jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27645-4-2007ds-3.pdf

61

Click here to load reader

Transcript of jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27645-4-2007ds-3.pdf

  • 100

    Bab.III. PERGELARAN WAYANG KULIT PURWA JAWA, GAYA YOGYAKARTA.

    LAKON PARTA KRAMA

    3.1. Peran Pertunjukan Wayang Kulit Dalam Seni Budaya Yogyakarta

    3.1.1. Kehidupan dan perkembangan pakeliran di Jawa.

    Sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan, penyelenggaraan pertunjukan wayang masih

    dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan ritual agraris atau feodalisme. Pada masa itu,

    kehidupan pakeliran di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, menggunakan

    pakem murni dari keraton. Terdapat beberapa sekolah pedalangan di Kasultanan

    Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, yang telah menyusun

    pakem pedalangan, yang berisi tentang panduan teknis untuk para dalang dan calon

    dalang. Isi dari pakem tersebut adalah, 1) petunjuk penggunaan bahasa wayang,

    gendhing, sulukan, bangunan lakon; 2) contoh-contoh tentang ringkasan lakon dan

    wacana (baik narasi maupun cakapan); 3) persyaratan calon dalang yang baik dan

    larangan-larangan; serta 4) panduan cerita, baik berupa garis besar berurutan (lakon

    gancaran) maupun skenario lengkap (pakem pedalangan jangkep) (Serat Sastramiruda,

    dalam Sastra Jawa. 2001; Murtiyoso, dkk. 2004; Hadiprayitno K. 2004).

    Pakem, oleh keraton dipakai sebagai salah satu sarana untuk melestarikan nilai-nilai

    estetika pedalangan yang menyangkut sabet, catur, karawitan, dan lakon; dapat disikapi

    sebagai satu bentuk acuan bagi calon dalang. Pakem pedalangan ini semula

    diperuntukkan bagi calon dalang di lingkungan keraton, tetapi pada kenyataannya juga

    diikuti para dalang muda dari berbagai desa di sekitar. Kemudian kembali ke desanya

    masing-masing, menjadi dalang terkenal dengan tetap berpedoman pada pakem keraton

    yang sudah diperolehnya selama belajar.

    Akibatnya kehidupan pakeliran gaya kerakyatan yang bentuk ekspresi dan sifatnya lebih

    bebas, sederhana, serta lugas, yang sebelumnya sudah beredar di desa-desa,

    penggunaannya menjadi semakin menyusut, karena pakem keraton dianggap lebih

    bermutu. Sebab ekspresi pakeliran tradisi gaya Keraton dianggap memiliki nilai

    adiluhung. Wacana nilai Adiluhung itu sendiri berarti, tidak ada seorang dalang sehebat

  • 101

    apapun dia, dapat mengikuti alur yang sama persis dengan pakem yang ditentukan,

    karena memang gaya pakem sudah sangat tua. Seperti yang tersurat dalam Serat

    Sastramiruda karya Kangjeng Pangeran Arya Koesoemadilaga (de Bliksem, dalam Sastra

    Jawa, 2001).

    Pada perkembangannya kemudian, pakeliran Jawa, meskipun secara politis, keraton

    memang sudah tidak memiliki otoritas lagi, tetapi wibawanya di bidang seni pedalangan

    masih sangat luas. Karena dianggap sangat berat bagi para dalang, disamping alasan lain,

    pakem pedalangan keraton dianggap membekukan kreatifitas para dalang. Maka pada

    masa ini muncul Ki Nartasabda, yang semula mengacu pada pakem pakeliran gaya

    Surakarta, dengan berani mencampur aduk segala teknis dan gaya dari berbagai daerah,

    dalam adegan-adegan tertentu. Menekankan pada garapan dramatik ekspresi antawacana

    (dialog antar tokoh), menyelipkan lagu-lagu pop, musik keroncong, serta gendhing-

    gendhing klasik dalam garapan kerawitannya. Cara-cara Ki Nartasabda dalam mengemas

    pakelirannya, banyak ditiru para dalang lain, hingga sekarang. Ki Nartasabda dikenal

    sebagai dalang pembaharu, yang berdampak pada selera para penonton hingga saat ini.

    Agaknya, penekanan pakeliran bentuk menghibur inilah yang selanjutnya mempunyai

    pengaruh luas terhadap wujud pertumbuhan dan perkembangan wayang dimasa-masa

    berikutnya.

    Hingga saat ini, masih ada semacam sentralisasi gaya pakeliran Ki Anom Suroto dan Ki

    Manteb Soedharsono yang mengacu pada pakeliran pakem keraton Surakarta. Menurut

    Bambang Murtiyoso (2004), para dalang muda, pada satu sisi berusaha meniru Ki Anom

    Suroto pada teknik penyajian suluk dan antawacana. Pada sisi lain berusaha meniru Ki

    Manteb Soedharsono, dalam hal teknik sabet dan garapan lakon serta karawitan, yang

    sudah sangat populer. Pada dasarnya mereka mengacu pada pakeliran padat, baik bentuk

    maupun teknik penyajian, dengan memasukkan alat musik nongamelan (bas drum,

    simbal, senar drum, clarinet, biola, dan key board organ). Teknik sabet yang lebih

    variatif, kemudian membuat, meniru, wayang-wayang baru untuk melengkapi kebutuhan.

    Serta memasukkan beberapa teknik perfilman yang dianggap relevan; misalnya: sound

    effect, lighting dan flashback. Hal ini terjadi dimungkinkan karena fungsi pakeliran telah

  • 102

    bergeser dari tujuan semula dipandang sebagai panutan dan falsafah hidup lebih berperan

    sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika,

    devosional (memiliki nilai ibadah), estetika dan hiburan. Kemudian beralih kearah

    hiburan komersial, karena dampak kebutuhan pariwisata.

    Penelitian ini tidak memakai sampel dari pakeliran kedua tokoh dalang Surakarta

    tersebut, yang memiliki tingkat kepopuleran yang sangat tinggi, tetapi lebih memilih

    pakeliran tradisi gaya Yogyakarta, yang masih berbasis pada tradisi pakem pakeliran

    keraton yang dianggap adiluhung, dan sekaligus merakyat. Menurut Bambang Murtiyoso

    (2004), Meskipun garapan pakeliran Dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo

    Manggolo sudah lebih mengarah ke garapan hiburan yang sarat dengan gaya dagelan

    mataram dengan humornya yang kreatif. Masih tetap berbasis pakem tradisi gaya

    keraton Yogyakarta, sekaligus memiliki kualitas suara sangat bagus; dalam bahasa Jawa

    kung dan gandem serta, bernafas panjang (landhung).

    Penelitian bahasa rupa gerak bayangan pergelaran wayang kulit Purwa Jawa kali ini,

    memilih tradisi gaya Yogyakarta, karena masih ada dalang yang menggunakan pakem

    adiluhung tersebut, meskipun tidak persis benar. Pada penelitian bahasa rupa ini, masih

    diperlukan pengetahuan mendasar tentang bahasa rupa wayang kulit Purwa melalui

    pergelarannya karena berhubungan dengan konsep asli pada sabet (seluruh gerak

    wayang), yang berdasar pada lakon wayang. Adapun lakon wayang Purwa tradisi gaya

    Yogyakarta yang dijadikan obyek penelitian, adalah lakon wayang Parta Krama pentas

    dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo. Pentas dalang Ki Timbul

    Hadiprayitno tersimpan dalam bentuk rekaman CD, dan merupakan pentas dari salah satu

    gaya dan versi lakon wayang dalam tradisi pewayangan Yogyakarta.

    Perkembangan pakeliran wayang meliputi unsur-unsur garap pakeliran yaitu: lakon,

    sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan cakapan), karawitan (gendhing, sulukan

    dan properti panggung). 1). Di dalam garap lakon, akan dibicarakan beberapa masalah

    tentang lakon yaitu: pengertian, pertumbuhan, dan perkembangan lakon wayang,

    penggolongan jenis, penyajian alur dan garap serta maknanya. 2). Bidang sabet, akan

  • 103

    dikemukakan tentang: sabet pada jejer, sabet adegan kedhatonan, sabet paseban jawi,

    sebet perang gagal dan sabet perang kembang. 3) Bidang catur membahas tentang

    pengertian, perubahan struktur ungkapan, perubahan penggunaan bahasa, dramatisasi

    dialog wayang, dan bentuk-bentuk inovasi imitatif dalam catur. 4). Bidang karawitan dan

    property antara lain; perangkat gamelan, gendhing, gendhing patalon, gendhing pokok

    atau baku, dan gara-gara, serta sulukan.

    Untuk kedua bidang, catur dan kerawitan hanya dipakai sebagai latar pelengkap obyek

    penelitian sehingga tidak banyak dibahas. Sedangkan bidang lakon dan bidang sabet,

    akan dibahas lebih lanjut, karena merupakan bagian penting dari bahasa rupa gambar 2

    dimensi aspek gerak pada jagad pewayangan dari bayangan wayang kulit yang

    dimainkan oleh dalang (pagelaran wayang kulit luar). Pagelaran wayang kulit yang

    disaksikan dari punggung dalang, disebut pagelaran wayang kulit dalam1.

    Pengertian lakon

    Pertunjukan wayang kulit purwa, lazim disebut pakeliran. Jika orang melihat sebuah

    pertunjukan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukan lakon. Oleh karena itu,

    kedudukan lakon dalam pakeliran sangat penting sifatnya. Melalui garapan lakon,

    terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan.

    Dikalangan pedalangan pengertian Lakon sangat tergantung dengan konteks

    pembicaraannya. Lakon dapat diartikan alur cerita, atau judul cerita, atau dapat diartikan

    sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato dalam Murtiyoso. 2004).

    Selain itu lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa, yang berasal dari kata laku

    yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa (Murtiyoso. 2004). Jadi lakon

    wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan

    cerita wayang ini berhubungan dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku

    dalam pertunjukan sebuah lakon. Kemudian di dalam sebuah cerita wayang akan muncul

    permasalahan, konflik-konflik dan penyelesaiannya ini terbentang dari awal sampai akhir

    pertunjukan (jejer sampai dengan tancep kayon) dengan wujud kelompok unit-unit yang

    1 Lihat pada skema 1.1. Denah lokasi pagelaran luar dan pagelaran dalam, bab I, hal.2.

  • 104

    lebih kecil yang disebut adegan. Unit adegan yang satu dengan adegan yang lain, saling

    terkait, baik langsung maupun yang tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut

    lakon.

    Judul lakon

    Judul lakon adalah suatu nama untuk menunjuk rentetan peristiwa tertentu. Fungsinya

    sebagai pembatas atau pembeda antara satu kelompok peristiwa, dengan kelompok

    peristiwa yang lain. Hal ini tampak jelas apabila judul lakon itu merupakan suatu bagian

    dari cerita besar, misalnya, cerita perang Baratayudha. Peristiwa kepergian Kresna ke

    Hastina sebagai duta dibatasi dalam judul Kresna Duta, peristiwa tampilnya Bisma ke

    medan perang sampai gugur, dibatasi dengan judul Bisma Gugur, begitu seterusnya.

    Meskipun lakon yang dipentaskan adalah lakon carangan2, tetapi lakon itu tentu

    dikaitkan dengan suatu kehidupan tokoh wayang dalam episode tertentu. Misalnya, lakon

    carangan Parta Krama (Kisah Arjuna merebut Sumbadra), dalam pakeliran tradisi gaya

    keraton Yogyakarta, dibuat menjadi berseri, yakni Srikandi Maguru Manah, Abimanyu

    Lahir, Sumbadra Larung. Sedangkan lakon carangan Parta Krama diambil dari

    Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang merupakan bagian dari Adiparwa3

    Pertumbuhan dan Perkembangan Lakon

    Lakon wayang sudah diketahui sejak tahun 907 seperti yang tersurat dalam prasasti

    Balitung (Zoetmulder. 1983). Dari isi prasasti Balitung dapat diketahui bahwa kedua epos

    besar yang berasal dari India yaitu wiracarita Mahabarata dan Ramayana telah

    dipertunjukkan pada masa itu.

    Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, epos Mahabarata dan

    Ramayana ini oleh para pujangga atau genius lokal telah dimodifikasi sedemikian rupa

    (penambahan dan perubahan) dalam kurun waktu yang sangat panjang untuk diselaraskan

    2 Lakon carangan, adalah merupakan lakon yang digubah dari lakon pokok, yang kenudian dikembangkan sendiri. Bahkan bisa diurai lagi, menjadi cerita-cerita yang lain lagi. 3 Hasil wawancara dengan Kasidi Hadiprayitno , dosen pedhalangan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 8 Agustus 2006, berikut juga dari rujukan buku tulisan P.J. Zoetmulder.1985.

