IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT - IPB...

27
IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT 4.1. Kalibrasi dan validasi di Sub DAS Cisadane Hulu Aplikasi model SWAT di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga untuk menguji dan mengetahui tingkat penerimaan dan aplikasi model SWAT di Indonesia perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terhadap model SWAT untuk disesuaikan dengan kondisi DAS di Indonesia. Model SWAT mempunyai berbagai kelebihan karena mampu mengitegrasikan antar proses-proses hidrologi, berbasis data sapasial, proses yang kontinyu dan dapat dikombinasikan dengan berbagai skenario perubahan lahan dan manajemen DAS. Sebelum program SWAT dapat diterima dan diaplikasikan di suatu DAS di Indonesia, diperlukan validasi dan kalibrasi parameter-parameter yang sensitif dan sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Kegiatan verifikasi hanya dilakukan khusus membandingkan debit keluaran dari model dibandingkan dengan debit hasil pengukuran di lapangan. Tahapan verifikasi, kalibrasi dan akseptibilitas merupakan tahapan awal dalam aplikasi pemodelan DAS dengan model SWAT sehingga dapat diketahui parameter-paramater yang sangat berpengaruh dan dominan terhadap keluaran model. Berdasarkan tipe penutupan lahan, Sub DAS Cisadane Hulu lebih didominasi oleh hutan (± 57,67%) dan semak belukar (± 26,38%). Perincian luas areal setiap tipe penutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 5.

Transcript of IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT - IPB...

IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT

4.1. Kalibrasi dan validasi di Sub DAS Cisadane Hulu

Aplikasi model SWAT di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga

untuk menguji dan mengetahui tingkat penerimaan dan aplikasi model SWAT di

Indonesia perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terhadap model SWAT untuk

disesuaikan dengan kondisi DAS di Indonesia. Model SWAT mempunyai

berbagai kelebihan karena mampu mengitegrasikan antar proses-proses

hidrologi, berbasis data sapasial, proses yang kontinyu dan dapat dikombinasikan

dengan berbagai skenario perubahan lahan dan manajemen DAS. Sebelum

program SWAT dapat diterima dan diaplikasikan di suatu DAS di Indonesia,

diperlukan validasi dan kalibrasi parameter-parameter yang sensitif dan sangat

berpengaruh terhadap debit sungai. Kegiatan verifikasi hanya dilakukan khusus

membandingkan debit keluaran dari model dibandingkan dengan debit hasil

pengukuran di lapangan. Tahapan verifikasi, kalibrasi dan akseptibilitas

merupakan tahapan awal dalam aplikasi pemodelan DAS dengan model SWAT

sehingga dapat diketahui parameter-paramater yang sangat berpengaruh dan

dominan terhadap keluaran model.

Berdasarkan tipe penutupan lahan, Sub DAS Cisadane Hulu lebih

didominasi oleh hutan (± 57,67%) dan semak belukar (± 26,38%). Perincian luas

areal setiap tipe penutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 5.

45

Tabel 5. Tipe penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu

Tipe Penutupan Lahan Luas

(Ha) (%)

Belukar/Semak 477,96 26,38

Hutan 1.044,60 57,67

Kebun/Perkebunan 116,11 6,41

Pemukiman 13,47 0,74

Rumput/Tanah kosong 2,70 0,15

Sawah Irigasi 23,18 1,28

Sawah Tadah Hujan 40,64 2,24

Tegalan/Ladang 92,85 5,13

Jumlah 1.811,50 100,00

Sumber : hasil interpretasi data SPOT 5 Tahun 2005.

Data penampakan dari Citra SPOT 5 ditunjukkan pada Gambar 12 dan

hasil interpretasi citra dengan kombinasi peta RBI skala 1 : 25.000, ditunjukkan

pada Gambar 13.

Gambar 12. Penampakan penutupan lahan dari citra SPOT 5 tahun 2005 di Sub

DAS Cisadane Hulu

46

Gambar 13. Hasil interpretasi citra SPOT5 kombinasi dengan RBI skala 1 :

25.000 di Sub DAS Cisadane Hulu

Berdasarkan klasifikasi tanah sistem USDA, jenis tanah yang ada di

daerah kajian ada 2 jenis, yaitu distropept dan hidraquent. Jenis tanah distropept

merupakan tanah agak lapuk iklim panas dengan nilai jenuh tanah bawah basa

yang rendah. Jenis tanah hidraquent merupakan tanah tidak lapuk, kejenuhan

permanen, yang lembut bila terinjak dan sebagian besar bertekstur halus. Sebaran

tanah distropept hanya sebagian kecil, sekitar 56,2 ha ( ± 3,1 %) dan sisanya

termasuk dalam jenis hidraquent sekitar 1.755,3 ha (± 96,9 %). Peta sebaran

jenis tanah ditunjukkan pada Gambar 14.

