IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENYUSUNAN ... enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk...
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENYUSUNAN ... enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk...
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB
Penetapan aspek dan parameter.
Proses dan hasil penetapan aspek serta parameter CPMEB dapat dilihat
pada Lampiran 3 yang berisi perbandingan peraturan pemerintah CPPSSB-2011,
CPPOB Formula bayi-2011, CPPB-IRT 2003, serta pustaka-pustaka yang
mendukung. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada 13 aspek yang dianggap
sebagai penentu keamanan makanan enteral. Aspek tersebut adalah (1) Bangunan
dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi
(5) Penyimpanan (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen Pengawasan
(8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran Makanan
(11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien (13) Pencatatan
dan Dokumentasi.
Aspek lokasi pada ketiga peraturan yang dijadikan acuan pada prinsipnya
mensyaratkan hal yang sama yaitu berada di daerah yang jauh dari sumber
kontaminasi. CPMEB tidak mensyaratkan aspek lokasi sebagai sarana yang harus
diperiksa karena unit makanan enteral merupakan bagian dari unit gizi rumah
sakit dan persyaratan lokasi unit gizi sudah termasuk dalam persyaratan rumah
sakit.
Diantara 13 aspek tersebut ada beberapa aspek yang persyaratannya
mengikuti CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 karena pada prinsipnya
kebutuhannya sama. Aspek yang dimaksud antara lain bangunan dan fasilitas;
fasilitas dan sanitasi; manajemen pengawasan; pengendalian hama; higiene
karyawan; pelatihan; serta pencatatan dan dokumentasi.
Aspek peralatan produksi; penyimpanan; dan pengendalian proses
sebagian parameter penyusunnya dipersyaratkan sama dengan CPPSSB-2011
ditambah dengan parameter khusus tentang makanan enteral. Aspek peralatan
produksi untuk parameter prosedur pengelolaan sanitasi blender menjadi
parameter tersendiri tidak tergabung dalam parameter pemeliharaan kebersihan
dan sanitasi peralatan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penelitian Oliveira
et al. (2000) penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan
24
enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan
enteral. Oleh karena itu pengelolaan sanitasi blender diamati secara khusus. Pada
aspek penyimpanan terdapat parameter makanan enteral. Kadang-kadang
makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung
dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada
suhu antara 0 dan 7
0C seperti yang disebutkan oleh Jay et al. (2005). Suhu
penyimpanan makanan enteral harus dikendalikan dan menjadi parameter kritis.
Berdasarkan penelitian Oliveira et al. (2001) ditemukan bahwa rata-rata suhu
lemari pendingin di rumah sakit yang dipergunakan untuk menyimpan makanan
enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas 70C. Tingginya suhu lemari
pendingin disebabkan karena lemari pendingin sering dibuka dan ditutup karena
dipergunakan untuk menyimpan makanan lain. Aspek pengendalian proses
didefinisikan sebagai tahap yang harus diamati mulai dari bahan baku sampai
dengan siap dikonsumsi pasien. Parameter penyimpanan makanan enteral tidak
masuk ke aspek ini karena penyimpanan makanan enteral bukan proses yang
harus selalu dijalani sehingga dimasukkan ke dalam aspek penyimpanan. Istilah
kemasan pada CPPB-IRT 2003 menjadi wadah pada CPMEB, karena pada
dasarnya makanan enteral FRS tidak dikemas tetapi ditempatkan dalam suatu
wadah dan siap untuk dikonsumsi. Pengamatan terhadap wadah terbagi menjadi
parameter jenis wadah; dan volume wadah. Persyaratan sanitasi wadah diperketat
dengan mengacu pada CPPOB Formula bayi-2011 dalam hal panduan untuk
menyiapkan dan menyajikan formula bayi, khususnya cara membersihkan dan
sanitasi peralatan. Volume wadah dimunculkan dalam parameter tersendiri dan
persyaratan dibuat lebih ketat yaitu hanya berisi satu porsi untuk menghindari
dilakukannya penuangan. Penuangan berisiko terjadi kontaminasi. Beattie dan
Anderton (2001) menyarankan agar makanan enteral yang telah direkonstitusi
di dalam blender dimasukkan secara kontinyu ke dalam wadah steril tertutup.
Penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan
meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai
9,3 X 103 CFU/mL. Parameter lain yang khas untuk CPMEB yaitu keterangan
produksi yang harus dicantumkan pada setiap wadah. Produksi makanan enteral
sangat bervariasi dan kekeliruan peruntukkan sangat membahayakan pasien oleh
25
karena itu keterangan produksi harus ditempel pada setiap wadah dan dilakukan
ssecara konsisten..
Aspek penyaluran (distribusi) makanan pada CPPB-IRT tidak
disyaratkan secara khusus dan pada CPPSSB-2011 hanya merupakan bagian dari
obyek pemeriksaan perlindungan makanan. Pada CPMEB dimunculkan dalam
aspek tersendiri agar teramati secara konsisten. Pada proses pembuatan makanan
enteral FRS sebagian besar tidak ada proses yang bersifat mengawet dan makanan
enteral termasuk kategori pangan khusus sehingga kontaminasi harus selalu
dicegah. Menurut Jorge (2000) mikroba penyebab penyakit tumbuh dan
berkembang biak pada suhu 5 sampai 60 0C, sehingga untuk menjaga agar
makanan aman, jangan biarkan makanan berada pada suhu tersebut lebih dari
4 jam.
Pemberian makanan enteral kepada pasien harus dilakukan mengikuti
langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam Standard Operational Procedure
(SOP). Isi SOP harus mengandung unsur higiene sanitasi dan harus selalu ditaati.
Aspek ini tidak dipersyaratkan pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003.
Pada CPMEB dimunculkan pada aspek tersendiri karena berdasarkan penelitian
Best (2008) walaupun makanan enteral telah tersedia dalam keadaan steril dan
pedoman sistem penyajian makanan enteral juga tersedia tetapi tetap terjadi
kontaminasi. Terindikasi bahwa sebagai sumber utama terjadinya kontaminasi
adalah terjadinya kesenjangan antara praktek di lapangan oleh perawat sebagai
petugas pemberian makanan enteral kepada pasien dengan standar yang
direkomendasikan.
Persyaratan aspek ruang produksi khususnya parameter kondisi ruangan
dan parameter letak ruangan dibuat lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan
pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003. Hal ini disebabkan karena
akreditasi rumah sakit mensyaratkan ruang khusus untuk ruang sonde (terpisah
dari dapur gizi). Makanan enteral termasuk pangan berkategori khusus dan ruang
produksi dapat menjadi sumber kontaminasi silang yang potensial jika kebersihan
dan sanitasi tidak terpelihara dengan baik sehingga ruang produksi dikondisikan
sebagai high higiene area (HHA). Persyaratan mengacu pada persyaratan
26
CPPOB Formula bayi-2011. Hasil penyusunan pedoman CPMEB tercantum pada
Lampiran 4.
B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB
Hasil penyusunan panduan audit CPMEB tercantum pada Lampiran 5 yaitu
panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit.
Sedangkan pembahasan penentuan bobot pada aspek dan penetapan kategori hasil
pemeriksaan dibahas pada sub bab ini.
1. Penentuan bobot pada aspek.
Penentuan bobot pada aspek dilakukan dengan cara menetapkan kelompok
aspek utama. Penetapan kelompok aspek utama dilakukan dengan cara
menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan obyek pemeriksaan pada
CPPSSB-2011, group utama pada CPPB-IRT 2003 dan titik kritis dalam HACCP.
Proses dan hasil penetapan kelompok utama CPMEB dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung.
CPPSSB- 2011 CPPB-IRT 2003 Pustaka
pendukung
Usulan
CPMEB
No. Obyek pemeriksaan
Group
Group & unsur (*) Aspek
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
9.
11.
AIR BERSIH
Sumber air bersih
aman, jumlah cukup
dan bertekanan.
FASILITAS CUCI
TANGAN DAN
TOILET
Jumlah cukup,
tersedia sabun,
nyaman dipakai dan
mudah dibersihkan.
D.
SUPLAI AIR
1.Sumber air
2.Penggunaan air
3.Air yang kontak
langsung dengan
pangan.
_
Fasilitas
sanitasi
27
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
15.
KARYAWAN
Semua karyawan
yang bekerja bebas
dari penyakit menular
seperti penyakit kulit,
bisul, luka terbuka
dan ISPA.
G.
KESEHATAN DAN
HIGIENE
KARYAWAN
1.Kesehatan karyawan
meliputi pemeriksaan
kesehatan dan
kesehatan karyawan
Higiene
karyawan
16.
Tangan selalu dicuci
bersih, kuku dipotong
pendek, perilaku
higienis dan bebas
kosmetik
2.Kebersihan karyawan
meliputi kebersihan
badan, pakaian dan
tangan serta
perawatan luka.
3.kebiasaan karyawan
meliputi perilaku
karyawan
18.
MAKANAN
Sumber makanan,
keutuhan dan tidak
rusak.
H.
PENGENDALIAN
PROSES 1.Penetapan spesifikasi
bahan baku.
2.Penetapan komposisi
dan formulasi bahan.
3.Penetapan cara
produksi yang baku.
4.Penetapan spesifikasi
Kemasan.
5.Penetapan tanggal
kadaluarsa dan kode
produksi.
_
Pengendali
an Proses.
20.
PERLINDUNGAN
MAKANAN
Penanganan makanan
yang potensi
berbahaya pada suhu,
cara dan waktu yang
memadai selama
penyimpanan,
peracikan, persiapan
penyajian dan
pengangkutan
makanan serta
melunakkan makanan
beku sebelum
dimasak (thawing).
Suhu
penyimpan-
an makanan
enteral
Penyimpan
an
28
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
40. Tersedia Lemari
pendingin mencapai
suhu – 100C
dilengkapi dengan
thermometer
pengontrol
24.
PERALATAN
MAKAN DAN
MASAK
Proses pencucian
melalui tahapan
mulai dari
pembersihan sisa
makanan,
perendaman,
pencucian dan
pembilasan
Pencucian
dan sanitasi
blender
Peralatan
produksi
25.
26.
Bahan racun/
pestisida disimpan
tersendiri di tempat
yang aman,
terlindung,
menggunakan label/
tanda yang jelas
untuk digunakan.
Perlindungan
terhadap serangga,
tikus, hewan
peliharaan dan hewan
pengganggu lainnya.
F.
PENGENDALIAN
HAMA
1.Hewan peliharaan
2.Pencegahan
masuknya hama
3.Pemberantasan hama
_
Pengen-
dalian
hama
35.
Tersedia kendaraan
khusus pengangkut
makanan
_
_
Penyaluran
makanan
Akreditasi rumah
sakit mensyaratkan
ruang khusus bagi
dapur sonde.
_
Ruang
pengolahan
hanya untuk
mempersiap
kan dan
memblender
makanan
enteral
Ruang
produksi
(*) Sumber : Oliveira et al (2001)
29
Berdasarkan kajian data pada Tabel 2, obyek pemeriksaan pada
CPPSSB-2011, group & unsur pada CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
dapat dikonversikan kedalam aspek dan parameter CPMEB. Dengan demikian
aspek yang kemungkinan dapat dikelompokkan dalam aspek utama CPMEB
adalah fasilitas sanitasi; higiene karyawan; pengendalian proses; penyimpanan;
peralatan produksi; pengendalian hama; penyaluran makanan; dan ruang
produksi.