  • 105

    dengan situasi dan kondisi nilai budaya setempat. Oleh karena itu terdapat banyak hal

    yang tidak kita dapatkan dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang asli, seperti

    misalnya tokoh Pancawala. Tokoh Pancawala ini di Indonesia adalah hasil perkawinan

    antara Drupadi dan Puntadewa, padahal dalam Mahabarata India kita ketahui Drupadi

    kawin dengan ke lima Pandawa dan dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-

    laki. Tokoh punakawan yaitu, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata juga tidak

    didapatkan dalam epos India itu. Demikian juga lakon-lakon carangan termasuk

    sinkretisme (percampuran antara cerita Ramayana dan Mahabarata di dalam lakon

    pedalangan Jawa), juga tidak diketahui dalam cerita Ramayana dan Mahabarata yang

    asli.

    Banyak sumber lakon wayang purwa menjelaskan (Murtiyoso. 2004), bahwa Prabu

    Dharmawangsa Teguh, seorang raja yang bertahta di Jawa Timur (tahun 997-1007)

    menterjemahkan beberapa bagian dari Ramayana dan Mahabarata yang berbahasa

    Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi dalam bentuk prosa, diantaranya

    adalah,

    a. Utarakanda di antaranya berisi cerita tentang leluhur Dasamuka, Dasamuka

    Lahir, Arjuna Sastrabahu, dan cerita tentang Dewi Shinta.

    b. Adiparwa di antaranya berisi cerita Dewi Lara Amis, Bale Sigala-gala, Arimba

    Lena, Peksi Dewata, Kala Rahu (Rambu Culung atau terjadinya gerhana

    matahari), dan cerita lahir-lahiran termasuk perkawinan Arjuna dan Sumbadra.

    c. Subhaparwa berisi cerita Pandawa Dadu

    d. Wirathaparwa berisi cerita Jala Abilawa dan Wirarha Parwa

    e. Udyagaparwa di antaranya berisi cerita Kresna Gugah

    f. Bismaparwa berisi cerita Bisma Gugur dan lain-lain (Poerbatjaraka, 1952)

    Raja-raja Jawa yang lain setelah Prabu Dharmawangsa Teguh, setelah raja Kediri,

    Majapahit, Demak, Kartasura, dan Surakarta, banyak menghasilkan karya-karya sastra,

    diantaranya lakon-lakon wayang, seperti misalnya, lakon Kresna Kembang di ambil dari

    Kitab Kresnayana; lakon Ciptoning dari Kitab Arjunawiwaha; lakon Dasarata Lahir

  • 106

    diambil dari Kitab Sumanasantaka; Betara Gana Lahir diambil dari Smaradahana, dan

    lain sebagainya.

    Judul-judul lakon yang bersumber dari serat-serat seperti yang telah disebutkan, dan

    diantaranya masih dipentaskan oleh para dalang sampai sekarang. Namun sampai kurun

    waktu tertentu, wujud lakon di dalam pakeliran yang meliputi teknis pakeliran, alur

    lakon, bangunan lakon maupun garap lakonnya, baru dapat memperoleh gambaran,

    setelah munculnya pakem pedalangan-pedalangan di awal tahun 1930-an untuk panduan

    para siswa pedalangan, yang diprakarsa oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta dan

    Mangkunegaran. Wujud pakeliran pada setiap generasi, sebelum dan sesudah adanya

    pakem, selalu mengalami perubahan, baik bentuk maupun isinya.

    Pada masa seputar kemerdekaan penyelenggaraan pertunjukan wayang terkait erat

    dengan kegiatan ritual, seperti suran, sedhekah bumi, sandranan dan semacamnya, maka

    lakon-lakon wayang yang beredar waktu itu kecuali lakon-lakon lama yang telah ada

    juga lakon-lakon ruwatan seperti Sudamala, Tudhungkala, Murwakala, Babat

    Wanamarta, Udan Mintaya dan lain-lain. Selain itu pertunjukan wayang juga digunakan

    untuk menyertai hajat yang berhubungan dengan daur hidup manusia, seperti mitoni,

    kelahiran, tetakan atau supitan, perkawinan, nyewu, dan sebagainya. Untuk hajat

    perkawinan lakon-lakon yang ditampilkan, adalah lakon-lakon raben, diantaranya Parta

    Krama, Wisanggeni Krama dan sejenisnya, juga untuk berbagai macam hajatan keluarga

    seringkali dipentaskan lakon jenis wahyu. Lakon-lakon wahyu ini, juga beredar di

    masyarakat pedalangan, misalnya, Makutharama, Purba Kayun, Trimanggala, Cangkir

    Gadhing, dan lain-lain.

    Kemudian pada perkembangannya muncul lakon-lakon baru yang disebut lakon

    carangan, dan ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku dan dimainkan oleh para

    dalang hingga saat ini. Pada perkembangannya kemudian dari hasil wawancara diperoleh

    keterangan bahwa hampir semua dalang mengaku, pernah menyusun, menggubah dan

    atau mencipta lakon. Lahirnya lakon-lakon carangan ini merupakan ekspresi seniman

    dalang yang terpacu oleh faktor internal dan eksternal untuk memenuhi tuntutan jaman,

  • 107

    karena lakon-lakon yang telah ada kemungkinan tidak lagi dapat menampung

    permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya (Murtiyoso. 2006).

    Penggolongan jenis lakon

    Penggolongan jenis lakon wayang kulit purwa, dapat digolongkan menurut jenisnya,

    misalnya jenis wahyu, raben, lahir, mukswa dan lain-lain. Tujuan dari penggolongan

    jenis lakon yang dimaksudkan, adalah untuk memahami karakteristik lakon, yang

    sebelumnya (Murtiyoso. 2006) mengalami kesulitan dalam menggolongkan jenis lakon

    tersebut. Karena beragamnya lakon-lakon wayang yang diantaranya disebabkan adanya

    tumpang tindihnya alur, maka jenis lakon digolongkan berdasarkan judul-judul lakon dan

    peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu kelompok lakon. untuk mempermudah

    penggolongannya (Murtiyoso dan Suratno. 1992)

    Penggolongan berdasarkan judul lakon dapat digolongkan menjadi jenis lahiran, raben,

    alap-alapan, gugur atau lena, mbangun, jumenengan, wahyu, nama tokoh, banjaran dan

    duta. Sedangkan penetapan jenis lakon berdasarkan peristiwa terpenting yang terjadi

    dalam suatu kelompok lakon, antara lain jenis paekan, kraman, asmara, wirid, ngenger,

    kilatbuwanan, perang ageng, dan boyong. Selanjutnya secara singkat akan diuraikan

    masing-masing jenis lakon yang digolongkan berdasarkan kedua criteria itu berikut ciri

    pokok dengan contohnya (Mutiyoso, dkk. 2004)

    Penggolongan Berdasarkan Judul Lakon (Mutiyoso, dkk. 2004)

    1. Jenis lahiran: ciri pokok lakon jenis lahiran adalah, bahwa dalam lakon ini terjadi

    kelakiran seorang tokoh wayang. Contoh: Setyaki Lahir, Abimanyu Lahir,

    Wisanggeni Lahir dan lain-lain.

    2. Jenis raben: seperti halnya lakon jenis lahiran, di dalam lakon jenis raben atau

    krama ini terjadi perkawinan atau krama seorang tokoh wayang. Contoh: Parta

    Krama, Rabine Gathotkaca, Palasara Krama, Irawan Rabi, dan sejenisnya.

    3. Jenis alap-alapan: dalam jenis alap-alapan ini, ceritanya terjadi perebutan putri

    raja diantara para satria atau raja dari berbagai tempat, misalnya, alap-alapan

    Sukesi, Alap-alapan Dursilawati, Alap-alapan Setyaboma, dan sejenisnya. Mirip

  • 108

    dengan lakon alap-alapan ini adalah lakon dengan judul sayembara, misalnya,

    Sayembara Kasipura, Gandamana Sayembara, dan Sayembara Mantili.

    4. Jenis gugur atau lena: dalam lakon jenis ini terdapat meninggalnya seorang tokoh,

    misalnya Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Salya Gugur, Dasamuka Lena,

    Kangsa Lena dan lain-lain.

    5. Jenis mbangun: ciri pokok lakon jenis mbangun adalah adanya kegiatan

    pembangunan suatu tempat, misalnya mBangun Taman Maerakaca, mBangun

    Candi Saptarengga, Semar mBangun Gedhongkencana, Semar mBangun Klampis

    Ireng dan lain-lain.

    6. Jenis jumenengan: di dalam lakon jenis jumenengan, terjadi kegiatan atau

    peristiwa pengukuhan atau penetapan seorang tokoh menjadi raja, misalnya

    Jumenengan Parikesit, Jumenengan Puntadewa, Jumenengan Kakrasana dan

    sejenisnya.

    7. Jenis wahyu: isi pokok lakon jenis wahyu adalah peristiwa pemberian anugerah

    (wahyu) dari dewa kepada tokoh wayang tertentu karena keberhasilan atau jasa

    tokoh tertentu ini kepada dewa. Contoh: Wahyu Eka Bawana, Wahyu

    Trimanggala, Wahyu Payung Tunggulnaga, dan sejenisnya.

    8. Jenis nama tokoh: ciri lakon wayang jenis nama tokoh yang dimaksudkan di sini

    adalah pertunjukan lakon wayang yang diberi judul dengan hanya menyebut nama

    tokoh wayang, dan nama tokoh ini, biasanya nama tokoh utama dalam peristiwa

    lakon. Misalnya: Begawan Kilatbuwana, Begawan Lomana, Mayangkara,

    Begawan Ciptoning, Watugunung, Begawan Dwihastha dan sejenisnya.

    9. Jenis banjaran: adalah penggabungan beberapa lakon yang menceritakan seorang

    tokoh dari lahir sampai mati dalam satu kesatuan pentas. Contoh: Banjaran Bima,

    Banjaran Karna, Banjaran Gatutkaca, dan sejenisnya.

    10. Jenis duta: ciri lakon jenis duta adalah adanya seorang tokoh wayang yang

    mendapat tugas menjadi duta dari seorang raja agar dapat menyelesaikan suatu

    masalah. Contoh: Anoman Dhuta, Kresna Dhuta, Drupada Dhuta, dan sejenisnya.

  • 109

    Penggolongan Jenis Lakon berdasarkan Peristiwa Penting (Mutiyoso, dkk. 2004)

    1. Jenis paekan: ciri lakon jenis paekan adalah adanya rencana secara licik

    seseorang atau kelompok tokoh wayang untuk mencelakakan tokoh wayang yang

    lain. Misalnya: Gandamana Luweng, Gatutkaca Sungging, Kresna Cupu, Sinta

    Ilang, dan sejenisnya.

    2. Jenis kraman: ciri lakon jenis kraman adalah adanya peristiwa pemberontakan

    atau makar, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Misalnya:

    Brajadhenta mBalela, Kangsa Adu Jago, dan Jagal Abilawa.

    3. Jenis asmara: ciri lakon jenis asmara adalah adanya kisah pokok tentang seorang

    tokoh yang jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Misalnya: Sumbadra Larung,

    Petruk Gandrung, Irawan Maling, dan sejenisnya.

    4. Jenis wirid: ciri pokok lakon jenis wirid adalah mengisahkan seorang tokoh

    wayang yang mendambakan hakekat kehidupan yang sempurna. Contohnya

    Kunjarakarna, Ciptaning, Bimasuci dan sejenisnya.

    5. Jenis ngenger: jenis lakon ngenger ini mengisahkan adanya seorang tokoh

    wayang yang ingin mengabdikan diri kepada suatu negara atau raja. Contoh:

    Sumantri Ngenger, Wibisana Suwita, dan Trigangga Suwita.

    6. Jenis kilatbuwanan: yang digolongkan ke dalam jenis kilatbuwanan ini adalah

    lakon-lakon yang memiliki ciri-ciri alur cerita mirip lakon Kilatbuwana. Adapun

    ciri-ciri itu diantaranya adalah: adanya seorang pendeta di Astina yang sanggup

    membatalkan perang Baratayuda dengan sarana membunuh tokoh penting yang

    berpihak kepada Pandawa, seperti Kresna, Anoman, Semar beserta anak-anaknya.

    Tokoh-tokoh yang akan dibunuh ini selalu terhindar dari kematian, dan beralih

    rupa menjadi pendeta. Pendeta baru inilah yang dapat membuka kedok pendeta

    palsu di Astina tersebut menjadi tokoh asli yaitu Guru, Durga, Rahwana atau

    Kala. Contoh: Begawan Lomana, Begawan Warsitajati, Kresna Cupu dan

    sejenisnya.

