IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sindhen · 2019. 9. 12. · 26 IV. HASIL, ANALISIS DAN...

41
26 IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sindhen Sindhen di wilayah Yogyakarta dan Surakarta masih banyak dijumpai dalam pertunjukan gamelan seperti wayang, kethoprak, uyon-uyon dan pengiring tari klasik. Dalam pementasannya, sindhen tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada unsur musik pengiringnya, tetapi selalu diiringi dengan musik gamelan. Dalam artian bahwa baik sindhen maupun gamelan, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pertunjukan gamelan memiliki durasi pentas yang berbeda. Dalam sekali pertunjukan gamelan murni berkisar antara 1-8 jam bergantung pada kebutuhan pertunjukan (wayang, tari, kethoprak atau uyon-uyon). Sebagian acara yang menggunakan gamelan, intensitas pertunjukan di waktu malam hari lebih banyak dibanding dengan waktu siang hari. Hal ini karena gamelan digunakan oleh masyarakat sebagai hiburan saat cegah wungon atau bergadang ketika ada hajatan. Hajatan yang menggunakan pertunjukan gamelan dan melibatkan sindhen banyak dijumpai dalam acara yang dilaksanakan oleh pribadi, kelompok atau instansi. Acara tersebut di antaranya hajatan pernikahan, bersih desa, syukuran, upacara adat, peresmian tempat bahkan kampanye dan festival. Sindhen konvensional menurut masyarakat pada umumnya berada dalam ranah hiburan yang bersifat adiluhung dan hanya dinikmati oleh kalangan UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

Transcript of IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sindhen · 2019. 9. 12. · 26 IV. HASIL, ANALISIS DAN...

  • 26

    IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN

    A. Sindhen

    Sindhen di wilayah Yogyakarta dan Surakarta masih banyak dijumpai

    dalam pertunjukan gamelan seperti wayang, kethoprak, uyon-uyon dan pengiring

    tari klasik. Dalam pementasannya, sindhen tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada

    unsur musik pengiringnya, tetapi selalu diiringi dengan musik gamelan. Dalam

    artian bahwa baik sindhen maupun gamelan, keduanya merupakan satu kesatuan

    yang tidak dapat dipisahkan.

    Pertunjukan gamelan memiliki durasi pentas yang berbeda. Dalam sekali

    pertunjukan gamelan murni berkisar antara 1-8 jam bergantung pada kebutuhan

    pertunjukan (wayang, tari, kethoprak atau uyon-uyon). Sebagian acara yang

    menggunakan gamelan, intensitas pertunjukan di waktu malam hari lebih banyak

    dibanding dengan waktu siang hari. Hal ini karena gamelan digunakan oleh

    masyarakat sebagai hiburan saat cegah wungon atau bergadang ketika ada

    hajatan.

    Hajatan yang menggunakan pertunjukan gamelan dan melibatkan

    sindhen banyak dijumpai dalam acara yang dilaksanakan oleh pribadi, kelompok

    atau instansi. Acara tersebut di antaranya hajatan pernikahan, bersih desa,

    syukuran, upacara adat, peresmian tempat bahkan kampanye dan festival.

    Sindhen konvensional menurut masyarakat pada umumnya berada dalam

    ranah hiburan yang bersifat adiluhung dan hanya dinikmati oleh kalangan

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 27

    tertentu (penikmat karawitan dan bersifat kelangenan). Masyarakat karawitan

    yang paham tentang sindhen akan menyebut sebagai sindhen ketika seseorang

    tersebut mengetahui akar, dasar karawitan dan mampu nyindhen untuk kebutuhan

    mandiri atau iringan sehingga apa yang dilantunkan merupakan kesatuan intra

    dan ekstra musikal. Selain itu nada atau lagu sindhen berada dalam wilayah

    pentatonis (pelog dan slendro). Sedangkan penyebutan bagi orang yang hanya

    bisa melantunkan tembang jawa dengan sedikit cengkok sindhen disebut sebagai

    penembang jawa belum tepat untuk mendapat julukan sindhen.

    Para sindhen dengan segala atributnya di antaranya sanggul, kebaya,

    kain batik, dan aksesoris menempatkan dirinya sebagai bagian dari ansambel

    gamelan. Sindhen berkedudukan sebagai penghias dan memperindah repertoar

    gending sehingga sindhen tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya ansambel

    gamelan. Pada saat pertunjukan posisi nyindhen, umumnya duduk bersimpuh dari

    awal pergelaran sampai selesai pertunjukan.

    Dalam pertunjukan gamelan, biasanya menampilkan sindhen minimal 1-

    3 (uyon-uyon dan iringan tari). Apabila dibutuhkan banyak, sindhen bisa

    ditampilkan 6 sampai 10 orang bahkan lebih dalam satu pertunjukan (grup

    wayang dengan dalang ternama misalnya Ki Seno Nugroho yang memiliki 12

    sindhen). Untuk pertunjukan dengan banyak sindhen (khusus untuk pertunjukan

    wayang) membutuhkan tempat tersendiri yakni berada terpisah dengan ansambel

    gamelan.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 28

    Para sindhen biasanya berada di panggung sebelah kiri, menempati posisi

    duduk menghadap ke penonton. Sudah menjadi kebiasaan setiap pertunjukan

    wayang bahwa crew panggung memberikan tempat duduk untuk sindhen setara

    dengan posisi dalang dan lebih tinggi dibanding panggung ansambel gamelan.

    Hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan karena beberapa dalang ada yang

    menghendaki posisi duduk sindhen jadi satu dengan ansambel gamelan ( saat

    pagelaran wayang di Sasana Hinggil oleh dalang Ki Cermo Sutejo) meski jumlah

    sindhen lebih dari 5 orang.

    Gambar 1: foto sindhen saat petunjukan wayang di Sragen Jawa Tengah

    (Dokumentasi: Siswati 2017)

    Namun sindhen akan mempunyai posisi duduk setara dengan ansambel

    gamelan saat uyon-uyon atau pengiring pertunjukan tari dan kethoprak. Hal ini

    karena porsi sindhen untuk kebutuhan iringan. Sebagai bentuk pertunjukan

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 29

    mandiri atau uyon-uyon, sindhen mempertimbangkan relasi musikalnya sehingga

    lebih mengutamakan hasil produksi suaranya.

    Gambar 2: Abdi dalem pasindhen saat pisowanan

    di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta

    (Dokumentasi: Siswati 2017)

    Gambar 3: Festifal Wayang Wong gaya Yogyakarta

    (Dokumentasi: Pakdjo Brayut 2017)

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 30

    Sindhen yang tergabung dalam sebuah grup terutama kesenian wayang,

    kebanyakan menggantungkan hidupnya pada grup tersebut dan jadwal pentasnya

    menyesuaikan dalangnya. Dilihat dari segi wilayah dan intensitas pentas, lebih

    banyak diadakan di wilayah lokal. Pada tataran internasional keterlibatan sindhen

    tidak selalu menjadi prioritas utama. Apabila dalam grup tersebut terdapat banyak

    sindhen maka harus bersabar menunggu antrian yang dipilih dari dalang tersebut.

    Akan berbeda cerita dengan sindhen yang tidak terikat grup tentunya

    bisa lebih leluasa dan lentur menentukan job tanpa ketergantungan dengan

    kelompok. Selain itu memberikan dampak positif terhadap relasi dengan kawan,

    akan memperluas wawasan dan pengetahuan dengan sendirinya tanpa disadari.

    Produktivitas pesindhen berkisar antara usia 17-50 tahun, rata-rata

    memiliki ijazah sekolah tingkatan SMK bahkan banyak yang menempuh jalur

    pendidikan Srata-1 (S1). Pendidikan formal tersebut dibutuhkan guna menunjang

    kemampuannya dalam berkesenian secara akademis. Dengan demikian pesindhen

    tersebut sudah meningkatkan kualitas dirinya dengan menempuh jalur pendidikan

    secara formal.

    Perempuan yang berprofesi sebagai sindhen kebanyakan mereka yang

    tidak bekerja di kantoran, karena tidak banyak sindhen yang mampu mengatur

    waktunya. Namun dengan meningkatnya tingkat pendidikan para sindhen, tidak

    menutup kemungkinan mereka bekerja di kantor dan tetap aktif menyindhen.

    Dengan catatan mereka akan memilih hari atau event yang bisa diatur jadwal

    pentasnya tanpa meninggalkan rutinitas kantor.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 31

    Pada umumnya seorang pesidhen identik dengan kesopanan berbusana

    (berkebaya panjang dan sanggul) dan selalu berwibawa di atas pangung. Ia harus

    selalu menjaga etika dan nilai keklasikan budaya sindhen itu sendiri,

    sebagaimana yang telah diwariskan secara turun temurun dalam budaya

    sebelumnya.

    Meski demikian dari keseringan bersindhen, tidak menutup kemungkinan

    seorang pesindhen perlu selalu mengembangkan bakat dan talenta yang ia miliki.

