Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78 Makassar ... · jagung per hektar dari setiap musim...
Transcript of Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78 Makassar ... · jagung per hektar dari setiap musim...
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
1
PENERAPAN SISTEM AGRIBISNIS TERHADAP PENINGKATAN
PENDAPATAN PETANI JAGUNG DI KABUPATEN MAROS
Andi Amran Asriadi
Program Studi Agribisnis Pertanian,
Universitas Muhammadiyah Makassar
Email: [email protected]/
Abstrak
Penerapan sistem agribisnis meliputi subsistem sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan
pasca panen, dan pemasaran produk. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui mekanisme sistem
pendamping terhadap pengembangan agribisnis di Kabupaten Maros; (2) mengetahui penerapan sistem
agribisnis pada petani jagung baik yang menggunakan pendamping maupun mandiri; dan (3) besaran
tingkat pendapatan agribisnis jagung pada tingkat petani. Penelitian ini menggunakan metode survei
dengan teknik wawancara. Pengambilan sampel ditentukan berdasarkan teknik penyampelan acak
sederhana dengan jumlah representatif sampel sebesar 15% dari total responden di dua desa penelitian,
sehingga jumlah responden sebanyak 52 orang. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder
yang dianalisis secara deskriptif-kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mekanisme pendampingan responden petani jagung dengan pemberdayaan petani melalui subsistem
agribisnis hulu, subsistem usahatani, pengolahan hasil, dan pemasaran petani jagung dalam hal
pendampingan di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros masih perlu ditingkatkan produksi agar
pendapatan petani dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tingkat pendapatan rerata petani
jagung per hektar dari setiap musim tanam petani pendampingan lebih tinggi jumlah produksinya dan
usahatani jagung hibrida sebesar 214.610 kg.ha-1 dengan total biaya produksi yang dikeluarkan sebesar
Rp. 5.075.687.5 ha-1. Harga jagung hibrida pipil kering yang berlaku pada saat penelitian berlangsung
adalah Rp. 2.500 kg-1, sehingga total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 10.317.788 ha-1. Hasil
pendapatan petani memperlihatkan jumlah keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.5.242.101. Penelitian
ini juga menemukan pengaruh nyata penerapan subsistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan hasil,
dan pemasaran secara serempak terhadap pendapatan petani. Jadi, secara parsial sistem agribisnis hulu,
budidaya, pengolahan dan usahatani dalam hal pendampingan responden berpengaruh nyata terhadap
pendapatan, sedangkan subsistem pemasaran tidak berpengaruh nyata dalam hal pendampingan
responden.
Kata Kunci: penerapan sistem agribisnis, pendapatan petani jagung
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
2
PENDAHULUAN
Agribisnis adalah suatu usaha tani yang
berorientasi komersial atau usaha bisnis
pertanian dengan orientasi keuntungan. Salah
satu upaya yang dapat ditempuh agar dapat
meningkatkan pendapatan usahatani ádalah
dengan penerapan konsep pengembangan
sistem agribisnis terpadu, yaitu apabila sistem
agribisnis yang terdiri dari subsistem sarana
produksi, subsistem budidaya, subsistem
pengolahan dan pemasaran dikembangkan
secara terpadu dan selaras. Agribisnis
merupakan cara baru melihat pertanian dalam
arti cara pandang yang dahulu dilaksanakan
secara sektoral sekarang secara intersektoral
atau apabila dahulu dilaksanakan secara
subsistem sekarang secara sistem (Saragih,
2001).
Fungsi–fungsi agribisnis mengacu
kepada semua aktivitas mulai dari pengadaan,
prosesing, penyaluran sampai pada pemasaran
produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani
atau agroindustri yang saling terkait satu sama
lain. Dengan demikian, agribisnis dapat
dipandang sebagai suatu sistem pertanian yang
memiliki beberapa komponen subsistem yaitu,
sub sistem agribisnis hulu, usaha tani, sub
sistem pengolahan hasil pertanian, subsistem
pemasaran hasil pertanian dan sub sistem
penunjang, dan sistem ini dapat berfungsi
efektif bila tidak ada gangguan pada salah satu
subsistem (Said, dkk, 2001), Pemberdayaan
Masyarakat adalah proses dimana masyarakat
khususnya mereka yang kurang memiliki akses
kepada sumberdaya pembangunan didorong
untuk semakin mandiri dalam mengembangkan
perikehidupan mereka (Suryana,2003).
Jagung merupakan tanaman pangan
yang tumbuh melalui benih. Benih memberi
andil besar dalam usaha peningkatan produksi
tanaman, disamping faktor-faktor produksi
lainnya. (Adisarwanto dan Yustina, 2002).
Jagung mempunyai peluang untuk
dikembangkan karena perannya untuk bahan
pangan sebagai sumber karbohidrat dan
protein, disamping itu juga berperan sebagai
bahan pakan ternak, bahan baku industri dan
rumah tangga (Ditjen Tanaman Pangan, 2002).
Permintaan jagung mempunyai kecenderungan
meningkat sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan industri. Di tingkat dunia
permintaan akan jagung juga semakin
meningkat, sulit didapat dan mahal harganya,
karena pengekspor jagung terbesar
di dunia seperti Amerika Serikat telah
mengurangi ekspornya karena kebutuhan
dalam negerinya semakin meningkat,
khususnya untuk industri bioetanol. Indonesia
dalam perdagangan jagung dunia adalah
sebagai net importir. Dimana, impor jagung
selama kurun waktu 1990-2003 rata-rata 750
ribu ton per tahun, sehingga kebijakan
pengembangan sentra pertanaman jagung
nasional sangat diperlukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Jagung merupakan
tanaman pangan yang tumbuh melalui benih.
Menurut Adisarwanto dan Yustina (2002),
benih memberi andil besar dalam usaha
peningkatan produksi tanaman, disamping
faktor-faktor produksi lainnya.
Potensi Pengembangan Jagung di
Sumatera Selatan Potential Development of
Cultivation in South Sumatra. Hasil penelitian
menunjukkan permintaan jagung terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan industri. Upaya
pemenuhannya dapat dilakukan dengan
peningkatan produktivitas melalui kegiatan
ekstensifikasi dan intensifikasi pertanaman
jagung. Data statistik memperlihatkan bahwa
luas panen maupun produksi jagung
di Sumatera Selatan selama periode 2000-2012
sangat fluktuatif tetapi memiliki
kecenderungan meningkat sejak tahun 2006.
