jurnal

27
I. PENDAHULUAN Pada tahun 1720, seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman, Abraham Vater, mendeskripsikan anatomi normal dan abnormal dari duktus biliaris (1,2) . Pada tahun 1852, Douglas, pertama kali mempublikasikan deskirpsi klinis dari seorang pasien dengan dilatasi dari duktus biliaris (1,2,3) . Kista duktus koledokus lebih sering ditemukan pada perempuan, dengan rasio perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:1 dan 4:1 (2,4) . Kondisi ini jarang terjadi, dengan insidensi terjadinya pada populasi di Barat yaitu 1 dalam 13.000 sampai 15.000 kelahiran hidup (2,3) . II. ETIOLOGI DAN EMBRIOLOGI Etiologi pasti Kista Duktus Koledokus sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas (1) . Terdapat beberapa teori berkenaan dengan etiologi dan patogenesis darikista duktus koledokus: (1). Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan kongenital pada dinding duktus biliaris, dimana hal ini merupakan hipotesis awal (Yotuyanagi, 1936), (2). Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct yang menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal (Saltz dan Glaser, 1954), (3).

description

medicine

Transcript of jurnal

Page 1: jurnal

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 1720, seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman, Abraham

Vater, mendeskripsikan anatomi normal dan abnormal dari duktus

biliaris(1,2). Pada tahun 1852, Douglas, pertama kali mempublikasikan

deskirpsi klinis dari seorang pasien dengan dilatasi dari duktus biliaris(1,2,3).

Kista duktus koledokus lebih sering ditemukan pada perempuan,

dengan rasio perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:1 dan 4:1(2,4). Kondisi

ini jarang terjadi, dengan insidensi terjadinya pada populasi di Barat yaitu

1 dalam 13.000 sampai 15.000 kelahiran hidup(2,3).

II. ETIOLOGI DAN EMBRIOLOGI

Etiologi pasti Kista Duktus Koledokus sampai saat ini masih belum

diketahui dengan jelas(1). Terdapat beberapa teori berkenaan dengan

etiologi dan patogenesis darikista duktus koledokus: (1). Terjadinya

kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan kongenital pada

dinding duktus biliaris, dimana hal ini merupakan hipotesis awal

(Yotuyanagi, 1936), (2). Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari

distal common bile duct yang menyebabkan terjadinya obstruksi

fungsional dan dilatasi proksimal (Saltz dan Glaser, 1954), (3). Kelemahan

yang didapat dari dinding duktus biliaris yang berhubungan dengan PBM,

pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana digambarkan

terdapatnya common pancreaticobiliary channel pada kista duktus

koledokus, dan terjadinya refluks enzim pankreas dapat menyebabkan

kerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi, (4). Terdapatnya obstruksi dari

bagian distal duktus biliaris. Stenosis sering ditemukan dibagian bawah

dari kista tipe 1, tetapi apakah penyebabnya kongenital ataupun sekunder

akibat adari inflamasi masih belum jelas(2).

Berdasarkan analisis Todani dan kawan-kawan menggunakan

endoscopic retrogarde cholangiography (ERCP) dan pemeriksaan dengan

kolangiografi lain, menerangkan terjadinya anomali pada pembentukan

duktus pankretikobiliaris dimana duktus pankreatikus bersatu dengan

duktus biliaris pada lokasi yang lebih proksimal diluar ampula Vater,

Page 2: jurnal

dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya refluks dari enzim pankreas,

yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada dinding duktus

dan terjadinya dilatasi(1,2,3,4,5).

Gambar 1. Kista choledokus

Konsentrasi yang tinggi dari enzim pankreas sering ditemukan pada bile

didalam kista. Hal ini ditunjang dengan meningkatnya kadar amilase yang

diaspirasi dari kista duktus koledokus(2,3). Long common channel tidak

hanya disertai dengan komplikasi pankreatitis, tetapi dapat juga disertai

dengan komplikasi protein plugs, kalkulus, pada anak dan dapat

berkembang menjadi karsinoma kandung empedu(2).

