat menduga status Iodium urine adalah susu, telur, daging secara nyata meningkatkan ekskresi Iodium dalam urine. Kesimpumpulan penelitian mereka adalah bahwa konsentrasi Iodium urine dapat digunakan sebagai indeks status Iodium anak. Faktor hydrasi merupakan faktor perancu yang perlu diperhatikan.

Penelitian lain menyebutkan bahwa ekskresi Iodium urine pada orang dewasa dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup. Selama kurung waktu tertentu terjadi penurunan ekskersi Iodium urine dari 198, 195, 147 dan akhirnya menjadi 58 ug/24 jam (P=0,001) pada penduduk di Grenland. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa terjadi penurunan ekskresi Iodium dalam urine dengan meningkatnya asupan makanan impor (P=0,001). Analisis regresi menyimpulkan bahwa jenis makanan, gaya hidup, berat badan, suku, konsumsi suplemen mempengaruhi ekskresi Iodium dalam urine sebesar 12%.

Hasil penelitian ini juga menguatkan dugaan bahwa asupan Iodium pada kedua daerah berada diatas rata-rata karena tingginya ekskresi Iodium dalam urine. Perhatian selanjutnya ditujukan kepada analisis ekses Iodium yang berlebihan dalam urine yang pada kasus dan pembanding menunjukkan nilai yang sama. Sebuah hasil penelitian West (2004) mengungkapkan bahwa rata-rata

ekskresi Iodium urine pada anak sekolah usia 10-12 tahun yang difisiensi Iodium hanya 43 ug/L/hari. Pemberian kapsul Iodium pada kelompok perlakuan hanya mampu meningkatkan ekskresi Iodium urine menjadi 172 ug/L/hari. Jumlah ini masih jauh dibawah hasil penelitian ini sebanyak 274,7 ug/L/hari.

Sebagaimana dijelaskan oleh West CE at.all (2004) bahwa jika kadar iodium urine berada pada kisaran 201-299 maka kondisi itu adalah faktor risiko terjadinya hipertiroid dan jika kadarnya lebih besar atau sama dengan 300 ug/L maka dipastikan sebagai kelebihan iodium. Penjelasan ini membuktikan bahwa di daerah penelitian telah terjadi kelebihan iodium karena kadar ekskresi iodium dalam urine berada pada kisaran > 200 ug/L.

Jika berdasarkan analisis yang demikian dipastikan asupan Iodium tidak terbukti sebagai penduga kejadian gondok berarti ada faktor lain yang cukup berpengaruh sehingga gondok dapat menjadi endemik di daerah pantai. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak ada korelasi kuat antara keadaan geografis kabupaten Polmas yang memiliki garis pantai dengan suplai ikan yang cukup akan terhindar dari kasus gondok. Persoalan yang muncul adalah bukan pada sumber Iodium yang defisit akan tetapi pada konsumsi protein yang rendah. Protein berfungsi sebagai tiroid binding protein. Keadaan ini sangat berbeda dengan apa yang telah diuraikan oleh banyak peneliti (Djokomoelyanto, 1994) yang menemukan bahwa kejadian gondok dipengaruhi oleh asupan Iodium yang memang berkurang baik karena kuantitas konsumsi pangan sumber Iodium maupun karena secara geografis akses pangan hasil laut ke daerah tersebut sangat terbatas. Karakteristik ini tidak ditemukan di Kabupaten Polmas yang secara geografis memiliki garis pantai dengan mata pencaharian penduduk nelayan dengan konsumsi ikan 218,78±53,60 gram/kapita/hari pada kelompok kasus dan 212,97±58,92 gram/kapita/hari pada kelompok pembanding.

Page 75: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

75

Dugaan peneliti di daerah Polmas determinan faktor kejadian gondok yang besar kemungkinannya disebebkan oleh kelebihan asupan Iodium. Coindent (1774-1848) pertama kali menemukan adanya pembesaran kelenjar gondok pada konsumsi Iodium yang berlebihan, kemudian Iodium exes dilaporkan terjadi pada penduduk Hokaido Jepang yang mengonsumsi ganggang laut dalam jumlah berlebihan (Djokomoeljant, 2002).

B. Status giziSemua indikator menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan status gizi anak baik antar kelompok maupun antar daerah (p>0,05). Jika tidak ada perbedaan status gizi antar kelompok dan antar daerah maka jelas bahwa asupan makanan secara kualitatif maupun kuantitatif belum memberikan dampak pada perbedaan status gizi anak. Model Unicef 1998 menyebutkan bahwa status gizi dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu asupan makanandan status kesehatan. Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi dalam waktu yang lama. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa defisiensi Iodium akan menyebabkan gangguan pertumbuhan.

C. Konsumsi Makanan Sumber Iodium dan Goitrogenik

Konsumsi pangan sumber Iodium antar kelompok tidak berbeda nyata untuk ikan dan cumi-cumi, tetapi berbeda pada udang dan kerang (p<0,01). Lebih tinggi asupan udang dan kerang pada kelompok kasus dibanding dengan kelompok Pembanding. Pada akhirnya harus dilihat apakah perbedaan ini akan menyebabkan konsekwensi kejadian gondok pada posisi defisit atau bahkan pada posisi ekses iodium. Hal ini dapat dijustifikasi dengan rataan ekskresi iodium urine pada kedua kelompok yang berada diatas normal. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Retno (1999) yang menemukan adanya perbedaan konsumsi pangan antar kelompok perlakuan dan kelompok pembanding khususnya pangan sumber Iodium, sehingga kesimpulan akhir penelitiannya adalah tingkat kecukupan

Iodium merupakan prediktor kuat kejadian gondok di Jawa Barat.

Berbagai hasil penelitian memang menunjukkan fenomena yang khas hal disebabkan karena kejadian gondok adalah multifaktor. Bahan makanan yang sama akan menghasilkan kandungan Iodium yang berbeda, karena pengaruh lingkungan terhadap stabilitas Iodium di alam sangat bervariasi. Pada daerah pegunungan dengan intesitas hujan yang tinggi akan mengikis Iodium sehingga kandungan Iodium dari pangan di daerah ketinggian dan kemiringan tanah tertentu akan menyebabkan tanah miskin Iodium.

Penjelasan ini juga membuktikan bahwa indikator yang paling tepat dan pertama diukur untuk mendeteksi defisiensi Iodium akibat asupan atau bukan asupan adalah dengan mengukur ekskresi Iodium. Konsekwensi perbedaan kandungan Iodium bahan makan, cara pengolahan, konsumsi garam beriodium dapat dilihat secara pasti melalui kadar Iodium dalam urine. Jika kadar Iodium dalam urine telah dapat diidentifikasi dengan jelas maka kita dapat menilai apakah defisiensi Iodium akibat konsumsi atau bukan. Terkait dengan penjelasan ini maka dipastikan bahwa konsumsi bahan makanan yang kaya Iodium atau pun kandungan Iodium bahan makanan tidak kuat sebagai prediktor kejadian gondok. Secara faktual ekskresi Iodium dalam urine > 100 ug/L.

Pangan sumber Goitrogenik di daerah penelitian berbeda asupannya antara kelompok kasus dengan kelompok pembanding khususnya singkong, daun singkong dan sawi (p<0,01). Perbedaan pada rataan konsusmi makanan goitrogenik pada pada penelitian ini tidak banyak mempengaruhi kejadian gondok. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa rataan asupan makanan goitrogenik hanya memberikan efek terhadap kejadian gondok jika dikonsumsi sebanyak 10 Kg/hari. Secara epidemiologis hanya ada 2 daerah yang menunjukkan efek pangan goitrogenik terhadap kejadian gondok yaitu Pulau Idjwi di Zaire. Penelitian yakin bahwa kejadian di Zaire berbeda dengan Polewali.

