JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

8
M anusia dari tidak ada kemudian ada, dan akan kembali tidak ada. Ti- dak ada manusia yang berulang, dalam QS. Ali Imran 158: “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati“. Dari sana sini kemari (mati). Hidup manusia laksana sebuah pendulum yang berputar ke segala arah, namun akan berhenti di suatu perhentian titik awal. Fenomena mudik (pu- lang kampung) merupakan salah satu keniscayaan hidup yang menuju asal kelahirannya. Demikian pula dengan teknologi, informasi hingga inovasi secara tidak sadar merefleksikan kembali ke jaman sebelumnya. Model pro- duk tanpa rasa malu mulai mengadopsi model lama. Lagu-lagu lama didaur ulang seakan hal yang baru. Semakin modern peradaban manusia sampai saat ini belum berhasil ber- saing dengan peradaban sebelumnya. Umur sebuah bangsa hingga pening- galannya yang mencapai ratusan tahun lamanya masih berdiri mengalah- kan keberlangsungan bangsa modern beserta karyanya. Peradaban modern hanya membuat manusia semakin lemah dan bergantung dengan teknologi. Manusia dimudahkan sekaligus diperbudak oleh banyak instrumen perada- ban modern. Penelitian, riset hingga pendidikan hanya menciptakan ma- nusia modern nan pandai hidup seperti robot mengikuti bahasa program. Hilang rasa hingga kepedulian terhadap sesama, hingga tak heran umur se- buah bangsa habis karena digerogoti oleh keserakahan manusianya. Banyak fatamorgana kemajuan yang di dengungkan oleh peradaban modern akhirnya tidak lebih baik nasibnya dengan peradaban sebelumnya. Dina- mika kehidupan digerakkan ke segala penjuru arah, kesana, kesini, namun jangan-jangan hanya berputar di titik awal. Seperti nasib bangsa Yahudi yang dihukum selama 40 tahun tersesat di padang Gurun Sinai tidak mam- pu memasuki tanah yang dijanjikan. Mereka sebenarnya mengetahui tujuan dan arahnya. Namun, entah mengapa perasaan bingung mendominasi piki- ran mereka. Hukuman karena mereka menjadi bangsa yang oportunis yang hanya mau menikmati hasil dengan mengorbankan perjuangan orang lain. Dalam QS. Al Maidah 24 yang artinya “Pergilah kamu (Musa) bersama Tu- hanmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya, kami hanya duduk menanti di sini”. Bak ironi hukuman bangsa Yahudi itu mulai membayangi bangsa ini. Se- mua jargon perbaikan seakan tak beringsut dari awalnya. Penegakan kea- dilan tak beranjak hanya jalan di tempat. Pemerataan seakan sebuah kiasan entah kapan terealisasi. Semua beramai-ramai menyalahkan sang pemim- pin. Berkaca kepada bangsa Yahudi tersebut, boleh jadi rakyat yang ber- mental Yahudi inilah penyebab hukuman terjadi. Ketika perjuangan meng- hadapi ketidakberesan hanya diserahkan kepada para utusan. Saat semua kebobrokan terjadi dianggap suatu yang biasa dan merasa tdk mampu men- gatasinya. Masyarakat telah tenggelam dalam kesibukan mempertahankan hidupnya masing-masing hingga lupa akan energi kebersamaan yang dapat menjadi solusi. Berangkat dari kegelisahan itulah maka Kenduri Cinta pada tanggal 10 Juni 2011 mengangkat tema “Dari sana... sini... Kemari”. Semoga segala sesuatu yang didapatkan merupakan inspirasi bagi kemajuan bangsa ini. WALLAHU A’LAM BIS SHAWAB. ++ (redaksikc-parman) ++ DARI SANA ... SINI ... KEMARI -Pengantar Forum Maiyah KenduriCinta Juni 2011- 06 KENDURI KENDURI

description

JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Transcript of JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Page 1: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Manusia dari tidak ada kemudian ada, dan akan kembali tidak ada. Ti-dak ada manusia yang berulang, dalam QS. Ali Imran 158: “Tiap-tiap

yang bernyawa akan merasakan mati“. Dari sana sini kemari (mati).

