jurnal 3
-
Upload
dian-sukma-yuga -
Category
Documents
-
view
39 -
download
2
Transcript of jurnal 3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Yogurt
Yogurt adalah produk susu yang dihasilkan dari fermentasi susu. Fermentasi
gula susu (laktosa) menghasilkan asam laktat yang berperan memberikan sifat
karakteristik tekstur dan rasa pada yogurt (Arican dan Andic 2011). Yogurt
didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu
rekonstruksi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan
atau penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan
(BSN 2009).
Konsumsi yogurt oleh manusia dapat meningkatkan kesehatan karena
memiliki nilai gizi yang tinggi terutama untuk kesehatan pencernaan (Oyeleke
2009). Konsumsi yogurt secara teratur dapat digunakan sebagi terapi dalam
mengurangi keparahan sulit buang air besar (Sairanen et al. 2007; Hongisto et al.
2006). Produk ini dapat dikonsumsi oleh penderita intoleransi laktosa, yaitu
ketidakmampuan atau ketidakcukupan tubuh dalam mengabsorbsi laktosa (gula
susu) akibat kekurangan enzim laktase. Proses pengolahan susu menjadi yogurt
dapat menurunkan kadar laktosa sekitar 30%, sehingga jika dikonsumsi oleh
penderita intoleransi laktosa tidak akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala
yang merugikan. Yogurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga
kesehatan lambung, dan mencegah kanker saluran pencernaan (Winarno dan
Fernandez 2007). Oleh sebab itu, pengolahan susu segar menjadi yogurt sangat
potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani maupun
menunjang kesehatan.
Pada dasarnya pembuatan yogurt meliputi pemanasan susu, pendinginan,
inokulasi, dan inkubasi susu tersebut. Pengolahan yogurt dimulai dengan
persiapan starter atau kultur, yaitu membiakkan kultur murni S. thermophilus dan
L. bulgaricus kemudian mencampurkannya sebelum diinokulasi pada susu yang
akan difermentasi. Susu dipanaskan pada suhu 85 – 90 °C sekitar 15-30 menit.
Kemudian didinginkan sampai 43 °C dan diinokulasi dengan 2–3% kultur
campuran S. thermophilus dan L. bulgaricus dan diinkubasi pada suhu 43 °C
5
selama 3-6 jam sampai diperoleh keasaman yang diinginkan yaitu 0.85-0.95
persen (asam laktat) dengan nilai pH 4.4-4.5. Setelah itu produk didinginkan
sampai suhu 5 °C (Winarno dan Fernandez 2007; Ray 2004).
Kerusakan dan Penurunan Mutu Yogurt
Yogurt merupakan produk pangan yang mudah terkontaminasi oleh
mikroorganisme (Montagna et al. 1998). Kontaminasi mikroorganisme pada
yogurt dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan mutu yogurt. Kerusakan dan
penurunan mutu yogurt biasanya disebabkan oleh kontaminasi silang dari udara
pada ruang pengemasan, peralatan untuk pengisian, buah-buahan atau sirup yang
ditambahkan dan kontaminasi wadah pengemas. Kerusakan yogurt umumnya
disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya adalah kapang dan
khamir yang relaif tahan asam. Kontaminasi kapang dan khamir pada umumnya
terkait dengan praktik higiene yang buruk selama proses pengemasan (Moreira et
al. 2001).
Kondisi pertumbuhan seperti pH yang rendah, kadar kelembaban yang
rendah, dan tingginya kadar garam tidak cocok untuk beberapa spesies bakteri.
Mikroorganisme perusak seperti kapang dan khamir umumnya kurang sensitif
terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga masih mungkin tumbuh dan
berkembang di dalam yogurt (Rahman et al. 1992). Khamir dapat menyebabkan
beberapa kerusakan pada rasa, bau, dan tekstur. Perubahan tersebut terjadi akibat
aktivitas metabolik yang tergantung pada degradasi laktosa atau senyawa dari
hidrolisisnya, sekresi enzim lipolitik dan proteolitik, asimilasi garam organik, dan
kemampuan untuk berkembang biak pada suhu rendah (5-10 °C) (Salomskiene
dan Macioniene 2009).
Menurut Sugiarto (1997), umumnya kerusakan pada produk yogurt adalah
terjadinya penyimpangan pH, bau busuk, terbentuknya whey serta timbulnya gas.
