jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013
-
Upload
iwanoskigilang -
Category
Documents
-
view
235 -
download
3
description
Transcript of jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013
Jurnal Kedokteran Unram
Penasehat
Prof. Mulyanto
Editor
dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.
dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.
dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.
Dewan Redaksi
dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)
dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK
dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.
dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.
dr. Nurhidayati, M.Kes.
dr. Arif Zuhan, SpB
dr. Fathul Djannah, SpPA
Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.
dr. Akhada Maulana, SpU
dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD
dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.
dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD
dr. Bambang Priyanto, SpBS
dr. Seto Priyambodo, M.Sc.
dr. Pandu Ishak Nandana, SpU
dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)
dr. Marie Yuni Andari, SpM
dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK
dr. Monalisa Nasrul, SpM
Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt
Mitra Bestari
dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)
dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)
Sekretaris
dr. Prima Belia Fathana
Layout dan Percetakan
Syarief Roesmayadi
2
ISSN : 2301-5977
Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Vol. 2, No. 1, Maret 2013
DAFTAR ISI
Hubungan Infeksi Cacing Usus Terhadap Anemia Defisiensi Besi Pada Siswa Sekolah Dasar
Kelas V Dan Vi Di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur
Tahun 2011
Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y ................................................................................. 3
Hubungan Antara Tuberkulosis Paru Milier Dengan Kejadian Anemia Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Di RSUP NTB
Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri ........................................... 10
Perbandingan Efek Pemberian Air Kelapa Muda Dan Air Putih Terhadap Kecepatan
Pemulihan Denyut Nadi Pada Pemain Futsal FK Unram
Ida Ayu Eka Widiastuti, Putu Aditya Wiguna ................................................................................ 19
Diare Rotavirus Di Mataram
Sukardi W, Sulaksmana SP, Wahab A , Soenarto Y …............................................................... 26
Implementation Of Nutrition Curriculum To Undergraduate Students In Faculty Of Medicine,
Mataram University
Eustachius Hagni Wardoyo ............................................................................................................ 34
Peran Ekokardiografi Dalam Penegakan Diagnosis Dan Penilaian Severitas Stenosis Mitral Basuki Rahmat ..............................................................…………................................................ 42
The Effectiveness Of Exercise And Nutrition Intervention Programmes To Prevent And Manage
Obesity Among Young Population
Rifana Cholidah ..............................………................................................................................... 47
Petunjuk Penulisan Naskah ....................................................................................................... 56
3
HUBUNGAN INFEKSI CACING USUS TERHADAP ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA SISWA
SEKOLAH DASAR KELAS V DAN VI DI DESA DASAN LEKONG KECAMATAN SUKAMULIA
KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2011
Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y.
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract The Background. Worm infection is a gastrointestinal disease that is characterized by the discovery of worms, worm eggs or larvae on someone which is the prevalence in Indonesia is still relatively high, especially in elementary school children. Worm infection often associated with the incidence of iron deficiency anemia is due to chronic bleeding. The Research Purposes. The purpose of this study was to determine the relationship of intestinal worm infections toward iron deficiency anemia in fifth and sixth grade elementary school student in the village of Dasan Lekong Sukamulia East Lombok District in 2011. Research Methods. This research was observational study, with study design was cross sectional design. Research subjects were elementary school students in classes V and VI Dasan Lekong Village East Lombok District Sukamulia and willing to participate in the study. The subjects selected by Simple Random Sampling. Collecting data using a questionnaire, stool examination by direct methods, levels of hemoglobin and erythrocyte indices through a complete blood count. Data collected and presented in tabular/descriptive form. The Result and Conclusion. This study showed that there was no significant association between worm infection with the incidence of iron deficiency anemia in student of elementary school classes V and VI in the Village District Dasan Lekong Sukamulia East Lombok (p=0.091). Keyword:Worm infection, iron deficiency anemia, elementary school children.
Abstrak Latar Belakang. Kecacingan adalah suatu penyakit gestrointestinal yang ditandai dengan ditemukannya cacing, telur, atau larva cacing pada seseorang yang prevalensinya di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama pada anak sekolah dasar. Kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia defisiensi besi salah satunya akibat perdarahan menahun. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan infeksi cacing usus terhadap anemia defisiensi besi pada siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011. Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian observasional, analitik dengan pendekatan secara cross sectional. Subjek penelitian adalah siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Subjek penelitian dipilih dengan cara Simple Random Sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner, pemeriksaan feses dengan metode langsung, kadar hemoglobin dan indeks eritrosit melalui pemeriksaan darah lengkap. Data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan bantuan. Hasil dan Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
kecacingan dengan kejadian anemia defisiensi besi pada anak SD kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011 (p = 0,091). Kata kunci : Kecacingan, anemia defisiensi besi, anak sekolah dasar.
Pendahuluan
Di Indonesia masih banyak penyakit yang
merupakan masalah kesehatan, salah satu
diantaranya ialah cacing perut yang
ditularkan melalui tanahatau disebut soil
transmitted helminthesyakni Cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), Cacing cambuk
(Trichuris trichiura), dan Cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)1.Cacingan ini dapat
mengakibatkan menurunnnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas
penderitanya sehingga secara ekonomi
banyak menyebabkan kerugian, karena
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan
protein serta kehilangan darah, sehingga
4
menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Upaya pemberantasan dan pencegahan
penyakit cacingan di Indonesia harus
dilakukan terlebih jika melihat prevalensi
cacingan di Indonesia pada umumnya masih
sangat tinggi2.
Di Indonesia, angka nasional prevalensi
kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%
masih relatif cukup tinggi.Sejak tahun 2002
hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan
secara berurutan adalah sebesar 33,3%,
33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6% 3.Hasil
Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan
2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-
96,3% 2.
Kabupaten Lombok Timur merupakan
salah satu provinsi yang menjadi target
pemberantasan dan pencegahan cacingan
karena mengingat prevalensinya yang masih
cukup tinggi serta jangkauannya yang masih
belum merata. Angka cacingan berdasarkan
hasil pemeriksaan tinja pada survei cacingan
anak sekolah dasar di Desa Sakra dan
Keruak pada tahun 2009 adalah 63,2% dan
32,9%. Hal ini memperlihatkan bahwa belum
semua kawasan di Kabupaten Lombok Timur
pernah dilakukan survei untuk mengetahui
prevalensi cacingan tertutama pada anak
sekolah dasar yang merupakan salah satu
target dalam pengupayaan pemberantasan
dan pencegahan cacingan 2.
Anemia merupakan masalah kesehatan
yang paling sering dijumpai di seluruh
dunia.Diperkirakan 30%penduduk dunia yaitu
sekitar 4,5 miliar menderita anemia dan
sekitar 500 juta orang diantaranya diyakini
menderita anemia defisiensi besi,terutama
mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan
menyusui. 2,4,5
.
Penelitian tentang anemia di Indonesia
masih difokuskan pada balita dan ibu hamil,
karena sasaran prioritas dan program secara
nasional mencakup sasaran akhir, yaitu
penurunan angka kematian ibu dan
perbaikan malnutrisi pada anak. Kelompok
remaja dan anak usia sekolah yang
merupakan generasi penerus bangsa jarang
mendapat perhatian, padahal kelompok ini
menjadi semakin penting dimana mereka
menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia
6.Prevalensi anemia defisiensi besi pada
anak usia sekolah sebesar 25-35%. Nilai
persentase tersebut termasuk kategori
sedang yang perlu segera ditindaklanjuti7.
Anemia kurang besi juga dipengaruhi oleh
konsekuensi dari infeksi kecacingan dengan
hilangnya darah secara kronis. Infeksi
kecacingan pada manusia baik oleh cacing
gelang, cacing cambuk maupun cacing
tambang dapat menyebabkan pendarahan
yang menahun yang berakibat menurunnya
cadangan besi tubuh dan akhirnya
menyebabkan timbulnya anemia kurang besi
4.Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi
kecacingan dapat disebabkan oleh adanya
lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh
karena dikonsumsi oleh cacing itu sendiri,
walaupun ini masih belum terjawab dengan
jelas termasuk berapa besar jumlah darah
yang hilang dengan infeksi cacing ini 8.
Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi
diperberat keadaannya oleh investasi cacing,
terutama oleh cacing tambang.Penyakit
kecacingan dan anemia gizi merupakan
masalah yang saling terkait dan dijumpai
bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu
karena rendahnya sosialekonomi masyarakat
dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak
memadai sehingga memudahkan terjadinya
5
penularan penyakit infeksi terutama infeksi
kecacingan 8.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
observasional, analitik dengan rancangan
penelitian cross sectional . Penelitian ini
dilakukan di SDN yang ada di Desa Dasan
Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten
Lombok Timur yang terdiri dari 6 sekolah
dasar. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas V dan VI yang berjumlah 430 siswa
dengan sampel penelitian sebanyak 65
siswa.Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi
meliputi siswa kelas V dan VI yang terdaftar
secara resmi di SD terkait pada saat
dilakukan penelitian dan orang tuanya
menandatangani informed consent.
Sedangkan kriteria ekslusi meliputi siswa
yang tidak mengumpulkan kuesioner, siswa
yang tidak ikut pemeriksaan laboratorium
dan siswa yang tidak hadir saat dilakukan
penelitian. Penentuan unit sampel dilakukan
dengan cara Simple Random
Sampling.Metode pengambilan data yakni
dengan kuesioner dan pemeriksaan
laboratorium (Tinja dan Darah).Pengolahan
data dilakukan secara analitik dengan teknik
analisis chi-square untuk mengetahui
hubungan antara variabel-variabel yang
diteliti. Analisis yang digunakan untuk
mengolah data-data yang diperoleh adalah
dengan menggunakan bantuan software
SPSS 17.
Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Pada penelitian, distribusi responden
berdasarkan jenis kelamin yakni
berjumlah35 (53,8%) responden untuk jenis
kelamin perempuan dan 30 (46,2%)
responden untuk jenis kelamin laki-laki.
Sedangkan subjek penelitian berdasarkan
umur yakni masing-masing umur 10 tahun
yang berjumlah 9 (13,8%) responden, umur
11 tahun berjumlah 34 (52,3%) responden,
umur 12 tahun berjumlah 17 (26,2%)
responden, dan umur 13 tahun berjumlah 5
(7,7%) responden.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur
No Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)
1 10 9 13,8
2 11 34 52,3
3 12 17 26,2
4 13 5 7,7
Total 65 100
6
2. Penyakit Kecacingan
Adapun distribusi penyakit kecacingan
dari 65 sampel yang telah diteliti yakni 16
(24,6%) responden positif kecacingan dan 49
(75,4%) responden lainnya dinyatakan
negatif kecacingan dengan jenis cacing yang
paling banyak menginfeksi adalah cacing
cambuk (Trichuris trichiura) yakni sebanyak 9
(56,3%) responden dan cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) sebanyak 7 (43,8%)
responden.
Tabel 2 Distribusi jenis cacing
No Jenis cacing Frekuensi Persentase (%)
1 Ascaris lumbricoides 7 43,8
2 Trichuris trichiura 9 56,2
3 Necator americanus & ancylostoma duodenal 0 0
4 Campuran (AL & TT) 0 0
Total 16 100
*AL = Ascaris lumbricoides TT = Trichuris trichiura
3. Anemia Defisiensi Besi
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan terhadap 65 orang responden,
didapatkan sebanyak 5 orang responden
(7,7%) memiliki kadar hemoglobin kurang
dari batas normal, dan dapat dimasukkan ke
dalam kriteria anemia. Sedangkan sebanyak
60 orang responden (92,3%) memiliki kadar
hemoglobin dalam batas normal.
4. Hubungan Kecacingan dengan
Anemia Defisiensi Besi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
5 (7,7%) siswa yang anemia yang masing-
masing 3 (18,8%) orang berasal dari
responden yang positif infeksi cacing dan
sebanyak 2 (4,1%) orang berasal dari
responden negatif infeksicacingsehingga
tidak didapatka hubungan yang bermakna
antara infeksi cacing dengan anemia
defisiensi besi (Fisher’s Exact Test = 0,091
atau p >0,05).Sedangkan responden
yangtidak mengalami anemia sebanyak 13
(81,3%) orang pada responden yang
positifinfeksi cacing dan sebanyak 47
(95,9%) orang pada responden yang tidak
terinfeksi cacing.
Tabel 3 Hubungan kecacingan dengan anemia defisiensi besi
No
Kejadian penyakit
Kecacingan
Anemia defisiensi besi Total
Ya Tidak
1 Positif 3 18,8% 13 81,3% 16 100%
2 Negatif 2 4,1% 47 95,9% 49 100%
Total 5 7,7 % 60 92,3% 65 100%
7
Pembahasan
Pada penelitian yang telah dilakukan,
distribusi responden berdasarkan jenis
kelamin didapatkan frekuensi siswa
perempuan yakni 35 (53,8%) respondendan
siswa laki-laki sekitar 30 (46,2%) responden
dengan usia hampir didominasi oleh siswa
usia 11 tahun yang berjumlah 34 (52,3%)
responden.
Dari 65 sampel didapatkan hasil 16
(24,6%) responden positif terinfeksi cacing
dengan jenis cacing yang paling banyak
menginfeksi adalah cacing gelang(Ascaris
lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura) yang masing-masing berjumlah 7
(44%) dan9 (56%)responden sedangkan
jenis cacing lainnya yakni cacing tambang
(Necator americanus & Ancylostoma
duodenal) maupun yang campuran (Ascaris
lumbricoides&Trichuris trichiura)tidak
ditemukan. Pada penelitian lain mengenai
kecacingan yang dilakukan oleh L. Zulhirsan
(2011) dan Dedek Manu (2011) juga
mendapatkan hasil yang sama mengenai
jenis cacing yang paling banyak
didapatkanmelalui pemeriksaan feses.Hal ini
karena kedua jenis cacing yakni Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura memiliki
cara infeksi dan temperatur optimal untuk
tumbuh hampir sama yaitu di daerah tropis
dengan tingkat kelembaban cukup tinggi dan
suhu berkisar antara 250C-30
0C
9,10,11.
Di Kabupaten Lombok Timur, persentase
angka cacingan pada anak sekolah dasar di
Desa Sakra dan Keruak pada tahun 2009
adalah 63,2% dan 32,9% 2. Selain itu,
penelitian oleh Buly Fatrahady (2007)
mengenai prevalensi kecacingan di SDN
Montong Buak desa Darmaji Kecamatan
Kopang Lombok Tengah tahun 2007
mendapatkan hasil 37 (74%) siswa positif
kecacingan dari 50 sampel sedangkan
penelitian oleh L Zulhirsan (2011)
mendapatkan hasil 46 (30,3%) siswa
dinyatakan positif terinfeksi cacing dengan
subjek penelitian yakni semua siswa kelas 1
SDN Banyumulek Kecamatan Kediri tahun
201112
.
Anemia defisiensi besi (ADB) dapat
didefinisikan sebagai suatu kondisi patologis
pada salah satu komponen darah yakni
eritrosit, yang diakibatkan defisiensi
besi.Keadaan ini selanjutnya menyebabkan
penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang, yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan jumlah masa
eritrosit. Sehingga pada pemeriksaan
laboratorium, didapatkan kadar hemoglobin
(Hb) yang rendah. Selain itu juga akan
didapatkan keadaan hipokromik, yang
ditandai dengan penurunan MCV, MCH dan
MCHC yang merupakan indikator yang
sensitif untuk defisiensi besi 13
.
Hasil penelitian pemeriksaan darah yang
dilakukan pada responden, sebanyak 5
(7,7%) orang responden menderita anemia
yang ditandai dengan kadar
hemoglobindanindeks eritrosit dibawah
normal. Dari 5 orang responden tersebut,
sebanyak 3 (60%) orang responden berasal
dari responden yang positif terinfeksi cacing
dan sebanyak 2 (40%) orang responden
berasal dari responden yang negatif
terinfeksi cacing.
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi
dalam tubuh maka defisiensi besi dapat
dibagi menjadi 3 tingkatan: 1) Deplesi besi
(iron depleted state) yakni cadangan besi
menurun tetapi penyediaan besi untuk
eritropoesis belum terganggu; 2) Eritropoesis
8
defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis)
yakni cadangan besi kosong, penyediaan
besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi
belum timbul anemia secara laboratorik; dan
3) Anemia defisiensi besi yakni cadangan
besi kosong disertai anemia defisiensi besi
13. Pada penelitian, sejumlah besar
responden tidak menderita anemia, namun
tidak menutup kemungkinan jika responden
tersebut masuk ke dalam tingkatan deplesi
besi ataupun eritropoesis defisiensi besi
sehingga secara laboratorik belum
menunjukkan anemia.
Untuk mengetahui kejadian anemia
defisiensi besi antara responden yang
terinfeksi cacing dengan responden yang
tidak terinfeksi cacing, maka dilakukan uji
statistik dengan menggunakan uji chi-square.
Berdasarkan hasil analisa chi-square dengan
confidence interval 95%, didapatkan nilai p
sebesar 0,091 (p>0,05), sehingga hipotesis
nol (H0) diterima yang artinya tidak ada
hubungan yang bermakna antara kecacingan
dengan kejadian anemia defisiensi besi.
Beberapa teori mengungkapkan bahwa
untuk bisa menyebabkan anemia defisiensi
besi oleh infeksi cacing dibutuhkan waktu
yang cukup lama atau infeksi cacing usus
yang kronis melalui perdarahan menahun
dengan menghisap darah, mengganggu
absorbsi serta kehilangan besi, tergantung
jenis cacing yang menginfeksi. Dari 3 jenis
cacing usus yang utama yakni cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
(Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Necator americanus & Ancylostoma
duodenal) yang paling sering menyebabkan
anemia adalah cacing tambang karena jenis
cacing inidisamping mengambil makanan
juga akan menghisap darah. Mekanisme
yang sama juga terjadi untuk jenis cacing
cambuk. Sedangkan jenis cacing gelang
lebih sering dengan mengambil makanan
terutama karbohidrat dan protein 2, 3, 8
.
