JURNAL

53
KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM Penulis : Dwi Kurniawan Pembimbing : H.Edi Rohaedi, S.H., M.H. Mahifal, S.H., M.H. ABSTRAK Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia telah mengalami Pemilu sebanyak 10 kali sejak Tahun1955 sampai dengan 2009. Pemilu 2004 merupakan pemilu yang berbeda dengan adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam penyelenggara Pemilu terdapat lembaga-lembaga yang didirikan oleh Pemerintah yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan 3q1wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya Penyelenggaraan Pemilu. DKPP bukannya lembaga baru sebelumnya DKPP disebut DK-KPU. Adanya dugaan-dugaan yang sering terjadi dalam Penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu, maka DKPP dibentuk pada tanggal 12 Juni 2012. Tugas 1

Transcript of JURNAL

KEDUDUKAN DAN WEWENANG DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

Penulis : Dwi KurniawanPembimbing :H.Edi Rohaedi, S.H., M.H.Mahifal, S.H., M.H.

ABSTRAKPemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia telah mengalami Pemilu sebanyak 10 kali sejak Tahun1955 sampai dengan 2009. Pemilu 2004 merupakan pemilu yang berbeda dengan adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam penyelenggara Pemilu terdapat lembaga-lembaga yang didirikan oleh Pemerintah yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan 3q1wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya Penyelenggaraan Pemilu. DKPP bukannya lembaga baru sebelumnya DKPP disebut DK-KPU. Adanya dugaan-dugaan yang sering terjadi dalam Penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu, maka DKPP dibentuk pada tanggal 12 Juni 2012. Tugas dari DKPP tersebut adalah untuk menerima, memeriksa dan memutuskan dugaan pelanggaraan kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu sesuai Pasal 111 ayat (3). DKPP yang didirikan oleh Pemerintah merupakan pelopor Pengadilan Kode Etik yang ada di Indonesia.

1

BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangSebagaimana diketahui, revisi undang-undang Penyelenggara Pemilu adalah suatu hal yang menjadi kebutuhan untuk memperbaiki penyelenggaraan pemilu dimasa sekarang dan akan datang. Melihat kembali pemilu 2009 dan Pemilukada, kekusutan yang banyak terjadi sebagian diakibatkan oleh kinerja dari penyelenggara pemilu yang kurang optimal dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai penyelenggara pemilu. Persoalan bertambah ketika proses pengawasan dan penegakan hukum berjalan kurang efektif, yang kemudian malah turut menyumbang kekisruhan yang terjadi. Pada akhirnya disadari, kelemahan dan kekuranglengkapan dari perangkat undang-undang menjadi pendorong munculnya persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan pemilu[footnoteRef:2]. [2: Yulianto, Veri Junaidi, dan August Mellaz, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: KRHN. 2010), Hal. 4..]

Didalam Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) diganti dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berdiri mandiri dengan kata lain tidak ada campur tangan oleh lembaga-lembaga negara lainnya yang mempunyai fungsi untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan / atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota PPK, anggota PPS anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota bawaslu dan anggota pengawas pemilu lapangan[footnoteRef:3]. Banyaknya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu membuat DKPP bekerja keras untuk mengadilinya. Hingga saat ini kurang lebih 57 kasus sudah ditangani oleh DKPP mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota penyelenggara pemilu, sehingga DKPP berguna untuk mencegah berbagai praktik pelanggaran kode etik di dalam pemilu. [3: Indonesia, Undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 15 Tahun 2011, pasal 109 ayat (2).]

