JBM Mei 2010

download JBM Mei 2010

of 100

Transcript of JBM Mei 2010

Jurnal

.

BISNIS & MANAJEMENJurnal Ilmiah Berkala Empat Bulanan, ISSN 1411 - 9366 Volume 6 No.3, Mei 2010CITRA MEREK: DIMENSI, PROSES PENGEMBANGAN SERTA PENGUKURANNYA Roslina ANALISIS RANDOM WALKS PADA HARGA SAHAM LQ45 DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2006 - 2008 Dariyus STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BIOETANOL BERBASIS UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH Rr. Erlina, E.Gumbira Said, Machfud, Sukardi, Zainal Mahmud EVALUASI KINERJA REKSA DANA CAMPURAN INDONESIA PADA KONDISI PASAR BEARISH Ernie Hendrawaty PERBANDINGAN RETURN SAHAM SEBELUM DENGAN SESUDAH LISTING DATE WARRANT PADA BURSA EFEK INDONESIA Zulkarnain PENGARUH KOMPETENSI DAN SISTEM NILAI PENGUSAHA TERHADAP IMPLEMENTASI STRATEGI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA USAHA MENENGAH DI KOTA JAMBI Muazza

JURNAL BISNIS dan MANAJEMEN

Vol. 6

No.3

Hal. 333-429

Bandarlampung Mei 2010

ISSN 1411 - 9366

Volume 6 No. 3, Mei 2010

ISSN 1411 - 9366

JURNAL BISNIS DAN MANAJEMENTIM REDAKSIPenanggung Jawab Pembina : Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.Sc. (Rektor Universitas Lampung) : Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.Sc. (Pembantu Rektor I Universitas Lampung) : Dr. Eng. Admi Syarif (Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lampung) : Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.Sc. (Pj. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung) : Hj. Aida Sari, S.E., M.Si. Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung : Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. : Dr. Irham Lihan, S.E., M.Si. Dr. Sri Hasnawati, S.E.. M.M. Iban Sofyan, S.E., M.M. Aripin Ahmad, S.E., M.Si. Zulkarnain, S.E., M.B.A. Dariyus, S.E., M.M. Ribhan, S.E., M.Si. Ernie Hendrawaty, S.E., M.Si. : : : : : : : Hj. Mahrinasari M.S., S.E., M.P.M. Rinaldi Bursan, S.E., M.Si. Prakarsa Pandjinegara, S.E., M.E. Hi. Habibullah Jimad, S.E., M.Si. Prayugo Nasirudin Gedung A Lantai 2, Fakultas Ekonomi Unila Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro no. 1 Gedungmeneng - Bandarlampung, 35145 Telp. : (0721) 773465 Email : [email protected] Website : http://fe-manajemen.unila.ac.id/~jbm

Pemimpin Umum

Dewan Editor Ketua Anggota

Redaksi Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Tata Usaha dan Kearsipan Distribusi dan Sirkulasi Alamat Redaksi

Jumal Bisnis dan Manajemen merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan tiga kali setahun oleh Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.

Volume 6 No. 3, Mei 2010

ISSN 1411 - 9366

JURNAL BISNIS DAN MANAJEMEN

DAFTAR ISICITRA MEREK: DIMENSI, PROSES PENGEMBANGAN SERTA PENGUKURANNYA Roslina .................................................................................................................... ANALISIS RANDOM WALKS PADA HARGA SAHAM LQ45 DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2006 - 2008 Dariyus ................................................................................................................... STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BIOETANOL BERBASIS UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH Rr. Erlina, E.Gumbira Said, Machfud, Sukardi, Zainal Mahmud ................. EVALUASI KINERJA REKSA DANA CAMPURAN INDONESIA PADA KONDISI PASAR BEARISH Ernie Hendrawaty ................................................................................................. PERBANDINGAN RETURN SAHAM SEBELUM DENGAN SESUDAH LISTING DATE WARRANT PADA BURSA EFEK INDONESIA Zulkarnain .............................................................................................................. PENGARUH KOMPETENSI DAN SISTEM NILAI PENGUSAHA TERHADAP IMPLEMENTASI STRATEGI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA USAHA MENENGAH DI KOTA JAMBI Muazza ...................................................................................................................

333

347

363

385

401

419

CITRA MEREK: DIMENSI, PROSES PENGEMBANGAN SERTA PENGUKURANNYARoslina 1

ABSTRAK Citra merek (brand image) digunakan oleh konsumen untuk mengevaluasi suatu produk ketika konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang suatu produk. Konsumen cenderung akan memilih produk yang telah terkenal dan digunakan oleh banyak orang daripada produk yang belum dikenalnya. Citra merek memiliki tiga dimensi, yaitu: citra perusahaan (corporate image), citra produk (product image) dan citra negara yang menghasilkan suatu produk (country of origin image). Ketika konsumen mengevaluasi citra merek suatu produk, konsumen juga mengevaluasi kualitas produk, perusahaan yang menghasilkan serta negara penghasil produk tersebut. Citra merek dibentuk oleh berbagai elemen identitas merek (brand identity) dengan iklan sebagai salah satu media terpenting untuk memberikan informasi kepada konsumen dan menempatkan merek di pikiran konsumen. Citra merek dapat diukur menggunakan atribut, manfaat, dan keseluruhan sikap konsumen terhadap merek. Manfaat yang dirasakan oleh konsumen merupakan elemen kunci yang menentukan citra merek. Manfaat ini terdiri dari manfaat fungsional, manfaat simbolis dan manfaat pengalaman. Keywords : brand image, corporate image, product image, country of origin image.

Semakin banyak merek yang berada di pasar untuk satu jenis produk memberikan alternatif pilihan kepada konsumen. Konsumen pada umumnya akan mengevaluasi produk dengan membandingkan kualitas, harga, serta merek sebelum melakukan suatu pembelian. Pada umumnya konsumen akan memilih suatu produk yang telah mereka kenal daripada produk yang tidak pernah mereka ketahui.

1

Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung

Citra merek berfokus pada dua perspektif, yaitu perusahaan dan konsumen. Pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan berhubungan langsung dengan perbaikan aktivitas pemasaran serta strategi menempatkan (positioning) dan memelihara (retaining) citra merek yang positif. Pendekatan konsumen didasarkan pada sikap konsumen dalam menginterpretasi citra merek dan ekuitas merek. Pentingnya suatu merek di pasar dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk mengevaluasi fakta tentang bagaimana konsumen menginterpretasikan citra dari suatu merek dan kemampuan perusahaan untuk mengelola strategi penempatan merek, yang menyatakan ekuitas merek kepada konsumen. Citra merek dapat dipersepsikan secara positif maupun negatif oleh konsumen. Hal ini tergantung dari memori serta pengalaman konsumen terhadap suatu merek. Jika konsumen memiliki pengalaman yang baik serta menyenangkan terhadap merek suatu produk maka hal tersebut akan terekan dalam memori dan konsumen akan mempersepsikan produk tersebut secara positif, demikian juga sebaiknya. Definisi Citra Merek Citra merek merupakan petunjuk yang akan digunakan oleh konsumen untuk mengevaluasi produk ketika konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang suatu produk. Terdapat kecnderungan bahwa konsumen akan memilih produk yang telah dikenal baik melalui pengalaman menggunakan produk maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Citra merek menurut Keller (2008:51) adalah persepsi konsumen tentang suatu merek sebagai refleksi dari asosiasi merek yang ada pada pikiran konsumen. Sedangkan Aaker (1991:109) menyatakan bahwa citra merek merupakan kumpulan asosiasi yang diorganisir menjadi suatu yang berarti. Citra merek berdasarkan memori konsumen tentang suatu produk, sebagai akibat dari apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap merek tersebut. Perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu merek akan membentuk citra tersebut dan akan tersimpan dalam memori konsumen. Citra merek merupakan asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran dan citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek. Citra merek tersusun dari asosiasi merek. Aaker (1991:109) menyatakan bahwa asosiasi merek adalah apa saja yang terkait dengan memori terhadap suatu merek. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan tertentu dan akan semakin kuat seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi atau penggalian informasi dan akan bertambah kuat jika didukung oleh jaringan lainnya. Citra merek dapat berdampak positif atau negatif, bergantung kepada 334

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

bagaimana konsumen menafsirkan asosiasi tersebut. Asosiasi merek dan citra merek merupakan persepsi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak merefleksikan realitas secara objektif. Asosiasi merek dapat membantu meringkaskan fakta dan spesifikasi yang sulit diproses dan diakses oleh konsumen serta sangat mahal bagi perusahaan untuk mengomunikasikannya. Suatu asosiasi dapat menghasilkan informasi yang penting bagi konsumen dan memberikan cara untuk mendapatkannya. Asosiasi dapat pula menjadi dasar yang sangat penting untuk diferensiasi dan dapat menjadi kunci bagi keunggulan kompetitif. Terdapat sebelas jenis asosiasi (Aaker, 1991:114-128), yaitu (1) Atribut produk (product attribute). Mengembangkan asosiasi semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi bisa secara langsung diterjemahkan dalam alasan untuk membeli atau tidak membeli suatu merek. (2) Atributatribut tak berwujud (intangibles). Faktor-faktor tak berwujud merupakan asosiasi yang lebih efektif untuk dikembangkan daripada atribut-atribut spesifik. Suatu faktor tak bewujud merupakan atribut umum, seperti kualitas yang dirasakan, kemajuan teknologi dan nilai yang dirasakan. (3) Manfaat bagi pelanggan (customer benefits), yang berguna untuk membedakan antara manfaat rasional dengan manfaat psikologis. (4) Harga relatif (relative price). (5) Penggunaan atau aplikasi (use/application). (6) Pengguna atau pelanggan (user/customer). (7) Orang tersohor atau khalayak (celebrity/person). (8) Gaya hidup atau kepribadian (life-style/personality). (9) Kelas produk (product class). (10) Para kompetitor (competitors), dan (11) Negara atau wilayah geografis (country or geographic area). Dimensi Citra Merek Citra Perusahaan (Corporate Image) Perasaan maupun pengalaman konsumen terhadap suatu perusahaan yang menghasilkan suatu produk akan membentuk citra perusahaan tersebut. Pemahaman tentang citra perusahaan sangat penting bagi pemasar karena citra merek yang disukai untuk perusahaan dapat mempengaruhi dukungan konsumen dan pembuatan keputusan oleh konsumen, sedangkan citra yang tidak disukai memiliki pengaruh yang akan merugikan bagi pengambilan keputusan dan perilaku (Alwi & Da Silva, 2007:217). Broomley (2000) dalam Alwi dan Da Silva (2007:219) menyatakan bahwa citra perusahaan adalah persepsi eksternal stakeholder berdasarkan akumulasi pengalaman terhadap organisasi. Sedangkan Rowley (1997:246) mengemukakan bahwa citra perusahaan merupakan persepsi dari konsumen, konsumen potensial ataupun target sasaran terhadap sebagian atau keseluruhan fitur perusahaan. Hal senada diungkapkan oleh Keller (2000) dalam Alwi dan Da Silva (2007:219) yang menyatakan bahwa citra merek perusahaan merupakan asosiasi yang ada pada pikiran konsumen terhadap suatu 335