Sumber : peta sistem lahan skala 1 : 250.000

Gambar 14. Peta sebaran jenis tanah di Sub DAS Cisadane Hulu

47

Kondisi ketinggian tempat daerah kajian berkisar antara 512,5 – 2.235,4

m dpl seperti disajikan pada Gambar 15 dan sebaran kelas lereng disajikan pada

Gambar 16.

Gambar 15. Sebaran topografi di Sub DAS Cisadane Hulu

Gambar 16. Sebaran kemiringan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu

Daerah hulu DAS Cisadane merupakan daerah sekitar G. Lingkung,

termasuk dalam Taman Nasional Gede-Pangrango. Bentuk fisiografi sangat

curam ( > 40%) paling banyak ditemukan di sekitar Desa Cibedug. Prosentase

setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane hulu ditunjukkan pada Tabel 6.

48

Tabel 6. Prosentase setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane Hulu

No Kelas Lereng Luas

(Ha) (%)

1 0-8 % 91,8 5,07

2 8 - 15% 109,2 6,03

3 15 - 25% 384,1 21,21

4 25 - 40% 1.031,0 56,91

5 >40% 195,5 10,79

Jumlah 1.811,6 100,00

Sumber : hasil pengolahan

Struktur formasi geologi daerah kajian berdasarkan peta geologi lembar

Bogor termasuk kedalam batuan gunung api. Daerah kajian termasuk batuan

gunungapi tua (Qvt) yang mengandung tuff berbatu apung. Luas daerah yang

termasuk Qvt sekitar 101,4 ha (± 5,6 %). Daerah di sebelah selatan terdapat

batuan gunungapi G. Pangrango dengan endapan lava dan lahar yang lebih tua

(Qvpy), mengandung basal andesit dengan ologoklas-andesin, labradorit, olovin,

piroksen dan horenblenda. Kategori batuan ini sekitar 179,7 Ha (± 9,92 %).

Sebagian besar daerah kajian termasuk batuan gunung api G. Pangrango dengan

endapan lahar yang lebih muda (Qvpo) yang tersusun atas andesit, sekitar 84,49 %

(± 1.530,5 ha). Sebaran formasi geologi ditunjukkan pada Gambar 17.

sumber : peta geologi lembar bogor skala 1 : 100.000; Direktorat GTL Bandung

Gambar 17. Struktur formasi geologi daerah Sub DAS Cisadane Hulu

49

Data input peta untuk aplikasi model SWAT adalah data spasial dan non

spasial. Data spasial yang digunakan adalah tipe penggunaan lahan, jenis tanah,

peta Digital Elevation Model (DEM) dan jaringan sungai. Data non spasial

meliputi data cuaca dan data hidrologi. Data cuaca meliputi curah hujan,

kelembaban, relatif, suhu, radiasi surya dan kecepatan angin sepetrti yang

disajikan pada Gambar 18.

Berdasarkan data hasil pengukuran suhu udara rata-rata berkisar antara

21,8 oC – 25,4

oC dengan suhu maksimum antara 22,9

oC – 30,8

oC dan suhu

minimum berkisar antara 17,8 oC – 22,6

oC. Kelembaban relatif udara berkisar

antara 85,8 – 100 %, dengan kecepatan angin berkisar antara 0,02 – 0,716 m/s.

Data radiasi surya berkisar antara 13,99 – 21,07 MJ/m2/hari.

Gambar 18. Penampang outlet di Sub DAS Cisadane Hulu.

