IV. BEBERAPA TEKNIK PENDUGAAN DAMPAK...

74
BEBERAPA VARIABEL DAMPAK LINGKUNGAN PESISIR-PANTAI Diabstraksikan oleh: Soemarno, pslp-ppsub-2010 Keprihatinan umat manusia terhadap kondisi lingkungan memasuki milenium ketiga mengharuskan perubahan mendasar dalam pola interaksi antara manusia dengan bumi dan segala isinya. Perilaku manusia terhadap bumi telah menghasilkan lingkungan yang tidak lagi mendukung keberlangsungan kehidupan manusia dan keberlangsungan fungsi ekosistem pesisir-pantai. Kecenderungan manusia dengan pertumbuhannya yang sangat cepat menjadi faktor penyebab utama perubahan lingkungan ternyata telah terbukti. Meningkatnya tingkat gas-gas rumah kaca di atmosfir sebagai akibat meningkatnya kegiatan industri dan berkurangnya secara drastis hutan tropis karena ulah manusia adalah satu peringatan (warning) bagi umat manusia dalam memasuki milemium ke tiga. Oleh karena itu, selayaknyalah apabila umat manusia mengkaji ulang apa saja yang telah dicapai di masa lalu dalam interaksinya dengan bumi agar dapat meniangkau visi masa datang menuju terciptanya masyarakat madani yang adil-makmur, aman, tenteram, sejahtera dalam Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup. 1

Transcript of IV. BEBERAPA TEKNIK PENDUGAAN DAMPAK...

BEBERAPA VARIABEL DAMPAK LINGKUNGAN PESISIR-PANTAI

Diabstraksikan oleh:Soemarno, pslp-ppsub-2010

Keprihatinan umat manusia terhadap kondisi lingkungan memasuki milenium ketiga mengharuskan perubahan mendasar dalam pola interaksi antara manusia dengan bumi dan segala isinya. Perilaku manusia terhadap bumi telah menghasilkan lingkungan yang tidak lagi mendukung keberlangsungan kehidupan manusia dan keberlangsungan fungsi ekosistem pesisir-pantai.

Kecenderungan manusia dengan pertumbuhannya yang sangat cepat menjadi faktor penyebab utama perubahan lingkungan ternyata telah terbukti. Meningkatnya tingkat gas-gas rumah kaca di atmosfir sebagai akibat meningkatnya kegiatan industri dan berkurangnya secara drastis hutan tropis karena ulah manusia adalah satu peringatan (warning) bagi umat manusia dalam memasuki milemium ke tiga. Oleh karena itu, selayaknyalah apabila umat manusia mengkaji ulang apa saja yang telah dicapai di masa lalu dalam interaksinya dengan bumi agar dapat meniangkau visi masa datang menuju terciptanya masyarakat madani yang adil-makmur, aman, tenteram, sejahtera dalam Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup.

Schematic diagram showing important natural processes and human pressures that affect coastal ecosystems and resources of the Northeast. Sumber:

http://pubs.usgs.gov/of/2003/of03-405/of03-405.html

1

Adalah sangat tepat apabila momentum memasuki milenium ke tiga digunakan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan mempertimbangkan kewajiban-kewajiban umat manusia di dalam menyempurnakan pengelolaan ekosistem pesisir-pantai. Pada kurun waktu mendatang, tidak ada hal yang lebih penting bagi uma manusia agar dapat menjawab tantangan lingkungan yang dihadapi. Bukti-bukti signifikan menunjukkan bahwa cara-cara umat manusia mengkonsumsi sumberdaya alam dan energi menghasilkan perusakan keanekaragaman hayati yang sebenarnya merupakan landasan kehidupan manusia di muka bumi.

Sumber: ian.umces.edu/loicz/Gejala alam yang terjadi pada akhir milenium ke dua menunjukkan berbagai kejanggalan sifat-sifat alam seperti perubahan iklim yang menyimpang dan merusak, sehingga menimbulkan kebakaran hutan dan lahan, banjir serta badai yang mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. fronisnya, pada masa lalu, gejala alam tersebut diterima sebagai "kekuatan alam", namun pada masyarakat moderen umat manusia menanggapi perubahan perilaku alam tersebut sebagai peringatan yang sangat serius bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Tentu saja perubahan iklim merupakan salah satu aspek alam yang di perhatikan dalam kurun waktu ribuan tahun. Alam tidak statis, akan tetapi saat ini secara nyata yang dihadapi umat manusia pada saat ini tidak melulu perubahan iklim, namun perubahan pola iklim global yang disebabkan oleh aktifitas umat manusia yang tidak bersifat alami.

2

Sumber: cfpub.epa.gov/.../abstract/6127/report/2004

Tentu saja ada sebagian pihak yang mempercayai bahwa manusia adalah makhluk yang cerdas dimana melalui ilmu dan pengetahuan teknologi serta keahliannya dapat tumbuh secara cepat sehingga kita akan dapat selalu mampu mengubah kehancuran menjadi sesuatu yang baik. Kemampuan umat manusia untuk merusak alam yang telah berkembang dalam kurun waktu jutaan tahun tidak akan dapat di rehabilitasi secara sederhana dalam waktu yang singkat. Pada saat koral mati tidak ada kemampuan apapun pada manusia untuk menciptakannya kembali. Banyak sekali yang telah hilang di lingkungan kita tidak akan pernah dapat kembali selamanya. Selain itu, terjadi pula kerusakan paida ekosistem atmosfir dengan rusaknya lapisan ozon. Lebih parah lagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dalam pemanfaatan sumberdaya seperti bioteknologi (sebagai rekayasa genetik) tanpa mempertimbangkan etika kemanusiaan.

Memasuki milenium ke-tiga semakin jelas tanda-tanda meningkatnya tekanan terhadap ekosistem pesisir-pantai ke-arah yang lebih buruk lagi. Dalam waktu yang relatif singkat bumi akan berisi delapan milyar umat manusia, yang membutuhkan ruang, pemukiman, dan enerji serta aktifitas ekonomi.untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat dibayangkan akibatnya apabila dengan jumlah penduduk yang demikian besar bumi tempat kita hidup harus mendukung demikian besar jumlah manusia dengan kelalaian memelihara bumi dengan sifat perusaknya.

Sejalan dengan persiapan umat manusia memasuki milenium ke-tiga, maka dituntut untuk merubah perilaku serta perlakuannya terhadap bumi dan manusia.dan.segala isinya. Besaran masalah yang akan dihadapi oleh

3

manusia dalam milenium ke tiga tidak mungkin hanya dilakukan oleh para pihak yang peduli terhadap ekosistem pesisir-pantai. Seluruh umat manusia saat ini harus membaur dengan para peduli lingkungan untuk mengemban paradigma baru dalam hubungan antara umat manusia dengan lingkungannya. Lingkungan bukanlah sesuatu yang "berada" di luar domain kehidupan manusia. Lingkungan adalah bagian integral dan sentral untuk.masa depan umat manusia serta penting untuk keberlangsungan kehidupan di muka bumi.

Bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam gerakan lingkungan pemerintah, lembaga-lembaga international organisasi lingkungan dan individu-individu yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan , tantangan abad 21 adalah untuk memadukan biosphere ke-dalam seluruh matra kehidupan umat manusia, program pembangunan, dunia usaha, industri, dan para pelaku politik.

Apabila kepedulian ini diabaikan oleh umat manusia maka akan teriadi tragedi umat manusia secara masal menyeluruh (the tragedy of the common principle).