Page 76: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

76

Efek kandungan yodium pada bahan makanan terhadap kejadian gondok dibatasi oleh kuantitas asupan dan kandungan bahan makanan. Jika secara kuantitas bahan makanan memiliki kandungan iodium yang rendah namun memiliki konsumsinya memiliki kekerapan yang tinggi, maka kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan iodium masih dibatasi oleh level toleransi tingkat kerusakan selama pengolahan. Jika level kerusakan pada saat pengolahan masih menyisahkan iodium untuk diserap dalam saluran pencernaan, maka bahan makanan tersebut akan tetap memberikan peluang pemenuhan kebutuhan yang lebih baik. Berbeda halnya dengan bahan makanan yang kaya iodium dimana levelkerusakan akibat pengolahan belum dapat mengganggu tingkat penyerapan iodium, sehingga dengan frekuensi konsumsi yang rendah sekalipun masih lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan iodium tubuh.

Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka, penelitian ini melakukan analisis pada bahan makanan yang memiliki kekerapan konsumsi tertinggi pada masing-masing kelompok. Bahan makanan pokok berupa beras pada kedua daerah tidak menunjukkan perbedaan yang berarti sehingga dapat diasumsikan bahwa beras tidak menyebabkan asupan iodium yang berbeda antar daerah. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lain (Retno, 1998) juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda karena kandungan yodium yang diperoleh berkisar 2,5 ug/100 gram bahan.

Kelompok lauk pauk yang didominasi oleh hasil laut, pada kedua daerah tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan jenis ikan yang dikonsumsi oleh kedua daerah relatif sama (ikan cakalang). Jika dilihat dari habitat jenis ikan ini, maka termasuk ikan permukaan, bukan jenis ikan yang memiliki area habitat pada bagian dasar laut. Meskipun demikian kandungan iodium ikan dari hasil penelitian ini jauh lebih rendah dibanding dengan penelitian lain (Retno, 1998).

Kelompok sayuran yang memiliki kandungan iodium tinggi dari penelitian ini adalah bayam sedangkan penelitian Retno (1998) tergolong rendah. Hasil penelitian ini bahkan jauh lebih rendah dari hasil yang diperoleh dari penelitian Purwaningsih (1997). Berdasarkan hasil ketiga penelitian di atas maka dapat dijelaskan bahwa bahan makanan yang sama akan memiliki kisaran kandungan iodium yang lebar. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah dimana tumbuhan menyerap unsur hara. Cavalieri (1990) dalam Linder, 1992). Penelusuran asal usul bahan makanan menjadi penting untuk mengetahui kandungan iodium dalam tanah. Keterbukaan akses wilayah menyebabkan sulitnya dilakukan penelusuran asal bahan makanan karena suplayer berasal dari banyak sumber.

Penelusuran kandungan iodium dalam tanah dalam penelitian ini tidak dilakukan mengingat suplayer bahan makanan hasil tanaman pangan berasal dari daerah yang sama. Sumber sayuran dan beras banyak disuplai dari hasil pertanian kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polmas.

D. Konsumsi Zat GiziHasil analisis data

menunjukkan bahwa asupan energi rataan antara daerah endemik dan nonendemik berbeda nyata (P<0,01) akan tetapi asupan rataan energi tidak berbeda antar kelompok. Asupan energi yang berbeda akan menyebabkan proses metabolisme energi dalam tubuh berbeda.

Asupan protein berbeda antar kelompok kasus dan kelompok pembanding. Kelompok pembanding memiliki asupan protein yang lebih tinggi dibanding kelompok kasus. Penelitian ini menjelaskan bahwa protein memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kejadian gondok.

E. Analisis Ekologis Kejadian Gondok di Daerah Pantai

Penelitian ini fokus pada pengaruh ekskresi iodium urine, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, status gizi anak dan tingkat pendapatan terhadap kejadian gondok.

Page 77: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

77

Untuk kepentingan analisis ini maka dimasukkan variabel yang memiliki nilai P < 0,25 (Lameshow, 1997) yaitu; tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan tingkat pendapatan dalam model regresi.1. Tingkat pendapatan

Tingkat pandapatan antar kelompok dan antar daerah tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa strata sosial menurut tingkat pendapatan adalah sama. Jika diketahui tingkat pendapatan tidak menunjukkan perbedaan maka akses pangan akan relatif sama pada kedua. Persamaan dalam mendapatkan pangan akan menunjukkan fenomena pola konsumsi pangan yang potensial dan umum dikonsumsi akan sama. Bukti nyata dari keadaan ini adalah bahwa pola konsumsi pangan dengan skor frekuensi tertinggi antar kelompokdan antar daerah tidak berbeda nyata. Perbedaan pola konsumsi hanya ditujukan pada pangan tertentu yang konsumsinya tidak banyak sehingga dapat diabaikan kontribusinya terhadap munculnya perbedaan prevalensi kejadian gondok antar daerah dan antar kelompok.

Pengaruh tingkat pendapatan terhadap kejadian gondok adalah pada penyediaan pangan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil beberapa penelitian bahwa pangan hasil laut adalah sumber utama Iodium dan pada beberapa daerah pangan hasil laut tergolong jenis pangan yang relatif mahal dibanding kelompok sayuran dan buah-buahan. Jika demikian halnya maka semakin tinggi pendapatan maka akses pangan hewani khususnya pangan hasil laut akan semakin baik dan peluang untuk tercukupinya asupan Iodium semakin besar (Suhardjo, 1989)

Asumsi di atas tidak dapat digunakan dalam penelitian ini mengingat pendapatan antar kelompok dan antar daerah penelitian tidak berbeda nyata. Hal ini

berarti atribut pangan yang dikonsumsi akibat disparitas pendapatan menjadi tidak penting untuk diperhatikan kecuali selera dan kebiasaan makan. Sebuah hasil penelitian di Jerman mengungkapkan bahwa perubahan gaya hidup pada penduduk yang semula tidak mengalami defisiensi menjadi rawan masalah gondok. Penyebabnya sederhana yaitu meningkatnya pangan impor yang rendah kandungan Iodium dibanding makanan sehari-hari penduduk setempat. Pergeseran kebiasaan makan ini kemudian menyebabkan rendahnya ekskresi Iodium dalam urine dan pada titik kulminasi terendah sebesar 58 ug/24 jam (P=0,001)

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik maka terdapat hubungan negatif dengan tingkat konsumsi protein (r=-0,378) yang nyata (p=0,002) antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian gondok pada anak sekolah dasar (Y). Variabel tingkat kecukupan protein mempunyai OR (Exp (.β)) sebesar 0,9851 dengan koefisien kemiringan garis regresi sebesar 0,128 dengan tanpa negatif.

Hasil ini menunjukkan bahwa pada kondisi peubah lain tetap (konsumsi energi, tingkat pendapatan) dengan penambahan satu persen tingkat kecukupan protein akan menurunkan kejadian gondok tersebut sebesar 0,378 atau 37,8%. Hasil ini memperkuat teori bahwa kejadian gondok merupakan multifaktor yang tidak hanya bergantung kepada asupan Iodium dalam makanan tetapi juga oleh faktor lain.

Djokomoeljanto (1994), menjelaskan bahwa asupan protein mempengaruhi kadar protein dalam serum. Pengeluaran hormon tiroid dari kelenjar tiroid karena pengaruh TSH melalui membran basal, penetrasi sel kapiler kemudian ditangkap oleh Thyroid Binding Protein (TBP), pada keadaan protein

Page 78: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

78

menurun maka akan menyebabkan kadar hormon total akan menurun, penurunan hormon dari kelenjar thyroid (terutrama T4) akan menyebabkan hambatan umpan balik pada kelenjar hypophise dalam memproduksi TSH sehingga memacu kelenjar tiroid untuk meningkatkan fungsinya dalam upaya mencukupi kebutuhan hormon dari kelenjar thyroid.