    7. Jenis perang ageng: jenis lakon perang ageng adalah mengisahkan adanya tragedi

    perang besar serta melibatkan tokoh-tokoh penting. Contohnya: Baratayuda

    (Pandawa melawan Kurawa), Pamuksa (Tremboko melawan Pandu),

  • 110

    Guntarayana (Ciptoning melawan Niwatakawaca) Gojalisuta (Kresna melawan

    Bomanarakasura) dan sejenisnya.

    8. Jenis boyong: ciri lakon boyong adalah mengisahkan adanya perpindahan

    seseorang atau kelompok tokoh wayang dari satu tempat ketempat lain. Contoh:

    Srimulih, Pendawa Boyong, Sinta Boyong, Semar Boyong dan sejenisnya.

    Pertunjukan wayang yang dipelajari dalam penelitian ini adalah, pagelaran Ki Timbul

    Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo dari Yogyakarta, dengan lakon Parta Krama.

    Lakon Parta Krama menurut penggolongan berdasarkan judul lakon merupakan jenis

    raben. Terjadinya perkawinan antara Bratajaya atau Rara Ireng atau Sumbadra dengan

    Parta atau Premadi atau Arjuna. Lakon ini berkisah tentang cinta segitiga antara

    Burisrawa, Sumbadra, dan Arjuna. Kemudian diadakan sayembara antara Burisrawa dan

    Arjuna. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, akan mendapatkan Sumbadra.

    Ternyata, Arjuna yang memenangkannya dan mendapatkan Sumbadra sebagai istrinya,

    sedangkan Burisrawa lari ke hutan dan menjalani kehidupan membujang seumur hidup.

    Sabet.

    Sabet merupakan unsur pakeliran yang meliputi semua gerak dan penampilan boneka

    wayang di atas panggungan atau kelir atau layar yang disajikan oleh dalang (Murtiyoso,

    2004).

    Pada umumnya secara teknis, sabet digolongkan menjadi lima bagian, yaitu: cepengan,

    solah, tanceban, bedholan, dan entas-entasan. Cepengan adalah cara memegang wayang,

    dan Pendidikan dalang Habirandha berpedoman pada empat hal, yaitu: (1) mucuk, cara

    memegang wayang untuk tokoh halus. (2) magak, cara memegang wayang untuk tokoh

    karakter gagah. (3) ngepok, cara memegang wayang untuk tokoh raksasa. (4) njagal, cara

    memegang wayang untuk tokoh binatang atau kereta yang ditarik kuda.

    Solah, meliputi seluruh gerak-gerak di dalam wayang di dalam kelir. Solah dalam

    pakeliran dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu solah umum, yaitu gerakan

  • 111

    terbang, berjalan, menari, menendang, melompat, dan semacamnya. Solah khusus, yaitu

    gerakan-gerakan jaranan, kiprahan, perang ampyak, gleyongan dan gerak sarapada.

    Tanceban yaitu posisi pencacakan wayang pada batang pisang (gedebog) selama

    pertunjukan. Tanceban wayang mempunyai aturan-aturan tertentu yang berkaitan dengan

    tinggi, rendahnya kedudukan, umur, situasi, dan lain-lain.

    Bedholan adalah tindakan mencabut wayang dari posisi tanceban. Dalam pertunjukan

    wayang pada umumnya dibedakan atas bedholan jejer dan bukan jejer. Di dalam

    bedholan jejer semua wayang di sebelah kanan dalang (ratu dan parekan) didahulukan,

    setelah itu baru wayang di sebelah kiri dengan urutan wayang yang paling penting di

    dahulukan. Pada bedholan bukan jejer, yang di bedhol terlebih dahulu disesuaikan

    dengan kebutuhan.

    Entas-entasan adalah gerak wayang yang meninggalkan panggung wayang. Di dalam

    entas-entasan dipertimbangkan adanya bentuk bayangan, karakter serta suasana tokoh.

    Penampilan semua tokoh wayang diharapkan agar tampak hidup, sesuai dengan

    perwatakan, keadaan, dan besar-kecilnya wayang. Disamping itu ekspresi sabet wayang

    di antaranya dipengaruhi wanda dan teknik penggunaan tangkai wayang (gapit).

    Sehingga dapat diperhitungkan bahwa sabet wayang dapat enak ditonton baik dari depan

    maupun belakang layar.

    Sabet pada Jejer

    Sabet jejer dalam pakeliran sekarang sudah berkembang. Pada adegan babak unjal

    datangnya seorang tamu pada jejer atau adegan pertama terdapat perkembangan sabet

    yang belum pernah terjadi, yaitu tamu dalam babak unjal ini menari. Sebagai wujud

    tontonan, hal ini sah-sah saja, hanya saja perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan

    kesesuaian antara karakter wayang dengan ekspresi gerak tariannya,

  • 112

    Sabet Adegan Kedhaton

    Adegan kedhatonan dalam pakeliran sekarang ini jarang ditampilkan, tetapi Limbuk

    Cangik selalu ada, bahkan dalam bangunan lakon di atas, adegan limbukan telah

    dijadikan primadona dalam pagelaran wayang sekarang. Gerak sabet limbukan yang

    ditampilkan para dalang sekarang banyak variasinya, misalnya dulu gerakam sabet

    limbukan hanya terbatas pada gerakan berjalan melenggang. Pada saat sekarang ini pada

    perkembangannya sampai dengan gerakan joget gleyongan, yaitu wayang putren atau

    dayang dengan desain khusus (pada leher dan lambung wayang diberi persendian khusus

    supaya dapat digerakkan dengan leluasa). Menurut penulis, joget gleyongan gerakannya

    lebih banyak mengambil dari gerak tari gambyong.

    Sabet adegan Paseban Jawi

    Sabet yang menonjol pada adegan paseban jawi, adalah gerak kayon, budhalan, kiprahan

    dan jarangan. Seperti halnya adegan limbukan, makin beragamnya gerak. Begitu pula

    dengan irama gendhing dengan tempo yang lebih cepat, disesuaikan dengan gerak sabet

    yang lebih bervariatif. Khusus garap kayon selain ditampilkan pada adegan paseban jawi

    juga dilakukan pada adegan gara-gara, dan lebih dikembangkan lagi.

    Teknik atau cara mencabut tanceban wayang yang satu dengan yang lain, jaraknya lebih

    cepat. Wayang terdahulu belum sampai dientas, wayang berikutnya sudah di bedhol.

    Sehingga tampak lebih cekatan. Mereka ini sering menampilkan bedholan tokoh wayang

    secara terus menerus dengan perpindahan pegangan tangan (dalang) kanan ke kiri secara

    bergantian hingga bedholan selesai

    Sabet Perang Gagal dan Perang Kembang.

    Melihat perkembangan sekarang, khususnya pada sabet dalam perang gagal tampak

    semakin banyak gerak-gerak wayang yang disajikan dalam pakeliran, meniru gerakan

    yang realis yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, seperti gerakan akrobatik,

    misalnya menirukan gerak silat, tinju, berjungkir-balik, berputar-putar dan sebagainya.

  • 113

    Pada sabet perang kembang, banyak terjadi perkembangan, baik pada saat menari

    maupun pada saat perang. Sebenarnya hal yang demikian tidak lazim dalam dunia

    pakeliran tradisi, dan dapat dikatakan telah mengingkari makna simbolis yang biasa

    berkembang di kalangan pedalangan, bahwa tokoh baik di sebelah kanan, dan tokoh jelek

    di sebelah kiri.

    Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa dalam pertunjukkan wayang sekarang secara

    realitas terdapat dua cara dalam menyikapi sebet wayang. Golongan sikap yang pertama

    memandang bahwa sabet dalang harus tetap dalam bingkai pakeliran tradisi. Melalui

    pengertian masih tetap mempertimbangkan karakter tokoh, konsep pewayangan dan

    sebagainya. Golongan sikap yang kedua yang memandang sabet sebagai ajang untuk

    pamer ketrampilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa, di satu sisi bertahan pada konvensi-

    konvensi klasik tradisional, di sisi lain menghendaki inovasi yang sesuai dengan tuntutan

    jamannya.

    Catur

    Pengertian catur adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang di

    dalam pakeliran (Murtiyoso, 1981). Catur dibagi menjadi tiga golongan yang disebut:

    janturan, pocapan dan ginem. Janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi

    suasana suatu adegan yang sedang berlangsung, dengan ilustrasi gendhing sirepan.

    Pocapan, yaitu ucapan dalang yang berupa narasi, pada umumnya menceritakan

    peristiwa yang telah, sedang dan akan berlangsung tanpa gendhing. Adapun ginem yakni

    wacana dalang yang memerankan dialog tokoh-tokoh wayang dalam suatu adegan, yang

    disesuaikan karakter dan suasana masing-masing tokoh.

    Karawitan dan Properti

    Keberhasilan pertunjukan wayang sangat ditentukan oleh jalinan bangunan garap

    berbagai aspeknya yakni: lakon, sabet, catur dan karawitan. Pada perkembangannya,

    salah satu fenomena yang menarik adalah, adanya penambahan jumlah instrumen dalam

    karawitan misalnya, saron dan demung, yang semula tidak ada.

  • 114

    Berbagai referensi menunjukkan bahwa semula karawitan pakeliran, hanya

    menggunakan seperangkat gamelan wayang (gadon plus) laras slendro, tanpa sindhen.

    Pada perjalanannya, secara bertahap perangkat karawitan semakin bertambah mulai dari

    kehadiran sindhen hingga mencapai wujudnya seperti sekarang ini.

    Sulukan

    Sulukan adalah lagu vokal khusus untuk keperluan pakeliran. Sulukan digolongkan

    menjadi pathetan, sendhon, dan ada-ada. Kesan rasa dan atau suasana yang ditimbulkan

    dari ketiga golongan sulukan ini sangat bergantung pada melodi (lagu), syair serta cara

    penyampaiannya.

    Kecenderungan dalam pertunjukan wayang sekarang, repertoar sulukan disajikan dengan

    cara lebih meriah, digunakan gendhing palaran yang disajikan sebagai pengganti

    sulukan, untuk mengungkap suasana tegang atau marah.

    3.1.2. Peran susunan lakon wayang kulit purwa gaya Yogyakarta

    Bangunan lakon wayang tradisi gaya Yogyakarta, terdiri dari susunan-susunan yang

    masing-masing susunan saling berkaitan dalam keseluruhan yang utuh. Setiap unsur dari

    susunan-susunan ini mempunyai fungsi dan kedudukan masing-masing dalam

    membentuk lakon suatu pertunjukan.

    Susunan lakon wayang dibangun di atas plot yang terdiri dari berbagai peristiwa atau

    kejadian-kejadian yang terjelma ke dalam episode-episode yang bersiklus (Becker, 1979).

    Suatu plot lakon wayang membicarakan gambaran suatu tindakan, suatu cara, dan

    peristiwa. Lakon wayang disusun berdasarkan tiga bagian utama yang masing-masing

    bagian dibatasi oleh rentang titi nada suara musik gamelan sebagai iringan lakon wayang

    yang ada pada suara gamelan. Pada setiap bagian itu terdapat susunan internal yang telah

    ditentukan. Bagian-bagian itu disebut Pathet, dan ke tiga bagian itu meliputi Pathet Nem,

    Pathet Sanga dan Pathet Manyura.

  • 115

    Setiap pementasan lakon wayang terbagi ke dalam tiga bagian pathet yang masing-

    masing mempunyai susunan internal yang sama dalam setiap pathet, terdiri dari tiga

    bagian. Ini hanya berlaku pada pedalangan gaya Yogyakarta yaitu,

    1. Jejer, sebagian besar lakon wayang biasanya dimulai dengan pertemuan di suatu

    istana, seorang raja dengan segenap punggawa kerajaan, dan pada saat inilah

    suatu persoalan muncul dan suatu rencana mulai dibentuk.

    2. Adegan, mungkin dapat terjadi dua adegan atau lebih, yang berasal dari

    pertemuan pada jejer, misalnya adegan gapuran, budhalan atau paseban jawi dan

    adegan-adegan di luar istana lainnya. Disamping itu, hampir selalu ditemui

    perjalanan meninggalkan tempat pertemuan yang disebut budhalan.

    3. Perang, suatu adegan perang muncul pada akhir perjalanan, walaupun pada

    kenyataannya sering tidak selalu setiap perjalanan berakhir dengan perang,

    tergantung pada lakon yang dipentaskan.

    Setiap suasana yang terjadi di dalam suatu cerita lakon wayang, memiliki tiga unsur yang

    tetap yaitu,

    1. Deskripsi suatu cerita yang berupa janturan, kandha, dan carita

    2. Ginem atau pocapan, yaitu berupa dialog antartokoh wayang

    3. Selanjutnya diikuti oleh suatu tindakan yang berwujud gerak-gerak wayang,

    antara lain, berupa perang antartokoh wayang atau dapat juga lumaksana, yang

    lazim disebut dengan istilah sabetan.