Pada hasil penelitian, tidak didapatkan
infeksi cacing tambang tapi hanya cacing
gelang dan cacing cambuk sehingga untuk
bisa menyebabkan anemia dibutuhkan waktu
yang cukup lama atau infeksi kronis selain
dipengaruhi hal lain yakni status besi tubuh
dan gizi pejamu serta beratnya infeksi
(jumlah dan jenis cacing dalam usus
penderita).
Pemeriksaan yang digunakan untuk
mengetahui adanya infeksi cacing pada
penelitian ini adalah pemeriksaan tinja
dengan metode langsung. Pemeriksaan tinja
dengan cara ini memiliki kelemahan, yakni
metode ini kurang sensitif mendeteksi
keberadaan telur cacing sebab volume tinja
yang diperiksa lebih sedikit sehingga
terdapat tinja yang mengandung sedikit telur
cacing bisa memberi hasil negatif.Selain itu,
penyebaran telur cacing pada feses yang
terinfeksi tidak merata. Hal ini dapat
berpengaruh pada hasil penelitian. Pada
pemeriksaan feses dalam penelitian ini
hanya digunakan beberapa milligram feses,
sehingga terdapat kemungkinan feses yang
di gunakan tidak mengandung telur cacing.
Pemeriksaan feses yang bersifat kualititaf
ini akanmempengaruhi penelitian mengenai
hubungan infeksi cacing dengan kejadian
anemia defisiensi besi dimana interpretasi
hasil pemeriksaan feseshanya berupa positif
atau negatif terinfeksi cacing tanpa
menentukan intensitas infeksi atau berat
ringannya penyakit kecacingan dengan
mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG)
pada setiap jenis cacing. Hal ini diperlihatkan
9
denganlebih banyaknya siswa yang
positifinfeksi cacing tanpa disertai anemia
defisiensi besi dengan kemungkinan
responden baru terinfeksi cacing dan belum
mempengaruhi kadar Hb responden.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Dari 65 sampel yang diambil, prevalensi
cacingan yang ditemukan dari hasil
pemeriksaan feses adalah 24,6%
(sebanyak 16 responden yang terinfeksi
cacingan) yangdidominasi oleh cacing
cambuk (Trichuris trichiura) yakni 9
(56%) responden.
2. Dari 5 orang yang menderita anemia,
kejadian anemia defisiensi besi lebih
banyak pada responden dengan positif
infeksi cacing dibandingkan dengan
responden yang negatif terinfeksi cacing
yakni masing-masing 3 (18,8%)
respondendan 2(4,1%) responden.
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara infeksi kecacingan dengan
anemia defisiensi besi pada siswa SD
kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong
dengan p-value 0,091 lebih besar dari
0,05 (0,091> 0,05).
Daftar Pustaka
1. FKUI.Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. Editor: Sutanto, dkk. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008
2. Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2001. Jakarta; 2004 ------------ Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan Di Era Desentralisasi. Jakarta; 2004
3. Sumanto D.Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). 2010 [cited 2011 Juni 20]. Available from: http://www.usus.co.id
4. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006
5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of Chronic Disease. Nejm. 2005; 352: 1011-1023
6. Mardika S.Hubungan Anemia Defisiensi Besi Dengan Tingkat Prestasi Belajar Siswa SD di Kota Mataram Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram; 2008
7. FAO/WHO.Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition. 2004 [cited 2011 Juni 20]. Available from:http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546123_chap13.pdf.
8. Rasmaliah. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada Ibu Hamil.2008 [cited 2011 Juni 20]. Available: http://www.usu.com
9. Zulhirsan L. Status Gizi Anak Sekolah Dasar Negeri Yang Terinfeksi Kecacingan Di Banyumulek Kecamatan Kediri. Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram; 2011 10. Dedek M. Profil Kecacingan, Kadar
HemoglobinDan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah TepiPada Perajin Gerabah Di Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram; 2011
11. Gandahusada S. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004
12. Fatrahady B.Hubungan Antara Pengetahuan Anak SD Mengenai Cacingan dengan Prevalensi cacingan pada Anak SD di SDN Montong Buak Desa Darmaji Kecamatan Kopang. Mataram: Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram; 2007
13. Bakta IM. Pendekatan Terdahap Pasien Anemia.Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Editor: Aru W Sudoyo, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009
10
HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU MILIER DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUP NTB
Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract Background :Tuberculosis represent one of the most important disease in human being history and until knowdays its still becoming a special human health problems because its impact to health status, social and economic status of human being.Indonesia was the third country represent infection of tuberculosis in the world after China and India. Purpose :To knowing the relationships between millier pulmonary tuberculosis with anemia in pulmonary tuberculosis patients addmitted in general hospital of Nusa Tenggara Barat Province. Method :This research use cross sectionaldesign.Researcher conduct observation for once time in January 2013 to medical record ofpulmonary tuberculosis patients who addmitted in general hospital of Nusa Tenggara Barat provincebetweenJanuary2011 untilDesember 2012. Data that have been collected will be processed bydescriptive method and result will be showed as table. Data analyzed by chi-square test using programe SPSS 17 with 95% confidence interval. Result : Total sampel in this research were 104 with 86 sampel (82,69 %) admitted caused by Pulmonary TB and suffering Anemia. Milliary pulmonal tuberculosis patient were 17 sample (16,35%) and 16 (94,12 %) within suffering anemia. From Chi-square test result there is no correlation between Milliary pulmonal tuberculosis with anemia in patient with pulmonary tuberculosis who admitted at General Hospital Of Nusa Tenggara Barat Province, showed by count of chi square (1,854) less than chi square table value (3,811) with 95 % confidence interval. Conclusion : There is no correlation between Milliary pulmonal tuberculosis with anemia in patient with pulmonary tuberculosis who admitted at General Hospital Of Nusa Tenggara Barat Province. Keywords :Milliary pulmonal tuberculosis, anemia Abstrak
Latar Belakang : Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit penting dalam sejarah manusia dan masih tetap menjadi permasalahan utama pada kesehatan manusia sampai saat ini karena memiliki dampak yang besar terhadap status kesehatan, status sosial dan ekonomi manusia. Indonesia merupakan negara dengan urutan ke 3 terbanyak jumlah infeksi tuberkulosis di dunia setelah Cina dan India. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui adanya hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Peneliti melakukan observasi
hanya sekali pada satu saat yang dilakukan pada bulan Januari 2013 terhadap data pasien tuberkulosis yang dirawat inap di RSUP NTB periode Januari 2011-Desember 2012. Hasil pengumpulan data diolah secara deskriptif berupa tabel serta analitik uji chi-square dengan menggunakan program SPSS 17.0 dengan tingkat
kemaknaan 95%. Hasil : Pada penelitian ini total sampel sebanyak 104 dengan 86 sampel diantaranya pasien TB paru yang dirawat mengalami anemia yaitu sebesar 82,7%. Sebanyak 17 (16,3%) pasien TB paru milier diperoleh pada penelitian ini dan 16 (94,12%) diantaranya mengalami anemia. Dari uji statistik dengan Chi-square tidak
didapatkan adanya hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB, hal ini ditunjukan dengan hasil Chi-square hitung (1.854) kurang dari nilai Chi-square tabel (3,811) pada tingkat kepercayaan 95% dan alpha 5%.
Kesimpulan :Tidak terdapat hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB. Kata Kunci : TB Paru milier, anemia.
Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu
penyakit penting dalam sejarah manusia dan
masih tetap menjadi permasalahan utama
pada kesehatan manusia sampai saat ini.
Dampak dari penyakit tuberkulosis ini tidak
dapat diremehkan karena dalam sejarahnya
telah membunuh jutaan orang dan memiliki
dampak sosial ekonomi yang besar.1
Gerakan “Global Emergency” tuberkulosis
pada tahun 1992 telah dicanangkan oleh
World Health Organization (WHO) yang
11
merupakan salah satu bentuk perlawanan
terhadap penyakit ini. Pada tahu 2004
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
yang dilaporkan oleh WHO dan menurut data
regional yang dimiliki WHO kasus
tuberkolosis paling besar terjadi di asia
tenggara yaitu sebesar 33% dari seluruh
kasus tuberkolosis di dunia.2 Sekitar 3 juta
penderita TB meninggal setiap tahunnya dan
terdapat sekitar 4 juta kasus penderita TB
baru setiap tahun didunia3.Prevalensi
tuberkulosis nomor 3 dunia dipegang oleh
Indonesia mengekor dari Cina dan
India.Penyakit tuberkulosis dapat didiagnosis
melalui gejala klinis, kelainan fisik, radiologis
dan bakteriologis.Gejala klinis dapat berupa
demam, batuk dan batuk darah, sesak, nyeri
dada serta malaise.Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan tanda anemia dan kelainan
paru, sedangkan gambarang radiologis pada
paru dapat berupa infiltrat, cavitas dan
milier.4
Tuberkulosis paru milier merupakan
penyakit tuberkulosis yang menyebar secara
masif ke seluruh paru, hal ini dapat terjadi
karena daya tahan tubuh penderita tidak
mampu menghadapi infeksi kuman
tuberkulosis.Penegakan diagnosis
tuberkulosis paru milier didasarkan dengan
adanya gambaran klinis, radiologi khas milier
dan bakteriologi.5Kelainan hematologi yang
ditimbulkan oleh penyakit tuberkulosis dapat
bervariasi antara lain dapat berefek pada
eritrosit, leukosist, trombosit, dan sumsum
tulang. Salah satu bentuk kelainannya
adalah anemia, dimana masih diperlukan
penelitian untuk mempelajari kelainan
hematologi yang ditimbulkan dengan
manifestasi klinik yang ada.6
Kelainan anemia merupakan penyebab
debilitas kronis yang berdampak besar
terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi dan
kesehatan fisik masyarakat. Anemia adalah
kondisi dimana terjadinya penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat
memenuhi fungsi untuk membawa oksigen
yang cukup ke seluruh jaringan perifer jika
pendekatan anemianya secara fungsional,
sedangkan dengan pendekatan secara
praktis maka anemia adalah suatu keadaan
terjadinya penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit. Anemia ini
bukan merupakan penyakit yang berdiri
sendiri sering kali merupakan bagian dari
gejala penyakit lain yang mendasarinya.
Dengan mengetahui penyakit yang
mendasarinya maka pengelolaan anemia
akan lebih baik dan tuntas.4
Tinjauan Pustaka
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobakterium tuberkulosis komplek.Kuman
ini memiliki bentuk seperti batang yang lurus,
tidak memiliki spora dan tidak memiliki
kapsul.Struktur dinding dari kuman
tuberkolosis memiliki unsur penyusun yang
komplek sehingga menyebabkan bakteri ini
bersifat tahan asam. Tahan asam
dimaksudkan apabila kuman tuberkulosis
dilakukan pengecatan, maka akan tetap
tahan terhadap upaya pelunturan zat warna
yang digunakan dalam pengecatan yakni
alkohol yang bersifat asam.3,7
Patogenesis
Berdasarkan proses perkembangan
infeksi tuberkulosis maka patogenesis terdiri
dari tuberkulosis primer dan pasca primer.
12
Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi primer
setelah seseorang menghirup kuman
tuberkulosis yang kemudian akan
berkembang menjadi afek primer atau
sarang primer. Afek primer ini merupakan
kuman tuberkulosis menginfeksi saluran
nafas yang kemudian bersarang pada
jaringan paru sehingga membentuk suatu
sarang peneumonik.Timbulnya sarang ini
bisa terjadi dimana saja diseluruh bagian
lapang paru.Dari sarang primer infeksi dapat
berlanjut ke bagian regonal yaitu saluran
getah bening menuju hilus paru sehingga
terjadi limfangitis regional.Sarang primer
dengan limfangitis regional ini disebutjuga
kompleks primer.3,4,7
Tuberkulosis pasca primer
Tuberkulosis pasca primer merupakan
penyakit tuberkulosis yang muncul setelah
peroide laten beberapa bulan hingga
tahunan dari infeksi primer. Tuberkulosis
pasca primer ini dapat muncul akibat
reaktifasi atau reinfeksi.Penuruan daya tahan
tubuh dapat memicu terjadinya reaktifasi
yaitu kuman yang selama ini dorman
bertahun-tahun setelah infeksi primer akan
mengalami multiplikasi, sedangkan reinfeksi
yaitu adanya infeksi ulang pada penderita
yang sebelumnya mengalami infeksi primer.3
Bentuk tuberkulosis pasca primer inilah yang
menjadi masalah kesehatan pada
masyarakat akibat dari proses penularan
yang tinggi.7 Tuberkulosis pasca primer ini
pada umumnya dimulai dari sarang dini yang
muncul pada segmen apikal, baik lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini
awalnya berbentuk sarang pneumoni yang
kecil dan kemudian berkembang menjadi
keadaan sebagai berikut.3,4,7
:
1. Mengalami resorbsi dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut meluas dan tetap
mengalami penyembuhan berupa
jaringan fibrosis dan pengapuran.Sarang
tersebut dapat aktif kembali dan
membentuk jaringan keju. Jaringan keju
ini akan membentuk kavitas bila
penderita batuk.
3. Kavitas yang telah terbentuk awalnya
memiliki dinding yang tipis kemudian
menjadi lebih tebal yang disebut kaviti
sklerotik. Kavitas ini akan mengalami
beberapa hal ini antara lain; a. meluas
dan menimbulkan sarang pneumonik
yang baru; b. membentuk tuberkuloma
dengan menebal dan membungkus
dirinya. Tuberkuloma ini dapat
mengalami perkapuran dan sembuh
serta bisa menjadi aktif kembali dan
mencair membentuk kavitas kembali; c.
kavitas akan mengalami penyembuhan
membentuk open healed cavity dan
dapat menciut seperti bentukan bintang
(stellate shape).3,7
Klasifikasi tuberkulosis
Secara garis besar infeksi tuberkulosis
dapat diklasifikasikan menjadi dua
berdasarkan organ yang terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis antara lain :
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan paru dan tidak
menyerang pleura. Maka pembagiannya
sebagai berikut3,7
:
13
Berdasarkan hasil pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) pada dahak penderita
maka tuberkulosis paru dibagi antar lain :
1. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah
minimal 2 dari 3 spesimen yang diperiksa
dahaknya menunjukan hasil BTA (+);
atau hasil pemeriksaan satu spesimen
positif dahak yang diperiksa BTA (+) dan
kelainan radilogis menujukan gambaran
radiologis positif tuberkulosis; atau satu
spesimen positif dahak yang diperiksa
BTA (+) dan biakan Mycobakterium
tuberculosis menunjukan hasil positif.
2. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah hasil
pemeriksaan 3 spesimen dahaknya
menujukan hasil BTA (-) disertai
gambaran klinis dan radilogis yang positif
menunjukan tuberkulosis; hasil
pemeriksaan 3 spesimen dahaknya
menujukan hasil BTA (-) disertai biakan
Mycobakterium tuberculosis yang
menunjukan hasil positif.
Berdasarkan tipe pasien maka
pembagiannya ditentukan oleh riwayat
pengobatan sebelumnya, sehingga ada
beberapa tipe pasien tuberkulosis antara
lain3,7
:
1. Kasus baru
2. Kasus kambuh (relaps)
3. Kasus drop out
4. Kasus gagal
5. Kasus kronik
6. Kasus pindahan
Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
selain pada paru, misalnya kulit, pleura,
kelenjar getah bening, tulang, ginjal dan
hepar. Penegakan diagnosis didasarkan dari
hasil pemeriksaan kulturMycobakterium
tuberculosisyang positif dan patologi
anatomi. Sedangkan untuk kasus yang sulit
atau tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen, maka dibutuhkan bukti klinis yang
kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru
aktif.3,4,7
Diagnosis
Tuberkulosis dapat didiagnosis berdasar
gejala klinik, pemeriksaan fisik, bakteriologik
dan pemeriksaan penunjang.3
a. Gejala klinis
Secara umum gejala klinis yang muncul
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik.Gejala
lokal disesuaikan dengan organ yang
terkena infeksi, misalnya organ yang
terkena infeksi adalah paru, maka gejala
lokalnya berupa gejala respiratorik.
Gejala respiratorik antara lain batuk lebih
dari 3 minggu, batuk darah, sesak dan
nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat
bervariasi tergantung dari dari luas
lesi.Gejala batuk disebabkan akibat dari
iritasi pada bagian bronkus dan
berikutnya batuk diperlukan untuk
mengeluarkan dahak.Gejala sistemik
berupa demam, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat
badan. Gejala pada tuberkulosis
ekstraparu adalah menyesuaikan dengan
organ yang terkena misalnya limfadenitis
TB maka gejalanya berupa
pembengkakan pada kelenjar getah
bening disertai rasa nyeri.3,4,7
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada
tuberkulosis muncul sesuai dengan
organ yang terkena. Pada tuberkulosis
14
paru maka kelainan yang akan muncul
tergantung dari luas dan strukutur paru
yang terkena. Pada infeksi awal kelainan
fisik mungkin saja tidak terlihat.Pada
umumnya kelainan paru terletak pada
daerah lobus superior paru terutama
pada bagian apeks paru, segmen
posterior, dan daerah apeks lobus
inferior. Pada pemeriksaan fisik paru
kelainan yang umum ditemukan antara
lain suara nafas bronkial, ronkhi basah,
tanda dari penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.3,4,7
c. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik dapat
dilakukan dengan pengambilan bahan
dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinalis, bilasan bronkus, bilasan
lambung, urine, feces dan biopsi jaringan
untuk menemukan kuman
Mycobakterium tuberculosis.Setelah
spesimen terkumpul, maka dilakukan
pemeriksaan mikroskopik dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen. Bahan-bahan
juaga dapat digunakan untuk membiakan
kuman tuberkulosis dengan media
biakan yang sesuai misalnya egg base
media (Lowenstein-Jensen), agar base
media (Middle brook).7
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan
standar untuk mendiagnosa tuberkulosis
adalah pemeriksaan radiologis paru
dalam bentuk foto rongten torak
posterior-anterior.Pada pemeriksaan
radiologi paru gambaran infeksi
tuberkulosis pada paru memberikan
bentuk yang beragam. Lesi aktif TB paru
akan memberikan gambaran seperti
bayangan berawan di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru serta segmen
superior lobus bawah, kavitas yang
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular,
bayangan bercak milier, efusi pleura
unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang). Pada lesi TB inaktif akan
ditemukan gambaran seperti fibrotik,
kalsifikasi, schwarte atau penebalan
pleura.3,4,7
Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis secara umum
terdapat 2 fase yaitu fase intensif (sekitar 2-3
bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan).