Aspek fasilitas sanitasi dan aspek pengendalian hama sudah menjadi
persyaratan pada penyelenggaraan makanan unit gizi secara menyeluruh sehingga
tidak sulit untuk dipenuhi. Dengan demikian aspek fasilitas sanitasi dan aspek
pengendalian hama tidak dijadikan sebagai aspek utama. Higiene karyawan, pada
CPPSSB-2011 berbobot 5 dan pada CPPB-IRT 2003 menjadi aspek utama
sehingga pada CPMEB pun perlu dimasukkan dalam aspek utama. Proses
pembuatan makanan enteral sangat sederhana, distribusi pendek, konsumennya
jelas, mudah dilaksanakan dan jika dibuatkan SOP mudah dipahami sehingga
mudah diterapkan. Penetapan spesifikasi bahan baku sudah menjadi persyaratan
pengadaan bahan baku makanan pasien secara keseluruhan. Oleh karena itu
kelompok aspek pengendalian proses tidak dijadikan kelompok utama.
Suhu penyimpanan makanan enteral merupakan titik kritis dalam HACCP
(Oliveira et al 2001), obyek pemeriksaan perlindungan makanan pada CPPSSB-
2011 mempunyai bobot 5 (lima) sehingga aspek penyimpanan layak dimasukkan
kedalam aspek utama. Peralatan pada proses pembuatan makanan enteral sebagian
besar bersentuhan langsung dengan produk dan setelah terjadi kontak tidak ada
proses yang dapat membunuh mikroba sehingga aspek peralatan perlu
dimasukkan dalam aspek utama. Makanan enteral umumnya dibuat 1 (satu) jam
sebelum jadwal distribusi. Jarak antara ruang produksi makanan enteral ke ruang
rawat inap umumnya ditempuh paling lama setengah jam dan dikonsumsi paling
lama 1 (satu) jam kemudian. Waktu antara proses dan konsumsi kurang dari
4 (empat) jam sehingga risiko keamanan pangan rendah karena peningkatan
jumlah mikroorganisme sedikit. Oleh karena itu aspek penyaluran tidak
dimasukkan dalam aspek utama. Ruang produksi harus dikondisikan sebagai high
higiene area sehingga ruang produksi harus menjadi aspek utama. Dengan
30
demikian aspek yang ditetapkan sebagai aspek utama pada pedoman CPMEB draf
1 adalah ruang produksi; peralatan produksi; higiene karyawan; dan penyimpanan.
2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan
Penetapan kategori hasil pemeriksaan dipergunakan untuk menyimpulkan
pemenuhan persyaratan CPMEB. Kesimpulan didasarkan pada nilai total dan
sebaran nilai aspek. Nilai aspek dihitung dengan cara menjumlahkan nilai
parameter pada setiap aspek, dirata-ratakan dan dibulatkan ke atas atau ke bawah.
Nilai total yaitu menjumlahkan nilai seluruh aspek dirata-ratakan dan dibulatkan
ke atas atau ke bawah. Sebaran nilai aspek yaitu menentukan kategori nilai untuk
aspek utama dan aspek lainnya. Penilaian akhir dikelompokkan ke dalam kategori
B (baik), C (cukup) dan K (kurang). Dengan memadukan cara penilaian akhir
CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003, maka pada CPMEB dapat dilakukan dengan
cara seperti yang tercantum pada Tabel 3.
Pada CPPSSB-2011 disebutkan bahwa persyaratan higiene dan sanitasi
perusahaan jasaboga golongan B dinyatakan memenuhi persyaratan jika mendapat
nilai akhir minimal 83 dari nilai total 92 atau 90,2 %. Jika nilai akhir dibawah
70 % maka kepada pengusaha jasaboga diminta untuk menghentikan kegiatannya
dan segera memperbaiki diri dalam waktu 24 jam. Bila tidak dapat memenuhi
peringatan tersebut dapat berakibat pencabutan sementara izin usaha dari
Pemerintah Daerah/Administrator Pelabuhan. Jika nilai akhir berada diantara
keduanya maka harus segera memperbaiki, didahului dengan aspek utama
(Kementerian Kesehatan 2011).
Penilaian akhir pada CPPB-IRT 2003 diklasifikasikan menjadi tiga
golongan yaitu golongan baik bila empat group utama semuanya mendapat nilai
baik dan group lainnya maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai kurang; golongan
cukup bila 4 (empat) group utama mendapat nilai baik atau cukup dan group
lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai cukup; golongan kurang bila tidak
memenuhi kriteria cukup (BPOM 2003). Panduan penilaian akhir CPMEB
disusun berdasarkan pada perpaduan antara pedoman penilaian akhir CPPSSB
2011 dan CPPB-IRT 2003.
31
Tabel 3. Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011,
CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB.
CPPSSB-2011 CPPB-IRT 2003 CPMEB
Kisaran nilai tergantung bobot:
Bobot 1 : nilai 0 atau 1
Bobot 2 : nilai 0, 1 atau 2
Bobot 3 : nilai 0,1,2 atau 3
Dan seterusnya. Tidak terdapat
penjelasan kriterian nilai.
Penilaian dikategorikan:
B (baik), C (cukup) atau K
(kurang).
Terdapat penjelasan tentang
kriteria nilai.
Penilaian dikategorikan
B (baik), C (cukup) atau K
(kurang).
Disusun penjelasan tentang
kriteria nilai.
Penetapan bobot :
Obyek yang berbobot 3, 4 dan 5
harus segera diatasi jika terjadi
penyimpangan (obyek utama)
Penetapan bobot :
Telah ditetapkan group
utama yaitu group yang
menjadi prioritas utama
untuk diperbaiki.
Penetapan bobot:
Ditetapkan aspek utama
yaitu aspek yang menjadi
prioritas utama untuk
diperbaiki.
Penilaian akhir
Sertifikat laik higiene untuk
jasaboga golongan B diberikan
bila:
-memperoleh nilai 83 dari 92 nilai
total atau mencapai nilai 90,2%.
-Harus segera memperbaiki
penyimpangan obyek yang
berbobot 3, 4 dan 5 paling lama
10 hari.
-Jika score penyimpangan ≤15%
semua penyimpangan bobot 1 & 2
harus segera diperbaiki sampai
waktu pemeriksaan berikutnya.
-Jika penyimpangan 16-30%
objek berbobot 1 & 2 harus segera
diperbaiki dengan waktu
maksimal 30 hari.
-Jika penyimpangan > 30%
kegiatan harus dihentikan dan
segera memperbaiki diri dalam
waktu 24 jam. Jika tidak
dilaksanakan ijin dicabut
Penilaian akhir didasarkan
atas sebaran nilai aspek
utama dan aspek lainnya.
B (baik) jika 4 group utama
semuanya mendapat nilai B
dan group lainnya maksimal
2 yang mendapat nilai
kurang (4B dan 6C-2K) .
C (cukup) jika 4 group
utama mendapat nilai B atau
C dan group lainnya
minimal 5 yang mendapat
nilai cukup (4C dan 5C-3K).
K (kurang jika tidak
memenuhi kategori cukup.
Penilaian akhir didasarkan
atas nilai total dan sebaran
nilai aspek utama dan
aspek lainnya. Nilai total
maksimal 39 (13 aspek
x 3)
B (baik) jika mencapai
nilai minimal 90% dari
total yaitu 35. Jika
dikonversi kedalam
sebaran nilai aspek yaitu
bila seluruh aspek utama
bernilai B dan minimal 5
(lima) aspek yang lain juga
memperoleh nilai B serta
tanpa ada nilai K (4B dan
5B-4C )
C (cukup) jika mencapai
nilai minimal 77% dari
nilai total yaitu 30. Jika
dikonversi ke dalam
sebaran nilai aspek yaitu
bila seluruh aspek utama
bernilai baik dan minimal
9 (sembilan) aspek yang
lain memperoleh nilai C
serta tanpa ada nilai K (4B
dan 9C ).
K (kurang) jika tidak
mencapai nilai cukup.
32
Makanan enteral termasuk pangan dengan kategori khusus sehingga
dalam penentuan penilaian akhir dibuat lebih ketat dibandingkan dengan
pangan siap saji dan industri rumah tangga. Bentuk pengetatan mengacu pada
peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi
dan Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus pasal 6 ayat 1. Pada pasal
tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Formula Bayi
dan/atau Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus wajib menerapkan Cara
Produksi yang Baik dan Sistem Pengendalian Bahaya Pada Titik Kritis (Hazard
Analysis and Critical Control Point/HACCP) (BPOM 2011a). Bentuk pengetatan
pada CPMEB yaitu seluruh aspek utama harus bernilai B (baik) dan tidak
diperbolehkan ada nilai K (kurang) untuk seluruh aspek lainnya. Persyaratan ini
hanya dapat dipenuhi oleh rumah sakit yang pelayanan gizinya telah terakreditasi.
Pemenuhan persyaratan akreditasi pelayanan gizi yaitu antara lain dapur sonde
harus terpisah dari dapur gizi.
Pada CPMEB terdapat 13 aspek yang harus dinilai. Total nilai akhir
maksimum dicapai bila semua aspek mempunyai kategori baik (B) yaitu nilai 3.
Dengan demikian total nilai akhir maksimum menjadi 39. Mengacu pada CPPSSB
2011 yaitu bahwa jasaboga golongan B akan mendapatkan sertifikat kelaikan
fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
minimal 90,2 % maka total nilai akhir minimal yang harus dicapai untuk
mendapatkan kategori baik pada pemenuhan CPMEB yaitu 90% dari 39 sama
dengan 35. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek
utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B
serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C).
Mengacu pada CPPSSB 2011 kembali yaitu bahwa perusahaan/unit
pengelolan tidak boleh beroperasi bila nilainya kurang dari 70 % , maka
pemenuhan persyaratan CPMEB dikatakan cukup bila total nilai akhir minimal
yang harus dicapai 70 % dari 39 sama dengan 27. Konversi nilai tersebut ke dalam
sebaran nilai aspek menjadi 1B-3C dan 9C. CPMEB mensyaratkan seluruh aspek
utama bernilai B dan tanpa nilai K oleh karena itu minimal sebaran nilai aspek
yaitu 4B dan 9C=30 atau 77 % dari 39. Dengan demikian pemenuhan
33
persyaratan CPMEB dikatakan berkategori cukup bila total nilai akhir
minimal 30. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu seluruh aspek
utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C
serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C); dan dikatakan kurang bila belum memenuhi
kategori cukup.
C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB DI
RUMAH SAKIT.
1. Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X.
a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral
Di lingkungan rumah sakit X yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan makanan pasien adalah instalasi gizi. Instalasi gizi memproduksi
makanan dalam bentuk padat, lunak dan cair. Unit penyedia makanan enteral di
rumah sakit X disebut dengan unit produksi makanan cair karena pada dasarnya
makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair.
Petugas yang mengolah makanan cair berjumlah dua orang dengan jadwal
terbagi menjadi 2 (dua) shift. Shift pagi mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00
dan shift sore mulai pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Dengan demikian dalam
ruang tersebut hanya ada satu orang setiap shiftnya. Latar belakang pendidikan
petugas tersebut yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan tataboga/gizi
dengan dilengkapi pelatihan pelayanan prima yaitu pelatihan dengan materi
kursus higiene sanitasi makanan. Persyaratan kesehatan karyawan dan
pemeriksaan kesehatan telah ditetapkan sebagaimana mestinya yaitu dengan
adanya pemeriksaan kesehatan secara rutin setahun sekali. Kebersihan karyawan
dirawat dengan baik dan selalu diingatkan oleh beberapa tulisan yang ditempel di
ruang produksi. Tulisan tersebut antara lain: “cuci dahulu tangan anda sebelum
menjamah makanan”, “ gunakan alat pelindung diri (celemek/topi)”, “ perhatian-
setiap selesai bekerja semua peralatan wajib dibersihkan”.
