Burhan UNRAM 29 NOV Layananpublik
-
Upload
nurkamaljuly -
Category
Documents
-
view
37 -
download
5
Transcript of Burhan UNRAM 29 NOV Layananpublik
Kebijakan Pelayanan Publik Bidang Pendidikandi Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat
OlehBurhanuddin, M. Hum.
Dosen FKIP Unviversitas MataramEmail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kebijakan, proses dan implementasi kebijakan, kinerja kebijakan, serta rekomendasi kebijakan pelayanan pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengumpulannya menggunakan indept interview, observasi, dan kajian dokumen. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif (reduksi, display, interpretasi, dan verifikasi).Hasil analisis data menunjukkan bahwa pertama, kebijakan pendidikan di KSB mencakup ketiga pilar pembangunan pendidikan dengan titik penekanan pada aspek pemerataan kesempatan dan perluasan akses pendidikan yang perumusannya merupakan kombinasi model elit, model rasional, dan pilihan publik. Kedua, implementasi kebijakan difokuskan pada pengembangan kapasitas kelembagaan, strategi anggaran, dan manajemen sekolah, dengan pendekatan model matriks ambiguitas-konflik yang dikembangkan oleh Matland. Ketiga, model proses kebijakan pendidikan di KSB dengan mengubah sekuensi dari proses politik menjadi kebijakan, capaian kinerja kebijakan menjadi proses politik kemudian menjadi kinerja kebijakan. Keempat, kinerja kebijakan pendidikan KSB dilihat dari indikator-indikator formal menunjukkan capaian yang beragam.
Kata kunci: kebijakan, pelayanan publik, dan pendidikan
Abstract: This research aims at identifying the form of the policy, the process and the implementation of the policy, the performance of the policy, and the recommendation of educational service policy in West Sumbawa Regency (West Nusa Tenggara). The data were collected through in-depth interview, observation, and document review. The data were then analyzed qualitatively (reduction, display, interpretation, and verification).The data analysis indicates that first; educational policy in West Sumbawa Regency involves three main aspects of educational development which emphasizes on the equality of opportunity, extensification of educational access which uses three models namely elite, rational, and public choice. Second, the implementation of the policy is focused on the development of institutional capacity, budgeting strategy, and school management applying the conflict ambiguity matrix developed by Matland. Third, the model of educational policy process in West Sumbawa Regency is changing from political sequence toward policy. Fourth, the performance of educational policy in West Sumbawa Regency varies across formal indicators.
Keywords: Policy, public service, and education
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan
masyarakat memiliki dimensi yang luas, yaitu menyangkut kesejahteraan ekonomi,
pendidikan, kesehatan, lingkungan, demokrasi, dan sebagainya. Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang tidak hanya meneruskan tradisi ilmu pengetahuan tetapi pendidikan sejauh
mungkin relevan dan menghubungkan antara alat yang diberikan dengan kemungkinan
menemukan hidup yang paling baik baginya. Namun demikian, sampai saat ini pendidikan
1
nasional masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, yaitu (1) rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan; (2) rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; serta (3) lemahnya tata
kelola atau manajemen pembangunan pendidikan (Jalal & Supriadi, 2001).
Lahirnya otonomi daerah memberikan nuansa sekaligus tantangan dalam mewujudkan
pendidikan secara mandiri, bebas, dan bertanggung jawab. Pesan otonomi inilah yang harus
diterjemahkan secara cermat oleh kabupaten/kota. Menyadari hal tersebut, Kabupaten
Sumbawa Barat (KSB) sebagai daerah otonom baru menitikberatkan pembangunannya pada
aspek peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan mutu pendidikan seperti Program Wajib
Belajar 12 Tahun, Program Pendidikan Gratis, Penuntasan Buta Aksara, dan kebijakan lainnya.
Tetapi, sampai saat ini belum diketahui secara komprehensif terhadap tingkat capaian layanan
kebijakan dimaksud termasuk ketepatan dalam perumusannya. Selain itu, belum diketahui
efektivitas kinerja kebijakan tersesbut, khususnya pada ketiga pilar pembangunan pendidikan.
Efektifitas dimaksud adalah sejauhmana tingkat ketepatan dan kelayakan kebijakan dan
program, proses perencanaan dan pelaksanaannya, kepatuhan rencana dengan realisasi, capaian
yang dihasilkan dan lainnya. Atas dasar pemikiran itulah, penelitian tentang kebijakan layanan
publik bidang pendidikan di KSB penting untuk dilakukan ini penting. Penelitian ini tidak
hanya untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahannya kebijakan layanan publik tersebut tetapi
diharapkan adanya formulasi penyempurnaan perumusan kebijakan dan program pembangunan
pendidikan di KSB terutama menyangkut ketepatan cara perumusan.
Kajian ini penting dilakukan mengingat, pertama, tujuan pembangunan pendidikan di
KSB tidak mungkin tercapai dengan maksimal apabila kebijakan dan rencana pengembangan
pendidikan tidak dirumuskan, dievaluasi, dan diperbaiki secara tepat. Kedua, pelaksanaan
kebijakan dan program pembangunan pendidikan dapat dilakukan secara terencana dan
sistematis. Artinya, pelaksanaan program pendidikan dapat dilakukan secara teratur dan
bertahap jika adanya kesatuan pemahaman dan langkah dari pelaku pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah bentuk, implementasi, proses, kinerja, dan rekomendasi kebijakan
pelayanan publik pembangunan pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa
Tenggara Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
2
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bentuk, implementasi, proses, kinerja, dan rekomendasi kebijakan pelayanan
publik pembangunan pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Kajian Literatur
Kaitan dengan tujuan penelitian ini, pada bagian ini akan diuraikan kajian teori tentang
tentang teori analisis (perumusan) kebijakan pendidikan.
a. Teori Analisis Kebijakan dan Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan pada dasarnya menyangkut penanganan masalah-masalah publik
tentang pendidikan atau masalah yang menjadi kepentingan umum, sekolah, masyarakat, dan
pemerintah. First (1992) mengemukakan bahwa kebijakan adalah satu visi ke mana kita ingin
pergi dan panduan untuk mencapainya. Dalam pengembangan dan perumusan kebijakan
pendidikan diperlukan suatu analisis kebijakan. Dunn, (2000) mengemukakan bahwa analisis
kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan
kebijakan. Analisis kebijakan dapat mengkaji sebab-akibat, dan kinerja kebijakan serta
program publik. First (1992) menyebutkan bahwa analisis kebijakan merupakan suatu prosedur
menemukan, mengantisipasi, mengeksplorasi, membandingkan, dan mengartikulasikan
alternatif yang tersedia untuk mencapai sasaran tertentu. Dengan demikian, satu kebijakan
pendidikan merupakan suatu alternatif pilihan terbaik, paling tepat di antara sekian banyak
alternatif yang diemukan.