Keadaan kehidupan sosial belum mampu memberikan gambaran yang menggembirakan pula. Kearifan lingkungan dan etika lingkungan yang telah tumbuh dan menjadi norma kehidupan masyarakat sederhana di berbagai wilayah Indonesia mulai memudar terdesak oleh pembangunan. Selain itu, tingkat kepedulian masyarakat untuk turut berperan aktif dalam pengelolaan ekosistem pesisir-pantai masih cenderung rendah. Sementara berbagai kasus menunjukkan bahwa akibat pengelolaan yang kurang baik telah menyebabkan kerugian lingkungan yang cukup besar yang pada gilirannya memberikan dampak negatif terhadap kualitas penduduk.

Proses pendugaan dampak lingkungan melibatkan beberapa aktivitas, yaitu:(1). Pemahaman terhadap landasan legal dan persyaratan prosedural bagi proses

pendugaan(2). Deskrispsi rona lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan/proyek. Variabel

pendugaan dampak mengacu kepada karakteristik lingkungan yang digunakan untuk mendeskripsikan rona lingkungan awal dan karakteristik lingkungan yang akan terkena dampak.

(3). Pendugaan dampak. Besarnya dampak dari setiap alternatif kegiatan proyek dievaluasi terhadap masing-masing variabel lingkungan harus diduga dan diinterpretasi.

(4). Mengagregasikan informasi dampak akibat dari setiap alternatif kegiatan proyek. Berdasarkan informasi agregat ini, sambil mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis, dilakukan pemilihan alternatif kegiatan proyek.

(5). Penyiapan laporan pendugaan dampak lingkungan yang menjelaskan prosedur dan temuan-temuan yang diperoleh.

Pemilihan dan penggunaan variabel pendugaan dampak yang tepat menjadi komponen penting dari proses pendugaan dampak lingkungan. Variabel-variabel tersebut mencerminkan ciri-ciri penting dari aktivitas-

4

aktivitas yang melibatkan deskripsi rona lingkungan, penilaian dan pendugaan dampak, dan pemilihan kegiatan proyek. Dalam kaitannya dengan variabel-variabel tersebut, “karakteristik lingkungan” dapat dibagi menjadi fisiko-kimia, biologi, estetika, dan sosial-ekonomi. Misalnya variabel pendugaan dampak akibat Proyek Pembangunan Sumberdaya Air, dapat dikelompokkan menjadi kualitas lingkungan, kesejahteraan sosial, dan pengembangan wilayah. Kualitas lingkungan berkenaan dengan lingkungan alami dan meliputi variabel fisiko-kimia, biologis, dan estetika; kesejahteraan sosial dan pengembangan wilayah diarahkan kepada lingkungan buatan, dan variabel-variabel sosial-ekonomi.

Sumber: www.mangrovesforthefuture.org/Programmes/3K-R...

Empat kategori variabel pendugaan dampak adalah terrestrial, akuatik, udara dan human-interface. Kategori terrestrial dan akuatik mencakup variabel fisiko-kimia dan biologis; kategori udara meliputi variabel fisiko-kimia; dan kategori human-interface meliputi variabel estetika sesuai dengan sumberdaya noise, sejarah dan arkheologis.

Untuk setiap variabel pendugaan dampak, disajikan informasi mengenai “DEFINISI”, pengukuran & pengamatan yang diperlukan untuk menyusun dan menetapkan rona awal; dan penilaian serta pendugaan dampak. Kurva fungsional juga disajikan untuk banyak variabel pendugaan dampak. Kurva fungsional ini menyajikan hubungan empiris antara hasil pengukuran obyektif variabel pendugaan dampak dengan hasil evaluasi subyektif (baik hingga jelek) variabel rona lingkungan. Hasil pengukuran obyektif digunakan sebagai sumbu-X , sedangkan indeks kualitas subyektif sebagai sumbu-Y. Indeks kualitas disajikan dengan sekala 0.0 hingga 1.0; dimana 0.0 menyatakan kualitas rendah atau kondisi lingkungan jelek/buruk

5

dan 1.0 menyatakan kualitas lingkungan yang baik atau kondisi lingkungan yang diperlukan/diinginkan.

1. KATEGORI : TERESTRIAL SUB-KATEGORI: POPULASI VARIABEL: TANAMAN

1.1. Definisi dan Pengukuran Rona Awal (Kondisi Dasar)Tanaman yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi tanaman

pangan dan pakan-hijauan. Data yang harus digali adalah luas lahan yang ditanami oleh berbagai jenis tanaman ini dan produktivitas tanaman ini biasanya juga tersedia dan akan mempermudah evaluasi selanjutnya.

Fungsi nilai untuk tanaman dianggap linear. Absisnya adalah persen dari total lahan pertanian yang digarap. Total luas lahan pertanian yang ada dianggap 100% pada sumbu absis. Untuk mendapatkan nilai persentasi pada kondisi "dengan" dan "tanpa" proyek, dapat digunakan konsep besaran yang dimodifikasi dengan pembobot kualitas dari besaran tersebut.

6

KURVA FUNGSIONAL (Battelle Environmental Evaluation System, 1972)

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100% Persentase dari total area

Besaran dari tanaman adalah luas tanaman untuk setiap tipe usahatani (tegalan, sawah, kebun campuran). Pembobot kualitas yang digunakan merupakan estimasi dari produksi biomasa segar neto setiap tahun. Nilai pembobot pada skala 0 hingga 1:

Nilai pembobot Produksi

1.0 8000 lb/acre/tahun 0.75 4000 0.50 2000 0.25 1000 0.00 0

1.2. Prediksi DampakProduksi neto tahunan ditentukan untuk setiap tipe usahatani dan

kemudian dimodifikasi dengan menggunakan pembobot. Kemudian pembobot fraksional yang diperoleh dikalikan dengan besaran tanaman (yaitu luas tanaman) dari setiap tipe usahatani untuk mendapatkan nilai besarannya. Dengan menjumlahkan nilai-nilai besaran untuk masing-masing usahatani ini

7

dan kemudian membaginya dengan jumlah total luas lahan ("tanpa proyek"), dan kemudian dikalikan dengan koefisien 100 akan menghasilkan persen terboboti untuk digunakan dalam fungsi nilai:

N (Luas tipe usahatani tanaman x K)Estimasi parameter = S --------------------------------------------- x 100 i Total luas lahan

dimana: N = banyaknya tipe usahatani tanaman, K = produktivitas yang telah diboboti.

PERHATIAN KHUSUS:Fungsi nilai ini tidak membedakan antara tanaman hijauan dan

tanaman bibi-bijian. Selanjutnya, nilai pembobot dapat berubah sesuai dengan tipe usahatani sawah, tegalan, padang rumput atau kebun campuran.

Sumber: www.waterencyclopedia.com/La-Mi/Land-Use-Plan...

8

2. KATEGORI: TERESTRIAL

SUB-KATEGORI: POPULASI

VARIABEL: VEGETASI ALAMIAH

2.1. Definisi dan Pengukuran Rona AwalVegetasi alamiah, spesies-spesies yang beradaptasi dengan kondisi

iklim dan tanah di suatu daerah, menunjang produksi autotrofik sumber pangan bagi komunitas biotik. Perubahan komposisi spesies atau total biomasa dapat mereduksi secara nyata sumber pangan bagi jasad heterotrofik dan selanjutnya akan merangsang perubahan struktural dan fungsional atribut-atribut ekosistem melalui erosi, degradasi kesuburan tanah, invasi gulma, hama dan penyakit tumbuhan.