Luas lahan yang sesuai untuk pengembangan
jagung di Sumatera Selatan yakni sebesar
898.877 ha. Luasan ini terdiri dari luas lahan
intensifikasi (205.709 ha), lahan ekstensifikasi
(159.444 ha) dan lahan diversifikasi (533.724
ha). Demplot BPTP Sumatera Selatan di lahan
pasang surut menunjukkan produktivitas yang
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
3
signifikan. Pada tahun 2010, demplot PTT
jagung di Desa Mulyasari Kec. Tanjung Lago
Kab. Banyuasin menunjukkan hasil Bima 4
(8,8 t/ha), Bima 5 (8,3 t/ha), dan Bisi 2 (8,4
t/ha), sedangkan pada tahun 2011 demplot PTT
jagung di Desa Banyuurip Kec. Tanjung Lago
Kab. Banyuasin menunjukkan hasil Bima 3
(11,27 t/ha) dan Sukmaraga (8,13 t/ha) (Rudy
Soehendi, 2013).
Sistem Produksi Dan Potensi
Pengembangan Jagung Di Kabupaten Pasaman
Barat. Budidaya tanaman jagung di kabupaten
Pasaman Barat dengan sitem tanpa olah tanah
dengan menggunakan herbisida, pemakaian
pupuk yang berlebihan dan panen dengan
system bakar. Produksi jagung tertinggi di
kabupaten Pasaman Barat terjadi pada tahun
2009 sebesar 364.287 ton dengan luas panen
44.793 ha dan produktivitas 6,99 ton/ha, pada
tahun 2010 terjadi penurunan produksi menjadi
220.761 ton dengan produktivitas 6,3 ton/
karena terjadinya penurunan luas panen
menjadi 33.757 ha. Dan pada tahun 2011,
produksi jagung kembali normal dengan
produksi 286.078 ton dengan luas panen
44.360 ha. Potensi lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk usahatani jagung mencapai
142.850 ha yang didominasi tanah gambut dan
mineral masingmasing seluas 7.550 ha dan
16.550 ha. Hasil B/C ratio diketahui bahwa
setiap Rp 1,0 uang yang dikeluarkan petani
akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1,57
atau dengan menggunakan uang sebesar
Rp 5.630.000,-/ha dalam usaha tani akan
memberikan keuntungan sebesar Rp
8.860.000,-/ha. Bila masa pertanaman jagung 4
bulan maka pendapatan petani jagung per
bulannya sebesar Rp 2.215.000,- (Yulmar
Jastra, 2005).
Pengembangan Komoditas Jagung
cukup cerah bila dikelola secara intensif dan
komersial berpola agribisnis. Permintaan pasar
dalam negeri dan peluang ekspor komoditas
jagung cenderung meningkat dari tahun ke
tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan
maupun nonpangan. Dalam perekonomian
nasional, jagung penyumbang tebesar kedua
setelah padi dalam subsektor tanaman pangan.
Sumbangan jagung terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun,
sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun
2000, kontribusi jagung dalam perekonomian
nasional mencapai Rp. 9,4 triliyun dan pada
tahun 2003 meningkat menjadi Rp. 18,2
triliyun. Kondisi demikian mengindikasikan
besarnya peranan jagung dalam memacu
pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan
perekonomia nasiona secara umum
(Zubachtirodin, dkk. 2006). Pengembangan
hasil pertanian (jagung) menjadi produk susu
jagung dan kerupuk jagung menunjukkan
bahwa 100% mitra kerja dapat membuat susu
jagung dan kerupuk jagung serta melakukan
pengemasan dengan baik. Produksi susu jagung
dan kerupuk jagung yang dihasilkan pada
pelatihan produksi menarik dan dapat
dikembangkan. Bahan dasar produk yaitu
jagung segar mudah didapatkan di desa Rasau
Jaya (Agato, 2011).
Prospek dan strategi pengembangan
jagung untuk mendukung ketahanan pangan
di Maluku. Peluang pengembangan jagung di
Maluku untuk mendukung ketahanan pangan
nasional sangat prospektif karena didukung
oleh ketersediaan lahan kering yang luas dan
teknologi yang siap diaplikasikan. Dari total
luas lahan kering 853.250 ha, lahan yang telah
diusahakan untuk jagung baru 11.998 ha dan
palawija selain jagung 21.099 ha, sehingga
tersisa 820.153 ha yang berpotensi untuk usaha
tani jagung (Andriko Noto Susanto, 2005).
Analisa kelayakan finansial
pengembangan usaha produksi komoditas
lokal: mie berbasis jagung dari analisa finansial
diperoleh hasil net present value bernilai positif
sebesar Rp 32.668.709,00. Internal rate of
return sebesar 59,19% menunjukkan bahwa
tingkat pengembalian lebih besar dari tingkat
suku bunga bank yang ditentukan. Payback
Period selama 13 bulan apabila asumsi yang
direncanakan terpenuhi, index sebesar 1,01 dan
rasio B/C sebesar 1,3 lebih dari 1 sehingga dari
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
4
segi finansial rencana usaha mie jagung layak
dijalnkan. Analisa sensitivitas menunjukkan
bahwa penurunan pendapatan 5% dan kenaikan
biaya operasional 5% sangat berpengaruh
terhadap kelayakan proyek. Pertimbangan
kriteria investasi di atas menunjukkan bahwa
kegiatan usaha produksi mie jagung instan
layak untuk dijalankan selama proyek berjalan
sesuai dengan asumsi dan parameter teknis
yang ditentukan (Parama Tirta Wulandari
Wening Kusuma, 2014).
Menurut Mosher (1991), pendapatan
merupakan produksi yang dinyatakan dalam
bentuk uang setelah dikurang biaya yang
dikeluarkan selama kegiatan usaha tani.
Menurut Aukley (1983), pendapatan seseorang
individu di definisikan sebagai jumlah
penghasilan yang diperoleh dari jasa–jasa
produksi yang diserahkan pada suatu atau
diperolehnya dari harta kekayaannya,
sedangkan pendapatan tidak lebih dari pada
penjumlahan dari semua pendapatan individu.
Hubungan biaya dengan pendapatan dapat
diperhitungkan untuk seluruh usaha tani
sebagai satu unit selama periode tertentu,
misalnya pada musim tanam. Dalam hal ini
semua biaya semua produksi dijumlahkan
kemudian dibandingkan dengan pendapatan
yang diperoleh (Hadisaputro, 1985).
Menurut Soekartawi, dkk (1994),
pendapatan keluarga mencerminkan tingkat
kekayaan besarnya modal yang dimiliki petani.