Patton dan Sawick (1986) mengemukakan enam langkah analisis kebijakan, yaitu: (1)
menverifikasi, membatasi, dan merinci masalah; (2) memantapkan kriteria evaluasi; (3)
mengidentifikasi alternatif kebijakan; (4) mengevaluasi alternatif kebijakan; (5) memilih
alternatif pilihan di antara alternatif-alternatif kebijakan; dan (6) memantau hasil (outcame)
kebijakan. Untuk merumuskan kebijakan, menurut Dunn (2000) ada lima fase dalam proses
pembuatan kebijakan, yaitu: (1) penyusunan agenda atau mengagendakan masalah-masalah
publik, (2) formulasi kebijakan, (3) adopsi kebijakan, (4) implementasi kebijakan, (5) Penilaian
kebijakan.
Selanjutnya, metode dan teknik analisis kebijakan didasarkan pada tahap-tahap proses
pembuatan kebijakan yang oleh Dunn (2000) diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1. Merumuskan masalah-masalah kebijakan
Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan yang tidak
terealisasi tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik. Perumusan masalah terdiri dari
3
beberapa fase yang saling tergantung yaitu: pencarian masalah, pendefinisian, spesifikasi,
dan pengenalan masalah.
2. Meramalkan kebijakan masa depan. Ada 3 bentuk peramalan, yaitu sebagai (a)
proyeksi adalah peramalan didasarkan pada eksplorasi atas kecenderungan masa lalu
maupun masa kini ke masa depan; (b) prediksi adalah ramalan yang didasarkan atas
asumsi teoritik; dan (c) perkiraan adalah ramalan yang didasarkan pada penilaian yang
informatif atau penilaian pakar tentang situasi masyarakat masa depan.
3. Merekomendasikan aksi-aksi kebijakan
Tahap rekomendasi adalah proses analisis kebijakan, memungkinkan analisis kebijakan
menghasilkan informasi tentang serangkaian kemungkinan tindakan untuk memecahkan
masalah yang berdampak bagi masyarakat seluruhnya. Rekomendasi merupakan kebijakan
di masa depan yang akan menghasilkan keluaran yang bernilai dari setiap alternatif
kebijakan.
4. Memantau hasil kebijakan
Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang sebab akibat dari kebijakan.
Pemantauan menghasilkan kesimpulan yang jelas bagaimana kebijakan tersebut
dilaksanakan dan hasil serta dampaknya.
5. Mengevaluasi kinerja kebijakan
Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan
serta memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kontak terhadap nilai-nilai yang
mendasar pemilihan tujuan dan target.
b. Teori Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan adalah kebijakan awal dalam kebijakan publik. Dalam khasanah
teori perumusan kebijakan, dikenal setidaknya ada 13 (tiga belas) jenis perumusan kebijakan,
yaitu teori kelembagaan, teori proses, teori kelompok, teori elit, teori rasional, teori
inkremental, teori permainan, teori pilihan publik, teori sistem, teori pengamatan terpadu, teori
demokratis, teori strategis, dan teori deliberatif.
1. Teori Kelembagaan
Formulasi kebijakan dari teori kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas
membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Teori ini mendasarkan kepada fungsi-
fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, dalam formulasi kebijakan.
Disebutkan Dye (1995), ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu pemerintah sah
membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal, dan pemerintah memonopoli
4
fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama. Teori kelembagaan merupakan derivasi
dari ilmu politik tradisional yang lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku
politik. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah
lingkungan tempat kebijakan itu diterapkan.
2. Teori Proses
Teori ini berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai
proses. Untuk itu, kebijakan publik merupakan juga proses politik yang menyertakan
rangkaian: identifikasi masalah, menata agenda formulasi kebijakan, perumusan proposal
kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
3. Teori Kelompok
Teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti
gagasannya adalah interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan. Individu
dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung
maupun melalui media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Peran sistem politik adalah untuk
memanajemeni konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui: (a) merumuskan
aturan main antar kelompok kepentingan; (b) menata kompromi dan menyeimbangkan
kepentingan; (c) memungkinkan terbentuknya kompromi dalam kebijkan publik (yang akan
dibuat); dan (d) memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
4. Teori Elit
Teori elit berkembang dari teori politik elit-massa yang melandaskan diri pada asumsi
bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan elit
dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Prosesnya, elit secara top down membuat
kebijakan politik untuk diimplementasikan oleh administrator publik kepada rakyat atau massa.
Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, negatif dan positif. Pandang negatif mengemukakan
bahwa dalam sistem politik, pemegang kekuasaan politiklah yang akan menyelenggarakan
kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Pandangan positif melihat bahwa seorang
elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-
bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya.
5. Teori Rasionalisme
Teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain,
yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan
manfaat yang optimum bagi masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa proses formulasi
kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah di perhitungkan rasionalitasnya.
5
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.
Dengan kata lain, teori ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-
cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan (a) mengetahui preferensi publik dan
kecenderungannya; (b) menemukan pilihan-pilihan; (c) menilai konsekuensi masing-masing
pilihan; (d) menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan; dan (e) memilih alternatif kebijakan
yang paling efisien. Teori rasional ini juga dikenal dengan teori “rasional komprehensif (RK)”,
yang unsur-unsurnya tidak jauh berbeda dengan teori rasional.
6. Teori Inkrementalis
Teori inkrementalis merupakan kritik terhadap teori rasional. Teori ini melihat
kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Teori ini
dapat dikatakan sebagai teori pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil
kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana
untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Inti kebijakan inkrementalis adalah
berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja
yang telah dicapai.
7. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed-Scaning)
Teori ini merupakan upaya menggabungkan antara teori rasional dengan teori
inkremental. Teori pengamatan terpadu adalah sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi
keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan
pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang
mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu
tercapai. Pada dasarnya, teori ini adalah teori yang amat menyederhanakan masalah.
8. Teori Demokratis
Teori ini dapat dikatakan sebagai “teori demokratis” karena menghendaki agar setiap
“pemilik hak demokrasi” diikutsertakan sebanyak-banyaknya. Kaitannya dengan implementasi
good governance, dalam pembuatan kebijakan, para konstituten dan pemanfaat (beneficiaries)
diakomodasi keberadaannya. Teori yang dekat dengan teori “pilihan publik” ini baik, tetapi
kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat, dan dalam kalangan
sumber daya. Namun, jika dapat dilaksanakan teori ini sangat efektif dalam implementasinya,
karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan,
karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
9. Teori Strategi
Teori ini menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan
kebijakan. Perencanaan strategis lebih memfokuskan kepada pengidentifikasian dan
6
pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di
dalam organisasi, dan berorientasi pada tindakan. Proses perumusan strategis sendiri disusun
dalam langkah-langkah (a) memprakarsai dan menyepakati proses perencanaan strategis; (b)
memahami manfaat proses perencanaan strategis, mengembangkan kesepakatan awal; (c)
merumuskan panduan proses; (d) memperjelas mandat dan misi organisasi, yang meliputi
kegiatan perumusan misi dan mandat organisasi; (e) menilai kekuatan dan kelemahan, peluang
dan ancaman; (f) mengidentifikasi isu strategi yang dihadapi organisasi; dan (g) merumuskan
strategi untuk mengelola isu.
10. Teori Permainan
Teori ini biasanya disebut teori konspiratif. Gagasan pokok teori ini adalah, pertama,
formulasi kebijakan berada dalam situasi kompetisi yang intensif, dan kedua, para aktor berada
dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi pilihan yang sama-
sama bebas atau independen. Teori ini mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional,
tetapi dalam kondisi yang tingkat keberhasilan kebijakannya tidak lagi hanya ditentukan oleh
aktor pembuat kebijakan, tetapi juga aktor-aktor lain. Konsep kunci dari teori permainan
adalah strategi, yang konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum tetapi yang paling aman
dari serangan lawan. Jadi, konsep ini mempunyai tingkat konservatifitas yang tinggi, karena
pada intinya adalah strategi defensif. Inti teori permainan yang terpenting adalah bahwa ia
mengakomodasi kenyataan paling riil – negara, pemerintahan, masyarakat tidak hidup dalam
kekosongan.
11. Teori Pilihan Publik
Teori kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah formulasi keputusan kolektif dari
individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Kebijakan ini berakar dari teori
ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang mengandaikan bahwa manusia
adalah homo economicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan.
Prinsipnya adalah buyer meet seller, supply meet demand. Intinya, setiap kebijakan publik
yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna
(beneficiaries atau consumer).
12. Teori Sistem
Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen, yaitu input, proses, dan output. Salah
satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah
dilakukan pemerintah. Jadi, formulasi kebijakan publik dengan teori sistem mengandaikan
bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik.
7
13. Teori Deliberatif
Teori deliberatif atau “musyawarah” dikembangkan oleh Maarten Hajer dan Henderik
Wagenaar (2003). Peran pemerintah dalam teori ini tidak lebih sebagai legalisator dari
“kehendak publik”. Adapun peran analisis kebijakan adalah sebagai prosesor dalam proses
dialog publik agar menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.
2. Metode Penelitian
3.1 Jenis, Setting, dan Waktu Penelitian
Sesuai dengan tujuan, penelitian ini merupakan jenis penelitian kebijakan, yang
mencakup empat aspek utama yaitu bentuk kebijakan, implementasi kebijakan, kinerja
kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Tilaar & Nugroho, 2008). Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010 dengan lama
penelitian delapan bulan, yaitu dari April hingga Desember 2010.
3.2 Sumber Data
Secara umum sumber data penelitian ini adalah keseluruhan pelaku pendidikan di KSB,
yaitu Bappeda KSB, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, sekolah pada setiap jenjang
termasuk perguruan tinggi yang merasakan dan berpendapat tentang kebijakan dan program
pendidikan di KSB. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dengan sumber
data (1) informan awal, dipilih secara purposive yang menguasai obyek kajian ini (key
informan); (2) dokumen, yaitu dokumen yang memuat informasi tertulis terkait dengan
kebijakan publik pendidikan di KSB; dan (3) tempat dan peristiwa sebagai sumber data
tambahan dilakukan melalui observasi langsung terhadap peristiwa implementasi kebijakan
pendidikan di KSB.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis sumber data, maka pengumpulan data menggunakan metode (1)
Observasi; (2) wawancara secara mendalam (in-dept interview); dan (3) dokumentasi. Untuk
menjamin keabsahan data, ada beberapa kriteria yang digunakan dalam penelitian ini
sebagaimana yang disarankan oleh Nasution (1988) yaitu: (1) kredibilitas, (2) transferabilitas,
(3) dependabilitas, dan (4) konfirmabilitas.
