JUDUL: PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK ... KB pada suku Baduy prof sihab.pdfBaduy Luar...
Transcript of JUDUL: PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK ... KB pada suku Baduy prof sihab.pdfBaduy Luar...
1
JUDUL:
PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY
DI KABUPATEN LEBAK BANTEN
Pengusul
Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si.
PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY
2
DI KABUPATEN LEBAK BANTEN1 Oleh:
Ahmad Sihabudin2
RINGKASAN
Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar sedangkan Baduy Dalam belum dapat menerima hal-hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan dalam berbagai segi kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No. 111/1999. Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal cara memenuhi kebutuhan kesehatan ibu khususnya penerimaan konsep Keluarga Berencana (KB). Ada trend peningkatan akseptor KB di KAT Baduy, berdasarkan catatan Ibu Bidan Rosita (Petugas Kesehatan yang ditugaskan melayani KAT Baduy), data menunjukkan Tahun 2006 Akseptor KB di Baduy Luar berjumlah 647 peserta, per bulan Pebruari 2014 jumlah akseptor KB Baduy Luar 1403 peserta, dan akseptor di Baduy dalam 16 peserta. Selain itu ada variasi penggunaan alat kontrasepsi yang dipakai, pada masa awal KAT Baduy menerima konsep KB kebanyakan mereka menggunakan Inflan. Dari gejala tersebut penelitian ini dirancang untuk mengetahui jenis dan ciri inovasi KB apa yang mudah diterima; saluran atau media apa yang paling efektif dalam penyebaran KB; faktor-faktor karakteristik adopter apa saja yang mempengaruhi penerimaan KB; Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan penerimaan inovasi; Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan saluran komunikasi. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar penelitian ini dirancang, KAT Baduy sudah mulai menerima konsep Keluarga Berencana. Metode penelitian bersifat deskripsi korelasional yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan secara mendasar, dan menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel dengan menggunakan uji statistik, dengan harapan menemukan sebuah model penyebaran inovasi pada masyarakat Komunitas Adat Terpencil.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari berbagai suku bangsa
dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam
keanekaragaman tersebut ada sekelompok masyarakat, suku bangsa yang secara relatif sudah lebih
dahulu maju, tetapi ada juga yang belum maju dan malahan tertinggal dengan masyarakat lainnya.
Perubahan sosial dalam masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal juga dapat menimbulkan
ketertinggalan dan keterpencilan pada sekelompok masyarakat tertentu karena lokasi yang terpencil
serta sulit mendapatkan akses pelayanan dari luar.
Bahkan mungkin yang terpenting dari kemajemukan masyarakat dan kekayaan kebudayaan
1 Disampaikan dalam Konfrensi Nasional Kesejahteraan Sosial (KNKS) VIII, Padang Sumatra Barat 18-20 April 2015. 2 Guru Besar FISIP Untirta, dan Kordinator Pusat Penelitian Ekonomi, Budaya, dan Pranata Sosial LPPM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
3
yang memerlukan perhatian adalah: masih jutaan anak-anak negeri yang diidentifikasi sebagai
Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah pewaris keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemiskinan
masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat global melihat KAT dalam perspektif yang sama. Tanpa kita
menyadari, sebenarnya anak-anak negeri dalam KAT yang hidup dalam kemiskinan selalu melahirkan
kemiskinan.
Dalam Pasal 2 Keppres No. 111/1999 tentang pembinaan kesejahteraan sosial komunitas
adat terpencil diamanatkan sebagai berikut:
”Pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil bertujuan untuk memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.”
Berdasarkan hal tersebut kami mencoba mengkaji salah satu KAT yang ada di Indonesia, yaitu
suku Baduy. Secara administratif wilayah Baduy atau biasa pula disebut wilayah “Rawayan” atau
wilayah “Kanekes” termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten (dulu masuk wilayah Jawa Barat). Wilayah yang dihuni orang Baduy berada pada
kawasan Pegunungan Kendeng yang sebagian merupakan hutan lindung. Masyarakat Baduy adalah
salah satu etnik yang dapat dikatakan sebagai komunitas yang masih memegang tradisi dan
cenderung tertutup, atau dalam istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil sebagai pengganti istilah
Masyarakat Terasing.
Sebagaimana masyarakat pada umumnya, komunitas Baduy juga membutuhkan
pengembangan diri, membutuhkan perubahan, dan terutama dalam hal kebutuhan keluarga baik
sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sekunder dan tersier lainnya. Ini terlihat dalam komunitas
Baduy Luar yang sudah terlihat dinamika perubahannya dibandingkan dengan saudaranya Baduy
Dalam yang secara adat masih memegang sangat teguh tradisi leluhur. Baduy Luar meskipun
dianggap oleh orang Baduy Dalam sebagai pelanggar adat, namun demikian bila diperhatikan tata cara
kehidupannya masih memegang tradisi yang kuat.
Secara umum yang membedakan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah sebagai
berikut: Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar sedangkan Baduy
Dalam belum dapat menerima hal-hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian
kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy
Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan dalam berbagai segi
kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No. 111/1999.
Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal cara memenuhi
kebutuhan kesehatan ibu khususnya penerimaan konsep Keluarga Berencana (KB). Ada trend
4
peningkatan akseptor KB di KAT Baduy, berdasarkan catatan Ibu Bidan Rosita (Petugas Kesehatan
yang ditugaskan melayani KAT Baduy), data menunjukkan Tahun 2006 Akseptor KB di Baduy Luar
berjumlah 647 peserta, per bulan Pebruari 2014 jumlah akseptor KB Baduy Luar 1403 peserta, dan
akseptor di Baduy Dalam sudah ada yaitu sebanyak 16 peserta. Selain itu ada variasi penggunaan alat
kontrasepsi yang dipakai, pada masa awal KAT Baduy menerima konsep KB kebanyakan mereka
menggunakan Inflan.
Tabel 1.
Keikutsertaan KB Warga Baduy Luar dan Baduy Dalam
Alat Kontrasepsi Akseptor Baduy Luar Akseptor Baduy Dalam
Inflan 112 orang -
IUD 6 orang 1 orang
Suntik 1205 orang 15 orang
Pil 80 orang -
Jumlah 1403 orang 16 orang
Sumber: Bidan Eros Rosita /Puskesmas Pembantu Ciboleger (2014).