    Dalam artian bahwa, selain bersindhen dalam aturan klasik pementasan pada

    ritual sakral dan hiburan (yang terikat pada tata busana dan etitut), seorang

    pesindhen pun bisa bernyanyi dan mengekspresikan diri dalam lagu genre lain.

    Namun dari sekian banyak pesindhen yang sering melibatkan diri dalam

    pementasan, mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam banyak

    kesempatan, sering dijumpai ada pesindhen yang bisa bernyanyi dan

    mengekspresikan diri dalam lagu genre lain, seperti dangdut, keroncong, dan

    jazz, sedangkan sebagian pesindhen lain tidak bisa.

    1. Sindhen Lintas Genre

    Sindhen sekarang telah mengalami beberapa perubahan seiring

    berjalannya waktu. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor yang

    mempengaruhi di antaranya adalah pilihan pesindhen itu sendiri, lingkungan,

    kesempatan dan keberuntungan. Dilihat dari sajian-sajian dan repertoar lagunya

    yang kebanyakan lebih memilih lagu bukan pada wilayah pentatonis namun lebih

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 32

    kepada genre-genre diwilayah nada diatonis yang disukai oleh banyak orang

    seperti dangdut, jazz, pop dan keroncong.

    Sindhen lintas genre tidak selalu tampil menjadi bagian dari ansambel

    gamelan. Akan tetapi melebur dengan orkes musik lain yang sama sekali berbeda

    wilayah nadanya di antara alat musik diatonis dan alat musik tradisi daerah lain.

    Posisi menyanyi dan menyindhen dalam keadaan berdiri sudah bukan hal yang

    tabu lagi. Selain mengimbangi musisi yang mengiringi, juga beradaptasi dengan

    keadaan panggung yang tidak menuntut untuk para sindhen duduk bersimpuh. Hal

    ini semakin menambah tampilan sindhen sebagai penyanyi lintas genre semakin

    berpotensi untuk berekspresi dan berinteraksi dengan para penonton.

    Hakikat sindhen tetap sebagai penghias lagu, namun lagu yang

    dibawakan sindhen sekarang sudah berbeda salah satunya menggunakan lirik lagu

    pop (bukan sindhenan). Sindhen ini masih berada dalam lingkup hiburan namun

    cakupan audiennya lebih meluas ke semua kalangan (bukan hanya penikmat

    hiburan pada ansambel gamelan/karawitan). Sehingga profesi sindhen menjadi

    terkenal di khalayak umum.

    Beberapa sindhen yang bisa bernyanyi lintas genre di antaranya adalah

    Endah Laras, Silir Pujiwati dan Peni Candrarini. Penyebutan selanjutnya akan

    ditulis secara inisial yaitu Endah Laras (EL), Silir Pujiwati (SP) dan Peni

    Candrarini (PC). Ketiga wanita tersebut merupakan ibu rumah tangga yang pernah

    menempuh bangku pendidikan di bidang karawitan. (EL) dan (PC) berangkat dari

    keluarga seni terutama gamelan dan wayang sehingga sudah mengenal karawitan

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 33

    sejak kecil. Sedangkan (SP) dari keluarga petani akan tetapi mempunyai hobi

    bernyanyi. Melihat hal tersebut aktivitas tarik suara sudah tertanam sejak dini.

    Mulai bangku SMK, (SP) dan (PC) lebih serius mendalami sindhen

    secara akademisi hingga menempuh bangku kuliah jurusan karawitan. Berbeda

    dengan (EL) yang mengikuti ayahnya pindah ke Jakarta. (EL) mulai menekuni

    kembali di bidang tarik suara ketika masuk bangku sekolah SMA di Jakarta,

    setelah lulus dari SMA (EL) malanjutkan untuk menekuni dunia karawitan

    melalui jalur pendidikan di STSI mengambil jurusan karawitan. Dikarenakan

    jadwal pentas yang semakin padat sehingga studinya ditinggalkan. (EL) kemudian

    lebih memilih untuk mencari uang dengan menerima job menyanyi yang saat itu

    lebih sering ke campursari.

    Tidak jauh berbeda dengan (PC) dan (SP), disela-sela perkuliahannya

    mereka juga menerima jadwal pentas. Pentas yang dilakukan di antaranya

    wayang, uyon-uyon, tari dan campursari (PC hanya melakukan 1x seumur hidup).

    Di massa akhir perkuliahan (PC) dan (SP) menemukan dunianya selain di

    karawitan jawa. (PC) bertemu dengan Sonoseni ansambel yang merupakan

    komunitas musik kontemporer bernuansa etnik dan (SP) bertemu dengan Kua

    Etnika. Dari komunitas Sonoseni Ansamble (PC) mulai mencari jati dirinya selain

    menjadi sindhen tradisi.

    Setelah bergabung dengan Sonoseni kemudian didukung oleh lingkungan

    yang memberinya kesempatan untuk bertemu dengan para tokoh karawitan dan

    lainnya. Hal tersebut menjadikannya lebih serius dalam menekuni bidang tarik

    suara selain sindhen. Meskipun sekarang ini menempati wilayah kontemporer

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 34

    (avant garda) namun posisi sindhen masih sebagai pijakannya. Berikut

    merupakan alasan (PC) yang memilih untuk terjun di wilayah selain gamelan

    yakni faktor ekonomi:

    (....”Dari kecil.. sejak kecil karena saya miskin dan bapak saya

    selalu mendoktrin saya untuk jadilah seniman..seniman..seniman.. tetapi

    saya dulu tidak tahu bagaimana caranya saya jadi seniman yang kaya,

    menjadi seniman yang hebat,, jadi setiap hari saya nembang lebih keras

    suaraku jadi ketika ada yang melewati ada yang mendengarkan suara

    saya.. bahwa kami seniman”...) PC

    Ditambahkan juga dengan alasan mengenai eksistensi dan kebebasan

    berekspresi. hal tersebut sebagai lanjutan dari tekat dan langkahnya ketika ingin

    memasuki wilayah musik pop. Berikut hasil wawancara yang menjelaskan

    mengenai eksistensi dan kebebasan berekspresi:

    (...”Saya melihat mbak ubiet improvisasi,, aooow mbak ubiet sudah

    sangat senior sekali dan saya masih sangat muda sekali.... ini yang saya

    cari ...sebuah kebebasan ruang untuk berekspresi vokal”...)

    (....”Saya punya jalan sendiri,.. menurut saya... makanya saya tidak

    mau dibandingkan dengan kakak saya sendiri pun saya tidak mau, saya

    ingin menjadikanmu bintang di sana mbak dan saya akan menjadi

    bintang didunia seni yang lain, dan kita akan saling menyinari satu sama

    lain dan sama-sama indah dulu itu salah satu alasan mengambil jalur ini

    saya tidak mau dibandingkan dan saya tidak mau menjadi pesaing,saya

    tidak mau jadi pesaing siapapun, saya ingin jadi no 1 di dunia saya

    sendiri”....

    Temuan selain dari (PC), kenyamanan (SP) bergabung dengan Kua

    Etnika dan Sinten Remen semakin mematangkan tarik suaranya. Kesempatan di

    beberapa acara besar dan bertemu dengan artis-artis musik selain gamelan

    memberikan dukungan wawasan yang luas akan dunia musik terutama di bidang

    tarik suara. Alasan yang diutarakan oleh (SP) hampir sama dengan (PC) yaitu

    mencari kepuasan diri dalam berekspresi di bidang vokal. Kesenangan bernyanyi

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 35

    membuat (SP) berkeinginan untuk bisa menyanyikan lagu-lagu sindhen dan

    diatonis. Berikut hasil wawancaranya:

    (......”Karena saya senang,,, tidak hanya satu yang saya sukai..

    hanya karawitan saja.... jadi dulu saya ingin bisa karawitan, saya bisa

    menyanyi biasa di diatonis, diatonisku juga bisa”...).

    Berbeda dengan (EL) yang kesehariannya semasa kecil berada pada

    keluarga seni terutama karawitan, tari dan pedalangan, pindahnya domisili

    memberikan pengaruh terhadap kemampuan tarik suaranya. Sudah berbekal seni

    tradisi kemudian di bangku SMA mendapatkan fasilitas yang berupa

    ekstrakulikuler paduan suara yang didampingi oleh pengajar vokal diatonis klasik.

    Saat perjalanan kembali dari Jakarta ke Surakarta (EL) diajak untuk pergi ke

    hajatan pernikahan yang kebetulan dihibur oleh Orkes Keroncong Purnama Karya

    dan berkesempatan untuk menyumbang lagu. Semenjak itulah profesinya mulai

    tampak sebagai seorang vokalis. Kemampuan (EL) dipengaruhi oleh keadaan

    yang membuatnya harus bersikap kreatif menyikapi sebuah keadaan. Keadaan

    lingkungan dan peluang yang diambil saat diberi kesempatan merupakan

    penyebabnya:

    (....”Nah mungkin istilahnya aku sudah terbiasa dicekoki bapakku

    seperti itu, hampir setiap bangun saja bapakku sudah mendengarkan

    uyon-uyon, tabuhan dan ketika saya pindah ke Jakarta saya bingung mau

    bagaimana,,makanya istilahnya aku banting stir untuk belajar seni

    modern seperti paduan suara dan lain-lain.. sebenarnya,, pada awalnya

    untuk mengalihkan,, mengalihkan perasaan yang biasanya ada aktifitas

    seperti itu terus tiba-tiba tidak ada”....)