perusahaan yang menghasilkan barang atau menyediakan jasa untuk konsumen. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa citra perusahaan perusahaan dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang dilakukan perusahaan yang pada akhirnya akan menimbulkan keyakinan konsumen terhadap organisasi atau perusahaan tersebut. Citra juga perusahaan merujuk kepada asosiasi konsumen. Kontak konsumen dengan organisasi secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kekuatan atau eksistensi asosiasi tersebut. Citra perusahaan dipersepsikan oleh eksternal stakeholder. Persepsi tersebut dapat positif maupun negatif, tergantung kepada pengalaman eksternal stakeholder tersebut dengan perusahaan. Keller (2000) dalam Alwi dan Da Silva (2007:219) menyatakan bahwa citra perusahaan dapat menyebabkan terjadinya asosiasi antara produk dengan atribut atau manfaat (konsumen lebih menyukai kualitas atau inovasi dari produk), orang dan hubungan atau orientasi konsumen, program dan nilai (tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial), kredibilitas perusahaan (perusahan terlihat lebih ahli, dapat dipercaya, dan menyenangkan). Kontak yang terjadi antara konsumen dengan perusahaan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi eksistensi atau kekuatan asosiasi tersebut. Keller (2000) dalam Alwi dan Da Silva (2007:219) mengemukakan bahwa citra merek perusahaan (corporate brand image) tergantung pada beberapa faktor, yaitu; (1) produk yang dibuat oleh perusahaan, (2) kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan, dan (3) cara perusahaan berkomunikasi dengan konsumen. Smith (1993) dalam Abratt dan Mofokeng (2001:369) menyatakan bahwa empat area yang membentuk citra perusahaan (corporate image), yaitu (1) produk atau jasa, termasuk kualitas produk dan keperdulian terhadap konsumen, (2) tanggung jawab sosial, kenggotaan perusahaan, perilaku etis, dan masalah kemasyarakatan, (3) lingkungan, termasuk kantor, showroom dan pabrik, dan (4) komunikasi termasuk periklanan, hubungan masyarakat, komunikasi personal, brosur, dan program identitas perusahaan (corporate identity program). Citra merek perusahaan sangat penting dan berhubungan dengan reputasi perusahaan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bergstrom et al dalam Alwi dan da Silva (2007:220) yang menyatakan bahwa merek perusahaan dan reputasi pada dasarnya merupakan aset tak berwujud dari suatu perusahaan dan memiliki hubungan yang dekat. Davis et al (2003) dalam artikel yang sama menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan mendorong kinerja dan mengubah citra sebagaimana digambarkan dalam rantai reputasi perusahaan (corporate reputation chain) pada gambar 1.

336

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Satisfaction

Employee view

The Brand

Customer view

Satisfaction

Loyalty Retention Identity Image Sales Gambar 1 Rantai Reputasi Perusahaan (Corporate Reputation Chain) Sumber: Alwi dan Da Silva (2007:220) Citra perusahaan atau citra merek perusahaan lebih bersifat emosional dan afektif yang melibatkan perasaan dan reaksi yang merupakan akibat dari pengalaman mengonsumsi suatu produk atau merek. Citra merek perusahaan yang dinilai baik oleh konsumen bukan hanya akan membantu perusahaan untuk menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage), melalui kepuasan stakeholder diharapkan akan meningkatkan penjualan produk dan membuat performance perusahaan menjadi lebih baik. Schultz dan de Chernatony (2002) dalam Alwi dan Da Silva (2007:220) menyatakan bahwa strategi merek perusahaan yang sukses akan memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk menghasilkan pendapatan yang signifikan di masa yang akan datang. Citra Produk (Product Image) Mengembangkan citra produk dalam pikiran konsumen menjadi strategi yang sangat penting bagi perusahaan karena produk yang memiliki citra yang kuat dalam memori jangka panjang konsumen lebih disukai ketika akan membeli suatu produk pada saat produk tersebut dibutuhkan. Citra produk ditentukan oleh komunikasi yang dilakukan oleh pabrik maupun pengecer kepada konsumen. Komunikasi ini akan menjadi input stimulus ataupun petunjuk bagi konsumen. Beberapa penelitian yang dilakukan lebih menekankan pada citra toko serta pengukurannya, dan tidak ditemukan penelitian yang meneliti pengaruh citra produk terhadap perilaku konsumen (Yu & Kincade 2001:30). 337

Yu dan Kincade (2001:30) mendefinisikan citra produk sebagai kombinasi berbagai atribut seperti harga, nama toko, negara penghasil suatu produk dan produk. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa citra produk disebabkan oleh atribut-atribut yang dimiliki oleh produk dan dinilai serta diingat oleh konsumen. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menemukan bahwa atribut produk atau kinerja informasi sangat penting dalam proses pembuatan keputusan oleh konsumen. Martin (1971) dalam Yu dan Kincade (2001:33) menemukan bahwa 67 persen partisipan mengindikasikan bahwa informasi tentang atribut produk merupakan faktor utama yang menentukan dalam pembelian produk pakaian. Citra Negara Penghasil Produk (Country of Origin Image) Han (1989) dalam Hsieh, Pan, dan Setiono (2004:254) menjelaskan pengaruh citra merek pada evaluasi produk serta persepsi tentang citra negara yang mempengaruhi keseluruhan evaluasi secara tidak langsung melalui keyakinan konsumen ataupun secara langsung. Jika konsumen lebih familiar dengan produk yang dihasilkan oleh suatu negara, konsumen akan menyimpulkan informasi produk dan membentuk evaluasi secara langsung. Kesan positif dari suatu merek yang dihasilkan oleh negara asal (country of origin) menghasilkan sikap positif terhadap merek tersebut dan akan diikuti oleh perilaku yang positif. Sedangkan konsumen yang memiliki citra negatif terhadap negara tertentu tidak akan mempertimbangkan untuk membeli merek yang berasal dari negara tersebut tanpa memperhatikan asosiasi merek tersebut. Proses Pengembangan Citra Merek Dalam proses pengembangan citra merek, harus diketahui bahwa merek yang kuat memiliki identitas yang jelas. Konsumen umumnya menginginkan sesuatu yang unik dan khas yang berhubungan dengan merek. Ketidakcocokan citra merek dengan harapan konsumen akan memberikan kesempatan kepada pesaing. Kapferer (1992:37) menyatakan bahwa konsumen membentuk citra melalui sintesis dari semua sinyal atau asosiasi yang dihasilkan merek, seperti nama merek, simbol visual, produk, periklanan, sponsorship, artikel yang kemudian dikembangkan dan diinterpretasikan oleh konsumen. Sinyal tersebut dapat bersumber dari dari identitas merek, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

338

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Sending

Media

Receiving

Brand identity Signal transmittedOther sources of inspiration: - Mimicry - Opportunism - Idealism

Brand Image

Competition and NoiseGambar 2 Identitas dan Citra Sumber: Kapferer (1992:38)

Identitas merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang menjadi tujuan atau cita-cita dari strategi merek itu sendiri untuk menciptakan atau mempertahankan kelangsungan sebuah merek di pasar (Surachman, 2008:47). Identitas merek harus berbeda dari pesaing dan dikembangkan secara komprehensif untuk konsumen. Park (1986) Park (1986) dalam Janonis, Dovalien, dan Virvilait (2007:74) menyatakan bahwa kesuksesan suatu merek di pasar tergantung kepada pemilihan identitas merek, penggunaan identitas dalam mengembangkan citra, dan jaminan bahwa citra dapat mentransfer identitas merek yang dipilih oleh perusahaan, membedakannya dari pesaing dan merespon keinginan konsumen.. Sedangkan Kapferer (2003) dalam artikel yang sama menyatakan citra merek merupakan cara berkomunikasi dengan konsumen yang paling efisien dan secara signifikan berkaitan dengan identitas merek. Doyle (1988) dalam Janonis dan Virvilait (2007:79) menyatakan bahwa citra merek berasal dari berbagai elemen identitas merek dimana periklanan adalah salah satu elemen yang sangat penting yang memberitahukan kepada konsumen tentang manfaat suatu produk dan menempatkan suatu produk dalam pikiran konsumen. Pada tingkat yang lebih emosional atau simbolik, fungsi utama dari periklanan adalah menghasilkan kepribadian atau persepsi merek di pasar.

339

Pada berbagai tingkat yang menyangkut pemasaran citra, periklanan dikenal sebagai salah satu komponen utama yang menciptakan citra. Fungsi dari periklanan adalah untuk menciptakan simbol dan citra tentang suatu produk yang akan mengakibatkan adanya hubungan antara merek dengan konsumen. Peran periklanan sangat penting dan tidak dapat dikesampingkan karena periklanan membantu mengembangkan pengenalan merek, kesadaran dan citra yang pada akhirnya memperkuat kepemimpinan merek. Alba dan Marmorstein (1987) dalam Koubaa (2008:140) menyatakan bahwa frekuensi informasi atau informasi yang berulang akan mempengaruhi kebiasaan, kemudian akan mempengaruhi reputasi dan pada akhirnya mempengaruhi citra dalam pikiran konsumen. Aaker dan Joachimsthaler (2001) dalam Janonis dan Virvilait (2007:81) menggambarkan proses pembentukan citra merek pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa identitas merek terbagi menjadi dua belas katagori yang dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu merek sebagai suatu barang ( batas suatu barang, fitur, kualitas/ekuitas, pengalaman, konsumen, negara pemroduksi), merek sebagai perusahaan (fitur perusahaan, orientasi lokal atau global), personality (kepribadian merek; hubungan merek dan konsumen), dan simbol (kumpulan asosiasi visual, kiasan merek). Dalam proses pengembangan citra merek, pemosisian merek (brand positioning) adalah salah satu tahap yang sangat penting dalam proses pengembangan citra merek. Pemosisian merek mengacu pada tindakan untuk menempatkan merek suatu produk dalam pikiran pelanggan terhadap produkproduk lain dalam bentuk atribut dan keuntungan yang ditawarkan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa hubungan antara identitas merek dengan citra merek didasarkan pada proses komunikasi, yaitu perusahaan sebagai pengirim serta konsumen sebagai penerima, dan citra merek terbentuk dalam pikiran konsumen sebagai akibat dari proses komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan. Pengukuran Citra Merek Untuk menganalisa sifat dari citra merek maka harus ditentukan terlebih dahulu cara mengukur variabel citra merek. Beberapa literatur menyatakan bahwa citra merek adalah konsep yang multidimensional, tetapi tidak terdapat suatu konsensus tentang bagaimana cara mengukurnya. Keller (1993) dalam Martinez, Polo dan Chernatony (2008:108) menyatakan bahwa citra merek berhubungan dengan asosiasi ( atribut, manfaat, dan sikap), kesukaan (favorability), kekuatan (strength) dan keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand associations). Asosiasi citra merek diklasifikasikan ke dalam katagori yang konkret. Klasifikasi yang dibuat oleh Hankinson (2005) dalam Janonis dan Virvilaite , (2007:79 ) sebagaimana disajikan pada Tabel 1. 340

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Brand identity

Extended identity Principal identity Brand essence

Brand as a good Brand as a company 1. Limit of a good 2. Features of a good 3. Quality/Equity 4. Experience 5. Consumers 6. Country producer 7. Features of a company (novelty, care about consumers, reliability) 8. Local versus global Brand as a personality 9. Personality (sincere, active, reliable) 10. The relationship of brand and consumers

Brand as a symbol 11. Visual associations and a number of methapors 12. Brand inheritance

Brand positioning

Brand image

Gambar 3. Modifikasi Proses Pengembangan Citra Merek Sumber: Aaker dan Joachimsthaler (2003) dalam Janonis, Dovalien, Virvilait (2007:74) 341