Pancreaticobiliary ductal malunion (PBMU) yang mengakibatkan

long common pancreaticobilliary channel, dengan panjang lebih dari 10

mm, dimana panjang yang normal pada anak yaitu lebih dari 5 mm

(Guelrud et al.,1999)(2).

III. PATOLOGI

Pada kista duktus koledokus, mukosa duktus biliaris menunjukkan

adanya erosi, deskuamasi epitel dan hiperplasia papilary dengan regenerasi

atipik. Displasia mukosa duktus biliaris tanpa karsinoma juga kerap ditemui.

Perubahan metaplasia seperti sel mucous, sel goblet dan sel Panet juga

ditemui. Hiperplasia dan metaplasia meningkat seiring usia dan dapat menjadi

karsinoma pada usia dewasa. Perubahan ini dapat ditemui pada semua tipe

kista duktus koledokus.

Page 3: jurnal

Mukosa kandung empedu pada pasien dengan PBMU menunjukkan

kolesistitis, cholesterolosis, adenomyosis atau adenomyomatosis, polip,

termasuk adenoma dan hiperflasia epitel. Mukosa kandung empedu pada

FFCC ditandai hiperplasia difus di epitel dengan atau tanpa metaplasia dari

pyloric glands, sel goblet dan sel Panet(3).

Gambar 2. Gambaran histopatologi kista ductus choledocus

IV. KELAINAN PENYERTA

Kelainan pada pertemuan duktus pankreatikobiliaris sering dijumpai. Hilar

duct strictures dapat dijumpai pada kista tipe IV. Todani et al, 1998,

melaporkan terdapat 18 kasus dengan hilar duct stricture dari 55 pasien

dengan kista tipe IV. Kelainan lain yang dilaporkan yaitu duktus biliaris

ganda, duplikasi kandung empedu dan agenesis kandung empedu.

Terjadinya malformasi diluar kandung empedu jarang ditemukan.

Kemungkinan kelainan penyerta lain yang cukup sering ditemukan yaitu

anomali pada traktus urinarius (Dudin et al.,1995; Stringer et al., 1995;

Samuel dan Splitz, 1996), dan duodenal atresia, annular pankreas dan

abnormalitas pada jari (Dudin et al., 1995)(2).

V. KLASIFIKASI ANATOMIS

Page 4: jurnal

Klasifikasi Kista Duktus koledukus yang umum dipakai adalah klasifikasi

menurut menurut Alonzo-Todani (1977) yang didasarkan pada lokasi

kista duktus billiaris (1) :

Tipe I : tipe ini merupakan tipe yang tersering (80-90% dari Kista

Duktus Koledokus). Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau

sacular dari duktus koledokus dengan melibatkan sebagian hingga

seluruh duktus.

o Tipe IA : berbentuk sacular dan melibatkan seluruh dari

duktus ekstra hepatik.

o Tipe IB : berbentuk sacular dan melibatkan sebagian

segmen dari duktus billiaris.

o Tipe IC : berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar

hingga seluruhnya dari duktus ekstra hepatik

Tipe II: tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding

duktus koledokus, sedangkan duktus billiaris intrahepatik dan

ektrahepatik normal.

Tipe III: dikenal sebagai choledochocele. Biasanya terdapat

intraduodenal tetapi terkadang dapat muncul pada bagian

intrahepatik dari traktus biliaris. Sebaliknya, sistem duktus normal

dan duktus koledokus biasanya memasuki choledochocele ke

dalam dinding dari duodenum.

Tipe IV: untuk tipe IVA terjadi dilatasi multipel dari duktus intra

dan ekstrahepatik sedangkan untuk tipe IVB hanya melibatkan

duktus ekstrahepatik saja.

Page 5: jurnal

Tipe V (Caroli disease): multipel dilatasi dari duktus intrahepatik.

