Jurnal Ariefina Kusuma Nandari -...
Transcript of Jurnal Ariefina Kusuma Nandari -...
1
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah aspek yang terpenting dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Pada saat ini, ada berbagai penyakit yang
dengan mudahnya menyerang tubuh manusia ketika daya tahan
tubuh melemah. Jika tidak segera ditangani, maka akan berakibat
pada sulitnya untuk diobati dan berujung pada kematian. Hal ini
sesuai dengan upaya kesehatan yang menyatakan bahwa
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dalam bentuk
pencegahan penyakit sampai tahap pemulihan kesehatan oleh
pemerintah, dan atau masyarakat (UU no.36 tahun 2009).
Rumah sakit adalah industri yang bergerak dalam
pelayanan jasa dan merupakan salah satu bentuk sarana
kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau
masyarakat yang berupaya memberikan pelayanan kesehatan
dasar, pelayanan rujukan, dan pelayanan penunjang. Dalam
pernyataannya, Kotler (1997) mengatakan bahwa jasa adalah
aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh pihak lain yang pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan
apapun. Profesi yang berkaitan dengan jasa dalam orientasi bisnis
pelayanan kesehatan adalah dokter, perawat dan ahli lain yang
bekerja sama di dalamnya. Rumah sakit sebagai jasa pelayanan
kesehatan dan keselamatan memiliki tanggung jawab untuk
memelihara keselamatan dan kesehatan pasien. Selain itu, rumah
sakit dijadikan lahan praktik karena memiliki cukup peralatan dan
2
staf profesional, tersedianya materi yang cukup untuk
melaksanakan pendidikan, terdapatnya komunitas profesional
keperawatan dengan kualitas dan jumlah yang memadai untuk
melaksanakan penelitian dan pendidikan. Oleh karena itu, pasien
sebagai pengguna jasa layanan kesehatan mendapat pelayanan
yang baik.
Sementara itu, tingginya biaya pelayanan dan
pemeliharaan kesehatan hendaknya diimbangi dengan adanya
peningkatan kualitas pelayanan dari sumber daya manusianya,
khususnya tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Tenaga kesehatan
Rumah Sakit adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan (UU no.36 tahun 2009). Di rumah sakit, sumber daya
yang sering berhubungan secara langsung dan merupakan tenaga
profesional terbanyak adalah perawat. Perawat adalah tenaga
profesional yang mempunyai dedikasi untuk dapat memberi
pelayanan yang berkualitas. Pelayanan keperawatan merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
mempunyai peranan besar terhadap pencapaian efisiensi, kualitas
dan citra rumah sakit di mata masyarakat. Gunarsa dan Gunarsa
(1995) menyatakan bahwa keberhasilan seorang perawat
tergantung pada pemahaman diri sendiri, kekuatan dan
kelemahan serta pengaruh orang lain. Selain itu, mereka
3
mempunyai ciri sebagai seorang perawat yang ramah, simpati,
mudah bekerja sama, pandai menimbang perasaan, sikap sopan
santun, dapat dipercaya, rendah diri, murah hati, berjiwa sportif,
berpenampilan menarik, dan pandai bergaul dengan menunjukkan
perilaku memberikan pertolongan dengan layanan terbaik pada
pasien.
Namun, untuk mewujudkan visi dan misi ini terdapat
kendala yang ditemui, diantaranya perawat yang kurang ramah
atau kurang simpati biasanya membawa masalah ke dalam
pekerjaan sehingga beberapa pasien mengeluh dan sering terjadi
pada pasien yang berasal dari golongan yang tidak mampu.
Penyebab lain yang terjadi kelalaian dalam hal pemberian obat,
obat yang seharusnya diberikan sering datang terlambat bahkan
hilang. Hal ini kurang sesuai dengan sesuai dengan prosedur
sehingga mendapat pengarahan dari kepala bangsal dan dishifkan
pagi agar mendapat pengawasan. Lain halnya dengan yang
dikeluhkan oleh perawat ketika melayani pasien diantaranya
kurang dipatuhinya anjuran atau saran yang seharusnya dilakukan
sehingga perawat berulang kali menegur dan memberikan
pengertian baik kepada pasien maupun keluarga pasien yang
merawat.