Sumber: marshall.csu.edu.au/.../Environment/coconut.html

Pengukuran melibatkan pengukuran luas tipe-tipe penggunaan lahan di dalam areal yang dikaji. Konsep "besaran" yang dikalikan dengan pembobot kualitas digunakan dalam fungsi inilai ini. "Besaran" merupakan ukuran luasan dan pembobot kualitas merupakan estimasi tertimbang dari produksi primer neto. Untuk mempertahankan batas 100%, pembobot harus diberi skala 0 hingga 1. Luasan yang tersedia bagi vegetasi alamiah di dalam lokasi proyek merupakan total jumlah lahan bukan budidaya

9

pertanian (eksklusif urban, industri dan pemukiman). Luasan ini 100% pada fungsi nilai.

2.2. Pendugaan dampakUntuk menentukan nilai aktual bagi lokasi dengan atau tanpa

proyek, luasan dari setiap tipe habitat vegetasi alamiah ditentukan disamping produksi primer neto setiap tahun untuk habitat yang bersangkutan. Produksi neto dihubungkan dengan suatu fraksi dengan menggunakan skala 0 - 1. Fraksi yang diperoleh kemudian dikalikan dengan luasan habitat yang bersangkutan. Dengan menjumlahkan nilai-nilai ini untuk semua tipe habitat maka akan diperoleh nilai luasan terboboti, yang kalau dibagi dengan jumlah luas lahan non pertanian akan menghasilkan persen nilai dengan atau tanpa proyek.

N (Luas tipe vegetasi x K)Estimasi parameter = S -------------------------------------------- x

100 i Total luas lahan non pertanian

dimana: N = banyaknya kategori, K = produktivitas tertimbang.

10

KURVA FUNGSIONAL : (Battelle Environmental Evaluation System, 1972)

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persen dari total luasan

PERHATIAN KHUSUS:Fungsi nilai dapat dinyatakan sebagai persentase luasan tipe vegetasi

terhadap total luas lahan non-pertanian. Proyek-proyek secara individual harus mengevaluasi kepentingan persentase ini. Kurva fungsi yang disajikan di atas mengasumsikan bahwa 100% penutupan lahan mencerminkan kualitas lingkungan terbaik; akan tetapi lahan bera dan pembukaan vegetasi jarang dapat menjadi sangat baik bagi beberapa spesies satwa tertentu.

11

3. KATEGORI: TERESTRIAL SUB-KATEGORI: POPULASI

VARIABEL: MAMALIA HERBIVORA

3.1. Definisi dan Pengukuran Rona AwalHerbivora meliputi sapi, kuda, kambing/domba dan satwa lain yang

sejenis yang mengkonsumsi langsung tumbuhan hidup atau limbah panennya. Perubahan kepadatannya atau daya dukungnya akan mengakibatkan dampak penting terhadap produktivitas lingkungan.

Kapasitas akhir digunakan untuk mengevaluasi besarnya dampak akibat perubahan populasi ini. Kapasitas akhir ini mendefinisikan banyaknya herbivora yang dapat didukung kalau mereka mengkonsumsi semua produksi neto tumbuhan dalam setahun. Herbivora lazimnya hanya mengkonsumsi 50- 60% dari produksi neto tahunan bagian tumbuhan di atas tanah. Fenomena ini disebut sebagai daya dukung, yang dendeskripsikan jumlah maksimum individu, biomasa, dan lainnya, yang dapat didukung oleh ekosistem secara lestari. Sisanya sekitar 40-50% dari produksi tumbuhan dalam setahun mencerminkan bagian regenerasi dari tumbuhan. Sehingga, produksi maksimum tercapai pada 50-60% dari kapasitas akhir lahan di lokasi proyek. Kalau batas ini terlampaui, kemampuan reproduksi dari sistem akan terganggu dan produksi akan menurun. Pada nilai-nilai kurang dari optimum, maka fungsi nilai juga menurun, ini menyatakan bahwa potensi penuh dari sistem belum digunakan.

Kapasitas akhir dari lahan ditentukan pada kondisi dengan dan tanpa proyek. Banyaknya herbivora, setiap spesies, dapat dihitung untuk wilayah tanpa proyek. Kemudian data ini dikonversi menjadi satuan hewan (AU, animal unit), yang menjadi ukuran baku berdasarkan atas konsumsi pakan sapi (9600 lb/th). Produksi neto tumbuhan dalam setahun (pound per hektar) ditentukan untuk setiap tipe habitat. Dengan jalan membagi kebutuhan AU (pound/th) dengan produksi neto tumbuhan dalam setahun untuk setiap tipe habitat akan diperoleh luasan setiap tipe habitat yang diperlukan untuk mendukung satu AU:

Luasan habitat AU ---- -------------------- = ------------------------------------- AU Produksi neto tumbuhan

Kalau luas setiap tipe habitat (kondisi tanpa proyek) dibagi dengan luas yang diperlukan untuk mendukung satu Au akan diperoleh kapasitas akhir AU untuk setiap habitat. Dengan menjumlahkan daya dukung untuk beberapa habitat akan diperoleh kapasitas akhir dari total wilayah proyek dan angka ini disamakan dengan 100% pada fungsi nilai.

12

N Luasan tipe-tipe habitatKapasitas akhir = S ---------------------------------- 1 (Luasan habitat)/AU

Jumlah AU di wilayah proyek dibagi dengan kapasitas akhir dan kemudian dikalikan dengan 100, maka akan diperoleh kapasitas akhir wilayah tanpa proyek:

Jumlah AUFungsi parameter = -------------------------- x 100 Kapasitas Akhir

KURVA FUNGSIONAL (Battelle Environmental Evaluation System, 1972)

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 %

Persen daya-dukung atas dasar satuan hewan

3.2. Pendugaan Dampak

13

Dengan mengulangi prosesur seperti di atas, dan mengubah luasan areal, produksi dalam setahun, dan banyaknya AU, sesuai dengan konstruksi dan operasi proyek, maka akan diperoleh kapasitas akhir, jumlah AU, dan persentase dari kapasitas akhir AU ini merupakan kondisi apabila ada proyek.

PERHATIAN KHUSUS:Dengan fungsi nilai ini, unit binatang (AU) dan persyaratannya

beragam di antara spesies-spesies. Pendugaan ini tidak mengevaluasi dampak herbivora kecil.

4. KATEGORI: TERESTRIAL SUB-KATEGORI: HABITAT/ PENGGUNAAN LAHAN

VARIABEL: HUTAN DATARAN RENDAH

4.1. Definisi dan Pengukuran Kondisi DasarHutan dataran rendah terdiri atas berbagai spesies tumbuhan yang

menempati habitat dataran banjir/aluvial dan biasanya merupakan habitat yang sangat penting bagi satwa. Evaluasi tipe habitat ini berdasarkan atas sebelas parameter kunci yang komposit (Lower Mississippi Valley Division, 1976). Parameter-parameter ini ditemukan dalam studi gabungan antara para pakar biologi. Hasil utama dari studi ini adalah (1) Identifikasi parameter yang berhubungan dengan tiga tipe habitat terestrial (hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, dan lahan terbuka) dan empat tipe habitat akuatik (sungai, air tawar, danau, rawa-rawa sungai, dan rawa non-sungai); (2) penetapan pembobot nilai kepentingan relatif bagi parameter-parameter tersebut untuk setiap tipe habitat, (3) penyajian kurva fungsional untuk setiap parameter.

