jurnal 3

12
TINJAUAN PUSTAKA Yogurt Yogurt adalah produk susu yang dihasilkan dari fermentasi susu. Fermentasi gula susu (laktosa) menghasilkan asam laktat yang berperan memberikan sifat karakteristik tekstur dan rasa pada yogurt (Arican dan Andic 2011). Yogurt didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstruksi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (BSN 2009). Konsumsi yogurt oleh manusia dapat meningkatkan kesehatan karena memiliki nilai gizi yang tinggi terutama untuk kesehatan pencernaan (Oyeleke 2009). Konsumsi yogurt secara teratur dapat digunakan sebagi terapi dalam mengurangi keparahan sulit buang air besar (Sairanen et al. 2007; Hongisto et al. 2006). Produk ini dapat dikonsumsi oleh penderita intoleransi laktosa, yaitu ketidakmampuan atau ketidakcukupan tubuh dalam mengabsorbsi laktosa (gula susu) akibat kekurangan enzim laktase. Proses pengolahan susu menjadi yogurt dapat menurunkan kadar laktosa sekitar 30%, sehingga jika dikonsumsi oleh penderita intoleransi laktosa tidak akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang merugikan. Yogurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung, dan mencegah kanker saluran pencernaan (Winarno dan Fernandez 2007). Oleh sebab itu, pengolahan susu segar menjadi yogurt sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani maupun menunjang kesehatan. Pada dasarnya pembuatan yogurt meliputi pemanasan susu, pendinginan, inokulasi, dan inkubasi susu tersebut. Pengolahan yogurt dimulai dengan persiapan starter atau kultur, yaitu membiakkan kultur murni S. thermophilus dan L. bulgaricus kemudian mencampurkannya sebelum diinokulasi pada susu yang akan difermentasi. Susu dipanaskan pada suhu 85 – 90 °C sekitar 15-30 menit. Kemudian didinginkan sampai 43 °C dan diinokulasi dengan 2–3% kultur campuran S. thermophilus dan L. bulgaricus dan diinkubasi pada suhu 43 °C

Transcript of jurnal 3

Page 1: jurnal 3

  

TINJAUAN PUSTAKA

Yogurt

Yogurt adalah produk susu yang dihasilkan dari fermentasi susu. Fermentasi

gula susu (laktosa) menghasilkan asam laktat yang berperan memberikan sifat

karakteristik tekstur dan rasa pada yogurt (Arican dan Andic 2011). Yogurt

didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu

rekonstruksi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan

Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan

atau penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan

(BSN 2009).

Konsumsi yogurt oleh manusia dapat meningkatkan kesehatan karena

memiliki nilai gizi yang tinggi terutama untuk kesehatan pencernaan (Oyeleke

2009). Konsumsi yogurt secara teratur dapat digunakan sebagi terapi dalam

mengurangi keparahan sulit buang air besar (Sairanen et al. 2007; Hongisto et al.

2006). Produk ini dapat dikonsumsi oleh penderita intoleransi laktosa, yaitu

ketidakmampuan atau ketidakcukupan tubuh dalam mengabsorbsi laktosa (gula

susu) akibat kekurangan enzim laktase. Proses pengolahan susu menjadi yogurt

dapat menurunkan kadar laktosa sekitar 30%, sehingga jika dikonsumsi oleh

penderita intoleransi laktosa tidak akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala

yang merugikan. Yogurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga

kesehatan lambung, dan mencegah kanker saluran pencernaan (Winarno dan

Fernandez 2007). Oleh sebab itu, pengolahan susu segar menjadi yogurt sangat

potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani maupun

menunjang kesehatan.

Pada dasarnya pembuatan yogurt meliputi pemanasan susu, pendinginan,

inokulasi, dan inkubasi susu tersebut. Pengolahan yogurt dimulai dengan

persiapan starter atau kultur, yaitu membiakkan kultur murni S. thermophilus dan

L. bulgaricus kemudian mencampurkannya sebelum diinokulasi pada susu yang

akan difermentasi. Susu dipanaskan pada suhu 85 – 90 °C sekitar 15-30 menit.