2.4 Teknik Analisis Data
Data diperoleh, dianalisis dengan menggunakan model analisis interaktif (Miles dan
Huberman 1984), yang mengikuti tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan
8
simpulan. Data yang telah dikumpulkan direduksi, dirangkum, dan kemudian dipilah-pilah hal
yang pokok, difokuskan untuk dipilih yang terpenting kemudian dicari tema atau polanya. Data
yang telah dipilah kemudian disederhanakan, dan data yang tidak diperlukan disortir agar
memberi kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta untuk menarik kesimpulan
sementara. Data-data tersebut kemudian dipilah dan disisikan untuk disortir menurut
kelompoknya dan disusun sesuai dengan kategori yang sejenis untuk ditampilkan agar selaras
dengan permasalahan yang dihadapi, termasuk rumusan sementara yang diperoleh pada tahap
direduksi. Penarikan simpulan dilakukan melalui kategori-kategori data yang telah direduksi
dan disajikan untuk menjawab masalah penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bagian ini akan diuraikan tentang bentuk
kebijakan, implementasi kebijakan, proses kebijakan, kinerja kebijakan bidang pendidikan, dan
alternatif rekomendasi tentang kebijakan pendidikan mendatang di Kabupaten Sumbawa Barat
(KSB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
4.1 Bentuk Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat
Kabupaten Sumbawa Barat merupakan salah satu kabupaten termuda setelah
Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang terletak di bagian barat
Pulau Sumbawa dengan jumlah penduduk 119.528 jiwa. Secara geografis Kabupaten
Sumbawa Barat terletak pada posisi 116”05’ sampai dengan 117”05’ BT dan 08”30’ sampai
dengan 09”07’ LS dengan batas, sebelah timur dan utara berbatasan dengan Kabupaten
Sumbawa; sebelah barat berbatasan dengan Selat Alas; dan sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Indonesia.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa kebijakan pemerintah
KSB yang memiliki arti strategis bagi pembangunan pendidikan. Yaitu, pertama, kebijakan
Pencanangan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan
pendidikan gratis dan perancangan peraturan daerah tentang wajib belajar 12 tahun. Untuk
mendukung kebijakan ini, Dinas Dikpora KSB telah memetakan anak-anak tidak dan putus
sekolah usia wajib belajar 9 tahun pada tahun 2007. Pada tahun 2008, dilakukan penuntasan
wajib belajar 9 tahun sehingga anak yang tidak dan putus sekolah mampu diturunkan dari 569
orang menjadi 205 orang. Lalu, pada tahun 2009 dilakukan pemetaan terhadap anak tidak dan
putus usia wajib belajar 12 tahun. Kedua, Program Subsidi Pendidikan Gratis dari semua
jenjang dan jenis pendidikan termasuk Perguruan Tinggi. Program ini digulirkan oleh
Pemerintah KSB dengan berlandaskan pada peraturan bupati yang memiliki kekuatan hukum
9
tetap. Kaitan dengan program ini, Pemerintah KSB memberikan bantuan dalam bentuk subsidi
kepada sekolah dan perguruan tinggi dengan besaran yang berbeda tiap jenjang pendidikan
yang pola pemberiannya analog dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Secara
kuantitatif jumlah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah KSB sedikit lebih tinggi dari BOS.
Kebijakan ini diimplementasikan tanpa ada panduan teknis yang dapat menuntun pihak-pihak
yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, Kebijakan Pemberian Bantuan atau Beasiswa bagi
guru, staf, dan pegawai pemerintah untuk melanjutkan studi. Kaitan dengan program ini,
Pemerintah KSB melakukan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di luar KSB.
Keempat, pengalokasian dana pendidikan melampaui 20% dari APBD KSB. Hal ini
mencerminkan bahwa adanya komitmen pemda dalam pembangunan pendidikan.
Apabila dilihat dari aspek ketepatannya, kebijakan bidang pendidikan di KSB dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dari sisi waktu, kebijakan pemerintah KSB termasuk
pembebasan biaya pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006.
Kedua, aspek pencapaian, KSB telah mampu menargetkan wajib belajar 12 tahun di atas target
nasional wajib belajar 9 tahun. Dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan KSB berada di
depan kebijakan pendidikan nasional Indonesia tetapi tetap berada pada koridor kebijakan
pendidikan yang ada.
Mencermati kebijakan pendidikan di atas, KSB memilih pola “negara kesejahteraan”,
yaitu negara menanggung kebutuhan sosial dari rakyat dari pada menyerahkan pada
mekanisme pasar atau swasta. Kebijakan ini sejiwa dengan UUD 1945 pasal 31. Analisis
terhadap bentuk kebijakan menemukan bentuk kombinasi dari proses perumusan kebijakan
pendidikan di KSB yaitu model elit, model rasional, dan pilihan publik. Dikatakan demikian,
karena publik pada dasarnya tidak dilibatkan secara efektif dalam proses perumusan kebijakan.
Salah satu alasannya adalah karena kesenjangan kemampuan berpikir antara elit dengan rakyat.
Dikatakan menggunakan model rasional, karena prinsip-prinsip dasar yang digunakan adalah
prinsip efisiensi untuk mencapai hasil yang maksimal. Dikatakan menggunakan model pilihan
publik, karena kebijakan pendidikan yang dirumuskan oleh elit secara rasional tersebut
mengacu pada pilihan utama dari rakyat (masyarakat KSB).
4.2 Implementasi Kebijakan
Dalam mengimplementasikan kebijakan bidang pendidikan, pada prinsip Pemerintah
KSB memiliki strategi, yaitu (1) strategi kelembagaan, (2) strategi anggaran, dan (3)
manajemen sekolah. Pada tataran kelembagaan, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
10
(Dikpora) KSB yang bertanggung jawab pada sektor pendidikan telah menetapkan visi
“Terwujudnya Insan yang Unggul dan Kompetitif melalui Pelayanan Pendidikan Berkualitas
dan Berkelanjutan”. Untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan enam fokus program
pendidikan, yaitu (a) meningkatkan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan; (b)
meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang pendidikan; (c) membangun komitmen
penyelenggara pendidikan; (d) menyediakan sarana prasarana pendidikan yang refresentatif;
(e) meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan relevansi layanan pendidikan; dan (f)
meningkatkan dana pengembangan pendidikan.
Secara garis besar ada beberapa langkah implementasi kebijakan pendidikan KSB.