B. Identifikasi Masalah1. Bagaimana kedudukan dan wewenang DKPP dalam penyelenggara pemilu ?2. Bagaimana keputusan DKPP dalam menangani kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota penyelenggara pemilu ?C.Maksud dan Tujuan PenelitianMaksud penelitian ini adalah :1. Untuk menjelaskan tentang kedudukan dan wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).2. Untuk menganalisis putusan DKPP yang dibentuk untuk mengawasi pelanggaran kode etik yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu.Adapaun tujuan penelitian ini adalah :1. Memberikan pemahaman mengenai kedudukan dan wewenang DKPP secara keseluruhan.2. Memberikan gagasan baru mengenai kinerja DKPP.D.Kerangka Pemikiran1. Kerangka TeoritisDalam setiap penelitian, harus ada disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori yang akan dibentuk dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan kontruksi data. Teori itu sendiri berasal dari spekulasi para ahli mengenai pendapatnya akan sesuatu hal. Pada ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, memang cukup sulit untuk mengadakan pengukuran-pengukuran eksak di antara ragam teori tersebut. Karena ketepatan atau kecocokan suatu teori mempunyai makna serta penilaian yang relatif. Landasan teori menjadi sangat penting keberadaannya. Sebab landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Mengenai penulisan hukum ini, Penulis pun akan menguraikan beberapa teori yang tentunya berkaitan erat dengan tema yang diusung Penulis. Berikut pendapat ahli oleh Prof. Dr. Jimly asshidiqie, S.H mengemukakkan bahwa tugas dan wewenang DKPP berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum dalam pelanggaran kode etik, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Namun dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.[footnoteRef:4] Secara etimologis , kode etik berarti pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Dengan kata lain, kode etik merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman prilaku. Etis berarti sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu. Dalam kaitan dengan istilah penyelenggara pemilu, kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegitatan anggota Penyelenggara Pemilu.[footnoteRef:5] Agar tidak terjebak pada demokrasi yang procedural tanpa disertai dengan demokrasi yang substansial maka diperlukan penyelenggaraan pemilu yang baik. The Internasional IDEA menetapkan 7 prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Prinsip-prinsip tersebut yaitu Independence (Indepedensi/Kemandirian), Impartiality (Berimbang / Tidak Berpihak), Integrity (Intergritas/Terpecaya), Transparency (Keterbukaan), Efficiency (Efisiensi), Professionalism (Profesionalisme), Servicemindedness (Pelayanan), Accountability (Akuntabilitas).[footnoteRef:6] [4: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Pengenalan Tentang DKPP untuk Penegak Hukum http://www.jimly.com/makalah/namafile/120/Pengenalan_DKPP.pdf , diakses tanggal 10 Mei 2013.] [5: Darmoko Mono, Pengertian dan Fungsi Kode Etik. http://www.akilmochtar.com/2013/05/08/dkpp-tidak-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 10 Mei 2013.] [6: Yulianto, Veri Junaidi, dan August Mellaz, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, (Jakarta: KRHN. 2010), Hal. 11-15.]

2. Kerangka Konseptual Dalam membahas kedudukan dan wewenang dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka pada Bab ini Penulis akan menguraikan pengertian-pengertian yang relavan yang dapat dijadikan sebagai keyword ataupun langkah awal pembahasan. Hal tersebut sangat penting dalam rangka memberikan arahan di dalam proses penulisan agar tetap pada ruang lingkup pembahasan sehingga terdapat persamaan persepsi dalam membaca penulisan hukum ini. Diantaranya ialah sebagai berikut :a. Dewan Kehormatan Penyelenggara PemiluBerdasarkan ketentuan Undang-undang tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang dibagi dalam 3 kelembagaan, yaitu:1. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu.[footnoteRef:7] [7: Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU No.15 Tahun 2011, Pasal 1 Angka (6).]

2.Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[footnoteRef:8] [8: Ibid, Pasal 1 angka (6).]

3.Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adlaah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.[footnoteRef:9] DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bukan lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD Tahun 1945 adalah komisi pemilihan umum. Menurut Undang-undang terbagu ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu: [9: Ibid, Pasal 1 angka (2).]

1. Komisi Pemilihan Umum (KPU)2. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)E. Metode PenelitianPenelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metedologis, sistematis dan konsisten.[footnoteRef:10] [10: Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal 42.]

Dalam melakukan suatu penelitian untuk menyusun skripsi maka haruslah diperhatikan bahwa skripsi merupakan suatu karya ilmiah yang harus disusun secara jelas, tegas, logis dan juga harus sistematis berdasarkan data yang diperoleh. Metode penelitian yang digunakan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:1. Tipe PenelitianBentuk penelitian tentang Kedudukan dan Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini termasuk kedalam penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga studi kepustakaan, yaitu tata cara pengumpulan data yang bersasal dari bahan-bahan literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-undangan terkait , tulisan atau riset penelitian hukum.[footnoteRef:11] [11: Ibid.]