  • 116

    Penjelasan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema untuk mempermudah

    memahami paparan tersebut,

    Skema: 3.1 Skema pengembangan lakon (Becker, A.L. 1979).

    Pementasan lakon wayang kulit purwa pada umumnya secara minimal memiliki susunan

    seperti skema tersebut. Suasana adegan tertentu baik jejer, adegan, dan perang, masing-

    masing mempunyai susunan, yaitu 1) deskripsi, 2) dialog, dan 3) tindakan. Oleh karena

    itu setiap susunan internal sebenarnya masih dapat dibagi lagi dengan berbagai unsur

    penyangga pementasan misalnya, jenis-jenis sulukan, keprakan, dan gending-gending

    iringan wayang.

    Tidak menutup kemungkinan pada pementasan lakon wayang kulit purwa terjadi

    perubahan-perubahan urutan, misalnya berupa pengulangan, penghilangan, dan

    penambahan adegan. Bahkan sering terjadi adanya variasi-variasi susunan dan

    penyisipan dalam suatu suasana pementasan. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang

    lazim dan wajar. Misalnya pada suatu suasana tertentu, setelah deskripsi berakhir,

    Parta Krama

    Pathet Nem Pathet Sanga

    adegan Jejer perang jejer adegan perang jejer adegan

    Pathet Manyura

    Sequence ke-11, adegan Kedhaton Dwarawati 1 Deskripsi 2 Dialog 3 - Tindakan

    1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

    perang

  • 117

    kemudian menyusul alunan suluk. Bisa jadi ketika suasana hati berubah, atau seorang

    tokoh hadir dalam suatu pertemuan, maka sulukan lain dinyanyikan.

    Gambaran yang lebih jelas adalah munculnya adegan gara-gara. Jika dilihat secara

    sepintas adegan gara-gara seakan-akan terpisah dari cerita lakon bahkan seperti adegan

    yang berdiri sendiri. Dalam tradisi pewayangan Yogyakarta secara jelas disebutkan gara-

    gara bukan termasuk jejeran, namun demikian, keberadaanya diharuskan, dengan fungsi

    sebagai penurunan ketegangan dramatik selama pathet Nem. Setelah adegan gara-gara

    dianggap cukup, dengan segera dalang akan kembali kepada alur cerita lakon wayang

    yang terputus sebelumnya (Mudjanasttistomo, dkk. 1977).

    Pada pemaparan selanjutnya, dijelaskan lebih lanjut susunan pementasan lakon wayang

    kulit purwa berdasarkan tradisi pewayangan Yogyakarta (Mudjanattistomo, dkk 1977),

    dengan menyesuaikan rentang titi nada dasar bunyi gamelan yang disebut pathet, yang

    meliputi tiga bagian wilayah nada sebagai berikut:

    1. Pathet Nem.

    Jejer pertama, pada jejer ini biasanya kisah terjadi di sebuah istana, raja bertahta

    di hadapan punggawa. Pada bagian ini suatu peristiwa mulai dibahas dan disusun

    rencana untuk menentukan jalan keluarnya. Pokok persoalan mulai dipaparkan

    (Kuntara Wiryamartana. 1990), kemungkinan biasa terjadi, pokok persoalan,

    justru telah muncul pada peristiwa sebelumnya. Penggunaan gending iringan pada

    jejer pertama meliputi (1) Ayak-ayak Pathet Nem diikuti dengan (2) Gending

    Karawitan Slendro Pathet Nem bersamaan dengan dalang mendeskripsikan

    jejeran yang disebut janturan. Istilah janturan ini hanya digunakan untuk jejer

    pertama. Setelah selesai janturan gending beralih ke (3) Gendhing Ladrang

    Karawitan kemudian suwuk, dalang membawakan sulukan lalu dialog antar tokoh

    wayang. Setelah jejer pertama berakhir dilanjutkan dengan adegan yang

    merupakan rangkaian dari:

  • 118

    (a). Jejer pertama sebagai berikut,

    1. Adegan Kedhaton (adegan keraton), adegan ini berisi pertemuan antara

    raja dan permaisurinya, dilanjutkan dengan limbukan, yaitu dialog antara

    Limbuk dan Cangik. Mereka berbincang-bincang berbagai hal yang

    berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari, kadang-kadang

    dengan lawakan, nyanyian dan tarian (van Groenendael. 1987).

    2. Adegan Paseban Jawi (adegan balai penghadapan luar), bagian ini apabila

    menggunakan gending iringan, maka harus disertai carita, setelah dialog

    dilanjutkan budhalan (adegan pemberangkatan) dan perang ampyak

    (adegan perang beramai-ramai). Sering terjadi dalam pementasan

    ditemukan adegan perang yang lain, yang disebut perang kembang, yang

    biasa terdapat pada tradisi pewayangan Surakarta, adalah perang antara

    ksatria melawan raksasa atau dalam tradisi Yogyakarta, disebut perang

    bambangan cakil (Nojowirongko. 1960).

    (b). Jejer kedua, pelaksanaan jejer ini, setelah semua rangkaian pada jejer

    pertama selesai. Adapun adegan perang yang terdapat pada jejer ini

    disebut perang simpangan.

    (c). Jejer ketiga menyusul setelah semua rangkaian jejer sebelumnya selesai.

    Dalam bagian ini, jenis gending iringan yang digunakan merupakan

    peralihan dari Pathet Nem ke Pathet Sanga, sehingga setelah bunyi

    gending gamelan suwuk, sulukan yang dinyanyikan dalang pun harus

    beralih ke pathet sanga yaitu suluk lagon sanga wetah. Pada pelaksanaan

    jejer ketiga sering digantikan dengan bentuk gladhagan (jejeran tanpa

    menggunakan iringan) yaitu sebuah adegan yang tidak mempergunakan

    gending melainkan menggunakan iringan playon, dan dengan sendirinya

    kedudukan carita digantikan oleh kandha. Apabila dalam rangkaian

    adegan ini, dijumpai peristiwa perang, maka perang itu disebut perang

    gagal ( perang yang tidak berkesudahan).

  • 119

    2. Pathet Sanga

    (a). Adegan Gara-gara, adegan ini tidak termasuk dalam jejeran. Adapun

    pelaksanaannya diperhitungkan pada waktu tengah malam. Bagian ini

    merupakan kesempatan bagi dalang untuk menampilkan lawakan melalui

    tokoh-tokoh panakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

    Disampaing itu, gara-gara merupakan media yang tepat untuk

    menyampaikan pesan-pesan program pembangunan (van Groenendael,

    1987).

    (b). Jejer keempat, tempat terjadinya jejer ini biasanya dipertapaan, hutan atau

    istana, tergantung pada alur cerita lakon yang dipentaskan. Adegan

    perang pada rangkaian jejer ini disebut perang begal, berupa perang

    antara ksatria melawan raksasa atau binatang jelmaan dewa, tergantung

    lakon yang dipentaskan.

    (c). Jejer kelima, jejeran ini disebut jejer Uluk-uluk, artinya sebagai pemberi

    isyarat bahwa lakon wayang telah sampai pada inti cerita. Apabila waktu

    pementasan sangat mendesak, jejeran ini digantikan dengan bentuk

    gladhagan begitu juga jejer berikutnya. Pada jejer ini terjadi transisi dari

    Pathet Sanga ke Pathet Manyura. Adegan perang yang terdapat pada

    rangkaian ini disebut perang tanggung4 . Sulukan yang dibawakan dalang

    pun telah menggunakan Suluk Pathet Manyura Wetah.

    3. Pathet Manyura

    (a). Jejer keenam, pada jejer ini isi cerita mengarah ke penyelesaian lakon.

    Adapun perang yang terdapat pada rangkaian jejer ke enam disebut

    perang tandang5.

    (b). Jejer ketujuh, jejer disebut jejer Pathet Galong karena sulukan yang

    dilagukan oleh dalang adalah Suluk Galong Wetah. Sulukan ini sekaligus

    sebagai pemberi syarat kepada penabuh gamelan agar membunyikan

    4 Perang tanggung: perang para ksatria melawan para raksasa. Pada perang ini, satu persatu para raksasa dikalahkan oleh para ksatria. 5 Perang tandang: di pakeliran Surakarta biasa disebut perang sintren: dalam perang ini biasanya musuh sudah dapat dikalahkan.

  • 120

    gending yang berakhir dengan nada gong ke tiga, tanda perpindahan dari

    Pathet Manyura ke Pathet Galong. Adegan perang pada jejer ke tujuh

    disebut perang brubuh6. Pementasan lakon di akhiri dengan tarian golek

    kayu, kemudian tancep kayon, yaitu dalang menancapkan kayon atau

    gunungan di tengah kelir di antara jajaran tokoh wayang sebagai tanda

    pementasan lakon telah selesai.

    Kemudahan memahami susunan pementasan lakon wayang kulit purwa berdasarkan

    tradisi pewayangan gaya Yogyakarta, dapat dideskripsikan dalam bentuk tabulasi

    sederhana sebagai berikut,

    Tabel 3.1. Jejer pertama: Pathet Nem

    Jejer Adegan Perang I Kejadian di istana Gending iringan disertai carita

    Kedhaton Limbukan Paseban Jawi - budhalan

    Perang Ampyak atau Perang Kembang atau Perang Bambangan Cakil

    II Perang Simpangan

    Perang Simpangan (perang antara tokoh baik dan tokoh jahat)

    III Gending iringan peralihan Pathet Nem ke Pathet Sanga Suwuk Suluk Lagon Sanga Wetah

    Gladagan (jejeran tanpa iringan) Menggunakan iringan -playon Carita diganti kandha

    Perang Gagal (perang yang tidak berkesudahan)

    6 Perang brubuh: perang habis-habisan: perang akhir dan menentukan antara kedua belah pihak dan pengikut masing-masing, dan biasanya dengan kemenangan akhir pada sang pahlawan.

  • 121

    Tabel 3.2. Pathet Sanga

    Jejer Adegan Perang -

    Gara-gara dimainkan Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong)

    -

    IV Kejadian di hutan, pertapaan, istana

    Perang Begal

    Perang Begal (perang antara ksatria dan raksasa atau jelmaan dewa)

    V Jejer Uluk-uluk/inti cerita Sulukan: Suluk Pathet Manyura Wetah

    Bila mendesak, diganti Gladhakan Transisi ke Pathet Manyura

    Perang Tanggung (pada perang ini lawan sudah mulai dikalahkan satu persatu)

    Tabel 3.3. Pathet Manyura

    Jejer Adegan Perang IV

    Mengarah ke penyelesaian lakon

    Perang Tandang (musuh sudah dapat dikalahkan)

    VII Jejer Pathet Galong

    Sulukan: Suluk Galong Wetah Suluk pemberi isyarat: Penabuh gamelan: gending berakhir dengan nada gong ke tiga: pathet manyura ke pathet galong

    Perang Brubuh (perang habis-habisan)

    Jejer terakhir Diakhiri:

    Tarian golek kayu & tancep kayon/gunungan

    PENUTUP

    Berlangsung sampai kemenangan akhir pada sang pahlawan

  • 122

    3.2. Fokus Kajian Dalam Cerita Parta Krama

    3.2.1. Ringkasan cerita lakon Parta Krama

    Cerita ini berawal dari adegan negara Dwarawati. Prabu Kresna menerima tamu

    dari utusan negara Ngastina dan Mandaraka yang diwakili oleh Prabu Baladewa. Tujuan

    dari bertamu tersebut untuk melamar dewi Sembadra atau Bratajaya untuk dijodohkan

    dengan Raden Burisrawa. Mendengar lamaran tersebut Prabu Kresna menjadi bingung

    karena sudah terlanjur menerima lamaran dari Begawan Abiyasa dan Dewi Kunthi.

    Begawan Abiyasa dan Dewi Kunthi melamar Dewi Bratajaya untuk dijodohkan dengan

    Arjuna dan lamaran tersebut disetujui oleh Prabu Kresna. Dalam persetujuan tersebut

    tinggal mencari hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan kedua mempelai. Dari

    dua pelamar tersebut Prabu Kresna sangat kebingungan untuk memilih siapa yang akan

    diterima. Sebelum ada putusan yang jelas, utusan dari Begawan Abiyasa dan Pandawa

    yang diwakilkan oleh Raden Gathotkaca datang bertamu. Tujuan kedatangan Gathotkaca

    melanjutkan persetujuan yang sudah disepakati untuk menentukan hari pernikahan antara

    Raden Arjuna dan Dewi Sembadra. Kedatangan Gathotkaca untuk meminta kesepakatan

    hari pernikahan Arjuna dan Dewi Sembadra membuat Prabu Baladewa sangat marah.