Dalam melaksanakan tugasnya, pengolah makanan cair dimonitor oleh
2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang ahli gizi memonitor tentang proses produksi
mulai dari peracikan sampai dengan distribusi dan ahli gizi yang lain memonitor
34
penerapan higiene dan sanitasi. Racikan atau resep disusun oleh ahli gizi sesuai
dengan kebutuhan diet yang direkomendasikan dokter.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral.
Produksi makanan cair harus dalam ruang khusus yang dijaga higiene dan
sanitasinya atau disebut high higiene area (HHA). Hal ini sudah diterapkan oleh
rumah sakit X. Unit produksi makanan cair menempati ruang khusus yang masih
berada dalam lingkungan dapur gizi. Antara ruang produksi makanan cair dan
lingkungan dapur gizi dipisahkan oleh sebuah pintu. Ruang tersebut terbagi
menjadi dua ruangan. Antar ruangan juga dipisahkan oleh sebuah pintu. Luas
ruang pertama 7,6 m2, dipergunakan untuk pembuatan snack (tidak ada
hubungannya dengan produksi makanan enteral). Ruangan ke dua adalah ruang
yang benar-benar dipergunakan untuk produksi makanan enteral. Luas ruangan
tersebut 10,64 m2. Sarana yang terdapat dalam ruangan ini yaitu tempat cuci
tangan (wastafel), meja persiapan, meja produksi, meja distribusi, lemari gantung
untuk menyimpan bahan baku kering dan peralatan serta alat pemanas air yang
dilengkapi dengan filter. Luas ruangan yang dipergunakan untuk penempatan
sarana seluas 3.7 m2 sehingga ruang kosong yang digunakan untuk karyawan
bekerja seluas 6,94 m2. Karyawan yang bertugas dalam ruangan tersebut satu
orang setiap shift, sehingga berdasarkan persyaratan luas ruang telah cukup
memadai. Suhu ruangan berkisar antara 25 sampai 30 0C. Sumber penerangan
selain berasal dari lampu juga berasal dari sinar yang masuk dari jendela. Ruang
produksi dilengkapi dengan jendela dorong yang menghadap ke bagian ruang
distribusi makanan. Ruang distribusi makanan adalah ruang dimana petugas yang
akan mendistribusikan makanan antri untuk mengambil makanan yang harus
didistribusikan ke pasien sesuai dengan pesanan. Denah ruang produksi makanan
cair dapat dilihat pada Lampiran 6.
c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi
Penerimaan bahan baku di rumah sakit X didasarkan pada standar
spesifikasi yang telah ditetapkan. Bahan baku makanan cair diperoleh dari gudang
bahan baku yang juga menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada
35
standar spesifikasi yang dikhususkan untuk bahan baku makanan cair. Air yang
dipergunakan untuk mengolah makanan cair sama dengan yang digunakan untuk
keperluan lain dan telah memenuhi persyaratan air minum. Sebelum dipergunakan
untuk mengolah makanan cair, air tersebut dilewatkan ke dalam filter dan
selanjutnya masuk ke dalam alat pemanas air yang dapat memanaskan air hingga
suhu 90 0C. Filter air dibersihkan secara berkala. Fasilitas sanitasi yang lain yaitu
tempat sampah untuk kebutuhan seluruh dapur gizi jumlahnya cukup tetapi ada
beberapa yang terbuka.
Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan cair di rumah
sakit X terdiri dari dua buah gelas ukur yang terbuat dari plastik, pengaduk dari
plastik, pisau, pemeras jeruk dari bahan plastik, saringan dari bahan plastik, alat
penghasil air panas dan blender. Blender yang digunakan terbuat dari bahan
stainless steel dengan volume cup sebesar 2,5 liter. Semua peralatan disimpan di
lemari tertutup kecuali blender. Blender diletakkan di luar ruang produksi yaitu di
dapur gizi, dipasang secara permanen di tempatnya, tidak dapat dipindah-pindah.
Makanan enteral yang diproduksinya hanya makanan enteral FRS dengan
jenis produksi dan bahan baku yang dipergunakan antara lain : a). makanan cair
untuk diabetes melitus (DM), bahan bakunya adalah susu rendah lemak, susu
full cream, kuning telur, tepung maizena, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;
b) makanan cair rendah protein (RP), bahan bakunya adalah tepung maizena, gula
pasir, susu full cream dan jeruk; c) makanan cair DM rendah laktosa, bahan
bakunya adalah susu rendah laktosa, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;
d) makanan cair biasa, bahan bakunya adalah susu full cream, gula pasir, kuning
telur, jeruk dan beberapa jenis makanan cair yang lain dengan bahan baku hampir
sama. Secara umum pengolahan makanan cair dilakukan dengan cara mencampur
bahan baku kering kemudian menambahkan air panas 90 0C dan diaduk rata.
Pencampuran dilakukan dalam gelas ukur plastik. Setelah pencampuran suhu
makanan cair berkisar antara 70 sampai 80 0C. Proses produksi makanan cair yang
prosesnya harus menggunakan blender misalnya makanan cair bebas laktosa
dengan bahan baku telur, kacang hijau, wortel, jeruk, tepung beras dan gula pasir
pemasakan dan pemblenderan dilakukan di luar ruang produksi karena dalam
ruang produksi tidak terdapat kompor dan blender telah terpasang secara
36
permanen di luar ruang produksi. Makanan enteral siap konsumsi ditempatkan
dalam plastik bening jenis PE (Polietilene) dengan volume sekitar 250 mL (untuk
satu kali konsumsi). Sebetulnya tersedia alur proses produksi yang baku dan
ditaati tetapi alur proses belum berupa SOP, hanya berupa catatan sederhana
dalam buku besar.
d. Distribusi produk dan pengawasan
Jumlah makanan enteral yang diproduksi didasarkan pada pemesanan
perawat di unit ruang rawat inap ke ahli gizi di unit ruang rawat inap. Pesanan
tersebut diterjemahkan ke dalam jenis diet makanan enteral dan penetapan bahan
baku. Selanjutnya pesanan diserahkan ke ahli gizi unit penyelenggaraan makanan
yang dalam hal ini adalah unit makanan cair untuk diolah. Hasil olahan
didistribusikan sesuai dengan catatan/pesanan dari ruang rawat inap. Alat yang
dipergunakan untuk mendistribusikan makanan enteral yaitu rantang. Pemberian
makanan cair maupun makanan lunak kepada pasien dilakukan oleh perawat.
Makanan diberikan pada jam yang telah ditentukan. Tersedia SOP pemberian
makanan enteral kepada pasien.
e. Pengendalian hama
Pengendalian hama untuk seluruh unit di rumah sakit X dilakukan oleh
perusahaan out sourcing dibawah koordinasi urusan rumah tangga. Jika ada
permasalahan, unit yang bersangkutan akan melaporkan ke urusan rumah tangga
dan dilanjutkan ke perusahaan tersebut untuk ditangani.
2. Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.
Pada tanggal 14 Mei 2009 RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
mendapatkan sertifikat akreditasi sebagai pengakuan bahwa rumah sakit telah
memenuhi standar pelayananan. Pelayanan yang terakreditasi meliputi
administrasi dan manajemen; pelayanan medis; pelayanan gawat darurat;
pelayanan keperawatan; rekam medis; farmasi; K3; radiologi; laboratorim; kamar
operasi; pengendalian infeksi di rumah sakit; perinatal risiko tinggi; pelayanan
37
rehabilitasi medik; pelayanan gizi; pelayanan intensif dan pelayanan darah. Pada
tahun 2012 meningkatkan visinya menjadi rumah sakit berstandar internasional,
rujukan utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit
dan masyarakat.
Dalam rangka mencapai visi rumah sakit dan mempertahankan sertifikat
akreditasi, Unit Gizi menyusun misi yang isinya adalah menyelenggarakan
pelayanan gizi yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan pasien untuk
menunjang aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta meningkatkan
kualitas hidup; meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;
mengembangkan penelitian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) terapan. Pelaksanaan misi antara lain berpedoman pada
persyaratan akreditasi rumah sakit. Dalam akreditasi rumah sakit tahun 2005
standar 4 pedoman 1 (P1) dipersyaratkan tersedia tempat yang cukup untuk
melaksanakan pelayanan gizi. Ada 12 item yang dipersyaratkan dalam standar 4
P1 tersebut, salah satu diantaranya yaitu tersedianya ruang/tempat dapur susu
(item g). Dapur susu adalah suatu ruangan yang dipergunakan untuk
memproduksi makanan cair baik yang dikonsumsi melalui oral maupun enteral.
Dalam rangka memenuhi persyaratan akreditasi, pada tahun 2005 dibangun
ruangan khusus untuk dapur susu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
dapur susu ini disebut dengan dapur sonde yaitu unit yang memproduksi makanan
enteral.
a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral.
Pengelolaan unit penyedia makanan enteral atau dalam hal ini dapur sonde,
dimonitor oleh ahli gizi yang bertugas di urusan penyediaan makanan diet
(Ur Diamak Diet). Petugas yang mengelola dapur sonde terdiri dari pengatur
administrasi penyediaan makanan enteral /sonde dan pengatur pelayanan penyedia
makanan enteral/sonde. Tugas pokok pengatur administrasi yaitu membantu
menghitung macam diet dan jumlah orang yang dilayani; membantu
menginventarisasi peralatan dan perlengkapan dapur enteral/sonde yang tersedia;
membuat etiket makanan enteral/sonde; serta membantu dalam pencatatan dan
pelaporan. Sedangkan tugas pengatur pelayanan penyedia makanan enteral /sonde
38
yaitu mengecek stok bahan dan mengambil bahan di gudang apabila bahan
tersebut kurang; berkoordinasi dengan ahli gizi di Ur Diamak Diet dan pelayanan
ruang rawat inap; mengolah makanan dengan jumlah sesuai pesanan dan diolah
berdasarkan SOP yang ada; mempersiapkan distribusi makanan enteral yang telah
diolah; membersihkan peralatan masak; dan mengecek persediaan bahan baku dan
melengkapinya untuk dinas berikutnya dengan cara memesan kepada bagian
gudang.
Tingkat pendidikan pengatur administrasi adalah diploma tiga gizi dan
tingkat pendidikan pengatur pelayanan adalah SMK jurusan tataboga. Jadwal
tugas pegawai terbagi menjadi 3 (tiga) shift. Shift pertama pukul 07.00 sampai
dengan pukul 15.30, shift kedua pukul 12.00 sampai dengan pukul 19.30 dan shift
ketiga pukul 20.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengatur administrasi selalu
bertugas pada shift pertama dibantu oleh seorang pengatur pelayanan. Pada shift
kedua dan ketiga yang bertugas hanya satu orang yaitu pengatur pelayanan
penyedia makanan enteral/sonde.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral
High higiene area sudah diterapkan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta. Dapur sonde dibangun dalam ruangan khusus yang masih terletak di
dalam lingkungan dapur gizi dengan dipisahkan oleh pintu. Pintu dibuat membuka
keluar. Dapur sonde terbagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang untuk cuci tangan,
ruang untuk cuci bahan baku dan peralatan serta ruang untuk pengolahan. Petugas
dan siapapun yang masuk ruang tersebut alas kaki harus dilepas.