2. Sifat PenelitianDari sudut sifatnya, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini ialah metode deskriptif-analitif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan menguraikan data-data secara sistematis, nyata, rinci, dan lengkap, kemudian menganalisisnya untuk memperoleh fakta-fakta yang diinginkan yang didasarkan pada kerangka pemikiran dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang lebih khusus.3. Cara Pengumpulan DataDalam melakukan penelitian ini, alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data tertulis Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum, yaitu baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti data sekunder, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Dalam hal ini data sekunder diperoleh melalui :a. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, yang meliputi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-undang, Peraturan DKPP.b. Bahan hukum sekunderBahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer, seperti misalnya, hasil-hasil penelitian, hasil karya kalangan hukum, dan lain-lain.c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. F.Sistem Penulisan Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:BAB IBab ini merupakan Bab Pendahuluan yang isinya antara lain memua latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.BABII Bab ini merupakan Bab Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum yang isinya antara lain memuat Demokarasi dan Pemilihan Umum, Pemilihan Umum di Indonesia, Kode Etik dalam Penyelenggara Pemilihan UmumBAB IIIBab ini merupakan Bab Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Penyelenggara Pemilihan Umum yang berisi Pengertian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Sejarah Singkat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Subjectum dan Objectum Litis Perkara di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.BAB IV Bab ini merupakan Bab Analisis yang isinya antara lain memuat analisis Kedudukan dan Wewenang DKPP, analisis putusan DKPP dalam menangani kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota penyelenggara pemilu.BAB VBab ini merupakan Bab Penutup yang isinya antara lain Kesimpulan dan Saran.BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMILIHAN UMUMA.Demokrasi dan Pemilihan UmumDemokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalu perwakilan dalam perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.[footnoteRef:12] Pemilu mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil :[footnoteRef:13] [12: Wikipedia, Demokrasi http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses tanggal 01 juni 2013.] [13: Asas-asas pemilihan umum, http://bagazx.blogspot.com/2012/02/asas-pemilihan-umum-indonesia.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2013.]

1. Langsung berarti rakyat mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara.2. Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia 17 tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga yang sudah berumur 21 tahun berhak memilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warganegara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan dan status sosial.3. Bebas berarti setiap warganegara berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Didalam melaksanakan haknya setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.4. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.5. Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilu semua penyelenggara pemilu serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.6. Adil berarti dalam menjalankan pemilu setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.B.Pemilihan Umum di IndonesiaIndonesia telah menyelenggarakan 10 kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah berlangsung. Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Selama sejarah Pemilu di Indonesia, Indonesia telah mengalami 10 kali Pemilu yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.[footnoteRef:14] [14: Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia, diakses pada tanggal 18 Agustus 2013.]

BAB III DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUMA. Penyelenggara Pemilu dalam Sistem Pemilu di IndonesiaBerdasarkan ketentuan Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yaitu KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawalu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) dan DKPP (Dewan Penyelenggara Pemilu.1. Komisi Pemilihan UmumSecara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.[footnoteRef:15] [15: KPU, http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=32, diakses pada tanggal 25 Agustus 2013.]

2. Badan Pengawas PemiluBadan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pengawasan pemilu di negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu dipimpin oleh lima orang Anggota Bawaslu dari kalangan profesional yang memiliki kemampuan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Terlebih, netral dan tidak menjadi anggota partai politik tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu didukung oleh Kesekretariatan Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. Kedudukan Sekretaris Jenderal didukung oleh 4 (empat) kepala biro yang terdiri dari Biro Administrasi, Biro Teknis Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, dan Biro Hukum, Humas dan Pengawasan Internal, serta 1 (satu) Biro Administrasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).[footnoteRef:16] [16: Bawaslu, http://www.bawaslu.go.id/profile/2/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2013.]

Selain 2 lembaga tersebut Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu, berdasarkan ketentuan Unndang-Undang No.8 tahun 2012 tentang Pemilu terdapat 1 lembaga yang berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik Komisi Pemilihan Umum maupun Bawaslu yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).[footnoteRef:17] [17: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Pengenalan Tentang DKPP untuk Penegak Hukum http://www.jimly.com/makalah/namafile/120/Pengenalan_DKPP.pdf , diakses tanggal 25 Agustus 2013.]