Bentuk kerusakan lain adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh kapang dan
khamir. Kerusakan oleh kapang dan khamir dapat diketahui secara visual
misalnya timbulnya miselium dan spora, bau yang menyimpang, dan dapat pula
diketahui dengan pemeriksaan secara mikroskopis. Kerusakan oleh bakteri
6
biasanya disebabkan oleh bakteri Gram negatif seperti Bacillus spp, Acetobacter
yang dapat menyebabkan pembusukan pada produk.
Pengemasan Yogurt
Kemasan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun
tidak (BPOM 1996). Prinsip atau tujuan pengemasan produk makanan adalah
untuk melindungi produk makanan dari pengaruh lingkungan dan kerusakan
(Marsh dan Bugusu 2007). Fungsi utama kemasan adalah melindungi dan
mencegah produk pangan dari kontaminasi (Robertson 2006). Fungsi ini
melibatkan perpanjangan umur simpan, memelihara kualitas dan keamanan
makanan, melindungi makanan dari pengaruh lingkungan seperti panas, cahaya,
ada atau tidak adanya kelembaban, oksigen, tekanan, enzim, bau,
mikroorganisme, serangga, kotoran dan partikel debu, gas, dan sebagainya (Brody
et al. 2008). Bahan kemasan yang biasa digunakan dalam pengemasan makanan
termasuk pangan cair adalah kaca, logam seperti alumunium foil, kertas, plastik,
dan lainnya.
Bahan pengemas yang digunakan dalam industri pangan harus dalam
kondisi baik, agar dapat mempertahankan mutu makanan didalamnya serta
melindungi makanan terhadap pengaruh luar seperti sinar, panas, kelembaban,
kotoran, benturan, dan lain-lain. Bahan pengemas yang digunakan tidak boleh
beracun, membentuk atau menimbulkan racun, menimbulkan penyimpangan yang
membahayakan kesehatan, serta tidak berpengaruh atau menimbulkan reaksi
dengan produk yang didalamnya. Bahan pengemas yang digunakan harus tahan
terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran. Sebelum
digunakan, bahan pengemas perlu dipastikan kebersihan dan kondisinya dan jika
perlu dibersihkan dan didisinfeksi apabila penggunaan kemasan harus dalam
kondisi yang aseptik (bebas dari mikroorganisme).
Bahan kemasan yang banyak digunakan untuk produk yogurt diantaranya
adalah botol plastik. Plastik dibuat dengan kondensasi polimerisasi
(polikondensasi) atau penambahan polimerisasi dari monomer unit. Terdapat
beberapa keuntungan menggunakan plastik untuk kemasan makanan. Plastik
7
dapat dibuat menjadi lembaran, berbagai bentuk dan struktur, serta memiliki
fleksibilitas desain yang cukup besar. Plastik secara kimiawi tahan, murah dan
ringan dengan berbagai sifat fisik dan optik. Plastik juga mudah untuk dicetak dan
dapat diintegrasikan ke dalam proses produksi tempat paket tersebut terbentuk,
diisi, dan disegel di lini produksi yang sama. Kerugian utama dari plastik adalah
permeabilitas terhadap cahaya, gas, uap, dan berat molekul rendah (Marsh dan
Bugusu 2007). Perubahan bentuk yang dapat terjadi pada kemasan plastik adalah
mengkerut atau menggembungnya botol akibat reaksi yang terjadi di dalamnya.
Permukaan yang kontak dengan bahan pangan harus lebih diperhatikan
keamanannya, seperti:
a) Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus
didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak toksik dan tidak
mudah terkikis.
b) Cleaning compound dan sanitizing agent yang digunakan untuk
membersihkan peralatan tersebut harus sesuai dengan makanan dan tidak
beracun.
c) Peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus
dibersihkan dengan metode pembersihan yang efektif setelah produksi selesai.
d) Sarung tangan dan seragam produksi yang kontak dengan bahan pangan harus
terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah terkelupas, bersih, dan dibersihkan
setiap hari setelah selesai produksi.
Sanitasi Wadah Pengemas Yogurt
Sanitasi adalah suatu tindakan yang dirancang untuk menghilangkan bakteri,
jamur, ragi, dan (dalam beberapa kasus) kontaminasi virus (McLandsborough
2005). Kontaminasi mikroorganisme akan dihilangkan dalam tahap pembersihan.