Hubungan antara tinggi muka air (H, m) dengan debit sungai (Q, m3/s)

untuk lokasi studi mengikuti persamaan sebagai berikut :

2.9162 237,254* , 0.967Q H R .......................................(36)

Berikut adalah tampilan beberapa input model SWAT dalam proses input data,

kalibrasi dan validasi model :

50

Gambar 19. Tampilan input model SWAT

Gambar 20. Proses pembuatan pembatasan DAS secara otomatis

51

Penutupan Lahan Jenis Tanah

Gambar 21. Penentuan hidrologi respon unit berbasis data tanah dan landuse

Gambar 22. Input data iklim pada model SWAT

52

Form Input Parameter

Form input parameter Sub Basin

Form input parameter HRU

Gambar 23. Input parameter sub basin dan input parameter HRU

Form input parameter main chanel

E

F

Form input parameter ground water

Gambar 24. Input parameter ground water dan saluran sungai

53

Gambar 25. Halaman user interface input model SWAT

Prosedur dalam algoritma SUFI2 dalam melakukan kalibrasi adalah

sebagai berikut (Abbaspour et al., 2004):

1. Mendefinisikan objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Dalam studi

ini menggunakan Nash-Sutcliffe efficiency (Nash dan Sutcliffe, 1970) :

..………………………………….……………(37)

Dimana :

Oi : data observasi ke-i,

õ : rata-rata data observasi

Pi : hasil simulasi ke-i,

n : jumlah data

Mendefinisikan nilai awal kisaran parameter yang digunakan dalam SWAT [abs

min, abs max] , dengan asumsi parameter tersebar seragam dalam batas kisaran yang

ditentukan (bj: bj, [j,abs min ≤ bj ≤ j,abs max, j = 1.... m, m=jumlah parameter).

2

1

2

1

( )

1.0

( õ)

n

i i

i

n

i

i

O P

NSE

O

54

Dalam studi ini batas kisaran yang ditentukan yang menjadi input parameter

SWAT, disajikan Tabel 7.

Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2

No(j) Parameter Keterangan Unit abs

min

abs

max

1 cn2.mgt Curve number - 35 70

2 shallst.gw Initial depth of water in

the shallow aquifer

mm 0 1.000

3 deepst.gw Initial depth of water in

the deep aquifer

mm 0 3.000

4 gw_delay.gw Groundwater delay hari 0 500

5 alpha_bf.gw Baseflow alpha factor hari 0,01 1

6 gwqmn.gw Threshold deep of water

in the shallow aquifer

required for return to

occur

mm 0 5.000

7 gw_revap.gw Groundwater revap

coefficient

- 0,02 0,2

8 revapmn.gw Threshold deep of water

in the shallow aquifer

required for revap to

occur

mm 0 500

9 rchrg_dp.gw Deep aquifer percolation

fraction

- 0 1

10 gwht.gw Initial groundwater height m 0 25

11 gw_spyld.gw Specific yield of shallow

aquifer

m3/m

3 0 0,4

12 sol_crk.sol Crack volume potensial of

soil

m3/m

3 0 1

13 sol_bd.sol Moisture bulk density g/cm3 1,1 2,5

14 sol_awc.sol Available water capacity

of the soil layer

mm/mm 0 1

15 sol_k.sol Saturated hydraulic

conductivity

mm/jam 0 2.000

55

Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2

(lanjutan)

No(j) Parameter Keterangan Unit abs

min

abs

max

16 sol_alb.sol Moisture soil albedo - 0 0,25

17 ch_n2.rte Manning's "n" value for

the main channel

- 0 0,3

18 ch_k2.rte Effective hydraulic

conductivity in main

channel alluvium

mm/jam 0 10

19 slsubbsn.hru Average slope length mm 10 150

20 slope.hru Average slope steepness m/m 0 0,6

21 ov_n.hru Manning's "n" value for

overland flow

- 0 0,8

22 Slsoil.hru Slope length for lateral

subsurface flow

m 0 0,6

23 esco.hru Soil evaporation

compensation factor

- 0,01 0,5

24 ch_k1.sub Effective hydraulic

conductivity in tributary

channel alluvium

mm/hr 0 150

25 ch_n11.sub Manning's "n" value for

tributary channel

- 0,01 0,3

26 surlag.bsn Surface run off lag time hari 1 24

2. Metode latin hipercube sampling digunakan untuk membangkitkan parameter

yang digunakan dalam simulasi. Jumlah kombinasi yang muncul sebanyak n-

iterasi simulasi yang dikehendaki. Dalam studi ini dilakukan sebanyak 400

iterasi (rekomendasi 500 – 1000 iterasi). Kisaran parameter yang muncul

menjadi [j,min ≤ bj ≤ j,max], j,min > j,abs min dan j,max< j,abs max.

3. Menghitung nilai objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Hasil

simulasi yang paling baik dirumuskan sebagai max(wns) dari sejumlah iterasi

simulasi yang dilakukan, w sebagai faktor pembobot.

56

4. Menghitung standar deviasi (sj) pada selang kepercayaan 95 % dari parameter

yang terbaik hasil iterasi.

c, merupakan batas bawah parameter covariance

matrix,dimana sg2 merupakan

ragam dari objective function sebanyak n iterasi.