2. Tingkat Konsumsi Energi Tingkat konsumsi energi

tidak berbeda antar kelompok. Hal ini juga akan menghasilkan out put yang sama dalam status gizi. Faktanya adalah status gizi antar kelompok dan antar daerah tidak berbeda nyata. Hasil ini menjelaskan hubungan timbal balik antara asupan energi dan status gizi sekaligus memberi dukungan kuat bahwa konsumsi energi bukanlah penduga yang kuat untuk terjadinya gondok di Kabupaten Polmas.

3. Tingkat Konsumsi ProteinSatu-satunya faktor

penduga kejadian gondok di daerah penelitian adalah asupan protein. Hal ini telah dijelaskan oleh Djokomoeljanto (1991) bahwa faktor gizi yang paling penting diperhatian dengan kejadian gondok adalahprotein. Hormon thyroid yang beredar dalam darah sebagian besar berikatan dengan protein plasma. Hanya sekitar 0,05% Tetraiodotironin (T4) dan 0,5% Triiodotirinin (T3) yang beredar bebas dalam darah. Protein adalah pengikat terhadap T3 yang bebas dalam plasma darah. Dalam keadaan defisiensi Iodium T3 harus disuplai masuk kedalam kelenjar thyroid dan hanya protein yang dapat melakukan tugas ini dengan baik melalui ikatan Thyroid Binding Protein (TBP).

Penjelasan diatas juga berarti nilai biologis Iodium dalam tubuh sangat menentukan perannya terhadap pencegahan defisiensi iodium. Protein dalam ikatan TBP menjadikan Iodium, mampu ditransformasi kedalam kelenjar

thyroid yang selanjutnya menurunkan stimulasi TSH sehingga pembesaran sel pada kelenjar thyroid tidak berlangsung dan ini berarti normal untuk semua orang. Masalah yang kemudian muncul jika protein tidak berikatan dengan Iodium. Jika dalam penelitian ini asupan Iodium bukan sebagai konstrain utama, maka perlu diteliti secara seksama asupan protein antar kelompok kasus dan kelompok pembanding. Faktanya kedua kelompok memang memiliki asupan protein yang berbeda (P<0,05). Asupan protein lebih tinggi pada kelompok pembanding dibanding kelompok kasus. Hal ini membuktikan bahwa asupan protein yang lebih dominan memengaruhi kejadian gondok di daerah penelitian.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Retno (1999), yang menyebutkan bahwa tingkat kecukupan Iodium bahan makanan yang memengaruhi kejadian gondok.

KESIMPULAN DAN SARAN1. Bahan makanan sumber goitrogenik

yang dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah daun singkong, bayam yang secara kuantitas (<10 kg/hari) tidak menyebabkan terjadinya gangguan penyerapan, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan.

2. Rataan ekskresi iodium urine di daerah penelitian berada diatas normal (endemik = 295,125±172 dan nonendemik = 228,926 ± 164,879) yang merupakan kadar risiko tinggi terhadap kejadian hipertiroid.

3. Asupan protein lebih kuat memengaruhi kejadian gondok dibanding asupan energi.

4. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa kejadian gondok di daerah pantai dapat diduga oleh asupan protein. Kejadian gondok tidak dapat diduga dari tingkat pendapatan, ekskresi Iodium urine, asupan energi, dan status gizi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar iodium dalam darah (T3 dan T4) untuk mengetahui jumlah iodium

Page 79: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

79

bebas dan iodium terikat oleh protein untuk menjaga kesinambungan pasokan hormon tiroid.

Penelitian ini menemukan kelebihan iodium dalam urine yang merupakan faktor risiko terjadinya hyperthyroidism sehingga perlu penelitian lanjutan untuk menegaskan bahwa kejadian gondok didaerah penelitian adalah akibat kelebihan iodium.

DAFTAR PUSTAKABPS, 2003, Polewali Mamasa Dalam Angka.

BPS-BAPEDA Polewali.BPS, 2003, Kecamatan Tinambung Dalam

Angka. BPS-BAPEDA Polewali.Departemen Kesehatan RI, 2003. Hasil

Evaluasi Survey GAKI 2003.Sekretariat Proyek IP-GAKI.IBRD LOAN 4125-IND. Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 2003. Gizi Dalam Angka. Jakarta

Djokomoeljannto 1992, Peran Zat Gizi Mikro (Iodium) Dalam Menurunkan Angka Mortalitas dan Morbiditas Anak, Gizi Indonesia Volume XVII, Jakarta.

Djokomeljanto.2002. Spektrum Klinik Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Jurnal GAKI Indonesia.(Online)Volume 3, Nomor 1, Tahun 2002. http//www.idd.indonesia.net, diakses 29 Desember 2004.

Djokomoeljanto. 2002. Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium: Pengamatan Selama Seperempat Abad Terbukanya Kemungkinan Penelitian. Jurnal GAKIIndonesia.(Online) Volume 3, Nomor 1, Tahun 2002.http//www.idd.indonesia.net, diakses 29 Desember 2004.

Djokomoeljanto. 2002. Evaluasi Gangguan Akibat Kekurangan Iodium di Indonesia. Jurnal GAKI Indonesia.(Online) Volume 3, Nomor 1, .

http//www.idd.indonesia.net, diakses 29 Desember 2004.

Friedman, G.D. 1986. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Yayasan Essensia Medica. Yogyakarta.

Gunanti IR, dkk, 2002. Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium di daerah Dataran Rendah, Dalam Prosiding Kongres Nasional Persagi dan Temu Ilmiah XII, Jakarta.

Lameshow (1997). Penentuan Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. UGM. Jogjakarta.

Linder, 1985. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme Dengan Pemakaian Secara Klinis. (Penerjemah: Aminuddin Parakkasi). Universitas Indonesia. Jakarta.

Retno (1999). Pola Konsumsi Pangan Kaitannya dengan Kejadian Gondok pada Anak Sekolah Dasar di Daerah Pantai. Desertasi tidak diterbitkan Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Suharjo, 1989. Pangan, Gizi dan Pertanian. Universitas Indonesia (UI-PRESS). Jakarta

Sugiyono.2005. Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta. Bandung

Thaha,AR,dkk. 1998. Study Prevalensi dan Pemetaan GAKI di Sulut, Sulteng, Sulsel dan Sultra. Makalah Hasil Pemetaan GAKI Sulawesi, GPI-UNHAS. Makassar

West, CE, Peter LJ, CS Pandav (2004). Iodine and Iodine Deficiency Disorders. Public Health Nutrition (Ed: Michael JG et.all)The Nutrition Society Texbook Series. Blackwell Publishing, Iowa

Thomas Remer, N Fonteyn, Alex U, S Berkemeyer (2006). Longitudinal examination of 24-h urineary iodine excretion in schoolchildren as a sensitive, hydration status–independent research tool for studying iodine status . American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 83, No. 3, 639-646, Maret

Page 80: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

80

Lampiran :

Tabel 1. Status Iodium menurut Kelompok

Kasus Pembanding JumlahStatus Iodium

n. % n. % n. %Normal 31 88,6 46 93,9 77 91,7Defisiensi Ringan 3 8,6 3 6,1 6 7,1Defisiensi Sedang 1 2,9 0 0,0 1 1,2Jumlah 35 100,0 49 100,0 84 100,0Sumber: Data Primer, 2005