Ruang cuci tangan terletak paling depan dengan ukuran 2,1 m x 1 m
(2,1 m2). Ruangan ini berisi wastafel, lap basah, lap kering, sabun cuci tangan dan
keset. Terdapat pedoman cara cuci tangan yang baik ditempel diatas wastafel.
Ruang sebelah dalamnya sesudah ruang cuci tangan adalah ruang pengolahan.
Antara ruang cuci tangan dan ruang pengolahan dipisahkan oleh sebuah pintu
yang membuka ke dalam ruang pengolahan. Luas ruang pengolahan 12,8m2
dan
dipergunakan untuk peralatan seluas 3,84 m2 sehingga luas ruangan yang bebas
dari peralatan adalah 8,96 m2. Peralatan yang terdapat di dalamnya antara lain
pendingin ruangan 1 PK; lemari penyimpanan hot & cool thermobox; tempat
39
sampah; meja persiapan sekaligus sebagai meja proses yang terbuat dari bahan
stainlesteel; meja distribusi terbuat dari stainlessteel; meja kerja dan kursi; dan
lemari penyimpan formulir. Di bawah meja persiapan dipergunakan untuk
menyimpan telur yang sudah tertata dalam rak telur dan kontainer plastik besar.
Kontainer plastik berisi gula pasir, tepung maizena, susu bubuk yang masih
terkemas dan beberapa stoples. Stoples dipergunakan untuk mewadahi produk
kering yang telah terbuka dari kemasannya. Di bawah meja distribusi dibuat
lemari tertutup untuk menyimpan makanan enteral FK, margarin dan bahan kering
lainnya yang masih terkemas utuh.
Ruang cuci bahan baku dan peralatan terletak disamping ruang cuci tangan
memanjang ke belakang sehingga terhubung dengan ruang pengolahan. Kedua
ruangan tersebut dihubungkan oleh sebuah pintu yang terbuka ke arah ruang
pengolahan. Luas ruang cuci bahan baku dan peralatan yaitu 3,8m2. Dalam ruang
cuci bahan baku dan peralatan terdapat bak cuci piring terbuat dari stainlesteel
yang dilengkapi dengan sabun dan sabut cuci piring; rak piring terbuka; selang
pipa gas yang tidak berfungsi karena dimatikan alirannya. Lampu yang terpasang
di ruang produksi ada tiga kotak setiap kotak berisi dua lampu setiap lampu
mempunyai kekuatan penerangan 25 watt, ruangan terlihat cukup terang ditambah
dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang produksi. Denah dapur gizi
dapat dilihat pada Lampiran 7 dan denah dapur sonde dapat dilihat pada
Lampiran 8.
c. Bahan baku dan peralatan
Bahan baku makanan enteral diperoleh dari gudang bahan baku yang juga
menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada standar spesifikasi yang
dikhususkan untuk bahan baku makanan enteral.
Bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral di
dapur sonde terbagi menjadi dua yaitu bahan baku basah dan kering. Bahan baku
basah antara lain daging sapi, ayam, tempe, tahu, wortel, labu siam dan telur.
Bahan baku kering antara lain beras, susu full cream, susu skim, gula pasir, garam,
tepung maizena, tepung beras, mineral mix, makanan enteral formula komersial.
Dapur sonde selain sebagai tempat untuk memproduksi makanan enteral juga
40
kadang-kadang untuk mempersiapkan menu sarapan pagi seperti roti bakar
sehingga di dalam ruangan tersebut juga tersedia bahan baku roti tawar dan
margarin yang bukan untuk keperluan makanan enteral.
Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral yaitu
antara lain blender, timbangan digital, lemari penyimpanan hot & cool thermobox,
teko plastik volume 2 liter dan 4 liter, gelas ukur plastik volume 2 liter dan 1 liter,
plastik wrapping film, plastik bening jenis PE dan sendok kayu. Semua peralatan
tersebut disimpan di rak piring terbuka yang terletak di ruang cuci bahan baku dan
peralatan.
d. Jenis dan proses produksi
Makanan enteral yang sering diproduksi dapur sonde dengan menggunakan
pengelompokkan yang diterapkan oleh Almatsier (2005) yaitu makanan cair
penuh FRS hasil blender dan makanan cair penuh FRS dengan susu full cream
atau skim. Di dapur sonde RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta makanan cair
penuh FRS hasil blender dikenal dengan nama makanan saring tanpa susu,
sedangkan produk makanan cair penuh FRS dengan susu terdiri dari makanan cair
rumah sakit, makanan cair formula WHO dan makanan cair diet lambung 1.
Makanan cair tersebut dikonsumsi melalui rute oral atau enteral tergantung
kondisi pasien. Setiap hari dapur sonde memproduksi kurang lebih 50 porsi
makanan enteral siap konsumsi. Makanan enteral formula WHO (untuk pasien
yang memerlukan diet tinggi energi dan tinggi protein) didistribusikan dalam
bentuk kering, dikemas per porsi dalam plastik bening jenis PE dan siap untuk
dicairkan. Pencairan dilakukan di ruang rawat inap. Makanan enteral FK
didistribusikan masih dalam kemasan primer (kemasan sekunder dilepas).
Pencairan dilakukan di ruang rawat inap dengan prosedur pencairan mengikuti
petunjuk penyajian atau sesuai saran dokter.
Proses pembuatan makanan enteral yang dihasilkan dapur sonde pada
prinsipnya sama yaitu seluruh bahan dicampurkan, penambahan air, dimasak bila
perlu, dihaluskan (diblender) bila perlu dan disaring bila perlu. Bahan baku
makanan saring tanpa susu adalah beras putih giling, daging sapi atau ayam,
tempe atau tahu, wortel, labu siam, sedikit kecap dan santan. Karena bahan
41
bakunya adalah bahan mentah dan tidak halus maka diperlukan pemasakan dan
pemblenderan. Seluruh bahan kecuali beras dicampur menjadi satu, ditambah
dengan air dan dimasak. Setelah masak, ditunggu sampai dingin kemudian
ditambah nasi dan diblender. Selanjutnya hasil blenderan tersebut disaring. Bahan
baku makanan cair rumah sakit yaitu susu full cream, susu rendah lemak, gula
pasir, kuning telur ayam dan minyak jagung. Proses pembuatan makanan cair
rumah sakit tidak melalui pemasakan karena bahan bakunya siap untuk
dikonsumsi. Bahan baku kering dicampur menjadi satu, ditambah kuning telur dan
minyak jagung sambil diaduk lagi sampai homogen dan ditambah air mendidih.
Proses pembuatan makanan cair formula WHO juga tidak melalui pemasakan.
Seluruh bahan baku yang terdiri dari susu full cream, gula pasir, minyak kelapa
dan mineral mix dicampur kemudian ditambah air mendidih. Pencampuran
dilakukan di ruang rawat inap. Proses pembuatan makanan cair diet lambung 1
melalui pemasakan karena salah satu bahan bakunya tidak siap untuk langsung
dikonsumsi yaitu tepung maizena. Bahan baku lainnya adalah susu full cream,
gula pasir. Skema proses produksi masing-masing makanan cair dapat dilihat pada
Gambar 3 dan 4 serta SOP dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 11 dan 12.
e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk
Jumlah dan jenis produksi makanan enteral yang diolah di dapur sonde
didasarkan pada pesanan makanan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan
rekomendasi dari dokter, penanggungjawab ruang rawat inap memesan makanan
enteral ke seksi penyedia makanan Unit Gizi kemudian dilanjutkan ke penyedia
makanan diet. Pengatur administrasi penyedia makanan diet dibantu pengatur
administrasi penyedia makanan enteral akan menterjemahkan kebutuhan gizi yang
direkomendasikan dokter ke dalam kebutuhan bahan pangan. Selanjutnya
pengatur administrasi makanan enteral menyusun bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk pesanan tersebut dan pengatur pelayanan penyedia makanan enteral akan
memesan bahan baku ke bagian gudang. Telur, susu, tepung maizena, tepung
beras, garam, gula pasir, dipesan untuk keperluan dua hari sedangkan makanan
enteral FK dipesan untuk keperluan satu minggu. Selanjutnya bahan baku tersebut
disimpan di dapur sonde. Bahan baku basah seperti sayur, tempe, tahu, ayam dan
42
daging sapi disimpan di dapur gizi. Bahan baku basah datang setiap pagi dan
disimpan di lemari pendingin untuk bahan yang akan diolah siang atau sore.
Sayur-sayuran disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4,50C, daging dengan
suhu 5 0 C dan ayam disimpan di freezer dengan suhu 20
0 C. Tempe dan
tahu disimpan pada suhu ruang. Alur pemenuhan makanan pasien dapat dilihat
pada Lampiran 13 dan alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral
dapat dilihat pada Lampiran 14.
Pengadaan bahan baku untuk makanan enteral bergabung dengan bahan
baku untuk makanan lain. Penentuan rekanan sebagai suplier dilakukan oleh
Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat (BEKANGAD), akan tetapi rumah
sakit diberi hak untuk memeriksa kembali mutu bahan baku yang diterima. Acuan
mutu bahan baku menggunakan standar spesifikasi yang telah dibuat oleh rumah
sakit. Contoh prosedur pemeriksaan telur sebagai bahan baku dapat dilihat pada
Lampiran 15. Selanjutnya diikuti dengan tes untuk bahan baku yang mungkin
menggunakan bahan tambahan terlarang seperti rhodamin B, metanil yellow,
boraks dan formalin. Tes bahan tambahan terlarang menggunakan metode
screening cepat yaitu test kit. Prosedur test kit bahan tambahan terlarang bagi
makanan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, 18 dan 19.
Sistem distribusi yang diterapkan di dapur sonde menggunakan sistem
desentralisasi dan sentralisasi. Desentralisasi diterapkan untuk makanan enteral
FK dan makanan cair tinggi energi dan tinggi protein (formula WHO). Formula
tersebut akan dicairkan di ruang rawat inap. Sentralisasi diterapkan untuk formula
lain yang membutuhkan pemasakan/perebusan dalam prosesnya. Distribusi
dilakukan dengan cara menempatkan makanan enteral ke dalam wadah rantang,
mangkok atau botol dan ditutup dengan film/plastik pembungkus (wrapping film).
Laporan hasil pengujian tentang film/plastik pembungkus dapat dilihat pada
Lampiran 20. Wadah dipersiapkan oleh bagian ruang rawat inap dan dibawa ke
dapur sonde satu jam sebelum makanan enteral akan disajikan. Makanan enteral
akan dipindahkan ke tempat penyajian yang tersedia di ruang rawat inap.
Pemberian makanan enteral kepada pasien dilakukan oleh perawat dengan
mengikuti SOP yang telah ditetapkan.
43
*) Bahan :
- Daging sapi/ayam
- Tempe/tahu
- Wortel
- Labu siam
- Kecap
- Santan
*) Bahan :
- Susu full cream
- Susu skim
- Gula pasir
- Minyak jagung
PPPe
Bahan baku *)
Perebusan
Penghancuran dengan blendr
Pencampuran bahan kering
Penempatan di wadah
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian per satu porsi
Pemberian kepada pasien
Air
mendidih
Makanan saring tanpa
susu
Penyaringan
Pencampuran sampai merata
Penambahan kuning telur
Penempatan di wadah
Pemberian kepada pasien
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Bahan baku *)
Pembagian persatu porsi
Makanan cair
rumah sakit
Air
mendidih
Penyaringan
Nasi
Ampas
Ampas
Gambar 3 : Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu (kiri) dan
makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit) (kanan).
