IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sindhen · 2019. 9. 12. · 26 IV. HASIL, ANALISIS DAN...
Transcript of IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sindhen · 2019. 9. 12. · 26 IV. HASIL, ANALISIS DAN...
-
26
IV. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sindhen
Sindhen di wilayah Yogyakarta dan Surakarta masih banyak dijumpai
dalam pertunjukan gamelan seperti wayang, kethoprak, uyon-uyon dan pengiring
tari klasik. Dalam pementasannya, sindhen tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada
unsur musik pengiringnya, tetapi selalu diiringi dengan musik gamelan. Dalam
artian bahwa baik sindhen maupun gamelan, keduanya merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Pertunjukan gamelan memiliki durasi pentas yang berbeda. Dalam sekali
pertunjukan gamelan murni berkisar antara 1-8 jam bergantung pada kebutuhan
pertunjukan (wayang, tari, kethoprak atau uyon-uyon). Sebagian acara yang
menggunakan gamelan, intensitas pertunjukan di waktu malam hari lebih banyak
dibanding dengan waktu siang hari. Hal ini karena gamelan digunakan oleh
masyarakat sebagai hiburan saat cegah wungon atau bergadang ketika ada
hajatan.
Hajatan yang menggunakan pertunjukan gamelan dan melibatkan
sindhen banyak dijumpai dalam acara yang dilaksanakan oleh pribadi, kelompok
atau instansi. Acara tersebut di antaranya hajatan pernikahan, bersih desa,
syukuran, upacara adat, peresmian tempat bahkan kampanye dan festival.
Sindhen konvensional menurut masyarakat pada umumnya berada dalam
ranah hiburan yang bersifat adiluhung dan hanya dinikmati oleh kalangan
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
27
tertentu (penikmat karawitan dan bersifat kelangenan). Masyarakat karawitan
yang paham tentang sindhen akan menyebut sebagai sindhen ketika seseorang
tersebut mengetahui akar, dasar karawitan dan mampu nyindhen untuk kebutuhan
mandiri atau iringan sehingga apa yang dilantunkan merupakan kesatuan intra
dan ekstra musikal. Selain itu nada atau lagu sindhen berada dalam wilayah
pentatonis (pelog dan slendro). Sedangkan penyebutan bagi orang yang hanya
bisa melantunkan tembang jawa dengan sedikit cengkok sindhen disebut sebagai
penembang jawa belum tepat untuk mendapat julukan sindhen.
Para sindhen dengan segala atributnya di antaranya sanggul, kebaya,
kain batik, dan aksesoris menempatkan dirinya sebagai bagian dari ansambel
gamelan. Sindhen berkedudukan sebagai penghias dan memperindah repertoar
gending sehingga sindhen tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya ansambel
gamelan. Pada saat pertunjukan posisi nyindhen, umumnya duduk bersimpuh dari
awal pergelaran sampai selesai pertunjukan.
Dalam pertunjukan gamelan, biasanya menampilkan sindhen minimal 1-
3 (uyon-uyon dan iringan tari). Apabila dibutuhkan banyak, sindhen bisa
ditampilkan 6 sampai 10 orang bahkan lebih dalam satu pertunjukan (grup
wayang dengan dalang ternama misalnya Ki Seno Nugroho yang memiliki 12
sindhen). Untuk pertunjukan dengan banyak sindhen (khusus untuk pertunjukan
wayang) membutuhkan tempat tersendiri yakni berada terpisah dengan ansambel
gamelan.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
28
Para sindhen biasanya berada di panggung sebelah kiri, menempati posisi
duduk menghadap ke penonton. Sudah menjadi kebiasaan setiap pertunjukan
wayang bahwa crew panggung memberikan tempat duduk untuk sindhen setara
dengan posisi dalang dan lebih tinggi dibanding panggung ansambel gamelan.
Hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan karena beberapa dalang ada yang
menghendaki posisi duduk sindhen jadi satu dengan ansambel gamelan ( saat
pagelaran wayang di Sasana Hinggil oleh dalang Ki Cermo Sutejo) meski jumlah
sindhen lebih dari 5 orang.
Gambar 1: foto sindhen saat petunjukan wayang di Sragen Jawa Tengah
(Dokumentasi: Siswati 2017)
Namun sindhen akan mempunyai posisi duduk setara dengan ansambel
gamelan saat uyon-uyon atau pengiring pertunjukan tari dan kethoprak. Hal ini
karena porsi sindhen untuk kebutuhan iringan. Sebagai bentuk pertunjukan
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
29
mandiri atau uyon-uyon, sindhen mempertimbangkan relasi musikalnya sehingga
lebih mengutamakan hasil produksi suaranya.
Gambar 2: Abdi dalem pasindhen saat pisowanan
di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta
(Dokumentasi: Siswati 2017)
Gambar 3: Festifal Wayang Wong gaya Yogyakarta
(Dokumentasi: Pakdjo Brayut 2017)
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
30
Sindhen yang tergabung dalam sebuah grup terutama kesenian wayang,
kebanyakan menggantungkan hidupnya pada grup tersebut dan jadwal pentasnya
menyesuaikan dalangnya. Dilihat dari segi wilayah dan intensitas pentas, lebih
banyak diadakan di wilayah lokal. Pada tataran internasional keterlibatan sindhen
tidak selalu menjadi prioritas utama. Apabila dalam grup tersebut terdapat banyak
sindhen maka harus bersabar menunggu antrian yang dipilih dari dalang tersebut.
Akan berbeda cerita dengan sindhen yang tidak terikat grup tentunya
bisa lebih leluasa dan lentur menentukan job tanpa ketergantungan dengan
kelompok. Selain itu memberikan dampak positif terhadap relasi dengan kawan,
akan memperluas wawasan dan pengetahuan dengan sendirinya tanpa disadari.
Produktivitas pesindhen berkisar antara usia 17-50 tahun, rata-rata
memiliki ijazah sekolah tingkatan SMK bahkan banyak yang menempuh jalur
pendidikan Srata-1 (S1). Pendidikan formal tersebut dibutuhkan guna menunjang
kemampuannya dalam berkesenian secara akademis. Dengan demikian pesindhen
tersebut sudah meningkatkan kualitas dirinya dengan menempuh jalur pendidikan
secara formal.
Perempuan yang berprofesi sebagai sindhen kebanyakan mereka yang
tidak bekerja di kantoran, karena tidak banyak sindhen yang mampu mengatur
waktunya. Namun dengan meningkatnya tingkat pendidikan para sindhen, tidak
menutup kemungkinan mereka bekerja di kantor dan tetap aktif menyindhen.
Dengan catatan mereka akan memilih hari atau event yang bisa diatur jadwal
pentasnya tanpa meninggalkan rutinitas kantor.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
31
Pada umumnya seorang pesidhen identik dengan kesopanan berbusana
(berkebaya panjang dan sanggul) dan selalu berwibawa di atas pangung. Ia harus
selalu menjaga etika dan nilai keklasikan budaya sindhen itu sendiri,
sebagaimana yang telah diwariskan secara turun temurun dalam budaya
sebelumnya.
Meski demikian dari keseringan bersindhen, tidak menutup kemungkinan
seorang pesindhen perlu selalu mengembangkan bakat dan talenta yang ia miliki.
Dalam artian bahwa, selain bersindhen dalam aturan klasik pementasan pada
ritual sakral dan hiburan (yang terikat pada tata busana dan etitut), seorang
pesindhen pun bisa bernyanyi dan mengekspresikan diri dalam lagu genre lain.
Namun dari sekian banyak pesindhen yang sering melibatkan diri dalam
pementasan, mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam banyak
kesempatan, sering dijumpai ada pesindhen yang bisa bernyanyi dan
mengekspresikan diri dalam lagu genre lain, seperti dangdut, keroncong, dan
jazz, sedangkan sebagian pesindhen lain tidak bisa.
1. Sindhen Lintas Genre
Sindhen sekarang telah mengalami beberapa perubahan seiring
berjalannya waktu. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi di antaranya adalah pilihan pesindhen itu sendiri, lingkungan,
kesempatan dan keberuntungan. Dilihat dari sajian-sajian dan repertoar lagunya
yang kebanyakan lebih memilih lagu bukan pada wilayah pentatonis namun lebih
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
32
kepada genre-genre diwilayah nada diatonis yang disukai oleh banyak orang
seperti dangdut, jazz, pop dan keroncong.