    (....”Lingkungan sangat penting dan kesempatan... kesempatan

    sebetulnya bisa kita cari asalkan kita sungguh-sungguh, contohnya pada

    saat aku belajar keroncong pertama kali..aku hanya sebagai tamu njagong

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 36

    ... untuk nyumbang lagu,,,datang diundangi, dijemput...ketika ditawarkan

    untuk ...mbak ayo gabung.. sebetulnya aku tidak bisa..tetapi ok... aku

    mau tapi aku belajar,, istilahnya aku membuka diri aku juga mau tetapi

    harus belajar,, seandainya dia menawarkan sampai 100 kali ibaratnya,

    tetapi kita tidak mau membuka untuk belajar yaa mustahil untuk jadi”....).

    (EL), (SP) dan (PC) semakin serius menekuni bidangnya setelah

    menemukan dirinya berada pada posisi strategis dalam bernyanyi lintas genre.

    Momentum yang bagus menjadikan mereka semakin terkenal di masyarakat luas.

    Oleh sebab profesi yang dijalani sekarang, sebagian orang terutama masyarakat

    karawitan tidak lagi menyebutkan profesi mereka sebagai sindhen lagi. Namun

    bagi orang awam ketika mereka melantunkan sedikit ciri khas sindhen atau pentas

    bersama dengan ansambel gamelan bertentunya akan dipanggil sebagai seorang

    pesindhen.

    Gambar 4: (EL) saat pentas diacara Haul Gusdur Magelang

    (Foto: Siswati 2017)

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 37

    Gambar 5: (PC) dan (SP) saat memberikan contoh salah satu karyanya

    (foto: Siswati 2016)

    2. Sindhen yang Tidak Bisa Bernyanyi Pop

    Pada dasarnya Tuhan menciptakan semua yang berprofesi sebagai

    sindhen dan penyanyi memiliki kesempurnaan instrumennya (pita suara, mulut

    dan telinga) namun dalam hal pengolahan diserahkan sepenuhnya pada pemilik

    instrumen tersebut. Hal yang mempengaruhi terhadap kualitas instrumen yang

    utama adalah pribadi seseorang yang berkaitan erat dengan lingkungan.

    Selanjutnya faktor lain sebagai penentu keberhasilan di antaranya kesempatan,

    pengalaman dan keberuntungan.

    Pada faktanya, banyak sindhen yang mempunyai hobi menyanyikan lagu-

    lagu pop seperti keroncong, campursari dan dangdut (mayoritas). Namun yang

    sering terjadi adalah ketika sindhen berkolaborasi atau masuk dengan musik non

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 38

    gamelan, suara sindhen saat bernyanyi (bukan nyindhen) tersebut tidak bisa

    melebur dengan taste musik (selain nada pentatonis gamelan). (S) sebagai

    pengajar vokal dan pelaku karawitan mengutarakan pendapatnya mengenai

    fenomena tentang sindhen tersebut:

    (....”Yang lain itu susah,, saya tidak tahu susahnya apa sukar,, apa

    belum bisa memahami atau tidak senang,, nah itu termasuk cirinya orang

    tradisi,, diajak berkembang itu susahh,, kalau berbeda dikira merusak”,,,).

    Selain itu para pelaku sindhen yang bisa menyanyi (EL), (SP), (PC)

    secara tegas menekankan bahwa yang mendasari seorang sindhen bisa bernyanyi

    lintas genre adalah faktor kepribadian masing-masing sindhen. Tidak adanya

    keterbukaan dan keinginan dari dalam diri sehingga hal tersebut berdampak pada

    kualitas atau hasil suara yang dikeluarkan. Dengan demikian perlu adanya tekad

    yang bulat sehingga ada kesatuan antara hati, pikiran, instrumen dan dasar

    keikhlasan yang tulus. Begitu juga kurangnya pengalaman bersosialisasi dengan

    lingkungan di luar kebiasaan yang dilakukan juga sangat mempengaruhi

    kemampuan berolah vokalnya seperti yang diutarakan DF.

    (....”Ya mungkin karena pesindhen tadi itu kurang mendapatkan

    pengalaman, atau mungkin kurang mengeksplor repertoar diluar tradisi

    gamelan itu,, kalau melihat kondisinya pasti bisa menyanyi,,,, itu bisa

    dikarenakan mereka hanya terfokus didunia gamelan disitu terus

    sehingga rasanya tidak bisa lepas karena kebiasaan, mungkin

    ksempatannya....tidak mau berlatih, tidak mau belajar, tidak mau nonton

    diluar dunia gamelan.”....).

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 39

    3. Cara Belajar Sindhen Lintas Genre

    Melihat kemampuannya dan ketrampilan berolah vokal, sudah tentu hal

    tersebut menggunakan metode belajar yang memerlukan banyak waktu. Secara

    frekuensi nada yang sudah berbeda antara pentatonis dan diatonis ditambah lagi

    dengan masing-masing genre yang mempunyai ciri khas. Cara yang dilakukan

    oleh para sindhen lintas genre ini masih tetap menggunakan tradisi lisan yang

    bermula dari mendengarkan kemudian menirukan. Pernyataan dari narasumber

    terkait cara mempelajari materi vokal dan menambah wawasan tentang vokal

    tersebut:

    (...” Mendengarkan, latihan, terus banyak melihat, melihat

    pertunjukan –pertunjukan menurutku itu penting karena itu pasti ada

    kesinambungan.. ya pokoknya melihat pertunjukan.. apalagi sekarang

    dimudahkan dengan adanya youtube, mendengarkan penting... setiap hari

    aku juga mendengarkan musik,, kalau tidak ya melatih nadane supaya

    tetap ini,, disamping aku di karawitan,,, bersenandung itu pasti dan,,,

    bergaulah dengan banyak orang,,, sering sharing, ngobrol,, itu sangat

    mempengaruhi hasil karya,,, itu beneran,,, beda.. jadi tidak sempit oohh

    ini bisa seperti ini”...). (SP)

    Kebiasaan dalam menyaksikan pertunjukan baik langsung atau siaran

    tunda sedikit banyak ikut andil dalam menambah wawasan seseorang. Dengan

    fasilitas yang memudahkan dalam menyaksikan apapun seseorang bisa

    memanfaatkan media android yang canggih. Bahkan seseorang bisa mempelajari

    gestur atau bahasa tubuh sebagai pendukung musikal sehingga lagu atau pesan

    yang dilantunkan sampai kepada pendengar.

    Hal tersebut berlaku untuk lagu pop karena liriknya sudah mewakili isi

    pesan yang tidak perlu untuk dicerna lagi. Sedangkan untuk sindhenan lebih

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 40

    ditonjolkan aspek musikal, lirik yang berupa wangsalan (sejenis pantun khusus

    untuk sindhen) pada dasarnya tidak menceritakan pesan dari gending tersebut.

    Seperti pernyataan narasumber berikut ini:

    ....”Saya jalani dengan total dan serius .. dengan serius

    konsekuensinya total, dalam mempelajari sesuatu tu aku ndak main-main

    dan bener-bener ngangsu kawruh walopun berbagai guru itu tidak

    mengajarkan saya secara langsung conto bu waljinal, ketemu bu

    waljinah... bu waljinah.. aku ndak pernah kok diajari nduk na na..na naaa

    ndak penah saya belajar ketika bu waljinah di pentas, tak amati.. wo

    solah bawane ngene, carane ngomong ngene, wo carane ambil nafas ki

    gini, carane menyanyi seperti mnyampaikan sesuatu biar makna lagu

    tersampaikan seperti ini..sebetulnya itu bisa dianggap sebagai pelajaran

    atau tidak itu tergantung kita”. (EL)

    4. Cengkok Sindhen Lintas Genre

    Aktivitas bermusik menggunakan organ tubuhnya sebagai instrumen

    merupakan cara yang paling praktis namun membutuhkan kejelian dalam

    mengolahnya. Olah vokal atau menyanyi berkaitan erat dengan aturan-aturan

    musik yang dikelompokkan berbagai genre. Genre yang sering dilagukan para

    pesindhen selain sindhenan yaitu dangdut, pop, jazz, keroncong, dan (EL) pernah

    mencoba untuk menyajikan lagu seriosa.

    Selain dari warna suara, untuk membedakan genre lagu dapat dilihat dari

    unsur musikal yaitu ornamentasi atau cengkok. Sehingga munculnya cengkok

    seseorang bisa memberikan identitas atau karakter seseorang dalam menyanyi.