Hidup manusia laksana sebuah pendulum yang berputar ke segala arah, namun akan berhenti di suatu perhentian titik awal. Fenomena mudik (pu-lang kampung) merupakan salah satu keniscayaan hidup yang menuju asal kelahirannya. Demikian pula dengan teknologi, informasi hingga inovasi secara tidak sadar merefleksikan kembali ke jaman sebelumnya. Model pro-duk tanpa rasa malu mulai mengadopsi model lama. Lagu-lagu lama didaur ulang seakan hal yang baru.

Semakin modern peradaban manusia sampai saat ini belum berhasil ber-saing dengan peradaban sebelumnya. Umur sebuah bangsa hingga pening-galannya yang mencapai ratusan tahun lamanya masih berdiri mengalah-kan keberlangsungan bangsa modern beserta karyanya. Peradaban modern hanya membuat manusia semakin lemah dan bergantung dengan teknologi. Manusia dimudahkan sekaligus diperbudak oleh banyak instrumen perada-ban modern. Penelitian, riset hingga pendidikan hanya menciptakan ma-nusia modern nan pandai hidup seperti robot mengikuti bahasa program. Hilang rasa hingga kepedulian terhadap sesama, hingga tak heran umur se-buah bangsa habis karena digerogoti oleh keserakahan manusianya.

Banyak fatamorgana kemajuan yang di dengungkan oleh peradaban modern akhirnya tidak lebih baik nasibnya dengan peradaban sebelumnya. Dina-mika kehidupan digerakkan ke segala penjuru arah, kesana, kesini, namun jangan-jangan hanya berputar di titik awal. Seperti nasib bangsa Yahudi yang dihukum selama 40 tahun tersesat di padang Gurun Sinai tidak mam-pu memasuki tanah yang dijanjikan. Mereka sebenarnya mengetahui tujuan dan arahnya. Namun, entah mengapa perasaan bingung mendominasi piki-ran mereka. Hukuman karena mereka menjadi bangsa yang oportunis yang hanya mau menikmati hasil dengan mengorbankan perjuangan orang lain. Dalam QS. Al Maidah 24 yang artinya “Pergilah kamu (Musa) bersama Tu-hanmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya, kami hanya duduk menanti di sini”.

Bak ironi hukuman bangsa Yahudi itu mulai membayangi bangsa ini. Se-mua jargon perbaikan seakan tak beringsut dari awalnya. Penegakan kea-dilan tak beranjak hanya jalan di tempat. Pemerataan seakan sebuah kiasan entah kapan terealisasi. Semua beramai-ramai menyalahkan sang pemim-pin. Berkaca kepada bangsa Yahudi tersebut, boleh jadi rakyat yang ber-mental Yahudi inilah penyebab hukuman terjadi. Ketika perjuangan meng-hadapi ketidakberesan hanya diserahkan kepada para utusan. Saat semua kebobrokan terjadi dianggap suatu yang biasa dan merasa tdk mampu men-gatasinya. Masyarakat telah tenggelam dalam kesibukan mempertahankan hidupnya masing-masing hingga lupa akan energi kebersamaan yang dapat menjadi solusi.

Berangkat dari kegelisahan itulah maka Kenduri Cinta pada tanggal 10 Juni 2011 mengangkat tema “Dari sana... sini... Kemari”. Semoga segala sesuatu yang didapatkan merupakan inspirasi bagi kemajuan bangsa ini. WALLAHU A’LAM BIS SHAWAB. ++ (redaksikc-parman) ++

DARI SANA ... SINI ... KEMARI-Pengantar Forum Maiyah KenduriCinta Juni 2011-06

KENDURI

KENDURI

Page 2: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari

hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkan-ku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.

Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempa-ti karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidur-kan di rumah orang, artinya di rumah yang di-huni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilah-kan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur se-bagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak per-nah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan sia-papun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.

Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu ke-giatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum ter-tentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk

mengurusi ranjang, membeli kasur dengan se-gala keindahannya. Padahal kasur itu urusann-ya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur ti-dak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.

Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergau-lan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah?

Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku berce-rita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bers-ama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Ka-ligrafi di hotel tersebut.

Kami berjalan menerobos bagian-bagian ba-wah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lo-rong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.

Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. “Ya Al1ah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tem-pat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentang-Mu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar se-

ALLAH DAN SELANG-SELANG AC-Emha Ainun Nadjib-

2

Page 3: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

buah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan ban-yak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Eng-kau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk memban-gun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu...”

Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhu-bungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: “Malam ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi”.

Mungkin aku agak sentimental dengan kelu-han semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa mengang-gap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.

Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta tuli-san petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya se-dang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.

Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Mes-kipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di po-jok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.

Jum’at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang bera-gama Islam. Tapi tempat jum’atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mo-bil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergu-mam: “Ka1au memang yang dimaksud kebu-dayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga mem-beli Qur’an, Bagavadgita, syukur kitab asli Za-bur, Taurat dan Inji1.

(Emha Ainun Nadjib, Jawa Pos, 2005/02)

3

Semakin tinggi tumpukkan kekayaan kita, semakin serius

tingkat kemiskinan kita. Sebab tanda bahwa seseorang itu

miskin ialah apabila ia butuh. Tanda seseorang melarat adalah jika terbukti bahwa ia serakah.

Tanda bahwa seseorang itu fakir, ialah jika ia terbukti bernafsu untuk merampok,

memonopoli dan merebut apa saja yang bukan miliknya.

Hanya orang kaya yang bisa kenyang oleh kesederhanaan,

yang sanggup memberikan apa saja tanpa segan tanpa rasa

eman. (EAN)

Page 4: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

PEMIMPIN 'GRESS' DAN BANGSA INDONESIA BARU (QOUMUN AKHOR)-Forum Maiyah KenduriCinta Mei 2011-

Diawali dengan pembacaan surah Yaasin untuk mengantarkan almarhum ayahanda dari Syekh Nursamad Kam-

ba yang dipanggil Allah pada Jumat siang sebelum acara berlangsung. Usai membaca surah Yaasiin, jamaah bersama-sama melan-tunkan shalawat.

Di Kenduri Cinta ini kita belajar dan yang pa-ling utama bukanlah ilmu yang kita dapatkan melainkan input-input yang akan mengak-tifkan sel-sel dalam otak kita sehingga dapat menghasilkan cara/pola berpikir yang baru. Apakah hizb ini rencananya akan dibacakan karena kondisi Indonesia yang sudah sedemi-kian macetnya? Hizb (hizbun) mempunyai arti partai atau pasukan. Allah menitipkan bebe-rapa orang-orang-Nya untuk menjaga keber-langsungan agama-Nya di semua lini. Feno-mena-fenomena seperti tsunami, gempa bumi, dan kebakaran merupakan hizb-hizb Allah yang bekerja dengan caranya masing-masing.

Qoumun akhor dalam Al-Quran (QS 21:11) dapat diartikan sebagai ‘potong generasi’ (red: revolusi) yang prosesnya bisa berasal dari ma-nusia, tapi bisa juga Allah sendiri yang turun tangan. Kita semua berdoa, jikalau ada revo-lusi baik dari manusia maupun dari Allah sen-diri, semoga kita digolongkan sebagai mereka yang selamat.

Kalau dilihat dari segi historis, ada 2 gene-rasi manusia dalam siklus perkembangannya, Muhammad, Isa, Nuh, dan akan bermuara di Anwas dan kemudian saudaranya Anwar. Masing-masing dari keduanya mempunyai po-tensi-potensi berbeda. Dalam kitab-kitab Jawa diyakini bahwa kita berasal dari garis Anwas, dengan tetap ada persilangan-persilangan, mungkin pada generasi keenam dan ketujuh. Di dalam sejarah baik Al-Quran maupun lite-ratur umum, ada generasi-generasi yang oleh Allah diputus seperti kaum ‘Ad, Samud dan berbagai kaum lain.