Untuk mewujudkan pelayanan yang optimal, maka tidak
terlepas dari kinerja perawat dalam melaksanakan tugasnya.
Kinerja perawat yang baik akan berimplikasi terhadap pelayanan
yang baik pula. Jika kinerja rendah atau buruk tersebut tetap
4
dilakukan, maka perawat tidak akan naik jabatan dan akan di
rotasi ke ruang lain. Selain itu, peningkatan melalui pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti pelatihan keperawatan
keterampilan teknis atau keterampilan dalam hubungan
interpersonal. Program pelatihan adalah salah satu upaya untuk
dapat meningkatkan kinerja pegawai dalam menghadapai
berbagai macam perubahan baik internal maupun eksternal.
Harapan dari model pelatihan ini akan mampu untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pegawai sehingga pada
akhirnya tujuan industri pelayanan jasa akan dapat tercapai
(dalam Sani, 2011)
Atas dasar hal tersebut dapat dikatakan bahwa
menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku atau perbuatan yang
relevan untuk mencapai hasil akhir sesuai dengan perilaku yang
memiliki kontribusi pada suatu organisasi. Sementara itu, kinerja
dipengaruhi oleh kemampuan, kepribadian, ketertarikan,
pengetahuan pernyataan tersebut diungkapkan oleh Campbell
(1990). Goleman (1999) menyatakan bahwa Kecerdasan
intellegensi (IQ) dan Kecerdasan emosi (EQ) merupakan faktor
yang mempengaruhi kinerja seseorang. Namun kecerdasan
emosilah yang lebih berperan untuk menghasilkan kinerja yang
cemerlang. Lebih lanjut menurut Ernawati (2006) menyatakan
bahwa kinerja perawat adalah suatu bentuk pelayanan profesional
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, bentuk pelayanan
5
yang komprehensif yang ditujukkan pada individu, keluarga, dan
masyarakat, baik yang sehat maupun yang sakit yang mencakup
seluruh kehidupan manusia.
Penilaian kinerja kerja seorang perawat dilihat dari
perilaku melayani pasien yang sesuai dengan standar mutu
asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan telah disusun
dan diberlakukan untuk diterapkan di seluruh rumah sakit,
melalui SK Dirjen Yanmen No.YM.00.03.2.6.7637 tahun 1993
tentang berlakunya Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit
dengan maksud semua tenaga keperawatan di Rumah Sakit,
dalam memberikan asuhan keperawatan harus berpedoman pada
Standar Asuhan Keperawatan dan digunakan untuk mengukur
tingkat keberhasilan dan mutu asuhan keperawatan.
Sehubungan dengan hal itu, Cooper dan Sawaf (1999)
menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengindera, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan
dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan
pengaruh. Goleman (2000) memberi penjelasan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengelola
perasaan antara lain memotivasi dirinya sendiri dan orang lain,
tegar menghadapi frustasi, sanggup mengatasi dorongan-
dorongan primitif dan kepuasan-kepuasan sesaat, mengatur
suasana hati yang reaktif, dan mampu berempati pada orang lain.
Salovey dan Mayer (2000) menyatakan pendapat bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan,
6
meraih, membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan, maknanya, mengendalikan perasaan serta
mendalam sehingga membantu perkembangan pertumbuhan
emosional dan intelektual.
Keterkaitan antara kecerdasan emosi dan kinerja pernah
diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian Boyatzis
(1999) dan Cherniss (1998) menemukan bahwa beberapa
konsultan dan agen penjualan yang memiliki skor kompetensi EQ
yang tinggi ternyata menghasilkan kinerja. Hasil penelitian lain
yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan kinerja
yaitu Chipain (2003); Rosalina (2008); Sakdanur (2005); Sukasno
(2005); Trihandini (2005); Van Rooy dan Visweswaran (2004).