Tabel 2. Hasil Analisis Perbedaan Status Iodium Urine Anak Sekolah Dasar

Status Rataan SD PPembanding 291,519 187,622 0,373Kasus 247,114 144,942Sumber: Data Primer, 2005

Tabel 3. Status Gizi Anak Sekolah Dasar menurut Kelompok

Kasus Pembanding JumlahIndikator

n. % n. % n. %BB/TBGizi Lebih 0 0,0 1 2,4 1 1,5Gizi Baik 23 95,8 37 90,2 60 92,3Gizi Kurang 1 4,3 3 7,3 4 6,2TB/UGizi Lebih 2 5,7 1 2,0 3 3,6Gizi Baik 18 51,4 28 57,1 46 54,8Gizi Kurang 11 31,4 19 38,3 30 35,7Gizi Buruk 4 11,4 1 2,0 5 6,0BB/UBaik 19 54,3 30 61,2 49 58,3Kurang 15 42,9 19 38,8 34 40,5Buruk 1 2,9 0 0,0 1 1,2Jumlah 35 100,0 49 100,0 84 100,0Sumber: Data Primer, 2005

Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Makanan Sumber Iodium menurut Kelompok

Konsumsi gram/kapita/hariPembanding KasusJenis Bahan Makanan

n. Rataan SD n Rataan SDP

Ikan 49 218,7 53,6 35 211,4 60,25 0,559Udang 49 0,8 3,9 35 2,4 4,5 0,000Cumi-cumi 49 0,0 0,0 35 0,1 0,7 0,092Kerang 49 0,0 0,0 35 2,4 5,7 0,000Sumber: Data Primer, 2005

Page 81: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

81

Tabel 5. Kandungan Iodium Bahan Makanan dibandingkan dengan Hasil Penelitian lainnya

Kajian Peneliti, 2005 Retno, IG 1998 Purwaningsih 1997

Bahan Makanan E NE E NE E NE

µg/100 gram µg/100 gram µg/100 gram µg/100 gram µg/100 gram mg/100 gram

Beras 2,3513 1,8127 2,595 2,620 - -Ikan Cakalang 2,6254 2,3975 100,045 103,275 - -Ikan Layang 2,6188 3,3813 - 91,275 - -Tempe 2,8569 2,8006 2,595 2,640 0,010 12,90Pisang 1,4820 2,1437 1,395 - 0,010 0,010Kangkung 2,5185 2,7484 2,500 3,090 0,010 14,680Bayam 4,8774 4,8779 1,620 1,850 13,450 29,860Labu Kuning 1,0959 1,3197 - - - -Telur 2,5676 2,4874 42,315 38,25 201,24 617,2Daun Singkong 4,8354 4,5010 - - - -Sumber: Data Primer 2005.

Tabel 6. Pola Konsumsi Pangan menurut Kelompok

Kasus Pembanding JumlahIndikator

n. % n % n. %Jenis Makanan Pokok

Beras 31 88,6 45 91,8 76 90,5Bukan Beras 4 11,4 4 8,2 8 9,5

Susunan HidanganMakanan Pokok dan Lauk 4 11,4 3 6,1 7 8,3Makanana Pokok, Lauk, Dan Sayur 27 77,1 33 67,3 60 71,4Makanan Pokok, Lauk, Sayur dan Buah 3 8,6 3 6,1 6 7,1Tidak tentu 1 2,9 10 20,4 11 12,8

Frekuensi Makan Sehari3 kali 25 71,4 35 71,4 60 71,42 kali 6 17,1 11 22,4 17 20,2Tidak tentu 4 11,5 3 6,1 7 8,4

Asal Makanan PokokProduksi sendiri 2 5,7 4 8,2 6 7,1Bukan produksi Sendiri 30 85,7 42 85,7 72 85,7Tidak tentu 3 8,6 3 6,1 6 7,1

Asal Makanan SayuranProduksi sendiri 0 0,0 1 2,0 1 1,2Bukan produksi Sendiri 31 88,6 46 93,3 77 91,7Tidak tentu 4 11,4 2 4,1 6 7,1

Asal Ikan Ikan Laut 35 100,0 49 100,0 84 100,0

Sumber air minumPDAM 5 14,3 8 16,3 13 15,5Non PDAM (sumur) 28 80,0 38 77,6 66 78,5Tidak tentu 2 5,7 3 6,1 5 6,0

Page 82: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

82

Kasus Pembanding JumlahIndikator

n. % n % n. %Makanan Pantangan

Ada 2 5,7 18 36,7 20 23,8Tidak ada 33 94,3 31 63,3 64 76,2

Jumlah 35 100,0 49 100,0 84 100,0Sumber: Data Primer, 2005

Tabel 7. Skor Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Goitrogenik menurut Kelompok

Frekuensi Konsumsi/bulanPembanding KasusJenis Bahan Makanan

n Rataan SD n Rataan SDP

Singkong 49 1,4 5,0 35 2,9 7,5 0,720

Bayam 49 15,5 25,2 35 23,1 32,2 0,527

Kangkung 49 18,0 29,2 35 24,4 31,7 0,269

Sawi 49 0,3 2,1 35 1,3 4,2 0,193

Daun Ubi 49 6,8 14,9 35 4,0 11,3 0,181

Sumber: Data Primer, 2005

Page 83: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

83

PENGETAHUAN KADER GIZI TENTANG KARTU MENUJU SEHAT (KMS) DI KELURAHAN BULAKREJO KECAMATAN SUKOHARJO

KABUPATEN SUKOHARJOSunarto1

1Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

Abstrak

Latar Belakang : Kader Gizi sebagai pelaksana Posyandu dituntut untuk mengetahui dan memahami arti, guna, dan isi pesan-pesan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS). Kesalahan kader gizi dalam hal pemindahan data dari KMS ke formulir dan meletakkan titik-titik koordinat berat badan dari umur ke KMS. Kesalahan ini dapat menyebabkan penuntun status gizi berada di seharusnya.Tujuan penelitian : untuk mengetahui pengetahuan kader gizi tentang Kartu Menuju Sehat (KMS)Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan Cros Seksional. Pengumpulan data dilakukan kurang lebih satu bulan pada bulan juli 2006 dengan wawancara berpedoman pada Kuesioner lalu hasilnya ditabulasikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya didesmikripsikan .Hasil : Pengetahuan kader gizi tentang arti grafik, sebagian besar (45%) kader cukup mengerti. Sedangkan pengetahuan tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS sebagian besar (50%). Kader gizi cukup mengerti, hanya ada 1 (2%) orang kadar gizi yang kurang mengerti tentang pesan-pesan tersebut.Kesimpulan : cara mengisi kader gizi yang masih kurang adalah mengenai cara mengisi KMS, batas umur, pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, batas umur pemberian imunisasi.

Kata kunci : Pengetahuan Kader Gizi. Tentang KMS

LATAR BELAKANGMasalah gizi merupakan masalah

yang kompleks yang melibatkan berbagai instansi serta masyarakat dalam mengatasi dan mencegahnya. Keadaan kurang gizi antara lain dapat mengakibatkan angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak, pertumbuhan berat badan anak terganggu, daya kerja menurun, gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan, serta mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit tertentu. Kesemuanya itu akan berpengaruh terhadap pembangunan desa. (Atmodjo, 1996)

Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) pada hakekatnya adalah salah satu usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan status gizi. UPGK adalah usaha keluarga untuk meningkatkan status gizi seluruh anggotanya dengan bimbingan teknis petugas dari sektor terkait dengan peran serta aktif dari masyarakat. Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi di Posyandu dan pemanfaatan pekarangan (Depkes RI, 1993).