Tabel 1 Model Citra MerekPenulis Hankinson & Cowking (1993) dalam Janonis & Virvilaite (2007:79) De Chernatony & Mc William (1989) dalam Janonis & Virvilaite (2007:79) Park (1986) dalam Janonis & Virvilaite (2007:79) Keller (1998) dalam Janonis & Virvilaite (2007:79) Asosiasi Fungsional Atribut fungsional Dimensi fungsional Kepuasan dari manfaat fungsional Manfaat fungsional Asosiasi Simbolis Nilai simbolis Asosiasi Pengalaman Konsepsi Merek -

Dimensi simbolis

-

-

Kepuasan dari manfaat simbolis Manfaat simbolis

Kepuasan dari manfaat pengalaman Manfaat pengalaman

-

Konsepsi merek, menunjukkan evaluasi merek secara universal

Sumber : Hankinson, 2005 dalam Janonis dan Virvilait (2007:79). Dari empat model yang terdapat pada tabel 1, tiga model ( Keller, 1998; Hankinson dan Cowking, 1993; de Chernatony, 1989) pada dasarnya asosiasi dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu asosiasi fungsional yang menunjukkan fitur yang berwujud dari suatu barang; dan emosional atau asosiasi simbolis yang menyatakan fitur yang tidak berwujud, menggambarkan efek persetujuan sosial dari konsumen, ekspresi diri atau penghargaan diri. Sedangkan penulis lainnya (Keller,1998 dan Park, 1986) menambahkan katagori yang ketiga, yaitu pengalaman (Janonis dan Virvilait, 2007:79). Model citra merek yang dikemukakan oleh Keller (1993;1998) menambah satu katagori dari asosiasi, yaitu konsepsi merek yang menggabungkan segala evaluasi merek yang dilakukan oleh konsumen. Asosiasi merek mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan strategi merek. Keller (1998) dalam Janonis dan Virvilait (2007: 80) menyatakan suatu ide bahwa kesadaran merek terdiri dari pengenalan merek dan citra merek sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

342

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Price Item nonassociated Consumer Image Attributes Item associated Types of brand association Brand personality

Benefit Functional Feelings and experience

Suitability of brand association

Conception Experience

Brand ImageIntensity of brand association

Uniqueness of brand association

Symbolic

Gambar 4. Model Citra Merek Keller Sumber: Janonis dan Virvilait (2007: 80) Citra merek merupakan akibat dari kecocokan/keserasian (suitability), intensitas (intensity), keunikan (uniqueness) dan asosiasi merek yang khas bagi konsumen. Model ini juga menunjukkan berbagai jenis asosiasi, seperti atribut (attributes) yang terbagi menjadi asosiasi dan non asosiasi, manfaat (benefit) atau fungsional, pengalaman dan simbolis serta konsepsi merek. Wilkie (1986) dalam Hsieh, Pan dan Setiono (2004:252) menyatakan bahwa asosiasi merek berdasarkan prinsip kognitif dan psikologikal Keller (1993) dapat diklasifikasikan menjadi tiga katagori berdasarkan tingkat abstraksinya, yaitu atribut (attribute), manfaat (benefit) dan sikap merek secara keseluruhan (overall brand attitude). Atribut (attribute) merujuk kepada fitur deskriptif yang menjadi ciri suatu produk atau jasa. Manfaat (benefit) adalah nilai personal yang konsumen dapatkan dari produk atau jasa. Sikap merek 343

secara keseluruhan (overall brand attribute) merupakan keseluruhan evaluasi konsumen terhadap produk. Pada umumnya persepsi citra merek yang ada pada memori konsumen mencakup ketiga tipe asosiasi merek tersebut. Namun demikian Hsieh, Pan, dan Setiono (2004:252) menyatakan karena terdapatnya kompleksitas yang tinggi apabila menggunakan semua jenis asosiasi, maka umumnya penelitian hanya memfokuskan pada asosiasi berdasarkan manfaat sebagai elemen kunci. Dobni dan Zinkham (1990) dalam Hsieh, Pan, dan Setiono (2004:252) menyatakan bahwa manfaat (benefit) adalah jenis informasi yang dirasakan relevan dan berhubungan dengan dugaan bahwa persepsi citra merek sangat subjektif dan dibentuk berdasarkan interpretasi konsumen. Asosiasi berdasarkan manfaat berhubungan dengan kebutuhan konsumen. Park, Jaworski dan MacInnis (1986) dalam Hsieh, Pan dan Setiono (2004:253) mengajukan tiga konsep, yaitu; (1) manfaat fungsional (functional benefit), yang didesain untuk memuaskan kebutuhan konsumen dalam rangka memecahkan masalah yang berhubungan dengan konsumsi. (2) Manfaat simbolis (symbolic benefit) didesain untuk memenuhi keinginan konsumen untuk mempertinggi diri (self-enhancement), posisi peran (role position), keanggotaan dalam suatu kelompok (group membership), atau identifikasi ego (ego identification). (3) Manfaat pengalaman (experiential benefit) yang didesain untuk memenuhi keinginan konsumen yang berkaitan dengan kesukaan sensori (sensory pleasure), keanekaragaman (variety), dan stimulasi kognitif (cognitive stimulation). Keller (2008:56) menyatakan bahwa citra merek berhubungan dengan; (1) Jenis asosiasi yang digunakan (types of brand association). Jenis asosiasi merek yang digunakan dalam model Keller adalah atribut-atribut merek (brand attributes), manfaat merek (brand benefit), dan konsepsi (conception). Atribut merek (brand attributs) adalah fitur deskriptif yang menjadi ciri suatu produk atau jasa. Sedangkan manfaat merek (brand benefit) adalah nilai personal dan arti yang diberikan oleh atribut produk atau jasa kepada konsumen. Manfaat merek terdiri dari manfaat fungsional, manfaat simbolis, dan manfaat pengalaman. Secara umum pengalaman secara langsung (direct experiences) menghasilkan atribut merek dan manfaat asosiasi merek yang lebih kuat. (2) Asosiasi merek harus disukai (favorability of brand association). Asosiasi yang disukai dapat terjadi jika perusahaan mampu menyampaikan asosiasi tersebut. Penyampaian tersebut ditentukan oleh tiga faktor yaitu kemampuan aktual atau potensial suatu produk, prospek saat ini atau di masa yang akan datang untuk mengkomunikasikan kinerja, dan keberlanjutan secara aktual dan kinerja yang dikomunikasikan. (3) Keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand association). Keunikan dapat didasarkan pada atribut yang terkait dengan produk (product related) dan atribut yang tidak terkait dengan produk (non-product related) ataupun manfaat. (4) Asosiasi merek yang kuat (strength of brand association). Asosiasi merek yang kuat dapat dihasilkan oleh kedalaman berfikir seseorang 344

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

tentang informasi produk dan dihubungkan dengan pengetahuan merek yang telah ada. Dua faktor yang yang dapat memperkuat asosiasi dengan informasi adalah hubungan personal dan konsistensi dari informasi yang disampaikan. Untuk dapat menjadi posisi pertama yang diingat dalam benak konsumen (top of mind), produk atau jasa harus memiliki citra merek yang positif di benak konsumen, citra merek yang dapat dibentuk berdasarkan asosiasi-asosiasi merek yang dipilih dan dipersepsi positif oleh konsumen harus memberikan kesan positif. Martinez, Polo dan Chernatony (2008:108) mengutip Aaker (1996) yang merekomendasikan pengukuran citra merek menggunakan asosiasi atau diferensiasi yang diukur berdasarkan empat aspek, yaitu nilai yang dirasakan (perceived value), kepribadian merek (brand personality), asosiasi organisasi (organisational association) dan diferensiasi (differentiation). Aaker dan Blanco (1995) dalam Martinez dan Pina (2003:434) menyatakan bahwa nilai yang dirasakan meliputi manfaat fungsional dari produk yang diukur dari kesesuaian biaya yang dikeluarkan serta kinerja merek. Kepribadian merek merujuk kepada manfaat simbolis dan emosional yang berasal dari suatu merek produk. Garcia dan Bergantinos (2001) dalam Martinez, Polo dan Chernatony (2008:108) menerapkan istilah citra merek umum (general brand image/GBI) untuk yang mencakup katagori produk yang berbeda untuk mengukurnya. Low dan Lamb (2000) dalam artikel yang sama menyatakan bahwa dalam asosiasi merek terdapat tiga konsep yang multidimensional dan saling berhubungan, yaitu citra merek (brand image), kualitas yang dirasakan (perceived quality), dan sikap merek (brand attitude). Low dan Lambs (2000) mengukur citra merek berdasarkan produk katagori. Dalam studi terkini, pengukuran citra merek untuk produk bukan hanya berdasarkan atribut fisik dari produk tetapi juga manfaat fungsional, manfaat emosional, dan manfaat pernyataan diri (selfexpressive benefit). Cara untuk mengukur citra merek seperti ini disebut sebagai citra merek produk (product brand image/PBI) yang berkaitan dengan atribut produk yang akan dijual (Martinez, Polo & Chernatony, 2008:108). Artikel Martinez, Polo dan Chernatony (2008:117) mengukur citra merek dengan dua cara yang berbeda, yaitu citra merek secara umum (GBI) menggunakan item pernyataan tentang merek yang dikemukakan oleh Aaker, yaitu: (1) merek memberikan nilai yang baik dari uang yang dikeluarkan, (2) terdapatnya suatu alasan membeli produk dibandingkan produk lainnya, (3) merek memiliki kepribadian, (4) merek yang dibeli menarik, (5) kesan yang diberikan oleh orang yang menggunakan produk, dan (6) merek tersebut berbeda daripada merek pesaing. Penelitian ini juga mengukur citra merek menggunakan citra merek produk (PBI) untuk produk sport dengan lima atribut, yaitu aktif (active), menyenangkan (comfortable), fungsional (functional), fleksibilitas (flexibility), dan sporty.

345

DAFTAR PUSTAKA Aaker, D.A. 1991. Managing Brand Equity: Capitalizing on The Value of a Brand Name. New York: The Free Press. Abratt, Russell & Mofokeng, T.N. 2001. Development and Management of Corporate Image in South Africa. European Journal of Marketing. Vol 35. No.3/4. Page 368-386. Alwi, S. F. S., & Da Silva, R. V. 2007. Online and Offline Corporate Brand Images: Do They Differ? Corporate Reputation Review. Vol 10. No.4. Page 217-244. Hsieh, M. H., Pan, S. L., & Setiono, R. 2004. Product-, Corporate-, and CountryImage Dimensions and Purchase Behavior: A Multicountry Analysis. Journal of the Academy of Marketing Science. Vol 32. No.3. Page 251270. Janonis, V., & Virvilait, R. 2007. Brand Image Formation. Engineering Economics. Vol 52. No.2. Page 78-90. Janonis, V., Dovalien, A., & Virvilait, R. 2007. Engineering Economics. Vol 51. No.1. Page 69-79. Kapferer, J. N. 1992. Strategic Brand Management: New Approaches to Creating and Evaluating Brand Equity. New York: The Free Press. Keller, K. L. 2008. Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. Third Edition. USA: Pearson International Edition. Koubaa, Y. 2008. Country of Origin, Brand Image Perception, and Brand Image Structure. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics. Vol.20. No.2. Page 139-155. Martnez, E., & Pina, J. M. 2003. The Nehative Impact of Brand Extension on Parent Brand Image. Journal of Product & Brand Management. Vol 12. No.7. Page 432-448. Martnez, E., Polo, Y., & De Chernatony, L. 2008. Effect of Brand Extension Strategies on Brand Image: A Comparative Study of the UK and Spanish Markets. International Marketing Review. Vol.25. No.1. Page 107-137. Surachman SA. 2008. Dasar-Dasar Manajemen Merek. Malang: Bayumedia Publishing. Yu, H. J. C. & Kincade, D. H. 2001. Effects of Product Image at Three Stages of The Consumer Decision Process for Apparel Products: Alternative Evaluation, Purchase and Post Purchase. Journal of Fashion Marketing and Management. Vol 5. No.1. Page 29-43.

