Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

27
NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK USIA SEKOLAH DI SDN KLEDOKAN DEPOK SLEMAN YOGYAKARTA Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan pada Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta Disusun oleh: CHARTHIKA ELISTHINNA DEWI PRATHAMA NIM. 08130425

Transcript of Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Page 1: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK USIA

SEKOLAH DI SDN KLEDOKAN DEPOK SLEMANYOGYAKARTA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan pada Program Studi S1 Ilmu Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta

Disusun oleh:

CHARTHIKA ELISTHINNA DEWI PRATHAMANIM. 08130425

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2012

Page 2: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi
Page 3: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

RELATIONSHIP BETWEEN PARENTS’ REARING PATTERN AND SOCIAL DEVELOPMENT OF SCHOOL CHILDREN

AT SDN KLEDOKAN DEPOK SLEMAN YOGYAKARTA

Charthika Elisthinna Dewi Prathama1, Atik Badi’ah2, Dian Wardanah3

ABSTRACT

Background: According to the documentation of Gender and Child Information System of Women and Community Empowerment Institute of the Province of Yogyakarta Special Territory in 2010, there were 61 new cases of violence to children at District of Sleman and 9 of them occurred to elementary school children, Forms of violence included physical, mental, sexual violence and exploitation. Parents always have the strongest effect to children. They have their own styles in communicating with their children and this affects social development of children. In playing their roles parents adopt rearing patterns they think relevant for their children. Objective: To identify rearing patterns of parents, social development of school children, and association between rearing pattern of parents and social development of school children at SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.Method: The study was undertaken in April 2012. It used descriptive correlation non experimental approach with cross sectional design and quantitative method. Samples were taken through non probability with quota sampling technique. They were determined according to sample size formula. Out of 60 student population of grade 4 and 5 of elementary school, samples consisted of 38 respondents. Data were obtained through questionnaire and analyzed using chi square test at significance 90% and α 0.1 to find out association among variables.Results: Respondents with authoritarian rearing patterns consisted of 2 children (5.3%), democratic rearing pattern 34 children (89.4%), and permissive rearing pattern 2 children (5.3%). Respondents with good social development consisted of 31 children (81.6%), adequate social development 7 children (18.4%) and less social development 0%. The result of statistical test showed p value=0.604.Conclusion: There was no association between rearing pattern of parents and social development of school children at SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Keywords: rearing pattern of parents, social development of children

1. –2. Nursing Department, Health Polytechnic, Yogyakarta3. Education and Research Department, RSUP DR Sardjito, Yogyakarta

Page 4: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK USIA SEKOLAH DI SDN

KLEDOKAN DEPOK SLEMAN YOGYAKARTA

Charthika Elisthinna Dewi Prathama1, Atik Badi’ah2, Dian Wardanah3

INTISARI

Latar belakang: Berdasarkan dokumentasi dari SIGA BPPM Provinsi DIY pada tahun 2010, jumlah korban kekerasan pada anak di Kabupaten Sleman adalah 61 kasus yang tercatat sebagai kasus baru. Sembilan di antara kasus tersebut terjadi pada anak sekolah dasar. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan fisik, psikis, seksual dan eksploitasi. Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak. Setiap orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya dengan anak-anaknya, dan ini mempengaruhi perkembangan sosial anak. Orang tua dalam menjalankan perannya tersebut menerapkan jenis pola asuh yang dirasakan sesuai untuk diterapkan kepada anak-anaknya.Tujuan penelitian: Untuk mengetahui pola asuh orang tua, perkembangan sosial anak usia sekolah, dan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak usia sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.Metode penelitian: Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 dengan pendekatan deskriptif korelasi noneksperimental, jenis rancangan penelitian cross sectional dengan metode kuantitatif. Untuk mencari hubungan antarvariabel menggunakan uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 90% dan α 0,1. Mengambil sampel dengan teknik nonprobability sampling dengan jenis sampling kuota. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus sample size. Dari populasi 60 orang siswa kelas 4 dan kelas 5 sekolah dasar, maka sampelnya adalah 38 responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner (angket).Hasil penelitian: Responden dengan pola asuh otoriter 2 orang (5,3%), pola asuh demokratis 34 orang (89,4%), dan pola asuh permisif 2 orang (5,3%). Selain itu, responden yang memiliki perkembangan sosial baik 31 orang (81,6%), perkembangan sosial cukup 7 orang (18,4%), dan perkembangan sosial kurang 0%. Hasil uji statistik didapatkan P value = 0,604.Kesimpulan: Tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak usia sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Kata kunci: Pola Asuh Orang Tua, Perkembangan Sosial Anak.