Kevariasian alat kontrasepsi yang digunakan, dan adanya trend peningkatan peserta KB di
Baduy , mendorong kami untuk mengetahui dan memahami gejala tersebut dalam konteks penerimaan
inovasi, khususnya cara hidup dan konsep keluarga berencana yang terjadi di KAT Baduy. Mengingat
sifat dan karakter masyarakat ini termasuk yang menutup diri terhadap hal-hal yang berasal dari luar
komunitasnya. Meskipun secara umum dan pada hakikatnya masyarakat manapun membutuhkan
perubahan dalam pengertian perubahan kehidupan yang lebih baik, baik pengetahuan, keterampilan
dan sikap mental, khususnya dalam menerima konsep hidup Keluarga Berencana.
Sebagaimana kami kemukakan di atas, masyarakat Baduy sebagai masyarakat yang dapat
dikategorikan terpencil dan terbelakang dalam hal mengadopsi suatu hal yang dianggap modern, dan
bisa mewakili kelompok suku bangsa yang terpencil di Indonesia. Maka penulis mengajukan
permasalahan makalah ini untuk dapat di share dengan hadirin dan peserta Konfrensi bagaimana
selanjutnya bila trend ber-KB pada KAT Baduy terus berlangsung.
Saat makalah ini di tulis penelitian masih berlangsung dengan bertujuan untuk
mendeskripsikan dan untuk mengetahui jenis dan ciri inovasi KB apa yang mudah diterima, saluran
atau media apa yang paling efektif dalam penyebaran KB, faktor-faktor karakteristik adopter apa saja
yang mempengaruhi penerimaan KB, Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan penerimaan
inovasi, Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan saluran komunikasi. Hasil penelitian yang
5
diharapkan, adalah diperolehnya informasi lengkap mengenai penyebaran inovasi KB pada KAT
Baduy. Untuk selanjutnya menetapkan strategi peningkatan kesejahteraan keluarga KAT Baduy melalui
KB.
1.2. Urgensi Penulisan
Penulisan makalah ini dibuat beradasarkan data catatan Bidan Eros Rosita, para medis yang
bertugas di Desa Kanekes, data dari Puskesmas Cisimeut pada Tahun 2010 akseptor KB mencapai
1204, jenis alat kontrsepsi yang digunakan Pil 598, Suntik 524, implant 82 akseptor KB. (Kurnia dan
Sihabudin, 2010:243), pada Tahun 2014 ada kenaikan jumlah peserta KB dalam catatan Bidan eros
Rosita Bulan Pebruari 2014 menjadi 1403 akseptor KB. Adanya trend kenaikan jumlah peserta KB
pada KAT Baduy inilah yang menjadi pendorong utama penulisan ini, dan saat ini penelitian terkait
dengan inovasi KB di Baduy masih berlangsung.
Sasaran dan harapan penulisan makalah ini dapat membantu menentukan langkah dan
strategi penanganan kesejahteraan melalui KB di KAT Baduy, dan membuat rancangan model
peningkatan kesejahteraan masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) Baduy, yang dapat di
implementasikan pada masyarakat KAT yang tersebar dari Sabang sampai Meuroke.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunintas Adat Terpncil
Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah
kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian
besar komunitas ini bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam
komunitas adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan
homogen. Kehidupan mereka sehari-hari masih didasarkan pada interaksi tradisional yang bersifat
biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah (2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah
yang dikategorikan sebagai Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua)
aspek yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses pelayanan sosial
dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan atau sulit mendapatkan akses
pelayanan sosial dasar.
Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam surat Keputusan Presiden No 111 tahun
1999 dalam Sihabudin (2015), adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta
kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai
Komunitas Adat Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut:
6
(a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.
(b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
(c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit
dijangkau.
(d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten.
(e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil
(f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi.
(g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas.
Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri KAT dalam Keppres
No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat dikelompokkan berdasarkan habitat, dan atau
lokalitas sebagai berikut:
(a) Dataran tinggi / pegunungan;
(b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai
(c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan;
(e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil.
Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai berikut: Kelana,
Menetap Sementara, dan Menetap. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat
terpencil adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses pelayanan
dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan cenderung sifat masyarakatnya
tertutup.
2.2. Komunitas Adat Terpencil Baduy
Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk kelompok masyarakat ini
bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam,
biasa menyebut masyarakat yang suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan
sebutan “Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte, Trcht, dan
Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes seperti dikemukakan dalam
laporan-laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini,
hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa
mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang
panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung
Baduy yang kebetulan berada di wilayah Baduy (Garna, 1993a:120), dalam Sihabudin (2015:29).
7
Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang
besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari
Kerajaan Banten. (Garna, 1993b:144). Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah
Banten. Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat
membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu, Prabu Pucuk Umun
(keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan
masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat
pemukiman di sana.(Djuwisno, 1987:1-2).
Manurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat
yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya diwajibkan
memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau
Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda
Wiwitan (wiwitan = asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiska, yaitu
raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi kelima.
Foto 1. Warga KAT Baduy dalam suatu acara adat membersihkan lengan Bengkong (Dukun Sunat) simbol memaafkan dari pihak keluarga setelah Bengkong melukai putranya saat dikhitan, sebuah kearifan lokal Baduy. (Foto Asep Kurnia).
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai
Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah
Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan
(wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung
dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah
8
pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk
Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy
yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000:47-59).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas
Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten
Lebak No. 32 tahun 200, yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri
kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.
2.3. Keadaan Demografi KAT Baduy
Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna lahan, namun dapat
dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan Puskesmas dan Kantor Desa Kanekes
tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 55 kampung Baduy Luar, ada penambahan 4
kampung. Dalam Perda No.32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Mendiami 51 Kampung yaitu:
1. Kampung Kaduketug; 2. Kampung Cipondok; 3.Kampung Babakan Kaduketug; 4. Kampung Kadukaso; 5. Kampung Cihulu; 6. Kampung Balimbing; 7. Kampung Marenggo; 8. Kampung Gajeboh; 9. Kampung Leuwibeleud; 10. Kampung Cipaler; 11. Kampung Cipaler Pasir; 12. Kampung Cicakal Girang; 13. Kampung Babakan Cicakal Girang; 14. Kampung Cipiit; 15. Kampung Cilingsuh; 16. Kampung Cisagu; 17. Kampung Cijanar; 18. Kampung Ciranji; 19. Kampung Babakan Eurih; 20. Kampung Cisagulandeuh;
26. Kampung Bojong Paok; 27. Kampung Cangkudu; 28. Kampung Cisadane; 29. Kampung Cibagelut; 30. Kampung Cibogo; 31. Kampung Pamoean; 32. Kampung Cisaban; 33. Kampung Babakan Cisaban; 34. Kampung Leuwihandap; 35. Kampung Kaneungay; 36. Kampung Kadukohak; 37. Kampung Ciracakondang; 38. Kampung Panyerangan; 39. Kampung Batara; 40. Kampung Binglugemok; 41. Kampung Sorokohod; 42. Kampung Ciwaringin; 43. Kampung Kaduketer; 44. Kampung Babakan Kaduketer; 45. Kampung Cibongkok;
9
21. Kampung Cijengkol; 22. Kampung Cikadu; 23. Kampung Cijangkar; 24. Kampung Cinangs; 25. Kampung Batubeulah;
46. Kampung Cikopeng; 47. Kampung Cicatang; 48. Kampung Cigula; 49. Kampung Karahkal; 50. Kampung Kadugede; 51. Kampung Kadujangkung.