Tema Kenduri Cinta kali ini disimbolkan den-gan ‘pemimpin’ dan ‘bangsa’, bukan dalam konteks ‘negeri’. Representasi manusia untuk menjadi khalifah terdiri dari jasad dan ruh. Ruh disimbolkan oleh warna putih dan jasad oleh warna hitam. Begitu pula dialektika Jawa, yang tergambar dalam tokoh Semar. Putihnya Semar terjadi ketika dia menjadi batara di ka-hyangan sebagai Ismaya. Tapi kemudian dia harus turun ke bumi, menghitamkan diri. Kain poleng dalam Dewa Ruci menggambarkan bahwa memang kita hidup di antara hitam dan putih. Mungkin hal itu terkait juga dengan di-namika Sunan Kalijogo dengan ilmu hayat-nya (ilmu untuk menghidupkan). Dalam Jayabaya disebutkan: ‘Suatu saat akan ada gabus putih yang tenggelam dan batu hitam yang menga-pung’. Mungkin akan ada suatu titik di mana Tuhan sendiri hadir dengan meluluh lantak-kan umat-Nya dengan gunung meletus, gempa bumi dan sebagainya. Informasi-informasi itu ada di dalam Al-Quran, dan seharusnya kita pelajari.

Jatuhnya Soeharto ternyata memunculkan Soeharto-Soeharto baru yang lebih buruk. Dalam bahasa Bumi merupakan sesuatu yang tidak mungkin pada masyarakat yang telah se-demikian rusak akan muncul pemimpin sejati. Namun dalam bahasa langit, yang terjadi jus-tru sebaliknya. Satrio pandita sinisihan wahyu mempunyai penguasaan terhadap dimensi ru-ang dan waktu, plus iradat Tuhan. Meski kita menjumpai kegamangan horizontal, kita mesti tetap optimis pada dimensi vertikal.

Mendekati tengah malam, Agung Pambudi, Aziz, Ibrahim, tiga dari banyak jamaah tampil sebagai narasumber.

[Agung Pambudi]

Tidaklah seorang pemimpin itu akan lahir jikalau di suatu ketatanegaraan berlangsung sistem yang berantakan, seperti yang terjadi di masa-masa lampau, yaitu kerusakan yang

4

Page 5: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

sangat dahsyat di seluruh aspek. Lalu apa yang akan melahirkan seorang pemimpin?

Hakikat seluruh semesta sesungguhnya ter-dapat dalam diri Rasul, yaitu Nuur Muham-mad yang melahirkan jasmaniah (dzatullah) dan nuur tajalli (sifatullah). Itsir (ether) adalah sesuatu yang embut (latiif) yang berputar pada porosnya. Satrio Piningit adalah ruh kita, yang dikurung oleh empat hawa nafsu. Kita harus memiliki pengetahuan tentang insan kamil untuk melahirkan pemimpin.

[Azis]

Kalau saya boleh memahami, apakah ini yang dinamakan teori terbalik atau teori dibalik atau teori itu memang harus dibalikkan? Harusnya yang sudah berpengalaman. Saya bahkan untuk memimpin diri saya sendiri pun tidak bisa. Saya mengutip Cak Nun: “Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti; ada orang yang mengerti tapi tidak men-gerti bahwa dia mengerti, maka bangunkanlah dia; ada yang tidak mengerti dan mengerti bahwa dia tidak mengerti, belajar-lah; ada orang yang tidak mengerti tapi tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti, dialah sontoloyo; ada orang yang tidak mengerti tapi tidak tahu bahwa dirinya tidak mengerti tapi berlagak mengerti, model ini adanya cuma di Indonesia.”

Kaitannya dengan Satrio Piningit, di Indone-sia dia dipingit oleh sistem. Intinya kalau saya cermati dari Cak Nun, kita harus peka pada ba-hasa dan penggunaannya.