Gambar 3 : tipe-tipe Kista Duktus Koledokus menurut Alonzo-Todani

Klasifikasi kista duktus koledokus dengan pancreaticobiliary malunion

(PBMU) :

A. Dilatasi pada duktus biliaris ekstrahepatik yang berbentuk kistik

B. Dilatasi pada duktus biliaris yang berbentuk fusiform

C. Forme fruste kista duktus koledokus tanpa PBMU

D. Tampak seperti divertikulum pada duktus koledokus

E. Choledochocele ( diverticulum pada bagian distal dari duktus koledokus)

F. Hanya terjadi dilatasi dari duktus biliaris intrahepatik (penyakit Caroli’s)

Page 6: jurnal

Gambar 4.

VI. PRENATAL DIAGNOSIS

Kista duktus koledokus dapat terdeteksi secara rutin dengan pemeriksaan

prenatal ultrasonografi yang dilakukan pada minggu ke 15 kehamilan

(Schroeder et al., 1989; Bancroft et al., 1994; Stringer et al., 1995; Redkar

et al., 1998). Kista mungkin sulit dibedakan dengan atresia duodenum,

kista ovarium ataupun kelainan lain. Kista ini dapat terlihat secara tipikal,

tetapi tipe dari kista tidak dapat ditentukan(2).

Menurut Redkar, MacKenzie dan kolega, walaupun maternal

ultrasonografi berguna, tetapi tidak akurat dan tidak dapat diandalkan

dalam membedakan kista duktus koledokus dengan malformasi yang

terjadi padi traktus biliaris. Tetapi bagaimanapun juga, apabila terdapat

kecurigaan akan diagnosis kista duktus koledokus, harus dilakukan

ultrasonografi postnatal. Apabila kecurigaan akan kista duktus koledokus

dapat dibuktikan, maka dilakukan penatalaksanaan sehubungan dengan

diagnosis(1).

VII. PRESENTASI KLINIS

Page 7: jurnal

Kista duktus koledokus dapat terlihat pada semua usia, tetapi lebih dari

setengahnya pertama kali terlihat pada dekade pertama kehidupan(3).

Manifestasi klinis akan berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan

gejala. Gejala pada pasien dengan kista duktus koledokus dapat

diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada anak yang lebih

besar. Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan, gejala yang

muncul adalah obstruktif jaundice, feses yang akholis, dan hepatomegali.

Tampilan klinis pada kelompok ini tidak dapat dibedakan dari atresia

biliaris. Kadang-kadang disertai juga dengan fibrosis hati(1,2,3). Pasien pada

kelompok ini tidak harus terdapat gejala nyeri pada abdomen ataupun

massa pada abdomen(1).

Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis

akan tampak pada anak setelah usia 2 tahun(1). Pada anak yang lebih besar,

gejalanya dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu massa pada perut

kanan atas dengan jaundice intermittent karena obstruksi biliaris, yang

umumnya dijumpai pada pasien dengan kista duktus koledokus sakuler,

dan nyeri perut akibat pankreatitis, yang biasanya tampak pada bentuk

yang fusiform(3). Pada kelompok umur ini, classic triad berupa nyeri perut,

terabanya massa, dan jaundice yang dikemukan oleh Alonso-Lej dan

kolega biasanya dijumpai. Karena obstruksi yang terjadi pada kelompok

umur ini hanya parsial, maka gejala bersifat intermiten(1).

Rekuren kolangitis dapat menjadi ciri dari gejala kista duktus

koledokus pada anak yang lebih besar. Bagaimanapun, sangat penting

ditekankan bahwa gejala pada anak yang lebih besar sering tidak ketara

dan bersifat intermitan, sehingga sering tidak terdiagnosis, yang

mengakibatkan kerusakan hati yang terus berlanjut, sehingga pasien

biasanya datang dengan kondisi sirosis hati dan manifestasi hipertensi

portal(1).

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan presentasi klinis

gejala berdasarkan usia dari penelitian yang dilakukan di the Academic

Hospital of the Vrije Universiteit Medical Center, Amsterdam, the

Netherlands. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa nyeri perut

Page 8: jurnal

merupakan gejala tersering (76%), dengan insidensi terbanyak terjadi pada

Grup C (kelompok usia >16 tahun). Jaundice merupakan gejala yang

paling sering terjadi pada kelompok A (kelompok usia <2 tahun)(4).