Hasil penelitian dari Sala (2000) juga menyatakan bahwa
kecerdasan emosi positif dan signifikan dengan kinerja, ketika
individu memiliki kesadaran diri dan kesadaran sosial maka
ratingnya akan signifikan dengan penilaian organisasi.
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang ada di
atas, hasil penelitian oleh Carruso (1999) yang mengemukakan
bahwa kinerja atau kesuksesan kerja tidak hanya dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi namun ada beberapa hal yang akan
mempengaruhinya. Murensky (2000), Druskat (2002) hanya
menemukan hubungan yang lemah antara kecerdasan emosi dan
keseluruhan kinerja organisasi. Kecerdasan emosi merupakan
gabungan dari 27 kompetensi di mana masing-masing
kompetensi itu belum pernah diukur tersendiri peranannya dalam
7
meningkatkan kinerja yang unggul. Selain itu, hasil penelitian
Barnes (2008) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
kecerdasan emosi dan kinerja dalam populasi suatu organisasi.
Beberapa hal menarik mengidentifikasikan hubungan yang
bertentangan pada suatu lembaga, meliputi pengalaman, bentuk
ekspesi emosi, dan kasus model manajemen.
Berdasarkan fenomena dan hasil penelitian di atas, maka
peneliti ingin meninjau lebih jauh penelitian sebelumnya dengan
meneliti “Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kinerja Perawat
Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas timbul suatu pertanyaan yaitu
“Apa Ada hubungan yang positif dan signifikan antara
Kecerdasan Emosi Perawat Dengan Kinerja Perawat Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Salatiga?”
LANDASAN TEORI
Kinerja
Istilah kinerja berasal dari kata “Job Perfomance” atau
“Actual Perfomance” yang dicapai seseorang atau sekelompok
dalam organisasi dengan wewenang dan tanggung jawab masing-
masing dalam mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan
legal, tidak melanggar. Kinerja sangat berhubungan erat dengan
dunia psikologi industri dan organisasi. Definisi dari kinerja
8
merupakan kriteria dalam penentuan hasil akhir dan kesuksesan
bagi setiap individu serta membantu dalam pemahaman dalam
berperilaku (Campell,1990, h.28).
Pendapat lain disampaikan oleh Dessler (dalam Fabiola,
2005) memberikan pengertian yang lain tentang kinerja yaitu
merupakan perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata
dengan standar kerja yang ditetapkan dan kinerja itu sendiri lebih
memfokuskan pada hasil kerjanya, sedangkan menurut Mathis
dan Jackson (2002), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh karyawan. Kinerja
karyawan mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan
kontribusi kepada organisasi.
Menurut Barnes (2008), ada tiga macam aspek kinerja
yaitu, kualitas, kuantitas, dan perilaku organisasi. Menurut Sim
dan Sziglagy (dalam Wijono, 2010) faktor kinerja, diantaranya
keahlian, minat, motivasi, dan situasi kerja. Selain itu, Goleman
(1999) menyatakan bahwa kecerdasan intelegensi (IQ) dan
kecerdasan emosi (EQ) merupakan faktor yang mempengaruhi
kinerja seseorang, namun kecerdasan emosilah yang lebih
berperan untuk menghasilkan kinerja yang cemerlang.
Ilyas (2001) mengemukakan beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dalam penilaian kinerja perawat antara lain:
a. Meningkatkan prestasi kerja staf baik secara individu
maupun kelompok dengan memberikan kesempatan kepada
9
mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam
kerangka pencapaian tujuan pelayanan Rumah Sakit.
b. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan
tujuan meningkatkan prestasi dan hasil kerja dengan
memberikan umpan balik kepada mereka tentang
prestasinya.
c. Membantu Rumah Sakit untuk dapat menyusun program
pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna.
d. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi
kerja dengan meningkatkan gaji atau sistem imbalan yang
baik.
e. Memberikan kesempatan untuk komunikasi dan dialog antara
atasan dan bawahan.