1 Mahasiswi Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Universitas Respati Yogyakarta2 Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Yogyakarta3 Staf Pegawai Bagian Pendidikan dan Penelitian RSUP DR Sardjito Yogyakarta

Page 5: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus-kasus kekerasan terhadap anak baik yang

ditayangkan lewat media televisi maupun media cetak. Jenis kekerasan yang menonjol ada dua

yaitu kekerasan fisik dan ekonomi. Namun pada dasarnya kedua jenis ini saling berkaitan satu sama

lain, disamping juga bisa menjadi hubungan sebab-akibat. Kekerasan fisik yang banyak dijumpai

seperti pemukulan terhadap anak, penyiksaan lain dengan membakar anak dan sebagainya. Hal ini

tentu mengundang keprihatinan yang mendalam. Penyebabnya terkadang sepele, ketika orang tua

jengkel karena si anak terus saja merengek meminta uang jajan, maka dari situlah si orang tua

kemudian naik pitam yang berujung pada penyiksaan fisik pada anak (Lestari et al, 2008).

Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa selama tahun 2010 kasus kekerasan

yang menimpa anak-anak Indonesia melonjak tajam. Tercatat 2.335 kasus kekerasan terhadap anak

atau kira-kira naik 17 persen dibandingkan tahun 2009 (Murdiastuti, 2010). Sementara itu,

sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mencatat terjadinya 2.386 kasus

kekerasan terhadap anak, yang kira-kira setiap bulannya lembaga perlindungan anak ini menerima

laporan 200 kasus (Anggriawan, 2011). Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut

bermacam-macam, antara lain kekerasan seksual, pemukulan, dan penelantaran. Hal yang

memprihatinkan bahwa justru masalah ini terjadi di lingkungan terdekat anak, seperti lingkungan

rumah tangga dan lingkungan sekolah.

Berdasarkan dokumentasi dari Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Badan

Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada

tahun 2010, jumlah korban kekerasan pada anak di Kabupaten Sleman adalah 61 kasus yang

tercatat sebagai kasus baru. Kekerasan pada anak perempuan tercatat 48 kasus dan pada anak laki-

laki 13 kasus. Dua kasus terjadi pada anak usia 0-5 tahun, 4 kasus pada anak usia 6-10 tahun, dan

55 kasus pada anak usia 11-18 tahun. Sembilan di antara kasus tersebut terjadi pada anak sekolah

dasar. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan fisik, psikis, seksual dan

eksploitasi.

Yusuf (2011) menjelaskan bahwa perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh

lingkungan sosialnya, baik orang tua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya.

Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan

anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.

Namun apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua yang kasar;

sering memarahi; acuh tak acuh; tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau

pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi

pekerti; anak cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder; (2)

senang mendominasi orang lain; (3) bersifat egois/selfish; (4) senang mengisolasi diri/menyendiri;

(5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa; dan (6) kurang mempedulikan norma dalam

berperilaku.

Page 6: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Hal yang paling utama dalam proses perkembangan sosial anak adalah keluarga yaitu orang

tua dan saudara kandung (sibling). Anak sebagai bagian dari anggota keluarga, dalam petumbuhan

dan perkembangannya tidak akan terlepas dari lingkungan yang merawat dan mengasuhnya

(Wahini, 2002). Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak. Setiap orang

tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya dengan anak-anaknya, dan ini mempengaruhi

perkembangan sosial anak (Djiwandono, 2003).

Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga. Orang tua bertugas

sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara, dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya. Setiap

orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlakul

karimah. Akan tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik

membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak

disayang oleh orang tuanya. Perasaan-perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan,

cara berpikir, bahkan kecerdasan mereka (Yusniyah, 2008).

Orang tua dalam menjalankan perannya tersebut menerapkan jenis pola asuh yang dirasakan

sesuai untuk diterapkan kepada anak-anaknya. Setiap orang tua dapat menerapkan pola asuh yang

berbeda-beda. Ada orang tua yang keras, yang menggunakan otoritasnya dan sangat mengontrol

anaknya, tetapi sebaliknya ada juga orang tua yang bersikap serba boleh terhadap anaknya, semua

diserahkan sepenuhnya kepada anaknya. Disamping itu, ada orang tua yang berdialog dengan

anaknya, mendengarkan apa yang dikemukakan oleh anaknya. Anak diberi kesempatan untuk

bertukar pikiran dan orang tua menganggapnya sebagai anak yang punya arti. Sikap orang tua yang

berbeda kepada anaknya akan mempunyai pengaruh dalam pembentukan pribadi anak (Nugroho cit

Eka, 2004).