Obat anti tuberkulosis (OAT) terdiri dari
panduan obat utama dan tambahan antara
lain jenis obat utana (lini pertama) yang
digunakan adalah rifampisin (R), Isoniazid
(H), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S),
Etambutol (E); dan obat tambahan (lini
kedua) yang digunakan adalah Kanamisin,
Amikasin dan Quinolon.3,7
Pada pengobatan dengan OAT dikenal
dua macam bentuk kemasan obat yaitu obat
tunggal yang merupakan obat yang disajikan
secara terpisah yang terdiri dari rifampisin
(R), Isoniazid (H), pirazinamid (Z), Etambutol
(E) dan obat kombinasi dosis tetap (fixed
dosed combination/FDC)dimana pada
kombinasi ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam
satu tablet3,7
.
Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada penyakit
tuberkulosis antara lain batuk darah,
pneumotoraks, gagal nafas, gagal jantung,
efusi pleura, kelainan hematologi,
miliersampai dengan kematian3,7
.
Tuberkulosis paru milier adalah infeksi paru
yang disebabkan oleh kuman Mikobakterium
15
tuberkulosis yang telah menyebar ke seluruh
bagian paru.Diagnosisnya didasarkan gejala
klinis tuberkulosis dan gambaran radiologis
paru yang khas milier berupa nodul kecil dan
halus yang menyebar merata pada kedua
bagian paru.TB paru milier dapat
memberikan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif ataupun negatif.5
Kelainan hematologis pada tuberkulosis
dapat terjadi pada sel-sel hematopoesis,
maupun komponen plasma.
Kelainanhematologis ini tentu saja akan
menimbulkan kesulitan pengelolaan pasien
tuberkulosis tersebut. Salah satu kelainan
hematologi yang timbul pada penyakit
tuberkulosis adalah anemia.6Anemia
merupakan suatu keadaan terjadinya
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit jika pendekatan yang
digunakan secara praktis. Untuk keperluan
penelitian lapangan maka WHO menetapkan
nilai batas atau cut off point anemia adalah
kurang dari 13 g/dl untuk laki-laki dewasa,
kurang dari 12 g/dl untuk wanita dewasa
tidak hamil dan kurang dari 11 g/dl untuk
wanita hamil.4
Pada tuberkulosis,penyebab munculnya
anemia diperkirakan karena beberapa hal
berikut ini6 :
1. Anemia penyakit kronis
Pada negara berkembang salah satu
penyebab terjadinya anemia pada laki-
laki dewasa dan wanita tidak hamil
adalah tuberkulosis.Anemia penyakit
kronis ini terjadi dengan mekanisme
beberapa berikut adanya depresi
eritropoesis dan menurunnya sensitifitas
terhadap eritropoietin, depresi produk
eritropoietin, dan pemendekan masa
hidup eritrosit. Gangguan metabolisme
besi terjadi akibat dari pengikatan zat
besi oleh laktoferin yang merupakan
produk granulosit akibat dari proses
inflamasi yang kemudian terjadi proses
sekuestrasi zat besi pada limpa.6
2. Anemia makrositik
Terjadinya anemia pada pasien
tuberkulosis disebabkan defisiensi folat
akibat asupan yang berkurang atau
peningkatan penggunaan folat akibat
aktifitas tuberkulosis.Walaupun jarang,
kemungkinan terjadinya anemia
makrositikdisebabkan adanya
malabsorpsi vitamin B12 pada penderita
dengan tuberkulosis ileum.6
3. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik autoimun bisa terjadi
pada penderita tuberkulosis.Sifat
autoimun ini hanya sementara dan
menimbulkan reaksi tes coombs positif.
Hemolisis ini biasanya terjadi pada
penyakit tuberkulosis yang berat
misalnya tuberkulosis milier dan akan
menghilang dengan pengobatan.6
4. Anemia sideroblastik
Gangguan metabolisme vitamin B6
sering ditemukan pada penggunaan OAT
jenis isoniazid dan pirazinamid.Hal
tersebut menimbulkan anemia
sideroblastik dengan pembentukan sel
sideroblas bentuk cincin. Terkadang sel
sideroblas bercincin akan menetap
walaupun obat telah dihentikan tetapi
tanpa disertai terjadinya anemia.6
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi
observasional dengan pengukuran variabel
secaracross-sectional.9,10
Data-data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data
16
sekunder yang diperoleh dari catatan rekam
medis Rumah Sakit Umum Provinsis
(RSUP)Nusa Tenggara Barat(NTB)periode
Januari 2011-Desember 2012.Penelitian
dilaksanakan di RSUPNTB bagian rawat inap
penyakit paru selama bulan Januari 2013.
Populasi pada penelitian ini merupakan
populasi terjangkau yaitu pasien dengan
diagnosis tuberkulosis paru yang dirawat
inapdi RSUP NTB pada periode Januari
2011-Desember 2012.Sampel pada
penelitian ini adalah semua pasien yang
terdiagnosis tuberkulosis paru di RSUP NTB
bagian bangsal paru pada periode Januari
2011-Desember 2012 dan memenuhi kriteria
inklusi serta eksklusi. Kriteria inklusi
penelitian adalah pasien yang sudah
terdiagnosis tuberkulosis paru berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan sputum BTA dan
foto radiologis paru serta pasien tuberkulosis
paru yang dilakukan pemeriksaan
hemoglobin. Sedangkan kriteria eksklusi
penelitian adalah pasien tuberkulosis paru
dengan komplikasi penyakit keganasan,
HIV/AIDS, kehamilan, malnutrisi, dan
tuberkulosis paru anak-anak.Pengambilan
rekam data dilakukan pada bagian rekam
medisbangsal paru RSUP NTB periode
Januari 2011-Desember 2012 yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil pengumpulan data akan diolah
secara deskriptif berupa tabel frekuensi dan
dilakukan analisis menggunakan metode
analitik uji chi-square dengan menggunakan
program SPSS 17.0 dengan tingkat
kemaknaan 95%.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian
Tabel 1. Frekuensi Pasien TB Paru Milier dan TB Paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB
Periode Januari 2011- Desember 2012.
KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)
TB Paru Millier 17 16,3
TB Paru 87 83,7
TOTAL 104 100
Pada penelitian ini diperoleh jumlah
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebesar 104 orang, dari
penelusuran data sekunder rekam medis
rawat inap pasien tuberkulosis pada bangsal
bougenville RSUP NTB periode januari 2011
- desember 2012. Dari 104 sampel tersebut
diperoleh jumlah total pasien tuberkulosis
paru miler sebesar 16,3% yaitu 17 sampel
17
Tabel 2.Frekuensi Anemia Pada pasien TB Paru dan TB paru millier yang menjalani rawat inap di
RSUP NTB Periode Januari 2011- Desember 2012.
KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)
Anemia 86 82,7
Tidak Anemia 18 17,3
TOTAL 104 100
Pada penelitian ini dari total sampel
sebesar 104 pasien (TB paru dan TB paru
millier) 86 (82,7%) diantaranya mengalami
anemia.
Tabel 3. Tabel Perbandingan Kejadian Anemia Pada Pasien TB Paru Milier dan TB paru yang menjalani
rawat inap di RSUP NTB
Pada hasil penelitian ini juga diperoleh
dari 17 sampel TB Paru Milier terdapat 16
sampel diantaranya mengalami anemia dan
dari 87 sampel TB paru tidak milier (hanya
TB paru) sebanyak 70 sampel diantaranya
mengalami anemia.
Pada penelitian ini tidak ditemukan
hubungan antara tuberkulosis paru milier
dengan kejadian anemia pada pasien
tuberkulosis paru di RSUP NTB sesuai
dengan perhitungan SPSS 17 karena hasil
Chi-square hitung (1.854) kurang dari nilai
Chi-square tabel (3,811) pada tingkat
kepercayaan 95% dan alpha 5%.
Pembahasan
Tuberkulosis secara umum merupakan
salah satu penyebab tersering terjadinya
anemia pada laki-laki dewasa dan wanita
tidak hamil di negara berkembang.Hal
tersebut dapat terjadi karena tuberkulosis
dapat mempengaruhi semua seri
hematopoesis.Penurunan jumlah eritrosit,
anemia penyakit kronis, fibrosis sumsum
tulang, infiltrasi amiloid ke sumsum tulang
dan hipersplenisme dapat terjadi pada
tuberkulosis yang kemudian menyebabkan
terjadinya anemia.6 Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian yang diperoleh, yaitu
didapatkan 82,7% penderita tuberkulosis
paru yang dirawat di RSUP NTB mengalami
kejadian anemia.
Anemia penyakit kronis sering ditemukan
pada pasien tuberkulosis paru yang
mengalami infiltrasi ke derah sumsum tulang,
dan akan lebih sering terjadi lagi pada
tuberkulosis ekstraparu, TB paru milier dan
diseminata. Pada prinsipnya anemia penyakit
kronis ini terjadi karena adanya depresi
eritropoesis, depresi produksi eritropoetin,
pemendekan masa hidup eritrosit, dan
gangguan metabolisme besi dimana besi
KETERANGAN/ KATEGORI
ANEMIA
TOTAL YA TIDAK
TB PARU
MILLIER
YA 16 1 17
TIDAK 70 17 87
TOTAL 86 18 104
18
diikat oleh laktoferin yang dihasilkan
granulosit akibat inflamasi.6 Pada penelitian
ini diperoleh 17 pasien TB paru milier dengan
16 pasien diantara TB paru milier yang
mengalami anemia yaitu sebesar 94,12%.
Tetapi secara statistik saat diuji dengan Chi-
square tidak ditemukan adanya hubungan
antara tuberkulosis paru milier dengan
kejadian anemia pada pasien tuberkulosis
paru di RSUP NTB, hal ini ditunjukan dengan
hasil Chi-square hitung (1.854) kurang dari
nilai Chi-square tabel (3,811) pada tingkat
kepercayaan 95% dan alpha 5%. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena anemia
yang terjadi tidak berkaitan dengan
tuberkulosis paru milier melainkan bisa
terjadi karena mekanisme lain misalnya
pasien mengalami defisiensi besi sejak
sebelum terinfeksi TB paru, terjadinya
malabsorpsi besi di usus, atau gangguan
diluar mekanisme anemia pada tuberkulosis
paru milier.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Terdapat 82,7% penderita TB paru yang
dirawat inap di RSUP NTB mengalami
kejadian anemia.
2. Tidak terdapat hubungan antara
tuberkulosis paru milier dengan kejadian
anemia pada pasien tuberkulosis paru di
RSUP NTB
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut dan
mendalam untuk mempelajari manifestasi
kelainan-kelainan hematologis, manifestasi
klinis pada TB paru milier.
Daftar pustaka
1. Chaisson R. E, and Nachega. Tuberculosis. In : Warrell D. A, Cox T. M, Firth J. D, Edward J. JR, and Benz M. D, editors. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. Oxford : Oxford Press; 2003.
2. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C, Surya A, editor. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
3. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam : Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Gramik FK UNAIR; 2010.
4. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
5. Arsyad Z, Syamsuri W. Tuberkulosis Milier. Majalah Kedokteran Andalas. Juli-Desember 1998. Vol 22; No 2.
6. Oehadian A. Aspek Hematologi Tuberkulosis. 2003. Pustaka UNPAD. Dikutip tanggal 26 Desember 2012. Diunduh dari : http://pustaka.unpad.ac.id/archives/33023/
7. Anonim. Tuberkulosis “Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dikutip tanggal 26 Desember 2012. Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsesus/tb/tb.pdf
8. Connell D.W, Berry M, Cooke G, and Kon O. M. Update on tuberculosis: TB in the early 21
st century. Eur Respir Rev 2011;20: 120,
71-84. Dikutip tanggal 29 Desember 2012. Diunduh dari http://err.ersjournals.com/content/20/120/71.full
9. Ghazali M. V, Sastromihardjo S, Soedjarwo S. R, Soelaryo T, dan Pramulyo H. Studi Cross-sectional. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : Sagung Seto; 2002.
10. Nazir M. Metode Penelitian. Edisi I. Jakarta : Ghalia Indonesia; 2003.
19
PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN AIR KELAPA MUDA DAN AIR PUTIH TERHADAP
KECEPATAN PEMULIHAN DENYUT NADI PADA
PEMAIN FUTSAL FK UNRAM
Ida Ayu Eka Widiastuti, Putu Aditya Wiguna
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract In physical activities, oxygen consumption, heart rate, body temperature and chemical compound in human body will alter transformation. Indirect method to measure workload can be done by measuring pulse during activities. Fluid loss in activities can be replaced by administering fluid that have good rehydration effect, among those are coconut water and drinking water. The aim of this study is to compare the effect of coconut water and drinking water consumption on pulse recovery time after exercise. This experimental study was conducted with randomized pre and posttest group design. Subject of this study is Mataram University Faculty of Medicine futsal team. Fourteen subjects were divided into two groups, each group consist of seven individuals. Coconut water was given to group 1 and drinking water was given to group 2 after treadmill exercise using Bruce Protocol for 15 minutes. The data were analyzed by using Mann-Whitney Test. Pulse recovery time average of group 1 that consumes coconut water was 157, 29 seconds or 2 minutes 62 seconds, while group 2 that consumes drinking water average was 282,86 seconds or 4 minutes 71 seconds. Mann-Whitney analysis shows that pulse recovery times after treadmill exercise were not significantly different (p > 0.05).Pulse recovery time average on group that consumed coconut water were better (28.5%) than group that consumed drinking water, but were not significantly different (p > 0.05). Keywords :Treadmill exercise, recovery time, coconut water, drinking water, futsal player
Pendahuluan
Melakukan aktivitas fisik dan berolahraga
merupakan bagian dari pola hidup sehat.
Pada saat berolahraga, terlebih olahraga
yang cukup berat dan dalam jangka waktu
cukup lama sering terjadi kehilangan cairan
yang berakibat pada terjadinya stress termal.
Kondisi ini dapat mengganggu fungsi kognisi
dan kardiovaskuler mengakibatkan
terjadinya kelelahan dan menurunkan
performa latihan1.
Berkeringat yang banyak selama
berolahraga dapat menyebabkan kehilangan
cairan tubuh kurang lebih 1 liter tiap jam2.
Dalam keringat terkandung berbagai
elektrolit, seperti sodium (Na+), klorida (Cl
-),
dan potassium (K+) dan sedikit asam amino,
bikarbonat (HCO3-), karbondioksida (CO2),
tembaga, glukosa, hormon, besi, asam
laktat, magnesium (Mg2+
), Nitrogen, fosfat
(PO42-
), urea, vitamin dan seng3. Kandungan
pasti dari keringat ini bervariasi pada setiap
individu dan pada tiap individu juga akan
berbeda tergantung pada kondisi3.
Rehidrasi sesudah latihan tidak hanya
memerlukan penggantian cairan yang hilang,
tetapi juga penggantian elektrolit. Adanya
tambahan elektrolit, terutama sodium akan
membantu dalam menjaga rasa haus dan
selanjutnya akan menstimulasi kita untuk
minum4. Permasalahan yang muncul adalah
bahwa minuman yang mengandung sodium
dengan konsentrasi tinggi memiliki rasa yang
kurang enak sehingga mengakibatkan
pembatasan konsumsi4.
Air kelapa mengandung berbagai macam
nutrisi, termasuk vitamin, mineral,
antioksidan, asam amino, enzim, factor
pertumbuhan dan lain-lain. Air kelapa
merupakan sumber yang baik untuk mineral
penting, seperti magnesium, kalsiumdan
potassium. Air kelapa juga mengandung
20
berbagai macam trace elements, seperti
seng, selenium, iodine, mangan, boron,
molybdenum dan lain-lain. Semua mineral
yang ada dalam air kelapa berupa elektrolit
sehingga mudah diserap oleh tubuh. Dalam
kaitannya dengan nutrisi olahraga telah
dilaporkan bahwa air kelapa dapat memberi
kan efek hidrasi yang sama dengan
minuman olahraga yang mengandung
karbohidrat - elektrolit4,5
.
Penelitian tentang rehidrasi dengan
menggunakan air kelapa muda segar pernah
dilakukan oleh Saat, M,et al4
menyimpulkan
bahwa minum air kelapa muda segar dapat
dijadikan minuman rehidrasi karena
memberikan rasa yang lebih manis sehingga
tidak terlalu menimbulkan rasa mual,
memberikan rasa kenyang tanpa rasa tidak
nyaman di perut dan lebih mudah dikonsumsi
dalam jumlah besar dibandingkan dengan air
putih biasa. Demikian juga penelitian yang
dilakukan Atmaja6 memberikan hasil bahwa
pemberian air kelapa muda lebih cepat
mengembalikan denyut nadi setelah aktivitas
dibandingkan pocari sweat dan teh manis.
Berbeda dengan penelitian Kalman, et al7
yang menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pemberian
air dalam kemasan, air kelapa muda dan
sport drink terhadap performa fisik setelah
latihan pada laki-laki terlatih.
Pemberian minuman/cairan setelah
melakukan aktivitas atau berolahraga akan
mempercepat tubuh kembali ke keadaan
sebelum berolahraga, yang dapat diketahui
dari kembalinya denyut nadi ke denyut nadi
sebelum olahraga (denyut nadi pemulihan).