[Ibrahim]

Malaikat adalah jari-jemarinya Allah. Ada bermacam jenis, bermacam frekuensi, ada ber-macam level. Jumlahnya tidak terkira. Dalam kosmologi Jawa, kalau pake ritme ji ro lu, Pre-siden sekarang adalah ji artinya yang kedua. Apakah jiroluji atau jirolupat? Tidak ada pre-siden di Indonesia yang direlakan turun oleh rakyatnya. Bung Karno karena kudeta (terje-gal dari belakang), Soeharto karena reformasi (people power), Gus Dur karena Sidang Isti-

mewa (junggring salaka). Kalo jirolupat, ber-arti jatuhnya nanti bukan dengan cara-cara itu tapi dengan cara yang lain. Apa cara yang lain itu? Kita tidak usah berdebat, karena itu belum terjadi.

Mudah-mudahan Anda dianugerahi ibunya ilmu kehidupan. Untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Supaya yang bersentuhan dengan-mu juga dibimbing oleh Allah. Ada fenomena yang ditawarkan oleh Allah, yaitu minyak zai-tun. Minyak itu mampu menghasilkan cahaya tanpa perlu disulut api. Usaha Anda mungkin cuma 10% tapi Allah berperan 90%nya karena Allah menyulutnya.

[Gus Mus]

Mbah Nun ini (red: Cak Nun) ulama yang se-karang masih bisa bunyi karena nurani. Saya

ndampingi putranya ka-rena Negara ini tidak bisa diurus oleh orang perorang yang hanya mementingkan dirinya, sektenya, keluarganya. Mbah Nun saya ikuti. Saya nggak pernah no-lak. Karena apa? Karena masih ada yang men-

gingatkan. Mengingatkan yang baik kadang menyakiti hati orang yang diingatkan, tapi jika tidak diingatkan akan melampaui batas.

Saudara-saudaraku, jangan pernah letih untuk mencari, jangan berputus asa untuk meraih hidayah. Yang paling penting adalah zikir hati. Kalau pikiran kita nanti mengembara. Saudaraku yang belum makan, saya doakan dikenyangkan oleh Allah. Yang tidak punya uang dikayakan oleh Allah.

Melintasi tengah malam hingga sepertiga ma-lam, Cak Nun bersama Gus Mus yang datang khusus dari Lampung untuk acara Kenduri Cinta, mempimpin jamaah untuk khusyuk berdzikir melantunkan wirid ‘Ya Allah Ya Ka-riim, Ya Rahmaan Ya Rahiim, Ya Qowiyyu Ya Matiin’ sebanyak 1000 kali kemudian disusul dengan Al-Fatihah 265 kali.

5

Page 6: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Apakah Anda ikut wirid ataupun nggak – Anda inginnya Allah berat hatinya atau ringan hatin-ya? Jadi kita sudah setor pada Allah – ada yang gringgingen, ada yang misuh-misuh. Bagi yang merasa ringan, tolong ulangi wirid Anda sepuluh kali lipat. Bagi yang tadi merasa be-rat, mudah-mudahan Allah juga merasa berat hati-Nya pada kalian, berat untuk membiarkan kalian dalam kesusahan.

Allah berat hati-Nya kalau kamu ditimpa ben-cana, begitu pula Nabi Muhammad. Maka ke-tika naza’-nya yang Beliau sebut-sebut adalah ‘Ummati Ummatti Ummati’. Kenduri Cinta ini hanyalah mata’ul ghurur. Kita nggak eman pada apapun.

“Anak pertama kita adalah Padhangm-bulan di Jombang, kemudian Mocopat Syafaat di Jogja. Ada juga Haflah Shala-wat di Masjid Besar Surabaya yang sete-lah berlangsung se-lama 10 tahun kemu-dian diganti BangbangWetan. Di Semarang ada Gambang Syafaat. Di Bandung dulu per-nah ada Tali Kasih. Paparandang Ate (Tombo Ati) di Mandar (350 km di utara Makassar). Obor Illahi di Malang. Ada juga Barrada, di mana kami berkeliling Sidoarjo dari desa ke desa, di mana masyarakatnya tidak bisa dia-jak ngomong sebagaimana masyarakat di sini. Baradah tercipta atas request langsung dari masyarakat setempat; namanya sesuai dengan tempat di mana dahulu Mpu Baradah membagi kerajaan menjadi dua. Maka nantipun Sidoarjo juga akan terbagi dua. Jakarta ini tidak punya sosiologi, tidak ada komunalitas. Kalo Sura-baya kan masih ada sambungannya sama-sama bonek,” kata Cak Nun mengantarkan Cak Fuad untuk memulai uraiannya.