Pendapatan yang besar mencerminkan dana
yang besar dalam usahatani, sedangkan
pendapatan yang rendah dapat menyebabkan
menurunnya infestasi dan upaya pemupukan
modal, pendapatan bersih petani hasil kotor
dari produksi yang dinilai dengan uang
kemudian hasil kotor tersebut dikurangi dengan
biaya produksi dan biaya pemasaran.
Kindangen (2000) menyatakan bahwa
pendapatan usahatani merupakan ukuran
penghasilan yang diterima oleh petani dari
usahataninya. Dalam analisis usahatani,
pendapatan petani digunakan sebagai indikator
penting karena merupakan sumber utama
dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-
hari.pendapatan usahatani perupakan selisih
antara penerimaan dengan biaya produksi, baik
produksi yang tidak tetap maupun biaya
produksi tetap.
Sudjarmoko (1999) mengatakan bahwa
masalah pokok yang dihadapi petani adalah
rendahnya tingkat pendapatan akibat
produktivitas tanaman rendah, harga jual
produk yang fluktuatif belum efisisensinya
proses produksi serta naiknya biaya produksi.
Harga merupakan salah satu faktor penting
dalam produksi pertanian karena sangat
berpengaruh terhadap petani produsen.
Menguraikan dan membagi pendapatan
usahatani menjadi dua, yaitu pendapatan kotor
usahatani (gross farm income) dan pendapatan
bersih usahatani (net farm income). Pendapatan
kotor usahatani yaitu nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu yang
meliputi seluruh produk yang dihasilkan baik
yang (1) dijual, (2) dikonsumsi rumah tangga
petani, (3) digunakan dalam usahatani seperti
untuk bibit atau makanan ternak, (4) digunakan
untuk pembayaran, dan (5) untuk disimpan
(Soekartawi, 1995).
Pendapatan usahatani adalah total
pendapatan bersih yang diperoleh dari seluruh
aktivitas usahatani yang merupakan selisih
antara total penerimaan dengan total biaya
yang dikeluarkan (Hadisapoetra, 1979).
Pendapatan adalah hasil bersih dari kegiatan
suatu usahatani yang diperoleh dari hasil bruto
(kotor) dikurangi biaya yang digunakan dalam
proses produksi dan biaya pemasaran
(Mubyarto, 1991).
Kelompok tani jagung di kabupaten
Maros maupun kabupaten lainnya,
perkembangan usaha taninya tidak berkembang
kearah peningkatan pendapatan, karena petani
memiliki komitmen yang tinggi terhadap
keuntungan, melainkan hanya berorientasi
terhadap produksi. Usahatani yang berorientasi
pada produksi berarti kurang memperhatikan
komoditi yang sesuai, tingkat permintaan,
mutu/kualitas, kontinuitas serta kurang
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
5
memperhatikan peluang pasar sehingga
hasilnya statis. Permasalahan tersebut antara
lain disebabkan oleh tidak efisiennya usaha tani
yang dilakukan, serta kurangnya akses
teknologi pada tingkat petani.
Disamping itu iklim investasi yang
belum kondusif bagi para investor untuk
menanamkan modalnya di bidang agribisnis.
Kondisi tersebut secara tidak langsung terjadi
karena lemahnya kelembagaan pada tingkat
petani, serta kurang intensifnya penetrasi
inovasi teknologi pada tingkat petani.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran dan teori yang melatar
belakangi penelitian ini, permasalahan
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme sistem
pendampingan terhadap pengembangan
agribisnis jagung di Kabupaten Maros?
2. Bagaimana penerapan sistem agribisnis pada
petani jagung baik yang menggunakan
pendampingan maupun mandiri yang
meliputi subsistem sarana produksi,
budidaya, penanganan dan pengolahan
pasca panen, dan pemasaran produk?
3. Berapa besar tingkat pendapatan agribisnis
pada tingkat petani jagung?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi jawaban
permasalahan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme sistem
pendamping terhadap pengembangan
agribisnis di Kabupaten Maros;
2. Untuk mengetahui penerapan sistem
agribisnis pada petani jagung, baik yang
menggunakan pendamping maupun mandiri
yang meliputi subsistem sarana produksi,
budidaya, penanganan dan pengolahan
pasca panen, dan pemasaran produk; dan
3. Untuk mengetahui besaran tingkat
pendapatan agribisnis pada tingkat petani
jagung.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan
Tanralili Kabupaten Maro. Pemilihan lokasi
ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan
bahwa daerah tersebut merupakan salah satu
sentra produksi usahatani jagung.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode sensus dengan
data yang diperoleh adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dengan
mengunakan teknik wawancara langsung
kepada seluruh petani yang berjumlah 52
petani responden, dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) sebagai alat bantu
dalam pengumpulan data, sedangkan data
sekunder diperoleh dari BPS (Badan Pusat
Statistik) Kabupaten Maros, Dinas Pertanian
Kabupaten Maros, Kantor Balai Sereal
Hortikultural Tanaman Pangan Kabupaten
Maros.
2.1 Metode Pengambilan Sampel
Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja
dengan memilih Kecamatan Tanralili.
Penentuan sampel dilakukan secara sensus
karena semua populasi petani jagung dijadikan
sebagai sampel dalam penelitian. Mengingat
populasi homogeny maka jumlah sampel
minimal yang diperlukan 10% saja sudah
mewakili. Teknik pengambilan sampel
dilakukan secara purposive (sengaja) memilih
masing-masing satu kelompok tani di Desa
Kurusumange dan Desa Barong dari kelompok
tani diambil secara random sampling
(penyampelan acak).
2.2 Analisis Data
Untuk mengetahui bagaimanakah usahatani
jagung di Kecamatan Tanralili Kabuoaten
Maros, maka analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode deskriptif adalah sebagai
berikut:
1. Metode analisis yang digunakan pada
penerapan sistem agribisnis jagung pada
tingkat petani (program pendampingan
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
6
maupun tanpa pendampingan), digunakan
metoda analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif dengan pendekatan penelitian
survai. Komponen/variabel dianalisa
meliputi bagaimana penerapan subsistem
praproduksi, subsistem usahatani/budidaya,
subsistem penanganan dan pengolahan
pasca panen dan pemasaran.
2. Adapun untuk pendapatan agribisnis jagung
dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Π = TR – TC (Prawirokusumo,1990)
TR = Q. Pq.