B.Pengertian Dewan Kehormatan Penyelenggara PemiluDalam arti umum, DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pengaduan /laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Tugas DKPP adalah untuk: (1) menerima pengaduan /laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (2) melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (3) menetapkan Putusan; dan(4) menyampaikan Putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti. Sementara itu dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya, DKPP memiliki kewenangan untuk: (1) memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; (2) memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan (3) memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.[footnoteRef:18] [18: Pengertian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (dkpp), http://www.dkpp.go.id/index.php?mod=static&page=lembaga, diakses pada tanggal 25 Agustus 2013.]

C.Sejarah Singkat Dewan Kehormatan Penyelenggara PemiluDalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.[footnoteRef:19] [19: Sejarah Dewan Kehormatan Penyelenggara pemilu (dkpp), http://www.dkpp.go.id/index.php?mod=static&page=sejarah, diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.]

D.Subjek dan Objek Perkara di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, subjectum litis atau subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dapat mencakup pengertian yang luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam peraturan tentang Pedoman Beracara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, pengertian pihak yang dapat berperkara tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Lagi pula, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu.[footnoteRef:20] [20: Ibid.]

Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum. Objek pelanggaran etika yang menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggunjawabkan juga secara individu orang per orang.Dengan kata lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dituduh melanggar kode etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagau institusi, tetapi orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut. Oleh karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[footnoteRef:21] [21: DKPP, http://www.jimly.com/makalah/namafile/120/Pengenalan_DKPP.pdf, diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, hal 2-3.]

BAB IV ANALISISA.Kedudukan dan Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara PemiluBerdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggara pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 22 E UUD Tahun 1945 adalah komisi pemilihan umum (denga huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar) atau KPU, dan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.[footnoteRef:22] [22: Jimly Asshiddiqie, Makalah Pengenalan Tentang DKPP Untuk Penegak Hukum, Disampaikan dalam forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, diakses pada Februari 2013. Hal 1.]

Secara substansial, DKPP hakikatnya merupakan lembaga peradilan terutama untuk kasus-kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. seluruh mekanisme pemeriksaan pelanggaran kode etik terkonsentrasi dan tersentralisasi di DKPP sebagai satu-satunya institusi penegak kode etik penyelenggara pemilu, baik KPU dan jajarannya di seluruh Indonesia maupun Bawaslu dan jajarannya di seluruh Indonesia. Meskipun tidak menggunakan istilah pengadilan, hakikat kedudukan, tugas, dan wewenang DKPP benar-benar lembaga peradilan etik, yaitu lembaga pengadilan etik yang pertama di Indonesia, juga yang pertama di dunia. segala prinsip peradilan yang berlaku di dunia hukum juga berlaku di dunia etika. Misalnya, prinsip audi et alteram partem atau semua pihak harus memiliki kesempatan dan transparansi atau keterbukaan.[footnoteRef:23] [23: Kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, http://logisnews.com/2012/12/13/jimly-asshiddiqie-dkpp-hakikatnya-adalah-lembaga-pengadilan/, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.]

Sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan dan sebaliknya dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun diantara sesame penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu.[footnoteRef:24] [24: Ibid.]