44
*) Bahan :
- Susu full cream
- Gula pasir
- Tepung maizena
*) Bahan :
- Susu full cream
- Gula pasir
- Mineral mix
Bahan baku *)
Air
mendidih
Makanan cair diet
lambung
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian persatu porsi
Bahan baku per satu porsi *)
Pencampuran bahan kering
Minyak
Pencampuran
Penempatandalam plastik
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Air
mendidih
Pengenceran
Makanan cair formula
WHO
Pemberian kepada pasien
Perebusan
Penyaringan
Penempatan di wadah
Minyak
goreng
Pemberian kepada pasien
Ampas
Penyaringan
Ampas
Gambar 4 : Skema proses pembuatan makanan cair formula susu yaitu diet
lambung 1 (kiri) dan formula WHO (kanan)
45
f. Perawatan kebersihan dan sanitasi
Sumber air yang dipergunakan untuk pengolahan makanan cair, makanan
biasa dan keperluan lain bersumber dari air tanah dan telah memenuhi persyaratan
kesehatan air minum ditunjukkan dengan adanya laporan hasil pemeriksaan
kualitas air bersih secara fisik pada Lampiran 21, secara kimia pada Lampiran 22,
dan secara bakteriologi pada Lampiran 23.
Perawatan kebersihan dan sanitasi ruang produksi dan sarana produksi
makanan enteral dilakukan secara rutin oleh pengatur administrasi dan pengatur
pelayanan dibantu oleh cleaning service. General cleaning (kurve) dilakukan
seminggu sekali pada hari kamis dan dilakukan serentak antara dapur gizi dan
dapur sonde.
g. Pengendalian hama
Pengendalian hama diperlukan untuk menjaga agar lingkungan tidak
menjadi sumber yang kondusif untuk pertumbuhan hama. Serangga, tikus, hewan
peliharaan dan hewan pengganggu lainnya dapat menjadi sumber kontaminasi
mikroba. Menurut Hariyadi dan Dewanti-Hariyadi (2011) anjing, kucing
seringkali terkontaminasi oleh salmonella. Kucing juga merupakan inang bagi
protozoa Toxoplasma gondii yang dapat menyebabkan toksoplasmosis pada
manusia. Serangga, terutama lalat dan kecoa dapat mengkontaminasi makanan
dengan berbagai patogen penyebab tifus, disentri, diare, dan lain-lain. RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta selalu melakukan penangkapan kucing yang
berada di sekitar rumah sakit. Hasil pemantauan pekerjaan pest control
pengendalian kucing dapat dilihat pada Lampiran 24. Pengendalian hama tikus
dilaksanakan dengan cara membuat saringan hama tikus di dalam dan di luar got
tempat pembuangan air limbah.
Ruang produksi makanan enteral atau dapur sonde di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta selalu dalam keadaan bersih, tidak terlihat adanya hama
serangga maupun tikus dan tidak terlihat adanya sarang hama. Beberapa usaha
yang dilakukan untuk menjaga kebersihan dan sanitasi ruang produksi antara lain
alas kaki karyawan selalu dilepas sebelum memasuki ruang produksi; pintu selalu
tertutup dan dipampang tulisan “tutup kembali pintu”; sebelum memasuki ruang
46
pengolahan terpampang tulisan peringatan “ cucilah tangan sebelum dan sesudah
melakukan pengolahan makanan”; dan “cara mencuci tangan yang baik”. .
3. Uji coba pedoman CPMEB
Uji coba pedoman CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji apakah pedoman
dapat diterapkan di unit penyedia makanan enteral rumah sakit dan mudah
dipahami oleh petugas yang terkait. Oleh karena itu pembahasan ditujukan pada
aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan tidak mudah dipahami. Data
hasil uji coba pedoman CPMEB diperoleh dari wawancara dengan penilai dan
pengamatan terhadap kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba yang telah
dilakukan, aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan perlu
penyempurnaan antara lain aspek bangunan dan fasilitas; fasilitas sanitasi;
penyimpanan; dan pengendalian proses.
a. Bangunan dan Fasilitas
Proses makanan cair sangat sederhana sehingga kemungkinan makanan
cair jatuh ke lantai sangat sedikit. Lantai mudah dibersihkan walaupun tidak
dibuat miring. Oleh karena itu pedoman yang menyatakan bahwa lantai
seharusnya dibuat miring dihilangkan sedangkan pedoman lainnya tetap berlaku.
b. Fasilitas Sanitasi
Pemenuhan persyaratan air minum untuk proses pengolahan maupun
ingredient makanan enteral di rumah sakit tidak terlalu sulit sehingga yang semula
mensyaratkan air bersih untuk proses pengolahan dan air minum untuk ingredient
digabung menjadi satu yaitu memenuhi syarat kesehatan air minum. Hal ini
seperti yang tercantum pada keputusan menteri kesehatan nomor 907/2002
tentang syarat dan pengawasan kualitas air minum.
c. Penyimpanan
Pada aspek penyimpanan termasuk di dalamnya adalah pedoman
penyimpanan bahan berbahaya. Hal ini mengacu pada CPPB-IRT 2003. Setelah
47
dilakukan uji coba ternyata hal ini dirasa tidak sinkron sehingga pedoman untuk
penyimpanan bahan berbahaya dialihkan ke aspek pengendalian hama.
d. Pengendalian proses
Pada pedoman disebutkan bahwa tujuan bank sampel adalah untuk
konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. Jumlah produksi
makanan enteral di rumah sakit setiap jenisnya tidak banyak, sehingga adanya
bank sampel tidak efektif. Proses produksi sangat sederhana, rantai distribusi
sangat pendek yaitu dari tempat produksi, perawat langsung ke pasien. Konsumen
dan petugas yang memproduksi sangat jelas karena terdokumentasi datanya
sehingga tanpa bank sampelpun konfirmasi mudah dilakukan bila terjadi
gangguan atau tuntutan konsumen. Oleh karena itu parameter bank sampel tidak
perlu ada.
4. Uji coba panduan audit CPMEB
Uji coba panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji
kemungkinan adanya perbedaan persepsi antar penilai terhadap panduan audit
sarana unit penyedia makanan enteral yang dikembangkan. Perbedaan persepsi
ditunjukkan oleh adanya perbedaan hasil penilaian audit antar penilai pada kondisi
yang sama. Hasil uji coba audit secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
No.
PARAMETER RS I RS II
P1 P2 P3 P4 P5
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I BANGUNAN DAN FASILITAS
1. Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 - B/3
2. Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
4. Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
5. Kontruksi langit-langit C/2 C/2 B/3 B/3 B/3
6. Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
7. Kontruksi pintu, jendela, dan lubang
angin.
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
48
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
8. Kebersihan pintu, jendela dan
lubang angin
B3
B3
B3
B3
B3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 2,9 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3
II RUANG PRODUKSI
1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kondisi ruangan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3
3. Letak ruangan B/3 C/2. B/3 B/3 B/3
4. Penerangan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 3 C/2,5 B/3 C/2,5 B/3
III. PERALATAN PRODUKSI
1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan peralatan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
3. Pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
4. Prosedur penanganan sanitasi
blender B/3 C/2 B/3 B/3 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 C/2,3 B/3 B/2,8 C/2
IV. FASILITAS SANITASI
1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Air yang kontak langsung dengan
pangan
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Tempat sampah C/2 C/2 B/3 B/3 B/3
4. Tempat cuci tangan B/3 K/1 B/3 B/3 B/3
5. Tempat cuci bahan baku dan
peralatan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3
6. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
7. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 2,9 C/2,4 B/3 B/3 B/3
V. PENYIMPANAN
1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Penyimpanan makanan enteral - - B/3 C/2 K/1
4. Penyimpanan bahan berbahaya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/2,8 C/2,5
VI.
PENGENDALIAN PROSES
1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Jenis wadah B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
4. Volume wadah B/3 B/3 B/ 3 B/3 K/1
5. Keterangan produksi B/3 B/3 K/1 B/3 K/1
6. Bank sampel - K/1 - C/2 K/1
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 C/2,3 B/2,6 B/2,7 C/1,7
49
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (4) (5) (6)
VII. MANAJEMEN PENGAWASAN
1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pengawasan proses produksi dan
higiene sanitasi
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VIII. PENGENDALIAN HAMA
1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
IX. HIGIENE KARYAWAN
1. Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
4. Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
5. Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3
6. Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/2,7 B/3
X. PENYALURAN MAKANAN
1. Suhu saat penyaluran makanan B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
2. Alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 C/2 B/3 B/3 C/2
XI. PELATIHAN
1. Pengetahuan karyawan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
XII. PEMBERIAN MAKANAN
ENTERAL KEPADA PASIEN
1. SOP pemberian makanan enteral
kepada pasien.
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
XIII. PENCATATAN DAN
DOKUMENTASI
1. Pelaksanaan pencatatan dan
dokumentasi
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Total nilai
Keterangan : Kolom P1 adalah penilaian hasil kompilasi dua orang ahli gizi di rumah sakit X
Kolom P2 adalah penilaian peneliti di rumah sakit X .
Kolom P3 dan P4 adalah penilaian ahli gizi di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Kolom P5 adalah penilaian peneliti di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad.
RS I adalah rumah sakit X.
RS II adalah RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
50
Berdasarkan data pada Tabel 4, perbedaan penilaian untuk uji coba
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB di rumah sakit X (RS I) yaitu (1) aspek
ruang produksi untuk parameter kondisi ruangan; dan letak ruangan, (2) aspek
peralatan produksi untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan
prosedur penanganan sanitasi blender, (3) aspek fasilitas sanitasi untuk parameter
tempat cuci tangan; dan tempat cuci bahan baku dan peralatan, (4) aspek
penyimpanan untuk parameter penyimpanan makanan enteral, (5) aspek
pengendalian proses untuk parameter jenis wadah; dan bank sampel, (6) aspek
penyaluran makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan. Sedangkan
di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (RS II) yaitu (1) aspek bangunan dan
fasilitas untuk parameter konstruksi lantai, (2) aspek ruang produksi untuk
parameter penerangan, (3) aspek peralatan produksi untuk parameter
penyimpanan peralatan; pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan parameter
prosedur penanganan sanitasi blender, (4) aspek penyimpanan untuk parameter
penyimpanan makanan enteral (5) aspek pengendalian proses untuk parameter
jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel, (5) aspek
higiene karyawan untuk parameter perilaku karyawan, (6) aspek penyaluran
makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan, (7) aspek pelatihan
untuk parameter pengetahuan karyawan.
a. Bangunan dan Fasilitas
Penilaian kosong pada parameter konstruksi lantai sebetulnya bukan karena
perbedaan persepsi tetapi disebabkan karena ada kata-kata yang membingungkan
yaitu kata “dibuat miring sehingga mudah dibersihkan”. Hal ini sudah dibahas
pada hasil uji coba pedoman CPMEB.
b. Ruang Produksi
Perbedaan persepsi penilaian aspek ruang produksi terdapat pada parameter
kondisi ruang produksi dan parameter letak ruang produksi. Ruang produksi
disyaratkan HHA. Di RS I petugas maupun tamu yang akan memasuki ruang
produksi makanan cair menggunakan sandal khusus. Akan tetapi sandal tersebut
sudah mulai dipakai sejak memasuki dapur di pintu depan. Hal ini memungkinan
51
adanya kotoran dari lantai dapur yang menempel di sandal dan terbawa ke dalam
ruang produksi makanan cair sehingga menjadi sumber kontaminasi. Sebagian
penilai menganggap hal tersebut masih memenuhi persyaratan karena dianggap
sandal dalam keadaan bersih. Ewen et al. (2010) mengatakan bahwa memasuki
ruang persiapan makanan sebaiknya berganti dengan seragam khusus karena
pakaian yang dikenakan sebelumnya dapat membawa mikroba patogen dari luar.