Sindhen lintas genre tidak selalu tampil menjadi bagian dari ansambel
gamelan. Akan tetapi melebur dengan orkes musik lain yang sama sekali berbeda
wilayah nadanya di antara alat musik diatonis dan alat musik tradisi daerah lain.
Posisi menyanyi dan menyindhen dalam keadaan berdiri sudah bukan hal yang
tabu lagi. Selain mengimbangi musisi yang mengiringi, juga beradaptasi dengan
keadaan panggung yang tidak menuntut untuk para sindhen duduk bersimpuh. Hal
ini semakin menambah tampilan sindhen sebagai penyanyi lintas genre semakin
berpotensi untuk berekspresi dan berinteraksi dengan para penonton.
Hakikat sindhen tetap sebagai penghias lagu, namun lagu yang
dibawakan sindhen sekarang sudah berbeda salah satunya menggunakan lirik lagu
pop (bukan sindhenan). Sindhen ini masih berada dalam lingkup hiburan namun
cakupan audiennya lebih meluas ke semua kalangan (bukan hanya penikmat
hiburan pada ansambel gamelan/karawitan). Sehingga profesi sindhen menjadi
terkenal di khalayak umum.
Beberapa sindhen yang bisa bernyanyi lintas genre di antaranya adalah
Endah Laras, Silir Pujiwati dan Peni Candrarini. Penyebutan selanjutnya akan
ditulis secara inisial yaitu Endah Laras (EL), Silir Pujiwati (SP) dan Peni
Candrarini (PC). Ketiga wanita tersebut merupakan ibu rumah tangga yang pernah
menempuh bangku pendidikan di bidang karawitan. (EL) dan (PC) berangkat dari
keluarga seni terutama gamelan dan wayang sehingga sudah mengenal karawitan
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
33
sejak kecil. Sedangkan (SP) dari keluarga petani akan tetapi mempunyai hobi
bernyanyi. Melihat hal tersebut aktivitas tarik suara sudah tertanam sejak dini.
Mulai bangku SMK, (SP) dan (PC) lebih serius mendalami sindhen
secara akademisi hingga menempuh bangku kuliah jurusan karawitan. Berbeda
dengan (EL) yang mengikuti ayahnya pindah ke Jakarta. (EL) mulai menekuni
kembali di bidang tarik suara ketika masuk bangku sekolah SMA di Jakarta,
setelah lulus dari SMA (EL) malanjutkan untuk menekuni dunia karawitan
melalui jalur pendidikan di STSI mengambil jurusan karawitan. Dikarenakan
jadwal pentas yang semakin padat sehingga studinya ditinggalkan. (EL) kemudian
lebih memilih untuk mencari uang dengan menerima job menyanyi yang saat itu
lebih sering ke campursari.
Tidak jauh berbeda dengan (PC) dan (SP), disela-sela perkuliahannya
mereka juga menerima jadwal pentas. Pentas yang dilakukan di antaranya
wayang, uyon-uyon, tari dan campursari (PC hanya melakukan 1x seumur hidup).
Di massa akhir perkuliahan (PC) dan (SP) menemukan dunianya selain di
karawitan jawa. (PC) bertemu dengan Sonoseni ansambel yang merupakan
komunitas musik kontemporer bernuansa etnik dan (SP) bertemu dengan Kua
Etnika. Dari komunitas Sonoseni Ansamble (PC) mulai mencari jati dirinya selain
menjadi sindhen tradisi.
Setelah bergabung dengan Sonoseni kemudian didukung oleh lingkungan
yang memberinya kesempatan untuk bertemu dengan para tokoh karawitan dan
lainnya. Hal tersebut menjadikannya lebih serius dalam menekuni bidang tarik
suara selain sindhen. Meskipun sekarang ini menempati wilayah kontemporer
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
34
(avant garda) namun posisi sindhen masih sebagai pijakannya. Berikut
merupakan alasan (PC) yang memilih untuk terjun di wilayah selain gamelan
yakni faktor ekonomi:
(....”Dari kecil.. sejak kecil karena saya miskin dan bapak saya
selalu mendoktrin saya untuk jadilah seniman..seniman..seniman.. tetapi
saya dulu tidak tahu bagaimana caranya saya jadi seniman yang kaya,
menjadi seniman yang hebat,, jadi setiap hari saya nembang lebih keras
suaraku jadi ketika ada yang melewati ada yang mendengarkan suara
saya.. bahwa kami seniman”...) PC
Ditambahkan juga dengan alasan mengenai eksistensi dan kebebasan
berekspresi. hal tersebut sebagai lanjutan dari tekat dan langkahnya ketika ingin
memasuki wilayah musik pop. Berikut hasil wawancara yang menjelaskan
mengenai eksistensi dan kebebasan berekspresi:
(...”Saya melihat mbak ubiet improvisasi,, aooow mbak ubiet sudah
sangat senior sekali dan saya masih sangat muda sekali.... ini yang saya
cari ...sebuah kebebasan ruang untuk berekspresi vokal”...)
(....”Saya punya jalan sendiri,.. menurut saya... makanya saya tidak
mau dibandingkan dengan kakak saya sendiri pun saya tidak mau, saya
ingin menjadikanmu bintang di sana mbak dan saya akan menjadi
bintang didunia seni yang lain, dan kita akan saling menyinari satu sama
lain dan sama-sama indah dulu itu salah satu alasan mengambil jalur ini
saya tidak mau dibandingkan dan saya tidak mau menjadi pesaing,saya
tidak mau jadi pesaing siapapun, saya ingin jadi no 1 di dunia saya
sendiri”....
Temuan selain dari (PC), kenyamanan (SP) bergabung dengan Kua
Etnika dan Sinten Remen semakin mematangkan tarik suaranya. Kesempatan di
beberapa acara besar dan bertemu dengan artis-artis musik selain gamelan
memberikan dukungan wawasan yang luas akan dunia musik terutama di bidang
tarik suara. Alasan yang diutarakan oleh (SP) hampir sama dengan (PC) yaitu
mencari kepuasan diri dalam berekspresi di bidang vokal. Kesenangan bernyanyi
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
35
membuat (SP) berkeinginan untuk bisa menyanyikan lagu-lagu sindhen dan
diatonis. Berikut hasil wawancaranya:
(......”Karena saya senang,,, tidak hanya satu yang saya sukai..
hanya karawitan saja.... jadi dulu saya ingin bisa karawitan, saya bisa
menyanyi biasa di diatonis, diatonisku juga bisa”...).
Berbeda dengan (EL) yang kesehariannya semasa kecil berada pada
keluarga seni terutama karawitan, tari dan pedalangan, pindahnya domisili
memberikan pengaruh terhadap kemampuan tarik suaranya. Sudah berbekal seni
tradisi kemudian di bangku SMA mendapatkan fasilitas yang berupa
ekstrakulikuler paduan suara yang didampingi oleh pengajar vokal diatonis klasik.
Saat perjalanan kembali dari Jakarta ke Surakarta (EL) diajak untuk pergi ke
hajatan pernikahan yang kebetulan dihibur oleh Orkes Keroncong Purnama Karya
dan berkesempatan untuk menyumbang lagu. Semenjak itulah profesinya mulai
tampak sebagai seorang vokalis. Kemampuan (EL) dipengaruhi oleh keadaan
yang membuatnya harus bersikap kreatif menyikapi sebuah keadaan. Keadaan
lingkungan dan peluang yang diambil saat diberi kesempatan merupakan
penyebabnya:
(....”Nah mungkin istilahnya aku sudah terbiasa dicekoki bapakku
seperti itu, hampir setiap bangun saja bapakku sudah mendengarkan
uyon-uyon, tabuhan dan ketika saya pindah ke Jakarta saya bingung mau
bagaimana,,makanya istilahnya aku banting stir untuk belajar seni
modern seperti paduan suara dan lain-lain.. sebenarnya,, pada awalnya
untuk mengalihkan,, mengalihkan perasaan yang biasanya ada aktifitas
seperti itu terus tiba-tiba tidak ada”....)
(....”Lingkungan sangat penting dan kesempatan... kesempatan
sebetulnya bisa kita cari asalkan kita sungguh-sungguh, contohnya pada
saat aku belajar keroncong pertama kali..aku hanya sebagai tamu njagong
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
36
... untuk nyumbang lagu,,,datang diundangi, dijemput...ketika ditawarkan
untuk ...mbak ayo gabung.. sebetulnya aku tidak bisa..tetapi ok... aku
mau tapi aku belajar,, istilahnya aku membuka diri aku juga mau tetapi
harus belajar,, seandainya dia menawarkan sampai 100 kali ibaratnya,
tetapi kita tidak mau membuka untuk belajar yaa mustahil untuk jadi”....).