    Hal ini tentunya untuk membedakan jenis musik apa yang dinyanyikan.

    Sindhen yang mengusai ornamentasi lagu dan cengkok sindhenan

    memiliki banyak peluang didunia industri. Perubahan itu mengangkat popularitas

    sindhen. Sehingga dengan kemampuannya itu membuat sindhen memiliki posisi

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 41

    tersendiri di masyarakat pada umumnya. Hasil nyanyian yang dilantunkan

    merupakan peleburan dari ornamentasi lagu-lagu dan berbagai cengkok yang

    dilakukan sehingga membuatnya mempunyai keunikan dan menjadi ciri atau style

    sindhen tersebut .

    Hal itu sebagai akibat dari interaksi sosial yang dilakukan ketika

    seseorang mau membuka diri dengan ikhlas dan tidak ada beban kultur. Seperti

    pernyataan (SP) berikut ini bahwa dengan mempunyai kemampuan tersebut

    menjadi sesuatu yang mahal dan tidak banyak dilakukan oleh banyak orang:

    (....”Kalau saya nyanyi pop, saya kalah dengan penyanyi pop, saya

    nyindhen saya juga kalah sama siswati iya to, jika saya nyanyi dangdut

    saya kalah dengan ini, saya ingin nyanyi melayu saya kalah... ha...

    bagaimana caranya saya berada diposisi ini, ditengah-tengah,....saat aku

    membuat komposisi ooo ini sindhenan saya bisa melakukan kesana

    kemari, ini disana ..ini disini,,, saya harus lari kesana kemari,,, woooh

    saya sudah nyaman berada disini istilahnya berada diantara tradisi dan

    pop menjadi posisi abu-abu, tapi saat kamu disini ok... tapi saat aku

    nyanyi pop harus ada etnike entah itu etnik mana karena menurutku itu

    jadi barang mahal dan tidak banyak yang melakukan itu”...).

    Kemampuannya dalam mengolah cengkok digunakan sebagai peluang

    emas dalam mendapatkan posisi di hati masyarakat secara luas. Karena dengan

    mengetahui karakter masing- masing cengkok lagu membuatnya berada dalam

    posisi yang strategis dan dapat diterima di masyarakat pada umumnya.

    B. Motivasi Menjadi Sindhen Lintas Genre

    Adorno dalam Budiarto (2001) mengatakan bahwa budaya populer

    (budaya pop) merupakan kumpulan fenomena kehidupan yang banyak

    dipengaruhi oleh media massa. Budaya pop tidak terlepas dari budaya industri.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 42

    Oleh karena itu hasil karyanya sudah tentu sebagai barang dagangan. Tujuan

    utamanya untuk mencari keuntungan.

    Hukum sebab akibat memberikan gambaran yang jelas terhadap sebuah

    fenomena kehidupan musik dalam hal ini sindhen. Popularitas sindhen yang

    muncul dan menjadi sebuah fenomena menarik merupakan bukti kuat adanya

    hukum tersebut. Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis kepada

    narasumber, ada motivasi yang membuat mereka terjun ke ranah musik populer.

    Melihat latar belakang kehidupan masyarakat yang menjadi seniman

    sebagian besar berada dalam ekonomi kelas menengah kebawah. Oleh sebab itu

    harapannya bahwa dengan menjadi seorang seniman terutama sindhen akan

    mendapatkan kesejahteraan finansial dengan lebih cepat. Dengan catatan bahwa

    modal finansial yang dikeluarkan masih terjangkau bagi seniman itu sendiri.

    Dari narasumber primer tersebut, satu diantaranya berada pada posisi

    sebagai anak sulung. Kebanyakan orang Jawa, ketika seseorang dilahirkan

    menjadi anak pertama apalagi memiliki saudara yang banyak dan jarak

    kelahirannya dekat membuat si sulung mempunyai rasa tanggung jawab yang

    lebih terhadap keluarganya. Salah satu tanggung jawab yang tersemat dalam diri

    si sulung adalah tanggung jawab ekonomi.

    Meskipun orang tua tidak secara langsung mengatakan bahwa kebutuhan

    ekonomi sebagai tanggung jawab si sulung sepenuhnya. Namun perlakuan orang

    tua yang tampak di hadapan si sulung memberikan kode bahwa ia merasa ikut

    andil dalam memikul tanggung jawab ekonomi keluarga. Terlahir menjadi anak

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 43

    yang mempunyai posisi nomer dua atau teakhir pun memiliki tanggung jawab

    finansial yang sama ketika jumlah saudaranya sedikit.

    Apalagi jika seorang bapak memiliki darah seni yang kuat akan

    mempengaruhi jiwa kesenimanan sang anak yang berujung pada pengharapan

    finansial. Hal ini sesuai dengan pernyataan narasumber mengenai kehidupan

    ekonomi yang membuat dirinya fokus untuk menjadi sindhen:

    (....”Dari kecil.. sejak kecil karena saya miskin dan bapak saya

    selalu mendoktrin saya untuk jadilah seniman..seniman..seniman.. tetapi

    saya dulu tidak tahu bagaimana caranya saya jadi seniman yang kaya,

    menjadi seniman yang hebat,, jadi setiap hari saya nembang lebih keras

    suaraku jadi ketika ada yang melewati ada yang mendengarkan suara

    saya.. bahwa kami seniman”...) PC

    Selanjutnya (Caturwati, 2005: 572-573) mengatakan bahwa pendapatan

    ekonomi yang diperoleh dengan menjadi sindhen lebih besar dibanding pekerjaan

    masyarakat kelas menengah kebawah lainnya. Tujuan utama para wanita menjadi

    sindhen adalah faktor ekonomi. Ketika seseorang memiliki kebutuhan ekonomi

    yang lebih besar, maka apapun akan dikorbankan karena ekonomi tersebut

    berkaitan dengan keberlangsungan hidup seseorang. Terkait pernyataan Caturwati

    tentang pendapatan ekonomi, hal ini memacu seorang sindhen untuk memilih

    posisi yang memberikan kenyamanan secara finansial.

    Meski tuntutan menjadi seorang sindhen beberapa waktu lalu berbeda

    dengan sekarang ini namun jumlahnya semakin banyak. Ini disebabkan karena

    penghargaan terhadap sindhen semakin baik. Dulu, ketika seseorang menjadi

    sindhen konvensional, kehidupan ekonomi sudah tercukupi. Animo masyarakat

    yang membutuhkan keberadaan sindhen konvensional tersebut masih sangat

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 44

    banyak. Selain itu orientasi sindhen akan keharmonisan kerukunan dan gotong

    royong bermasyarakat (masyarakat pedesaan) masih sangat kental.

    Sekarang ini masyarakat menginginkan lebih dari pada sebatas sindhen

    konvensional. Oleh karena itu seorang sindhen harus mampu mengikuti tuntutan

    jamannya supaya perolehan kebutuhan ekonomi tetap stabil dan tercukupi.

    Berikut ini pernyataan (S) selaku pengajar tembang dan pelaku seni tradisi:

    (.....”Tuntutan terhadap seniman kira-kira sepuluh tahun yang lalu,

    atau limabelas tahun yang lalu dan setelahnya itu berbeda tuntutane,,

    dulu... tuntutannya kalau sudah bisa nyinden gending-gending itu sudah

    luar biasa sekali,,, bisa nyindhen wayang, bisa nyindhen gending tradisi

    wahh... ,makanya kalau saya mengajar ayoo harus bisa main gamelan, bisa

    nyanyi, ya ikut dalang, bisa mengerti lagu daerah lain, tuntutannya

    memang seperti itu.. apapun harus bisa”...)

    Seiring berjalannya waktu dengan perubahan animo kesenian

    masyarakat, seorang sindhen perlu adanya terobosan baru. Berbagai cara

    dilakukan untuk tetap memiliki tempat di hati masyarakat luas yang harapannya

    berdampak pada kesejahteraan ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan

    menjadi sindhen lintas genre. Hal ini menurut pernyataan narasumber yang

    mempunyai politik identitas:

    (....”Kalau saya nyanyi pop, saya kalah dengan penyanyi pop, saya

    nyindhen saya juga kalah sama siswati iya to, jika saya nyanyi dangdut

    saya kalah dengan ini, saya ingin nyanyi melayu saya kalah... ha...

    bagaimana caranya saya berada diposisi ini, ditengah-tengah,....saat aku

    membuat komposisi ooo ini sindhenan saya bisa melakukan kesana

    kemari, ini disana ..ini disini,,, saya harus lari kesana kemari,,, woooh

    saya sudah nyaman berada disini istilahnya berada diantara tradisi dan

    pop menjadi posisi abu-abu, tapi saat kamu disini ok... tapi saat aku

    nyanyi pop harus ada etnike entah itu etnik mana karena menurutku itu

    jadi barang mahal dan tidak banyak yang melakukan itu”...). (S.P)

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 45

    Dari analisis diatas didapatkan pemahaman baru bahwa peluang finansial

    dengan menjadi sindhen lintas genre yang menguasai berbagai cengkok musik

    apapun dan bisa beradaptasi sesuai dengan perubahan animo kesenian masyarakat

    menjadi sangat menguntungkan. Dikatakan menguntungkan karena dengan

    kemampuannya tersebut seorang sindhen lebih bisa fleksibel.