Kemudian didinginkan sampai 43 °C dan diinokulasi dengan 2–3% kultur

campuran S. thermophilus dan L. bulgaricus dan diinkubasi pada suhu 43 °C

Page 2: jurnal 3

  

selama 3-6 jam sampai diperoleh keasaman yang diinginkan yaitu 0.85-0.95

persen (asam laktat) dengan nilai pH 4.4-4.5. Setelah itu produk didinginkan

sampai suhu 5 °C (Winarno dan Fernandez 2007; Ray 2004).

Kerusakan dan Penurunan Mutu Yogurt

Yogurt merupakan produk pangan yang mudah terkontaminasi oleh

mikroorganisme (Montagna et al. 1998). Kontaminasi mikroorganisme pada

yogurt dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan mutu yogurt. Kerusakan dan

penurunan mutu yogurt biasanya disebabkan oleh kontaminasi silang dari udara

pada ruang pengemasan, peralatan untuk pengisian, buah-buahan atau sirup yang

ditambahkan dan kontaminasi wadah pengemas. Kerusakan yogurt umumnya

disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya adalah kapang dan

khamir yang relaif tahan asam. Kontaminasi kapang dan khamir pada umumnya

terkait dengan praktik higiene yang buruk selama proses pengemasan (Moreira et

al. 2001).

Kondisi pertumbuhan seperti pH yang rendah, kadar kelembaban yang

rendah, dan tingginya kadar garam tidak cocok untuk beberapa spesies bakteri.

Mikroorganisme perusak seperti kapang dan khamir umumnya kurang sensitif

terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga masih mungkin tumbuh dan

berkembang di dalam yogurt (Rahman et al. 1992). Khamir dapat menyebabkan

beberapa kerusakan pada rasa, bau, dan tekstur. Perubahan tersebut terjadi akibat

aktivitas metabolik yang tergantung pada degradasi laktosa atau senyawa dari

hidrolisisnya, sekresi enzim lipolitik dan proteolitik, asimilasi garam organik, dan

kemampuan untuk berkembang biak pada suhu rendah (5-10 °C) (Salomskiene

dan Macioniene 2009).

Menurut Sugiarto (1997), umumnya kerusakan pada produk yogurt adalah

terjadinya penyimpangan pH, bau busuk, terbentuknya whey serta timbulnya gas.

Bentuk kerusakan lain adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh kapang dan

khamir. Kerusakan oleh kapang dan khamir dapat diketahui secara visual

misalnya timbulnya miselium dan spora, bau yang menyimpang, dan dapat pula

diketahui dengan pemeriksaan secara mikroskopis. Kerusakan oleh bakteri

Page 3: jurnal 3

  

biasanya disebabkan oleh bakteri Gram negatif seperti Bacillus spp, Acetobacter

yang dapat menyebabkan pembusukan pada produk.

Pengemasan Yogurt

Kemasan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau

membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun

tidak (BPOM 1996). Prinsip atau tujuan pengemasan produk makanan adalah

untuk melindungi produk makanan dari pengaruh lingkungan dan kerusakan

(Marsh dan Bugusu 2007). Fungsi utama kemasan adalah melindungi dan

mencegah produk pangan dari kontaminasi (Robertson 2006). Fungsi ini

melibatkan perpanjangan umur simpan, memelihara kualitas dan keamanan

makanan, melindungi makanan dari pengaruh lingkungan seperti panas, cahaya,

ada atau tidak adanya kelembaban, oksigen, tekanan, enzim, bau,

mikroorganisme, serangga, kotoran dan partikel debu, gas, dan sebagainya (Brody

et al. 2008). Bahan kemasan yang biasa digunakan dalam pengemasan makanan

termasuk pangan cair adalah kaca, logam seperti alumunium foil, kertas, plastik,

dan lainnya.