346

ANALISIS RANDOM WALKS PADA HARGA SAHAM LQ45 DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2006 - 2008Dariyus 2

ABSTRAK Bentuk setengah kuat dari hipotesis efisiensi pasar menjaga pasar secara seketika itu juga menyerap semua informasi yang relevan seperti itu yang sedang terjadi di depan umum. Oleh karena itu, harga saham harian seharusnya berfluktuasi secara random dan white noise. Pengujian stasionaritas data dapat menggunakan uji correlogram dan uji akar unit. Pada penelitian ini, di sajikan dua cara pengujian stasionaritas tersebut Data historis harga saham LQ45 di Bursa efek Indonesia periode 2006 hingga 2008 di gunakan untuk menguji tingkat efisiensi pasar. Metode Box-Jenkins di gunakan untuk memprediksi harga saham LQ45. dapat disimpulkan bahwa data harga saham LQ45 di Bursa efek Indonesia bersifat random dan white noise. Walaupun pengujian harga saham LQ45 terlihat signifikan, namun harga saham LQ45 tidak dapat memprediksi perubahan harga saham LQ45 pada masa yang akan datang. Keywords: white noise, harga saham, saham LQ45

LATAR BELAKANG Efisiensi pasar secara langsung atau secara implisit jarang digunakan pada studi untuk mengidentifikasi reaksi harga saham untuk memastikan adanya pengumuman dividen (Bajaj dan Vijh 1995, 1990), pengumuman laba (Bamber 1987), pemecahan nilai nominal saham (Copeland 1979), transaksi blok yang besar (Hohhausen, Leftwich, dan Mayers 1987: Kraus dan Stoll 1972), hak membeli kembali penawaran dagang (Lakonishok dan Vermaelen 1990), dan pengumuman publik yang lain (Kim dan Verrechia 1991a,b).

2

Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung

Metodologi studi peristiwa digunakan untuk mengevaluasi reaksi pasar untuk meyakinkan peristiwa-peristiwa pada perusahaan. Studi-studi yang pada dasarnya bersifat spesifik adalah didesain untuk mengukur efisiensi pasar pada suatu batas keyakinan dan bersama dengan peristiwa yang mendasar. Evaluasi makro tentang efisiensi pasar dapat di bentuk dengan mencoba apakah harga saham pada pasar modal bersifat random walk pada jangka waktu periode tertentu. Teori keuangan memprediksikan bahwa harga saham berfluktuasi secara random pada jangka pendek jika pasar modal berada pada tingkat yang efisien. Bentuk setengah kuat dari hipotesis efisiensi pasar menjaga pasar secara seketika itu juga menyerap semua informasi yang relevan seperti itu yang sedang terjadi di depan umum. Oleh karena itu, harga saham harian seharusnya berfluktuasi secara random dan white noise. Hipotesis dalam penulisan ini adalah diduga terdapat perilaku harga saham LQ45 berdasarkan pada perilaku harga saham LQ45 sendiri pada periode Januari 2006 hingga Desember 2008. METODA PENELITIAN Metoda Analisis Data Model Dasar Model dasar data yang digunakan adalah data time series. Data time series seringkali menunjukkan kondisi tidak stasioner pada tingkat level, namun seringkali menunjukkan stasioner melalui proses diferensi. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA/Box-Jenkins) Model Box-Jenkins merupakan salah satu teknik peramalan model time series yang hanya berdasarkan perilaku data variabel yang diamati (let the data speak for themselves). Model Box-Jenkins ini secara teknis dikenal sebagai model autoregressive integrated moving average (ARIMA). Analisis ini berbeda dengan model struktural baik model kausal maupun simultan dimana persamaan model tersebut menunjukkan hubungan antara variabel-variabel ekonomi. Alasan utama penggunaan teknik Box-Jenkins karena gerakan harga saham seringkali sulit dijelaskan oleh teori-teori ekonomi. Teknik Box-Jenkins sebagai teknik peramalan berbeda dengan kebanyakan model peramalan yang ada. Di dalam model ini tidak ada asumsi khusus tentang data historis dari runtut waktu, tetapi menggunakan metode iteratif 348

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

untuk menentukan model yang terbaik. Model yang terpilih kemudian akan dicek ulang dengan data historis apakah telah menggambarkan data dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh jika residual antara model peramalan dan data historis kecil, didistribusikan secara random dan independen. Namun bila model yang dipilih tidak mampu menjelaskan dengan baik maka proses penentuan model perlu diulangi. Model Box-Jenkins ini terdiri dari beberapa model yaitu: autoregressive (AR), moving average (MA), autoregressive-moving average ARMA) dan autoregressive integrated moving average (ARIMA). Model Autoregressive Model AR menunjukkan nilai prediksi variabel dependen Yt hanya merupakan fungsi linier dari sejumlah Yt aktual sebelumnya. Secara umum bentuk model umum Autoregressive (AR) dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: Yt = 0 + 1Yt-1 + 2Yt-2 + ... + pYt-p + t ............................ (1) Dimana: Y Yt-1, Yt-2,Yt-p t p

= variabel dependen = kelambanan (lag) dari Y = residual (kesalahan pengganggu) = tingkat AR

Residual dalam persamaan diatas tersebut sebagaimana model OLS mempunyai karakteristik nilai rata-rata nol, varian konstan dan tidak saling berhubungan. Model AR dengan demikian menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel dependen Yt hanya merupakan fungsi linier dari sejumlah Yt aktual sebelumnya. Model Moving Average Model MA ini menyatakan bahwa nilai prediksi variabel dependen Yt hanya dipengaruhi oleh nilai residual periode sebelumnya. Secara umum, bentuk model dari Moving Average dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: Yt = 0 + 1t + 2t-1 + 3t-2 + ... + qt-p ............................ (2) Dimana: t et-1, et-2, et-p q

= residual = kelambanan (lag) dari residual = tingkat MA

349

Model Ma pada persamaan di atas seperti model AR kecuali bahwa variabel dependen Y tergantung dari nilai residual sebelumnya, tidak tergantung dari nilai variabel dependen sebelumnya. Model MA adalah model prediksi variabel dependen Y berdasarkan kombinasi linier dari residual sebelumnya sedangkan model AR memprediksi variabel Y didasarkan pada nilai Y sebelumnya. Model Autoregressive-Moving Average Seringkali perilaku suatu data time series dapat dijelaskan dengan baik melalui penggabungan antara model AR dan model MA. Model gabungan ini disebut Autoregressive-Moving Average (ARMA). Secara umum, bentuk model dari ARMA dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Yt = 0+1Yt-1+2Yt-2+...+pYt-p+0t+1t-1+2t-2+...+qt-p...... (3) Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Model AR, MA dan ARMA sebelumnya mensyaratkan bahwa data time series yang diamati mempunyai sifat stasioner. Data time series dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu jika data time series mempunyai rata-rata, varian dan kovarian yang konstan. Namun dalam kenyataannya data time series seringkali tidak stasioner namun stasioner pada proses diferensi (difference). Proses diferensi adalah suatu proses mencari perbedaan antara data satu periode dengan periode yang lainnya secara berurutan. Data yang dihasilkan disebut data diferensi tingkat pertama. Jika dilakukan diferensi tingkat pertama maka akan menghasilkan data diferensi tingkat kedua dan seterusnya. Jika data time series yang digunakan tidak stasioner dalam level maka data tersebut kemungkinan menjadi stasioner melalui proses diferensi atau dengan kata lain jika data tidak stasioner pada level maka perlu dibuat stasioner pada tingkat diferensi (difference). Model dengan data yang stasioner melalui proses differencing ini disebut model ARIMA. Dengan demikian, jika data stasioner pada proses differencing d kali dan mengaplikasikan ARMA (p,q), maka modelnya ARIMA (p,d,q) dimana p adalah tingkat AR, d tingkat proses membuat data menjadi stasioner dan q merupakan tingkat MA. Metodologi Box-Jenkin Langkah-langkah yang harus diambil di dalam menganalisis data dengan menggunakan teknik Box-Jenkin adalah sebagai berikut:

350

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Identifikasi Model Pemilihan p, d, q secara tentatif

Estimasi parameter model

Uji Diagnosis Tidak Prediksi Gambar 1. Diagram Metodologi Box-Jenkin Identifikasi Model ARIMA Uji Stasioner Melalui Correlogram Metode sederhana yang dapat digunakan untuk menguji apakah data stasioner atau tidak dengan melihat correlogram melalui Autocorrelation Function (ACF). ACF menjelaskan seberapa besar korelasi data yang berurutan dalam runtut waktu. ACF dengan demikian adalah perbandingan antara kovarian pada kelambanan k dengan variannya. Jika ACF untuk populasi maka harus dilakukan estimasi ACF melalui Sample Autocorrelation Function (SACF). Jika nilai SACF pada setiap kelambanan sama dengan nol maka data adalah stasioner. Jika sebaliknya nilai koefisien SACF relatif tinggi maka data tidak stasioner. Sebagai aturan main kasar rule of thumb), panjangnya kelambanan adalah sepertiga atau seperempat dari data time series yang dianalisis. Secara formal, stasioner tidaknya suatu data time series dapat dilakukan melalui uji statistik berdasarkan standard error (Se). Menurut Barlett, jika data time series bersifat random sehingga bersifat stasioner maka koefisien SACF akan mengikuti distribusi sebagai berikut: k ~ N (0,1/n) Dalam sampel besar, maka koefisien SACF mempunyai distribusi normal dengan nilai rata-rata nol dan varian sebesar 1/n, dimana n adalah besarnya sampel. Dengan mengikuti standar distribusi normal, maka interval dengan keyakinan sebesar 95% atau = 5% untuk k adalah: 351 Ya

k = 1,96 (Se) Jika nilai koefisien ACF (k) terletak di dalam interval tersebut, maka menerima hipotesis nul (H0) bahwa k nilai sama dengan nol, berarti data stasioner. Tetapi jika nilai k terletak diluar interval maka menolak hipotesis H0 bahwa k sama dengan nol atau dengan kata lain data tidak stasioner. Selain uji secara individual terhadap nilai koefisien k dapat dilakukan uji secara serentak terhadap semua koefisien ACF sampai pada kelambanan tertentu berdasarkan uji statistik yang dikembangkan oleh Box dan Pierce. Uji dari keduanya dikenal uji statistik Q. Dalam sampel besar, uji statistik Q ini akan mengikuti distribusi chi squares (2) dengan derajat kebebasan (df) sebesar m. Hipotesis nul (H0) untuk uji ini adalah nilai semua koefisien SACF sampai kelambanan tertentu sama dengan nol. Jika nilai statistik Q lebih kecil dari nilai Q yang diperoleh dari tabel distribusi chi square (2) pada tingkat signifikansi tertentu () maka diterima H0 yang berarti data time series adalah stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai statistik Q lebih besar dari nilai tabel distribusi chi squares (2). Alternatif lain uji stasioner berdasarkan nilai koefisien SACF dikembangkan oleh Ljung-Box dikenal dengan uji statistik Ljung-Box (LB). Untuk sampel besar, uji statistik LB ini sebagaimana uji statistik Q mengikuti distribusi chi squares (2) dengan derajat kebebasan (DF) sebesar m. Jika nilai statistik LB lebih kecil dari nilai kritis statistik dari tabel distribusi chi square (2) maka data menunjukkan stasioner. Sebaliknya jika nilai statistik LB lebih besar dari nilai kritis statistik dari tabel distribusi chi squares (2) maka data tidak stasioner. Identifikasi Model Metode baku yang digunakan untuk pemilihan model ARIMA melalui correlogram yaitu autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation function (PACF). Partial autocorrelation function (kk) didefinisikan sebagai korelasi antara Yt dan Yt-k tersebut. Tabel 1. Pola ACF dan PACF Model AR (p) MA (p) ARMA (p,q) Pola ACF Menurun secara eksponensial Menurun drastis pada lag tertentu Menurun secara eksponensial Pola PACF Menurun drastis pada lag tertentu Menurun secara eksponensial Menurun secara eksponensial

352

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Estimasi Model ARIMA Setelah diketahui model tentatif ARIMA maka selanjutnya dilakukan estimasi model tentatif persamaan tersebut. Pada tahap estimasi ini kemudian dilakukan pengujian kelayakan model dengan cara mencari model terbaik. Model terbaik didasarkan pada goodness of fit yaitu tingkat signifikansi variabel independen termasuk konstanta melalui uji t, uji F, maupun nilai koefisien determinasi (R2). Uji Diagnosis Model ARIMA Pada uji diagnosis, akan dipilih model yang baik dengan melihat apakah residual yang diperoleh relatif kecil karena bersifat random (white noise).