Kecerdasan Emosional
Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk mengelola perasaan antara
lain memotivasi dirinya sendiri dan orang lain, tegar menghadapi
frustasi, sanggup mengatasi dorongan-dorongan primitif dan
kepuasan-kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif,
mampu berempati pada orang lain. Kemampuan pengelolaan
emosi berdampak pada pengambilan keputusan dengan tepat dan
tidak merugikan pihak manapun yang sedang terlibat.
Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosi. Lima
10
aspek yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi,
diantaranya mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
motivasi, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan
dengan orang lain.
Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Kinerja
Dunia kerja memiliki beragam masalah dan tantangan
yang harus dihadapi, seperti beban kerja, tuntutan kerja,
lingkungan atau suasana kerja dan masalah yang terjadi dan
terkait dengan orang lain. Masalah-masalah yang terjadi
memerlukan penanganan dengan baik sehingga tidak merugikan
banyak pihak. Untuk dapat mengatasi perasaan-perasaan tersebut
seorang individu dituntut memiliki kemampuan untuk menyadari
emosi diri, kemampuan untuk mengontrol emosi yang muncul
dan kemampuan untuk memotivasi diri dalam mengatasinya.
Salah satu hal yang diperlukan untuk menangani masalah tersebut
yaitu kecerdasan emosi (Goleman, 2001).
Kecenderungan membawa suatu masalah pribadi ke
dalam pekerjaan menyebabkan seseorang menjadi tidak dapat
mengontrol emosi sehingga berpengaruh bagi kinerjanya. Hal
tersebut tentunya akan membawa dampak bagi diri sendiri
maupun orang lain seperti teman sejawat, pasien maupun
keluarga pasien. Oleh karena itu perlunya pengaturan emosi
dengan baik seperti memotivasi diri, mampu berempati,
11
menghadapi dan mampu menyelesaikan masalah (Goleman,
2001)
Secara khusus perawat membutuhkan kecerdasan emosi
yang tinggi. Hal ini dikarenakan perawat merupakan tenaga
profesional yang terbanyak dan sering berkomunikasi dengan
pasien. Dalam pemberian pelayanan jasa terhadap pasien
seharusnya menyenangkan karena pelayanan perawat sangat
menentukan baik buruknya citra suatu rumah sakit. Pengetahuan,
keterampilan dan kecerdasan emosi sangat penting bagi perawat
sebagai sumber daya manusia di rumah sakit sehingga
meningkatkan kinerja perawat. Oleh karena itu, pelayanan
keperawatan sangat memerlukan sosok perawat yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi. Hal tersebut sangat berguna bagi
hubungannya dengan teman sejawat, pasien maupun keluarga
pasien. Sikap tersebut menurut Goleman (2001) disebut dengan
kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi merupakan sisi lain dari
kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang
meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan,
semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial.
Kecerdasan emosional lebih ditujukan kepada upaya mengenali,
memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan
upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat
memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama
yang terkait dengan hubungan antar manusia.
12
Hipotesis
Dalam penelitian ini, hipotesis yang akan diuji adalah apa
ada hubungan signifikan dan positif antara kecerdasan emosi dan
kinerja perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga.
Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi kinerjanya.
Demikian pula semakin rendah kecerdasan emosinya semakin
rendah kinerjanya.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu:
1. Variabel Bebas : Kecerdasan emosi
2. Variabel Terikat : Kinerja
A. Definisi Operasional Variabel
1. Kinerja
Kinerja adalah hasil kerja yang telah dicapai seorang
individu yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan
berdasarkan standar kerja yang ditetapkan oleh suatu perusahaan
atau organisasi. Untuk pengukuran tingkat kecerdasan emosi ini
digunakan skala kecerdasan emosi dengan model Likert. Kinerja
dalam penelitian ini diungkap dengan menggunakan skala kinerja
yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh
Barnes (2008) meliputi kualitas, kuantitas, dan perilaku
organisasi.