Bahan pengemas yang digunakan dalam industri pangan harus dalam

kondisi baik, agar dapat mempertahankan mutu makanan didalamnya serta

melindungi makanan terhadap pengaruh luar seperti sinar, panas, kelembaban,

kotoran, benturan, dan lain-lain. Bahan pengemas yang digunakan tidak boleh

beracun, membentuk atau menimbulkan racun, menimbulkan penyimpangan yang

membahayakan kesehatan, serta tidak berpengaruh atau menimbulkan reaksi

dengan produk yang didalamnya. Bahan pengemas yang digunakan harus tahan

terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran. Sebelum

digunakan, bahan pengemas perlu dipastikan kebersihan dan kondisinya dan jika

perlu dibersihkan dan didisinfeksi apabila penggunaan kemasan harus dalam

kondisi yang aseptik (bebas dari mikroorganisme).

Bahan kemasan yang banyak digunakan untuk produk yogurt diantaranya

adalah botol plastik. Plastik dibuat dengan kondensasi polimerisasi

(polikondensasi) atau penambahan polimerisasi dari monomer unit. Terdapat

beberapa keuntungan menggunakan plastik untuk kemasan makanan. Plastik

Page 4: jurnal 3

  

dapat dibuat menjadi lembaran, berbagai bentuk dan struktur, serta memiliki

fleksibilitas desain yang cukup besar. Plastik secara kimiawi tahan, murah dan

ringan dengan berbagai sifat fisik dan optik. Plastik juga mudah untuk dicetak dan

dapat diintegrasikan ke dalam proses produksi tempat paket tersebut terbentuk,

diisi, dan disegel di lini produksi yang sama. Kerugian utama dari plastik adalah

permeabilitas terhadap cahaya, gas, uap, dan berat molekul rendah (Marsh dan

Bugusu 2007). Perubahan bentuk yang dapat terjadi pada kemasan plastik adalah

mengkerut atau menggembungnya botol akibat reaksi yang terjadi di dalamnya.

Permukaan yang kontak dengan bahan pangan harus lebih diperhatikan

keamanannya, seperti:

a) Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus

didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak toksik dan tidak

mudah terkikis.

b) Cleaning compound dan sanitizing agent yang digunakan untuk

membersihkan peralatan tersebut harus sesuai dengan makanan dan tidak

beracun.

c) Peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus

dibersihkan dengan metode pembersihan yang efektif setelah produksi selesai.

d) Sarung tangan dan seragam produksi yang kontak dengan bahan pangan harus

terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah terkelupas, bersih, dan dibersihkan

setiap hari setelah selesai produksi.

Sanitasi Wadah Pengemas Yogurt

Sanitasi adalah suatu tindakan yang dirancang untuk menghilangkan bakteri,

jamur, ragi, dan (dalam beberapa kasus) kontaminasi virus (McLandsborough

2005). Kontaminasi mikroorganisme akan dihilangkan dalam tahap pembersihan.

Beberapa mikroorganisme mungkin dapat tetap bertahan di permukaan sehingga

dibutuhkan penggunaan disinfektan. Disinfeksi dilakukan untuk mengurangi

jumlah mikroorganisme dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada

permukaan selama periode antarproduksi (Holah 1995a). Menurut Taylor et al.

(1999), pencemaran pada produk makanan dapat terjadi melalui lingkungan

seperti udara, manusia, dan permukaan wadah produk. Permukaan wadah produk

Page 5: jurnal 3

  

merupakan rute yang paling penting untuk pengendalian kontaminasi sebagai

dasar dari pelaksanaan program sanitasi. Disinfeksi terhadap wadah dan alat-alat

tersebut harus efektif sehingga bebas dari mikroorganisme pembusuk maupun

patogen yang dapat mengontaminasi produk pangan dan membahayakan

kesehatan masyarakat.

Daya kerja disinfektan tergantung pada waktu kontak yang cukup dan

konsentrasi yang tepat. Waktu disinfeksi tergantung pada metode yang digunakan,

seperti perendaman ataupun semprot. Disinfeksi dengan perendaman merupakan

metode yang paling populer, paling dapat diandalkan dan metode pilihan

dibandingkan dengan penyemprotan karena menjamin lebih banyak kontak, tetapi

memakan waktu yang lebih lama dan kemungkinan adanya distorsi (Sukhija et al.