Peneliti tertarik meneliti air kelapa muda
sebagai minuman rehidrasi/pengganti cairan
tubuh yang hilang melalui keringat mengingat
air kelapa muda merupakan minuman alami
yang mengandung berbagai macam elektrolit
dan senyawa lain yang sangat penting bagi
tubuh.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan adalah Randomized Pre and
Post Test Group Design. Populasi penelitian
ini adalah semua mahasiswa FK Unram yang
tergabung dalam tim futsal FK Unram.
Sampel diambil dari populasi penelitian yang
memenuhi kriteria sebagai berikut: (1)
Bersedia sebagai subjek penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan
kesediaan sebagai sampel, (2) berbadan
sehat dan tidak cacat berdasarkan
pemeriksaan dokter, (3) jenis kelamin laki-
laki, (4) berusia 18-24 tahun dan (5) Indeks
Massa Tubuh (IMT) normal. Penetapan
subjek penelitian dilakukan dengan
menggunakan kuisioner.
Subjek penelitian berjumlah 14
orang, yang terbagi dalam dua kelompok
perlakuan dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 7 orang. Kelompok satu adalah
kelompok yang diberikan air kelapa muda
setelah melakukan latihan treadmill selama
15 menit dengan menggunakan Protokol
Bruce dan kelompok dua adalah kelompok
yang diberikan air putih dalam kemasan.
Hasil yang diperoleh berupa rerata
kecepatan pemulihan denyut nadi pada
masing-masing kelompok perlakuan.
Dilakukan analisis data dengan
mempergunakan uji statistik non parametrik
Mann-Whitney untuk membandingkan efek
dari perlakuan (variabel bebas) terhadap
kecepatan pemulihan denyut nadi setelah
21
latihan treadmill (variabel tergantung) di
antara kedua kelompok perlakuan. Batas
kemaknaan atau tingkat kepercayaan yang
digunakan adalah 95% (α = 0,05).
Hasil
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian meliputi:
umur, berat badan, tinggi badan dan indeks
massa tubuh. Karakteristik subjek penelitian
sebelum mendapat perlakuan pada kedua
kelompok dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Data Deskriptif Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Subjek
Rerata ± SB p
Kelompok 1 Kelompok 2
Umur (th) 19,57±0,53 19,43±0,98 0,161
Berat Badan (Kg) 62,28±4,27 62,43±5,44 0,417
Tinggi Badan (cm) 170,57±5,65 171,43±4,04 0,254
IMT (kg/m2) 21,62±1,94 21,27±1,89 0,990
Tabel 1 memperlihatkan bahwa
karakteristik umur, berat badan, tinggi badan
dan indeks massa tubuh dari kedua
kelompok sebelum perlakuan tidak terdapat
perbedaan yang bermakna (p > 0,05).
Dengan demikian sampel penelitian yang
berjumlah 14 orang yang terbagi dalam dua
kelompok memiliki karakter fisik yang sama
sebelum diberikan perlakuan.
2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi
Untuk menentukan uji statistik yang akan
digunakan maka terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan homogenitas data hasil
pengukuran kecepatan pemulihan denyut
nadi setelah perlakuan. Uji normalitas
menggunakan Saphiro-Wilk Test sedangkan
uji homogenitas menggunakan Levene Test,
tertera pada Tabel 2.
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi
Subjek Penelitian
Kecepatan
Pemulihan Denyut
Nadi (detik)
p. Uji Normalitas
(Saphiro-Wilk Test) p. Homogenitas
(Levene Test) Kelompok 1 Kelompok 2
0,051 0,039 0,055
Hasil uji normalitas dengan Saphiro-Wilk
Test menunjukkan bahwa pada kelompok 1
nilai p> 0,05 sedangkan pada kelompok 2
nilai p < 0,05. Dengan demikian data
22
kecepatan pemulihan denyut nadi setelah
melakukan latihan treadmill tidak
berdistribusi normal. Hasil uji
homogenitas dengan Levene
Testmenunjukkan nilai p > 0,05, yang berarti
data kecepatan pemulihan denyut nadi
setelah melakukan latihan treadmill adalah
homogen. Berdasarkan hasil uji normalitas
dan homogenitas ini, maka uji statistik yang
dipergunakan untuk membandingkan efek
pemberian air kelapa muda dan air putih
terhadap kecepatan pemulihan denyut nadi
setelah melakukan latihan treadmill pada
subjek penelitian adalah uji non parametrik,
yaitu Uji Mann-Whitney.
3. Uji Komparasi Kecepatan Pemulihan
Denyut Nadi Setelah Perlakuan
Untuk membandingkan efek pemberian
air kelapa muda dan air putih terhadap
kecepatan pemulihan denyut nadi setelah
melakukan latihan treadmill digunakan uji
statistik non parametrik, yaitu Uji Mann-
Whitney, yang disajikan dalam tabel 3 berikut
ini.
Tabel 3
Perbandingan Rerata Beda Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi Setelah Latihan Treadmill
Kelompok N
(orang)
Rerata Kec.
Pemulihan Denyut
Nadi (detik) ± SB
p
1 7 157,29 ± 69,33 0,064
2 7 282,86 ± 145,64
Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan uji Mann-Whitney (tidak
berpasangan), seperti pada Tabel 3 di atas,
menunjukkan bahwa rerata beda kecepatan
pemulihan denyut nadi pada kelompok 1
(pemberian air kelapa muda) lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok 2
(pemberian air putih). Efek pemberian air
kelapa muda terhadap kecepatan pemulihan
denyut nadi 28,5% lebih baik atau lebih cepat
dibandingkan dengan pemberian air putih.
Namun demikian perbedaan kecepatan
pemulihan denyut nadi pada kedua kelompok
subjek tersebut secara statistik tidak
bermakna (p > 0,05).
Pembahasan
Subjek penelitian adalah 14 orang
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram tahap akademik yang tergabung
dalam tim futsal FK Unram. Subjek dipilih
dan ditentukan setelah memenuhi kriteria
penelitian yang ditetapkan.
Rerata umur subjek penelitian adalah
19,57 tahun pada kelompok penelitian 1 dan
19,43 tahun pada kelompok penelitian 2.
Rerata berat badan subjek penelitian adalah
62,29 kg pada kelompok penelitian 1 dan
62,43 kg pada kelompok penelitian 2. Rerata
tinggi badan subjek adalah 170,57 cm pada
kelompok 1 dan 171,43 cm pada kelompok
2. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) subjek
penelitian adalah 21,62 kg/m2 pada
kelompok penelitian 1 dan 21,27 kg/m2 pada
23
kelompok penelitian 2. Indeks massa tubuh
menggambarkan status gizi seseorang.
Berdasarkan nilai rerata indeks massa tubuh
pada kedua kelompok penelitian,
menunjukkan bahwa status gizi subek
penelitian berada dalam kategori normal.
Dari hasil uji homogenitas, ditemukan bahwa
umur, berat badan, tinggi badan dan indeks
massa tubuh (IMT) pada kedua kelompok
penelitian adalah homogen (p > 0,05).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kondisi subjek penelitian kelompok 1 dan 2
sebelum perlakuan adalah sebanding.
Semua subjek penelitian yang terbagi
dalam 2 kelompok melakukan latihan
treadmill secara bergantian. Latihan treadmill
dilakukan dengan menggunakan Protokol
Bruce selama 15 menit, yang terbagi dalam 5
tahap. Masing-masing tahap dalam latihan
treadmill dengan protokol ini dilakukan dalam
waktu 3 menit. Untuk tiap-tiap tahapan
dilakukan perubahan dalam hal
inklinasi/sudut landasan dan kecepatan dari
treadmill. Sebelum melakukan latihan
treadmill, dilakukan pemeriksaan denyut nadi
istirahat selama satu menit dan data ini
dipergunakan sebagai data awal dan setelah
latihan dilakukan pengukuran terhadap
kecepatan pemulihan denyut nadi ke denyut
nadi istirahat. Waktu yang diperlukan untuk
mengembalikan denyut nadi latihan ke
denyut nadi istirahat dicatat untuk kemudian
dilakukan analisis.
Berdasarkan analisis data terhadap rerata
kecepatan pemulihan denyut nadi pada
kelompok penelitian didapatkan bahwa
kelompok 1, yaitu kelompok yang diberikan
minum air kelapa muda segera setelah
melakukan latihan treadmill sebanyak 500 ml
memiliki kecepatan pemulihan denyut nadi
yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok 2, yaitu kelompok yang diberikan
minum air putih 500 ml, sebesar 28,5%.
Rerata waktu yang diperlukan oleh kelompok
yang diberi minum air kelapa muda untuk
kembali ke denyut nadi istirahatnya adalah
157,29 detik atau 2 menit 62 detik
sedangkan rerata waktu untuk kelompok
yang diberikan air putih adalah 282,86 detik
atau 4 menit 71 detik.
Olahraga menyebabkan keluarnya
keringat sehingga terjadi kehilangan cairan
tubuh. Berkeringat yang banyak selama
berolahraga dapat menyebabkan kehilangan
cairan tubuh kurang lebih 1 liter tiap jam (2).
Dalam keringat terkandung berbagai macam
elektrolit dan unsur lainnya, yang bervariasi
pada tiap individu dan pada tiap individu juga
akan berbeda tergantung pada kondisi (3).
Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan
cairan yang setara dengan 2% massa tubuh
dapat menyebabkan penurunan performa
dan kehilangan cairan sebesar 5-6% dari
berat badan akan meningkatkan denyut nadi.
Olahraga akan membuat peningkatan
denyut nadi yang disebabkan oleh
berkurangnya konsumsi oksigen. Untuk
menjaga stabilitas aliran darah dalam
menyuplai oksigen dan bahan bakar energi
ke otot, maka kerja jantung secara otomatis
akan meningkat. Pemberian cairan yang
efektif akan memperkecil perubahan denyut
nadi sehingga akan menunda kelelahan dan
memperpendek lama periode pemulihan
denyut nadi8. Beberapa jenis cairan rehidrasi
dapat diberikan selama latihan/olahraga8.
Rehidrasi sesudah latihan tidak hanya
memerlukan penggantian cairan yang hilang,
tetapi juga penggantian elektrolit, terutama
sodium yang banyak keluar saat berkeringat.
24
Penelitian yang dilakukanAtmaja6
menyimpulkan bahwa pemberian air kelapa
muda lebih cepat mengembalikan denyut
nadi setelah aktivitas dibandingkan dengan
pemberian pocari sweat dan teh manis,
sementaraKalman,et al7 menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pemberian air dalam kemasan, air kelapa
muda dan sport drink terhadap performa fisik
setelah latihan pada laki-laki terlatih.
Air kelapa muda sebagai minuman yang
terbentuk secara alami dapat memberikan
efek hidrasi yang sama dengan minuman
olahraga yang mengandung karbohidrat-
elektrolit. Air kelapa mengandung berbagai
macam nutrisi, termasuk vitamin, mineral,
antioksidan, asam amino, enzim, faktor
pertumbuhan dan lain-lain. Semua mineral
yang ada dalam air kelapa berupa elektrolit
sehingga mudah diserap oleh tubuh. Di sisi
lain air kelapa muda memiliki rasa yang
cukup manis sehingga tidak menimbulkan
rasa mual, memberikan rasa kenyang tanpa
rasa tidak nyaman di perut4,5
.
Sebagai minuman rehidrasi, air kelapa
memiliki indeks rehidrasi yang lebih baik
dibandingkan dengan minuman olahraga
(sports drink) dan minuman penambah
stamina. Indeks rehidrasi lebih tinggi
menunjukkan bahwa air kelapa muda lebih
efektif dan lebih cepat memperbaiki
dehidrasi.
Untuk mengetahui perbandingan efek
kedua jenis perlakuan dalam mempercepat
kembalinya denyut nadi latihan ke denyut
nadi istirahat, dilihat melalui uji Mann-
Whitney. Berdasarkan hasil analisis uji
Mann-Whitney, maka rerata kecepatan
pemulihan denyut nadi antara kelompok 1,
yaitu kelompok yang diberikan minum air
kelapa muda sebanyak 500 ml setelah
latihan treadmill selama 15 menit dan
kelompok 2, yang diberikan minum air putih
dalam kemasan sebanyak 500 ml setelah
latihan yang sama adalah tidak bermakna,
yang dilihat dari nilai p yang lebih besar dari
0,05 (p > 0,05), walaupun rerata kecepatan
pemulihan denyut nadi pada pemberian air
kelapa muda lebih cepat 28,5%.
Simpulan
Rerata kecepatan pemulihan denyut nadi
pada pemberian air kelapa muda adalah
157,29 detik (2 menit 62 detik) sedangkan
pada air putih adalah 282,86 detik (4 menit
71 detik).
Rerata kecepatan pemulihan denyut nadi
antara pemberian air kelapa muda dibanding
air putih tidak berbeda bermakna (p > 0,05).
Daftar Pustaka
1. Duvillard Von S, Arciero P, Tietjen-Smith T, Alford K. Sports drinks, exercise training and competition. Curr Sports Med Rep. 2008; 7(4): p. 202-208.
2. Costill D. Sweating : Its Composition and Effects on Body Fluids in the Marathon. Ann New York Academic Science. 1977; 301: p. 160-174.
3. Plowman , Sharon A, Smith DL. Exercise Physiology for Health, Fittness, and Performance. 2nd ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer Bisiness; 2008.
4. Saat M, Singh R, Sirisinghe R, Nawawi M. Rehydration after exercise with fresh young coconut water, carbohydrate-electrolyte beverage and plain water. Journal of Physiological Anthropology and Applied Human Science. 2002;: p. 93-103.
5. Ismail I, Singh R, RG S. Rehydration with sodium-enrichedcoconut water after exercise-induced dehydration. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health. 2007; 38(4): p. 769-785.
6. Atmaja IM. Pemberian Minuman Air Kelapa Muda Lebih Cepat Memulihkan
25
Denyut Nadi daripada Pemberian Minuman Isotonik danTeh Manis pada Pesilat Siswa SMP Dwijendra Denpasar.(tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2009.
7. Kalman S, Fieldman S, Krieger D, Bloomer R. Comparison of coconut water and a carbohydrate-electrolyte sport drink on measures of hydration and physical performance inexercise-trained men. Journal of The International Society of Sports Nutrition. 2012.
8. Krisnawati D, Fatimah S, Kartini A. Efek
cairan rehidrasi terhadap denyut nadi, tekanan darah dan lama periode pemulihan. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. 2011; 1(2): p. 133-138.
26
DIARE ROTAVIRUS DI MATARAM
Sukardi W*, Sulaksmana SP*, Wahab A **, Soenarto Y***
*Departements of Pediatrics.Faculty of Medicine,Universitas Mataram ,Mataram
HospitalMataram,Indonesia. ** Departements of Community Health and Nutrition Research
Laboratori, Faculty of Medicine,Universitas Gajah Mada , Yogyakarta.Indonesia ***Departements
of Pediatrics, Faculty of Medicine,Universitas Gajah Mada ,Sardjito Hospital, Yogyakarta,
Indonesia.
Abstract Background: Rotavirus is the most common cause of severe diarrhea and dehydration among children aged <5 years(U5) in the industry and developed Countries, including Indonesia. Study reported prevalences of rotavirus diarrhea infection in Mataram are rarely documented. Objective: To determine the prevalence and characteristics of rotavirus diarrhea in children U5 with acute diarrhea Methods: A prospective study using "Generic protocol for rotavirus surveillance" WHO Publications, was conducted, in Mataram Hospital as a part of multi center study by "Indonesia Rotavirus Surveillance Network" (IRSN), for children U5, Those children were diagnosed as rotavirus diarrhea base on examination of stool samples using a technique of enzyme Immunoassay as published in the previous publication(Soenarto et al, 2009).They were admitted to the children's in Mataram General Hospital ward, in January-December 2010. Results: Of 329 children admitted with acute diarrhea, 210 (63.8%) rotavirus positive stool samples. Rotavirus diarrhea encountered during the year 2010, the incidence was highest in the month of January (86.4%). Rotavirus infections are found in less than 2 years of age (65.4%), the highest (68.5%) in the age group of 6 months-23 months. In addition to clinical symptoms of watery diarrhea are the most vomiting (67.8% vs32, 3%, P <0.05). The majority of G and P genotypes found that G1 (86%), G2 (12%), and P (4) 12.8%, P (6) 8%. Conclusion: Rotavirus infections are the most common cause of acute diarrhea in children aged <2 years. The increased frequency of vomiting and dehydration in rotavirus infection may pose challenges to the administration of oral rehydration salt and may increase realiance on intravenous fluid therapy, thus leading to higher treatment cost and mortality risk. Rotavirus immunization is needed to reduce morbidity and mortality.
Keywords: diarrhea, rotavirus, immunoassay Abstrak Latarbelakang : Rotavirus masih merupakan penyebab utama diare akut pada anak usia < 5 tahun(balita) di
Negara Industri dan berkembang, termasuk Indonesia. Data infeksi rotavirus di Mataram, NTB jarang dilaporkan. Tujuan : Mengetahui pravalensi dan karakteristik strain rotavirus pada anak diare akut Metode.: Penelitian prospektif menggunakan petunjuk “ Generic protocol for rotavirus Surveillance
“publikasi WHO, yang diterjemahkan oleh “ Indonesia Rotavirus Surveillance Network” (IRSN)terhadap anak balita, yang dirawat di Bangsal Anak RSU Prov Mataram bulan januari-desember 2010 dengan diagnosis diare akut..Pemeriksaan sampel feses menggunakan teknik enzyme immunoassay (Dacopatts;Daco international). Semua sampel tinja rotavirus positif dilanjutkan pemeriksaan kharakteristik strain rotavirus di Laboratorium Mikrobiologi Fk, UGM, Yogyakarta. Hasil : Dari 329 anak diare akut yang dirawat, sebanyak 210(63,8%) sampel feses rotavirus positif.