(EL), (SP) dan (PC) semakin serius menekuni bidangnya setelah
menemukan dirinya berada pada posisi strategis dalam bernyanyi lintas genre.
Momentum yang bagus menjadikan mereka semakin terkenal di masyarakat luas.
Oleh sebab profesi yang dijalani sekarang, sebagian orang terutama masyarakat
karawitan tidak lagi menyebutkan profesi mereka sebagai sindhen lagi. Namun
bagi orang awam ketika mereka melantunkan sedikit ciri khas sindhen atau pentas
bersama dengan ansambel gamelan bertentunya akan dipanggil sebagai seorang
pesindhen.
Gambar 4: (EL) saat pentas diacara Haul Gusdur Magelang
(Foto: Siswati 2017)
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
37
Gambar 5: (PC) dan (SP) saat memberikan contoh salah satu karyanya
(foto: Siswati 2016)
2. Sindhen yang Tidak Bisa Bernyanyi Pop
Pada dasarnya Tuhan menciptakan semua yang berprofesi sebagai
sindhen dan penyanyi memiliki kesempurnaan instrumennya (pita suara, mulut
dan telinga) namun dalam hal pengolahan diserahkan sepenuhnya pada pemilik
instrumen tersebut. Hal yang mempengaruhi terhadap kualitas instrumen yang
utama adalah pribadi seseorang yang berkaitan erat dengan lingkungan.
Selanjutnya faktor lain sebagai penentu keberhasilan di antaranya kesempatan,
pengalaman dan keberuntungan.
Pada faktanya, banyak sindhen yang mempunyai hobi menyanyikan lagu-
lagu pop seperti keroncong, campursari dan dangdut (mayoritas). Namun yang
sering terjadi adalah ketika sindhen berkolaborasi atau masuk dengan musik non
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
38
gamelan, suara sindhen saat bernyanyi (bukan nyindhen) tersebut tidak bisa
melebur dengan taste musik (selain nada pentatonis gamelan). (S) sebagai
pengajar vokal dan pelaku karawitan mengutarakan pendapatnya mengenai
fenomena tentang sindhen tersebut:
(....”Yang lain itu susah,, saya tidak tahu susahnya apa sukar,, apa
belum bisa memahami atau tidak senang,, nah itu termasuk cirinya orang
tradisi,, diajak berkembang itu susahh,, kalau berbeda dikira merusak”,,,).
Selain itu para pelaku sindhen yang bisa menyanyi (EL), (SP), (PC)
secara tegas menekankan bahwa yang mendasari seorang sindhen bisa bernyanyi
lintas genre adalah faktor kepribadian masing-masing sindhen. Tidak adanya
keterbukaan dan keinginan dari dalam diri sehingga hal tersebut berdampak pada
kualitas atau hasil suara yang dikeluarkan. Dengan demikian perlu adanya tekad
yang bulat sehingga ada kesatuan antara hati, pikiran, instrumen dan dasar
keikhlasan yang tulus. Begitu juga kurangnya pengalaman bersosialisasi dengan
lingkungan di luar kebiasaan yang dilakukan juga sangat mempengaruhi
kemampuan berolah vokalnya seperti yang diutarakan DF.
(....”Ya mungkin karena pesindhen tadi itu kurang mendapatkan
pengalaman, atau mungkin kurang mengeksplor repertoar diluar tradisi
gamelan itu,, kalau melihat kondisinya pasti bisa menyanyi,,,, itu bisa
dikarenakan mereka hanya terfokus didunia gamelan disitu terus
sehingga rasanya tidak bisa lepas karena kebiasaan, mungkin
ksempatannya....tidak mau berlatih, tidak mau belajar, tidak mau nonton
diluar dunia gamelan.”....).
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
39
3. Cara Belajar Sindhen Lintas Genre
Melihat kemampuannya dan ketrampilan berolah vokal, sudah tentu hal
tersebut menggunakan metode belajar yang memerlukan banyak waktu. Secara
frekuensi nada yang sudah berbeda antara pentatonis dan diatonis ditambah lagi
dengan masing-masing genre yang mempunyai ciri khas. Cara yang dilakukan
oleh para sindhen lintas genre ini masih tetap menggunakan tradisi lisan yang
bermula dari mendengarkan kemudian menirukan. Pernyataan dari narasumber
terkait cara mempelajari materi vokal dan menambah wawasan tentang vokal
tersebut:
(...” Mendengarkan, latihan, terus banyak melihat, melihat
pertunjukan –pertunjukan menurutku itu penting karena itu pasti ada
kesinambungan.. ya pokoknya melihat pertunjukan.. apalagi sekarang
dimudahkan dengan adanya youtube, mendengarkan penting... setiap hari
aku juga mendengarkan musik,, kalau tidak ya melatih nadane supaya
tetap ini,, disamping aku di karawitan,,, bersenandung itu pasti dan,,,
bergaulah dengan banyak orang,,, sering sharing, ngobrol,, itu sangat
mempengaruhi hasil karya,,, itu beneran,,, beda.. jadi tidak sempit oohh
ini bisa seperti ini”...). (SP)
Kebiasaan dalam menyaksikan pertunjukan baik langsung atau siaran
tunda sedikit banyak ikut andil dalam menambah wawasan seseorang. Dengan
fasilitas yang memudahkan dalam menyaksikan apapun seseorang bisa
memanfaatkan media android yang canggih. Bahkan seseorang bisa mempelajari
gestur atau bahasa tubuh sebagai pendukung musikal sehingga lagu atau pesan
yang dilantunkan sampai kepada pendengar.
Hal tersebut berlaku untuk lagu pop karena liriknya sudah mewakili isi
pesan yang tidak perlu untuk dicerna lagi. Sedangkan untuk sindhenan lebih
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
40
ditonjolkan aspek musikal, lirik yang berupa wangsalan (sejenis pantun khusus
untuk sindhen) pada dasarnya tidak menceritakan pesan dari gending tersebut.
Seperti pernyataan narasumber berikut ini:
....”Saya jalani dengan total dan serius .. dengan serius
konsekuensinya total, dalam mempelajari sesuatu tu aku ndak main-main
dan bener-bener ngangsu kawruh walopun berbagai guru itu tidak
mengajarkan saya secara langsung conto bu waljinal, ketemu bu
waljinah... bu waljinah.. aku ndak pernah kok diajari nduk na na..na naaa
ndak penah saya belajar ketika bu waljinah di pentas, tak amati.. wo
solah bawane ngene, carane ngomong ngene, wo carane ambil nafas ki
gini, carane menyanyi seperti mnyampaikan sesuatu biar makna lagu
tersampaikan seperti ini..sebetulnya itu bisa dianggap sebagai pelajaran
atau tidak itu tergantung kita”. (EL)
4. Cengkok Sindhen Lintas Genre
Aktivitas bermusik menggunakan organ tubuhnya sebagai instrumen
merupakan cara yang paling praktis namun membutuhkan kejelian dalam
mengolahnya. Olah vokal atau menyanyi berkaitan erat dengan aturan-aturan
musik yang dikelompokkan berbagai genre. Genre yang sering dilagukan para
pesindhen selain sindhenan yaitu dangdut, pop, jazz, keroncong, dan (EL) pernah
mencoba untuk menyajikan lagu seriosa.
Selain dari warna suara, untuk membedakan genre lagu dapat dilihat dari
unsur musikal yaitu ornamentasi atau cengkok. Sehingga munculnya cengkok
seseorang bisa memberikan identitas atau karakter seseorang dalam menyanyi.
Hal ini tentunya untuk membedakan jenis musik apa yang dinyanyikan.
Sindhen yang mengusai ornamentasi lagu dan cengkok sindhenan
memiliki banyak peluang didunia industri. Perubahan itu mengangkat popularitas
sindhen. Sehingga dengan kemampuannya itu membuat sindhen memiliki posisi
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
41
tersendiri di masyarakat pada umumnya. Hasil nyanyian yang dilantunkan
merupakan peleburan dari ornamentasi lagu-lagu dan berbagai cengkok yang
dilakukan sehingga membuatnya mempunyai keunikan dan menjadi ciri atau style
sindhen tersebut .