J merupakan sensitivity matrix yang diperoleh dari persamaan ,iij

j

gJ

b i=1

to n iterasi, j= 1 sampai jumlah parameter.

6. Menghitung sensitivitas parameter dengan menggunakan t-tes yang diperoleh

dengan menggunakan analisis regresi berganda antara sejumlah nilai

parameter dengan nilai objective function, dirumuskan sebagai berikut:

Di mana m sebagai jumlah parameter disimulasikan.

7. Menilai tingkat ketidakpastian keluaran model dengan seberapa banyak data

observasi masuk dalam 95ppu (batas bawah 2.5 %(xl) dan batas atas 97.5 %

(xu) dari akumulasi sebaran setiap n data observasi yang disebut sebagai p-

factor dan r-faktor (tingkat ketidakpastian) yang diekspresikan sebagai

berikut:

di mana x sebagai standar

deviasi data observasi.

Hasil terbaik dalam proses kalibrasi diperoleh pada iterasi ke 1.260 dari

jumlah iterasi 3000. Objective function dengan menggunakan nash Sutcliffe

coefficient (NSC) atau efesiensi model menunjukkan nilai 0,88. Parameter p-

faktor menunjukkan nilai 0,62; artinya pada selang kepercayaan 95% sekitar 62%

57

data observasi berada dalam kisaran ketidakpastian model. Grafik 95% prediction

uncertainty (95PPU) hasil kalibrasi disajikan Gambar 26.

Gambar 26. Perbandingan data observasi terhadap kisaran hasil model

Parameter terpilih yang digunakan dalam model ditunjukkan dalam Tabel

8. Dari 26 parameter yang dikalibrasi terdapat 7 parameter yang sensitif, yaitu

gwht, slsubsn, gwqmn, ch_k2, sol_awc, chnii dan ch_n2. Parameter ini memiliki

t-stat lebih besar dari p-value.

Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2

No Parameter

Fitted

value

Nilai

Minimum

Nilai

Maksimum t-stat P-value

1 surlag.bsn 1.2875 1 24 -8,61 0,00

2 cn2.mgt 77.862495 35 80 -4,99 0,00

3 sol_bd.sol 2.2025 1.1 2.5 -4,09 0,00

4 deepst.gw 157.5 0 3000 -1,46 0,15

5 sol_k.sol 547,5 0 3000 -1,29 0,20

6 sol_crk.sol 0,1775 0 1 -1,19 0,23

7 rchrg_dp.gw 0,0375 0 1 -1,02 0,31

8 revapmn.gw 251,25 0 500 -0,99 0,32

9 slope.hru 0,0555 0 0.6 -0,87 0,38

0

50

100

150

200

2500

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1

Curah Hujan(mm) Debit (m3/s)

95PPU

Debit observasi

58

Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2 (lanjutan)

No Parameter Fitted

value

Nilai

Minimum

Nilai

Maksimum T-stat P-value

10 gw_delay.gw 288,75 0 500 -0,81 0,42

11 shallst.gw 592,5 0 1000 -0,57 0,57

12 alpha_bf.gw 1,437825 0,01 2 -0,33 0,74

13 gw_revap.gw 0,19775 0,02 0.2 -0,25 0,80

14 sol_alb.sol 0,109375 0 0.25 -0,24 0,81

15 ch_k1.sub 7,375 0 10 -0,05 0,96

16 gw_spyld.gw 0,255 0 0.4 -0,02 0,99

17 esco.hru 0,329725 0,01 0.5 0,10 0,92

18 slsoil.hru 0,2655 0 0.6 0,27 0,79

19 ov_n.hru 0,166 0 0.8 0,51 0,61

20 gwht.gw* 13,0625 0 25 0,89 0,37

21 slsubbsn.hru* 123,75 10 150 1,22 0,22

22 gwqmn.gw* 387,5 0 5000 1,52 0,13

23 ch_k2.rte* 19,125 0 150 1,61 0,11

24 sol_awc.sol* 0,3175 0 1 2,21 0,03

25 ch_n11.sub* 0,173125 0,01 0,3 3,14 0,00

26 ch_n2.rte* 0,00075 0 0,3 8,07 0,00

Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)

Pada Gambar 27 menunjukkan bahwa hubungan antara debit sungai

keluaran model simulasi dan observasi berupa linear positif dengan koefesien

determinasi (R2) sebesar 0,881(n=366). Jika dibandingkan dengan garis y=x

(Qobs=Qmodel), terlihat bahwa rat-rata hasil keluaran model 4,4 % relatif lebih

tinggi dibandingkan dengan debit hasil pengukuran.

