jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

59

description

jurnal unram

Transcript of jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

Page 1: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013
Page 2: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013
Page 3: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

Jurnal Kedokteran Unram

Penasehat

Prof. Mulyanto

Editor

dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.

dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.

dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.

Dewan Redaksi

dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)

dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK

dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.

dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.

dr. Nurhidayati, M.Kes.

dr. Arif Zuhan, SpB

dr. Fathul Djannah, SpPA

Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.

dr. Akhada Maulana, SpU

dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD

dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.

dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD

dr. Bambang Priyanto, SpBS

dr. Seto Priyambodo, M.Sc.

dr. Pandu Ishak Nandana, SpU

dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)

dr. Marie Yuni Andari, SpM

dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK

dr. Monalisa Nasrul, SpM

Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt

Mitra Bestari

dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)

dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)

Sekretaris

dr. Prima Belia Fathana

Layout dan Percetakan

Syarief Roesmayadi

Page 4: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

2

ISSN : 2301-5977

Jurnal Kedokteran Universitas Mataram

Vol. 2, No. 1, Maret 2013

DAFTAR ISI

Hubungan Infeksi Cacing Usus Terhadap Anemia Defisiensi Besi Pada Siswa Sekolah Dasar

Kelas V Dan Vi Di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur

Tahun 2011

Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y ................................................................................. 3

Hubungan Antara Tuberkulosis Paru Milier Dengan Kejadian Anemia Pada Pasien

Tuberkulosis Paru Di RSUP NTB

Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri ........................................... 10

Perbandingan Efek Pemberian Air Kelapa Muda Dan Air Putih Terhadap Kecepatan

Pemulihan Denyut Nadi Pada Pemain Futsal FK Unram

Ida Ayu Eka Widiastuti, Putu Aditya Wiguna ................................................................................ 19

Diare Rotavirus Di Mataram

Sukardi W, Sulaksmana SP, Wahab A , Soenarto Y …............................................................... 26

Implementation Of Nutrition Curriculum To Undergraduate Students In Faculty Of Medicine,

Mataram University

Eustachius Hagni Wardoyo ............................................................................................................ 34

Peran Ekokardiografi Dalam Penegakan Diagnosis Dan Penilaian Severitas Stenosis Mitral Basuki Rahmat ..............................................................…………................................................ 42

The Effectiveness Of Exercise And Nutrition Intervention Programmes To Prevent And Manage

Obesity Among Young Population

Rifana Cholidah ..............................………................................................................................... 47

Petunjuk Penulisan Naskah ....................................................................................................... 56

Page 5: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

3

HUBUNGAN INFEKSI CACING USUS TERHADAP ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA SISWA

SEKOLAH DASAR KELAS V DAN VI DI DESA DASAN LEKONG KECAMATAN SUKAMULIA

KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2011

Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Abstract The Background. Worm infection is a gastrointestinal disease that is characterized by the discovery of worms, worm eggs or larvae on someone which is the prevalence in Indonesia is still relatively high, especially in elementary school children. Worm infection often associated with the incidence of iron deficiency anemia is due to chronic bleeding. The Research Purposes. The purpose of this study was to determine the relationship of intestinal worm infections toward iron deficiency anemia in fifth and sixth grade elementary school student in the village of Dasan Lekong Sukamulia East Lombok District in 2011. Research Methods. This research was observational study, with study design was cross sectional design. Research subjects were elementary school students in classes V and VI Dasan Lekong Village East Lombok District Sukamulia and willing to participate in the study. The subjects selected by Simple Random Sampling. Collecting data using a questionnaire, stool examination by direct methods, levels of hemoglobin and erythrocyte indices through a complete blood count. Data collected and presented in tabular/descriptive form. The Result and Conclusion. This study showed that there was no significant association between worm infection with the incidence of iron deficiency anemia in student of elementary school classes V and VI in the Village District Dasan Lekong Sukamulia East Lombok (p=0.091). Keyword:Worm infection, iron deficiency anemia, elementary school children.

Abstrak Latar Belakang. Kecacingan adalah suatu penyakit gestrointestinal yang ditandai dengan ditemukannya cacing, telur, atau larva cacing pada seseorang yang prevalensinya di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama pada anak sekolah dasar. Kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia defisiensi besi salah satunya akibat perdarahan menahun. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan infeksi cacing usus terhadap anemia defisiensi besi pada siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011. Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian observasional, analitik dengan pendekatan secara cross sectional. Subjek penelitian adalah siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Subjek penelitian dipilih dengan cara Simple Random Sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan

kuesioner, pemeriksaan feses dengan metode langsung, kadar hemoglobin dan indeks eritrosit melalui pemeriksaan darah lengkap. Data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan bantuan. Hasil dan Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

kecacingan dengan kejadian anemia defisiensi besi pada anak SD kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011 (p = 0,091). Kata kunci : Kecacingan, anemia defisiensi besi, anak sekolah dasar.

Pendahuluan

Di Indonesia masih banyak penyakit yang

merupakan masalah kesehatan, salah satu

diantaranya ialah cacing perut yang

ditularkan melalui tanahatau disebut soil

transmitted helminthesyakni Cacing gelang

(Ascaris lumbricoides), Cacing cambuk

(Trichuris trichiura), dan Cacing tambang

(Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale)1.Cacingan ini dapat

mengakibatkan menurunnnya kondisi

kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas

penderitanya sehingga secara ekonomi

banyak menyebabkan kerugian, karena

menyebabkan kehilangan karbohidrat dan

protein serta kehilangan darah, sehingga

Page 6: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

4

menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Upaya pemberantasan dan pencegahan

penyakit cacingan di Indonesia harus

dilakukan terlebih jika melihat prevalensi

cacingan di Indonesia pada umumnya masih

sangat tinggi2.

Di Indonesia, angka nasional prevalensi

kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%

masih relatif cukup tinggi.Sejak tahun 2002

hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan

secara berurutan adalah sebesar 33,3%,

33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6% 3.Hasil

Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan

2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi

menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-

96,3% 2.

Kabupaten Lombok Timur merupakan

salah satu provinsi yang menjadi target

pemberantasan dan pencegahan cacingan

karena mengingat prevalensinya yang masih

cukup tinggi serta jangkauannya yang masih

belum merata. Angka cacingan berdasarkan

hasil pemeriksaan tinja pada survei cacingan

anak sekolah dasar di Desa Sakra dan

Keruak pada tahun 2009 adalah 63,2% dan

32,9%. Hal ini memperlihatkan bahwa belum

semua kawasan di Kabupaten Lombok Timur

pernah dilakukan survei untuk mengetahui

prevalensi cacingan tertutama pada anak

sekolah dasar yang merupakan salah satu

target dalam pengupayaan pemberantasan

dan pencegahan cacingan 2.

Anemia merupakan masalah kesehatan

yang paling sering dijumpai di seluruh

dunia.Diperkirakan 30%penduduk dunia yaitu

sekitar 4,5 miliar menderita anemia dan

sekitar 500 juta orang diantaranya diyakini

menderita anemia defisiensi besi,terutama

mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan

menyusui. 2,4,5

.

Penelitian tentang anemia di Indonesia

masih difokuskan pada balita dan ibu hamil,

karena sasaran prioritas dan program secara

nasional mencakup sasaran akhir, yaitu

penurunan angka kematian ibu dan

perbaikan malnutrisi pada anak. Kelompok

remaja dan anak usia sekolah yang

merupakan generasi penerus bangsa jarang

mendapat perhatian, padahal kelompok ini

menjadi semakin penting dimana mereka

menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia

6.Prevalensi anemia defisiensi besi pada

anak usia sekolah sebesar 25-35%. Nilai

persentase tersebut termasuk kategori

sedang yang perlu segera ditindaklanjuti7.

Anemia kurang besi juga dipengaruhi oleh

konsekuensi dari infeksi kecacingan dengan

hilangnya darah secara kronis. Infeksi

kecacingan pada manusia baik oleh cacing

gelang, cacing cambuk maupun cacing

tambang dapat menyebabkan pendarahan

yang menahun yang berakibat menurunnya

cadangan besi tubuh dan akhirnya

menyebabkan timbulnya anemia kurang besi

4.Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi

kecacingan dapat disebabkan oleh adanya

lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh

karena dikonsumsi oleh cacing itu sendiri,

walaupun ini masih belum terjawab dengan

jelas termasuk berapa besar jumlah darah

yang hilang dengan infeksi cacing ini 8.

Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi

diperberat keadaannya oleh investasi cacing,

terutama oleh cacing tambang.Penyakit

kecacingan dan anemia gizi merupakan

masalah yang saling terkait dan dijumpai

bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu

karena rendahnya sosialekonomi masyarakat

dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak

memadai sehingga memudahkan terjadinya

Page 7: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

5

penularan penyakit infeksi terutama infeksi

kecacingan 8.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian

observasional, analitik dengan rancangan

penelitian cross sectional . Penelitian ini

dilakukan di SDN yang ada di Desa Dasan

Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten

Lombok Timur yang terdiri dari 6 sekolah

dasar. Subjek penelitian ini adalah siswa

kelas V dan VI yang berjumlah 430 siswa

dengan sampel penelitian sebanyak 65

siswa.Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi

meliputi siswa kelas V dan VI yang terdaftar

secara resmi di SD terkait pada saat

dilakukan penelitian dan orang tuanya

menandatangani informed consent.

Sedangkan kriteria ekslusi meliputi siswa

yang tidak mengumpulkan kuesioner, siswa

yang tidak ikut pemeriksaan laboratorium

dan siswa yang tidak hadir saat dilakukan

penelitian. Penentuan unit sampel dilakukan

dengan cara Simple Random

Sampling.Metode pengambilan data yakni

dengan kuesioner dan pemeriksaan

laboratorium (Tinja dan Darah).Pengolahan

data dilakukan secara analitik dengan teknik

analisis chi-square untuk mengetahui

hubungan antara variabel-variabel yang

diteliti. Analisis yang digunakan untuk

mengolah data-data yang diperoleh adalah

dengan menggunakan bantuan software

SPSS 17.

Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Pada penelitian, distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin yakni

berjumlah35 (53,8%) responden untuk jenis

kelamin perempuan dan 30 (46,2%)

responden untuk jenis kelamin laki-laki.

Sedangkan subjek penelitian berdasarkan

umur yakni masing-masing umur 10 tahun

yang berjumlah 9 (13,8%) responden, umur

11 tahun berjumlah 34 (52,3%) responden,

umur 12 tahun berjumlah 17 (26,2%)

responden, dan umur 13 tahun berjumlah 5

(7,7%) responden.

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur

No Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)

1 10 9 13,8

2 11 34 52,3

3 12 17 26,2

4 13 5 7,7

Total 65 100

Page 8: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

6

2. Penyakit Kecacingan

Adapun distribusi penyakit kecacingan

dari 65 sampel yang telah diteliti yakni 16

(24,6%) responden positif kecacingan dan 49

(75,4%) responden lainnya dinyatakan

negatif kecacingan dengan jenis cacing yang

paling banyak menginfeksi adalah cacing

cambuk (Trichuris trichiura) yakni sebanyak 9

(56,3%) responden dan cacing gelang

(Ascaris lumbricoides) sebanyak 7 (43,8%)

responden.

Tabel 2 Distribusi jenis cacing

No Jenis cacing Frekuensi Persentase (%)

1 Ascaris lumbricoides 7 43,8

2 Trichuris trichiura 9 56,2

3 Necator americanus & ancylostoma duodenal 0 0

4 Campuran (AL & TT) 0 0

Total 16 100

*AL = Ascaris lumbricoides TT = Trichuris trichiura

3. Anemia Defisiensi Besi

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan terhadap 65 orang responden,

didapatkan sebanyak 5 orang responden

(7,7%) memiliki kadar hemoglobin kurang

dari batas normal, dan dapat dimasukkan ke

dalam kriteria anemia. Sedangkan sebanyak

60 orang responden (92,3%) memiliki kadar

hemoglobin dalam batas normal.

4. Hubungan Kecacingan dengan

Anemia Defisiensi Besi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

5 (7,7%) siswa yang anemia yang masing-

masing 3 (18,8%) orang berasal dari

responden yang positif infeksi cacing dan

sebanyak 2 (4,1%) orang berasal dari

responden negatif infeksicacingsehingga

tidak didapatka hubungan yang bermakna

antara infeksi cacing dengan anemia

defisiensi besi (Fisher’s Exact Test = 0,091

atau p >0,05).Sedangkan responden

yangtidak mengalami anemia sebanyak 13

(81,3%) orang pada responden yang

positifinfeksi cacing dan sebanyak 47

(95,9%) orang pada responden yang tidak

terinfeksi cacing.

Tabel 3 Hubungan kecacingan dengan anemia defisiensi besi

No

Kejadian penyakit

Kecacingan

Anemia defisiensi besi Total

Ya Tidak

1 Positif 3 18,8% 13 81,3% 16 100%

2 Negatif 2 4,1% 47 95,9% 49 100%

Total 5 7,7 % 60 92,3% 65 100%

Page 9: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

7

Pembahasan

Pada penelitian yang telah dilakukan,

distribusi responden berdasarkan jenis

kelamin didapatkan frekuensi siswa

perempuan yakni 35 (53,8%) respondendan

siswa laki-laki sekitar 30 (46,2%) responden

dengan usia hampir didominasi oleh siswa

usia 11 tahun yang berjumlah 34 (52,3%)

responden.

Dari 65 sampel didapatkan hasil 16

(24,6%) responden positif terinfeksi cacing

dengan jenis cacing yang paling banyak

menginfeksi adalah cacing gelang(Ascaris

lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris

trichiura) yang masing-masing berjumlah 7

(44%) dan9 (56%)responden sedangkan

jenis cacing lainnya yakni cacing tambang

(Necator americanus & Ancylostoma

duodenal) maupun yang campuran (Ascaris

lumbricoides&Trichuris trichiura)tidak

ditemukan. Pada penelitian lain mengenai

kecacingan yang dilakukan oleh L. Zulhirsan

(2011) dan Dedek Manu (2011) juga

mendapatkan hasil yang sama mengenai

jenis cacing yang paling banyak

didapatkanmelalui pemeriksaan feses.Hal ini

karena kedua jenis cacing yakni Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura memiliki

cara infeksi dan temperatur optimal untuk

tumbuh hampir sama yaitu di daerah tropis

dengan tingkat kelembaban cukup tinggi dan

suhu berkisar antara 250C-30

0C

9,10,11.

Di Kabupaten Lombok Timur, persentase

angka cacingan pada anak sekolah dasar di

Desa Sakra dan Keruak pada tahun 2009

adalah 63,2% dan 32,9% 2. Selain itu,

penelitian oleh Buly Fatrahady (2007)

mengenai prevalensi kecacingan di SDN

Montong Buak desa Darmaji Kecamatan

Kopang Lombok Tengah tahun 2007

mendapatkan hasil 37 (74%) siswa positif

kecacingan dari 50 sampel sedangkan

penelitian oleh L Zulhirsan (2011)

mendapatkan hasil 46 (30,3%) siswa

dinyatakan positif terinfeksi cacing dengan

subjek penelitian yakni semua siswa kelas 1

SDN Banyumulek Kecamatan Kediri tahun

201112

.

Anemia defisiensi besi (ADB) dapat

didefinisikan sebagai suatu kondisi patologis

pada salah satu komponen darah yakni

eritrosit, yang diakibatkan defisiensi

besi.Keadaan ini selanjutnya menyebabkan

penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang, yang pada akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah masa

eritrosit. Sehingga pada pemeriksaan

laboratorium, didapatkan kadar hemoglobin

(Hb) yang rendah. Selain itu juga akan

didapatkan keadaan hipokromik, yang

ditandai dengan penurunan MCV, MCH dan

MCHC yang merupakan indikator yang

sensitif untuk defisiensi besi 13

.

Hasil penelitian pemeriksaan darah yang

dilakukan pada responden, sebanyak 5

(7,7%) orang responden menderita anemia

yang ditandai dengan kadar

hemoglobindanindeks eritrosit dibawah

normal. Dari 5 orang responden tersebut,

sebanyak 3 (60%) orang responden berasal

dari responden yang positif terinfeksi cacing

dan sebanyak 2 (40%) orang responden

berasal dari responden yang negatif

terinfeksi cacing.

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi

dalam tubuh maka defisiensi besi dapat

dibagi menjadi 3 tingkatan: 1) Deplesi besi

(iron depleted state) yakni cadangan besi

menurun tetapi penyediaan besi untuk

eritropoesis belum terganggu; 2) Eritropoesis

Page 10: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

8

defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis)

yakni cadangan besi kosong, penyediaan

besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi

belum timbul anemia secara laboratorik; dan

3) Anemia defisiensi besi yakni cadangan

besi kosong disertai anemia defisiensi besi

13. Pada penelitian, sejumlah besar

responden tidak menderita anemia, namun

tidak menutup kemungkinan jika responden

tersebut masuk ke dalam tingkatan deplesi

besi ataupun eritropoesis defisiensi besi

sehingga secara laboratorik belum

menunjukkan anemia.

Untuk mengetahui kejadian anemia

defisiensi besi antara responden yang

terinfeksi cacing dengan responden yang

tidak terinfeksi cacing, maka dilakukan uji

statistik dengan menggunakan uji chi-square.

Berdasarkan hasil analisa chi-square dengan

confidence interval 95%, didapatkan nilai p

sebesar 0,091 (p>0,05), sehingga hipotesis

nol (H0) diterima yang artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara kecacingan

dengan kejadian anemia defisiensi besi.

Beberapa teori mengungkapkan bahwa

untuk bisa menyebabkan anemia defisiensi

besi oleh infeksi cacing dibutuhkan waktu

yang cukup lama atau infeksi cacing usus

yang kronis melalui perdarahan menahun

dengan menghisap darah, mengganggu

absorbsi serta kehilangan besi, tergantung

jenis cacing yang menginfeksi. Dari 3 jenis

cacing usus yang utama yakni cacing gelang

(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

(Trichuris trichiura) dan cacing tambang

(Necator americanus & Ancylostoma

duodenal) yang paling sering menyebabkan

anemia adalah cacing tambang karena jenis

cacing inidisamping mengambil makanan

juga akan menghisap darah. Mekanisme

yang sama juga terjadi untuk jenis cacing

cambuk. Sedangkan jenis cacing gelang

lebih sering dengan mengambil makanan

terutama karbohidrat dan protein 2, 3, 8

.