2010; Hiraguchi et al. 2012).

Disinfektan

Disinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang

digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti

bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah

mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya (Fardiaz dan Jenie 1989).

Disinfektan adalah suatu bahan, biasanya bahan kimia, yang membunuh bentuk-

bentuk pertumbuhan tetapi tidak membunuh bentuk-bentuk spora dari

mikroorganisme penyebab penyakit. Istilah ini biasanya diterapkan untuk

senyawa-senyawa yang digunakan pada benda-benda mati (Russel dan Mcdonnell

1999). Disinfektan dapat bertindak pada mikroorganisme dalam dua cara berbeda:

penghambatan pertumbuhan (bakteriostasis dan fungiostasis) atau tindakan

mematikan (bakterisida, fungisida, dan efek membasmi virus). Umumnya, tujuan

dari disinfeksi adalah efek mematikan dari penggunaan disinfektan (Maris 1995).

Berbagai jenis bahan kimia yang bersifat sebagai disinfektan maupun

antiseptik dapat ditemukan di pasaran, akan tetapi tidak ada bahan kimia yang

terbaik atau ideal untuk setiap penggunaan dan tujuan. Hal ini disebabkan oleh

beragamnya kondisi dari bahan yang digunakan, perbedaan dalam cara kerja, dan

banyaknya jenis-jenis sel mikroorganisme yang dihancurkan.

Spesifikasi disinfektan menurut Fardiaz dan Jenie (1989):

Page 6: jurnal 3

  

1. Toksisitas terhadap mikroorganisme. Persyaratan utama adalah kapasitas

atau kemampuan senyawa untuk membunuh mikroorganisme. Bahan kimia

harus mempunyai daya kerja dengan spektrum luas pada konsentrasi rendah.

2. Kelarutan. Disinfektan harus larut dalam air agar penggunaannya efektif.

3. Stabilitas. Perubahan disinfektan selama penyimpanan tidak menyebabkan

hilangnya daya germisidalnya.

4. Tidak beracun terhadap hewan maupun manusia. Idealnya bahan kimia

harus sangat beracun terhadap mikroorganisme tetapi tidak terhadap

manusia dan hewan.

5. Homogenitas. Bahan kimia murni umumnya seragam, tetapi campuran

bahan kimia dapat kehilangan homogenitasnya.

6. Kemampuan untuk mencegah pencampuran dengan bahan organik. Banyak

disinfektan mempunyai afinitas terhadap protein atau bahan organik tertentu

lainnya.

7. Toksisitas terhadap mikroorganisme pada suhu kamar atau suhu tubuh.

Tidak perlu meningkatkan suhu di luar suhu normal yang biasa ditemukan

dalam lingkungan yang akan digunakan.

8. Kemampuan berpenetrasi. Aktivitas germisidalnya hanya terbatas pada

bagian yang diterapkan, apabila disinfektan tidak dapat berpenetrasi melalui

permukaaan.

9. Tidak korosif dan tidak menimbulkan warna.

10. Kemampuan menghilangkan bau.

11. Kemampuan sebagai suatu disinfektan yang juga bertindak sebagai deterjen

(bahan pembersih) akan menyelesaikan dua tujuan dan kerja

pembersihannya akan meningkatkan daya kerja dari disinfektan.

12. Ketersediaan. Disinfektan harus tersedia dalam jumlah yang besar dan

dengan harga yang pantas.

Faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan-bahan

disinfektan adalah (Fardiaz dan Jenie 1989):

1. Sifat bahan yang akan diberi perlakuan.

Page 7: jurnal 3

10 

  

2. Jenis mikroorganisme. Tidak semua disinfektan efektif terhadap semua jenis

mikroorginsme, oleh karena itu, bahan kimia yang digunakan harus

diketahui daya kerjanya terhadap jenis mikroorganisme yang akan

dihancurkan.