    Jadwal pentas yang semakin banyak dan masyarakat pendengarnya juga

    luas membuat para sindhen lintas genre ini semakin eksis. Eksistensinya semakin

    naik karena beberapa faktor diantaranya bahwa generasi sindhen sebelumnya

    tidak banyak bahkan mungkin belum ada yang melakukannya. Selanjutnya

    dengan munculnya sindhen lintas genre ini dianggap masyarakat sebagai hal baru

    yang menjawab kebutuhan musik mereka. Sehingga semakin banyak kesempatan

    untuk pentas semakin banyak juga peluang finansial yang diperolehnya.

    1. Ketrampilan Musik Sindhen Lintas Genre

    (Hargreaves & North, 2003:412) menjelaskan Faktor yang

    mempengaruhi ketrampilan musik yaitu dengan melibatkan dukungan orang di

    sekitarnya (orang tua, saudara kandung, teman sebaya, pemain profesional dan

    guru). Diawali dari lingkungan keluarga terutama peran orang tua dalam

    membekali pengetahuan dan ketrampilan musik pada anaknya menjadikan sebuah

    pondasi kesenimanan yang kuat dalam diri anak tersebut.

    Dua dari tiga narasumber primer merupakan keturunan seniman yang

    berkecimpung di dunia gamelan. Dua keluarga tersebut menggantungkan

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 46

    hidupnya dari seni meskipun adakalanya ketika dunia seni dalam keadaan sepi

    salah satu dari keluarga mereka mempunyai lahan pertanian yang bisa untuk

    mengalihkan kegiatan seni tersebut. Akan tetapi porsi berkesenian dari dua

    keluarga ini lebih banyak daripada yang lainnya. Selanjutnya satu narasumber

    yang berangkat dari keluarga petani gunung namun saudaranya berprofesi sebagai

    penyanyi campursari. Intensitas lagu-lagu yang didengarkan dari saudaranya saat

    berlatih memberikan bekal tersendiri bagi (S.P).

    Kemudian peran dari teman sebaya atau kolega, masing-masing

    narasumber memiliki lingkungan pada massanya. Walaupun sama-sama

    menempuh jalur pendidikan di jurusan karawitan tetapi selisih usia mereka

    memberikan kontribusi teman berkesenian yang berbeda pula. Hal ini berdampak

    pada pengalaman eksperimen kesenian dan tantangan pada masing-masing

    narasumber.

    Berbagai komunitas yang dibentuk oleh kolega para narasumber ikut

    memberikan sumbangsih dengan menempa berbagai ketrampilan berkesenian.

    Bertemunya dengan banyak orang dan bergabung di berbagai komunitas, secara

    tidak langsung memupuk keinginan untuk berekspresi dan menunjukkan bakat

    kemampuan dan keahliannya. Hal tersebut diperkuat dengan penyataan (EL) yang

    selalu mendapatkan tantangan saat berkesenian bersama rekan dan koleganya.

    (...”Lingkungan,, karena lingkunganku selalu tertantang, ya to

    contone aku njegur neng pak enthus, lha neng kono kasarane pada saat

    aku masuk itu belum ada sindhen istilahe sindhen sing nyleneh,, apalagi

    pak enthus sendiri memberikan kelonggaran yang luar biasa, itu

    membikin aku etuk dalan, etuk ruang, dadi semangat, trus lingkungan

    dari keluargaku juga mendukung misale adikku tiba-tiba kesini tabuhan

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 47

    naah...yang paling penting adalah pergaulan, paling penting dan sangat

    mendukung,, penting banget misale bergaul dengan orang yang cerdas,

    itu kene ne dadi cerdas, ketika kita njegur neng komunitase gondrong,

    mas garin, komunitase mas PC kan dadi tertantang dadi pengen

    menunjukan bahwa kita bisa”...)

    Berkesempatan untuk bertemu dengan pemain profesional secara

    langsung bahkan berada dalam sebuah acara yang sama memberikan pengaruh

    yang berbeda pula terhadap masing-masing narasumber, misalnya (P.C) yang

    berangkat dari tradisi tulen ketika bertemu dengan seorang seniman yang sudah

    sangat mahir dibidangnya seperti mendapatkan pencerahan terhadap apa yang

    diinginkan selama ini. Sebuah keberanian dan kebebasan untuk menyuarakan

    berbagai macam dan gaya vokal. Berikut pernyataannya :

    (...”saya melihat mbak ubiet improvisasi,, aooow mbak ubiet sudah

    sangat senior sekali dan saya masih sangat muda sekali.... ini yang saya

    cari ...sebuah kebebasan ruang untuk berekspresi vokal”...)

    Masing-masing narasumber mempunyai tokoh yang diidolakan dan

    mampu membuat mereka menjadi inspirasi dalam menggali lebih dalam

    kemampuannya. Selanjutnya peran dari sosok guru yang akan selalu diingat

    sebagai panutan para narasumber dalam menjalankan kesenimanannya. Meskipun

    tidak secara tatap muka memberikan pengajaran, namun bagi para narasumber

    merupakan sebuah ilmu yang sangat bermanfaat untuk mengokohkan jiwa

    kesenimanannya. Seperti pernyataan (E.L) ketika menempatkan Ibu Hj. Waldjinah

    sang maestro keroncong sebagai guru yang memberikan pengaruh yang kuat

    terhadap hasil karyanya:

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 48

    (....”Saya jalani dengan total dan serius .. dengan serius

    konsekuensinya total, dalam mempelajari sesuatu tu aku ndak main-main

    dan bener-bener ngangsu kawruh walopun berbagai guru itu tidak

    mengajarkan saya secara langsung conto bu waljinal, ketemu bu

    waljinah... bu waljinah.. aku ndak pernah kok diajari nduk na na..na

    naaa ndak penah saya belajar ketika bu waljinah di pentas, tak amati..

    wo solah bawane ngene, carane ngomong ngene, wo carane ambil nafas

    ki gini, carane menyanyi seperti mnyampaikan sesuatu biar makna lagu

    tersampaikan seperti ini..sebetulnya itu bisa dianggap sebagai pelajaran

    atau tidak itu tergantung kita”,..,) (E.L)

    Dari konsep (Hargreaves & North, 2003:412) mengenai pengaruh

    dukungan orang sekitar diatas menghasilkan pemahaman baru bahwa hasil karya

    seorang seniman tidak jauh dari orang-orang terdekatnya. Namun hal tersebut

    tidak cukup dengan dukungan orang sekitarnya saja karena masih ada faktor

    paling efektif secara langsung berupa aktivitas ketrampilan adalah latihan yang

    disengaja.

    Meskipun tidak mendapakan pendidikan musik non karawitan secara

    formal, tetapi mempunyai pengalaman bersinggungan langsung dan memakan

    waktu yang lama, lebih berpengaruh terhadap kualitas musikal seseorang. Oleh

    karena itu mempunyai kesempatan untuk mencoba dan menggali apa yang ada

    dalam diri kita akan berdampak pada kematangan jiwa musikalitasnya. Berikut

    penyataan narasumber yang menguatkan :

    (....”Selain kesempatan, biasanya tu ada kesempatan atau tidak

    ya...kalau ada kesempatan otomatis kita yang akan mau belajar dan

    menyesuaikan diri kalau dari saya ya, karena ada kesempatan karena saya

    memiliki komunitas, memiliki tempat untuk saya.....membongkar

    kemampuan didiri saya tidak hanya dalam sindhenan.itu ada tempatnya..

    upayanya apa.. upayanya ya itu tadi ...iklas.... menembang itu dengan

    iklhas tidak boleh terbebani dengan kultur, tidak boleh terbebani dengan

    apa yaa...predikat kita sebagai sindhen ..tidak boleh,,,jadi kalau kita

    bernyanyi kita adalah seorang vokalis seorang voicis.ok kita menyanyi

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 49

    untuk orchestra..kita menyesuaikan vibra-vibra orchestra.. kita bernyanyi

    untuk gamelan kita menyesuaikan vibrasi dalam gong dan di ansamble

    gamelan... jadi kiatnya itu mbak membuka diri dengan ikhlas”...).(PC)

    Hal ini terjadi kepada para sindhen lintas genre tersebut yang secara

    akademi tidak mendapatkan pengetahuan mengenai musik di luar karawitan akan

    tetapi memiliki kesempatan untuk berlatih musik non karawitan. Hal tersebut

    sangat menjadi sangat berarti karena sindhen lintas genre sangat membutuhkan

    banyak referensi, pengalaman dan pengetahuan musik diluar dunia sindhennya.