[Cak Fuad]

Kata min anfusakum dalam Al-Quran mem-punyai arti bahwa pemimpin itu berasal ‘dari jenis kamu sendiri’. Hal ini diartikan bahwa pemimpin merupakan makhluk dari golongan manusia dan bukan malaikat.

Kata azizun (berat) juga menjadi salah satu

asma-ul husna yang berarti Maha Perkasa. Dalam konteks ini, azizun ‘alayhi’ berarti bah-wa Rasulullah sangat abot sama kalian. Inilah konsep pertama dari kepemimpinan, yaitu merasa berat pada penderitaan umatnya. Maka Rasulullah diutus untuk menghilangkan be-ban-beban dalam konteks apa saja. Juga dalam agama. Tapi kita sendiri sering membebani diri kita dengan beban-beban yang seolah-olah be-rasal dari agama. Nabi berkata, buatlah segala sesuatu itu ringan, jangan diperberat.

Konsep kedua adalah selalu menginginkan kebaikan ummatnya. Nabi selalu meningkat-kan pendidikan dan kesejahteraan ummatnya

Dalam kata-kata bil mu’minina rauufurra-hiim, kata rahiim jelas bermakna sebagai Maha Penyayang. Rauf meru-pakan sifat kasih sayang yang dimiliki seorang ibu kepada anaknya. Rahiim sifat kasih sayang yang khusus diberikan kepada orang-orang yang beri-man karena kualitasnya

beda dengan Rahmaan.

Kita masing-masing adalah seorang pemim-pin; di mana saja. Yang membedakan kepe-mimpinan Rasulullah dengan kepemimpinan umum, yaitu konsep Imam dan Rais. Dalam Quran, para nabi disebut sebagai Imam. Kalau jaman sekarang untuk kata pemimpin dipakai Rais. Ada perbandingan antara etimologi Ima-mah dan Ri’asah. Imamah akar katanya Umm (Ibu) maka paradigma kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sebagaimana se-orang ibu atau melayani; kepemimpinan yang melindungi, yang mencurahkan kasih sayang. Sementara Ri’asah berasal dari kata ra’sun (kepala), yang sifatnya selalu ingin di atas, selalu ingin dihormati, sehingga seringkali ia menjadi begitu lemah. Mbuka pintu mobil, mbawa tas aja dia nggak bisa.

Dalam Surah Az-Zumar 17-18, Allah mene-rangkan tentang orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, yaitu orang-orang yang mau menyimak perkataan-perkataan dan kemudian mengikuti yang terbaik. Yasma’ (mendengar/hearing) berbeda dengan yas-

6

Page 7: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

tama’a (mendengarkan/listening to). Dan yang didengarkan adalah Qoul, bukan qoulan, ber-arti perkataan apa saja; bukan perkataan ter-tentu. Qoul mempunyai arti yang sangat luas, bisa berupa ayat-ayat Allah, tafsir, berita-beri-ta. Kalau kita sudah terlatih yastami’unal qou-la, maka pengetahuan menjadi luas dan tidak mudah terbawa oleh satu pendapat tertentu. Tapi ada persyaratan di ayat 17 “walladzinaaj-tanabu thoghut…” yaitu jangan sampai kita menyembah toghut (apa saja yang disembah selain Allah). Apa saja bisa menjadi toghut, bahkan orang sholeh pun juga bisa menjadi toghut. Orang yang sudah mengecap dirinya dengan ideologi tertentu misalnya, akan cen-derung tidak bisa menerima informasi dari ide-ologi lain secara objektif.

Syarat kedua adalah adanya petunjuk dari Al-lah. Tadi di awal Cak Nun menyebutkan ayat Ar-Ra’d: “Sesungguhnya Allah tidak men-gubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [13:11]. Syari’atnya memang begitu, tapi hakikatnya tidak begitu. Seperti ketika Muhammad berkata, “Tidak ada manusia yang bisa mendapatkan surga atau terhindar dari ne-raka karena amal perbuatannya.” Karena kita bisa berbuat baik atas rahmat Allah.