Hal itu sebagai akibat dari interaksi sosial yang dilakukan ketika
seseorang mau membuka diri dengan ikhlas dan tidak ada beban kultur. Seperti
pernyataan (SP) berikut ini bahwa dengan mempunyai kemampuan tersebut
menjadi sesuatu yang mahal dan tidak banyak dilakukan oleh banyak orang:
(....”Kalau saya nyanyi pop, saya kalah dengan penyanyi pop, saya
nyindhen saya juga kalah sama siswati iya to, jika saya nyanyi dangdut
saya kalah dengan ini, saya ingin nyanyi melayu saya kalah... ha...
bagaimana caranya saya berada diposisi ini, ditengah-tengah,....saat aku
membuat komposisi ooo ini sindhenan saya bisa melakukan kesana
kemari, ini disana ..ini disini,,, saya harus lari kesana kemari,,, woooh
saya sudah nyaman berada disini istilahnya berada diantara tradisi dan
pop menjadi posisi abu-abu, tapi saat kamu disini ok... tapi saat aku
nyanyi pop harus ada etnike entah itu etnik mana karena menurutku itu
jadi barang mahal dan tidak banyak yang melakukan itu”...).
Kemampuannya dalam mengolah cengkok digunakan sebagai peluang
emas dalam mendapatkan posisi di hati masyarakat secara luas. Karena dengan
mengetahui karakter masing- masing cengkok lagu membuatnya berada dalam
posisi yang strategis dan dapat diterima di masyarakat pada umumnya.
B. Motivasi Menjadi Sindhen Lintas Genre
Adorno dalam Budiarto (2001) mengatakan bahwa budaya populer
(budaya pop) merupakan kumpulan fenomena kehidupan yang banyak
dipengaruhi oleh media massa. Budaya pop tidak terlepas dari budaya industri.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
42
Oleh karena itu hasil karyanya sudah tentu sebagai barang dagangan. Tujuan
utamanya untuk mencari keuntungan.
Hukum sebab akibat memberikan gambaran yang jelas terhadap sebuah
fenomena kehidupan musik dalam hal ini sindhen. Popularitas sindhen yang
muncul dan menjadi sebuah fenomena menarik merupakan bukti kuat adanya
hukum tersebut. Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis kepada
narasumber, ada motivasi yang membuat mereka terjun ke ranah musik populer.
Melihat latar belakang kehidupan masyarakat yang menjadi seniman
sebagian besar berada dalam ekonomi kelas menengah kebawah. Oleh sebab itu
harapannya bahwa dengan menjadi seorang seniman terutama sindhen akan
mendapatkan kesejahteraan finansial dengan lebih cepat. Dengan catatan bahwa
modal finansial yang dikeluarkan masih terjangkau bagi seniman itu sendiri.
Dari narasumber primer tersebut, satu diantaranya berada pada posisi
sebagai anak sulung. Kebanyakan orang Jawa, ketika seseorang dilahirkan
menjadi anak pertama apalagi memiliki saudara yang banyak dan jarak
kelahirannya dekat membuat si sulung mempunyai rasa tanggung jawab yang
lebih terhadap keluarganya. Salah satu tanggung jawab yang tersemat dalam diri
si sulung adalah tanggung jawab ekonomi.
Meskipun orang tua tidak secara langsung mengatakan bahwa kebutuhan
ekonomi sebagai tanggung jawab si sulung sepenuhnya. Namun perlakuan orang
tua yang tampak di hadapan si sulung memberikan kode bahwa ia merasa ikut
andil dalam memikul tanggung jawab ekonomi keluarga. Terlahir menjadi anak
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
43
yang mempunyai posisi nomer dua atau teakhir pun memiliki tanggung jawab
finansial yang sama ketika jumlah saudaranya sedikit.
Apalagi jika seorang bapak memiliki darah seni yang kuat akan
mempengaruhi jiwa kesenimanan sang anak yang berujung pada pengharapan
finansial. Hal ini sesuai dengan pernyataan narasumber mengenai kehidupan
ekonomi yang membuat dirinya fokus untuk menjadi sindhen:
(....”Dari kecil.. sejak kecil karena saya miskin dan bapak saya
selalu mendoktrin saya untuk jadilah seniman..seniman..seniman.. tetapi
saya dulu tidak tahu bagaimana caranya saya jadi seniman yang kaya,
menjadi seniman yang hebat,, jadi setiap hari saya nembang lebih keras
suaraku jadi ketika ada yang melewati ada yang mendengarkan suara
saya.. bahwa kami seniman”...) PC
Selanjutnya (Caturwati, 2005: 572-573) mengatakan bahwa pendapatan
ekonomi yang diperoleh dengan menjadi sindhen lebih besar dibanding pekerjaan
masyarakat kelas menengah kebawah lainnya. Tujuan utama para wanita menjadi
sindhen adalah faktor ekonomi. Ketika seseorang memiliki kebutuhan ekonomi
yang lebih besar, maka apapun akan dikorbankan karena ekonomi tersebut
berkaitan dengan keberlangsungan hidup seseorang. Terkait pernyataan Caturwati
tentang pendapatan ekonomi, hal ini memacu seorang sindhen untuk memilih
posisi yang memberikan kenyamanan secara finansial.
Meski tuntutan menjadi seorang sindhen beberapa waktu lalu berbeda
dengan sekarang ini namun jumlahnya semakin banyak. Ini disebabkan karena
penghargaan terhadap sindhen semakin baik. Dulu, ketika seseorang menjadi
sindhen konvensional, kehidupan ekonomi sudah tercukupi. Animo masyarakat
yang membutuhkan keberadaan sindhen konvensional tersebut masih sangat
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
44
banyak. Selain itu orientasi sindhen akan keharmonisan kerukunan dan gotong
royong bermasyarakat (masyarakat pedesaan) masih sangat kental.
Sekarang ini masyarakat menginginkan lebih dari pada sebatas sindhen
konvensional. Oleh karena itu seorang sindhen harus mampu mengikuti tuntutan
jamannya supaya perolehan kebutuhan ekonomi tetap stabil dan tercukupi.
Berikut ini pernyataan (S) selaku pengajar tembang dan pelaku seni tradisi:
(.....”Tuntutan terhadap seniman kira-kira sepuluh tahun yang lalu,
atau limabelas tahun yang lalu dan setelahnya itu berbeda tuntutane,,
dulu... tuntutannya kalau sudah bisa nyinden gending-gending itu sudah
luar biasa sekali,,, bisa nyindhen wayang, bisa nyindhen gending tradisi
wahh... ,makanya kalau saya mengajar ayoo harus bisa main gamelan, bisa
nyanyi, ya ikut dalang, bisa mengerti lagu daerah lain, tuntutannya
memang seperti itu.. apapun harus bisa”...)
Seiring berjalannya waktu dengan perubahan animo kesenian
masyarakat, seorang sindhen perlu adanya terobosan baru. Berbagai cara
dilakukan untuk tetap memiliki tempat di hati masyarakat luas yang harapannya
berdampak pada kesejahteraan ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan
menjadi sindhen lintas genre. Hal ini menurut pernyataan narasumber yang
mempunyai politik identitas:
(....”Kalau saya nyanyi pop, saya kalah dengan penyanyi pop, saya
nyindhen saya juga kalah sama siswati iya to, jika saya nyanyi dangdut
saya kalah dengan ini, saya ingin nyanyi melayu saya kalah... ha...
bagaimana caranya saya berada diposisi ini, ditengah-tengah,....saat aku
membuat komposisi ooo ini sindhenan saya bisa melakukan kesana
kemari, ini disana ..ini disini,,, saya harus lari kesana kemari,,, woooh
saya sudah nyaman berada disini istilahnya berada diantara tradisi dan
pop menjadi posisi abu-abu, tapi saat kamu disini ok... tapi saat aku
nyanyi pop harus ada etnike entah itu etnik mana karena menurutku itu
jadi barang mahal dan tidak banyak yang melakukan itu”...). (S.P)
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
45
Dari analisis diatas didapatkan pemahaman baru bahwa peluang finansial
dengan menjadi sindhen lintas genre yang menguasai berbagai cengkok musik
apapun dan bisa beradaptasi sesuai dengan perubahan animo kesenian masyarakat
menjadi sangat menguntungkan. Dikatakan menguntungkan karena dengan
kemampuannya tersebut seorang sindhen lebih bisa fleksibel.
Jadwal pentas yang semakin banyak dan masyarakat pendengarnya juga
luas membuat para sindhen lintas genre ini semakin eksis. Eksistensinya semakin
naik karena beberapa faktor diantaranya bahwa generasi sindhen sebelumnya
tidak banyak bahkan mungkin belum ada yang melakukannya. Selanjutnya
dengan munculnya sindhen lintas genre ini dianggap masyarakat sebagai hal baru
yang menjawab kebutuhan musik mereka. Sehingga semakin banyak kesempatan
untuk pentas semakin banyak juga peluang finansial yang diperolehnya.