Data Demografi orang Baduy pada Tahun 1966 berjumlah 3935 orang , Tahun 1969 menjadi
4.063, Pada Tahun 1980 menurun menjadi 4.057 orang. Tahun 1984 berjumlah 4.587 orang, dan tahun
1986 berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1987, 1993). Tahun 1994 berjumlah 6.483 orang, dan Tahun
2004 tercatat 7.532 orang. Berdasarkan perhitungan terakhir, penduduk Baduy terdiri dari 3697 pria
dan 3835 wanita. (Permana, 2006:23).
Foto.2. Ibu-ibu Baduy kembali ke rumah setelah seharian kerja. (Foto Oos M Anwas)
Berdasarkan perhitungan tahun 1954, populasi penduduk umumnya didominasi oleh penduduk
Baduy Luar. Penduduk Baduy Dalam menurut catatan tersebut berjumlah 508 orang, terdiri atas 168
orang warga Cikeusik, 82 orang warga Cikartawana, dan 258 orang warga Cibeo. Hal ini berarti
penduduk Baduy Dalam hanya 7,8% saja dari keseluruhan penduduk Baduy.
Laju pertambahan penduduk, dan pemekaran atau bertambahnya jumlah perkampungan di
Baduy Luar secara keseluruhan, berdasarkan data yang diperoleh dari profil desa Kanekes, dan Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Leuwidamar, jumlah data penduduk dan penyebaran pada setiap
Kampung baik di Baduy Luar maupun Baduy Dalam sampai dengan Tahun 2008. Saat ini Jumlah
Kampung Baduy Luar 55 kampung, dan Tiga Kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik), dengan jumlah kepala keluarga 2.726 orang, terdiri dari pria 5.500 orang, dan wanita 5.441
orang, jumlah keseluruhan penduduk baduy luar dan baduy dalam 10.941 orang. Berikut penyebaran
jumlah penduduk pada setiap kampung secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2
10
Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes (Baduy) Tahun 2010
No Nama Kampung Jumlah KK
Pria Wanita Jumlah Keterangan
1 Kaduketug I 44 73 60 133 RW. RT: 01/01 2 Cipondok 59 124 102 226 01/02
3 Kaduketug II (Babakan Kaduketug)
112 214 190 404 01/03
4 Kadukaso 9 16 12 28 01/04
5 Cihulu 66 121 113 234 01/05
JUMLAH 290 548 477 1025
6 Marenggo 44 112 96 208 RW. RT: 02/01
7 Gajeboh 40 83 93 176 02/02 8 Balimbing 89 224 212 436 02/03
9 Cigula 39 71 81 152 02/04
JUMLAH 212 490 482 972
10 Kadujangkung. 84 171 162 333 RW. RT: 03/01
11 Karahkal 23 34 62 96 03/02
12 Kadugede 69 122 120 242 03/03
JUMLAH 196 327 344 671
13 Kaduketer I 63 146 119 265 RW. RT: 04/01
14 Kaduketer II (Babakan Kaduketer)
18 50 34 84 04/02
15 Cicatang I 14 34 40 74 04/03
16 Cicatang II 34 64 54 118 04/04
17 Cikopeng 45 95 75 170 04/05
18 Cibongkok 12 22 21 43 04/06
JUMLAH 186 411 343 754
19 Sorokokod 89 194 186 380 RW. RT: 05/01
20 Ciwaringin 41 83 85 168 05/02
21 Cibitung 14 25 28 53 05/03
22 Batara 62 115 128 243 05/04 23 Panyerangan 78 50 48 98 05/05
JUMLAH 284 467 475 942
24 Cisaban I 152 316 309 625 RW. RT: 06/01
25 Cisaban II (Babakan Cisaban)
70 138 132 270 06/02
26 Leuwihandap 66 108 93 201 06/03
27 Kadukohak 87 178 157 335 06/04
28 Ciracakondang 8 21 19 40 06/05 29 Kaneungai 10 16 16 32 06/06
JUMLAH 393 777 726 1503
30 Cicakal Muara 78 128 135 263 RW. RT: 07/01
31 Cicakal Tarikkolot 5 6 8 14 07/02
32 Cipaler I 98 180 191 371 07/03
33 Cipaler II 38 72 90 162 07/04
JUMLAH 219 386 424 810
34 Cicakal Girang I 49 89 92 181 RW. RT: 08/01
35 Babakan Cicakal Girang 18 31 37 68 08/02
36 Cicakal Girang II 26 38 47 85 08/03 37 Cipiit Lebak 20 42 42 84 08/04
38 Cipiit Tonggoh 41 102 118 220 08/05
JUMLAH 154 302 336 638
39 Cikadu /Cinangsi 61 97 123 220 RW. RT: 09/01
40 Cikadu I 60 114 110 224 09/02
41 Cijangkar 6 17 17 34 09/03
42 Cijengkol 38 96 99 195 09/04
43 Cilingsih 15 31 27 58 09/05
11
No Nama Kampung Jumlah KK
Pria Wanita Jumlah Keterangan
JUMLAH 180 355 376 731
44 Cisagu I 43 79 78 157 RW. RT: 10/01
45 Cisagu II 22 59 50 109 10/02 46 Babakan Eurih 16 53 49 102 10/03
47 Cijanar 61 122 133 255 10/04
JUMLAH 142 313 310 623
48 Ciranji 47 83 83 166 RW. RT: 12/01
49 Cikulingseng 12 20 25 45 12/02
50 Cicangkudu 14 19 23 42 12/03
51 Cibagelut 19 40 36 76 12/04
JUMLAH 92 162 167 329
52 Cisadane 60 101 116 217 RW. RT: 04/01
53 Batu Beulah 37 71 57 128 04/02 54 Cibogo 78 115 148 263 04/03
55 Pamoean 47 80 111 191 04/04
JUMLAH 222 367 432 799
Jumlah Seluruh Penduduk Baduy Luar
KK Pria Wanita
2466 4945 4892 9797
KAMPUNG BADUY DALAM
1 CIBEO 117 263 253 516 RW. RT: 11/01
2 CIKARTAWANA 40 91 86 177 11/02
3 CIKEUSIK 103 241 210 451 11/03
JUMLAH 260 595 549 1144
Jumlah Total 2.726 5.500 5.441 10.941
Sumber : Sihabudin (2015:34-35).