Biasanya suatu cara pengasuhan anak di rumah merefleksikan harapan-harapan dan sikap-

sikap tertentu dari orang tua. Hal ini berpengaruh pada perkembangan anak, misalnya pengasuhan

yang menitik beratkan pada sikap yang terlalu melindungi akan berakibat buruk bagi anak.

Demikian juga halnya dengan sikap-sikap orang tua yang menuntut kesempurnaan dalam segala hal

dapat mengakibatkan anak tertekan atau justru akan memberontak (Gunarsa, 2008).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif korelasi noneksperimental dengan

rancangan cross sectional. Penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan

sosial anak usia sekolah ini dilakukan pada bulan April 2012 di Sekolah Dasar Negeri Kledokan,

Depok, Sleman, Yogyakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak yang tercatat masih

duduk di sekolah dasar kelas 4 dan 5 di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada Tahun

Ajaran 2011/2012 yang berjumlah 60 orang. Perhitungan sampel dengan rumus sample size dan

jumlah sampelnya adalah 38 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner.

Page 7: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Pada penelitian ini, untuk variabel pola asuh orang tua, peneliti tidak melakukan uji validitas

dan uji reliabilitas pernyataan karena pernyataan yang digunakan adalah adopsi dari Armando

Sipahutar (2009). Sementara itu, untuk variabel perkembangan sosial anak usia sekolah, peneliti

melakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas pada penelitian ini menggunakan rumus

Pearson Product Moment dan untuk menguji reliabilitas kuesioner peneliti menggunakan rumus

Spearman Brown. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan

perkembangan sosial anak usia sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta dilakukan

uji statistik dengan chi-square.

HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

SDN Kledokan adalah sebuah sekolah yang terletak di Dusun Kledokan, Caturtunggal,

Depok, Sleman, Yogyakarta. Sekolah ini merupakan sekolah dasar imbas di gugus IV Babarsari

dan di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman. Sekolah ini berada di lingkungan yang

cukup nyaman dan kondusif untuk belajar maupun bermain, serta memiliki fasilitas sekolah yang

cukup memadai seperti adanya perpustakaan, laboratorium, mushola, ruang UKS, dan toilet

sekolah. Sekolah ini memiliki luas tanah 3.575 m2, dengan luas bangunan 650,5 m2 dan luas

halaman 787,5 m2.

SDN Kledokan berdiri pada tahun 1912. Pada Tahun Ajaran 2011/2012 tercatat 170 siswa

dan siswi yang menuntut ilmu di sekolah ini, dengan jumlah siswa dan siswi kelas 4 dan 5 adalah

60 orang. Siswa dan siswi di SDN Kledokan rata-rata menghabiskan waktu disekolah mulai dari 5

jam hingga 8 jam per hari. Adapun mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh para peserta didik

selama mengikuti wajib belajar di sekolah dasar ini adalah mata pelajaran Agama, Pendidikan

Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan

Sosial, Kertakes, Penjas, dan Muatan Lokal. Selain itu, ada juga kegiatan ekstrakurikuler dan les

yang diadakan oleh sekolah seperti pramuka, drumband, les komputer, dan les mata pelajaran untuk

pendalaman materi.

SDN Kledokan juga senantiasa menerapkan tata tertib dan peraturan yang wajib ditaati oleh

semua anggota sekolah seperti disiplin waktu, disiplin pakaian, keaktifan sehari-hari, sikap dan

perilaku yang santun, mengucap salam saat memulai dan mengakhiri pelajaran, berdoa sebelum dan

sesudah belajar, siswa dan siswi bersalaman dengan guru atau saling bersalaman antarwarga

sekolah. Adapun visi dan misi sekolah adalah:

Page 8: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

a. Visi

“UNGGUL DALAM MUTU BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA CERDAS TERAMPIL

BERBUDAYA”, dengan indikator:

1) Unggul dalam perolehan nilai ujian sekolah atau ujian sekolah daerah

2) Sebagian besar lulusan SDN Kledokan diterima di SMP Negeri

3) Jumlah anak tinggal kelas dari tahun ke tahun menurun

4) Berprestasi dalam lomba-lomba mata pelajaran

5) Berprestasi dalam lomba-lomba keagamaan

6) Berkembangnya minat pembelajaran ekstrakurikuler komputer

7) Memiliki disiplin diri yang tinggi

b. Misi

1) Meningkatkan profesionalisme kerja

2) Mengintensifkan pembelajaran dan bimbingan kepada siswa secara kontinyu dan

menyeluruh sesuai dengan potensi anak

3) Meningkatkan kreativitas guru dan siswa

4) Menumbuhkan pembiasaan budaya santun, berbudi pekerti luhur, dan berakhlak mulia

5) Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut

6) Menjalin kerjasama yang erat dengan lingkungan sekitar dan instansi terkait dalam rangka

meningkatkan mutu pendidikan

7) Melaksanakan pembelajaran komputer

8) Memberdayakan warga sekolah dan peduli kaum duafa

2. Karateristik Responden

a. Jenis Kelamin, Umur, dan Pekerjaan

Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin anak, jenis kelamin orang tua, umur orang tua, umur anak, dan pekerjaan orang tua akan tersaji dalam Tabel 4.1 berikut.Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Ber-dasarkan Jenis Kelamin Anak, Jenis Kelamin Orang Tua, Umur Orang Tua, Umur Anak, dan Pekerjaan Orang Tua di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada Bulan April 2012

Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%)

1. Jenis Kelamin Anaka. Laki-laki 22 57,9b. Perempuan 16 42,1

Jumlah 38 100

2. Jenis Kelamin Orang Tuaa. Laki-laki 25 65,8b. Perempuan 13 34,2

Jumlah 38 100

3. Umur Orang Tua (Tahun)

Page 9: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

a. < 35 6 15,8

b. 35-45 24 63,15c. > 45 8 21,05

Jumlah 38 100

4. Umur Anak (Tahun)a. 10 21 55,26b. 9 17 44,74

Jumlah 38 100

b. Pola Asuh Orang Tua

Distribusi frekuensi responden berdasarkan pola asuh yang diterapkan oleh orang

tua, terbagi atas pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif, akan tersaji dalam Tabel 4.2

berikut.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Orang Tua di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada Bulan April 2012

Pola Asuh Orang Tua Frekuensi Persentase(%)

Pola Asuh Otoriter 2 5,3Pola Asuh Demokratis 34 89,4Pola Asuh Permisif 2 5,3

Total 38 100

Berdasarkan Tabel 4.2 me- nunjukkan bahwa sebagian besar responden orang tua

menerapkan pola asuh demokratis kepada anaknya dengan jumlah 34 orang (89,4%).

c. Perkembangan Sosial Anak

Distribusi frekuensi responden berdasarkan perkembangan sosial anak usia sekolah,

terbagi atas perkembangan sosial baik, cukup, dan kurang, akan tersaji dalam Tabel 4.3

berikut.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada Bulan April 2012

5. Pekerjaan Orang Tua

a. Buruh 3 7,9b. Ibu Rumah Tangga 9 23,7c. Wiraswasta 22 57,9d. PNSe. Karyawan Swasta

13

2,67,9

Jumlah 38 100

Page 10: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Perkembangan Sosial Frekuensi Persentase(%)

Perkembangan Sosial Baik 31 81,6

Perkembangan Sosial Cukup 7 18,4

Perkembangan Sosial Kurang 0 0Total 38 100

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden anak

memiliki per- kembangan sosial baik dengan jumlah 31 orang (81,6%).

d. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosial Anak

Usia Sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta

Distribusi frekuensi responden berdasarkan hubungan antara pola asuh orang tua

(otoriter, demokratis, dan permisif) dengan perkembangan sosial anak usia sekolah (baik,

cukup, dan kurang) di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta akan tersaji dalam

Tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosial Anak Usia

Sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada Bulan April 2012

Pola Asuh Orang Tua

Perkembangan Sosial Anak Jumlah P value

Baik Cukupf % f % f % 0,604

Otoriter 2 5,3 0 0 2 5,3Demokratis 27 71 7 18,4 34 89,4Permisif 2 5,3 0 0 2 5,3

Jumlah 31 81,6 7 18,4 38 100*f = frekuensi responden

Berdasarkan Tabel 4.4, hasil analisa hubungan pola asuh orang tua dengan

perkembangan sosial anak usia sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta,

diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden anak mendapatkan pola asuh demokratis

dengan jumlah 34 orang (89,4%), diantaranya yang termasuk dalam perkembangan sosial

baik adalah 27 orang (71%) dan yang termasuk dalam perkembangan sosial cukup adalah

7 orang (18,4%). Sementara itu, responden anak yang mendapatkan pola asuh otoriter

sebanyak 2 orang (5,3%), yang keseluruhannya termasuk dalam perkembangan sosial baik.

Demikian halnya responden anak yang mendapatkan pola asuh permisif berjumlah 2 orang

(5,3%), yang keseluruhannya termasuk dalam perkembangan sosial baik.