TC = TVC + TFC
Keterangan:
Π = Pendapatan (Rupiah)
TR = Total Revenue Penerimaan
(Rupiah)
Qx = Jumlah Produksi Jagung (Rupiah)
Pq = Harga per kg Jagung (Rupiah)
TC = Total Cost / Biaya Produksi
(Rupiah)
TVC = Total Variable Cost (Rupiah)
TFC = Total Fixed Cost (Rupiah)
1. Penentuan skor dalam penerapan sistem
agribisnis meliputi:
a) Subsistem agribisnis hulu yang dinilai
berdasarkan waktu, jumlah, jenis dan
mutu yang digunakan dari sarana
input (penggunaan pupuk dan benih)
dan dinilai dari Skor 1= jelek (J),
Skor 2=kurang baik (K), Skor 3=
sedang (S), Skor 4= baik (B), Skor 5=
sangat baik (SB) (Supangat, 2007).
b) Subsistem Budidaya yang dinilai
berdasarkan kondisi teknik budidaya,
penanganan dan pengolahan
budidaya, manajemen pemeliharaan,
kesinambungan usaha, dan dinilai dari
Skor 1: jelek (J), Skor 2=kurang baik
(K), Skor 3= sedang (S), Skor 4= baik
(B), Skor 5= sangat baik (SB).
c) Subsistem Pengolahan yang
dinilai adalah Klasifikasi bahan baku,
tenaga kerja, manajemen mutu, teknologi,
peralatan, eficienci, akses konsumsi,
keberlanjutan dan dinilai dari Skor 1: jelek
(J), Skor 2=kurang baik (K), Skor
3=sedang (S), Skor 4= baik
(B), Skor 5= sangat baik (SB). Subsistem
Pemasaran yang dinilai adalah
teknik pengumpulan, pendistribusian,
pengangkutan, penyimpanan, pengolahan
dan informasi pasar serta penanganan
resiko dan dinilai dari Skor 1: jelek (J),
Skor 2=kurang baik (K), Skor 3= sedang
(S), Skor 4= baik (B), Skor 5= sangat baik
(SB).
d) Untuk mengetahui tingkat pada penerapan
sistem agribisnis secara menyeluruh diuji
dengan menggunakan F-test, sedangkan
secara Parsial menggunakan T-test. Untuk
mengetahui variasi faktor–faktor X yang
dapat mempengaruhi variasi yang ada pada
Y (Pendapatan Usaha Tani Jagung)
dihitung menggunakan Koefisien
Determinasi (R2). Operasionalisasi analisis
regresi linear berganda digunakan paket
program SPSS (Statistical package for
Social Science).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Daerah Penelitian
Kabupaten Maros merupakan wilayah
yang berbatasan langsung dengan ibukota
propinsi Sulawesi Selatan, dalam hal ini adalah
Kota Makassar dengan jarak kedua kota
tersebut berkisar 30 km dan sekaligus
terintegrasi dalam pengembangan Kawasan
Metropolitan Mamminasata.
Batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Pangkep
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota
Makassar
- Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Bone
- Sebelah Barat berbatasan dengan selat
Makassar
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
7
Selain terdiri dari desa/kelurahan
Tanralili, Kecamatan Tanralili juga meliputi
delapan desa/kelurahan lainnya, yaitu Borong,
Damai, Kuru Sumange, Leko Pancing, Purna
Karya, Sudirman, dan Toddo Pulia.
3.2 Karakteristik Responden
Keadaan umum responden yang
diidentifikasi dari umur, tingkat pendidikan,
mata pencaharian, jumlah anggita keluarga
dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1: Identitas responden berdasarkan umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian,
dan jumlah anggota keluarga di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros
No Identitas
Responden
Pendampingan Mandiri
Jumlah
(Orang)
Persen
(%)
Jumlah
(Orang)
Persen
(%)
1.
2.
3.
4
Umur
21 – 30 tahun
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
> 50 tahun
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Mata Pencaharian
Petani
PNS dan Petani
Petani / Pedagang
Jumlah Anggota
Keluarga
2 jiwa
3 jiwa
4 jiwa
> 4 jiwa
9
18
17
8
29
5
18
0
52
0
0
0
13
19
18
2
17,30
34,61
32,70
15,38
55,77
9,61
34,61
0
100,00
0
0
0
25,00
36,53
34,61
3,84
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 1 di atas, ditunjukkan
bahwa umur petani bervariasi antara 21 sampai
dengan 60 tahun. Kelompok umur 31–40 tahun
adalah jumlah responden terbesar yaitu
sebanyak 34,61% yang merupakan umur yang
masih produktif, sehingga di harapkan dapat
memberikan nilai tambah dalam proses
usahataninya.
Tingkat pendidikan responden
menunjukkan bahwa rata-rata hanya
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu
sebanyak 29 orang atau 55,77%. Angka ini
memberikan indikator bahwa tingkat
pendidikan di lokasi penelitian masih rendah.
Mata pencaharian responden
menunjukkan bahwa rata-rata semuanya petani
yaitu sebanyak 52 orang atau 100%, bahwa
mata pencaharian responden di lokasi
penelitian semuanya petani.
Sedangkan jumlah tanggung keluarga
responden menunjukkan terbesar yaitu
sebanyak 3 jiwa (orang) atau 36,53% dari total
responden. Dengan banyaknya responden
keluarga tersebut, dapat memacu petani/kepala
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
8
keluarga untuk meningkatkan produktivitas dan
hasil usahatani di lahan yang mereka garap
karena anggota keluarga ini bisa dimanfaatkan
sebagai tenaga kerja dalam kegiatan
pengelolaan lahan sehingga bisa mendapatkan
hasil yang lebih baik.
3.3 Teknik Usahatani
a. Luas lahan dan Pola usahatani
Luas lahan adalah merupakan luas areal
persawahan yang akan ditanam padi pada
musim tertentu. Pada umumnya lahan sawah
merupakan lahan pertanian yang berpetak-
petak dan dibatasi oleh pematang saluran untuk
menahan/ menyalurkan air, yang biasanya
ditanami komoditi seperti padi, jagung dll.
tanpa memandang dari mana diperolehnya atau
status tanah tersebut. Luas lahan adalah
areal/tempat yang digunakan untuk melakukan
usahatani di atas sebidang tanah, yang diukur
dalam satuan hektar (ha).
Data responden yang berkaitan dengan
kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai
berikut ini:
Tabel 2: Keadaan responden menurut luas lahan di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros
Uraian
Pendamping Tanpa Pendamping
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%) Jumlah (Orang)
Persentase
(%)
Luas lahan (Ha)
< 1,00
1,00 – 1,19
1,20 – 1,29
1,30 – 1,39
> = 1,39
0
52
0
0
0
0
100
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah 52 100 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 2 di atas ditunjukkan bahwa
kepemilikan luas lahan petani pendampingan
terbanyak pada luas lahan dibawah 1,00-1,19
Ha yaitu sebanyak 38,46%, sedangkan luas
lahan petani pendampingan yang paling sedikit
dibawah < 1,00 Ha yaitu sebanyak 14,38%. Ini
menunjukkan bahwa jumlah petani responden
yang banyak penggunaan luas lahan 1,00-1,19
Ha yaitu sebanyak 38,46%.
b. Benih
Benih merupakan biji yang digunakan
sebagai sumber perbanyakan tanaman, atau
berkaitan dengan perbanyakan tanaman.