Gejala pertumbuhan penduduk cukup menarik perhatian, naik turun pertumbuhan penduduk
kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya perkawinan yang terlalu dekat diantara kelompok mereka.
Dugaan tersebut didasarkan atas ketidak ada laporan yang menyatakan terjadinya bencana alam,
kelaparan, atau ledakan penyakit.
Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat dibagi menjadi tiga
macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha
pertanian terbesar dalam penggunaan lahan, yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini
terdiri atas lahan yang ditanam / di usahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam
(bera) seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk pemukiman, yang
hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas 2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan
tetap sebagai hutan lindung yang tidak boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian.
Artinya data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Baduy yang digunakan
untuk tempat tinggal hanya sedikit saja, hal ini kemungkinan yang mendorong KAT Baduy ada
keinginan untuk ber-KB, mengingat sangat terbatasnya tanah yang dapat digunakan untuk pemukiman,
dengan bertambahnya perkampungan di Baduy konsekuensinya mengurangi juga lahan produksi
mereka.
12
2.4. Gambaran Prores Penyebaran Inovasi KB pada KAT Baduy
Penyebaran (difusi) budaya dalam suatu masyarakat itu pasti terjadi. Proses persebaran
bervariasi tergantung karakteristik masyarakat, yang dimaksud budaya disini adalah inovasi. Inovasi
atau sesuatu hal yang baru itu dapat berupa apa saja, apa itu praturan, cara kerja, kebiasaan,
makanan atau apa saja yang bisa dikatakan hal baru bagi suatu kelompok masyarakat.
Difusi, difusionisme adalah istilah yang diberikan kepada beberapa teori perkembangan
kebudayaan dengan memberi tekanan pada difusi. Menurut Kroeber dalam Garna (1992:73) diffusion is
process, usually not necessarily gradual by which elemnet or system of culture are spead; by which an
inention or a new instituion adopted in neighboring areas and in some cases continues to be adapted in
adjacent ones, untul in may spread over the whole earth.
Kroeber dengan menggunakan pendekatan antropologi, yang berbeda dengan pendekatan
evolusioner dan struktural fungsional, mengemukakan bahwa difusi itu cenderung menjelang tentang
perubahan dalam suatu masyarakat dalam masyarakat yang lain. Difusi itu adalah suatu proses yang
unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu disebarkan. Salah satu perspektif komunikasi yang
berbicara mengenai penyebaran hal baru adalah Diffusion of indovations Model (model difusi inovasi).
Model difusi banyak digunakan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia.
Difusi sebagai suatu proses yaitu proses penyebaran unsur-unsur budaya (yang baru bagi
masyarakat penerima) adalah merujuk kepada pengembangan atau growth dan tradisi sebagai suatu
proses merujuk pada pemeliharaan. Menurut Tylor dalam Soekanto (1982:51), kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Artinya kebudayaan mencakup semua yang dapat dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kebudayan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan-
perikelakuan yang normatif, yaitu mencakup segala cara-cara berfikir, merasakan dan bertindak objek
kebudayaan itu bisa berupa rumah-rumah, jembatan-jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya.
Dengan demikian yang dimaksud inovasi disini adalah kebudayaan yang mencakup berbagai
pengetahuan baru.
Roger dan Shoemaker berpendapat, dalam riset difusi biasanya lebih memusatkan perhatian
pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (over behavior), yaitu menerima atau menolak ide
(budaya) baru daripada hanya sekedar pengetahuan dan sikap saja. Difusi adalah suatu tipe khusus
komunikasi (Rogers dan Shoemaker, 1971:13). Mengenai terjadinya hubungan antara dua budaya, Hall
13
dan Whyte (1990:40) menyatakan bahwa hubungan antara dua budaya dijembatani oleh perilaku-
perilaku komunikasi antara administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-orang yang mewakili
budaya lain.
Dari pendapat diatas dihubungkan dengan proses difusi Inovasi, dapat dipahami bahwa difusi
kebudayaan mengandung pengertian, tersebarnya suatu kebudayaan atau masuknya unsur budaya
masyarakat ke dalam masyarakat lain melalui interaksi sosial. Bentuk kongkrit dari interaksi itu adalah
komunikasi. Pada prakteknya, target sebagian besar usaha-usaha penyebaran (difusi) inovasi Menurut
McQuail dan Windahl (1984:59) selalu adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha
ini pertama kali dilakukan pada tahun 1920-an dan 1930-an di Amerika Serikat dan kini menjadi
gambaran bagi sebagian besar program pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Dalam perakteknya
usaha ini tidak hanya berhubungan dengan masalah pertanian, tetapi juga dengan kesehatan,
kehidupan sosial dan politik.
Proses bagaimana tersebar dan diterimanya suatu inovasi dalam hal ini KB oleh masyarakat
Baduy, dimana dari tahun ke tahun ada gejala bertambahnya akseptor dapat digambarkan melalui
model difusi inovasi Roger dan Shoemaker, sebagaimana dikemukakan Hoeta Soehoet (2002:40)
sebagai berikut:
2.5. Rencana Tipe Program dan Tipe Proses Belajar
Anteseden Proses Konsekuensi
Variabel Komunikan adopsi selanjutnya
adopsi
1. Karakteristik personal adopsi dihentikan
2. Karakteristik Sosial 1. Pergantian
3. Kebutuhan akan Inovasi 2. Tidak Menarik
4. Dan lain-lain Sumber-sumber Komunikasi
Pengetahuan I Persuasi II Keputusan III Konfirmasi IV
Variabel Sistem Sosial Karakteristik Inovasi Pengadopsian Kemudian
Penolakan
1. Norma-norma Sistem Sosial 1. Keseimbangan Relatif Penolakan selanjutnya
2. Deviasi Toleransi 2. Kompatibilitas
3. Integrasi Komunikasi 3. Kompleksibilitas
4. Dll 4. Triabilitas
5. Observabilitas
14
Bentuk program dalam rangka mengubah perilaku masyarakat tentunya disesuaikan dengan
latar belakang dan kondisi situasi masyarakat yang menjadi sasaran dari program tersebut. Menurut
Boyle (1981: 6-12) ada tiga tipe program dalam pembangunan; Tipe program developmental,
institutional, dan tipe program informasional. Untuk memberikan gambaran masing-masing tipe
program tersebut dengan singkat.