1. Ketrampilan Musik Sindhen Lintas Genre
(Hargreaves & North, 2003:412) menjelaskan Faktor yang
mempengaruhi ketrampilan musik yaitu dengan melibatkan dukungan orang di
sekitarnya (orang tua, saudara kandung, teman sebaya, pemain profesional dan
guru). Diawali dari lingkungan keluarga terutama peran orang tua dalam
membekali pengetahuan dan ketrampilan musik pada anaknya menjadikan sebuah
pondasi kesenimanan yang kuat dalam diri anak tersebut.
Dua dari tiga narasumber primer merupakan keturunan seniman yang
berkecimpung di dunia gamelan. Dua keluarga tersebut menggantungkan
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
46
hidupnya dari seni meskipun adakalanya ketika dunia seni dalam keadaan sepi
salah satu dari keluarga mereka mempunyai lahan pertanian yang bisa untuk
mengalihkan kegiatan seni tersebut. Akan tetapi porsi berkesenian dari dua
keluarga ini lebih banyak daripada yang lainnya. Selanjutnya satu narasumber
yang berangkat dari keluarga petani gunung namun saudaranya berprofesi sebagai
penyanyi campursari. Intensitas lagu-lagu yang didengarkan dari saudaranya saat
berlatih memberikan bekal tersendiri bagi (S.P).
Kemudian peran dari teman sebaya atau kolega, masing-masing
narasumber memiliki lingkungan pada massanya. Walaupun sama-sama
menempuh jalur pendidikan di jurusan karawitan tetapi selisih usia mereka
memberikan kontribusi teman berkesenian yang berbeda pula. Hal ini berdampak
pada pengalaman eksperimen kesenian dan tantangan pada masing-masing
narasumber.
Berbagai komunitas yang dibentuk oleh kolega para narasumber ikut
memberikan sumbangsih dengan menempa berbagai ketrampilan berkesenian.
Bertemunya dengan banyak orang dan bergabung di berbagai komunitas, secara
tidak langsung memupuk keinginan untuk berekspresi dan menunjukkan bakat
kemampuan dan keahliannya. Hal tersebut diperkuat dengan penyataan (EL) yang
selalu mendapatkan tantangan saat berkesenian bersama rekan dan koleganya.
(...”Lingkungan,, karena lingkunganku selalu tertantang, ya to
contone aku njegur neng pak enthus, lha neng kono kasarane pada saat
aku masuk itu belum ada sindhen istilahe sindhen sing nyleneh,, apalagi
pak enthus sendiri memberikan kelonggaran yang luar biasa, itu
membikin aku etuk dalan, etuk ruang, dadi semangat, trus lingkungan
dari keluargaku juga mendukung misale adikku tiba-tiba kesini tabuhan
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
47
naah...yang paling penting adalah pergaulan, paling penting dan sangat
mendukung,, penting banget misale bergaul dengan orang yang cerdas,
itu kene ne dadi cerdas, ketika kita njegur neng komunitase gondrong,
mas garin, komunitase mas PC kan dadi tertantang dadi pengen
menunjukan bahwa kita bisa”...)
Berkesempatan untuk bertemu dengan pemain profesional secara
langsung bahkan berada dalam sebuah acara yang sama memberikan pengaruh
yang berbeda pula terhadap masing-masing narasumber, misalnya (P.C) yang
berangkat dari tradisi tulen ketika bertemu dengan seorang seniman yang sudah
sangat mahir dibidangnya seperti mendapatkan pencerahan terhadap apa yang
diinginkan selama ini. Sebuah keberanian dan kebebasan untuk menyuarakan
berbagai macam dan gaya vokal. Berikut pernyataannya :
(...”saya melihat mbak ubiet improvisasi,, aooow mbak ubiet sudah
sangat senior sekali dan saya masih sangat muda sekali.... ini yang saya
cari ...sebuah kebebasan ruang untuk berekspresi vokal”...)
Masing-masing narasumber mempunyai tokoh yang diidolakan dan
mampu membuat mereka menjadi inspirasi dalam menggali lebih dalam
kemampuannya. Selanjutnya peran dari sosok guru yang akan selalu diingat
sebagai panutan para narasumber dalam menjalankan kesenimanannya. Meskipun
tidak secara tatap muka memberikan pengajaran, namun bagi para narasumber
merupakan sebuah ilmu yang sangat bermanfaat untuk mengokohkan jiwa
kesenimanannya. Seperti pernyataan (E.L) ketika menempatkan Ibu Hj. Waldjinah
sang maestro keroncong sebagai guru yang memberikan pengaruh yang kuat
terhadap hasil karyanya:
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
48
(....”Saya jalani dengan total dan serius .. dengan serius
konsekuensinya total, dalam mempelajari sesuatu tu aku ndak main-main
dan bener-bener ngangsu kawruh walopun berbagai guru itu tidak
mengajarkan saya secara langsung conto bu waljinal, ketemu bu
waljinah... bu waljinah.. aku ndak pernah kok diajari nduk na na..na
naaa ndak penah saya belajar ketika bu waljinah di pentas, tak amati..
wo solah bawane ngene, carane ngomong ngene, wo carane ambil nafas
ki gini, carane menyanyi seperti mnyampaikan sesuatu biar makna lagu
tersampaikan seperti ini..sebetulnya itu bisa dianggap sebagai pelajaran
atau tidak itu tergantung kita”,..,) (E.L)
Dari konsep (Hargreaves & North, 2003:412) mengenai pengaruh
dukungan orang sekitar diatas menghasilkan pemahaman baru bahwa hasil karya
seorang seniman tidak jauh dari orang-orang terdekatnya. Namun hal tersebut
tidak cukup dengan dukungan orang sekitarnya saja karena masih ada faktor
paling efektif secara langsung berupa aktivitas ketrampilan adalah latihan yang
disengaja.
Meskipun tidak mendapakan pendidikan musik non karawitan secara
formal, tetapi mempunyai pengalaman bersinggungan langsung dan memakan
waktu yang lama, lebih berpengaruh terhadap kualitas musikal seseorang. Oleh
karena itu mempunyai kesempatan untuk mencoba dan menggali apa yang ada
dalam diri kita akan berdampak pada kematangan jiwa musikalitasnya. Berikut
penyataan narasumber yang menguatkan :
(....”Selain kesempatan, biasanya tu ada kesempatan atau tidak
ya...kalau ada kesempatan otomatis kita yang akan mau belajar dan
menyesuaikan diri kalau dari saya ya, karena ada kesempatan karena saya
memiliki komunitas, memiliki tempat untuk saya.....membongkar
kemampuan didiri saya tidak hanya dalam sindhenan.itu ada tempatnya..
upayanya apa.. upayanya ya itu tadi ...iklas.... menembang itu dengan
iklhas tidak boleh terbebani dengan kultur, tidak boleh terbebani dengan
apa yaa...predikat kita sebagai sindhen ..tidak boleh,,,jadi kalau kita
bernyanyi kita adalah seorang vokalis seorang voicis.ok kita menyanyi
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
49
untuk orchestra..kita menyesuaikan vibra-vibra orchestra.. kita bernyanyi
untuk gamelan kita menyesuaikan vibrasi dalam gong dan di ansamble
gamelan... jadi kiatnya itu mbak membuka diri dengan ikhlas”...).(PC)
Hal ini terjadi kepada para sindhen lintas genre tersebut yang secara
akademi tidak mendapatkan pengetahuan mengenai musik di luar karawitan akan
tetapi memiliki kesempatan untuk berlatih musik non karawitan. Hal tersebut
sangat menjadi sangat berarti karena sindhen lintas genre sangat membutuhkan
banyak referensi, pengalaman dan pengetahuan musik diluar dunia sindhennya.
Secara tradisi mempelajari sindhenan dilakukan oleh para sindhen
dengan belajar dari mendengarkan, kemudian menirukan. Tradisi ini merupakan
ciri budaya ketimuran. Setelah adanya budaya tulis, karawitan dalam hal ini
sindhenan mulai dikembangkan. Ditandai dengan adanya pembelajaran karawitan
dalam hal ini sindhen di lembaga-lembaga formal. Belajar sindhen bisa melalui
nyantrik (berguru kepada empu), lembaga, atau sanggar.