Pada hasil penelitian, tidak didapatkan

infeksi cacing tambang tapi hanya cacing

gelang dan cacing cambuk sehingga untuk

bisa menyebabkan anemia dibutuhkan waktu

yang cukup lama atau infeksi kronis selain

dipengaruhi hal lain yakni status besi tubuh

dan gizi pejamu serta beratnya infeksi

(jumlah dan jenis cacing dalam usus

penderita).

Pemeriksaan yang digunakan untuk

mengetahui adanya infeksi cacing pada

penelitian ini adalah pemeriksaan tinja

dengan metode langsung. Pemeriksaan tinja

dengan cara ini memiliki kelemahan, yakni

metode ini kurang sensitif mendeteksi

keberadaan telur cacing sebab volume tinja

yang diperiksa lebih sedikit sehingga

terdapat tinja yang mengandung sedikit telur

cacing bisa memberi hasil negatif.Selain itu,

penyebaran telur cacing pada feses yang

terinfeksi tidak merata. Hal ini dapat

berpengaruh pada hasil penelitian. Pada

pemeriksaan feses dalam penelitian ini

hanya digunakan beberapa milligram feses,

sehingga terdapat kemungkinan feses yang

di gunakan tidak mengandung telur cacing.

Pemeriksaan feses yang bersifat kualititaf

ini akanmempengaruhi penelitian mengenai

hubungan infeksi cacing dengan kejadian

anemia defisiensi besi dimana interpretasi

hasil pemeriksaan feseshanya berupa positif

atau negatif terinfeksi cacing tanpa

menentukan intensitas infeksi atau berat

ringannya penyakit kecacingan dengan

mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG)

pada setiap jenis cacing. Hal ini diperlihatkan

Page 11: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

9

denganlebih banyaknya siswa yang

positifinfeksi cacing tanpa disertai anemia

defisiensi besi dengan kemungkinan

responden baru terinfeksi cacing dan belum

mempengaruhi kadar Hb responden.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Dari 65 sampel yang diambil, prevalensi

cacingan yang ditemukan dari hasil

pemeriksaan feses adalah 24,6%

(sebanyak 16 responden yang terinfeksi

cacingan) yangdidominasi oleh cacing

cambuk (Trichuris trichiura) yakni 9

(56%) responden.

2. Dari 5 orang yang menderita anemia,

kejadian anemia defisiensi besi lebih

banyak pada responden dengan positif

infeksi cacing dibandingkan dengan

responden yang negatif terinfeksi cacing

yakni masing-masing 3 (18,8%)

respondendan 2(4,1%) responden.

3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara infeksi kecacingan dengan

anemia defisiensi besi pada siswa SD

kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong

dengan p-value 0,091 lebih besar dari

0,05 (0,091> 0,05).

Daftar Pustaka

1. FKUI.Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. Editor: Sutanto, dkk. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008

2. Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2001. Jakarta; 2004 ------------ Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan Di Era Desentralisasi. Jakarta; 2004

3. Sumanto D.Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). 2010 [cited 2011 Juni 20]. Available from: http://www.usus.co.id

4. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006

5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of Chronic Disease. Nejm. 2005; 352: 1011-1023

6. Mardika S.Hubungan Anemia Defisiensi Besi Dengan Tingkat Prestasi Belajar Siswa SD di Kota Mataram Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram; 2008

7. FAO/WHO.Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition. 2004 [cited 2011 Juni 20]. Available from:http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546123_chap13.pdf.

8. Rasmaliah. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada Ibu Hamil.2008 [cited 2011 Juni 20]. Available: http://www.usu.com

9. Zulhirsan L. Status Gizi Anak Sekolah Dasar Negeri Yang Terinfeksi Kecacingan Di Banyumulek Kecamatan Kediri. Fakultas Kedokteran Universitas

Mataram; 2011 10. Dedek M. Profil Kecacingan, Kadar

HemoglobinDan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah TepiPada Perajin Gerabah Di Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat. Fakultas Kedokteran Universitas Mataram; 2011

11. Gandahusada S. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004

12. Fatrahady B.Hubungan Antara Pengetahuan Anak SD Mengenai Cacingan dengan Prevalensi cacingan pada Anak SD di SDN Montong Buak Desa Darmaji Kecamatan Kopang. Mataram: Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram; 2007

13. Bakta IM. Pendekatan Terdahap Pasien Anemia.Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Editor: Aru W Sudoyo, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009

Page 12: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

10

HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU MILIER DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA

PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUP NTB

Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Abstract Background :Tuberculosis represent one of the most important disease in human being history and until knowdays its still becoming a special human health problems because its impact to health status, social and economic status of human being.Indonesia was the third country represent infection of tuberculosis in the world after China and India. Purpose :To knowing the relationships between millier pulmonary tuberculosis with anemia in pulmonary tuberculosis patients addmitted in general hospital of Nusa Tenggara Barat Province. Method :This research use cross sectionaldesign.Researcher conduct observation for once time in January 2013 to medical record ofpulmonary tuberculosis patients who addmitted in general hospital of Nusa Tenggara Barat provincebetweenJanuary2011 untilDesember 2012. Data that have been collected will be processed bydescriptive method and result will be showed as table. Data analyzed by chi-square test using programe SPSS 17 with 95% confidence interval. Result : Total sampel in this research were 104 with 86 sampel (82,69 %) admitted caused by Pulmonary TB and suffering Anemia. Milliary pulmonal tuberculosis patient were 17 sample (16,35%) and 16 (94,12 %) within suffering anemia. From Chi-square test result there is no correlation between Milliary pulmonal tuberculosis with anemia in patient with pulmonary tuberculosis who admitted at General Hospital Of Nusa Tenggara Barat Province, showed by count of chi square (1,854) less than chi square table value (3,811) with 95 % confidence interval. Conclusion : There is no correlation between Milliary pulmonal tuberculosis with anemia in patient with pulmonary tuberculosis who admitted at General Hospital Of Nusa Tenggara Barat Province. Keywords :Milliary pulmonal tuberculosis, anemia Abstrak

Latar Belakang : Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit penting dalam sejarah manusia dan masih tetap menjadi permasalahan utama pada kesehatan manusia sampai saat ini karena memiliki dampak yang besar terhadap status kesehatan, status sosial dan ekonomi manusia. Indonesia merupakan negara dengan urutan ke 3 terbanyak jumlah infeksi tuberkulosis di dunia setelah Cina dan India. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui adanya hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Peneliti melakukan observasi

hanya sekali pada satu saat yang dilakukan pada bulan Januari 2013 terhadap data pasien tuberkulosis yang dirawat inap di RSUP NTB periode Januari 2011-Desember 2012. Hasil pengumpulan data diolah secara deskriptif berupa tabel serta analitik uji chi-square dengan menggunakan program SPSS 17.0 dengan tingkat

kemaknaan 95%. Hasil : Pada penelitian ini total sampel sebanyak 104 dengan 86 sampel diantaranya pasien TB paru yang dirawat mengalami anemia yaitu sebesar 82,7%. Sebanyak 17 (16,3%) pasien TB paru milier diperoleh pada penelitian ini dan 16 (94,12%) diantaranya mengalami anemia. Dari uji statistik dengan Chi-square tidak

didapatkan adanya hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB, hal ini ditunjukan dengan hasil Chi-square hitung (1.854) kurang dari nilai Chi-square tabel (3,811) pada tingkat kepercayaan 95% dan alpha 5%.

Kesimpulan :Tidak terdapat hubungan antara tuberkulosis paru milier dengan kejadian anemia pada pasien tuberkulosis paru di RSUP NTB. Kata Kunci : TB Paru milier, anemia.

Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu

penyakit penting dalam sejarah manusia dan

masih tetap menjadi permasalahan utama

pada kesehatan manusia sampai saat ini.

Dampak dari penyakit tuberkulosis ini tidak

dapat diremehkan karena dalam sejarahnya

telah membunuh jutaan orang dan memiliki

dampak sosial ekonomi yang besar.1

Gerakan “Global Emergency” tuberkulosis

pada tahun 1992 telah dicanangkan oleh

World Health Organization (WHO) yang

Page 13: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

11

merupakan salah satu bentuk perlawanan

terhadap penyakit ini. Pada tahu 2004

terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis

yang dilaporkan oleh WHO dan menurut data

regional yang dimiliki WHO kasus

tuberkolosis paling besar terjadi di asia

tenggara yaitu sebesar 33% dari seluruh

kasus tuberkolosis di dunia.2 Sekitar 3 juta

penderita TB meninggal setiap tahunnya dan

terdapat sekitar 4 juta kasus penderita TB

baru setiap tahun didunia3.Prevalensi

tuberkulosis nomor 3 dunia dipegang oleh

Indonesia mengekor dari Cina dan

India.Penyakit tuberkulosis dapat didiagnosis

melalui gejala klinis, kelainan fisik, radiologis

dan bakteriologis.Gejala klinis dapat berupa

demam, batuk dan batuk darah, sesak, nyeri

dada serta malaise.Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan tanda anemia dan kelainan

paru, sedangkan gambarang radiologis pada

paru dapat berupa infiltrat, cavitas dan

milier.4

Tuberkulosis paru milier merupakan

penyakit tuberkulosis yang menyebar secara

masif ke seluruh paru, hal ini dapat terjadi

karena daya tahan tubuh penderita tidak

mampu menghadapi infeksi kuman

tuberkulosis.Penegakan diagnosis

tuberkulosis paru milier didasarkan dengan

adanya gambaran klinis, radiologi khas milier

dan bakteriologi.5Kelainan hematologi yang

ditimbulkan oleh penyakit tuberkulosis dapat

bervariasi antara lain dapat berefek pada

eritrosit, leukosist, trombosit, dan sumsum

tulang. Salah satu bentuk kelainannya

adalah anemia, dimana masih diperlukan

penelitian untuk mempelajari kelainan

hematologi yang ditimbulkan dengan

manifestasi klinik yang ada.6

Kelainan anemia merupakan penyebab

debilitas kronis yang berdampak besar

terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi dan

kesehatan fisik masyarakat. Anemia adalah

kondisi dimana terjadinya penurunan jumlah

massa eritrosit sehingga tidak dapat

memenuhi fungsi untuk membawa oksigen

yang cukup ke seluruh jaringan perifer jika

pendekatan anemianya secara fungsional,

sedangkan dengan pendekatan secara

praktis maka anemia adalah suatu keadaan

terjadinya penurunan kadar hemoglobin,

hematokrit atau hitung eritrosit. Anemia ini

bukan merupakan penyakit yang berdiri

sendiri sering kali merupakan bagian dari

gejala penyakit lain yang mendasarinya.

Dengan mengetahui penyakit yang

mendasarinya maka pengelolaan anemia

akan lebih baik dan tuntas.4

Tinjauan Pustaka

Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang

disebabkan oleh infeksi kuman

Mycobakterium tuberkulosis komplek.Kuman

ini memiliki bentuk seperti batang yang lurus,

tidak memiliki spora dan tidak memiliki

kapsul.Struktur dinding dari kuman

tuberkolosis memiliki unsur penyusun yang

komplek sehingga menyebabkan bakteri ini

bersifat tahan asam. Tahan asam

dimaksudkan apabila kuman tuberkulosis

dilakukan pengecatan, maka akan tetap

tahan terhadap upaya pelunturan zat warna

yang digunakan dalam pengecatan yakni

alkohol yang bersifat asam.3,7

Patogenesis

Berdasarkan proses perkembangan

infeksi tuberkulosis maka patogenesis terdiri

dari tuberkulosis primer dan pasca primer.

Page 14: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

12

Tuberkulosis primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi primer

setelah seseorang menghirup kuman

tuberkulosis yang kemudian akan

berkembang menjadi afek primer atau

sarang primer. Afek primer ini merupakan

kuman tuberkulosis menginfeksi saluran

nafas yang kemudian bersarang pada

jaringan paru sehingga membentuk suatu

sarang peneumonik.Timbulnya sarang ini

bisa terjadi dimana saja diseluruh bagian

lapang paru.Dari sarang primer infeksi dapat

berlanjut ke bagian regonal yaitu saluran

getah bening menuju hilus paru sehingga

terjadi limfangitis regional.Sarang primer

dengan limfangitis regional ini disebutjuga

kompleks primer.3,4,7

Tuberkulosis pasca primer

Tuberkulosis pasca primer merupakan

penyakit tuberkulosis yang muncul setelah

peroide laten beberapa bulan hingga

tahunan dari infeksi primer. Tuberkulosis

pasca primer ini dapat muncul akibat

reaktifasi atau reinfeksi.Penuruan daya tahan

tubuh dapat memicu terjadinya reaktifasi

yaitu kuman yang selama ini dorman

bertahun-tahun setelah infeksi primer akan

mengalami multiplikasi, sedangkan reinfeksi

yaitu adanya infeksi ulang pada penderita

yang sebelumnya mengalami infeksi primer.3

Bentuk tuberkulosis pasca primer inilah yang

menjadi masalah kesehatan pada

masyarakat akibat dari proses penularan

yang tinggi.7 Tuberkulosis pasca primer ini

pada umumnya dimulai dari sarang dini yang

muncul pada segmen apikal, baik lobus

superior maupun lobus inferior. Sarang dini

awalnya berbentuk sarang pneumoni yang

kecil dan kemudian berkembang menjadi

keadaan sebagai berikut.3,4,7

:

1. Mengalami resorbsi dan sembuh tanpa

meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut meluas dan tetap

mengalami penyembuhan berupa

jaringan fibrosis dan pengapuran.Sarang

tersebut dapat aktif kembali dan

membentuk jaringan keju. Jaringan keju

ini akan membentuk kavitas bila

penderita batuk.

3. Kavitas yang telah terbentuk awalnya

memiliki dinding yang tipis kemudian

menjadi lebih tebal yang disebut kaviti

sklerotik. Kavitas ini akan mengalami

beberapa hal ini antara lain; a. meluas

dan menimbulkan sarang pneumonik

yang baru; b. membentuk tuberkuloma

dengan menebal dan membungkus

dirinya. Tuberkuloma ini dapat

mengalami perkapuran dan sembuh

serta bisa menjadi aktif kembali dan

mencair membentuk kavitas kembali; c.

kavitas akan mengalami penyembuhan

membentuk open healed cavity dan

dapat menciut seperti bentukan bintang

(stellate shape).3,7

Klasifikasi tuberkulosis

Secara garis besar infeksi tuberkulosis

dapat diklasifikasikan menjadi dua

berdasarkan organ yang terinfeksi oleh

kuman tuberkulosis antara lain :

Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis

yang menyerang jaringan paru dan tidak

menyerang pleura. Maka pembagiannya

sebagai berikut3,7

:

Page 15: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

13

Berdasarkan hasil pemeriksaan basil

tahan asam (BTA) pada dahak penderita

maka tuberkulosis paru dibagi antar lain :

1. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah

minimal 2 dari 3 spesimen yang diperiksa

dahaknya menunjukan hasil BTA (+);

atau hasil pemeriksaan satu spesimen

positif dahak yang diperiksa BTA (+) dan

kelainan radilogis menujukan gambaran

radiologis positif tuberkulosis; atau satu

spesimen positif dahak yang diperiksa

BTA (+) dan biakan Mycobakterium

tuberculosis menunjukan hasil positif.

2. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah hasil

pemeriksaan 3 spesimen dahaknya

menujukan hasil BTA (-) disertai

gambaran klinis dan radilogis yang positif

menunjukan tuberkulosis; hasil

pemeriksaan 3 spesimen dahaknya

menujukan hasil BTA (-) disertai biakan

Mycobakterium tuberculosis yang

menunjukan hasil positif.

Berdasarkan tipe pasien maka

pembagiannya ditentukan oleh riwayat

pengobatan sebelumnya, sehingga ada

beberapa tipe pasien tuberkulosis antara

lain3,7

:

1. Kasus baru

2. Kasus kambuh (relaps)

3. Kasus drop out

4. Kasus gagal

5. Kasus kronik

6. Kasus pindahan

Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah

tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

selain pada paru, misalnya kulit, pleura,

kelenjar getah bening, tulang, ginjal dan

hepar. Penegakan diagnosis didasarkan dari

hasil pemeriksaan kulturMycobakterium

tuberculosisyang positif dan patologi

anatomi. Sedangkan untuk kasus yang sulit

atau tidak dapat dilakukan pengambilan

spesimen, maka dibutuhkan bukti klinis yang

kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru

aktif.3,4,7

Diagnosis

Tuberkulosis dapat didiagnosis berdasar

gejala klinik, pemeriksaan fisik, bakteriologik

dan pemeriksaan penunjang.3

a. Gejala klinis

Secara umum gejala klinis yang muncul

dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

gejala lokal dan gejala sistemik.Gejala

lokal disesuaikan dengan organ yang

terkena infeksi, misalnya organ yang

terkena infeksi adalah paru, maka gejala

lokalnya berupa gejala respiratorik.