Yaitu, pertama, memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang seluas-luasnya
(aspek pemerataan dan perluasan akses) melalui (a) Pembangunan dan Revitalisasi Sarana dan
Prasarana Pendidikan. Program ini dimaksudkan untuk memperluas akses, meningkatkan
angka partisipasi, mengurangi angka putus sekolah, angka mengulang, mengidealkan rasio
siswa per sekolah, rasio siswa per ruang kelas, pemerataan distribusi sekolah, meminimalkan
buta aksara, pemerataan distribusi program kesetaraan, distribusi oganisasi pemuda dan
olahraga; (b) Pemberian Beasiswa dan Sejenisnya. Program ini dimaksudkan untuk mencegah
dan mengurangi angka putus sekolah terutama yang disebabkan karena faktor ekonomi
maupun karena jarak tempat tinggal anak dengan sekolah sekolah yang jauh; (c) Sosialisasi
dan Kampanye Pendidikan. Program ini dimaksudkan masyarakat dan pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengakses segala informasi dan kebijakan yang berkaitan dengan bidang
pendidikan sehingga masyarakat dan pihak yang berkepentingan dapat berpartisipasi
menyukseskan program pendidikan; (d) Pengkajian dan Penelitian Pendidikan. Program ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi pendidikan yang tercakup dalam
aspek pemerataan kesempatan dan perluasan akses sehingga dapat dimanfaatkan untuk
merumuskan kebijakan/program bidang pendidikan secara berkelanjutan; (e) Pendidikan
Kesetaraan yang dimaksudkan memudahkan masyarakat dalam mengakses pendidikan yang
diwajibkan pemerintah atau agar anak usia sekolah atau warga yang belum mengenyam
pendidikan yang diwajibkan dapat mengikuti program pendidikan kesetaraan yang disebabkan
ketidakterjangkauannya oleh lembaga pendidikan formal; (f) Program Seminar,
Workshop/Lokarkarya, dan Pelatihan, yang dimaksudkan untuk mendapatkan pandangan dan
memperluas wawasan tentang penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam aspek
pemerataan kesempatan dan perluasan akses.
Kedua, peningkatan mutu pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing sesuai
dengan kebutuhan masyarakat KSB melalui beberapa bentuk programnya (a) Peningkatan
11
Mutu Guru baik melalui pemberian beasiswa, pelatihan/workshop, peningkatan kualifikasi
pendidikan, maupun peningkatan prestasi melalui lomba atau sayembara. Program ini
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu guru sehingga dapat melaksanakan tugas pokok
(terutama pembelajaran) secara profesional; (b) peningkatan mutu dan prestasi siswa, seperti
peningkatan nilai ujian akhir sekolah maupun ujian nasional, pengayaan mata pelajaran, lomba
karya ilmiah remaja, olimpide sains, dan sejenisnya; (c) Pemberian Penghargaan dan Beasiswa
Prestasi. Program ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan terhadap anak didik atau
siswa yang berprestasi sekolah atau yang memenangkan berbagai perlombaan baik di tingkat
kabupaten maupun luar daerah; (d) Pembangunan dan Pengadaan Sarana Penunjang
Pendidikan. Program ini dimaksudkan untuk melengkapi sejumlah sarana prasarana penunjang
sekolah dalam kaitannya dengan proses peningkatan mutu pendidikan seperti perpustakaan
sekolah, laboratorium, unit kesehatan sekolah, sarana olahraga, dan sebagainya; (e) Penelitian
dan Pengkajian Mutu Pendidikan; dan (f) perintisan sekolah bertaraf nasional dan
internasional.
Ketiga, penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Strategi yang
dilakukan adalah dengan meningkatkan efesiensi kelembagaan dengan melakukan
penggabungan antardinas, bukan dengan strategi kelembagaan, bukan memperbesar lembaga
dinas pendidikan di tingkat daerah. Dinas pendidikan digabung dengan kantor pemuda, dan
olah raga, membentuk dinas pendidikan, pemuda, dan olahraga (Dikpora). Ada beberapa
penjabaran program yang termasuk dalam aspek ini, yaitu (a) Program Peningkatan Kapasitas
Pendidikan, mencakup: mencakup program pendidikan dan pelatihan; Program pembangunan
dan pengadaan sarana kantor; Program Peningkatan Kapasitas Penunjang Pelaksana
Pendidikan; dan Program perekrutan pegawai dan tenaga teknis (b) Program Penelitian dan
Pengkajian Kapasitas Kelembagaan.
Faktor yang penting dalam melakukan kebijakan adalah ketersediaan anggaran. Pada
tahun 2004, tidak ditemukan alokasi anggaran pendidikan untuk mensubsidi siswa mulai
jenjang pendidikan dasar hingga sekolah menengah di KSB. Tahun 2005, terdapat mata
anggaran yang spesifik merujuk pada biaya pendidikan sebesar Rp 27.335 milyar, (termasuk
belanja pegawai dengan persentase nongaji adalah 3.52%). Pada tahun 2006, terjadi
peningkatan jumlah anggaran pendidikan untuk nongaji sebesar 8.05% sejumlah 61.643 miliar.
Tahun 2007, jumlah anggaran pendidikan mencapai 71.925 miliar dengan persentase nongaji
mencapai 8.08%. Selanjutnya, 2008 subsidi pendidikan meningkat menjadi 74.493 milyar
dengan persentase 17.80%. Meskipun secara persentase menurun namun jumlah anggaran
melewati anggaran pada tahun sebelumnya dengan alokasi untuk nongaji mencapai 8.08%.
12
Kebijakan pendidikan di KSB bertujuan untuk meratakan pendidikan yang diikuti
dengan peningkatan mutu pendidikan. Strategi anggaran pendidikan KSB adalah
meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran. Pendekatan ini dilakukan untuk mengantisipasi
operasional kebijakan pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun, meskipun dilihat dari
jumlah sudah melampui persentase sebagaimana amanat undang-undang sisdiknas. Maka,
implementasi kebijakan dengan tujuan pemerataan pendidikan bagi masyarakat dapat dicapai
dengan cara efisiensi, dalam bentuk subdisi silang. Dengan demikian, wacana tentang
minimum anggaran pendidikan 20% mempunyai relevansi yang terbatas berkenaan dengan
keberhasilan kebijakan pendidikan jika dilihat dari pos anggaran di luar gaji. Keterbatasan
relevansi tersebut juga berkenaan dengan sebagai berikut.
a. Ketidakjelasan, apakah anggaran 20% tersebut merupakan anggaran bagi lembaga yang
memayungi penyelenggaraan pendidikan. Ketidakjelasan ini berimplikasi pada makna
“pendidikan” itu sendiri dalam konteks kelembagaan pembangunan.
b. Ketidakjelasan, apakah anggaran 20% tersebut merupakan jaminan keberhasilan kinerja
kebijakan pendidikan, ataukah hanya sebagai indikator simbolik bahwa kebijakan
pendidikan telah berkinerja.
c. Ketidakjelasan, apakah yang paling penting pencapaian kinerja kebijakan pendidikan
secara maksimal dengan biaya yang mungkin tersedia, atau minimal mencapai 20%, atau
kurang.