Model Tentatif Arima

Model Tentatif Arima Tidak signifikan Model Tentatif Arima

Jika signifikan

Gambar 2. Mekanisme Pemilihan Model ARIMA

Cara untuk melihat apakah residualnya bersifat random adalah dengan cara menganalisis residual dengan correlogram baik melalui ACF maupun PACF. Jika koefisien ACF maupun PACF secara individual tidak signifikan maka residual yang didapatkan adalah bersifat random. Dengan demikian tidak perlu lagi untuk mencari model alternatif ARIMA. Jika residual tidak bersifat white noise maka harus kembali memilih model lain. Signifikan tidaknya koefisien ACF dan PACF dapat dilihat melalui uji dari Barlett, Box dan Pierce maupun Ljung-Box. Prediksi Setelah mendapatkan model yang tepat, kemudian dilakukan uji prediksi. Dalam banyak kasus, prediksi jangka pendek dengan metode Box-Jenkin lebih baik daripada model prediksi ekonometrika tradisional. Sedangkan untuk mengevaluasi kesalahan peramalan digunakan Root Mean Squares Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE) atau Mean Absolute Percentage Error (MAPE).

353

Hasil Analisis Pengujian Stasionaritas Data Pengujian stasionaritas data dapat menggunakan uji correlogram dan uji akar unit. Pada penelitian ini, di sajikan dua cara pengujian stasionaritas tersebut. Hasilnya ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Hasil Pengujian Stasionaritas Data dengan Uji Correlogram pada LevelSample: 1/02/2006 12/31/2008 Included observations: 726 Autocorrelation .|******** .|*******| .|*******| .|*******| .|*******| .|*******| .|*******| .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|****** | .|***** | .|***** | .|***** | .|***** | .|***** | .|***** | .|***** | .|***** | .|**** | .|**** | .|**** | .|**** | .|**** | .|**** | .|**** | .|**** | .|*** | Partial Correlation .|******** .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|* | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 AC 0.980 0.959 0.939 0.919 0.898 0.876 0.855 0.840 0.826 0.812 0.797 0.783 0.771 0.756 0.741 0.726 0.710 0.694 0.679 0.663 0.648 0.633 0.617 0.600 0.583 0.566 0.548 0.531 0.514 0.497 0.480 0.464 0.446 PAC 0.980 -0.035 0.025 -0.017 -0.027 -0.043 0.016 0.128 0.023 -0.008 -0.022 0.000 0.018 -0.045 -0.002 -0.011 -0.015 -0.022 0.014 -0.014 -0.009 -0.009 -0.027 -0.038 -0.009 -0.034 -0.012 0.007 0.002 -0.024 -0.008 -0.012 -0.030 Q-Stat 699.83 1370.6 2014.9 2632.9 3224.2 3787.6 4325.3 4844.7 5347.8 5834.5 6304.4 6758.5 7198.6 7623.1 8031.4 8423.5 8799.6 9159.5 9504.3 9833.8 10149. 10449. 10735. 11007. 11263. 11505. 11731. 11945. 12145. 12332. 12508. 12671. 12823. Prob 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

354

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010 Sample: 1/02/2006 12/31/2008 Included observations: 726 .|*** | .|*** | .|*** | .|. .|. .|. | | | 34 35 36 0.430 0.413 0.396 -0.005 0.002 -0.041 12964. 13095. 13215. 0.000 0.000 0.000

Nilai probabilitas dari lag ke-1 hingga lag ke-36 yang sangat mendekati nol, yang berarti lebih kecil dari = 5%. Dengan kata lain, kita menolak hipotesis nol (bahwa data bersifat stasioner), sehingga kita simpulkan bahwa data tidak stasioner pada level. Tabel 3. Hasil Pengujian Stasionaritas Data dengan Uji Correlogram pada First differenceSample: 1/02/2006 12/31/2008 Included observations: 725 Autocorrelation .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | Partial Correlation .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 AC 0.032 -0.054 0.007 0.020 0.018 -0.032 -0.002 -0.016 0.001 0.024 0.002 -0.006 0.015 0.015 -0.008 0.021 0.003 -0.023 0.013 -0.014 -0.012 0.022 0.045 0.006 0.026 0.004 -0.031 -0.019 0.011 -0.014 PAC 0.032 -0.056 0.010 0.017 0.018 -0.031 0.002 -0.020 0.002 0.022 0.002 -0.004 0.016 0.012 -0.008 0.024 0.000 -0.022 0.015 -0.018 -0.011 0.024 0.042 0.004 0.032 -0.002 -0.032 -0.017 0.010 -0.017 Q-Stat 0.7374 2.9004 2.9313 3.2361 3.4842 4.2163 4.2181 4.3987 4.3996 4.8094 4.8135 4.8426 5.0113 5.1877 5.2332 5.5615 5.5664 5.9753 6.1072 6.2625 6.3780 6.7461 8.2403 8.2670 8.7618 8.7718 9.5029 9.7698 9.8692 10.022 Prob 0.390 0.235 0.402 0.519 0.626 0.647 0.754 0.819 0.883 0.904 0.940 0.963 0.975 0.983 0.990 0.992 0.996 0.996 0.998 0.998 0.999 0.999 0.998 0.999 0.999 0.999 0.999 0.999 1.000 1.000

355

Sample: 1/02/2006 12/31/2008 Included observations: 725 .|. .|. .|. .|. .|. .|. | | | | | | .|. .|. .|. .|. .|. .|. | | | | | | 31 32 33 34 35 36 -0.004 0.008 -0.012 -0.018 0.041 0.013 0.005 0.007 -0.016 -0.016 0.040 0.004 10.034 10.078 10.189 10.442 11.729 11.853 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Nilai probabilitas dari lag ke-1 hingga lag ke-36 lebih besar dari = 5%. Dengan kata lain, kita menerima hipotesis nol (bahwa data bersifat stasioner), sehingga kita simpulkan bahwa data bersifat stasioner pada turunan pertama. Uji stasioenr juga dapat dilakukan dengan Uji akar unit. Hasil uji akar unit ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 4. Hasil Pengujian Stasionaritas Data dengan Uji Akar Unit pada LevelNull Hypothesis: AVERAGE has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=19) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: t-Statistic -3.028573 -3.439142 -2.865310 -2.568834 Prob.* 0.0328

1% level 5% level 10% level

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(AVERAGE) Method: Least Squares Date: 05/23/09 Time: 18:59 Sample(adjusted): 1/03/2006 10/13/2008 Included observations: 725 after adjusting endpoints Variable Coefficient AVERAGE(-1) -0.020210 C 78.65762 R-squared 0.012527 Adjusted R-squared 0.011162 S.E. of regression 222.9098 Sum squared resid 35924987 Log likelihood -4947.635 Durbin-Watson stat 1.921684

Std. Error t-Statistic 0.006673 -3.028573 28.58255 2.751946 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Prob. 0.0025 0.0061 -4.196169 224.1643 13.65417 13.66682 9.172253 0.002545

Dari hasil tersebut, nilai kritis pada = 1% adalah -3,439142 yang lebih besar daripada nilai statistik t yang sebesar -3,028573, menunjukkan bahwa data tidak 356

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

stasioner pada tingkat level. Dan akan menjadi stasioner pada tingkat turunan pertama, seperti yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 5. Hasil Pengujian Stasionaritas Data dengan Uji Akar Unit pada First DifferenceNull Hypothesis: D(AVERAGE) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=19) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: t-Statistic -26.02816 -3.439155 -2.865316 -2.568837 Prob.* 0.0000

1% level 5% level 10% level

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(AVERAGE,2) Method: Least Squares Date: 05/23/09 Time: 19:00 Sample(adjusted): 1/04/2006 10/13/2008 Included observations: 724 after adjusting endpoints Variable Coefficient D(AVERAGE(-1)) -0.968174 C -4.036030 R-squared 0.484089 Adjusted R-squared 0.483374 S.E. of regression 224.3598 Sum squared resid 36343536 Log likelihood -4945.504 Durbin-Watson stat 1.995810

Std. Error t-Statistic 0.037197 -26.02816 8.339735 -0.483952 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Prob. 0.0000 0.6286 0.039779 312.1454 13.66714 13.67980 677.4653 0.000000

Dari hasil tersebut, nilai kritis pada = 1% adalah -3,439155 yang lebih kecil daripada nilai statistik t yang sebesar -26,02816, menunjukkan bahwa data stasioner pada tingkat turunan pertama. Identifikasi Model ARIMA DAVERAGE (rata-rata harga saham LQ45) Model AR, MA dan ARMA sebelumnya mensyaratkan bahwa data time series yang diamati mempunyai sifat stasioner. Data time series dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu jika data time series mempunyai rata-rata, varian dank ovarian yang konstan. Namun dalam kenyataannya data time series seringkali tidak stasioner namun stasioner pada proses diferensi (difference). Proses diferensi adalah suatu proses mencari perbedaan antara data

357

satu periode dengan periode yang lainnya secara berurutan. Data yang dihasilkan disebut data diferensi tingkat pertama. Data time series yang dianalisis dalam penelitian ini tidak stasioner dalam level namun data tersebut menjadi stasioner melalui prosese diferensi. Model dengan data yang stasioner melalui proses differencing ini disebut model ARIMA. Dengan demikian, jika data stasioner pada proses differencing d kali dan mengaplikasikan ARMA (p,q), maka modelnya ARIMA (p,d,q) dimana p adalah tingkat AR, d tingkat proses membuat data menjadi stasioner dan q merupakan tingkat MA. Tabel 6. Estimasi Model Tentatif ARIMA DAVERAGE (rata-rata harga saham LQ45)Model ARIMA (1,1,0) ARIMA (0,1,1) ARIMA (1,1,1) Konstanta -4.168705 -0.484037 -4.196917 -0.486664 -4.243018 -0.499933 AR(1) 0.031826 0.855610 MA(1) R2 0.001013 0.001139 0.006119 F 0.732068 0.824270 2.219655

-0.802462 -5.083195

0.035789 0.962924 0.838344 5.797064

Nilai kritis statistik t uji dua sisi pada = 1%, = 5% dan = 10% dengan df 724 maupun 723 masing-masing adalah 2,576; 1,960 dan 1,645. Pada model ARIMA (1,1,0), konstanta signifikan sedangkan koefisien AR(1) tidak signifikan. Begitu pula pada model ARIMA (0,1,1), konstanta signifikan sedangkan koefisien MA(1) tidak signifikan. Pada model ARIMA (1,1,1) konstanta signifikan dan koefisien AR(1) dan MA(1) juga signifikan. Berdasarkan goodness of fit maka ada satu model yang lebih baik yaitu ARIMA (1,1,1). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai F maupun koefisien determinasi. Pada pemilihan model, ditemukan bahwa model tentatifnya adalah ARIMA (1,1,1). Kemudian estimator model ARIMA (1,1,1) tersebut harus dilihat residualnya, untuk memastikan bahwa model tersebut mampu menjelaskan data dengan baik.