13
2. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan dan
memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan emosi
yang mencakup kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang
lain, pengendalian diri, mampu memahami perasaan orang lain
dengan efektif dan mampu mengelola emosi yang dapat
digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil
keputusan yang terbaik.
Untuk pengukuran tingkat kecerdasan emosi ini
digunakan skala kecerdasan emosi dengan model Likert.
Kecerdasan emosi dalam penelitian ini diungkap dengan
menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun berdasarkan
aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2001) yaitu
kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan
dalam membina hubungan dengan orang lain.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif uji kolerasi
Spearman. Populasi adalah keseluruhan unit atau individu dalam
ruang lingkup yang ingin diteliti (Supramono, 2003). Populasi
dalam penelitian ini adalah perawat inap RSUD Kota Salatiga
yang berjumlah 120 perawat. Sedangkan sampel penelitian
sebanyak 92 perawat. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan purposive quote sampling adalah
teknik pengambilan subyek penelitian berdasarkan ciri-ciri
14
tertentu dipandang mempunyai sangkut paut yang erat untuk
dijadikan sampel (Hadi, 2000).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan
menggunakan kuesioner. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah berupa skala. Skala adalah suatu cara
pengumpulan data dengan jalan memberikan sejumlah pertanyaan
tertulis mengenai suatu hal yang harus dijawab dan dikerjakan
oleh responden yang menjadi subjek penelitian. Model skala yang
digunakan adalah modifikasi dari Skala Likert dengan empat
alternatif jawaban yang harus dijawab salah satu yang sesuai
dengan keadaan subjek, yaitu STS = Sangat Tidak Sesuai ; TS =
Tidak Sesuai ; S = Sesuai dan SS = Sangat Sesuai.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyusunan alat ukur
Persiapan selanjutnya yang dilakukan oleh penulis adalah
membuat alat ukur berupa skala yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kecerdasan emosi dengan kinerja perawat di
RSUD Kota Salatiga.
Ada dua skala yang digunakan di dalam penelitian ini,
yaitu : skala kecerdasan emosi dan skala kinerja.
a. Skala kecerdasan emosi
Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala kecerdasan emosi yang diambil dari Goleman
(2001), meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
15
motivasi diri, empati diri, dan membina hubungan dengan orang
lain.
Jumlah item pada skala kecerdasan emosi yang akan diuji
sebanyak 30 item, terdiri dari 15 item bersifat favourable dan 15
item bersifat unfavourable. Respon yang digunakan pada skala
kecerdasan emosi dalam penelitian ini adalah kesesuaian dan
ketidaksesuaian, dengan variasi Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) berdasarkan
skala likert. Pemberian skor untuk item favourabel diurutkan dari
angka 4 sampai dengan 1, sedangkan untuk unfavorable
diurutkan dari angka 1 sampai dengan 4.
b. Skala kinerja
Dalam skala kinerja digunakan dalam penelitian ini
adalah skala kinerja dari Barnes (2008) yang terdiri dari kualitas,
kuantitas, dan perilaku organisasi.
Jumlah item pada skala kecerdasan emosi yang akan diuji
sebanyak 30 item, terdiri dari 15 item bersifat favourable dan 15
item bersifat unfavourable. Respon yang digunakan pada skala
kinerja dalam penelitian ini adalah kesesuaian dan
ketidaksesuaian, dengan variasi Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) berdasarkan
skala likert.
16
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Pada pengujin validitas, terdapat 27 item valid dalam
skala kecerdasan emosi dan 23 item valid dalam skala kinerja.
Setelah uji validitas, maka dilakukan uji reliabilitas dengan
menggunakan bantuan program SPSS for Windows Versi 16.0.