Ditemukan bahwa KSB cenderung fokus pada output daripada input. Praktik ini sesuai
dengan pemikiran Christopher Pollit, Johnson Birchall, dan Keith Putman yang memahami
desentralisasi sebagai sebuah upaya yang bersifat ekonomis, yaitu minimalisasi biaya dari
sumberdaya yang ada dengan meningkatkan hasil atau kinerja. Drucker juga berpendapat
bahwa KSB menerapkan managing for result, dan dia juga menegaskan bahwa ”… for
management has to manage. And managing is not just passive, adapted behavior, it mean
taking action to make desired results come to pass”. Dalam kerangka pemikiran reinventing
government, pendekatan yang berorientasi pada output dikatakan oleh David Osborne dan
Peter Plastrik sebagai salah satu ciri dari pemerintahan yang melaksanakan reinventing
government.
Dalam konteks administrasi publik, pendekatan yang digunakan oleh KSB dapat
dikelompokkan ke dalam aliran New Public Management (NPM), yang pada prinsipnya
memindahkan fokus dari penyelenggaraan administrasi publik dari proses menuju hasil.
Dengan menggunakan perspektif NPM, kesulitan anggaran tidak diatasi dengan cara ekspansi
anggaran, melainkan dengan efisiensi pengelolaan pendidikan, yang termasuk di dalamnya
13
pembiayaan pendidikan dan rekonstruksi organisasi sekolah dan dinas yang membawahi
pendidikan. Anthony Jay yang mengatakan bahwa negara dan korporasi pada hakikatnya
adalah sama, yaitu mendayagunakan setiap sumber daya secara optimal.
Implementasi kebijakan pada tingkat manajemen sekolah dilakukan dengan beberapa
strategi. Pertama, pola efisiensi. Kedua, mengembangkan manajemen khusus pada beberapa
sekolah sebagai pilot project. Proses pembelajaran di sekolah ini dititikberatkan pada
pengembangan pembelajaran yang mengarah pada aktivitas belajar siswa. Pada sekolah ini,
diterapkan tata kelola yang baik dengan meningkatkan akuntabilitas manajemen sekolah
melalui pengembangan transparansi dan kemampuan manajerial kepala sekolah. Temuan di
salah satu sekolah dasar, yaitu SDN Dasan, misalnya menunjukkan bahwa transparansi
dilaksanakan secara maksimal. Ketiga, memberikan insentif khusus kepada guru. Keempat,
peningkatan kapasitas guru-guru pengajar dan manajer-manajer sekolah. Di KSB diterapkan
program peningkatan kapasitas guru secara reguler dan berkesinambungan. Kelima, pemda
memberikan dukungan anggaran bagi peningkatan kualitas tenaga pengajar, berupa dukungan
pembiayaan untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keenam, setiap tahun
bahkan hampir setiap bulan diberikan pelatihan atau workshop untuk meningkatkan kapasitas
tenaga kependidikan. Ketujuh, secara jenjang karier, guru berkesempatan untuk dipromosikan
menjadi kepala sekola atau jabatan lainnya dengan tetap mengacu pada kinerja dan prestasi.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa model kelembagaan dari implementasi
kebijakan pendidikan di KSB bersifat khas. Salah satu pendekatan implementasi kebijakan
yang dapat dipergunakan adalah model Matriks Ambiguitas-Konflik yang dikembangkan oleh
Matland.
Gambar 2. Matriks-Ambiguitas-Konflik Implementasi Kebijakan Model Matland
Konflik
Rendah Tinggi
Rendah
Ambiguitas
Tinggi
14
Administratif Politik
Eksperientasi Simbolik
Mencermati pemikiran tentang implementasi kebijakan yang dipaparkan di atas, KSB
melakukan sejumlah modifikasi dalam implementasi kebijakan baik dalam konteks
menyesuaikan dengan kondisi lingkungan kebijakan maupun dalam memastikan bahwa kinerja
kebijakan dapat dicapai sebagaimana target yang sudah ditetapkan.
4.3 Proses Kebijakan
Analisis terhadap proses kebijakan pendidikan, ditemukan bahwa proses kebijakan
berbeda dengan yang dikenal pada kepustakaan kebijakan publik. Kebijakan pembebasan biaya
sekolah bagi siswa sekolah di KSB, tidak ditemukan kebijakan dalam bentuk peraturan legal
formal seperti perda untuk dijadikan sebagai dasar hukum yang bersifat formal. Prinsipnya,
sejak awal pemerintahan KSB, bupati memerintahkan agar setiap sekolah negeri di KSB tidak
boleh memungut biaya pendidikan. Hal yang sama terjadi pada kebijakan pemberian beasiswa
untuk siswa yang kurang mampu dan berprestasi. Salah satu penyebab yang paling kuat adalah
model kebijakan adalah melakukan trial out dengan cara melakukan implementasi secara
langsung tanpa melalui kerangka kebijakan, sambil dikontrol dengan ketat, setelah berhasil,
baru kemudian dilembagakan dalam bentuk kebijakan publik.
Temuan lapangan ini merupakan penyimpangan dari model proses kebijakan publik
ideal, yang lazimnya berjalan secara berurutan dari rumusan kebijakan, implementasi
kebijakan, untuk menuju pada kinerja kebijakan seperti tertuang dalam bagan 3 berikut.
Bagan 3. Proses Kebijakan
Input Proses Output
Lingkungan Kebijakan
Model proses kebijakan ini berbeda dengan KSB dengan menerapkan gagasan menjadi
kebijakan langsung kepada implementasi kebijakan yang diikuti oleh dengan pelembagaan
dalam bentuk perumusan kebijakan. Sehingga proses kebijakan diselenggarakan di KSB
15
Isu kebijakan (agenda Pemerintahan)
Formulasi Kebijakan
Implementasi kebijakan
Kinerja Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Proses Politik
Proses Kebijakan
berlainan dengan teori yang ada. Modifikasi kebijakan dilaksanakan dengan mengubah
sekuensi dari proses politik, menjadi kebijakan, dan kemudian dicapai kinerja kebijakan,
menjadi proses politik, langsung kepada kinerja kebijakan.