Gus Mik dulu menghadirkan sema’an. Kaya-knya harusnya istima’an (istima’ul Qur-an), tutur Cak Nun, “Kebanyakan sekarang lagun-ya nggak relevan sama isinya, karena lagunya ditetapkan secara generik. Harusnya lagunya itu diaransir masing-masing, sesuai hasil pem-bacaan terhadapnya.”

“Ahli zikir menurut saya ya hanya Nabi Mu-hammad. Beliaulah yang dalam uzlah-nya di Gua Hira berkontemplasi terus-menerus. Ti-dak ada yang paling benar dan tidak ada pula yang paling salah. Yang penting ada keikhlasan guru dan penerimaan murid,” Gus Mus menja-wab pertanyaan pertama.

“Puisi, karya-karya apa saja, juga merupakan qoul. Bagaimana kita menyikapi qoul, per-intahnya jelas. Gejala –saya kira – juga bisa merupakan qoul. Tafsir yang sudah ada juga merupakan qoul. Itulah hebatnya Al-Quran, bisa ditafsirkan seluas-luasnya asalkan dengan landasan. Yang mutlak hanyalah Al-Quran.

Bahkan terjemahan pun bukan merupakan Al-Quran. Istilah ‘Quran 3 bahasa’ menurut saya sangat fatal salahnya, karena penerjemahan melibatkan pemikiran dari si penerjemah,” ja-wab Cak Fuad.

“Rasulullah sangat lapang. Contohnya dalam perbedaan shalat witir antara Abu Bakar dan Umar. Salah satu sifat Rasulullah adalah ha-liim atau tidak buru-buru menghukum orang yang keliru. Tapi kalau ada orang yang tidak jujur, Rasulullah sangat keras.”

“Contoh dari sahabat-sahabat Rasulullah itu ‘rebutan tidak mau’ seperti dalam pembaiatan khalifah. Menurut para sejarawan ada dua kel-ompok, yaitu: Ali, yang merupakan seorang agamawan dan cendekiawan yang tidak per-nah terlintas di kepalanya soal politik, lalu: Abu Bakar dan Umar, yang menerima politik dalam rangka umat ada yang ngurus, menata, dan mengisi setelah Rasulullah tapi selalu mengutamakan keimanan. Mulai khalifah ke-tiga ada pertimbangan-pertimbangan politik, maka Ali ‘dipaksa’ untuk menjadi khalifah.

Di dalam hidup ini, satuan terkecil adalah kelu“Setahu saya pemimpin itu tempatnya di paling belakang. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handaya-ni. Anda jangan pernah menyangka saya mau mencalonkan diri. Kecuali yang memilihkan adalah Tuhan sendiri.”

“Ya Allah, kami nggak mampu milih pemim-pin. Maka doanya, ‘Ya Allah, mbok ikut Pe-milu’. Dan endingnya adalah KenduriCinta menawarkan cara berpikir fenomenal. Yang penting adalah jalan-nya; shirathal mustaqim. Goal-nya sepenuhnya urusan Allah.”

Setelah itu semua berdiri, berdoa bersama den-gan dipimpin oleh Cak Fuad.

+++(redaksikc/ratri_dian)+++

7

Page 8: JURNAL KENDURI edisi Juni 2011

Kontributor: Emha Ainun Nadjib, Cak Fuad, Ratri Dian Ariani, Agung Pambudi, Chandra, Aziz, Ibrahim, Gus Mustofa, Suparman.Foto: Agus Setiawan.Tim Redaksi: Adi Pujo, Roni Octafian, Gandhie Tanjung.Diterbitkan oleh: Komunitas Maiyah KenduriCinta, Jakarta.

Jalan Cikini 73, Jakarta Pusatemail: [email protected]

twitter: @kenduricintafacebook: komunitas kenduri cinta

www.kenduriCinta.Com©kenduri Cinta06