3. Kondisi umum seperti pH, suhu, waktu, konsentrasi dan adanya bahan

organik yang dapat mempengaruhi kecepatan dan efisiensi penghancuran

mikroorganisme.

Jenis-jenis Disinfektan dan Mekanisme Kerja

Beberapa disinfektan yang biasa digunakan diantaranya adalah klorin,

iodofor, peroksida fenol, klorheksidin, amonium kuartener, alkohol, dan aldehid

(Kennedy et al. 2005).

1. Hipoklorit

Klorin sama halnya dengan iodin termasuk dalam kelompok halogen.

Klorin dapat menghilangkan virus baik yang memiliki dan tidak memiliki

amplop. Klorin juga efektif terhadap jamur, bakteri, dan ganggang, akan

tetapi klorin tidak efektif terhadap spora. Klorin dapat menimbulkan korosi

logam dan merusak kain. Klor dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu

membran lendir, mata dan kulit. Bahan organik seperti kotoran dapat

menonaktifkan disinfektan klorin. Oleh karena itu, permukaan harus

dibersihkan sebelum menggunakan disinfektan klorin. Hasil maksimum

didapatkan dengan melakukan kontak terhadap permukaan selama beberapa

menit.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahan kimia

ini diantaranya ialah air yang digunakan untuk pengenceran harus memiliki

pH antara 6-8. Daya kerjanya akan menurun apabila suhu aplikasi di bawah

65 °C. Penurunan suhu sampai 50 °C dapat menghilangkan daya kerja

hingga setengahnya. Klorinasi air minum bagi ternak seharusnya tidak

melebihi 6-10 ppm.

2. Iodin dan iodofor

Iodin dan iodofor merupakan bakterisida, sporisida, membasmi virus

dan fungisida. Iodin, seperti klorin tidak aktif di dalam bahan organik dan

Page 8: jurnal 3

11 

  

harus diterapkan beberapa kali dengan tujuan untuk benar-benar

mensterilkan. Iodin tinktur dapat sangat mengiritasi jaringan, bisa menodai

kain dan menjadi korosif.

3. Alkohol

Alkohol biasanya digunakan untuk disinfektan topikal. Alkohol efektif

terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, serta virus beramplop.

Alkohol tidak efektif melawan spora bakteri dan virus yang tidak memiliki

amplop. Alkohol membutuhkan waktu untuk bekerja dan tidak dapat

menembus bahan organik. Alkohol mengganggu jaringan dan

mendenaturasi protein yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri pada

luka terbuka, namun harga alkohol terlalu mahal.

4. Agen pengoksidasi

Peroksida seperti hidrogen peroksida sering digunakan untuk

membersihkan luka. Daya kerja peroksida paling besar terhadap bakteri

anaerob. Hidrogen peroksida bukan merupakan pembasmi virus dan pada

beberapa kasus dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan menghasilkan

waktu penyembuhan yang lebih lama. Hidrogen peroksida berguna untuk

membersihkan bagian bedah setelah penutupan, tetapi digunakan hanya

sedikit untuk menghindari penetrasi jahitan yang akan menghambat

penyembuhan.

Peroksida yang telah dicampur dan atau distabilkan dapat digunakan

untuk disinfeksi permukaan peralatan. Peroksida yang stabil bisa dicampur

dengan iodofor atau amonium kuartener. Beberapa produk efektif terhadap

berbagai mikroorganisme patogen yang lebih luas termasuk virus beramplop

dan tidak memiliki amplop, bakteri, jamur, dan spora bakteri.

5. Fenol

Fenol umumnya ditemukan pada pencuci mulut, sabun scrub dan

disinfektan. Fenol merupakan disinfektan utama yang ditemukan di

kalangan rumah tangga. Fenol efektif terhadap bakteri (terutama bakteri

Gram positif) dan virus beramplop. Fenol tidak efektif melawan virus yang

tidak memiliki amplop dan spora bakteri. Virus beramplop meliputi BRS,

BVD, Coronavirus, IBR, Leukemia, PI3, Cacar, Rabies dan Stomatitis virus.