Dalam hal sandalpun kemungkinan demikian juga. Oleh karena itu sebaiknya
memasuki ruang produksi makanan cair menggunakan sandal yang hanya
digunakan untuk ruang produksi makanan cair atau alas kaki dilepas.
Letak ruang produksi makanan cair di RS I sudah terpisah dengan ruang
produksi makanan biasa (dapur gizi) dan dilengkapi dengan pintu pemisah. Akan
tetapi pintu pemisah tersebut terbuka ke dalam ruang produksi sehingga hal ini
memungkinkan debu dan kotoran dari luar dapat terbawa masuk melalui udara ke
dalam ruang produksi. Sebagian penilai menganggap hal tersebut masih
memenuhi persyaratan. Menurut Ewen et al. (2010) pula dikatakan bahwa
penghalang fisik dapat meminimalkan mikroba yang tidak diinginkan berpindah.
Penghalang fisik yang dimaksud adalah rancangan dinding dan pintu.
Perbedaan penilaian pada parameter penerangan di RS II sebetulnya bukan
karena perbedaan persepsi tetapi karena saat penilaian yang tidak sama. Seorang
penilai menilai pada sore hari sehingga tidak ada bantuan sinar matahari dan ada
sebuah lampu yang mati, sementara yang lain melakukan pada siang hari. Tentang
kasus adanya lampu mati seharusnya penilaian yang paling akhir yang dipakai
sedangkan untuk kasus penilaian saat ada dan tidak ada sinar matahari penilaian
dilakukan dengan cara merata-ratakan penilaian yang ada.
c. Peralatan Produksi
Perbedaan persepsi penilaian aspek peralatan produksi terdapat pada
parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender. Peralatan produksi
makanan enteral di RS II disimpan di rak piring terbuka yang diletakkan di ruang
cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering tertutup. Pedoman mensyaratkan
bahwa peralatan harus disimpan di tempat tertutup dengan maksud agar tidak
52
terjadi kontaminasi dari debu sekitarnya. Rak yang terbuka walaupun terdapat
dalam ruang tempat penyimpanan tertutup akan ada kemungkinan terkontaminasi
oleh debu yang berada di sekitar ruangan.
Pembersihan dan sanitasi peralatan serta prosedur penanganan sanitasi
blender yang diterapkan di RS I dan RS II sama yaitu dengan cara dicuci
menggunakan sabun cuci piring, setelah kering disimpan dalam lemari. Pada saat
akan dipergunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C di RS I dan air mendidih di
RS II. Penanganan sanitasi blender dilakukan dengan cara melepas pisaunya,
dicuci dengan sabun cuci piring, dikeringkan dan dipasang pada tempatnya
dengan cup tertutup. Pada saat akan digunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C.
Perlakuan semacam itu telah memenuhi persyaratan pembersihan tetapi penerapan
sanitasi belum memadai. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu
bahwa secara umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga
permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Jika merujuk pada
CPPOB Formula bayi-2011 yaitu pada panduan untuk menyiapkan dan
menyajikan formula bayi maka peralatan penyajian perlu direbus pada air
mendidih selama 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) menit (BPOM 2011b). Pembilasan
dengan air suhu 90 0
C maupun air mendidih tidak akan membuat permukaan alat
mencapai suhu ≥ 82 0C. Oleh karena itu sebaiknya alat yang permukaannya
kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada perlakuan
selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba, peralatan
tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan. Memperhatikan
pembahasan ini, kriteria penilaian pada parameter pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi dirasa kurang. Kriteria penilaian untuk parameter pemeliharaan
kebersihan dan sanitasi hanya ada B (baik) dan K (kurang). Kriteria B (baik) yaitu
untuk kondisi bila pencucian dan sanitasi alat selalu menggunakan bahan
pembersih dan saniter yang memadai. Kriteria K (kurang) yaitu kondisi bila
pencucian dan sanitasi alat tidak selalu menggunakan bahan pembersih dan saniter
yang memadai. Perlu ditambah kriteria C (cukup) yaitu untuk kondisi bila
peralatannya telah dibersihkan dengan benar tetapi sanitasi belum memadai.
53
d. Fasilitas sanitasi
Perbedaan persepsi penilaian aspek fasilitas sanitasi terjadi di RS I untuk
parameter tempat cuci tangan dan parameter tepat cuci bahan baku dan peralatan.
Persyaratan kedua parameter tersebut yang tercantum pada kriteria penilaian yaitu
bahwa kedua fasilitas tersebut harus terpisah. Di RS I kedua fasilitas tersebut
menyatu. Bahan baku yang dipergunakan sebagian besar bahan baku kering yang
tidak perlu untuk dicuci. Peralatan yang dipergunakan juga jumlahnya sedikit dan
sangat sederhana sehingga menyatunya dua fasilitas tersebut dianggap tidak
menjadi masalah untuk menjaga kebersihan dan sanitasi.
e. Penyimpanan
Perbedaan persepsi penilaian aspek penyimpanan terutama terjadi pada
penilaian parameter penyimpanan makanan enteral. Di RS I tidak dilakukan
penyimpanan makanan enteral sehingga penilaian parameter penyimpanan
makanan enteral dikosongkan. Bagi unit penyedia makanan enteral yang tidak
melakukan penyimpanan makanan enteral maka parameter tersebut tidak perlu
dinilai dan tidak diperhitungkan dalam penilaian.
Di RS II sebetulnya tidak dilakukan penyimpanan makanan enteral sejak
lemari penyimpanan hot & cool thermobox tidak berfungsi. Akan tetapi ada
makanan enteral siap santap yang tidak langsung didistribusikan yaitu makanan
enteral tanpa laktosa yang dipergunakan untuk cadangan. Makanan enteral
disimpan dalam teko plastik ditutup film/plastik pembungkus di suhu ruang
(25 – 30 0C) selama dua sampai tiga jam untuk memastikan ada tidaknya pesanan
tambahan. Jika tidak ada pesanan tambahan, makanan tersebut dibuang.
Perbedaan penilaian terjadi pada memperkirakan lamanya makanan enteral di
zona berbahaya. Pada prinsipnya makanan enteral bila tidak langsung dikonsumsi
diusahakan agar suhu penyimpanan di bawah 5 0C atau di atas 65
0C untuk
mencegah terjadinya kontaminasi. Penyimpanan makanan enteral sangat berisiko
terhadap penurunan keamanan pangan, sehingga parameter penyimpanan
makanan enteral seharusnya dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama.
Parameter lain yang berada pada aspek penyimpanan mudah terkendali. Oleh
54
karena itu parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan ke aspek
pengendalian proses dan dijadikan aspek utama.
f. Pengendalian proses
Perbedaan persepsi penilaian aspek pengendalian proses terjadi pada
parameter jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel.
Persyaratan jenis wadah yaitu inert dan mudah disanitasi. Di RS I jenis wadah
yang digunakan yaitu plastik jenis PE. Plastik jenis PE yang dalam hal ini yaitu
LDPE (Low Density PE) kurang tahan pada suhu tinggi (Rahayu 2004).
Sedangkan mangkok, salah satu wadah makanan enteral yang digunakan di RS II
diragukan ketahanan panasnya saat direbus sehingga tidak mudah disanitasi.
Perbedaan persepsi pada penilaian parameter volume wadah yaitu adanya
anggapan bahwa wadah yang digunakan sudah aman dari kontaminasi karena
tertutup rapat setelah dilakukan penempatan. Sebetulnya ada faktor lain yang
harus diperhatikan yaitu volume wadah. Semakin besar volume wadah berarti
semakin sering dilakukan penuangan. Menurut Beattie dan Anderton (2001)
penuangan merupakan salah satu penyebab terjadinya kontaminasi.
Keterangan produksi harus selalu ditempel pada setiap wadah, tetapi karena
di RS II ada beberapa wadah yang tidak memungkinkan untuk ditempel wadah
maka kadang-kadang wadah tidak ditempel keterangan produksi. Buku catatan
keterangan produksi di bagian dapur dan pada petugas distribusi makanan enteral
kadang-kadang dianggap cukup untuk menghindari terjadinya kekeliruan
penyaluran. Setiap petugas distribusi umumnya membawa makanan enteral lebih
dari satu porsi sehingga memungkinan akan terjadi kekeliruan pemberian. Oleh
karena itu keterangan produksi harus selalu ditempel di setiap wadah. Banyaknya
parameter yang harus dikendalikan dengan ketat pada aspek pengendalian proses,
dirasa perlu memasukkan pengendalian proses menjadi aspek utama.
g. Higiene Karyawan
Pada penilaian aspek higiene karyawan sebetulnya tidak terjadi perbedaan
persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan saat pengamatan yang berbeda. Salah
seorang penilai mendapati ada karyawan yang mengunyah makanan saat bekerja
55
sementara yang lain tidak melihatnya. Jika terjadi kasus seperti ini maka penilaian
harus dikompilasi antar penilai.
h. Penyaluran Makanan
Pada penilaian aspek penyaluran makanan sebetulnya tidak terjadi
perbedaan persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan karena perbedaan
menghitung perkiraan waktu makanan enteral berada di zona berbahaya. Faktor
yang harus diperhatikan pada saat menilai parameter suhu penyaluran yaitu suhu
dan waktu. Menurut Jorge (2000) untuk menjaga agar makanan aman, jangan
biarkan makanan berada pada zona berbahaya lebih dari 4 jam. Pada panduan
audit sarana produksi, belum tercantum faktor waktu. Oleh karena itu parameter
untuk aspek penyaluran makanan perlu disempurnakan menjadi parameter kondisi
makanan saat penyaluran makanan dan parameter kondisi alat saat penyaluran
makanan.
i. Pelatihan
Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene dan
sanitasi sangat diperlukan agar setiap karyawan selalu termotivasi untuk
menerapkan hasil pelatihannya. Perbedaan persepsi untuk aspek pelatihan terletak
pada hal ini. Di RS II berdasarkan informasi lisan masih ada karyawan penjamah
makanan enteral atau pengatur pelayanan makanan enteral yang belum mengikuti
kursus higiene dan sanitasi. Pengetahuan diperolehnya dari karyawan yang telah
berpengalaman. Hal ini tentu belum termasuk kriteria baik (B).
D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB.
Berdasarkan pembahasan hasil uji coba pedoman CPMEB maupun hasil uji
coba panduan audit, perlu adanya penyempurnaan draf yang telah disusun.
Rekapitulasi penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB dapat dilihat
pada Tabel 5.
56
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.
No. Aspek dan Parameter Justifikasi Penyempurnaan
(1) (2) (3) (4)
1. Bangunan dan
Fasilitas
Konstruksi lantai
Kotoran yang jatuh di lantai
tidak banyak sehingga lantai
mudah dibersihkan walaupun
tidak miring.
Konstruksi lantai
B : kedap air, rata, halus
tetapi tidak licin, kuat dan
mudah dibersihkan.
(kata “dibuat miring” pada
pedoman maupun kriteria
penilaian dihilangkan)
2.