Model proses kebijakan publik pendidikan KSB mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihannya adalah mempunyai efektivitas dan efisiensi yang relatif tinggi, yang dibuktikan
dengan pencapaian kinerja yang baik, tanpa ada konflik yang tinggi, dan didukung oleh
sebagian besar publik. Kelemahan utama dari model ini adalah tidak mudah untuk direplikasi
di tempat lain, maupun di tempat yang sama dengan waktu yang lain, karena prosesnya
memerlukan intervensi yang kuat dari pimpinan daerah yang kompeten dan berkomitmen.
Kelemahan lain adalah, keberhasilan kebijakan publik pendidikan KSB tergantung kepala
daerah sehingga kesinambungan kinerja kebijakan lebih tergantung kepada person institusi.
4.4 Kinerja Kebijakan Pendidikan KSB
Kinerja kebijakan pendidikan KSB dilihat dari indikator-indikator formal yang
dikembangkan oleh pemerintah secara nasional, yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka
Partisipasi Murni (APM), Angka Putus sekolah (APS) atau drop out (DO), tingkat
melanjutkan, dan kelulusan.
1. Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah persentase jumlah siswa pada jenjang
pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia sekolah. Kegunaan APK
adalah untuk mengetahui banyaknya usia anak sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang
pendidikan. Selanjutnya, Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase jumlah siswa pada
jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia sekolah. Data
tahun 2008 menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja kebijakan dilihat dari APK dan APM.
Untuk lebih jelas perhatikan tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Angka Partisipasi Kasar dan Murni Per Jenjang Pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat
TAHUNTK/RA SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
APK APM APK APM APK APM APK APM2005/2006 31,64 25,29 113,55 98,53 86,80 79,38 67,57 47,852006/2007 34,67 33,53 114,02 98,90 90,97 82,50 70,59 61,672007/2008 41,29 35,75 115,19 100,00 96,98 87,92 78,93 72,84
Sumber: Pengolahan Data Profil Pendidikan KSB 2008
16
2. Angka Putus sekolah (APS) atau Drop out
Angka Putus Sekolah (APS) atau angka drop out adalah persentase siswa yang
meninggalkan sekolah sebelum lulus pada jenjang pendidikan tertentu. Kegunaaanya adalah
untuk mengetahui banyaknya siswa yang putus sekolah di suatu daerah. Sesuai Keputusan
Menteri No. 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan bahwa untuk
pendidikan dasar, APS tidak boleh melebihi 1% dari jumlah siswa yang bersekolah (pasal 3 (1)
(b)).Untuk tingkat sekolah menengah pertama, APS tidak boleh melebihi 1% dari jumlah siswa
yang bersekolah (pasal 3 (2) (b)). Untuk sekolah menengah atas, APS tidak boleh melebihi 1%
dari jumlah siswa yang bersekolah. Data 2008, APS KSB sudah melampaui SPM nasional. Hal
ini menunjukkan kinerja kebijakan publik bidang pendidikan sudah tercapai. Untuk lebih jelas
perhatikan tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Angka Putus Sekolah di Kabupaten Sumbawa Barat
Tahun SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA2005/2006 1.20 1.15 1.022006/2007 0.98 0.75 0.892007/2008 0.76 0.64 0.72
APS 1.00 1.00 1.00
Sumber: Pengolahan Data Profil Pendidikan KSB 2007
3. Tingkat Kelulusan dan Angka Melanjutkan
Rata-rata nilai kelulusan siswa apabila diukur dari hasil yang diperoleh dari ujian akhir
di KSB mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan bahwa ujian akhir nasional (UAN) pada
tahun 2007, rata-rata nilai kelulusan untuk SD/MI mencapai 6,67 sedangkan SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK masing-masing rata-rata 5,11 dan 5,52 dan ketiganya memenuhi angka
standar nasional. Tetapi pada tahun 2008 terjadi penurunan tingkat kelulusan untuk SMP/MTs
dan SMA/MA/SMK, hingga menempati posisi terendah dari sembilan kabupaten/kota di NTB,
bahkan berada di bawah angka rata-rata secara nasional 80.76%. Berbeda dengan tingkat
SD/MI justru mengalami peningkatan, yaitu mencapai 99.89%. Kondisi ini mencerminkan
kinerja kebijakan pada aspek tingkat kelulusan tidak mencapai target sesuai dengan rencana
kebijakan.
Berkenaan dengan penilaian tingkat melanjutkan (sekolah), sejak tahun 2006, terjadi
peningkatan peserta didik yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini
terjadi sebagai hasil kebijakan wajib belajar 12 tahun, subsidi pendidikan gratis, dan pemberian
beasiswa untuk melanjutkan studi.
17
Dari temuan ini dapat dikatakan, kemajuan pembangunan pendidikan tidak hanya
ditentukan oleh faktor kaya-miskin dari suatu daerah, melainkan oleh kemampuan daerah
mengelola sumber daya yang ada. Apabila HDI dikembalikan pada konsep dasarnya, yaitu
membangun kualitas kehidupan masyarakat maka pembangunan pendidikan di KSB telah
mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat KSB. Mengikuti pemikiran Tilaar,
kebijakan pendidikan KSB mengacu pada paradigma pendidikan modern yang dari sisi
ekonomi, epistemanya adalah investasi SDM untuk membangun efisiensi dan kemampuan
bersaing; dari sisi politik epistemanya adalah membangun politik kewarganegaraan, individu
ditransformasikan dari politik individu dan komunal menjadi politik kewarganegaraan dan
pengembangan demokrasi; dari sisi sosial budaya, epiteminya adalah pengembangan manusia
yang mempunyai kohesi sosial yang tinggi, modal sosial dalam bentuk rasa saling percaya,
dan dalam bentuk kultural berbentuk penguatan nilai-nilai budaya setempat; dan dari sisi
pedagogis memandang anak dalam masyarakat, dan bukan anak dikeluarkan dari masyarakat.