Page 9: jurnal 3

12 

  

Virus tidak memiliki amplop termasuk bluetongue, Papilloma, Parvo dan

Rotavirus. Bakteri umum pembentuk spora mencakup semua Clostridium

sp.

Fenol dapat mempertahankan aktivitasnya di dalam material organik,

oleh karena itu bahan ini lebih berguna untuk merendam kaki dan daerah

yang terdapat banyak bahan organik. Fenolik disinfektan (termasuk kresol

dan minyak pinus) umumnya aman, tetapi dapat menyebabkan iritasi pada

kulit yang terpapar.

6. Amonium kuartener

Amonium kuartener merupakan disinfektan yang efektif terhadap

bakteri Gram positif dan Gram negatif, dan virus beramplop. Amonium

kuartener tidak efektif melawan virus yang tidak beramplop, jamur dan

spora bakteri. Senyawa ini dapat mengikat bahan organik termasuk sabun

sehingga area yang akan didisinfeksi harus dibersihkan dan dibilas agar

bebas dari sabun. Senyawa Amonium kuartener umumnya memiliki

toksisitas yang rendah, tetapi dalam waktu yang berkepanjangan dapat

menyebabkan iritasi.

7. Aldehid

Aldehid memiliki spektrum yang luas sebagai pembunuh

mikroorganisme. Glutaraldehid adalah bakterisida, pembasmi virus,

fungisida, sporisida, dan parasitisida. Formaldehid sangat ampuh sebagai

desinfektan, tetapi sangat beracun bagi manusia dan hewan. Penggunaannya

hanya sebagai pilihan terakhir dan harus di bawah pengawasan, serta

pengaturan ventilasi yang baik. Formaldehid menunjukkan efektivitasnya

terhadap kriptosporidiosis.

Pemilihan disinfektan yang tepat perlu dilakukan sebelum melaksanakan

disinfeksi sehingga didapatkan hasil yang optimal. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam memilih disinfektan seperti kemampuannya dalam membunuh

mikroorganisme tertentu dan kemampuan lainnya dijabarkan dalam Tabel 1.

Page 10: jurnal 3

13 

  

Tabel 1 Pemilihan disinfektan (Kennedy et al. 2005) Komponen Klorin

0.01-5%

Iodin iodofor 0.5-5%

Klor-heksidin 0.05-0.5%

Alkohol 70-95%

Pengoksi-dasi 0.2-3%

Fenol 0.2-3%

Amonium kuartener 0.1-2%

Aldehid 1-2%

Bakterisida Baik Baik Sangat baik

Baik Baik Baik Baik Sangat baik

Virusida Sangat baik

Baik Sangat baik

Baik Baik Cukup Cukup Sangat baik

Virus beramplop

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Virus tidak berampolp

Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya

Spora bakteri Cukup Cukup Lemah Cukup Cukup baik

Lemah Lemah Baik

Fungisida Baik Baik Cukup Cukup Cukup Baik Cukup Baik Protozoa Cukup Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Cukup

(ammonia) Baik

Efektivitas dalam bahan organik

Lemah Cukup Cukup Cukup Lemah Baik Lemah Baik

Penghambatan oleh sabun

Tidak Ya dan tidak

Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak

Efektivitas di air berkapur

Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya

Waktu kontak (menit)

5-30 10-30 5-10 10-30 10-30 10-30 10-30 10-600

Aktvitas residu

Lemah Lemah Baik Cukup Lemah Lemah Cukup Cukup

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Kerja Disinfektan

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya kerja disinfektan, diantaranya ialah

jenis mikroorganisme yang mengontaminasi, derajat kontaminasi, jumlah protein

yang terdapat pada material (protein dapat menyerap dan membuat bahan kimia

menjadi tidak aktif), aktifitas dalam bahan organik, tipe dari bahan kimia (penting

untuk mengetahui mekanisme kerja dalam memilih disinfektan yang tepat),

konsentrasi dan kuantitas dari bahan kimia, waktu kontak dan suhu, aktivitas

residu, serta dampak terhadap serat dan bahan metal, suhu pemakaian, pH, dan

interaksinya dengan bahan lain, toksisitas terhadap lingkungan dan keamanan

terhadap hewan serta harga (Kennedy et al. 2005; Rutala et al.2008).