VIII. DIAGNOSIS

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan diagnosis dari

kista duktus koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi klinis dari

pasien. Oleh karena gejala tersering adalah jaundice, hasil laboratorium

terpenting adalah conjugated hiperbilirubinemia, peningkatan alkaline

phosphatase, dan marker lain untuk obstruktif jaundice. Apabila obstruksi

biliaris sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka dapat pula

disertai profil koagulasi yang abnormal. Nilai amilase plasma dapat

menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri perut(1,2).

Pemeriksaan Radiologi

Bagaimanapun bentuk dari kelainan anatomi, pemeriksaan radiologis

merupakan kunci dalam menegakkan diagnosis. Computed tomography

(CT) cholangiography, dahulu digunakan sebagai alat penunjang dalam

menegakkan diagnosis dari kista duktus koledokus, saat ini digantikan

oleh pemeriksaan yang lebih akurat(2).

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang awal yang

terpilih dan dapat menggambarkan ukuran, bentuk, duktus proksimal,

Page 9: jurnal

pembuluh darah dan bnetuk dari hepar. Komplikasi seperti kolelitiasis,

hipertensi portal dan biliary ascites dapat pula terlihat(1,2).

Percutaneus transhepatic cholangiography dan endoscopic

retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat memeberikan

gambaran yang akurat dari sistem pancreaticobiliary. Tetapi, pemeriksaan

ini bersifat invasif dan tidak cocok untuk digunakan berulang kali serta

merupakan kontraindikasi apabila dilakukan dalam keadaan pankreatitis

akut. Pemeriksaan ini dilakukan dengan anestesia umum(1,2,3,6).

Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) dapat

dilakukan dibawah pengaruh sedasi pada anak tanpa menggunakan bahan

kontras atau tanapa radiasi(7). MRCP merupakan pemeriksaan yang bersifat

noninvasif dan dapat digunakan untuk menggambarkann duktus

pankreatik dan biliaris proksimal dari obstruksi(1,3). Pada anak dengan usia

dibawah 3 tahun, MRCP amungkin tidak dapat menggambarkan sistem

pankreticobiliaris dikarenakan kalibernya yang kecil(1).

Kolangiografi intraoperatif tidak diperlukan jika seluruh sistem

biliaris telah dicitrakan sebelum eksisi kista, namun hal ini harus dipakai

jika system pancreaticobiliary tidak seluruhnya tercitrakan(3).

Gambar 5. Gambaran USG kista duktus choledokus

Page 10: jurnal

www.medscape.com/viewarticle/418146_3Gambar 6.

Gambar 7.

IX. PENATALAKSANAAN

Eksisi kista merupakan terapi definitif yang terpilih untuk kista duktus

koledokus karena tingginya morbiditas dan tingginya resiko terjadinya

karsinoma setelah drainase interna(3). Bervariasi pendekatan telah

diusahakan sejak dahulu untuk penanganan pembedahan mulai dari

aspirasi kista, marsupialisasi, serta drainage eksternal tetapi angka

mortalitas tetap tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien

yang datang dengan kondisi lanjut (1,2,3).

Page 11: jurnal

Pada tahun1924, McWhorter pertama kali mempublikasikan eksisi

dari kista koledokus dengan anastomosis dari duktus hepatikus ke

duodenum. Prosedur ini dirasakan sangat sulit, dengan angka kematian

mencapai 30%. Pada tahun 1933, Gross mempublikasikan dan

menyimpulkan bahwa choledochocystoduodenostomy sebagai prosedur

pembedahan yang cukup aman dan efektif serta memiliki mortalitas yang

rendah. Pada tahun 1965, Fonkalsrud dan Boles mendukung hal tersebut,

sehingga sejak saat itu drainase interna tanpa eksisi kista merupkan

tindakan yang terpilih. Kemudian terhadap pasien tersebut dilakukan

follow up selama 15 tahun, dan didapatkan bahwa angka morbiditas

meningkat dari 30% menjadi 50%, dan hal ini berhubungan dengan

morbiditas yang terjadi lanjut. Komplikasi yang terjadi antara lain kronik

kolangitis yang rekuren, kemungkinan akibat terjadinya refluks dari

duodenum ke traktus biliaris, yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi

kronis dan stenosis pada anastomosis. Hal memberikan gejala yang ringan

sehingga diagnosis tidak dapat dibuktikan dan pada akhirnya berkembang

menjadi sirosis bilier dan hipertensi portal(1).

Pada tahun 1970, Kasai dan kolega dan Ishida dan kolega,

melaporkan hasil yang memuaskan dengan dilakukannya eksisi kista dan

Roux-en-Y jejunostomy. Roux-en-Y cyst jejunostomy telah

dikembangkan sebagai alternatif dari cyt duodenostomy untuk

menghindari terjadinya reflux isi dari duodenum ke dalam percabangan

traktus billiaris.

Page 12: jurnal

Gambar 8 : Berbagai tehnik pembedahan dalam eksisi Kista Duktus

Koledokus

Page 13: jurnal

Gambar 9 : Tahapan dari Metode Lilly untuk reseksi intramural

Kista Duktus Koledokus

X. TEKHNIK OPERASI

Posisi pasien supine diatas meja operasi. Dilakukan insisi subcostal kanan

yang dapat diperlebar kemudian. Bila dibandingkan dengan tipe kista yang

fusiform, biasanya terjadi adesi antara tipe kista yang kistik dengan

Page 14: jurnal

struktur disekitarnya seperti vena porta dan arteri hepatika, terutama pada

anak yang lebih tua.

Dilakukan insisi transverse pada dinding anterior kista, akan

tampak dinding posterior kista dari dalam, sehingga kista dapat dibebaskan

dari jaringan sekitarnya termasuk vena porta dan arteri hepatika (gambar 8

dan 9).

Gambar 10. Teknik operasi pengankatan kista

Apabila adhesi kista cukup hebat, mukosektomi kista lebih baik

dilakukan daripada full-thickness (gambar 10)(1,8). Untuk menghindari

terjadinya pankreatitis dan atau pembentukan batu akibat dari kista

residual, maka duktus biliaris distal harus direseksi sedekat mungkin

dengan pancreticobiliary junction (gambar 12). Setelah dilakukan

mukosektomi, ujung distal dari kista dijahitkan secara transfixed sebanyak

2 kali dengan benang absorbable. Stump distal bisa saja dibiarkan

demikian atau dibenamkan diantara dinding otot disekitar kista (gambar

13).

Page 15: jurnal

Gambar 12.

Gambar 13. Gambar 14.

Gambar 15.

Page 16: jurnal

Eksisi kista dan Roux-en-Y hepatico-jejunostomy (RYH)

merupakan tindakan terpilih untuk kista duktus koledokus. Anastomosis

jejunum diatas dari sisa CBD direkomendasikan jika rasio antara CBD dan

jejunum proksimal kurang atau sama dengan 1 (common hepatic duct)

sampai 2,5 (jejunum). Jika duktus biliaris terlalu kecil, maka lebih

disarankan melakukan end to side anastomosis. Anastomisis harus

dilakukan sedekat mungkin dengan ujung jejunal limb. End to side

anastomosis harus dilakukan jauh dari ujung buntu jejunum proksimal

sehingga dapat terjadi blind pouch saat anak semakin besar. Statis bile

pada blind pouch dapat membentuk batu intrahepatik, khususnya jika

duktus intrahepatik berdilatasi (gambar 44-21). Kami percaya dengan

hepaticojejunostomy end to end dan jejuno-jejunostomy end to side akan

mencegah terbentuknya batu dan terjadinya kolangitis asenden.