1. Tipe program developmental, tipe program ini mengidentifikasi masalah-masalah pokok klien, masyarakat, atau segmen masyarakat. Setelah itu program program pendidikan yang mampu menolong orang, dapat dikembangkan. Program tersebut menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang merupakan alat pendukung pemecahan masalah. Kesuksesan program diukur dari keberhasilan memecahkan masalah.
2. Tipe program institusional, program ini memfokuskan pada pengembangan dan peningkatan kemampuan dasar seseorang. Kemmapuan itu meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental merupakan criteria utama keberhasilan program.
3. Tipe program informasional. Program ini berupa pertukaran informasi antara pendidik atau prencana dan warga belajar. Program ini sering ditemui pada pendidikan orang dewasa mapun pendidikan lanjutan. Fokusnya pada pengidentifikasian informasi yang harus disebarkan. Keberhasilan program ini dapat diukur dari adanya pertambahan informasi baru berkenaan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar.
Dari tipe program tersebut yang tepat diterapkan bagi komunitas baduy adalah program
institutional, karena pada prinsipnya masyarakat baduy sudah memiliki potensi baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap dalam menghadapi berbagai masalah hidup, tinggal bagaimana caranya agar
pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental bertambah.
Tipe Proses Belajar
Menurut Asngari (2001:16) belajar dan mengajar adalah dua proses yang tidak dapat
terpisahkan. Kedua kegiatan ini merupakan proses aktif yang dilakukan oleh orang yang berbeda,
yakni agen pembaharu / penyuluh dan klien. Keduanya merupakan kegiatan yang saling pengaruh
mempengaruhi; menghasilkan satu produk berupa perubahan perilaku klien. Psikologi pendidikan
penting diperhatikan dalam proses pendidikan.
Ada beberapa tipe proses belajar yang bisa dilakukan dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental dalam pengembangan sumber daya manusia (PSDM). Misalnya
melalui diskusi, seminar, workshop, orientasi, studi banding dan lain-lain. Bila dikaitkan dengan PSDM
komunitas Baduy adalah yang tepat adalah menyuluh / mengajar, menggunakan model proses belajar
orang dewasa.
Mengajar adalah kegiatan mengarahkan dan membimbing proses belajar seseorang (SDM-
klien / anak didik), sehingga proses belajar tersebut dapat terjadi secara efektif dan efesien. Jadi
15
mengajar juga merupakan proses yang aktif dan membantu orang lain belajar secara efektif. (Asngari,
2001:17).
Cara belajar dalam pendidikan pada penyuluhan cukup beragam hal ini disebabkan sasaran
penyuluhan sangat beragam. Ada beberapa cara belajar pada latihan atau kursus bagi petani, peternak
antara lain:
1. Learning bydoing; belajar dengan berbuat atau mengerjakan
2. Learning by experience; belajar dengan melalui berbagai pengalaman.
3. Learning by problem solving; belajar dengan cara memecahkan masalah.
4. Learning by participation; belajar dengan cara berperan aktif.
5. Learning by multimedia; belajar dengan memanfaatkan beragam media. (Setiana, 2005:33)
Tipe berlajar yang tepat untuk Komunitas baduy adalah cara belajar orang dewasa atau
memelalui proses penyuluhan dengan cara belajar memecahkan masalah. Salah satu aplikasi atau
penerapan pendidikan orang dewasa adalah pada kegiatan penyuluhan, karena tugas utamanya
seorang penyuluh yaitu sebagai pendidik, pengajar, pemimpin, dan sekaligus pendorong atau
motivator, selalu berhubungan dengan sasaran penyuluhan yang pada umumnya adalah para petani,
peternak, nelayan, ibu-ibu anggata Posyandu, dan masyarakat luas yang umumnya orang dewasa.
Konsep belajar orang dewasa atau dikenal dengan istilah pendidikan orang dewasa (adrogogy).
Keberhasilan suatu pendekatan dalam suatu proses belajar sangat dipengaruhi oleh banyak
factor, diantaranya adalah kedewasaan seseorang dalam menerima sesuatu hal-hal baru atau
dianggap baru. Menurut Mardikanto (1993:12) sebagai suatu proses pendidikan, maka keberhasilan
penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran
penyuluhan. Dalam pelaksanaan penyuluhan, pemahaman proses belajar orang dewasa serta prinsip-
prinsip yang harus dipegang oleh seorang penyuluh dalam menjalankan tugasnya mejadi sangat
penting peranannya karena dapat membantu penyuluh dalam mencapai tujuan penyuluhan yang telah
ditetapkannya.
Pendidikan orang dewasa juga menggunakan prinsip belajar secara umum. Manurut
Mardikanto (1993) dalam Setiana (2005:34) prinsip-prinsip belajar merupakan landasan pokok bagi
pelaksanaan kegiatan belajar yang hendak dilaksanakan. Ada empat prinsip belajar yang bila
diterapkan akan menghasilkan hasil belajar yang baik, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Prinsip latihan yaitu proses belajar yang dbarengi degan aktifitas fisik untuk lebih merangsang seluruh angota badan terlibat dalam proses belajar. Prinsip latihan ini dilandasi oleh pemahaman bahwa hasil belajar seseorang akan labih baik jika warga belajar mengalaminya langsung.
2. Prinsip menghubung-hubungkan, yaitu proses belajar dengan cara menghubung-hubungkan prilaku lama dengan stimulus-stimulus baru. Dengan anggapan prilaku lama akanlebih mudah
16
diterima dan dipahami dibanding dengan stimulus yang tidak memiliki kaitan (association stimulus).
3. Prinsip akibat; dalam proses ini seseorang dapat mengkuti poses belajar dengan lebh baik apabla proses kegiatan belajar tersebut akammemberikan sesuatu yag bermanfat.
4. Prinsip kesiapan; setiap kegiatan belajar akan berhasil dengan baik jika ada kesiapan dari wrga belajar dalam mengikuti proses belajar. Kesiap ni dapat berupa kesiapa fisik, mental ataupun emosi, termasuk kemauan yang kuat untuk belajar.