Peralatan Produksi
Pemeliharaan
kebersihan dan
sanitasi
Kriteria penilaian untuk
parameter pemeliharaan
kebersihan dan sanitasi belum
menampung penilaian yang
peralatannya telah dibersihkan
dengan benar tetapi sanitasi
belum memadai sehingga perlu
ditambah kriteria C untuk
menampung hal ini.
Pemeliharaan kebersihan
dan sanitasi
B : sesuai kriteria semula
C :pencucian alat selalu
menggunakan bahan
pembersih yang memadai
tetapi ada sebagian alat yang
belum dilakukan sanitasi
secara memadai. (kriteria
tambahan).
K : sesuai kriteria semula
3.
Fasilitas Sanitasi Penggunaan air
Air yang kontak
langsung dengan
pangan
Pemenuhan persyaratan air
minum untuk proses
pengolahan maupun ingredient
makanan enteral di rumah sakit
tidak terlalu sulit
Parameter penggunaan air
dan parameter air yang
kontak langsung dengan
pangan dijadikan satu
menjadi:
penggunaan air
B : air untuk pengolahan
makanan dan untuk
keperluan lain memenuhi
persyaratan kesehatan air
minum.
K : air untuk pengolahan
makanan dan untuk
keperluan lain tidak
memenuhi persyaratan
kesehatan air minum
57
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4)
4.
Penyimpanan Penyimpanan bahan
berbahaya
Penyimpanan
makanan enteral
Tidak sinkron dengan jenis
penyimpanan yang lain.
Sangat berpengaruh terhadap
risiko keamanan pangan
sehingga perlu dimasukkan ke
aspek utama sementara
parameter lain pengaruhnya
tidak besar. Oleh karena itu
parameter penyimpanan
makanan enteral dipindahkan
dari aspek penyimpanan.
Aspek penyimpanan akhirnya
hanya terdiri dari parameter
tempat penyimpanan bahan
baku dan parameter tata cara
penyimpanan. Kedua parameter
tersebut tidak besar
pengaruhnya terhadap risiko
keamanan pangan.
Parameter penyimpanan
bahan berbahaya
dipindahkan ke aspek
pengendalian hama.
Parameter penyimpanan
makanan enteral
dipindahkan ke aspek
pengendalian proses.
Aspek penyimpanan
disempurnakan menjadi
aspek penyimpanan bahan
baku dan tidak termasuk
aspek utama
5.
Pengendalian
proses
Bank sampel
Adanya bank sampel tidak
efektif karena jumlah produksi
tidak banyak. Proses sangat
sederhana, rantai distribusi
sangat pendek, konsumen dan
pertugas yang memproduksi
sangat jelas sehingga tanpa
bank sampelpun konfirmasi
mudah dilakukan bila terjadi
gangguan atau tuntutan
konsumen.
Parameter penyimpanan
makanan enteral dari aspek
penyimpanan masuk ke aspek
pengendalian proses.
Sebagian besar parameter
penyusun aspek pengendalian
proses perlu dikendalikan
dengan cermat
Parameter bank sampel
dihilangkan
Ada tambahan parameter
yaitu parameter
penyimpanan makanan
enteral
Aspek pengendalian proses
dimasukkan ke dalam aspek
utama.
58
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4)
Penyaluran
makanan
Risiko terjadinya kontaminasi
saat penyaluran makanan
dipengaruhi oleh faktor suhu
dan waktu. Oleh karena itu
perlu penyempurnaan
parameter dan kriterianya
Aspek penyaluran makanan
disempurnakan, menjadi
terdiri dari parameter
kondisi makanan saat
penyaluran, dengan kriteria
penilaian :
B : Kondisi makanan selalu
berada pada suhu < 50C atau
> 650C.
C : kondisi makanan berada
pada suhu 5 – 650C kurang
dari 4 jam.
K : kondisi makanan berada
pada suhu 5 – 650C lebih
dari 4 jam.
Parameter kondisi alat
penyaluran makanan tidak
mengalami perubahan
kriteria.
7.
Pengendalian hama
Parameter penyimpanan bahan
berbahaya dipindah ke aspek
pengendalian hama
Ada tambahan parameter
yaitu parameter
penyimpanan bahan
pemberantas hama.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa terjadi perubahan aspek utama. Aspek
penyimpanan tidak lagi menjadi aspek utama dan aspek pengendalian proses
berpindah menjadi aspek utama. Dengan demikian yang termasuk aspek
utama setelah dilakukan penyempurnaan adalah aspek ruang produksi;
peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan. Penyempurnaan
selengkapnya pedoman CPMEB draf 1 menjadi draf 2 dapat dilihat pada
Lampiran 4 sedangkan penyempurnaan panduan audit dapat dilihat pada
Lampiran 5.
59
E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT PENYEDIA
MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD
JAKARTA.
Evaluasi kesesuaian dilakukan menggunakan panduan audit sarana produksi
pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit draf 2 seperti yang tercantum
pada Lampiran 4. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
No
ASPEK/PARAMETER HASIL PENILAIAN HA
P1 P2 P3 P4
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I BANGUNAN DAN FASILITAS
1.Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 B/3
2.Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3
3.Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3
4.Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3
5.Kontruksi langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3
6.Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3
7.Kontruksi pintu, jendela, dan lubang
angin
B/3 C/2 B/3 B/3
8.Kebersihan pintu, jendela dan lubang
angin
B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3
II
RUANG PRODUKSI
1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kondisi ruangan B/3 B/3 C/ 2 B/3
3. Letak ruangan B/3 B/3 B/3 B/3
4. Penerangan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 3 B/ 2,8 B/3 B/3
III.
PERALATAN PRODUKSI
1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan peralatan C/2 C/2 C/2 C/2
3. Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi B/3 B/3 B/3 C/2
4. Prosedur penanganan sanitasi blender B/3 B/3 B/3 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 2,8 B/ 2,8 B/ 2,8 C/2,3 B/2.7
IV.
FASILITAS SANITASI
1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tempat sampah B/3 B/3 B/3 B/3
3. Tempat cuci tangan B/3 B/3 B/3 B/3
4. Tempat cuci bahan baku dan peralatan B/3 B/3 B/3 B/3
5. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3
6. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 B/3 B/3
60
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
V.
PENYIMPANAN BAHAN BAKU
1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VI.
PENGENDALIAN PROSES
1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3
2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3
3. Jenis wadah B/3 B/3 B/3 K/1
4. Volume wadah B/3 B/3 B/3 C/2
5. Keterangan produksi B/3 B/3 B/3 C/2
6. Penyimpanan makanan enteral B/3 B/3 B/3 K/1
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 C/ 2 B/2.8
VII.
MANAJEMEN PENGAWASAN
1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pengawasan proses produksi dan
higiene sanitasi
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VIII
PENGENDALIAN HAMA
1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3
3. Penyimpanan bahan pemberantas
hama
B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/ 3 B/3
IX.
HIGIENE KARYAWAN
1.Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
2.Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3
3.Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3
4.Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
5.Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
6.Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
X.
PENYALURAN MAKANAN
1.Kondisi makanan saat penyaluran B/3 B/3 K/1 K/1
2.Kondisi alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5
XI.
PELATIHAN
1.Pengetahuan karyawan B/3 B/3 C/2 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5
XII. PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL
KEPADA PASIEN
1. SOP pemberian makanan enteral
kepada pasien
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
61
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
XIII
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI
1. Pelaksanaan pencatatan dan
dokumentasi
B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Total nilai 38,8 38,7 36,6 35,3 37,5
Keterangan : P1, P2 dan P3 : penilai dari rumah sakit B : Baik
P4 : peneliti C : Cukup
HA : hasil akhir evaluasi K : Kurang
Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 6 rata-rata hasil penilaian
akhir adalah 37,5 dengan sebaran nilai aspek 4B dan 7B-2C dan dikategorikan
baik (B). Namun demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan
untuk mencapai persyaratan yang maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh kategori B
untuk beberapa aspek tapi nilai belum mencapai 3 (tiga) atau bahkan masuk ke
kategori C. Aspek yang dimaksud adalah aspek peralatan produksi untuk
parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi, serta
prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk
parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan
makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan
saat penyaluran; dan aspek pelatihan.
1. Peralatan produksi.
Peralatan produksi makanan enteral disimpan pada rak piring terbuka. Rak
piring ditempatkan di ruang cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering
tertutup. Walaupun ruangan tertutup tetapi memungkinkan terjadi kontaminasi
yaitu berasal dari udara disekitarnya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
kontaminasi mikroba dari udara sekitar ke peralatan yang akan digunakan untuk
mengolah makanan enteral, sebaiknya digunakan rak piring tertutup.
Peralatan yang dipergunakan untuk mengolah makanan enteral terbuat dari
bahan yang tidak bereaksi dengan produk (inert). Pencucian menggunakan bahan
pembersih yang memadai yaitu menggunakan sabun cuci piring dan dibantu
dengan sabut cuci piring. Pencucian blender juga sudah dilakukan sebagaimana
62
mestinya yaitu dengan cara membongkar peralatan untuk memastikan seluruh
bagian permukaan yang kontak dengan produk tercuci dengan bersih. Akan tetapi
sanitasi peralatan yang kontak dengan produk, termasuk blender belum dilakukan
sebagaimana mestinya. Sanitasi dilakukan dengan cara membilas peralatan
dengan air panas mendidih. Demikian juga sanitasi yang dilakukan terhadap
blender. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu bahwa secara
umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga permukaan alat
mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Pembilasan dengan air mendidih
tidak akan membuat permukaan alat bersuhu ≥ 82 0C. Sebaiknya alat yang
permukaannya kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada
perlakuan selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba,
peralatan tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan agar permukaan
alat dapat mencapai suhu ≥ 82 0C. Penanganan ini seperti yang dianjurkan pada
CPPOB Formula bayi-2011 terhadap botol susu bayi yang akan digunakan.
Dalam ruang produksi makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta, tidak terdapat kompor. Kebutuhan air panas diambil dari dapur gizi yang
berarti harus keluar ruang produksi dan membutuhkan waktu untuk mendapatkan
air panas. Hal ini akan menyebabkan suhu air turun pada saat akan dipergunakan
untuk membilas peralatan. Jika peralatan yang dibawa ke tempat sumber air
panas, perjalanan dari tempat bilas ke ruang produksi setelah mensanitasi
peralatan, membutuhkan waktu yang akhirnya berpeluang terjadi kontaminasi
silang yang berasal dari debu ruangan.
Dalam ruang cuci bahan baku dan peralatan sebetulnya tersedia aliran pipa
gas yang saat ini tidak difungsikan. Pengaktifan pipa gas dan atau penambahan
kompor gas akan dapat mengatasi hal tersebut. Apabila diadakan kompor gas
perlu dilengkapi dengan pengisap asap kompor karena tidak ada ventilasi di ruang
cuci bahan baku dan peralatan. Pada kran tempat pencucian bahan baku dan
peralatan menurut informasi juga sebetulnya difasilitasi dengan pipa air panas
tetapi saat ini dalam keadaan rusak. Perbaikan alat ini juga dapat mengatasi
pananganan sanitasi yang belum memadai.
63
2. Pengendalian proses
Tersedia alur proses produksi yang baku dan dituangkan dalam SOP.
Diantara prosedur makanan cair yang ada, terdapat salah satu prosedur yang perlu
mendapat perhatian yaitu prosedur pembuatan makanan cair rumah sakit. Proses
tersebut tidak melalui perebusan hanya menambahkan air mendidih ke dalam
campuran bahan kering meskipun salah satu bahan bakunya adalah kuning telur.