14

Sumber: georgiainfo.galileo.usg.edu/.../forest2.htm

Kesebelas parameter untuk hutan dataran rendah adalah:(1). Asosiasi spesies: komposisi spesies pohon dominan(2). Persentase pohon mast-bearing: dugaan persentase komposisi spesies

mast-bearing ( _ 10 in. dbh).(3). Persentase penutupan oleh tumbuhan bawah (understory): rataan per-

sentase tipe habitat yang tertutupi oleh understory (_12 ft. tinggi).(4). Diversitas tumbuhan bawah: Rataan banyaknya spesies tumbuhan

bawah per satuan luas.(5). Persentase penutupan oleh tumbuhan penutup tanah: rataan persentase

permukaan tanah yang tertutup oleh spesies herba penutup tanah.(6). Diversitas penutup tanah: Rataan banyaknya spesies tumbuhan

penutup tanah per unit luasan.(7). Jumlah pohon > 16 inchi (atau 18 inchi) dbh per acre: dugaan banyak-

nya pohon besar per acre habitat.(8). Persentase pohon > 16 inchi (atau 18 inchi) dbh: dugaan persentase

komposisi pohon besar terhadap semua pohon hidup (_ 6 inc dbh.) di dalam habitat.

(9). Frekuensi inundasi: dugaan terjadinya frekuensi genangan air yang meliputi sebagian besar luasan habitat.

(10). Edge (kuantitas): dengan menggunakan overlay grid dari daerah studi, dapat ditentukan banyaknya grid dimana terjadi "edge" dan dinyatakan dalam persentase terhadap jumlah total grid.

(11). Edge (kualitas): dengan menggunakan overlay grid yang bernomor dan tabel bilangan acak, dapat ditentukan rataan jarak ke "edge".

15

Setiap kurva yang disajikan berikut ini dikembangkan untuk mentransformasikan data mentah menjadi nilai indeks antara 0.0 - 1.0. Setiap parameter diberi pembobot yang mencerminkan kepentingan relatifnya dalam menjelaskan kualitas habitat. Pembobot untuk sebelas parameter tersebut adalah:

No.

Parameter Pembobot

1. Asosiasi Spesies 172. Persentase pohon mast-bearing 123. Persentase penutupan oleh tumbuhan bawah 84. Diversitas tumbuhan bawah 75. % penutupan tumbuhan penutup tanah 76. Diversitas tumbuhan penutup tanah 67. Banyaknya pohon _ 18" dbh/acre 88. Persentase jumlah pohon _ 18" dbh 69. Frekuensi inundasi 910.

Kuantitas Edge 11

11.

Rataan jarak ke Edge 9.

Hasil kali dari dua macam nilai ini menghasilkan nilai indeks terboboti untuk setiap parameter. Dari data ini kemudian dihitung rataan tertimbang yang mencerminkan kualitas habitat tertentu. Prosedur seperti itu diulangi hingga diperoleh dugaan kualitas dari masing-masing tipe habitat utama yang ada di daerah proyek.

4.2. Pendugaan dampakPengaruh berbagai alternatif rencana pembangunan dapat saling

dibandingkan dengan menggunakan nilai-nilai kualitas luasan habitat untuk masing- masing alternatif proyek. Misalnya, luasan dari setiap habitat dikalikan dengan nilai kualitasnya menghasilkan nilai akhir dari habitat. Dengan demikian kalau nilai-nilai yang ditetapkan untuk berbagai habitat di dalam suatu lokasi dijumlahkan akan diperoleh hasil evaluasi keseluruhan lokasi untuk setiap alternatif proyek, termasuk tanpa proyek.

Kesebelas kurva fungsional dilukiskan dalam gambar berikut. Perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai indeks dan pembobot yang digunakan dalam pendugaan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan geografis lokasi.

16

KURVA FUNGSIONAL:

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 Cottonwood/ Sycamore/ Hackberry/ Overcup Gum/ Willow Pecan/ Amer. Elm Oak/ Oak Amer. Elm Ash Pecan

Asosiasi spesies tumbuhan

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase pohon berbuah ( > 10” dbh)

17

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase lahan yang ditutupi oleh undersotry ( > 12” tall)

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 1 2 3 4 5 Diversitas understory ( x jumlah spesies)

18

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase lahan yang ditutupi oleh groudcover ( herba)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 2 4 6 8 10+ Diversitas groundcover ( x jumlah spesies)

19

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 10 20 30 40 50+ Jumlah pohon ( > 18” dbh/acre)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase pohon > 18” dbh)

20

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 1/30 1/10 1/5 1/3 1/2 1 Frekuensi banjir /genangan (tahunan)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Kuantitas Edge (Persen area yang mengandung “Edge”)

21

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 200 400 600 800 1000 Rataan jarak ke arah Edge ( ft)

PERHATIAN KHUSUS:

Nilai-nilai indeks dan pembobot yang digunakan dalam pendugaan ini masih mengalami perubahan tergantung pada lokasi geografisnya.

22

Sumber: www.fao.org/docrep/010/ag127e/AG127E09.htm

23

5. KATEGORI: TERESTRIAL SUB-KATEGORI: HABITAT/ PENGGUNAAN LAHAN

VARIABEL: HUTAN DATARAN TINGGI

1. Definisi dan Pengukuran Kondisi DasarHutan dataran tinggi tersusun atas berbagai spesies tanaman yang

menempati lokasi yang elevasinya cukup tinggi sehingga tidak pernah mengalami genangan banjir. Evaluasi tipe habitat ini didasarkan atas komposite sepuluh parameter kunci (Lower Mississippi Valley Division, 1976). Parameter ini ditetapkan dalam suatu studi gabungan yang dilakukan oleh para pakar biologi di LMVD dan WES. Keluaran utama dari studi ini adalah (1) identifikasi parameter yang berhubungan dengan tiga tipe habitat terrestrial (hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, dan lahan terbuka) dan empat tipe habitat akuatik (Sungai, air tawar, rawa sungai, dan rawa bukan sungai); (2) penetapan pembobot kepentingan relatif bagi parameter-parameter untuk setiap tipe habitat; (3) dan penyajian kurva- kurva fungsional untuk setiap parameter. Kesepuluh parameter bagi hutan dataran tinggi dan pembobot kepentingannya adalah:

No. Parameter Pembobot1. Asosiasi Spesies 172. Persentase pohon mast-bearing 153. Persentase penutupan oleh tumbuhan bawah 94. Diversitas tumbuhan bawah 95. Persentase penutupan tumbuhan penutup tanah 76. Diversitas tumbuhan penutup tanah 87. Banyaknya pohon _ 16" dbh/acre 88. Persentase jumlah pohon _ 16" dbh 69. Kuantitas Edge 1210. Rataan jarak ke Edge 9.

24

Sumber: www.hickerphoto.com/rainforest-biome-3368-pic...

2. Pendugaan dampak

Parameter-parameter ini didefinisikan pada kondisi hutan dataran rendah dalam kategori terestyrial/habitat/landuse. Untuk pendugaan dampak lihatlah kembali pembahasan dalam uraian mengenai hutan dataran rendah. Perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai indeks dan pembobot mungkin perlu diubah sesuai dengan lokasi geografis. Suatu persamaan baku harus digunakan untuk semua pendugaan hitan dataran tinggi.

Kurva-kurva fungsional untuk setiap parameter dilukiskan seperti berikut.