Kejadian diare rotavirus dijumpai sepanjang tahun 2010, insinden paling tinggai pada bulan januari(86,4%). Infeksi rotavirus banyak ditemukan pada usia kurang dari 2 tahun(65,4%), paling tinggi (68,5%) pada kelompok usia 6 bulan – 23 bulan. Selain diare cair gajala klinik yang paling banyak yaitu muntah (67,8%vs32,3%;P<0,05). Mayoritas genotipe G dan P yang ditemukan adalah G1(86%),G2(12%), dan P (8) 66%, P(4) 12,8%,P(6) 8% . Kesimpulan : Infeksi rotavirus merupakan penyebab terbanyak diare akut pada anak usia< 2 tahun . Gejala muntah dan dehidrasi pada diare rotavirus yang secara bermakna lebih tinggi dibanding dengan yang diare rotavirus negative,perlu mendapat perhatia, karena dapat menyebabkan gagalnya rehidrasi oral serta peningkatan pemakaian cairan intravena, tentu saja disamping resiko kematian semakin tinggi. Immunisasi rotavirus diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. Kata kunci : diare, rotavirus,immunoassay
27
Pendahuluan
Diare rotavirus merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya diare yang berat
dan kematian pada anak balita baik di
Negara maju maupun berkembang. Review
pada 1985 mendapatkan bahwa rotavirus
bertanggung jawab terhadab 20-70% diare
yang dirawat di rumah sakit dan 20% semua
kematian diare pada anak balita di seluruh
dunia.1 Laporan Global Surveillance Net
work WHO 2009, menemukan bahwa dari
43 negara yang berpartisipasi , infeksi
rotavirus merupakan penyebab 25-47%
diare akut pada anak usia kurang dari < 5
tahun.2
Di Negara berkembang dan sedang
berkembang , angka kesakitan dan kematian
penyakit rotavirus tinggi. Dilaporkan pada
daerah yang beriklim tropis diare rotavirus
berlangsung sepanjang tahun dan
puncaknya pada musim kering yaitu bulan
juli - agustus.3Data yang diperoleh dari
Asian Rotavirus Surveillance
Network(ARSN), 45% anak dengan diare di
wilayah Asia disebabkan rotavirus,
Sedangkan data yang dilaporkan Indonesia
Rotavirus Surveillance Network(IRSN) tahun
2006 menunjukan 60 % dari 2.240 anak
diare yang dirawat inap ternyata rotavirus
positif dan 41% yang dirawat jalan rotavirus
positif. Angka ini merupakan kejadian
rotavirus yang tertinggi diantara maju dan
berkembang. Sebagai penyebabkematian,
rotavirus menyebabkan 2% kematian anak
balita di Indonesia dan menduduki peringkat
ke 5 sebagai Negara dengan angka
kematian terbesar akibat rotavirus.4,8,13
Rotavirus ditularkan secara oro-fekal dan
diduga dapat ditularkan melalui droplets.
Masa inkubasi umunya berlangsung antara
24 – 72 jam. Infeksi rotavirus dapat
asimtomatik atau simtomatik. Gejala yang
timbul didahului oleh demam, muntah serta
diare cair yang menyebabkan dehidrasi
berat dan kematian . Diare rotavirus
berlangsung selama 4 – 7 hari dan 5%
kasus dapat disertai kejang.3,5
Angka kejadian diare rotavirus sama baik
di Negara industri dan Negara berkembang,
hal ini berarti perbaikan penyediaan air,
kebersihan dan sanitasi tidak dapat
mengotrol rotavirus. WHO
merekomendasikan pemberian imnunisasi
rotavirus untuk mencegah penyakit rotavirus
yang berat dan fatal.1,3,11,,12
Untuk maksud
tersebut data Surveillance Rotavirus sangat
diperlukan untuk mengetahui sirkulasi strain
rotavirus di masing-masing daerah di
Indonesia.
Penelitian ini bertujuan mengetahui
kharakteristik strain rotavirus dan manifestasi
klinik diare rotavirus Di RSU Prov.Mataram-
Lombok, yang merupakan salah satu dari 6
site Indonesia Rotavirus Survaillance
Network (IRSN)
Bahan Dan Methode
Penelitian secara prospektif mengikuti
petunjuk Generic protocol for rotavirus
Surveillanceyang dipublikasi oleh WHO6dan
distandarisasi “Indonesia Roptavirus
Suirveillance Network”(IRSN). Pupolasi anak
usia < 5 tahun dengan diagnosis diare akut
yang dirawat di RSU Prov. Mataram mulai
bulan januari – desember 2010.(Gambar 1)
Definisi diare akut adalah buang air besar
tiga kali atau lebih disertai atau tanpa lendir
28
atau darah yang berlangsung kurang dari 14
hari. Kriteria eksklusi adalah anak usia
kurang 5 tahun yang sampel feses tidak
tertampung atau tidak memenuhi sarat dan
keluarga menolak mengikuti penelitian.
PalembangJakarta
Bandung
Yogyakarta
Denpasar
Mataram
Indonesian Rotavirus Surveillance Network
Java Island59% of Indonesian population
Gambar 1 : Map lokasi Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram- Lombok Indonesia
(Soenarto et al…. 2009)
Pada saat pasien masuk rumah sakit
dicatat mengenai umur dan jenis kelamin,
status nutrisi, gajala penyakit, riwayat
pengobatan, satus dehidrasi dan diagnosis
akhir menggunakan form standar dari
Indonesdia Rotavirus Surveillance
Network(IRSN). Sampel feses yang
diperoleh disimpan dalam container steril
pada suhu 4 – 8o C. selanjutnya dikirim ke
Laboratorium mikrobiologi Fk. UGM
menggunakan “ refrigerated box” dan
disimpan pada suhu – 70oC. Deteksi
rotavirus menggunakan teknik enzyme
immunoassay(Dakopatts;Dako
International). Semua sampel feses yang
positif dilanjutkan dengan pemeriksaan
kharakteristik strain rotavirus .
Hasil
Selama rentang waktu bulan januari –
desember 2010 telah dirawat 329 anak usia
< 5 tahun dengan diagnosis diare akut. 328
dari 329 anak bersedia mengikuti penelitian
dan 1 anak dikeluarkan dari penelitian
karena sampel feses tidak memenuhi sarat
untuk dilakukan pemeriksaan rotavirus.
Dari 328 sampel feses yang diperiksa
laboratorium dengan teknik emzyme
immunoassay, 210(63,8%) positif rotavirus
dan 118(36,2%) rotavirus negatif. (table 1).
Selama penelitian, tidak ada kematian
karena diare.
29
Tabel 1: Caharacteristics and Clinical Symptoms of Hospitalized Children Age < 5 Years with RotavirusDiarrhea at Mataram hospital – Lombok, Indonesia 1 januari – 31 Desember 2010.
Characteristic
No (%) of Patients Enrolled (n =329)
No (%) of patients with
rotavirus-positive diarrhea
n=210(63,8%)
No (%) of patients with
rotavirus-negative diarrhea
n=118(36,2%)
odds ratio (95%Cl)
Sex Male 179 113 (63,1%) 66 (36,9%) 0,92 (0,568-
1.481)
Female 149 97 (65,1%) 52 (34,9%) 1 Age,
month
00-05bl 48 29 (60,4%) 19 (39,6%) 1.53(0.856-
2.722)
06-11bl 113 71 (62,8%) 42 (37,2%) 1.78(1.205-
2.615)*
12-23bl 130 89 (68,5%) 41 (32,5%) 2.17(1.499-
3.142)*
24-35bl 21 15 (71,4%) 6 (28,6%) 2.50(0.970-
6.443)
36-59bl 16 6 (37,5%) 10 (62,5%) 0.60(0.218-
1.651)
Clinical symptoms
Vomiting 263 178 (67,7%) 85 (32,3%) 2,23 (1.239 -
3.99)*
Fever 242 154 (63,6%) 88 (32,3%) 0,97 (0,559 -
1.660)
Dehydration 269 172 (63,9%) 97 (36,1%) 0,98 (0,515-
1.82 )
NOTE.Cl. Confidence interval*Statistically significant (P<.05)
Persentasi sampel feses rotavirus positif
pada masing masing kelompok umur cukup
tinggi, namun demikian persentasi rotavirus
positif lebih tinggi secara bermakna
ditemukan pada kelompok anak usia 6
bulan – 11 bulan (62,8%) dan 12 bulan – 23
bulan (68,5%) daripada rotavirus negatif
P<0,05(OR,1.78;95%CI,1.205-2.615 dan
OR,2.17;95% CI,1.499-3.142). Kami
temukan juga prevalensi rotavirus yang
tinggi 29/48(60,4%) pada anak usia < 6
bulan, tetapi secara statistik tidak berbeda
secara bermakna antara rotavirus positif-
negatif P>0,05 (OR,1,53:95% CI,0.856-
2.722). ( table 1)
Secara umum jenis kelamin pasien diare
akut yang kami rawat lebih banyak anak
laki-laki daripada perempuan(54,4% vs
45,6%), tetapi jenis kelamin tidak berbeda
secara bermakna antara rotavirus positif-
negatif P>0,05.
Manifestasi klinik infeksi rotavirus kami
temukan lebih banyak secara bermakna
pada anak diare disertai muntah(67,7%)
P<0,05 (OR,2.23:95% CI,1,239-3,99),
sedangkan gejala lain seperti demam dan
30
dehidrasi walaupun kasus yang
kamitemukan banyak (63,6% vs 32,3% dan
63,9% vs 36,1%), namun secara satatistik
tidak berbeda secara bermakna antara
rotavirus positis-negatif. P>0,05 ( tabel 1)
Di site Rotavirus Mataram Network,
infeksi rotavirus ditemukan sepanjang tahun
2010, dengan puncaknya terjadi pada bulan
januari 86,4% kasus dan terus menurun
setiap bulan sampai bulan oktober 44,4%
kasus (gambar 2 ).
Gambar 2 : Prevalence of rotavirus infection among children < 5 years at .Mataram hospital –
Lombok,Indonesia 2010.
Pemeriksaan biomolekuler molekuler
kharakteristik strain untuk menentukan G
dan P genotye terhadap 210 sampel feses
rotavirus positif yang diperiksa dengan
teknik emzyme immunoassay. 50 dari 210
sampel feses dapat dideteksi G genotype,
mayoritas kami temukan genotype G1(86%)
, G2(12%) sampel dan 1(2%) sampel mixed
G1+ G2.
Dari 210 sampel feses 50 sampel
terdeteksi P genotype masing-masing P(8)
66%,P(4) 12% dan P(6) 8% dan Mixed P
genotype 14%.(gambar 3 )
86,4
78
68,4 73,3
61,5 65 65,2 68,8
56,5
44,4 47,5 51,9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des
total sampel diperiksa
% rotavirus positive
31
Gambar 3 : Distribution of G genotype and P genotype of rotavirus strains in Mataram,-Lombok, Indonesia 2010
Diskusi
Penelitian ini menujukkan bahwa infeksi
rotavirus perupakan penyebab diare akut
terbanyak pada anak usia < 5 tahun yang
dirawat di RSU Provinsi Mataram. Rotavirus
positif terdeteksi pada 63,8% dari 328 anak
diare akut dan hanya ( 36,2%) kasus
rotavirus negatif. Data ini lebih tinggi dari
yang dilaporkan Sunarto dkk (IRSN) 2006,
berkisar 60%, Global Surveillace network
(WHO)2009 melaporkan berkisar 25-47%
dan Asian Rotavirus Network 2004
melaporkan bahwa 45% anak diare rotavirus
dirawat di rumah sakit.2,4,13
Maria L dkk 1998, melaporkan bahwa di
Brazil, diare rotavirus positif yang dirawat
jalan 3 kali lebih banyak daripada anak yang
rawat inap7. Pada penelitian kami, data dan
sampel feses anak diare akut yang berobat
jalan sangat sulit diperoleh, karena alamat
rumah dan waktu berkunjung ke rumah sakit
sudah tidak diare lagi.
Pada daerah dengan empat musim ,
umumnya infeksi rotavirus terjadi pada
musim dingin. Dilaporkan pada daerah
beriklim tropis seperti Indonesia infeksi
rotavirus berlangsung sepanjang tahun,
dengan kejadian tertinggi pada musim panas
yaitu sekitar bulan juli dan agustus3,8
. Pada
penelitian ini, infeksi rotavirus dijumpai
sepanjang tahun 2010 dan puncaknya terjadi
pada bulan januari 86% dan persentasinya
terus menurun setiap bulan hingga pada
bulan desember 44,4%.
Secara keseluruhan mayoritas(65,4% )
kasus diare rotavirus dijumpai pada anak
usia kurang dari 2 tahun dan paling bayak
pada anak usia 6 bulan- 23 bulan(66,4%).
Persentasi rotavirus positif yang redah
pada anak usia lebih dari 6 bulan dan anak
usia lebih dari 23 bulan. Insidens diare
12%
12%
86%
66%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
mixed P type
P(8)
P(4) P(6)
14%
2% G mixed type
G1
G2
8%
32
rotavirus positif yang rendah pada anak usia
kurang dari 6 bulan demungkinan anak pada
usia tersebut mendapatkan antibodi IgG
maternal yang diperoleh secara
transplasenter IgA pada anak yang masih
mendapatkan ASI eksklusif dan juga
beberapa komponen penting seperti musin
yang terbukti dapat menghambat reflikasi
serta mengikat rotavirus4,8
, demikian juga
pada anak lebih besar insidens rotavirus
yang rendah dapat disebabkan oleh
antibodi alamiah yang timbul akibat infeksi
berulang dari rotavirus. 9
Manifestasi klinik infesi rotavirus dapat
asimtomatik dan atau diare cair serta
muntah yang frekuen yang dapat
berkembang menjadi dehidrasi ringan
sampai berat. Pada penelitian ini, gejala
muntah ditemukan sangat dominan( P<0,05)
merupakan tantangan untuk rehidrasi oral
dan mungkin menyebabkan meningkatnya
penggunaan cairan intravena yang pada
akhirnya menjadi beban ekonomi, tentu saja
disamping resiko kematian semakin tinggi.
3,5,11
Rotavirus grup A merupakan virus utama
penyebab mayoritas diare pada anak usia
kurang dari 5 tahun. Berdasarkan protein
yang membungkus rotavirus , rotavirus grup
A dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
G(glikoprotein) dan tipe P (protease sensitive
protein). Zaafrane dkk 2011, telah
ditemukan 27 tipe G dan 35 tipe
P.10
Genotope yang paling banyak ditemukan
dari survaillans di Indonesia yaitu genotipe
G9(30%) dan P(6) 56% ( Soenarto
dkk.2009).4,8
Di Mataram , kami temukan
genotype G1 (86%) , G2(12%) serta
G1+G2(2%) dan P8(66%),P4(12%),P6(8%)
serta gabungan P tipe 14%). Genotipe G9
dalam penelitian ini tidak kami temukan.
Angka kesakitan diare rotavirus yang
tinggi pada anak usia < 2 tahun baik di
Negara maju dan berkembang , termasuk
Indonesia dan khususnya di Lombok,
perbaikan penyediaan air,kebersihan dan
sanitasi tidak dapat mengontrol infeksi
rotavirus1,2,3.
. Pada Tahun 2009, WHO
merekomendasikan agar semua program
immunisasi nasional memasukan vaksin
rotavirus untuk mencegah infeksi rotavirus
yang berat dan fatal.2,12,13
Di Indonesia,
vaksin rotavirus baru dimasukan dalam
Program Immunisasi Nasional yang diberikan
secara oral pada anak usia 2 bulan, 4 bulan
dan 6 bulan.1,3,5
Kesimpulan
Di Mataram, kejadian diare akut
ditemukan sepanjang tahun 2010, infeksi
rotavirus masih merupakan penyebab
terbanyak diare akut pada anak usia< 2
tahun. Maniestasi klinik yang sangat
dominan selain diare cair( watery diarrhea)
adalah muntah- muntah dan dehidrasi.
Untuk mencegah infeksi rotavirus yang dapat
menjadi berat dan fatal diperlukan pemberian
immusisasi rotavirus pada anak usia 2
bulan sampai 6 bulan.
Acknowledgment
Kami ucapkan terimakasih pada : Staf.
Laboratorium Mikrobiologi Fk.Univ Gajah
Mada, Yogyakarta; Staf PRO(Pediatric
Resesrach Office) Bagian Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Staf, Bagian Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram, Direktur
RSUProv. Mataram di Lombok dan semua
33
pihak yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. Subijanto M ,Fardah A, Ranuh G. Vaksinasi rotavirus pada anak. Dalam : Purnomo B,Karpan F,Sugeng S,Narendra M,M Noor,Oetomo T: Kumpulan Makalah Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair,2007;37: 149
2. CDC . Rotavirus Surveillance----Worldwide 2009.MMWR 2009;60;514-16. Diunduh dari: www.cdc [email protected]. diakses, 20 agustus 2012
3. Firmansyah A,Soenarto Y. Rotavirus. Dalam :Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro S, Kartasasmita B, Ismoedijanto,Soedjatmiko, penyunting . Buku Pedoman Immunisasi Di Indonesia .ed 4, Satgas Immnunisasi IDAI, Jakarta: Badan penerbit IDAI;2011;318-23
4. Soenaro Y. Diare Rotavirus Di Indonesia . Disampaikan pada acara Rakernas Himpunana Gastro-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia(PGHNAI), Bandung 2012
5. Hasibuan B, Nasution F, Guntur. Infeksi Rotavirus Pada Anak Usia di Bawah Dua Tahun. Sari Pediatri,2011;13:165-8.
6. WHO .Generic protocols for (i) hospital-base surveillance to estimate the burden of rotavirus gastroentritis inchildren an(ii) a community –base servey on utilization of health care services for gastroenteritis
in children. Fild test version. Geneva: World Health Organization,2002. Diunduh dari :http://www.who.int/vacccines-ducuments/DocsPDF02www698,pdf,diakses 6 januari 2008.