Batasan tentang pengertian benih dapat
dibedakan secara biologi, secara agronomi, dan
secara fisiologis. Secara agronomis benih
didefinisikan sebagai biji tanaman yang
diperlukan untuk keperluan dan pengembangan
usaha tani, memiliki fungsi agronomis atau
merupakan komponen agronomis. Komponen
agronomis ini lebih berorientasi pada
penerapan norma-norma ilmiah, sehingga lebih
bersifat teknologis untuk mencapai produksi
secara maksimal (Kartasapoetra, 2003). Umur
benih yang dibutuhkan sangat bergantung pada
kondisi benih, kemurnian benih, dan daya
tumbuh benih. Penggunaan benih jagung
hibrida biasanya menghasilkan produksi yang
tinggi. Tetapi jagung hibrida mempunyai
beberapa kelemahan dibandingkan varietas
bersari bebas, yaitu harga benihnya lebih mahal
dan hanya dapat digunakan satu kali tanam
serta tersedia dalam jumlah terbatas.
Data responden yang berkaitan dengan
penggunaan benih dapat dilihat pada Tabel 3
sebagai berikut ini:
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
9
Tabel 3: Keadaan responden menurut benih yang ditanam di Kecamatan Tanralili, Kabupaten
Maros
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 3 di atas, ditunjukkan
bahwa benih yang dikembangkan responden
pendampingan terbanyak pada pemilihan benih
52 responden, yaitu sebanyak 100%. Hal ini
menunjukkan bahwa benih jagung lokal adalah
jagung yang merupakan hasil pertanaman
spesifik lokasi, merupakan benih hibrida dan
impor.
c. Teknologi
Ketahanan pangan yang berkelanjutan
bagi populasi yang berkembang hanya dapat
dicapai melalui intensifikasi produksi pangan
pada lahan tanaman yang ada dengan
menggunakan teknologi varietas yang unggul
(Fabunmi, 2012). Salah satu teknologi untuk
meningkatkan produktivitas suatu tanaman
adalah menggunakan varietas unggul. Varietas
unggul merupakan salah satu teknologi inovatif
untuk meningkatkan produktivitas tanaman
jagung, baik melalui peningkatan potensi daya
hasil tanaman, maupun melalui peningkatan
toleransi dan ketahanannya terhadap
berbagai cekaman lingkungan biotik dan
abiotik. Dengan adanya varietas unggul bukan
hanya berpengaruh pada tanaman jagung saja
tetapi untuk meningkatkan pendapatan petani.
Data responden yang berkaitan dengan
teknologi dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai
berikut ini:
Tabel 4: Keadaan responden menurut penerapan teknologi di Kecamatan Tanralili, Kabupaten
Maros
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Uraian
Pendamping Tanpa Pendamping
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Benih
Lokal
Non – Lokal
Campuran
52
0
0
100
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah 52 100 0 0
Uraian
Pendamping Tanpa Pendamping
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Teknologi
Intensif
Semi Intensif
Tradisional
0
0
52
0
0
100
0
0
0
0
0
0
Jumlah 52 100 0 0
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
10
Pada Tabel 4 di atas ditunjukkan bahwa
teknologi budidaya yang dikembangkan petani
pendampingan adalah masih mengunakan
teknologi tradisional terbanyak pada pemilihan
benih dari 52 responden yaitu sebanyak 100%
masih teknologi tradisional. Dalam mengolah
teknologi pertanian dengan mengandalkan
banyak tenaga dan waktu dengan sedikit hasil
semakin menyulitkan peningkatan ekonomi
dan kesejahteraan petani sehingga dibutuhkan
bantuan alat-alat yang lebih menunjang
efektifitas dan efisiensi.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan untuk
mengelola usaha tani berasal dari tenga kerja
keluarga dan tenaga luar atau campuran jumlah
responden 52 sebesar 100% untuk petani
pendampingan. Menurut Mubyarto (1995),
tenaga kerja merupakan salah satu faktor
produksi yang mempengaruhi produktivitas
hasil, di Indonesia tenaga kerja usaha tani kecil
umumnya berasal dari keluarga dan tetangga
petani dan tenaga ini tidak diupah sebagai
biaya produksi maka ada efisiensi, banyak dan
sedikitnya tenaga kerja yang profesional akan
mempengaruhi nilai produksi yang dihasilkan.
e. Penanganan Pasca Panen
Dari hasil pengamatan dan survei 52
responden untuk responden yang ada
pendampingan penanganan pascapanen
merupakan salah satu mata rantai penting
dalam usahatani jagung. Hal ini didasarkan atas
kenyataan bahwa petani umumnya memanen
jagung dengan kondisi lingkungan yang
lembab dan curah hujan yang masih tinggi.
Hasil survei menunjukkan bahwa kadar air
jagung yang dipanen pada musim hujan masih
tinggi, berkisar antara 25-35%. Proses
pascapanen jagung terdiri atas serangkaian
kegiatan yang dimulai dari pemetikan dan
pengeringan tongkol, pemipilan tongkol,
pengemasan biji, dan penyimpanan sebelum
dijual kepada pedagang pengumpul. Ke semua
proses tersebut apabila tidak ditangani dengan
baik akan menurunkan kualitas produk karena
berubahnya warna biji akibat terinfeksi
cendawan, jagung mengalami pembusukan,
tercampur benda asing yang membahayakan
kesehatan.
f. Pasar dan Transportasi
Pasar pertanian merupakan tempat
dimana terdapat interaksi antara kekuatan
penawaran dan permintaan produk
pertanian, terjadi kesepakatan-kesepakatan
yang berhubungan dengan pemindahan
kepemilikan.
Jika didasarkan pada konsep sistem
agribisnis, maka pasar pertanian terdiri atas
pasar input dan alat-alat pertanian, pasar
produk pertanian, dan pasar produk industri
pengolahan hasil pertanian atau pasar produk
agroindustri.