358

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

4000 2000 0 4000 -2000 2000 -4000 0 -6000 -2000 -4000 -6000 06:07 07:01 07:07 Actual 08:01 08:07 Fitted

Residual

Gambar 3. Grafik garis data residual ARIMA (1,1,1) menunjukkan data stasioner Nilai ACF dan PACF dari residual model ARIMA (1,1,1) ditampilkan pada tabel 6 dengan panjang kelambanan 30. Tabel 7. Nilai ACF dan PACF Residual dari Model ARIMA (1,1,1)Sample: 1/04/2006 10/13/2008 Included observations: 724 Q-statistic probabilities adjusted for 2 ARMA term(s) Autocorrelation .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. |

Partial Correlation .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. |

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

AC 0.001 -0.030 -0.012 0.032 0.010 -0.018 -0.013 -0.005 -0.008 0.032

PAC 0.001 -0.030 -0.012 0.032 0.009 -0.016 -0.012 -0.007 -0.009 0.033

Q-Stat 0.0013 0.6391 0.7397 1.5053 1.5736 1.8049 1.9259 1.9472 1.9907 2.7513

Prob

0.390 0.471 0.665 0.772 0.859 0.924 0.960 0.949

359

Sample: 1/04/2006 10/13/2008 Included observations: 724 .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. .|. | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 -0.005 -0.001 0.010 0.019 -0.010 0.022 0.002 -0.023 0.013 -0.014 -0.011 0.021 0.044 0.004 0.026 0.002 -0.028 -0.020 0.013 -0.016 -0.005 0.001 0.010 0.017 -0.011 0.024 0.001 -0.023 0.015 -0.017 -0.011 0.023 0.043 0.004 0.032 -0.001 -0.031 -0.019 0.010 -0.017 2.7719 2.7724 2.8417 3.1048 3.1834 3.5418 3.5436 3.9222 4.0474 4.2029 4.2968 4.6220 6.1012 6.1141 6.6376 6.6394 7.2385 7.5498 7.6831 7.8741 0.973 0.986 0.993 0.995 0.997 0.998 0.999 0.999 0.999 1.000 1.000 1.000 0.999 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Uji secara serempak sampai pada kelambanan tertentu berdasarkan uji statistik Ljung-Box menunjukkan bahwa nilai statistik Ljung-Box sampai pada kelambanan 30 adalah 7,8741, hal ini terlihat pada nilai Q-Statistik pada kelambanan 30. Sedangkan nilai statistik 2 dengan df sebesar 30 pada = 5% adalah 43,7729. ketidaksignifikan semua nilai koefisien ACF pada kelambanan 30 dapat dilihat juga dari nilai probabilitas statistik Ljung-Box yakni sebesar 1,000 atau pada = 100%. Kesimpulan dari analisis correlogram baik ACF dan PACF ini menunjukkan bahwa residual yang diestimasi dari persamaan model ARIMA (1,1,1) merupakan residual yang white noise dan random sehingga pada penelitian ini tidak perlu lagi untuk mencari model alternatif yang lain. Setelah mendapatkan model estimasi yang tepat, kemudian dilakukan analisis prediksi. Hasil estimasi yang telah didapatkan digunakan untuk prediksi perilaku harga saham LQ45. Hasil regresi dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: D(Average) = -4,243018 + -0,802462 AR(1) + 0,838344 MA(1) F = (2,219655) R2 = 0,006119 Hasil prediksi rata-rata harga saham LQ45 ditunjukkan pada gambar 2. Sedangkan untuk mengevaluasi kesalahan peramalan menggunakan Root Mean 360

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Squares Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE) atau Mean Absolute Percentage Error (MAPE).

8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 06:07 07:01 07:07 AVERAGEF 08:01 08:07 Forecast: AVERAGEF Actual: AVERAGE Forecast sample: 1/02/2006 12/31/2008 Adjusted sample: 1/04/2006 10/14/2008 Included observations: 724 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 223.4763 76.03308 2.013299 0.026146 0.000000 0.000576 0.999424

Gambar 4. Prediksi Harga Saham LQ45 dan Evaluasi Kesalahan Peramalan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Data historis harga saham LQ45 di Bursa efek Indonesia periode 2006 hingga 2008 di gunakan untuk menguji tingkat efisiensi pasar. Metode Box-Jenkins di gunakan untuk memprediksi harga saham LQ45. dapat disimpulkan bahwa data harga saham LQ45 di Bursa efek Indonesia bersifat random dan white noise. Walaupun pengujian harga saham LQ45 terlihat signifikan, namun harga saham LQ45 tidak dapat memprediksi perubahan harga saham LQ45 pada masa yang akan datang. Saran Saran yang diberikan adalah sebaiknya peneliti selanjutnya mengganti variabel, sehingga membuktikan teori random walks tersebut.

361

DAFTAR PUSTAKA Fama, Eugene F. Random Walk in Stock Market Prices, Financial Anaysts Journal, January-February 1995; 51,1; ABI/INFORM Global. Seiler, Michael J and Rom Walter. A Historical Analysis Of Market Efficiency: Do Historical Returns Follow A Random Walk?, Journal Of Finance and Strategic Decisions, Volume 10 Number 2 Summer 1997, USA. Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit Ekonisia Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. Yogyakarta.

362

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BIOETANOL BERBASIS UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAHRr. Erlina 3, E.Gumbira Said 4, Machfud 5, Sukardi 6, Zainal Mahmud 7

ABSTRAKTo reduce dependence on imports and fuel oil (BBM), the government has tried to issue a policy development and use of alternative fuels. One alternative is to bioethanol fuel made from vegetable materials which can be updated. Lampung is the cassava producing provinces and Indonesia's largest sugar cane. To meet the needs of raw materials required ethanol agro-industry development strategy appropriate bioethanol, so that the raw materials used to bioethanol does not interfere with food security in Lampung in particular and Indonesia in general. Agroindustry bioethanol in Lampung feasible to be developed using the assumption economic life of the project that is 20 years and a production capacity of 33 thousand KL / year produced 20.83% IRR and NPV 223 062 309 381. The SWOT analysis indicates that the development of bioethanol industry is better done in a medium-scale industries that involve the community using simple technology assisted the government in terms of marketing and financing that is expected to increase the income of cassava farmers Keywords : Bioetanol, SWOT Analysis

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak bumi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut Hayun (2008), kebutuhan BBM pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 97.100.000 kiloliter dan yang harus diimpor sekitar 52.600.000 kiloliter, sementara produksi minyak dan gas dunia terus menurun (rata-rata 4-6% pertahun) (Lucas et al., 2007). Sejak tahun 2006 diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam kurun waktu 21 tahun3 4

Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung/mahasiswa S3 IPB Guru Besar Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB 5 Dosen Senior Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB 6 Dosen Senior Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB 7 Peneliti Senior dan Mantan Peneliti BALITRO

kedepan (Yusgiantoro, 2006) dan bahkan menurut Said U (2006) hanya tinggal 12 tahun lagi jika tidak ditemukan sumber-sumber cadangan energi baru. Data BPS (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 1996 konsumsi minyak tanah adalah 3,1 liter/bulan per kepala, tahun 1999 menjadi 3,5 liter/bulan per kepala, dan pada tahun 2008 konsumsi minyak tanah mencapai 3,75 liter/bulan per kepala. Peningkatan konsumsi minyak tanah menjadikan beban subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak bertambah, bersamaan meningkatnya harga minyak bumi dunia. Konsumsi, produksi, impor minyak dan proyeksi kebutuhan minyak tanah Indonesia tahun 1998 2008 disajikan pada Gambar 1 dan 2.

12,455 12,28310,144 8,472 9,301 9,221 7,973 2,493 770 2,596 2,609 2,274 11,678 11,752 11,752 9,374

11,324 9,261 9,100 7,886 6,825

9,016 8,546 8,558 8,026 2,766 2,603 619 917 85

Gambar 1.

Konsumsi, produksi, dan impor minyak tanah Indonesia tahun 1998 2008 (BPH Migas, 2009).

Penurunan subsidi minyak tanah dilakukan diantaranya dengan cara mengurangi penggunaan minyak tanah melalui penghematan atau menggunakan bahan bakar alternatif sebagai pengganti minyak tanah. Salah satu upaya pemenuhan energi alternatif terbarukan sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, adalah melalui pengembangan energi terbarukan berbasis sumber daya nabati. Untuk mengurangi impor dan ketergantungan terhadap BBM, pemerintah telah berupaya dengan mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Inpres No.1 tahun 2006, Inpres No. 2 tahun 2006 dan Perpres No. 5 tahun 2006. Inpres dan Perpres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif. Salah satu bahan bakar alternatif adalah bioetanol yang dibuat dari bahan nabati yang bersifat dapat diperbaharui. Penggunaan bahan baku nabati yang dapat diperbaharui memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi mekanisme produksi yang ramah lingkungan dan sesuai 364

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

dengan Protokol Kyoto dalam reduksi emisi gas rumah kaca ke atmosfir dan dalam upaya meningkatkan stabilitas iklim global (Hayun, 2008). Dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah dalam hal energi, bagi Provinsi Lampung yang bukan penghasil minyak bumi utama, tetapi sebagai provinsi agraris, kondisi di atas dapat dijadikan momentum terbaik untuk mewujudkan propinsi Lampung sebagai lumbung energi terbarukan khususnya bioetanol. Lampung merupakan salah satu propinsi yang memiliki potensi bahan baku Bioetanol (Ubi kayu, Tebu dan Jagung) yang sangat baik, bahkan. Lampung merupakan propinsi penghasil ubi kayu dan tebu terbesar di Indonesia. Potensi tersebut meliputi ubi kayu dengan produksi pada tahun 2007 mencapai 6.394.906 ton, jagung 1.340.821 ton dan untuk produksi tebu pada tahunn 2007 mencapai 35.730 ton diproduksi oleh Perusahaan Negara dan 641.511 ton diproduksi oleh perkebunan swasta (BPS, 2008). Kelebihan tanaman sebagai sumber bahan bakar nabati dapat mengimbangi produksi rumah kaca, mengurangi pencemaran udara dan bahan bakar tersebut dapat diproduksi secara lokal sehingga diharapkan dapat memperbaiki ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan pertanian serta mengurangi potensi ketergantungan bahan bakar minyak bumi impor (Gumbira-Said, 2007). Beberapa perusahaan di Lampung telah menanamkan investasinya untuk memproduksi bioetanol, baik dari bahan baku tetes tebu maupun ubikayu. Djatnika (2007) menyatakan bahwa Lampung berpotensi menjadi penghasil bioetanol terbesar di Indonesia dengan pabrik yang bersifat multi feed stock design dengan bahan baku tetes tebu, jagung dan ubikayu. Hasil penelitian BPPT tahun 2007 menunjukkan bahwa efisiensi produksi etanol yang tertinggi berasal dari jagung yang jumlahnya mencapai 400 liter per 1000 kilogram jagung, diikuti tetes yang mencapai 250 liter perkilogramnya dan ubikayu sejumlah 166,6 liter perkilogramnya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku etanol diperlukan strategi pengembangan agroindustri bioetanol yang tepat agar bahan baku yang digunakan untuk bioetanol tidak menggangu ketahanan pangan di Lampung pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan pendirian agroindustri bioetanol berbasis ubikayu pada skala usaha menengah. 2. Ruang Lingkup Pada penelitian ini akan dikaji peluang usaha pendirian pabrik bioetanol dan strategi pengembangan bioetanol di Lampung pada skala usaha menengah ditinjau dari aspek penyediaan bahan baku, pemilihan teknologi, analisis investasi dan pemasaran.