7. Lusia M, Gomes F. Epidemiological Aspects of Rotavirus Infections in Manas Garais, Brazil. Diunduh dari:www.infectoorg/bjid.htm,diakses.10 april 2012.
8. Soenarto Y,Aman A,Bakri A,Waluya H,Firmansyah A Kadin MMartiza I,Prasetyo DMulyani N,Widowati T,Soetjiningsih,Karyana IP,Sukardi W, Bresee J, Widdowson Mc. Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.. J Infect.Dis;200 suppl 1: S 188-194.
9. Tjitrasari T irmansyah A Chair I. Clinical Manifestations of Rotavirus diarrhea in the outpatient clinic of Ciptomangunkesumo Hospital, Jakarta. Paediatrica Indonesiana 2005;45:69-75.
10. Zaafrane dkk . The molecular epidemiology of circulating rotaviruses: three-year suveillace in the region of monastir, Tunisia. BMC Infect Dis.2011;11:266.
11. Wilopo SA dkk. Economic evaluation of routine rotavirus vaccination programe in Indonesia. Elsevier;2009.
12. Monos dkk. The effect of rotavirus vaccine on diarrhea motality. Intern J Epidemol,2010;39:156-62.
13. Breese dkk. First report form the Asian Rotavirus Surveillance Network. Emerg Infect Dis.2004;10(6).
34
IMPLEMENTATION OF NUTRITION CURRICULUM TO UNDERGRADUATE STUDENTS IN
FACULTY OF MEDICINE, MATARAM UNIVERSITY
Eustachius Hagni Wardoyo
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract Objective: To describe nutrition curriculum’s implementation to undergraduate students Faculty of Medicine Mataram University (FMMU) MethodsMajor part of nutritional sciences was placed in a Metabolism and Energy block and implemented to under graduate students. Nutrition curriculum was described in three processes, they are:development, implementation and internal evaluation. Every studentsparticipatingin this block were included in the study.A semi-structure questionnaire was conducted to explore student’s perception of nutrition curriculum’s implementation. ResultsForty hours nutrition curriculum was developed and implemented to undergraduate students. Nutrition and diseases was the topic with longest duration (14.5), followed by patophysiology (7), nutrition and community (5.5), nutritional well-being and prevention (4), and each 3 hours by histology, biochemistry and physiology. Tutorial was the longest duration learning activities (28), followed by lectures (5), skills lab (3), and field visit and laboratory class each 2 hours. Among 61 participants, 52 (85.24%) students perceived that nutrition curriculum implementation helped them constructing their understanding of the subject from the basic to clinical nutrition. Sixty (98.36%) students were passed Metabolism and Energy block’s assessment (cut off: 70). Among nutrition’s topic given, nutrition and diseases were favorite subjects by 43 (70.49%), followed by nutrition and community by 8 (13.11%), nutritional well being and prevention by 7 (11.47%), and patophysiology 3 (4.91%) students. Among learning activities given, 41 (67.21%) student choose field visit as their favorite followed by skills lab by 8 (13.11%), tutorial by 6 (9.83%), laboratory and lecture each 3 (4.92%) students. Among assessment methods, Student Oral Case Analysis (SOCA)waschosen as a favorite method of assessment to 52 (85.24%) students. ConclusionNutrition and diseases was topic and tutorial was learning activity with longest duration. Most of students perceived that implementation of nutrition curriculum helped them constructing their understanding of the subject from the basic to clinical nutrition. Nutrition and diseases was the most interesting topic. Field visit was the most favorite learning activity and SOCA was choose as favorite method of assessment Keywords: nutrition education, nutrition curriculum, problem-based learning, competence-based curriculum, medical education Abstrak Tujuan Mendeskripsikan pelaksanaan kurikulum nutrisi untuk mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram (FK Unram) Metode Pendidikan ilmu nutrisi untuk mahasiswa FK Unram sebagian besar dituangkan kedalam blok
metabolisme dan energi. Penjabaran kurikulum nutrisi dilakukan mulai dari proses pengembangan kurikulum, pelaksanaan dan evaluasi internal. Setiap mahasiswa yang mengikuti blok Metabolisme dan Energi diikutkan dalam studi ini. Persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan kurikulum nutrisi digali melalui kuisioner. HasilKurikulum nutrisi dilaksanakan dalam 40 jam pembelajaran. Durasi topik terlama adalah nutrisi klinis
(14,5), diikuti patofisiologi (7), nutrisi masyarakat (5,5), nutrisi untuk kesehatan dan pencegahan (4), kemudian masing-masing 3 jam oleh histologi, biokimia dan fisiologi. Tutorial merupakan aktivitas pembelajaran terlama (28), diikuti oleh kuliah (5), skills lab (3), kunjungan lapangan dan laboratorium masing-masing 2 jam. Diantara 61 peserta, 52 (85,24%) mahasiswa merasa bahwa pelaksanaan kurikulum nutrisi telah membantu pemahaman materi dari nutrisi dasar kepada nutrisi klinis. Enam puluh (98,36%) mahasiswa lulus blok Metabolisme dan Energi (nilai ambang: 70). Nutrisi klinis terpilih sebagai topik yang paling disukai oleh 43 (70,49%) diikuti oleh nutrisi masyarakat 8 (13,11%), nutrisi untuk kesehatan dan pencegahan penyakit oleh 7 (11,47%) dan patofisiologi oleh 3 (4,91%) mahasiswa. Sebanyak 41 (67,21%) mahasiswa memilih kunjungan lapangan sebagai aktivitas pembelajaran favorit, diikuti dengan keterampilan medik 8 (13,11%), tutorial 6 (9,83%), kelas laboratorium dan kuliah masing-masing oleh 3 (4,92%) mahasiswa. Student Oral Case Analysis (SOCA) dipilih sebagai metode penilaian terfavorit oleh 52 (85,24%) mahasiswa. KesimpulanNutrisi klinis merupakan topik dan tutorial merupakan aktivitas pembelajaran dengan durasi
terlama. Sebagian besar mahasiswa merasa bahwa pelaksanaan kurikulum nutrisi telah membantu pemahaman materi dari nutrisi dasar kepada nutrisi klinis. Nutrisi klinis sebagai topik yang paling menarik, kunjungan lapangan merupakan aktivitas pembelajaran yang paling disukai dan SOCA terpilih sebagai metode penilaian yang terpopuler.
35
The traditional major emphasis of medical
education programs has been the acquisition
of basic scientific knowledge and practical
skills in well-defined subject areas. Lecture
that used to be the main learning activities,
now simply act only as instructional class
assignment or introduction to learning
objectives. Changes in the practice
environment, the recognition that alternative
instructional models may be desirable in
some cases, and the fact that instruction in
the traditional subject areas does not prepare
students for all aspects of medical practice in
the near future have driven recent curricular
changes at many schools.1,2
Nutrition education to medical students is
an important part of medical education.
Nutrition education in competence-based
curriculum confers challenge to many
medical faculties to develop nutrition
curriculum, which put the integration of
different knowledge and skills from basic to
clinical nutrition.
As medical education paradigm has
shifted to problem-based learning paradigm,
the National Academy of Science (NAS)
recommendation of 25 hours nutrition
education in 19853, recently has beyond
expectation as a specialized nutrition theme.
At FMMU, the specialized nutrition theme
called metabolism and energy block.It has
adopted theIndonesian medical council-wide
plan in 2006 that specifies desired learning
objectives and provides an instrument for
rating student achievement, but leaves the
specifics of implementing this plan to be
developed by faculty at individual
instructional sites. 1,4
Meaning that methods
for achieving these learning objectives were
intentionally left to be determined by
individual centers, departments, and block
developer.
Metabolism and energy block at FMMU
was a fifth block and implemented to first
year undergraduate student. Metabolism and
energy block was constructed in 5 weeks
plus a week of assessment or equivalent to
40 hours nutrition education plus 3 hours
assessment.Allocation of time has allowed
every medical faculty to develop nutrition
curriculum that fits to local consideration. The
study was described implementation of
nutrition curriculum to undergraduate student
FMMU.
Methods
Participant
All student participate in metabolism and
energy block was eligible to the study
Procedures
Development of nutrition curriculum
Nutrition curriculum was developed in the
following steps: 1) determine specific ways
area of competencies are addressed in a
block theme; 2) develop learning objectives;
3) distribute learning objectives into learning
activities; 4) construct methods of student’s
assessment.
Learning objectives were developed
based on area of competence of the Medical
Doctor Standard of Competence issued by
the Medical Council of Indonesia (2006).
Topic of nutrition curriculum was consisted of
histology, biochemistry, physiology,
patophysiology, nutritional well being and
prevention, nutrition and community, and
nutrition and diseases (table 1).Those
subjects distributed in learning activities as
follow: tutorial, lecture, field visit, skills lab
36
and laboratory class. Methods of student’s
assessment were student oral case analysis
(SOCA), written test, student’s assignment,
laboratory class, tutorial, student’s logbook
and diet history taking. A semi-structure
questionnaire was conducted to explore
student’s perception of nutrition curriculum’s
implementation.
Table 1. Topic of nutrition
Topic of nutrition
Histology of GI tract
Biochemistry
Physiology
Patophysiology
Nutritional well being and prevention
Nutrition and community
Nutrition and diseases
Implementation of nutrition curriculum
Nutrition curriculum was implemented for 40
hours consist of 28 hours tutorial, 5 hours
lecture, 3 hours skill lab, 2 hours field visit, 2
hours laboratory class. The faculty also
provided additional time for students to learn
by themselves. Methods of student’s
assessment consist of 20 minutes of student
oral case analysis (SOCA), 2.5 hours written
test. Introduction of SOCA at FMMU has
been previously described.2Other methods of
assessment were obtained during process of
learning, such as student assignment for field
visit, laboratory class, tutorial, student’s
logbookand diet history taking for skill lab.
Lecture was delivered by experts in clinical
nutrition, dietetics, biochemistry, histologyand
community nutrition. Tutors had undergone
training as tutor and SOCA examiner.
Tabel 2. Methods of assessment
Final assessment Written test
Student oral case analysis
Process assessment Student assignment (field visit)
Laboratory class
Tutorial
Student’s logbook
Diet history taking (skill lab)
37
Result
Participant’s characteristic
A number of 61 students: 43 (70.49%)
women and 18 (29.51%) men. All
participantsfulfilled 75% attendance of all
learning activities in metabolism and energy
blocks to undergo final assessment.
Implementation of nutrition curriculum
Nutrition curriculum in the metabolism and
energy block was implemented to students
who passed the previous block (infection and
immunity).
Tabel 3. Topics distribution into learning activities and timeduration(hours); Box with grey shading shows the topics given in the specific learning activities
Topics
Learning activities Time
Lecture Tutorial Field
visit Skill lab
Laboratory
clas
Histology 1 1 - - 1 3
Biochemistry 1 1 - - 1 3
Physiology - 3 - - - 3
Patophysiology - 7 - - - 7
Nutritional well
being and
prevention
- 4 - - - 4
Nutrition and
community 1.5 4 - - - 5.5
Nutrition and
diseases. 1.5 8 2 3 - 14.5
Time 5 28 2 3 2 40
A number of learning activities indicate a
number of learning objectives that should be
achieved by students in one topic. All 28
hours tutorial was fulfilled. Seven scenarios
were discussed in tutorial class.Scenario’s
themes were consists of: nutritional well
being and prevention, nutrition and
community and nutrition and disease.
Experts gave lectures 5 hours fully. Three
hours skill lab was filled by diet history taking
skill, 2 hours field visit to nutrition division of
general hospital of Mataram. Two hours
laboratory class consists of histology of
gastrointestinal tract and food biochemistry
(Table 3).
Instrumentsof curriculum’s
implementation
Instruments were developed in order to
monitor and evaluate implementation of
curriculum. The following instruments were
tabulated in table 4.
38
Table 4. Instruments used in metabolism and energy block
Instruments Corresponding instrument
Time schedule Specific learning activities schedule; ie: field visit,
expert consultations
Lecture checklist -
Expert consultation list List of expert and related field of expertise
Student logbook Student logbook assessment manual
Laboratory manual Laboratory assessment manual
Tutor’s manual Tutorial assessment manual
Tutorial student’s manual List of suggested references : textbook, intranet
ebook
Skill lab student manual -
Skill lab instructor manual Skill lab assessment manual
Student’s assignment assessment
manual -
SOCA examiner’s manual SOCA’s component of assessment
SOCA’s manual of scoring
SOCA’s answering guidance manual
SOCA student’s manual “How to perform SOCA” manual
Block Manager Phone Number -
Final assessment manual Resume of scores of all learning activities
The utilization of instruments is very
important to block’s team as both internal
and external evaluation. Instrument must be
checked routinely by block’s team. Block’s
coordinatoris responsible to whole process of
implementation.
Perceptions of student
A number of 61 students were met the
criteria to follow metabolism and energy
block. Fifty two (85.24%) students perceived
that nutrition curriculum implementation
helped them constructing their understanding
of the subject from the basic to clinical
nutrition. Sixty (98.36%) students were
passed Metabolism and Energy block’s
assessment (cut off: 70). Among nutrition’s
subject given, nutrition and diseases were
favorite subjects by 43 (70.49%), followed by
nutrition and community 8 (13.11%) students,
nutritional well being and prevention 7
(11.47%) students, and patophysiology 3
(4.91%). Among learning activities given, 41
(67.21%) student choose field visit as their
favorite followed by skills lab 8 (13.11%)
students, tutorial 6 (9.83%), laboratory and
lecture each 3 (4.92%) students. Among
assessment methods, SOCA was chosen as
a favorite method of assessment to 52
(85.24%) students, followed by student’s
logbook by 5 (8.19%) students.
39
Figure 1. Nutrition’s topics favored by
students
Discussion
Development and Implementation of
nutrition curriculum
Nutrition curriculum was successfully
implemented to undergraduate student
FMMU. The curricula change was acceptable
to the faculty and the students; although the
obstacles of this change were obvious, more
administrative works and more human
resources deployed in. Limitations were
found during the process of curriculum
development: the experts were not able to
get involved in most of critical processes and
when the panel meeting was held to
introduce the curriculum, the block team was
not able to explore their expertise; due to
absent or reluctant to share their opinion.
Local content of nutritional problem in West
Nusa Tenggara province should be
determined in this way. Also during the
implementation, the effort to explore any
feedback from experts found feedbacks not
correspond to the curricula.
Methods of Assessment
Pearson et al (2001) explain barriers in
nutrition education at medical school:
absence of routine nutritional assessment in
the current clinical setting and lack of
innovative teaching tools for effectiveness
and feasibility.
In the study, nutritional assessments were
divided into: process assessment and final
assessment (table 3). There are five
criteriafor determining the usefulness of a
particular method of assessment6:1)
reliability, 2) validity, 3) impact on future
learning and practice,4) acceptability to
learners and faculty, and 5) costs. The needs
of those criteria seems not be identified
previously at the beginning of curriculum
development, but at the end of
implementation, a particular methods of
assessment needed to be evaluated based
on those criteria.2 Metabolism and energy
block’s team encounter great challenges in
assessment part, especially in developing
instruments, determine what was “a good
process” meant (portfolio: student logbook)
and was it possible to establish “consensus”
cut off point passing grade which student
should achieved. Those challenges seems
need to be discussed between medical
faculties.
Innovative teaching tools include nutrition
materials and instruments described above
are lack of effectiveness and feasibility
verification. Of these, author suggested those
40
barriers must be solved by national-wide
nutrition education policy.
Internal evaluation of curriculum
Curriculum development is a critical partin
education processes. In curriculum-based
competencies the expected outcome of
education processes is learner would have
several designated competencies.
Documenting the relationships between
curriculum development and learner’s
competencies,or furthermore patient
outcome representsone of the biggest
challenges and greatest opportunities in
curriculum development. Seven areas of
competencies (table 5) represent the effort to
approach the competencies at FMMU.
Competencies itself is described as
integration of knowledge, skills, attitude
andbehavior in specific context. Furthermore,
Epstein (2007) describe competencies as 1)
a habit of lifelong learning, 2) contextual;
where s/he able to perform task in particular
situation, 3) developmental, meaninghabits of
mind and behaviorand practical wisdom are
gained through deliberate practiceand
reflection on experience.7,8,9
Therefore
curriculum evaluation takes further research
with excellent infrastructure support.
Tabel 5. Specific ways area of competencies are addressed in metabolism and energy block
Effective communication:
Discussion on tutorial session
Diet history taking on skill lab session
Developing dietary plan in various conditions on SOCA
session
Basic clinical skills:
Use of clinical studies
Discussion of how to measure nutritional status
Discussion of how blood biochemistry is modified by
nutritional status
Medical science as a scientific
guidance:
Use of field visit study to nutrition division of General
Hospital
Discussion of how information of subjective and objective
data be used
Health problem management and
solving:
Student assignment of popular diet i.e. food combining,
blood group diet.
Panel discussion with expert i.e. malnutrition, diabetic, renal
failure, hepatic failure
Information management: Discussion of how to use suggested learning resources and
search additional learning resources in the web
Self-awareness and personal
growth:
Discussion of how nutrition status affected physical fitness
in self
Discussion of pattern of daily diet in self
41
Tabel 5. Specific ways area of competencies are addressed in metabolism and energy block
(continuation from page 40)
Ethical judgment, moral reasoning,
medico-legal, professionalism and
patient safety:
Ethical issues on nutritional status of admitted patients in
hospital
Discussion of how nutrition can modified drug absorption,
action and efficacy
Being professional in diet history taking
Recognition of the importance of informed choice
Conclusion
Nutrition and diseases was topic and
tutorial was learning activity with longest
duration. Most of students perceived that
implementation of nutrition curriculum helped
them constructing their understanding of the
subject from the basic to clinical nutrition.