Dalam program Posyandu penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) lebih diutamakan untuk mengamati kenaikan berat badan atau pertumbuhan balita. Kegiatan bulanan balita merupakan kegiatan masyarakat untuk mengetahui kesehatan anak dan merupakan kegiatan masyarakat (UPGK) yang paling pokok. Selain dapat menjadi dasar kegiatan Posyandu lain dan merupakan alat komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Dalam kegiatan Posyandu pesan-pesan penyuluhan didasarkan pada naik dan tidaknya berat badan anak balita. (Atmodjo, 1996)

Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu yang memuat grafik pertumbuhan berat badan menurut umur yang menunjukkan batas-batas pertumbuhan normal bagi anak umur 0 sampai 59 bulan. Di samping itu media komuniasi KMS juga memuat pesan-pesan mengenai air susu ibu (ASI), makanan sehat, imunisasi, vitamin A dan oralit atau larutan gula garam (LGG) untuk keperluan penyuluhan dan kesehatan. Sebagai keberhasilan dari pengisian Kartu Menuju

Page 84: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

84

Sehat (KMS) ini sangat ditentukan oleh pengetahuan kader gizi (Gizi, 2000).

Sering dijumpai kesalahan kader gizi dalam hal pemindahan data dari Kartu Menuju Sehat (KMS) ke formulir dan meletakkan titik-titik koordinat berat badan dan umur dari Kartu Menuju Sehat (KMS). Kesalahan ini dapat menyebabkan penentuan status gizi berbeda dari seharusnya. (Hartini, 2002)

Sehubungan masih banyak kader gizi kurang faham mengenai KMS, baik mengenai grafik pada KMS maupun pesan-pesan yang terdapat dalam KMS maka perlu diteliti pengetahuan kader gizi tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) di Kelurahan Bulakrejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo.

METODE PENELITIANA. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Bulakrejo Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. Di Kelurahan tersebut terdiri dari 8 rukun warga (RW), jarak lokasi dengan kota Sukoharjo kurang lebih 5 kilometer kearah utara yang dilalui jalan raya jurusan Solo – Wonogiri.

B. Pengumpulan DataPengumpulan data dilakukan

dengan wawancara berpedoman pada kuesioner yang sudah disediakan terlebih dahulu, yaitu dengan mendatangi responden kerumahnya masing-masing (sebagai data primer).

Data sekunder diperoleh dari Kelurahan setempat untuk memperoleh data geografi dan monografi desa.

C. Desain PenelitianPenelitian ini merupakan

penelitian survey dengan pendekatan cross sectional dilaksanakan selama 1 bulan. Pada tahap I akan dilakukan survey awal ke pos-pos penimbangan. Tahap II pengamatan operasional Posyandu. Tahap III kunjungan ke masing-masing kader gizi. Tahap IV pengambilan data ke masing-masing kader gizi.

D. Teknik Pengumpulan DataDengan kuesioner, data yang

dikumpulkan meliputi identitas kader, latihan yang pernah diikuti kader, pengetahuan kader gizi tentang arti, dan

cara mengisi kartu menuju sehat (KMS) serta pesan-pesan yang terdapat didalamnya. Materi KMS yang terdapat di dalam kuesioner meliputi makanan sehat, imunisasi, vitamin A, oralit dan larutan gula garam (LGG). Untuk mengetahui kemampuan kader gizi dalam mengisi KMS diberikan contoh soal mengenai cara meletakkan titik berat badan anak menurut umur pada kartu menuju sehat (KMS).

E. Subyek PenelitianSubjek penelitian ini adalah

semua kader gizi yang ada di Kelurahan Bulakrejo Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. Dari jumlah kelurahan tersebut jumlah kader gizi ada 42 orang dari 6 pos penimbangan (Posyandu).

F. Pengolahan dan Analisis DataJawaban dari kuesioner dari

masing-masing kader gizi akan diedit terlebih dahulu, kemudian memberi skor / nilai terhadap hasil tes dari kuesioner lalu ditabulasikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya akan didiskriptifkan. Seluruhnya pertanyaan dalam kuesioner berjumlah 35 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan mengenai identitas kader, latihan kader guna dan arti grafik pada KMS, dan pesan-pesan yang terdapat dalam KMS. Pertanyaan tentang guna, arti dan pesan yang terdapat dalam KMS berjumlah 22 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi : 9 pertanyaan mengenai guna, arti grafik cara mengisi KMS 3 pertanyaan mengenai makanan sehat dan makanan tambahan pada bayi umur 4 dan 6 bulan, 2 pertanyaan mengenai batas umur pemberian imunisasi dan macam imunisasi yang diberikan, 2 pertanyaan mengenai batas umur dan cara pemberian vitamin A, 2 pertanyaan bahaya dan cara mencegah mencret, dan 4 pertanyaan mengenai oralit dan larutan gula garam (LGG). Masing-masing pertanyaan bila dijawab benar diberi nilai 1, dan bila dijawab salah diberi nilai 0. Bila seluruh pertanyaan dijawab benar maka didapatkan nilai 22.

Page 85: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

85

HASIL DAN PEMBAHASANA. Kader Gizi

1. Umur dan Jenis KelaminPeranan kader gizi adalah

sebagai penghubung masyarakat desa yang membutuhkan pelayanan kesehatan desa melalui Puskesmas, pembaharu yang dapat mempercepat perubahan sikap dan perilaku masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki dalam bidang kesehatan dan untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan desa secara menyeluruh. Pada umumnya kader gizi dipilih dan ditunjuk oleh kepala desa dan para pamong desa dari anggota masyarakat yang dianggap mampu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.

Di Kelurahan Bulakrejo terdapat 42 kader gizi sebagian besar berusia < 30 tahun (80,9 %) dan semuanya wanita (tabel 2).

Dari wawancara yang dilakukan bersama ketua kader gizi tentang alasan semua kader gizi adalah wanita, karena laki-laki merasa segan menjadi kader gizi dan merasa beranggapan bahwa ibu-ibu dianggap lebih mampu dan lebih mengetahui gizi dan masalah mengatur makanan keluarga. Alasan lain yang menyebabkan kaum pria tidak mau menjadi kader gizi adalah mereka merasa sibuk bekerja mencari nafkah, sehingga tidak mempunyai waktu luang.

2. Tingkat PendidikanSalah satu persyaratan

menjadi kader gizi adalah bias membaca dan menulis. Jika dilihat dari tingkat pendidikan kader gizi di Kelurahan Bulakrejo tidak ada yang buta huruf (latin). Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 18 orang (42,9 %) adalah berpendidikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), sedangkan berpendidikan perguruan tinggi hanya ada 2 orang (4,7 %).

3. Mata PencaharianTabel 4 memperlihatkan

bahwa sebagian besar (64,3 %) kader gizi tiddi lokasi tersebut. Tidak

bekerja. Kader gizi yang aktif umumnya adalah kader gizi yang tidak mencari nafkah. Dari kader gizi yang aktif 64,3 % diwilayah penelitian sebanyak 27 orang kader gizi tidak mencari nafkah. Hal ini menyebabkan mereka dapat aktif , karena mereka lebih banyak tinggal dirumah sehingga mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti kegiatan UPGK.

4. Status PerkawinanTable 5 memperlihatkan ada

39 orang (92,9 %) kader gizi yang telah menikah dan hanya ada 3 orang (7,1 %) kader gizi yang belum menikah. Dari wawancara bersama kader gizi di Kelurahan Bulakrejo mereka mengatakan bahwa alasan kader gizi yang belum menikah adalah karena orang yang belum menikah merasa canggung bergaul bersama-sama ibu yang telah menikah, selain merekapun sibuk bekerja.

5. Aktif dan Tidak AktifJumlah kader gizi di daerah

penelitian yaitu di Kelurahan Bulakrejo semuanya berjumlah 42 orang. Namun dari jumlah tersebut yang aktif ada 27 orang (54,3 %) dan yang tidak aktif ada 15 orang (35,7 %) kader gizi (tabel 6).