B.Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam Menangani Kasus Pelanggaran Kode Etik yang Dilakukan Oleh Anggota Penyelenggara PemiluKasus PosisiBerdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No.74/ DKPP-PKE-II/2013 tentang Diskriminatif dalam penerimaan pendaftaran pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja sebagai Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 yang diajukan oleh pengadu 1 yaitu, Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa (calon Gubernur Jawa Timur) dan Drs. H. Herman Suryadi Sumawiredja, pengadu 2 yaitu, Faridatul Hanum (anggota masyarakat Jawa Timur), pengadu 3 yaitu, Jazilul Fawaid (Tim Sukses Khofifah).Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa (calon Gubernur Jawa Timur) sebagai pengadu 1 menemukan adanya dugaan pelanggara kode etik yang dilakukan oleh teradu 1 yaitu Andri Dewanto Ahmad, S.H. (Ketua KPU Provinsi Jawa Timur) telah melanggar Pasal 9 huruf a dan b jo Pasal 10 huruf a dan b Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum dikarenakan telah memberikan perlakuan yang tidak sama dan tidak netral.Pertimbangan PutusanAdapun pertimbangan putusan DKPP sebagai berikut :1. Menimbang bahwa maksud dan tujuan pengaduan Pengadu adalah terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh para Teradu;2. Menimbang bahwa tindakan para Teradu tersebut menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak profesional. Bahkan, dengan melihat hasil penelitian dan klarifikasi tersebut serta jawaban-jawaban para Teradu, baik secara lisan maupun tertulis, meyakinkan DKPP bahwa di tengah-tengah pertentangan atau perbedaan keterangan dari para pihak tesebut, para Teradu tidak berusaha menetapkan suatu kerangka yang jelas untuk menilai mana yang lebih besar bobot kebenaran dokumen dan dari keterangan yang disampaikan para pihak tersebut berdasarkan jiwa dan roh peraturan perudang-undangan, AD/ART 80 maupun mekanisme internal dan jenjang pengambilan keputusan yang berlaku di tiap-tiap partai politik.Amar Putusan DKPPBerdasarkan pengaduan dari temuan-temuan pengadu dan jawaban Teradu di atas dan setelah menjalani proses persidangan, pada 27 November 2012 DKPP akhirnya membacakan putusannya yang pada intinya memutuskan bahwa :1. Mengabulkan pengaduan Pengadu untuk sebagian; 2. Menjatuhkan sanksi peringatan kepada Teradu I atas nama Andry Dewanto Ahmad; 3. Merehabilitasi Teradu V atas nama Sayekti Suindyah; 4. Menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Sementara kepada Teradu II atas nama Nadjib Hamid, Teradu III Agung Nugroho dan Teradu IV Agus Machfud Fauzi sampai hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Suryadi Sumawiredja terpulihkan; 5. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melakukan peninjauan kembali secara cepat dan tepat terhadap Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur sesuai maksud, prinsip dan etika penyelenggara pemilu dalam rangka pemulihan hak konstitusional Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dan H. Herman Suryadi Sumawiredja; 6. Memerintahkan kepada Komisi Pemiihan Umum untuk mengambil alih tanggung jawab KPU Provinsi Jawa Timur untuk sementara, dan melaksanakan putusan ini sebagaimana mestinya, serta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini.AnalisisDalam pandangan saya, Putusan DKPP seperti itu, sudah masuk dalam gabungan dari Putusan Konstitutif dan putusan kondemnatoir. Mengingat, DKPP mengambil keputusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya sekaligus berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan Khofifah-Herman. Putusan kondemnatoir DKPP menyangkut hukuman kepada komisioner KPUD Jatim dengan saksi yang berbeda-beda dari teguran hingga skorsing sementara. Termasuk menghentikan suatu perbuatan yaitu tidak membolehkan tiga komisioner yang disanksi skorsing sementara turut mengambil keputusan di KPUD Jatim, sampai pelolosan cagub-cawagub Khofifah-Herman.Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 DKPP mengambil keputusan yang bercampur antara putusan Konstitutif dan putusan kondemnatoir. Dalam hal ini, DKPP terkesan seolah lembaga yudikatif yang memiliki ekstra kewenangan seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Padahal dalam UU No. 15/2011 dinyatakan bahwa DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS (Pasal 109 ayat 2).Kemudian Pasal 111 (ayat 4) diatur mengenai kewenangan DKPP yang meliputi a. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan c. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Dan sanksinya dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara,atau pemberhentian tetap (Pasal 112 (Ayat 10). Dengan demikian dalam UU No. 15 Tahun 2011 tidak satu pasal pun yang memberi kewenangan kepada DKPP untuk membuat keputusan eksekusi berupa perintah kepada KPU-RI sebagai atasan dari KPUD Jatim.Dengan keputusan DKPP tersebut karena putusan tersebut telah melampaui kewenangan (Out of Authority) dikarenakan DKPP dalam putusannya sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan pemilu. Sidang itu seharusnya digelar dengan agenda mempersoalkan etika personal KPUD Jatim. Namun yang terjadi, sidang tersebut melebar dengan mendengarkan saksi ahli yang justru bercerita tentang adanya tawaran-tawaran politik. jika DKPP tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan yang telah dibuat oleh KPUD Jatim. Seharusnya, yang berhak memutuskan apakah pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman S Sumawiredja berhak mengikuti Pilgub Jatim adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).Kasus PosisiBerdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012, putusan tersebut merupakan putusan dalam pengaduan perkara Nomor 055/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 31 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 25/DKPPPKE-I/2012 dan pengaduan Nomor 045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 29 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012 yang diajukan oleh Pengadu I yaitu, Dr. Muhammad, S.IP.,M.Si (Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) dan Pengadu II yaitu, Said Salahuddin (Pegiat Pemilu/Konsultan Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA).Dr. Muhammad, S.IP.,M.Si (Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) sebagai Pengadu I menemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yakni pada ketentuan Pasal 2 Juncto Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011, Pasal 7 huruf d, Pasal 11 huruf a dan huruf c, dan pasal 16 huruf a, huruf b, dan huruf c, Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.Bawaslu mengkualifikasikan temuan pelanggaran tersebut dengan menarik ke dalam konstruksi etika, yakni Teradu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia diduga tidak menghargai dan menghormati sesama lembaga, tidak tegas, tidak prosedur, tidak tertib, dan tidak ada kepastian hukum, dalam penundaan pengumuman penelitian administrasi hasil perbaikan Partai Politik. Sedangkan Said salahuddin, Pegiat Pemilu Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA) sebagai Pengadu II menyatakan penemuannya bahwa, Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) diduga tidak cermat, tidak adil, tidak berasaskan Kepastian hukum, tidak tertib, tidak terbuka, tidak profesional, dan tidak akuntabilitas, dalam penyelenggaraan Verifikasi Peserta Pemilu.Pertimbangan PutusanAdapun pertimbangan putusan DKPP sebagai berikut :1. Menimbang bahwa Pihak Teradu yaitu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) tidak terbukti mempunyai itikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu, dan mengingatkan agar para Teradu dapat bekerja secara lebih profesional, transparan, jujur, adil, dan akuntabel untuk seluruh tahapan Pemilu berikutnya.2. Menimbang bahwa Saudara Suripto Bambang Setiadi selaku Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Asrudi Trijono selaku Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik, serta Saudara Nanik Suwarti selaku Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Saudara Teuku Saiful Bahri Johan selaku Wakil Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU melanggar kode etik penyelenggara Pemilu dan merekomendasikan kepada KPU untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu kepada Saudara Suripto Bambang Setiadi selaku Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Asrudi Trijono selaku Wakil Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Nanik Suwarti selaku Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Saudara Teuku Saiful Bahri Johan selaku Wakil Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya mengembalikan yang bersangkutan beserta pejabat-pejabat lainnya yang terlibat pelanggaran kepada instansi asal sejak dibacakannya Putusan ini.Amar Putusan DKPPBerdasarkan pengaduan dari temuan-temuan pengadu, jawaban Teradu dan setelah menjalani proses persidangan, pada 27 November 2012 akhirnya DKPP membacakan putusannya Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 yang pada intinya memutuskan bahwa :1. Pihak Teradu yaitu Ketua dan Anggota KPU RI tidak terbukti mempunyai itikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.2. Menyatakan Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik, serta Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Wakil Kepala Biro Hukum melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. 3. Memrintahkan kepada KPU agar mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU.4. Memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan Putusan ini, dan kepada Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini.AnalisisTerhadap Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 tersebut, kami menyatakan bahwa DKPP telah keliru menilai pengaduan para pengadu dan bahkan melampaui batas kewenangannya (out of authority). Sehingga menjadi alasan kenapa putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 sangatlah kontroversial dan menimbulkan berbagai tanda tanya publik. Hal itu disebabkan karena DKPP memberikan sebuah putusan yang tidak hanya memutus pengaduan pelanggaran kode etik namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu. Padahal sebenarnya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan batasan kepada DKPP yang hanya memiliki tugas utama menjaga kode etik penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, DKPP dalam