Nutrition and diseases was the most
interesting subject. Field visit was the most
favorite learning activity and SOCA was
choose as favorite method of assessment
Acknowledgement
Author thanks to metabolism and energy
block team: BM Syahrizal, D Purnaning, IAE
Widiastuti, A Ekawanti, and MF Wajdi, and
administration office team: S Roesmayadi,
Angre, Priyanti, Martina and Muparihin at
FMMU
References
1. Near JA, TR Bosin and JB Watkins III. Implementation of Competency-based Curriculum in Medical Pharmacology.
Indiana University School of Medicine. 2003. Available at http://bl-msci-near.ads.iu.edu/nearlab/teaching%20pharmacology%202002%20poster.ppt[Accessed 21
stNov 2010]
2. Wardoyo EH, BM Syahrizal, D Purnaning, IAE Widiastuti, A Ekawanti, and MF Wajdi. Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to assess student’s performance in pre-clinical setting in Faculty of Medicine, Mataram University, Cermin Dunia Kedokteran, Agust 2010; 37(6):434-436
3. Taren DL, CA Thomson, NA Koff et al.Effect of an integrated nutrition curriculum on medical education, student clinical performance, and student perception of medical-nutrition training. Am J Clin Nutr
2001;73:1107–12 4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar
kompetensi dokter. 2006. Jakarta 5. Pearson TA, EJ Stone, SM Grundy, PE
McBride, L van Horn, and BW Tobin. Translation of nutritional sciences into medical education: the Nutrition Academic Award Program. Am J Clin
Nutr 2001;74:164–70 6. VanDer Vleuten CPM. The assessment
of professional competence: developments, research and practical implications. Adv Health Sci Educ 1996;1: 41-67
7. Collins J. Medical Education Research: Challenges and Opportunities. Radiology 2006; 240(3):639–647
8. Molenaar WM, A Zanting, P van Beukelen et al. A framework of teaching competencies across the medical education continuum. Medical Teacher. 2009; 31(5):390-396.
9. Epstein RM. Assessment in Medical Education.New England Journal of
Medicine. 2007; 356(4):387-396
42
PERAN EKOKARDIOGRAFI DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN SEVERITAS
STENOSIS MITRAL
Basuki Rahmat
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract Mitral valve stenosis is the morbidity that is still prevalent in developing countries, including Indonesia. Mitral stenosis is one of the implications of rheumatic heart disease. Without the detection of early diagnosis and adequate treatment of mitral stenosis will cause heart failure. When heart failure has occurred then the morbidity and mortality in patients will increase. Early diagnosis will help us to provide the optimal treatment of the patient and prevent falls in the syndrome of heart failure Keywords: Echocardiography, Diagnosis, Mitral Stenosis Abstrak
Stenosis katup mitral merupakan morbiditas yang masih banyak terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Stenosis mitral yang untuk selanjutnya kita sebut sebagai mitral stenosis (MS) merupakan salah satu implikasi dari penyakit jantung rematik. Tanpa pengenalan diagnosis sejak dini dan tatalaksana yang adekuat, stenosis katup mitral akan menyebabkan gagal jantung. Ketika gagal jantung telah terjadi maka morbiditas dan mortalitas pada pasien akan semakin meningkat. Penegakan diagnosis lebih dini akan membantu kita untuk memberikan tatalaksana yang optimal dan mencegah pasien jatuh dalam sindroma gagal jantung Kata kunci: Ekokardiografi, Diagnosis, Stenosis Mitral
Pendahuluan
Penyebab tersering MS adalah penyakit
jantung rematik. Prevalensi penyakit jantung
rematik telah menurun di Amerika Serikat.
Akan tetapi prevalensi tersebut tetap tinggi di
negara berkembang seperti Indonesia.
Secara epidemiologi MS terjadi 3-4 kali lebih
sering pada wanita dibanding pria (Carabello,
2004) dan 2 kali lebih sering pada wanita
menurut American College of
Cardiology/American Heart Asscociation
(ACC/AHA) tahun 2006. Periode laten MS
pada negara maju terjadi 20-40 tahun sejak
terjadinya demam rematik, sedangkan pada
negara berkembang periode laten tersebut
terjadi lebih cepat(Bonow, et al.,2006).
Angka harapan hidup dalam 10 tahun
pasien yang terdiagnosis MS tanpa
intervensi 50-60% tergantung gejala dan
manifestasi klinis. Pada pasien yang tidak
bergejala atau gejala ringan, survival lebih
80% pada 10 tahun setelah terdiagnosis dan
60% pasien tersebut tidak terjadi progresi
gejala. Mortalitas pasien MS yang tanpa
intervensi disebabkan 60-70% perburukan
vaskular pulmonal dan kongesti sistemik, 20-
30% emboli sistemik, 10% emboli paru dan
1-5% oleh karena infeksi (Bonow, 2006).
43
Tabel 1. Prognosis pasien MS tanpa intervensi,
(sumber: Rahimtoola, 2002)
Hemodinamik Stenosis Mitral
Pembukaan katup mitral saat diastolik
normalnya adalah 4-5 cm2. Setelah fase
pengisian awal terpenuhi, maka segera
diikuti fase diastasis yang cepat. Stenosis
mitral akan menyebabkan gangguan
hemodinamik ketika pembukaan maksimal
saat diastolik atau disebut mitral valve area
(MVA) <1,5 cm2 sehingga gradien tekanan
antara atrium dan ventrikel meningkat.
Seiring dengan berkurangnya MVA saat
diastolik maka tekanan atrium kiri akan
semakin meningkat sehingga akan
meningkatkan left ventricle diastolic pressure
(LVEDP). Mitral valve area yang sempit akan
menyebabkan pengisian ventrikel kiri dan
forward flow menurun. Penurunan isi
sekuncup bersamaan dengan peningkatan
tekanan atrium kiri akan menimbulkan gejala
sindrom gagal jantung walaupun
kontraktilitas ventrikel kiri pada MS murni
masih baik. Sindrom low output pada MS
murni disebabkan oleh kombinasi antara
penurunan preload akibat gangguan
pengisian ventrikel kiri dan tingginya
afterload akibat systemic vascular resistance
(SVR) yang meningkat sebagai kompensasi
kondisi low output tersebut. Pada beberapa
pasien proses rematik terus berlangsung
secara agresif sehingga disfungsi miokard
dapat kita jumpai. Walaupun kontraksi atrium
kiri (atrial kick) mempunyai kontribusi
terhadap pengisian ventrikel kiri, sebagian
besar pengisian ventrikel kiri tersebut diawali
oleh perbedaan gradien yang berasal dari
ventrikel kanan Hal ini menimbulkan
pemikiran, jika MS menjadi berat,
vasokontriksi pulmonal akan menyebabkan
pressure overload ventrikel kanan
meningkat dan selanjutnya akan
berkembang menjadi hipertensi pulmonal
yang berat (Carabello, 2004)
44
Gambar 1. Perubahan hemodinamik pada stenosis mitral. (Sumber: Rahimtoola, 2002)
Derajat Keparahan
Severitas MS dapat kita kenali melalui
pemeriksaan fisik. Interval A2-OS (jarak
antara penutupan katup aorta dan opening
snap) yang pendek dan murmur diastolik
yang lama menunjukkan MS berat. Foto
torak yang baik dapat memberikan informasi
peningkatan tekanan atrium kiri. Kongesti
pulmonal menggambarkan tekanan atrium
kiri ≥ 18 mmHg, edema interstisial
menunjukkan tekanan atrium kiri ≥ 25 mmHg
dan edema pulmonal alveolar
mempresentasikan tekanan atrium kiri ≥ 35
mmHg. Tanda hipertensi pulmonal berupa
P2 (penutupan katup pulmonal) mengeras
dan adanya hipertropi ventrikel kanan tanpa
ada penyebab lainnya menunjukkan adanya
MS berat (Rahimtoola, et al., 2002).
Tabel 2. Stratifikasi derajat keparahan stenosis mitral.
(Sumber: Bonow, et al., 2006)
45
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dapat
memberikan data yang obyektif derajat
keparahan MS berdasarkan variasi
hemodinamik dan perjalanan alamiah
penyakit tersebut dengan menggunakan
mean mitral valve gradient (MVG), tekanan
sistolik arteri pulmonalis, dan MVA (Bonow
et al., 2006). Ekokardiografi adalah modalitas
utama untuk menilai derajat dan implikasi
hemodinamik MS. Derajat MS dikuantifikasi
dengan planimetri 2D dan pressure half time
(PHT) yang merupakan pendekatan
tambahan untuk menilai area katup. Jika
tervisualisasi jelas, planimetri adalah
pendekatan terpilih untuk mengevaluasi
terutama pada pasien setelah dilakukan
balloon mitral valvuloplasty (BMV).
Pemeriksaan mean MVG dengan doppler
tergantung rate dan flow, tapi pemeriksaan
ini penting untuk menilai konsistensi derajat
MS dengan planimetri maupun PHT.
Stenosis mitral biasanya tidak memiliki
konsekuensi hemodinamik saat istirahat
pada MVA >1,5 cm2, kecuali pada pasien
dengan indek massa tubuh (IMT) tinggi.
Pemeriksaan morfologi katup penting untuk
menentukan kandidat pasien untuk dilakukan
BMV, repair katup atau pergantian katup.
Sistem skoring wilkins merupakan penilaian
morfologi katup untuk menilai penebalan,
mobilitas katup, kalsifikasi dan deformitas
subvalvar dan area comisura sebagai
prasyarat untuk dilakukan intervensi baik
BMV maupun operasi. Ekokardiografi juga
dapat digunakan untuk menilai tekanan arteri
pulmonalis, adanya regurgitasi mitral dan
penyakit katup lain yang menyertai serta
ukuran atrium kiri. Transthoracal
echocardiography (TTE) merupakan
prosedur yang cukup memberikan informasi
pada tatalaksana rutin. (Vahanian, 2007).
Tapi transesophageal echocardiography
(TEE) seharusnya tetap dikerjakan untuk
menyingkirkan trombus atrium kiri sebelum
BMV atau setelah episode emboli atau jika
TTE tidak memberikan informasi yang cukup
pada anatomi dan MR. Panduan ESC 2007
merekomendasikan TEE jika pada TTE
terdapat spontaneus echo contras atau
pasien MS dengan diameter atrium kiri > 50
mm (kelas IIa, LoE C).
Kesimpulan
Penegakan diagnosis dini stenosis katup
mitral merupakan dasar tatalaksana yang
optimal stenosis mitral sehingga pasien tidak
jatuh dalam kondisi sindrom gagal jantung.
Evaluasi klinis berupa targeted anamnesis,
pemeriksaan fisik jantung, ekg, foto torak dan
ekokardiografi merupakan standar prosedur
dalam penegakan diagnosis stenosis mitral.
Ekokardiografi adalah modalitas utama
dalam menilai severitas stenosis mitral dan
ada tidaknya trombus sebagai pertimbangan
dalam tatalaksana lebih lanjut, baik itu BMV
ataupun operasi.
Daftar Pustaka
Bonow, R. O., Carabello, B. A., Chatterjee, K., et al., 2006, ACC/AHA 2006 Guidelines for the Management of Patients With Valvular Heart Disease A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 1998 Guidelines for the Management of Patients With Valvular Heart Disease)
Carabello, B. A., 2004, Indication for Mitral Valve Surgery, J. Cardiovasc Surg; 45: 407-18.
Rahimtoola, S. H., 2008, Mitral Valve Stenosis. In Fuster, V., O’Rourke, R. A., Walsh, R. A.,and Wilson, P. P. (Ed),
46
Hurst’s 12th The Heart volume two, Mc
Graw Hill. Rahimtoola, S. H., Durairaj, A., Mehra, A.,
Nuno, I., 2002, Current Evaluation and Management of Patients With Mitral Stenosis, Circulation.106:1183-1188.
Vahanian, A., 1999, Late Results of Percutaneous Mitral Commissurotomy in a Series of 1024 Patients : Analysis of
Late Clinical Deterioration: Frequency, Anatomic Findings, and Predictive Factors Circulation;99;3272-3278
Vahanian, A., Baumgarther, H., Bax, J., et al., 2007, Guideline for The Management on Valvular Heart Disease of the European Society of Cardiology, Williams&Wilkins
47
THE EFFECTIVENESS OF EXERCISE AND NUTRITION INTERVENTION PROGRAMMES TO
PREVENT AND MANAGE OBESITY AMONG YOUNG POPULATION
Rifana Cholidah
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract Background:Childhood obesity has become a central chronic disease in this modern era. Early prevention
and effective treatment of obese children and adolescents is mandatory. Surprisingly, there are limited short- and long-term studies determining targeted interventions particularly physical activity and dietary intervention in preventing and treating obesity among the young population. Further, the efficacy of physical activity and nutritional strategies to prevent and treat pediatric obesity remains unclear. Objective: This review aims to evaluate the effect of physical activity and dietary interventions in preventing
and treating obese children and adolescents. Results: There are five main studies involved in this review. Most of the reviewed studies found significant
reductions on body weight, body mass index and body fat, and improvement on aerobic fitness and endurance time. Conclusion: The data shows the short- and long-term beneficial effects of physical activity alone and in combined intervention with dietary-behavioural approaches to treat obesity among young population. However, some studies have flawed study design such as small sample size and unmatched participants in control group. Additional research considering behavioural, dietary and physical intervention, and cost-effective approach for primary and community care are required.
Introduction
The number of obese children has
increased dramatically world-wide 1. World
Health Organization states that more than
one billion adults throughout the world are
overweight, of whom around 300 million are
obese 2. Changes in lifestyles including
increased caloric intake and sedentary
activity are assumed to be related with this
health problem 3.
Obesity is usually defined as excess
weight after adjusting for height resulting
from energy intake greater than energy
expenditure 4. Children with body mass index
(BMI) 85th to less than 95
th percentile are
considered overweight, and children with BMI
equal to or greater than 95th percentile are
categorized as obese 5.
Obesity is caused by the interaction of
contributing components. Factors such as
genetics, physiological factors, behavioral
influences (e.g. food choices and physical
activity), psychosocial consequences (e.g
externality, restraint and stress), and
socioeconomic status, are considered to
influence childhood obesity 4,6
.
Childhood obesity is associated with
several health risks during childhood
including pre-diabetes, diabetes,
cardiovascular, pulmonary, orthopaedic, and
gastrointestinal diseases 7. Another
consequence of obesity in young children is
psychosocial problems. Obese children may
get early and systemic discrimination. For
instance, boys and girls aged 10 to 11 years
prefer thinner friends rather than overweight
or obese peers. Also, obese adolescents
may develop low self-image or self-esteem
that appears to persist into adulthood 8.
Obesity-related health problems seem to
persist into adulthood 9.
Paediatric obesity is also associated with
many adverse health outcomes in adulthood,
such as hyperlipidemia, hypertension,
48
abnormal glucose tolerance, insulin
resistance, and diabetes mellitus 10
. In
addition, there are consistent reports that
overweight and obese youth have an
increased risk to become overweight adults
11,12. Based on current studies in adults, it
has been suggested that lifestyle alteration
and weight control in childhood could reduce
the risk of insulin resistance, type 2 diabetes,
and cardiovascular diseases 13
.
Early prevention and effective treatment
of childhood obesity are essential and must
start during childhood 3. However, changing
behaviour is difficult, particularly behaviours
that are required for daily life. Thus,
behavioural modification and weight
management are mandated in the face of
continuing obstacles 4. This essay aims to
review the effect of exercise and nutritional
intervention programs to prevent andtreat
childhood obesity. This review will focus
mainly on studies of the exercise intervention
to treat obesity among children and
adolescents.
Obesity prevention in young population
The increased prevalence of obesity in
youth and its parallel health risks justify
extensive efforts toward prevention 14
.
Parental assistancessignificantly affect
children’s food attitude and practices
particularly during early and middle childhood
15. Based on several studies, it has been
suggested that food should not be presented
as a reward to young children since this
practice will influence preference of that food
16.
One useful strategy is promoting portion
control. This can be performed by modifying
nutrition labels on marketplace products, and
supporting single-serving packaging in order
to reduce caloric intake. Published data
suggests that increased portion size
contributes to global obesity epidemic 17
.
Reducing mass marketing of unhealthy
food to young population is another approach
to prevent childhood obesity. Around 50% of
the television advertising is for food, of which,
about 91% are high in sugar, salt and fat 16
.
Dietz and Gortmaker (2001) notes that
reducing television viewing is an essential
preventive strategy since it influences both
energy intake and energy expenditure, and
therefore indicates a reasonable target for
interventions. Current evidence indicates the
importance of physical activity in obesity
prevention of young population. However, the
optimum intensities, levels and modality of
physical activity in young population are
uncertain 14
.
The WHO recommends environmental
changes supporting physical activity, such as
walking and biking, rather than stimulating
some vigorous activities 18
. Likewise, the
Centers for Disease Control addresses
several levels of physical activity promotion
for youth integrating policy, health and
physical education, environment, parental
participation, extracurricular programs,
personal training, community approaches
and evaluation 19
.
The efficacy of dietary, behavioural and
physical interventions for the treatment of
childhood and adolescent obesity
Robinson (1999) carried out a randomized
controlled trial among elementary school
children in San Jose, Calif. The study
determined the effect of reduced sedentary
activity by reducing television watching, video
49
tape and video games on changes adiposity,
physical activity and dietary intake with body
mass index as the main outcome of
measurement.
The researcher involved two public
elementary schools in the same district. One
school was randomly assigned to fulfil a
program to reduce television, videotape and
video game use. The other school was
assigned as control. They measured BMI,
self-reported media consumption, physical
activity, dietary behaviour and reports from
parents about child and family behaviour at
baseline and after the completion of
intervention 19
.
The findings indicated that children in the
intervention group had a statistically
significant reduction in BMI, triceps skinfold
thickness, waist circumference, and waist-to-
hip ratio compared with controls. In addition,
participants in the intervention group had
significantly reduced the number of meals
while watching TV compared with controls.