Beberapa mikroorganisme mungkin dapat tetap bertahan di permukaan sehingga
dibutuhkan penggunaan disinfektan. Disinfeksi dilakukan untuk mengurangi
jumlah mikroorganisme dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada
permukaan selama periode antarproduksi (Holah 1995a). Menurut Taylor et al.
(1999), pencemaran pada produk makanan dapat terjadi melalui lingkungan
seperti udara, manusia, dan permukaan wadah produk. Permukaan wadah produk
8
merupakan rute yang paling penting untuk pengendalian kontaminasi sebagai
dasar dari pelaksanaan program sanitasi. Disinfeksi terhadap wadah dan alat-alat
tersebut harus efektif sehingga bebas dari mikroorganisme pembusuk maupun
patogen yang dapat mengontaminasi produk pangan dan membahayakan
kesehatan masyarakat.
Daya kerja disinfektan tergantung pada waktu kontak yang cukup dan
konsentrasi yang tepat. Waktu disinfeksi tergantung pada metode yang digunakan,
seperti perendaman ataupun semprot. Disinfeksi dengan perendaman merupakan
metode yang paling populer, paling dapat diandalkan dan metode pilihan
dibandingkan dengan penyemprotan karena menjamin lebih banyak kontak, tetapi
memakan waktu yang lebih lama dan kemungkinan adanya distorsi (Sukhija et al.
2010; Hiraguchi et al. 2012).
Disinfektan
Disinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang
digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti
bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah
mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya (Fardiaz dan Jenie 1989).
Disinfektan adalah suatu bahan, biasanya bahan kimia, yang membunuh bentuk-
bentuk pertumbuhan tetapi tidak membunuh bentuk-bentuk spora dari
mikroorganisme penyebab penyakit. Istilah ini biasanya diterapkan untuk
senyawa-senyawa yang digunakan pada benda-benda mati (Russel dan Mcdonnell
1999). Disinfektan dapat bertindak pada mikroorganisme dalam dua cara berbeda:
penghambatan pertumbuhan (bakteriostasis dan fungiostasis) atau tindakan
mematikan (bakterisida, fungisida, dan efek membasmi virus). Umumnya, tujuan
dari disinfeksi adalah efek mematikan dari penggunaan disinfektan (Maris 1995).
Berbagai jenis bahan kimia yang bersifat sebagai disinfektan maupun
antiseptik dapat ditemukan di pasaran, akan tetapi tidak ada bahan kimia yang
terbaik atau ideal untuk setiap penggunaan dan tujuan. Hal ini disebabkan oleh
beragamnya kondisi dari bahan yang digunakan, perbedaan dalam cara kerja, dan
banyaknya jenis-jenis sel mikroorganisme yang dihancurkan.
Spesifikasi disinfektan menurut Fardiaz dan Jenie (1989):
9
1. Toksisitas terhadap mikroorganisme. Persyaratan utama adalah kapasitas
atau kemampuan senyawa untuk membunuh mikroorganisme. Bahan kimia
harus mempunyai daya kerja dengan spektrum luas pada konsentrasi rendah.
2. Kelarutan. Disinfektan harus larut dalam air agar penggunaannya efektif.
3. Stabilitas. Perubahan disinfektan selama penyimpanan tidak menyebabkan
hilangnya daya germisidalnya.
4. Tidak beracun terhadap hewan maupun manusia. Idealnya bahan kimia
harus sangat beracun terhadap mikroorganisme tetapi tidak terhadap
manusia dan hewan.
5. Homogenitas. Bahan kimia murni umumnya seragam, tetapi campuran
bahan kimia dapat kehilangan homogenitasnya.
6. Kemampuan untuk mencegah pencampuran dengan bahan organik. Banyak
disinfektan mempunyai afinitas terhadap protein atau bahan organik tertentu
lainnya.
7. Toksisitas terhadap mikroorganisme pada suhu kamar atau suhu tubuh.
Tidak perlu meningkatkan suhu di luar suhu normal yang biasa ditemukan
dalam lingkungan yang akan digunakan.
8. Kemampuan berpenetrasi. Aktivitas germisidalnya hanya terbatas pada
bagian yang diterapkan, apabila disinfektan tidak dapat berpenetrasi melalui
permukaaan.