Gejala respiratorik antara lain batuk lebih

dari 3 minggu, batuk darah, sesak dan

nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat

bervariasi tergantung dari dari luas

lesi.Gejala batuk disebabkan akibat dari

iritasi pada bagian bronkus dan

berikutnya batuk diperlukan untuk

mengeluarkan dahak.Gejala sistemik

berupa demam, malaise, keringat

malam, anoreksia dan penurunan berat

badan. Gejala pada tuberkulosis

ekstraparu adalah menyesuaikan dengan

organ yang terkena misalnya limfadenitis

TB maka gejalanya berupa

pembengkakan pada kelenjar getah

bening disertai rasa nyeri.3,4,7

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada

tuberkulosis muncul sesuai dengan

organ yang terkena. Pada tuberkulosis

Page 16: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

14

paru maka kelainan yang akan muncul

tergantung dari luas dan strukutur paru

yang terkena. Pada infeksi awal kelainan

fisik mungkin saja tidak terlihat.Pada

umumnya kelainan paru terletak pada

daerah lobus superior paru terutama

pada bagian apeks paru, segmen

posterior, dan daerah apeks lobus

inferior. Pada pemeriksaan fisik paru

kelainan yang umum ditemukan antara

lain suara nafas bronkial, ronkhi basah,

tanda dari penarikan paru, diafragma dan

mediastinum.3,4,7

c. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik dapat

dilakukan dengan pengambilan bahan

dari dahak, cairan pleura, liquor

cerebrospinalis, bilasan bronkus, bilasan

lambung, urine, feces dan biopsi jaringan

untuk menemukan kuman

Mycobakterium tuberculosis.Setelah

spesimen terkumpul, maka dilakukan

pemeriksaan mikroskopik dengan

pewarnaan Ziehl-Nielsen. Bahan-bahan

juaga dapat digunakan untuk membiakan

kuman tuberkulosis dengan media

biakan yang sesuai misalnya egg base

media (Lowenstein-Jensen), agar base

media (Middle brook).7

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang digunakan

standar untuk mendiagnosa tuberkulosis

adalah pemeriksaan radiologis paru

dalam bentuk foto rongten torak

posterior-anterior.Pada pemeriksaan

radiologi paru gambaran infeksi

tuberkulosis pada paru memberikan

bentuk yang beragam. Lesi aktif TB paru

akan memberikan gambaran seperti

bayangan berawan di segmen apikal dan

posterior lobus atas paru serta segmen

superior lobus bawah, kavitas yang

terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh

bayangan opak berawan atau nodular,

bayangan bercak milier, efusi pleura

unilateral (umumnya) atau bilateral

(jarang). Pada lesi TB inaktif akan

ditemukan gambaran seperti fibrotik,

kalsifikasi, schwarte atau penebalan

pleura.3,4,7

Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis secara umum

terdapat 2 fase yaitu fase intensif (sekitar 2-3

bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan).

Obat anti tuberkulosis (OAT) terdiri dari

panduan obat utama dan tambahan antara

lain jenis obat utana (lini pertama) yang

digunakan adalah rifampisin (R), Isoniazid

(H), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S),

Etambutol (E); dan obat tambahan (lini

kedua) yang digunakan adalah Kanamisin,

Amikasin dan Quinolon.3,7

Pada pengobatan dengan OAT dikenal

dua macam bentuk kemasan obat yaitu obat

tunggal yang merupakan obat yang disajikan

secara terpisah yang terdiri dari rifampisin

(R), Isoniazid (H), pirazinamid (Z), Etambutol

(E) dan obat kombinasi dosis tetap (fixed

dosed combination/FDC)dimana pada

kombinasi ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam

satu tablet3,7

.

Komplikasi

Komplikasi yang timbul pada penyakit

tuberkulosis antara lain batuk darah,

pneumotoraks, gagal nafas, gagal jantung,

efusi pleura, kelainan hematologi,

miliersampai dengan kematian3,7

.

Tuberkulosis paru milier adalah infeksi paru

yang disebabkan oleh kuman Mikobakterium

Page 17: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

15

tuberkulosis yang telah menyebar ke seluruh

bagian paru.Diagnosisnya didasarkan gejala

klinis tuberkulosis dan gambaran radiologis

paru yang khas milier berupa nodul kecil dan

halus yang menyebar merata pada kedua

bagian paru.TB paru milier dapat

memberikan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif ataupun negatif.5

Kelainan hematologis pada tuberkulosis

dapat terjadi pada sel-sel hematopoesis,

maupun komponen plasma.

Kelainanhematologis ini tentu saja akan

menimbulkan kesulitan pengelolaan pasien

tuberkulosis tersebut. Salah satu kelainan

hematologi yang timbul pada penyakit

tuberkulosis adalah anemia.6Anemia

merupakan suatu keadaan terjadinya

penurunan kadar hemoglobin, hematokrit

atau hitung eritrosit jika pendekatan yang

digunakan secara praktis. Untuk keperluan

penelitian lapangan maka WHO menetapkan

nilai batas atau cut off point anemia adalah

kurang dari 13 g/dl untuk laki-laki dewasa,

kurang dari 12 g/dl untuk wanita dewasa

tidak hamil dan kurang dari 11 g/dl untuk

wanita hamil.4

Pada tuberkulosis,penyebab munculnya

anemia diperkirakan karena beberapa hal

berikut ini6 :

1. Anemia penyakit kronis

Pada negara berkembang salah satu

penyebab terjadinya anemia pada laki-

laki dewasa dan wanita tidak hamil

adalah tuberkulosis.Anemia penyakit

kronis ini terjadi dengan mekanisme

beberapa berikut adanya depresi

eritropoesis dan menurunnya sensitifitas

terhadap eritropoietin, depresi produk

eritropoietin, dan pemendekan masa

hidup eritrosit. Gangguan metabolisme

besi terjadi akibat dari pengikatan zat

besi oleh laktoferin yang merupakan

produk granulosit akibat dari proses

inflamasi yang kemudian terjadi proses

sekuestrasi zat besi pada limpa.6

2. Anemia makrositik

Terjadinya anemia pada pasien

tuberkulosis disebabkan defisiensi folat

akibat asupan yang berkurang atau

peningkatan penggunaan folat akibat

aktifitas tuberkulosis.Walaupun jarang,

kemungkinan terjadinya anemia

makrositikdisebabkan adanya

malabsorpsi vitamin B12 pada penderita

dengan tuberkulosis ileum.6

3. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik autoimun bisa terjadi

pada penderita tuberkulosis.Sifat

autoimun ini hanya sementara dan

menimbulkan reaksi tes coombs positif.

Hemolisis ini biasanya terjadi pada

penyakit tuberkulosis yang berat

misalnya tuberkulosis milier dan akan

menghilang dengan pengobatan.6

4. Anemia sideroblastik

Gangguan metabolisme vitamin B6

sering ditemukan pada penggunaan OAT

jenis isoniazid dan pirazinamid.Hal

tersebut menimbulkan anemia

sideroblastik dengan pembentukan sel

sideroblas bentuk cincin. Terkadang sel

sideroblas bercincin akan menetap

walaupun obat telah dihentikan tetapi

tanpa disertai terjadinya anemia.6

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi

observasional dengan pengukuran variabel

secaracross-sectional.9,10

Data-data yang

digunakan dalam penelitian ini berupa data

Page 18: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

16

sekunder yang diperoleh dari catatan rekam

medis Rumah Sakit Umum Provinsis

(RSUP)Nusa Tenggara Barat(NTB)periode

Januari 2011-Desember 2012.Penelitian

dilaksanakan di RSUPNTB bagian rawat inap

penyakit paru selama bulan Januari 2013.

Populasi pada penelitian ini merupakan

populasi terjangkau yaitu pasien dengan

diagnosis tuberkulosis paru yang dirawat

inapdi RSUP NTB pada periode Januari

2011-Desember 2012.Sampel pada

penelitian ini adalah semua pasien yang

terdiagnosis tuberkulosis paru di RSUP NTB

bagian bangsal paru pada periode Januari

2011-Desember 2012 dan memenuhi kriteria

inklusi serta eksklusi. Kriteria inklusi

penelitian adalah pasien yang sudah

terdiagnosis tuberkulosis paru berdasarkan

gejala klinis, pemeriksaan sputum BTA dan

foto radiologis paru serta pasien tuberkulosis

paru yang dilakukan pemeriksaan

hemoglobin. Sedangkan kriteria eksklusi

penelitian adalah pasien tuberkulosis paru

dengan komplikasi penyakit keganasan,

HIV/AIDS, kehamilan, malnutrisi, dan

tuberkulosis paru anak-anak.Pengambilan

rekam data dilakukan pada bagian rekam

medisbangsal paru RSUP NTB periode

Januari 2011-Desember 2012 yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil pengumpulan data akan diolah

secara deskriptif berupa tabel frekuensi dan

dilakukan analisis menggunakan metode

analitik uji chi-square dengan menggunakan

program SPSS 17.0 dengan tingkat

kemaknaan 95%.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian

Tabel 1. Frekuensi Pasien TB Paru Milier dan TB Paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB

Periode Januari 2011- Desember 2012.

KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)

TB Paru Millier 17 16,3

TB Paru 87 83,7

TOTAL 104 100

Pada penelitian ini diperoleh jumlah

sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebesar 104 orang, dari

penelusuran data sekunder rekam medis

rawat inap pasien tuberkulosis pada bangsal

bougenville RSUP NTB periode januari 2011

- desember 2012. Dari 104 sampel tersebut

diperoleh jumlah total pasien tuberkulosis

paru miler sebesar 16,3% yaitu 17 sampel

Page 19: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

17

Tabel 2.Frekuensi Anemia Pada pasien TB Paru dan TB paru millier yang menjalani rawat inap di

RSUP NTB Periode Januari 2011- Desember 2012.

KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)

Anemia 86 82,7

Tidak Anemia 18 17,3

TOTAL 104 100

Pada penelitian ini dari total sampel

sebesar 104 pasien (TB paru dan TB paru

millier) 86 (82,7%) diantaranya mengalami

anemia.

Tabel 3. Tabel Perbandingan Kejadian Anemia Pada Pasien TB Paru Milier dan TB paru yang menjalani

rawat inap di RSUP NTB

Pada hasil penelitian ini juga diperoleh

dari 17 sampel TB Paru Milier terdapat 16

sampel diantaranya mengalami anemia dan

dari 87 sampel TB paru tidak milier (hanya

TB paru) sebanyak 70 sampel diantaranya

mengalami anemia.

Pada penelitian ini tidak ditemukan

hubungan antara tuberkulosis paru milier

dengan kejadian anemia pada pasien

tuberkulosis paru di RSUP NTB sesuai

dengan perhitungan SPSS 17 karena hasil

Chi-square hitung (1.854) kurang dari nilai

Chi-square tabel (3,811) pada tingkat

kepercayaan 95% dan alpha 5%.

Pembahasan

Tuberkulosis secara umum merupakan

salah satu penyebab tersering terjadinya

anemia pada laki-laki dewasa dan wanita

tidak hamil di negara berkembang.Hal

tersebut dapat terjadi karena tuberkulosis

dapat mempengaruhi semua seri

hematopoesis.Penurunan jumlah eritrosit,

anemia penyakit kronis, fibrosis sumsum

tulang, infiltrasi amiloid ke sumsum tulang

dan hipersplenisme dapat terjadi pada

tuberkulosis yang kemudian menyebabkan

terjadinya anemia.6 Hal tersebut sesuai

dengan hasil penelitian yang diperoleh, yaitu

didapatkan 82,7% penderita tuberkulosis

paru yang dirawat di RSUP NTB mengalami

kejadian anemia.

Anemia penyakit kronis sering ditemukan

pada pasien tuberkulosis paru yang

mengalami infiltrasi ke derah sumsum tulang,

dan akan lebih sering terjadi lagi pada

tuberkulosis ekstraparu, TB paru milier dan

diseminata. Pada prinsipnya anemia penyakit

kronis ini terjadi karena adanya depresi

eritropoesis, depresi produksi eritropoetin,

pemendekan masa hidup eritrosit, dan

gangguan metabolisme besi dimana besi

KETERANGAN/ KATEGORI

ANEMIA

TOTAL YA TIDAK

TB PARU

MILLIER

YA 16 1 17

TIDAK 70 17 87

TOTAL 86 18 104

Page 20: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

18

diikat oleh laktoferin yang dihasilkan

granulosit akibat inflamasi.6 Pada penelitian

ini diperoleh 17 pasien TB paru milier dengan

16 pasien diantara TB paru milier yang

mengalami anemia yaitu sebesar 94,12%.

Tetapi secara statistik saat diuji dengan Chi-

square tidak ditemukan adanya hubungan

antara tuberkulosis paru milier dengan

kejadian anemia pada pasien tuberkulosis

paru di RSUP NTB, hal ini ditunjukan dengan

hasil Chi-square hitung (1.854) kurang dari

nilai Chi-square tabel (3,811) pada tingkat

kepercayaan 95% dan alpha 5%. Hal

tersebut bisa saja terjadi karena anemia

yang terjadi tidak berkaitan dengan

tuberkulosis paru milier melainkan bisa

terjadi karena mekanisme lain misalnya

pasien mengalami defisiensi besi sejak

sebelum terinfeksi TB paru, terjadinya

malabsorpsi besi di usus, atau gangguan

diluar mekanisme anemia pada tuberkulosis

paru milier.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Terdapat 82,7% penderita TB paru yang

dirawat inap di RSUP NTB mengalami

kejadian anemia.

2. Tidak terdapat hubungan antara

tuberkulosis paru milier dengan kejadian

anemia pada pasien tuberkulosis paru di

RSUP NTB

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut dan

mendalam untuk mempelajari manifestasi

kelainan-kelainan hematologis, manifestasi

klinis pada TB paru milier.

Daftar pustaka

1. Chaisson R. E, and Nachega. Tuberculosis. In : Warrell D. A, Cox T. M, Firth J. D, Edward J. JR, and Benz M. D, editors. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. Oxford : Oxford Press; 2003.

2. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C, Surya A, editor. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.

3. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam : Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Gramik FK UNAIR; 2010.

4. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

5. Arsyad Z, Syamsuri W. Tuberkulosis Milier. Majalah Kedokteran Andalas. Juli-Desember 1998. Vol 22; No 2.

6. Oehadian A. Aspek Hematologi Tuberkulosis. 2003. Pustaka UNPAD. Dikutip tanggal 26 Desember 2012. Diunduh dari : http://pustaka.unpad.ac.id/archives/33023/

7. Anonim. Tuberkulosis “Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dikutip tanggal 26 Desember 2012. Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsesus/tb/tb.pdf

8. Connell D.W, Berry M, Cooke G, and Kon O. M. Update on tuberculosis: TB in the early 21

st century. Eur Respir Rev 2011;20: 120,

71-84. Dikutip tanggal 29 Desember 2012. Diunduh dari http://err.ersjournals.com/content/20/120/71.full

9. Ghazali M. V, Sastromihardjo S, Soedjarwo S. R, Soelaryo T, dan Pramulyo H. Studi Cross-sectional. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : Sagung Seto; 2002.

10. Nazir M. Metode Penelitian. Edisi I. Jakarta : Ghalia Indonesia; 2003.

Page 21: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

19

PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN AIR KELAPA MUDA DAN AIR PUTIH TERHADAP

KECEPATAN PEMULIHAN DENYUT NADI PADA

PEMAIN FUTSAL FK UNRAM

Ida Ayu Eka Widiastuti, Putu Aditya Wiguna

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Abstract In physical activities, oxygen consumption, heart rate, body temperature and chemical compound in human body will alter transformation. Indirect method to measure workload can be done by measuring pulse during activities. Fluid loss in activities can be replaced by administering fluid that have good rehydration effect, among those are coconut water and drinking water. The aim of this study is to compare the effect of coconut water and drinking water consumption on pulse recovery time after exercise. This experimental study was conducted with randomized pre and posttest group design. Subject of this study is Mataram University Faculty of Medicine futsal team. Fourteen subjects were divided into two groups, each group consist of seven individuals. Coconut water was given to group 1 and drinking water was given to group 2 after treadmill exercise using Bruce Protocol for 15 minutes. The data were analyzed by using Mann-Whitney Test. Pulse recovery time average of group 1 that consumes coconut water was 157, 29 seconds or 2 minutes 62 seconds, while group 2 that consumes drinking water average was 282,86 seconds or 4 minutes 71 seconds. Mann-Whitney analysis shows that pulse recovery times after treadmill exercise were not significantly different (p > 0.05).Pulse recovery time average on group that consumed coconut water were better (28.5%) than group that consumed drinking water, but were not significantly different (p > 0.05). Keywords :Treadmill exercise, recovery time, coconut water, drinking water, futsal player

Pendahuluan

Melakukan aktivitas fisik dan berolahraga

merupakan bagian dari pola hidup sehat.

Pada saat berolahraga, terlebih olahraga

yang cukup berat dan dalam jangka waktu

cukup lama sering terjadi kehilangan cairan

yang berakibat pada terjadinya stress termal.

Kondisi ini dapat mengganggu fungsi kognisi

dan kardiovaskuler mengakibatkan

terjadinya kelelahan dan menurunkan

performa latihan1.

Berkeringat yang banyak selama

berolahraga dapat menyebabkan kehilangan

cairan tubuh kurang lebih 1 liter tiap jam2.

Dalam keringat terkandung berbagai

elektrolit, seperti sodium (Na+), klorida (Cl

-),

dan potassium (K+) dan sedikit asam amino,

bikarbonat (HCO3-), karbondioksida (CO2),

tembaga, glukosa, hormon, besi, asam

laktat, magnesium (Mg2+

), Nitrogen, fosfat

(PO42-

), urea, vitamin dan seng3. Kandungan

pasti dari keringat ini bervariasi pada setiap

individu dan pada tiap individu juga akan

berbeda tergantung pada kondisi3.

Rehidrasi sesudah latihan tidak hanya

memerlukan penggantian cairan yang hilang,

tetapi juga penggantian elektrolit. Adanya

tambahan elektrolit, terutama sodium akan

membantu dalam menjaga rasa haus dan

selanjutnya akan menstimulasi kita untuk

minum4. Permasalahan yang muncul adalah

bahwa minuman yang mengandung sodium

dengan konsentrasi tinggi memiliki rasa yang

kurang enak sehingga mengakibatkan

pembatasan konsumsi4.

Air kelapa mengandung berbagai macam

nutrisi, termasuk vitamin, mineral,

antioksidan, asam amino, enzim, factor

pertumbuhan dan lain-lain. Air kelapa

merupakan sumber yang baik untuk mineral

penting, seperti magnesium, kalsiumdan

potassium. Air kelapa juga mengandung

Page 22: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

20

berbagai macam trace elements, seperti

seng, selenium, iodine, mangan, boron,

molybdenum dan lain-lain. Semua mineral

yang ada dalam air kelapa berupa elektrolit

sehingga mudah diserap oleh tubuh. Dalam

kaitannya dengan nutrisi olahraga telah

dilaporkan bahwa air kelapa dapat memberi

kan efek hidrasi yang sama dengan

minuman olahraga yang mengandung

karbohidrat - elektrolit4,5

.

Penelitian tentang rehidrasi dengan

menggunakan air kelapa muda segar pernah

dilakukan oleh Saat, M,et al4

menyimpulkan

bahwa minum air kelapa muda segar dapat

dijadikan minuman rehidrasi karena

memberikan rasa yang lebih manis sehingga

tidak terlalu menimbulkan rasa mual,

memberikan rasa kenyang tanpa rasa tidak

nyaman di perut dan lebih mudah dikonsumsi

dalam jumlah besar dibandingkan dengan air

putih biasa. Demikian juga penelitian yang

dilakukan Atmaja6 memberikan hasil bahwa

pemberian air kelapa muda lebih cepat

mengembalikan denyut nadi setelah aktivitas

dibandingkan pocari sweat dan teh manis.