2.6. Perubahan sebagai Asas Tujuan Pengembangan Program
Dengan memperhatikan gejala trend peningkatn jumlah akseptor pada KAT Baduy, ini perlu
diantisipasi dengan aksi program yang dapat mengarahkan gejala perubahan tersebut. Perubahan
yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah perubahan yang bersifat alami, tetapi perubahan yang
sengaja dilakukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Perubahan pada hakekatnya
merupakan dasar dari pembuatan program. Dengan kata lain program yang dibuat harus mengandung
suatu perubahan dalam masyarakat sasaran.Lippitt dkk. (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa
perubahan-perubahan yang tidak alami itu disebabkan dua hal pokok:
(1) Adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau untuk memecahkan
masalah-masalah yang dirasakan, dengan memodifikasi sumber daya dan lingkungan hidupnya,
melalui penerapan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dikuasainya.
(2) Ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang bagi setiap manusia untuk memenuhi
kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.
Sehubungan perubahan yang menjadi asas pengembangan program tersebut, maka
penyuluh bersama-sama masyarakat harus merancang kegiatan-kegiatan yang menunjang perubahan
yang diinginkan dari situasi dan permasalahan yang ada dalam bentuk program. Perubahan semacam
ini disebut dengan perubahan berencana. Tentang perubahan berencana ini Lippitt dkk (1958)
mendefinisikannya sebagai suatu perubahan yang diperoleh dari keputusan yang menginginkan
adanya perbaikan sistem kehidupan secara personal ataupun sistem sosial dengan bantuan
profesional dari luar.
Sedangkan Soemardjan (Soekanto,1982) mengungkapkan perubahan berencana
merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-
pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki
adanya perubahan itu dinamakan "agent of change", yakni seseorang atau sekelompok orang yang
mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan.
Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian
serta pengawasan "agent of change". Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
17
perubahan terencana merupakan suatu proses perubahan yang diinginkan dan untuk tercapainya
dibutuhkan adanya bantuan dari pihak luar, yakni agen-agen pembaharuan.
Selanjutnya Lippitt dkk. (1958) mengungkapkan bahwa untuk menumbuhkan kebutuhan
untuk berubah pada diri masyarakat dlbutuhkan tahapan-tahapan sebagai berikut :
(1) Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah
Pada tahap ini masyarakat yang menjadi sasaran ditumbuhkan kebutuhannya dengan
merumuskan hal-hal yang menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan, dan sebagainya. Hal-hal yang
menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan tersebut kemudian dijadikan sebagai masalah yang harus
dipecahkan. Sadar akan adanya masalah ini menimbulkan keinginan untuk berubah dalam diri
masyarakat, yang kemudian akan mencari bantuan dari luar sistem sosialnya.
(2) Membangun hubungan untuk berubah.
Hubungan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terbinanya hubungan yang baik antara
penyuluh dengan masyarakat. Penyuluh dapat melakukannya dari pendekatan masalah yang dihadapi
masyarakat.
(3) Melakukan hal-hal yang berkenaan dengan perubahan.
Dalam tahap ini dilakukan klarifikasi atau diagnosis atas masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat. Hal lainnya adalah mencari alternatif pemecahan masalah termasuk menetapkan tujuan
dan tekad untuk berubah. Tekad ini kemudian diwujudkan dalam usaha-usaha untuk berubah yang
nyata.
(4) Memperluas dan memantapkan perubahan.
Pada tahap ini keuntungan-keuntungan (ekonomis dan nonekonomis) yang diperoleh dari
perubahan perlu diperluas. Perluasan ini juga sebaiknya diikuti dengan penyempurnaan dan
pengembangan perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian, selaln dapat dirasakan oleh
masyarakat, perubahan tersebut dapat bersifat permanen.
(5) Pemutusan hubungan
Tahap ini merupakan tahap pemutusan hubungan antara penyuluh dengan masyarakat.
Pemutusan ini penting untuk tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan
penyuluh.
Berdasarkan uraian tahapan di atas, maka dalam melaksanakan tugasnya penyuluh harus
memperhatikan tahapan tersebut. Penyuluh harus mampu menumbuhkan kebutuhan untuk berubah
dalam diri masyarakat, membina hubungan, melakukan segala sesuatu yang berkenaan dengan
perubahan yang diinginkan, memperluas dan memantapkan perubahan tersebut, dan pada akhirnya
memutuskan hubungan dengan klien.
18
2.7. Tantangan dan Potensi Dalam Pengembangan Program Pada KAT Baduy
Uraian penulis di atas tentang komunitas Baduy, dapat dikatakan mereka tergolong dalam
sistem sosial yang tradisionil. Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987:131) Sistem sosial
tradisionil ditandai dengan:
1. kurang berorientasi pada perubahan; 2. kurang maju dalam teknologi atau masih sederhana; 3. relatif rendah kemelekhurufan, pendidikan, dan pemahaman pada metode ilmiah; 4. hubunga interpersonal masih sangat efektif, sehingga mempermudah kekangan masyarakat
untuk tetap mempertahankan status quo dalam sistem sosial; 5. sedikit sekali komunikasi yang dilakukan dengan pihak luar; 6. kurang mampu menempatkan diri atau melihat dirinya dalam peranan orang lain, terutama
peranan orang di luar sistem.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis sagaimana dikemukakan Direktorat
Pemberdayaan Komunias Adat Terpencil Departemen Sosial RI. (Depsos .htm.com. 2007). mengapa
mereka menutup diri dari dunia luar.
1. Kendala yang berasal dari kepribadian individu 2. Kendala yang berasal dari sistem social 3. Kesepakatan terhadap norma tertentu 4. Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya 5. Kelompok kepentingan 6. Hal yang bersifat sacral 7. Penolakan terhadap “orang luar”
Namun demikian, suku baduy memiliki peluang yang memudahkan mereka untuk bisa hidup
sejajar dengan manusia lainnya. Mereka memiliki beberapa kelebihan seperti:
1. Sumber daya alam yang melimpah.
2. Letak geografis yang dekat dengan pemerintah pusat.
3. Banyaknya penduduk baduy luar yang sudah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
4. Beberapa peluang tersebut dapat diperoleh dengan mengurangi berbagai kendala yang ada.
Diantaranya adalah:
a. Kendala yang ada dapat dikurangi bila komunitas dapat merasakan bahwa perubahan yang mereka lakukan bukanlah perbuahan yang dilakukan oleh “orang luar”.
b. Kendala dapat dikurangi bila proyek tersebut didukung oleh masyarakat dan para pemimpin yang ada.
c. Kendala dapat dikurangi bila komunitas tersebut dapat melihat bahwa perubahan yang dilakukan dapat mengurangi beban yang mereka rasakan dan bukan sebaliknya.
d. Kendala dapat dikurangi bila proyek atau program yang ada sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat.
e. Kendala dapat dikurangi bila program yang dikembangkan dapat menampilkan hal yang baru dan menarik minat masyarakat.