    Secara tradisi mempelajari sindhenan dilakukan oleh para sindhen

    dengan belajar dari mendengarkan, kemudian menirukan. Tradisi ini merupakan

    ciri budaya ketimuran. Setelah adanya budaya tulis, karawitan dalam hal ini

    sindhenan mulai dikembangkan. Ditandai dengan adanya pembelajaran karawitan

    dalam hal ini sindhen di lembaga-lembaga formal. Belajar sindhen bisa melalui

    nyantrik (berguru kepada empu), lembaga, atau sanggar.

    Meskipun secara akademi sudah diberikan materi pembelajaran sindhen

    melalui membaca dan menulis akan tetapi pada praktiknya mereka lebih sering

    belajar dengan cara mendengarkan. Terutama cengkok-cengkok sindhenan dari

    berbagai sumber karena setiap orang mempunyai cengkok dan gaya sendiri sesuai

    dengan warna suara dan karakter gending. Oleh karena itu dalam satu gending

    seorang sindhen mampu menyajikan berbagai variasai cengkok.

    (Djohan, 2003: 144-145) menjelaskan bahwa mempelajari sebuah musik

    dianggap tidak efektif jika penekanan pada model visual dibandingkan dengan

    model aural. Model belajar sindhen yang mengandalkan pendengaran tersebut,

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 50

    kemudian mereka terapkan untuk mempelajari musik-musik selain sindhenan. Ini

    menjadi bagian yang saling membantu. Apalagi untuk mendengarkan musik pop

    tidak membutuhkan konsentrasi tinggi dikarenakan detail musik yang muncul

    hanya sebagai potongan atau ringkasan.

    Karena sebatas potongan maka mudah untuk ditirukan. Perbedaannya

    dengan sindhenan yaitu untuk sindhenan harus menyesuaikan tafsir garap dengan

    menempatkan formula cengkok sindhen. Sedangkan dalam musik pop lebih

    kepada menyanyi apa adanya sesuai dengan karakter lagu karena lirik lagu

    biasanya sudah dalam bahasa langsung sehingga mudah diterima dan dipahami.

    Dari konsep Hargreaves dan Djohan dapat ditarik sebuah pemahaman

    bahwa ketika keadaan lingkungan mendukung, memiliki pengalaman secara

    langsung dan teknis belajar yang efisien tergabung menjadi satu kesatuan dalam

    proses menjadi sindhen lintas genre. Maka seorang sindhen mempunyai pondasi

    bekal kesenian yang matang. Dengan memiliki kemampuan dan ciri khas yang

    berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya.

    2. Cengkok Sindhen dan Gaya Pop

    Cengkok merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian

    lagu yang identik dengan lenggak lenggoknya atau hiasan suara berdasarkan jenis

    lagunya. Beberapa genre musik yang menggunakan istilah cengkok yaitu

    keroncong, karawitan dan dangdut. Masing-masing cengkok pada jenis musik

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 51

    tersebut memiliki kekhasan dan karakter sendiri. Sedangkan dalam jenis musik

    pop dan jazz lenggak lenggok tersebut disebut dengan ornamentasi.

    Dalam sindhenan jawa, sebuah cengkok terdiri dari luk dan gregel,

    dimana bagian tersebut akan menambah indahnya sindhenan. Luk sindhenan

    biasanya terdiri dari minimal dua nada dan nada yang dibunyikan jelas alurnya.

    Namun jika luk tersebut ditempatkan pada tempo yang lebih lambat, untuk

    menyesuaikannya biasanya muncul gregel, dimana gregel berarti hiasan nada atau

    vibrasi antara awal dan akhir luk. Gregel atau vibrasi sindhen berbeda dengan

    vibrasi keroncong. Jangkauan nada dalam vibrasi sindhen lebih banyak serta lebih

    rapat.

    Berikut merupakan contoh lagu yang pernah dibawakan (EL). Penulis

    mengambil sampel lagu ini karena terdapat beberapa cengkok yang muncul dalam

    lagu tersebut. Berikut notasinya:

    Sebelum membaca notasi lagu dari nara sumber, perlu diketahui simbol-

    simbol yang berkaitan dengan cengkok yang muncul saat lagu tersebut dibawakan

    oleh dua narasumber yaitu (EL) dan (SP) sebagai berikut ini:

    Keterangan simbol:

    : glissendo = dalam sindhen disebut dengan luk

    : mordent = dalam sindhen disebut dengan luk

    : tekanan aksen

    : trill = vibrasi = gregel

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 52

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 53

    Gambar 6: notasi lagu dengan beberapa cengkok yang muncul

    dibawakan (EL) dan (SP)

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 54

    (Witkin, 2003: 100-102) menerangkan bahwa detail dalam musik populer

    yang dijelaskan sebagai ornamentasi di antaranya seperti urutan akord yang

    mencolok, tema melodi, harmoni, motif berirama, istirahat, catatan biru, catatan

    kotor merupakan fakta sebagai efek individu yang digunakan untuk

    memperkenalkan sesuatu khas yang berbeda dalam menampilkan bakat atau

    keahlian. Hal ini dikarenakan ornamentasi menempati posisi musik strategis

    sehingga mudah dihadirkan namun dianggap sebagai hiasan karena tidak

    dimediasi oleh semua secara keseluruhan.

    Dari transkripsi notasi lagu yang dibawakan (E.L) pada acara Haul

    Gusdur di Magelang dan (SP) dapat diketahui bahwa unsur musikal didalamnya

    merupakan cengkok yang diolah sedemikian rupa dengan gaya yang lebih ngepop

    membuatnya semakin menarik dan berbeda. Misalnya cengkok dari wilayah

    pesisir timur yaitu daerah Banyuwangi yang dibawakan (EL).

    Jangkauan nada yang dominan tinggi kemudian ada pengulangan

    cengkok berkali-kali namun memiliki ketebalan suara yang berbeda. Jika dilihat

    alur nadanya kadang-kadang meruncing, patah-patah, bergelombang teratur

    dengan perubahan pada ketebalan vokal yang berangsur semakin tipis. Selain itu

    penekanan suara ala jazz disajikan saat cengkok ini dimunculkan sebagai

    interpretasikan seorang sindhen lintas genre. Perlu diingat kembali bahwa

    kemampuan memberikan aksen, penekanan intonasi dari (E.L) tersebut diperoleh

    dari kumpulan sari pengalaman pribadinya yang bersinggungan langsung dengan

    beberapa lagu-lagu etnis yang digelutinya.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 55

    Nyanyian itu akan memiliki perbedaan rasa jika yang menyanyikan

    memiliki latar belakang musik yang berbeda. Begitu pula dengan (SP) yang

    mencampurkan cengkok etnis Jawa, Melayu dan pop sehingga menjadi lagu

    dengan kumpulan cengkok yang menarik. Siapa yang menyangka lagu tersebut

    dapat menjadi lebih indah jika dibubuhi dengan sari-sari cengkok dari berbagai

    genre. Meskipun dalam hal ini cengkok –cengkok tersebut bersifat sebagai hiasan.

    Namun dengan leluasanya para sindhen ini menginterpretasi cengkok lagu

    tersebut dengan luar biasa.

    Berdasarkan konsep Witkin dapat ditarik bahwa ornamentasi musik

    tersebut berlaku juga untuk vokal meski tidak tercantum secara khusus di

    konsepnya. Beberapa detile tersebut yang dtuliskan kemudian diterapkan pada

    vokal hasilnya hampir sama. Ornamentasi pada vokal sama dengan improvisasi

    biasanya bersifat spontan, namun direncanakan pun bisa tujuannya supaya lagu

    yang dibawakan tidak monoton, memperkaya nuansa, mempunyai ciri khas dan

    memiliki perbedaan dengan penyanyi lainnya.

    Kembali lagi bahwa improvisasi atau ornamentasi ini hanya bersifat

    hiasan karena yang utama adalah tema lagu atau melodi utama. Improvisasi ini

    akan menjadi sangat indah, bagus dengan catatan bahwa penyanyi mempunyai

    kepekaan telinga dan paham akan harmoni. Apabila tidak memiliki keduanya

    maka bisa dibilang ngawur atau sembarangan hasilnya fals, tidak sesuai

    tempatnya.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 56

    (Srinati, 2007:80) mengatakan bahwa musik merupakan sebuah artefak

    tekstual yang tidak dapat direproduksi dalam jumlah besar melalui teknik

    perakitan sehingga hasilnya adalah sebuah lagu khas atau unik oleh sekelompok

    penyanyi, musisi, aranger dan sebagainya. Musik pop sebagai hasil industri

    budaya yang didominasi oleh standarisasi (semakin banyak kemiripan) dan

    individualisasi semu _ perbedaan yang sifatnya kebetulan (Srinati, 2007:70-76).