Berbeda dengan penelitian Kalman, et al7

yang menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara pemberian

air dalam kemasan, air kelapa muda dan

sport drink terhadap performa fisik setelah

latihan pada laki-laki terlatih.

Pemberian minuman/cairan setelah

melakukan aktivitas atau berolahraga akan

mempercepat tubuh kembali ke keadaan

sebelum berolahraga, yang dapat diketahui

dari kembalinya denyut nadi ke denyut nadi

sebelum olahraga (denyut nadi pemulihan).

Peneliti tertarik meneliti air kelapa muda

sebagai minuman rehidrasi/pengganti cairan

tubuh yang hilang melalui keringat mengingat

air kelapa muda merupakan minuman alami

yang mengandung berbagai macam elektrolit

dan senyawa lain yang sangat penting bagi

tubuh.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental dengan rancangan penelitian

yang digunakan adalah Randomized Pre and

Post Test Group Design. Populasi penelitian

ini adalah semua mahasiswa FK Unram yang

tergabung dalam tim futsal FK Unram.

Sampel diambil dari populasi penelitian yang

memenuhi kriteria sebagai berikut: (1)

Bersedia sebagai subjek penelitian dengan

menandatangani surat persetujuan

kesediaan sebagai sampel, (2) berbadan

sehat dan tidak cacat berdasarkan

pemeriksaan dokter, (3) jenis kelamin laki-

laki, (4) berusia 18-24 tahun dan (5) Indeks

Massa Tubuh (IMT) normal. Penetapan

subjek penelitian dilakukan dengan

menggunakan kuisioner.

Subjek penelitian berjumlah 14

orang, yang terbagi dalam dua kelompok

perlakuan dengan masing-masing kelompok

terdiri dari 7 orang. Kelompok satu adalah

kelompok yang diberikan air kelapa muda

setelah melakukan latihan treadmill selama

15 menit dengan menggunakan Protokol

Bruce dan kelompok dua adalah kelompok

yang diberikan air putih dalam kemasan.

Hasil yang diperoleh berupa rerata

kecepatan pemulihan denyut nadi pada

masing-masing kelompok perlakuan.

Dilakukan analisis data dengan

mempergunakan uji statistik non parametrik

Mann-Whitney untuk membandingkan efek

dari perlakuan (variabel bebas) terhadap

kecepatan pemulihan denyut nadi setelah

Page 23: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

21

latihan treadmill (variabel tergantung) di

antara kedua kelompok perlakuan. Batas

kemaknaan atau tingkat kepercayaan yang

digunakan adalah 95% (α = 0,05).

Hasil

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian meliputi:

umur, berat badan, tinggi badan dan indeks

massa tubuh. Karakteristik subjek penelitian

sebelum mendapat perlakuan pada kedua

kelompok dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Data Deskriptif Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik

Subjek

Rerata ± SB p

Kelompok 1 Kelompok 2

Umur (th) 19,57±0,53 19,43±0,98 0,161

Berat Badan (Kg) 62,28±4,27 62,43±5,44 0,417

Tinggi Badan (cm) 170,57±5,65 171,43±4,04 0,254

IMT (kg/m2) 21,62±1,94 21,27±1,89 0,990

Tabel 1 memperlihatkan bahwa

karakteristik umur, berat badan, tinggi badan

dan indeks massa tubuh dari kedua

kelompok sebelum perlakuan tidak terdapat

perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

Dengan demikian sampel penelitian yang

berjumlah 14 orang yang terbagi dalam dua

kelompok memiliki karakter fisik yang sama

sebelum diberikan perlakuan.

2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi

Untuk menentukan uji statistik yang akan

digunakan maka terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas dan homogenitas data hasil

pengukuran kecepatan pemulihan denyut

nadi setelah perlakuan. Uji normalitas

menggunakan Saphiro-Wilk Test sedangkan

uji homogenitas menggunakan Levene Test,

tertera pada Tabel 2.

Tabel 2

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi

Subjek Penelitian

Kecepatan

Pemulihan Denyut

Nadi (detik)

p. Uji Normalitas

(Saphiro-Wilk Test) p. Homogenitas

(Levene Test) Kelompok 1 Kelompok 2

0,051 0,039 0,055

Hasil uji normalitas dengan Saphiro-Wilk

Test menunjukkan bahwa pada kelompok 1

nilai p> 0,05 sedangkan pada kelompok 2

nilai p < 0,05. Dengan demikian data

Page 24: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

22

kecepatan pemulihan denyut nadi setelah

melakukan latihan treadmill tidak

berdistribusi normal. Hasil uji

homogenitas dengan Levene

Testmenunjukkan nilai p > 0,05, yang berarti

data kecepatan pemulihan denyut nadi

setelah melakukan latihan treadmill adalah

homogen. Berdasarkan hasil uji normalitas

dan homogenitas ini, maka uji statistik yang

dipergunakan untuk membandingkan efek

pemberian air kelapa muda dan air putih

terhadap kecepatan pemulihan denyut nadi

setelah melakukan latihan treadmill pada

subjek penelitian adalah uji non parametrik,

yaitu Uji Mann-Whitney.

3. Uji Komparasi Kecepatan Pemulihan

Denyut Nadi Setelah Perlakuan

Untuk membandingkan efek pemberian

air kelapa muda dan air putih terhadap

kecepatan pemulihan denyut nadi setelah

melakukan latihan treadmill digunakan uji

statistik non parametrik, yaitu Uji Mann-

Whitney, yang disajikan dalam tabel 3 berikut

ini.

Tabel 3

Perbandingan Rerata Beda Kecepatan Pemulihan Denyut Nadi Setelah Latihan Treadmill

Kelompok N

(orang)

Rerata Kec.

Pemulihan Denyut

Nadi (detik) ± SB

p

1 7 157,29 ± 69,33 0,064

2 7 282,86 ± 145,64

Berdasarkan hasil analisis dengan

menggunakan uji Mann-Whitney (tidak

berpasangan), seperti pada Tabel 3 di atas,

menunjukkan bahwa rerata beda kecepatan

pemulihan denyut nadi pada kelompok 1

(pemberian air kelapa muda) lebih cepat

dibandingkan dengan kelompok 2

(pemberian air putih). Efek pemberian air

kelapa muda terhadap kecepatan pemulihan

denyut nadi 28,5% lebih baik atau lebih cepat

dibandingkan dengan pemberian air putih.

Namun demikian perbedaan kecepatan

pemulihan denyut nadi pada kedua kelompok

subjek tersebut secara statistik tidak

bermakna (p > 0,05).

Pembahasan

Subjek penelitian adalah 14 orang

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Mataram tahap akademik yang tergabung

dalam tim futsal FK Unram. Subjek dipilih

dan ditentukan setelah memenuhi kriteria

penelitian yang ditetapkan.

Rerata umur subjek penelitian adalah

19,57 tahun pada kelompok penelitian 1 dan

19,43 tahun pada kelompok penelitian 2.

Rerata berat badan subjek penelitian adalah

62,29 kg pada kelompok penelitian 1 dan

62,43 kg pada kelompok penelitian 2. Rerata

tinggi badan subjek adalah 170,57 cm pada

kelompok 1 dan 171,43 cm pada kelompok

2. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) subjek

penelitian adalah 21,62 kg/m2 pada

kelompok penelitian 1 dan 21,27 kg/m2 pada

Page 25: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

23

kelompok penelitian 2. Indeks massa tubuh

menggambarkan status gizi seseorang.

Berdasarkan nilai rerata indeks massa tubuh

pada kedua kelompok penelitian,

menunjukkan bahwa status gizi subek

penelitian berada dalam kategori normal.

Dari hasil uji homogenitas, ditemukan bahwa

umur, berat badan, tinggi badan dan indeks

massa tubuh (IMT) pada kedua kelompok

penelitian adalah homogen (p > 0,05).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

kondisi subjek penelitian kelompok 1 dan 2

sebelum perlakuan adalah sebanding.

Semua subjek penelitian yang terbagi

dalam 2 kelompok melakukan latihan

treadmill secara bergantian. Latihan treadmill

dilakukan dengan menggunakan Protokol

Bruce selama 15 menit, yang terbagi dalam 5

tahap. Masing-masing tahap dalam latihan

treadmill dengan protokol ini dilakukan dalam

waktu 3 menit. Untuk tiap-tiap tahapan

dilakukan perubahan dalam hal

inklinasi/sudut landasan dan kecepatan dari

treadmill. Sebelum melakukan latihan

treadmill, dilakukan pemeriksaan denyut nadi

istirahat selama satu menit dan data ini

dipergunakan sebagai data awal dan setelah

latihan dilakukan pengukuran terhadap

kecepatan pemulihan denyut nadi ke denyut

nadi istirahat. Waktu yang diperlukan untuk

mengembalikan denyut nadi latihan ke

denyut nadi istirahat dicatat untuk kemudian

dilakukan analisis.

Berdasarkan analisis data terhadap rerata

kecepatan pemulihan denyut nadi pada

kelompok penelitian didapatkan bahwa

kelompok 1, yaitu kelompok yang diberikan

minum air kelapa muda segera setelah

melakukan latihan treadmill sebanyak 500 ml

memiliki kecepatan pemulihan denyut nadi

yang lebih baik dibandingkan dengan

kelompok 2, yaitu kelompok yang diberikan

minum air putih 500 ml, sebesar 28,5%.

Rerata waktu yang diperlukan oleh kelompok

yang diberi minum air kelapa muda untuk

kembali ke denyut nadi istirahatnya adalah

157,29 detik atau 2 menit 62 detik

sedangkan rerata waktu untuk kelompok

yang diberikan air putih adalah 282,86 detik

atau 4 menit 71 detik.

Olahraga menyebabkan keluarnya

keringat sehingga terjadi kehilangan cairan

tubuh. Berkeringat yang banyak selama

berolahraga dapat menyebabkan kehilangan

cairan tubuh kurang lebih 1 liter tiap jam (2).

Dalam keringat terkandung berbagai macam

elektrolit dan unsur lainnya, yang bervariasi

pada tiap individu dan pada tiap individu juga

akan berbeda tergantung pada kondisi (3).

Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan

cairan yang setara dengan 2% massa tubuh

dapat menyebabkan penurunan performa

dan kehilangan cairan sebesar 5-6% dari

berat badan akan meningkatkan denyut nadi.

Olahraga akan membuat peningkatan

denyut nadi yang disebabkan oleh

berkurangnya konsumsi oksigen. Untuk

menjaga stabilitas aliran darah dalam

menyuplai oksigen dan bahan bakar energi

ke otot, maka kerja jantung secara otomatis

akan meningkat. Pemberian cairan yang

efektif akan memperkecil perubahan denyut

nadi sehingga akan menunda kelelahan dan

memperpendek lama periode pemulihan

denyut nadi8. Beberapa jenis cairan rehidrasi

dapat diberikan selama latihan/olahraga8.

Rehidrasi sesudah latihan tidak hanya

memerlukan penggantian cairan yang hilang,

tetapi juga penggantian elektrolit, terutama

sodium yang banyak keluar saat berkeringat.

Page 26: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

24

Penelitian yang dilakukanAtmaja6

menyimpulkan bahwa pemberian air kelapa

muda lebih cepat mengembalikan denyut

nadi setelah aktivitas dibandingkan dengan

pemberian pocari sweat dan teh manis,

sementaraKalman,et al7 menyatakan bahwa

tidak ada perbedaan yang signifikan antara

pemberian air dalam kemasan, air kelapa

muda dan sport drink terhadap performa fisik

setelah latihan pada laki-laki terlatih.

Air kelapa muda sebagai minuman yang

terbentuk secara alami dapat memberikan

efek hidrasi yang sama dengan minuman

olahraga yang mengandung karbohidrat-

elektrolit. Air kelapa mengandung berbagai

macam nutrisi, termasuk vitamin, mineral,

antioksidan, asam amino, enzim, faktor

pertumbuhan dan lain-lain. Semua mineral

yang ada dalam air kelapa berupa elektrolit

sehingga mudah diserap oleh tubuh. Di sisi

lain air kelapa muda memiliki rasa yang

cukup manis sehingga tidak menimbulkan

rasa mual, memberikan rasa kenyang tanpa

rasa tidak nyaman di perut4,5

.

Sebagai minuman rehidrasi, air kelapa

memiliki indeks rehidrasi yang lebih baik

dibandingkan dengan minuman olahraga

(sports drink) dan minuman penambah

stamina. Indeks rehidrasi lebih tinggi

menunjukkan bahwa air kelapa muda lebih

efektif dan lebih cepat memperbaiki

dehidrasi.

Untuk mengetahui perbandingan efek

kedua jenis perlakuan dalam mempercepat

kembalinya denyut nadi latihan ke denyut

nadi istirahat, dilihat melalui uji Mann-

Whitney. Berdasarkan hasil analisis uji

Mann-Whitney, maka rerata kecepatan

pemulihan denyut nadi antara kelompok 1,

yaitu kelompok yang diberikan minum air

kelapa muda sebanyak 500 ml setelah

latihan treadmill selama 15 menit dan

kelompok 2, yang diberikan minum air putih

dalam kemasan sebanyak 500 ml setelah

latihan yang sama adalah tidak bermakna,

yang dilihat dari nilai p yang lebih besar dari

0,05 (p > 0,05), walaupun rerata kecepatan

pemulihan denyut nadi pada pemberian air

kelapa muda lebih cepat 28,5%.

Simpulan

Rerata kecepatan pemulihan denyut nadi

pada pemberian air kelapa muda adalah

157,29 detik (2 menit 62 detik) sedangkan

pada air putih adalah 282,86 detik (4 menit

71 detik).

Rerata kecepatan pemulihan denyut nadi

antara pemberian air kelapa muda dibanding

air putih tidak berbeda bermakna (p > 0,05).

Daftar Pustaka

1. Duvillard Von S, Arciero P, Tietjen-Smith T, Alford K. Sports drinks, exercise training and competition. Curr Sports Med Rep. 2008; 7(4): p. 202-208.

2. Costill D. Sweating : Its Composition and Effects on Body Fluids in the Marathon. Ann New York Academic Science. 1977; 301: p. 160-174.

3. Plowman , Sharon A, Smith DL. Exercise Physiology for Health, Fittness, and Performance. 2nd ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer Bisiness; 2008.

4. Saat M, Singh R, Sirisinghe R, Nawawi M. Rehydration after exercise with fresh young coconut water, carbohydrate-electrolyte beverage and plain water. Journal of Physiological Anthropology and Applied Human Science. 2002;: p. 93-103.

5. Ismail I, Singh R, RG S. Rehydration with sodium-enrichedcoconut water after exercise-induced dehydration. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health. 2007; 38(4): p. 769-785.

6. Atmaja IM. Pemberian Minuman Air Kelapa Muda Lebih Cepat Memulihkan

Page 27: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

25

Denyut Nadi daripada Pemberian Minuman Isotonik danTeh Manis pada Pesilat Siswa SMP Dwijendra Denpasar.(tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2009.

7. Kalman S, Fieldman S, Krieger D, Bloomer R. Comparison of coconut water and a carbohydrate-electrolyte sport drink on measures of hydration and physical performance inexercise-trained men. Journal of The International Society of Sports Nutrition. 2012.

8. Krisnawati D, Fatimah S, Kartini A. Efek

cairan rehidrasi terhadap denyut nadi, tekanan darah dan lama periode pemulihan. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. 2011; 1(2): p. 133-138.

Page 28: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

26

DIARE ROTAVIRUS DI MATARAM

Sukardi W*, Sulaksmana SP*, Wahab A **, Soenarto Y***

*Departements of Pediatrics.Faculty of Medicine,Universitas Mataram ,Mataram

HospitalMataram,Indonesia. ** Departements of Community Health and Nutrition Research

Laboratori, Faculty of Medicine,Universitas Gajah Mada , Yogyakarta.Indonesia ***Departements

of Pediatrics, Faculty of Medicine,Universitas Gajah Mada ,Sardjito Hospital, Yogyakarta,

Indonesia.

Abstract Background: Rotavirus is the most common cause of severe diarrhea and dehydration among children aged <5 years(U5) in the industry and developed Countries, including Indonesia. Study reported prevalences of rotavirus diarrhea infection in Mataram are rarely documented. Objective: To determine the prevalence and characteristics of rotavirus diarrhea in children U5 with acute diarrhea Methods: A prospective study using "Generic protocol for rotavirus surveillance" WHO Publications, was conducted, in Mataram Hospital as a part of multi center study by "Indonesia Rotavirus Surveillance Network" (IRSN), for children U5, Those children were diagnosed as rotavirus diarrhea base on examination of stool samples using a technique of enzyme Immunoassay as published in the previous publication(Soenarto et al, 2009).They were admitted to the children's in Mataram General Hospital ward, in January-December 2010. Results: Of 329 children admitted with acute diarrhea, 210 (63.8%) rotavirus positive stool samples. Rotavirus diarrhea encountered during the year 2010, the incidence was highest in the month of January (86.4%). Rotavirus infections are found in less than 2 years of age (65.4%), the highest (68.5%) in the age group of 6 months-23 months. In addition to clinical symptoms of watery diarrhea are the most vomiting (67.8% vs32, 3%, P <0.05). The majority of G and P genotypes found that G1 (86%), G2 (12%), and P (4) 12.8%, P (6) 8%. Conclusion: Rotavirus infections are the most common cause of acute diarrhea in children aged <2 years. The increased frequency of vomiting and dehydration in rotavirus infection may pose challenges to the administration of oral rehydration salt and may increase realiance on intravenous fluid therapy, thus leading to higher treatment cost and mortality risk. Rotavirus immunization is needed to reduce morbidity and mortality.