19
f. Kendala dapat dikurangi bila masyarakat merasa bahwa otonomi dan “keamanan” mereka tidak terancam.
g. Kendala dapat dikurangi bila masyarakat dilibatkan dalam proses identifikasi masalah yang ada.
Unsur pendukung dalam komunitas Baduy adalah bukan berkaitan dengan masalah fasilitas-
fasilitas, staf / pekerja, termasuk kendaraan yang dalam oreganisasi modern mungkin unusur-unsur
pendukung sperti ruangan dan peralatan kantor lainnya adalah hal yang dapat mempengaruhi mutu
sumber daya manusia. Dalam komunitas Baduy unsur pendukung yang dapat mendukung adalah
mereka memiliki kearifan lokal yang tetap masih dipegang dalam menjalankan hidup dilaksanakan
dengan rasa tanggung jawab semua, dan bila terjadi pelanggaran dengan penuh rasa tanggung jawab
menerima akibat pelanggaran tersebut.
Jadi dengan mengidentifikasi keraifan lokal yang ada pada komunitas Baduy kita dapat lebih
mudah meningkatkan, Misalnya saja kearifan lokal mereka dalam hal memfungsikan sungai secara
sosial untuk kehidupan sangat tertib memfungsikan sungai dimana tempat mandi, mencuci pakaian,
makanan, dan buang air. Dalam hal tata guna lahan,meskipun sudah mulai dan terus bertambah
perkampungannya. Hal lain yang menjadi unsur pendukung adalah mereka relatif homogen, taat pada
keputusan adat, dan lembaga adat.
2.8. Strategi Peningkatan Kesejahteraan KAT Baduy Dengan Konsep KB
Motif atau dorongan untuk memperoleh pengetahuan tentang memenuhi kebutuhan keluarga
dengan ber KB. Serta pengaruh nilai sosial budaya yang kuat pada pembentukan pesepsi baik yang
dirasakan maupun kepuasannya pada kebutuhan keluarga berencana. Selain itu KAT Baduy
merupakan contoh komunitas masyarakat yang selalu menjaga tata keseimbangan alam, sehingga
hutan bagi mereka merupakan kawasan teramat penting yang harus dijaga kelestariannya. Pengertian
hutan bagi masyarakat Baduy adalah “hutan titipan” dan bersifat agamis yakni berfungsi sebagai
sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan
titipan” dikatakan sebagai dan bersifat agamawi yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan
sebagai hutan adat. Luas hutan adat yang dikelola oleh masyarakat Baduy adalah seluas 5.105,85.
Berladang adalah usaha utama orang Baduy, maka pada sektor pertanian ini kebijakan yang diambil
adalah peningkatan produksi pertanian tanaman pangan jenis padi ladang dengan intensifikasi
pengunaan lahan sehingga potensi pembukaan hutan pada sistem ladang berpindah yang tidak sesuai
dengan adat masyarakat Baduy yang sangat menjaga keseimbangan alam dapat dihindari. Kebijakan
20
ini perlu karena seperti diketahui bahwa pada saat ini untuk jenis padi ladang, wilayah Baduy
merupakan salah satu penghasil padi ladang di Desa Kanekes yang merupakan desa dengan potensi
ekspor untuk jenis tanaman padi ladang, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami surplus
produksi/potensial, (Kusdinar, 2004).
III. IV. V. VI. VII.
VIII. IX. X.
Gambar 1:
Strategi Peningkatan Kesejahteraan Keluarga KAT Baduy Dengan KB
Strategi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga KAT Baduy, mengacu pada uraian di atas
adalah dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah
daerah, dan dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif atau
dorongan untuk berubah.
Usaha-usaha Penyuluhan, dan interkasi pada KAT Baduy
Dukungan Lembaga
Adat
Dukungan Agen Pembaharu Internal : Jaro,
kepala kampung, dan Kepala Keluarga yang
kosmopolit
Dorongan ingin Berubah
Kepuasan pada Kebutuhan KB, dan Derajat Kebutuhan Keluarga Sejahtera yang
Optimal
Peningkatan Kesejahteraan
KAT Baduy
Forum Diskusi KAT
Baduy
Standar Kebutuhan Dasar Keluarga
Sejahtera
21
Kebijakan yang perlu diimplemantasikan salah satunya adalah kebijakan yang berkaitan
dengan peningkatan bidang pertanian, karena pada umumnya mata pencaharian mereka berladang.
Maka strategi yang ditawarkan dalam rangka meningkatkan kebutuhan dasar keluarga, adalah dengan
memperhatikan karakteristik Masyarakat Baduy itu sendiri.
Kebijakan penanganan KAT yang diambil adalah dalam upaya pencapaian visi Kabupaten
Lebak yakni “Kabupaten Lebak menghasilkan produk pertanian yang optimal dan tersedianya
pelayanan dasar yang memadai, serta peran aktif masyarakat dengan dukungan pemerintahan yang
bersih.” Untuk itu kebijakan penanganan KAT yang diambil merupakan bagian integral dalam segala
kebijakan bidang pembangunan lain seperti bidang hukum, bidang pertanian, bidang kehutanan dan
perkebunan, bidang kependudukan, bidang kesehatan, bidang pertanahan dan bidang pariwisata.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat Baduy. Kebijakan
penanganan KAT tediri dari (1) kebijakan yang terintegrasi dalam kegiatan rutin yang merupakan
bagian dari program suatu Dinas Instansi, dan (2) kebijakan yang secara khusus mengatur dan
menempatkan KAT sebagai arah kebijakan yang lebih spesifik.
Berikut adalah beberapa kebijakan yang ada baik secara khusus atau secara umum
membahas tentang KAT. Dalam bidang hukum ditujukan dalam rangka penegakan supremasi hukum
dan penegakan Martabat dan Hak Azasi Manusia. Untuk itu produk hukum yang diputuskan oleh
Pemerintah Kabupaten Lebak yang menyangkut Komunitas Adat Terpencil Baduy adalah dalam rangka
pengakuan hak, persamaan serta kesetaraan Hak Masyarakat Adat Baduy dalam Hukum dan hak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara. Beberapa produk hukum
yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang secara langsung mempengaruhi hajat
hidup masyarakat adat Baduy adalah:
(1) Perda No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat
Baduy di Kabupaten Lebak.