Perhitungan reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan
teknik analisis alpha cronbach. Dengan perhitungan ini diperoleh
reliabilitas sebesar 0,938 yang berarti skala kecerdasan emosi
memiliki reliabilitas yang sangat tinggi. Sedangkan reliabilitas
juga dilakukan pada skala kinerja dan diperoleh 0,947 yang
berarti reliabilitas sangat tinggi.
UJI LINEARITAS DAN KOLERASI
Dari hasil uji normalitas tersebut, dapat dilihat bahwa
variabel kecerdasan emosi dan kinerja tidak lolos uji normalitas.
Dari tabel didapatkan skor Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,00
untuk kecerdasan emosi dan 0,02 untuk kinerja.
Pengujian linearitas dilakukan dengan menggunakan
SPSS for windows release versi 16. Dari hasil perhitungan
diperoleh F hitung = 1,220 dengan p = 0,252 (p > 0,05) dengan
demikian hal tersebut berarti bahwa hubungan kecerdasan emosi
dengan kinerja adalah linear atau kedua variabel tersebut
membentuk garis lurus.
17
ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil deskriptif demografi reponden
diketahui bahwa usia perawat paling banyak berusia 20-30 th
(47,82%), pendidikan perawat paling banyak lulusan DII
sebanyak (72,8%), jenis kelamin paling banyak perempuan
sebanyak (73,9 %)
Dapat dilihat bahwa 68 responden memiliki tingkat
kecerdasan emosi tergolong tinggi sebesar 73,9%. Sementara itu,
2 responden menunjukkan tingkat kecerdasan emosi yang sangat
rendah sebesar 2,1%. Maka, dikatakan bahwa mayoritas
responden memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.
Sedangkan untuk penghitungan kinerja, dapat dilihat 56
responden memiliki kinerja yang tinggi sebesar 60,2%.
Sementara itu, dapat dilihat pula 2 responden memiliki 2,1%.
Maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden memiliki
kinerja yang baik.
Hasil pengujian menggunakan teknik Spearman
didapatkan r = 0,715 dengan p = 0,00 (P < 0,05) yang berarti ada
hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan
kinerja.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diperoleh r = 0,654 dengan p = 0,00
(P < 0,05) yang berarti ada hubungan positif dan signifikan
antara kecerdasan emosi dengan kinerja.
18
Ini berarti bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Dapat
disimpulkan bahwa adanya perbedaan yang positif dan signifikan
kecerdasan emosi dengan kinerja perawat RSUD Kota Salatiga.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal pertama, diantaranya adalah
perawat memiliki pengaturan diri yang baik sehingga mendukung
kinerja yang baik pula, seperti yang diutarakan oleh Cherniss
(2000), yang menyatakan bahwa kompetensi emotional merupakan
dasar emotional Intelligence. Suatu tingkatan dalam emotional
Intelligence perlu mempelajari kompetensi emosional. Misalnya
perawat yang bisa mengatur emosi dengan baik akan lebih mudah
mengembangkan kompetensi inisiatif atau dorongan berprestasi.
Kedua, perawat memiliki hubungan yang baik dengan orang lain yang
berpengaruh pula pada kinerja. Hal senada diungkapkan oleh Cooper
dan Sawaf (2002), bahwa pada dasarnya manfaat – manfaat yang
dihasilkan emotional intelligence merupakan faktor keberhasilan
organisasi adalah berkaitan dengan pembuatan keputusan,
kepemimpinan, terobosan teknis, komunikasi terbuka dan jujur,
bekerjasama dan saling mempengaruhi, membangun loyalitas,
kreatifitas, inovasi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada prestasi.
Ketiga, motivasi tinggi seorang perawat yang berpengaruh pada kinerja.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Badra & Johana (2005) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh atau
berhubungan dengan kinerja adalah motivasi.