59

Gambar 27. Hubungan antara debit model dan debit observasi

Gambar 28. Hasil kalibrasi harian antara keluaran model dan hasil observasi.

Proses validasi menggunakan data debit 1 Januari 2009 sampai 7 Januari

2010 dengan menggunakan parameter hasil kalibrasi. Pada Gambar 29

menunjukan koefesien determinasi (R2) dari hubungan linear antara debit hasil

model dan observasi menunjukan nilai 0,72 (n data 372). Nilai koefesien

determinasi hasil validasi lebih rendah dibandingkan hasil kalibrasi. Rata-rata

hasil model relatif lebih tinggi 6 %. Nilai nash Sutcliffe coefficient (NSC)

menunjukkan nilai 0,7. Hydrograp antara hasil model dan observasi di sajikan

QObs = 0,957*Qmodel

R² = 0,881

n=366

0

2

4

6

8

10

12

0 2 4 6 8 10 12

Qobs

(m3/s

)

Qmodel (m3/s)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

220

2400.0

5.0

10.0

15.0

20.0

1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1

Cura

h H

uja

n (

mm

)

Q O

utf

low

(m

3/s

)

Curah Hujan

Observasi

Model

60

Gambar 30. Gambar ini menunjukan pada musim kemarau dan kejadian hujan

extrem kurang begitu baik disimulasi oleh model, namun model cukup sensitif

terhadap kejadian hujan.

Gambar 29. Hubungan antara debit simulasi dan debit observasi

Gambar 30. Perbandingan debit observasi dan hasil validasi

4.2. Validasi dan Kalibrasi di Sub DAS Gumbasa

Lokasi studi merupakan daerah tangkapan air Sungai Gumbasa dengan

panjang aliran utama 98,75 Km. Masyarakat sekitar memanfaatkan air Sungai

Gumbasa sebagai sumber air untuk pengairan di daerah irigasi Gumbasa. Sumber

Qobs= 0,926*Qmodel

R² = 0,721

n=372

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Qo

bs

(m3

/s)

Qmodel (m3/s)

020406080100120140160180200220240

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1

Cura

h h

uja

n (

mm

)

Q O

utf

low

(m

3/s

)

Curah HujanObservasiModel

61

air Sungai Gumbasa berasal dari Danau Lindu ( 3.488 ha). Masyarakat

memanfaatkan Danau Lindu sebagai tempat mencari ikan dan daerah wisata alam.

Aliran maksimum di Sungai Gumbasa mencapai 80,5 m3/s yang terjadi pada bulan

Januari, dan aliran minimum mencapai 16,87 m3/s yang terjadi pada bulan Maret.

Lokasi studi merupakan outlet kawasan Taman Nasional Lore Lindu

(TNLL). Sekitar 83,53 %, tipe penutupan lahannya berupa hutan yang termasuk

tipe ekosistem hutan tropika, dengan tipe hutan pegunungan bawah. Tipe vegetasi

yang dapat dijumpai di hutan tropika dan pegunungan bawah, antara lain

Eucalyptus deglupta, Pterospermum celebicum, Cananga odorata, Gnetum

gnemon, Castanopsis argentea, Agathis philippinensis, Philoclados hypophyllus,

tumbuhan obat, dan rotan. Tipe penutupan lahan lainnya adalah kebun coklat dan

kopi (6,96 %). Tipe penutupan secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Berbagai tipe penutupan lahan di Sub DAS Gumbasa

No Tipe Penutupan Lahan Luas

(%) (Ha)

1 Hutan Alam 71,95 86.547,5

2 Hutan Terbuka 11,58 13.924,3

3 Tubuh Air 3,15 3.793,4

4 Padi sawah 1,34 1.616,8

5 Tegalan / Tanah Terbuka 3,19 3.835,7

6 Kebun Kelapa 0,02 18,3

7 Kebun Coklat / Kopi 6,96 8.378,2

8 Padang Rumput 0,82 992,0

9 Ilalang 0,83 998,9

10 Pemukiman 0,16 187,1

Jumlah 100,00 120.292,3

Sumber : Hasil analisis

Berdasarkan klasifikasi tanah Dudal-Supraptoharjo, jenis tanah di lokasi

studi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu asosiasi podsolik merah kuning,

62

litosol dan regosol serta asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina. Asosiasi

podsolik coklat kelabu dan renzina lebih mendominasi sebaran jenis tanah di

lokasi studi, sebesar 84,46%. Sebaran jenis tanah secara lengkap disajikan pada

Tabel 10. Peta sebaran jenis tanah di lokasi studi di tunjukkan pada Gambar 31.