    Karena alasan lebih berkuasa prabu Baladewa mengusir Gathotkaca namun Gathotkaca

    tidak mau pergi. Perkelahianpun hampir terjadi namun dapat diredakan oleh Prabu

    Kresna. Akhirnya dengan alasan lebih tua dan berkuasa pula, Prabu Baladewa minta

    Syarat untuk pelamar pihak Pandawa. Syarat tersebut antara lain : 1) pernikahan harus

    berada dalam Saka Dhomas Bale Kencana, 2) Perjalanan penganten dari Amarta menuju

    Dwarawati harus naik kereta Jatisura yang ditarik kuda bejumlah 4 , berkepala raksasa,

    berkusir seorang dewa yang gantheng, diiring dewa berjumlah 30 dan bidadari berjumlah

    1000. 3) untuk tontonan sebelah kanan kiri kereta harus diberi kayu klepu Dewa Daru

    Parijatha Kencana, 4) harus ada raksasa berbulu putih yang lidahnya ditumbuhi jamur

    grigih dan sedang mengandheng kera putih yang bisa menari di lengkungan penjalin, 5)

    harus ada segala macam binatang yang bisa berbicara selayaknya manusia.

    Dalam batasan tujuh hari pihak pandawa harus bisa menyerahkan syarat tersebut.

    Setelah mendengar permintaan tersebut Gathotkaca berpamitan untuk pulang ke Amarta.

    Setelah kepergian Gathotkaca Prabu Kresna minta hal sama kepada Pelamar dari Astina.

    Akhirnya Prabu Baladewa juga menyanggupi syarat tersebut dan minta pamit untuk

  • 123

    mencari syarat tersebut. Setelah adegan kundur kedhaton dilanjutkan adegan para

    Kurawa yang ingin menghentikan perjalanan Gathotkaca. Namun berkat kesaktian

    Gathotkaca, rintangan tersebut dapat diatasi. Akhirnya Prabu Baladewa marah dan

    menghajar Gathotkaca. Tidak lama kemudian perkelahian dapat dilerai oleh Prabu

    Kresna. Prabu Kresna memerintahkan kepada Gathotkaca untuk segera memberi tahu

    syarat tersebut kepada Para Pandawa. Mendengar perintah tersebut Gathotkaca segera

    berpamitan dan pergi. Prabu Baladewapun segera pergi untuk memberitahukan kepada

    Kurawa mengenai syarat tersebut. Setelah Prabu Baladewa memberitahu syarat tersebut,

    para Kurawa yang dipimpin oleh Prabu Karna dan Sengkuni segera pergi ke alas

    Gembringan untuk mencari syarat yaitu mencari sekelompok hewan yang bisa berbicara

    seperti manusia.

    Dilanjutkan adegan Alas/hutan Gembringan dengan raja seekor gajah yang

    bernama Diradamuka. Diaramuka dihadap oleh saudara-saudaranya yang berwujud

    macan, kuda, bantheng dan semua hewan namun bisa berbicara selayaknya manusia.

    Ketika sedang asyik berbicara satu dengan yang lain tiba-tiba seekor hewan yang

    berwujud anjing dan kucing datang. Mereka melaporkan bahwa di alas Gembringan ada

    sekelompok manusia yang merusak habitat alas Gembringan. Mendengar laporan

    tersebut Diradamuka segera memerintahkan Perjingga Tamengasta yang berwujud macan

    untuk memberi pelajaran kepada mereka yang merusak alas Gembringan. Ketika para

    Kurawa sedang memasuki alas tersebut tiba-tiba seekor macan menyerang dan prajurit

    Astina kalang kabut lari ketakutan. Akhirnya perang terjadi antara Kurawa dengan para

    hewan di alas Gembringan. Karena kesaktian dan kelincahan hewan-hewan alas

    Gembringan, para Kurawa tidak bisa membelenggu satupun hewan. Akhirnya Kurawa

    mundur dan dilanjutkan adegan Gara-Gara.

    Dalam adegan gara-gara menceritakan Punakawan yang sedang bersendau gurau

    sambil melantunkan gendhing dan lagu-lagu dolanan. Setelah bersendau gurau mereka

    menghadap sang tapa Begawan Abiyasa di Wakiratawu.

    Prabu Puntadewa di Negara Ngamarta dihadap oleh Begawan Abiyasa, sang

    Ibunda Dewi Kunthi, keempat saudara Arjuna, Punakawa dan Raden Gathotkaca. Setelah

    Gathotkaca menceritakan kejadian dan syarat yang harus dipenuhi, para Pandawa gelisah

    karena merasa tidak mungkin bisa mencari syarat tersebut. Dalam kegelisahan para

  • 124

    Pandawa, Punakawan Semar memecah suasana dengan memberi solusi. Setelah

    mendengar solusi dari Semar Badranaya, raden Gathotkaca segera diperintahkan untuk

    pergi ke Singgelapura untuk mencari Saka Domas Bale Kencana. Raden Werkudara

    diperintahkan untuk pergi ke alas Gembringan mencari sebanyak hewan yang bisa

    berbicara, sedangkan Arjuna diperintahkan untuk pergi ke kahyangan untuk minta

    bantuan dewa dan mencari kereta Jatisura. Setelah mereka pergi untuk mencari masing-

    masing persyaratan dilanjutkan adegan alasan (kejadian dalam hutan)

    Dalam perjalanan Raden Arjuna beserta punakawan bertemu dengan Begawan

    Kamunayeksa. Setelah mengetahui bahwa dia adalah Permadi, Begawan Kamunayeksa

    segera mengutarakan maksudnya. Begawan Kamunayeksa bermaksud untuk menjadikan

    Arjuna sebagai menantunya, namun Arjuna tidak mau dan akhirnya terjadi peperangan

    yang seru. Karena kelicikan Kamunayeksa, Arjuna dapat diculik dan dibawa untuk

    dipertemukan kepada anaknya yang bernama Endang Pujawati. Setelah Arjuna

    mengetahui wujud dari anak Begawan Kamunayeksa sangat cantik maka dia mau untuk

    dijadikan menantu. Sebelum berpamitan Arjuna menceritakan keadaan yang sebenarnya

    dan syarat untuk pernikahannya dengan Dewi Bratajaya. Karena Begawan Kamunayeksa

    berwujud Raksasa putih dan lidahnya tubuh jamur grigih maka Dewi Pujawati

    memerintahkan ayahnya untuk menolong Arjuna sebagai syarat pernikahan dengan Dewi

    Sembadra. Setelah Begawan Kamunayeksa bersedia Arjuna melanjutkan perjalanan ke

    kahyangan, dan dilanjutkan adegan Negara Singgela.

    Prabu Wibisana di Negara Singgela dihadap oleh Denta Wilukrama sedang

    menerima tamu yaitu Raden Gathotkaca. Raden Gathotkaca segera memberitahu maksud

    kedatangannya untuk meminjam Saka Domas Bale Kencana. Maksud Gathotkaca diberi

    ijin oleh Prabu Wibisana namun ketika hendak diangkat ternyata ada berjuta-juta roh

    halus yang tidak mau melepaskan Saka Domas Bale Kencana, namun berkat kesaktian

    Gathotkaca dapat mengusir roh-roh tersebut. Ketika Gathotkaca membawa pergi Saka

    Domas Bale Kencana, Prabu Wibisana membaca mantra aji pameling untuk mengundang

    Hanoman dengan maksud menghentikan perjalanan Gathotkaca. Dalam perjalanan

    Gathotkaca dihadang oleh Hanoman. Karena Gathotkaca tidak mau mengembalikan Saka

    Domas Bale Kencana akhirnya perang terjadi, dan Saka Domas Bale Kencana dibuang

    supaya jatuh di pelataran negara Dwarawati. Namun setelah mengetahui bahwa

  • 125

    Gathotkaca adalah putra dari Raden Werkudara yang tak lain adalah saudaranya tunggal

    Bayu, maka Hanoman menyetujui maksud Gathotkaca, bahkan ia mau menjadi syarat

    lamaran yaitu kera putih yang menari diatas ujung penjalin. Setelah persetujuan tersebut

    Gathotkaca segera kembali ke Dwarawati, dan dilanjutkan adegan kahyangan.

    Bathara Guru dan Narada di Kahyangan, menerima kedatangan Semar Dan

    Permadi. Setelah Semar mendesak Bathara Guru dan Narada di Kahyangan, akhirnya

    mereka berdua bersedia membantu untuk memenuhi persyaratan lamaran yaitu, dewa 30,

    widadari 1000 (sakethi kurang sawiji), kereta Jatisura beserta kusirnya, tontonan suwarga

    kayu Klepu Dewadaru, dan pecut penjalin untuk menggiring hewan yang bisa berbicara.

    Setelah mendapatkan kesepakatan tersebut Semar dan Raden Permadi kembali ke

    Ngarcapada dan dilanjutkan adegan alas Gembringan.

    Raden Werkudara di alas Gembringan bertemu dengan Diradamuka. Setelah

    Raden Werkudara menceritakan bahwa ia mau memboyong segala binatang yang bisa

    berbicara seperti manusia, Diradamuka marah dan akhirnya terjadi perang. Dalam

    peperangan raden Werkudara terdesak mundur dan bertemu dengan Bathara Narada.

    Bathara Narada memberi pusaka yang berwujud pecut penjalin cacing untuk menggiring

    semua hewan di alas Gembringan. Berkat pusaka tersebut akhirnya Raden Werkudara

    dapat menggiring semua hewan yang bisa berbicara.

    Prabu Kresna dan Prabu Baladewa di negara Dwarawati menunggu kedatangan

    pelamar dengan membawa semua syarat. Tidak lama kemudian pelamar Amarta datang

    dengan membawa semua syarat. Kedatangan pelamar Amarta diwakili oleh Narada dan

    Raden Werkudara. Dengan syarat itulah Raden Permadi berhak meminang Dewi

    Sembadra. Dengan semua kejadian itu Raden Werkudara marah karena merasa dipersulit

    untuk melamar Dewi Sembadra menjadi jodoh Permadi. Dalam kemarahan itu Raden

    Werkudara berbalik minta syarat yaitu orang Dwarawati harus ada yang bisa

    mengimbangi onclang gada Lukitasari dengan Werkudara. Permintaan Raden

    Werkudara dipenuhi oleh Prabu Kresna. Akhirnya Raden Setyaki dipilih oleh Prabu

    Kresna sebagai jago Dwarawati untuk menandingi onclang gada Lukitasari. Dalam

    oclang gada Raden Setyaki bisa mengimbangi Raden Werkudara, namun ketika melihat

    keindahan bentuk serta relief gada Lukitasari, raden Setiyaki lengah dalam memegang

    gada tersebut dan jatuh mengenai paha sebelah kanan yang membuat ia cacat (kencet).

  • 126

    Karena Setyaki sudah bisa mengimbanginya, maka Werkudara memberi nama Setyaki

    dengan nama Bima Kunthing, dan berhak memakai atribut sama seperti Raden

    Werkudara.

    Prabu Baladewa marah karena dipengaruhi Patih Sengkuni dan hendak melabrak

    Raden Permadi namun dapat dihentikan Prabu Kresna. Setelah Baladewa mengetahui

    kalau dirinya diperalat Patih Sengkuni ia berbalik marah dan melabrak para Kurawa.

    Setelah kejadian itu maka terlaksanalah pernikahan antara Raden Permadi dan Dewi

    Sembadra (Parta Krama).

    Kemudian ringkasan cerita tersebut, dapat dijelaskan dalam bentuk tabulasi sesuai

    dengan pakem dari pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura, dengan tabel-tabel

    sebagai berikut:

    Tabel 3.4: Pathet Nem Parta Krama

    Jejer Adegan Perang Kejadian di istana Gending iringan disertai carita

    1. Negara Dwarawati, prabu Kresna menerima tamu Prabu Baladewa dan Gathotkaca yang datang kemudian. 2. Setelah adegan kedhaton lalu Obrolan Limbuk dan Cangik.

    -

    Baladewa marah pada Gathotkaca dan menghajarnya. Dapat dilerai Oleh prabu Kresna dan memerintahkan Gathotkaca memberi kabar para Pandawa tentang syarat tersebut.

    Terjadi peperangan antara Gathotkaca dan Kurawa untuk mencegah Gathotkaca dalam Perjalanan mencari syarat perkawinan. Iringan Playon Lasem

    Gending iringan peralihan Pathet Nem ke Pathet Sanga Suwuk Suluk Lagon Sanga Wetah Iringan GendingWirangrong

    1. Atas perintah Baladewa, para Kurawa menuju alas Gambringan untuk mencari isyarat perkawinan. 2. Di alas Gambringan, Raja Diradamuka (berwujud gajah) Dihadap saudara-saudaranya yang berwujud hewan hutan. 3. Patih Sengkuni dan Dursasana

    Seekor macan menyerang para prajurit Astina dan perkelahian terjadi. Iringan: Playon Lasem Perang antara Aswatama dan macan, Aswatama kalah diganti Dursasana.