memutus perkara tersebut bisa dikatakan sebagai pelanggaran terhadap prinsip ultra petita atau dilarang untuk memberikan putusan diluar dari apa yang tidak diminta. Putusan DKPP tersebut dapat menimbulkan hal buruk dan legitimasi secara tidak langsung kepada DKPP dikemudian hari untuk dapat mengintervensi tahapan-tahapan pemilu selanjutnya dengan alasan ada pengaduan terhadap penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, maka DKPP akan menjadi lembaga yang seenaknya dapat memutuskan perkara yang bukan merupakan tugas dan wewenangnya.BAB V PENUTUPA.KesimpulanDari hal-hal yang telah diuraikan dalam penulisan hukum ini, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yakni:1. Keberadaan DKPP bukanlah hal baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) sejak 2008. DK-KPU adalah institusi ethic difungsikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara.Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat ad hock. Pada akhirnya pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu ingin menjadikan DKPP sebagai lembaga yang tetap. DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012.2. Banyaknya masalah yang timbul pada saat pemilu 2009 yaitu masalah mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu baik anggota KPU maupun anggota Bawaslu serta pejabat didalam penyelenggara pemilu membuat DKPP bekerja keras dalam menjalankan tugasnya. Tugas dan kewenangannya di dalam penyelenggara pemilu adalah sebagai peradilan etik yang menangani kasus pemilu yang melanggar kode etik di dalam penyelenggaraan pemilu.3. Dalam beberapa kasus tentang diskriminatif dalam penerimaan pendaftaran pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja sebagai Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 dan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU menunjukan bahwa DKPP dalam menjalankan tugas dan wewenangnya telah melampaui batas kewenangannya (out of authority)dengan peraturan perundang-undanganya yang berlaku yaitu putusan DKPP dianggap tidak hanya memutus pengaduan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu yang menjadi kewenangan lembaga lain. DKPP seolah-olah ingin memiliki kewenangan yang lebih dari apa yang tercantum dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Hal ini dapat menurunkan integritas dan kredibilitasnya sebagai pihak yang bertugas hanya menangani pelanggaran etika penyelenggara pemilu.B.SaranSetelah melakukan pembahasan atau analisa yang telah dikemukakan pada Penulisan Hukum ini, maka saran yang dapat diberikan oleh Penulis adalah:1. Perlu adanya kewenangan DKPP yang berdasarkan pada UU No. 15 Tahun 2011 selain itu DKPP dalam mengeluarkan putussannya harus dipastikan hanya melakukan penegakan kode etik penyelenggara pemilu sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak mengeluarkan putusan yang justru bisa mengganggu tatanan penyelenggara pemilu di Indonesia serta berpotensi mengambilalih kewenangan lembaga penyelenggara pemilu yang lain.2. KPU, Bawaslu dan DKPP harus terus membangun koordinasi yang baik sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu agar tidak ada lagi pertentangan diantara salah satu lembaga penyelenggara pemilu tersebut.3. Kepada DKPP agar dalam melaksanakan persidangan harus sungguh-sungguh memperhatikan pokok pengaduan pengadu, sehingga pada waktu mengeluarkan putusan benar-benar sesuai dengan pengaduan pengadu dan tidak keluar dari koridor kewenangnnya yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.4. Dalam jangka panjang diharapakan DKPP tetap dipertahankan sebagai peradilan kode etik didalam penyelenggara pemilu karena DKPP merupakan pelopor peradilan etik yang ada di Indonesia terhadap peradilan etik yang lainnya yang masih belum berfungsi sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKAPERATURAN PERUNDANG-UNDANGANIndonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945._______, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 12 Tahun 2003.

_______, Undang-Undang tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, UU No. 1 Tahun 2012._______, Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 15 Tahun 2011.

BUKU BUKUYulianto, Veri Junaidi, dan August Mellaz. Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Jakarta: KRHN, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986.

LAIN-LAINAsshiddiqie Jimly, Makalah Pengenalan Tentang DKPP untuk Penegak Hukum http://www.jimly.com/makalah/namafile/120/Pengenalan_DKPP.pdf , diakses tanggal 10 Mei 2013.Mono Darmoko, Makalah Pengertian dan Fungsi Kode Etik. http://www.akilmochtar.com/2013/05/08/dkpp-tidak-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 10 Mei 2013.http://bagazx.blogspot.com/2012/02/asas-pemilihan-umum-indonesia.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2013.Wikipedia,http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia, diakses pada tanggal 18 Agustus 2013.http://www.bawaslu.go.id/profile/2/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2013.Kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, http://logisnews.com/2012/12/13/jimly-asshiddiqie-dkpp-hakikatnya-adalah-lembaga-pengadilan/, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.