Reducing television viewing, videotape, and
video games can be a promising approach
on population-based strategy to prevent and
treat childhood obesity 19
.
This study observed the effect of media
use alone in adiposity, factors such as
dietary intake and physical activity which
might also influence the results, have not
been taken into account. This might lead bias
in interpreting intervention effects .
This interventions seem require a small
budget, would be easily to do in large-scale
samples and needs a few trained workers. It
seems that reducing media use such as
television, video games and videotape
among young population can be an
alternative strategy to prevent and treat
pediatric obesity. However, I think a cost-
effective program integrating the reduction in
media use, increasing physical activity and
controlling dietary intake (such as increased
consumption of fruits and vegetables and
decreased intake of energy-dense foods)
might result in more weight loss.
Since this experiment only involved two
public elementary schools, socio-
demographical diversity of participants was
not adequate to generalize the findings.
Thus, further randomized studies involving
larger and more socio-demographically
varied samples integrating physical activity
and diet interventions are required.
In the same year, Gortmaker et al. (1999)
carried out a study called Planet Health on
obese girls and boys in grade 6 to 8. This
randomized controlled field trial involved five
schools in intervention and control groups.
This 2-year school-based approach delivered
health sessions focused on decreasing of TV
viewing and high-fat food intake, increasing
consumption of fruit and vegetables, and
increasing moderate to vigorous physical
activity 20
.
Planet Health was developed to reduce
obesity by improving energy expenditure and
promoting key dietary recommendation to
take fruits and vegetables 5 a day or more.
The findings showed that the prevalence of
obesity among intervention girls
reducedsignificantly compared with control
group, but not in the intervention boys.
Among boys, the obesity was reduced in
both intervention and control group and there
was no significant different was found. Author
assumes that the different outcomes may be
due to different causal factors between girls
and boys, however there is limited scientific
50
evidence supporting this hypothesis.
Alternatively, girls may be more responsive
and adjusted to the diet and activity
interventions.
I appraise that this study has some
strengths. It used the school system to
implement the interventions, in which there
are still limited studies in this area. The
participating schools should implement
physical education (PE) curriculum in the
classroom. Also, students spend a lot of time
at school, because of that it is valuable to
develop school-based interventions to reduce
the increasing prevalence of childhood
obesity. Moreover, this program involves a
large-scale and multi-ethnic study population.
However, since this approach involve
many components (e.g schools, teachers,
students, trainers and other professional
workers), this requires adequate funds to run
the program. A good partnership among
related institutions is also needed. But, this
program could be implemented if there
isgoodwill from policy makers, advantageous
partnership from all related sectors and
sufficient funds to operate this approach.
Epstein et al. (2000) performed a
randomized controlled outcome study in a
clinical setting comparing the effect of
reduction in sedentary behaviour versus
increased physical activity in the
comprehensive treatment of obesity. The
study involved ninety obese children aged 8
to 12 years old and their family. The
participants were randomly assigned into
increase activity (n=45) or decrease
sedentary (n=45) groups and treatment dose
(low vs high) 21
.
Researchers recruited the participants
from physician recommendations, television,
posters and newspaper advertisement. This
recruitment method could lead to
recruitment’s bias since the participating
sample may be people who were highly
motivated and liked to read newspaper and
watch television.
Families received weight control
education, self-monitoring introduction,
specific activity program, behavioural change
strategy and how to maintain the behavioural
changes.Participants in the physical activity
group were encouraged to increase their
physical activities both at school and home
while the sedentary activity group was
assisted to reduce their targeted sedentary
activities (e.g TV viewing, videotape and
video games use, and talking on the
telephone).They were followed up at 1 and 2
years21
.
The main finding indicated that the
targeted interventions, either decreased
sedentary behaviour and increased physical
activity, significantly decreased the
percentage of overweight and body fat and
increases aerobic fitness.
The strategies to increase physical activity
and reduce sedentary activity might work in
communities since this approach looks cost-
effective and easy to implement. These
factors makes this program likely to be
successful compared with combined program
involving many interventions which requires
substantial amount of funding, involvement of
several professional workers and high
compliance of targeted population.
However, dietary intake was not
measured in this study. I think it is important
to include participants’ dietary intake in the
measurement. Whether the interventions
might change their diet behaviour (reduced
51
or increased caloric intake). Furthermore,
since not all sedentary activities and/or
physical activities were targeted, it is
interesting to determine which particular
activity contribute to the most reduction of
body fat and improve aerobic fitness. For
example, it might be possible to determine
which physical activities were most preferred
and most motivating.
In 2005, Nemet et al. performed a study
determining the effect of the combined
approaches of diet, behaviour and physical
intervention in a short- and long-term period.
By this study, researchers assessed dietary
intake, body composition, anthropometric
measurement, leisure time habits, fitness,
and lipid profile within obese Israeli young
population.
This randomized prospective study
involved 24 obese children in the intervention
group and 22 obese participants matching in
age and gender in the control group.
Researchers followed up the study in 3-
month and 1 year period.
In this multidisciplinary intervention
studies, researchers engaged a 3-month
intervention programme for participants and
parents. Both parents and subjects had 4
evening classes on childhood obesity,
general nutrition, therapeutic nutritional
intervention for an obese child, and the effect
of exercise on childhood obesity. Physicians
and dieticians were involved during the
programme.
In the dietary intervention, parents and/or
subjects had 6 meeting times with the
dietician during the 3-month program.
Participants had a balanced hypocaloric diet
contains around 5021 to 8368 kJ which
depend on children’s age and weight, a
caloric reduction of ~30% from reported
intake, or intake 15% less than the estimated
daily required intake.
This study is interesting and valuable
since it applied a programme giving a
comprehensive intervention, both dietary
approach and exercise program, with a wide-
range of assessments, such as
anthropometric and nutritional measurement,
habitual activity, fitness and serum lipid
analysis and all factors which may influence
child obestity.
However, since this 3-month project only
involved 24 obese children and 22 obese
participants matched in age and gender in
the intervention and control group
respectively, it seems that the sample was
too small and the time duration was too short
for the general judgement of the result in a
community setting. I appraise that
researchers need a larger sample size,
longer duration,and to determine costs and
effects.
Meanwhile, many children are becoming
obese or overweight, and childhood obesity
has achieved an epidemic proportion
globally, any programmes to overcome this
public health problem should be cost
effective, easy to do, and can be widely
applied in young population. This program
seems too difficult to do in large-scale
samples since it requires many professional
workers, such as physicians, dieticians, and
professional coaches for sport training
sessions. Also, this program involves several
interventions which require a high
compliance of participants to complete it.
In addition, this program was costly since
it required substantial funds for dietary and
exercise interventions, professional workers
52
and all measurements (nutritional
assessment, anthropometric, habitual
activity, fitness and serum lipid
measurements). All those factors made this
program less cost effective.
Further, the project only involved 46
participants for both intervention and control
group. Hence, the authors could easily
control and monitor samples. However, it
seems that this setting approach might not
easily be applied in a larger group or
population as several factors such as
funding, human resources, policy and
variable measurements may challenge this
approach.
Eliakim et al. (2002) investigated the
effect of a weight management program on
BMI, body weight and fitness among obese
children and adolescents. This combined
dietary- exercise study involved 177 children
completing the 3 month intervention, of
whom 65 participants completed the 6 month
program. 25 children who were unable to join
this program due to some difficulties served
as controls .
For the dietary intervention, participants
received some sessions with a dietician,
nutritional education and a balanced
hypocaloric diet. Moreover, they had 1 hour
training sessions twice a week instructed by
professional coaches. All variables were
measured at baseline, 3 months and 6
months. Researchers found that there was a
significant reduction on BMI and body weight,
and a significant increase in endurance
following the 3 month program 22
.
This study is quite similar with study
carried out by Nemet et al. (2005). However,
one of the differences was this experiment
was larger sample size compared with the
study by Nemet et al. (2005) which may
contribute to the strength of the study.
Conversely, it appears that the number of
sample in the intervention group and controls
were not balance since only a small number
of participants were involved as controls.
This might lead to selection bias.
Furthermore, researchers identified some
limitations on their study. This experiment
indicated only the short-term effects of
combined dietary-behavioural-exercise
intervention while the long-term effects were
not measured. Researchers noted that they
were unable to provide substantially matched
control group. They reasoned that most
participants were interested to participate the
combined intervention. However, I think there
was no excuse for the willingness of
participants and researcher could distribute
them into intervention and control groups
properly. In a robust study design,
researchers have to completely control their
research and do not allow everyone else,
including samples, to interfere their study.
Other aspect that needs to be considered
for the implementation of this combined
dietary-behavioural-exercise approach in
large-scale participants is the cost. It seems
that this intervention requires a lot of money
in providing professional workers, such as
dieticians, nutritionists, professional coaches
and transportation cost of participants.
Similarly, this program requires a high
compliance of participants since they have to
consume a balanced hypocaloric diet, take
an hour sport session for twice a week and
visit the dietician once a month during the
program.
53
Table. Summary of all reviewed studies
Source Type of Study Participants Interventions Main findings
+/-
Robinson (1999)
Randomized control trial
192 third- and fourth students in two public elementary schools
↓ TV viewing and the use of videotape and video games
Children in intervention group had statistically significant reduction
(+)
Evaluate the single effect of media use in adiposity
Seems cost-effective & easily implemented in large-scale
Need few professional workers (-)
Did not measure PA and dietary intake may lead to bias in overestimating intervention effects
Include 2 primary schools the diversity of samples was not enough to generalize the results
Gortmaker et al. (1999)
Randomized controlled field trial
1295 tudents in gr-6 to -8 in the 10 elementary schools
↓TV viewing & high-fat food intake
↑PA &fruit, vegetables intake
Significant ↓of obesity in intervention girls
No difference among boys were found
(+)
Large sample size
Comprehensive interventions
Involving school system and curriculum in the intervention
(-)
Seems not cost-effective
Not easy to do without strong policy and a good partnership among all related sectors
Epstein et al. (2000)
Randomized control outcome study
90 obese children aged 8-12 years and their families
↓ sedentary activity and ↑PA
participants in both ↓ sedentary and ↑PA group significantly decrease in the % of obesity and body fat, and ↑aerobic fitness
(+)
Seems cost-effective & easily implemented in community
(-)
Recruitment method via newspaper, posters and TV may lead to recruitment bias
Did not assessed dietary intake researchers should consider that interventions might change participant dietary intake
Nemet el al. (2005)
Randomized prospective study
24 and 22-obese children in intervention and control respectively
Short and long-term effects of of combined dietary, behavioural and PA
Beneficial short- and long- term effects of the combined intervention on changes body weight and fat percentage
(+)
A complete intervention study
(-)
Seems sample was too small for generalizable results
Too costly and difficult to do it in a large sample size
Requires high compliance of participants
54
Table. Summary of all reviewed studies (continuation from page 53)
Source Type of Study Participants Interventions Main findings
+/-
Eliakim et al. (2002)
Clinical experimental
177 children
Short-term intervention of combined dietary and
(+)
A complete intervention study (-)
Un-balanced sample numbers between intervention and control may lead to selection bias
Too costly and difficult to do it in a large sample size
Requires high compliance of participants
Conclusion
In conclusion, the data in this reviewed
study shows the short- and long-term
beneficial effects of physical activity alone
and in combined intervention with dietary-
behavioural approaches to treat obesity
among young population. However, some
studies have flawed study design such as
small sample size and unmatched
participants in control group. Also, some
other studies seemed require a lot of funding
to accomplish.
There are also several studies that seem
very ideal but honestly quite difficult for
implementation of those studies in a
community setting due to some
circumstances such as too costly, required a
very high motivation and compliance of the
participants, and need a lot of professional
workers (Eliakim et al., 2002; Nemet et al.,
2005). Not all studies that seem
comprehensive and ideal are applicable and
effective to treat obese children in a large
sample size.
However, some other studies that look
simple, but effective in reducing body weight
by reducing media use and sedentary activity
alone and/or in combination with increased
physical activity and some dietary
intervention such as reduced high-fat food
intake and increased consumption of fruit
and vegetables result in similar outcomes. In
general, this program might easier in its
implementation. Also, all the studies have not
determined the very long-term results (5
years or 10 year)
Additional researches considering
behavioural, dietary and physical
intervention, and cost-effective approach for
primary and community care are required.
References
1. Morrill, A. C., & Chinn, C. D. (2004). The obesity epidemic in the United States. Journal of Public Health Policy, 25, 3(4), 353-366.
2. World Health Organization. (2003). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health Fact Sheets. Retrieved June 19, 2011, fromhttp://www.who.int/dietphysicalactivity/media/en/gsfs obesity.pdf
3. Nemet, D., Barkan, S., Epstein, Y., Friedland, O., Kowen, G., & Eliakim, A. (2005). Short-and long-term beneficial effects of a combined dietary–behavioral–physical activity intervention for the treatment of childhood obesity. Pediatrics, 115(4), e443.
55
4. Spuijt-Metz, D. (2011). Etiology, treatment, and prevention of obesity in childhood and adolescence: a decade in review. Journal of Research on Adolescence,21(1), 129-152.
5. Centers for Disease Control and Prevention. (2011). BMI for childrenand teens. Retrieved at January 3, 2011 from: http://www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/bmi/bmi-for-age.htm.
6. Jebb, S. A. (1997). Aetiology of obesity. British Medical Bulletin, 53(2), 264.
7. Gahagan, S. (2004). Child and adolescent obesity. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care, 34(1), 6-43.
8. Dietz, W. H. (1998). Health consequences of obesity in youth: childhood predictors of adult disease. Pediatrics, 101(Supplement), 518.
9. Must, A., Jacques, P. F., Dallal, G. E., Bajema, C. J., & Dietz, W. H. (1992). Long-term morbidity and mortality of overweight adolescents. New England Journal of Medicine, 327(19), 1350-1355.
10. Berenson, G. S., Srinivasan, S. R., Bao, W., Newman, W. P., Tracy, R. E., & Wattigney, W. A. (1998). Association between multiple cardiovascular risk factors and atherosclerosis in children and young adults. New England Journal of Medicine, 338(23), 1650-1656.
11. Singh, A., Mulder, C., Twisk, J. W. R., Van Mechelen, W., & Chinapaw, M. J. M. (2008). Tracking of childhood overweight into adulthood: a systematic review of the literature. Obesity Reviews, 9(5), 474-488.
12. Whitaker, R. C., Wright, J. A., Pepe, M. S., Seidel, K. D., & Dietz, W. H. (1997). Predicting obesity in young adulthood from childhood and parental obesity. New England Journal of Medicine, 337(13), 869-873.
13. Steinberger, J., & Daniels, S. R. (2003). Obesity, insulin resistance, diabetes, and cardiovascular risk in children. Circulation, 107(10), 1448-1453.
14. Goran, M. I., Reynolds, K. D., & Lindquist, C. H. (1999). Role of physical activity in the prevention of obesity in children. International Journal of Obesity, 23, 18-33.
15. Birch, L. L., & Davison, K. K. (2001). Family environmental factors influencing the developing behavioral controls of food intake and childhood overweight. Pediatric Clinics of North America, 48(4), 893.
16. Sothern, M. S. (2004). Obesity prevention in children: physical activity and nutrition. Nutrition, 20(7-8), 704-708.
17. Young, L. R., & Nestle, M. (2002). The contribution of expanding portion sizes to the US obesity epidemic. American Journal of Public Health, 92(2), 246.
18. World Health Organization. (2000). Obesity: preventing and managing the global epidemic. World Health Organization Technical Report Series(894).
19. Dietz, W. H., & Gortmaker, S. L. (2001). Preventing Obesity in Children and Adolescents 1. Annual review of public health, 22(1), 337-353.
20. Gortmaker, S. L., Peterson, K., Wiecha, J., Sobol, A. M., Dixit, S., Fox, M. K., & Laird, N. (1999). Reducing obesity via a school-based interdisciplinary intervention among youth: Planet Health. Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, 153(4), 409.
21. EPSTEIN, L. H., & GOLDFIELD, G. S. (1999). Physical activity in the treatment of childhood overweight and obesity: current evidence and research issues. Medicine & Science in Sports & Exercise, 31(11), S553.
22. Eliakim, A., Kaven, G., Berger, I., Friedland, O., Wolach, B., & Nemet, D. (2002). The effect of a combined intervention on body mass index and fitness in obese children and adolescents-a clinical experience. European journal of pediatrics, 161(8), 449-454.
56
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi
penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan
pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada
atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan
tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada.
TEMA TULISAN
Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk
dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan.
Tema yang dapat ditulis antara lain:
· Inovasi pembelajaran
· Pengembangan kurikulum dan modul
· Proses belajar mengajar
· Manajemen pendidikan tinggi
· Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik
· Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan
· Media ajar
· Evaluasi belajar mengajar
· Evaluasi program pendidikan
· Etika dan profesionalisme
Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain
yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima.
PANDUAN PENULISAN
a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi.
b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang
namanya tercantum sebagai penulis.
c. Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal
lainnya.
d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada
tuntutan plagiarisme dari ilmuwan lain.
e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk
penelitian yang melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian.
f. Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat
pernyataan dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga
57
g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang
mengikuti aturan kaidah penulisan ilmiah.
h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata
dengan susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil
(penelitian), simpulan, kata kunci.
i. Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4.
j. Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang
umum (MS Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket)
maupun print out (rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4
tidak bolak-balik, 1 kolom, menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri,
antar paragraf ditandai dengan jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran,
rata kiri, menggunakan huruf kapital dan ditebalkan.
k. Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
l. Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat
korespondensi, yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari
satu diurutkan berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden.
m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak
tergantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di
bawah gambar. Tabel dan gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan
kepentingannya.
n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan
penampilan
Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke :
Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram
Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram
Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874. Fax (0370) 641717 Mataram - NTB,
Kode Pos : 83125
Korespondensi dapat melalui email : [email protected]