  • 127

    ketemu dan kemudian mereka pergi ke alas Gambringan untuk menjaganya. 4. Kayon ditarik ke tengah dan digetarkan lalu ditancapkan dipalemahan tengah tegak lurus sebagai tanda menginjak adegan Goro-goro

    Iringan: Playon Lasem

    Tabel 3.5: Pathet Sanga Parta Krama

    Jejer Adegan Perang

    Suluk Lagon Slendro Pathet Sanga Wetah

    Goro-goro dimainkan Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong)

    -

    Kejadian di pertapaan Wakiratawu di istana Ngamarta Iringan gendhing Ladrang Golong disertai Carita Di hutan Dipertapaan

    1. Begawan Abiyasa dihadap oleh Dewi Kunthitalibrata bersama ke lima putranya (Pandawa), Gathotkaca dan punakawan 2.Prabu Puntadewa dihadap Begawan Abiyasa, Dewi Kunthi dan putra-putranya, Gathotkaca dan Punakawan. 3. Arjuna dan Punakawan dalam perjalanan ke kahyangan dihadang Begawan Kamunayasa. Arjuna diculik untuk dikawinkan dengan anaknya Endhang Pujowati. 4. Akhirnya mereka menikah. Kemudian Endhang Pujowati meminta ayahnya menjadi salah satu syarat untuk perkawinan Arjuna dengan Dewi Sembadra. Kemudian Arjuna dan para Punakawan melanjutkan perjalanan ke kahyangan.

    Arjuna dan Kamunayasa berperang, Kamunayasa pura-pura kalah. Setelah Arjuna lengah berhasil dibawa lari Kamunayasa. Para punakawan mengejar Kamunayasa. Iringan: Gendhing Playon Sanga

    Di Istana Singgelapura

    Gathotkaca menemui Wibisana dan Wilukrama untuk mendapatkan Saka

  • 128

    Sulukan: Suluk Pathet Manyura Wetah

    Domas Bale Kencana karena pengantinnya nanti di pendhapa Saka Domas Bale Kencana Transisi ke Pathet Manyura

    Tabel 3.6: Pathet Manyura Parta Krama

    Jejer Adegan Perang Kejadian di istana Singgela Suluk Lagon Manyura Wetah Kahyangan Jongringsalaka Suluk Lagon Manyura Jugag

    1. Meskipun diijinkan tapi harus melawan Wilukrama dahulu. Karena Wilukrama kalah Wibisana memanggil Hanoman untuk menghadang Gathotkaca. 2. Pertemuan Gathotkaca dan Hanoman, ternyata mereka bersaudara. Akhirnya Hanoman bersedia menjadi salah satu syarat untuk perkawinan Arjuna dan Sembadra. Gathotkaca kembali ke Dwarawati 3. Bathara Guru dan Narada menerima Arjuna dan Punakawan untuk menghadap. Setelah didesak Semar, akhirnya mereka berdua membantu syarat lamaran: dewa 30, beserta bidadarinya, kereta Jatisrana dan kusirnya, tontonan Suwarga Kayu Klepu Dewadaru (seperangkat gamelan) Kemudian Narada menemui Werkudara di hutan Gambringan

    Perang antara Gathotkaca dan Wilukrama memperebutkan pendhapa Saka Domas Bale Kencana, kemudian datang berduyun para setan penunggu Domas Gathotkaca berperang melawan mereka untuk memperoleh Domas. Gathotkaca berhasil memperoleh Saka Domas Bale Kencana. Iringan: Playon Manyura Gathotkaca dan Hanoman perang berebut pendhapa Saka Domas Bale Kencana. Hanoman kalah. Iringan: Playon Manyura Pelog

  • 129

    Di hutan Gambringan Suluk Ada-ada Manyura Pelog Wetah. Di istana Ngamarta Suluk Lagon Manyura Pelog Wetah. Di istana Dwarawati Suluk Lagon Manyura Pelog Wetah Suluk Ada-ada Manyura Jugag Suluk Ada-ada Slendro Manyura Cekak Suwuk

    4. Werkudara menemui Diradamuka dan seluruh warganya untuk minta sebagai syarat perkawinan Arjuna dan Sembadra. Diradamuka marah. 5. Werkudara kalah, lalu Narada datang menemuinya Untuk memberikan senjata pusaka kepada Werkudara Setelah berhaasil Werkudara kembali ke Ngamarta 6. Arjuna, Gathotkaca dan Werkudara menghadap Begawan Abiyasa dan Bethara Narada yang sudah menyiapkan pertunjukan kahyangan Jongringsaloka bersiap-siap untuk mengiringi pengantin Arjuna yang sudah menaiki kereta Jatisura ke Dwarawati 7. Kresna dan Baladewa sedang berdialog ketika terjadi kekacauan di luar istana. 8. Rombongan pengantin datang dari Ngamarta. Kresna memerintahkan Samba untuk memeriksa keadaan. 9. Samba memeriksa keadaan luar istana bersama para prajurit. 10. Samba masuk istana dan melaporkan kejadiannya. 11.Baladewa berlari keluar, manten beserta rombongan dari Ngamarta datang. 12. Para tamu menghadap prabu Kresna. Werkudara marah pada prabu Kresna karena minta mahar yang

    Perang antara Raden Werkudara dan para hewan di Alas Gambringan. Werkudara kalah. Iringan: Manyura Pelog Berkat Senjata Wulu - Gadhing dan Pecut menjalin Tinggal milik Bethara Guru yang dibawakan Narada untuk Werkudara. Semua hewan di hutan Gambringan takluk pada Werkudara. Satu persatu semua hewan masuk kedalam benda pusaka tersebut. Iringan: Playon Manyura Pelog

  • 130

    aneh-aneh. Lalu dia meminta adu tanding gada lukitasari dengan ksatria Dwarawati. Kresna menugasi Setyaki untuk berperang dengan Werkudara

    Sulukan: Suluk Galong Wetah Suluk pemberi isyarat: Penabuh gamelan: gending berakhir dengan nada gong ke tiga: Pathet Manyura ke Pathet Galong Jejer Pathet Galong Istana Dwarawati Alun-alun Dwarawati Di istana Dwarawati

    1. Kresna menugasi Setyaki untuk berperang dengan Werkudara 2. Setyaki menemui Werkudara di alun-alun. 3. Akibat terkena gada Lukitasari, kaki setyaki menjadi cacat, dan menjadi pincang. Meskipun begitu mendapat tambahan gelar Bima Kunthing, karena kesaktiannya dianggap sejajar dengan Werkudara 4. Baladewa memanggil para Kurawa (adipati Karna, Dursasana, Sengkuni). Para Kurawa menipu Baladewa dengan mengatakan yang mendapatkan mahar itu Karna dan Dursasana, tapi diambil Arjuna. 5. Baladewa marah dan menemui Kresna, dihadang Gathotkaca. 6. Baladewa menemui dalam keadaan marah dan melarang Kresna mengawinkan Arjuna dan Sembadra

    Setyaki menemui Werkudara berperang tanding gada Lukitasari. Karena Setyaki sempat takjub dengan ukiran gada, dia menjadi lengah dan terkena gada Lukitasari yang jatuh menimpa kakinya. Baladewa mengamuk memasuki istana Dwarawati Iringan: Playon Galong

    Jejer terakhir Di istana Dwarawati

    1. Arjuna dan Sembadra minta dibunuh oleh Baladewa, bila tidak

  • 131

    Di Alun-alun Jejer negara Dwarawati Suwuk dan kandha Diakhiri:

    dinikahkan, membuat Baladewa terkejut dan meminta maaf. 2. Atas permintaan Kresna, Baladewa diminta mengusir para Kurawa yang masih ada di alun-alun. 3. Baladewa menemui para Kurawa (adipati Karna, Dursasana dan patih Sengkuni), dan menyuruh mereka pergi. 4. Adipati Karna pergi ke Ngawangga. Dursasana menemui Werkudara minta perkawinan dibatalkan. 5. Para Kurawa kalah kembali ke Ngastina Tarian golek kayu & tancep kayon/gunungan

    PENUTUP

    Werkudara marah dan berperang mengusir para Kurawa yang dipimpin Dursasana. Para Kurawa kalah hingga semua kembali ke Ngastina. Iringan: Sampak Manyura Iringan: Ladrang Ngenguwung Gangsaran.

    3.2.2 Suntingan Teks Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Tradisi Yogyakarta Parta

    Krama.

    3.2.2.1. Bahan Suntingan Teks.

    Sebagai dasar untuk memahami cerita lakon wayang Parta Krama pewayangan tradisi

    gaya Yogyakarta, dibawah ini disajikan contoh suntingan teks lakon wayang Parta

    Krama. Adapun rekaman yang dipakai untuk obyek kajian berupa piringan CD yang

    dibawakan oleh dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo, yang secara

    jelas dapat diidentifikasikan sebagai berikut,

    1. CD rekaman lakon wayang kulit purwa tradisi gaya Yogyakarta Parta

    Krama

  • 132

    2. Dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo

    3. Iringan Karawitan Marsudi Budaya

    4. Sindhen empat orang: Nyi Yatini, Nyi Kalimah, Nyi Siamsih, Nyi Sukini.

    5. Merupakan kegiatan ruwatan hajat mantu. Direkam langsung pergelaran

    wayang kulit di rumah keluarga R. Mukito di Jebugan, Tirtomulyo,

    Kretek, Bantul, Yogyakarta.

    6. Tanggal pelaksanaan, tanggal 3 malam 4 Mei 2001. Jam 21.00-05.00

    WIB.

    7. Penomoran CD dari nomor 1 sampai dengan 8

    8. Masa putar tiap CD 60 menit.

    3.2.2.2. Transkripsi

    Salah satu tujuan transkripsi dalam penulisan ini, agar pembaca memperoleh gambaran

    yang lebih jelas mengenai berbagai masalah yang terjadi ketika pementasan yang

    sesungguhnya sedang berlangsung. Secara rinci akan dijelaskan langkah proses

    transkripsi tersebut pada bagian berikut ini.

    1. Naratif dan Dialog

    Ketika dalang sedang membawakan cerita lakon wayang kulit purwa Parta Krama,

    tidak dapat dilepaskan dari unsur bahasa sebagai sarananya baik dalam bentuk prosa,

    nyanyian maupun gerak-gerak wayang yang bermakna. Dalam tradisi pewayangan

    Yogyakarta, (Mudjanattistomo 1977) memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk

    narasi pada bagian kandha dan carita. Oleh sebab itulah, agar lebih jelas cara pemakaian

    narasi tersebut dalam cerita lakon wayang purwa Parta Krama, urutan bentuk-bentuk

    narasinya disesuaikan berdasarkan suara yang terdengar dari rekaman CD-nya. Dibawah

    ini akan dituliskan contoh penulisan transkripsi yang menjadi janturan, kandha dan

    carita.

    a. Janturan, adalah penggambaran suatu adegan yang meliputi keadaan suatu

    kerajaan, istana, kewibawaan raja, kesaktian dan kehebatan raja, pakaian

    serta segenap punggawa kerajaan. Istilah janturan hanya dipergunakan

  • 133

    pada jejer pertama dengan iringan gending Karawitan, Slendro Pathet

    Nem, yang di maksud janturan adalah sebagai berikut, contoh,

    Hong ilaheng, hong ilaheng hawignam hastuna masidham, mastu silat

    mring Hyang Jagatkarana, ... (hal.63, transkripsi, CD 1).

    Hong ilaheng, hong ilaheng semoga tidak ada halangan suatu apapun

    berkat Hyang Jagat Karana...

    b. Kandha, adalah penggambaran suatu suasana adegan, tokoh wayang,

    tempat terjadinya suatu peristiwa tanpa diiringi oleh bentuk gending.

    Contoh:

    Seep gebyar wauta, eca denira embal wacana ginem laras gandarasa,

    nata Dwarawati dalasan nalendra Mandura Prabu Baladewa, dipun

    midhangetaken sanggya para kadang sentana, miwah para prajurit, sirep

    dhedhep kaya kena cobaning batara gya anglenggahi tripandurat...

    (hal.71 transkripsi, CD 1)

    Seketika itu diceritakan mereka sedang berbincang dengan santai, yakni

    Raja Dwarawati dan Raja Mandura Prabu Baladewa, didengarkan oleh

    para punggawa kerajaan, serta prajurit, semua diam senyap sekitarnya,

    bagaikan kena mendapat cobaan dari para dewa yang memasuki tri

    pandurat...

    c. Carita, adalah pelukisan suasana adegan, tokoh wayang, dan tempat

    terjadinya suatu peristiwa dengan diiringi bunyi gending gamelan, contoh:

    Hanenggih pundi ta kang kinarya bubukaning carita, ingkang kaeka adi

    dasa purwa, basa eka marang sawiji,... (transkripsi, CD 1)

    Terceritalah yang dipakai sebagai lanjutan cerita, ...........

    ....................................................

  • 134

    Istilah-istilah yang menunjukkan narasi tersebut di atas, masih terdapat satu istilah yang

    erat hubungannya dengan dialog, yaitu dikenal dengan sebutan pocapan. Pada dasarnya

    pocapan adalah dialog antara tokoh wayang. Contoh:

    Prb.(Prabu) Baladewa: He inggih yayi prabu Kresna

    Prb. Kresna: Samba aja nganti kadalu warsa, sira ngaturna pangabekti marang

    pepundhen sira kaka Prabu Baladewa

    Samba: Linepatna ing deduka, kanjeng wa Prabu Baladewa keparenga ingkang putra

    Samba Wisnubrata nyaosaken sembah pangabekti

    Prb. Baladewa: Prunanku wong bagus dak trima anakku lanang Samba Wisnubrata,

    panegestuku tampanana kulup

    Dialog di atas merupakan penggalan pocapan antara Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan

    Samba, pada hal. 67 , transkripsi.

    Prb. Baladewa: He iya adik prabu Kresna

    Prb. Kresna: Samba jangan sampai kedaluwarsa, kamu memberi hormat pada

    sesepuhmu kakak prabu Baladewa

    Samba: Maafkan kesalahan saya, kanjeng Prabu Baladewa, mudah-mudahan putra

    Samba Wisnubrata diijinkan menyerahkan sembah baktinya

    Prb. Baladewa: Kamu orang baik, aku terima anakku laki-laki Samba Wisnubrata, doa

    restuku terimalah

    2. Iringan (Karawitan Pakeliran).

    Seperti telah diketahui bahwa setiap pementasan lakon wayang sulit dipisahkan dengan

    unsur iringan pakelirannya. Iringan pakeliran pada dasarnya berupa unsur-unsur

    penyangga sebuah pementasan wayang kulit purwa, termasuk juga lakon wayang Parta

    Krama . Dalam penulisan ini tidak semua unsur iringan di transkripsikan seluruhnya,

    namun dibatasi pada unsur yang secara langsung berkaitan dengan keberadaan dalang

    dalam menyampaikan narasi dan dialog wayang. Untuk kepentingan transkripsi yang

    diperhitungkan sebagai iringan adalah sulukan. Kemudian keprakan dan genderan tidak

    dicantumkan di transkripsi, tapi meskipun begitu dituliskan pada penulisan ini karena

    menyangkut pada gerakan wayang dan lakuan di pentas.

  • 135

    a. Sulukan adalah nyanyian yang dilakukan oleh dalang, dalam tradisi

    pewayangan Yogyakarta, sulukan terdiri atas suluk lagon, suluk ada-ada,

    suluk kawin, suluk kombangan, dan sendhon. Setiap sulukan selalu

    disesuaikan dengan pathet gamelan sebagai iringannya, sehingga

    penamaan masing-masing sulukan diikuti oleh nama pathet yang sedang

    berlangsung dalam pementasan. Misalnya, Suluk Lagon Pathet Nem

    Wetah, Suluk Ada-ada Sulendro Pathet Sanga Wetah, Kawin Sikarini

    Sulendro Pathet Nem, dan seterusnya. Sulukan lagon dan sulukan ada-ada

    masing-masing memiliki jenis dan bentuk sulukan yang sama yaitu suluk

    wetah, jugag dan cekak (Mudjanattistomo dalam Kasidi. 1995).

    b. Keprakan. Setiap gerakan wayang dan lakuan yang dipentaskan oleh

    dalang, biasanya selalu diikuti dengan suara keprakan, sementara itu

    keprak ada yang menyebut kecrek. Adapun cara memainkannya dengan

    dipukul dengan alat pemukul yang disebut cempala yang dijepit di antara

    ibu jari kaki dan jari kaki yang lainnya. Dalam tradisi pewayangan

    Yogyakarta terdapat beberapa pola permainan keprakan seperti disebutkan

    di bawah ini.

    1. Neteg, cempala dipukulkan pada dinding atau lambung kothak bagian

    dalam, suara yang dihasilkan berbunyi dheg atau dhog.

    2. Mlatuk, cempala dipukulkan pada dinding, bunyi yang dihasilkan

    dhedheg atau dhedhog,

    3. Geter, cempala dipukulkan pada dinding kothak bagian dalam secara

    beruntun dan teratur, suara yang dihasilkan adalah dheg-dheg-dheg

    atau dhog-dhog-dhog.

    4. Ngeceg, cempala dipukulkan pada kecrek secara teratur dan dengan

    jarak yang sama, bunyi yang dihasilkan ceg-ceg-ceg.

    5. Nisir, cempala dipukulkan pada kecrek secara cepat dan teratur tetapi

    pelan, bunyi yang dihasilkan ceg-ceg-ceg,....

    6. Nduduk, cempala dipukulkan pada kecrek, bunyi yang dihasilkan

    cecececeg-cecececeg-cecececeg.

  • 136

    7. Banyu Tumetes, cempala dipukulkan pada kecrek dengan irama yang

    teratur secara terus menerus. Sering keprakan seperti ini disebut antal.

    Bunyi yang dihasilkan ceg-ceg-ceg-ceg...

    c. Genderan. Gender adalah salah satu instrumen musik gamelan yang terdiri

    dari bilahan-bilahan yang memiliki enam nada, dan dua tingkatan nada

    yang sama yang disebut gembayangan (Martopangrawit dalam Kasidi.

    1995). Peranan tingkatan nada tersebut dalam musik barat dapat

    disejajarkan dengan oktaf. Instrumen gender dalam tradisi pewayangan

    Yogyakarta memegang peranan penting yaitu sebagai pemandu dalang

    untuk menentukan tinggi rendah nada, agar suaranya sesuai dengan pathet

    yang sedang berlangsung. Tanpa bantuan gender, dalang sulit menentukan

    warna suara dan karakter tokoh wayang sedang dipentaskan, dan sulit

    membawakan sulukan yang tepat dengan larasan musik gamelan Oleh

    sebab itulah instrumen gender dimainkan terus tanpa berhenti selama

    pementasan.

    3.2.2.3. Contoh teks lakon wayang kulit purwa Parta Krama

    Pada suntingan teks lakon wayang Kulit Purwa Parta Krama yang disampaikan ini

    merupakan contoh transkripsi dari CD pertama untuk memberikan gambaran tentang

    bentuk transkripsi tersebut (contoh transkripsi dari hal 135 151). Kemudian untuk

    transkripsi lengkapnya dapat dipelajari dalam lampiran transkripsi pagelaran yang

    merupakan transkripsi dari CD pertama sampai dengan CD kedelapan secara keseluruhan

    (lihat pada lampiran disertasi ini).

  • 137

    Transkripsi Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta Lakon Parta Krama Dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo. Pementasan dimulai dengan mencabut gunungan dari tengah kelir. Iringan Gending Ayak-ayak Lasem Slendro Pathet Nem. Dalang mengeluarkan dua keparak atau abdi emban. Menyusul kemudian raja Drawarati, Prabu Baladewa, Samba, Setyaki, dan Patih Udawa. Dalang memberikan selingan sulukan Kombangan Mangka purwakaning kandha, hamba sru marwata siwi ,hoong, mring sanggyning pra pamriksa, ngaturken carita methik, jaman purwa puniki, tan nedya amulang wuruk, hoong, mung sumangga pra nupiksa denira methik palupi, wusana mugi rahayu kang samya pinanggya. Iringan berubah dari Ayak-ayak ke Gending Karawitan Slendro Pathet Nem, dalam perubahan itu dalang melantunkan suluk Kombangan. Oooong, Palugon laguning lekas, lukita linuding kidung, kadung kadereng hamomong, memangun manah rahayu, hawya na tan manggolong, gumolong manadukara, karana karenan karana pangapus, puspita wangsalan semon, hooong. Gending Karawitan menjadi lambat, disusul kemudian dalang memberikan deskripsi adegan secara lengkap lazim disebut janturan, sebagai berikut. Hong ilaheng, hong ilaheng hawignam hastuna masidham, mastu silat mring Hyang Jagatkarana, sirantandha kawisesaning bisana, sana sinawung langen wilapa, hestu maksih lestantun lampahaning ringgit purwa, jinantur tutur katula, tetela mrih tulat labdeng paradya winursita ngupama parameng niskara, karantya dyan tumiyeng jaman purwa, winisudha trah dinama dama pinardi tameng lalata, mangkya tekap wasanananing gupita, tanduping pralambang matumpa-tuma, marma panggung penggeng panggungunggung sang murweng kata. Hooong. (Kombangan). Hanenggih pundi ta kang kinarya bubukaning carita, ingkang kaeka adi dasa purwa, basa eka marang sawiji, hadi linuwih, dasa sepuluh, purwa kawitan. Sanadyan gumelaring jagad marcapada kathah titahing jawata kang sinangga pratiwi kasosongsonganing akasa, kinapiting samodra, kathah ingkang sami hanggana raras, nadyan kaupaya sewu datan saged mujudaken sedasa , satus datan jangkep tiga, pranyata hadi-hadining garba gupita tan wonten kadi sajuga negari Dwarawati, ya Negara Dwaraka, ya Dwarakawesthi, ya Jenggalamanik. Kaparenging bathara kinarya bebukaning carita awit negari kasebat panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja. Basa panjang marang dawa punjung dhuwur lamun ta katraju sepira ta dawaning negara sayekti Negara Drwarawati dawa pocapane jembar tlatahe

  • 138

    luhur kawibawane dhasar jero tancebe, pasir samodra wukir gunung tata rengganing negara mengkeraken samodralaya kinapit harga ageng, ngeringaken padusunan miwah pategalan ngananaken pasabinan tuwin ngayunaken bandaran ageng, loh tulus kang sarwa tinandur dadi, jinawi murah kang sarwa tinuku, kukuban Dwarawati sayekti murah kang sarwa sinade, payu kang sarwa tinumbas, saged sinebat negari murah boga miwah wastra. Agemah saha ripah. Basa gemah kathah kawula alit ingkang tumindak among dedagang, dagang layar nangkoda saking manca negari lumintir surya pantara ratri tang ana pedhote, sedaya tan wonten ingkang nyipta pringga bayaning marga labet saking gemahing praja. Aripah katandha katahah para kawula ingkang cumandhok wonten salebeting kitha negari Dwarawati, katitik pepasanganing wisma ketingal jejel uyel riyel pangrasa adu cukit tepung taritis papan wiyar katemahan rupak. Karta katandha para kawula alit ingkang manggen ing tanah padusunan ketingal eca manahe mungkul denya sami among tetanen ngulah wulu wedaling siti pasabinan miwah siti pategalan. Para kawula kalis ing durjana juti katebihan dening parangmuka katandha iwen raja kaya, raja darbeking para kawula alit ingkang wonten padususunan datan ana ingkang cinancangan lamun rina tata gelar ing pangonan lamun ratri wangsul ana kandhangnya sowang-sowang. Raharja sanggya para kadang sentana mantri bupati nayakaning praja, sumawana para wadya bala medhak para kawula alit, datan wonten ingkang cengkah rembag miwah cecengilan, surya pantara ratri sami saiyeg saeka sami ngangkat karyaning praya njunjung drajating bangsa. Awit saking ageng prebawaning sang nata, pranyata dora cara sirna sedaya ajrih dhateng mring wilalading nalendra. Mboten wonten panjenenganing nalendra ing sajagad rat pramudita ingkang paja mirib kadya wong agung Dwarawati, panjengenaning nalendra tumindak adil para marta loma blaba mring barana dana boga saben dina lumintu ngupaya dasih utami memulang wong balilu jangkung prang apupuh ngapura lepating wadya anggung tiniti priksa, lumintir pangreh utama. Panjenenganing nalendra kinacek sak samining-samining ratu turta padhang paningale ageng obore dhuwur kukuse, ora mokal kasusra kelok kajana priya saking liyan praja bilih nalendra agung kinasihan para jawata kinamulen para widodari winongwong para bathara datan supe muja semedi dhedhasar sarira rinasuk sukma kawekas tunggal raksa mring sariraning bathara tuhu, nalendra titising Bathara Wisnu dewa kang wenang adum kabahagyan. Hoong. Kocapa sinten ta dasa namira sri dasa sepuluh nama aran sri ratu narapati wus ngarani wenang den ucapna yeka ajejuluk Harimurti, Prabu Danardana, Prabu Lengkawamanik, Ya Prabu Bathara Kresna, Padmanaba, ya Sasrasumpena. Jumeneng nata wonten Dwarawati ketingal ageng prebawane, ketingal sato mara sato mati jalma mara mara keplayu mega piyak barat mangemper-emper bebasan kayu adoh sami tumiyung ingkang celak manglung kathah nalendra tumungkul ing Dwarawati datan krana linawan ing bandayuda racak amung rumaos gandrung kapiluyu dhateng poyaning kautaman. Kapunggel samanten kawibananing nalendara Dwarawati, nalika semanten nuju ari sajuga hanyarengi mangsa kartika, sang nata kepareng nagawontenanen pasewakan agung munggwing setinggil binatarata, ingkang kepareng celak palenggahan dalem tumungkul yayah konjem pratiwi pisowanira putra dalem satriya kadipaten kekasih Raden Samba Wisnubrata, sumambung pungkur kadang sentana satriya Garbaruci kekasih Raden Harya Setyaki ya Singa Mulangjaya, Wresniwira Bimakunthing, Raden Setyaki jajar pisowanipun nendra mantri muka rekyana Patih Udawa, kasambet pisowanira para kadang sentana bupati nayakaning praja bupati kliwon riya wedana lurah bekel tuwa

  • 139

    bekel nom kasambet abdi dalem jajar tuwin para magangan. Andher pisowaning para wadya amblabar pindha dumugi pangurakan yayah samodra rob, saking kathahing pra wadya kang mara sowan pisowanira bebasan adu bau tumpang dhengkul, parandene sidhem tan ana kang mobah. Sadanguning tan ana kang obah horeg pisowanira para wadya kang munggwing pasowanan jawi, ingkang murwani horeging pra wadya rawuhnya tamu agung, ingkang rawuh wonten negari Dwarawati kadang wredha nata Dwarawarti nalendra Mandura Prabu Baladewa ya Prabu Balarama, dhangah-dhangah mukanira pindha tembaga sinangling, tedhak saking titihanira gya pinapak para kadang sentana ingacarani lenggah, kapareng caket pelenggarahanira kaliyan sang palenggahan dalem sang nata Dwarawati. Dupi Prabu Baladewa wus mapan lenggah ketingal mencorong tejane, sirna sipating titahing ngabathara pindha Bathara Brahma dewaning hagni kang mangejawantah. Sang nata dupi mulat sanhgyang Pratanggapati wus mangrangsang akasa kepareng sang nata lenggah siniwaka, langkung rumiyin angrasuk busana nalendra, sigra den hadhep para emban cethi bocah para gusti ingkang sami ngampil upacara kaprabon nalendra, banyak dhalang sawung galing warda walika laring manyura kacumas bokor kencana dwipangga kang sarwa retna. Awit saking edi rengganing busana candraning sang nata kinon saking mandrawa gumebyar pating paluncar pindha prada binabar sanadyan sang nata dupi wus sangkeb busana kaprabon ketingal sumorot mawa teja hanelahi sumundhuling ngawiyat, sanalika sirna sipating titahing ngabathara yayah bathara Wisnu dewaning kabahagyan ingkang mangejawantah ginarubyug sanggya para widodari. Heeng. (Peralihan Gending Karawitan ke Gending Ladrang Karawitan - - dalang melanjutkan jantur). Palenggahan dalem sang nata dhampar kencana sampun cumawis, lelemekan kasur babut prang wedani pinatik nawa retna sinebaran wangi-wangi kasinungan lisah jebat kasturi hermawan ganda wida, kongas gandanira dumugi pasewakan njawi, andadosaken cingak ingkang mara sowan, riwusnya samekta sedaya jajaran medal langkung rumiyin, abdi dalem prajurit ingkang sami caos hormat sigra natap tengara mawurahan tambur sompret munya ambal-ambalan, gurnat gurnanda mriyem kalantaka munya kaping tigang dasa tiga, sanggya parjurit horeg kadi gabah den interi ayo kanca ndhodhog ayo kanca ndhodhok jaleg-jaleg-jalek songsong gilap katon cumlorot, clorooot jegur. (Dalam gending Ladrang Karawitan dalang melantunkan Suluk Kombangan) Oong, hong, hoong, pra hapsara-hapsari tumonton rengganing prabata, hong, pra dewa-dewi myang para resi kagyat mulat endahing hardi, hong, obahing lata kang katyuping samirana, yayah pangawening asta sang resi, hoong, hong, hoong. lunging gadhung malengkung rumambating liyan, hong, pindha puspa lukar panjrahing puspita, hooong, sarjuning tyas lenging driya, heeng. (Gending Ladrang Karawitan disuwuk atau dihentikan kemudian disembung dengan Suluk Lagon Nem Ageng Wetah disambung suluk Ada-ada Girisa)

  • 140

    Leng-leng ramyaningkang sasangka wayahnya kang lagya samaras, ong, marengga ruming puri, rekyana sir mandaya, mandaya sekaring bawana, ong, ong, ong, jaladri kang kapitaning surya, dening diwangkara anjrah, sumembur saking sarira, risang sekaring nalendra, ong, sukmeng nala sedya asmara dewa, ong, dewataning sukmeng nala, sarira kang madibya-dibya, ong, hamuja harja harjaning bawana, oong. Suluk Ada-ada Girisa Ratune ratu utama, ambeg para marteng dasih, berbudi bawa leksana, sinuyudan pra bupati, tresna mring sesami, kasinungan budi luhur, winongwong pra bathara, tan supe muja semedi, oong, ong, pranyata sri nalendra, sri nalendra sotya bathara, heeng. Dialog Prb. Kresna:-Iwang sukmana sasmintanisun hong buwana langgeng, Kadang kula sepuh kaka Prabu Baladewa, dereng dangu rawuh wonten negari Dwarawati, mugi keparenga rayi paduka nyaosaken pambagya panakrami saha pangabekti kula konjuka sahandhap pepada mawantu-wantu, kaka Prabu Baladewa. Prb. Baladewa:-Hooh yei, jagad dewa bathara, kadang kula yayi. Ingkang raka nampi sabdanipun yayi Prabu Kresna dahat manglingga murda, sabdanipun yayi kula tampi asta kalih kula petelaken wonten jaja nambahana kasantosan kula. Kepareng yayi mundhut priksa pisowanipun ingkang raka, awit pamujinipun yayi prabu kasembuh pangayomaniun Hyang Widiwasa kang hakarya jagad tulus raharja sowan kula wonten negari Dwarawati. Kajawi saking menika puja pangestawanipun kakang sayogi katur ngarsanipun yayi Prabu Bathara Kresna. Prb. Kresna:-Gurawalan panampi kula kaka prabu, sabdanipun kaka prabu kula pundhi wonten mestaka mugi dadosa jejimat. Mawantu-wantu Panuwun kula dipun kepareng dipun prayogekna lenggah. Prb. Baladewa:-He inggih yayi prabu Kresna. Prb. Kresna:-Samba aja nganti kadalu warsa, sira ngaturna pangabekti marang pepundhen sira kaka Prabu Baladewa. Samba:-Linepatna ing deduka, kanjeng wa Prabu Baladewa keparenga ingkang putra Samba Wisnubrata nyaosaken sembah pangabekti. Prb. Baladewa:-Prunanku wong bagus dak trima anakku lanang Samba Wisnubrata, panegestuku tampanana kulup. Samba:-Kawula nuwun kula pundhi andadosna jejimat. Setyaki:-Kaka Prabu Baladewa ingkang rayi Setyaki nyaosaken sembah pangabekti. Prb. Baladewa:-Dhimas Wresniwira dak trima sira ngaturake pangabekti. Udawa:-Sewu nyadhong duka diwaji Mandura ingkang abdi kepatihan nyaosaken pambage panakrami, raharja rawuh wonten negari Dwarawati. Prb. Baladewa:-Pengestune Kakang Udawa ora ana sambekala. Udawa:-Inggih syukur, syukur beja sewu. Prb.Kresna:-Sasampunipun lenggah kanthi prayogi, kaka prabu, keparenga rayi paduka nyuwun priksa kaka prabu rawuh wonten negari Dwarawati, semu sumengka pangawak

  • 141

    bajra, katitik mboten kepareng paring cecala, upaminipun saderengipun rawuh kepareng paring cecala, ingkang rayi paduka temtu mapag wonten sajawining baluwerti kanthi titihan kreta kencana pinangka pakurmatan rawuhipun kaka prabu dhateng negari Dwarawati. Prb. Baladewa:-Jagad dewa bathara, ha ha ha, kados makaten mulyaning raos kula gadhah kadang taruna ingkang sampun mengku kawibawan. Senadyan ta dereng kasembadan pengendikanipun yayi, nanging andadosaken kawuningan, ingkang raka sowan mboten caos cecala, niyat kula mboten ngicali tata caraning nalendra, amung saking sumengkaning manah kula, daya-daya enggal pinanggya yayi prabu Dwarawati. Bilih kagalih lepat sowan kula keparenga yayi paring lubering samodra pangaksama. Prb. Kresna:-Mboten dados menapa kaka prabu, awit sedaya sampun kalampah, nanging engetipun ingkang rayi ingkang dereng kelampah kaliyan lan ingkang dereng taksih kathah ingkang dereng kelampah. Keparenga kula aturi enget bilih kaka prabu saha kula menika ageng menapa alit jejering nalendra. Lekasing pun kaka prabu rawuh wonten negari Dwarawati nilar tata cara, yen kadenangan nalendra manca negari kirang bejanipun kula tuwin kaka prabu kadakwa nalendra mboten mangertos tata cara menika. Prb. Baladewa:-Hoh, jagad dewa bathara sepisan malih nyuwun pangapunten. Prb.Kresna:-Lajeng wonten keparengipun kados pundi teka kaka prabu semu sumengka rawuh wonten negari Dwarawati. Prb. Baladewa:-Saderengipun ingkang raka ngaturaken wigatos sowan kula wonten Dwarawati, keparenga kula gadhah panuwun yayi, murih gampil anggen kula nata ukara ngracik basa, keparenga kula ngicalaken pepanggihanipun ratu Mandura tuwin ratu Dwarawati, wontenipun pepanggihanipun Baladewa lan Kresna, mangka menika kadang nunggil yayah rena dhumawah sepuh ingkang raka. Keparenga kula njabel basa krami matur kanthi basa ngoko. Prb.Kresna:-Kapenggaliha sakprayoginipun kaka prabu. Prb. Baladewa:-Yayi Kresna. Prb.Kresna:-Kula wonten dhawuh kaka prabu. Prb. Baladewa:-Sadurunge pun kakang matur sing akeh-akeh, mbok menawa pinanggih luput aturku iki mengko nyuwun pangaksama. Prb.Kresna:-Mboten dados menapa. Prb. Baladewa:-Pun kakang tumeka Negara Dwarawati, sepisan tuwi tata raharjaning negara Dwarawati lan kawidagdane yayi sakulawarga. Prb.Kresna:-Matur sembah nuwun kaka prabu. Prb. Baladewa:-Dene ingkang angka loro pun kakang ngemban sabdane yayi Prabu Duryudana, supaya nyaosake salam oneng ana ngarsane yayi prabu Kresna. Prb.Kresna:-Salam onengipun yayi prabu Duryudana ingkang lumantar kaka prabu Baladewa, kula tampi kula petelaken jaja kendela sami-sami. Prb. Baladewa:-Lamun ta wus kahasta kabeh ature pun kakang. Wigatine pun kakang tumeka ana Dwarawati sowan ngersane yayi prabu, sedya ngebun esuk udan sore tegese kuwi grimis padha karo ngemis-emis mengkono. Gampange pun kakang sumedya nglamar, dene kang dak lamar dudu abdimu jeplak langak mondreng cethi pingitan srimpi bedhaya dudu. Kejaba kadangmu Kendheng Ngretnali Sembadra ya Bratajaya. Keparenge yayi Prabu Duryudana disuwun diboyong ana Negara Ngestina sedya didhaupake kalayan kadangku dhimas Burisrawa. Senadyan Burisrawa pengeran pati Mandaraka, nanging saiki nglesot ana ngersane yayi prabu Duryudna, amarga gandrung

  • 142

    karo diajeng Wara Sembadra. Ya pun kakang kang pinercaya amarga pun kakang iki kadange tuwa diajeng Sembadra uga. Mula nalika isih timur diajeng Sembadra yayi prabu ingkang momong, kalenggahan iki pun kakang genti ingkang momong, sedya tak dhaupake kalayan kadangku dhimas Burisrawa. Nadyan ta pun kakang ingkang nglamar, yayi prabu ora perlu menggalih jiguh perkewuh. Lamun ta yayi prabu bakal kagungan pamundhut pinangka pitukoning wa