Menurut Holah (1995a) dan Ray dan Bhunia (2008), faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi daya kerja dari disinfektan adalah materi organik, pH,

konsentrasi, dan waktu kontak. Efisiensi dari semua disinfektan berkurang dengan

adanya bahan organik. Bahan organik dapat bereaksi non-spesifik dengan

Page 11: jurnal 3

14 

  

disinfektan sehingga disinfektan kehilangan potensi biosidanya (terutama berlaku

untuk biosida oksidatif). Tanah yang mengandung mikroorganisme dapat bertahan

dalam celah peralatan, sehingga disinfektan tidak dapat menembus dan

membunuh mikroorganisme. Dengan cara yang kurang reaktif, bahan organik

membentuk penghalang yang dapat melindungi mikroorganisme dari efek

disinfektan. Oleh karena itu, penting untuk menghilangkan atau membersihkan

semua tanah selama tahap pembersihan dan menghilangkan semua residu kimia

melalui pembilasan secara menyeluruh sebelum melaksanakan disinfeksi.

Campuran zat lainnya (misalnya bahan kimia pembersih) dapat bereaksi secara

kimia dengan disinfektan dan menghancurkan sifat antimikroba serta

menonaktifkan senyawa kationik kuaterner amonium.

Daya kerja disinfektan dipengaruhi oleh pH dari air yang digunakan untuk

pengenceran, dan hanya air dalam kisaran pH yang ditentukan oleh pabrik yang

harus digunakan. Sebagai contoh, klorin berdisosiasi dalam air untuk membentuk

HOC1 dan ion OCI. Pada pH 3-7.5, klorin hadir sebagai 'klorin bebas' HOC1

yang merupakan biosida kuat. Namun, pada air dengan pH di atas 7.5 mayoritas

klorin hadir sebagai ion OC1, yang memiliki sekitar 1% dari tindakan biosidal

dari HOC1. Diklorinasi basa deterjen tidak dapat dianggap biosida apabila hanya

berisi klorin saja.

Waktu kontak merupakan titik kritis dalam disinfeksi, dan sebagian besar

disinfektan membutuhkan setidaknya lima menit untuk mengurangi populasi

bakteri dalam suspensi. Lima menit biasanya dipilih sebagai wakil dari waktu

untuk disinfektan yang paling representatif, meskipun beberapa biosida (termasuk

amfoterik dan senyawa amonium kuartener) melampirkan pada kemasan untuk

memperpanjang waktu kontak, dan diklaim oleh produsen sebagai waktu kontak

yang optimal. Saat mikroorganisme dikaitkan dengan produk makanan, produsen

makanan dapat melakukan disinfeksi dengan meningkatkan waktu kontak melalui

perendaman atau dosis bertingkat (Russel dan McDonnel 1999).

Konsentrasi merupakan faktor penting dalam aktivitas biosida suatu

disinfektan. Hubungan antara kematian mikroorganisme dan konsentrasi

disinfektan tidak linier tetapi mengikuti kurva kematian khas sigmoidal. Populasi

mikroba sulit untuk dibunuh pada konsentrasi biosida yang rendah, tetapi

Page 12: jurnal 3

15 

  

peningkatan konsentrasi mengarah ke titik yang sebagian besar populasi musnah.

Di luar titik ini, mikroorganisme menjadi lebih sulit dibunuh (melalui perlawanan

atau perlindungan fisik) dan kemampuan untuk bertahan hidup terlepas dari

peningkatan konsentrasi. Oleh karena itu, konsentrasi disinfektan yang digunakan

harus sesuai dengan rekomendasi produsen. Perubahan konsentrasi tidak dapat

meningkatkan daya kerja desinfektan, sehingga tidak akan menghasilkan

permukaan yang steril (Russel dan McDonnel 1999).