365

3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Bahan Bakar Minyak (BBM) Bahan bakar minyak bumi (BBM) adalah jenis sumber energi yang terbatas, tidak terbarukan, tidak stabil dan penuh ketidak pastian (Saputra, 2007). Jenis BBM meliputi minyak tanah rumah tangga, minyak tanah industri, pertamax, pertamax plus, premium (bensin), pertamina DEX, solar transportasi, solar industri, minyak diesel, dan minyak bakar (Pertamina, 2008). Cadangan minyak bumi yang dimiliki oleh Indonesia terus menyusut. Pada Tahun 1974, Indonesia memiliki cadangan minyak bumi 15.000 metrik barel (MB) dan menurun menjadi 5.123 MB pada tahun 2000, dan 4.301 MB pada tahun 2005 (OPEC annual Statistic Bulletin, 2005). Penurunan cadangan minyak bumi tersebut disebabkan oleh eksploitasi minyak bumi selama bertahun tahun dan minimnya eksplorasi atau survey geologi untuk menemukan cadangan minyak bumi terbaru. Tanpa ditemukan cadangan minyak baru, persediaan cadangan minyak Indonesia hanya dapat diekspoitasi sampai kira-kira tahun 2035 (Dartanto, 2005). Kebutuhan/konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat. Peningkatan kunsumsi BBM disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Dartanto, 2005). Konsumsi BBM Indonesia meningkat dari 996.400 barel/hari pada tahun 2000 menjadi 1.143.700 barel/hari pada tahun 2004 (OPEC Annual Statistic Bulletin, 2005). Sementara itu, produksi BBM Indonesia menurun dari 1.272.500 barel/hari pada tahun 2000 menjadi 1.094.000 barel/hari. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi di sektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional yang melakukan investasi di sektor perminyakan. Dengan demikian pada Tahun 2004 Indonesia kekurangan dan harus mengimpor BBM sebesar 49.300 barel/hari. Untuk mengatasi menyusutnya cadangan minyak bumi dan meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, pemerintah melakukan beberapa upaya. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang dituangkan pada Impres Nomor.1 Tahun 2006, Inpres Nomor. 2 Tahun 2006, dan Perpres nomor 5 tahun 2006 (Hayun, 2008). Inpres dan perpres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan menggantikan BBM. Bahan bakar alternatif tersebut dapat berupa biofuel seperti bioetanol, biobutanol dan biodiesel yang diproduksi dengan menggunakan biomasa tanaman sebagai bahan bakunya. Penggunaan bahan bakar terbarukan di dunia baru mencapai 10,9% dari total penggunaan sumber energi dunia (GumbiraSaid, 2007). Penggunaan biofuel sebagai pengganti BBM juga dapat mengurangi

366

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

dampak negatif penggunaan BBM terhadap lingkungan, yang dikenal dengan efek rumah kaca (Brown et al.,1998) 3.2 Keadaan Umum Wilayah Lampung Dan Potensi Bahan Baku Provinsi Lampung terletak antara 105o 45' - 103o 48' Bujur Timur dan 3o 45' - 6o 45' Lintang Selatan, dengan batas wilayah adalah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda. - Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Samudera Indonesia - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah sekitar 35.376,50 km atau sekitar 1,86 % dari luas wilayah daratan Indonesia (1.904.556 km). Propinsi Lampung merupakan salah satu penghasil ubi kayu terabesar di Indonesia. Produktivitas ubi kayu yang dicapai saat ini adalah sekitar 15-30 ton/hektar. Rendahnya produkstivitas di atas disebabkan pola pengusahaan ubi kayu yang masih dilakukan secara sederhana, belum menggunakan varietas unggul dan tanpa pemupukan yang tepat dan cukup dosis. 3.3 Produksi Bioetanol Bioetanol adalah etanol yang diproduksi oleh mikro organisme dengan menggunakan bahan baku nabati seperti jagung, ubi jalar atau ubi kayu. Bioetanol yang telah dikembangkan di Indonesia adalah bioetanol generasi pertama. Bioetanol generasi pertama menggunakan substrat bahan baku nabati mengandung gula seperti molasses (tetes tebu) dan bahan nabati mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar atau jagung. Bahan baku jagung digiling, dipanaskan, dan kemudian ditambah enzim untuk mengubah pati menjadi glukosa, dan larutan glukosa yang dihasilkan ditambah ragi untuk mengubah glukosa menjadi etanol. Teknologi produksi bioetanol pada umumnya dikembangkan berdasarkan jenis bahan baku yang digunakan yakni bahan dengan komponen utama pati, gula atau lignoselulosa. Walaupun demikian, saat ini baru dua jenis teknologi produksi bioetanol yang digunakan secara komersial dalam bisnis bioetanol dunia yaitu teknologi proses produksi berbasis bahan baku gula dan berbasis bahan baku pati. Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi pencemaran udara,termasuk emisi partikel dan karbon monoksida, dapat mengimbangi produksi gas rumah kaca karena berasal dari tanaman dan baha bakar tersebut dapat diproduksi secara lokal sehingga diharapkan dapat memperbaiki ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan pertanian serta mengurangi potensi ketergantungan minyak impor (Gumbira Said, 2007). Proyeksi 367

konsumsi bioenergi di Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Tabel 1). Tabel 1 Proyeksi Konsumsi Bioenergi di Indonesia Bioetanol (juta kL) 2006 1,71 2007 1,75 2008 1,78 2009 2,82 2010 1,85 Sumber: Gumbira Said, 2007 Tahun Biodiesel (juta kL) 1,19 1,2 1,22 1,23 1,24 Bio Oil (juta kL) 0,37 2,43 4,71 4,77 4,82

Di Indonesia industri bioetanol sudah terdapat di beberapa tempat. Bahan baku industri bioetanol berupa tetes tebu, ubi kayu dan jagung banyak terdapat diLampung Tahun 1986 pabrik etanol BPPT di Lampung mengubah bahan bakunya dari ubi jalar dan ubi kayu dengan mollase atau tetes (Wahid, 2008). Hal ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku ubi jalar maupun ubi kayu , yang disebabkan oleh harga bahan baku yang tinggi dan persaingan dengan industri tepung. Di Indonesia potensi penggunaan ubikayu dan molase diperkirakan akan menyumbang 1, 85 juta KL bioetanol untuk bahan bakar (Gambar 2). Di Indonesia pada saat ini etanol terbuat dari tetes untuk keperluan bahan farmasi oleh PTPN XI, PG Rajawali II, Molindo Raya Industrial, Indo Lampung Distilerry, Indo Acidatama, Aneka Kimia Nusantara, dan pabrik bioetanol yang lain. Dari tahun 1997 hingga tahun 2001, produksi etanol di Indonesia relatif konstan, yaitu sekitar 159.000 KL dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 174.000 KL. Sejumlah 26% dari total produksi pada tahun 2002 tersebut di produksi oleh Indo Acidatama, kemudian diikuti oleh PT Molindo Raya Industrial, dan Indo Lampung Distilerry yang masing-masing besarnya produksi 23 % dari total produksi pada saat itu. Pangsa produksi etanol tahun 2002 masing-masing pabrik etanol ditunjukkan pada Gambar 3.

368

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

Bahan Bakar Transportasi (31.7 juta kL) Premium (18.5 juta kL 1.85 juta kL Bioetanol Listrik (7.6 juta kL) 3.8 juta kL Solar (12.4 juta kL) 1.24 juta kL Biodiesel Kerosin (10 juta kL) 1 juta kL 4.8 juta kL Bio Oil

Bahan BakuUbi Kayu 11 juta ton Molase 600 juta ton Minyak Sawit 30.2 juta ton Minyak Jarak 3.84 juta ton)

Gambar 2. Perkiraan kebutuhan dan potensi bioenergi untuk substitusi bahan bakar di Indonesia (Suriaatmaja, 2006)

Gambar 3. Pangsa Produksi Etanol tahun 2002 dari masing-masing pabrik Etanol (Wahid, 2008)

369

3.4 Studi Kelayakan Usaha Studi kelayakan usaha merupakan suatu pengkajian secara sistematis suatu gagasan atau rencana usaha, baik usaha baru maupun pengembangan usaha yang sudah ada, dari berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha tersebut. Kajian ini penting karena disadari bahwa setiap kegiatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta tidk selalu sesuai dengan yang diharapkan. Kemungkinan gagalnya suatu usaha selalu ada karena melibatkan banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan usaha tersebut. Tahapan studi kelayakan meliputi: 1. Tahapan identifikasi. Tahapan ini dimulai dengan penemuan ide yang didasarkan pada penemuan logis tentang adanya peluang usaha. 2. Tahapan seleksi pendahuluan. Tahap identifikai akan menghasilkan sejumlah alternatif usaha. Dari sejumlah alternatif usaha yang ada, selanjutnya akan dilakukan penilaian pendahuluan untuk menentukan usaha-usaha mana yang paling mungkin menjadi penghambat dan mendukung dipilihnya siatu usaha. Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah: a. Jumlah modal dan sumbernya b. Ketersediaan bahan baku dari sisi kualitas, kuantitas dan kontinuitas c. Ketersedian tenaga ahli d. Prospek pemasaran dan lain-lain 3. Tahap pengkajian. Tahap ini merupakan penilaian secara lebih mendalam terhadap beberpa aspek suatu usaha yang berhasil terpilih pada seleksi pendahuluan. Aspek kajiannya meliputi aspek pasar, aspek teknis dan teknologis, aspk ekonomi dan finansial serta asepek manajerial dan yuridis. 4. Tahap penilaian. Tahapan ini merupakan tahapan akhir dlam penyusunan sutu rencana usaha yaitu mengimplementasikan segala sesuatu yang telah dirumuskan dalam rencana usaha. 5. Tahap evaluasi. Tahapan ini dilakukan melalui penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan usaha yang sedang atau sudah dijalankan. Hasil evaluasi akan menjadi masukan berharga bagi para pengusaha, pemlik modal dn pemerintah di dalam memilih usaha sejenis dimasa yang akan datang (Kusnadi, 1996). Brown et al (1994) menyatakan bahwa untuk melakukan suatu studi kelayakan harus memperhatikan beberapa aspek antara lain aspek pasar dan pemasaran, aspek ekonomi dan finansia , aspek teknis dan teknologi serta aspek managemen. Sedangkan menurut Sutojo (2000) menyatakan bahwa penelitian terhadap keadaan dan prosek suatu industri dilakukan atas criteria-kriteria tertentu. Criteria tersebut meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis 370

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

dan teknologis, aspek manajemen operasional, aspek yuridis dn ekonomi finansial. 1. Aspek produksi. Aspek produksi sangat erat dengan tingkat ketersediaan bahn baku karena ketiadaan bahan baku membuat industri tidak berproduksi. Bahrens dan Hawranek (1991), hal yang perlu diperhatikan dalam maslah bahan baku adalah ciri bahan baku, pemakaian dan rencana persediaan. 2. Aspek pasar dan Pemasaran. Aspek ini adalah aspek yang pertama kali harus dikaji karena merupakan aspek yang penting untuk menentukan permintaan pasar dan jumlahnya. Akhir dari analisis pasar yang terpenting adalah menentukan jumlah produk yang mampu terserap oleh pasar. Analisis pasar dan pemasaran dulakukan untuk mengetahui posisi produk di mata konsumen, jumlah permintaan masa lalu dan sekarang. Untuk dapat menentukan prosek pasar dilakukan dengan meliht kecenderungan tingkat permintan melalui metode peramalan. 3. Aspek Teknis dan Teknologis Aspek ini mempelajari kebutuhan-kebutuhan teknis proyek yaitu penentuan kapasitas produksi, jenis teknologi yang paling tepat untuk digunakan, penggunaan peralatan dan mesin, lokasi proyek dan tata letak yang baik. Dalam memilih lokasi proyek hal-hal yang perlu diketahui adalah bagaimana kemudahan salam memperoleh bahan baku, air, tenaga kerja, utilitas, sarana dan prasarana penunjang dan daerah pemaaran. Untuk menentukan lokasi proyek ini sebaiknya ada beberapa alternatif lokasi kemudian dilakukan perbandingan dengan menggunakan criteria factor-faktor pendukung lainnya. 4. Analisis Finansial Analisis finansialakan memperhitungkan berapa jumlah dana yang diperlukan untuk membangun dan mengopeasikan proyek. Dari sisi finansial, proyek dikatakan sehat appabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi keajiban finansialnya. Analisis finansial meliputi halhal berikut: a. Kebutuhan modal. Kebutuhan modal meliputi kebutuhan modal untuk asset tetap atau barang investasi berupa lahan, bangunan, kendaraan, mesin dan sebagainya. Kebutuhan modal untuk membiayai kegiatan praopeasional seperti percobaan, survey, perijinan dan sebagainya. Selain itu ada kebutuhan modal kerja yaitu modal yang harus selalu ada di perusahaan untuk menjaga agar perusahaan dapat bseroperasi secara kontinyu. 371

b. Biaya usaha, Biaya ini meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, biaya overheas pabrik), biaya administrasi (gaji dan alat tulis kantor), biaya penyusutan, asuransi dan bunga. c. Rugi-laba perusahaan Pernyataan rugi laba suatu perusahaan menyatakan keadaan penerimaan, biaya dan rugi laba dlam periode tertentu. Pada aspek finansial ini dilakukan evaluasi terhadap criteria kelayakan investasi. Criteria investasi yang digunakan antara lain Break Event Point, Net Present value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, Pay back Period dan analisis sensitive. Net Present value (NPV) NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari keuntungan dan biaya . Formulasi yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: NPV =Bt-Ct) / (1 + I)t(2) Dengan Bt = penerimaan kotor tahun ke-t Ct = biaya kotor tahun ke-t N = umur ekonomi I = tingkat suku bunga Nilai NPV yang positif menunjukkan bahwa proyek tersebut layak untuk dilaksanakan sedngkan NPV yang negatif berarti proyek tidak layak (Brown, 1994). Payback Period (PBP) PBP merupakan waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi awal (Newman, 1990). Secara sederhana PBP dapat diartikan sebagai jangka waktu pada saat NPV sama dengan nol. Analisis Sensitivitas Analisis kepekaan bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai factor eksternal dan internal terhadap kemampuan proyek mencapai jumlah hasil penjualan dan keuntungan.

4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai factor untuk membuat suatu keputusan yang akan membantu pengusaha untuk merencanakan pendirian industri bioetanol skala menengah ditinjau dari beberapa aspek.

372

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

5. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ubikayu merupakan salah satu komoditas ekspor yang menyumbang devisa bagi Negara yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol Untuk mengetahui apakah peluang lebih besar dari hambatan yang ada maka perlu dilakukan pengkajian tentang pembangunan industri bioetanol yang terdiri dari pengkajian aspek finansial dan non finansial. Pada penelitian ini dikaji peluang usaha pendirian pabrik bioetanol di Lampung ditinjau dari aspek penyediaan bahan baku, pemilihan teknologi, analisa investasi dan pemasaran. Metode penelitian berdasarkan kajian pustaka, tinjauan lapang dan wawancara dengan pakar. Dalam penelitian ini dianalisis faktor-faktor kelayakan industri pengolahan bioetanol. Kerangka pikir tersebut tersaji pada Gambar 4.

Metoda masalah

Pendekatan sistem

Analisis Formulasi masalah

Mulai

Analisis ketersediaan bahan baku

Regresi linier

Lokasi agroindustri MPE

Analisis

Kelayakan agroindustri B/C, NpV, IRR

Analisis dan PBP

Gambar 4. Kerangka pikir penelitian Strategi Pengembangan Industri Bioetanol

373

A. Sub model DSS 1 dengan metode Perbandingan Eksponensial untuk matriks kesesuaian Sub model ini merupakan tahap pemodelan yang digunakan untuk memilih alternative lokasi. Berdasarkan lokasi ditinjau dari ketersediaan bahan baku. Pada tahap ini digunakan metode perbandingan eksponensial. Nilai yang diberikan berkisar 0 sampai 1. Penentuan bobot ditetapkan pada setiap parameter untuk menunjukkan tingkat kepentingan suatu parameter. Nilai tingkat kepentingan yang diberikan berkisar 0-1, semakin tinggi nilai tingkat kepentingan, maka criteria semakin penting. 6. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengadaan Bahan Baku Berdasarkan bahan baku, Lampung merupakan sumber bahan baku ubi kayu, karena hampir semua kabupaten memiliki lahan untuk ubi kayu (Tabel 2). Tabel 2. Produksi Ubi Kayu di Propinsi Lampung Tahun 2006No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kabupaten Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Timur Lampung Utara Way Kanan Lampung Barat Tulang Bawang Tanggamus Kota Bandar Lampung Luas araeal Jumlah (Ha) 22.436 88.575 41.253 26.270 17.690 427 90.441 2.296 181 Produksi (Ton) 234.877 1.724.754 798.456 381.592 341.635 7.649 1.761.730 42.444 3.428

Sumber: BPS (2007) b. Perkiraan bahan baku di Lampung Tengah Berdasarkan jumlah produktivitas bahan baku maka dapat diperkirakan bahwa bahan baku ubi kayu di Lampung tengah layak untuk industri pengolahan bioetanol. Produktivitas makin meningkatan dari tahun ke tahun selain disebabkan oleh peningkatan luas lahan juga karena adanya bibit unggul dan perbaikan proses pengolahan sehingga menyumbang terhadap peningkatan produktivitas ubi kayu. Dari data tersebut diharapkan pada tahun-tahun kedepan diproyeksikan bahwa bahan baku tetap akan meningkat seiring dengan peningkatan teknologi pengolahan lahan dan bibit unggul.

374

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

2.000.000 1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2001

Produksi (ton)

Series1

2002

2003

2004 Tahun

2005

2006

2007

Gambar 5. Peningkatan produksi ubi kayu di Lampung Tengah BPS Lampung Tengah, 2007 2. Penentuan Lokasi Pabrik Dalam menentukan lokasi proyek perlu memperhatikan bagaimana kemudahan memperoleh bahan baku, air, tenaga kerja, utilitas, sarana dan prasarana penunjang dan daerah pemasaran. Untuk menentukan lokasi proyek sebaiknya ada beberapa kriteria untuk menentukan lokasi proyek. Untuk menentukan criteria lokasi proyek digunakan Metode Perbandingan Eksponensial. Tahap pemilihan lokasi dengan metode perbandingan meliputi: (1) Penyusunan calon lokasi, (2) Penyusunan criteria yang dikaji, (3) Penentuan tingkat kepentingan (rating criteria), (4) Penentuan skor setiap calon lokasi pada setiap criteria, dan (5) Perhitungan total skor setiap calon lokasi. Calon lokasi ditentukan dengan melihat penyebaran perkebunan rakyat dan potensi bahan baku (Tabel 3). Matriks kesesuaian lokasi proyek dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis kriteria keputusan untuk penentuan lokasiNo 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lokasi Kriteria Ketersediaan dan kedekatan bahan baku Kedekatan dengan daerah pemasaran Kemudahan dalam memperoleh fasilitas produksi Harga tanah Ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang Kemudahan memperoleh tenaga kerja Tingkat upah Penerimaan masyarakat terhadap proyek Persaingan dengan industri tapioca Jumlah skor Lampung Lampung Tulang Timur Tengah bawang 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 6 1 1 1 0 8 1 1 1 0 7 Lampung Utara 0 0 0 1 0 1 1 1 1 5

375

Dari empat kabupaten yang dipilih, berdasarkan matriks kriteria pemilihan lokasi maka yang terpilih adalah Lampung Tengah dengan luas areal kebun 88.575 ha dan produksi sebesar 1.724.754 ton pertahun, lokasi dekat dengan pemasaran yaitu pulau Jawa, sarana dan prasarana memadai dan ketersediaan tenaga kerja banyak dengan tingkat upah minimal regional (UMR) yang relatif rendah, serta kedekatan dengan ibu kota propinsi memudahkan untuk memperoleh sarana dan prasarana yang diperlukan. 3. Aspek Teknologi a. Proses Produksi Bioetanol Produksi bioetanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula glukosa) larut air. Bahan baku yang dapat digunakan pada pembuat etanol adalah (1) nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari-buah mete, (2) bahan berpati: tepungtepung sorgum biji (jagung cantel), sagu, ubi kayu/ gaplek, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dalia, dan (3) bahan berselulosa (lignoselulosa): kayu, jerami, batang pisang, bagas, dll. Saat ini bahan baku yang gunakan untuk pembuatan bio-etanol lebih banyak memakai ubi kayu (singkong),j agung, dan tetes tebu sedangkan tepung sagu masih jarang digunakan. Pada usaha skala rumah tangga, 6,5 kg ubi kayu dengan kandungan karbohidrat 24% akan dihasilkan 1 liter bio-etanol Bustaman, 2008). Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-EthanolBahan baku Konsumsi 1000 1000 1000 1000 1000 Kandungan gula dalam bahan baku (Kg) 250-300 150-200 600-700 120-160 500 Jumlah Hasil Konversi Bioetanol (liter) 166,66 125 200 90 250 Perbandingan Bahan Baku & Bioetanol 6,5:1 8:1 5:1 12:1 4:1

Jenis Ubi kayu Ubi jalar Jagung Sagu Tetes

Sumber: Wahono, 2006. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi

376

Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 6 No.3, Mei 2010

b. Prosentase Penggunaan Energy Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel berikut ini: Tabel 5. Prosentase penggunaan EnergiProsentase Penggunaan Energi Identifikasi Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi Produksi Enzim Amilase Fermentasi Distilasi Etanol Dehidrasi (jika