    Dalam hal ini semakin banyak lagu-lagu yang distandarkan semakin banyak juga

    telinga yang diindividualisasikan. Standarisasi mengacu pada kemiripan musik

    pada bagian, bentuk maupun akornya, sedangkan individualisasi semu

    menyamarkan dengan menjadikan musik semakin bervariasi dan berlainan satu

    sama lain.

    Untuk lagu pop yang sering dibawakan para sindhen lintas genre ini

    terutama lagu-lagu yang familiar di telinga para pecinta musik pasti tidak begitu

    menarik perhtian ketika sajiannya sama persis dengan pelantun sebelumnya atau

    bahkan memiliki kualitas dibawahnya. Namun pada kenyataannya berbanding

    terbalik bagi sindhen lintas genre. mereka melakukan dengan lebih baik sehingga

    saat mereka akan pentas selalu dinantikan para audien.

    Cara mereka menarik perhatian para audien adalah dengan memberikan

    hiasan berbagai cengkok sehingga memberikan variasi kebaruan lagu tersebut.

    Lagu -lagu yang dibawakan serasa lebih hidup, dampaknya tidak sedikit lagu-

    lagu yang menjadi ciri khas dari para sindhen lintas genre. Selain itu masih ada

    modal lain yang bisa menunjukkan khasnya seseorang yaitu materi suara

    (pemberian sang pencipta) dan ciri khas style vokal (diperoleh dengan kebiasaan).

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 57

    Dari kedua konsep tersebut diperoleh pemahaman bahwa musik sebagai

    barang yang tidak bisa diproduksi secara massal karena memiliki rasa

    individualitas yang berbeda-beda. Meskipun materi lagu yang dibawakan sama

    namun beda penyanyi beda pula hasilnya. Contoh perbedaan tersebut terlekat

    pada bagian cengkok atau ornamentasi. Meskipun hanya sebatas hiasan seperti

    yang dikatakan Witkin namun mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi

    pendengarnya. Keberagaman tersebut semakin menambah banyak warna musik

    yang ada.

    3. Perubahan Status Sosial Pada Sindhen

    Adorno mengatakan bahwa ada perbedaan musik berdasarkan strata

    sosial. Musik klasik identik dengan masyarakat kelas atas sedangkan musik pop

    untuk kelas menengah dan bawah. Golongan musik klasik diperuntukkan bagi

    mereka yang pekerjaan atau kedudukan sosialnya memiliki waktu senggang dan

    tidak perlu melepaskan kejenuhannya. Sedangkan dalam musik pop

    diperuntukkan bagi yang mendapatkan kelakuan “kerja yang dimekanisasi” dan

    berkarakter berulang-ulang, standarisasi dan membosankan sehingga musik ini

    bisa didengarkan sambil lalu (ciri masyarakat kapitalis) karena tidak banyak

    menuntut atau kesulitan.

    Masyarakat pada umumnya, menyebutkan sindhen bagian dari ansambel

    karawitan, diidentikkan dengan strata sosial musik klasik untuk kelas atas.

    Pernyataan tersebut muncul karena gamelan dianggap oleh masyarakat sebagai

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 58

    salah satu legitimasi adanya kebudayaan kerajaan, termasuk sindhen didalamnya.

    Masyarakat Jawa sendiri memandang bahwa predikat sindhen yang disandang

    seseorang adalah nama penghargaan tinggi lengkap dengan ilmu, kepribadian dan

    tahu akan akar tradisinya. Sehingga masyarakat karawitan mempunyai tolok ukur

    tersendiri akan penilaian tentang sindhen. Tidak serta merta orang yang bisa

    menyanyikan sedikit lenggak lengok bisa dikatakan sebagai sindhen.

    Namun bagi sebagian masyarakat, citra sindhen terutama diluar tembok

    kraton sering dianggap sebagai hiburan kaum tua, bahkan sering kali dipandang

    sebelah mata bahwa sindhen merupakan sosok wanita penghibur dengan tradisi

    menari dan menyanyi. Hiburan wanita sangatlah erat dengan gagasan kebebasan

    seksual perempuan dan prostitusi dengan penyebutan kata “taledhek”.

    Adanya dikotomi mengenai status sosial di masyarakat Indonesia ini

    (Srinati, 2007:70-76) menjelaskan bahwa musik pop dianggap sebagai perekat

    sosial karena kenikmatan dan katarsismenya berusaha mengkonstruk sebuah

    masyarakat yang individunya bisa bebas, bahagia dan terpenuhi. Dengan adanya

    peluang akan animo kesenian di masyarakat, kesempatan ini disambut baik oleh

    para sindhen lintas genre. Dengan terjun ke wilayah pop maka sindhen berusaha

    meleburkan diri dengan mengesampingkan kelas masyarakat yang memberikan

    jarak antara masyarakat kelas atas ataupun masyarakat kelas bawah.

    Hadirnya sindhen lintas genre di hadapan publik dengan tampilan yang

    berbeda (sindhen dengan tampilan pop) membuat masyarakat menjadi lebih

    tertarik untuk mengikutinya. Dari kaum muda maupun tua, dari masyarakat desa

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 59

    sampai masyarakat kota, dari domestik maupun manca negara sangat antusias

    dengan kehadiran sindhen tersebut. Selain disebabkan style sindhennya juga

    karena sajian musiknya. Istilah “Sindhen” yang digunakkan sebagai salah satu

    label industri merupakan salah satu cara untuk mengangkat kembali sindhen di

    hati masyarakat.

    Selain itu bagi seorang sindhen momentum ini digunakan sebagai jalan

    keluar atas “kejenuhan” dari tekanan “budaya adiluhung” yang tidak memberikan

    kontribusi pada kepentingan eksistensi pelaku seni. Dengan mencari celah yang

    memungkinkan, para sindhen mencari terobosan baru dengan menambahkan

    sedikit keberanian untuk melangkah ke ranah lain dengan berpijak dari akar

    tradisinya.

    Tuntutan masyarakat yang selalu menginginkan perubahan pada karya

    seni khususnya musik memaksa para sindhen untuk bersikap kreatif mendapatkan

    tempat di masyarakat secara luas. Hasilnya adalah cengkok yang dilantunkan oleh

    sindhen lintas genre mempunyai keunikan tersendiri. Cengkok sindhen lintas

    genre tersebut hadir pada nyanyiannya bukan semata-mata ngawur. Perlu ditarik

    kembali latarbelakang dari sindhen tersebut sehingga mampu menyajikan lagu-

    lagu yang kaya akan cengkok.

    Hal ini tampak berbeda pada sebagian sindhen yang tidak bisa bernyanyi.

    Faktanya, mereka kesulitan untuk melepas cengkok sindhen murninya saat

    melantunkan lagu pop. Penyebabnya ada pada diri masing-masing sindhen yang

    menempatkan dirinya berada pada ranah kelas atas “ Adiluhung”. Sehingga beban

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 60

    beban etnosentris dalam dirinya menutupi kemauan dan kemampuan dirinya di

    lain sisi. Meskipun metode dan cara belajar yang digunakan hampir sama.

    Meskipun demikian, kembali lagi kepada masing-masing sindhen yang

    mempunyai caranya sendiri untuk mengekspresikan bakatnya. Bergantung pada

    dukungan lingkungan sosial dan pilihan yang ada pada dirinya. Kembali lagi pada

    tujuan dimana sindhen ingin mengembangkan kemampuan diri dengan masuk

    ranah selain sindhen atau mengembangkan diri dengan bertahan pada dunia

    sindhennya.

    Melihat keadaan tersebut istilah sindhen yang digunakan dalam industri

    hiburan mengalami perubahan. Karena orientasi pelaku seni menggunakan

    seninya tidak lagi sebagai pengalaman estetis namun lebih kepada barang

    dagangan yang bergantung pada tuntutan pasar. Sehingga sifat misterius dari

    sindhen semakin pudar ketika label sindhen dihargai dengan uang.

    Hal tersebut memberikan dampak pada perubahan pemaknaan profesi

    sindhen sendiri. Oleh karena itu masyarakat secara luas menyebutkan sindhen

    lintas genre sebagai label dari industri karena mereka berada pada posisi

    masyarakat Indonesia yang terdiri lebih dari satu etnis.

    Dibalik itu semua Benjamin melihat dampak positif dari produksi massal

    tersebut. Selain lebih terbuka untuk dinikmati, diapresiasi, seni juga bisa diresepsi

    tanpa melihat perbedaan kelas masyarakat yang selama ini membatasi dan

    membuat dikotomi antara kelas bawah dan kelas atas (Benjamin 1968).

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 61

    Dari konsep diatas dapat dipahami bahwa munculnya sindhen lintas

    genre menjadi sebuah fenomena yang mampu menjembatani dikotomi kelas

    masyarakat. Pasalnya mereka mempunyai cara mempersatukan masyarakat

    dengan karya sindhennya sehingga menyamarkan dikotomi tersebut. Dengan

    beragam cengkoknya yang membuat masyarakat kembali menengok pada profesi

    sindhen. Image sindhen sebagai salah satu legitimasi ke adiluhungan sebuah

    kebudayaan di Jawa menjadi memasyarakat ketika muncul dengan tampilan pop

    di televisi. Sehingga sindhen lintas genre mempunyai peran yang besar dalam

    mempersatukan kelas masyarakat Indonesia.