25

KURVA FUNGSIONAL:

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 Pinus Oak-Pinus Upland Hardwoods (Pinus > 75%) (Pinus = 25-75%) (Pinus < 25%)

Asosiasi spesies tumbuhan

Sumber: www.sirmonandassociates.net/Thinning.htm

26

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase pohon berbuah ( semua ukuran)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase lahan yang ditutupi oleh undersotry ( > 12” tinggi)

27

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 1 2 3 4 5 Diversitas understory ( x jumlah spesies per sampel)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase lahan yang ditutupi oleh groudcover ( herba)

28

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 2 4 6 8 10+ Diversitas groundcover ( x jumlah spesies)

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 10 20 30 40 50+ Jumlah pohon ( > 16” dbh/acre)

29

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Persentase pohon > 16” dbh)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 % Kuantitas Edge (Persen area yang mengandung “Edge”)

30

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 200 400 600 800 1000 Rataan jarak ke arah Edge ( ft)

PERHATIAN KHUSUS:Nilai-nilai indeks dan pembobot mungkin perlu diubah di antara wilayah geografis. Suatu persamaan baku harus digunakan untuk semua pendugaan hutan dataran tinggi.

31

8. KATEGORI: TERESTRIAL SUB-KATEGORI: HABITAT/ PENGGUNAAN LAHAN

VARIABEL: Lahan terbuka

1. Definisi dan Pengukuran Kondisi DasarLahan terbuka adalah area yang dicirikan oleh rerumputan, semak-

semak atau tanaman herba yang menyediakan habitat bagi satwa. Parameter lingkungan (suhu, evaporasi, tipe tanah, dan kandungan air) sangat penting untuk mempertahankan habitat etersebut, walaupun kondisi luar dari parameter ini beragam dengan lokasi geografis. Evaluasi tipe habitat ini didasarkan pada komposit dari empat parameter kunci (LMVD, 1976). Parameter-parameter ini ditetapkan dalam suatu studi gabungan yang dilakukan oleh sekitar 20 orang pakar biologi dari LMVD dan WES. Keluaran utama dari studi ini adalah (1) identifikasi parameter yang berhubungan dengan tiga tipe habitat terestrial dan empat tipe habitat akuatik; (2) penetapan pembobot kepentingan relatif untuk setiap parameter pada masing-masing tipe habitat, dan (3) penyajian kurva fungsional untuk setiap parameter. Empat parameter untuk lahan terbuka adalah:

(1). Landuse: tipe-tipe penggunaan lahan(2). Diversitas landuse: varietas yang digunakan di dalam suatu area.(3). Kuantitas edge: lihat definisi pada hutan dataran rendah(4). Rataan jarak ke edge: lihat definisi pada hutan dataran rendah.

Pembobot kepentingan ditetapkan untuk keempat parameter tersebut adalah sbb:

No. Parameter Pembobot1. Landuse 302. Diversitas landuse 153. Kuantitas Edge 304. Rataan jarak ke Edge 25

2. Pendugaan dampakUntuk pendugaan dampak lihat penjelasan pada kategori hutan

dataran rendah. Perlu diperhatikan bahwa kuantitas edge dan rataan jarak ke edge sangat penting bagi satwa liar dan harus mendapatkan banyak perhatian dalam pendugaan dampak. Kurva fungsional untuk keempat parameter disaji-kan dalam gambar berikut ini.

32

KURVA FUNGSIONAL: Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 Kapas- Tnm Kedelai Pasture Prairie Biji-bijian tebu lainnya Pecan

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 1 2 3 4 5 6 Diversitas penggunaan lahan

33

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100 Kuantitas Edge (Persen area yang mengandung Edge)

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

0 200 400 600 800 1000+

Rataan jarak ke arah Edge ( ft)

34

PERHATIAN KHUSUS:Pendugaan kuantitas Edge dan rataan jarak ke arah Edge sangat penting bagi wildlife dan harus diperhatikan secara serius dalam pendugaan dampak.

Sumber: www.oratory.co.uk/index.cfm?fuseaction=sport....

35

9. KATEGORI: TERRESTRIAL

SUB-KATEGORI: HABITAT / LANDUSE

VARIABEL: ZONE PASANG-SURUT

DEFINISI DAN PENYUSUNAN RONA AWAL:Zone pasang-surut didefinisikan sebagai interface terrestrial-

akuatik yang dapat terbuka atau tergenangi secara periodik karena fluktuasi permukaan air. Karena input air jarang yang sama persis dengan output air, maka dapat terjadi perubahan volume air; besarnya perubahan ini tergantung pada tujuan prouyek pembangunan sumberdaya air. Proyek-proyek yang dirancang untuk pemeliharaan saluran atau suplai air jarang mengakibatkan perubahan volume air yang cukup besar; sehingga potensial untuk menciptakan zone pasang surut sangat kecil. Proyek pengendalian banjir biasanya mengakibatkan fluktuasi permukaan air yang sangat besar untuk menimbulkan zone pasang-surut. Daerah perairan dangkan yang menjadi subyek pasang-surut mempunyai peran besar terhadap produktivitas akuatik dan biasanya juga menjadi habitat dari berbagai jenis tumbuhan dan hewan.

Sumber: nzdl.sadl.uleth.ca/cgi-bin/library?e=d-00000-...

PENDUGAAN DAMPAK:Untuk proyek pembangunan air yang menimbulkan zone pasang-

surut, ada beberapa VARIABEL yang sangat penting, termasuk topografi, luasan pasang-surut, frekuensi kejadian pasang-surut, lamanya pasang-surut, dan waktu (dalam setahun) terjadinya pasang-surut. Untuk menghindari kompleksitas penanganan VARIABEL-ganda ini, dua VARIABEL telah

36

dipilih untuk dimasukkan ke dalam kurva fungsional pasang-surut berikut ini. VARIABEL ini adalah intebnsitas pasang-surut dan frekuensi terjadinya pasang-surut di lokasi proyek. Intensitas dinyatakan dalam satuan feet dan menggunakan sekala subyektif mulai dari kondisi alamiah hingga pasang-surut. Indeks kualitas menurun dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi pasang-surut.

KURVA FUNGSIONAL

Indeks Kualitas

1.0

0.8 Jarang

0.6

0.4

Sering 0.2

0.0 2 4 6 8 10 12 14 16 feet

Alamiah Tidak layak Pasang-surut Intensitas pasang surut

PERHATIAN KHUSUS:ciri lain yang juga penting dalam pendugaan dampak adalah topografi, lamanya pasang surut, dan waktu (kapan) terjadinya pasang-surut. Untuk setiap proyek pembangunan, komponen variabel ini harus dilibatkan sebagai bagian dari pendugaan dampak.

37

10. KATEGORI: TERRESTRIALSUB-KATEGORI: HABITAT / LANDUSE

VARIABEL: PENGGUNAAN LAHAN

DEFINISI dan PENYUSUNAN RONA AWAL:Lahan merupakan sumberdaya sangat penting dan kompatibilitas

berbagai macam landuse sangat penting dalam kaitannya dengan kelestarian kualitas lingkungan. VARIABEL ini dievaluasi untuk penggunaan lahan di dalam batas-batas “tanpa” proyek dengan mengidentifikasi enam macam landuse dan me-ranking-nya sesuai dengan kompatibilitasnya satu sama lain. “Dengan” proyek, berarti ada perubahan pola awal dari land-use. Lokasi proyek pembangunan sangat penting dalam menentukan arah dan besarnya perubahan pola land-use ini. Dengan demikian, untuk menjaga atau mencegah terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak diinginkan, harus diperhatikan lokasi berbagai kegiatan proyek.