Data responden yang berkaitan dengan
pasar dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut
ini:
Tabel 5: Keadaan responden menurut pasar dan transportasi di Kecamatan Tanralili, Kabupaten
Maros
No Identitas
Responden
Pendampingan Mandiri
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1 Pasar
- Supermaket/pasar/pedagang
- Pasar/pedagang pengumpul
0
52
0
100
0
0
0
0
Jumlah 52 100 0 0
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
11
No Identitas
Responden
Pendampingan Mandiri
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
2
Transpotasi
- Pikul
- Motor
- Mobil
- Sepeda
0
52
0
0
0
100
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah 52 100 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 5 di atas, ditunjukkan
bahwa hasil produksi di jual Pasar/pedagang
Pengumpul yang dikembangkan petani
pendampingan yaitu 52 responden sebanyak
100%, sedangkan alat transpotasi yang
digunakan untuk pengangkutan dan pemasaran
petani responden menggunakan motor dari 52
responden sebanyak 100%.
3.4 Penerapan Sistem Agribisnis Pada Petani
Jagung
a. Penerapan Perencanaan Agribisnis
Untuk mengetahui kemampuan
responden dalam perencanaan agribisnis telah
dianalis tentang (1) identifikasi kebutuhan
pasar, (2) kebutuhan industri hilir, (3) jaringan
ketersediaan input, (4) ketersediaan modal, (5)
komoditi kompetitif, 6) perencanaan modal,
dan (7) kebutuhan tenaga kerja, yang dihitung
berdasarkan nilai skor masing–masing unsur
perencanaan tersebut.
Adapun cara penentuan skor dinilai dari
skor 1 yang berarti jelek, skor 2 berarti kurang
baik, skor 3 berarti cukup, skor 4 berarti baik
dan skor 5 berarti sangat baik. Hasil
perhitungan dan analisis skor perencanaan
agribisnis dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah
ini:
Tabel 6: Data rata-rata skor dalam penerapan perencanaan agribisnis jagung responden
di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros
No Perencanaan
Agribisnis
Pendamping Tanpa Pendamping
Total
Jumlah
Rata-rata
Skor (%)
Total
Jumlah
Rata-rata
Skor (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Identifikasi kebutuhan
Identifikasi kebutuhan industri
hilir
Identifikasi ketersediaan input
Identifikasi jaringan modal
Identifikasi komoditas
kompetitif
Identifikasi perencanaan modal
Identifikasi perencanaan tenaga kerja
169
170
159
156
184
158
157
3,25
3,27
3,05
3,00
3,53
3,03
3,01
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
12
Pada Tabel 6 di atas ditunjukkan bahwa
untuk penerapan perencanaan agribisnis dari 52
responden yang telah menerapkan yaitu 1).
Identifikasi kebutuhan rata-rata 3,25%,
2) Identifikasi kebutuhan industry hilir rata-rata
3,27%, 3) Identifikasi ketersediaan input rata-
rata 3,05%, 4) Identifikasi jaringan modal rata-
rata 3,00%, 5) Identifikasi komoditas
kompetitif rata-rata 3,53%, 6) Identifikasi
perencanaan modal rata-rata 3,03%, dan 7)
Identifikasi perencanaan tenaga kerja rata-rata
3,01%.
b. Penerapan Subsistem Agribisnis
Hulu/sarana produksi
Untuk penerapan penggunaan sarana
produksi atau agribisnis hulu dari 52 responden
yang telah menerapkan penggunaan bibit yang
memperhatikan topografi, pupuk anorganik
lengkap, mutu baik dan waktu yang tepat serta
penggunaan pupuk organik yang tepat, dari
hasil penilaian skor responden. Dapat disajikan
pada Tabel 7 di bawah ini:
Tabel 7: Penerapan subsistem agribisnis hulu/sarana produksi responden di Kecamatan Tanralili,
Kabupaten Maros
Nilai Skor Rata-Rata Agribisnis Hulu
P T
1 0 0
2 0 0
3 39 0
4 13 0
5 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Keterangan: P= Pendampingan, T= Tanpa Pendampingan.
Skor: 1= jelek, 2= kurang, 3= cukup baik, 4= baik, 5= sangat baik
Pada Tabel 7 di atas, ditunjukkan
bahwa penerapan penggunaan sarana produksi
atau agribisnis hulu yang hasilkan skor 3
sebanyak 39 orang (75,00%) dan skor 4
sebanyak 13 orang (25,00%) untuk responden
pendampingan. Dengan demikian petani telah
menerapkan subsistem agribisnis hulu dengan
cukup baik
c. Penerapan Subsistem Budidaya
Penerapan sistem agribisnis pada sub
sistem penyiapan dan pengadaan sarana
produksi dalam usahatani jagung hibrida,
menunjukkan bahwa proses penyiapan lahan,
pengadaan bibit, dan pengadaan pupuk berada
pada tingkat penerapan tinggi dan disajikan
pada Tabel 8 di bawah ini:
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
13
Tabel 8: Penerapan subsistem budidaya responden di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros.
Nilai Skor Rata-Rata Budidaya (Usahatani)
P T
1 0 0
2 0 0
3 37 0
4 15 0
5 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 8 di atas ditunjukkan bahwa
penerapan budidaya (usahatani) yang hasilkan
skor 3 sebanyak 37 orang (71,15%) dan skor 4
sebanyak 15 orang (28,84%) untuk responden
pendampingan. Dengan demikian petani telah
menerapkan subsistem budidaya (usahatani)
dengan cukup baik. Hasil tersebut
menggambarkan bahwa responden melakukan
proses penanaman jagung hibrida pada waktu
tanam, kedalaman lubang tanaman, cara tanam,
dan jumlah kebutuhan benih sesuai dengan
anjuran teknologi dalam pendampingan petani.
d. Penerapan Subsistem Pasca Panen dan
Pengolahan Hasil
Proses penanganan pasca panen yang
meliputi pengeringan, pemipilan dan
penyimpanan, kemudian yang terakhir adalah
proses pemasaran yang meluputi analisis
peluang pasar, meneliti serta memilih pasar.
Demikian pula dalam menerapkan proses
panen jagung hibrida, responden umumnya
melakukan sesuai umur tanaman, keadaan
iklim, dan cara panen yang baik dan benar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
petani responden melakukan proses ini dengan
cara memisahkan biji jagung dari tongkolnya.
Penerapan teknologi pemipilan dilakukan
dengan menggunakan alat pemipil yang
mampu memipil dalam jumlah yang cukup
besar. Setelah pemipilan, biji jagung hibrida
dijemur sampai kering. Demikian pula dengan
proses pengeringan umumnya dilakukan
responden secara alami dengan sinar matahari.