Keywords: diarrhea, rotavirus, immunoassay Abstrak Latarbelakang : Rotavirus masih merupakan penyebab utama diare akut pada anak usia < 5 tahun(balita) di

Negara Industri dan berkembang, termasuk Indonesia. Data infeksi rotavirus di Mataram, NTB jarang dilaporkan. Tujuan : Mengetahui pravalensi dan karakteristik strain rotavirus pada anak diare akut Metode.: Penelitian prospektif menggunakan petunjuk “ Generic protocol for rotavirus Surveillance

“publikasi WHO, yang diterjemahkan oleh “ Indonesia Rotavirus Surveillance Network” (IRSN)terhadap anak balita, yang dirawat di Bangsal Anak RSU Prov Mataram bulan januari-desember 2010 dengan diagnosis diare akut..Pemeriksaan sampel feses menggunakan teknik enzyme immunoassay (Dacopatts;Daco international). Semua sampel tinja rotavirus positif dilanjutkan pemeriksaan kharakteristik strain rotavirus di Laboratorium Mikrobiologi Fk, UGM, Yogyakarta. Hasil : Dari 329 anak diare akut yang dirawat, sebanyak 210(63,8%) sampel feses rotavirus positif.

Kejadian diare rotavirus dijumpai sepanjang tahun 2010, insinden paling tinggai pada bulan januari(86,4%). Infeksi rotavirus banyak ditemukan pada usia kurang dari 2 tahun(65,4%), paling tinggi (68,5%) pada kelompok usia 6 bulan – 23 bulan. Selain diare cair gajala klinik yang paling banyak yaitu muntah (67,8%vs32,3%;P<0,05). Mayoritas genotipe G dan P yang ditemukan adalah G1(86%),G2(12%), dan P (8) 66%, P(4) 12,8%,P(6) 8% . Kesimpulan : Infeksi rotavirus merupakan penyebab terbanyak diare akut pada anak usia< 2 tahun . Gejala muntah dan dehidrasi pada diare rotavirus yang secara bermakna lebih tinggi dibanding dengan yang diare rotavirus negative,perlu mendapat perhatia, karena dapat menyebabkan gagalnya rehidrasi oral serta peningkatan pemakaian cairan intravena, tentu saja disamping resiko kematian semakin tinggi. Immunisasi rotavirus diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. Kata kunci : diare, rotavirus,immunoassay

Page 29: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

27

Pendahuluan

Diare rotavirus merupakan salah satu

penyebab utama terjadinya diare yang berat

dan kematian pada anak balita baik di

Negara maju maupun berkembang. Review

pada 1985 mendapatkan bahwa rotavirus

bertanggung jawab terhadab 20-70% diare

yang dirawat di rumah sakit dan 20% semua

kematian diare pada anak balita di seluruh

dunia.1 Laporan Global Surveillance Net

work WHO 2009, menemukan bahwa dari

43 negara yang berpartisipasi , infeksi

rotavirus merupakan penyebab 25-47%

diare akut pada anak usia kurang dari < 5

tahun.2

Di Negara berkembang dan sedang

berkembang , angka kesakitan dan kematian

penyakit rotavirus tinggi. Dilaporkan pada

daerah yang beriklim tropis diare rotavirus

berlangsung sepanjang tahun dan

puncaknya pada musim kering yaitu bulan

juli - agustus.3Data yang diperoleh dari

Asian Rotavirus Surveillance

Network(ARSN), 45% anak dengan diare di

wilayah Asia disebabkan rotavirus,

Sedangkan data yang dilaporkan Indonesia

Rotavirus Surveillance Network(IRSN) tahun

2006 menunjukan 60 % dari 2.240 anak

diare yang dirawat inap ternyata rotavirus

positif dan 41% yang dirawat jalan rotavirus

positif. Angka ini merupakan kejadian

rotavirus yang tertinggi diantara maju dan

berkembang. Sebagai penyebabkematian,

rotavirus menyebabkan 2% kematian anak

balita di Indonesia dan menduduki peringkat

ke 5 sebagai Negara dengan angka

kematian terbesar akibat rotavirus.4,8,13

Rotavirus ditularkan secara oro-fekal dan

diduga dapat ditularkan melalui droplets.

Masa inkubasi umunya berlangsung antara

24 – 72 jam. Infeksi rotavirus dapat

asimtomatik atau simtomatik. Gejala yang

timbul didahului oleh demam, muntah serta

diare cair yang menyebabkan dehidrasi

berat dan kematian . Diare rotavirus

berlangsung selama 4 – 7 hari dan 5%

kasus dapat disertai kejang.3,5

Angka kejadian diare rotavirus sama baik

di Negara industri dan Negara berkembang,

hal ini berarti perbaikan penyediaan air,

kebersihan dan sanitasi tidak dapat

mengotrol rotavirus. WHO

merekomendasikan pemberian imnunisasi

rotavirus untuk mencegah penyakit rotavirus

yang berat dan fatal.1,3,11,,12

Untuk maksud

tersebut data Surveillance Rotavirus sangat

diperlukan untuk mengetahui sirkulasi strain

rotavirus di masing-masing daerah di

Indonesia.

Penelitian ini bertujuan mengetahui

kharakteristik strain rotavirus dan manifestasi

klinik diare rotavirus Di RSU Prov.Mataram-

Lombok, yang merupakan salah satu dari 6

site Indonesia Rotavirus Survaillance

Network (IRSN)

Bahan Dan Methode

Penelitian secara prospektif mengikuti

petunjuk Generic protocol for rotavirus

Surveillanceyang dipublikasi oleh WHO6dan

distandarisasi “Indonesia Roptavirus

Suirveillance Network”(IRSN). Pupolasi anak

usia < 5 tahun dengan diagnosis diare akut

yang dirawat di RSU Prov. Mataram mulai

bulan januari – desember 2010.(Gambar 1)

Definisi diare akut adalah buang air besar

tiga kali atau lebih disertai atau tanpa lendir

Page 30: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

28

atau darah yang berlangsung kurang dari 14

hari. Kriteria eksklusi adalah anak usia

kurang 5 tahun yang sampel feses tidak

tertampung atau tidak memenuhi sarat dan

keluarga menolak mengikuti penelitian.

PalembangJakarta

Bandung

Yogyakarta

Denpasar

Mataram

Indonesian Rotavirus Surveillance Network

Java Island59% of Indonesian population

Gambar 1 : Map lokasi Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram- Lombok Indonesia

(Soenarto et al…. 2009)

Pada saat pasien masuk rumah sakit

dicatat mengenai umur dan jenis kelamin,

status nutrisi, gajala penyakit, riwayat

pengobatan, satus dehidrasi dan diagnosis

akhir menggunakan form standar dari

Indonesdia Rotavirus Surveillance

Network(IRSN). Sampel feses yang

diperoleh disimpan dalam container steril

pada suhu 4 – 8o C. selanjutnya dikirim ke

Laboratorium mikrobiologi Fk. UGM

menggunakan “ refrigerated box” dan

disimpan pada suhu – 70oC. Deteksi

rotavirus menggunakan teknik enzyme

immunoassay(Dakopatts;Dako

International). Semua sampel feses yang

positif dilanjutkan dengan pemeriksaan

kharakteristik strain rotavirus .

Hasil

Selama rentang waktu bulan januari –

desember 2010 telah dirawat 329 anak usia

< 5 tahun dengan diagnosis diare akut. 328

dari 329 anak bersedia mengikuti penelitian

dan 1 anak dikeluarkan dari penelitian

karena sampel feses tidak memenuhi sarat

untuk dilakukan pemeriksaan rotavirus.

Dari 328 sampel feses yang diperiksa

laboratorium dengan teknik emzyme

immunoassay, 210(63,8%) positif rotavirus

dan 118(36,2%) rotavirus negatif. (table 1).

Selama penelitian, tidak ada kematian

karena diare.

Page 31: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

29

Tabel 1: Caharacteristics and Clinical Symptoms of Hospitalized Children Age < 5 Years with RotavirusDiarrhea at Mataram hospital – Lombok, Indonesia 1 januari – 31 Desember 2010.

Characteristic

No (%) of Patients Enrolled (n =329)

No (%) of patients with

rotavirus-positive diarrhea

n=210(63,8%)

No (%) of patients with

rotavirus-negative diarrhea

n=118(36,2%)

odds ratio (95%Cl)

Sex Male 179 113 (63,1%) 66 (36,9%) 0,92 (0,568-

1.481)

Female 149 97 (65,1%) 52 (34,9%) 1 Age,

month

00-05bl 48 29 (60,4%) 19 (39,6%) 1.53(0.856-

2.722)

06-11bl 113 71 (62,8%) 42 (37,2%) 1.78(1.205-

2.615)*

12-23bl 130 89 (68,5%) 41 (32,5%) 2.17(1.499-

3.142)*

24-35bl 21 15 (71,4%) 6 (28,6%) 2.50(0.970-

6.443)

36-59bl 16 6 (37,5%) 10 (62,5%) 0.60(0.218-

1.651)

Clinical symptoms

Vomiting 263 178 (67,7%) 85 (32,3%) 2,23 (1.239 -

3.99)*

Fever 242 154 (63,6%) 88 (32,3%) 0,97 (0,559 -

1.660)

Dehydration 269 172 (63,9%) 97 (36,1%) 0,98 (0,515-

1.82 )

NOTE.Cl. Confidence interval*Statistically significant (P<.05)

Persentasi sampel feses rotavirus positif

pada masing masing kelompok umur cukup

tinggi, namun demikian persentasi rotavirus

positif lebih tinggi secara bermakna

ditemukan pada kelompok anak usia 6

bulan – 11 bulan (62,8%) dan 12 bulan – 23

bulan (68,5%) daripada rotavirus negatif

P<0,05(OR,1.78;95%CI,1.205-2.615 dan

OR,2.17;95% CI,1.499-3.142). Kami

temukan juga prevalensi rotavirus yang

tinggi 29/48(60,4%) pada anak usia < 6

bulan, tetapi secara statistik tidak berbeda

secara bermakna antara rotavirus positif-

negatif P>0,05 (OR,1,53:95% CI,0.856-

2.722). ( table 1)

Secara umum jenis kelamin pasien diare

akut yang kami rawat lebih banyak anak

laki-laki daripada perempuan(54,4% vs

45,6%), tetapi jenis kelamin tidak berbeda

secara bermakna antara rotavirus positif-

negatif P>0,05.

Manifestasi klinik infeksi rotavirus kami

temukan lebih banyak secara bermakna

pada anak diare disertai muntah(67,7%)

P<0,05 (OR,2.23:95% CI,1,239-3,99),

sedangkan gejala lain seperti demam dan

Page 32: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

30

dehidrasi walaupun kasus yang

kamitemukan banyak (63,6% vs 32,3% dan

63,9% vs 36,1%), namun secara satatistik

tidak berbeda secara bermakna antara

rotavirus positis-negatif. P>0,05 ( tabel 1)

Di site Rotavirus Mataram Network,

infeksi rotavirus ditemukan sepanjang tahun

2010, dengan puncaknya terjadi pada bulan

januari 86,4% kasus dan terus menurun

setiap bulan sampai bulan oktober 44,4%

kasus (gambar 2 ).

Gambar 2 : Prevalence of rotavirus infection among children < 5 years at .Mataram hospital –

Lombok,Indonesia 2010.

Pemeriksaan biomolekuler molekuler

kharakteristik strain untuk menentukan G

dan P genotye terhadap 210 sampel feses

rotavirus positif yang diperiksa dengan

teknik emzyme immunoassay. 50 dari 210

sampel feses dapat dideteksi G genotype,

mayoritas kami temukan genotype G1(86%)

, G2(12%) sampel dan 1(2%) sampel mixed

G1+ G2.

Dari 210 sampel feses 50 sampel

terdeteksi P genotype masing-masing P(8)

66%,P(4) 12% dan P(6) 8% dan Mixed P

genotype 14%.(gambar 3 )

86,4

78

68,4 73,3

61,5 65 65,2 68,8

56,5

44,4 47,5 51,9

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des

total sampel diperiksa

% rotavirus positive

Page 33: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

31

Gambar 3 : Distribution of G genotype and P genotype of rotavirus strains in Mataram,-Lombok, Indonesia 2010

Diskusi

Penelitian ini menujukkan bahwa infeksi

rotavirus perupakan penyebab diare akut

terbanyak pada anak usia < 5 tahun yang

dirawat di RSU Provinsi Mataram. Rotavirus

positif terdeteksi pada 63,8% dari 328 anak

diare akut dan hanya ( 36,2%) kasus

rotavirus negatif. Data ini lebih tinggi dari

yang dilaporkan Sunarto dkk (IRSN) 2006,

berkisar 60%, Global Surveillace network

(WHO)2009 melaporkan berkisar 25-47%

dan Asian Rotavirus Network 2004

melaporkan bahwa 45% anak diare rotavirus

dirawat di rumah sakit.2,4,13

Maria L dkk 1998, melaporkan bahwa di

Brazil, diare rotavirus positif yang dirawat

jalan 3 kali lebih banyak daripada anak yang

rawat inap7. Pada penelitian kami, data dan

sampel feses anak diare akut yang berobat

jalan sangat sulit diperoleh, karena alamat

rumah dan waktu berkunjung ke rumah sakit

sudah tidak diare lagi.

Pada daerah dengan empat musim ,

umumnya infeksi rotavirus terjadi pada

musim dingin. Dilaporkan pada daerah

beriklim tropis seperti Indonesia infeksi

rotavirus berlangsung sepanjang tahun,

dengan kejadian tertinggi pada musim panas

yaitu sekitar bulan juli dan agustus3,8

. Pada

penelitian ini, infeksi rotavirus dijumpai

sepanjang tahun 2010 dan puncaknya terjadi

pada bulan januari 86% dan persentasinya

terus menurun setiap bulan hingga pada

bulan desember 44,4%.

Secara keseluruhan mayoritas(65,4% )

kasus diare rotavirus dijumpai pada anak

usia kurang dari 2 tahun dan paling bayak

pada anak usia 6 bulan- 23 bulan(66,4%).

Persentasi rotavirus positif yang redah

pada anak usia lebih dari 6 bulan dan anak

usia lebih dari 23 bulan. Insidens diare

12%

12%

86%

66%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

mixed P type

P(8)

P(4) P(6)

14%

2% G mixed type

G1

G2

8%

Page 34: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

32

rotavirus positif yang rendah pada anak usia

kurang dari 6 bulan demungkinan anak pada

usia tersebut mendapatkan antibodi IgG

maternal yang diperoleh secara

transplasenter IgA pada anak yang masih

mendapatkan ASI eksklusif dan juga

beberapa komponen penting seperti musin

yang terbukti dapat menghambat reflikasi

serta mengikat rotavirus4,8

, demikian juga

pada anak lebih besar insidens rotavirus

yang rendah dapat disebabkan oleh

antibodi alamiah yang timbul akibat infeksi

berulang dari rotavirus. 9

Manifestasi klinik infesi rotavirus dapat

asimtomatik dan atau diare cair serta

muntah yang frekuen yang dapat

berkembang menjadi dehidrasi ringan

sampai berat. Pada penelitian ini, gejala

muntah ditemukan sangat dominan( P<0,05)

merupakan tantangan untuk rehidrasi oral

dan mungkin menyebabkan meningkatnya

penggunaan cairan intravena yang pada

akhirnya menjadi beban ekonomi, tentu saja

disamping resiko kematian semakin tinggi.

3,5,11

Rotavirus grup A merupakan virus utama

penyebab mayoritas diare pada anak usia

kurang dari 5 tahun. Berdasarkan protein

yang membungkus rotavirus , rotavirus grup

A dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe

G(glikoprotein) dan tipe P (protease sensitive

protein). Zaafrane dkk 2011, telah

ditemukan 27 tipe G dan 35 tipe

P.10

Genotope yang paling banyak ditemukan

dari survaillans di Indonesia yaitu genotipe

G9(30%) dan P(6) 56% ( Soenarto

dkk.2009).4,8

Di Mataram , kami temukan

genotype G1 (86%) , G2(12%) serta

G1+G2(2%) dan P8(66%),P4(12%),P6(8%)

serta gabungan P tipe 14%). Genotipe G9

dalam penelitian ini tidak kami temukan.

Angka kesakitan diare rotavirus yang

tinggi pada anak usia < 2 tahun baik di

Negara maju dan berkembang , termasuk

Indonesia dan khususnya di Lombok,

perbaikan penyediaan air,kebersihan dan

sanitasi tidak dapat mengontrol infeksi

rotavirus1,2,3.

. Pada Tahun 2009, WHO

merekomendasikan agar semua program

immunisasi nasional memasukan vaksin

rotavirus untuk mencegah infeksi rotavirus

yang berat dan fatal.2,12,13

Di Indonesia,

vaksin rotavirus baru dimasukan dalam

Program Immunisasi Nasional yang diberikan

secara oral pada anak usia 2 bulan, 4 bulan

dan 6 bulan.1,3,5

Kesimpulan

Di Mataram, kejadian diare akut

ditemukan sepanjang tahun 2010, infeksi

rotavirus masih merupakan penyebab

terbanyak diare akut pada anak usia< 2

tahun. Maniestasi klinik yang sangat

dominan selain diare cair( watery diarrhea)

adalah muntah- muntah dan dehidrasi.

Untuk mencegah infeksi rotavirus yang dapat

menjadi berat dan fatal diperlukan pemberian

immusisasi rotavirus pada anak usia 2

bulan sampai 6 bulan.

Acknowledgment

Kami ucapkan terimakasih pada : Staf.

Laboratorium Mikrobiologi Fk.Univ Gajah

Mada, Yogyakarta; Staf PRO(Pediatric

Resesrach Office) Bagian Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta, Staf, Bagian Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Mataram, Direktur

RSUProv. Mataram di Lombok dan semua

Page 35: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

33

pihak yang telah membantu terlaksananya

penelitian ini.

Daftar Pustaka

1. Subijanto M ,Fardah A, Ranuh G. Vaksinasi rotavirus pada anak. Dalam : Purnomo B,Karpan F,Sugeng S,Narendra M,M Noor,Oetomo T: Kumpulan Makalah Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair,2007;37: 149

2. CDC . Rotavirus Surveillance----Worldwide 2009.MMWR 2009;60;514-16. Diunduh dari: www.cdc [email protected]. diakses, 20 agustus 2012

3. Firmansyah A,Soenarto Y. Rotavirus. Dalam :Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro S, Kartasasmita B, Ismoedijanto,Soedjatmiko, penyunting . Buku Pedoman Immunisasi Di Indonesia .ed 4, Satgas Immnunisasi IDAI, Jakarta: Badan penerbit IDAI;2011;318-23

4. Soenaro Y. Diare Rotavirus Di Indonesia . Disampaikan pada acara Rakernas Himpunana Gastro-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia(PGHNAI), Bandung 2012

5. Hasibuan B, Nasution F, Guntur. Infeksi Rotavirus Pada Anak Usia di Bawah Dua Tahun. Sari Pediatri,2011;13:165-8.

6. WHO .Generic protocols for (i) hospital-base surveillance to estimate the burden of rotavirus gastroentritis inchildren an(ii) a community –base servey on utilization of health care services for gastroenteritis

in children. Fild test version. Geneva: World Health Organization,2002. Diunduh dari :http://www.who.int/vacccines-ducuments/DocsPDF02www698,pdf,diakses 6 januari 2008.