Seperti yang disampaikan oleh Goleman (1999) bahwa
kecerdasan intelegensi (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ)
merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang. Namun,
kecerdasan emosilah yang lebih berperan untuk menghasilkan
19
kinerja yang cemerlang. Oleh karena itu, kecerdasan emosilah
yang menduduki porsi lebih penting dibandingkan dengan yang
lain pada seluruh tingkatan jabatan. Pendapat Goleman ini sejalan
dengan pendapat Van Rooy dan Viswesvaran (2004) yang
menyatakan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara
kecerdasan emosi dengan kinerja kerja seseorang. Kecerdasan
emosi sangat memberi pengaruh penting untuk meningkatkan
karier yang sukses dan kinerja daripada kecerdasan pada
umumnya.Selain itu, kecerdasan emosi yang tinggi sangat
dibutuhkan dalam lingkungan organisasi, berinteraksi dengan
banyak orang baik di dalam maupun di lingkungan kerja.
Penelitian yang diadakan di RSUD Kota Salatiga,
pengukuran terhadap kecerdasan emosi terlihat rendahnya
kesadaran diri perawat, hal ini terlihat dari perawat yang kurang
dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Namun, di sisi lain perawat juga memiliki pengaturan diri yang
tinggi, hal ini terlihat dari pelampiasan suatu kemarahan atau
kekecewaan pada orang yang membuatnya terluka maupun
merasa kurang berkenan. Lebih lanjut, pada pengukuran terhadap
kinerja perawat yang rendah dalam segi kuantitasnya, hal ini
seperti yang diutarakan dalam item yaitu perawat merasa tidak
mudah dalam merawat pasien dalam satu shift. Namun, di sisi
lain perawat dapat menunjukkan kinerja yang tinggi dalam segi
kualitas, hal ini terlihat dari manfaat pelatihan dan pengembangan
yang dapat dirasakan secara langsung ketika merawat pasien.
20
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
kecerdasan emosi dengan kinerja perawat RSUD Kota Salatiga.
2. Kecerdasan emosi dan kinerja kategori berada pada kategori
tinggi. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi kecerdasan
emosi, maka semakin tinggi kinerjanya.
B. SARAN
Adapun saran dari penelitian ini, disesuaikan dengan
manfaat dari penelitian itu sendiri. Karena itu, saran penelitian ini
ditujukkan kepada beberapa pihak yaitu:
1. RSUD Kota Salatiga
Pihak rumah sakit selalu mengupayakan peningkatan
kecerdasan emosi dengan memberikan peluang kepada setiap
perawat dalam proses pelayanan melalui setiap kegiatan seperti
diskusi tentang membangun hubungan antar pribadi setiap
seminggu secara rutin sehingga terjadi peningkatan kinerja. Oleh
karena itu, peningkatan kinerja yang maksimal maka nama baik
rumah sakit akan terjaga dan selalu dikenang.
21
2. Perawat
Pentingnya peningkatan kecerdasan emosi sehingga
perawat dapat melayani pasien dengan hati melalui pemberian
dorongan setiap perawat dengan simulasi dan sharing dalam
menghadapi pasien yang sulit, melatih keterampilan komunikasi
antar perawat dalam waktu seminggu sekali, mengikuti rapat
evaluasi bulanan maupun diskusi yang dipimpin oleh supervisor
perawat. Hal ini dapat membuat perawat merasa sadar akan
perannya yang tidak dapat diabaikan dan menentukan citra rumah
sakit. Selain itu, motivasi juga dapat ditingkatkan dengan cara
menggali hal yang mendukung kinerja melalui pemberian reward
dan token.
3. Pada penelitian selanjutnya
Pada penelitian ini ada hubungan yang positif dan
signifikan, untuk itu bagi peneliti yang akan mengadakan
penelitian dengan topik yang sama, disarankan untuk melakukan
penelitian terhadap variabel-variabel lain yang dapat
mempengaruhi kinerja serta kondisi yang mempengaruhi, seperti
karakteristik pekerjaan yang lebih spesifik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, D. (2008). A Comparative of Emotional Intellegence and
Job Performance Among Case Manager Working in
Community-Based Mental Health Settings. Thesis.