Proses penyimpanan dilakukan dalam dua
bentuk yaitu disimpan dalam bentuk tongkol
kering atau biji kering. Petani di wilayah
penelitian umumnya menyimpan jagung dalam
bentuk biji kering untuk mempertahankan
kadar air maksimal 12,00%. Teknologi
penyimpan dianjurkan untuk dilakukan dengan
menyiapkan tempat atau gudang yang sesuai
dengan syarat-syarat yang dapat
mempertahankan mutu produksi. Proses ini
kurang diperhatikan responden, karena
umumnya produksi jagung setelah melalui
proses pemipilan dan pengeringan, itu langsung
dijual dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah
ini:
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
14
Tahapan Penanganan Pasca Panen Jagung
Gambar 1: Tahapan Penanganan Pasca Panen Jagung
di Kelompok Petani Pendampingan
Tabel 9: Penerapan subsistem pasca panen dan pengolahan hasil responden di Kecamatan
Tanralili, Kabupaten Maros.
Nilai Skor Rata-Rata Pengelolaan Hasil
P T
1 0 0
2 0 0
3 35 0
4 17 0
5 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 9 di atas ditunjukkan bahwa
penerapan pengolahan hasil jagung yang
hasilkan skor 3 sebanyak 35 orang (67,30%)
dan skor 4 sebanyak 17 orang (32,69%) untuk
responden pendampingan. Dengan demikian
petani telah menerapkan subsistem penerapan
sistem agribisnis jagung hibrida subsistem
proses pasca panen berdasarkan metode
penentuan skor. Proses pengeringan dan
pemipilan mencapai kategori tinggi dengan
persentase 67,30%.
e. Penerapan Subsistem Pemasaran Harga yang diterima petani yang
menjual dengan saluran pemasaran pendek
Pemanenan
Pengumpulan
Sortasi
Pengemasan
Penyimpanan
Pendistribusian
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
15
akan lebih besar dari pada yang memiliki
saluran panjang dan margin pemasaran lebih
pendek akan lebih rendah (Talumingan, 1995).
Para petani umumnya memasarkan hasil
jagung hibrida tanpa proses pasca panen dan
pengemasan maka akan lebih rendah nilainya
bila dibandingkan bila dikelola dan dikemas
(Agrina, 2006). Pasar Global dapat ditembus
dengan penerapan tiga K, yaitu Kualitas,
Kuantitas dan Kontinuitas. Dan jangan
melebihi ambang batas residu pestisida
Jagung yang telah ada proses pasca
panen maka akan memperpanjang pemasaran
bahkan dapat diekspor (Muchtadi, 1995).
Faktor kunci dalam manajemen pemasaran
adalah emampuan sumber daya manusia dalam
memperluas dan meningkatkan pangsa pasar,
pengembangan lapangan kerja, pengembangan
lingkungan yang kondusif, meningkatkan SDM
yang mampu menyediakan kualitas dan
kontinyuitas serta kuantitas dan peningkatan
nilai tambah. Dan untuk petani berlahan sempit
perlu adanya kemitraan dan penguatan
kelembagaan petani. Perhitungan Skor
penerapan sub sistem pemasaran dapat dilihat
pada Tabel 10 di bawah ini:
Tabel 10: Penerapan subsistem pemasaran responden di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros.
Nilai Skor Rata-Rata Pengelolaan Hasil
P T
1 0 0
2 0 0
3 22 0
4 30 0
5 0 0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 10 di atas ditunjukkan
bahwa penerapan sub sistem pemasaran jagung
yang hasilkan skor 3 sebanyak 22 orang
(42,30%) dan skor 4 sebanyak 30 orang
(57,69%) untuk responden pendampingan.
Dengan demikian petani telah menerapkan
subsistem pemasaran agribisnis jagung hibrida
berdasarkan metode penentuan skor. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya
responden hanya mampu melakukan proses
pemasaran langsung secara lokal di daerah
tersebut untuk mendapatkan penghasilan yang
lebih cepat. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
penerapan pemasaran agribisnis berada pada
kategori tinggi sebanyak 30 orang dengan
persentase 57,69%.
Berdasarkan wawancara diperoleh
informasi bahwa kurangnya atau rendahnya
penerapan sistem agribisnis dalam proses
pemasaran disebabkan karena kurangnya akses
informasi responden khususnya yang
berhubungan dengan pemasaran hasil produksi
jagung hibrida. Umumnya dilakukan sesuai
kebutuhannya, misalnya menjual di sembarang
tempat dengan harga yang tidak menentu dan
kualitas produksi yang tidak diperhitungkan.
Secara keseluruhan tingkat penerapan
sistem agribisnis pada usahatani jagung hibrida
berdasarkan jumlah dan persentase responden
yang berada pada tingkat penerapan tinggi
maupun rendah.
f. Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida
Dengan Penerapan Agribisnis
Indikator keberhasilan dalam
memahami besar biaya dan pendapatan usahatani jagung hibrida sebesarnya bukan
hanya dari jumlah pendapatan yang diterima,
tetapi juga keberhasilan dalam penerapan
teknologi yang berdampak pada peningkatan
kualitas dan kuantitas produksi, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan usahatani jagung
hibrida. Usaha peningkatan produksi dan
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
16
pendapatan usahatani jagung hibrida
dipengaruhi oleh tingkat penerapan sistem
agribisnis, yang meliputi penyiapan dan
pengadaan sarana produksi, proses produksi,
penanganan pasca panen serta pemasaran hasil
produksi. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan keperluan usahatani jagung hibrida
harus diperhitungkan sungguh-sungguh agar
kebutuhan usahatani dapat terpenuhi.
Pendapatan yang diperoleh dari
usahatani dapat dihitung dengan mengetahui
nilai produksi dan hasil usahataninya serta
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani
dalam proses produksi, dan biaya yang
diperhitungkan dalam pengelolaan usahatani.
Nilai produksi hasil budidaya jagung hibrida
adalah total produksi dikalikan dengan harga
satuan produksi per kilogram, sedangkan biaya
produksi merupakan kompensasi yang diterima
oleh para pemilik faktor produksi.
Biaya ini terdiri dari biaya yang benar-
benar dikeluarkan oleh petani seperti biaya
sarana produksi dan biaya-biaya lain. Adapun
rerata nilai dan biaya produksi yang
dikeluarkan petani responden dalam usaha
budidaya jagung hibrida ditunjukkan pada
Tabel 11 di bawah ini:
Tabel 11: Analisis pendapatan responden petani jagung responden di Kecamatan Tanralili,
Kabupaten Maros.