4.5 Rekomendasi Alternatif Kebijakan
Pertama, elit lebih banyak sebagai inisiator utama kebijakan, maka dipandang perlu
untuk mengaktifkan mekanisme perumusan kebijakan dengan memanfaatkan saluran informasi
yang dimulai dari simpul masyarakat terkecil hingga pada level MEP (Manajemen Eksekutif
Puncak) di Dinas Dikpora KSB. Untuk itu perlu membentuk Policy Centre yang melibatkan
berbagai pihak. Kehadiran policy centre tidak berarti akan mengambil alih tugas dan fungsi
birokrat (elit), tetapi keduanya (elit dan masyarakat) dapat dikoordinasikan sebagai unit-unit di
bawah kewenangan Bupati/Kepala Dinas untuk mensuplai kebutuhan masyarakat dalam
bidang pendidikan. Policy Centre, harus didukung oleh tenaga profesional yang memahami
siklus kebijakan publik dan tata alir informasi, dan teknik pemecahan masalah di bidang
pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk: a) lebih menguatkan masyarakat dalam melakukan
bargaining dengan Dinas Dikpora menyangkut pemenuhan kebutuhannya; b) mensuplai bahan
kebijakan ke pusat kebijakan di tingkat Pemerintah KSB; c) meningkatkan keakurasian
kebijakan pendidikan untuk masyarakat KSB.
Kedua, mendorong penguatan institusi kemitraan di bidang pendidikan, misalnya Pusat
Pengembangan dan Pengendalian Mutu Pendidikan. Institusi ini diberi ruang kontrol yang
memadai terhadap penetapan kebijakan dan strategi pendidikan dan diberi akses dalam
mempengaruhi kebijakan mengenai: anggaran, guru, infrastruktur, dan lainnya. Hal ini
18
dipandang penting sebagai pengimbang formal jika dapat diregulasi dalam bentuk Peraturan
Bupati di KSB.
Ketiga, pemetaan kondisi pendidikan secara obyektif dan berkesinambungan per tahun
yang dapat mencerminkan konfigurasi animo masyarakat dan kesiapan institusi pendidikan
serta penataan dan strukturisasi hubungan kerja antar dan inter institusi pendidikan di dalam
birokrasi pendidikan dan sekolah-sekolah sehingga menjadi jelas. Untuk itu, maka di tingkat
Dinas Dikpora perlu dibentuk CoPC (Coordination of Policy Centre) dengan sistem kerja yang
diadopsi dari SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap).
Keempat, melalui mekanisme umpan balik, perlu dilakukan reorientasi kebijakan
pendidikan yang nyata-nyata tidak memiliki nilai responsivitas memadai, dengan
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan transparansi.
4. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan bahasan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu sebagai
berikut.
a. Kebijakan pelayanan publik di bidang pendidikan di KSB
mencerminkan kekhasan secara konseptual terutama dalam hal proses kebijakan.
b. Implementasi kebijakan pendidikan di KSB mencakup ketiga pilar
pembangunan pendidikan (pemerataan, mutu, dan tata kelola) yang difokuskan pada aspek
pemerataan. Hal ini dapat dicermati melalui fokus dan kategori program yang
diimplementasikan.
c. Proses perumusan kebijakan menemukan bentuk kombinasi dari
proses perumusan kebijakan pendidikan model elit, model rasional, dan pilihan publik.
Proses kebijakan di KSB sangat khas secara teoritis, yaitu setelah penetapan gagasan,
kebijakan langsung diimplementasikan diikuti dengan pelembagaan dalam bentuk
perumusan kebijakan.
d. Kinerja kebijakan pendidikan di KSB dilihat dari indikator formal
yang dikembangkan oleh pemerintah secara nasional menunjukkan capaian signifikan dan
beragam.
5.2 Saran
19
Kebijakan publik bidang pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat merupakan
kebijakan strategis tidak hanya secara nasional tetapi juga implementatif yang bersifat problem
solving. Secara nasional strategis karena telah menyentuh ketiga pilar tujuan pendidikan secara
nasional. Kebijakan pada aspek pemertaan kesempatan dan perluasan pendidikan di Kabupaten
Sumbawa Barat juga memiliki arah pada aspek peningkatan mutu pendidikan dan penguatan
tata kelola pendidikan. Capaian kebijakan di atas pada beberapa aspek kebijakan perlu
deorientasi kebijakan dan beberapa aspek yang lain perlu dikontinuitaskan. Dengan kata lain
pengubahan orientasi kebijakan publik bidang pendidikan di masa akan datang harus lebih
diarahkan pada aspek peningkatan mutu dan penguatan tata kelola dengan tetap tidak
meninggalkan aspek pemerataan kesempatan dan perluasan aspek pendidikan.
Daftar Pustaka
Burhanuddin, dkk. 2008. “Profil Pendidikan Kabupaten Sumbawa Barat”. Taliwang: Bappeda Sumbawa Barat.
Dunn, W.N. 2000. Public Policy Analysis: An Introduction (Terjemahan S. Wibawa, dkk). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dye, T.R. 1992. Understanding Public Policy. London: Prentice Hall Inc.Dye, T.R. 1995. Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall.First, P.F. 1981. Education Policy for School Administration. Boston: Allyn and Bacon: FX Sudarsono. 1994. Penelitian Evaluasi, Implementasi, dan Kebijakan. Yogyakarta: Lemlit
IKIP Yogyakarta.Hill, M. & Peter. H. 2006. Implementing Public Policy. London: Sage.Isacc, S. & Michael, W.B. 1982. Handbook in Research and Evaluation. Sain Diego: C.A.
Edits.Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Adi Cita.Kaufman.R. & Thomas, S. 1982. Evaluation Without Fear. New York: Points.Matland, R. E. 1995. “Syntesizing the Implementation Literature: The Ambiguity-Conflict
Model of Policy Implementation”, Journal of Public Administration Research and Theory, 5.
Miles, M.S., & Huberman, A.M. 1984. Qualitative data analysis: A sourcebook of mew methode. Baverly Hills: Sage Publications.
Muhadjir, N. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Stuffebeam. L. &. Shinkfield. J. 1985. Systematic Evaluation. Boston: Kluwer Nijhoff Publishing
Suharsimi Arikunto 1989. Manajemen penelitian. Jakarta: Depdikbud.Supriyoko, 2002. Konsep Broad Based Education dalam Kerangka Mengembangkan
Keterampilan Hidup Masyarakat. Makalah dalam Tilaar “Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru”. Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. & Nugroho, R. 2008. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
20
Zamroni. 1999. Dampak Proyek terhadap Peningkatan Mutu SMU. Dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan, Desember, tahun ke 5 No. 020. Jakarta: Depdiknas.
Zamroni. 2000. Paradigma pendidikan masa depan. Yogyakarta: BIGRAF.
21