Ada enam macam land-use yang dapat di-ranking sesuai dengan kompatibilitasnya dan diberi skor pembobot:

Kategori Pembobot

Industri 0.0Komersial 0.2Pemukiman 0.4Pertanian 0.6Hutan buatan 0.8Hutan alam 1.0

38

Sumber: www.fao.org/docrep/T0697E/t0697e04.htm

Land-use alamiah paling berbeda dari land-use industri. Kategori lainnya di-ranking di antara kedua ekstrim ini. Dengan menggunakan besaran sebagai ukuran area, total luasan lahan di dalam lokasi proyek ditetapkan 100% pada fungsi nilai. Luasan untuk setiap tipe land-use ditentukan dan dikalikan dengan pembobotnya masing-masing. Dalam kasus-kasus dimana luasan beberapa tipe land-use tidak dapat ditentukan, maka digunakan pembobot antara. Misalnya, kalau luasan tipe land-use industri dan komersial bergabung, maka kombinasinya diberi pembobot 0.1. Jumlah luasan terboboti dibagi dengan total luasan dan kemudian dikalikan dengan 100 merupakan nilai untuk parameter “dengan” atau “tanpa” proyek: N (Luas land-use x K)Estimasi parameter = S ----------------------------------- 1 Total luasan land-use

N = banyaknya macam land-useK = pembobot masing-masing tipe land-use

39

KURVA FUNGSIONAL

Indeks Kualitas 1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 20 40 60 80 100% Persen dari total area

PENDUGAAN DAMPAK:Lahan yang tergenang oleh aktivitas proyek harus dipisahkan dari

tipe-tipe land-use yang akan dianalisis. Akan tetapi total luasan lahan yang digunakan sebagai pembagi tidak boleh dikurangi alam evaluasi “dengan” proyek. Hal ini akan menjamin bahwa dampak kehilangan area dievaluasi secara penuh.

Sumber: freewebs.com/smumatauli/sbg2.htm

PERHATIAN KHUSUS:

40

Kategori pemukiman dan pertanian harus diboboti serupa, tetapi kawasan industri dan komersial dieri pembobot lebih rendah.

11. KATEGORI: TERRESTRIALSUB-KATEGORI: KUALITAS LAHAN / EROSI TANAH

VARIABEL: EROSI TANAH

DEFINISI DAN PENYUSUNAN RONA AWAL:Erosi didefinisikan sebagai proses dimana partikel tanah

dihancurkan dan diangkut ke lokasi lain oleh air dan/atau angin. Erosi dapat berubah sebagai akibat dari perubahan land-use dan vegetasi penutup lahan. Hampir semua tipe tanah ditahan ditempatnya yang berlereng oleh vegetasi dan sistem perakarannya. Pengambilan vegetasi penutup tanah ini mengakibatkan permukaan tanah terbuka terhadap gaya-gaya erosi air dan angin. Erosi bersifat snagat destruktif. Pertama-tama, tempat itu dapat terkikis kehilangan topsoilnya yang produktif dan/atau terbentuk jurang-jurang yang mengakibatkan lahan tidak produktif. Ke dua, sungai dan danau/waduk yang menerima masukan sedimen akan mengalami degradasi kualitas air dan kualitas ekosistem keseluruhannya.

Setelah gaya-gaya erosi bekerja, bentang lahan menjadi gersang dan secara estetika tidak menarik. VARIABEL utama yang mempengaruhi erosi adalah tekstur tanah, kemiringan lahan, panjang lereng, vegetasi penutup, dan intensitas serta frekuensi dari bekerjanya gaya-gaya erosi.

Kebanyakan model persamaan kehilangan tanah atau erosi tanah didasarkan pada model yang menjelaskan hubungan di antara berbagai faktor yang mempengaruhi erosi. Satu model yang dikembangkan untuk lahan pertanian, namun masih boleh dimodifikasi untuk tipe vegetasi lainnya ialah:

A = R.K.L.S.C.P

dimana:A = dugaan kehilangan tanah per satuan luasan lahanR = faktor hujanK = faktor erodibilitas tanahL = faktor panjang-lerengS = faktor kemiringan-lerengC = faktor pengelolaan tanamanP = faktor praktek/tindakan pengendalian erosi.

41

Sumber: www.fao.org/docrep/v8350e/v8350e0a.htm

PENDUGAAN DAMPAK:Pendugaan dampak proyek terutama melibatkan perhitungan

perubahan erosi tanah akibat dari aktivitas proyek. Persamaan erosi tanah seperti di atas dapat digunakan untuk menduga tingkat erosi dengan adanya proyek.

Kurva fungsional berikut ini didasarkan pada premise bahwa peningkatan erosi tanah dianggap tidak baik ditinjau dari kualitas lingkungan. Deskriptor berikut ini sesuai untuk kurva fungsional:

42

KURVA FUNGSIONALIndeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 Tdk ada Ringan Moderat Berat 0 0.5 1.0 1.5 Hasil sedimen ( ac ft / mi2/tahun

Hasil sedimenacre-ft/mi2/tahun Deskriptor

0 Tidak ada0.2 Dapat diabaikan0.5 Ringan1.0 Moderat> 3.0 Parah

PERHATIAN KHUSUS:Karena erosi tanah beragam dengan brbagai faktor, maka erosi dari suatu sub-area di dalam lokasi proyek harus ditentukan sendiri-sendiri.

12. KATEGORI: TERRESTRIALSUB-KATEGORI: KUALITAS LAHAN / EROSI TANAH

VARIABEL: EKSTRAKSI MINERAL

DEFINISI DAN PENYUSUNAN RONA AWAL:Proyek pembangunan sumberdaya air di suatu lokasi geografis

yang mempunyai potensi mineral seperti pasir, kerikil, batu, batubara, petroleum, dan/atau bijih logam berpotensi menimbulkan konflik dengan

43

kepentingan eksploitasi bahan galian-tambang ini di masa mendatang. Perbaikan teknik-teknik eksploitasi dan pengolahan sumberdaya mineral, dan semakin berkurangnya sumberdaya mineral, membuka peluang bahwa deposit mineral yang sekarang nilainya masih rendah akan menjadi sangat berharga di masa mendatang. VARIABEL ini sangat penting dalam kaitannya dengan nilai lokasi bagi pembangunan sumberdaya mineral di masa mendatang.Agregasi informasi tentang sumberdaya mineral yang ada di lokasi proyek sangat penting. Perhatian harus diberikan terhadap sejarah ekstraksi mineral di lokasi itu, demikian juga potensial pengembangan sumberdaya mineral di masa mendatang.

KURVA FUNGSIONAL: Voorhees, 1975.

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

A B CA = Tidak ada indikasi deposit ekonomis potensial di lokasi proyek dan

sekitarnyaB = Ada deposit ekonomis potensial pada lokasi atau sekitar lokasi, tetapi

tidak ada rencana eksploitasiC = Ada deposit ekonomis potensial pada lokasi atau sekitar lokasi. Ada

kemungkinan besar akan dikembangkan, sehingga mengakibatkan dampak sekala luas.

PENDUGAAN DAMPAK:

44

Pendugaan dampak proyek sumberdaya air memerlukan justifikasi profesional oleh tim inter-disiplin mengenai kemungkinan hilangnya peluang ekstraksi mineral sebagai akibat dari adanya proyek.

PERHATIAN KHUSUS:Ekstraksi mineral harus diamati secara hati-hati dengan jalan menjalin kontak dengan ahli mineral lokal, industri suasta dan masyarakat profesional.