    C. Sindhen Lintas Genre dan Industri Hiburan

    Sindhen tidak bisa lepas dari tantangan dalam dunia hiburan. Baik dan

    tidaknya bergantung pada animo masyarakat. Saat ini sindhen berada di posisi

    beruntung berkat bantuan media elektronik yang secara cepat memasarkannya.

    Promosi ini berhasil dengan baik sehingga sindhen lintas genre ini memiliki

    tempat tersendiri di masyarakat. Munculnya sindhen lintas genre ini dianggap

    masyarakat sebagai hal baru karena sindhen sebelumnya tidak banyak bahkan

    mungkin belum ada yang melakukannya. Oleh sebab itu semakin banyak

    kesempatan untuk pentas semakin banyak juga peluang finansial yang

    diperolehnya.

    Dibalik itu semua sindhen lintas genre tidak akan muncul apabila

    keadaan sindhen itu sendiri kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan,

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 62

    memiliki pengalaman dan mempunyai cara belajar yang efisien. Dengan

    masuknya ke ranah industri sindhen dituntut untuk lebih kreatif dengan memiliki

    kemampuan dan ciri khas yang berbeda-beda sesuai kapasitasnya.

    Ciri khas masing-masing sindhen ini terletak pada kemampuannya

    mengolah cengkok. Mereka sangat menyadari bahwa musik merupakan barang

    yang tidak bisa diproduksi secara massal karena memiliki rasa individualitas yang

    berbeda-beda. Oleh karena itu cengkok-cengkok yang dikemas (gaya pop)

    sedemikian rupa kemudian dibawakan dengan nuansa berbeda mampu menjadi

    daya tarik tersendiri. Dari ornamentasi/cengkok yang hanya dimaknai sebagai

    hiasan namun mampu membuat warna musik lebih kelihatan berbeda. Cengkok

    tersebut sebagai salah satu cara bagi diri mereka untuk tetap mempertahankan

    keeksisannya di dunia industri hiburan.

    Dampak yang munculnya bahwa sindhen lintas genre dengan beragam

    cengkoknya menjadi sebuah jembatan dikotomi kelas masyarakat. Cara yang

    menarik untuk mempersatukannya karena berkat cengkoknya semua masyarakat

    dari Sabang sampai Merauke mampu mengenal sindhen secara cepat tanpa ada

    ketakutan kelas sosial. Keberadaan sindhen ini menjadi lebih dekat dengan

    masyarakat meski ada pergeseran makna sindhen yang digunakan sebagai label

    industri dan makna sindhen yang ada di masyarakat Jawa sendiri. Sisi positifnya

    bahwa sindhen kembali dikenal masyarakat secara luas berkat ketrampilan yang

    dimiliki dan didukung oleh media.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 63

    V. PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut

    ini:

    1. Faktor yang membuat seorang sindhen masuk ke ranah populer adalah

    faktor eksistensi. Mempunyai jadwal pentas padat, wilayah pentas yang

    luas, merambah ke berbagai genre musik dengan kemampuan cengkoknya

    sehingga mencakup lebih banyak kalangan, maka akan berdampak pada

    peningkatan aspek ekonomi.

    2. Upaya yang dilakukan para sindhen lintas genre adalah dengan belajar

    mendengarkan berbagai cengkok-cengkok dan karakter lagu dari berbagai

    macam genre. Selanjutnya melatih cengkok-cengkok tersebut terus menerus

    hingga para sindhen lintas genre mendapatkan rasa/ruh dari lagu tersebut.

    3. Sebagian sindhen yang tidak bisa bernyanyi karena memiliki beban kultural.

    Menyandang predikat sindhen (adiluhung) memberikan pandangan bahwa

    sisi selain sindhen dianggap sebagai kelas rendah sehingga secara tidak

    sadar mempengaruhi tekhnik bernyanyinya, oleh karena itu ketika bernyanyi

    genre lagu (selain sindhen) rasa/ ruh (cengkok sindhennya) tidak bisa lepas.

    Saran

    1. Meneruskan penelitian ini dengan pendekatan etnografi supaya data yang

    diperoleh lebih maksimal.

    2. Adanya peluang bagi penelitian lain untuk mengkaji dengan topik serupa

    karena keterbatasan mengenai pustaka yang membahas mengenai sindhen

    secara spesifik.

    3. Perlu adanya penelitian mengenai sindhen dengan sudut pandang disiplin

    ilmu yang lain supaya bisa menemukan sisi yang lebih menarik dari

    sindhen.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 64

    Daftar Pustaka

    Barker, Chris . 2014. Kamus Kajian Budaya , Yogyakarta: PT Kanisius

    Yogyakarta

    Benjamin, Walter .1968. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.

    Dalam H. Arendt. Ed., illumination, New York : Schocken

    Budiarti, M. (Desember 2013),”konsep kepesindenan dan Elemen-Elemen

    Dasarnya” dalam Harmonia, Volume 13, no 2

    Budiarto, C.Teguh . 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta:

    Tarawang Press

    Caturwati. 2005. Sinden-penari diatas dan diluar panggung : kehidupan sosial

    budaya para sindhen-penari kliningan jaipongan di wilayah subang jabar,

    Yogyakarta, UGM

    Djohan. 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku baik

    Hargreaves, David. J. Dan Adrian C. North (Terj.)1997. The Social of psychology

    of Music. Oxford : University press

    Jazuli, M. 2009. Popularitas Sinden. Harmonia : Jurnal Pengetahuan dan

    Pemikiran Seni. Vol. 9 No. 2 Hal. 85-94

    Luq. (25 September 2004), “ Sinden Ditinggalkan karena Penghasilan Minim *

    Dikbud”, Kompas.

    MM/ DTH/ TOP/ BRE. ( 8 Maret 1999) , “ Sinden: Berlalunya Mitos Lama..” ,

    Kompas.

    Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi.

    Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

    Poerwadarminta,W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgrevers

    Maatschappij N.V. Groningen

    Sartono,frans; Suwarna, Budi. (21 Maret 2010), “ Balada Pesinden “Mbalelo” ”,

    Kompas.

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

  • 65

    Sartono, Frans . ( 11 November 2007), “Musik: Peni: Sinden di Tengah Jazz”,

    Kompas.

    Soeroso. 1999. Kamus Istilah Karawitan Jawa. Yogyakarta

    Srinati, Dominic (terj). 2007. Popular Culture pengantar menuju teori Budaya

    Populer. Yogyakarta: Jejak

    TOP/ASA/BRE. (16 November 1996), “ Menziarahi Dunia Sinden”, Kompas.

    Yin, Robert K. 2014. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Grafindo

    Persada

    Zoetmulder P.J, 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

    Pustaka Utama

    Sumber tidak tercetak

    Candrarini, Peni, “Kekuatan sindhen kontemporer” kompas.com

    Purnomo Sapto (19 Mei 2014) ”Soimah siap rilis album dangdut” Liputan 6.com

    Respati Sruti (3 Maret 2013)”Sruti Respati dan musim sinden naik daun “ BBC

    Indonesia

    Soimah (15 oktober 2015) “ Soimah berani tampil beda” bintang.com

    http://www.krjogja.com/web/news/read/277669/inilah_sinden_manca_negara

    http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/04/slo8.htm

    http://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-

    tradisional-ke-jepang

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

    http://www.krjogja.com/web/news/read/277669/inilah_sinden_manca_negarahttp://www.suaramerdeka.com/harian/0307/04/slo8.htmhttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-tradisional-ke-jepanghttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-tradisional-ke-jepang

  • 66

    Narasumber

    1. Nama : Peni Candrarini (33 th)

    Profesi :Sindhen lintas genre dan Pengajar vokal karawitan di ISI

    Surakarta

    Alamat :Sentana Art Jl Anggrek Raya Kajen Baru RT 04 Rw 04 Grogol,

    Solo Baru, SKH Jetis kec. Sukoharjo Kab. Sukoharjo dan ISI Surakarta.

    2. Nama :Endah Laras (40th)

    Profesi :Sindhen lintas genre

    Alamat :Perum New Garden no A 5 jl Raya Waru- Siwal Kel. Mayang kec.

    Gatak Sukoharjo.

    3. Nama :Silir Pujiwati (38 th),

    Profesi :Sindhen lintas genre

    Alamat :Perum Griya Larasati dan PSBK Yogyakarta

    4. Nama : Djaduk Ferianto (52)

    Profesi : Pengamat seni dan komposer

    Alamat : PSBK dan kembaran, Tamantirto, Kasihan Bantul Yogyakarta

    5. Nama : Sudarsono (60)

    Profesi :Pengajar vokal, Seniman tradisi

    Alamat :Laweyam Surakarta, ISI Surakarta

    UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA