KAJIAN ANGKLUNG BUHUN MASYARAKAT BADUY SEBAGAI …
Transcript of KAJIAN ANGKLUNG BUHUN MASYARAKAT BADUY SEBAGAI …
Vol. 1 No. 3 – November 2020
260
P-ISSN: 2716-215X E-ISSN: 2722-5283
KAJIAN ANGKLUNG BUHUN MASYARAKAT BADUY SEBAGAI SUMBER PENCIPTAAN
TYPEFACE Oleh:
Diean Arjuna D1, Siti Dewi Permata Sari2 Universitas Mercu Buana Jakarta
ABSTRAK
Angklung adalah kesenian alat musik multitonal (bernada ganda) yang
secara tradisional berkembang dalam masyarakat sunda di Jawa Barat. Alat musik
ini dibuat dari bambu serta dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi di
sebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang
bergetar sesuai susunan nada. Asal usul terciptanya musik bambu Angklung
berdasarkan pada pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris (bersifat
pertanian) dengan sumber kehidupan dari padi sebagai makanan pokoknya.
Angklung memiliki banyak jenis salah satunya berasal dari Kanekes milik
masyarakat Baduy yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli yang
masih menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman
padi. Dengan menggunakan ritual serta memiliki aturan dalam permainannya,
waktu yang digunakan juga memiliki aturan, hal ini bermaksud untuk melestarikan
adat yang masih kental di masyarakat Baduy.
Penelitian ini berusaha menelaah angklung buhun lebih dalam lagi untuk
mencari nilai-nilai serta bentuk asli yang diterapkan pada angklung ini. Penelitian
dikhususkan pada eksistensi bentuk serta nilai dari angklung buhun sebagai
sumber penciptaan typeface bermuatan budaya, dengan menggunakan metode
deskriptif analitis. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan dalam
pengembangan dan penciptaan typeface bermuatan budaya serta menjadikan
alat untuk tetap mempertahankan eksistensi produk budaya khususnya pada alat
musik angklung asli baduy.
Kata Kunci: Angklung Buhun, Baduy, Typeface, Alat Musik
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 261
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki banyak keberagaman budaya yang beragam dan tersebar
di setiap provinsi dan daerah-daerah, mulai dari rumah adat, upacara adat, aksara,
teater dan drama, tarian, lagu, musik, seni pertunjukan, seni gambar dan lukis, seni
patung, pakaian adat, seni suara, kesusastraan, masakan, agama, filsafat, perayaan
publik, serta film. Macam-macam kebudayaan yang ada memiliki ciri dan khas nya
masing-masing sesuai dengan tempat daerah tinggal masyarakat nya.
Salah satu produk budaya tersebut adalah berupa alat musik dari Kanekes,
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten yaitu Angklung Buhun yang lahir bersama
hadirnya masyarakat Baduy Dalam pada abad ke-5, sehingga kesenian ini memiliki
makna tersendiri bagi masyarakat setempat dalam mempertahankan eksistensi
hingga saat ini. Kesenian Angklung Buhun tidak dapat dijumpai setiap harinya,
biasanya kesenian ini hanya dijumpai pada saat acara tertentu dan dimainkan hanya
satu kali setiap tahunnya, dengan menggunakan gaya yang sama pada saat
pementasannya. Pada upacara musim tanam berlangsung, agar dapat berjalan lancar
serta diberi berkah dengan hasil yang melimpah, kesenian ini diawali dengan
pembacaan doa serta pemberian sajen oleh kuncen/pawang, biasanya upacara ini
hanya dimainkan oleh kaum laki-laki yang melibatkan duabelas pemusik agar dapat
dimainkan, proses ini dinamai angklung tarian sembilan.
Angklung adalah kesenian alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang dalam masyarakat sunda di Jawa Barat. Alat musik ini dibuat
dari bambu serta dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi di sebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar sesuai
susunan nada. Asal usul terciptanya musik bambu Angklung berdasarkan pada
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris (bersifat pertanian) dengan sumber
kehidupan dari padi sebagai makanan pokoknya. Angklung memiliki banyak jenis
salah satunya berasal dari Kanekes milik masyarakat Baduy yang dianggap sebagai
sisa-sisa masyarakat Sunda asli yang masih menerapkan angklung sebagai bagian dari
ritual mengawali penanaman padi. Dengan menggunakan ritual serta memiliki aturan
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 262
dalam permainannya, waktu yang digunakan juga memiliki aturan, hal ini bermaksud
untuk melestarikan adat yang masih kental di masyarakat Baduy.
Pada bulan September sampai dengan Oktober 2019, Angklung Buhun di
keluarkan pada penyimpanannya, dimainkan setiap malamnya sebagai tontonan
serta hiburan guna pelestarian bagi masyarakat Baduy. Biasanya Angklung Buhun
dimainkan selama 2 bulan setiap malam sehabis isya, setelah dua bulan berlangsung
Angklung Buhun akan disimpan di balai Desa dalam jangka waktu enam bulan pada
saat itu angklung tidak dapat dipertontonkan atau dimainkan. Tidak ada proses
regenerasi pada angklung, untuk anak yang berusia 2 setengah tahun sudah di
perkenalkan alat musik ini sebagai pengenalan kesenian dan upacara adat untuk masa
tanam berlangsung serta anak usia dini sudah harus dapat memainkannya, bila terjadi
kerusakan pada Angklung Buhun biasa nya dapat diperbaiki oleh dewasa berusia 25
tahun yang memang diwajibkan dapat membuat Angklung Buhun, hal tersebut sudah
diwajibkan oleh kepala spiritual masyarakat Baduy yang biasa masyarakat Baduy
menyebutnya Pu’un.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu berhubungan dengan Tipografi
baik disengaja atau tidak, setiap hari manusia selalu melihat dan membaca teks,
tulisan yang berada disuatu produk, poster iklan, koran, lebel pakaian, dan
sebagainya. Dalam tipografi terdapat istilah typeface yang merupakan huruf dengan
karakteristik yang lebih difokuskan pada desain bentuk huruf yang digunakan.
Fenomena yang terjadi saat ini, beberapa penerapan tipografi dan typeface pada
karya desain seperti poster, banner, atau sosial media bersumber pada produk-
produk budaya. Fenomena gaya Typeface seperti ini biasa dikenal dengan typeface
bermuatan budaya.
Berdasarkan pada fenomena diatas Penelitian ini berusaha menelaah
angklung buhun lebih dalam lagi untuk mencari nilai-nilai serta bentuk asli yang
diterapkan pada angklung ini. Penelitian dikhususkan pada eksistensi bentuk serta
nilai dari angklung buhun sebagai sumber penciptaan typeface bermuatan budaya,
dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Diharapkan penelitian ini dapat
menjadi salah satu acuan dalam pengembangan dan penciptaan typeface bermuatan
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 263
budaya serta menjadikan alat untuk tetap mempertahankan eksistensi produk
budaya khususnya pada alat musik angklung asli baduy.
Pertanyaan mendasar tersebut diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Bagaimanakah eksistensi angklung buhun?
2. Bagaimanakah struktur bentuk angklung buhun?
3. Bagaimanakah proses penciptaan typeface berdasarkan bentuk dari objek
angklung?.
PEMBAHASAN
Instrumen musik angklung terdapat tiga buah bedug yang terdiri dari:
Gambar 1. Instrumen Bedug
1. “bedug” panjang 60 cm, garis tengah 40 cm.
2. “Talinting” panjang 50 cm, garis tengah 30 cm
3. ”Ketug” panjang 50 cm, garis tengah 25 cm
3 buah bedug ini hanya sebagai penghentak nada untuk mempertegas irama secara keseluruhan.
Terdapat 9 buah Angklung dengan fungsi anatara lain;
Gambar 2. Angklung buhun
1. Indung, diabadikan pada suara katak
2. Ringkung, diabadikan pada suara hujan
3. Dongdong, diabadikan pada suara ungags
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 264
4. Engklok, diabadikan pada suara suara air mengalir
5. Indung leutik, diabadikan pada suara air mengalir
6. Trolok, diabadikan pada suara air
7. Reog I dan Reog II, sebagai nada dasar
Ukurannya dari 1,20 m sampai 60 cm secara turun tangga. Perbedaannya hanya
besar kecilnya tambang bambu, sedangkan ukuran tinggi hanya berbeda 10-15 cm.
Alunan yang dipantulkan berbeda-beda pada tiap bentuk nya.
Gambar 3. Ujung angklung
Setiap ujung angklung diberi daun pelah 7-9 helai yang diikat sebagai tumbal
keselamatan, itulah syarat yang diikatkan pada tiap-tiap kepala angklung. Setelah
semua nya memenuhi syarat, baru semua di setel sesuai nama masing-masing dan
nada nya harus tepat. Baru dilakukan pengasapan dengan kemenyan yang disertai
mantera-mantera, guna punya pamor bisa memikat penonton.
Angklung ini tidak memiliki regenerasi, akan tetapi bila terjadinya kerusakan
dapat dibuat kembali. Anak laki-laki yang sudah berusia 2.5 tahun sudah dibekali
belajar membuat angklung, dengan tujuan ahli waris guna mempertahankan adat
yang ada. Laki-laki dewasa berusia 25 tahun diwajibkan dapat membuat Angklung
Buhun, maka dari itu tiap masyarakat Baduy Dalam dapat membuat Angklung Buhun.
Angklung ini juga tidak boleh sembarang di mainkan, hanya pada malam sehabis isya
baru dapat di mainkan sebagai sarana tontonan atau hiburan bagi warga Baduy Dalam
pada tiap 2 bulan. Bila masa 2 bulan telah usai, mereka harus menunggu 6 bulan
kembali untuk menyaksikan Angklung ini. Angklung ini biasanya di simpan di balai
desa. Seperti yang sudah diungkapkan kang Iman pada saat diwawancarai
mengatakan jika dua bulan sudah selesai dimainkan, angklung akan disimpan di Balai
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 265
desa. Angklung akan disimpan selama enam bulan lamanya, setelah enam bulan
angling baru boleh dimainkan kembali selama dua bulan.
Eksistensi Angklung Buhun
Kesenian ini mempunyai arti penting, karna lahir bersamaan dengan Baduy yang
menjadikan satu-kesatuan dari masyarakat nya. Berladang dan berkebun adalah
sumber penghidupan Baduy, sudah menjadi tradisi adat bagi masyarakat untuk dapat
berladang dari usia belia hingga sudah berkeluarga. Sedari usia 2 tahun anak dari
masyarakat Baduy dibekali golok, guna menjaga diri dari bahaya, mencari makan, dan
berladang. Bila musim tanam berlangsung masyarakat tidak kembali ke rumah
masing-masing melainkan berada di ladang. Dan bila kelelahan mereka berteduh di
saung dekat ladang yang sedang digarap.
Angklung Buhun juga merupakan kesenian sebagai pertanda kepada warga
nya, bila musim hujan sudah tiba. Masa tanam dilakukan dengan tepat pengerjaan
dalam pelaksanaan tepat waktu. Membuka ladang dengan menebang pohon dan
membabat semak belukar, pembukaan ladang menggunakan api yang dilakukan oleh
kepala spiritual masyarakat Baduy.
Tempat tinggal masyarakat Baduy tidak terlalu jauh dengan warga sekitar,
sehingga eksistensi nya sampai pada khalayak umum. 98% warga setempat
mengetahui keberadaan Angklung Buhun masyarakat Baduy, serta kegunaan nya
juga. Citra Angklung Buhun lekat pada warga sekitar yang bermukim dekat dengan
Baduy. Hidup berdampingan dengan masyarakat Baduy membuat kehidupan warga
sekitar menjadi lebih merasakan kesederhanaan, yang dibuktikan lewat kehidupan
yang serba berkecukupan dan tidak mengeluh kekurangan. Hal ini menjadikan
masyarakat Baduy untuk hidup mandiri, tidak bergantung dengan pemerintah dan
hanya menjadikan alam sebagai sumber penghidupan yang telah diajarkan oleh para
leluhur.
Struktur Bentuk Angklung Buhun
Sebelum panen dimulai, ada serangkaian proses adat yang harus dilakukan
yakni upacara tanam padi yakni dengan menggunakan Angklung Buhun. Dengan
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 266
jumlah pemain laki-laki nya harus 12 orang, 9 orang memegang angklung dan 3
lainnya memegang bedug. Ada serangkaian doa sebelum dimulainya upacara ini,
acara berjalan dengan sakral, penuh hikmat, dan suka cita.
Instrumen nya terdiri dari 3 buah bedug yang terdiri dari:
Gambar 4. Bedug Instrument
1.“bedug” panjang 60 cm, garis tengah 40 cm
2.“Talinting” panjang 50 cm, garis tengah 30 cm
3.“Ketug” panjang 50 cm, garis tengah 25 cm
3 buah bedug hanya sebagai penghentak nada untuk mempertegas irama secara keseluruhan. Dan 9 buah Angklung diantaranya :
Gambar 5. Angklung buhun dan Jaro Saija, Angklung buhung indung, angklung buhung dan angklung reog
Bentuk dari angklung Indung berukuran 1,20 m, tetapi ukuran dari besar
angklung tidak digunakan sebagai inspirasi desain. Bentuk dari pengikat antar bambu
akan dijadikan opsional untuk diolah lagi sehingga menampilkan typeface yang tidak
rumit dengan memperhatikan readability dan legibility karna typeface yang
dirancang diharap dapat digunakan sebagai bodytext.