13. KATEGORI: TERRESTRIAL

SUB-KATEGORI: KOMUNITS KRITIS

VARIABEL: DIVERSITAS SPESIES

DEFINISI DAN PENYUSUNAN RONA AWAL:Diversitas spesies merupakan parameter terukur yang dapat

digunakan sebagai indikator kekayaan spesies dalam suatu komunitas atau area geografis. Dalam tingkat pemeriksaan yang paling sederhana, diversitas spesies sama dengan banyaknya spesies yang ada (Collier et al., 1973). Karena kelimpahan relatif suatu spesies sangat penting dalam kaitannya dengan fungsi suatu komunitas, maka seringkali ukuran diversitas juga mempertimbangkan ekuitabilitas kelimpahan atau kepentingan berbagai spesies.Pengukuran melibatkan pertimbangan banyaknya spesies serta banyaknya individu dalam masing-masing spesies.

45

KURVA FUNGSIONAL

Indeks Kualitas

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 0 2 4 6 8 10

Jumlah spesies per 1000 individu

PENDUGAAN DAMPAK:Ukuran diversitas yang digunakan didasarkan pada logaritma

kepadatan individu spesies tumbuhan terrestrial yang dominan. Tumbuhan ini digunakan sebagai indikator diversitas terestrial secara keseluruhan. Data tentang spesies dan kepadatan spesies dominan dikumpulkan dari berbagai habitat dalam ekosistem teresttrial di dalam lokasi proyek. Logaritma dari banyaknya individu (sumbu-Y) di-plot-kan dengan banyaknya spesies (sumbu-X) dan garis regresinya didekati dengan data untuk masing-masing habitat. Banyaknya spesies pe 1000 individu diturunkan dari setiap garis regresi. Rata-rata banyaknya spesies per 1000 individu untuk semua habitat yang diamati merupakan nilai dari parameter “DENGAN” atau “TANPA” proyek: Rataan banyaknya spesiesDugaan parameter = ---------------------------------- 1000 individu

PERHATIAN KHUSUS:Diversitas spesies cenderung menjadi lebih rendah dalam sistem yang terkendali secara fisik dan cenderung lebih tinggi dalam sistem yang terkendali secara biologis (Odum, 1971).

BAHAN BACAAN

46

Abbey-Kalio, N.J. (1992). A pilot study of mangrove litter production in the Bonny estuary of southern Nigeria. Discovery and Innovation 4 (3), 71-78.

Abdel-Razik, M. S. (1991). Population structure and ecological performance of the mangrove Avicennia marina (Forssk.) Vierh. on the Arabian Gulf coast of Qatar. Journal of Arid Environments 20 (3), 331-338.

Acosta, A. (1997). Use of multi-mesh gillnets and trammel nets to estimate fish species composition in coral reef and mangroves in the southwest coast of Puerto Rico. Caribbean Journal of Science 33 (1-2), 45-57.

Acosta, C.A. and Butler, M.J. IV (1997). Role of mangrove habitat as a nursery for juvenile spiny lobster, Panulirus argus, in Belize. Marine & Freshwater Research 48 (8), 721-727.

Akatsu, M., Hosoi, Y., Sasamoto, H. and Ashihara, H. (1996). Purine metabolism in cells of a mangrove plant, Sonneratia alba, in tissue culture. Journal of Plant Physiology 149 (1-2), 133-137.

Aksornkoae, S. (1993). Ecology and Management of Mangrove. IUCN - The World Conservation Union. Bangkok, Thailand. 176 pp.

Alcala-Herrera, J.A., Jacob, J.S., Machain Castillo, M.L. and Neck, R.W. (1994). Holocene paleosalinity in a Maya wetland, Belize, inferred from the microfaunal assemblage. Quaternary Research 41 (1), 121-130.

Alias, S.A., Hyde, K.D. and Jones, E.B.G. (1996). Pyrenographa zylographoides from Malaysian and Australian mangroves. Mycological Research 5, 580-582.

Alias, S.A., Kuthubutheen, A.J. and Jones, E.B.G. (1995). Frequency of occurrence of fungi on wood in Malaysian mangroves. Hydrobiologia 295 (1-3), 97-106.

Allen, J.A. (1998). Mangroves as alien species: the case of Hawaii. Global Ecology and Biogeography Letters 7 (1), 61-71.

Alongi, D.M. (1990a). Community dynamics of free-living nematodes in some tropical mangrove and sandflat habitats. Bulletin of Marine Science 46 (2), 358-373.

Alongi, D.M. (1990b). Effect of mangrove detrital outwelling on nutrient regeneration and oxygen fluxes in coastal sediments of the central Great Barrier Reef lagoon. Estuarine, Coastal and Shelf Science 31 (5), 581-598.

Alongi, D.M. (1994). Zonation and seasonality of benthic primary production and community respiration in tropical mangrove forests. Oecologia 98 (3-4), 320-327.

47

Alongi, D.M. 1996. The dynamics of benthic nutrient pools and fluxes in tropical mangrove forests. Journal of Marine Research 54, 123-148.

Alongi, D.M. 1998. Coastal Ecosystems Processes. CRC Press, Boca Raton, FL, USA.

Alongi, D.M. and A.Sasekumar. 1992. Benthic communities. In “Tropical Mangrove Ecosystem” (A.L. Robertson and A.M. Alongi, eds), pp. 137-172. American Geophysical Union, Washington DC., USA.

Alongi, D.M., Sasekumar, A., Tirendi, F. and Dixon, P. (1998). The influence of stand age on benthic decomposition and recycling of organic matter in managed mangrove forests of Malaysia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 225 (2), 197-218.

Aluri, R.J. 1990. Observations on the floral biology of certain mangroves. Proceedings of the Indian National Science Academy , Part B, Biological Sciences 56 (4), 367-374.

Alvarez-Léon, R. (1993). Mangrove ecosystems of Colombia. In “Conservation and Sustainable Utilization of Mangrove Forests in Latin America and Africa Regions” (L.D. Lacerda, ed), pp. 75-114. Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa.

Ambler, J.W., Ferrari, F.D. and Fornshell, J.A. (1991). Population structure and swarm formation of the cyclopoid copepod Dioithona oculata near mangrove cays. Journal of Plankton Research 13 (6), 1257-1272.

Arancibia, A.Y., Dominguez, A.L.L. and Day, J.W. Jr. (1993). Interaction between mangrove and seagrass habitats mediated by estuarine nekton assemblages: Coupling of primary and secondary production. Hydrobiologia 254, 1-12.

Aschbacker, J., Ofren, R., Delsol, J.P., Suselo, T.B., Vibulsresth, S. and Charrupat, T. (1995). An integrated comparative approach to mangrove vegetation mapping using advanced remote sensing and GIS technologies: preliminary results. Hydrobiologia 295 (1-3), 285-294.

Ashihara, H., Adachi, K., Otawa, M., Yasumoto, E., Fukushima, Y., Kato, M., Sano, H., Sasamoto, H., and Baba, S. (1997). Compatible solutes and inorganic ions in the mangrove plant Avicennia marina and their effects on the activities of enzymes. Zeitschrift fuer Naturforschung 52 (7-8), 433-440.

Azariah, J., Azariah, H., Gunasekaran, S. and Selvam, V. (1992). Structure and species distribution in Coringa mangrove forest, Godavari Delta, Andhra Pradesh, India. Hydrobiologia 247, 11-16.