9. Tidak korosif dan tidak menimbulkan warna.
10. Kemampuan menghilangkan bau.
11. Kemampuan sebagai suatu disinfektan yang juga bertindak sebagai deterjen
(bahan pembersih) akan menyelesaikan dua tujuan dan kerja
pembersihannya akan meningkatkan daya kerja dari disinfektan.
12. Ketersediaan. Disinfektan harus tersedia dalam jumlah yang besar dan
dengan harga yang pantas.
Faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan-bahan
disinfektan adalah (Fardiaz dan Jenie 1989):
1. Sifat bahan yang akan diberi perlakuan.
10
2. Jenis mikroorganisme. Tidak semua disinfektan efektif terhadap semua jenis
mikroorginsme, oleh karena itu, bahan kimia yang digunakan harus
diketahui daya kerjanya terhadap jenis mikroorganisme yang akan
dihancurkan.
3. Kondisi umum seperti pH, suhu, waktu, konsentrasi dan adanya bahan
organik yang dapat mempengaruhi kecepatan dan efisiensi penghancuran
mikroorganisme.
Jenis-jenis Disinfektan dan Mekanisme Kerja
Beberapa disinfektan yang biasa digunakan diantaranya adalah klorin,
iodofor, peroksida fenol, klorheksidin, amonium kuartener, alkohol, dan aldehid
(Kennedy et al. 2005).
1. Hipoklorit
Klorin sama halnya dengan iodin termasuk dalam kelompok halogen.
Klorin dapat menghilangkan virus baik yang memiliki dan tidak memiliki
amplop. Klorin juga efektif terhadap jamur, bakteri, dan ganggang, akan
tetapi klorin tidak efektif terhadap spora. Klorin dapat menimbulkan korosi
logam dan merusak kain. Klor dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu
membran lendir, mata dan kulit. Bahan organik seperti kotoran dapat
menonaktifkan disinfektan klorin. Oleh karena itu, permukaan harus
dibersihkan sebelum menggunakan disinfektan klorin. Hasil maksimum
didapatkan dengan melakukan kontak terhadap permukaan selama beberapa
menit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahan kimia
ini diantaranya ialah air yang digunakan untuk pengenceran harus memiliki
pH antara 6-8. Daya kerjanya akan menurun apabila suhu aplikasi di bawah
65 °C. Penurunan suhu sampai 50 °C dapat menghilangkan daya kerja
hingga setengahnya. Klorinasi air minum bagi ternak seharusnya tidak
melebihi 6-10 ppm.
2. Iodin dan iodofor
Iodin dan iodofor merupakan bakterisida, sporisida, membasmi virus
dan fungisida. Iodin, seperti klorin tidak aktif di dalam bahan organik dan
11
harus diterapkan beberapa kali dengan tujuan untuk benar-benar
mensterilkan. Iodin tinktur dapat sangat mengiritasi jaringan, bisa menodai
kain dan menjadi korosif.
3. Alkohol
Alkohol biasanya digunakan untuk disinfektan topikal. Alkohol efektif
terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, serta virus beramplop.
Alkohol tidak efektif melawan spora bakteri dan virus yang tidak memiliki
amplop. Alkohol membutuhkan waktu untuk bekerja dan tidak dapat
menembus bahan organik. Alkohol mengganggu jaringan dan
mendenaturasi protein yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri pada
luka terbuka, namun harga alkohol terlalu mahal.
4. Agen pengoksidasi
Peroksida seperti hidrogen peroksida sering digunakan untuk
membersihkan luka. Daya kerja peroksida paling besar terhadap bakteri
anaerob. Hidrogen peroksida bukan merupakan pembasmi virus dan pada
beberapa kasus dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan menghasilkan
waktu penyembuhan yang lebih lama. Hidrogen peroksida berguna untuk
membersihkan bagian bedah setelah penutupan, tetapi digunakan hanya
sedikit untuk menghindari penetrasi jahitan yang akan menghambat
penyembuhan.
Peroksida yang telah dicampur dan atau distabilkan dapat digunakan
untuk disinfeksi permukaan peralatan. Peroksida yang stabil bisa dicampur
dengan iodofor atau amonium kuartener. Beberapa produk efektif terhadap
berbagai mikroorganisme patogen yang lebih luas termasuk virus beramplop
dan tidak memiliki amplop, bakteri, jamur, dan spora bakteri.