Bentuk dari angklung Reog memiliki ukuran terkecil dari jumlah keseluruhan,
unsur bentuk nya tak jauh beda dengan jenis angklung sejenis nya. Unsur bentuk daun
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 267
pelah dapat diolah lagi menjadi sumber eksplorasi sehingga menampilkan typeface
yang tidak rumit dengan memperhatikan readability dan legibility. Bentuk dari daun
pelah yang sangat khas ini diharap dapat menjadi peluang untuk memperkaya
keragaman tipografi dengan unsur kearifan lokal yang tergolong masih sedikit di
Indonesia
Detail badan angklung dapat diolah sebagai sumber eksplorasi sebagai
bodytext. Typeface ini akan terdiri dari dua set, pertama A-Z (uppercase) saja dan yang
kedua huruf a-z (lowercase), angka, simbol, dan tanda baca.
1. Indung, diabadikan pada suara katak
2. Ringkung dan Gimping diabadikan pada suara hujan dan angin
3. Dongdong, diabadikan pada suara unggas
4. Engklok, diabadikan pada suara suara air mengalir
5. Indung leutik, diabadikan pada suara air mengalir
6. Trolok, diabadikan pada suara air
7. Reog I dan Reog II, sebagai nada dasar
Ukurannya dari 1,20 m sampai 60 cm secara turun tangga. Perbedaannya hanya
besar kecilnya tambang bambu, sedangkan ukuran tinggi hanya berbeda 10-15 cm.
Alunan yang di pantulkan berbeda-beda pada tiap bentuk nya.
Setiap ujung angklung diberi daun pelah 7-9 helai yang diikat sebagai tumbal
keselamatan, itulah syarat yang diikatkan pada tiap-tiap kepala angklung. Setelah
semua nya memenuhi syarat, baru semua di setel sesuai nama masing-masing dan
nada nya harus tepat. Baru dilakukan pengasapan dengan kemenyan yang disertai
mantera-mantera, guna punya pamor bisa memikat penonton.
Angklung ini tidak memiliki regenerasi, akan tetapi bila terjadinya kerusakan
dapat dibuat kembali. Anak laki-laki yang sudah berusia 2.5 tahun sudah dibekali
belajar membuat angklung, dengan tujuan ahli waris guna mempertahankan adat
yang ada. Laki-laki dewasa berusia 25 tahun diwajibkan dapat membuat Angklung
Buhun, maka dari itu tiap masyarakat Baduy Dalam dapat membuat Angklung Buhun.
Angklung ini juga tidak boleh sembarang di mainkan, hanya pada malam sehabis isya
baru dapat di mainkan sebagai sarana tontonan atau hiburan bagi warga Baduy Dalam
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 268
pada tiap 2 bulan. Bila masa 2 bulan telah usai, mereka harus menunggu 6 bulan
kembali untuk menyaksikan Angklung ini. Angklung ini biasanya di simpan di balai
desa. “kalo 2 bulan udah abis, angklung langsung disimpen di balai desa. Jadi per 6
bulan di simpen. Pas abis 6 bulan, angklung boleh dimainin selama 2 bulan. Tapi
malem, abis isya hehe” (wawancara Iman).
Produksi Angklung ini hanya dilakukan oleh Baduy Dalam, 9 angklung dihargai
kisaran enam juta rupiah dan hanya di jual belikan untuk Baduy Luar, dikarnakan
warganya tidak ada yang dapat membuat Angklung Buhun ini. Proses jual beli
angklung ini penting untuk warga Baduy Luar, karna untuk prosesi upacara tanam bila
waktu nya sudah tiba.
Proses Awal Pembentukan karakter typeface
Untuk mencari karakter typeface yang dinginkan perlu dilakukan stilasi bentuk
atau penyederhanaan bentuk agar objek yang menjadi sumber perancangan bisa
dibentuk berdasarkan kaidah tipografi. Berikut alternatif sketsa yang telah dilakukan
proses stilasi bentuk.
Gambar 6. Sketsa Alternatif 1, 2 dan 3
v
Gambar 7. Digitalisasi Alternatif 1, 2 dan 3
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 269
Metode yang digunakan dalam penciptaan typeface baru dalam menerapkan
unsur-unsur atau bagian ornament ragam hias angklung buhun dalam latin (huruf
dasar) yaitu eksperimentasi dan eksplorasi bebas dengan mempertimbangkan kaidah
tipografi seperti readability dan legibility. Hasil eksplorasi pada sketsa pertama
dengan menggunakan jenis huruf serif yaitu jenis huruf yang terdapat kait pada
ujungnya.