Bacon, P.R. (1994). Template for evaluation of impacts of sea level rise on Caribbean coastal wetlands. Ecological Engineering 3 (2), 171-186.

Bacon, P.R. and Alleng, G.P. (1992). The management of insular Caribbean mangroves in relation to site location and community type. In: “The

48

ecology of mangrove and related ecosystems” (Jaccarini, V. and E. Martens, eds), pp. 235-241. Kluwer Academic Publishers, Netherlands.

Baelde, P. 1990. Differences in the structures of fish assemblages in Thalassia testudinum beds in Guadeloupe, French West Indies, and their ecological significance. Marine Biology 105 (1), 163-173.

Barton, D.N. 1995. Partial Economic Valuation of management alternatives for the Terraba-Sierpe wetlands, Costa Rica. Senter for Miljoe- og Ressursstudier Rapport 21, 1-30.

Beach, D. 2002. Coastal sprawl -- The effects of urban design on aquatic ecosystems in the United States: PEW Oceans Commission, Washington D.C., 40 p.

Bernard, D., Pascaline, H. and Jeremie, J.J. (1996). Distribution and origin of hydrocarbons in sediments from lagoons with fringing mangrove communities. Marine Pollution Bulletin 32 (10), 734-739.

Berry, A.J. 1975. Molluscs colonizing mangrove trees with observations on Enigmonia rosea (Anomiidae). Proceedings of the Malacological Society of London 41, 589- 600.

Bhosale, L.J. 1994. Propagation techniques for regeneration of mangrove forests-A new asset. Journal of Non-timber Forest Products 1 (3-4), 119-122.

Bhosale, L.J. and Mulik, N.G. (1991). Strategies of seed germination in mangroves. In “Proceedings on International Seed Symposium” (N. S. David and S. Mohammed, eds), pp. 201-205. Jodhpur, India.

Binh, C.T., Phillips, M.J. and Demaine, H. (1997). Integrated shrimp-mangrove farming systems in the Mekong Delta of Vietnam. Aquaculture Research 28 (8), 599-610.

Blaber, S.J.M. and D.A.Milton. 1990. Species composition, community structure and zoogeography of fishes of mangrove estuaries in the Solomon Islands. Marine Biology 105 (2), 259-267.

Blaber, S.J.M., Brewer, D.T., Salini, J.P. and Kerr, J. (1990b). Biomasses catch rates and patterns of abundance of demersal fishes, with particular reference to penaeid prawn predators, in a tropical bay in the Gulf of Carpentaria, Australia. Marine Biology 107, 397 - 408.

Blaber, S.J.M., Salini, J.P. and Brewer, D.T. (1990a). A check list of the fishes of Albatross Bay and the Embley estuary, north eastern Gulf of Carpentaria. CSIRO Marine Laboratories Report Series 210, 1 - 22.

Blasco, F., Saenger, P. and Janodet, E. (1996). Mangroves as indicators of coastal change. Catena 27 (3-4) 167-178.

Boeer, B. 1996a. Increased soil temperatures in salt marshes and mangroves after the 1991 Gulf War Oil Spill. Fresenius Environmental Bulletin 5 (7-8), 442-447.

49

Boeer, B. 1996b. Impact of a major oil spill off Fujairah. Fresenius Environmental Bulletin 5 (1-2), 7-12.

Bonde, S.D. 1991. Significance of mangrove and other coastal plants from the Tertiary sediments of India. In “Proceedings of the Symposium on significance of Mangroves” (A.D. Agate, S.D. Bonde and K.P.N. Kumaran, eds), pp. 39-46.

Bose, A.K., Urbanczyk-Lipkowska, Z., Subbaraju, G.V., Manhas, M.S. and Ganguly, S.N. (1992). An unusual secondary metabolite from an Indian mangrove plant, Sonneratia acida Linn. f. In “Oceanography of the Indian Ocean” (B.N. Desai, ed.), pp. 407-411. Oxford and IBH, New Delhi.

Boto, K.G. and Robertson, A.I. (1990). The relationship between nitrogen fixation and tidal exports of nitrogen in a tropical mangrove system. Estuarine, Coastal and Shelf Science 31 (5), 531-540.

Bricker, S.B., Clement, C.G., Pirhalla, D.E., Orlando, S.P., and Farrow, D.R.G, 1999, National Estuarine Eutrophication Assessment: Effects of Nutrient Enrichment in the Nation's Estuaries: Silver Spring, MD, U.S. Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, National Ocean Service, Special Projects Office and the National Centers for Coastal Ocean Science, 71 p.

Chale, F.M.M. 1993. Degradation of mangrove leaf litter under aerobic conditions. Hydrobiologia 257 (3), 177-183.

Chale, F.M.M. 1996. Litter production in an Avicennia germinans (L.) stern forest in Guyana, South America. Hydrobiologia 330 (1), 47-53.

Chan, H.T. 1996. Mangrove reforestation in peninsular Malasyia: a case study of Matang. In “Restoration of Mangrove Ecosystems”, (C. Field, ed.), International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems” pp. 64-76. Okinawa, Japan.

Chen, R. and R.R. Twilley. 1998. A gap dynamic model of mangrove forest development along gradients of soil salinity and nutrient resources. Journal of Ecology 86 (1), 37-51.

Clay, R.E. and Andersen, A.N. (1996). Ant fauna of a mangrove community in the Australian seasonal tropics, with particular reference to zonation. Australian Journal of Zoology 44 (5), 521-533.

Culliton, T.J., 1998, Population -- Distribution, density and growth: Silver Spring, MD, U.S. Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, 1998 on-line at URL: http://state_of_coast.noaa.gov/bulletins/html/pop_01/pop.html.

Ewing, Reid, Pendall, Rolf, and Chen, Don, 2002, Measuring sprawl and its impact: Washington D.C., Smart Growth America, 42 p.

50

Graf, William, et al., 2002, Dam Removal -- Science and Decision Making: Washington, D.C., The Heinz Center for Science, Economics, and the Environment, 221 p.

Hammar-Klose, E.S., and Thieler, E.R., 2001, Coastal vulnerability to sea-level rise; A preliminary database for the U.S. Atlantic, Pacific, and Gulf of Mexico coasts: U.S. Geological Survey Digital Data Series DDS-68, one CD-ROM (Available online at http://pubs.usgs.gov/dds/dds68/)

Ukpong, I.E. 1994. Soil-vegetation interrelationships of mangrove swamps as revealed by multivariate analyses. Geoderma 64 (1-2), 167-181.

Vannini, M., Ruwa, R.K., and Cannicci, S. (1997b). Effect of microclimatic factors and tide on vertical migrations of the mangrove crab Sesarma leptosoma (Decapoda: Grapsidae). Marine Biology 130 (1), 101-108.

Wolanski, E., Mazda, Y. and Ridd, P. (1992). Mangrove hydrodynamics. In “Tropical Mangrove Ecosystems” (A.I. Robertson and D.M. Alongi, eds). Pp. 43-62. American Geophysical Union, Washington D.C.

Woodroffe, C.D. 1999. Response of mangrove shorelines to sea level change. Tropics 8 (3), 159-177.

Young, B.M. and L.E.Harvey. 1996. A spatial analysis of the relationship between mangrove (Avicennia marina var. australasica) physiognomy and sediment accretion in the Hauraki Plains, New Zealand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 42 (2), 231-246.

Zhang, Q., Wen, X., Song, C. and S. Liu. 1996. The measurement and study on sedimentation rates in mangrove tidal flats. Tropic Oceanology 15 (4), 57-62.

51