(2) Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak.
(3) Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233 / Huk / 2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail
Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak.
Kebijakan dalam bidang penegakan hukum ini selain sebagai alat dalam memperjuangkan dan
melindungi wilayah Baduy, juga mempunyai multiplier effect terhadap bidang pembangunan lainnya.
22
III. Penutup
Perencanaan penyebaran program KB melalui penyuluhan adalah proses pengambilan
keputusan yang menghasilkan suatu pernyataan tertulis mengenai situasi masalah, tujuan, dan cara
mencapai tujuan untuk mengubah perilaku masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik. Dalam
menyusun perencanaan program penyuluhan itu, perlu diperhatikan keterlibatan klien atau sasaran
kegiatan penyuluhan dalam setiap proses perencanaanprogram penuluhan. Hal ini disebabkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yang menyangut kehidupan mereka sagat
diperlukan agar pembangunan itu dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, pada hakekatnya penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan, maka proses
perencanaan program penyuluhan perlu disesuaikan dengan proses instruksionil yang meliputi: 1)
penentuan filosofi, 2) penciptaan iklim belajar, 3) pengukuran kebutuhan. 4) penetapan tujuan. 5)
pemilihan metode instruksional dan 6) evaluasi.
Dari kesimpulan diatas, penulis menyarankan beberapa hal:
1. Adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia masyarakat baduy
agar dapat mengelola potensi alam yang mereka punya.
2. Perlunya pembukaan akses berbagai informasi yang memudahkan masyarakat badui untuk
maju.
3. Diadakannya berbagai pelatihan dan pemberdayaan dari pemerintah bekerja sama dengan
masyarakat yang sudah terdidik agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat badui untuk
hidup lebih baik.
IV. Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kebudayaan dan Lingkungan Studi Bibliography, Ilham Jaya. Bandung. Adimihardja, Kusnaka. 2007. Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian
LBPB. Adimihardja, K., Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi
Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, FISIP Universitas Indonesia . Asngari, Pang S. 2001. Peranan Agen Pembaruan / Penyuluh dalam memberdayakan (Empowerment)
sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Asngari, Pang S. 2006. Materi kuliah: Prinsip-Prinsip Penyuluhan Pembangunan / PPN 515. Program
Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. SPs-IPB. Boyle. Patrick. 1981. Planning Better Programs. Mc-Graww Hill Book Company. New York.
23
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 2007. Tantangan Dan Peluang Upaya Perubahan Pada Suku Baduy. Departemen Sosial.RI.htm.com. Download tanggal 15-5-2007)
Garna, Judistira, K. 1985. Masyarakat Baduy dan Siliwangi (menurut anggapan orang-orang Baduy masa kini. Dewan Nasional Untuk Kesejahteraan Sosial, Depsos RI – Gramedia. Jakarta..
Garna, Yudhistira.1993. “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat
Terasing di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: hlm.120-152. Garna, Judistira K. 1993. Teori-Teori Perubahan Sosial. Program Pascasarjana. Universitas
Padjadjaran. Bandung. Hanafi, Abdillah. 1987. Memasayarakakan Ide-Ide Baru. Disarikan dari karya: Everett Rogers dan F.
Floyd Shoemaker. Commncation of Innovatos. Penerbit. Usaha Nasional. Surabaya. Hoeta Soehoet, A.M. 2002. Teori komunikasi 2. Penerbit Yayasan Kampus Tercinta – IISIP Jakarta.
Jakarta. Kurnia, Asep dan Sihabudin, Ahmad, 2010. Saatnya Baduy Bicara. Diterbitkan atas kerjasama Penerbit
Bumi Aksara, dan Universitas Sultan ageng Tirtayasa. Jakarta. McClelland, David. 1986. Dorongan Hati menuju Modernisasi. Dalam buku Modernisasi Dinamika
pertumbuhan. Editor Myron Weiner. Gajahmada University Press. Yogjakarta. McQuail, Denis dan Windahl, Sven. 1986. Model-Model Komunikasi. Alih bahasa oleh Putu Laxman
Pendit. Uniprimas. Jakarta. Permana, R. Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Wedata Widya Sastra. Jakarta. Rogers, Everett M., & Shoemaker, Floyd. 1971. Communication of Innovations. A Cross-Cultural
Approach. The Free Press. New York. Setiana, Lucie. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia. Ciawi –
Bogor. Sihabudin, Ahmad. 2015. Kebutuhan Keluarga Komunitas Adat Baduy. Penerbit Untirta Press.
Bekerjasama dengan PT. Kemitraan Energi Industri. Serang. Sri Rejeki, MC Ninik. 1998. Perencanaan program Penyuluhan (teori dan Praktek). Penerbit.
Universitas Atma Jaya. Yogajakarta. Soekanto, Soeryono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
24
Tentang Penulis Ahmad Sihabudin, Lahir di Petir Serang, 4 Juli 1965, adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi
Lintas Budaya pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Meraih gelar Sarjana Komunikasi tahun 1989 di FIKOM IISIP Jakarta dh Sekolah Tinggi Publisistik, Magister Sains Bidang Kajian Komunikasi tahun 1994 di Universitas Padjadjaran, dan memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Sejak 1990 sampai dengan sekarang sebagai Dosen ilmu komunikasi di beberapa PTS, sejak 2001 sebagai Dosen tetap pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Sedangkan pengalaman struktural diantaranya: pernah menjabat Ketua Program Studi Ilmu Penerangan, Pembantu Dekan Bidang Akademik FIKOM IISIP Jakarta, Dekan FIKOM IISIP Jakarta, dan Dekan FISIP Untirta 2007-2011, saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Pranata Sosial LPPM Untirta. Selain mengajar di Untirta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, baik strata 1 maupun pasca sarajana, aktif menulis artikel ilmiah dan telah dipublikasikan diberbagai jurnal ilmiah, serta aktif melakukan penelitian terutama dalam bidang komunikasi massa dan kajian lintas budaya. Buku yang sudah di terbitkan Saatnya Baduy Bicara, bersama Asep Kurnia 2010. Diterbitkan oleh PT. Bumi Aksara, Jakarta. Komunikasi Antarbudaya Sebuah Perspektif Multi-Dimensi, 2011, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Komunikasi Antarmanusia, 2013 bersama Rahmi Winangsih Diterbitkan oleh Pustaka Getok Tular. Komunikasi Intra-budaya Kasepuhan Cisungsang, 2014 bersama Yoki Yusanto, dan Henriana Hatra. Diterbitkan oleh Pustaka Getok Tular.