Dasmarines. University of Cincinnati.
Badra, I & Johana. (2005). Hubungan Antara Stres Kerja Dan
Motivasi Dengan Kinerja Dosen Tetap Pada Akper
Sorong. Jurnal KMPK 8.
Boyatzis, R,E, Ron, S. (2001). Clustering competence
inemotional intelligence. In R. BarOn, R. & J. D. A.
Parker, (Eds), The Handbook of Emotional Intelligence.
Jossey-Bass: San Francisco, CA.
Campbell, J. P. (1990). Modeling The Performance Prediction
Problem In Industrial And Organizational Psychology. In
M. D. Dunnette & L. M. Hough (Eds.), Handbook
Cherniss, C. (2010). Emotional Intelligence: Toward Clarification
Of a Concept. Industrial and Organizational
Psychology: Perspectives on Science and Practice, 3,
110–126.
Chipain, C. G. (2003). Emotional Intelligence and Its
Relationship With Sales Success. Depaul University,
School Of Business.
Caruso, D. R., & Wolfe, C. J. (1999). Emotional intelligence in
everyday life .9. Philadelphia, PA: Psychology Press.
Depdikbud. (1993). Kepemimpinan Sekolah. Jakarta: Proyek
Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan wajib belajar.
Depkes. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan.
Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
23
Dessler, G, 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih
bahasa: Benyamin Molan, PT. Prenhallindo, Jakarta.
Druskat, V. U. & Muresky. (2002). Building The Emotional
Intelligence of Groups. Boston: Harvard Business Review.
Erlina, R. (2006). Gambaran Stress Kerja Perawat Dalam
Melaksanakan Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS Di
RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Jurnal Ilmu Kesehatan, 1,
3.
Ernawati. (2006). Analisis Kerja Perawat Ditinjau Dari Beban
Kerja dan Karakteristik Individu di Instalasi Rawat Inap
RSUD Raden Mattaher Jambi. Tesis. UGM.
Gillies, D. A. (1998).Nursing management a system approach
3ed. phyladelphia: WB. Saunders Company.
Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional Untuk Mencapai
Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa & Gunarsa. (1986). Psikologi Perawatan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
________________. (1995). Psikologi Perawatan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Hadi, S. (2000). Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta: Andi
Offset.
Ilyas, Y. (2001). Kinerja, Teori Penilaian dan Penelitian.
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI: Jakarta.
Kottler, J. P. (1997). Corporate Culture And Performance. The
Free Press A Division Simon & Schuster. New York.
24
Sakdanur. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Kinerja
Kepala Sekolah Survey Di SLTP Riau Daratan Provinsi
Riau. Jurnal Pendidikan Dasar, 6, 1.
Sala, F. (2002). Emotional Competence Inventory (ECI).
Technical Manual. McClelland Ceter for Research and
Innovation. Hay Acquisition Company I, Inc.
Sani, A. (2011). Analisis Pengaruh Burnout Dan Kecerdasan
Emosional (EI) Terhadap Kinerja Pegawai Pt Bank Mega
Syari’ah Cabang Malang. Tesis .Universitas Malang.
Trihandini, R.A. (2011). Analisis Pengaruh Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosi Dan Kecerdasan Spiritual
Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus Di Hotel
Horison Semarang). Tesis. Universitas Diponegoro
Semarang.
Van Rooy, D. L. &Viswesvaran, C. (2004). Emotional
Intelligence: A Meta-Analytic Investigation of Predictive
Validity and Nomological Net. Journal of Vocational
Behavior, 65(1), 71-95.
Wijono, S. (2010). Psikologi Industri dan Organisasi: Dalam
Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia
(ed.1). Jakarta: Kencana Media.