7. Lusia M, Gomes F. Epidemiological Aspects of Rotavirus Infections in Manas Garais, Brazil. Diunduh dari:www.infectoorg/bjid.htm,diakses.10 april 2012.

8. Soenarto Y,Aman A,Bakri A,Waluya H,Firmansyah A Kadin MMartiza I,Prasetyo DMulyani N,Widowati T,Soetjiningsih,Karyana IP,Sukardi W, Bresee J, Widdowson Mc. Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.. J Infect.Dis;200 suppl 1: S 188-194.

9. Tjitrasari T irmansyah A Chair I. Clinical Manifestations of Rotavirus diarrhea in the outpatient clinic of Ciptomangunkesumo Hospital, Jakarta. Paediatrica Indonesiana 2005;45:69-75.

10. Zaafrane dkk . The molecular epidemiology of circulating rotaviruses: three-year suveillace in the region of monastir, Tunisia. BMC Infect Dis.2011;11:266.

11. Wilopo SA dkk. Economic evaluation of routine rotavirus vaccination programe in Indonesia. Elsevier;2009.

12. Monos dkk. The effect of rotavirus vaccine on diarrhea motality. Intern J Epidemol,2010;39:156-62.

13. Breese dkk. First report form the Asian Rotavirus Surveillance Network. Emerg Infect Dis.2004;10(6).

Page 36: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

34

IMPLEMENTATION OF NUTRITION CURRICULUM TO UNDERGRADUATE STUDENTS IN

FACULTY OF MEDICINE, MATARAM UNIVERSITY

Eustachius Hagni Wardoyo

Faculty of Medicine, Mataram University

Abstract Objective: To describe nutrition curriculum’s implementation to undergraduate students Faculty of Medicine Mataram University (FMMU) MethodsMajor part of nutritional sciences was placed in a Metabolism and Energy block and implemented to under graduate students. Nutrition curriculum was described in three processes, they are:development, implementation and internal evaluation. Every studentsparticipatingin this block were included in the study.A semi-structure questionnaire was conducted to explore student’s perception of nutrition curriculum’s implementation. ResultsForty hours nutrition curriculum was developed and implemented to undergraduate students. Nutrition and diseases was the topic with longest duration (14.5), followed by patophysiology (7), nutrition and community (5.5), nutritional well-being and prevention (4), and each 3 hours by histology, biochemistry and physiology. Tutorial was the longest duration learning activities (28), followed by lectures (5), skills lab (3), and field visit and laboratory class each 2 hours. Among 61 participants, 52 (85.24%) students perceived that nutrition curriculum implementation helped them constructing their understanding of the subject from the basic to clinical nutrition. Sixty (98.36%) students were passed Metabolism and Energy block’s assessment (cut off: 70). Among nutrition’s topic given, nutrition and diseases were favorite subjects by 43 (70.49%), followed by nutrition and community by 8 (13.11%), nutritional well being and prevention by 7 (11.47%), and patophysiology 3 (4.91%) students. Among learning activities given, 41 (67.21%) student choose field visit as their favorite followed by skills lab by 8 (13.11%), tutorial by 6 (9.83%), laboratory and lecture each 3 (4.92%) students. Among assessment methods, Student Oral Case Analysis (SOCA)waschosen as a favorite method of assessment to 52 (85.24%) students. ConclusionNutrition and diseases was topic and tutorial was learning activity with longest duration. Most of students perceived that implementation of nutrition curriculum helped them constructing their understanding of the subject from the basic to clinical nutrition. Nutrition and diseases was the most interesting topic. Field visit was the most favorite learning activity and SOCA was choose as favorite method of assessment Keywords: nutrition education, nutrition curriculum, problem-based learning, competence-based curriculum, medical education Abstrak Tujuan Mendeskripsikan pelaksanaan kurikulum nutrisi untuk mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas

Mataram (FK Unram) Metode Pendidikan ilmu nutrisi untuk mahasiswa FK Unram sebagian besar dituangkan kedalam blok

metabolisme dan energi. Penjabaran kurikulum nutrisi dilakukan mulai dari proses pengembangan kurikulum, pelaksanaan dan evaluasi internal. Setiap mahasiswa yang mengikuti blok Metabolisme dan Energi diikutkan dalam studi ini. Persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan kurikulum nutrisi digali melalui kuisioner. HasilKurikulum nutrisi dilaksanakan dalam 40 jam pembelajaran. Durasi topik terlama adalah nutrisi klinis

(14,5), diikuti patofisiologi (7), nutrisi masyarakat (5,5), nutrisi untuk kesehatan dan pencegahan (4), kemudian masing-masing 3 jam oleh histologi, biokimia dan fisiologi. Tutorial merupakan aktivitas pembelajaran terlama (28), diikuti oleh kuliah (5), skills lab (3), kunjungan lapangan dan laboratorium masing-masing 2 jam. Diantara 61 peserta, 52 (85,24%) mahasiswa merasa bahwa pelaksanaan kurikulum nutrisi telah membantu pemahaman materi dari nutrisi dasar kepada nutrisi klinis. Enam puluh (98,36%) mahasiswa lulus blok Metabolisme dan Energi (nilai ambang: 70). Nutrisi klinis terpilih sebagai topik yang paling disukai oleh 43 (70,49%) diikuti oleh nutrisi masyarakat 8 (13,11%), nutrisi untuk kesehatan dan pencegahan penyakit oleh 7 (11,47%) dan patofisiologi oleh 3 (4,91%) mahasiswa. Sebanyak 41 (67,21%) mahasiswa memilih kunjungan lapangan sebagai aktivitas pembelajaran favorit, diikuti dengan keterampilan medik 8 (13,11%), tutorial 6 (9,83%), kelas laboratorium dan kuliah masing-masing oleh 3 (4,92%) mahasiswa. Student Oral Case Analysis (SOCA) dipilih sebagai metode penilaian terfavorit oleh 52 (85,24%) mahasiswa. KesimpulanNutrisi klinis merupakan topik dan tutorial merupakan aktivitas pembelajaran dengan durasi

terlama. Sebagian besar mahasiswa merasa bahwa pelaksanaan kurikulum nutrisi telah membantu pemahaman materi dari nutrisi dasar kepada nutrisi klinis. Nutrisi klinis sebagai topik yang paling menarik, kunjungan lapangan merupakan aktivitas pembelajaran yang paling disukai dan SOCA terpilih sebagai metode penilaian yang terpopuler.

Page 37: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

35

The traditional major emphasis of medical

education programs has been the acquisition

of basic scientific knowledge and practical

skills in well-defined subject areas. Lecture

that used to be the main learning activities,

now simply act only as instructional class

assignment or introduction to learning

objectives. Changes in the practice

environment, the recognition that alternative

instructional models may be desirable in

some cases, and the fact that instruction in

the traditional subject areas does not prepare

students for all aspects of medical practice in

the near future have driven recent curricular

changes at many schools.1,2

Nutrition education to medical students is

an important part of medical education.

Nutrition education in competence-based

curriculum confers challenge to many

medical faculties to develop nutrition

curriculum, which put the integration of

different knowledge and skills from basic to

clinical nutrition.

As medical education paradigm has

shifted to problem-based learning paradigm,

the National Academy of Science (NAS)

recommendation of 25 hours nutrition

education in 19853, recently has beyond

expectation as a specialized nutrition theme.

At FMMU, the specialized nutrition theme

called metabolism and energy block.It has

adopted theIndonesian medical council-wide

plan in 2006 that specifies desired learning

objectives and provides an instrument for

rating student achievement, but leaves the

specifics of implementing this plan to be

developed by faculty at individual

instructional sites. 1,4

Meaning that methods

for achieving these learning objectives were

intentionally left to be determined by

individual centers, departments, and block

developer.

Metabolism and energy block at FMMU

was a fifth block and implemented to first

year undergraduate student. Metabolism and

energy block was constructed in 5 weeks

plus a week of assessment or equivalent to

40 hours nutrition education plus 3 hours

assessment.Allocation of time has allowed

every medical faculty to develop nutrition

curriculum that fits to local consideration. The

study was described implementation of

nutrition curriculum to undergraduate student

FMMU.

Methods

Participant

All student participate in metabolism and

energy block was eligible to the study

Procedures

Development of nutrition curriculum

Nutrition curriculum was developed in the

following steps: 1) determine specific ways

area of competencies are addressed in a

block theme; 2) develop learning objectives;

3) distribute learning objectives into learning

activities; 4) construct methods of student’s

assessment.

Learning objectives were developed

based on area of competence of the Medical

Doctor Standard of Competence issued by

the Medical Council of Indonesia (2006).

Topic of nutrition curriculum was consisted of

histology, biochemistry, physiology,

patophysiology, nutritional well being and

prevention, nutrition and community, and

nutrition and diseases (table 1).Those

subjects distributed in learning activities as

follow: tutorial, lecture, field visit, skills lab

Page 38: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

36

and laboratory class. Methods of student’s

assessment were student oral case analysis

(SOCA), written test, student’s assignment,

laboratory class, tutorial, student’s logbook

and diet history taking. A semi-structure

questionnaire was conducted to explore

student’s perception of nutrition curriculum’s

implementation.

Table 1. Topic of nutrition

Topic of nutrition

Histology of GI tract

Biochemistry

Physiology

Patophysiology

Nutritional well being and prevention

Nutrition and community

Nutrition and diseases

Implementation of nutrition curriculum

Nutrition curriculum was implemented for 40

hours consist of 28 hours tutorial, 5 hours

lecture, 3 hours skill lab, 2 hours field visit, 2

hours laboratory class. The faculty also

provided additional time for students to learn

by themselves. Methods of student’s

assessment consist of 20 minutes of student

oral case analysis (SOCA), 2.5 hours written

test. Introduction of SOCA at FMMU has

been previously described.2Other methods of

assessment were obtained during process of

learning, such as student assignment for field

visit, laboratory class, tutorial, student’s

logbookand diet history taking for skill lab.

Lecture was delivered by experts in clinical

nutrition, dietetics, biochemistry, histologyand

community nutrition. Tutors had undergone

training as tutor and SOCA examiner.

Tabel 2. Methods of assessment

Final assessment Written test

Student oral case analysis

Process assessment Student assignment (field visit)

Laboratory class

Tutorial

Student’s logbook

Diet history taking (skill lab)

Page 39: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

37

Result

Participant’s characteristic

A number of 61 students: 43 (70.49%)

women and 18 (29.51%) men. All

participantsfulfilled 75% attendance of all

learning activities in metabolism and energy

blocks to undergo final assessment.

Implementation of nutrition curriculum

Nutrition curriculum in the metabolism and

energy block was implemented to students

who passed the previous block (infection and

immunity).

Tabel 3. Topics distribution into learning activities and timeduration(hours); Box with grey shading shows the topics given in the specific learning activities

Topics

Learning activities Time

Lecture Tutorial Field

visit Skill lab

Laboratory

clas

Histology 1 1 - - 1 3

Biochemistry 1 1 - - 1 3

Physiology - 3 - - - 3

Patophysiology - 7 - - - 7

Nutritional well

being and

prevention

- 4 - - - 4

Nutrition and

community 1.5 4 - - - 5.5

Nutrition and

diseases. 1.5 8 2 3 - 14.5

Time 5 28 2 3 2 40

A number of learning activities indicate a

number of learning objectives that should be

achieved by students in one topic. All 28

hours tutorial was fulfilled. Seven scenarios

were discussed in tutorial class.Scenario’s

themes were consists of: nutritional well

being and prevention, nutrition and

community and nutrition and disease.

Experts gave lectures 5 hours fully. Three

hours skill lab was filled by diet history taking

skill, 2 hours field visit to nutrition division of

general hospital of Mataram. Two hours

laboratory class consists of histology of

gastrointestinal tract and food biochemistry

(Table 3).

Instrumentsof curriculum’s

implementation

Instruments were developed in order to

monitor and evaluate implementation of

curriculum. The following instruments were

tabulated in table 4.

Page 40: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

38

Table 4. Instruments used in metabolism and energy block

Instruments Corresponding instrument

Time schedule Specific learning activities schedule; ie: field visit,

expert consultations

Lecture checklist -

Expert consultation list List of expert and related field of expertise

Student logbook Student logbook assessment manual

Laboratory manual Laboratory assessment manual

Tutor’s manual Tutorial assessment manual

Tutorial student’s manual List of suggested references : textbook, intranet

ebook

Skill lab student manual -

Skill lab instructor manual Skill lab assessment manual

Student’s assignment assessment

manual -

SOCA examiner’s manual SOCA’s component of assessment

SOCA’s manual of scoring

SOCA’s answering guidance manual

SOCA student’s manual “How to perform SOCA” manual

Block Manager Phone Number -

Final assessment manual Resume of scores of all learning activities

The utilization of instruments is very

important to block’s team as both internal

and external evaluation. Instrument must be

checked routinely by block’s team. Block’s

coordinatoris responsible to whole process of

implementation.

Perceptions of student

A number of 61 students were met the

criteria to follow metabolism and energy

block. Fifty two (85.24%) students perceived

that nutrition curriculum implementation

helped them constructing their understanding

of the subject from the basic to clinical

nutrition. Sixty (98.36%) students were

passed Metabolism and Energy block’s

assessment (cut off: 70). Among nutrition’s

subject given, nutrition and diseases were

favorite subjects by 43 (70.49%), followed by

nutrition and community 8 (13.11%) students,

nutritional well being and prevention 7

(11.47%) students, and patophysiology 3

(4.91%). Among learning activities given, 41

(67.21%) student choose field visit as their

favorite followed by skills lab 8 (13.11%)

students, tutorial 6 (9.83%), laboratory and

lecture each 3 (4.92%) students. Among

assessment methods, SOCA was chosen as

a favorite method of assessment to 52

(85.24%) students, followed by student’s

logbook by 5 (8.19%) students.

Page 41: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

39

Figure 1. Nutrition’s topics favored by

students

Discussion

Development and Implementation of

nutrition curriculum

Nutrition curriculum was successfully

implemented to undergraduate student

FMMU. The curricula change was acceptable

to the faculty and the students; although the

obstacles of this change were obvious, more

administrative works and more human

resources deployed in. Limitations were

found during the process of curriculum

development: the experts were not able to

get involved in most of critical processes and

when the panel meeting was held to

introduce the curriculum, the block team was

not able to explore their expertise; due to

absent or reluctant to share their opinion.

Local content of nutritional problem in West

Nusa Tenggara province should be

determined in this way. Also during the

implementation, the effort to explore any

feedback from experts found feedbacks not

correspond to the curricula.

Methods of Assessment

Pearson et al (2001) explain barriers in

nutrition education at medical school:

absence of routine nutritional assessment in

the current clinical setting and lack of

innovative teaching tools for effectiveness

and feasibility.

In the study, nutritional assessments were

divided into: process assessment and final

assessment (table 3). There are five

criteriafor determining the usefulness of a

particular method of assessment6:1)

reliability, 2) validity, 3) impact on future

learning and practice,4) acceptability to

learners and faculty, and 5) costs. The needs

of those criteria seems not be identified

previously at the beginning of curriculum

development, but at the end of

implementation, a particular methods of

assessment needed to be evaluated based

on those criteria.2 Metabolism and energy

block’s team encounter great challenges in

assessment part, especially in developing

instruments, determine what was “a good

process” meant (portfolio: student logbook)

and was it possible to establish “consensus”

cut off point passing grade which student

should achieved. Those challenges seems

need to be discussed between medical

faculties.

Innovative teaching tools include nutrition

materials and instruments described above

are lack of effectiveness and feasibility

verification. Of these, author suggested those

Page 42: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

40

barriers must be solved by national-wide

nutrition education policy.

Internal evaluation of curriculum

Curriculum development is a critical partin

education processes. In curriculum-based

competencies the expected outcome of

education processes is learner would have

several designated competencies.

Documenting the relationships between

curriculum development and learner’s

competencies,or furthermore patient

outcome representsone of the biggest

challenges and greatest opportunities in

curriculum development. Seven areas of

competencies (table 5) represent the effort to

approach the competencies at FMMU.

Competencies itself is described as

integration of knowledge, skills, attitude

andbehavior in specific context. Furthermore,

Epstein (2007) describe competencies as 1)

a habit of lifelong learning, 2) contextual;

where s/he able to perform task in particular

situation, 3) developmental, meaninghabits of

mind and behaviorand practical wisdom are

gained through deliberate practiceand

reflection on experience.7,8,9

Therefore

curriculum evaluation takes further research

with excellent infrastructure support.

Tabel 5. Specific ways area of competencies are addressed in metabolism and energy block

Effective communication:

Discussion on tutorial session

Diet history taking on skill lab session

Developing dietary plan in various conditions on SOCA

session

Basic clinical skills:

Use of clinical studies

Discussion of how to measure nutritional status

Discussion of how blood biochemistry is modified by

nutritional status

Medical science as a scientific

guidance:

Use of field visit study to nutrition division of General

Hospital

Discussion of how information of subjective and objective

data be used

Health problem management and

solving:

Student assignment of popular diet i.e. food combining,

blood group diet.

Panel discussion with expert i.e. malnutrition, diabetic, renal

failure, hepatic failure

Information management: Discussion of how to use suggested learning resources and

search additional learning resources in the web

Self-awareness and personal

growth:

Discussion of how nutrition status affected physical fitness

in self

Discussion of pattern of daily diet in self

Page 43: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

41

Tabel 5. Specific ways area of competencies are addressed in metabolism and energy block

(continuation from page 40)

Ethical judgment, moral reasoning,

medico-legal, professionalism and

patient safety:

Ethical issues on nutritional status of admitted patients in

hospital

Discussion of how nutrition can modified drug absorption,

action and efficacy

Being professional in diet history taking

Recognition of the importance of informed choice

Conclusion

Nutrition and diseases was topic and

tutorial was learning activity with longest

duration. Most of students perceived that

implementation of nutrition curriculum helped

them constructing their understanding of the

subject from the basic to clinical nutrition.

