J – B E K Hfmipa.unila.ac.id/web/biologi/wp-content/uploads/2014/11/Volume-3... · Hasil...
Transcript of J – B E K Hfmipa.unila.ac.id/web/biologi/wp-content/uploads/2014/11/Volume-3... · Hasil...
Sekretariat :Gedung Biologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
Telp./Fax (0721) 704625 Ext. 705 e-mail : [email protected]
Ilustrasi cover:Mus musculus L.
(sumber: http://www.bat-rodents.eu/cms/batrodentsen/products/hlodavci/mys.jpg)
J – B E K HJURNAL BIOLOGI EKSPERIMEN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
SUSUNAN PENYUNTINGPenanggung Jawab :
Prof. Warsito, S.Si., D.E.A., Ph.D.(Dekan FMIPA Universitas Lampung)
Pengarah:Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc.
(Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung)Ketua Redaksi :
Rochmah Agustrina, Ph.D.(Universitas Lampung)
Sekretaris :Priyambodo, M.Sc.
(Universitas Lampung)Bendahara :
Dr. Emantis Rosa, M.Biomed.(Universitas Lampung)
Reviewer:Dr. Noverita Dian Takarina (Universitas Indonesia)
Dr. Herawati Soekardi (Taman Kupu-kupu Gita Persada Lampung)Nismal Nukmal, Ph.D. (Universitas Lampung)
Dr. Emantis Rosa, M.Biomed. (Universitas Lampung)Rochmah Agustrina, Ph.D. (Universitas Lampung)
Administrasi :Ambar Widiastuti N.Ali Suhendra, S.Si.
i
Pengantar Redaksi
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keaneka Ragaman Hayati (JBEKH) dapat kembali terbit.
Volume pertama JBEKH (Vol I) diterbitkan pada Tahun 2013, namun karena sesatu hal,
pada tahun 2015 JBEKH tidak dapat terbit. Volume 3 JBEKH yang diterbitkan saat ini
merupakan edisi lanjutan dari edisi sebelumnya, tahun 2014. Kami optimis, untuk
selanjutnya JBEKH dapat terbit secara berkelanjutan.
Akhirnya kami berharap JBEKH dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu, khususnya di
bidang biologi dan memberikan manfaat bagi seluruh pembaca.
Tim Redaksi
DIVERSITAS PHYTOTELMATA DI BEBERAPA WILAYAH ENDEMIS DEMAMBERDARAH DENGUE DI PROVINSI LAMPUNG, INDONESIA
DIVERSITY OF PHYTOTELMATA IN SEVERAL DENGUE FEVER ENDEMIC AREA IN BANDARLAMPUNG PROVINCE, INDONESIA
Yulianty1, Emantis Rosa1*
Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
*e-mail: emantisrosa@g mail.com
ABSTRAKProvinsi Lampung termasuk wilayah yang subur dan kaya akan keanekaragaman tumbuhan termasuktumbuhan golongan phytotelmata. Phytotelmata adalah tumbuhan yang dapat menampung genangan airpada organ atau bagian tubuhnya, yang dimanfaatkan oleh berbagai organisme sebagai tempat berkembangbiak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diversitas phytotelmata di beberapa wilayah endemisDemam Berdarah Dengue di Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan ditemukan 18 jenisphytotelmata yang termasuk ke dalam 14 famili tumbuhan meliputi Araceae, Arecaceae, Asparagaceae,Bromeliaceae, Costaceae, Euphorbiaceae, Gnetaceae, Malvaceae, Oxylidaceae, Musaceae, Oxylidaceae,Pandanaceae, Poaceae, Ruscaceae, dan Sapindaceae; ditemukan enam tipe phytotelmata yaitu: tipekelopak daun (KD), lobang akar (LA), lobang pohon (LP), kelopak bunga (KB), lobang buah (LB) dan tunggulbambu (TG). Volume genangan air yang paling banyak ditemukan pada tipe lobang buah yaitu jenis Cocosnucifera (50-60 ml); tipe tunggul bambu yaitu pada jenis Bambusa sp.(80-95 ml).
Kata kunci: diversitas, fitotelmata, endemis DBD
ABSTRACTLampung province including the fertile and rich diversity of plants, including plants phytotelmata group.Phytotelmata is a plant that can hold stagnant water in the organ or body part, which is used by a variety oforganisms as a breeding ground. This study aimed to determine the diversity Phytotelmata in some endemicareas of dengue hemorrhagic fever in the province of Lampung. The results showed more than 18 types ofphyitotelmata belonging to the 14 families of plants include Araceae, Arecaceae, asparagaceae, bromeliad,costaceae, Euphorbiaceae, Gnetaceae, Malvaceae, Oxylidaceae, musaceae, Oxylidaceae, Pandanaceae,Poaceae, Ruscaceae, and Sapindaceae; phytotelmata found six types, namely: the type of sepals (KD), rootholes (LA), tree holes (LP), petals (KB), pit fruit (LB) and bamboo stumps (TG). Volume puddle mostcommonly found on the type of fruit pit that is the type of Cocos nucifera (50-60 ml); ie the type of bamboostump on the type of Bambusa sp. (80-95 ml).
Keywords : diversity, phytotelmata, endemic dengue
PENDAHULUANProvinsi Lampung mempunyai kondisi
topografi yang bervariasi, secara geografis
provinsi Lampung terletak antara 105045’-
1030 48’ BT dan 30 45’- 60 45’ LS (Profil
Lampung, 2011). Provinsi Lampung terbagi
atas dataran rendah di daerah pesisir dan
dataran tinggi, daerah ini dilalui oleh jalur
Bukit Barisan yang berada di Pulau Sumatra,
dan curah hujan yang cukup tinggi
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 1-7ISSN : 2338-4344
Diversitas Phytotelmata di Beberapa ... / 2
menyebabkan Provinsi Lampung termasuk
daerah yang subur yang dibuktikan dengan
banyak terdapat areal perkebunan.
Kesuburan tanah di suatu daerah salah
satunya ditandai dengan banyak berbagai
jenis tumbuhan yang ditemukan di daerah
tersebut termasuk phytotelmata.
Phytotelmata dideskripsikan sebagai tum-
buhan yang dapat menampung genangan air
pada bagian tubuh/organnya berdasar-kan
klarifikasi Kitching (1971). Phytotelmata dapat
ditemukan hidup di mana saja, terutama
tempat lembab, seperti di daerah tropis
dengan jenis yang beranekaragam. Informasi
tentang phytotelmata telah dilaporkan dari
beberapa peneliti sebelum-nya, antara lain:
komposisi dan struktur larva diptera pada
phytotelmata di daerah endemis demam
berdarah dengue (Rosa, dkk., 2013); jenis
dan tipe phytotelmata di beberapa lokasi di
Sumatera Barat, Indonesia (Rosa dkk., 2012);
Phytotelmata: habitat air tawar yang tidak
terlihat tetapi mendukung kehidupan fauna.
(Mogi, 2004); Serangga yang mendiami
genangan air pada tanaman (Greeney,
2001); Studi tentang genangan air pada
lobang pohon dalam ekosisitem hutan
(Kitching,1971). Namun di Indonesia
informasi tentang keberadaan phytotelmata
khususnya tentang jenis dan tipe
phytotelmata belum banyak informasinya.
Untuk itu dilakukan penelitian ini untuk
mengetahui diversitas phytotelmata di
beberapa daerah endemis demam berdarah
dengue di Provinsi Lampung.
METODE PENELITIANPenelitian dilakukan pada Juni sampai
Agustus 2015 di beberapa wilayah di Provinsi
Lampung yang termasuk daerah endemis
Demam Berdarah Dengue, meliputi
Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar
Lampung, dan Kota Metro. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara
mengambil bagian batang, daun, bunga dan
buah dari tumbuhan yang tergolong
phytotelmata, selanjutnya dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi mengguna-
kan buku identifikasi (Woong, 2004; Corner,
1969; Wijaya, 2001; Van Steenis, 2006) dan
untuk beberapa jenis tumbuhan yang sudah
diketahui nama ilmiahnya langsung dicatat.
Volume air yang tertampung pada bagian
tumbuhan diambil menggunakan pipet yang
sesuai dengan tipe phytotelmata dimasukkan
ke botol sampel untuk selanjutnya diukur
volumenya. Data hasil pengamatan dianalisis
secara deskriptif dan direkontruksikan dalam
bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASANHasil identifikasi sampel phytotelmata yang
sudah dilakukan di laboratorium yang berasal
dari beberapa daerah endemis demam
berdarah dengue (DBD) di Provinsi Lampung
yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Kota
Bandar Lampung, dan Kota Metro
didapatkan keanekaragaman jenis
phytotelmata pada ketiga wilayah endemis
Demam Berdarah Dengue di Provinsi
Lampung seperti pada Tabel 1.
3 / Jurnal Bologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Yulianty
Tabel 1. Diversitas jenis phytotelmata di tiga daerah endemis Demam Berdarah Dengue di
Propinsi Lampung.
No Taxa Habitus Volume air dalam phytotelmata (ml)Famili/Jenis Tipe phytotelmata Lamsel Balam Metro
1 AraceaeAlocasia indica Herba KD 10 15 10Alocasia cupra Herba KD 8 10 7
Colocasia esculenta Herba KD 52 Arecaceae
Cocos nucifera Pohon LB 50 603 Asparagaceae
Dracaena fraggrans Herba KD 5 3 44 Bromeliaceae
Ananas comosus Perdu KD 8 8 35 Costaceae
Costus speciosus Perdu KB 4 4 56 Euphorbiaceae
Havea brasiliensis Pohon LA 57 Gnetaceae
Gnetum gnemon Pohon LP 08 Malvaceae
Hibiscus tiliaceus Pohon LP 09 Musaceae
Musa paradisiaca Herba KD 4 5 810 Oxylidaceae
Averhoa balimbi Pohon LP 511 Pandanaceae
P. amarylifollius Perdu KD 10 12 10Bambusa sp. Pohon TB 80 95 95S.officinarum Perdu KD 5 4Gygantochloa apus Pohon TB 20
13 RuscaceaeSansiviera trifaciata Perdu KD 5 4
14 SapindaceaeNephelium lapaceum Pohon LP 5
Keterangan: LP = lobang pohon KB = Kelopak bungaLA = lobang akar LB = Lobang buahKD = kelopak daun TG = Tunggul bambuLamsel= Lampung Selatan Balam = Bandar lampung
Diversitas Phytotelmata di Beberapa ... / 4
Hasil pengamatan pada beberapa wilayah
endemis DBD di Provinsi Lampung
ditemukan 14 famili tumbuhan phytotelmata
yaitu: Araceae, Arecaceae, Asparagaceae,
Bromeliaceae, Costaceae, Euphorbiaceae,
Gnetaceae, Malvaceae, Oxylidaceae,
Musaceae, Oxylidaceae, Pandanaceae,
Poaceae, Ruscaceae, dan Sapindaceae,
serta 18 jenis tumbuhan yang tergolong
phytotelmatan, jenis-jenis tumbuhan
tersebut adalah: Alocasia indica, Alocasia
cupra, Colocasia esculenta ,Cocos nucifera,
Dracaena fraggrans, Ananas comosus,
Costus speciosus, Havea brasiliensis,
Gnetum gnemon, Hibiscus tiliaceus, Musa
paradisiaca, Averhoa balimbi, Pandanus
amarylifollius, Bambusa sp., Sacharum
officinarum, Gygantochloa apus, Sansiviera
trifaciata, Nephelium lapaceum.
Pengamatan terhadap tipe phytotelmata
ditemukan enam tipe phytotelmata dari ke-
tiga lokasi pengamatan yaitu: tipe kelopak
daun (KD), lobang akar (LA), lobang pohon
(LP), kelopak bunga (KB), lobang buah (LB)
dan tunggul bambu (TG). Tipe phytotelmata
yang paling banyak ditemukan adalah tipe
kelopak daun sebanyak sembilan tipe pada
sembilan jenis phytotelmata; tipe lobang
pohon sebanyak empat tipe pada enam jenis
phytotelmata; tipe kelopak bunga satu jenis
phytotelmata; tipe lobang akar pada satu
jenis phytotelmata; tipe lobang buah satu
jenis phytotelmata dan tipe tunggul bambu
sebanyak dua tipe.
Untuk hasil pengukuran volume genangan air
pada phytotelmata di peroleh hasil yang
bervariasi pada setiap jenis phytotelmata.
Tetapi pada jenis phytotelmata Cocos
nucifera dan Bambusa sp. volume genangan
airnya lebih banyak dibandingkan jenis
phytotelmata lainnya.
DISKUSIHasil pengamatan terhadap jumlah
phytotelmata yang berasal dari tiga lokasi
penelitian (Tabel.1) terdapat 14 famili dan
18 jenis phytotelmata. Namun bila dilihat dari
setiap lokasi, Lampung Selatan merupakan
lokasi yang paling banyak ditemukan jenis
phytotelmatanya yaitu 18 jenis yang terdiri
dari: Alocasia indica, Alocasia cupra,
Colocasia esculenta, Cocos nucifera,
Dracaena fraggrans, Ananas comosus,
Costus speciosus, Havea brasiliensis,
Gnetum gnemon, Hibiscus tiliaceus, Musa
paradisiaca, Averhoa balimbi, Pandanus
amarylifollius, Bambusa sp., Sacharum
officinarum, Gygantochloa apus, Sansiviera
trifaciata, Nephelium lapaceum.
Di Bandar Lampung ditemukan 10 jenis yang
terdiri dari: Alocasia indica, Alocasia cupra,
Cocos nucifera, Dracaena fraggrans, Ananas
comosus, Costus speciosus, Musa
paradisiaca, Pandanus amarylifollius,
Sacharum officinarum, Nephelium lapaceum.
Sedangkan di Kota Metro ditemukan
sebanyak sembilan jenis phytotelmata yang
terdiri dari: Alocasia indica, Alocasia cupra,
Dracaena fraggrans, Ananas comosus,
5 / Jurnal Bologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Yulianty
Costus speciosus, Musa paradisiaca,
Pandanus amarylifollius, Bambusa sp.,
Sacharum officinarum.
Secara keseluruhan jenis phytotelmata yang
ditemukan pada penelitian ini, masih
berada di bawah hasil penelitian yang
dilaporkan Rosa (2012) di Sumatera Barat,
yaitu sebanyak 21 jenis phytotelmata.
Sedangkan menurut Fish (1983) lebih 1500
jenis, 60 genera dan 29 famili tumbuhan yang
tergolong phytotelmata. Adanya perbedaan
ini mungkin disebabkan karena lokasi
pengambilan sampel yang tidak terlalu luas
hanya disekitar pemukiman, di mana jenis
dan jumlah tumbuhannya sangat terbatas,
sedangkan penelitian di Sumatera Barat
pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi
meliputi pemukiman, perkebunan dan hutan
yang arealnya lebih luas. Adanya perbedaan
jenis lokasi dan luas areal akan berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis phytotelmata yang
ditemukan.
Bila dilihat jumlah famili (Tabel 1.) ditemukan
14 famili phytotelmata dari ketiga lokasi, bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Kitcing
(2009) ditemukan sekitar 25 famili
tumbuhan yang tergolong phytotelmata yang
terdapat di alam. Hal ini diduga mungkin
juga disebabkan karena kurang luasnya
lokasi pengambilan sampel sehingga
berpengaruh terhadap jumlah famili
phytotelmata yang ditemukan
Hasil pengamatan terhadap tipe phytotelmata
dari hasil penelitian ditemukan sebanyak
enam tipe yang terdiri dari: tipe kelopak daun
(KD), lobang akar (LA), lobang pohon (LP),
kelopak bunga (KB), lobang buah (LB) dan
tunggul bambu (TG). Dari hasil ini tipe yang
ditemukan sudah bervariasi tidak terlalu jauh
berbeda dengan hasil deskripsi yang
dikemukan Kitching (1971). Dalam deskripsi
tipe phytotelmata menurut Kitching (1971)
ada tujuh kriteria tipe phytotelmata yaitu
kelopak bunga, kelopak daun, lobang buah,
lobang pohon, tunggul bambu, tanaman kendi
(pitcher plant), bagian tanaman yang lepas.
Hasil pengukuran terhadap volume genangan
air yang tertampung pada bagian tubuh
phytotelmata dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa di Lampung Selatan
volume air yang paling banyak ditemukan
pada phytotelmata jenis Bambusa sp.
sebanyak 80ml dan Cocos nucifera 50 ml.
Demikian juga dengan yang di Bandar
Lampung juga ditemukan pada jenis
phytotelmata yaitu Cocos nucifera dan
Bambusa sp. dengan masing-masing volume
air sebanyak 60ml dan 95ml, sedangkan di
Metro hanya pada Bambusa sp. sebanyak 95
ml.
Data volume air ini menunjukkan bahwa
banyaknya genangan air pada phyitotlmata
sangat terkait dengan tipe phytotelmatanya.
Cocos nucifera adalah termasuk tipe lobang
buah dan Bambusa sp. termasuk tipe tunggul
Diversitas Phytotelmata di Beberapa ... / 6
bambu, kedua tipe ini bila diamati sangat
berpotensi menampung jumlah genangan air
lebih banyak dibandingan dengan tipe
phytotelmata lainnya seperti tipe seperti
kelopak daun. Hal ini mungkin disebabkan
karena tipe lobang buah dan tunggul bambu
secara morfologi mempunyai bentuk yang
berbeda di mana desain ruang tempat
penampungan genangan airnya yang lebih
luas, dalam, seperti tabung sehingga,
mampu mempertahankan volume air dalam
waktu yang lebih lama dibandingan tipe
phytotelmata lain.
Tetapi secara umum jumlah volume air yang
tertampung pada phytotelmata pada
penelitian jauh lebih sedikit. Sedikitnya
volume air yang tertampung diduga terkait
dengan waktu pengambilan sampel yaitu
bulan Juni – Agustus yang termasuk musim
kemarau sehingga curah hujan sangat
rendah. Kondisi ini sangat berpengaruh
terhadap volume genangan air pada
phytotelmata, karena genangan air yang
terdapat pada phytotelmata selain berasal
dari tumbuhan itu sendiri, juga berasal dari
air hujan yang masuk. Hal ini yang
menyebabkan tumbuhan phytotelmata
berpotensi sebagia tempat perindukan dari
berbagai jenis serangga termasuk beberapa
jenis nyamuk vektor Demam Berdarah
Dengue.
KESIMPULANDari hasil penelitian yang telah dilakukan ini
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Keanekaragaman phytotelmata yang
ditemukan di beberapa wilayah endemis
DBD di provinsi Lampung hasil dari
identifikasi ditemukan 14 famili yaitu:
Araceae, Arecaceae, Asparagaceae,
Bromeliaceae, Costa-ceae,
Euphorbiaceae, Gnetaceae, Mal-vaceae,
Oxylidaceae, Musaceae, Oxy-lidaceae,
Pandanaceae, Poaceae, Rus-caceae,
dan Sapindaceae, yang ter-masuk
kriteria phytotelmata ada 18 jenis
tumbuhan yang terdiri dari: Alocasia
indica, Alocasia cupra, Colo-casia
esculenta, Cocos nucifera, Dracaena
fraggrans, Ananas comosus, Costus
speciosus, Havea brasiliensis, Gnetum
gnemon, Hibiscus tiliaceus, Musa
paradisiacal, Averhoa balimbi, Pandanus
amarylifollius, Bambusa sp., Sacharum
officinarum, Gygantochloa apus,
Sansiviera trifaciata, dan Nephelium
lapaceum.
2. Tipe phytotelmata dari ke tiga lokasi yaitu
tipe kelopak daun (KD), lobang akar (LA),
lobang pohon (LP), kelopak bunga (KB),
lobang buah (LB) dan tunggul bambu
(TG).
3. Volume genangan air yang paling banyak
ditemukan pada tipe lobang buah yaitu
jenis Cocos nucifera dengan kisaran
volume air sebanyak 50-60 ml; tipe
tunggul bambu yaitu pada jenis
Bambusa sp., dengan kisaran volume air
sebanyak 80-95 ml
7 / Jurnal Bologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Yulianty
DAFTAR PUSTAKACorner,E.J.H., K Watanabe. 1969. Ilustrated
Guide to Tropical Plants. HirokawaPublishing Company Inc. Tokyo.
Fish,D1983. Phytotelmata flora and Fauna.In: Phytotelmata teresterial plantsashostfor aquatic insect. Frank,J.H&L.P. Launibos (eds). Plexus.Medford, pp: 161 -190.
Greeney, H. F. 2001. The Insects of Plant-Held Waters: A Review andBibliography, Department ofEntomology. Journal of TropicalEcology. 17: 241 - 260.
Kitching, R. L. 1971. An Ecology study afwater filled tree-holes and theirposition in them woodlandecosystem. Journal of AnimalEcology 40:281-302
Kitching, R. L. 2009. Food Webs andContainer Habitats : The Naturalhistory anad Ecology of phytotelmata.Auatralian School of EnvironmentalStudies, Grifith University. CambridgeUniversity Press.
Mogi, M. 2004. Phytotelmata: hiddenfreshwater habitats supporting uniquefaunas eds Freshwater invertebtrate ofthe Malaysia on region. Kuala LumpurMalaysia Academy of SciencesMalaysia 13-22.
Profil Lampung. 2011. Letak GeografisLampung.www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/18/lampung
Rosa, E. Dahelmi, S.Salmah danSyamsuardi. 2012. Jenis dan TipePhytotelmata sebagai PerindukanAlami Nyamuk di Beberapa Lokasi diSumatera Barat. Prosiding NasionalSains Matematika Informatika danAplikasinya III (SN-SMIAP).
Rosa, E. S.Salmah dan Syamsuardi .2013.Komposisi dan Struktur Larva Dipterapada Phytotelmata di Daerah EndemisDemam Berdarah Dengue (DBD).Seminar Nasional dan RapatTahunan BKS-PTN Bidang MIPA(SEMIRATA) BKS Barat. UniversitasLampung
Van Steenis .2006. Flora. Penerbit. PradnyaParamita. Jakarta.
Woong, K. M. 2004. Bamboo the AmazingGrass: A Guide tothe diversity andstudy of bamboos in Southeast Asia.International Plant Genetic ResoursesIntitute (IPGRI) and University ofMalaya.
Widjaya, E.A .2001. Identikit Jenis-jenisBambu di Kepulauan Sunda Kecil.Pusat Penelitian PengembanganBiologi. Balai Penelitian Botani-Herbarium Bogoreinse. Bogor,Indonesia.
Diversitas Phytotelmata di Beberapa ... / 8
STRUKTUR TULANG BELAKANG FETUS MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIANEKSTRAK ETANOL RIMPANG TEKI (Cyperus rotundus L.)
SPINAL STRUCTURES OF MICE FETUS (Mus musculus L.) AFTER TREATED BYRHIZOME ETHANOL EXTRACT (Cyperus rotundus L.)
Etika Julitasari1*, Nuning Nurcahyani1, Hendri Busman1
1Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1, Bandar Lampung, 35145
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Cyperus rotundus adalah rumput-rumputan yang tumbuh di berbagai habitat, digunakan dalam pengobatantradisional karena dapat menormalkan siklus menstruasi, menghambat fertilisasi dan implantasi sehinggaproses kehamilan sulit terjadi dan jika terjadi akan menyebabkan keliainan fetus. Rimpang teki mengandungalkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, seskuiterpen dan saponin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipengaruh ekstrak etanol rimpang teki pada berat dan panjang fetus, serta struktur tulang belakang fetus.Percobaan dilakukan selama November 2015-Januari 2016 di Laboratorium Zoologi untuk pemeliharaan danperlakuan hewan uji mencit (Mus musculus L.) dan di Laboratorium Kimia Organik untuk pembuatan ekstraketanol rimpang teki. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan.Perlakuan pemberian dosis ekstraks etanol rimpang teki teridiri dari: kontrol diberi 0,4 ml aquabides ( A), 45mg dalam 0,4 ml aquabides (B), 90 mg dalam 0,4 ml aquabides (C), dan 135 mg dalam 0,4 ml aquabides (D).Ekstrak etanol rimpang teki diberikan pada mencit hamil pada hari ke 6-17 kehamilan secara oralmenggunakan sonde lambung. Berat dan panjang fetus dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji BNTpada taraf α = 5%. Struktur tulang belakang fetus dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkanbahwa rata-rata berat fetus yang diberi perlakuan menurun dibandingkan dengan kontrol, yaitu: 1,746 gram(A), 1,599 gram (B), 1,386 gram (C), dan 1,524 gram (D). Panjang rata-rata fetus yang diberi perlakuanmeningkat dibandingkan dengan kontrol, yaitu : 2,84 cm (A), 2,95 cm (B), 3,22 cm (C), dan 3,13 cm (D).Diduga ekstrak rimpang teki mengandung zat aktif yang bersifat sitotoksik bagi fetus mencit. Ekstrak rimpangteki tidak menyebabkan kelainan pada struktur tulang belakang fetus. Hal ini diduga karena ekstrak rimpangteki juga mengandung kalsium sehingga dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tulang.
Kata kunci: Cyperus rotundus, rimpang, Mus musculus, fetus, struktur tulang belakang
ABSTRACTCyperus rotundus is a nut grass that grows in a variety of habitats. The C. rotundus rhizome is used intraditional medicine because it can normalize the menstrual cycle, inhibiting fertilization, and implantation sothe process of pregnancy is difficult to occur and if a pregnancy occurs will cause fetal abnormalities. The nutgrass rhizomes contain alkaloids, flavonoids, tannins, glycosides, sesquiterpenes and saponins. This researchwas conducted to observe the effect of C. rotundus nut grass rhizome ethanol extract on weight, length, andspinal structures of fetus. The experiments conducted during November 2015-January 2016 at the Laboratoryof Zoology for maintenance and treating the test animals, mice (Mus musculus L.) and in Organic ChemistryLaboratory to prepare the extract ethanol of C. rotundus rhizome. This experiment used a completelyrandomized design with 4 treatments and 5 replications. The treatment dose of ethanol extract of C. rotundusrhizomes C consists of: control (A) 0.4 ml aquabidest, 45 mg extract in 0.4 ml aquabidest (B), 90 mg extract in0.4 ml aquabidest (C), and 135 mg extract in 0 , 4 ml aquabidest (D). Nut grass rhizome ethanol extract wasgiven to mice pregnant on 6-17 days of pregnancy orally using a stomach sonde The weight and length offetuses analyzed using ANOVA and followed by LSD test at level α = 5%. Fetal spinal structures wereanalyzed descriptively. The results showed that the average weight of fetuses treated decreased comparedwith controls, namely: 1,746 grams (A), 1.599 grams (B), 1.386 grams (C), and 1.524 gram (D). The averagelength of fetuses treated increased compared with controls, ie: 2.84 cm (A), 2.95 cm (B), 3.22 cm (C), and 3.13cm (D). This is presumably C. rotundus rhizome extract contained active substances that are cytotoxic to themice fetus. C. rotundus rhizome ekstract does not cause abnormalities in spinal structures of fetus. This ispresumably because C. rotundus rhizome extract contain calcium so that it can sustain the growth anddevelopment of bones.
Keyword: Cyperus rotundus, rhizome, Mus musculus, fetus, spinal structures
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 9-16ISSN : 2338-4344
Struktur Tulang Belakang Fetus ... / 10
PENDAHULUAN
Rumput teki (Cyperus rotundus L.) merupakan
tumbuhan liar yang hidup di berbagai tempat
terbuka sehingga termasuk sebagai gulma
(Dalimartha, 2009). Masyarakat di berbagai
daerah di Indonesia telah memanfaatkan rumput
teki sebagai obat tradisional. Bagian rimpang
digunakan untuk pengobatan karena memiliki
khasiat sebagai antibakteri, obat peluruh haid
dan kontrasepsi, menghambat penetrasi
sperma, menghambat fertilisasi dan implantasi,
sehingga proses kehamilan sulit terjadi dan
apabila terjadi maka kemungkinan fetus akan
mengalami kecacatan (Winarno dan Sundari,
1997).
Komponen aktif dalam rimpang teki adalah
seskuiterpen dan berbagai bahan kimia yaitu
alkaloid, flavonoid, tanin, pati, glikosida, dan
saponin (Subhuti, 2005). Dengan adanya
berbagai zat kimia tersebut maka dilakukan
penelitian mengenai uji teratogenik dari ekstrak
rimpang teki untuk mengetahui ada atau
tidaknya kelainan pada fetus hewan uji berupa
mencit (Mus musculus L.). Pada penelitian ini
dilakukan pengamatan terhadap penurunan
berat badan dan panjang fetus, serta kelainan
pada struktur tulang belakang fetus mencit,
dimana proses pembentukan dan
perkembangan tulang (osifikasi) pada fetus
mencit terjadi pada hari kehamilan ke-11 sampai
ke-17 sehingga pada masa itu sangat rentan
terhadap senyawa teratogen (Rugh, 1968).
BAHAN DAN METODEAlat dan BahanAlat- yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kandang mencit beserta penutup yang terbuat
dari kawat sebanyak 20 unit, wadah pakan
mencit, botol minum mencit, sonde lambung
yang dihubungkan dengan alat suntik,
mikropipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi,
erlenmeyer, gelas ukur, seperangkat alat bedah,
kertas label, kamera tipe SM-J500G, botol film,
jangka sorong, dan timbangan digital.
Bahan yang digunakan adalah 20 ekor mencit
betina dan 20 ekor mencit jantan berumur 3-4
bulan dengan berat sekitar 40 gram, sekam
padi, pelet, air minum mencit, ekstrak rimpang
teki, aquabides, kloroform, kapas, alkohol 90%,
larutan KOH 1%, larutan Alizarin Red, dan
alkohol 70%.