Hasil wawancara bersama para kader gizi, banyak hal yang menyebabkan jumlah kader selalu berubah, diantaranya adalah karena pindah ketempat lain, sudah merasa malas untuk mengikuti kegiatan, dan sibuk mengurus rumah tangga. Juga karena banyak peranan kader gizi, sehingga semua kegiatan tertumpu pada kader. Sedang kader sendiri adalah anggota masyarakat yang juga mempunyai tugas dan kewajiban terhadap keluarganya. Kader adalah sukarelawan, yang bekerja untuk masyarakat tetapi tidak mendapat imbalan. Hal ini merupakan hambatan, sebab kader terpaksa meninggalkan tugasnya untuk kepentingan mencari nafkah ditempat ia bekerja.

Page 86: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

86

B. Pelatihan Kader GiziUntuk meningkatkan pengetahuan

kader gizi, salah satu cara yang dianggap efisien/ baik adalah dengan mengadakan kursus-kursus dan latihan-latihan yang diadakan selain dapat meningkatkan pengetahuan kader gizi yang memberikan rangsangan kepada kader gizi untuk bekerja lebih giat.1. Lama Menjadi Kader

Tabel 7 memperlihatkan dari 42 orang kader gizi di Kelurahan Bulakrejo, dari kelompok lamanya menjadi kader yang lebih dari 36 bulan ada 15 orang (38 %), yang lamanya menjadi kader gizi dari 12-36 orang (55 %) , dan 3 orang (7 % ) kader gizi yang baru menjadi kader gizi selama 12 bln.

2. Kursus Yang Pernah DiikutiTabel 8 menunjukkan bahwa

umumnya kader gizi di Kelurahan telah mengikuti kursus kader gizi. Ada 2 orang (5%) kader gizi yang telah mengikuti kursus sebanyak 3 kali dan ada 12 orang (29%) kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus.

Pada umumnya kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus adalah kader gizi yang baru. Biasanya kursus kader gizi dilakukan di tingkat kecamatan. Selain kursus diadakan pada saat awal program juga pada waktu tertentu diberikan kursus tambahan yang biasanya disebut sebagai kursus penyegar. Lama kursus berbeda-beda biasanya disesuaikan dengan biaya yang tersedia didalam program.

Jumlah kursus yang diikuti oleh kader gizi berbeda-beda hal ini disebabkan oleh banyak kader gizi yang sudah tidak aktif lagi atau keluar sebagai kader, umumnya kader baru sebagai pengganti mendapatkan kursus lebih sedikit bahkan ada yang belum pernah bila dibandingkan dengan kader gizi yang lama. Selain itu kadang-kadang tidak bisa mengikuti kursus karena berhalangan, misalnya baru melahirkan, sibuk dengan pekerjaannya, sakit dan lain-lain. Hal

yang menyebabkan jumlah kursus yang diikuti tidak sama antara kader satu dengan yang lain adalah karena biaya terbatas, sehingga kader yang ikut dipilih dan ditentukan jumlahnya Posyandu dengan harapan kader tersebut nantinya dapat memberikan pengetahuan kepada kader gizi yang lama.

Dari hasil wawancara bersama kader gizi yang telah mengikuti kursus, umumnya metode yang lebih banyak diberikan adalah dalam bentuk ceramah, karena dianggap lebih praktis dan mengingat program disesuaikan dengan waktu dan biaya yang tersedia.

Kader gizi hendaknya pernah membaca buku pegangan kader karena akan membantu meningkatkan atau menambah pengetahuan kader gizi, terutama kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus kader, yang diharapkan akan menunjang kelancaran program Posyandu.

C. Pengetahuan Kader Gizi Tentang Kartu Menuju Sehat (KMS)

Dalam penelitian ini pengatahuan kader gizi tentang KMS meliputi pengetahuan tentang grafik pertumbuhan anak balita dan pengetahuan tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS.

Pengetahuan tentang pertumbuhan anak balita dalam kuesioner dibagi menjadi 3 bagian, yaitu mengenai guna KMS tindakan yang diambil bila berat badan anak-anak naik/ tetap / turun dan cara mngisi KMS. Sedangkan pengetahuan untuk pesan-pesan yang terdapat dalam KMS dibagi menjadi 4 bagian yaitu mengenai makanan tambahan, immunisasi, vitamin A, dan oralit atau larutan gula, garam (LGG).

Tabel 10 menunjukkan bahwa pengetahuan kader gizi tentang arti grafik yang terdapat dalam KMS, menunjukkan bahwa sebagian besar (45%) kader gizi cukup mengerti, hanya sebagian kecil (14%) kader gizi yang kurang mengerti tentang pengetahuan tersebut. Sedangkan pengetahuan kader gizi tentang pesan-pesan yang terdapat

Page 87: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

87

dalam KMS, menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) kader gizi cukup mengerti, hanya terdapat 1 orang (2%) kader gizi yang kurang mengerti tentang pesan-pesan tersebut.

Tabel 11 menunjukkan bahwa kader gizi yang berumur 0 - 30 th berpengetahuan cukup (36%), tentang arti grafik yang terdapat dalam KMS, sedangkan yang berumur lebih dari 30 tahun berpengetahuan antara cukup dan baik.

Tabel 12 memperlihatkan bahwa kader gizi yang berumur 0 – 30 th berpengalaman baik (33%) tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS, sedangkan yang berumur lebih dari 30 tahun juga berpengalaman baik (12%).

Bahwa pada usia kurang lebih 30 tahun umumnya kader gizi masih mampu untuk melakukan aktifitas secara maksimal (Atmojo 1998)

Tabel 13 menunjukkan bahwa kader gizi yang berpendidikan SD berpengalaman baik (14 %) tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS, sedang yang berpendidikan SLTA / PT berpengetahuan cukup (17%). Ternyata dalam tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kader gizi tidak berpengaruh terhadap pengetahuan tentang arti grafik yang terdapat dalam KMS.

Tabel 14 menunjukkan bahwa kader gizi yang berpendidikan SD berpengalaman baik (12 %) tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS, sedangkan yang berpendidikan SLTP berpengetahuan baik (17%) dan yang berpendidikan SLTA / PT berpendidikan baik (17%)

Tabel 15 memperlihatkan bahwa kader gizi yang sudah bekerja berpengatuan antara cukup dan baik (17 % ) tentang arti grafik yang terdapat dalam KMS, sedang kader gizi yang belum bekerjaberpengetahuan cukup (29 %), hal ini disebabkan karena kader gizi yang sudah bekerja bisa membagi.

Tabel 16 memperlihatkan bahwa kader gizi yang sudah bekerja berpengetahuan baik (21%), tentang pengetahuan pesan-pesan yang terdapat dalam KMS, sedang kader gizi yang

belum bekerja berpengetahuan cukup (29%). Jadi dalam tabel diatas tersebut bahwa kader gizi yang sudah bekerja justru berpengetahuan lebih baik dibanding dengan kader gizi yang belum bekerja.

Tabel 17 menunjukkan bahwa kader gizi yang sudah kawin berpengetahuan cukup (45%), tentang arti grafik yang terdapat dalam KMS. Sedang kader gizi yang belum kawin berpengetahuan kurang (7.1%) Hal ini disebabkan kader gizi yang belum kawin mempunyai kegiatan yang tidak menentu, sisisi lain mereka merasa canggung bergabung dengan kader gizi yang sudah menikah.