Nutrition and diseases was the most

interesting subject. Field visit was the most

favorite learning activity and SOCA was

choose as favorite method of assessment

Acknowledgement

Author thanks to metabolism and energy

block team: BM Syahrizal, D Purnaning, IAE

Widiastuti, A Ekawanti, and MF Wajdi, and

administration office team: S Roesmayadi,

Angre, Priyanti, Martina and Muparihin at

FMMU

References

1. Near JA, TR Bosin and JB Watkins III. Implementation of Competency-based Curriculum in Medical Pharmacology.

Indiana University School of Medicine. 2003. Available at http://bl-msci-near.ads.iu.edu/nearlab/teaching%20pharmacology%202002%20poster.ppt[Accessed 21

stNov 2010]

2. Wardoyo EH, BM Syahrizal, D Purnaning, IAE Widiastuti, A Ekawanti, and MF Wajdi. Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to assess student’s performance in pre-clinical setting in Faculty of Medicine, Mataram University, Cermin Dunia Kedokteran, Agust 2010; 37(6):434-436

3. Taren DL, CA Thomson, NA Koff et al.Effect of an integrated nutrition curriculum on medical education, student clinical performance, and student perception of medical-nutrition training. Am J Clin Nutr

2001;73:1107–12 4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar

kompetensi dokter. 2006. Jakarta 5. Pearson TA, EJ Stone, SM Grundy, PE

McBride, L van Horn, and BW Tobin. Translation of nutritional sciences into medical education: the Nutrition Academic Award Program. Am J Clin

Nutr 2001;74:164–70 6. VanDer Vleuten CPM. The assessment

of professional competence: developments, research and practical implications. Adv Health Sci Educ 1996;1: 41-67

7. Collins J. Medical Education Research: Challenges and Opportunities. Radiology 2006; 240(3):639–647

8. Molenaar WM, A Zanting, P van Beukelen et al. A framework of teaching competencies across the medical education continuum. Medical Teacher. 2009; 31(5):390-396.

9. Epstein RM. Assessment in Medical Education.New England Journal of

Medicine. 2007; 356(4):387-396

Page 44: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

42

PERAN EKOKARDIOGRAFI DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN SEVERITAS

STENOSIS MITRAL

Basuki Rahmat

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Abstract Mitral valve stenosis is the morbidity that is still prevalent in developing countries, including Indonesia. Mitral stenosis is one of the implications of rheumatic heart disease. Without the detection of early diagnosis and adequate treatment of mitral stenosis will cause heart failure. When heart failure has occurred then the morbidity and mortality in patients will increase. Early diagnosis will help us to provide the optimal treatment of the patient and prevent falls in the syndrome of heart failure Keywords: Echocardiography, Diagnosis, Mitral Stenosis Abstrak

Stenosis katup mitral merupakan morbiditas yang masih banyak terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Stenosis mitral yang untuk selanjutnya kita sebut sebagai mitral stenosis (MS) merupakan salah satu implikasi dari penyakit jantung rematik. Tanpa pengenalan diagnosis sejak dini dan tatalaksana yang adekuat, stenosis katup mitral akan menyebabkan gagal jantung. Ketika gagal jantung telah terjadi maka morbiditas dan mortalitas pada pasien akan semakin meningkat. Penegakan diagnosis lebih dini akan membantu kita untuk memberikan tatalaksana yang optimal dan mencegah pasien jatuh dalam sindroma gagal jantung Kata kunci: Ekokardiografi, Diagnosis, Stenosis Mitral

Pendahuluan

Penyebab tersering MS adalah penyakit

jantung rematik. Prevalensi penyakit jantung

rematik telah menurun di Amerika Serikat.

Akan tetapi prevalensi tersebut tetap tinggi di

negara berkembang seperti Indonesia.

Secara epidemiologi MS terjadi 3-4 kali lebih

sering pada wanita dibanding pria (Carabello,

2004) dan 2 kali lebih sering pada wanita

menurut American College of

Cardiology/American Heart Asscociation

(ACC/AHA) tahun 2006. Periode laten MS

pada negara maju terjadi 20-40 tahun sejak

terjadinya demam rematik, sedangkan pada

negara berkembang periode laten tersebut

terjadi lebih cepat(Bonow, et al.,2006).

Angka harapan hidup dalam 10 tahun

pasien yang terdiagnosis MS tanpa

intervensi 50-60% tergantung gejala dan

manifestasi klinis. Pada pasien yang tidak

bergejala atau gejala ringan, survival lebih

80% pada 10 tahun setelah terdiagnosis dan

60% pasien tersebut tidak terjadi progresi

gejala. Mortalitas pasien MS yang tanpa

intervensi disebabkan 60-70% perburukan

vaskular pulmonal dan kongesti sistemik, 20-

30% emboli sistemik, 10% emboli paru dan

1-5% oleh karena infeksi (Bonow, 2006).

Page 45: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

43

Tabel 1. Prognosis pasien MS tanpa intervensi,

(sumber: Rahimtoola, 2002)

Hemodinamik Stenosis Mitral

Pembukaan katup mitral saat diastolik

normalnya adalah 4-5 cm2. Setelah fase

pengisian awal terpenuhi, maka segera

diikuti fase diastasis yang cepat. Stenosis

mitral akan menyebabkan gangguan

hemodinamik ketika pembukaan maksimal

saat diastolik atau disebut mitral valve area

(MVA) <1,5 cm2 sehingga gradien tekanan

antara atrium dan ventrikel meningkat.

Seiring dengan berkurangnya MVA saat

diastolik maka tekanan atrium kiri akan

semakin meningkat sehingga akan

meningkatkan left ventricle diastolic pressure

(LVEDP). Mitral valve area yang sempit akan

menyebabkan pengisian ventrikel kiri dan

forward flow menurun. Penurunan isi

sekuncup bersamaan dengan peningkatan

tekanan atrium kiri akan menimbulkan gejala

sindrom gagal jantung walaupun

kontraktilitas ventrikel kiri pada MS murni

masih baik. Sindrom low output pada MS

murni disebabkan oleh kombinasi antara

penurunan preload akibat gangguan

pengisian ventrikel kiri dan tingginya

afterload akibat systemic vascular resistance

(SVR) yang meningkat sebagai kompensasi

kondisi low output tersebut. Pada beberapa

pasien proses rematik terus berlangsung

secara agresif sehingga disfungsi miokard

dapat kita jumpai. Walaupun kontraksi atrium

kiri (atrial kick) mempunyai kontribusi

terhadap pengisian ventrikel kiri, sebagian

besar pengisian ventrikel kiri tersebut diawali

oleh perbedaan gradien yang berasal dari

ventrikel kanan Hal ini menimbulkan

pemikiran, jika MS menjadi berat,

vasokontriksi pulmonal akan menyebabkan

pressure overload ventrikel kanan

meningkat dan selanjutnya akan

berkembang menjadi hipertensi pulmonal

yang berat (Carabello, 2004)

Page 46: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

44

Gambar 1. Perubahan hemodinamik pada stenosis mitral. (Sumber: Rahimtoola, 2002)

Derajat Keparahan

Severitas MS dapat kita kenali melalui

pemeriksaan fisik. Interval A2-OS (jarak

antara penutupan katup aorta dan opening

snap) yang pendek dan murmur diastolik

yang lama menunjukkan MS berat. Foto

torak yang baik dapat memberikan informasi

peningkatan tekanan atrium kiri. Kongesti

pulmonal menggambarkan tekanan atrium

kiri ≥ 18 mmHg, edema interstisial

menunjukkan tekanan atrium kiri ≥ 25 mmHg

dan edema pulmonal alveolar

mempresentasikan tekanan atrium kiri ≥ 35

mmHg. Tanda hipertensi pulmonal berupa

P2 (penutupan katup pulmonal) mengeras

dan adanya hipertropi ventrikel kanan tanpa

ada penyebab lainnya menunjukkan adanya

MS berat (Rahimtoola, et al., 2002).

Tabel 2. Stratifikasi derajat keparahan stenosis mitral.

(Sumber: Bonow, et al., 2006)

Page 47: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

45

Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi dapat

memberikan data yang obyektif derajat

keparahan MS berdasarkan variasi

hemodinamik dan perjalanan alamiah

penyakit tersebut dengan menggunakan

mean mitral valve gradient (MVG), tekanan

sistolik arteri pulmonalis, dan MVA (Bonow

et al., 2006). Ekokardiografi adalah modalitas

utama untuk menilai derajat dan implikasi

hemodinamik MS. Derajat MS dikuantifikasi

dengan planimetri 2D dan pressure half time

(PHT) yang merupakan pendekatan

tambahan untuk menilai area katup. Jika

tervisualisasi jelas, planimetri adalah

pendekatan terpilih untuk mengevaluasi

terutama pada pasien setelah dilakukan

balloon mitral valvuloplasty (BMV).

Pemeriksaan mean MVG dengan doppler

tergantung rate dan flow, tapi pemeriksaan

ini penting untuk menilai konsistensi derajat

MS dengan planimetri maupun PHT.

Stenosis mitral biasanya tidak memiliki

konsekuensi hemodinamik saat istirahat

pada MVA >1,5 cm2, kecuali pada pasien

dengan indek massa tubuh (IMT) tinggi.

Pemeriksaan morfologi katup penting untuk

menentukan kandidat pasien untuk dilakukan

BMV, repair katup atau pergantian katup.

Sistem skoring wilkins merupakan penilaian

morfologi katup untuk menilai penebalan,

mobilitas katup, kalsifikasi dan deformitas

subvalvar dan area comisura sebagai

prasyarat untuk dilakukan intervensi baik

BMV maupun operasi. Ekokardiografi juga

dapat digunakan untuk menilai tekanan arteri

pulmonalis, adanya regurgitasi mitral dan

penyakit katup lain yang menyertai serta

ukuran atrium kiri. Transthoracal

echocardiography (TTE) merupakan

prosedur yang cukup memberikan informasi

pada tatalaksana rutin. (Vahanian, 2007).

Tapi transesophageal echocardiography

(TEE) seharusnya tetap dikerjakan untuk

menyingkirkan trombus atrium kiri sebelum

BMV atau setelah episode emboli atau jika

TTE tidak memberikan informasi yang cukup

pada anatomi dan MR. Panduan ESC 2007

merekomendasikan TEE jika pada TTE

terdapat spontaneus echo contras atau

pasien MS dengan diameter atrium kiri > 50

mm (kelas IIa, LoE C).

Kesimpulan

Penegakan diagnosis dini stenosis katup

mitral merupakan dasar tatalaksana yang

optimal stenosis mitral sehingga pasien tidak

jatuh dalam kondisi sindrom gagal jantung.

Evaluasi klinis berupa targeted anamnesis,

pemeriksaan fisik jantung, ekg, foto torak dan

ekokardiografi merupakan standar prosedur

dalam penegakan diagnosis stenosis mitral.

Ekokardiografi adalah modalitas utama

dalam menilai severitas stenosis mitral dan

ada tidaknya trombus sebagai pertimbangan

dalam tatalaksana lebih lanjut, baik itu BMV

ataupun operasi.

Daftar Pustaka

Bonow, R. O., Carabello, B. A., Chatterjee, K., et al., 2006, ACC/AHA 2006 Guidelines for the Management of Patients With Valvular Heart Disease A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 1998 Guidelines for the Management of Patients With Valvular Heart Disease)

Carabello, B. A., 2004, Indication for Mitral Valve Surgery, J. Cardiovasc Surg; 45: 407-18.

Rahimtoola, S. H., 2008, Mitral Valve Stenosis. In Fuster, V., O’Rourke, R. A., Walsh, R. A.,and Wilson, P. P. (Ed),

Page 48: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

46

Hurst’s 12th The Heart volume two, Mc

Graw Hill. Rahimtoola, S. H., Durairaj, A., Mehra, A.,

Nuno, I., 2002, Current Evaluation and Management of Patients With Mitral Stenosis, Circulation.106:1183-1188.

Vahanian, A., 1999, Late Results of Percutaneous Mitral Commissurotomy in a Series of 1024 Patients : Analysis of

Late Clinical Deterioration: Frequency, Anatomic Findings, and Predictive Factors Circulation;99;3272-3278

Vahanian, A., Baumgarther, H., Bax, J., et al., 2007, Guideline for The Management on Valvular Heart Disease of the European Society of Cardiology, Williams&Wilkins

Page 49: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

47

THE EFFECTIVENESS OF EXERCISE AND NUTRITION INTERVENTION PROGRAMMES TO

PREVENT AND MANAGE OBESITY AMONG YOUNG POPULATION

Rifana Cholidah

Faculty of Medicine, Mataram University

Abstract Background:Childhood obesity has become a central chronic disease in this modern era. Early prevention

and effective treatment of obese children and adolescents is mandatory. Surprisingly, there are limited short- and long-term studies determining targeted interventions particularly physical activity and dietary intervention in preventing and treating obesity among the young population. Further, the efficacy of physical activity and nutritional strategies to prevent and treat pediatric obesity remains unclear. Objective: This review aims to evaluate the effect of physical activity and dietary interventions in preventing

and treating obese children and adolescents. Results: There are five main studies involved in this review. Most of the reviewed studies found significant

reductions on body weight, body mass index and body fat, and improvement on aerobic fitness and endurance time. Conclusion: The data shows the short- and long-term beneficial effects of physical activity alone and in combined intervention with dietary-behavioural approaches to treat obesity among young population. However, some studies have flawed study design such as small sample size and unmatched participants in control group. Additional research considering behavioural, dietary and physical intervention, and cost-effective approach for primary and community care are required.

Introduction

The number of obese children has

increased dramatically world-wide 1. World

Health Organization states that more than

one billion adults throughout the world are

overweight, of whom around 300 million are

obese 2. Changes in lifestyles including

increased caloric intake and sedentary

activity are assumed to be related with this

health problem 3.

Obesity is usually defined as excess

weight after adjusting for height resulting

from energy intake greater than energy

expenditure 4. Children with body mass index

(BMI) 85th to less than 95

th percentile are

considered overweight, and children with BMI

equal to or greater than 95th percentile are

categorized as obese 5.

Obesity is caused by the interaction of

contributing components. Factors such as

genetics, physiological factors, behavioral

influences (e.g. food choices and physical

activity), psychosocial consequences (e.g

externality, restraint and stress), and

socioeconomic status, are considered to

influence childhood obesity 4,6

.

Childhood obesity is associated with

several health risks during childhood

including pre-diabetes, diabetes,

cardiovascular, pulmonary, orthopaedic, and

gastrointestinal diseases 7. Another

consequence of obesity in young children is

psychosocial problems. Obese children may

get early and systemic discrimination. For

instance, boys and girls aged 10 to 11 years

prefer thinner friends rather than overweight

or obese peers. Also, obese adolescents

may develop low self-image or self-esteem

that appears to persist into adulthood 8.

Obesity-related health problems seem to

persist into adulthood 9.

Paediatric obesity is also associated with

many adverse health outcomes in adulthood,

such as hyperlipidemia, hypertension,

Page 50: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

48

abnormal glucose tolerance, insulin

resistance, and diabetes mellitus 10

. In

addition, there are consistent reports that

overweight and obese youth have an

increased risk to become overweight adults

11,12. Based on current studies in adults, it

has been suggested that lifestyle alteration

and weight control in childhood could reduce

the risk of insulin resistance, type 2 diabetes,

and cardiovascular diseases 13

.

Early prevention and effective treatment

of childhood obesity are essential and must

start during childhood 3. However, changing

behaviour is difficult, particularly behaviours

that are required for daily life. Thus,

behavioural modification and weight

management are mandated in the face of

continuing obstacles 4. This essay aims to

review the effect of exercise and nutritional

intervention programs to prevent andtreat

childhood obesity. This review will focus

mainly on studies of the exercise intervention

to treat obesity among children and

adolescents.

Obesity prevention in young population

The increased prevalence of obesity in

youth and its parallel health risks justify

extensive efforts toward prevention 14

.

Parental assistancessignificantly affect

children’s food attitude and practices

particularly during early and middle childhood

15. Based on several studies, it has been

suggested that food should not be presented

as a reward to young children since this

practice will influence preference of that food

16.

One useful strategy is promoting portion

control. This can be performed by modifying

nutrition labels on marketplace products, and

supporting single-serving packaging in order

to reduce caloric intake. Published data

suggests that increased portion size

contributes to global obesity epidemic 17

.

Reducing mass marketing of unhealthy

food to young population is another approach

to prevent childhood obesity. Around 50% of

the television advertising is for food, of which,

about 91% are high in sugar, salt and fat 16

.

Dietz and Gortmaker (2001) notes that

reducing television viewing is an essential

preventive strategy since it influences both

energy intake and energy expenditure, and

therefore indicates a reasonable target for

interventions. Current evidence indicates the

importance of physical activity in obesity

prevention of young population. However, the

optimum intensities, levels and modality of

physical activity in young population are

uncertain 14

.

The WHO recommends environmental

changes supporting physical activity, such as

walking and biking, rather than stimulating

some vigorous activities 18

. Likewise, the

Centers for Disease Control addresses

several levels of physical activity promotion

for youth integrating policy, health and

physical education, environment, parental

participation, extracurricular programs,

personal training, community approaches

and evaluation 19

.

The efficacy of dietary, behavioural and

physical interventions for the treatment of

childhood and adolescent obesity

Robinson (1999) carried out a randomized

controlled trial among elementary school

children in San Jose, Calif. The study

determined the effect of reduced sedentary

activity by reducing television watching, video

Page 51: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

49

tape and video games on changes adiposity,

physical activity and dietary intake with body

mass index as the main outcome of

measurement.

The researcher involved two public

elementary schools in the same district. One

school was randomly assigned to fulfil a

program to reduce television, videotape and

video game use. The other school was

assigned as control. They measured BMI,

self-reported media consumption, physical

activity, dietary behaviour and reports from

parents about child and family behaviour at

baseline and after the completion of

intervention 19

.