Meskipun secara akademi sudah diberikan materi pembelajaran sindhen
melalui membaca dan menulis akan tetapi pada praktiknya mereka lebih sering
belajar dengan cara mendengarkan. Terutama cengkok-cengkok sindhenan dari
berbagai sumber karena setiap orang mempunyai cengkok dan gaya sendiri sesuai
dengan warna suara dan karakter gending. Oleh karena itu dalam satu gending
seorang sindhen mampu menyajikan berbagai variasai cengkok.
(Djohan, 2003: 144-145) menjelaskan bahwa mempelajari sebuah musik
dianggap tidak efektif jika penekanan pada model visual dibandingkan dengan
model aural. Model belajar sindhen yang mengandalkan pendengaran tersebut,
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
50
kemudian mereka terapkan untuk mempelajari musik-musik selain sindhenan. Ini
menjadi bagian yang saling membantu. Apalagi untuk mendengarkan musik pop
tidak membutuhkan konsentrasi tinggi dikarenakan detail musik yang muncul
hanya sebagai potongan atau ringkasan.
Karena sebatas potongan maka mudah untuk ditirukan. Perbedaannya
dengan sindhenan yaitu untuk sindhenan harus menyesuaikan tafsir garap dengan
menempatkan formula cengkok sindhen. Sedangkan dalam musik pop lebih
kepada menyanyi apa adanya sesuai dengan karakter lagu karena lirik lagu
biasanya sudah dalam bahasa langsung sehingga mudah diterima dan dipahami.
Dari konsep Hargreaves dan Djohan dapat ditarik sebuah pemahaman
bahwa ketika keadaan lingkungan mendukung, memiliki pengalaman secara
langsung dan teknis belajar yang efisien tergabung menjadi satu kesatuan dalam
proses menjadi sindhen lintas genre. Maka seorang sindhen mempunyai pondasi
bekal kesenian yang matang. Dengan memiliki kemampuan dan ciri khas yang
berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya.
2. Cengkok Sindhen dan Gaya Pop
Cengkok merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian
lagu yang identik dengan lenggak lenggoknya atau hiasan suara berdasarkan jenis
lagunya. Beberapa genre musik yang menggunakan istilah cengkok yaitu
keroncong, karawitan dan dangdut. Masing-masing cengkok pada jenis musik
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
51
tersebut memiliki kekhasan dan karakter sendiri. Sedangkan dalam jenis musik
pop dan jazz lenggak lenggok tersebut disebut dengan ornamentasi.
Dalam sindhenan jawa, sebuah cengkok terdiri dari luk dan gregel,
dimana bagian tersebut akan menambah indahnya sindhenan. Luk sindhenan
biasanya terdiri dari minimal dua nada dan nada yang dibunyikan jelas alurnya.
Namun jika luk tersebut ditempatkan pada tempo yang lebih lambat, untuk
menyesuaikannya biasanya muncul gregel, dimana gregel berarti hiasan nada atau
vibrasi antara awal dan akhir luk. Gregel atau vibrasi sindhen berbeda dengan
vibrasi keroncong. Jangkauan nada dalam vibrasi sindhen lebih banyak serta lebih
rapat.
Berikut merupakan contoh lagu yang pernah dibawakan (EL). Penulis
mengambil sampel lagu ini karena terdapat beberapa cengkok yang muncul dalam
lagu tersebut. Berikut notasinya:
Sebelum membaca notasi lagu dari nara sumber, perlu diketahui simbol-
simbol yang berkaitan dengan cengkok yang muncul saat lagu tersebut dibawakan
oleh dua narasumber yaitu (EL) dan (SP) sebagai berikut ini:
Keterangan simbol:
: glissendo = dalam sindhen disebut dengan luk
: mordent = dalam sindhen disebut dengan luk
: tekanan aksen
: trill = vibrasi = gregel
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
52
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
53
Gambar 6: notasi lagu dengan beberapa cengkok yang muncul
dibawakan (EL) dan (SP)
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
54
(Witkin, 2003: 100-102) menerangkan bahwa detail dalam musik populer
yang dijelaskan sebagai ornamentasi di antaranya seperti urutan akord yang
mencolok, tema melodi, harmoni, motif berirama, istirahat, catatan biru, catatan
kotor merupakan fakta sebagai efek individu yang digunakan untuk
memperkenalkan sesuatu khas yang berbeda dalam menampilkan bakat atau
keahlian. Hal ini dikarenakan ornamentasi menempati posisi musik strategis
sehingga mudah dihadirkan namun dianggap sebagai hiasan karena tidak
dimediasi oleh semua secara keseluruhan.
Dari transkripsi notasi lagu yang dibawakan (E.L) pada acara Haul
Gusdur di Magelang dan (SP) dapat diketahui bahwa unsur musikal didalamnya
merupakan cengkok yang diolah sedemikian rupa dengan gaya yang lebih ngepop
membuatnya semakin menarik dan berbeda. Misalnya cengkok dari wilayah
pesisir timur yaitu daerah Banyuwangi yang dibawakan (EL).
Jangkauan nada yang dominan tinggi kemudian ada pengulangan
cengkok berkali-kali namun memiliki ketebalan suara yang berbeda. Jika dilihat
alur nadanya kadang-kadang meruncing, patah-patah, bergelombang teratur
dengan perubahan pada ketebalan vokal yang berangsur semakin tipis. Selain itu
penekanan suara ala jazz disajikan saat cengkok ini dimunculkan sebagai
interpretasikan seorang sindhen lintas genre. Perlu diingat kembali bahwa
kemampuan memberikan aksen, penekanan intonasi dari (E.L) tersebut diperoleh
dari kumpulan sari pengalaman pribadinya yang bersinggungan langsung dengan
beberapa lagu-lagu etnis yang digelutinya.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
55
Nyanyian itu akan memiliki perbedaan rasa jika yang menyanyikan
memiliki latar belakang musik yang berbeda. Begitu pula dengan (SP) yang
mencampurkan cengkok etnis Jawa, Melayu dan pop sehingga menjadi lagu
dengan kumpulan cengkok yang menarik. Siapa yang menyangka lagu tersebut
dapat menjadi lebih indah jika dibubuhi dengan sari-sari cengkok dari berbagai
genre. Meskipun dalam hal ini cengkok –cengkok tersebut bersifat sebagai hiasan.
Namun dengan leluasanya para sindhen ini menginterpretasi cengkok lagu
tersebut dengan luar biasa.
Berdasarkan konsep Witkin dapat ditarik bahwa ornamentasi musik
tersebut berlaku juga untuk vokal meski tidak tercantum secara khusus di
konsepnya. Beberapa detile tersebut yang dtuliskan kemudian diterapkan pada
vokal hasilnya hampir sama. Ornamentasi pada vokal sama dengan improvisasi
biasanya bersifat spontan, namun direncanakan pun bisa tujuannya supaya lagu
yang dibawakan tidak monoton, memperkaya nuansa, mempunyai ciri khas dan
memiliki perbedaan dengan penyanyi lainnya.
Kembali lagi bahwa improvisasi atau ornamentasi ini hanya bersifat
hiasan karena yang utama adalah tema lagu atau melodi utama. Improvisasi ini
akan menjadi sangat indah, bagus dengan catatan bahwa penyanyi mempunyai
kepekaan telinga dan paham akan harmoni. Apabila tidak memiliki keduanya
maka bisa dibilang ngawur atau sembarangan hasilnya fals, tidak sesuai
tempatnya.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
56
(Srinati, 2007:80) mengatakan bahwa musik merupakan sebuah artefak
tekstual yang tidak dapat direproduksi dalam jumlah besar melalui teknik
perakitan sehingga hasilnya adalah sebuah lagu khas atau unik oleh sekelompok
penyanyi, musisi, aranger dan sebagainya. Musik pop sebagai hasil industri
budaya yang didominasi oleh standarisasi (semakin banyak kemiripan) dan
individualisasi semu _ perbedaan yang sifatnya kebetulan (Srinati, 2007:70-76).
Dalam hal ini semakin banyak lagu-lagu yang distandarkan semakin banyak juga
telinga yang diindividualisasikan. Standarisasi mengacu pada kemiripan musik
pada bagian, bentuk maupun akornya, sedangkan individualisasi semu
menyamarkan dengan menjadikan musik semakin bervariasi dan berlainan satu
sama lain.