Beberapa ahli bedah menentukan panjang Roux en Y jejuna limb

tanpa mempertimbangkan ukuran anak. Hal ini menyebabkan jejunal limb

Roux en Y yang panjang yang sebetulnya tidak perlu khsususnya bayi dan

anak yang lebih muda. Redundansi Roux limb agaknya akan terjadi seiring

pertumbuhan anak. Hal ini menyebabkan terjadinya bile statis pada limb,

yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kolangitis atau terjadinya

pembentukan batu. Konstruksi Roux en Y agaknya mencegah terjadinya

redundansi Roux limb. Kami merekomendasikan mengamankan jejunal

limb dari ligamentum Treitz ke Roux limb pada anastomosis side to side

sekitar 8cm proksimal dari anastomosis end to side untuk memastikan bile

flow yang smooth dan pasase distal yang baik. Tanpa menggunakan teknik

ini jejunostomy akan berbentuk T, sehingga menyebabkan terjadinya

refluks konten jejunum ke Roux limb, situasi yang kami temui pada satu

pasien yang dioperasi di tempat lain.

Page 17: jurnal

Gambar 16.

Gambar 17. Gambar 18.

XI. KOMPLIKASI

Page 18: jurnal

Dari beberapa literatur disebutkan dapat terjadi komplikasi pasca eksisi

kista baik awal maupun lanjut seperti cholangitis, pembentukan batu,

striktur anatomosis, pancreatitis, disfungsi hepar dan keganasan.

Fenomena pembentukan batu setelah operasi pertama kali

diungkapkan oleh Tsuchida et al. Uno dan kawan-kawan, pada

penelitiannya tentang batu intrahepatik yang terjadi setelah eksisi kista,

menerangkan bahwa selalu terjadi striktur sebagai kejadian awal. Cetta

juga melaporkan bahwa stasis dari bile akibat striktur dari duktus

merupakan kejadian yang mendahului, bukan mengikuti, untuk

terbentuknya batu intrahepatik.

Telah banyak dilaporkan terjadinya degenerasi maligna baik akibat

retained cyst ataupun akibat inflamasi kronis yang terjadi oleh karena

refluks dari enzim pankreas akibat kelemahan dari fungsi sfingter Oddi

yang menyebabkan perubahan histologis dan perkembangan ke arah

malignansi(1,5). Pankreatitis akut merupakan komplikasi yang terjadi pada

20% kasus pada follow up jangka panjang akibat dari pembentukan

protein plug(1).

Page 19: jurnal

Daftar Pustaka

1. O’neill JA. Choledochal Cyst. Dalam: Grosfeld JL, O’Neill JA, Coran AG,

Fonkalsrud EW, Pediatric Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Mosby

Elsevier; 2006. h. 1620-31.

2. Stringer MD. Choledochal cys. Dalam: Surgery Of The Liver Bile Ducts and

Pancreas in Children. Edisi ke-2. London: Elsevier Saunders; 2002. h. 149-

64.

3. Yamataka Y, Yoshifumi Kato, Miyano T. Dalam: Ashcraft’s Pediatric

Surgery. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010. h. 566-73.

4. By J.S. de Vries, S. de Vries, D.C. Aronson, et al. Choledochal Cysts: Age

of Presentation, Symptoms, and Late Complications Related to Todani’s

Classification. J Pediatr Surg 2002; 37:1568-73.

5. Shigeru O, Shigesa F, et al. Long-term outcomes after hepaticojejunostomy

for choledochal cyst: a 10- to 27 year follow up. J Pediatr Surg 2001; 45:

1617-22.

6. Long Li, Atsuyuki Yamataka. Ectopic Distal Location of the Papilla of

Vater in Congenital Biliary Dilatation: Implications for Pathogenesis. J

Pediatr Surg 2010; 36: 376-78

7. Matos C, Nicaise N et al. Choledochal cyst: comparison of findings at

cholangiopancreatography and endoscopic retrograde

cholangiopancreatography in eight patients..Radiology. 1998; 209: 306-8.

8. Miyano T, Urao M, Yamataka A. Choledochal Cyst. Dalam: Pediatric

Surgery: Springer; 2006. h. 371-86.