The findings indicated that children in the

intervention group had a statistically

significant reduction in BMI, triceps skinfold

thickness, waist circumference, and waist-to-

hip ratio compared with controls. In addition,

participants in the intervention group had

significantly reduced the number of meals

while watching TV compared with controls.

Reducing television viewing, videotape, and

video games can be a promising approach

on population-based strategy to prevent and

treat childhood obesity 19

.

This study observed the effect of media

use alone in adiposity, factors such as

dietary intake and physical activity which

might also influence the results, have not

been taken into account. This might lead bias

in interpreting intervention effects .

This interventions seem require a small

budget, would be easily to do in large-scale

samples and needs a few trained workers. It

seems that reducing media use such as

television, video games and videotape

among young population can be an

alternative strategy to prevent and treat

pediatric obesity. However, I think a cost-

effective program integrating the reduction in

media use, increasing physical activity and

controlling dietary intake (such as increased

consumption of fruits and vegetables and

decreased intake of energy-dense foods)

might result in more weight loss.

Since this experiment only involved two

public elementary schools, socio-

demographical diversity of participants was

not adequate to generalize the findings.

Thus, further randomized studies involving

larger and more socio-demographically

varied samples integrating physical activity

and diet interventions are required.

In the same year, Gortmaker et al. (1999)

carried out a study called Planet Health on

obese girls and boys in grade 6 to 8. This

randomized controlled field trial involved five

schools in intervention and control groups.

This 2-year school-based approach delivered

health sessions focused on decreasing of TV

viewing and high-fat food intake, increasing

consumption of fruit and vegetables, and

increasing moderate to vigorous physical

activity 20

.

Planet Health was developed to reduce

obesity by improving energy expenditure and

promoting key dietary recommendation to

take fruits and vegetables 5 a day or more.

The findings showed that the prevalence of

obesity among intervention girls

reducedsignificantly compared with control

group, but not in the intervention boys.

Among boys, the obesity was reduced in

both intervention and control group and there

was no significant different was found. Author

assumes that the different outcomes may be

due to different causal factors between girls

and boys, however there is limited scientific

Page 52: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

50

evidence supporting this hypothesis.

Alternatively, girls may be more responsive

and adjusted to the diet and activity

interventions.

I appraise that this study has some

strengths. It used the school system to

implement the interventions, in which there

are still limited studies in this area. The

participating schools should implement

physical education (PE) curriculum in the

classroom. Also, students spend a lot of time

at school, because of that it is valuable to

develop school-based interventions to reduce

the increasing prevalence of childhood

obesity. Moreover, this program involves a

large-scale and multi-ethnic study population.

However, since this approach involve

many components (e.g schools, teachers,

students, trainers and other professional

workers), this requires adequate funds to run

the program. A good partnership among

related institutions is also needed. But, this

program could be implemented if there

isgoodwill from policy makers, advantageous

partnership from all related sectors and

sufficient funds to operate this approach.

Epstein et al. (2000) performed a

randomized controlled outcome study in a

clinical setting comparing the effect of

reduction in sedentary behaviour versus

increased physical activity in the

comprehensive treatment of obesity. The

study involved ninety obese children aged 8

to 12 years old and their family. The

participants were randomly assigned into

increase activity (n=45) or decrease

sedentary (n=45) groups and treatment dose

(low vs high) 21

.

Researchers recruited the participants

from physician recommendations, television,

posters and newspaper advertisement. This

recruitment method could lead to

recruitment’s bias since the participating

sample may be people who were highly

motivated and liked to read newspaper and

watch television.

Families received weight control

education, self-monitoring introduction,

specific activity program, behavioural change

strategy and how to maintain the behavioural

changes.Participants in the physical activity

group were encouraged to increase their

physical activities both at school and home

while the sedentary activity group was

assisted to reduce their targeted sedentary

activities (e.g TV viewing, videotape and

video games use, and talking on the

telephone).They were followed up at 1 and 2

years21

.

The main finding indicated that the

targeted interventions, either decreased

sedentary behaviour and increased physical

activity, significantly decreased the

percentage of overweight and body fat and

increases aerobic fitness.

The strategies to increase physical activity

and reduce sedentary activity might work in

communities since this approach looks cost-

effective and easy to implement. These

factors makes this program likely to be

successful compared with combined program

involving many interventions which requires

substantial amount of funding, involvement of

several professional workers and high

compliance of targeted population.

However, dietary intake was not

measured in this study. I think it is important

to include participants’ dietary intake in the

measurement. Whether the interventions

might change their diet behaviour (reduced

Page 53: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

51

or increased caloric intake). Furthermore,

since not all sedentary activities and/or

physical activities were targeted, it is

interesting to determine which particular

activity contribute to the most reduction of

body fat and improve aerobic fitness. For

example, it might be possible to determine

which physical activities were most preferred

and most motivating.

In 2005, Nemet et al. performed a study

determining the effect of the combined

approaches of diet, behaviour and physical

intervention in a short- and long-term period.

By this study, researchers assessed dietary

intake, body composition, anthropometric

measurement, leisure time habits, fitness,

and lipid profile within obese Israeli young

population.

This randomized prospective study

involved 24 obese children in the intervention

group and 22 obese participants matching in

age and gender in the control group.

Researchers followed up the study in 3-

month and 1 year period.

In this multidisciplinary intervention

studies, researchers engaged a 3-month

intervention programme for participants and

parents. Both parents and subjects had 4

evening classes on childhood obesity,

general nutrition, therapeutic nutritional

intervention for an obese child, and the effect

of exercise on childhood obesity. Physicians

and dieticians were involved during the

programme.

In the dietary intervention, parents and/or

subjects had 6 meeting times with the

dietician during the 3-month program.

Participants had a balanced hypocaloric diet

contains around 5021 to 8368 kJ which

depend on children’s age and weight, a

caloric reduction of ~30% from reported

intake, or intake 15% less than the estimated

daily required intake.

This study is interesting and valuable

since it applied a programme giving a

comprehensive intervention, both dietary

approach and exercise program, with a wide-

range of assessments, such as

anthropometric and nutritional measurement,

habitual activity, fitness and serum lipid

analysis and all factors which may influence

child obestity.

However, since this 3-month project only

involved 24 obese children and 22 obese

participants matched in age and gender in

the intervention and control group

respectively, it seems that the sample was

too small and the time duration was too short

for the general judgement of the result in a

community setting. I appraise that

researchers need a larger sample size,

longer duration,and to determine costs and

effects.

Meanwhile, many children are becoming

obese or overweight, and childhood obesity

has achieved an epidemic proportion

globally, any programmes to overcome this

public health problem should be cost

effective, easy to do, and can be widely

applied in young population. This program

seems too difficult to do in large-scale

samples since it requires many professional

workers, such as physicians, dieticians, and

professional coaches for sport training

sessions. Also, this program involves several

interventions which require a high

compliance of participants to complete it.

In addition, this program was costly since

it required substantial funds for dietary and

exercise interventions, professional workers

Page 54: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

52

and all measurements (nutritional

assessment, anthropometric, habitual

activity, fitness and serum lipid

measurements). All those factors made this

program less cost effective.

Further, the project only involved 46

participants for both intervention and control

group. Hence, the authors could easily

control and monitor samples. However, it

seems that this setting approach might not

easily be applied in a larger group or

population as several factors such as

funding, human resources, policy and

variable measurements may challenge this

approach.

Eliakim et al. (2002) investigated the

effect of a weight management program on

BMI, body weight and fitness among obese

children and adolescents. This combined

dietary- exercise study involved 177 children

completing the 3 month intervention, of

whom 65 participants completed the 6 month

program. 25 children who were unable to join

this program due to some difficulties served

as controls .

For the dietary intervention, participants

received some sessions with a dietician,

nutritional education and a balanced

hypocaloric diet. Moreover, they had 1 hour

training sessions twice a week instructed by

professional coaches. All variables were

measured at baseline, 3 months and 6

months. Researchers found that there was a

significant reduction on BMI and body weight,

and a significant increase in endurance

following the 3 month program 22

.

This study is quite similar with study

carried out by Nemet et al. (2005). However,

one of the differences was this experiment

was larger sample size compared with the

study by Nemet et al. (2005) which may

contribute to the strength of the study.

Conversely, it appears that the number of

sample in the intervention group and controls

were not balance since only a small number

of participants were involved as controls.

This might lead to selection bias.

Furthermore, researchers identified some

limitations on their study. This experiment

indicated only the short-term effects of

combined dietary-behavioural-exercise

intervention while the long-term effects were

not measured. Researchers noted that they

were unable to provide substantially matched

control group. They reasoned that most

participants were interested to participate the

combined intervention. However, I think there

was no excuse for the willingness of

participants and researcher could distribute

them into intervention and control groups

properly. In a robust study design,

researchers have to completely control their

research and do not allow everyone else,

including samples, to interfere their study.

Other aspect that needs to be considered

for the implementation of this combined

dietary-behavioural-exercise approach in

large-scale participants is the cost. It seems

that this intervention requires a lot of money

in providing professional workers, such as

dieticians, nutritionists, professional coaches

and transportation cost of participants.

Similarly, this program requires a high

compliance of participants since they have to

consume a balanced hypocaloric diet, take

an hour sport session for twice a week and

visit the dietician once a month during the

program.

Page 55: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

53

Table. Summary of all reviewed studies

Source Type of Study Participants Interventions Main findings

+/-

Robinson (1999)

Randomized control trial

192 third- and fourth students in two public elementary schools

↓ TV viewing and the use of videotape and video games

Children in intervention group had statistically significant reduction

(+)

Evaluate the single effect of media use in adiposity

Seems cost-effective & easily implemented in large-scale

Need few professional workers (-)

Did not measure PA and dietary intake may lead to bias in overestimating intervention effects

Include 2 primary schools the diversity of samples was not enough to generalize the results

Gortmaker et al. (1999)

Randomized controlled field trial

1295 tudents in gr-6 to -8 in the 10 elementary schools

↓TV viewing & high-fat food intake

↑PA &fruit, vegetables intake

Significant ↓of obesity in intervention girls

No difference among boys were found

(+)

Large sample size

Comprehensive interventions

Involving school system and curriculum in the intervention

(-)

Seems not cost-effective

Not easy to do without strong policy and a good partnership among all related sectors

Epstein et al. (2000)

Randomized control outcome study

90 obese children aged 8-12 years and their families

↓ sedentary activity and ↑PA

participants in both ↓ sedentary and ↑PA group significantly decrease in the % of obesity and body fat, and ↑aerobic fitness

(+)

Seems cost-effective & easily implemented in community

(-)

Recruitment method via newspaper, posters and TV may lead to recruitment bias

Did not assessed dietary intake researchers should consider that interventions might change participant dietary intake

Nemet el al. (2005)

Randomized prospective study

24 and 22-obese children in intervention and control respectively

Short and long-term effects of of combined dietary, behavioural and PA

Beneficial short- and long- term effects of the combined intervention on changes body weight and fat percentage

(+)

A complete intervention study

(-)

Seems sample was too small for generalizable results

Too costly and difficult to do it in a large sample size

Requires high compliance of participants

Page 56: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

54

Table. Summary of all reviewed studies (continuation from page 53)

Source Type of Study Participants Interventions Main findings

+/-

Eliakim et al. (2002)

Clinical experimental

177 children

Short-term intervention of combined dietary and

(+)

A complete intervention study (-)

Un-balanced sample numbers between intervention and control may lead to selection bias

Too costly and difficult to do it in a large sample size

Requires high compliance of participants

Conclusion

In conclusion, the data in this reviewed

study shows the short- and long-term

beneficial effects of physical activity alone

and in combined intervention with dietary-

behavioural approaches to treat obesity

among young population. However, some

studies have flawed study design such as

small sample size and unmatched

participants in control group. Also, some

other studies seemed require a lot of funding

to accomplish.

There are also several studies that seem

very ideal but honestly quite difficult for

implementation of those studies in a

community setting due to some

circumstances such as too costly, required a

very high motivation and compliance of the

participants, and need a lot of professional

workers (Eliakim et al., 2002; Nemet et al.,

2005). Not all studies that seem

comprehensive and ideal are applicable and

effective to treat obese children in a large

sample size.

However, some other studies that look

simple, but effective in reducing body weight

by reducing media use and sedentary activity

alone and/or in combination with increased

physical activity and some dietary

intervention such as reduced high-fat food

intake and increased consumption of fruit

and vegetables result in similar outcomes. In

general, this program might easier in its

implementation. Also, all the studies have not

determined the very long-term results (5

years or 10 year)

Additional researches considering

behavioural, dietary and physical

intervention, and cost-effective approach for

primary and community care are required.

References

1. Morrill, A. C., & Chinn, C. D. (2004). The obesity epidemic in the United States. Journal of Public Health Policy, 25, 3(4), 353-366.

2. World Health Organization. (2003). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health Fact Sheets. Retrieved June 19, 2011, fromhttp://www.who.int/dietphysicalactivity/media/en/gsfs obesity.pdf

3. Nemet, D., Barkan, S., Epstein, Y., Friedland, O., Kowen, G., & Eliakim, A. (2005). Short-and long-term beneficial effects of a combined dietary–behavioral–physical activity intervention for the treatment of childhood obesity. Pediatrics, 115(4), e443.

Page 57: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

55

4. Spuijt-Metz, D. (2011). Etiology, treatment, and prevention of obesity in childhood and adolescence: a decade in review. Journal of Research on Adolescence,21(1), 129-152.

5. Centers for Disease Control and Prevention. (2011). BMI for childrenand teens. Retrieved at January 3, 2011 from: http://www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/bmi/bmi-for-age.htm.

6. Jebb, S. A. (1997). Aetiology of obesity. British Medical Bulletin, 53(2), 264.

7. Gahagan, S. (2004). Child and adolescent obesity. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care, 34(1), 6-43.

8. Dietz, W. H. (1998). Health consequences of obesity in youth: childhood predictors of adult disease. Pediatrics, 101(Supplement), 518.

9. Must, A., Jacques, P. F., Dallal, G. E., Bajema, C. J., & Dietz, W. H. (1992). Long-term morbidity and mortality of overweight adolescents. New England Journal of Medicine, 327(19), 1350-1355.

10. Berenson, G. S., Srinivasan, S. R., Bao, W., Newman, W. P., Tracy, R. E., & Wattigney, W. A. (1998). Association between multiple cardiovascular risk factors and atherosclerosis in children and young adults. New England Journal of Medicine, 338(23), 1650-1656.

11. Singh, A., Mulder, C., Twisk, J. W. R., Van Mechelen, W., & Chinapaw, M. J. M. (2008). Tracking of childhood overweight into adulthood: a systematic review of the literature. Obesity Reviews, 9(5), 474-488.

12. Whitaker, R. C., Wright, J. A., Pepe, M. S., Seidel, K. D., & Dietz, W. H. (1997). Predicting obesity in young adulthood from childhood and parental obesity. New England Journal of Medicine, 337(13), 869-873.

13. Steinberger, J., & Daniels, S. R. (2003). Obesity, insulin resistance, diabetes, and cardiovascular risk in children. Circulation, 107(10), 1448-1453.

14. Goran, M. I., Reynolds, K. D., & Lindquist, C. H. (1999). Role of physical activity in the prevention of obesity in children. International Journal of Obesity, 23, 18-33.

15. Birch, L. L., & Davison, K. K. (2001). Family environmental factors influencing the developing behavioral controls of food intake and childhood overweight. Pediatric Clinics of North America, 48(4), 893.

16. Sothern, M. S. (2004). Obesity prevention in children: physical activity and nutrition. Nutrition, 20(7-8), 704-708.

17. Young, L. R., & Nestle, M. (2002). The contribution of expanding portion sizes to the US obesity epidemic. American Journal of Public Health, 92(2), 246.

18. World Health Organization. (2000). Obesity: preventing and managing the global epidemic. World Health Organization Technical Report Series(894).

19. Dietz, W. H., & Gortmaker, S. L. (2001). Preventing Obesity in Children and Adolescents 1. Annual review of public health, 22(1), 337-353.

20. Gortmaker, S. L., Peterson, K., Wiecha, J., Sobol, A. M., Dixit, S., Fox, M. K., & Laird, N. (1999). Reducing obesity via a school-based interdisciplinary intervention among youth: Planet Health. Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, 153(4), 409.

21. EPSTEIN, L. H., & GOLDFIELD, G. S. (1999). Physical activity in the treatment of childhood overweight and obesity: current evidence and research issues. Medicine & Science in Sports & Exercise, 31(11), S553.

22. Eliakim, A., Kaven, G., Berger, I., Friedland, O., Wolach, B., & Nemet, D. (2002). The effect of a combined intervention on body mass index and fitness in obese children and adolescents-a clinical experience. European journal of pediatrics, 161(8), 449-454.

Page 58: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

56

PETUNJUK PENULISAN NASKAH

Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi

penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan

pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada

atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan

tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada.

TEMA TULISAN

Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk

dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan.

Tema yang dapat ditulis antara lain:

· Inovasi pembelajaran

· Pengembangan kurikulum dan modul

· Proses belajar mengajar

· Manajemen pendidikan tinggi

· Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik

· Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan

· Media ajar

· Evaluasi belajar mengajar

· Evaluasi program pendidikan

· Etika dan profesionalisme

Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain

yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima.

PANDUAN PENULISAN

a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi.

b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang

namanya tercantum sebagai penulis.

c. Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal

lainnya.

d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada

tuntutan plagiarisme dari ilmuwan lain.

e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk

penelitian yang melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian.

f. Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat

pernyataan dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga

Page 59: jurnal-kedokteran-unram-ed-3-2013

57

g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang

mengikuti aturan kaidah penulisan ilmiah.

h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata

dengan susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil

(penelitian), simpulan, kata kunci.

i. Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4.

j. Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang

umum (MS Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket)

maupun print out (rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4

tidak bolak-balik, 1 kolom, menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri,

antar paragraf ditandai dengan jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran,

rata kiri, menggunakan huruf kapital dan ditebalkan.

k. Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris.

l. Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat

korespondensi, yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari

satu diurutkan berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden.

m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak

tergantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di

bawah gambar. Tabel dan gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan

kepentingannya.

n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan

penampilan

Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke :

Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram

Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram

Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874. Fax (0370) 641717 Mataram - NTB,

Kode Pos : 83125

Korespondensi dapat melalui email : [email protected]