Gambar 31. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa

Jenis tanah asosiasi podsolik merah kuning, litosol dan regosol tersebar

terutama di daerah dataran-perbukitan. Jenis tanah ini mengalami podzolisasi dan

sedikit latosolisasi, di mana hutan merupakan vegetasi utama, bahan organik

cukup tinggi, tingkat infiltrasi sedang dan termasuk kelompok hidrologi tanah B.

Asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina merupakan tanah yang berkembang

pada iklim dengan curah hujan diatas 1.500 mm/tahun, tanpa bulan kering.

63

Terletak pada topografi datar, bergelombang, sampai pegunungan; pada elevasi 10

– 2.000 m dpl. Warna tanah kehitaman, coklat tua hingga kekuningan. Reaksi

tanah masam hingga netral (pH 5-7) dan termasuk kelompok hidrologi tanah B.

Tabel 10. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa

No Jenis tanah Luas

% Ha

1 Podsolik Merah Kuning, Litosol, Regosol 15,54 18.687,8

2 Podsolik Coklat Kelabu, Renzina 84,46 101.604,5

Jumlah 100,00 120.292,3

Ketinggian tempat lokasi studi berkisar antara 82,9 – 2.525,0 m dpl.

Bentuk fisiografi lahan terbentang dari dataran hingga pegunungan. Wilayah datar

banyak terdapat di sekitar wilayah Kecamatan Sigibiromaru dan Kulawi. Pada

bagian tengah sampai selatan merupakan daerah pegunungan; masing-masing

berjejer G. Nokelan (2.350 m), G. Tonosa (2.230 m), G. Lantawungu (2.270 m)

dan G. Potowonoa (1.930 m). Tampilan 3 Dimensi dari Sub DAS Gumbasa

ditunjukkan pada Gambar 32 dan distribusi kelas lereng disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Distribusi kelas lereng di Sub DAS Gumbasa

No Kelas

Lereng Klasifikasi Lereng

Luas

( Ha ) ( % )

1 0 - 8 % Datar 38.705,7 32,2

2 8 - 15 % Landai 19.175,2 15,9

3 15 - 25 % Agak curam 31.312,3 26,0

4 25 - 40 % Curam 27.134,8 22,6

5 > 40 % Sangat curam 3.964,2 3,3

Jumlah 120.292,3 100,0

Sumber : Hasil analisis

64

Gambar 32. Tampilan 3 dimensi Sub DAS Gumbasa

Kondisi iklim wilayah studi sangat dipengaruhi oleh kondisi monsunal,

yaitu musim barat yang kering dan musim timur yang banyak membawa uap air.

Musim timur terjadi sekitar Bulan April sampai dengan September yang ditandai

dengan banyak curah hujan, sedangkan musim barat sekitar Bulan Oktober

sampai Maret yang ditandai dengan kurangnya curah hujan. Rataan curah hujan

tahunan lokasi studi berkisar antara 1.237 – 1.927 mm/tahun. Sebarannya paling

tinggi berada di sekitar wilayah dataran yang termasuk Kecamatan Sigibiromaru.

Paling rendah berada di sekitar outlet lokasi studi. Gambaran kondisi iklim

lokasi studi berdasarkan pada data tahun 2001 – 2005 dari 7 stasiun cuaca yang

tersebar di sekitar lokasi studi disajikan pada Lampiran 1-7. Rekapitulasi nilai

rataan setiap unsur cuaca setiap stasiun disajikan Tabel 12.

Sebaran curah hujan tertinggi ada di lembah Palolo berkisar 1.800 - 1.900

mm/tahun. Pola sebaran curah hujan secara lengkap disajikan pada Gambar 33

Lokasi studi Sub DAS Gumbasa dengan luas 120.292,3 Ha dalam pembagian

Hydrologi Respon Unit (HRU) ditentukan dengan memilih penutupan lahan dan

jenis tanah yang dominan, yaitu hutan dan tanah asosiasi podsolik coklat kelabu

Danau Lindu

65

dan renzina berdasarkan nilai kisaran awal untuk kalibrasi secara lengkap

disajikan pada Tabel 13.