5. Fenol
Fenol umumnya ditemukan pada pencuci mulut, sabun scrub dan
disinfektan. Fenol merupakan disinfektan utama yang ditemukan di
kalangan rumah tangga. Fenol efektif terhadap bakteri (terutama bakteri
Gram positif) dan virus beramplop. Fenol tidak efektif melawan virus yang
tidak memiliki amplop dan spora bakteri. Virus beramplop meliputi BRS,
BVD, Coronavirus, IBR, Leukemia, PI3, Cacar, Rabies dan Stomatitis virus.
12
Virus tidak memiliki amplop termasuk bluetongue, Papilloma, Parvo dan
Rotavirus. Bakteri umum pembentuk spora mencakup semua Clostridium
sp.
Fenol dapat mempertahankan aktivitasnya di dalam material organik,
oleh karena itu bahan ini lebih berguna untuk merendam kaki dan daerah
yang terdapat banyak bahan organik. Fenolik disinfektan (termasuk kresol
dan minyak pinus) umumnya aman, tetapi dapat menyebabkan iritasi pada
kulit yang terpapar.
6. Amonium kuartener
Amonium kuartener merupakan disinfektan yang efektif terhadap
bakteri Gram positif dan Gram negatif, dan virus beramplop. Amonium
kuartener tidak efektif melawan virus yang tidak beramplop, jamur dan
spora bakteri. Senyawa ini dapat mengikat bahan organik termasuk sabun
sehingga area yang akan didisinfeksi harus dibersihkan dan dibilas agar
bebas dari sabun. Senyawa Amonium kuartener umumnya memiliki
toksisitas yang rendah, tetapi dalam waktu yang berkepanjangan dapat
menyebabkan iritasi.
7. Aldehid
Aldehid memiliki spektrum yang luas sebagai pembunuh
mikroorganisme. Glutaraldehid adalah bakterisida, pembasmi virus,
fungisida, sporisida, dan parasitisida. Formaldehid sangat ampuh sebagai
desinfektan, tetapi sangat beracun bagi manusia dan hewan. Penggunaannya
hanya sebagai pilihan terakhir dan harus di bawah pengawasan, serta
pengaturan ventilasi yang baik. Formaldehid menunjukkan efektivitasnya
terhadap kriptosporidiosis.
Pemilihan disinfektan yang tepat perlu dilakukan sebelum melaksanakan
disinfeksi sehingga didapatkan hasil yang optimal. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih disinfektan seperti kemampuannya dalam membunuh
mikroorganisme tertentu dan kemampuan lainnya dijabarkan dalam Tabel 1.
13
Tabel 1 Pemilihan disinfektan (Kennedy et al. 2005) Komponen Klorin
0.01-5%
Iodin iodofor 0.5-5%
Klor-heksidin 0.05-0.5%
Alkohol 70-95%
Pengoksi-dasi 0.2-3%
Fenol 0.2-3%
Amonium kuartener 0.1-2%
Aldehid 1-2%
Bakterisida Baik Baik Sangat baik
Baik Baik Baik Baik Sangat baik
Virusida Sangat baik
Baik Sangat baik
Baik Baik Cukup Cukup Sangat baik
Virus beramplop
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Virus tidak berampolp
Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya
Spora bakteri Cukup Cukup Lemah Cukup Cukup baik
Lemah Lemah Baik
Fungisida Baik Baik Cukup Cukup Cukup Baik Cukup Baik Protozoa Cukup Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Cukup
(ammonia) Baik
Efektivitas dalam bahan organik
Lemah Cukup Cukup Cukup Lemah Baik Lemah Baik
Penghambatan oleh sabun
Tidak Ya dan tidak
Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
Efektivitas di air berkapur
Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya
Waktu kontak (menit)
5-30 10-30 5-10 10-30 10-30 10-30 10-30 10-600
Aktvitas residu
Lemah Lemah Baik Cukup Lemah Lemah Cukup Cukup
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Kerja Disinfektan
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya kerja disinfektan, diantaranya ialah
jenis mikroorganisme yang mengontaminasi, derajat kontaminasi, jumlah protein
yang terdapat pada material (protein dapat menyerap dan membuat bahan kimia
menjadi tidak aktif), aktifitas dalam bahan organik, tipe dari bahan kimia (penting
untuk mengetahui mekanisme kerja dalam memilih disinfektan yang tepat),
konsentrasi dan kuantitas dari bahan kimia, waktu kontak dan suhu, aktivitas
residu, serta dampak terhadap serat dan bahan metal, suhu pemakaian, pH, dan
interaksinya dengan bahan lain, toksisitas terhadap lingkungan dan keamanan
terhadap hewan serta harga (Kennedy et al. 2005; Rutala et al.2008).