Cara Kerja1. Persiapan kandang dan hewan uji
Kandang mencit beserta penutupnya
sebanyak 20 unit dibersihkan dengan
alkohol dan diberi alas berupa sekam padi.
Mencit kemudian diaklimatisasi selama 1
minggu dengan diberi pakan berupa pelet
dan air minum setiap harinya.
2. Persiapan dan Pembuatan EkstrakRimpang TekiPembuatan ekstrak rimpang teki dengan
metode maserasi. Rimpang teki
dibersihkan, dicuci, dan dijemur hingga
kering kemudian digiling hingga menjadi
serbuk. Dilakukan maserasi dengan cara
merendam 500 gram serbuk rimpang teki
11 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Etika Julitasari
dalam 2 liter larutan etanol selama 24 jam.
Kemudian disaring menggunakan kertas
saring. Cairan hasil saringan tersebut lalu
dipekatkan menggunakan alat rotary
evaporator selama 4 jam dengan suhu 50oC
dan tekanan 120 atm.
3. Pemberian PerlakuanSatu ekor mencit betina disatukan secara
alami dengan satu ekor mencit jantan ke
dalam satu kandang dan diberi pakan
berupa pelet dan air minum. Pada pagi hari
dilakukan pengamatan di daerah vagina
pada mencit betina. Apabila ditemukan
sumbat vagina, maka mencit dinyatakan
telah melakukan kopulasi dan dihitung
sebagai kehamilan hari ke-0 (Silvia, 2011).
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5
kali pengulangan. Pemberian ekstrak
rimpang teki dilakukan dengan cara dicekok
(secara oral) menggunakan alat sonde
lambung mulai dari kehamilan hari ke 6
sampai ke 17 dengan dosis:
1. Kontrol, diperlakukan dengan diberi 0,4
ml aquabides (A)
2. Dosis 45 mg dalam 0,4 ml aquabides (B)
3. Dosis 90 mg dalam 0,4 ml aquabides (C)
4. Dosis 135 mg dalam 0,4 ml aquabides
(B)
4. PengamatanPada kehamilan hari ke 18 mencit dibedah
dan fetus dikeluarkan dari uterus, kemudian
dibersihkan dengan air mengalir dan
dilakukan penimbangan berat badan dan
pengukuran panjang fetus. Selanjutnya
dikeluarkan organ dalam fetus dan dilakukan
preparasi tulang belakang fetus dengan
pewarna Alizarin Red. Pembuatan larutan
Alizarin Red dengan cara menambahkan 6
mg bubuk Alizarin Red ke dalam 1 liter
larutan KOH 1% (Manson et al., 1982).
Pengamatan struktur tulang belakang fetus
dilakukan secara deskriptif untuk melihat
ada atau tidaknya kelainan dibandingkan
dengan fetus normal (kontrol).
5. Analisis dataData hasil penelitian berupa anatomi tulang
belakang fetus dianalisis secara deskriptif.
Panjang dan berat fetus dianalisis
menggunakan Analisis Ragam (ANARA).
Apabila terdapat perbedaan yang nyata,
maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN1. Berat Badan dan Panjang Fetus
Pada kehamilan hari ke 18, induk mencit
dibedah dan fetus dikeluarkan dari uterus.
Data berat badan fetus mencit disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Penurunan berat badan fetus setelahpemberian ekstrak rimpang teki. Angkayang diikuti huruf superskrip berbedamenunjukkan beda nyata berdasarkan ujiBNT 5%
1,746a1,599ab
1,386b 1,524b
00,5
11,5
2
Kontrol (A) Dosis 45 mg(B)
Dosis 90 mg(C)
Dosis 135 mg(D)
Ber
at (g
ram
)
Perlakuan
Struktur Tulang Belakang Fetus ... / 12
Berdasarkan Gambar 1, rata-rata berat
badan fetus mencit yang diberi perlakuan
mengalami penurunan berat badan apabila
dibandingkan dengan fetus yang tidak diberi
perlakuan (kontrol). Setelah dilakukan
analisis varian dengan taraf signifikasi 5%,
menunjukkan hasil yang signifikan dan uji
lanjut menggunakan BNT dengan taraf 5%
menunjukkan adanya perbedaan nyata
antara kontrol dengan perlakuan dosis 90 mg
(C) dan perlakuan dosis 135 mg (D), namun
tidak ada perbedaan nyata antara kontrol
dengan perlakuan dosis 45 mg (B) dan antar
perlakuan B, C, dan D. Data panjang fetus
mencit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pertambahan panjang badan fetussetelah pemberian ekstrak rimpang teki.Angka yang diikuti huruf superskripberbeda menunjukkan beda nyataberdasarkan uji BNT 5%
Berdasarkan Gambar 2, rata-rata panjang
fetus mencit yang diberi perlakuan
mengalami penambahan panjang badan
apabila dibandingkan dengan fetus yang
tidak diberi perlakuan (kontrol). Setelah
dilakukan analisis varian dengan taraf
signifikasi 5% dan uji lanjut menggunakan
BNT dengan taraf 5% menunjukkan adanya
perbedaan nyata antara kontrol dengan
perlakuan C, kontrol dengan perlakuan D,
perlakuan B dengan perlakuan D, namun
tidak ada perbedaan nyata antara kontrol
dengan perlakuan B, perlakuan B dengan D,
serta perlakuan C dengan D.
2. Tulang Belakang FetusFetus mencit yang sudah dikeluarkan dari
uterus dan dibersihkan organ dalamnya
kemudian dilakukan preparasi tulang
belakang fetus menggunakan larutan
Alizarin Red.
(a) (b)
(c) (d)Gambar 3. Fetus dari perlakuan ekstrak etanol (a)
Kontrol, (b) dosis 45 mg, (c) Dosis 90 mg,(d) Dosis 135 mg.
Berdasarkan Gambar 3, pengamatan
terhadap tulang belakang fetus mencit
dilakukan dengan cara mengamati struktur
2,84a2,95a
3,22b3,13bc
2,62,833,23,4
Kontrol (A) Dosis 45mg (B)
Dosis 90mg (C)
Dosis 135mg (D)
Panj
ang
(cm
)
Perlakuan
13 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Etika Julitasari
tulang belakang fetus meliputi servikalis,
torakalis, dan lumbalis. Setelah
dibandingkan antara tulang belakang fetus
normal dan yang diberi perlakuan, tidak
ditemukan adanya kelainan pada tulang
belakang pada semua tingkatan dosis.
Pembahasan1. Berat Badan dan Panjang Fetus
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan
terhadap berat badan fetus. Berat badan
merupakan parameter penting untuk
mengetahui efek teratogenik suatu senyawa
terhadap fetus hewan uji yang ditandai
dengan penurunan berat badan fetus (Wilson
dan Warkany, 1965 dan Setyawati, 2009).
Pada penelitian ini, berat badan fetus yang
tidak diberi perlakuan (kontrol) lebih rendah
dibandingkan fetus yang diberi perlakuan
ekstrak rimpang teki
Penurunan berat badan fetus adalah efek
dari pemberian ekstrak rimpang teki pada
fase organogenesis sehingga menyebabkan
kelainan berupa berat badan yang tidak
normal. Berat badan yang tidak normal
terjadi karena senyawa teratogen pada
ekstrak rimpang teki mempengaruhi
proliferasi sel, sehingga terjadi hambatan
pada sintesis asam nukleat, protein, atau
polisakarida (Wilson, 1973 dan Siburian dan
Marlinza, 2009).
Pada saat fetus, sel-sel tubuh mampu
membelah dengan cepat sehingga sangat
rentan terhadap senyawa yang bersifat toksik
yang diberikan kepada induk mencit saat
kehamilan. Hal itu dapat terjadi karena
ekstrak yang diberikan kepada induk mencit
akan berpindah ke fetus melalui plasenta,
yaitu melalui jalan yang sama yang dilalui
oleh zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan fetus
(Suryawati, 1990 dan Muna dll., 2011).
Ekstrak rimpang teki mengandung komponen
aktif yaitu α-cyperone, β-selinene, cyperene,
cyperotundone, patchoulenone, sugeonol,
kobusone, dan isokobusone serta berbagai
bahan kimia yaitu alkaloid, flavonoid, tanin,
pati, glikosida, dan saponin (Subhuti, 2005).
Berbagai senyawa yang terkandung dalam
ekstrak rimpang teki membuat ekstrak
rimpang teki memiliki efek sitotoksik (Lawal
dan Adebola, 2009). Dengan adanya efek
sitotoksik dari ekstrak rimpang teki ini
dimungkinkan dapat menyebabkan kematian
beberapa sel sehingga menyebabkan berat
badan fetus yang diberi perlakuan lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol.
Pertambahan panjang fetus dipengaruhi oleh
hormon pertumbuhan yang akan
mempengaruhi metabolisme protein,
elektrolit, karbohidrat, dan lemak. Sekresi
hormon pertumbuhan dikontrol oleh
hipotalamus dengan cara mensekresi Growth
Hormone-Releasing Hormone (GHRH) dan
Growth Hormone-Inhibiting Hormone (GHIH)
ke dalam darah yang akan mempengaruhi
sel-sel tubuh dalam memproduksi hormon
Struktur Tulang Belakang Fetus ... / 14
pertumbuhan. Pertambahan panjang badan
fetus yang diberi perlakuan tersebut diduga
karena kerja hipotalamus dalam mensekresi
GHRH dan GHIH terganggu oleh adanya
alkaloid, flavonoid, dan saponin dalam
ekstrak rimpang teki yang merupakan
xenobiont (zat asing dalam tubuh)
(Widyastuti dll., 2006).
2. Tulang Belakang FetusPengamatan terhadap tulang belakang fetus
dilakukan secara visual dengan memban-
dingkan tulang belakang fetus kontrol
dengan fetus yang diberi perlakuan. Pada
fetus normal (kontrol) terdapat 7 tulang
servik, 13 tulang thorak, 6 tulang lumbalis, 6
tulang sakral, dan 2 atau 3 tulang kaudal
(Sukandar dll., 2008). Setelah dibandingkan
dengan fetus normal, pada fetus yang diberi
perlakuan tidak ditemukan adanya kelainan
pada tulang belakang fetus pada tingkatan
dosis.
Terdapat 3 cara untuk mengetahui pertum-
buhan dan perkembangan skeleton, yaitu
jumlah komponen skeleton dan tingkat
osifikasinya (sempurna atau tidaknya proses
osifikasi), dan ada atau tidaknya kelainan
dalam pembentukan skeleton. Berdasarkan
hasil pengamatan pada penelitian ini
menunjukan bahwa tidak terdapat kelainan
pada struktur tulang belakang fetus mencit
setelah diberi perlakuan ekstrak rimpang teki.
Hal ini diduga karena di dalam ekstrak
rimpang teki mengandung kalsium sebanyak
(16,40 ± 0,32) mg/100 g. Menurut Dewoto
(2007), nutrisi yang paling penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tulang
adalah kalsium. Kalsium memegang dua
peranan fisiologis penting di dalam tubuh. Di
dalam tulang, garam-garam kalsium
berperan pada proses kalsifikasi, sehingga
tulang menjadi keras. Pengerasan tulang
berfungsi untuk menopang berat badan.
Sedangkan di dalam cairan ekstraseluler dan
sitosol, kalsium berperan pada berbagai
proses biokimia tubuh dalam bentuk ion-ion
kalsium (Setiyohadi, 2009).
Tidak terjadinya kelainan struktur tulang
belakang pada fetus setelah diberi perlakuan
ekstrak rimpang teki juga disebabkan oleh
fetus yang sedang tumbuh mengambil
prioritas dari banyaknya jenis nutrisi dalam
cairan induk sehingga tulang fetus dapat
terus tumbuh dan berkembang. Hal ini
berhubungan dengan fungsi plasenta
sebagai tempat penyimpanan nutrisi bagi
fetus. Plasenta menyimpan sejumlah besar
nutrisi seperti kalsium, besi, protein, dan
glukosa yang digunakan untuk pertumbuhan
fetus. Selain plasenta, sebagian kalsium
juga disimpan dalam tubuh induk seperti
pada gigi dan tulang. Apabila kebutuhan
kalsium fetus berkurang maka simpanan
kalsium pada tulang dan gigi inilah yang akan
dimobilisasi untuk osifikasi tulang pada fetus
(Guyton, 1990).
15 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Etika Julitasari
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil
kesimpulan bahwa pemberian ekstrak rimpang
teki pada mencit hamil memberikan pengaruh
menurunkan berat badan fetus dan menambah
panjang fetus mencit. Namun, tidak menyebab-
kan kelainan pada struktur tulang belakang fetus
mencit.
SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
zat atau kandungan spesifik dalam ekstrak
rimpang teki yang dapat menyebabkan efek
teratogen terhadap fetus mencit.
DAFTAR PUSTAKADalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia Jilid 6. Pustaka Bunda. Jakarta.p 157
Dewoto, H.R. 2007. Farmakologi dan Terapi:Vitamin dan Mineral Edisi 5. Balai PenerbitFK UI. Jakarta.
Guyton, A.C. 1990. Fisiologi Kedokteran.Terjemahan Dharrna, A., dan P.,Lukmanto. EGC. Jakarta.
Lawal, O.A. dan Adebola, O.O. 2009. ChemicalComposition of The Essential Oils ofCyperus rotundus L. from South Africa.Journal Molecules. 14 (150). pp 2909-2917.
Manson, J.M., Zenick, H., and Costlow, R.D.1982. Teratology Test Method forLaboratory Animals. Ravent Press. NewYork.
Muna, L., Astirin, O.P., dan Sugiyarto. 2011. UjiTeratogenik Ekstrak Pandanus conoideusvarietas buah kuning TerhadapPerkembangan Embrio Tikus Putih(Rattus norvegicus). NusantaraBioscience. 2. pp 126-134.
Rugh, R. 1968. The Mouse : Its Reproductionand Development. New York. BurgerPublishing Company. p 20
Setiyohadi, B. 2009. Peran Kalsium dan VitaminD Pada Metabolisme Tulang. SubbagianReumatologi, Bagian Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSCM. Jakarta.
Setyawati, I. 2009. Penampilan Reproduksi DanPerkembangan Skeleton Fetus MencitSetelah Pemberian Ekstrak Buah NanasMuda. Jurnal Veteriner. 12 (3). pp 192-199.
Siburian, J. dan Marlinza, R. 2009. EfekPemberian Ekstrak Akar Pasak Bumi(Eurycoma Longifolia Jack) Pada TahapPrakopulasi Terhadap Fertilitas Mencit(Mus Musculus L.) Betina. Biospesies. 2(2). pp 24-30.
Silvia, G.A. 2011. Pengaruh PemberianSuspensi Sari Akar Manis TerhadapPerkembangan Janin Pada MencitBunting. (Skripsi). FMIPA UniversitasIndonesia. Jakarta. p 14-15.
Subhuti, D. 2005. Cyperus Primary OilRegulating Herb of Chinese Medicine.Institute For Traditional Medicine. OregonPortland. p 2.
Sukandar, E.Y., Fidrianny, I., dan Garmana,A.N. 2008. Pengaruh Kombinasi EkstrakUmbi Lapis Bawang Putih dan EkstrakRimpang Kunyit Tehadap Janin MencitSwiss-Webster. JKM. 8(1). pp 36-44.
Suryawati, S. 1990. Pemakaian Obat PadaKehamilan. Laboratorium FarmakologiKlinik Fakultas Kedokteran UniversitasGadjah Mada. Yogyakarta.
Struktur Tulang Belakang Fetus ... / 16
Widyastuti, N., Widiyani, T., dan Listyawati, S.2006. Efek Teratogenik Ekstrak BuahMahkota Dewa (Phaleria macrocarpa(Scheff.) Boerl.) pada Tikus Putih (Rattusnorvegicus L.) Galur Winstar.Bioteknologi. 3 (2). pp 56-62.
Wilson, J.G. 1973. Environment and BirthDefects. Academic Press. New York. pp.6-8.
Wilson, J.G. and Warkany, J. 1965. Teratology -Principles and Techniques. University ofChicago Press. Chicago and London. p16-18.
Winarno, W.M. dan Sundari, M. 1997. InformasiTanaman Obat Untuk KontrasepsiTradisional. Pusat Penelitian DanPengembangan Farmasi. BadanPenelitian Dan Pengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan RI. Jakarta.
17 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Faizatin Nadya Roza
EFEK TERATOGENIK EKSTRAK RIMPANG RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus L.)TERHADAP JUMLAH FETUS, PANJANG EKSTREMITAS DEPAN DAN BELAKANG,
SERTA MALFORMASI FETUS MENCIT (Mus musculus L.)
TERRATOGENITY EFFECT OF RHIZOME NUTGRASS (Cyperus rotundus L.) EXTRACTTOWARD FETUS NUMBER, ANTERIOR-POSTERIOR EXTREMITIES’ LENGTH, AND
MALFORMATION OF MICE FETUS (Mus musculus L.)
Faizatin Nadya Roza1*, Nuning Nurcahyani1, Hendri Busman1
1Jurusan Biologi, FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Rumput teki (C. rotundus) mengandung senyawa yang zat-zat aktif yang dapat mempengaruhi proseshormonal jika digunakan secara langsung sehingga dapat memberikan efek samping khususnya jikadikonsumsi oleh wanita hamil. Pada periode organogenesis, embrio sangat sensitif terhadap masuknyasuatu zat ke dalam tubuhnya. Penelitian yang dilakukan pada 23 Desember 2015 hingga 22 Januari 2016di Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Lampung bertujuan untukmengetahui pengaruh teratogenik dari ekstrak rimpang rumput teki terhadap jumlah fetus, pertumbuhanpanjang ekstremitas depan dan belakang, serta malformasi (kecacatan) fetus mencit (M. musculus L.)secara anatomi. Dua puluh mencit betina dibagi menjadi 4 kelompok. Ekstrak diberikan secara oral padatiga kelompok perlakuan dengan dosis 45 mg/40 gBB (B); 90 mg/40 gBB (C); dan 135 mg/gBB (D),dalam 0,4 mL aquabides sedangkan satu kelompok tanpa ekstrak (A) sebagai kontrol. Perlakuandiberikan pada hari ke-6 samapai ke-13 kehamilan (periode organogenesis). Hasil menunjukkan bahwapemberian ekstrak rimpang rumput teki tidak mengurangi jumlah fetus yang dikandung namunmenyebabkan kematian pada beberapa fetus. Selain itu, ekstrak rimpang rumput teki tidak menghambatpertumbuhan panjang ekstremitas depan fetus tetapi menghambat pertumbuhan panjang ekstremitasbelakang fetus secara signifikan terhadap kontrol. Pemberian ekstrak rimpang rumput teki menyebabkanperbedaan panjang antara ukuran ekstremitas depan dan belakang kanan dibanding bagian kirinya sertamenyebabkan malformasi fetus dan salah satu induk mencit mati akibat pemberian ekstrak.
Kata Kunci: rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L.), ekstremitas depan dan belakang,malformasi, mencit (Mus musculus L.)
ABSTRACT
Nutgrass contain compounds active substances that can affect hormonal processes if used directly sothat it may give side effects, especially if taken by pregnant women. In the period of organogenesis, theembryo is very sensitive to the inclusion of a substance into their body. This research has beenconducted from December 23rd, 2015 until January 22nd, 2016 in Zoology Laboratory and OrganicChemistry Laboratory Lampung University. It was done to examine the teratogenic effect from rhizomenutgrass (C. rotundus L.) toward fetus number, the growth of anterior and posterior extremities length,and other malformation of mice fetus (M. musculus L.) anatomically. Twenty female mice were randomlydivided into four groups. The extract was given orally to three treatment groups with dosage 45mg/40gBW (B); 90 mg/40grBW (C); and 135 mg/40grBW (D) in 0.4 ml aquabidest whereas one groupwithout extract as control. Treatment was given from day 6 to day 13 of gestation (organogenesis period).The results showed that giving rhizome nutgrass extract didn’t deduct the fetus number which gestatedbut caused the mortality to several fetuses. In addition, rhizome nutgrass extract didn’t obstruct thegrowth of anterior extremities fetus length but obstruct the growth of posterior extremities fetus lengthmarked by significant difference toward control groups. Giving rhizome nutgrass extract caused theanterior and posterior extremities have length differences between its right and its left as caused asmalformation existences to fetus and one of mice mother died because of giving extract.
Keyword: rhizome nutgrass extract (Cyperus rotundus L.), anterior-posterior extremities,malformation, mice.
PENDAHULUANIndonesia merupakan negara tropis yang
banyak ditumbuhi tanaman sebagai
sumber bahan obat. Masyarakat Indonesia
sudah menggunakan sumber bahan obat
dari alam sebagai obat tradisional dari
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 17-26ISSN : 2338-4344
Efek Teratogenik Ekstrak Rimpang ... / 18
nenek moyang secara turun- temurun
(Agusta, 2001). Rumput teki merupakan
herba menahun yang tumbuh liar dan
kurang mendapat perhatian, padahal
tanaman ini merupakan tanaman yang
dapat dilihat di berbagai tempat. Ciri khas
dari tanaman ini adalah memiliki rimpang
yang ternyata memiliki banyak manfaat.
Menurut Murnah (1995), rimpang rumput
teki ini mengandung komponen-komponen
kimia antara lain minyak atsiri, alkaloid,
flavonoid, polifenol, resin, amilum tanin,
triterpen dan seskuiterpen. Tanaman
tersebut merupakan tanaman yang banyak
digunakan sebagai obat gangguan
menstruasi yang memberikan pengaruh
terhadap siklus haid. Bila ditinjau dari zat-
zat aktif yang terdapat pada tanaman
tersebut, bila digunakan sebagai obat
peluruh haid dan kontrasepsi secara
langsung dapat mempengaruhi proses
hormonal sehingga dapat memberikan
efek samping apabila dikonsumsi oleh
wanita hamil. Pada periode
organogenesis, embrio sangat sensitif
terhadap masuknya suatu zat ke dalam
tubuhnya. Ekstremitas depan dan
belakang mencit hampir mirip dengan
manusia. Perlunya dilakukan pengamatan
terhadap ekstremitas dikarenakan pada
saat periode organogenesis, ekstremitas
depan merupakan organ luar yang
pertama kali terbentuk. Sedangkan
pengamatan pada ekstremitas belakang
dilakukan sebagai perbandingan terhadap
ekstremitas depan. Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh
teratogenik dari ekstrak rimpang rumput
teki (Cyperus rotundus L.) terhadap
pertumbuhan panjang ekstremitas depan
dan belakang fetus mencit (Mus musculus
L.) secara anatomi.
BAHAN DAN METODEPenelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Kimia Organik, Jurusan Kimia FMIPA Unila
untuk pembuatan eksrtak rimpang teki dan
Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi
FMIPA Unila untuk tempat pemberian
perlakuan pada mencit dan pengamatann
pada 23 Desember 2015 hingga 22
Januari 2016.
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kandang mencit yang
berukuran 50x30 cm, tempat makan dan
minum mencit sebanyak 20 unit,
seperangkat alat bedah, sondae lambung,
kertas label, kertas millimeter blok, jangka
sorong, mikrometer sekrup, 20 ekor mencit
betina dan jantan yang berumur 3-4 bulan
dengan berat sekitar 40 gram, alkohol
96%, kapas, kloroform, makanan mencit,
aquabidest, aquadest, air dan ekstrak
rimpang rumput teki.
Persiapan Kandang dan Hewan UjiHewan uji diaklimatisasi selama 10 hari
dalam kondisi laboratorium Di dalam
kandang yang telah disiapkan,
ditempatkan satu ekor mencit jantan dan
satu ekor mencit betina serta diberi makan
dan air minum secukupnya setiap hari.
Pembuatan Ekstrak Rimpang RumputTekiRimpang rumput teki yang telah diperoleh
dibersihkan dan dijemur hingga kering; lalu
19 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Faizatin Nadya Roza
digiling hingga menjadi serbuk. Serbuk
tersebut dibuat ekstrak dengan pelarut
ethanol dengan cara soklet. Ekstrak
dipekatkan menggunakan rotary
evaporator dengan suhu 35 oC dan
kecepatan 60 rpm selama 1 jam (Busman,
2013).
Pemberian PerlakuanDua puluh ekor mencit betina yang hamil
dibagi dalam empat kelompok yakni satu
kelompok sebagai kontrol dan tiga
kelompok lainnya adalah kelompok yang
diberi perlakuan. Masing-masing kelompok
terdiri dari lima ekor mencit sebagai
pengulangan.Pemberian ekstrak rimpang
rumput teki pada penelitian ini dilakukan
secara oral dengan menggunakan sondae
lambung untuk mempermudah masuknya
ekstrak ke dalam tubuh mencit betina yang
hamil melalui saluran pencernaan
sehingga ekstrak cepat masuk ke dalam
embrio melalui tali plasenta sehingga
persen pemberian ekstrak digunakan
adalah 1%. Dosis yang diberikan kepada
setiap mencit betina yang hamil adalah
terdiri dari empat kelompok dimana satu
kelompok kontrol diperlakukan dengan
diberi 0.4 ml aquabides (A), dan tiga
kelompok perlakuan diberikan dosis 45
mg/40 gBB (B), 90 mg/40 gBB (C), dan
135 mg/40 gBB (D) dalam 0,4 ml
aquabides.
LaparaktomiPada hari ke-18 kehamilan, semua mencit
betina yang hamil dimasukkan ke dalam
desikator. Laparaktomi dilakukan untuk
mengeluarkan fetus dengan cara
membedah pada bagian abdomen ke arah
atas sampai terlihat uterus yang berisi
fetus. Fetus kemudian dikeluarkan dengan
memotong uterus dan plasenta untuk
selanjutnya diamati. Fetus dari masing-
masing mencit dikeringkan dengan tissue
dan dihitung jumlah yang hidup dan mati,
serta diamati ada atau tidaknya kelainan
secara visual (Wilson dan Warkany (1975)
dalam Setyawati, 2009).
Fiksasi dan Pengamatan StrukturAnatomiSetelah diamati ada atau tidaknya
malformasi pada fetus mencit, dilakukan
pengamatan struktur anatomi pada
penelitian ini adalah dengan melihat dan
mengukur panjang penulangan
ekstremitas depan dan belakang fetus.
Pengukuran panjang dilakukan dengan
menggunakan kertas millimeter block dan
alat ukur berupa mikrometer sekrup untuk
mempertajam ketelitian ukuran panjang.
Analisis DataData yang diperoleh terdiri dari panjang
ekstremitas depan dan belakang yang
dianalisis secara statistik dengan
menggunakan ANOVA (analysis of variant)
dan diuji lanjut dengan menggunakan uji
BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf uji α
= 5%. Data jumlah fetus dan malformasi
yang ditemukan dianalisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan hasil penelitian, data yang
diperoleh terdiri dari jumlah fetus tiap
Efek Teratogenik Ekstrak Rimpang ... / 20
kelompok, panjang ekstremitas depan dan
belakang fetus mencit baik kanan dan
kirinya, serta malformasi fetus.
Jumlah Fetus MencitTabel 1. Jumlah fetus mencit dari indukyang diinduksi ekstrak rimpang rumput teki
No. KelompokPerlakuan
JumlahInduk(Ekor)
Jumlah Fetus(Ekor)
Hidup Mati1 A 5 25 -2 B 5 24 -3 C 5 33 54 D 4 19 -
Ket.: rata-rata setiap induk melahirkan 49 ekoranak mencit. A: kontrol; B: dosis 45 mg;C: dosis 90 mg; D: dosis 135 mg.
Mangkoewidjojo dan Smith (1988)
menyatakan bahwa rerata jumlah anak
mencit yang lahir adalah 6 ekor, meskipun
mencit dapat melahirkan 15 ekor per
kelahiran. Pada penelitian ini, tanpa
membedakan kelompok perlakuan dan
kontrol, rata-rata tiap induk mencit
melahirkan 4-9 ekor anak. Ini sesuai
dengan pernyataan Mangkoewidjojo dan
Smith (1988) menyatakan bahwa rata-rata
jumlah anak yang dilahirkan induk mencit
adalah 6 ekor.
Besarnya jumlah anak yang dilahirkan
dipengaruhi oleh jenis hewan, umur induk,
musim kelahiran, makanan, faktor
persilangan genetik dan kondisi
lingkungan. Faktor lingkungan yang
sangat mempengaruhi jumlah kelahiran
antara lain kualitas dan kuantitas pakan
yang diberikan pada induk, musim kawin,
jumlah sel telur yang dihasilkan serta
tingkat kematian embrio yang sangat
berpengaruh terhadap jumlah anak yang
dilahirkan (Somala, 2006). Apabila hewan
kekurangan zat makanan pada saat
kehamilan, maka pengambilan zat
makanan oleh embrio yang sedang
tumbuh akan merusak badannya.
Kematian fetus dalam uterus atau
kelahiran anak yang lemah dapat terjadi.
Jumlah fetus hidup menurun dengan
meningkatnya dosis ekstrak yang
diberikan. Kematian fetus tidak terjadi
pada setiap induk karena kemampuan
yang berbeda dari masing-masing induk
dalam memetabolisir ekstrak rimpang
rumput teki (Setyawati, 2009). Diduga
fetus yang mati sejak dalam kandungan
belum selesai mengalami perkembangan
sehingga memiliki ukuran lebih kecil
dibanding fetus yang lahir dalam keadaan
hidup. Selain ukurannya yang lebih kecil
dibandigkan dengan fetus yang hidup,
kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang menjadi semakin lemah
karena tingginya dosis ekstrak rimpang
rumput teki yang diberikan. Akibat dari
tingginya dosis ekstrak rimpang rumput
teki yang diberikan, terdapat terdapat 1
ekor induk yang mati sebelum saat
kelahiran atau pembedahan pada
kelompok dosis 135 mg/0.4 ml aquabidest.