No Uraian Nilai
1 Produksi 214.610 kg
2 Total Penerimaan Rp. 10.317.788
3 Biaya Produksi Rp. 5.075.687
4 Pendapatan Bersih Rp. 5.242.101
Sumber: Data primer setelah diolah, 2017
Pada Tabel 11 diatas dijelaskan bahwa
rata-rata jumlah produksi dan usahatani jagung
hibrida responden sebesar 214.610 kg.ha-1,
dengan total biaya produksi yang dikeluarkan
Rp. 5.075.687.5 ha-1. Harga jagung hibrida
pipil kering yang berlaku pada saat penelitian
berlangsung adalah 2.500 kg-1, sehingga
besarnya total penerimaan yang diperoleh
sebesar Rp. 10.317.788 ha-1. Berdasarkan
rumus pendapatan, maka besarnya keuntungan
yang diperoleh adalah sebesar Rp. 5.242.101.
Hasil tersebut menunjukkan tingkat pendapatan
yang diterima oleh petani dalam
pengembangan usahatani jagung hibrida
memberikan keuntungan. Pendapatan/
keuntungan usahatani dapat menggambarkan
tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam
spesialisai dan pembagian kerja, sehingga
besarnya pendapatan antara petani yang satu
dengan yang lainnya. Besarnya pendapatan
yang diterima sangat ditentukan oleh besarnya
penerimaan dan rendahnya pengeluaran.
Penerimaan tidak lain adalah selisih antara
penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang
dikeluarkan. Tujuan usahatani jagung hibrida
atau komoditas pertanian lainnya adalah untuk
mencapai keuntungan dengan menekan biaya
produksi serendah mungkin. Setiap usaha tentu
ada resikonya, demikian halnya dengan
usahatani jagung hibrida.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada
penelitian ini, disimpulkan bahwa mekanisme
pendampingan responden petani jagung dengan
pemberdayaan petani melalui kelompok tani
telah dilaksanakan dengan baik dan pada
subsistem pemasaran yang berada pada tingkat
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
17
penerapan rendah.disebabkan kurangnya
informasi pasar. Penerapan sistem agribisnis
petani jagung di kelompok responden
pendampingan telah dilaksanakan dengan baik
Penerapan subsistem agribisnis hulu, subsistem
usahatani, pengolahan hasil, baik secara parsial
maupun serempak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan pada tingkat petani. Dan subsistem
pemasaran tidak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan petani jagung pendapatan petani
pendampingan lebih besar dibandingkan petani
tanpa pendampingan tersebut. Pendapatan rata–
rata petani sayuran per hektar per musim tanam
petani pendampingan lebih tinggi jumlah
produksi dan usahatani jagung hibrida
responden sebesar 214.610 kg.ha-1, dengan
total biaya produksi yang dikeluarkan Rp.
5.075.687.5 ha-1. Harga jagung hibrida pipil
kering yang berlaku pada saat penelitian
berlangsung adalah 2.500 kg-1, sehingga
besarnya total penerimaan yang diperoleh
sebesar Rp. 10.317.788 ha-1. Berdasarkan hasil
pendapatan, diperoleh keuntungan sebesar
Rp. 5.242.101.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. dan Yustina E.W. 2002.
Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan
Kering, Sawah, dan Pasang Surut.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Andriko Noto Susanto. 2005. Prospek Dan
Strategi Pengembangan Jagung Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan Di
Maluku. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Maluku, Jalan Laksdya Leo
Watimena Waiheru, Ambon 97232.
(Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005).
Agato, 2011. Pengembangan Hasil Pertanian
(Jagung) Menjadi Produk Susu Jagung
Dan Kerupuk Jagung (Jurnal Teknologi
Pangan Vol.2 No.1 November 2011).
Fabunmi, Oyeyemi O., Tabil L.G., Chang P.
R.,and Panigrahi S. 2012. Developing
Biodegredable Plastic from Starch. Paper
Number RRV07130, ASBABE/CSBE North
Central Intersectional Meeting. The
American Society of Agricultural and
Biological Enginers, St. Joseph, Michigan.
www.asabe.org. Diakses pada 13 Maret
2014.
Hadisaputro. 1985. Biaya dan Pendapatan
didalam Usahatani. Departemen Ekonomi
Pertanian. UGM Yogyakarta.
Kindangen, J. 2000. Jurnal Prospek
Pengembangan Agroindustri Pangan
Dalam Meningkatkan Pendapatan
Masyarakat Tani di Kabupaten Minahasa
Tenggara, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara.
Kartasapoetra A.G., 2003. Teknologi Benih :
Pengolahan Benih dan Tuntunan
Praktikum. Rineka Cipta. Jakarta.
Mubyarto, 1991. Pengantar Ekonomi
Pertanian. LP3ES, Jakarta.
Mubyarto, 1999. Reformasi Sistem Ekonomi.
Aditya Media, Yogyakarta.
Muchtadi, T. R., 1995. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Mosher, A.T., 1991. Menggerakkan dan
Membangun Pertanian.Yasaguna .Jakarta.
Saragih, B., 1998. “Agribisnis Berbasis
Peternakan”: Kumpulan Pemikiran.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Said.EG.dan Intan.AH, 2001. Manajemen
Agribisnis. Ghalia Indonesia.
Soekartawi. 1995, Analisis Usahatani.
Universitas Indonesia Jakarta.
Soekartawi. 1999. Agribisnis Teori dan
Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sudjarmoko, B. 1999. Skala Usaha dan
Efisiensi Ekonomi Relatif Polatanam
Kelapa pada Tingkat Petani di Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Jurnal Littri.
Vol. 4. No. 5: 140 - 145.
Parama Tirta Wulandari Wening Kusuma,
2014. Analisa Kelayakan Finansial
Pengembangan Usaha Produksi
Komoditas Lokal: Mie Berbasis Jagung.
Balai Besar Pengembangan Teknologi
Jurnal Ilmiah Bertani, Vol. 13. No. Hal. 1-78
Makassar, Januari 2018. ISSN. No. 1907-6894
18
Tepat Guna, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia Jawa Barat Jurnal Vol. 34, No.
2, Mei 2014.
Rudy Soehendi. 2014. Potensi Pengembangan
Jagung di Sumatera Selatan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Sumatera Selatan. (Vol. 2, No.1: 81-92
2013)
Yulmar Jastra, 2005. Sistem Produksi Dan
Potensi Pengembangan Jagung Di
Kabupaten Pasaman Barat. Peneliti
Bidang Litbang Bappeda Provinsi
Sumatera Barat.
Zubachtirodin, Pabbage, M.S., dan Subandi.
2006. Wilayah Produksi Dan Potensi
Pengembangan Jagung. Maros: Balai
Penelitian Tanaman Serelia.