Menurut Holah (1995a) dan Ray dan Bhunia (2008), faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi daya kerja dari disinfektan adalah materi organik, pH,
konsentrasi, dan waktu kontak. Efisiensi dari semua disinfektan berkurang dengan
adanya bahan organik. Bahan organik dapat bereaksi non-spesifik dengan
14
disinfektan sehingga disinfektan kehilangan potensi biosidanya (terutama berlaku
untuk biosida oksidatif). Tanah yang mengandung mikroorganisme dapat bertahan
dalam celah peralatan, sehingga disinfektan tidak dapat menembus dan
membunuh mikroorganisme. Dengan cara yang kurang reaktif, bahan organik
membentuk penghalang yang dapat melindungi mikroorganisme dari efek
disinfektan. Oleh karena itu, penting untuk menghilangkan atau membersihkan
semua tanah selama tahap pembersihan dan menghilangkan semua residu kimia
melalui pembilasan secara menyeluruh sebelum melaksanakan disinfeksi.
Campuran zat lainnya (misalnya bahan kimia pembersih) dapat bereaksi secara
kimia dengan disinfektan dan menghancurkan sifat antimikroba serta
menonaktifkan senyawa kationik kuaterner amonium.
Daya kerja disinfektan dipengaruhi oleh pH dari air yang digunakan untuk
pengenceran, dan hanya air dalam kisaran pH yang ditentukan oleh pabrik yang
harus digunakan. Sebagai contoh, klorin berdisosiasi dalam air untuk membentuk
HOC1 dan ion OCI. Pada pH 3-7.5, klorin hadir sebagai 'klorin bebas' HOC1
yang merupakan biosida kuat. Namun, pada air dengan pH di atas 7.5 mayoritas
klorin hadir sebagai ion OC1, yang memiliki sekitar 1% dari tindakan biosidal
dari HOC1. Diklorinasi basa deterjen tidak dapat dianggap biosida apabila hanya
berisi klorin saja.
Waktu kontak merupakan titik kritis dalam disinfeksi, dan sebagian besar
disinfektan membutuhkan setidaknya lima menit untuk mengurangi populasi
bakteri dalam suspensi. Lima menit biasanya dipilih sebagai wakil dari waktu
untuk disinfektan yang paling representatif, meskipun beberapa biosida (termasuk
amfoterik dan senyawa amonium kuartener) melampirkan pada kemasan untuk
memperpanjang waktu kontak, dan diklaim oleh produsen sebagai waktu kontak
yang optimal. Saat mikroorganisme dikaitkan dengan produk makanan, produsen
makanan dapat melakukan disinfeksi dengan meningkatkan waktu kontak melalui
perendaman atau dosis bertingkat (Russel dan McDonnel 1999).
Konsentrasi merupakan faktor penting dalam aktivitas biosida suatu
disinfektan. Hubungan antara kematian mikroorganisme dan konsentrasi
disinfektan tidak linier tetapi mengikuti kurva kematian khas sigmoidal. Populasi
mikroba sulit untuk dibunuh pada konsentrasi biosida yang rendah, tetapi
15
peningkatan konsentrasi mengarah ke titik yang sebagian besar populasi musnah.
Di luar titik ini, mikroorganisme menjadi lebih sulit dibunuh (melalui perlawanan
atau perlindungan fisik) dan kemampuan untuk bertahan hidup terlepas dari
peningkatan konsentrasi. Oleh karena itu, konsentrasi disinfektan yang digunakan
harus sesuai dengan rekomendasi produsen. Perubahan konsentrasi tidak dapat
meningkatkan daya kerja desinfektan, sehingga tidak akan menghasilkan
permukaan yang steril (Russel dan McDonnel 1999).