21 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Faizatin Nadya Roza
Ekstremitas Depan Fetus MencitTabel 2. Rata-rata panjang ekstremitas depan fetus mencit
No. KelompokPerlakuan
Panjang Ekstremitas Depan Fetus MencitKanan Kiri
1 A 3.4550 ± 0.37599 a 3.4550 ± 0.37599 a
2 B 3.4975 ± 0.35132 a 3.4525 ± 0.45434 a
3 C 3.2175 ± 0.44192 a 3.3575 ± 0.48849 a
4 D 3.5900 ± 0.18129 a 3.4456 ± 0.15650 a
Ket.: A: kontrol; B: dosis 45 mg; C: dosis 90 mg; D: dosis 135 mg.
Gambar 1. Rata-rata panjang ekstremitas depan fetus mencit
Berdasarkan hasil pengamatan,
pemberian ekstrak rimpang rumput teki
tidak memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan panjang ekstremitas depan
fetus mencit. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 2 dimana rata – rata panjang
ekstremitas depan fetus pada tiap
kelompok perlakuan (B, C, dan D) tidak
memberikan hasil berupa perbedaan yang
signifikan terhadap kelompok yang tidak
diberikan perlakuan atau kelompok kontrol
(A).
Akan tetapi, terdapat perbedaan ukuran
panjang antara ekstremitas depan sebelah
kanan dan panjang ekstremitas sebelah
kiri pada tiap kelompok perlakuan (B, C,
dan D). Hal ini membuktikan bahwa
pemberian ekstrak rimpang rumput teki
memberikan pengaruh teratogenik
terhadap panjang ekstremitas depan
karena ekstrak rimpang rumput teki secara
nyata mempengaruhi perkembangan fetus
dan menimbulkan efek yang berubah-ubah
mulai dari kematian sampai kelainan
bentuk (malformasi) dan hambatan
pertumbuhan (Young, 2001).
Selain itu, pada pemberian dosis 90
mg/0.4 ml akubiades (kelompok perlakuan
C), ekstremitas depan fetus mencit
mengalami pengurangan ukuran panjang
apabila dibandingkan dengan kelompok
kontrol (Gambar 1).
Efek Teratogenik Ekstrak Rimpang ... / 22
Ekstremitas Belakang Fetus MencitTabel 3. Rata-rata panjang ekstremitas belakang fetus mencit
No. Kelompok Perlakuan Panjang Ekstremitas Belakang Fetus MencitKanan Kiri
1 A (Kontrol) 4.2600 ± 0.30670 a 4.2600 ± 0.30670 a
2 B (Dosis 45 mg) 3.4150 ± 0.13178 b 3.4400 ± 0.22672 b
3 C (Dosis 90 mg) 3.5425 ± 0.20353 bc 3.5875 ± 0.17933 bc
4 D (Dosis 135 mg) 3.5150 ± 0.40249 bd 3.7033 ± 0.12897 bd
Ket : perbedaan huruf superskrip pada tabel menunjukkan adanya perbedaan nyata yang signifikan padatiap perlakuan setelah dilakukan uji BNT.
Gambar 2. Rata-rata panjang ekstremitas belakang fetus mencit.
Pada Tabel 3, kelompok perlakuan yang
diberi ekstrak rimpang rumput teki (B, C,
dan D) menunjukkan perbedaan yang
signifikan terhadap kelompok kontrol (A).
Setelah dilakukan uji lanjut, semua
kelompok perlakuan menunjukkan hasil
yang berbeda nyata dengan kelompok
kontrol. Namun antar tiap kelompok
perlakuan tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata. Selain itu, panjang antara
ekstremitas belakang sebelah kanan dan
ekstremitas ekstremitas sebelah kiri pada
tiap kelompok perlakuan (B, C, dan D)
berbeda-beda bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang memiliki panjang
ekstremitas yang sama antara kanan dan
kirinya. Oleh karena itu, pemberian ekstrak
rimpang rumput teki memberikan
pengaruh teratogenic terhadap ekstremitas
belakang berupa penurunan pertumbuhan
panjang dan perbedaan ukuran
ekstremitas belakang kanan dan kiri fetus
mencit.
Hambatan pertumbuhan dan
perkembangan tulang yang terjadi dalam
penelitian ini dimungkinkan berkaitan
dengan adanya hambatan mitosis pada
sel-sel yang berperan dalam osteogenesis,
yaitu kondrosit dan osteoblas. Hambatan
terjadi melalui mekanisme cAMP yang
mengontrol mitosis. Pozner (1986)
menyatakan bahwa pertumbuhan sel
berhubungan dengan konsentrasi cAMP.
Adanya reduksi konsentrasi cAMP
biasanya diikuti dengan meningkatnya
aktivitas pertumbuhan, sebaliknya
peningkatan konsentrasi cAMP di dalam
sel dan jaringan akan menurunkan tingkat
pertumbuhan sel, dan pada peningkatan
konsentrasi cAMP yang tinggi dapat
menyebabkan hambatan akselerasi
23 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Faizatin Nadya Roza
pertumbuhan. Kenyataan ini terjadi karena
rimpang rumput teki yang diberikan ke
induk mencit melalui oral mampu melewati
tali plasenta dan masuk ke dalam cairan
intraseluler (Sawynok dan Yaksh (1993)
dalam Santoso, 2006).
Menurut Robbinson (1995), senyawa
flavonoid yang terkandung dalam rimpang
rumput teki dapat menghambat aktivitas
enzim fosfodiesterase yang menghidrolisis
cAMP, sehingga mengakibatkan
peningkatan konsentrasi cAMP dalam sel
dan jaringan fetus (Santoso, 2004).
Malformasi Pada Fetus MencitPada
penelitian ini, ditemukan beberapa fetus
yang mati pada saat sebelum kelahiran.
Fetus mati tersebut ditemukan pada induk
mencit yang diberikan ekstrak pada dosis
90 mg/0.4 ml akuades (kelompok C).
Fetus mati ini kemungkinan disebabkan
kematian sel-sel pada tahap akhir
proliferasi sehingga hanya sebagian sel
yang dapat diperbaiki dan pada saat
pembedahan proses resorbsi oleh induk
belum sempurna sehingga biasanya fetus
yang mati ditemukan dalam keadaan
cacat. Fetus yang hidup mempunyai daya
tahan paling tinggi terhadap zat asing yang
masuk. Fetus ini mampu mengadakan
perbaikan kembali sel-sel yang rusak atau
mati dengan sel yang baru sehingga
memungkinkan fetus untuk bertahan
hidup. Kematian intrauterus seperti
resorbsi dan fetus mati kemungkinan
dapat pula disebabkan oleh adanya
kontraksi otot uterus selama masa
organogenesis akibat pemberian ekstrak
rimpang rumput teki (Sumastuti, 2004).
(a) (b)Gambar 3. Perbandingan gambar fetus yang
hidup dan mati. Keterangan : A.Fetusyang lahir hidup, B. Fetus yang lahirmati dan mengalami hemoragi padabagian kepala (yang ditunjuk anakpanah)
Pada salah satu fetus yang mati sebelum
kelahiran atau pada saat pembedahan
dilakukan, ditemukan adanya salah satu
fetus yang mengalami kelainan berupa
hemoragi. Menurut Price dan Wilson 1984,
Hemoragi merupakan keluarnya darah dari
sistem kardiovaskuler, disertai
penimbunan dalam ruangan atau jaringan
tubuh (Setyawati, 2009).
Kelainan berupa hemoragi kemungkinan
terjadi karena ekstrak rimpang rumput teki
diberikan berulangkali pada dosis cukup
tinggi hingga konsentrasinya tinggi dalam
darah sehingga terjadi ketidakseimbangan
osmotik. Dosis tertinggi pada penelitian ini
adalah 135 mg/0.4 ml akuabides
(kelompok D). Adanya penyebab
pemberian dosis tinggi ini juga
menyebakan salah satu induk mencit
sebelum saat pembedahan atau saat
kelahiran.
Efek Teratogenik Ekstrak Rimpang ... / 24
Pada keadaan normal, embrio
berkembang dalam cairan amnion yang
isotonis dengan cairan tubuh. Menurut
Wilson (1975), zat asing dalam jaringan
dapat mengubah tekanan osmosis.
Ketidakseimbangan osmotik dapat
disebabkan gangguan tekanan dan
viskositas cairan pada bagian embrio yang
berbeda, antara plasma darah dan ruang
ekstra-kapiler. Perbedaan ini
menyebabkan pembuluh darah pecah dan
terjadi hemoragi (Setyawati, 2009).
Kecacatan visual lainnya adalah adanya
fetus mengalami pembentukan kepala
yang tidak sempurna dan ekor yang
mebengkok apabila diandingkan dengan
kontrol (Gambar 2).
Gambar 4. Perbandingan kecacatan fetus.Keterangan : A. Fetus yangmengalami kecacatan (bentukkepala tidak sempurna dan ekorbengkok), B. Fetus normal
Senyawa aktif seperti alkaloid dan saponin
yang terkandung di dalam ekstrak rimpang
rumput teki dimungkinkan dapat memacu
kontraksi otot polos uterus (Sa’roni dan
Wahyoedi, 2002). Adanya tekanan
mekanik berupa kontraksi otot polos uterus
tersebut pada masa kehamilan dapat
menyebabkan gangguan pada janin dan
juga dapat mengubah arah pertumbuhan
tulang (Ritter, 1977).
Individu yang mengalami malformasi
(kecacatan) umumnya lebih kecil
dibandingkan individu normal. Oleh
karena itu, sebelum menyatakan adanya
abnormalitas pada suatu individu maka
berat hewan yang diuji harus dibandingkan
dulu dengan kontrol untuk memastikan
bahwa hambatan pertumbuhan suatu
organ merefleksikan hambatan
pertumbuhan secara umum. Beberapa
agen teratogen juga dapat mengakibatkan
kelainan visceral maupun skeletal tanpa
menunjukkan adanya kelainan morfologi
eksternal (Santoso, 2006).
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah pemberian ekstrak
rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L.)
tidak mengurangi jumlah fetus yang
dikandung namun menyebabkan kematian
pada beberapa fetus yang dilahirkan oleh
induk mencit (Mus musculus L.). Selain itu,
ekstrak rimpang rumput teki tidak
menghambat pertumbuhan panjang
ekstremitas depan fetus mencit namun
menghambat pertumbuhan panjang
ekstremitas belakang fetus mencit (Mus
musculus L.) ditandai dengan adanya
perbedaan nyata yang signifikan terhadap
kontrol. Ekstrak rimpang rumput teki juga
menyebabkan perbedaan ukuran panjang
antara kanan dan kiri pada ekstremitas
depan dan belakang serta menyebabkan
adanya malformasi pada fetus dan salah
25 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Faizatin Nadya Roza
satu induk mencit mati akibat pemberian
ekstrak.
Saran yang dapat diberikan dari penelitian
ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang senyawa – senyawa pada
ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus
rotundus L.) yang sekiranya berpengaruh
besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan fetus mencit (Mus
musculus L.) dan mengkaji ulang
mengenai dosis pemberian ekstrak
rimpang rumput teki sehingga dapat
menentukan dosis yang sangat
berpengaruh terhadap terhadap
pertumbuhan dan perkembangan fetus
mencit (Mus musculus L.)
DAFTAR PUSTAKAAgusta, A. 2001. Awas! Bahaya
Tumbuhan Obat. [internet].(diunduh pada 19 Maret 2016).Tersedia pada :http://www.indomedia.com/
Busman, H. 2013. Histologi Ulas Vaginadan Waktu Siklus Estrus MasaSubur Mencit Betina SetelahPemberian Ekstrak RimpangRumput Teki. ProsidingSemirata FMIPA UniversitasLampung.
Mangkoewidjojo dan Smith. 1988.Pemeliharaan, Pembiakan, danPenggunaan Hewan Percobaandi Daerah Tropis. UI Press.Jakarta
Murnah. 1995. Pemeriksaan Kualitatif danKuantitatif Minyak Atsiri DanTannin Dalam Umbi Teki. JurnalKedokteran Diponegoro. 30(3,4). 234-238.
Pozner, J.A.B., A.E. Papatestas, R.Fagerstrom, I. Schwartz, J.
Saevitz, M Feinberg, A.H.Anfsea. 1986. Association oftumor differentiation with caffeinin intake in woman with breastcancer.Surgery. 100(3). 482-486.
Price, S.A., and L.M. Wilson. 1984.Patofisiologi, CV EGC, Jakarta,hal.468.
Robbinson, T. 1995. The Basic of HigherPlants. 6th Edition. Terjemahan.
Ritter, E.J. 1977. Altered biosynthesys In:Wilson, J.G. and F.C. Fraser(eds.) Hand Book of Teratology.Vol.2. New York:Plenum Press.
Sa‘roni dan Wahyoedi. 2002. PengaruhInfuse Rimpang Cyperusrotundus L. Terhadap SiklusEstrus dan Bobot Uterus PadaTikus Putih. Jurnal Bahan AlamIndonesia. Jakarta. Hlm 45-47.
Santoso, H.B. 2004. Kelainan StrukturAnatomi Skeleton Fetus MencitAkibat Kafein. JurnalBioscientiae. 1 (2):23-30.
Santoso, H.B. 2006. Pengaruh Kafeinterhadap PenampilanReproduksi dan PerkembanganSkeleton Fetus Mencit (Musmusculus L). Jurnal Biologi. X:39-48.
Sawynok, J. dan Yaksh, T.L. 1993.Caffeine as an analgesicadjuvant : A review ofpharmacology & mechanism ofaction. PharmacologicalReviews 45 1: 4546.
Setyawati, I. 2009. Morfologi Fetus Mencit(Mus musculus L.) SetelahPemberian Ekstrak DaunSambiloto (Andrographispaniculata Nees). Jurnal Biologi.XIII (2) : 41-44
Somala, L. 2006. Sifat Reproduksi Mencit(Mus musculus) Betina yangMendapat Pakan TambahanKemangi (Ocimum basilicum)Kering. Skripsi. Program StudiTeknologi Produksi Ternak
Efek Teratogenik Ekstrak Rimpang ... / 26
Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor
Sumastuti, R. 2004. Pengaruh Infus Daundan Buah Makuta Dewa PadaRahim Marmot. Medika 30(1).16-23.
Toelihere, M. R. 1979. FisiologiReproduksi pada Ternak.Penerbit Angkasa, Bandung.
Wilson, J.G. and J. Warkany. 1975.Teratology Principles andTechniques. University ofChicago Press. Chicago IL.
Young, V. S. L. 2001. “Teratogenicity andDrugs in Breast Milk”. In:KodaKimble, Anne, M.; andBing, M. 2001. AppliedTherapeutics: the Clinical Useof Drugs. Lippincott Williamsand Wilkins.
27 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Puty Orlando Arismedi
STRUKTUR HISTOLOGI KARTILAGO EPIFISIALIS FETUS MENCIT (Mus musculusL.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK METANOL RIMPANG TEKI (Cyperus
rotundus L.)
HISTOLOGYCAL STRUCTURE OF FETUS MICE (Mus musculus L.) EPIPHYSEALCARTILAGE TREATED BY Cyperus rotundus L. RHIZOME METHANOL EXTRACT
Puty Orlando Arismedi1*, Nuning Nurcahyani1, Hendri Busman1
1Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Rimpang teki (Cyperus rotundus L.) mengandung senyawa saponin, sineol, pinen, siperon, rotunol,siperenon, tanin, siperol, alkaloid, flavonoid, tanin, pati, glikosida dan furochromones, sertaseskuiterpenoid. Dengan hadirnya senyawa ini diperlukan untuk menguji efek samping penggunaannyapada janin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian ekstrak rimpang rumput tekiterhadap kelainan struktur histologi tunas anggota depan fetus mencit (Mus musculus L) yang diberikanpada masa prenatal. Dosis ekstrak rimpang rumput teki yaitu: 45 mg/40g BB dalam 0,4 ml aquabides(P2), 90 mg/40g BB dalam 0,4 ml aquabides (P3), 135 mg/40g BB dalam 0,4 ml aquabides (P4), dan 0,4ml aquabides (K) sebagai kontrol. Parameter yang diamati mencakup zona cadangan kondrosit, zonaproliferasi, zona maturasi, dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi. Data dianalisis dengananalisis ragam dan diuji lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa peningkatan perlakuan dosis ekstrak rimpang rumput teki memberikan pengaruhnyata terhadap penurunan ketebalan zona cadangan kondrosit, zona proliferasi, dan zona maturasi.Perlakuan dosis 135 mg/40g BB dalam 0,4 ml aquabides (P4) memberikan pengaruh terhadappenurunan ketebalan zona kartilago yang mengalami mineralisasi yaitu dari rerata 563,33µm menjadi481,66µm.
Kata kunci : efek teratogen, Cyperus rotundus L., mencit (Mus musculus L.), dan tunas anggotadepan
ABSTRACT
Rhizome of Cyperus rotundus L. contains of saponin, cineol, pinene, siperon, rotunol, siperenon, tannins,siperol, alkaloids, flavonoids, tannins, starch, glycosides, furochromones, and sesquiterpenoids. With thepresence of these compounds it is necessary to observe the side effects of those on the fetus of mice(Mus musculus L). The purpose of this study to determine the effect of Cyperus rotundus L. rhizomemethanol extract on histologycal structure abnormalities of fetus epiphyseal cartilage treated duringprenatal. The dosage of Cyperus rotundus L. rhizome extract were: 45 mg/40g BB in 0.4 ml aquabidest(P2), 90 mg/40g BB in 0.4 ml aquabidest (P3), 135 mg/40g BB in 0.4 ml aquabidest (P4), and 0.4aquabidest ml (K) as a control. The parameters observed include chondrocytes reserve zone, proliferativezone, maturation zone, and zone of mineralized cartilage. Data were analyzed using Anova and followedwith LSD test with significancy 5%. The results of this study showed that the dose of Cyperus rotundus L.rhizome methanol extract increased significant effect on the reduction in thickness of chondrocytesreserve zone, proliferative zone, and maturation zone. The dose of 135 mg/40g BB in 0.4 ml aquabidest(P4) to decrease the thickness of the mineralized zone of cartilage with of the average 563,33μm be481,66μm.
Key words : teratogenic effects, Cyperus rotundus L., mice (Mus musculus L.), and epiphysealcartilage
PENDAHULUANPemakaian obat tradisional berkembang
dengan baik sebagai salah satu alternatif
untuk menanggulangi masalah kesehatan
(Agusta, 2001). Salah satu tumbuhan obat
yang digunakan oleh masyarakat sebagai
obat tradisional adalah rumput teki
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 27- 33ISSN : 2338-4344
Struktur Histologis Kartilago Epifisialis ... / 28
(Cyperus rotundus L.) yang tergolong famili
Cyperaceae (Sudarnadi et al., 1996).
Rimpang teki berkhasiat menormalkan
siklus haid, melancarkan vital energi yang
tersumbat, tonik pada lever, meredakan
nyeri, penenang, dan antibakteri (Hariana,
2007). Studi fitokimia sebelumnya pada
rimpang teki mengungkapkan adanya
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, pati,
glikosida, furochromones, serta
seskuiterpenoid (Lawal dan Adebola,
2009). Adanya senyawa kimia tersebut
dapat digunakan sebagai bahan
kontrasepsi yang menyebabkan sulit
terjadinya proses kehamilan, namun
apabila terjadi kehamilan maka
kemungkinan embrio akan mengalami
abnormalitas karena mempengaruhi proses
hormonal, reproduksi, serta perkembangan
embrio (Winarno dan Sundari, 1997).
Besarnya potensi yang dimiliki oleh teki
sebagai tumbuhan berkhasiat obat serta
minimnya informasi mengenai efek
samping pemanfaatan, termasuk pema-
kaian pada masa kehamilan memerlukan
adanya suatu uji untuk mengetahui ada
tidaknya efek samping pemakaiannya
terhadap janin oleh induk yang
mengonsumsi. Salah satu metode
pengujian yang dilakukan adalah uji
teratogenik. Suatu teratogen yang bekerja
pada tahap organogenesis akan
menyebabkan embrio mati atau tumbuh
abnormal sesuai tingkatan dosis teratogen
yang diberikan (Yelvita et al., 2014). Tunas
anggota depan merupakan bagian
ekstrimitas yang pertama kali tumbuh,
sehingga dapat diamati adanya kelainan
akibat pemberian suatu zat asing.
Berdasarkan kenyataan diatas, maka
dilakukan penelitian mengenai uji efek
teratogenik ekstrak metanol rimpang teki
terhadap kelainan tunas anggota depan
fetus mencit (Mus musculus L.) yang
ditinjau secara histologi.
METODE PENELITIANWaktu dan TempatPenelitian ini dilaksanakan pada bulan
November 2015 – Februari 2016 bertempat
di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam untuk pemeliharaan
dan pemberian perlakuan. Pembuatan
ekstrak dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Organik Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
sedangkan pembuatan preparat histologi
dilaksanakan di Balai Veteriner regional III
Bandar Lampung.
Alat dan BahanAlat-alat dalam penelitian ini antara lain
kertas label, seperangkat alat bedah,
desikator, spuit yang telah ditumpulkan,
kamera, botol 100 ml yang telah dilubangi
disertai pipa aluminium sebagai tempat
minum mencit, dan kandang mencit yang
terbuat dari kawat dan papan sebanyak 20
unit. Bahan yang digunakan antara lain 20
ekor mencit betina dan jantan berumur 3-4
bulan dengan berat sekitar 40 gram, eter,
alkohol 70%, formalin 10%, kapas, pelet
sebagai makanan mencit, aquabides, air,
dan ekstrak rimpang rumput teki.
29 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Puty Orlando Arismedi
Prosedur PenelitianPersiapan kandang dan hewan ujiKandang disiapkan sebanyak 20 unit dari
bahan kawat berukuran 15x15 mm
kemudian disiapkan hewan uji yaitu mencit
betina dan jantan dengan kondisi fertil yang
berumur 10 minggu dengan berat sekitar
40 gram yang diperoleh dari Balai Veteriner
regional III Bandar Lampung. Hewan uji
kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu.
Di dalam kandang ditempatkan 1 ekor
mencit jantan dan 1 ekor mencit betina.
Setiap hari diberi makanan berupa pelet
dan air minum secukupnya.
Persiapan dan pembuatan ekstrakRimpang teki dibersihkan dengan dicuci,
dijemur hingga kering, kemudian digiling
hingga menjadi serbuk. Serbuk tersebut
dibuat ekstrak dengan cara soklet dengan
pelarut metanol. Lalu ekstrak dipekatkan
dengan rotary evaporator pada suhu 35oC
dengan kecepatan 60 rpm selama 1 jam
(Busman, 2013).
Pemberian perlakuanPada penelitian ini ekstrak rimpang teki
diberikan secara oral. Dosis ekstrak
rimpang teki yang dipakai pada penelitian
ini dihitung berdasarkan pemakaian ekstrak
rimpang teki pada penelitian sebelumnya
yang menggunakan hewan percobaan tikus
putih. Setelah dikonversikan terhadap
mencit, maka pada hari kebuntingan ke 6-
17 mencit diberi perlakuan sebagai berikut:
1. Kelompok kontrol, diperlakukan
dengan diberi 0,4 ml aquabides (K)
2. Kelompok dosis 45 mg/40 g BB dalam
0,4 ml aquabides (P2)
3. Kelompok dosis 90 mg/40 g BB dalam
0,4 ml aquabides (P3)
4. Kelompok dosis 135 mg/40 g BB
dalam 0,4 ml aquabides (P4)
Pada hari ke-18 kebuntingan fetus di
keluarkan dari uterus dengan cara
pembedahan bagian perut. Fetus
dibersihkan dan diambil bagian ekstremitas
posteriornya dengan cara amputasi.
Preparat kemudian difiksasi dengan larutan
formalin 10% selama 2 jam. Sampel tulang
tersebut kemudian dipreparasi dengan
metode parafin, diwarnai dengan
menggunakan pewarnaan Hematoxylin-
Eosin (Balai veteriner, 2014).
PengamatanPengamatan terhadap sediaan penampang
membujur tunas anggota depan mencakup
zona cadangan kondrosit, zona proliferasi,
zona maturasi, dan zona kartilago yang
mengalami mineralisasi. Secara deskriptif
kualitatif, juga diamati struktur sel kondrosit
terhadap ada tidaknya kerusakan sel pada
masing-masing zona.
Rancangan PercobaanRancangan percobaan yang digunakan
pada penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5
pengulangan.
Analisis DataData hasil penelitian berupa rerata tebal
lapisan setiap zona dalam tunas anggota
depan fetus dianalisis menggunakan
analisis ragam (ANARA) dan di uji lanjut
dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada
taraf 5%.
Struktur Histologis Kartilago Epifisialis ... / 30
HASIL DAN PEMBAHASANPengamatan terhadap kartilago epifisialis
fetus dilakukan untuk mengetahui
terjadinya osteogenesis endokondralis
ekstrimitas. Pengamatan meliputi tebal
zona cadangan kondrosit, zona proliferasi,
zona maturasi dan zona kartilago yang
mengalami mineralisasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang teki
mampu menghambat proses osifikasi
kartilago epifisialis fetus yang ditandai
dengan semakin menipisnya zona
cadangan kondrosit, zona proliferasi, dan
zona maturasi. Sedangkan ketebalan pada
zona kartilago yang mengalami
mineralisasi tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (Gambar 4).
Zona cadangan kondrositHasil pengamatan tebal lapisan zona
cadangan kondrosit kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan menunjukkan adanya
kartilago hialin yang terdiri dari kondrosit
yang berbentuk bundar (ovoid). Kondrosit
berada dalam keadaan istirahat dan tidak
mengalami perubahan morfologi (Gambar
5). Hasil pengamatan tebal zona cadangan
kondrosit kartilago epifialis tercantum pada
Gambar 1.
Dari uji lanjut dengan uji BNT antar
kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan didapatkan adanya penurunan
ketebalan zona. Hal ini menunjukkan
bahwa ekstrak rimpang teki mempunyai
efek terhadap pertumbuhan kondrosit pada
zona cadangan kondrosit.
Gambar 1. Rerata ketebalan zona cadangankondrosit kartilago epifisialis fetusmencit dari induk yang diberi ekstrakmetanol rimpang teki selama masaorganogenesis. Keterangan: angkayang diikuti oleh huruf yang samatidak berbeda nyata pada BNTdengan α=5%.
Zona proliferasiHasil pengamatan zona proliferasi
kelompok kontrol menunjukkan adanya
kondrosit yang membelah diri secara
mitosis menjadi banyak, sel-sel pipih dan
saling berdekatan, serta tidak membentuk
deretan kumpulan sel yang sejajar dengan
sumbu panjang tulang (Gambar 5). Pada
zona proliferatif terdapat sel-sel proliferatif
berbentuk sel kolumnar yang mengalami
maturasi seluler (bermitosis). Hasil
pengamatan tebal zona proliferasi kartilago
epifisialis tercantum pada Gambar 2.
Gambar 2. Rerata ketebalan zona proliferasikartilago epifisialis fetus mencit dariinduk yang diberi ekstrak metanolrimpang teki selama masaorganogenesis. Keterangan: angkayang diikuti oleh huruf yang samatidak berbeda nyata pada BNTdengan α=5%.
31 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Puty Orlando Arismedi
Dari hasil uji statistik pada taraf 5%
didapatkan adanya perbedaan yang nyata
pada kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan. Dari uji lanjut dengan uji BNT
antar kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata pada kelompok dosis 90 mg/40g BB
dan 135 mg/40g BB. Hal ini menunjukkan
bahwa pada kelompok perlakuan terjadi
gangguan pada zona proliferatif. Diduga
hal ini disebabkan oleh ekstrak rimpang
teki yang berinteraksi pada proses
pembelahan sel dengan menghambat
kecepatan mitosis, sehingga terjadi
hambatan proliferasi sel. Menurut Bennet,
Proffit, dan Norton (1967), adanya
intervensi zat asing pada proses mitosis
yang terjadi pada zona proliferasi akan
menyebabkan perubahan integritas DNA
dan menghambat sintesis protein. Jika
ekstrak rimpang teki mempunyai
kemampuan merusak integritas DNA dan
menghambat sintesis protein maka
selanjutnya dapat menghambat proliferasi
sel pada zona ini sehingga akan
mempengaruhi kondrosit pada zona-zona
selanjutnya dalam kartilago epifisialis.
Zona maturasiHasil pengamatan zona maturasi kelompok
kontrol menunjukkan menunjukkan adanya
kondrosit yang hipertrofi, yaitu kondrosit
tidak lagi membelah diri, tetapi bertambah
besar dan bervakuola (Gambar 5). Hasil
pengamatan tebal zona maturasi kartilago
epifisialis fetus tercantum pada Gambar 3.
Dari hasil uji statistik pada taraf 5%
didapatkan adanya perbedaan yang nyata
antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan. Dari uji lanjut dengan uji BNT
antar kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan juga didapatkan adanya
perbedaan yang nyata pada dosis
135 mg/40g BB. Hal ini berarti ekstrak
rimpang teki menghambat kecepatan
mitosis kondrosit dalam zona proliferasi
sehingga zona-zona dibawahnya akan
semakin tipis ketebalannya. Menurut Ham
dan Cormack (1979), kondrosit yang
hipertrofi akan selalu diganti oleh kondrosit
yang baru sebagai hasil proliferasi
kondrosit dalam zona proliferasi. Jika
proliferasi kondrosit dalam zona proliferasi
dihambat oleh ekstrak rimpang teki maka
kondrosit yang hipertropi dalam zona
maturasi juga akan semakin menipis jika
dibanding kontrol. Pada zona maturasi ini
ekstrak rimpang teki juga mempunyai
pengaruh yang nyata, sehingga semakin
tinggi dosis ekstrak rimpang teki yang
diberikan, maka semakin menurun pula
ketebalan zona maturasinya.