Tabel 12. Nilai unsur-unsur cuaca setiap stasiun di sekitar Sub DAS Gumbasa

No Stasiun Curah Hujan RH Radiasi Tmax Tmin T KecAngin

(mm) (HH) (%) (MJ/m) (oC) (

oC) (

oC) (m/s)

1 pl01 1.190 155 80,3 18,7 25,8 19,8 22,8 0,89

2 pl02 1.726 242 83,0 17,1 17,1 11,1 14,1 0,95

3 pl03 1.927 231 86,6 18,0 27,2 21,2 24,2 0,65

4 pl04 1.695 242 84,3 17,1 18,6 12,6 15,6 0,94

5 pl07 1.235 174 80,1 19,6 30,3 24,3 27,3 0,80

6 pl010 582 115 74,5 19,6 30,9 24,9 27,9 1,40

7 pl012 1.935 232 85,0 17,7 26,6 20,6 23,6 0,95

Sumber : Hasil analisis

Gambar 33. Pola sebaran curah hujan di Sub DAS Gumbasa

66

Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam kalibrasi SUFI2

No Parameter Keterangan Unit abs

min

abs

max

1 cn2.mgt curve number - 35 70

2 shallst.gw Initial depth of water in the

shallow aquifer mm 0 1000

3 deepst.gw Initial depth of water in the

deep aquifer mm 0 3000

4 gw_delay.gw Groundwater delay Hari 0 500

5 alpha_bf.gw Baseflow alpha factor Hari 0,01 1

6 gwqmn.gw

Threshold deep of water in

the shallow aquifer required

for return to occur

mm 0 5000

7 gw_revap.gw Groundwater revap

coeffecient - 0,02 0,2

8 revapmn.gw

Threshold deep of water in

the shallow aquifer required

for revap to occur

mm 0 500

9 rchrg_dp.gw Deep aquifer percolation

fraction - 0 1

10 gwht.gw Initial groundwater height M 0 25

11 gw_spyld.gw Specific yield of shallow

aquifer m

3/m

3 0 0,4

12 sol_crk.sol Crack volume potensial of

soil m

3/m

3 0 1

13 sol_bd.sol Moisture bulk density gr/cm3 1,1 2,5

14 sol_awc.sol Available water capacity of

the soil layer mm/mm 0 1

15 sol_k.sol Saturated hydraulic

conductivity mm/jam 0 2000

16 sol_alb.sol Moisture soil albedo - 0 0,25

17 ch_n2.rte Manning's "n" value for the

main channel - 0 0,3

18 ch_k2.rte

Effective hydraulic

conductivity in main channel

alluvium

mm/jam 0 10

19 slsubbsn.hru Average slope length M 10 150

20 slope.hru Average slope steepness m/m 0 0,6

67

Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam kalibrasi SUFI2

(lanjutan)

No Parameter Keterangan Unit abs

min

abs

max

21 ov_n.hru Manning's "n" value for

overland flow - 0 0,8

22 slsoil.hru Slope length for lateral

subsurface flow M 0 0,6

23 esco.hru Soil evaporation

compensation factor - 0,01 0,5

24 ch_k1.sub

Effective hydraulic

conductivity in tributary

channel alluvium

mm/jam 0 150

25 ch_n11.sub Manning's "n" value for

tributary channel - 0,01 0,3

26 surlag.bsn Surface run off lag time Hari 1 24

Dalam proses kalibrasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa, dilakukan

iterasi simulasi sebanyak 400 kali. Hasil terbaik diperoleh pada iterasi ke 7

dengan nilai g(h) paling tinggi (0,001388). Parameter model terbaik hasil iterasi

disajikan pada Tabel 14. Nilai p-factor sekitar 0,82; artinya 82 % data observasi

berada dalam kisaran 95PPU. Nilai d-factor (the degree of uncertainty) sebesar

3,82. Idealnya, nilai (p-factor) adalah 100 % dan d-factor adalah nol (0), karena

dalam pengukuran data observasi juga memiliki error dan output model juga

memiliki nilai ketidakpastian, maka nilai p-factor dan d-factor yang mendekati

nilai ideal juga bisa diterima (Abbaspour et al., 2008 dan Abraham et al., 2007).

Nilai koefesien determinasi (R2) dengan intercept 0 sebesar 0,747. Rata-rata hasil

model sekitar 10,4 % lebih besar dibandingkan hasil observasi. Nilai Nash-

Sutcliffe coefficient (NSC) sebesar 0,79. Dalam proses kalibrasi Nilai R2 yang bisa

diterima lebih besar dari 0,6 dan NSC lebih besar dari 0,5 (Nash dan Sutcliffe,

68

1970). Perbandingan Q observasi, Q simulasi dan 95 PPU selama periode

kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 34 dan 35.

Gambar 34. Perbandingan debit simulasi dan observasi pada proses kalibrasi

Gambar 35. Hubungan antara debit observasi dan debit model SWAT

0

20

40

60

80

100

1200

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1/1 2/1 3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1 9/1 10/1 11/1 12/1

Cura

h H

uja

n (

mm

)

Debit s

ungai (m

3/s

)

95PPU CH(mm)

Qobs (m3/s) Qmodel (m3/s)

Qobs= 0,9055Qmodel

R2 = 0,7473

n=366

0

10

20

30

40

50

60

70

0 10 20 30 40 50 60 70

Qo

bs

(m3

/s)

Qmodel (m3/s)

69

Tabel 14. Parameter model terbaik hasil iterasi dengan algorithma SUFI2

No Parameter Fitted

Value

Nilai

Minimum

Nilai

Maksimum t-Stat

P-

Value

1 cn2.mgt* 66,019 50,5 81,5 4,076 0,000

2 shallst.gw 23,750 0,0 512,0 0,319 0,750

3 deepst.gw* 2096,250 1047,7 3144,8 1,411 0,159

4 gw_delay.gw 176,875 15,2 338.5 -0,052 0,959

5 alpha_bf.gw 0,115 0,0 0,6 -5,148 0,000

6 gwqmn.gw 4031,250 2014,9 6047,6 -0,599 0,549

7 gw_revap.gw* 0,051 0,0 0,1 1,090 0,276

8 revapmn.gw* 161,875 0,0 331,0 0,676 0,499

9 rchrg_dp.gw 0,584 0,3 0,9 -0,585 0,559

10 gwht.gw 2,281 0,0 13,6 -0,984 0,326

11 gw_spyld.gw 0,118 0,0 0,3 0,299 0,765

12 sol_crk.sol 0,621 0.3 0,9 1,803 0,072

13 sol_bd.sol 2,369 1,7 3,0 -3,115 0,002

14 sol_awc.sol 0,294 0,0 0,6 -0,346 0,729

15 sol_k.sol 517,500 0,0 1259,0 -0,043 0,966

16 sol_alb.sol 0,087 0,0 0,2 -1,206 0,229

17 ch_n2.rte* 0,252 0,1 0,4 30,296 0,000

18 ch_k2.rte* 9,713 4,9 14,6 4,090 0,000

19 slsubbsn.hru 40,975 0,0 95,5 0,316 0,752

20 slope.hru* 0,451 0,2 0,7 1,531 0,127

21 ov_n.hru 0,013 0,0 0,4 -0,115 0,909

22 slsoil.hru 0,196 0,0 0,4 0,487 0,627

23 esco.hru* 0,209 0,1 0,4 0,681 0,497

24 ch_k1.sub 149,813 74,9 224,7 -1,401 0,162

25 ch_n11.sub 0,123 0,0 0,2 -0,182 0,855

26 surlag.bsn* 18,796 9,9 27,7 0,745 0,457

Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)

70

Analisis sensitivitas setiap parameter terhadap output model dilakukan

dengan menggunakan t-test. Jika nilai t-Stat lebih besar dibandingkan P-Value

menunjukan parameter tersebut sensitif. Dari 26 parameter dilakukan pengujian

terdapat 10 parameter yang sensitif; yaitu ch_n2, ch_k2, cn2, sol_crk, slope,

deepst, gw_revap, surlag, esco dan revapmn. Diantara parameter – parameter yang

sensitif tersebut, ch_n2 paling sensitif selanjutnya parameter ch_k2 dan cn2.

Pengembangan model SWAT kedepan mengarah pada proses aplikasi di

pertanian dalam arti luas (Gassman et al., 2007), untuk bidang perubahan iklim

(Gui dan Rosbjerg, 2009). Dari hasil analisis kalibrasi tersebut, maka aplikasi

model SWAT di Sub DAS Gumbasa sangat mengembirakan untuk ditindaklanjuti

dengan validasi dan simulasi pemodelan sumberdaya air, dan simulasi perubahan

penutupan lahan, perubahan iklim dan sosial di masa mendatang dan model

SWAT dapat dipergunakan untuk tahapan lebih lanjut dalam pemodelan DAS di

Sub DAS Gumbasa.