Tabel 18 memperlihatkan bahwa kader gizi yang kawin berpengetahuan baik (45%), mengenai pesan-pesan terdapat dalam KMS. Sedangkan kader gizi yang belum kawin berpengetahuan kurang (4.8%). Hal ini selain dari keterangan di tabel 17 bahwa kader kader gizi yang belum kawin konsentrasinya kurang terhadap kegiatan UPGK

Tabel 19 menunjukkan bahwa kader gizi yang aktif berpengetahuan baik (31%), tentang arti grafik yang terdapat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), sedang kader gizi yang tidak aktif berpengetahuan cukup (19 % ) mengenai arti grafik yang terdapat dalam KMS.

Tabel 20 menunjukkan bahwa kader gizi yang aktif berpengetahuan baik (29%), tentang pesan-pesan yang terdapat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), sedang kader gizi yang tidak aktif berpengetahuan baik (17 %) mengenai pengetahuan yang sama. Hal ini disebabkan kader gizi yang tidak aktif sebagian besar mempelajari kegiatan Posyandu di rumah.

Tabel 22 menunjukkan bahwa kader gizi yang lama menjadi kader 0 – 1 th, berpengetahuan kurang ( 4.8%) mengenai arti grafik yang terdapat dalam KMS. Sedang yang lamanya menjadi kader 1-2 th berpengetahuan cukup (36%), dan yang lebih dari 2 th berpengetahuan baik (24 %). Hal ini membuktikan bahwa lamanya menjadi kader cukup berpengaruh terhadap

Page 88: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

88

pengetahuan tentang arti grafik dalam KMS khususnya, umumnya terhadap kegiatan UPGK.

Tabel 22 memperlihatkan bahwa kader gizi yang lama menjadi kader 0-1 tahun berpengetahuan cukup (4.8%), tentang pesan-pesan yang terdapat dalam KMS, sedang yang lamanya menjadi kader 1-2 th berpengetahuan cukup (26%), dan yang lamanya lebih dari 2 tahun berpengetahuan baik (24%). Jadi semakin lama menjadi lader pengetahuannya semakin baik (baik mengenai arti grafik maupun mengenai pesan-pesan)

Tabel 23 memperlihatkan bahwa kader gizi yang pernah membaca buku-buku mengenai posyandu, berpengetahuan baik (24%) tentang arti grafik yang terdapat dalam kartu menuju sehat (KMS), sedang kader gizi yang belum pernah membaca buku-buku mengenai posyandu berpengetahuan cukup (43%). Jadi kader gizi yang pernah membaca buku-buku mengenai posyandu akan mempunyai pengetahuan yang lebih baik, dari pada kader gizi yang belum pernah membaca buku.

Tabel 24 menunjukkan bahwa kader gizi yang pernah membaca mengenai Posyandu berpengetahuan baik (21%), tentang pesan-pesan yang terdapat dalam kartu menuju sehat (KMS), sedang kader gizi yang belum pernah membaca buku-buku mengenai Posyandu berpengetahuan cukup (31%).

Dari hasil wawancara bersama kader-kader gizi, mereka mengatakan bahwa masih banyak (74%) belum pernah membaca buku. Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka tentang buku yang ada, malas membaca buku, dan jumlah buku pegangan kader hanya ada satu buah.

Tabel 25 menunjukkan bahwa kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus berpengetahuan cukup (19%) tentang arti grafik yang terdapat dalam kartu menuju sehat (KMS). Kader gizi yang pernah mengikuti kursus satu kali, berpengetahuan cukup (24%, sedang yang mengikuti kursus 2 kali berpengetahuan baik (17%), dan yang

pernah mengikuti kursus tiga kali berpengetahuan baik (4.8%)

Bahwa kader gizi yang pernah mengikuti kursus gizi mempunyai tingkat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang lebih tinggi dari pada mereka yang belum pernah mengikuti kursus gizi (Atmojo, 1998).

Tabel 26 menunjukkan bahwa kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus berpengetahuan cukup (21%), mengenai pesan-pesan yang terdapat dalam KMS. Kader gizi yang pernah mengikuti kursus satu kali berpengetahuan baik (21%) sedang kader gizi yang pernah mengikuti kursus 2 kali, berpengetahuan baik (14 %) dan yang pernah mengikuti kursus tiga kali berpengetahuan baik (4.8%)

KESIMPULAN1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di

Kelurahan Bulakrejo terdapat 42 orang kader gizi, yang terdiri dari 27 orang (46,3%) kader gizi dan 15 orang (35,7%) kader gizi tidak aktif.

2. Semua kader gizi di lokasi (100%) adalah wanita. Pada semua kader gizi dijumpai ada keragaman umur, jumlah anak, lamanya menjadi kader dan keikutsertaan dalam kursus kader gizi, serta pernah tidaknya membaca buku pegangan kader.

3. Dari hasil pengujian diketahui bahwa masih terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan kader gizi tentang KMS, pengaruh tersebut antara lain: jumlah kader gizi yang aktif sedikit, fasilitas (buku-buku mengenai Posyandu) sangat terbatas, masih banyak kader gizi yang belum pernah mengikuti kursus kader, pembimbing/ pembina puskesmas desa terbatas.

4. Pengetahuan kader gizi yang masih kurang adalah mengenai: cara mengisi KMS, batas umur pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, batas umur pemberian immunisasi dan macam-macam immunisasi yang diberikan pada anak balita.

Page 89: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

89

SARANBerdasarkan masalah-masalah

tersebut di atas, maka untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan akder gizi tentang KMS maka dapat dilakukan dengan cara:1. Menambah penyuluhan-penyuluhan atau

kursus penyegar secara teratur 6 bulan sekali pada kader gizi. Kursus penyegar atau penyuluhan yang diberikan kepada kader gizi merupakan untuk merangsang minat dan motivasi untuk menjadi kader gizi, dan juga merupakan pengkaderan bagi anggota masyarakat untuk melestarikan kegiatan Posyandu di lokasi tersebut.

2. Karena jumlah buku pegangan kader gizi hanya ada dua buah yang dipegang oleh ketua kader gizi maka perlu penambahan buku-buku bacaan di masing-masing Posyandu pada umumnya dan KMS khususnya diharapkan dapat menambah pengetahuan pada kader gizi.

3. Perlu mendapat perhatian dari para ketua kader maupun pembina kader, yaitu usaha penyempurnaan kegiatan dalam pelaksanaan penimbangan balita tiap bulan.

4. Pemerataan kerja agar setiap kader gizi diberi kesempatan agar dapat melakukan setiap kegiatan pokok dalam penimbangan bulanan balita.

DAFTAR PUSTAKADepartemen Kesehatan RI, (1994). Pedoman

Tek0nis Pembinaan Kader UPGK. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, (2004). Pemantauan Pertumbuhan Balita. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

Dinkes Kab. Sukoharjo, (2004). Buku Kesehatan Ibu dan Anak.

Gizi Direktorat, (1996). Buku Pegangan Kader UPGK. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, (2000). Buku Pegangan Program Perbaikan Gizi. Ditjen Pembina Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI.

Gizi Direktorat, (2000). Buku Pegangan Kader UPGK. Jakarta Direktorat Gizi.

Abunaim Djumadias, (1997). KMS Peranannya Dalam Bidang Gizi.Jakarta

Sutanyo Edi dan Jus’at Idrus, (1992). Menilai Keadaan Gizi dengan Antropometri dan KMS. Jakarta Akademi Gizi.

Mantra I.B., (1992). Kader Tenaga Harapan Masyarakat. Depkes RI.

Tarwotjo Ignatius, (1998). Masalah Gizi di Indonesia Bogor Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi.

LIPI, (2001). Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Bogor.

Sajogyo, (1999). Pedoman Untuk Kader di Desa Dalam Membina Kader Gizi. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan IPB.