Gambar 3. Rerata ketebalan zona maturasikartilago epifisialis fetus mencit dariinduk yang diberi ekstrak metanolrimpang teki selama masaorganogenesis. Keterangan: angkayang diikuti oleh huruf yang sama
Struktur Histologis Kartilago Epifisialis ... / 32
tidak berbeda nyata pada BNTdengan α=5%.
Zona kartilagoHasil pengamatan pada kelompok
perlakuan menunjukkan adanya zona
kartilago mengalami pendarahan (Gambar
5). Beberapa mekanisme yang memung-
kinkan terjadinya pendarahan yaitu akibat
ketidakseimbangan osmotik (Widiyani dan
Sagi, 2001). Hasil pengamatan tebal zona
kartilago yang mengalami mineralisasi
pada kartilago epifisialis fetus tercantum
pada Gambar 4.
Gambar 4. Rerata ketebalan zona kartilagoyang mengalami mineralisasikartilago epifisialis fetus mencit dariinduk yang diberi ekstrak metanolrimpang teki selama masaorganogenesis.
Pengamatan zona kartilago yang
mengalami mineralisasi pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan menun-
jukkan adanya beberapa lapisan kondrosit
yang hipertrofi dan mati (Gambar 5). Matrik
kartilago dalam zona ini mulai mengalami
kalsifikasi dengan adanya pengendapan
hidroksiapatit sehingga tampak septa tipis
atau sekat pembatas di sekeliling kondrosit
yang hipertrofi dan mati. Dari hasil uji
statistik pada taraf 5% didapatkan tidak
adanya perbedaan yang nyata antara
kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan.
Gambar 5. Fotomikroskopi kartilago epifisialisfetus Mencit (Mus musculus L.)penampang longitudinal denganpewarnaan Hematoxylin-Eosin danperbesaran 100x. Keterangan: (a)zona cadangan kondrosit, (b) zonaproliferasi, (c) zona maturasi, (d)zona kartilago yang mengalamimineralisasi, (K) kelompok kontrol;(P2) kelompok perlakuan dosis 45mg/40 g BB; (P3) kelompokperlakuan dosis 90 mg/40 g BB; (P4)kelompok perlakuan dosis 135mg/40 g BB.
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanBerdasarkan hasil penelitian didapatkan
simpulan bahwa pemberian ekstrak
rimpang teki per oral dosis 45 mg/40g BB,
90 mg/40g BB, dan 135mg/40g BB
mengakibatkan penurunan ketebalan zona
cadangan kondrosit, zona proliferasi, dan
zona maturasi, sedangkan dosis 45 mg/40g
BB, 90 mg/40g BB, dan 135 mg/40g BB
mengakibatkan peningkatan ketebalan
33 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Puty Orlando Arismedi
zona kartilago yang mengalami
mineralisasi.
SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terhadap zat aktif ekstrak rimpang teki
sehingga peran masing-masing zat dalam
pertambahan panjang kartilago epifisialis
menjadi jelas.
DAFTAR PUSTAKAAgusta, A. 2001. Awas! Bahaya Tumbuhan
Obat. [internet]. (diunduh 17 Oktober2015). Tersedia pada.http://www.indomedia.com/.
Balai Penyidikan dan Pengujian VeterinerRegional III (BPPV Regional III).2014.Metode Uji Histopatologi. BPPVRegional III. Bandar Lampung.
Bennet, J.C., W.R. Proffit, & L. A. Norton.1967. Determination of growthinhibitory concentration of tetracyclinefor bone in organ culture. NatureLondon 216: 176-177.
Busman, H. 2013. Histologi Ulas Vaginadan Waktu Siklus Estrus Masa SuburMencit Betina Setelah PemberianEkstrak Rimpang Rumput Teki.Prosiding Semirata FMIPAUniversitas Lampung.
Ham, A.W. dan D. H. Cormack. 1979.Histology. 8 ed. J.B. LippincotCompany. Philadelphia
Hariana, A. H. 2007. Tumbuhan Obat danKhasiatnya. Penebar Swadaya.Jakarta.
Lawal , O. A. dan O. Adebola. 2009.Chemical Composition Of TheEssential Oils Of Cyperus RotundusL. From South Africa. JournalMolecules.
Sudarnadi, Pujirianto, A. Gunawan, D.Wahyono, S. Donatus, I .A, Drajat, M.Wibowo, dan Ngatidjan. 1996.Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian,Sifat-sifat dan Penggunaan. PusatPenelitian Obat Tradisional (PPOTUGM), Yogyakarta. P 112-117.
Widiyani, T. dan M. Sagi. 2001. Pengaruhaflatoksin B1 terhadap pertumbuhandan perkembangan embrio danskeleton fetus mencit (Mus musculusL.). Teknosains 14 (3): 409-427.
Winarno, W.M. dan M., Sundari. 1997.Informasi Tanaman Obat UntukKontrasepsi Tradisional. PusatPenelitian Dan PengembanganFarmasi. Badan Penelitian DanPengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan RI.
Yelvita, S., M. Warnety, dan A.Yohanes.2014. Uji Teratogenitas EkstrakBungo Timah (Peperomia pellucida L.Kunth.,) terhadap Organ ViseralEmbrio Mencit Putih (Mus musculusL.). Jurnal ilmiah biologi.
Struktur Histologis Kartilago Epifisialis ... / 34
35 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Putri Dara Yunda
PENINGKATAN PERTUMBUHAN Daphnia sp. MENGGUNAKAN MEDIA KOTORANAYAM YANG DICAMPUR DEDAK PADI DENGAN KONSENTRASI BERBEDA
INCREASE THE GROWTH OF Daphnia sp. USE MIXED OF CHICKCEN MANURE ANDRICE BRAN CULTURE MEDIA WITH DIFFERENT CONCENTRATION
Putri Dara Yunda1*, Sri Murwani1, Endang Linirin Widiastuti1
1Jurusan Biologi FMIPA, Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
*e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan populasi dan laju pertumbuhan populasispesifik Daphnia sp. pada media kotoran ayam yang dicampur dedak padi dengan konsentrasiberbeda. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler II Fakultas Matematika danIlmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Bulan Desember 2014. Penelitian inimenggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 5 perlakuan yaitu P1 (kotoran ayam100%), P2 (dedak padi 100%), P3 (kotoran ayam 75% + dedak padi 25%), P4 (kotoran ayam 50% +dedak padi 50%), dan P5 (kotoran ayam 25% + dedak padi 75%) dengan pengulangan sebanyak 4kali pada masing-masing perlakuan. Parameter yang diamati adalah kepadatan populasi, lajupertumbuhan populasi spesifik, dan kualitas air. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA)dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkanbahwa kepadatan tertinggi populasi Daphnia sp. adalah pada media campuran kotoran ayam 75% +dedak padi 25% yaitu dengan jumlah 970 ind/L, sedangkan kepadatan populasi terendah yaitu padamedia menggunakan dedak padi 100% sebesar 730 ind/L. Media kultur terbaik adalah campurankotoran ayam75% + dedak padi 25% dengan laju pertumbuhan populasi spesifik tertinggi Daphnia sp.yaitu sebesar 43,11%/hari.
Kata kunci: Daphnia sp., dedak padi, kepadatan populasi, kotoran ayam
ABSTRACT
This aims of the study was to determine the increase in population size and the population growth rateof Daphnia sp. on chicken manure media mixed with rice bran with different concentrations. Thisresearch had been done in Aquatic Laboratory of Faculty of Mathematics and Natural Sciences,University of Lampung on December 2014. This study used a completely randomized design (CRD),with five treatments, namely: P1 (100% chicken manure), P2 (rice bran 100%), P3 (chicken manure75% + 25% rice bran), P4 (chicken manure 50% + 50% rice bran), and P5 (chicken manure 25% +75% rice bran) with 4 replications. The observed parameters were the population density of Daphniasp., a specific population growth rate, and water quality. Anova was used for analizing with 5% LSD.The results showed that the population density of Daphnia sp. of P3 treatment showed the highestpopulation density of 970 ind/L, while the lowest population density was showed by P2 with 730 ind/Lfrom this study. The best quality of cultur media for Daphnia sp. was consisted of 75% chickenmanure and 25% rice bran of growth rate of Daphnia sp. of 43.11%/day.
Keywords : Daphnia sp., Rice bran, Population density, Chicken manure
PendahuluanDalam sistem budidaya perikanan,
kegiatan pembenihan ikan sangat
bergantung pada ketersediaan pakan
alami untuk mendukung pertumbuhan dan
kecukupan gizi ikan. Pakan alami sangat
diperlukan karena menunjang
kelangsungan hidup benih ikan, dari saat
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 35- 44ISSN : 2338-4344
Peningkatan Pertumbuhan Daphnia... / 36
telur ikan baru menetas sampai makanan
cadangan di dalam tubuhnya habis. Pada
fase ini benih ikan membutuhkan pakan
yang sesuai dengan bukaan mulutnya.
Pemberian pakan alami biasanya
menggunakan jenis renik yang hidup di
perairan berupa fitoplankton maupun
zooplankton (Djarijah, 1995). Hal ini
karena pakan alami memiliki ukuran yang
sesuai dengan bukaan mulut ikan serta
gerakan yang ditimbulkan dapat
merangsang larva ikan untuk mengejar
dan memakannya (Casmuji, 2002). Di
samping itu, fitoplankton dan zooplankton
dapat berkembangbiak dalam waktu
yang relatif singkat yaitu pada umur 4–6
hari (Mokoginta, 2003).
Salah satu jenis zooplankton yang
berkembangbiak relatif singkat dan mudah
dibudidayakan adalah Daphnia sp.
Menurut Sayuti (2003) pada musim
pemijahan ikan, Daphnia sp. banyak dicari
pembudidaya ikan untuk dimanfaatkan
sebagai pakan larva, karena kandungan
nutrisi yang tinggi. Kandungan nutrisi
yang dimiliki Daphnia sp. berdasarkan
hasil analisis proksimat adalah 94,04 %
air, 2,98 % protein, 0,43 % lemak, 0,16 %
serat yang dibutuhkan larva ikan untuk
pertumbuhannya, sehingga perlu
dilakukan kultur Daphnia sp. sebagai
pakan alami untuk benih ikan air tawar
(Hadadi, 2004).
Kultur Daphnia sp. telah banyak dilakukan
melalui berbagai macam teknik dengan
penambahan bahan nutrisi atau pakan
yang berbeda, misalnya penelitian
Sulasingkin (2003) dengan menggunakan
kotoran ayam, penelitian Mubarak (2009)
dengan penambahan bekatul, dan
penelitian yang dilakukan Arief (2012)
dengan penambahan bungkil kelapa.
Bahan organik tersebut memiliki nutrisi
yang tinggi dan dapat dimanfaatkan oleh
Daphnia sp. dalam berkembangbiak.
Kandungan nutrisi yang terdapat dalam
pakan sangat berpengaruh terhadap hasil
panen, karena nutrisi yang baik dapat
memacu pertumbuhan yang baik pula
(Makmur, 2004).
Penggunaan kotoran ayam sebagai media
kultur Daphnia sp. memberikan
pertumbuhan populasi yang baik karena
memiliki kandungan bahan organik yang
tinggi dengan protein 10-11%. Dedak padi
juga mempunyai bahan organik yang
relatif tinggi dengan kandungan protein
13%. Selain kandungan protein yang
tinggi dedak juga mudah diperoleh
dibandingkan dengan kotoran ayam,
karena produksi dedak padi di Indonesia
cukup besar dan hanya terbatas pada
pakan ternak saja padahal dedak dapat
dimanfaatkan dengan lebih maksimal.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian
tentang pemanfaatan kotoran ayam yang
dikombinasikan dengan dedak padi
sebagai media kultur Daphnia sp.
37 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Putri Dara Yunda
Disamping itu, peneltian ini bertujuan
untuk mengetahui kombinasi campuran
kotoran ayam dan dedak padi yang terbaik
untuk kultur Daphnia sp.
Bahan dan MetodePenelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2014 bertempat di
Laboratorium biologi molekuler II Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
Alat yang digunakan selama penelitian
adalah toples kaca dengan tinggi 25 cm,
diameter 14 cm sebanyak 20 unit yang
dilengkapi dengan aerator untuk memasok
oksigen terlarut agar kualitas lingkungan
hidup Daphnia sp. terjaga. Alat-alat
penunjang yang digunakan yaitu kain
jaring sebagai penutup bagian atas toples
kaca, timbangan dan alat sampling seperti
cawan petri, gelas ukur dan pipet tetes,
alat untuk mengukur kualitas air terdiri dari
termometer yang digunakan untuk
mengukur suhu pada media
pemeliharaan, DO meter untuk mengukur
jumlah oksigen terlarut pada media, kertas
indikator (pH stick) untuk mengukur pH.
Bahan yang digunakan selama penelitian
adalah kotoran ayam, dedak padi, bibit
Daphnia sp. 800 ekor dan setiap wadah
kultur diisi Daphnia sp. sebanyak 20
ekor/liter pada awal pemeliharaan
kemudian diisi air tawar sebanyak 2 liter.
Penelitian ini menggunakan Racangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan
dan 4 ulangan yaitu :
Perlakuan 1: Pemberian kotoran ayam
100 % (2,4 g/L) (Sulangsikin,
2003).
Perlakuan 2 : Pemberian dedak padi 100
% (2,4 g/L)
Perlakuan 3 : Pemberian kotoran ayam 75
% (1,8 g/L) + dedak padi 25 %
(0,6 g/L)
Perlakuan 4 : Pemberian kotoran ayam 50
% (1,2 g/L) + dedak padi 50 %
(1,2 g/L)
Perlakuan 5 : Pemberian kotoran ayam 25
% (0,6 g/L) + dedak padi 75 %
(1,8 g/L)
Pemeliharaan Daphnia sp. dilakukan
selama 13 hari. Pemberian pakan
dilakukan pada hari pertama dan hari ke 7.
Sedangkan penghitungan jumlah Daphnia
sp. dilakukan dua hari sekali dalam waktu
13 hari. Sampel air diambil sebanyak 100
ml dengan menggunakan gelas ukur.
Sampel yang berada dalam gelas ukur
dituangkan sedikit demi sedikit kedalam
cawan petri, kemudian dihitung.
Laju pertumbuhan populasi spesifik
Daphnia sp. dihitung dengan
menggunakan rumus modifikasi Becker
(1994) yaitu:
Peningkatan Pertumbuhan Daphnia... / 38
µ = x 100 %Keterangan :
µ : Laju Pertumbuhan Populasi (%/hari)
No : Kepadatan awal populasi (Ind/L)
Nt : Kepadatan akhir populasi (Ind/L)
t : Waktu (hari)
Pengukuran kualitas air, suhu, oksigen
terlarut, pH, dan ammonia dilakukan pada
hari ke 0, ke 6, dan hari ke 13. Parameter
yang diamati dalam penelitian ini adalah
kepadatan populasi Daphnia sp., laju
pertumbuhan populasi spesifik, dan
kualitas air.
Hasil dan PembahasanKepadatan populasi Daphnia sp. tertinggi
untuk semua perlakuan terjadi pada hari
ke 9 (Gambar 1).
Gambar 1. Kepadatan populasi Daphnia sp.
(ind/L) pada berbagai media kultur
selama 13 hari pemeliharaan
Namun demikian, kepadatan populasi
Daphnia sp. pada hari ke 9 yang tertinggi
dimiliki oleh perlakuan ketiga (P3) yaitu
media dengan penambahan campuran
kotoran ayam dengan dedak padi
sebanyak 75% dan 25 % sedangkan yang
terendah dimiliki oleh perlakuan dengan
pemberian dedak padi saja 100% (p<0,05)
(Tabel 1).
Tabel 1. Kepadatan puncak populasi
Daphnia sp. pada hari ke 9
(ind/L)
Perlakuan Rerata ± Standar Deviasi*P 1 765 ± 51,96 b
P 2 730 ± 49,66 b
P 3 970 ± 41,63 a
P 4 910 ± 69,76 a
P 5 940 ± 36,51 a
Keterangan: ⃰Nilai yang diikuti oleh hurufsuperskrip yang berbedamenunjukkan berbeda nyata padauji BNT α 0,05
Masing-masing kepadatan pada media
yang terdiri dari campuran kotoran ayam
dan dedak padi memiliki nilai yang jauh
berbeda dibandingkan dengan media
kotoran ayam saja atau dedak padi saja.
Pada Gambar 1 kepadatan puncak
populasi Daphnia sp. terjadi pada hari ke-
9, diduga karena kandungan nutrisi telah
mencukupi untuk meningkatkan
pertumbuhan Daphnia sp. Dugaan ini
berdasarkan pernyataan Zahidah (2012),
bahwa pertumbuhan Daphnia sp. akan
meningkat jika ketersediaan pakan
tercukupi. Pakan yang dibutuhkan
Daphnia sp. adalah berupa bakteri,
detritus, protozoa, dan bahan organik
tersuspensi. Pertumbuhan bakteri serta
detritus, protozoa dan lainnya tergantung
dengan penguraian kandungan bahan
0
200
400
600
800
1000
1200
1 3 5 7 9 11 13
Kepa
data
n po
pula
si (i
nd/li
ter)
Hari Pengamatan Ke-
P1
P2
P3
P4
P5
39 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Putri Dara Yunda
organik pada media tersebut. Dari ke 5
perlakuan tersebut masing-masing bahan
organik memiliki total nilai 33,33% - 68,96
% (Tabel 2). Menurut Sulasingkin (2003)
bahwa jumlah Daphnia sp. dipengaruhi
oleh ketersediaan pakan yang sesuai
dengan jumlah individu yang berada pada
wadah budidaya dan didukung dengan
kondisi lingkungan yang baik. Hal ini juga
yang diduga terjadi pada media dari ke 5
perlakuan tersebut yang mencapai kondisi
baik untuk Daphnia sp. pada hari ke 9.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat media
kultur Daphnia sp.
No Namasampel
Protein Le-mak
Karbo-hidrat
(%)
1Kotoranayam100%
2,21 1,82 29,30
2 Dedak100% 6,59 8,99 53,38
3
Kotoranayam75% +dedakpadi 25%
4,45 4,47 44.84
Dari tingkat kepadatan populasi Daphnia
sp dan kandungan protein hasil uji
proksimat, media yang menggunakan
dedak padi 100% menunjukkan nilai yang
terendah, namun media tersebut memiliki
kadar protein yang lebih besar. Hal ini
diduga karena protein yang tinggi akan
mengakibatkan kadar amoniak yang tinggi
(Tabel 4) sebagai hasil penguraian protein
yang terjadi di media tersebut selama 9
hari. Faktor lain yang menyebabkan
rendahnya populasi pada media 100%
dedak adalah adanya pengendapan dedak
yang tidak semua dikonsumsi oleh
Daphnia sp. Pengendapan ini terjadi di
dasar media yang diduga dapat menjadi
racun bagi Daphnia sp. ini. Sebagai
akibatnya populasi Daphnia sp. menjadi
lebih kecil dibandingkan perlakuan
lainnya. Dugaan ini berdasarkan
pendapat Radini (2006) yang mengatakan
bahwa amoniak merupakan salah satu
pemicu stres bagi Daphnia sp. Kadar
amoniak dari ke 5 perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 5. Stres ini selanjutnya
menyebabkan Daphnia sp. memproduksi
telur yang akhirnya menjadi organisme
berjenis kelamin jantan. Selanjutnya
populasi Daphnia sp. menjadi turun
karena reproduksi tidak dapat dilakukan
secara partenogenesis (Kusumaryanto,
1988).
Perlakuan 3 merupakan perlakuan
tertinggi pada fase kematian terlihat
penurunan rata rata individu dari Tabel 1
dan Tabel 3.
Tabel 3. Kepadatan populasi Daphnia sp.
pada hari ke 11 (ind/L)Perlakuan Rerata ± Standar Deviasi*
P 1 410 ± 21.60 c
P 2 285 ± 61.91 b
P 3 485 ± 28.87 a
P 4 430 ± 47.61 a
P 5 315 ± 30.00 b
Keterangan : ⃰ Nilai yang diikuti oleh hurufsuperskrip yang berbedamenunjukkan berbeda nyata padauji BNT α 0,05
Peningkatan Pertumbuhan Daphnia... / 40
Penambahan media kultur hari ke 6
diduga tidak dimanfaatkan sebagai
makanan oleh Daphnia sp. justru malah
menjadi racun karena terjadi
pengendapan sisa pakan di dasar media.
Hal ini dapat dilihat pada masing-masing
media/wadah kultur, warna air pada media
kultur sudah berubah menjadi lebih keruh
(Gambar 2).
(a)
(b)Gambar 2. Media / wadah kultur pemeliharaan
Daphnia sp. di awal penelitian (a)
dan di akhir penelitian (b).
Pernyataan tersebut didukung oleh
Mubarak (2009), bahwa kandungan
amoniak yang beracun dalam media
pemeliharaan berasal dari dekomposisi
bahan organik. Disamping itu kandungan
amoniak yang beracun juga dapat berasal
dari sisa hasil metabolisme serta
penumpukan pakan yang tidak
dimanfaatkan oleh Daphnia sp. Fase
kematian disebabkan oleh beberapa faktor
di antaranya adalah temperatur tinggi,
kurangnya nutrisi dalam perairan,
perubahan pH, kontaminasi, serta
berkurangnya proses fotosintesis yang
dilakukan oleh fitoplankton selain sebagai
pakannya juga penghasil oksigen.
Selain itu, faktor lain yang diduga juga
berpengaruh terhadap penurunan populasi
Daphnia sp. adalah terjadinya persaingan
ruang karena populasi Daphnia sp. yang
tinggi pada puncak populasi hari ke 9 yaitu
970 ind/l sehingga terjadi persaingan
dalam mendapatkan oksigen. Dugaan ini
berdasarkan pendapat Prasetiya (2009),
yang mengatakan apabila kepadatan
Daphnia sp. terlalu tinggi maka aktivitas
metabolisme akan meningkat, kandungan
amoniak juga akan meningkat, sehingga
kebutuhan oksigen juga meningkat.
Selanjutnya dari data hari ke 9 ditentukan
laju pertumbuhan Daphnia sp.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa pemberian
pakan yang berbeda mempengaruhi laju
pertumbuhan populasi spesifik Daphnia
sp. (Tabel 4).
41 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Putri Dara Yunda
Tabel 4. Laju pertumbuhan populasi
spesifik Daphnia sp.Perlakuan Rerata±Standar Deviasi*
P 1 40,46 ± 0,73 b
P 2 39,94 ± 0,75 b
P 3 43,11 ± 0,47 a
P 4 42,39 ± 0,82 a
P 5 42,77 ± 0,43 a
Keterangan : ⃰ Nilai yang diikuti oleh hurufsuperskrip yang berbedamenunjukkan berbeda nyata padauji BNT α 0,05
Pertumbuhan populasi Daphnia sp.
menggunakan media kultur yang berbeda
menunjukkan peningkatan yang berbeda
setelah mencapai puncak populasi dan
menurun dengan rata rata laju
pertumbuhan populasi spesifik yang
berbeda. Pola pertumbuhan Daphnia sp.
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain kondisi fisik perairan, jenis pakan, dan
konsentrasi pakan. Apabila ketiga faktor
tersebut ada, maka laju pertumbuhan
Daphnia sp. akan berlangsung lebih cepat
dan menghasilkan populasi yang lebih
tinggi (Ninuk, 2011).
Laju pertumbuhan spesifik Daphnia sp.
pada media dengan kombinasi kotoran
ternak dan dedak memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
pada media yang menggunakan dedak
atau kotoran ternak saja. Perbedaan ini
diduga karena kondisi fisik dan kimiawi
media tersebut. Sesuai dengan pendapat
Hermawan dkk. (2001) bahwa laju
pertumbuhan populasi zooplankton
banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti kandungan nutrisi, suhu, dan
aerasi. Selain itu dugaan ini diperkuat
oleh Djarijah (1995), sumber energi
organisme aquatik diperoleh dari protein,
lemak dan karbohidrat. Hasil analisis
proksimat yang dilakukan menunjukkan
protein yang terkandung pada dedak
cukup tinggi dibandingkan dengan kotoran
ayam 100% ataupun dibandingkan
dengan kombinasi kotoran ayam 75% +
dedak 25% (Tabel 2). Sumber energi
yang terkandung didalam pakan berupa
dedak padi dan kotoran ayam dapat
dimanfaatkan bagi pertumbuhan dan
perkembangan Daphnia sp.
Kualitas air sangat mempengaruhi
pertumbuhan kultur organisme. Hasil
pengukuran kualitas air yaitu berupa suhu,
pH dan DO pada media kultur dengan
perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada
Tabel 5.
Peningkatan Pertumbuhan Daphnia... / 42
Tabel 5. Kualitas air media selama pemeliharaan
Perlakuan
Parameter Pengamatan
Suhu (°C) pH DO (mg/l) Amoniak (mg/l)
Hari ke- Hari ke- Hari ke- Hari ke-1 6 13 1 6 13 1 6 13 1 6 13
P1 28 27 26 7 7-8 7-8 5,1 5,9 6,3 0,08 0,08 0,1
P2 28 27 26 7 7-8 7-8 5,1 5,4 6,2 0,08 0,11 0,3
P3 28 27 26 7 7-8 7-8 5,1 5,1 6,0 0,08 0,09 0,19
P4 28 27 26 7 7-8 7-8 5,1 5,9 6,2 0,08 0,12 0,26
P5 28 27 26 7 7-8 7-8 5,1 5,9 6,2 0,08 0,11 0,22
Standarkelayakan
22-31°C(Wiadnya,
1994)
7,1-8,0(Mokoginta,
2003)
>3mg/l (Radini,2006)
<0,2mg/l(Delbare and Dhert,
1996)
Seluruh parameter kualitas air, baik suhu,
pH, DO serta amoniak untuk seluruh
perlakuan masih layak untuk kultur
Daphnia sp. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Wiadnya (1994) bahwa
standar kelayakan suhu pada media kultur
Daphnia sp. berkisar antara 22-31°C.
Suhu adalah faktor fisika yang dapat
mempengaruhi aktifitas dan metabolisme
maupun perkembangan organisme. Suhu
berpengaruh terhadap proses pertukaran
zat metabolisme suatu organisme (Effendi,
2000). Hermawan dkk, (2001)
berpendapat bahwa proses pencernaan
yang dilakukan oleh Crustaceae berjalan
sangat lambat pada suhu rendah,
sebaliknya lebih cepat pada suhu media
yang hangat.
Derajat keasaman (pH) selama penelitian
masih dalam keadaan baik dengan
kisaran pH yaitu 7-7,6 dengan standar
kelayakan pH untuk plankton air tawar 7,1-
8,0 (Mokoginta, 2003). Kadar oksigen
yang terlarut (DO) pada masing masing
wadah kultur masih berada dalam
keadaan baik, yaitu berkisar 5,1-6,3 mg/l
dengan standar kelayakan yang baik bagi
pertumbuhan Daphnia sp. yaitu >3mg/l
(Radini, 2006).
Kadar amoniak akan meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu dan pH, kadar
amoniak yang tinggi dapat menurunkan
tingkat reproduksi Daphnia sp. Kadar
amoniak pada hari pertama dan hari ke
enam masih dalam keadaan baik dengan
kisaran 0,08-0,12, tetapi pada hari terakhir
(P2), (P4) dan (P5) dengan kadar amoniak
0,3, 0,26, 0,22 mg/l melebihi baku mutu
yaitu >0,2 mg/l (Delbare and Dhert, 1996).
Hal ini diduga karena penumpukan sisa
pakan yang tidak dimanfaatkan oleh
Daphnia sp. Menurut Mubarak dkk (2009)
bahwa amoniak dalam media
pemeliharaan berasal dari sisa hasil
43 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Putri Dara Yunda
metabolisme serta penumpukan pakan
yang tidak termanfaatkan oleh Daphnia
sp. Amoniak merupakan salah satu
pemicu stres bagi Daphnia sp. karena
yang melakukan reproduksi adalah telur
mictic sehingga dapat menyebabkan
Daphnia sp. memproduksi telur yang
berjenis kelamin jantan sehingga populasi
Daphnia sp. menjadi turun karena
reproduksi tidak terjadi secara
partenogenesis (Mubarak, 2009).
KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa kepadatan populasi
Daphnia sp. pada pemberian kotoran
ayam 75 % + dedak padi 25 %
menunjukkan kepadatan populasi tertinggi
Daphnia sp. yaitu dengan jumlah 970
ind/L, sedangkan kepadatan populasi
terendah dengan pemberian dedak padi
100 % yaitu sebesar 730 ind/l. Media
kultur terbaik adalah campuran kotoran
ayam 75% + dedak padi 25% dengan laju
pertumbuhan populasi spesifik tertinggi
Daphnia sp. yaitu sebesar 43,11%/hari.
Faktor lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap pertumbuhan
Daphnia sp. adalah peningkatan kadar
amonia dalam perairan.
Daftar PustakaArief, M. A.N. Ratika dan M. Lamid. 2012.
Pengaruh Kombinasi MediaBungkil Kelapa Sawit dan DedakPadi yang Difermentasi TerhadapProduksi Manggot Black SoldierFly (Hermetia Illucens) SebagaiSumber Protein Pakan Ikan. Jurnalilmu perikanan dan Kelautan.4(1):33-37.
Becker, E. W. 1994. MicroalgaeBiotechnology and Microbiology.Cambridge University Press. GreatBritain England.
Casmuji. 2002. Penggunaan SupernatanKotoran Ayam dan Tepung Terigudalam Budidaya Daphnia sp.Skripsi. Program Studi BudidayaPerairan. Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan. Institut PertanianBogor.
Delbare, D and P. Dhert. 1996.Cladocerans, Nematodes andTrocophara Larvae. In Manual onProduction and Use of Live Food(P. Lavens and P. Sorgelos, ens).
Djarijah. A.S. 1995. Pakan Alami.Yogyakarta :Kanisius.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Hadadi, A. 2004. Pengaruh PemberianPakan Tambahan Berbeda PadaProduksi Daphnia sp. di Kolam.Direktorat Jenderal Perikanan BalaiBudidaya Air Tawar. Sukabumi
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D.Tillman. 1990. Tabel KomposisiPakan untuk Indonesia. GajahMada University Press.
Hermawan, A., Anindiastuti., K.A. Wahyunidan E. Julianty. 2001. KajianPendahuluan Penggunaan PakanFermentasi Untuk Kultur MassalCyclops sp. Buletin Budidaya Laut13:14-23.
Peningkatan Pertumbuhan Daphnia... / 44
Makmur, A. 2004. Proses MetabolismeProtein Pakan pada Ikan.Palembang: Balai Riset PerikananUmum.
Mokoginta, I. 2003. Budidaya Pakan AlamiAir Tawar. Modul Daphnia sp.Direktorat Pendidikan MenengahDepartemen Pendidikan Nasional.Bidang Budidaya Ikan ProgramKeahlian Budidaya Ikan Air Tawar.
Mubarak, A.S. 2009. Pemberian Dolomitpada Kultur Daphnia sp. SistemDaily Feeding Pada PopulasiDaphnia sp. dan KestabilanKualitas Air. Jurnal IlmiahPerikanan dan Kelautan.
Ninuk. 2011. Dinamika Fitoplankton.Indonesian Aquaculture. TequisaIndonesia.Jakarta.
Prasetiya.J.D.W.2009. Pemanfaatan AirBuangan Budidaya Lele Dumbo(Clarias gariepinus) sebagai MediaBudidaya Daphnia sp. BandarLampung: Unila
Radini. D, 2006. Optimasi Suhu, pH SertaJenis Pakan pada Kultur Daphniasp. Sekolah Ilmu dan TeknologiHayat. Bandung.
Rasyaf, M. 1994. Beternak AyamPedaging. Penebar Swadaya,Jakarta.
Sayuti. 2003. Budidaya Koki Pengalamandari Tulung Agung. AgromediaPustaka. Jakarta.
Subagyo, S.H., 1981. Daur Ulang LimbahTernak Ayam : PengaruhPenggunaan Tinja Ayam dalamRansum Terhadap PenampilanAnak Ayam Remaja Tipe Medium .Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Sulasingkin, D. 2003. PengaruhKonsentrasi Ragi yang Berbedaterhadap Pertumbuhan PopulasiDaphnia sp. Skripsi. FakultasPerikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor.
Wiadnya, D. R. 1994. Bahan KuliahAnalisis Laboratorium Kualitas Air.Jurusan PTA. Fakultas PascaSarjana. Universitas Brawijaya.Malang.
Zahidah, 2012. Pertumbuhan PopulasiDaphnia sp. Yang Diberi PupukLimbah Budidaya KarambaJaraing Apung (KJA) Di WadukCirata Yang Telah DifermentasiEM4. Jurnal Akuatika.
KOMBINASI KOTORAN TERNAK (AYAM, KAMBING, DAN KUDA) SEBAGAI MEDIAKULTUR PERTUMBUHAN Daphnia sp.
COMBINATION OF ANIMAL WASTE (CHICKEN, GOAT, AND HORSE) FOR CULTUREMEDIA Daphnia sp.
Fadilah Suci1*, Sri Murwani1, Tugiyono1, Endang Linirin Widiastuti1
1Jurusan Biologi FMIPA, Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
*e-mail : [email protected]
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan populasi dan laju pertumbuhan Daphnia sp.pada beberapa media yang menggunakan kotoran ayam, kotoran kuda, kotoran kambing, dankombinasi kotoran tersebut serta mengetahui media kultur terbaik dalam menunjang peningkatanpopulasi Daphnia sp. Disamping itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui korelasi antarakepadatan fitoplankton media dengan kepadatan Daphnia sp. Penelitian ini menggunakanRancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari enam perlakuan yang diulang 3 kali, yaitu P1:kotoran ayam 100%, P2: kotoran kambing 100%, P3: kotoran kuda 100%, P4: kotoran ayam 50% +kotoran kambing 25% + kotoran kuda 25%, P5: kotoran kambing 50% + kotoran ayam 25% + kotorankuda 25%, P6: kotoran kuda 50% + kotoran ayam 25% + kotoran kambing 25%. Parameter yangdiamati adalah kepadatan populasi Daphnia sp., laju pertumbuhan populasi spesifik, pertumbuhanfitoplankton sebagai pakan Daphnia sp., uji proksimat (kotoran ayam, kambing, kuda, dankombinasinya), dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi kotoran ternak(ayam, kambing, dan kuda) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kepadatan populasi Daphniasp. (p<0,05) serta berpengaruh nyata juga terhadap laju pertumbuhan populasi spesifik Daphnia sp.(p<0,05). Perlakuan P4 kombinasi kotoran ayam 50% + kotoran kambing 25% + kotoran kuda 25%menghasilkan kepadatan puncak populasi Daphnia sp. terbaik sebesar 1.840 individu/L dan lajupertumbuhan populasi spesifik sebesar 56,51%/hari.
Kata kunci: Daphnia sp., kotoran ternak, laju pertumbuhan spesifik
ABSTRACT
This aims of the study was to determine the increase in population and the growth rate of Daphnia sp.in media consisted of manures : chicken, horse, and goat, as well as their combinations, and also toidentify the best quality of media which support the Daphnia sp. population growth. The study wasalso to determined corelation between density of phytoplankton on the media and Daphnia sp. Thisstudy used a completely randomized design (CRD), which consisted of six treatments with each threereplications, namely P1: 100% chicken manure, P2: 100% goat manure, P3: 100% horse manure, P4:50% chicken manure + 25% goat manure + 25% horse manure, P5: 50% goat manure + 25% chickenmanure + 25% horse manure, P6: 50% horse manure + 25% chicken manure + 25% goat manure.The observed parameters were the population density of Daphnia sp. , a specific population growthrate, the growth of phytoplankton, proximate values (chicken manure, goats, horses, and combinationsthereof), and water quality. The results showed that the combination of animal manure (chicken,goats, and horses) provided significant effect on population density of Daphnia sp. (p <0.05) and asignificantly effect also on the specific growth rate of Daphnia sp. population (p <0.05). The treatmentP4 which was combination of chicken manure 50% + 25% goat manure + 25% horse manure yieldedthe highest density populations of Daphnia sp. of 1.840 ind /l and the specific population growth ratewas 56,51% / day.
Keywords: Daphnia sp. , manure, specific growth rate
PENDAHULUANKetersediaan nutrisi dari pakan alami
sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan benih ikan. Menurut
Djarijah, (1955) umumnya pakan alami
untuk ikan merupakan jenis renik yang
hidup di dalam air seperti fitoplankton dan
zooplankton. Hal ini karena pakan alami
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 45-55ISSN : 2338-4344
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 46
seperti fitoplankton dan zooplankton
memiliki beberapa kelebihan seperti
ukurannya yang sesuai dengan bukaan
mulut ikan dan gerakan menarik yang
ditimbulkan pakan alami tersebut dapat
merangsang larva ikan untuk
memangsanya (Casmuji, 2002).
Daphnia sp. merupakan salah satu jenis
zooplankton yang dimanfaatkan sebagai
pakan alami karena mengandung protein
yang cukup tinggi yaitu sekitar 42,65 %
dan sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan ikan (Djarijah, 1995 dan
Mufidah dkk., 2009 ). Di samping itu
Daphnia sp. merupakan salah satu
zooplankton yang mudah dikultur dengan
media yang baik untuk pertumbuhan yaitu
pada kualitas air yang sesuai dengan
pertumbuhannya dan tersedianya sumber
makanan yang cukup untuk tumbuh dan
perkembangannya (Hadiwigeno, 1984).
Menurut (Casmuji, 2002) pupuk organik
dapat menumbuhkan fitoplankton yang
berfungsi sebagai pakan Daphnia sp.
dalam media kultur. Kotoran ternak
sebagai sumber pupuk organik dapat
dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi
pertumbuhan fitoplankton.
Kotoran hewan ternak pada umumnya
mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium.
Nitrogen dan fosfor berperan penting
dalam menumbuhkan fitoplankton sebagai
pakan Daphnia sp. serta kalium berfungsi
untuk menambah daya tahan tubuh
Daphnia sp. (Casmuji, 2002). Namun
demikian, pemanfaatan kotoran ternak
yang dikombinasikan belum diketahui
peranannya dalam pengulturan Daphnia
sp. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
kultur Daphnia sp. yang menggunakan
kotoran ternak ayam, kambing, dan kuda
untuk mencari komposisi kotoran ternak
yang dikombinasikan sebagai media
kulturnya yang dapat meningkatkan
pertumbuhan optimal dari Daphnia sp.
BAHAN DAN METODE PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2014 di Laboratorium Bio
Molekuler II Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung. Alat yang
digunakan selama penelitian adalah toples
kaca dengan tinggi 25 cm dan berdiameter
14 cm sebanyak 36 unit yang dilengkapi
aerator untuk memasok oksigen terlarut
agar kualitas lingkungan hidup Daphnia
sp. terjaga. Alat-alat penunjang yang
digunakan yaitu kain kasa sebagai
penutup bagian atas toples kaca,
timbangan dan alat sampling seperti gelas
bekker, cawan petri, dan pipet tetes, alat
untuk mengukur kualitas air yang terdiri
dari termometer, DO meter, dan pH test
kit, kemudian alat untuk menghitung
fitoplankton yang terdiri dari
haemocytometer dan mikroskop. Bahan
yang digunakan selama penelitian adalah
Daphnia sp. sebanyak 720 ekor, kotoran
ayam, kotoran kambing, dan kotoran kuda.
47 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Fadilah Suci
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL), yang terdiri dari 6
perlakuan dengan 3 kali ulangan yaitu:
P1 = kotoran ayam 100% (2,4 g/L)
sebagai pembanding (Sulasingkin,
2003)
P2 = kotoran kambing 100% (2,4 g/L)
P3 = kotoran kuda 100% (2,4 g/L)
P4 = kotoran ayam 50% (1,2 g/L) +
kotoran kambing 25% (0,6 g/L) +
kotoran kuda 25% (0,6 g/L)
P5 = kotoran kambing 50% (1,2 g/L) +
kotoran ayam 25% (0,6 g/L) + kotoran
kuda 25% (0,6 g/L)
P6 = kotoran kuda 50% (1,2 g/L) + kotoran
ayam 25% (0,6 g/L) + kotoran
kambing 25% (0,6 g/L).
Semua toples yang akan digunakan
sebagai wadah pemeliharaan dicuci
dengan bersih dan didiamkan hingga
benar-benar kering. Selanjutnya toples
diisi dengan air sawah yang dicampur
dengan air tawar dengan perbandingan
1:3 sebanyak 2 liter lalu diaerasi,
kemudian ditebar Daphnia sp. dengan
kepadatan 20 ekor/liter. Daphnia sp.
didapatkan dari penjual pakan ikan hias di
Jalan Hayam Wuruk No. 1 Tanjung
Karang, Bandar Lampung.
Kotoran ternak yang digunakan (kotoran
ayam, kambing, dan kuda) sebelumnya
dikeringkan terlebih dahulu selama
seminggu. Setelah dilakukan penebaran
Daphnia sp., 2 jam kemudian media kultur
diberi kotoran ayam, kambing, dan kuda,
serta kombinasi kotoran dengan dosis
sesuai perlakuan yaitu P1: kotoran ayam
100%, P2: kotoran kambing 100%, P3:
kotoran kuda 100%, P4: kotoran ayam
50% + kotoran kambing 25% + kotoran
kuda 25%, P5: kotoran kambing 50% +
kotoran ayam 25% + kotoran kuda 25%,
P6: kotoran kuda 50% + kotoran ayam
25% + kotoran kambing 25%. Pemberian
kotoran ternak dilakukan setiap 6 hari
sekali.
Pemeliharaan Daphnia sp. dilakukan
selama 12 hari. Sedangkan penghitungan
jumlah Daphnia sp. dilakukan dua hari
sekali dalam waktu 12 hari. Sampel air
diambil sebanyak 100 ml dengan
menggunakan gelas bekker dituangkan
sedikit demi sedikit kedalam cawan petri
kemudian dihitung.
Laju pertumbuhan populasi spesifik
Daphnia sp. dihitung dengan
menggunakan rumus modifikasi Becker
(1994), yaitu :
= Ln Nt − Ln Not × 100%Keterangan :
No : kepadatan awal populasi (Individu/L)
Nt : kepadatan akhir populasi fase
eksponensial (Individu/L)
t : waktu (hari) dari No ke Nt
μ : laju pertumbuhan populasi spesifik
(%/hari).
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 48
Pada penelitian ini juga dilakukan
penghitungan kepadatan fitoplankton pada
air media kultur Daphnia sp. yang
bertujuan untuk melihat korelasi antara
pertumbuhan fitoplankton dengan
pertumbuhan populasi Daphnia sp.
Kepadatan fitoplankton dihitung dengan
cara mengambil sampel air pada media
kultur lalu diteteskan di haemocytometer
kemudian ditutup dengan cover glass lalu
dihitung. Kepadatan fitoplankton dihitung
dengan menggunakan rumus menurut
Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yaitu :
Jumlah sel = n × 25 × 104= ... sel/ml
Keterangan:
n : rata-rata jumlah sel (dari 5 kotak)
25 : jumlah chamber
104 : volume kepadatan chamber
Pengukuran kualitas air suhu, oksigen
terlarut, pH, dan amonia dilakukan pada
hari ke 0, hari ke 6, dan hari ke 12.
Data kepadatan puncak dan laju
pertumbuhan populasi spesifik Daphnia
sp. dianalisis dengan menggunakan sidik
ragam (ANOVA), jika terdapat hasil yang
berbeda nyata antar perlakuan dilanjutkan
dengan uji BNT pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASANHasil1. Kepadatan Populasi Daphnia sp.Kepadatan populasi Daphnia sp.
meningkat pada hari pertama hingga hari
ke 8 dan terjadi penurunan populasi pada
hari ke 9 hingga hari ke 12 pengulturan.
Kepadatan populasi Daphnia sp. pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kepadatan populasi Daphnia sp.
Rata-rata kepadatan puncak Daphnia sp.
dari yang terendah sampai tertinggi adalah
pada media P2 yaitu 170 individu/L, P3
yaitu 670 individu/L, P5 yaitu 960
individu/L, P6 yaitu 980 individu/L, P1
yaitu 1.770 individu/L, dan P4 yaitu 1.840
individu/L. Kepadatan populasi Daphnia
sp. tertinggi pada hari ke 8 terdapat pada
perlakuan ke 4 yaitu pada pemberian
kombinasi kotoran ayam 50% + kotoran
kambing 25% + kotoran kuda 25%
sebanyak 1.840 individu/L. Sedangkan
kepadatan populasi terendah terdapat
pada perlakuan ke 2 yaitu pada pemberian
0200400600800
1.0001.2001.4001.6001.8002.000
0 2 4 6 8 10 12
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Hari ke-
Kepa
data
n po
pula
si (i
ndiv
idu/
L)
49 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Fadilah Suci
kotoran kambing 100% sebanyak 170
individu/L dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata kepadatan puncak
populasi Daphnia sp. hari ke 8
(individu/L)
Perlakuan Rerata±SDP1 1.770±26,45 aP2 170±10,00 dP3 670±112,69 cP4 1.840±52,91 aP5 960±52,91 bP6 980±20,00 b
Keterangan: Nilai rerata pada kolom yangsama dan diikuti oleh huruf yangsama menunjukkan tidak berbedanyata pada α 5%.
Hasil uji BNT menunjukkan bahwa pada
media P4 berbeda nyata dengan media
P2, P3, P5, dan P6 (p<0,05) terhadap
kepadatan puncak populasi Daphnia sp. ,
tetapi tidak berbeda nyata dengan media
P1. Kemudian pada media P5 tidak
berbeda nyata dengan media P6.
2. Laju Pertumbuhan Populasi SpesifikDaphnia sp.
Hasil rerata laju pertumbuhan populasi
spesifik Daphnia sp. yang tertinggi
terdapat pada kombinasi kotoran ayam
50% + kotoran kambing 25% + kotoran
kuda 25% (P4) yaitu 56,51%/hari,
sedangkan laju pertumbuhan populasi
spesifik Daphnia sp. terendah terdapat
pada media kultur yang diberi kotoran
kambing 100% (P2) yaitu 26,73%/hari
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata laju pertumbuhan populasispesifik Daphnia sp. (%/hari)
Perlakuan Rerata (%/hari)±SDP1 56,03±0,19 aP2 26,73±0,73 dP3 43,78±2,02 cP4 56,51±0,35 aP5 48,37±0,69 bP6 48,64±0,25 b
Keterangan: Nilai rerata pada kolom yangsama dan diikuti oleh huruf yangsama menunjukkan tidak berbedanyata pada α 5%.
Hasil uji BNT menunjukkan bahwa pada
media P4 berbeda nyata dengan media
P2, P3, P5, dan P6 (p<0,05) terhadap laju
pertumbuhan populasi spesifik Daphnia
sp., tetapi tidak berbeda nyata dengan
media P1. Kemudian pada media P5 tidak
berbeda nyata dengan media P6.
3. Korelasi Kepadatan Daphnia sp.dengan Kepadatan Fitoplankton
Korelasi kepadatan Daphnia sp. dengan
kepadatan fitoplankton pada berbagai
media kotoran ternak dan korelasi
kepadatan Daphnia sp. dengan kepadatan
fitoplankton pada berbagai media kultur
Daphnia sp dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 korelasi antara kepadatan
Daphnia sp. dengan pertumbuhan
fitoplankton pada berbagai media kultur
Daphnia sp. memiliki nilai r = 0,40 dengan
persamaan y = 221,7x + 84720.
Sedangkan korelasi antara kepadatan
Daphnia sp. dengan pertumbuhan
fitoplankton pada berbagai media kotoran
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 50
ternak adalah r = 0,87 dengan persamaan
y = 1609 x + 500.000 + 06. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif antara kedua korelasi tersebut.
Gambar 2. Korelasi kepadatan Daphnia sp. dengan kepadatan fitoplankton dalam mediakultur dan korelasi kepadatan Daphnia sp. dengan kepadatan fitoplankton padaberbagai media kotoran ternak
4. Analisis ProksimatData hasil uji proksimat kotoran ayam, kambing, kuda, serta kombinasinya disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Analisis proksimat kotoran ayam, kambing, kuda, serta kombinasi kotoranNo Nama Sampel Protein Lemak Karbohidrat
(%)1 Kotoran Ayam 100% 2,21 1,81 29,292 Kotoran Kambing 100% 2,25 3,53 25,783 Kotoran Kuda 100% 3,32 4,26 26,254 Kotoran Ayam 50% + Kotoran Kambing 25%
+ Kotoran Kuda 25%3,00 2,37 37,55
Sumber : Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung (2015)
5. Kualitas AirHasil pengukuran kualitas air yang berupa suhu, DO, dan pH pada media kultur masih dalam
kisaran layak untuk pertumbuhan Daphnia sp. Sedangkan pada kandungan amonia terjadi
peningkatan hingga hari ke12. Hasil pengukuran parameter kualitas air media pemeliharaan
selama penelitian disajikan pada Tabel 4.
51 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Fadilah Suci
Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian
PerlakuanParameter
Suhu (˚C) DO (ppm) pH Amonia (mg/l)Hari ke-
1 6 12 1 6 12 1 6 12 1 6 12P1 28 27,5 27 3,5 3,6
3,87 7-8 7-8 0,08 0,12
0,67P2 28 27,4 27 3,5 3,7
3,87 7-8 7-8 0,08 0,20
0,41P3 28 27,5 27 3,5 3,6
3,77 7-8 7-8 0,08 0,17
0,64P4 28 27,5 27 3,5 3,6
3,87 7-8 7-8 0,08 0,09
0,36P5 28 27,6 27 3,5 3,6
3,87 7-8 7-8 0,08 0,09
0,33P6 28 27,3 27 3,5 3,7
3,87 7-8 7-8 0,08 0,084
0,12Standar
kelayakan22-32 >3,5 7,1-8,0 <0,2
Referensi (Kusumaryanto,1988)
(Kusumaryanto,1988)
(Mokoginta,2003)
( Delbare andDhert, 1996)
PembahasanKepadatan puncak populasi Daphnia sp.
pada media yang diberi kotoran ayam
50% + kambing 25% + kuda 25% (P4)
menunjukkan hasil rerata kepadatan
puncak populasi tertinggi yaitu 1.840
individu/L. Tingginya kepadatan populasi
Daphnia sp. pada media yang diberi
kotoran ayam 50% + kambing 25% + kuda
25% (P4) karena pada media kultur
memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi yaitu 3,00% dan karbohidrat 37,55%
(Tabel 3). Suryanti dkk. (1997)
menyatakan bahwa protein dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya
pertumbuhan, sedangkan karbohidrat
berfungsi sebagai sumber energi (Nuraini
dan Nuraini, 2008). Kondisi media dengan
nutrisi yang baik atau cukup menurut
Zahidah (2012) dapat membuat Daphnia
sp. muda akan tumbuh dan berganti kulit
sehingga menjadi individu dewasa dan
bereproduksi yang akhirnya dapat
meningkatkan populasi Daphnia sp.
Pada media kultur yang diberi kotoran
kambing 100% (P2) menunjukkan hasil
rerata kepadatan puncak populasi
terendah yaitu 170 individu/L (Tabel 1).
Rendahnya kepadatan populasi Daphnia
sp. pada media P2 karena pada media
memiliki kandungan protein dan
karbohidrat yang lebih rendah
dibandingkan dengan P4 yaitu masing-
masing sebesar 2,25% dan 25,78% (Tabel
3). Suryanti dkk. (1997) menyatakan
bahwa kekurangan protein akan
berpengaruh negatif terhadap konsumsi
pakan yang berdampak terjadinya
penurunan berat tubuh, sedangkan
kekurangan karbohidrat menyebabkan
kurangnya sumber energi (Nuraini dan
Nuraini, 2008).
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 52
Kepadatan populasi Daphnia sp. juga
dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton
dalam media kultur. Menurut Suwignyo
(1989), pakan Daphnia sp. selain bahan
organik tersuspensi dan bakteri adalah
fitoplankton. Pertumbuhan populasi
Daphnia sp. pada hari pertama sampai
tahap puncak disebabkan oleh kandungan
unsur hara yang berasal dari kotoran
ternak yang terdapat dalam media kultur
dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk
pertumbuhan. Pada media yang diberi
kotoran ayam 50% + kambing 25% + kuda
25% (P4) memiliki kepadatan populasi
fitoplankton yang cukup tinggi sehingga
ketersediaan pakan bagi Daphnia sp.
tercukupi.
Pemakaian kotoran ternak sebagai bahan
media kultur diduga dapat merangsang
pertumbuhan mikroorganisme dan
fitoplankton yang berfungsi sebagai pakan
Daphnia sp. Hal ini berdasarkan pendapat
Setyamidjaja (1986), bahwa kotoran
ternak mengandung semua unsur hara
yang dapat dimanfaatkan fitoplankton
sebagai nutrisi bagi pertumbuhannya.
Sedangkan pada media yang diberi
kotoran kambing 100% (P2) memiliki
kepadatan puncak populasi fitoplankton
yang cukup rendah. Rendahnya populasi
fitoplankton pada P2 karena media yang
diberikan adalah kotoran kambing 100%
sehingga kandungan unsur hara dalam
media kultur kurang maksimal bagi
pertumbuhan fitoplankton. Kemudian
rendahnya kepadatan populasi Daphnia
sp. pada media P2 disebabkan oleh
kandungan amonia yang tinggi yaitu
mencapai 0,41mg/l (Tabel 4). Menurut
Delbare dan Dhert (1996) kadar amonia
yang tinggi dapat menurunkan tingkat
reproduksi Daphnia sp.
Penurunan populasi Daphnia sp. terjadi
pada hari ke 9 (Gambar 1), diduga karena
bahan organik dalam media kultur
semakin berkurang dan kandungan
amonia yang meningkat (Tabel 4).
Dugaan ini berdasarkan pernyataan
Firdaus (2004), bahwa penyebab
terjadinya penurunan populasi Daphnia
sp. setelah puncak populasi karena
semakin berkurangnya bahan organik
terlarut. Pernyataan tersebut didukung
oleh Mubarak (2009), bahwa kandungan
amonia berasal dari dekomposisi bahan
organik, sisa hasil metabolisme yaitu feses
dan urine, serta pemupukan pakan yang
tidak dimanfaatkan oleh Daphnia sp. yang
memiliki sifat racun dalam media
pemeliharaan.
Laju pertumbuhan populasi spesifik
Daphnia sp. pada media dengan
kombinasi kotoran ayam 50% + kambing
25% + kuda 25% (P4) menunjukkan laju
pertumbuhan populasi tertinggi,
sedangkan laju pertumbuhan populasi
Daphnia sp. pada media yang diberi
kotoran kambing 100% (P2) menunjukkan
hasil rerata laju pertumbuhan populasi
terendah (Tabel 2). Kondisi ini diduga
berhubungan dengan kandungan nutrisi
53 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Fadilah Suci
yang ada dalam media kultur tersebut.
Dugaan ini sesuai pendapat Hermawan
dkk. (2001), bahwa laju pertumbuhan
populasi zooplankton dipengaruhi oleh
media nutrien, suhu, dan kadar oksigen
dalam air.
Tingginya laju pertumbuhan populasi
spesifik Daphnia sp. pada media P4,
karena memiliki kandungan protein dan
karbohidrat yang cukup tinggi yaitu
masing-masing sebesar 3,00% dan
37,55%, sehingga dapat mencukupi
kebutuhan nutrisi Daphnia sp. Sedangkan
pada pemberian kotoran kambing 100%
(P2) memiliki kandungan protein dan
karbohidrat yang lebih rendah
dibandingkan dengan media P4 yaitu
masing-masing sebesar 2,25% dan
25,78% (Tabel 3) sehingga kurang
maksimal untuk kebutuhan nutrisi Daphnia
sp.
Kemudian pada media P4 memiliki
kepadatan puncak populasi fitoplankton
yang cukup tinggi sedangkan pada media
P2 memiliki kepadatan puncak fitoplankton
yang lebih rendah dibandingkan dengan
media P4. Semakin tinggi populasi
fitoplankton yang ada dalam media kultur
maka ketersediaan pakan bagi Daphnia
sp. juga meningkat, sehingga dapat
mencukupi kebutuhan energi untuk
pertumbuhan Daphnia sp. yang ditandai
dengan peningkatan populasi.
Peningkatan kepadatan fitoplankton
karena unsur hara yang terkandung dalam
kotoran ternak dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi fitoplankton untuk
pertumbuhannya. Pertumbuhan
fitoplankton dapat mendukung
pertumbuhan Daphnia sp. oleh salah satu
faktor yaitu konsentrasi pakan, jika faktor
tersebut terpenuhi maka pertumbuhan
Daphnia sp. berlangsung baik dan
menghasilkan populasi yang tinggi (Ninuk,
2011).
Suhu selama penelitian berkisar antara
27-28 ˚C dan masih berada dalam kisaran
optimum pertumbuhan Daphnia sp. (Tabel
4). Menurut Kusumaryanto (1988), suhu
optimum pertumbuhan Daphnia sp.
berkisar antara 22-32 ˚C. Oksigen terlarut
dalam media kultur secara keseluruhan
berkisar antara 3,5-3,8 ppm dan masih
berada dalam kisaran optimum
pertumbuhan Daphnia sp. (Tabel 4).
Menurut Kusumaryanto (1988), oksigen
terlarut yang baik untuk pertumbuhan
Daphnia sp. yaitu >3,5 ppm. Secara
keseluruhan pH pada penelitian ini
berkisar antara 7-8 dan masih berada
dalam kisaran optimum pertumbuhan
Daphnia sp. (Tabel 4). Menurut
Mokoginta (2003) pH netral dan relatif
basa pada kisaran 7,1-8,0 adalah pH yang
baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. Nilai
amonia selama penelitian berkisar antara
0,08-0,67 mg/l. Pada air media kultur
terjadi peningkatan amonia hingga hari
ke12 yang mengakibatkan terjadinya
penurunan populasi Daphnia sp. (Tabel 4).
Delbare dan Dhert (1996) menyatakan
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 54
kadar amonia yang tinggi dapat
menurunkan tingkat reproduksi Daphnia
sp. Kadar amonia yang aman bagi kultur
Daphnia sp. adalah di bawah 0,2 mg/L.
KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian diperoleh
kesimpulan yaitu penggunaan kombinasi
kotoran ayam 50% + kotoran kambing
25% + kotoran kuda 25% (P4) dalam
media kultur menunjukkan kepadatan
populasi tertinggi Daphnia sp.
dibandingkan dengan media lain yang diuji
yaitu 1.840 individu/L dengan laju
pertumbuhan populasi spesifik tertinggi
Daphnia sp. yaitu 56,51%/hari.
DAFTAR PUSTAKABecker, E. W. 1994. Microalgae
Biotechnology And Microbiology.Cambridge University Press. GreatBritain England.
Casmuji. 2002. Penggunaan SupernatanKotoran Ayam dan Tepung TeriguDalam Budidaya Daphnia Sp.[Skripsi]. Departemen BudidayaPerairan. Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan. Institut PertanianBogor. Bogor.
Delbare, D and P. Dhert. 1996.Cladocerans, Nematodes andTrocophara Larvae. In Manual onProduction and Use of Live Food(P. Lavens and P. Sorgelos, ens).page 283-295.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan Alami. Kansius.Yogyakarta.
Firdaus, M. 2004. Pengaruh BeberapaCara Budidaya TerhadapPertumbuhan Populasi DaphniaSp. [Skripsi]. Program StudiBudidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor. 47 hlm.
Hadiwigeno, S. 1984. Kultur MakananAlami (Daphnia sp.). DepartemenPertanian. Direktorat JendralPerikanan, BBAT. Sukabumi.
Hermawan, A., Anindiastuti., K.A. Wahyunidan E. Julianty. 2001. KajianPendahuluan Penggunaan PakanFermentasi Untuk Kultur MassalCyclops sp. Buletin Budidaya Laut13:14-23.
Isnansetyo, A dan Kurniastuti. 1995.Teknik Kultur Fitoplankton danZooplankton. Pakan Alami UntukPembenihan Organisme Laut.Kanisius. Yogyakarta.
Kusumaryanto, H. 1988. Pengaruh JumlahInokulasi Awal TerhadapPertumbuhan Populasi, Bimassadan Pembentukkan EpipiumDaphnia sp. Skripsi. FakultasPerikanan. Institut PertanianBogor.
Mokoginta, I. 2003. Budidaya Pakan AlamiAir Tawar. Direktorat JenderalPendidikan Dasar dan Menengah.Departemen Pendidikan Nasional.
Mubarak, A.S. 2009. Pemberian DolomitPada Kultur Daphnia sp. SistemDaily Feeding Pada PopulasiDaphnia sp. dan KestabilanKualitas Air. Jurnal IlmiahPerikanan dan Kelautan. 1(1): 67-72.
Mufidah, N., B.S. Rahardja, dan W.H.Satyantini. 2009. PengkayaanDaphnia sp. Dengan ViternaTerhadap Kelangsungan Hidupdan Pertumbuhan Larva LeleDumbo (Clarias gariepinus). JurnalIlmiah. Universitas Airlangga.Surabaya.
Ninuk. 2011. Dinamika Fitoplankton.Indonesian Aquaculture. TequisaIndonesia. Jakarta.
55 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Fadilah Suci
Nuraini dan Nuraini. 2008. Pertumbuhandan Kelulushidupan Benih IkanBaung Yang Diberi Pakan BokashiDipelihara di Air Rawa. TerokaRiau. 8(3): 43-57.
Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk danPemupukan. Jakarta: Simplex.hlm.122
Suryanti, Y., A. Priyadi, dan N. Suhenda.1997. Pemberian Pakan BuatanUntuk Ikan Gabus (Chana striatus)Dalam Keramba di KalimantanTimur. Jurnal Penelitian PerikananIndonesia. 3(3): 35-40.
Suwignyo, S.T. 1989. Avertebrata Air.Lembaga Sumberdaya Informasi,IPB. 127 hal.
Sulasingkin, D. 2003. PengaruhKonsentrasi Ragi yang BerbedaTerhadap Pertumbuhan PopulasiDaphnia sp. Skripsi. FakultasPerikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor.
Zahidah, 2012. Pertumbuhan PopulasiDaphnia sp. Yang Diberi Pupuk LimbahBudidaya Karamba Jaring Apung (KJA) diWaduk Cirata Yang Telah DifermentasiEM4. Jurnal Akuatika. III(1): 84-94.
Kombinasi Kotoran Ternak ... / 56
1 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Lia Anggraini
PENGARUH PEMBERIAN STRESS OSMOTIK TERHADAP KADAR TOTAL LIPIDMIKROALGA Porphyridium sp. DAN Isochrysis sp. PADA SALINITAS YANG
BERBEDA
THE EFFECT OF GIVING OSMOTIC STRESS TOWARD THE LEVEL OF LIPID TOTAL OFPorphyridium sp. AND Isochrysis sp. MICROALGAE AT DIFFERENT SALINITY
Lia Anggraini1*, Endang Linirin Widiastuti1, Sri Murwani1
1Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
*e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Mikroalga merupakan salah satu produsen primer yang diduga memiliki kandungan lipid tinggi untukdimanfaatkan sebagai energi alternatif. Mikroalga yang memiliki kandungan lipid cukup tinggidiantaranya adalah Porphyridium sp. dan Isochrysis sp. Pemberian stress osmotik diduga dapatmeningkatkan kadar total lipid mikroalga Porphyridium sp. dan Isochrysis sp. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui pengaruh pemberian stress osmotik berupa perbedaan salinitas terhadap kadar totallipid pada mikroalga Porphyridium sp. dan Isochrysis sp. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulanJanuari - Februari 2016 di Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam Universitas Lampung. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkapdengan faktorial yang terdiri dari 2 jenis mikroalga serta 4 taraf salinitas 20 ppt, 25 ppt, 30 ppt, dan 35ppt, serta 3 kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu kepadatan populasi, laju pertumbuhan, dan kadartotal lipid. Data dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan diuj lanjut dengan Uji Tukey HSDpada taraf 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan populasi tertinggi terjadi pada perlakuanIsochrysis sp. pada salinitas 35 ppt. Mikroalga yang menyumbang lipid tertinggi pada tiap selnya adalahPorphyridium sp. pada salinitas 20 ppt sebesar 6x10-6 g/sel dan Isochrysis sp. pada salinitas 20 pptsebesar 45x10-7 g/sel.
Kata Kunci: Porphyridium, Isochrysis, salinitas, stress osmotik, kadar total lipid
ABSTRACT
Microalgae is one of the primary producers that presumably have high lipid contents used as analternative energy. Microalgae which have sufficient high lipid contents are Porphyridium sp. andIsochrysis sp. It was expected that giving osmotic stress to microalgae Porphyridium sp. and Isochrysissp. may increase the level of lipid total themselves. This research purposed to determine giving osmoticstress in different salinity levels to the total lipid content of microalgae Porphyridium sp. andIsochrysis sp.This research was conducted on January until February 2016 in Biomolecular Laboratory, Department ofBiology, Mathematics and Natural Sciences Faculty, University of Lampung. This experiment were usingcomplete randomized design with factorial within two species of microalgae and four levels of salinitynamely 20 ppt, 25 ppt, 30 ppt, and 35 ppt with three replicantions. Observed parameters are populationdensity, growth rate, and the level of lipid total. Data were analyzed by using Analysis of Variant (Anova)and advanced test using Tukey - HSD Test with significance level at a = 5%. The result showed that thehighest level of lipid total is Isochrysis sp. with treatment 35 ppt of salinity. Microalgae that contribute thehighest level of lipid total each cell is Porphyridium sp. with treatment 20 ppt of salinity are 6x10-6 g/celland Isochrysis sp. with treatment 20 ppt of salinity 45x10-7 g/cell.
Keywords: Porphyridium, Isochrysis,salinity, osmotic stress, the level of lipid total
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016: hal. 57 - 65ISSN : 2338-4344
Pengaruh Pemberian Stress Osmotik ... / 58
PENDAHULUAN
Mikroalga merupakan mikroorganisme
bersel tunggal yang berbentuk seperti
benang. Hidupnya melayang-layang di
dalam air dan keberadaannya sangat
dipengaruhi oleh gerakan air (Davis, 1951).
Alga sangat berperan penting sebagai
produsen primer. Hal ini karena mikroalga
memiliki kemampuan untuk berfotosintesis
dengan cara mengubah sinar matahari, air,
dan karbondioksida menjadi energi seperti
layaknya tumbuhan tingkat tinggi (Kawaroe,
2010). Pertumbuhan dari Porphyridium sp.
sendiri bergantung pada ketersediaan
nutrien, suhu, intensitas cahaya, pH,
karbondioksida, dan salinitas (Sleigh, 1989).
Porphyridium sp. merupakan mikroalga
yang memiliki kecepatan pertumbuhan
tinggi dan masa panennya cepat, memiliki
kandungan asam lemak tinggi, bersifat
dapat terbaharukan dan ramah lingkungan
sehingga berpotensi untuk dikembangkan
sebagai biodiesel (Kabinawa, 2005). Selain
Porphyridium sp. terdapat mikroalga yang
diduga mengandung lipid yang cukup tinggi,
salah satunya yaitu Isochrysis sp. (Christi,
2007).
Lipid merupakan sejumlah senyawa yang
terdapat di alam. Lipid sukar larut atau
tidak dapat larut dalam air, namun dapat
larut dalam pelarut organik non polar seperti
pentana, benzen, dietil eter, alkohol dan
kloroform. Lipid memiliki fungsi biologis
sebagai komponen struktural membran
serta penyimpanan energi (Panggalo,
2012).
Pertumbuhan dan perkembangan mikroalga
Porphyridium sp. dan Isochrysis sp.
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah salinitas. Salinitas atau
kadar garam dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan
mikroalga. Salinitas yang tidak sesuai,
berpengaruh langsung terhadap kelang-
sungan hidup dan tingkat pertumbuhannya
(Odum, 1993). Kondisi lingkungan dan
tempat tumbuh mikroalga yang tidak sesuai
berpengaruh terhadap kandungan lipid
mikroalga tersebut. Saat mikroalga me-
ngalami tekanan, akumulasi lipid cenderung
mengalami peningkatan (Kawaroe et al.,
2010). Hal ini merupakan bentuk adaptasi
yang dilakukan organisme terhadap
salinitas yang tidak optimal untuk tumbuh
sehingga cenderung tidak mengeluarkan
banyak energi. Perbedaan salinitas ini
berpengaruh terhadap tekanan osmosis dan
mekanisme osmoregulasi yang bertujuan
untuk menyamakan konsentrasi garam
internal dengan konsentrasi garam yang
berada di lingkungan luar (Widianingsih,
2011). Pada kondisi tidak normal, mikroalga
tetap berfotosintesis dengan bantuan CO2
dan mengakumulasi hasilnya dalam bentuk
karbohidrat dan lipid (Schenk et.al, 2008).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh pemberian stress osmotik
terhadap kadar total lipid mikroalga
Porphyridium sp. dan Isochrysis sp. pada
salinitas yang berbeda.
59 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Lia Anggraini
BAHAN DAN METODEBahanPenelitian ini dilaksanakan pada bulan
Januari sampai Februari 2016 di
Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian yaitu air laut steril, air tawar steril,
mikroalga uji Porphyridium sp. dan
Isochrysis sp. yang didapat dari
Laboratorium Pakan Alami Balai Besar
Perikanan Budidaya Laut Lampung, Pupuk
Conwy, Garam Krosok, Formalin, Kaporit,
Alkohol 70 %, NaOH, Aquades, Kloroform,
dan Metanol untuk proses ekstraksi
pengukuran kadar total lipid mikroalga.
Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) dengan faktorial yang
terdiri dari 2 jenis mikroalga, Porphyridium
sp. dan Isochrysis sp. masing masing pada
level salinitas 20 ppt, 25 ppt, 30 ppt, dan 35
ppt.
Kultur kedua mikrolaga pada salinitas yang
berbeda tersebut dilakukan selama 8 hari
dan dihitung kepadatannya setiap hari
dengan menggunakan alat haemocytometer
di bawah mikroskop. Adapun rumus
kepadatan sel menurut Mudjiman (2007)
adalah sebagai berikut:
Ʃ Sel / ml = N x 104
Keterangan:
N : Jumlah rata-rata sel
Setelah didapatkan nilai kepadatannya
kemudian dihitung laju pertumbuhan
spesifik menggunakan rumus modifikasi
menurut Becker (1994) yaitu:
µ = x 100 %Keterangan :No : Kepadatan awal populasi (Ind/L)
Nt : Kepadatan puncak populasi (Ind/L)
t : Waktu (hari)
µ : Laju Pertumbuhan Populasi (%/hari)
Ekstraksi LipidEkstraksi dilakukan dengan cara
mensentrifugasi hasil kultur untuk
memisahkan mikroalga dengan air
pelarutnya. Setelah mengendap, air
pelarutnya dibuang untuk mendapatkan
mikroalga basah berbentuk natan. Natan
yang telah terpisah tersebut kemudian
ditimbang sebanyak 3 g. Tahap selanjutnya
adalah menguji kandungan lipid dengan
menggunakan metanol dan kloroform
dengan perbandingan 1 : 1 (1 ml : 1 ml) lalu
dihomogenkan selama kurang lebih 1 menit
kemudian didiamkan di dalam kulkas
selama 15 menit. Setelah didiamkan, natan
tersebut diberi akuades 1 ml lalu kemudian
disentrifugasi hingga terpisah larutan
lipidnya. Lipid tersebut diambil dan ditaruh
di cawan petri steril untuk dikeringkan.
Setelah itu tahap selanjutnya dilakukan
evaporasi atau dikeringkan menggunakan
alat desikator kemudian dilakukan
penimbangan. Padatan yang telah kering
ini sebagai hasil perhitungan kadar total
lipid. Lipid yang telah diketahui berat
Pengaruh Pemberian Stress Osmotik ... / 60
keringnya kemudian dilarutkan kembali
menggunakan akuades untuk diukur
dengan spektrofotometer menggunakan
panjang gelombang 680 nm (Wayan et al,
2012). Data dianalisis dengan one way
Anova dan dilakukan uji lanjut dengan Uji
Tukey HSD.
HASIL DAN PEMBAHASANHasil
1. Kepadatan PopulasiKultur mikroalga skala laboratorium
dilakukan selama 8 hari. Kepadatan
populasi dihitung setiap hari hingga akhir
pengkulturan. Dari perhitungan kepadatan
didapatkan data seperti yang disajikan pada
tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Kepadatan populasi malga pada salinitas berbeda (Ind/ml)
Harike
Jenis mikroalga / salinitasPorphyridium sp Isochrysis sp
20 ppt 25 ppt 30 ppt 35 ppt 20 ppt 25 ppt 30 ppt 35 ppt1 1500 + 0a 1500 + 0 a 1500 + 0 a 1500 + 0 a 2000 + 0 a 2000 + 0 a 2000 + 0 a 2000 + 0 a
2 953 + 89 c 1232 + 138c
1570 + 18 b 1563 + 24bc
2233+ 14a
2358 +142a
2217 + 176a
2408 + 188a
3 708 + 81 c 935 + 74 c 1630 + 5 b 1608 +36 b 2467 +184a
2525 + 75a
2525+ 241 a 2667 + 142a
4 533 + 104d
700 + 156 cd 1385 + 152bc
1653 + 28b
1967 +593b
1902 +258b
2750 + 241a
2887 + 137a
5 370 + 133b
467 + 178 b 1005 + 161b
1530+ 289b
1317+ 401b
1325 + 25b
2760 + 910a
2853 + 568a
6 193 + 65 b 328 + 136 b 775 + 152 b 1220 +220ab
900 + 327b
767 + 250b
2170 + 930a
2483 + 726a
7 115 + 10 c 180 + 72 c 475 + 109 bc 945 + 157abc
250 + 175 c 408 + 404bc
1708 +969ab
1903 + 871a
8 50 + 0 b 75 + 25 b 175 + 25 ab 583 + 339ab
67 + 29 b 125 + 109b
1067 +682ab
1200 + 736a
Keterangan :- Angka pada baris yang sama diikuti dengan huruf superscriptyang sama tidak berbeda nyata
padataraf α = 0,05- Angka yang diarsir menunjukkan kepadatan tertinggi
Tabel 1 menunjukkan kepadatan puncak
terjadi pada hari yang berbeda pada
masing-masing perlakuan. Perlakuan
Porphyridium sp. pada salinitas 20 ppt dan
salinitas 25 ppt tidak mengalami
peningkatan pada hari kedua. Namun pada
salinitas 30 ppt memiliki tingkat kepadatan
yang berbeda nyata dibandingkan pada
salinitas lebih rendah yaitu salinitas 20 ppt
dan salinitas 25 ppt, serta pada salinitas 30
ppt dan pada salinitas 35 ppt pada hari ke-
4. Demikian pula untuk perlakuan Isochrysis
sp., puncak kepadatan populasi pada media
kultur terjadi di hari ke 4 dan pada salinitas
yang tinggi yaitu pada salinitas 35 ppt dan
salinitas 35 ppt.
2. Laju PertumbuhanHasil pengukuran rata-rata laju
pertumbuhan dari mikroalga Porphyridium
sp. dan Isochrysis sp. yang diberi perlakuan
salinitas yang berbeda disajikan pada
Gambar 1.
61 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Lia Anggraini
Gambar 1. Rata-rata laju pertumbuhanmikroalga (%). Por = Porphyridiumsp. dan Iso = Isochrysis sp.
Gambar 1 menunjukkan rata-rata laju
pertumbuhan spesifik. Terdapat dua
perlakuan yang laju pertumbuhannya
sangat rendah atau di bawah 0%, yaitu
pada perlakuan Porphyridium sp. pada
salinitas 20 ppt dan perlakuan Porphyridium
sp. pada salinitas 25 ppt. Hal ini
menunjukkan bahwa pada kedua salinitas
tersebut laju kematiannya lebih tinggi dari
laju pertumbuhannya. Kemudian pada
mikroalga Isochrysis sp. rata-rata laju
pertumbuhan tertinggi pada salinitas 25 ppt
yaitu sebesar 0,12 %.
3. Kandungan LipidHasil perhitungan kandungan lipid pada
mikroalga Porphyridium sp. dan Isochrysis
sp. yang diberi perlakuan salinitas berbeda
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Berat kering lipid mikroalga (g). Por =Porphyridium sp. dan Iso =Isochrysis sp.
Berat kering lipid tertinggi adalah terjadi
pada perlakuan Isochrysis sp. pada salinitas
35 ppt, dan berat kering lipid yang paling
rendah terjadi pada dua perlakuan yaitu
pada perlakuan Porphyridium sp. pada
salinitas 25 ppt dan pada perlakuan
Isochrysis sp. salinitas 20 ppt.
Untuk memverifikasi kandungan lipid, maka
sample lipid dari masing-masing kelompok
mikroalga diuji kandungan lipidnya dengan
menggunakan spektrofotometri. Kandungan
lipid dengan uji spektrofotometri disajikan
pada gambar 3 sebagai berikut :
Gambar 3. Sampel lipid menggunakanspektrofotometri (Abs)
Seperti halnya pengukuran kandungan lipid
dengan gravimetri (berat kering), nilai
tertinggi pengukuran kandungan lipid
menggunakan spektrofotometri yaitu pada
perlakuan Isochrysis sp. pada salinitas 35
ppt yaitu sebesar 0,328. Sedangkan nilai
terendah pengukuran menggunakan
spektrofotometri adalah pada perlakuan
Porphyridium sp. pada salinitas 20 ppt dan
Porphyridium sp. pada salinitas 25 ppt yaitu
sebesar 0,003.
Jumlah lipid yang telah diketahui dihitung
kembali untuk mengetahui perkiraan kan-
dungan lipid yang dihasilkan oleh satu sel.
Perkiraan kandungan lipid per sel mikroalga
Porphyridium sp. yang dikultur pada
salinitas berbeda disajikan pada Tabel 2.
Pengaruh Pemberian Stress Osmotik ... / 62
Tabel 2. Perkiraan kandungan lipid per sel mikroalga Porphyridium sp. dan Isochrysis sp.Perlakuan Por 20 Por 25 Por 30 Por 35Kepadatan 50x104 sel/ml 75x104 sel/ml 175x104 sel/ml 583x104 sel/ml
Berat Kering Lipid 0,0029 g= 2,9 mg
0,0017 g= 1,7 mg
0,0064 g= 6,4 mg
0,007 g= 7 mg
Kepadatan terambil 483sel/ml
425sel/ml
3.733sel/ml
13.603sel/ml
Lipid yang dihasilkan 1sel
0,006 mg/sel=6x10-6 g/sel
0,004 mg/sel= 4x10-6 g/sel
0,0017 mg/sel= 17x10-7 g/sel
0,00051 mg/sel= 51x10-8 g/sel
Perlakuan Iso 20 Iso 25 Iso 30 Iso 35Kepadatan 66 x 104 sel/ml 125 x 104 sel/ml 1066 x 104
sel/ml1200 x 104 sel/ml
Berat Kering Lipid 0,0017 g= 1,7 mg
0,0029 g= 2,9 mg
0,0154 g= 15,4 mg
0,0187 g= 18,7 mg
Kepadatan terambil 374sel/ml
1.208 sel/ml 54.741 sel/ml 74.800 sel/ml
Lipid yang dihasilkan 1sel
0,0045 mg/sel= 45x10-7 g/sel
0,0024 mg/sel= 24x10-7 g/sel
0,00028 mg/sel= 28x10-8 g/sel
0,00025 mg/sel= 25x10-8 g/sel
Pada tabel 2 perkiraan lipid tertinggi yang
dihasilkan tiap satu sel yaitu pada perlakuan
Porphyridium sp. pada salinitas 20 ppt
sebesar 0,006 mg/sel. Demikian pula
perkiraan kandungan lipid per sel mikroalga
Isochrysis sp. tertinggi terdapat kultur
salinitas 20 ppt.
Pembahasan1. Kepadatan PopulasiKepadatan populasi Porphyridium sp. pada
salinitas 20 ppt dan 25 ppt lebih cepat
mengalami death phase atau fase kematian
dibanding Porphyridium sp. pada salinitas
yang lebih tinggi yaitu 30 ppt dan 35 ppt.
Pada perlakuan Porphyridium sp. dengan
salinitas 30 ppt, puncak kepadatan terjadi
pada hari ketiga, demikian juga pada
perlakuan Porphyridium sp. dengan
salinitas 35 ppt, puncak kepadatan terjadi
pada hari keempat. Sama halnya dengan
perlakuan pada mikroalga Porphyridium sp.,
pada perlakuan Isochrysis sp. puncak
kepadatan juga terjadi pada hari yang
berbeda pada masing-masing perlakuan.
Setelah fase puncak, semua perlakuan
menunjukkan penurunan populasi hingga
masuk ke dalam fase kematian.
Pertumbuhan mikroalga sendiri dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya nutrien,
intensitas cahaya, CO2 , pH, temperatur,
serta salinitas yang dibutuhkan dalam
proses fotosintesis (Fogg, 1965). Pada
awal pengkulturan, nutrien dari pupuk yang
diberikan masih tinggi dan dimanfaatkan
dengan baik sehingga terjadi peningkatan
populasi. Sebaliknya, setelah fase puncak,
jumlah populasi mikroalga terus meningkat
namun jumlah nutrien tidak mencukupi
kebutuhan mikroalga sehingga terjadi
persaingan antara mikroalga satu dengan
yang lainnya dan mengakibatkan
penurunan populasi (Round, 1973).
Selain itu, perbedaan puncak kepadatan ini
disebabkan oleh stress osmotik berupa
salinitas yang diberikan pada perlakuan.
Salinitas yang tidak sesuai dengan salinitas
hidup mikroalga yang diberikan pada
63 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Lia Anggraini
perlakuan ini mempengaruhi tekanan
osmosis antara sel dan medium kultur.
Media kultur yang bersifat bersifat hipertonis
dan hipotonis terhadap sel mikroalga ini
mengganggu keseimbangan osmotik sel.
Terganggunya keseimbangan osmotik sel
ini membuat sel melakukan adaptasi
dengan cara penyeimbangan osmotik pada
lingkungan dalam sel dan lingkungan luar
sel (Erdmann dan Hagemann, 2001).
Keadaan ini membuat sel melakukan
respon dengan cara menarik ion. Namun
pada saat yang bersamaan, penarikan
osmotik air dari vakuola terus berlangsung.
Hal ini mengakibatkan penyusutan sel dari
dinding sel (Hart et al, 1991). Toleransi
terhadap perlakuan salinitas yang dilakukan
oleh mikroalga ini membuat nutrien yang di
dapat dari pupuk conwy kurang terserap
dengan baik (Hastuti dan Djunaidah, 1991).
Pada mikroalga Porphyridium sp. hanya
pada salinitas 30 ppt dan 35 ppt saja yang
menunjukkan kepadatan yang tinggi karena
sesuai dengan salinitas normal untuk kultur
mikroalga yaitu ± 32 - 36 ppt (Effendi,
2003). Berbeda dengan mikroalga
Isochrysis sp. yang pertumbuhannya cukup
tinggi pada semua salinitas. Hal ini karena
mikroalga Isochrysis sp. memiliki toleransi
yang tinggi pada salinitas (euryhaline).
Isochrysis sp. sendiri dapat hidup pada
kisaran salinitas 10 – 30 ppt (Sudjiharno,
2002).
2. Laju PertumbuhanLaju pertumbuhan merupakan tolak ukur
untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan
mikroalga yang dihitung persatuan waktu
kultur (Myers, 1995). Laju pertumbuhan
pada mikroalga Isochrysis sp. cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan mikroalga
Porphyridium sp. Hal ini dimungkinkan
karena ukuran sel Isochrysis sp. lebih kecil
dibandingkan ukuran sel mikroalga
Porphyridium sp. sehingga dapat lebih
mudah melakukan perbanyakan sel.
Menurut Bouterfas et al, (2006), sel yang
memiliki ukuran lebih kecil memiliki masa
tumbuh yang lebih cepat dibandingkan
dengan sel yang berukuran besar. Selain
ukuran sel, stress osmotik yang diberikan
pada perlakuan mempengaruhi laju
pertumbuhan mikroalga. Dalam memper-
tahankan kelangsungan hidupnya dari
keadaan yang ekstrim tersebut, mikroalga
cenderung tidak melakukan perbanyakan
sel (Schenk et al, 2008).
3. Kandungan LipidKandungan lipid dihitung berdasarkan berat
kering dan nilai absorbansi dengan
spektrofotometri. Kandungan lipid tertinggi
pada jenis mikroalga Porphyridium sp. pada
perlakuan dengan salinitas 35 ppt,
sementara kandungan lipid tertinggi pada
jenis mikroalga Isochrysis sp. pada
perlakuan dengan salinitas 35 ppt.
Perlakuan yang memiliki kepadatan rendah,
hasil perhitungan berat kering dan
spektrofotometri menunjukkan lipid yang
rendah pula. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan lipid meningkat seiring
meningkatnya kepadatan dan laju
pertumbuhan sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Safitri (2013).
Pengaruh Pemberian Stress Osmotik ... / 64
Pada perhitungan perkiraan kandungan lipid
per sel, perlakuan yang menyumbang lipid
tertinggi tiap sel nya pada kedua mikroalga
adalah pada salinitas 20. Salinitas 20 ppt
merupakan salinitas di bawah salinitas
hidup mikroalga Porphyridium sp. Pada
salinitas ini mikroalga mengalami cekaman
yang ekstrim sehingga menghasilkan
kepadatan yang rendah. Namun menyum-
bang kandungan lipid yang cukup tinggi
dalam pengukuran per individunya. Diduga
mikroalga dalam cekaman osmotik tersebut
mempertahankan diri dengan menghasikan
lipid pada pertumbuhan secara alami
tubuhnya. Pada proses ini pula, pertum-
buhan cenderung melambat agar tidak
mengeluarkan banyak energi saat
beradaptasi (Widianingsih, 2011). Secara
alami, dalam kondisi tidak normal atau
dalam keadaan stress osmotik yang terjadi,
dapat mengganggu keseimbangan osmotik
antara lingkungan luar dan lingkungan
dalam sel (Erdmann dan Hagemann, 2001).
Untuk menghindari keluarnya air maka perlu
dibentuk dinding sel yang memiliki
kemampuan mempertahankan keluarnya air
dari sel. Dalam keadaan ekstrim ini, laju
pertumbuhan semakin rendah namun
kandungan lipid yang diperoleh semakin
tinggi (Duan et al, 2012).
SIMPULAN DAN SARANSimpulanKesimpulan dari penelitian ini adalah
kepadatan populasi tertinggi terjadi pada
perlakuan Isochrysis sp. pada salinitas 35
ppt. Mikroalga yang menyumbang lipid
tertinggi pada tiap selnya adalah
Porphyridium sp. pada salinitas 20 ppt dan
Isochrysis sp. pada salinitas 20 ppt. Stress
osmotic mempengaruhi kandungan lipid
mikroalga.
SaranSaran dalam penelitian ini adalah perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan
pemberian stress osmotik berupa salinitas
yang berbeda terhadap mikroalga sejenis
maupun dengan jenis lainnya. Selain itu
perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
uji lipid secara kuantitatif dengan metode
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, E.W. 1994. MicroalgaeBiotechnology and Microbiology. NewYork Cambridge.
Bouterfas, R., M. Belkoura, A. Dauta. 2006.The effects of irradiance andphotoperiod on the growth rate ofthree freshwater green algae isolatedfrom a eutrophic lake. Limnetica,25(3): 647–656.
Chisti, Y. 2007. Biodiesel From Microalgae.BiotechnologyAdvances, Vol.25.
Davis, C.C. 1951. The Marine FreshwaterPlankton. Michigan State UniversityPress. USA.
Duan, X., Ren., Guang., Yue., L.Liu., Zhu.,W.Xue. 2012. Salt-induced OsmoticStress For Lipid Overproduction inBatch Culture of Chlorella vulgaris.AfricanJ. Biotechnol., Vol.11 (27) :7072-7078.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air BagiPengelolaan Sumberdaya danLingkungan Perairan. UGM Press.Yogyakarta.
65 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Lia Anggraini
Erdmann, N and M. Hagemann. 2001. SaltAcclimation of Algae andCyanobacteria: A Comparison. In: L.CRai and J.P Gaur. Algal Adaptation toEnvironmental Stres. Physiological,Biochemical and MolecularMechanism. Springer-Verlag BerlinHeidelberg. German.pp. 324-350.
Fogg, G.E. 1965. Algal Cultures andPhytoplankton Ecology. TheUniversity of Wisconsin Press.Medison.
Hart, B.T., Bailey., P.Edwards., K.Hortle.,K.James., and A.Mc Mahon. 1991. AReview of the Salt Sensitivity of theAustralian Freshwater Biota.Hydrobiologia 210:105-144.
Hastuti, W dan Djunaidah. 1991. Heavymetal activate Synthesis Of PeptidesIn Chlamydomonas Reinhardtii, Plant,Physiol, 98: 127 –136.
Kabinawa and Miyamoto. 1994. Cultivationof Algae Cells Chlorella pyrenoidesa.Annual Report of IC Biotech.International Center of Cooperative inBiotechnology, Engineering Faculty ofOsaka. Osaka – Japan.
Kawaroe, M. 2010. The Prospect of MarineMicroalgae as Biofuel (Oilgae) forFuture Alternative of Energy Source.Pusat Penelitian Surfaktan danBioenergi Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Kawaroe, M., T.Partono., A.Sunnudin.,S.W.Sari., D.Agustine. 2010.Mikroalga : Potensi danPemanfaatannya untuk Produksi BioBahan Bakar. untuk Biofuel. InstitutPertanian Bogor Press. Bogor.
Mudjiman, A.2007.MakananIkan PT.PenebarSwadaya, Jakarta.
Myers, J. 1995.Growth Characteristic OfAlgae In Relation To TheProblem OfMass Culture. Carnigie Institution OfWashingtonPublication, DC.
Odum. 1993. Fundamental of Ecology. W.B.Souders Company. Toronto. 577 pp.
Panggalo, E.S. 2012. Identifikasi PengaruhVariabel Kultur PertumbuhanTerhadap Total Lipid MikroalgaMenggunakan Metode PermukaanRespon [skripsi] UniversitasIndonesia. Jakarta.
Round, F.E. 1973. The Biology Of Algae.Edward Arnold. 278 pp. London
Safitri, M.E., R. Diantari., Suparmono., danM. Muhaemin. 2013. KandunganLemak Total Nannochloropsis sp.Pada Fotoperiode Yang Berbeda e-Jurnal Rekayasa dan TeknologiBudidaya Perairan Volume I No 2ISSN: 2302-3600
Schenk, P. M., Griffiths., and Harisson.2008. Second Generation Biofuel :High Efficiency Microalgae forBiodesel Production. Bioenergy.
Sleigh, M.A. 1989. Adaptations of ciliarysystems for the propulsion of waterand mucus. Comp. Biochem. Physiol.94A:359-364.
Sudjiharno. 2002. Budidaya Fitoplanktondan Zooplankton. DepartemenKelautan dan Perikanan DirektoratJenderal Perikanan Budidaya, BalaiBudidaya Laut Lampung.
Wayan, N.S.A., M.Afriastini., Maulida,Yoana. 2012. Potensi Asam LemakDari Mikroalga Nannochloropsis sp.Sebagai Antioksidan Dan Antibakteri.Seminar Nasional XI PendidikanBiologi FKIP UNS 3-204.
Widianingsih., R.Hartati., E.H.Endrawati.,M.Hilal. 2011. Kajian Kadar Total Lipiddan Kepadatan Nitzschia sp. yangDikultur dengan Salinitas Berbeda.Undip E-Journal 4030-8655-1.
Pengaruh Pemberian Stress Osmotik ... / 66
1 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
PREVALENSI NEMATODA USUS PADA KAMBING (Capra sp.) DENGAN PEMBERIANPAKAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SUMBER AGUNG,
KECAMATAN KEMILING, BANDAR LAMPUNG
THE PREVALENCE OF INTESTINAL NEMATODES IN GOATS (Capra sp.) BY FEEDINGFORAGE AND ARTIFICIAL FOOD (CONCENTRATE) IN SUMBER AGUNG VILLAGE,
KEMILING, BANDAR LAMPUNG
Amanda Amalia Putri1*, Sri Murwani1, Suratman Umar1
1Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kambing merupakan salah satu hewan ternak yang menguntungkan karena pakannya mudah danmurah, produktivitasnya tinggi, dan tidak perlu tempat yang luas untuk pemeliharaannya.Nematodiasis yang disebabkan oleh nematoda parasit yang berasal dari pakan hijauan adalahmasalah yang banyak dialami peternak kambing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuigenus nematoda usus dan prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feseskambing, serta untuk mengetahui perbedaan rerata jumlah telur cacing nematoda usus antarakambing yang diberi pakan hijauan dan pakan tambahan konsentrat. Sampel feses kambing diambildi Kelurahan Sumber Agung dan diperiksa di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampungpada Desember 2015 sampai Januari 2016. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap(RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan: P1 sebagai kontrol (100% hijauan), P2 (75% hijauan + 25%konsentrat), dan P3 (50% hijauan + 50% konsentrat). Data dianalisis menggunakan One WayANOVA dengan taraf signifikasi α = 5% dan uji lanjut dengan LSD. Hasil penelitian menunjukkanterdapat 6 genus telur cacing nematoda usus yaitu Haemonchus, Mecistocirrus, Oesophagustomum,Strongyloides, Trichuris, dan Trichostrongylus. Terjadi penurunan rerata jumlah telur cacingnematoda usus pada kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat (P2 dan P3) dibandingkandengan kontrol (P1). Prevalensi genus telur cacing nematoda usus terdapat pada Strongyloides danterendah terdapat pada Mecistocirrus. Disimpulkan bahwa pemberian pakan tambahan konsentratmembantu menurunkan tingkat infeksi cacing nematoda usus pada ternak.
Kata kunci: Prevalensi, kambing, hijauan, konsentrat, nematoda usus
ABSTRACT
Goats are one of the lucrative livestock because feed is easy and cheap, high productivity, and doesnot need a spacious place for their maintenance. Nematodiasis caused by parasitic nematode inforage is a problem for the breeders. The purpose of this research were to know the genuses ofintestinal nematode and prevalenceof intestinal nematode worm egg that found in goat feces and toknow the difference in average of the worm eggs intestinal nematode in goat feces with forage andartificial food (concentrate). Goat feces samples were taken in Sumber Agung village and examinedin Laboratory of Parasitology, Balai Veteriner Lampung on December 2015 untill January 2016. Theexperiment was arranged under completely randomized design (RAL) with 3 treatments and 6replications: P1 as control (100% forage), P2 (75% forage + 25% concentrate), and P3 (50% forage +50% concentrate). Data were analyzed with the variance (Anova) and will be continued by LSD testperformed at 5% significance level. The results showed that there were 6 genus of intestinalnematode worm eggs Haemonchus, Mecistocirrus, Oesophagustomum, Strongyloides, Trichuris, andTrichostrongylus. There was a decrease in average of the worm eggs intestinal nematode in goatfeces with artificial food treatment (P2 dan P3) compared with control (P1). The highest prevalence ofintestinal nematode worm eggs was Strongyloides and the lowest was Mecistocirrus. The conclutionof this research was the artificial food (concentrate) could decrease the worm infection on livestock.
Key words: Prevalence, goat, forage, concentrate, intestinal nematode
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 67-75ISSN : 2338-4344
Prevalensi Nematoda Usus ... / 68
PENDAHULUANKambing merupakan jenis ternak
ruminansia yang lebih kecil dibandingkan
dengan sapi dan kerbau. Memelihara
kambing tidak sulit dan hanya memerlukan
modal sedikit daripada ternak ruminansia
lain dan biasanya sebagai usaha
rumahan, sehingga pakannya pun cukup
beragam, salah satunya adalah pakan
hijauan. Berbagai jenis hijauan yang
digemari oleh kambing antara lain daun
turi, lamtoro, dan nangka (Pamungkas
dkk., 2009). Namun ada kendala yang
dialami oleh peternak yaitu kambing yang
terinfeksi cacing parasit pada saluran
pencernaan yang dapat mengganggu
kesehatan, serta menurunkan
produktivitas, dan menyebabkan
kematian. Kontaminasi cacing parasit
berasal dari pakan hijauan yang
dikonsumsi dan telah terinfestasi larva
parasit (Safar dan Ismid, 1989).
Pakan utama ternak ruminansia berupa
hijauan, namun pemberian pakan hijauan
saja belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi, oleh karena itu harus
dikombinasikan dengan pakan konsentrat
untuk melengkapi kekurangan gizi dari
pakan hijauan dan untuk meningkatkan
produktivitas (Malibu, 2014). Peranan
pakan tambahan konsentrat sebagai
pakan pelengkap dan pemenuhan
kebutuhan hewan agar tumbuh dan
berkembang secara sehat (Akoso, 1996).
Pakan hijauan yang diduga telah
terinfestasi larva parasit menjadi salah
satu faktor utama cacingan yang akhirnya
dapat menyebabkan penyakit bila
dikonsumsi oleh ternak (Safar dan Ismid,
1989).
Penyakit tersebut salah satunya
disebabkan oleh cacing nematoda yang
berada di dalam saluran pencernaan.
Telur nematoda tersebut masuk ke dalam
tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui
mulut dan dalam bentuk larva melalui kulit
(Garcia dan David, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian Novese dkk.
(2013), prevalensi nematoda di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Kota
Pontianak masih tinggi sebesar 56,25%
menyebabkan kerugian ekonomi yang
cukup tinggi bagi peternak karena
menyebabkan pertumbuhan ternak
menjadi tidak optimal (Tiuria, 2004).
Oleh karena itu penelitian dilakukan untuk
mengetahui keanekaragaman nematoda
usus pada kambing dengan pemberian
pakan yang berbeda melalui pemeriksaan
feses. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui keanekaragaman
nematoda usus yang ditemukan pada
feses-feses kambing, perbedaan rerata
jumlah telur cacing nematoda usus antara
kambing yang diberi pakan hijauan dan
kambing yang diberi pakan tambahan
konsentrat, dan prevalensi telur cacing
nematoda usus yang ditemukan pada
feses kambing.
69 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
BAHAN DAN METODESampel feses diambil dari ternak milik
warga di Kelurahan Sumber Agung pada
Desember 2015 sampai Januari 2016.
Penelitian menggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
3 perlakuan dan 6 ulangan. Pemberian
pakan diberikan pada pagi dan sore hari
selama 14 hari dengan rincian pemberian
pakan: P1 (100% hijauan), P2 (75%
hijauan + 25% konsentrat), dan P3 (50%
hijauan + 50% konsentrat). Pengambilan
sampel feses kambing dilakukan
sebanyak 3 kali yaitu sebelum kambing
diberi perlakuan, seminggu setelah
kambing diberi perlakuan, dan 2 minggu
setelah kambing diberi perlakuan.
Pemeriksaan sampel feses kambing
diidentifikasi secara kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan metode
Mc.Masteryang dilakukan di Laboratorium
Parasitologi, Balai Veteriner Lampung.
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram
dan diaduk dalam mortar sambil
ditambahkan NaCl jenuh sebanyak 28 ml
hingga larut, kemudian saring dengan
menggunakan saringan 100 mesh. Filtrat
yang dihasilkan ditampung di dalam
beaker glass lain. Sisa feses yang masih
ada dalam saringan, dilarutkan kembali
dengan menggunakan NaCl jenuh
sebanyak 30 mL dan filtrat yang dihasilkan
tetap ditampung dalam beaker glass yang
sama. Filtrat dalam beaker glass
digoyang perlahan agar tercampur rata,
setelah itu filtrat dipipet dan dimasukkan
ke dalam Mc.Master plate hingga penuh
lalu didiamkan selama 4 - 5 menit.
Preparat kemudian diperiksa di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x dan
dipotret untuk dicocokkan dengan buku
acuan menurut Soulsby (1977). Jumlah
telur cacing yang ditemukan dikalikan
dengan 100 per jenis telur sesuai dengan
rumus pembacaan hasil EPG (Egg Per
Gram) seperti berikut :
Nilai EPG = 100 X
X = Jumlah telur cacing yangditemukan
(Colville, 1991).
Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan uji One Way ANOVA
dengan taraf signifikasi α = 5% dan uji
lanjuut LSD untuk mengetahui perbedaan
rerata jumlah telur cacing nematoda usus
yang ditemukan antara kambing yang
diberi pakan hijauan dan kambing yang
diberi pakan tambahan konsentrat.
Prevalensi nematoda dihitung
menggunakan rumus menurut Fuentes
dkk (2004):
Prevalensi= X 100%
Keterangan:i : Jumlah kambing yang diperiksa dan
terinfeksi nematoden : Jumlah seluruh kambing yang diperiksa
Prevalensi Nematoda Usus... / 70
HASIL DAN PEMBAHASANHasil1. Genus-genus dari telur cacing
nematoda usus yang ditemukanpada feses kambing
Hasil identifikasi menggunakan metode
Mc.Master ditemukan 6 genus telur cacing
nematoda usus yaitu Hamonchus,
Mecistocirrus, Oesophagustomum,
Strongyloides, Trichuris, dan
Trichostrongylus yang dapat dilihat pada
Gambar 1.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 1. Telur cacing nematoda usus padafeses kambing (a) Haemonchus, (b)Mecistocirrus,(c) Oesophagustomum,(d) Strongyloides, (e) Trichuris,(f) Trichostrongylus
Hasil pemeriksaan menggunakan metode
Mc.Master diperoleh stadium telur yang
belum dapat diidentifikasi sampai tingkat
spesies, meskipun Thienpont dan
Rochette (1979) menyatakan bahwa
cacing dari jenis Strongylus equinus dapat
diidentifikasi sampai tingkat spesies
karena memiliki 16 lingkaran usus yang
terdapat di dalam tubuhnya pada saat
larva stadium 3.
Haemonchus yang sering disebut dengan
cacing lambung mempunyai ciri yaitu
bentuk telurnya yang agak bulat dan
berukuran panjang mencapai 71,80 µm
serta lebar 49,52 µm. Telur Haemonchus
memiliki dinding yang tipis dan di
dalamnya terdapat 16 - 32 sel (Rahayu,
2007).
Ciri dari telur Mecistocirrus hampir mirip
dengan telur Haemonchus yang
membedakan adalah bentuk telur
Mecistocirrus agak lonjong dibandingkan
dengan telur Haemonchus. Panjang telur
Mecistocirrus mencapai 47,53 µm dan
lebar 26,16 µm (Darma dan Putra, 1997).
Oesophagustomum sering disebut dengan
cacing bungkul karena di dalam telurnya
terdapat bungkul-bungkul yang berisi
larva. Bentuk telurnya oval berwarna
keputih-putihan dengan panjang mencapai
39,02 µm dan lebar 23,55 µm (Akoso,
1996).
Strongyloides sering disebut dengan
cacing benang karena di dalam telur
terdapat larva yang melengkung mirip
dengan benang. Bentuk telurnya agak
lonjong dan memiliki lapisan dinding telur
yang tipis dengan panjang telur mencapai
71 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
81,27 µm serta lebar 42,06 µm (Schad,
1989).
Ciri dari telur Trichuris adalah berwarna
kecoklatan dan bentuknya yang mirip
seperti tempayan dengan terdapat dua
kutub di ujungnya. Panjang telur Trichuris
mencapai 52,75 µm dan lebar 22,38 µm
(Natadisastra, 2009).
Trichostrongylus sering disebut dengan
cacing rambut karena bentuknya yang
tipis dan halus seperti rambut. Telur
Trichostrongylus berbentuk lonjong
dengan salah satu ujungnya yang
meruncing. Panjang telur
Trichostrongylus mencapai 41,48 µm dan
lebar 21,09 µm (Taylor, 2007).
2. Rerata jumlah telur cacingnematoda usus yang ditemukanpada feses kambing
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh
rerata jumlah telur cacing nematoda usus
antara kambing yang diberi pakan hijauan
dan pakan tambahan konsentrat pada
minggu ke 0, 1, dan 2. Perbedaan rerata
jumlah telur cacing nematoda usus pada
kambing yang diberi pakan hijauan 100%
(P1) berbeda nyata (α = 5 %) dengan
kambing yang diberi pakan tambahan
konsentrat (P2 dan P3). Hasil rerata
jumlah telur cacing dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rerata jumlah telur cacingnematoda usus pada kambing
yang diberi perlakuan pakan yangberbeda
Perla-kuan
Waktu pengamatan (Rerata ± Std. Dev *)Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2
P1 8,00 ±5,020a
16,50 ±3,271a
12,00 ±2,828a
P2 1,17 ±0,408b
1,50 ±0,548b
2,17 ±1,169b
P3 3,50 ±2,074b
3,00 ±1,095b
2,33 ±1,966b
Keterangan:(*)= Angka yang diikuti indeks huruf yangsama dalam satu kolom menunjukkanperlakuan tidak berbeda nyata pada tarafsignifikasi α 5 %.Perlakuan 1 (P1) : 100% hijauanPerlakuan 2 (P2) : 75% hijauan + 25%konsentratPerlakuan 3 (P3) : 50% hijauan + 50%konsentrat
Hasil penelitian menunjukkan adanya
penurunan jumlah telur cacing nematoda
usus yang terdapat pada feses kambing
setelah diberi pakan tambahan konsentrat
pada P2 dan P3 yang berbeda nyata (α =
5 %) dibandingkan dengan P1 (Tabel 1).
Rerata jumlah telur cacing nematoda usus
sebelum diberi perlakuan (P1) cukup tinggi
baik pada minggu ke 0, 1, dan 2 yang
berkisar antara 8,00 sampai dengan
16,50. Kemudian pada minggu ke 2
setelah diberi pakan tambahan konsentrat
terlihat penurunan yang nyata pada P2
dan P3 dengan rerata yang berkisar
antara 2,17 sampai dengan 2,33
dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1).
3. Prevalensi genus telur cacingnematoda usus yang ditemukanpada feses kambing
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat
beberapa genus telur cacing nematoda
Prevalensi Nematoda Usus... / 72
usus yang menginfeksi kambing antara
lain Hamonchus, Mecistocirrus,
Oesophagustomum, Strongyloides,
Trichuris, dan Trichostrongylus dengan
prevalensi yang berbeda-beda seperti
terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus pada feseskambing minggu ke 0 sebelum diberi perlakuan sampaiminggu ke 2 setelah diberi perlakuan
Keterangan:HMC = Haemonchus; MEC = Mecistocirrus; OPG = Oesophagustomum; SGD = Strongyloides;TCS = Trichuris; TCT = Trichostrongylus
Prevalensi Strongyloides adalah
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
jenis telur cacing lainnya yaitu sebesar
72,22% pada minggu ke 0, 94,44% pada
minggu ke 1, dan 61,11% pada minggu ke
2. Prevalensi Mecistocirrus adalah
terendah dibandingkan dengan prevalensi
jenis telur cacing lainnya yaitu sebesar
5,55% pada minggu ke 0, kemudian 0%
pada minggu ke 1, dan 5,55% pada
minggu ke 2.
PembahasanPemberian pakan tambahan konsentrat
berpengaruh nyata terhadap jumlah telur
cacing nematoda usus yaitu semakin
menurun baik pada P2 dan P3
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
diduga pakan hijauan mengalami
kontaminasi larva atau telur cacing yang
lebih besar berkurang ketika hijauan
dicampur dengan konsentrat. Dugaan ini
berdasarkan pendapat Gaddie dan
Douglas (1977) bahwa cacing menyukai
bahan organik sebagai media tumbuhnya
yang berasal dari tumbuhan yang segar
dan seresah daun. Namun tidak
menyukai tumbuh-tumbuhan yang telah
lapuk dan terdekomposisi. Minnich (1977)
menambahkan bahwa cacing memakan
bahan organik yang sedang mengalami
proses dekomposisi dibanding yang sudah
terdekomposisi.
Perbedaan prevalensi telur cacing yang
ditemukan pada feses kambing di
Kelurahan Sumber Agung mungkin karena
dipengaruhi oleh faktor makanan,
44,44
5,55
16,66
72,22
05,55
22,22
0
50
94,44
16,66
5,55
38,88
5,55
61,11 61,11
11,11
22,22
0102030405060708090100
HMC MEC OPG SGD TCS TCT
Prev
alen
si (%
)
Genus telur cacing yang ditemukan
Minggu ke 0
Minggu ke 1
Minggu ke 2
73 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
kebersihan dan lingkungan. Kemungkinan
ini berdasarkan pendapat Gasbarre dkk
(1990) bahwa cacing gastrointestinal
dipengaruhi oleh cara pemeliharaan yang
efisien dan pemberian makanan bagi
ternak. Di sekitar kandang ternak
kambing di Kelurahan Sumber Agung
masih terdapat tumbuhan semak yang
cukup lebat dan saluran air atau selokan
yang dapat mendukung berkembangnya
vektor parasit, sehingga kemungkinan
kelanjutan siklus hidup cacing masih
cukup tinggi.
Perbedaan prevalensi terlihat pada
kambing yang diberi pakan hijauan saja
dan yang diberi pakan tambahan
konsentrat. Perbedaan ini diduga
disebabkan oleh kambing yang diberi
pakan hijauan dicampur dengan pakan
tambahan konsentrat kemungkinan
terinfeksi oleh stadium infektif dari cacing
lebih kecil dibandingkan dengan kambing
yang hanya diberi pakan hijauan saja. Hal
ini berdasarkan hasil penelitian Putra dkk
(2014) yang menyatakan bahwa
perbedaan prevalensi cacing trematoda
pada sapi di Bali yang diberi pakan
hijauan sebesar 38% berbeda nyata (P <
0,05) dibandingkan dengan sapi yang
diberi pakan hijauan yang ditambahkan
konsentrat dengan prevalensi sebesar
16%.
Prevalensi Strongyloides tertinggi diduga
bahwa cacing ini mudah dan cepat
menetas dalam waktu singkat. Dugaan ini
karena larva Strongyloides yang tertelan
masuk ke dalam tubuh hospes mampu
bersembunyi dalam usus dan telurnya
menetas dengan cepat dalam waktu 24
jam (Levine, 1994). Mardiana (2008)
menambahkan tanah yang tercemar
dengan feses juga diduga penyebab
terjadinya transimisi telur cacing dari tanah
ke tubuh hospes melalui kulit atau kuku
yang mengandung telur cacing, lalu
masuk ke mulut bersama makanan.
Prevalensi Mecistocirrus terendah diduga
disebabkan morfologinya yang mirip
dengan Haemonchus sehingga sulit
dibedakan. Dugaan ini berdasarkan
pendapat Urquhart (1996) bahwa
Mecistocirrus pada ternak muda jarang
ditemukan, tapi yang lebih sering
ditemukan adalah Haemonchus diduga
karena Mecistocirrus dan Haemonchus
memiliki kemiripan dari segi habitat yang
sama yaitu abomasum, morfologi serta
gejala klinis sehingga relatif sulit untuk
dibedakan.
SIMPULAN DAN SARANSimpulanKesimpulan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah ditemukannya 6 genus telur
cacing nematoda usus yaitu Haemonchus,
Mecistocirrus, Oesophagustomum,
Strongyloides, Trichuris, dan
Trichostrongylus. Terjadi penurunan
rerata jumlah telur cacing nematoda usus
pada kambing yang diberi pakan
Prevalensi Nematoda Usus... / 74
tambahan konsentrat dibandingkan
dengan kontrol. Prevalensi genus telur
cacing tertinggi yaitu Strongyloides,
sedangkan prevalensi terendah adalah
Mecistocirrus.
SaranSaran dalam penelitian ini adalah perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
pemberian pakan hijauan pada ternak
yang telah dilayukan terlebih dahulu
dengan rentang waktu pengamatan yang
lebih lama.
DAFTAR PUSTAKAAkoso, B., T. 1996. Kesehatan Sapi.
Kanisius.Yogyakarta.
Colville, J. 1991. Diagnostic Parasitologyfor Veterinary Technicians.American Veterinary Publications,Inc.5782. Thormwood. DriveGolete. California 93117 Page 19-24.
Darma, D.M.N., dan A. A. G. Putra. 1997.Penyidikan Penyakit Hewan, BukuPegangan. CV. Bali MediaAdhikarsa. Denpasar. 161-175
Fuentes, S.V., M. Saez, M. Trelis.,C.Munos-atoli, dan G. J.Esteban.2004. The Helminth Community ofApodemus Sylvaticus(Rodentia,Muridae) in the Sierra deGredos (Spain). Arxius de Miscel-Idnia Zoologica 2:1-6. Spain.
Gaddie, R. E., dan D. E. Douglas.1977.Earthworm for Ecologyand Profit.Vol II. Bookworm PublishingCompany Ontario.California.
Garcia, L. S., dan David. 1994. DiagnostikParasitologi Kedokteran. BukuKedokteran EGC.Jakarta.
Gasbarre, L.C., E.A. Leighton, dan C. J.Davies. 1990. Genetic control ofimmunity to gastrointestinalnematodes of cattle. J VeterinParasitol 37:257–272.
Levine, N. D. 1994. Parasitology Veteriner.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Mardiana, D. 2008. Prevalensi CacingUsus Pada Murid Sekolah DasarWajib Belajar Pelayanan GerakanTerpadu Pengentasan KemiskinanDaerah Kumuh Di Wilayah DKIJakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan.Vol 7 No 2 Agustus 2008.
Malibu, Y . 2014. Pengaruh PemberianKonsentrat Yang MengandungTepung Daun Gamal, Vitamin BKompleks Dan Obat CacingTerhadap Pertambahan BobotBadan dan Konversi Pakan PadaSapi Bali. [internet]http://PengaruhPemberianKonsentratYangMengandungTepungDaunGamal,VitaminBKompleksDanObatCacingTerhadapPertambahanBobotBadanDanKonversiPakanPadaSapiBali. Diakses pada 21 Oktober2015 pukul 13:31 WIB.
Minnich, J. 1977. The Earthworm BookHow to Raise and Use Earthwormsfor Your Farm and Garden. RodalePress Emmaus, P.A. United Statesof America.
Natadisastra, D dan R. Agoes. 2009.Parasitologi Kedokteran: Ditinjaudari Organ Tubuh yang Diserang.Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Novese, T., R.T. Setyawati, S.Khotimah.2013. Prevalensi dan IntensitasTelur Cacing Parasit pada FesesSapi (Bos sp.) Rumah PotongHewan (RPH) Kota PontianakKalimantan Barat. JurnalProtobiont. Vol 2 (2): 102-106.
75 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M.Doloksaribu, dan E. Sihite. 2009.Potensi Beberapa Plasma NutfahKambing Lokal Indonesia. Juknis.Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan,Badan Penelitian danPengembangan Pertanian,Departemen Pertanian.
Putra, R. D., N.A Suratma, I. B. M. Oka.2014. Prevalensi Trematoda padaSapi Bali yang Dipelihara Peternakdi Desa Sobangan, KecamatanMengwi, Kabupaten Badung. FKH,Universitas Udayana. Bali.Indonesia Medicus Veterinus 2014.3(5) : 394402 ISSN : 2301-7848.
Rahayu, R.Y. 2007. Komposisi KimiaRabbit Nugget dengan KomposisiFiller Tepung Tapioka yangBerbeda [Skripsi]. FakultasPeternakan Universitas GajahMadaYogyakarta.
Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasit-parasit intestinal yang ditemukanpada murid Sekolah Dasarpusat kota, derah perkebunan,daerah pertanian, dan daerahnelayan kotamadya, PadangSumatera Barat. Prosiding SeminarParasitologi Nasional V.P41. Jakarta. Hal: 222.
Schad, G. A. 1989. Morphology and lifehistory of Strongyloides stercoralis.In: Grove DI, editor.Strongyloidiasis a majorroundworm infection of man.London: Taylor and Francis.
Soulsby, E. J. L. 1977. Helminth,Arthropods dan Protozoa ofDomesticated Animals. LeaFebiger, Sixth Edition. Phildelphia.
Taylor, M.A., R. L. Coop, dan R. L Wall.2007. Veterinary Parasitology.Blackwell Publishing. Navarra,Spain.
Thienpont, D., dan F. Rochette.1979.Diagnosing Helminthiasis byCoprological Examination, Firstedition. Jansenn ResearchFoundation. Beerse, Belgium.
Tiuria, R. 2004. Immunologi PenyakitParasiter Metazoa dan ProspekPengembangan Vaksin, ProsidingSeminar Parasitology danToksikologi Veteriner 2004. PusatPenelitian dan PengembanganPeternakan. Bogor.hal : 45-50.
Urquhart, G. M.1996. VeterinaryParasitology. Blackwell Science.Malden USA.
Prevalensi Nematoda Usus... / 76
1 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Amanda Amalia Putri
1 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Welmi Nopia Ningsih
KEANEKARAGAMAN PHYTOTHELMATA DI KAWASAN PEMUKIMAN DANPERKEBUNAN DESA TAMAN SARI, GEDONG TATAAN, PESAWARAN
DIVERSITY OF PHYTOTHELMATA AT RESIDENTIAL AND PLANTATION AREA INTAMAN SARI VILLAGE, GEDONG TATAAN, PESAWARAN
Welmi Nopia Ningsih1*, Emantis Rosa1, Jani Master1
1Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Nyamuk merupakan vektor dari beberapa jenis penyakit yang merugikan manusia. Jumlah populasinyamuk dapat dipengaruhi oleh tempat perindukan. Tempat perindukan nyamuk sangat beragam,salah satunya phytothelmata yang termasuk ke dalam tempat perindukan alami nyamuk.Phytothelmata merupakan tumbuhan penampung genangan air sehingga dapat digunakan sebagaitempat perindukan serangga termasuk nyamuk. Tujuan penelitian ini adalah mengetahuikeanekaragaman phytothelmata di lokasi beberapa pemukinan dan perkebunan sekitar kawasanDesa Taman Sari, Gedong Tataan, Pesawaran yang dilaksanakan dari Januari-Maret 2016. Prosesidentifikasi nyamuk dilakukan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Lampung. Analisis data menggunakan Indeks KeanekaragamanShanon-Wiener dan Indeks Dominansi Simpons. Jenis phytothelmata yang ditemukan di areapemukiman sebanyak delapan jenis dan di perkebunan sebanyak tujuh jenis. Hasil penelitianmenunjukkan keanekaragaman phytothelmata di area pemukiman dan perkebunan dalam kategorisedang (1,835 dan 1,613) dan kategori rendah untuk indeks dominansi (0,182 dan 0,262).
Kata kunci: keanekaragaman, dominansi, phytothelmata, tempat perindukan
ABSTRACT
Mosquitoes are vectors of several types of diseases that harm humans. Total population may beaffected by the mosquito breeding places. Breeding places are very diverse, one of them isphytothelmata which included into natural breeding place. Phytothelmata are water container plantthat can be used as breeding place of insects including mosquito. The purpose of this research wereto know the diversity of phytothelmata at residental area in Taman Sari village, Gedong Tataan,Pesawaran on January-March 2016 in a few of residential and plantation area. Identification processwere conducted in Botanical Laboratory, Biology Departement, Math and Science Faculty, LampungUniversity. Data were analyzed with Shanon-Wiener diversity index and Simpons domination index.Phytothelmata type found in residential areas as much as eight types and in plantations of seventypes. The result showed that diversity of phytothelmata in residential and plantation area were atmedium category (1,835 and 1,613) and low for the category domination index (0,182 and 0,262).
Keyword: diversity, dominantion, phytothelmata, breeding place
PENDAHULUANPhytothelmata merupakan salah satu
tempat perindukan alami yang digunakan
nyamuk untuk menyelesaikan siklus hidup
(Rosa et al., 2012). Phytothelmata pada
awalnya didefinisikan oleh Varga dalam
Kitching (2000) sebagai tumbuhan yang
dapat dijadikan sebagai tempat
penampungan air. Hal ini didasari hasil
penemuan Varga yang melihat adanya
jenis tumbuhan yang dapat menampung
genangan air dan sebagai tempat
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016 : hal. 77-83ISSN : 2338-4344
Keanekaragaman Phytotelmata di Kawasan ... / 78
berlangsungnya interaksi berbagai jenis
flora dan fauna. Famili Culicidae
merupakan salah satu famili yang banyak
ditemukan mendiami sebagian besar
phytothelmata.
Gedong Tataan merupakan salah satu
daerah di provinsi Lampung dengan luas
wilayah perkebunan 25,88% dan kawasan
hutan negara 27,99% dari luas wilayah
total kabupaten Pesawaran
(Pesawarankab, 2013). Banyak dan
luasnya area perkebunan diduga bahwa
kawasan Gedong Tataan memiliki
berbagai jenis phytothelmata yang dapat
digunakan sebagai tempat perindukan
nyamuk. Hal ini juga didukung oleh
adanya kasus Demam Berdarah Denguedi
Gedong Tataan yang cukup tinggi,
demikian juga dengan penyakit lainnya
yang ditularkan oleh nyamuk cenderung
meningkat (Dinkesprov, 2012).Penelitian
tentang phytothelmata juga sebelumnya
telah dilakukan oleh Prasetyo (2015),
dengan ditemukannya 17 jenis
phytothelmata di kota Metro, provinsi
Lampung yang berpotensi sebagai tempat
perindukan alami nyamuk vektor demam
berdarah. Untuk itu, penelitian ini
dilakukan guna menemukan keberadaan
tumbuhan yang termasuk kedalam
golongan phytothelmata serta kaitannya
sebagai tempat perindukan alami nyamuk.
BAHAN DAN METODEPenentuan lokasi sampling dilakukan
dengan menggunakan metode Purposive
sampling di dua area pemukiman dan dua
area perkebunan tiap dusun pada enam
dusun yang ada di Desa Taman Sari,
Gedong Tataan, Pesawaran.
Pengambilan sampel dilakukan secara
langsung di titik pengambilan sampel.
Sampel phytothelmata yang ditemukan
akan langsung diamati dan difoto lalu
diidentifikasi. Bagi tanaman yang belum
diketahui jenisnya akan diambil beberapa
bagian tubuh tanaman dan kemudian akan
diidentifikasi lebih lanjut di Laboratorium.
Phytothelmata akan diidentifikasi
menggunakan buku identifikasi Van
Steenis (2006). Data yang didapatkan
dianalisis menggunakan Indeks
Keanekaragaman Shanon-Wiener
(Michael, 1984) dengan rumus :
H’ = -∑ Pi ln Pi,dimana Pi = ni/ NKeterangan:H’ : Indeks Shanon-Wienerni : Jumlah individu spesies ke-iN : Jumlah total individu
Untuk mendapatkan nilai dominansi data
juga akan dianalisis menggunakan Indeks
Dominansi Simpsons (Odum, 1993)
dengan rumus :
Ds = ∑ (Pi)2,
dimana Pi = ni/ NKeterangan :Ds : Indeks Simpsonni : Jumlah individu spesies ke- iN : Jumlah total individu
79 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Welmi Nopia Ningsih
HASIL DAN PEMBAHASANPengamatan terhadap phytothelmata yang
ditemukan di Desa Taman Sari,
Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten
Pesawaran didapatkan hasil sebagai
berikut :
Tabel 1. Komposisi jenis-jenis phytothelmata yang ditemukan di area pemukiman danperkebunan
NoArea pemukiman Area perkebunan
Famili Jenis Tipe ∑ Vol.air Famili Jenis Tipe ∑ Vol.
air1
2
3
4
5
6
7
Araceae
Bromeliaceae
Dracaenaceae
Malvaceae
Musaceae
Ruscaceae
Sapindaceae
A. macrorhizaC. esculenta
G. sanguinea
D. fragrans
T. cacao
M paradisiaca
P angustifolia
N. lappaceum
KDKD
KD
KD
KB
KD
KD
LP
16
4
6
1
8
3
1
28121
460
180,35
126
331,75
105,75
97
Arecaceae
Bromeliaceae
Dracaenaceae
Malvaceae
Musaceae
Pandanaceae
Bambusaceae
C. nucifera
A. comosus
D. fragrans
T. cacao
M paradisiaca
P. amaryllifolius
Bambusa sp.
KBdanTG
KD
KD
KBdanLP
KD
KD
TB
8
2
1
4
10
1
13
519,5
22,8
39
84,25
305,5
5,75
692,4
Keterangan: KD = kelopak daun, TG = tanaman gugur, KB = kulit buah, TB =tunggul bambu,LP = lubang pohon, Vol. air = volume air (ml), dan ∑ = jumlah individu
Pada Tabel 1, phytothelmata yang
ditemukan di area pemukiman sebanyak
tujuh famili dengan delapan jenis
tumbuhan. Dari tujuh famili tumbuhan,
yang paling banyak ditemukan jenisnya
adalah famili Araceae dengan jenis
tumbuhan Alocasia macrorhiza dan
Colocasia esculenta sedangkan yang
lainnya seperti famili Bromeliaceae
dengan jenis Guzmania sanguinea, famili
Dracaenaceae dengan jenis Dracaena
fragrans, famili Malvaceae dengan jenis
Theobrema cacao, famili Musaceae
dengan jenis Musa paradisiaca,
Ruscaceae denganjenis Pleomele
angustifolia dan Sapindaceae dengan
jenis Nephelium lappaceum hanya
ditemukan satu jenis tiap familinya.
Musa paradisiaca merupakan jenis yang
paling banyak ditemukan di lokasi
penelitian yaitu sebanyak delapan individu
sedangkan jenis yang paling sedikit
adalahAlocasia macrorhiza yaitu sebanyak
satu individu. Di area pemukiman, volume
air paling banyak pada phytoythelmata
yaitu jenis Guzmania sanguinea sebanyak
460 ml dan yang paling sedikit pada
Alocasia macrorhiza sebanyak 28 ml.
Jenis phytothelmata di area perkebunan
sebanyak tujuh jenis yang terdiri dari tujuh
famili tumbuhan yaitu, famili
Arecaceaedengan jenisCocos nucifera,
famili Bromeliaceaedengan jenisAnanas
comosus, famili Dracaenaceaedengan
jenisDracaena fragrans, famili
Malvaceaedengan jenisTheobrema cacao,
Keanekaragaman Phytotelmata di Kawasan ... / 80
famili Musaceaedengan jenisMusa
paradisiaca, famili Pandanaceae dengan
jenisPandanus amaryllifolius dan famili
Bambusaceaedengan jenisBambusa sp..
Tiap famili hanya diwakili oleh satu jenis
tumbuhan saja.
Bambusa sp. merupakan jenis phytothel-
mata yang banyak ditemukan di lokasi
penelitian sebanyak 13 individu.
Dracaena fragrans dan Pandanus
amaryllifolius merupakan jenis yang jarang
ditemui di area perkebunan karena hanya
ditemukan sebanyak satu individu. Pada
area perkebunan, volume air terbanyak
ditampung oleh Bambusa sp. sebanyak
692,4 ml sedangkan paling sedikit pada
Pandanus amaryllifolius sebanyak 5,75 ml.
Tabel 2. Indeks keanekaragaman dandominansi phytothelmata yangditemukan di area pemukimandan perkebunan
No Tipe area H’ Ds1 Pemukiman 1,835 0,1542 Perkebunan 1,756 0,213
Keterangan: H’: indeks keanekaragaman; Ds:indes dominansi
Indeks keanekaragaman di area
pemukiman sebesar 1,835 dan di area
perkebunan sebesar 1,756. Nilai
dominansi phytothelmata di area
pemukiman sebesar 0,154 dan di area
perkebunan sebesar 0,213.
PembahasanTabel 1. menunjukkan pada area
pemukiman famili tumbuhan yang memiliki
jenis tumbuhan paling banyak adalah
famili Araceae dengan jenis Alocasia
macrorhiza dan Colocasia esculenta. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Prasetyo
(2015), yang menemukan jenis
phytothelmata seperti Alocasia indica,
Colocasia esculenta dan Dieffenbachia
amoena yang merupakan famili Araceae
sebagai jenis yang paling banyak
ditemukan dibandingkan dengan famili
lainnya.
Jenis phytothelmata yang paling banyak
ditemukan adalahMusa paradisiaca. Hal
tersebut karena jenis tanaman ini banyak
ditanam oleh penduduk di sekitar
lingkungan rumahnya untuk digunakan
sebagai tanaman konsumsi yang diambil
buah, jantung, dan daunnya. Jenis
tanaman yang jarang ditemukan adalah
Alocasia macrorhiza, Nephelium
lappaceum, dan Theobrema cacao.
Alocasia macrorhiza dan Nephelium
lappaceum jarang ditemukan karena
merupakan jenis tanaman hias dan
tanaman buah yang ditanam sesuai
dengan keinginan penduduknya
(Werdiningsih, 2007), sedangkan jenis
Theobrema cacao jarang ditemukan di
area pemukiman karena termasuk
kedalam jenis tanaman perkebunan yang
juga banyak tersebar di sekitar area
pemukiman walaupun dengan jumlah
yang sedikit.
Volume air paling banyak pada
phytoythelmata yaitu Guzmania sanguinea
sebanyak 460 ml dan yang paling sedikit
81 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Welmi Nopia Ningsih
pada Alocasia macrorhiza sebanyak 28
ml. Hal ini dikarenakan Guzmania
sanguinea memiliki morfologi tanaman
dengan kelopak daun yang lebar dan lebih
terbuka sehingga genangan air dapat
tertampung secara maksimal sedangkan
Alocasia macrorhiza memiliki ketiak daun
yang cenderung menyempit sehingga
genangan air menjadi terbatas.
Tumbuhan yang mewakili perkebunan
hanya ditemukan satu jenis yang mewakili
tiap familinya. Jenis yang paling banyak
ditemukan di area perkebunan
adalahBambusa sp. dan Musa
paradisiaca. Hal tersebut karena wilayah
Gedong Tataan merupakan daerah yang
banyak digunakan sebagai area
perkebunan terutama bagi komoditi kakao,
pisang, kelapa, dan jagung (Febryano et
al., 2009), sehingga jumlah tanaman
seperti bambu dan pisang masih banyak
ditemukan. Jenis yang sedikit ditemukan
adalah Dracaena fragrans yang
merupakan jenis tanaman hias dan
Pandanus amaryllifolius yang merupakan
jenis tanaman pangan yang banyak
ditanam di area pekarangan rumah
sehingga jarang ditemui pada area
perkebunan.
Phytothelmata di area perkebunan yang
paling banyak menampung genangan air
yaitu, Bambusa sp. sebanyak 692,4 ml
sedangkan paling sedikit pada Pandanus
amaryllifolius sebanyak 5,75 ml. Bambusa
sp. merupakan jenis phytothelmata yang
tergolong tipe tunggul bambu yang
memiliki bentuk silinder atau pipa
sehingga jumlah air yang tertampung lebih
banyak dibandingkan dengan Pandanus
amaryllifolius yang merupakan tipe
kelopak daun yang luas area
genangannya lebih kecil. Bentuk pipa
pada bambu juga diketahui memiliki suhu
genangan air yang lebih dingin
dibandingkan dengan tipe kelopak daun
sehingga kadar penguapan air semakin
berkurang (Rosa et al., 2016).
Penelitian Rosa et al. (2012), juga
menyatakan bahwa pada phytothelmata
tipe ketiak daun memiliki bentuk morfologi
daun yang lebih terbuka sehingga terjadi
adanya proses penguapan yang
menyebabkan berkurangnya volume air
yang tertampung.Semakin banyak volume
air yang tertampung, maka akan semakin
baik bagi tempat perindukan
nyamuk.Kepadatan larva nyamuk paling
dipengaruhi oleh volume air yang
tertampung didalam phytothelmata selain
oleh temperatur, pH, dan kandungan kimia
air (Rosa et al., 2016).
Keanekaragaman di area pemukiman dan
perkebunan tergolong dalam tingkatan
sedang dengan nilai indeks sebesar 1,835
dan 1,756. Dominansi phytothelmata di
area pemukiman dan perkebunan
tergolong dalam katergori rendah dengan
nilai indeks 0,154 dan 0,213.
Keanekaragaman Phytotelmata di Kawasan ... / 82
Phytothelmata di area pemukiman lebih
beranekaragam dibandingkan dengan
area perkebunan karena jenis
phytothelmata yang ada di area
pemukiman lebih banyak dibandingkan
area perkebunan. Hal tersebut
dikarenakan jumlah jenis yang ditemukan
akan berpengaruh terhadap nilai
keanekaragaman. Menurut Kendeigh
(1980), jika jumlah jenis yang ditemukan
disuatu lokasi banyak maka indeks
keanekaragaman akan tinggi. Area
perkebunan memiliki jenis tanaman yang
mendominansi dengan jumlah lebih
banyak dibandingkan area
pemukimansehingga nilai indeks
dominansi di area perkebunan lebih tinggi.
SIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis
phytothelmata yang ditemukan di area
pemukiman sebanyak delapan jenis
dengan jenis yang paling banyak
ditemukan adalah Musa paradisiaca.
Jenis phytothelmata yang ditemukan di
area perkebunan sebanyak tujuh jenis
dengan jenis yang paling banyak
ditemukan adalah Bambusa sp.. Indeks
keanekaragaman total phytothelmata di
area pemukiman sebesar 1,835 dan di
area perkebunan sebesar 1,613 dan
termasuk dalam keanekaragaman tingkat
sedang. Dominansi total phytothelmata di
area pemukiman sebesar 0,182 dan di
area perkebunan sebesar 0,262 termasuk
dalam dominansi rendah.
DAFTAR PUSTAKA(Dinkesprov) Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung. 2012. Profil DinasKesehatan Provinsi LampungTahun 2012. [Internet]. Terdapatpada : Dinas kesehatan provinsilampung. htm. Diakses pada :19November 2015.
Febryano, I.G. Suharjito, D., Soedotomo,S. 2009. Pengambilan KeputusanPemilihan Jenis Tanamandan Pola Tanam di Lahan HutanNegara dan Lahan Miliki : StudiKasus di Desa SungaiLangka, Kecamatan GedongTataan, Kabupaten Pesawaran,Lampung. Forum PascaSarjana. 32(2) : 129-143.
Kendeigh, S.C. 1980. Ecology WithSpecies Reference to Animal andMan.Prentice Hall of India. NewDelhi.
Kitching, K. L. 2000. Food Webs andContainer Habitats : The NaturalHistory and Ecology ofPhytothelmata. CambridgeUniversity Press. New York.
Michael, P. 1984. Ecological Methods forField and Laboratory Investigation.Tata McGraw-Hill PublishingCompany Limited. New Delhi.
Odum, E. P. 1993. Dasar- Dasar Ekologi.Gajah Mada UniversityPress.Yogyakarta.
(Pesawarankab). Kabupaten Pesawaran.2013. Potensi PertanianKabupaten Pesawaran.[Internet].Terdapat pada :Pesawarankab.go.id. Diakses pada: 3 Januari 2016.
Prasetyo, A., Rosa, E., Yulianty. 2015.Keanekaragaman PhytothelmataSebagai Tempat Perindukan AlamiNyamuk Demam Berdarah di KotaMetro Provinsi Lampung.SeminarNasional Sains danTeknologi. 578- 583.
83 / Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati Welmi Nopia Ningsih
Rosa, E., Salmah, S., Dahelmi,Syamsuardi. 2012. Jenis dan TipePhytothelmata Sebagai TempatPerindukan Alami Nyamuk diBeberapa Lokasi diSumateraBarat. Prosiding SNSMAIP.Sumatera Barat.
Rosa, E., Dahelmi, Salmah, S.,Syamsuardi. 2016. Some Factor inWater Chemistery andPhysics that Determines theDensity of Diptera Larvae onPhytothelmata in Endemic Area’sof Dengue Hemmoragic Fever.ARPN Journal of Agricultural andBiological Science. 11 (2).
Van Steenis, C.G. 2006. Flora. PT.Pradnya Paramita. Jakarta.
Varga, L. 1928. Ein Interessater Biotop derBioconose vonWasserorganismen.BiologischesZentralblatt. 41. 143-162.
Werdiningsih, H. 2007. KajianPenggunaan Tanaman SebagaiAlternatif Pagar Rumah.JurnalIlmiah Perancangan Kota danPemukiman.
Keanekaragaman Phytotelmata di Kawasan ... / 84
PEDOMAN PENULISANJURNAL BIOLOGI EKSPERIMEN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Jurnal Biologi Eksperimen dan Keaneka-ragaman Hayati menerima naskah hasilpenelitian atau ulas balik (review/mini review)yang ditulis baik dalam Bahasa Indonesia atauBahasa Inggris, yang belum pernah diterbitkan,atau tidak sedang dalam pertimbangan untukditerbitkan di jurnal atau prosiding lain.
Naskah diketik dengan program microsoft wordpada kertas A4 dengan jenis huruf arial font 11.Jumlah halaman termasuk gambar dan tabelmaksimal sebanyak 10 halaman. Gambardibuat dalam betuk JPEG.
Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut :a. Judul
Ditulis dalam Bahasa Indonesia dan BahasaInggris
b. Nama Lengkap PenulisDitulis tanpa gelar akademik/kesarjanaan.Untuk naskah dengan penulis lebih dari satuorang, maka nama penulis untuk korespon-densi diberi tanda asterisk dan dilengkapidengan catatan kaki yang mencangkupnomor telepon/fax dan alamat e-mail.
c. Nama Lembaga/InstitusiDitulis dengan alamat lengkap serta kodepos
d. AbstrakBerisi ringkasan pokok bahasan lengkapdari keseluruhan naskah. Ditulis dalam satuparagraf dalam Bahasa Indonesia danBahasa Inggris dengan jumlah katamaksimal 250 kata.
e. Kata KunciDitulis dalam Bahasa Indonesia dan BahasaInggris dengan jumlah maksimum 5 kata,yang dimulai dari kata khusus sampai katayang paling umum
f. Alamat KorespondensiBerisi alamat penulis yang dapat dihubungi,terdiri dari nomor telepon/fax, alamat e-mail,serta alamat lain yang dapat dihubungiselain alamat lembaga/institusi.
g. PendahuluanBerisi latar belakang masalah, tinjauanpustaka dan tujuan, ditulis secara singkat,jelas, dan sistematis.
h. Bahan MetodeBerisi uraian tentang bahan dan alat yangdigunakan, cara kerja termasukpengambilan sampel, dan teknik analisisdata.
i. Hasil dan PembahasanBerisi uraian dalam urutan logis tentanghasil penelitian beserta sajian data dalambentuk gambar dan/atau tabel yangdilengkapi dengan pembahasan secarailmiah dan komprehensif.
j. KesimpulanBerisi pernyataan singkat, padat, tegas, danpasti dari hasil penelitian.
k. Ucapan Terima KasihMemuat ucapan penghargaan terhadapInstitusi penyandang dana penelitian atauorang yang membantu pelaksanaanpenelitian dan/atau penulisan laporan.
l. Daftar PustakaDitulis dengan memakai sistem nama-tahundan disusun secara abjad yang merupakanpustaka 5 tahun terakhir dan 50%-nyaadalah artikel dalam jurnal ilmiah
m. Gambar dan TabelGambar dan tabel dibuat mengikuti naskahartikel. Gambar dikirim denganmenggunakan JPEG.
Contoh Penulisan Tanda Matematika :Penulisan tanda matematika digabunguntuk : 2,50x21%, 13-24, dll.Penulisan tanda matematika yang tidakdigabung : 9 x 10-3, 34 < 45, 45 kg, 17 0C,dll.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka :Contoh artikelAmin, B. 2000. Kandungan Logam Berat Pb,
Cd, dan Ni pada Ikan Gelodok DariPerairan Dumai. Jurnal Ilmu KelautanUniversitas Diponegoro. 17:19-33.
Contoh bukuKateren. 1986.Minyak dan Lemak Pangan.
Jakarta. UI-Press.Contoh Bab dalam bukuMarkham, K. R. and Geiger, H. 1981.
Nuclear Magnetic SpectrociencearchSscopy of Flavonoids and TheirGlycosides in Hexadentero-dimethylsulfoxide. di dalam Harborn, J. B.(ed). The Flavonoids Advance inResearch Science. London. Chapman &Hall, Ltd.
Contoh Skripsi/Thesis/DisertasiElfizar. 2001. Deteksi Gerakan
Menggunakan Alur Optik UntukOtomatisasi Sistem Keamanan BerbasisKamera. Thesis Pasca Sarjana.Yogyakarta. UGM.
Contoh InternetESTCP FY95 Projects.1996. Plant Enhance
Bioremidiation of Contaminated Soil andGroundwater Avaliable.http://www.acg.osd.mil/ens/ESTCP.Proj-sum.html (9 Mei 1996)
Catatan:Gambar ditampilkan dalam kondisi hitam danputih. Jika gambar diinginkan tampil dalamkondisi berwarna, maka dikenakan biayatambahan sebesar.Rp. 25.000,- per halaman.
FORMULIR BERLANGGANAN
Untuk berlangganan Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati, mohon isidata berikut dan kirim kembali formulir berikut ke alamat sekretariat Jurnal di bawahini.
Kepada Yth.Ketua Pengelola JurnalBiologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayatidi Tempat.
Dengan ini saya bermaksud untuk berlangganan Jurnal Biologi Eksperimen danKeanekaragaman Hayati yang terbit 3 (tiga) kali setahun dengan biaya langgananRp. 250.000,- (dua ratus lima ribu rupiah) termaksuk ongkos kirim. Untuk yang berada diluar Sumatera ditambah Rp. 30.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).
CARA PEMBAYARAN :Saya telah melakukan transfer uang sebesar (beri tanda pada kotak yang sesuai) : Rp. 250.000,- / Rp. 280.000,-*) untuk berlangganan Jurnal Biologi Eksperimen dan
Keanekaragaman Hayati selama satu tahun Rp. 500.000,- / Rp. 550.000,-*) untuk berlangganan Jurnal Biologi Eksperimen dan
Keanekaragaman Hayati selama dua tahun
ke rekening a.n. Emantis Rosa di Bank BNI Cabang Universitas Lampung dengan NomorRekening 0070700373 Bersama ini ssaya sertakan juga fotocopi bukti transfer tersebut.
DATA ANDA :Nama (berikut gelar akademik) : ...........................................................................................................Institusi : ...........................................................................................................Alamat Kirim : ...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................Kode Pos ..........................
ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL :Gedung Biologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145Telp./Fax (0721) 704625 Ext. 705, E-mail : [email protected]
*) coret yang tidak perlu
Program Studi Magister BiologiFMIPA Universitas LampungBerdiri sejak tahun 2012, berdasarkan SK Mendikbud RI No.404/E/O/2012.Terakreditasi B (SK BAN PT. No. 1263/SK/BAN-PT/Akred/M/XII/2015)
PROSES DAN LAMA PENDIDIKANProgram Magister diselenggarakan dalam 4 semester (2 tahun) dengan beban kredit minimal36 sks termasuk tesis dalam bidang : Bioteknologi, Biologi Perairan, serta Biokonservasi dan
Keanekaragaman Hayati, dengan batas maksimum masa studi 4 tahun.
PEMBIAYAANBiaya Perkuliahan per semester berkisar Rp. 7.000.000,- s/d Rp. 9.000.000,-. Bagi calonmahasiswa dari perguruan tinggi yang memenuhi syarat dimungkinkan untuk mendapatkanbeasiswa dari program BUDIDN RISTEKDIKTI. Tata cara memperoleh beasiswa tersebutdapat ditanyakan langsung ke sekretariat PTN/kopertis setempat atau dapat dilihat di websiteresmi RISTEKDIKTI (ristekdikti.go.id).
TEMPAT PENDAFTARANSekretariat Program Pascasarjana
Gedung Rektorat Lt. 4, Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1Bandar Lampung 35145, telepon 0721-783682 Fax: 0721-783682
PENDAFTARANMasa kuliah Semester Gasal TA. 20162017 : 5 Januari – 5 Maret 2016 (Gelombang I)
: 22 Maret – 22 Mei 2016 (Gelombang II): 7 Juni – 25 Juli 2016 (Gelombang III)
Awal Kuliah : 1 September 2016
Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.unila.ac.id
Contact Person :Dr. Sumardi, M.Si. (HP. 085216391087)
J-BEKHJurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman HayatiVol. 3 No. 1 Juni 2016
A1. Diversitas Phytotelmata di Beberapa Wilayah Endemis Demam Berdarah Dengue di ProvinsiLampung, IndonesiaYulianty, Emantis Rosa.................................................................................................................... 1
A2. Struktur Tulang Belakang Fetus Mencit (Mus musculus L.) setelah Pemberian EkstrakRimpang Teki (Cyperus rotundus L.)Etika Julitasari, Nuning Nurcahyani, Hendri Busman ..................................................................... 9
A3. Efek Teratogenik Pemberian Ekstrak Rimpang Teki (Cyperus rotundus L.) terhadap JumlahFetus, Panjang Ekstremitas Depan dan Belakang, serta Malformasi Fetus Mencit(Mus musculus L.)Faizatin Nadya Roza, Nuning Nurcahyani, Hendri Busman ........................................................... 17
A4. Struktur Histologi Kartilago Epifisialis Fetus Mencit (Mus musculus L.) setelah PemberianEkstrak Metanol Rimpang Teki (Cyperus rotundus L.)Puty Orlando Arismedi, Nuning Nurcahyani, Hendri Busman ......................................................... 27
A5. Peningkatan Pertumbuhan Daphnia sp.Menggunakan Media Kotoran Ayam yang DicampurDedak Padi dengan Konsentrasi BerbedaPutri Dara Yunda, Sri Murwani, Endang Linirin Widiastuti .............................................................. 35
A6. Kombinasi Kotoran Ternak (Ayam, Kambing, dan Kuda) sebagai Media Kultur PertumbuhanDaphnia sp.Fadilah Suci, Sri Murwani, Tugiyono, Endang Linirin Widiastuti ..................................................... 45
A7. Pengaruh Pemberian Stress Osmotik terhadap Total Lipid Mikroalga Polhyridium sp. danIsochrysis sp. pada Salinitas yang BerbedaLia Anggraini, Endang Linirin Widiastuti, Sri Murwani ..................................................................... 57
A8. Prevalensi Nematoda Usus pada Kambing (Capra sp.) dengan Pemberian Pakan HijauanDan Konsentrat di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Bandar LampungAmanda Amalia Putri, Sri Murwani, Suratman Umar ..................................................................... 67
A9. Keanekaragaman Phytotelmata di Kawasan Pemukiman dan Perkebunan Desa Taman Sari,Gedong Tataan, PesawaranWelmi Nopia Ningsih, Emantis Rosa, Jani Master ......................................................................... 77