Proses eksplorasi pada sketsa kedua langsung menggunakan pendekatan unsur
daun Pelah yang menjadi ciri khas dari Angklung Buhun, dengan proses stilasi bentuk
dan tetap menjaga karakteristik serta estetika bentuk.
Pada alternatif ini terdapat gaya dekoratif yang menjadi karakter dari anatomi
huruf. Pendekatan ini melalui proses stilasi, deformasi, dan transformasi dari bentuk
daun Pelah. Terbentuknya karakter huruf tidak lepas dari aspek estetika, readability
dan legibility yang baik. Proses pembentukan anatomi dengan menjadikan huruf
masuk ke jenis sans serif yang mempunyai kesan modern dan menjadi sketsa
rancangan terpilih yang bisa digunakan dan dikembangkan.
Setelah melalui telaah proses desain pada ketiga sketsa, telah terpilih sketsa 3
sebagai final desain typeface Angklung Buhun. Proses yang digunakan dalam
menciptakan typeface ini yaitu dengan mengeksplorasi dari bentuk karakteristik
angklung buhun dan menerapkannya kedalam anatomi huruf. Pada prosesnya
melalui penyederhanaan visual dari ujung dari daun pelah dan khas dari lekukan
angklung sehingga mendapatkan karakteristik dari huruf yang dihasilkan dengan
mengedepankan aspek estetika, legibility, readability .
Gambar 8. Typeface Uppercase.
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 270
PENUTUP
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan eksistensi angklung buhun pada wilayah di luar Baduy, 98%
masyarakat umum mengetahui keberadaan Angklung Buhun sebagai ritual upacara
tanam padi sebagai doa meminta kesuburan agar mendapat hasil yang berlimpah
serta berkah. Dari hasil ini menunjukan bahwa eksistensi Angklung Buhun sudah
cukup diketahui oleh masyarakat umum pada luar Baduy, penelitian eksistensi
angklung ini berpotensi sebagai landasan perancangan karya identitas yang lebih luas
lagi dengan mengaplikasikan typeface pada media atau konten-konten pariwisata
agar potensi produk budaya setempat tetsp terjaga.
Struktur bentuk yang dibuat merupakan hasil dari kembalinya pada alam,
yakni dengan menggunakan suara katak dan air. Menjadikan laras seperti pestanya
katak yang sedang bersuka ria di musim hujan. Struktur bentuk angklung ditinjau
sebagai landasan karya perancangan yang tidak hanya memberikan identitas produk
budaya setempat, juga bisa dijadikan alat komunikasi sebagai sarana promosi budaya.
Studi perkembangan tipografi penting dilakukan sebagai riset referensi untuk
mendapatkan data typeface yang telah ada dan dirancang termasuk mempelajari
bagaimana proses perancangannya, sekaligus bagaimana memahami pembentukan
karakter dengan memasukkan unsur estetika tetapi tetap menjaga konsistensi huruf
agar tetap mudah di baca dan diaplikasikan pada media.
Diean Arjuna D IMAGINARIUM Vol. 1 No. 3 - November 2020 Siti Dewi Permata Sari
Copyright © 2020, Jurnal IMAGINARIUM, P-ISSN:2716-215X E-ISSN: 2722-5283 271
DAFTAR PUSTAKA
Maharsi, Indiria. (2013). Tipografi Setiap Font Memiliki Makna Dan Arti. Yogyakarta:
Caps Publishing.
Santoyo, Sadjiman, Ebdi. (2009). Nirmana Elemen Elemen Seni dan Desain.
Yogyakarta: Jalasutra.
Tinarbuko, Sumbo. (2009). Semiotika Komunikasi Visual. Jogyakarta: Jalasutra
Anggraini, L, dan Kirana, N. (2014). Desain Komunikasi Visual Dasar Dasar Panduan
Untuk Pemula. Bandung: Nuansa Cendekia.
Noordyanto, Naufan. (2015). Fungsi dan Makna Tipografi Bermuatan Budaya Dalam
Merespon Kebudayaan. DEKAVE, 8(2),47 - 49 .
Hermawan, Deni. (2013). Angklung Sunda Sebagai Wahana Industri Kreatif dan
Pembentukan Karakter Bangsa. SENI & BUDAYA PANGGUNG, 23(2), 174 - 175