Menurut Blackburn et al. (2003) salah satu mikroba patogen yang dikhawatirkan
berada dalam telur adalah Salmonella Enteritidis. Keberadaan mikroba tersebut
berasal dari induknya, menerobos dan menjalar ke jaringan reproduksi unggas
akhirnya dapat menembus telur dan anak ayam. Penambahan air mendidih ke
dalam campuran bahan baku makanan enteral tanpa dilakukan perebusan hanya
akan meningkatkan suhu sampai dengan 40-50 0C. Menurut Jay et al (2005)
Amerika telah merekomendasi untuk menghindari konsumsi telur mentah atau
setengah matang terutama pada anak-anak, orang tua dan orang sakit. Telur harus
direbus pada suhu ≥ 63 0C selama 15 detik atau sampai kuning telur dan putihnya
menggumpal. Jika telur akan disimpan dilakukan pada suhu ≤ 7,2 0C.
Rekomendasi Chantarapanont et al. (2000) tentang cara merebus telur
sehingga dapat menginaktifkan Samonella Enteritidis yaitu masukkan telur dalam
air sampai dengan telur tersebut terendam oleh air, dipanaskan sampai
air mendidih (100 0C), dipertahankan pada suhu tersebut selama 15 menit.
Perebusan dengan cara seperti ini, akan meningkatkan suhu kuning telur mencapai
62,3 ± 2 0C. Jika tidak akan dilakukan perebusan pada proses pembuatan makanan
cair rumah sakit, telur dapat diganti dengan tepung telur yang telah tersertifikasi.
Wadah yang dipergunakan untuk makanan enteral antara lain rantang
dengan bahan baku stainless steel, mangkok dengan bahan baku kaca, kemasan
plastik kedap udara dengan bahan baku plastik jenis LDPE dan botol dengan
bahan baku kaca. Ditinjau dari bahan bakunya, semua wadah yang digunakan
tidak mudah bereaksi dengan produk tetapi salah satu wadah tersebut yaitu
mangkok tidak mudah disanitasi. Mangkok terbuat dari bahan yang tidak tahan
panas sehingga berisiko pecah pada saat dilakukan perebusan.
Permasalahan lain berkaitan dengan wadah yaitu wadah disiapkan oleh
petugas dari ruang rawat inap. Sanitasi dilakukan di masing-masing ruang rawat
64
inap dengan cara dibilas air panas, kemudian dibawa ke dapur sonde. Di dapur
sonde tidak dilakukan sanitasi ulang. Tenggang waktu antara sanitasi dan
pengisian maupun perjalanan dari ruang rawat inap ke dapur sonde berpeluang
terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitarnya. Sebaiknya wadah disanitasi
di dapur sonde agar dapat segera dilakukan pengisian setelah wadah disanitasi.
Wadah disyaratkan mempunyai volume satu porsi dengan tujuan agar tidak
sering dilakukan penuangan. Menurut Oliveira et al. (2000) kontaminasi proses
rekonstitusi makanan enteral dapat terjadi pada saat persiapan, penyimpanan,
penuangan dan saat pemberian kepada pasien. Hal ini didukung oleh penelitian
Beattie dan Anderton (2001) bahwa penuangan makanan enteral dari blender
secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL
menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 10
3 CFU/mL. Wadah makanan enteral yang
dipergunakan di dapur sonde mempunyai volume bervariasi mulai dari satu
sampai dengan tiga porsi. Mangkok mempunyai volume satu porsi, kemasan
plastik kedap udara 1–2 porsi , rantang dan botol 2-3 porsi. Wadah yang
bervolume besar seandainya diisi sedikit akan tersisa ruang kosong yang cukup
banyak berarti banyak udara yang terperangkap dan udara tersebut dapat menjadi
sumber kontaminasi. Seandainya dipergunakan untuk mewadahi dua atau tiga
porsi berarti diperlukan tahapan tambahan berupa pemorsian dan penuangan ke
tempat lain saat akan menyajikan. Permasalahan lain sehubungan dengan risiko
penuangan terhadap kontaminasi yaitu bahwa wadah yang dipergunakan bukan
wadah yang digunakan untuk penyajian sehingga perlu penuangan ke dalam
wadah penyajian. Hal ini juga memberikan peluang terjadinya kontaminasi. Oleh
karena itu berkaitan dengan wadah sebaiknya wadah mudah untuk disanitasi,
volume wadah hanya untuk satu porsi dan dapat langsung dipergunakan sebagai
wadah penyajian.
Keterangan produksi atau dalam hal ini label yang berisi minimal
keterangan nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis diet, ruang dan kamar pasien
sangat diperlukan untuk menghindari salah sasaran. Penggunaan wadah seperti
yang sekarang digunakan tidak mudah untuk menempelkan label, sehingga
kadang-kadang tidak ditempel keterangan produksi.
65
Sebetulnya RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta saat ini tidak
melakukan penyimpanan makanan enteral. Pada saat lemari penyimpanan
hot & cool thermobox berfungsi, makanan enteral disimpan di bagian yang panas
(hot) apabila belum segera dikonsumsi (seperti yang tercantum pada SOP
makanan enteral formula rumah sakit diet rendah laktosa pada Lampiran 11).
Makanan enteral dapat diproduksi sekaligus untuk dua atau tiga frekwensi jika
tersedia lemari penyimpanan yang dapat mempertahankan suhu makanan enteral
di luar “danger zone”. Saat ini karena thermobox rusak, tidak dilakukan
penyimpanan. Akan tetapi ada perlakuan menyimpan makanan enteral untuk
mengatasi pesanan yang mendadak karena penambahan pasien. Dapur sonde
selalu menyediakan cadangan makanan saring tanpa susu sebanyak 2-3 porsi.
Proses pembuatan makanan saring tanpa susu yaitu perebusan, pemblenderan dan
penyaringan. Blender yang tersedia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
tidak dapat digunakan untuk meblender bahan dalam keadaan panas (70-80 0C),
oleh karena itu bahan makanan saring tanpa susu yang telah direbus diturunkan
suhunya menjadi sekitar 40 0C sebelum diblender. Waktu tunggu penurunan suhu
sekitar satu jam. Setelah pemblenderan, dilakukan penyaringan dan selanjutnya
makanan enteral yang digunakan sebagai cadangan ditempatkan dalam teko
plastik, ditutup wrapping film dan disimpan pada suhu ruang selama 2-3 jam. Jika
tidak ada pesanan, setelah 2-3 jam kemudian, makanan enteral tersebut dibuang.
Waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba karena berada
pada zona berbahaya. Oleh karena itu tahap tersebut seharusnya dihindari dengan
cara langsung dilakukan pemblenderan setelah perebusan Hal ini dapat dilakukan
jika blender yang digunakan tahan terhadap panas. Perbaikan thermobox juga
diperlukan agar penyimpanan makanan enteral dapat diterapkan sebagaimana
mestinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. . Disamping itu juga
perbaikan thermobox akan dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.
3. Penyaluran makanan.
Penyaluran makanan enteral dari dapur sonde ke ruang rawat inap
menggunakan troly. Troly selalu bersih sehingga terjamin tidak akan terjadi
kontaminasi silang. Jarak antara dapur sonde ke ruang rawat inap paling pendek
66
kurang lebih 50 meter dan paling jauh 400 meter dengan waktu tempuh kurang
lebih antara 5 sampai dengan 25 menit. Waktu tempuh yang lama akan
menyebabkan suhu makanan turun dan menyebabkan suhu makanan berada pada
“danger zone”. Hal ini akan memberikan peluang besar terjadinya peningkatan
pertumbuhan mikroba. Menurut Rahayu (2010) satu diantara delapan prinsip
penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan
pangannya yaitu mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih
dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5
0 C atau lebih rendah.
4. Pelatihan karyawan
Pemahaman tentang pentingnya prinsip-prinsip serta praktek higiene
sanitasi serta proses pengolahan makanan enteral harus dimiliki oleh
penanggungjawab dan pelaksana (penjamah) unit penyedia makanan enteral. Di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta penanggungjawab dan sebagian
penjamah telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Sebagian penjamah yang lain berdasarkan informasi lisan
mendapatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dari orang yang telah
berpengalaman. Kondisi demikian berdasarkan persyaratan dikategorikan kedalam
penilaian C (cukup). Agar mendapatkan kriteria B (baik), penanggungjawab dan
penjamah harus telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan
peraturan yang berlaku yaitu kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum
yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011.
Berdasarkan evaluasi tersebut di atas, ada beberapa parameter yang dinilai
baik tetapi berdasarkan kajian pustaka hal tersebut belum memenuhi syarat.
Contoh dalam hal ini yaitu pemahaman sanitasi peralatan dan wadah. Demikian
juga dengan proses pembuatan makanan cair rumah sakit yaitu proses dilakukan
tanpa perebusan walaupun menggunakan kuning telur.
F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN CPMEB DI
RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA.
Dalam rangka tercapainya visi yang baru RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta yaitu menjadi rumah sakit berstandar internasional, rujukan
67
utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit dan
masyarakat maka unit penyedia makanan enteral juga perlu ikut mendukung.
Salah satu bentuk dukungan adalah menerapkan pemenuhan persyaratan CPMEB
untuk menjamin keamanan makanan enteral secara konsisten. Berdasarkan hasil
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB, direkomendasikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Aspek peralatan produksi
a) Melakukan sanitasi peralatan yang kontak dengan produk secara memadai.
Cara yang paling aman yaitu merebus peralatan sampai dengan suhu
permukaan peralatan ≥ 82 0C sebelum dipergunakan. Oleh karena itu di
ruang produksi perlu dilengkapi dengan kompor dan disertai pengisap
asap.
b) Menggunakan rak piring tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi
silang dari debu sekitar ruangan.
2. Aspek pengendalian proses
a) Menambah tahap perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah
sakit sehingga makanan mencapai suhu 74 0C atau mengganti telur ayam
segar yang digunakan dengan tepung telur tersertifikasi.
b) Menggunakan wadah yang mudah disanitasi dengan volume satu porsi
(200-300 mL) dan layak digunakan sebagai wadah penyajian.
c) Mensanitasi wadah di ruang dapur sonde bukan di ruang rawat inap
maupun di dapur gizi sehingga selesai proses sanitasi dapat langsung
dilakukan pengisian. Dengan demikian tenggang waktu antara sanitasi dan
pengisian lebih pendek yang akhirnya meminimalisir terjadinya
kontaminasi silang yang berasal dari lingkungan sekitar.
d) Selalu menempelkan keterangan produksi pada setiap wadah per satu
porsi untuk menghindari salah sasaran dan untuk mempermudah
penelusuran apabila dibutuhkan konfirmasi dari konsumen (traceability).
e) Memperbaiki lemari penyimpanan hot & cool thermobox agar makanan
enteral cadangan dapat tersimpan pada suhu yang aman yaitu di luar
68
“danger zone”. Disamping itu juga untuk mengurangi jumlah makanan
enteral yang terbuang.
f) Menyediakan blender stainless steel yang dapat dipergunakan untuk
memblender dalam keadaan panas sehingga proses pembuatan makanan
saring tanpa susu tidak harus melalui tahap waktu tunggu. Tahap waktu
tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba.
3. Aspek pelatihan
a) Mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan enteral
mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum yang
ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/ PER/VI/2011.
b). Senantiasa meningkatkan pengetahuan keamanan pangan secara umum
agar selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.