Atmodjo Soekartijah Marto, (1996). Studi Evaluasi UPGK Buletin Pangan dan Gizi. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.

Hartini Sri, (2002). Studi Penggunaan SKDH Sebagai Alat Ukur, Status Gizi Anak Balita Dalam UPGK. Jakarta FKM UI.

Page 90: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

90

Lampiran :

Tabel 2Golongan Umur Kader Gizi

Umur (th) Kader Gizi (n) %< 30 tahun> 30 tahun

348

80,919,1

JUMLAH 42 100,0

Tabel 3Tingkat Pendidikan Kader Gizi

Pendidikan Kader Gizi di Kelurahan Bulakrejo (n) %

SD 9 21,5SMTP 18 42,9SMTA 13 30,9PT 2 4,7

JUMLAH 42 100,0

Tabel 4Jumlah Kader Gizi Berdasarkan Mata Pencaharian

Mata Pencaharian Kader Gizi (n) %Pegawai Negeri 4 9,5Pegawai Negeri 1 2,4

Pedagang 6 14,3Tani 4 9,5

Tidak Bekerja 27 64,3JUMLAH 42 100,0

Tabel 5Jumlah Kader Gizi Berdasarkan Status Perkawinan

Status Perkawinan Kader Gizi (n) %Kawin 39 92,9

Belum Kawin 3 7,1JUMLAH 42 100,0

Tabel 6Jumlah Kader Gizi Aktif dan Tidak Aktif

Kader Gizi Kader Gizi di Kelurahan Bulakrejo %

Aktif 27 64,3Tidak Aktif 15 35,7JUMLAH 42 100,0

Page 91: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

91

Tabel 7Lama Menjadi Kader Gizi

Lama Menjadi Kader Kader Gizi %< 12 3 7

12 – 36 23 55> 36 16 38

JUMLAH 42 100

Tabel 8Kader Gizi Yang Pernah dan Belum Pernah Mengikuti Kursus Kader Gizi

Kursus Kader Gizi n %Belum Pernah 12 29

1 kali 19 452 kali 9 213 kali 2 5

JUMLAH 42 100

Tabel 9Kader Gizi Yang Pernah dan Belum Pernah Membaca Buku Pegangan Kader.

Baca Buku n %Pernah 11 26

Belum Pernah 31 74JUMLAH 42 100

Tabel 10Pengetahuan Kader Gizi Tentang Kartu Menuju Sehat (KMS)

Baik Cukup KurangPengetahuan n % n % n %Arti grafik yang

terdapat dalam KMS17 40 19 45 6 14

Pesan-pesan pada KMS 20 47 21 50 1 2

Tabel 11Golongan Umur Kader Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang grafikKurang Cukup Baik TotalUmur Responden

n % n % n % n %30 th 5 12 15 36 14 33 34 81>30 th 0 0 4 9 4 9 8 19

JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Page 92: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

92

Tabel 12Golongan Umur Kader Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalUmur Responden

n % n % n % n %0 < 30 th 7 17 13 31 14 33 34 81>30 th 1 2 2 5 5 12 8 19

JUMLAH 8 19 15 36 19 45 42 100

Tabel 13Pendidikan Kader Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader ttg grafikKurang Cukup Baik TotalPend. Responden

n % n % n % n %SD 0 0 3 7 6 14 9 21

SLTP 2 5 9 21 7 17 18 43SLTA/ PT 3 7 7 17 5 12 15 36JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 14Pendidikan Kader Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalPend. Responden

n % n % n % n %SD 0 0 4 9.5 5 12 9 21

SLTP 6 14 5 12 7 17 18 43SLTA/ PT 2 4.8 6 14 7 17 15 36JUMLAH 8 19 15 36 19 45 42 100

Tabel 15Pekerjaan Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang arti grafikKurang Cukup Baik TotalPekerjaan

Responden n % n % n % n %Bekerja 2 4.8 7 17 7 17 16 38

Tidak Bekerja 3 7.1 12 29 11 26 26 62JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 16Pekerjaan Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalPekerjaan

Responden n % n % n % n %Bekerja 4 9.5 3 7.1 9 21 16 38

Tidak Bekerja 4 9.5 12 29 10 24 26 62JUMLAH 8 19 15 36.1 19 45 42 100

Page 93: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

93

Tabel 17Status Perkawinan Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang grafikKurang Cukup Baik TotalStatus Perkawinan

Responden n % n % n % n %Kawin 2 4.8 19 45 18 43 39 93

Belum kawin 3 7.1 0 0 0 0 3 7.1JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 18Status Perkawinan Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang arti grafikKurang Cukup Baik TotalStatus Perkawinan

Respondenn % n % n % n %

Kawin 6 14 14 33 19 45 39 93Belum Kawin 2 4.8 1 24 0 0 3 7.0JUMLAH 8 19 15 36 19 45 42 100

Tabel 19Aktifitas Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Grafik

Pengetahuan kader tentang grafikKurang Cukup Baik TotalAktifitas

Responden n % n % n % N %Aktif 3 7.1 11 26 13 31 27 64

Tidak Aktif 2 4.8 8 19 5 12 15 36JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 20Aktifitas Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalAktifitas

Responden n % n % n % n %Aktif 4 9.4 11 26 12 29 27 64

Tidak Aktif 4 9.4 4 9.6 7 17 15 36JUMLAH 8 19 15 36.1 19 45 42 100

Tabel 21Lama Menjadi Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang grafikKurang Cukup Baik TotalLama Menjadi

Kader n % n % n % n %0-1 th 2 4.8 0 0 1 2.4 3 7.11-2 th 1 2.4 15 36 7 17 23 552 th 2 4.8 4 9.5 10 24 16 38

JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Page 94: Vol IV Edisi 2 Juli 2007

94

Tabel 22Lama Menjadi Kader Gizi Terhadap Pengetahuan Tentang Pesan pesan.

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalLama Menjadi

Kader n % n % n % n %0-1 th 1 2.4 2 4.8 0 0 3 7.11-2 th 3 7.1 11 2.6 9 21 23 55.52 th 4 9.5 2 4.8 10 24 16 38

JUMLAH 8 19 15 36 19 45 42 100

Tabel 23Pernah Tidaknya Baca Buku UPGK Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang arti grafikKurang Cukup Baik TotalPernah tidaknya

Baca Bukun % n % n % n %

Pernah 0 0 1 2.4 10 24 11 26Belum Pernah 5 12 18 43 8 19 31 74

JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 24Pernah Tidaknya Baca Buku UPGK Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalPernah tidaknya

Baca Buku n % n % n % n %Pernah 0 0 2 4.8 9 21 11 26

Belum Pernah 8 19 13 31 10 24 31 74JUMLAH 8 19 15 36 19 45 42 100

Tabel 25Banyaknya Ikut Kursus Terhadap Pengetahuan Tentang Arti Grafik

Pengetahuan kader tentang arti grafikKurang Cukup Baik TotalBanyaknya Ikut

Kursus n % n % n % n %0 2 4.8 8 19 3 7.1 13 311 3 7.1 10 24 6 14 19 452 0 0 1 2.4 7 17 8 193 0 0 0 0 2 4.8 2 4.8

JUMLAH 5 12 19 45 18 43 42 100

Tabel 26Banyaknya Ikut Kursus Terhadap Pengetahuan Tentang Pesan-pesan

Pengetahuan kader tentang pesan-pesanKurang Cukup Baik TotalBanyaknya Ikut

Kursus n % n % n % n %0 2 4.8 9 21 2 4.8 13 311 6 14 4 9.5 9 21 19 452 0 0 2 4.8 6 14 8 193 0 0 0 0 2 4.8 2 4.8

JUMLAH 8 19 15 36 19 36 42 100