Untuk lagu pop yang sering dibawakan para sindhen lintas genre ini
terutama lagu-lagu yang familiar di telinga para pecinta musik pasti tidak begitu
menarik perhtian ketika sajiannya sama persis dengan pelantun sebelumnya atau
bahkan memiliki kualitas dibawahnya. Namun pada kenyataannya berbanding
terbalik bagi sindhen lintas genre. mereka melakukan dengan lebih baik sehingga
saat mereka akan pentas selalu dinantikan para audien.
Cara mereka menarik perhatian para audien adalah dengan memberikan
hiasan berbagai cengkok sehingga memberikan variasi kebaruan lagu tersebut.
Lagu -lagu yang dibawakan serasa lebih hidup, dampaknya tidak sedikit lagu-
lagu yang menjadi ciri khas dari para sindhen lintas genre. Selain itu masih ada
modal lain yang bisa menunjukkan khasnya seseorang yaitu materi suara
(pemberian sang pencipta) dan ciri khas style vokal (diperoleh dengan kebiasaan).
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
57
Dari kedua konsep tersebut diperoleh pemahaman bahwa musik sebagai
barang yang tidak bisa diproduksi secara massal karena memiliki rasa
individualitas yang berbeda-beda. Meskipun materi lagu yang dibawakan sama
namun beda penyanyi beda pula hasilnya. Contoh perbedaan tersebut terlekat
pada bagian cengkok atau ornamentasi. Meskipun hanya sebatas hiasan seperti
yang dikatakan Witkin namun mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi
pendengarnya. Keberagaman tersebut semakin menambah banyak warna musik
yang ada.
3. Perubahan Status Sosial Pada Sindhen
Adorno mengatakan bahwa ada perbedaan musik berdasarkan strata
sosial. Musik klasik identik dengan masyarakat kelas atas sedangkan musik pop
untuk kelas menengah dan bawah. Golongan musik klasik diperuntukkan bagi
mereka yang pekerjaan atau kedudukan sosialnya memiliki waktu senggang dan
tidak perlu melepaskan kejenuhannya. Sedangkan dalam musik pop
diperuntukkan bagi yang mendapatkan kelakuan “kerja yang dimekanisasi” dan
berkarakter berulang-ulang, standarisasi dan membosankan sehingga musik ini
bisa didengarkan sambil lalu (ciri masyarakat kapitalis) karena tidak banyak
menuntut atau kesulitan.
Masyarakat pada umumnya, menyebutkan sindhen bagian dari ansambel
karawitan, diidentikkan dengan strata sosial musik klasik untuk kelas atas.
Pernyataan tersebut muncul karena gamelan dianggap oleh masyarakat sebagai
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
58
salah satu legitimasi adanya kebudayaan kerajaan, termasuk sindhen didalamnya.
Masyarakat Jawa sendiri memandang bahwa predikat sindhen yang disandang
seseorang adalah nama penghargaan tinggi lengkap dengan ilmu, kepribadian dan
tahu akan akar tradisinya. Sehingga masyarakat karawitan mempunyai tolok ukur
tersendiri akan penilaian tentang sindhen. Tidak serta merta orang yang bisa
menyanyikan sedikit lenggak lengok bisa dikatakan sebagai sindhen.
Namun bagi sebagian masyarakat, citra sindhen terutama diluar tembok
kraton sering dianggap sebagai hiburan kaum tua, bahkan sering kali dipandang
sebelah mata bahwa sindhen merupakan sosok wanita penghibur dengan tradisi
menari dan menyanyi. Hiburan wanita sangatlah erat dengan gagasan kebebasan
seksual perempuan dan prostitusi dengan penyebutan kata “taledhek”.
Adanya dikotomi mengenai status sosial di masyarakat Indonesia ini
(Srinati, 2007:70-76) menjelaskan bahwa musik pop dianggap sebagai perekat
sosial karena kenikmatan dan katarsismenya berusaha mengkonstruk sebuah
masyarakat yang individunya bisa bebas, bahagia dan terpenuhi. Dengan adanya
peluang akan animo kesenian di masyarakat, kesempatan ini disambut baik oleh
para sindhen lintas genre. Dengan terjun ke wilayah pop maka sindhen berusaha
meleburkan diri dengan mengesampingkan kelas masyarakat yang memberikan
jarak antara masyarakat kelas atas ataupun masyarakat kelas bawah.
Hadirnya sindhen lintas genre di hadapan publik dengan tampilan yang
berbeda (sindhen dengan tampilan pop) membuat masyarakat menjadi lebih
tertarik untuk mengikutinya. Dari kaum muda maupun tua, dari masyarakat desa
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
59
sampai masyarakat kota, dari domestik maupun manca negara sangat antusias
dengan kehadiran sindhen tersebut. Selain disebabkan style sindhennya juga
karena sajian musiknya. Istilah “Sindhen” yang digunakkan sebagai salah satu
label industri merupakan salah satu cara untuk mengangkat kembali sindhen di
hati masyarakat.
Selain itu bagi seorang sindhen momentum ini digunakan sebagai jalan
keluar atas “kejenuhan” dari tekanan “budaya adiluhung” yang tidak memberikan
kontribusi pada kepentingan eksistensi pelaku seni. Dengan mencari celah yang
memungkinkan, para sindhen mencari terobosan baru dengan menambahkan
sedikit keberanian untuk melangkah ke ranah lain dengan berpijak dari akar
tradisinya.
Tuntutan masyarakat yang selalu menginginkan perubahan pada karya
seni khususnya musik memaksa para sindhen untuk bersikap kreatif mendapatkan
tempat di masyarakat secara luas. Hasilnya adalah cengkok yang dilantunkan oleh
sindhen lintas genre mempunyai keunikan tersendiri. Cengkok sindhen lintas
genre tersebut hadir pada nyanyiannya bukan semata-mata ngawur. Perlu ditarik
kembali latarbelakang dari sindhen tersebut sehingga mampu menyajikan lagu-
lagu yang kaya akan cengkok.
Hal ini tampak berbeda pada sebagian sindhen yang tidak bisa bernyanyi.
Faktanya, mereka kesulitan untuk melepas cengkok sindhen murninya saat
melantunkan lagu pop. Penyebabnya ada pada diri masing-masing sindhen yang
menempatkan dirinya berada pada ranah kelas atas “ Adiluhung”. Sehingga beban
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
60
beban etnosentris dalam dirinya menutupi kemauan dan kemampuan dirinya di
lain sisi. Meskipun metode dan cara belajar yang digunakan hampir sama.
Meskipun demikian, kembali lagi kepada masing-masing sindhen yang
mempunyai caranya sendiri untuk mengekspresikan bakatnya. Bergantung pada
dukungan lingkungan sosial dan pilihan yang ada pada dirinya. Kembali lagi pada
tujuan dimana sindhen ingin mengembangkan kemampuan diri dengan masuk
ranah selain sindhen atau mengembangkan diri dengan bertahan pada dunia
sindhennya.
Melihat keadaan tersebut istilah sindhen yang digunakan dalam industri
hiburan mengalami perubahan. Karena orientasi pelaku seni menggunakan
seninya tidak lagi sebagai pengalaman estetis namun lebih kepada barang
dagangan yang bergantung pada tuntutan pasar. Sehingga sifat misterius dari
sindhen semakin pudar ketika label sindhen dihargai dengan uang.
Hal tersebut memberikan dampak pada perubahan pemaknaan profesi
sindhen sendiri. Oleh karena itu masyarakat secara luas menyebutkan sindhen
lintas genre sebagai label dari industri karena mereka berada pada posisi
masyarakat Indonesia yang terdiri lebih dari satu etnis.
Dibalik itu semua Benjamin melihat dampak positif dari produksi massal
tersebut. Selain lebih terbuka untuk dinikmati, diapresiasi, seni juga bisa diresepsi
tanpa melihat perbedaan kelas masyarakat yang selama ini membatasi dan
membuat dikotomi antara kelas bawah dan kelas atas (Benjamin 1968).
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
61
Dari konsep diatas dapat dipahami bahwa munculnya sindhen lintas
genre menjadi sebuah fenomena yang mampu menjembatani dikotomi kelas
masyarakat. Pasalnya mereka mempunyai cara mempersatukan masyarakat
dengan karya sindhennya sehingga menyamarkan dikotomi tersebut. Dengan
beragam cengkoknya yang membuat masyarakat kembali menengok pada profesi
sindhen. Image sindhen sebagai salah satu legitimasi ke adiluhungan sebuah
kebudayaan di Jawa menjadi memasyarakat ketika muncul dengan tampilan pop
di televisi. Sehingga sindhen lintas genre mempunyai peran yang besar dalam
mempersatukan kelas masyarakat Indonesia.