Hasil penelitian yang diperoleh dilakukan uji statistik menggunakan komputer

dengan program SPSS versi 16,00 dengan uji korelasi Chi-Square pada tingkat

kepercayaan 90% dan α 0,1. Dari hasil analisa tersebut dapat dilihat hubungan antara dua

variabel, yaitu P value = 0,604. Hal ini menunjukkan bahwa nilai P > 0,1 yang berarti

bahwa tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak usia

sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Page 11: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

PEMBAHASAN

1. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara

sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan

aturan, mengajarkan nilai atau norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta

menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Theresia

cit Suparyanto, 2010). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa orang tua yang

menerapkan pola asuh demokratis sebesar 34 orang (89,4%), lebih besar persentasenya

dibandingkan dengan orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter sebanyak 2 orang

(5,3%) dan pola asuh permisif sebanyak 2 orang (5,3%).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden (34

orang tua) menerapkan pola asuh demokratis yang berarti orang tua lebih bersikap rasional

dan realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui

kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan yang bertanggung jawab

pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, yang mana hubungan orang tua

dan anak umumnya bersifat hangat dan terbuka. Sementara itu, sebagian kecil responden

(2 orang tua) menerapkan pola asuh otoriter yang berarti orang tua tersebut cenderung

menerapkan standar yang mutlak harus dituruti dan biasanya disertai dengan ancaman-

ancaman, misalnya mengharuskan anak melakukan perintah orang tua tanpa boleh

membantahnya atau memberikan hukuman ketika anak melanggar peraturan yang telah

dibuat oleh orang tua. Sedangkan sebagian responden lagi (2 orang tua) menerapkan pola

asuh permisif yang artinya orang tua cenderung membebaskan anak melakukan apapun

yang diinginkan anak. Anak umumnya berada di luar pengawasan orang tua, dimana orang

tua terkesan membiarkan anak dan sangat sedikit bimbingan orang tua yang diberikan

kepada anak. Ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Dariyo (2004), yaitu:

a. Pola asuh otoriter

Ciri-ciri dari pola asuh ini menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh

anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang

diperintahkan oleh orang tua.

b. Pola asuh permisif

Sifat pola asuh ini yaitu segala aturan dan ketetapan keluarga ditangan anak. Apa yang

dilakukan oleh anak diperbolehkan oleh orang tua. Anak bebas melakukan apa saja

yang diinginkannya.

Page 12: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

c. Pola asuh demokratis

Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama

dengan mempertimbangkan sisi kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang

bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan anak tetap di bawah pengawasan

orang tua serta dapat dipertanggung jawabkan secara moral.

Apabila dikaitkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nurhayati (2010)

dengan judul “Hubungan Tipe Pola Asuh orang Tua dengan Perkembangan Motorik Kasar

Anak Pra Sekolah Usia 4-5 Tahun di TK Kusuma I Nologaten Yogyakarta” dan penelitian

yang dilakukan oleh Rinestaelsa (2008) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua

dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta”, bahwa pola asuh demokratis

adalah pola asuh yang banyak diterapkan oleh orang tua di TK Kusuma I Nologaten

Yogyakarta dan di SMA Negeri 3 Yogyakarta. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan

bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang banyak diterapkan oleh orang tua pada

masa sekarang dan merupakan pola asuh yang dirasakan orang tua baik untuk diterapkan

kepada anaknya.

2. Perkembangan Sosial Anak

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial.

Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri

terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi satu

kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama (Yusuf, 2011). Hasil penelitian yang

diperoleh menunjukkan bahwa anak yang memiliki perkembangan sosial baik sebesar 31

orang (81,6%), lebih besar persentasenya dibandingkan anak yang memiliki

perkembangan sosial cukup sebesar 7 orang (18,4%). Sedangkan anak yang memiliki

perkembangan sosial kurang tidak ditemukan pada penelitian ini (0%).

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sebanyak 31 orang anak yang memiliki

perkembangan sosial baik berarti bahwa anak telah mampu bekerja sama dengan orang

lain, mampu menyesuaikan diri pada norma-norma di masyarakat atau lingkungan tempat

tinggalnya dengan berperilaku dan bersikap sesuai dengan tuntutan sosial. Ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Yusuf (2011) bahwa perkembangan sosial

merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Sedangkan 7 orang anak yang

memiliki perkembangan sosial cukup artinya anak belum sepenuhnya melalui proses-

proses perkembangan sosial yang dikemukakan oleh Hurlock cit Suprobo (2008), yaitu:

a. Berperilaku yang dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku

yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat, anak tidak hanya harus mengetahui

perilaku yang dapat diterima, tetapi juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan

yang bisa diterima.

b. Memainkan peran sosial yang dapat diterima

Page 13: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan

seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk patuh.

c. Perkembangan sikap sosial

Untuk bermasyarakat atau bergaul dengan baik, anak-anak harus menyukai orang dan

aktifitas sosialnya. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam

penyesuaian sosial  yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat

mereka menggabungkan diri.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak menurut

Hamdani (2007), yaitu:

a. Keluarga

Merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek

perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara

kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak.

Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak

ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, dan etika berinteraksi dengan orang lain

banyak ditentukan oleh keluarga.

b. Kematangan

Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, diperlukan kematangan fisik dan psikis

sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial. Memberi dan menerima nasehat

orang lain memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Disamping itu,

kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.

c. Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam

masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah

ditanamkan oleh keluarganya.

d. Pendidikan

Merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses

pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak di

dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.

e. Kapasitas Mental: Emosi dan Intelegensi

Kemampuan berpikir dapat mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar,

memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi berpengaruh sekali

terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang kemampuan inteleknya tinggi akan

memiliki kemampuan berbahasa baik. Oleh karena itu, jika perkembangan ketiganya

seimbang, maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.

Page 14: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Pada penelitian ini, para responden anak di SDN Kledokan, Depok, Sleman,

Yogyakarta yang berjumlah 38 responden, seluruhnya adalah anak-anak yang masih

tinggal bersama dengan orang tuanya. Ini berarti bahwa dalam kehidupannya sehari-hari,

sejak awal kehidupannya, anak menerima asuhan atau didikan langsung dari orang tuanya.

Para responden anak juga merupakan anak-anak yang tidak mengalami gangguan

atau kecacatan baik fisik maupun psikis. Pada saat penelitian juga semua anak dipastikan

dalam kondisi yang sehat atau tidak sakit. Selain itu, semua responden dalam penelitian ini

juga dipastikan bahwa mereka merupakan anak-anak yang fasih berbahasa Indonesia dan

tidak buta huruf. Hal ini dikarenakan bahwa semua anak yang menjadi responden adalah

anak-anak yang duduk di kelas 4 dan 5 sekolah dasar. Anak kelas 4 dan 5 dipilih dengan

tujuan agar adanya homogenitas dalam penelitian, misalnya rentang usia yang relatif sama

dan kelancaran atau kemampuan dalam membaca yang relatif sama. Pada penelitian ini

juga, seluruh responden merupakan responden yang tergolong ke dalam keluarga yang

tidak miskin. Ini ditunjukkan dengan pendapatan keluarga yang dijadikan responden

adalah keluarga dengan penghasilan di atas Rp 600.000,- per bulan (berdasarkan kriteria

BPS). Hal ini dilakukan agar adanya suatu homogenitas, sehingga tidak terjadi

kesenjangan atau perbedaan yang mencolok antarresponden yang diteliti.

3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosial Anak

Usia Sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta

Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa karateristik responden seperti

pola asuh orang tua dan perkembangan sosial anak usia sekolah. Berdasarkan data yang

diperoleh dari 38 responden di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta, responden

yang termasuk dalam pola asuh demokratis dan termasuk dalam perkembangan sosial baik

adalah 27 orang (71%). Pola asuh demokratis merupakan suatu bentuk pola asuh yang

dikatakan ideal dan direkomendasikan oleh para ahli untuk diterapkan dalam kehidupan

keluarga. Dalam pola asuh demokratis umumnya ada keterbukaan antara orang tua dan

anak serta orang tua dan anak tidak saling bersikap semena-mena. Hal ini akan membawa

orang tua dan anak berada dalam kondisi yang akrab dan harmonis satu sama lain. Ini

seperti yang dikemukakan oleh Behrman (2000) bahwa pola asuh demokratis atau

autoritatif merupakan bentuk pola asuh yang paling baik dan efektif untuk diterapkan pada

anak, karena anak diajak untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat serta

pemikirannya. Pola asuh demokratis yang diterapkan pada anak akan membuat anak

menjadi mandiri, kreatif, bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya, berani dan bisa

menjadi diri sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa responden dengan pola asuh

otoriter dan termasuk dalam perkembangan sosial baik adalah 2 orang (5,3%). Padahal

teori yang dikemukakan oleh Prasetya (2003) menyatakan bahwa kebanyakan anak dengan

pola asuh otoriter cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan, dan tampak

Page 15: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

kurang percaya diri. Demikian juga responden dengan pola asuh permisif dan termasuk

dalam perkembangan sosial baik adalah 2 orang (5,3%).

Padahal teori yang dikemukakan oleh Dariyo (2004) menyatakan bahwa anak

dengan pola asuh permisif cenderung kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang

belaku. Sedangkan responden dengan pola asuh demokratis dan termasuk dalam

perkembangan sosial cukup adalah 7 orang (18,4%). Secara keseluruhan, baik pola asuh

demokratis, otoriter maupun permisif, tidak ada anak yang memiliki perkembangan sosial

kurang.

Analisa bivariat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak

usia sekolah di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta menggunakan uji korelasi

Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 90% dan α 0,1. Pada analisa tersebut dapat dilihat

koefisien korelasi yaitu nilai P-value=0,604. Hal ini menunjukkan bahwa nilai P>0,1.

Dengan demikian Ho diterima, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan pola asuh

orang tua dengan perkembangan sosial anak usia sekolah di SDN Kledokan, Depok,

Sleman, Yogyakarta. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Raun Sinaga (2008) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Ibu Bekerja dengan

Perkembangan Sosial Anak Usia Prasekolah di Kelurahan Karang Anyar Gunung

Kecamatan Candi Sari Semarang” yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara pola asuh ibu bekerja dengan perkembangan sosial anak usia prasekolah.

Tidak adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial

anak usia sekolah bisa terjadi sebab ada banyak faktor yang terlibat dalam membentuk

sikap atau perilaku sosial anak usia sekolah selain lingkungan keluarga, antara lain

kematangan dan pendidikan. Menurut Hamdani (2007), dalam memberi dan menerima

nasehat orang lain memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Selain itu,

pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai

proses pengoperasian ilmu yang normatif, memberikan warna kehidupan sosial anak di

dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa pola asuh orang tua bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan

perkembangan sosial seorang anak itu menjadi baik atau tidak. Seorang anak memiliki

kemampuan sendiri dalam dirinya (kematangan) untuk menerima segala nasehat yang

datang, baik yang datang dari lingkungan keluarga maupun lingkungan luar keluarga

seperti sekolah, teman sepermainan maupun lingkungan masyarakat. Dengan pendidikan

yang diterima anak selama duduk dibangku sekolah, anak tentunya diajarkan tentang hal-

hal yang mengarahkan anak ke kehidupan sosial yang baik untuk berinteraksi atau hidup

berdampingan dengan orang lain.

Page 16: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Menurut Yusuf (2011), perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses

belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi;

meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.

Dengan kata lain, perkembangan sosial seseorang dapat dilihat atau ditunjukkan melalui

tingkah laku atau sikapnya sehari-hari. Dalam perjalanannya, seseorang menjalankan

proses yang disebut penyesuaian sosial. Salah satu teori penyesuaian sosial pada siswa

yang dikemukakan oleh Sugiyanto (2006), bahwa penyesuaian sosial adalah kemampuan

siswa mereaksi kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di sekolah, mencakup aspek-aspek

penghargaan terhadap orang lain (teman sebaya), partisipasi dalam mengikuti pelajaran,

kerjasama dengan teman, dan merasa aman berada di lingkungan sekolah. Pada proses

penyesuaian sosial, faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang selain

lingkungan keluarga yaitu lingkungan sekolah dan media massa (Gerungan, 2009).

Peranan keluarga meliputi status sosial ekonomi, keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan

orang tua dan status anak. Peranan sekolah meliputi struktur dan organisasi sekolah, serta

peranan guru dalam menyampaikan pelajaran.

Peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan,

televisi, film, radio dan sebagainya. Sebagai contoh peran media massa, menurut Ketua

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan, Aswar Hasan di Makassar dalam

Kompas.com (Yudono, 2008), tayangan film kartun yang disiarkan stasiun televisi swasta

di Indonesia harus diwaspadai, karena dapat membahayakan perkembangan mental dan

interaksi sosial anak. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pengaruh dari menonton

tayangan itu menyebabkan banyak anak-anak tidak tahu lagi sopan santun terhadap orang

tua. Lebih jauh dijelaskan, berdasarkan hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia diketahui

70 persen tayangan televisi swasta lebih banyak menampilkan unsur hiburan daripada

unsur pendidikan. Padahal fungsi dan peran media massa setidaknya harus

menyeimbangkan fungsi hiburan, pendidikan, informasi, dan kontrol sosial.

Anak usia sekolah cukup banyak menghabiskan waktunya setiap hari di lingkungan

sekolah. Selain itu, selama masa pertengahan dan masa akhir anak-anaknya, anak-anak

menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota sekolah yang harus

mengerjakan sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan

membatasi perilaku, perasaan dan juga sikap mereka. Dengan demikian, sekolah memiliki

peranan sangat penting dalam menentukan perkembangan kepribadian anak, baik dalam

cara berpikir, bersikap maupun berperilaku. Ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

oleh Yusuf (2011) bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara

sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka

membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek

Page 17: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Ini juga sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Sinolungan (2001) bahwa di sekolah guru membimbing perkembangan

kemampuan sikap dan hubungan sosial yang wajar pada peserta didik.

Hubungan sosial yang sehat dalam sekolah dan kelas seyogyanya diprogram,

dikreasikan, dan dipelihara bersama-sama dalam belajar, bermain, dan berkompetisi yang

sehat. Sekolah mengupayakan layanan bimbingan kepada peserta didik. Bimbingan selain

untuk belajar adalah untuk penyesuaian diri ke dalam lingkungan atau juga penyerasian

terhadap lingkungannya. Kepada siswa diajarkan tentang disiplin dan aturan melalui

keteraturan atau conformity yang disiratkan dalam tiap pelajaran.

Di SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta, khususnya pada anak-anak kelas 4

dan 5 sekolah dasar, dapat dikatakan bahwa orang tua menerapkan pola asuh demokratis,

otoriter, dan permisif. Pada penelitian ini juga dapat dikatakan bahwa responden dengan

pola asuh otoriter maupun permisif belum tentu memiliki perkembangan sosial cukup atau

bahkan perkembangan sosial kurang. Sedangkan responden dengan pola asuh demokratis

belum tentu memiliki perkembangan sosial yang selalu baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sebagian besar responden orang tua menerapkan pola asuh demokratis, yaitu berjumlah 34

responden (89,4%).

2. Sebagian besar responden anak memiliki perkembangan sosial baik, yaitu berjumlah 31

responden (81,6%).

3. Tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak usia sekolah di

SDN Kledokan, Depok, Sleman, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Anggriawan, F. (2011). Internet. Kasus Kekerasan Anak. http://news.okezone.com /read/2011/12/. Diakses 22 Desember 2011.

Behrman, R.E. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson, vol.1, alih bahasa Wahab. Jakarta: EGC.

Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Djiwandono, W. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Eka, A.R. (2004). Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental di SLB C Negeri II Gondomanan Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FK UGM.

Gerungan. (2009). Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Gunarsa, S.D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Page 18: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi

Hamdani. (2007). Internet. Perkembangan Sosial Anak. http://h4md4ni.wordpress. com/perkembang-anak/. Diakses tanggal 22 November 2011.

Lestari, P et al. (2008). Pelatihan Pola Asuh Anak dalam Keluarga pada Masyarakat di Kampung Jlagran. Yogyakarta: UNY FISE.

Murdiastuti, E. (2010). Internet. Kekerasan Pada Anak. http://www.ccde.or.id /index. php?option=com content&view=article&id =364kekerasan-pada-anak-tindakan biadab& catid=2:sorotan&Itemid=3. Diakses 22 Desember 2011.

Prasetya, T. (2003). Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo.

SIGA BPPM Provinsi DIY. (2010). Internet. Perlindungan: Kekerasan Terhadap Anak. http://siga.bppm.jogjaprov.go.id/2010/?Data-Anak. Diakses tanggal 20 Januari 2012.

Sinolungan, A.E. (2001). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Manado: Universitas Negeri Manado.

Sugiyanto. (2006). Program Bimbingan dan Konseling untuk Penyesuain Sosial Siswa. Tesis. Bandung: Jurusan PBB FIP UPI.

Suparyanto. (2010). Internet. Pola Asuh Orang Tua. http://dr-suparyanto. blogspot. com/2010 /07/konsep-pola-asuh-anak.html . Diakses tanggal 05 Desember 2011.

Suprobo, N. (2008). Internet. Perkembangan Sosial pada Masa Anak-anak. http://novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/18/perkembangan-sosial-pada-masa-anak-anak-akhir-dan-remaja/ . Diakses tanggal 22 November 2011.

Wahini, M. (2002). Internet. Keluarga Sebagai Tempat Pertama dan Utama Terjadinya Sosialisasi pada Anak. http://rudyct.tripod . com. Diakses tanggal 22 Januari 2012.

Yudono, J. (2008). Internet. Tayangan Kartun Bahayakan Perkembangan Anak. http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/12105854/tayangan.kartun.bahayakan.perkembangan.anak. Diakses tanggal 05 Juni 2012.

Yusniyah. (2008). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa MTs Al-Falah, Jakarta Timur. Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah.

Yusuf, S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 19: Jurnal Charthika Elisthinna Dewi