C. Sindhen Lintas Genre dan Industri Hiburan
Sindhen tidak bisa lepas dari tantangan dalam dunia hiburan. Baik dan
tidaknya bergantung pada animo masyarakat. Saat ini sindhen berada di posisi
beruntung berkat bantuan media elektronik yang secara cepat memasarkannya.
Promosi ini berhasil dengan baik sehingga sindhen lintas genre ini memiliki
tempat tersendiri di masyarakat. Munculnya sindhen lintas genre ini dianggap
masyarakat sebagai hal baru karena sindhen sebelumnya tidak banyak bahkan
mungkin belum ada yang melakukannya. Oleh sebab itu semakin banyak
kesempatan untuk pentas semakin banyak juga peluang finansial yang
diperolehnya.
Dibalik itu semua sindhen lintas genre tidak akan muncul apabila
keadaan sindhen itu sendiri kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan,
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
62
memiliki pengalaman dan mempunyai cara belajar yang efisien. Dengan
masuknya ke ranah industri sindhen dituntut untuk lebih kreatif dengan memiliki
kemampuan dan ciri khas yang berbeda-beda sesuai kapasitasnya.
Ciri khas masing-masing sindhen ini terletak pada kemampuannya
mengolah cengkok. Mereka sangat menyadari bahwa musik merupakan barang
yang tidak bisa diproduksi secara massal karena memiliki rasa individualitas yang
berbeda-beda. Oleh karena itu cengkok-cengkok yang dikemas (gaya pop)
sedemikian rupa kemudian dibawakan dengan nuansa berbeda mampu menjadi
daya tarik tersendiri. Dari ornamentasi/cengkok yang hanya dimaknai sebagai
hiasan namun mampu membuat warna musik lebih kelihatan berbeda. Cengkok
tersebut sebagai salah satu cara bagi diri mereka untuk tetap mempertahankan
keeksisannya di dunia industri hiburan.
Dampak yang munculnya bahwa sindhen lintas genre dengan beragam
cengkoknya menjadi sebuah jembatan dikotomi kelas masyarakat. Cara yang
menarik untuk mempersatukannya karena berkat cengkoknya semua masyarakat
dari Sabang sampai Merauke mampu mengenal sindhen secara cepat tanpa ada
ketakutan kelas sosial. Keberadaan sindhen ini menjadi lebih dekat dengan
masyarakat meski ada pergeseran makna sindhen yang digunakan sebagai label
industri dan makna sindhen yang ada di masyarakat Jawa sendiri. Sisi positifnya
bahwa sindhen kembali dikenal masyarakat secara luas berkat ketrampilan yang
dimiliki dan didukung oleh media.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
63
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut
ini:
1. Faktor yang membuat seorang sindhen masuk ke ranah populer adalah
faktor eksistensi. Mempunyai jadwal pentas padat, wilayah pentas yang
luas, merambah ke berbagai genre musik dengan kemampuan cengkoknya
sehingga mencakup lebih banyak kalangan, maka akan berdampak pada
peningkatan aspek ekonomi.
2. Upaya yang dilakukan para sindhen lintas genre adalah dengan belajar
mendengarkan berbagai cengkok-cengkok dan karakter lagu dari berbagai
macam genre. Selanjutnya melatih cengkok-cengkok tersebut terus menerus
hingga para sindhen lintas genre mendapatkan rasa/ruh dari lagu tersebut.
3. Sebagian sindhen yang tidak bisa bernyanyi karena memiliki beban kultural.
Menyandang predikat sindhen (adiluhung) memberikan pandangan bahwa
sisi selain sindhen dianggap sebagai kelas rendah sehingga secara tidak
sadar mempengaruhi tekhnik bernyanyinya, oleh karena itu ketika bernyanyi
genre lagu (selain sindhen) rasa/ ruh (cengkok sindhennya) tidak bisa lepas.
Saran
1. Meneruskan penelitian ini dengan pendekatan etnografi supaya data yang
diperoleh lebih maksimal.
2. Adanya peluang bagi penelitian lain untuk mengkaji dengan topik serupa
karena keterbatasan mengenai pustaka yang membahas mengenai sindhen
secara spesifik.
3. Perlu adanya penelitian mengenai sindhen dengan sudut pandang disiplin
ilmu yang lain supaya bisa menemukan sisi yang lebih menarik dari
sindhen.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
64
Daftar Pustaka
Barker, Chris . 2014. Kamus Kajian Budaya , Yogyakarta: PT Kanisius
Yogyakarta
Benjamin, Walter .1968. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.
Dalam H. Arendt. Ed., illumination, New York : Schocken
Budiarti, M. (Desember 2013),”konsep kepesindenan dan Elemen-Elemen
Dasarnya” dalam Harmonia, Volume 13, no 2
Budiarto, C.Teguh . 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta:
Tarawang Press
Caturwati. 2005. Sinden-penari diatas dan diluar panggung : kehidupan sosial
budaya para sindhen-penari kliningan jaipongan di wilayah subang jabar,
Yogyakarta, UGM
Djohan. 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku baik
Hargreaves, David. J. Dan Adrian C. North (Terj.)1997. The Social of psychology
of Music. Oxford : University press
Jazuli, M. 2009. Popularitas Sinden. Harmonia : Jurnal Pengetahuan dan
Pemikiran Seni. Vol. 9 No. 2 Hal. 85-94
Luq. (25 September 2004), “ Sinden Ditinggalkan karena Penghasilan Minim *
Dikbud”, Kompas.
MM/ DTH/ TOP/ BRE. ( 8 Maret 1999) , “ Sinden: Berlalunya Mitos Lama..” ,
Kompas.
Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Poerwadarminta,W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgrevers
Maatschappij N.V. Groningen
Sartono,frans; Suwarna, Budi. (21 Maret 2010), “ Balada Pesinden “Mbalelo” ”,
Kompas.
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
-
65
Sartono, Frans . ( 11 November 2007), “Musik: Peni: Sinden di Tengah Jazz”,
Kompas.
Soeroso. 1999. Kamus Istilah Karawitan Jawa. Yogyakarta
Srinati, Dominic (terj). 2007. Popular Culture pengantar menuju teori Budaya
Populer. Yogyakarta: Jejak
TOP/ASA/BRE. (16 November 1996), “ Menziarahi Dunia Sinden”, Kompas.
Yin, Robert K. 2014. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Grafindo
Persada
Zoetmulder P.J, 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Sumber tidak tercetak
Candrarini, Peni, “Kekuatan sindhen kontemporer” kompas.com
Purnomo Sapto (19 Mei 2014) ”Soimah siap rilis album dangdut” Liputan 6.com
Respati Sruti (3 Maret 2013)”Sruti Respati dan musim sinden naik daun “ BBC
Indonesia
Soimah (15 oktober 2015) “ Soimah berani tampil beda” bintang.com
http://www.krjogja.com/web/news/read/277669/inilah_sinden_manca_negara
http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/04/slo8.htm
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-
tradisional-ke-jepang
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA
http://www.krjogja.com/web/news/read/277669/inilah_sinden_manca_negarahttp://www.suaramerdeka.com/harian/0307/04/slo8.htmhttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-tradisional-ke-jepanghttp://www.antarajatim.com/lihat/berita/112926/endah-laras-pentas-musik-tradisional-ke-jepang
-
66
Narasumber
1. Nama : Peni Candrarini (33 th)
Profesi :Sindhen lintas genre dan Pengajar vokal karawitan di ISI
Surakarta
Alamat :Sentana Art Jl Anggrek Raya Kajen Baru RT 04 Rw 04 Grogol,
Solo Baru, SKH Jetis kec. Sukoharjo Kab. Sukoharjo dan ISI Surakarta.
2. Nama :Endah Laras (40th)
Profesi :Sindhen lintas genre
Alamat :Perum New Garden no A 5 jl Raya Waru- Siwal Kel. Mayang kec.
Gatak Sukoharjo.
3. Nama :Silir Pujiwati (38 th),
Profesi :Sindhen lintas genre
Alamat :Perum Griya Larasati dan PSBK Yogyakarta
4. Nama : Djaduk Ferianto (52)
Profesi : Pengamat seni dan komposer
Alamat : PSBK dan kembaran, Tamantirto, Kasihan Bantul Yogyakarta
5. Nama : Sudarsono (60)
Profesi :Pengajar vokal, Seniman tradisi
Alamat :Laweyam Surakarta, ISI Surakarta
UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA