ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH...
Transcript of ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH...
ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGHARAMAN ROKOK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)
Oleh :
SYIFAUDIN
NIM: 208044100025
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011M
ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGHARAMAN ROKOK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)
Oleh :
SYIFAUDIN
NIM: 208044100025
Dibawah bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
DR. H. M. Nurul Irfan, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH
1973 0802 2003 1210 01 1972 2402 1998 0310 03
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang
Pengharaman Rokok telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
Senin, 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar
Sarjana Syariah (S. Sy) pada Program Studi Ahwal Asyakhsiyyah.
Jakarta, 20 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. HM. Amin Suma, SH., MA., MM
NIP. 1955 0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM
NIP. 1955 0505 1982 0310 12
2. Sekretaris : Mufidah, SH. I.
3. Pembimbing I: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA
NIP. 1973 0802 2003 1210 01
4. Pembimbing II: Kamarusdiana, S. Ag., MH
NIP. 1972 2402 1998 0310 03
5. Penguji I : Dr. H. M. Taufiki, M. Ag
NIP. 1965 1119 1998 0320 02
6. Penguji II : Nahrowi, SH., MH
NIP. 1973 0215 1999 0310 02
i
بسم اهلل الر حمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan
rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi
Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang
InsyaAllah kita termasuk di dalamnya.
Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa
dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Rosdiana, MA, masing-masing sebagai
ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah
dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag dan Kamarusdiana, S. Ag., MH yang keduanya
adalah Dosen pembimbing Penulis, terimakasih yang tak terhingga untuk waktu
ii
yang diluangkan, arahan, bimbingan serta kesabaran yang selalu diberikan
kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
5. Kedua orang tua tercinta yang terhormat Abah dan Ibu yang telah mendidik,
membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak ternilai harganya, semangat
serta doanya kepada penulis.
6. Saudara-saudaraku tercinta Teteh-teteh, Aa’ serta keponakan penulis yang
selalu memberikan senyuman sehingga penulis termotivasi dan tersemangati
ketika penulis mulai mengalami kejenuhan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. kepada seluruh staff pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak memberikan
banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama
bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis.
8. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama
yang telah memberi fasilitas penulis untuk melengkapi referensi dalam
penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2008 yang telah
banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
10. Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini.
Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi pihak-
pihak yang memberikan bantuan kepada penulis terutama bagi rekan-rekan
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
konsentrasi Peradilan Agama.
iii
Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena
manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan
ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan
ucapan terima kasih.
Jakarta, 09 Juni 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PEDOMAN TRANSLITERASI iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah
ROKOK......….………………………………………………..
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
E. Review Study Terdahulu 9
F. Metode Penelitian 12
G. Sistematika Penulisan 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA
A. Definisi Fatwa 16
B. Mekanisme Fatwa 22
C. Kekuatan atau Kedudukan Fatwa 31
BAB III : MAJELIS TARJIH DAN TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Pengertian Majelis Tarjih 35
B. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah 43
C. Tugas dan Wewenang Majelis Tarjih 47
v
BAB IV : ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH
MUHAMMADIYAH
A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan 50
B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok
55
C. Analisis Penulis 63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 69
B. Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi Obyektif yang berkaitan dengan permasalahan (problematika)
terhadap realita memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al- Quran dan
as- Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, hal ini mewajibakan seseorang
yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan Ijtihad (usaha sungguh-
sungguh untuk pengalian hukum). Al- Quran sengaja didisain untuk menjelaskan
persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global dan tidak
diperinci agar tidak kehilangan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. 1
Di sisi lain Allah SWT juga menganugrahkan akal serta fikiran kepada
manusia menjadikannya makhluk yang berkembang, berinovasi, dan
berkeingintahuan tinggi terhadap suatu permasalahan, olehnya melalui pranata
inilah manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk melakukan ijtihad
dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan.
Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang
yang telah memenuhi persyaratan saja, dengan demikian ijtihad tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang akan tetapi orang yang ahli dibidangnya (Ulama)
1 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 6
2
ini salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk melakukan ijtihad untuk bertanya atau memohon penjelasan
kepada orang yang mempuyai kompetensi dalam menjawab permasalahan
tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang
status hukum (fatwa) suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan
hukumnya. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup
dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat,
sekalipun fatwa juga dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (Ghair
Mulzimah)2.
Aktivitas yang berkembang dewasa ini khususnya di Indonesia adalah
perilaku merokok. Kegiatan merokok dalam masyarakat dianggap sebagai hal
yang biasa, hal ini karena banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan
merokok. Fenomena yang ada merokok tidak hanya menjadi komoditi kaum pria
dewasa bahkan dintaranya adalah kaum hawa dan yang lebih miris lagi, tidak
sedikit jumlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah
konsumtif terhadap rokok. Berdasarkan pengamatan komisi perlindungan Anak
Indonesia, ditemukan fakta bahwa setidaknya 60% anak-anak di bawah umur
sudah mengenal rokok.3
2 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), dalam kata
pengantar.
3 Koran Tempo, 15 Agustus 2008.
3
Rokok sudah menjadi konsumsi harian masyarakat. Rokok bebas dijual di
warung, di jajakan di jalan raya, di jual di toko-toko, bahkan koperasi kampus pun
tidak lewat ikut memasarkannya. Rokok adalah makhluk beracun yang terus-
menerus menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Peraturan pemerintah, fatwa majelis ulama, penelitian ilmiah, bahkan ancaman
kesehatan serta kematian pun tetap tidak menjadikan masyarakat untuk
meninggalkan rokok. Bahkan beragam alasan mereka pertahankan untuk
mereduksi hukum agar rokok tetap diperbolehkan, walaupun pada kenyataannya
banyak data yang mempresentasikan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.
Tidak hanya WHO (World Health Organization) bahkan lebih dari 70.0004
artikel ilmiah mengemukakan bahwa dalam kepulan asap rokok terkandung 4000
racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat Karsinogenik yakni merangsang
tumbuhnya kanker, berbagai zat yang terkandung diantaranya adalah Tar, Karbon
Monoksida (CO) serta Nikotin.
Dari hasil penelitian yang dilakukan United Satate Surgeon General
Amerika Serikat menyatakan ada 10 tipe kanker yang disebabkan oleh rokok5
yaitu kanker mulut, tenggorokan, pita suara, esofagus, kanker paru-paru, lambung,
kanker pankreas, kantung kemih, leher rahim, leukimia bahkan kanker darah.
4 Ahmad Rifa’i Rif’an, Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 7
5 Ibid, h. 8
4
Prof. Dr. Anwar Jusuf, guru besar FIKUI berpendapat bahwa asap rokok
jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara6 karena di dalamnya mengandung
zat kimia yang bersifat karsinogen, zat tersebut memicu sel-sel normal menjadi
ganas dalam prosesnya yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun hal inilah yang memicu timbulnya kanker pada paru-paru.
Penyakit yang disebabkan oleh rokok begitu kompleks, namun sangat
disayangkan meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang bahaya
rokok namun seolah masyarakat tetap tidak peduli. Data WHO (World Health
Organization) juga menyebutkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan
jumlah perokok terbesar di Dunia dan senantiasa meningkat dari tahun
ketahunnya. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS
(Badan Pusat Statistik) menyebutkan persentase jumlah perokok di Indonesia dari
tahun ketahunnya selalu meningkat, jika pada tahun 2001 hanya 31,8% dari
penduduk Indonesia yang merokok peningkatan jelas terjadi dua kali lipatnya
yakni pada tahun 2007 jumlah menjadi 69%7. Inilah kenyataannya sebagian besar
masyarakat Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok tak jarang dari mereka
menyetarakan kebutuhan merokok seperti makanan yang dikonsumsi sehari-hari
bahkan ada yang menjadikannya sebagai prioritas kebutuhan pada urutan pertama.
6 Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005), h. 191
7 Ahmad Rifa’i Rif’an, Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 8
5
Sangat ironis, penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam yakni
87% atau lebih dari 202 juta dari 230 juta8 jiwa sehari-harinya harus terancam
dengan polusi udara yang bercampur racun yang berasal dari kepulan asap rokok.9
Rokok sebagai barang yang ditemukan belakangan ini bukan pada zaman
Rasulullah, karena dalam sejarahanya rokok baru dikenal oleh para pelaut yang
menyertai Columbus ke benua baru Amerika di akhir abad XV dan mulai meluas
keseluruh Dunia di ujung abad XVI10
. Pada perjalannannya kini rokok telah
menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia. Hal inilah yang
kemudian mengundang kontroversi sehingga para ulama dan organisasi keislaman
berupaya berijtihad untuk menentukan hukum mengkonsumsinya.
Sebelum banyak dilakukan penelitian mengenai bahaya dalam kandungan
rokok muncul beberapa pendapat tentang hukum menkonsumsi rokok yang ditarik
hanya sebatas pengetahuan masing-masing mengenai hakikat rokok saja.
Fenomena belakangan ini kaum muslimin di Indonesia dibuat berselisih
pendapat mengenai fatwa dari salah satu organisasi massa yang mengharamkan
rokok. Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah
haram. Keluarnya fatwa haram tersebut menimbulkan perselisihan dikalangan
masyarakat, karena tidak sedikit dari masyarakat yang sudah terbiasa merokok dan
8 Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008
9 Ghufron Maba, Ternyata rokok Haram, (Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008), h. 2
10 Usman Alwi, Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta: Binadaya
Press, 1990) h, 146
6
merasa bahwa rokok tersebut hanya memiliki hukum makruh saja, yaitu lebih baik
ditinggalkan daripada dilakukan, namun tidak ada larangan untuk
mengkonsumsinya kini di haramkan melalui fatwa tersebut.
Beberapa alasan yang menjadi dasar pengharaman rokok di antaranya
adalah sebagai berikut:11
1. Merokok itu sesuatu yang khobits (buruk).
2. Merokok termasuk perbuatan mubadzir.
Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah
memfatwakan mubah. MUI lebih condong untuk memfatwakan rokok Haram
bersyarat. Menurut Tambroni, MUI menjadikan rokok menjadi haram jika dihisap
oleh anak kecil hingga baliq atau sekitar usia 15 tahun, serta jika dihisap oleh ibu
yang sedang hamil dan bagi orang yang berpenyakit jantung. Tak hanya itu, MUI
berpandangan, rokok menjadi haram jika dihisap di tempat umum.
Sejumlah pihak telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di
antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Secara substansial rokok
bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf (diperselisihkan).
Yang menarik dari fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah, bahwa
keputusan yang telah diambil yang didasarkan pada dalil-dalil yang dipandang
paling kuat ketika diputuskan, dapat saja dikoreksi oleh siapapun yang
11
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Meninggalkan Rokok, ( Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005)
h. 38
7
memberikannya, asal disertai dalil/petunjuk dalil yang kuat. Hanya saja, koreksi
atas keputusan itu juga harus melalui keputusan Majelis Tarjih yang didasarkan
pada musyawarah, sesuai dengan ketentuan organisasi. Hal ini berdasarkan pada
filosofi bahwa keputusan Majelis Tarjih bukanlah yang paling benar, tetapi di saat
memutuskan di pandang paling mendekatai kebenaran di antara dalil-dalil yang
didapati di kala itu.12
Berdasarkan kenyataan tersebutlah sehingga penulis tertarik untuk
mengangkat dan mengkaji mengenai Istinbat Hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan mengenai fatwa haram
rokok adalah suatu hal yang sangat penting untuk dibahas, karena rokok itu sendiri
selain memiliki kandungan yang berbahaya bagi tubuh manusia, sedang di sisi lain
rokok sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk ditinggalkan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam memberikan hukum terhadap sesuatu. Pengambilan
hukum terhadap suatu barang tidak boleh dilakukan secara membabi buta tanpa
memperhatikan serta menimbang efek yang melekat elemen-elemen yang
menempel pada sesuatu permasalahan, di satu sisi rokok dianggap menguntungkan
karna menghasilkan pemasukan cukai terbesar, disisi lain rokok membahayakan
12
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 19
8
karena banyak terdapat zat yang dapat mengganggu kesehatan, namun pada
realitanya rokok juga merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak dapat instant
dihapuskan walaupun sudah difatwakan hukumnya.
Berdasarkan analisa di atas penulis ingin mengetahui kedudukan hukum
rokok, dengan mengkaji sumber hukum untuk rokok serta hukum dari obyek yang
digunakan dalam pertukarannya yang menuju pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
Ijma’ maupun Qiyas.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembatasan
permasalah dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana Majelis
Tarjih Muhammadiyah memandang hukum rokok dengan menelusuri literatur-
literatur fiqh dan ushul fiqh.
Sedangkan perumusan permasalahan dalam skripsi ini, adalah:
1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah?
2. Bagaimana mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah?
3. Bagaimana metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap
fatwa haram rokok?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui ketetapan serta pandangan hukum Islam terhadap hukum rokok,
9
sedangkan tujuan khususnya adalah agar penulis mampu menjawab permasalahan
yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, yaitu :
1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih
Muhammadiyah.
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah.
3. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah
terhadap fatwa haram rokok.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Diharapkan skripsi ini dapat menambah keilmuan Hukum Islam berkaitan
dengan Fatwa di Majelis Tarjih Muhammadiyah.
2. Secara Praktis
Seri kajian diharapkan bermanfaat terhadap prilaku yang membentuk
masyarakat, pemerhati hukum.
E. Review Studi Terdahulu
Pembahasan mengenai rokok sudah pernah dibahas sebelumnya oleh
beberapa skripsi, diantanya adalah :
NAMA JUDUL ANALISA
Kamal Febriansyah
(Fakultas Psikologi
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
“Pengaruh peringatan
tentang bahaya merokok
pada iklan rokok terhadap
sikap remaja terhadap
merokok”
Dalam skripsinya ini
penulis berusaha
meneliti bagaimana
pengaruh peringatan
bahaya merokok pada
10
2007) iklan rokok terhadap
sikap remaja terhadap
merokok. Dari hasil
penelitiannya tersebut,
Kamal menyimpulkan
bahwa terdapat
pengaruh yang lemah
dari peringatan bahaya
merokok terhadap
sikap remaja. Hal ini
dipengaruhi oleh
kecenderungan remaja
yang masih dalam
kondisi labil, sehingga
tidak begitu
memperhatikan
peringatan bahaya
merokok itu sendiri.
Bagus Samsudin
(Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas
Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
tahun 2009)
“Respon Warga
Perumahan Reni Jaya-
Pamulang Terhadap
Fatwa Haram Rokok
Majelis Ulama Indonesia
(MUI)”
Dalam skripsinya ini
Penulis berusaha untuk
menjelaskan mengenai
respon masyarakat yang
ada di Perumahan Reni-
Jaya Pamulang fatwa
haram rokok Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Berdasarkan hasil analisa
11
yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa
respon masyarakat
terbagi dua, yaitu antara
yang menerima dan
menolak fatwa tersebut.
Anita
(Jurusan
Pengembangan
Masyarakt Islam
Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
tahun 2010)
“Pelaksanaan program
sosialisasi bahaya rokok
pada Lembaga Wanita
Indonesia Tanpa
Tembakau (WITT) di
masyarakat”
Dalam skripsi ini penulis
menjelaskan tentang
program sosialisasi
bahaya rokok yang
dilakukan oleh para
aktivis yang tergabung
pada Lembaga Wanita
Indonesia tanpa
Tembakau (WITT) di
masyarakat. Dalam
sosialiasi tersebut, para
aktivits berusaha untuk
memberikan penjelasan
kepada masyarakat
bahaya yang terkandung
dalam rokok, seperti
keberadaan tar dan
nikotin yang dapat
menyebabkan berbagai
penyakit pada manusia.
Selain bahaya yang akan
diderita oleh perokok itu
12
sendiri, para aktivis juga
berusaha untuk
menjelaskan bahaya
rokok bagi mereka yang
tergolong perokok pasif.
Adapun perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu terletak
pada Kajian pembahasan, pada skripsi ini penulis menfokuskan pembahasan pada
Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai rokok, penelusuran
pengambilan hukum rokok, serta bahaya rokok bagi kesehatan. Kajian lain yang
penulis coba untuk kemukakan antara lain juga pandangan hukum Islam terhadap
rokok.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian
yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book,
surat kabar, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan
sebagainya yang ada relevansinya dengan judul skripsi.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif-analisis, dalam pengertian tidak sekedar
menyimpulkan dan menyusun data, tetapi juga analisis dan interprestasi dari data-
13
data yang berhubungan dengan rokok, bahaya rokok bagi kesehatan, rokok dalam
hukum Islam serta aplikasinya dari Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni
dalam kaitannya terhadap fatwa yang haram yang dikeluarkannya.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
a. Data Primer
Mengenai obyek dari kajian penelitian ini, penulis menggunakan fatwa
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pengharaman Rokok Sebagai data
Primer bahan analisa pembuatan skripsi ini, Karena melalui istinbath itu penulis
dapat menganalisa metode istinbat hukum yang digunakan Majelis Tarjih
Muhammadiyah terhadap pengharaman rokok.
b. Data Skunder
Sedangkan tehnik dalam pengumpulan data skunder atau data penunjang,
penulis mengumpulkan data dengan bantuan Library Research yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah
hukum, dan lain sebagainya yang mengandung sumber informasi terkait judul
skripsi. Kemudian penulis mengolah data dengan menganalisa serta
mengintrepretasikan bahan kajian yang telah ada untuk memperoleh landasan
teoritis yang akurat serta menunjang proses penulisan skripsi ini, dengan demikian
tujuan untuk memperoleh informasi terkini mengenai segala sesuatu yang
14
dibutuhkan serta menunjang keakuratan data untuk melengkapi penulisan skripsi
ini dapat dicapai dengan maksimal.
c. Teknik Analisis Data
Kemudian teknik analisis data yang penulis lakukan adalah dari data yang
sudah terkumpul baik dari data primer maupun skunder penulis kaitkan dengan
menganalisa permasalah yang ada guna menemukan jawaban terhadap
permasalahan seperti yang telah di rumuskan dalam perumusan permasalahan pada
skripsi ini, dengan menggunakan metode deskriptif analisis.
Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada
ketentuan yang telah diatur dalam buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009”.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab. Dengan uraian
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
Identifikasi Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini berisikan mengenai landasan teori, yaitu Definisi Fatwa,
Mekanisme Fatwa, serta kekuatan atau kedudukan fatwa.
15
Bab III : Bab ini menguraikan Majelis Tarjih dan Tarjih Muhammadiyah, yakni
membahas mengenai pengertian Majelis Tarjih, kedudukan Majelis
Tarjih Muhammadiyah, tugas dan wewenang Majelis Tarjih, serta Fatwa
majelis tarjih Muhammadiyah.
Bab IV : Bab ini membahas mengenai Rokok dalam perspektif majelis tarjih
Muhammadiyah sub pembahasan yaitu rokok dalam persfektif ilmu
kesehatan, metode istinbath hukum majelis tarjih Muhammadiyah dalam
fatwa rokok serta analisis penulis.
Bab V : Adalah penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA
A. Definisi Fatwa
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muslimin seringkali mendengar
istilah fatwa. Bagi sebagian orang, fatwa dianggap sebagai sebuah ketentuan
yang harus dijalankan. Fatwa dianggap sebagai sebuah hukum yang memiliki
konsekuensi dalam menjalankannya. Bagi sebagian yang lain, fatwa dianggap
sebagai sebuah anjuran. Sehingga tidak ada ketentuan hukum dalam menjalankan
atau meninggalkan suatu fatwa.
Fatwa berasal dari bahasa Arab al-ifta’, al-fatwa. Yang secara sederhana
dimengerti sebagai pemberi keputusan.1 Fatwa adalah suatu jawaban resmi
terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum,
yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2
Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
Artinya: “Menyelesaikan setiap masalah” 3
1Pengantar M. Quraisy Shihab dalam bukunya M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia,
Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. II,
h. 16 2Ibid., h. 21.
3Khairul Uman dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1998), h. 173
17
Definisi tersebut jika dicari persamaannya dalam al-Quran adalah sebuah
solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:
( ١٢٧: النساء )
Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka, , sedang kamu ingin mengawini merekadan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahuinya.QS. An-Nisa‟ (QS. An-Nisa (4): 127)
Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:
Artinya:
“Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-
dalil syariah yang mencakup segala persoalan.” 4
4Ibid, h. 175
18
Berdasarkan terminologi tersebut, fatwa adalah sebuah hukum yang
berasal dari Allah dengan menyandarkan pada dalil-dalil syariah mengenai
berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh umat manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah jawaban
(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.5 Fatwa
(bahasa Arab, keputusan yang sah), suatu pengumuman yang sah diberikan
sebagai tanggapan atas suatu pertanyaan tentang suatu praktek hukum Islam.
Keputusan ini diberikan oleh seorang mufti dengan kualifikasi tinggi dan
berdasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan teladan dan wewenang bukan
pendapat pribadi sendiri.6
Fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai
jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustasfi), baik
perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. Dalam ilmu
ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau
sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat.7
5Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007),
Cet. Ke-3, h. 275
6Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, (Jakarta:
Taramedia, 2003), h. 110-111.
7A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 326
19
Dalam buku fatwa Munas VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah
penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahn yang
dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam
melaksanakan ajaran agamanya.8 Fatwa adalah nasehat yang datangnya dari
orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik
tingkatan umurnya, ilmunya maupun kewibawaannya.9 Fatwa adalah sama
dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkait dengan hukum.
Jamaknya adalah fatawa, dalam ilmu ushul fiqh berarti pendapat yang
dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.10
Fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu
persoalan sebagai jawaban dari satu pertanyaan, baik si penanya tersebut jelas
identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11
Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu
pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau
dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.
8Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V
9 M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 77
10
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1996), Jilid 2, h. 326
11
Terj. Yusuf al-Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema
Insani, 1997), h. 5
20
Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak
yang meminta fatwa (mustafti) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak
yang meminta fatwa (mustafti) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok
masyarakat, ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri.
Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang
dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah,
nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak
mempunyai daya ikat atau sanksi bagi yang melanggarnya.
Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial
yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang
meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan
hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan
biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar
suatu ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya
perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada
ketetapan hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.12
Tradisi pemberian fatwa di zaman Nabi Muhammad SAW diawali
dengan datangnya suatu pertanyaan dari umatnya, penjelasan mengenai hukum
Islam didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, dan apa yang diwahyukan pada
12
M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding
Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. Ke-2, h. 16
21
beliau, dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan
dari masyarakat, mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai persoalan,
lalu mendapat jawaban dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada
beliau. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain tentang nikah beda agama (al-
Baqarah (2): 221), khamr dan judi (al-Baqarah (2): 219), masa haid bagi wanita
(al-Baqarah (2): 222), anak yatim (al-Baqarah (2): 220), perang pada bulan
Haram (al-Baqarah (2): 217), dan lain-lain.13
Pada zaman Nabi SAW tidak terdapat pemisahan antara hukum agama
dan hukum negara. Sebagai hakim, beliau memutuskan perkara yang ditanyakan,
dan beliau memerintahkan untuk melaksanakannya, setelah beliau wafat,
permasalahan tentang hukum ditanyakan kepada para khalifah dan hakim yang
mengadili perkara masyarakat. Kalangan sahabat Nabi SAW yang terkenal
sebagai pemberi fatwa di Madinah adalah „Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah,
Abu Hurairah, Said bin al-Musayyab, Urwah ibnu al-Zubair, Abu Bakar ibn
Abdul Rahman ibn al-Haris, Ali ibn Abu Thalib dan Sulaiman ibn Yasar.
Sementara itu di Makkah sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain
Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib, Mujahid ibn Jabar, Ikrimah, Atho‟ ibn
Abi Rabah dan Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Quddus. Sedangkan
di Bashrah sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa antara lain Anas ibn
Malik al-Anshari, Abu „Aliyah Rafi‟ ibn Mahram, Hasan ibn Abi Hasan, dan di
13
Muhammad al – Khudhari Bek, Tarikh al- Tasyri’ al-Islami, (Beirut, Dar al- Kutub al-
Ilmiyyah, 2008), Cet. 3, h. 15
22
Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn al-
„Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.14
Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah
Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga
berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan
penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh
masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah
hukum yang sedang dihadapi.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin
meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia
alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang semakin beragam.
B. Mekanisme Fatwa
Agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan
membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan
agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan
manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi
kehidupan manusia.15
14
Ibid., h. 148
15
Uyun Kamiluddin, Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di
Indonesia, (Bandung: Takafur, 2006) Cet. I, h. 12
23
Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke
milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan
perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa.
Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa
dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun
sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya.
Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam
memahami kebutuhan masyarakat riil manusia.
Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak
pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,
Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan
oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional
terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga
fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa‟il NU. Dua
lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di
Indonesia.16
Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai
beberapa karakteristik, antara lain:
16
M. Atho Mudzar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: INIS, 1993, h. 4
24
1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh
berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid17
,
disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi
beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang
dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat
lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi
posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia
mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu:
Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima
hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya
tidak mendapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh
santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk
menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu
yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.18
17
Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum (mustanbith), adalah: menguasai bahasa Arab,
mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran, mengerti sunnah (hadits), mengerti letak ijma‟ dan
khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, terj. Saefullah, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5, h. 568-575
18
Ibid, h. 595
25
2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.19
Para ulama wajib memberi fatwa,
tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari
dalil-dalilnya.20
Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh
seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan
tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang
seharusnya.21
3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam
hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah:
Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan
fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas
masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang
berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.22
Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab
munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga
keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki
departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai
persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda
tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang
19
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 326
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-2, h. 166
21
Ibid, h. 67
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 596.
26
harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di
atas.
As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua
sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan
kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.23
Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seorang mufti.
Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),
apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah (hukum asal) akan mendatangkan
kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah-
rukhshah-Nya, sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimah-
Nya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah
lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya
memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.24
Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid as-
syarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam
mememutuskan suatu perkara.
1. Memelihara agama (hifz al-dîn)
23
Ibid
24
Ibid, h. 597.
27
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer,
seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka
akan terancamlah eksistensi agama.
b. Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat
jama‟ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini
tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk
agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik
di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2. Memelihara jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
28
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi jiwa manusia.25
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu
dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan
hanya akan mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata
cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan
kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara akal (hifz al-‘aql)
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka
tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
25
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 42
29
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri
dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini
erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.26
4. Memelihara keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari‟atkan
nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan
terancam eksistensi keturunan.27
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan
diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu
akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar
mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami
kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah
tangga tidak harmonis lagi.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari‟atkan
khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka
melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
26
Ibid, h. 43
27
Ibid.
30
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang
yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara harta (hifz al-mâl)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari‟atkan
tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan
cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat
terancanmnya eksistensi harta.
b. Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari‟atkan jual beli
dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan
mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang
memerlukan modal.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan
agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat
kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga
ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.28
Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni,
1. al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai
jawaban yang diajukan.
28
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 44
31
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa.
3. Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan.
4. Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status
hukumnya.
5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan.29
C. Kekuatan/kedudukan Fatwa
Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang sungguh-
sungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan
adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang
krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana
angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting
dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar.
Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai
amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang
harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum
berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya
ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi
dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas
29
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: elsas, 2008) h.21.
32
mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang
kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya
bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum
berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.30
Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di
masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan
mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi
penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.
Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan
sesat apabila ia salah dalam berfatwa.
Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau
mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah
peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah
atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi
bagi yang menghianatinya.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya
telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :
1. Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
2. Apakah dalilnya
3. Apa wajh dalalah-nya.
30
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001), Cet. Ke-2, h.
434-435
33
4. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang
dimaksud.
Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti
itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut
kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-
Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia
ahli di dalam agama Islam.31
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti :
mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari
psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi
dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi
bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam
Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada
pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai
kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.32
Hal ini dijaga demi
menjaga kehati-hatian keluarnya hukum.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan
dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga
tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami
31
Ibid, h.435
32
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta:elsas,2008), h. 29
34
proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat. Kehati-
hatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan
merupakan cerminan keluasan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam
mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi
orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi
orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan
yang matang adalah neraka.33
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai
pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat,
ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu
fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak
mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus
diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih
kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin
untuk mengikutinya atau tidak.
33
Ibid
35
BAB III
MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH
A. Pengertian Majelis Tarjih
Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan pada umumnya dan
pemikirannya dalam bidang fikih khususnya telah ditulis dalam Himpunan
Putusan Majelis Tarjih. Buku ini memuat putusan-putusan yang telah diambil
oleh Majelis Tarjih dalam berbagai bidang, terutama bidang fikih. Kemudian
berbagai macam putusan Majelis Tarjih juga dapati dijumpai dalam buku-buku
lain yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.1
Menurut bahasa, kata tarjih berasal dari rajjaha. Rajjaha berarti member
pertimbangan lebih dahulu dari pada yang lain. Menurut istilah, para ulama
berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama
Hanafiyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu
perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyufu „l-Asrâr disebutkan bahwa
tarjih adalah:2
1Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
Cet. Ke-1, h. 9
2Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 3
36
Artinya: “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di
antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang
nyata untuk dilakukan tarjih.”
Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang
mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya
keterangan; baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid
untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain.
Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian (ta‟rif)
yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi yang
sama, seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Ali Hasballah, dengan rumusan:
Artinya: “Menempatkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan
sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain dengan
ungkapan atau penggunaannya.”3
Sedangkan tarjîh merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu usûl al-fiqh
yang secara harfiah diartikan dengan „pengukuhan‟, yang membuat sesuatu yang
kukuh ( ). Dalam istilah usûl al-fiqh kata ini diartikan dengan
mengukuhkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan yang seimbang
3 Ibid, h.4
37
kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari yang lainnya.
Dengan demikian tarjîh hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan, baik yang bersifat qat‟i maupun zanni. Sedangkan tugas Majelis
Tarjih pada Muhammadiyah adalah membahas dan memutuskan masalah-
masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang
dianggap kuat dalilnya.4
Sedang K.H. Sahlan Rasyidi, sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah
Lubis, mendefinisikan tarjih dalam organisasi Muhammadiyah sebagai:
“Bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli yang meneliti,
membanding, menimbang dan memilih dari segala masalah yang
diperselisihkan karena perbedaan pendapat di kalangan umat awam
mana yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih
dekat dari sumber utamanya ialah al-Quran dan Hadis.”5
Sedangkan tajdid, dari segi bahasa berarti pembaharuan, dan dari segi
istilah tajdid memiliki dua arti, yakni (1) pemurnian; (2) peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah
as-Shalihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan, dan
4 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
Cet. Ke-1, h. 65
5Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi
Perbandingan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 91
38
perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-
Sunnah as-Shalihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut,
diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang
bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Muhammadiyah, tajdid
merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid tersebut mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah ijtihad
dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit
dalam sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadits; dan terhadap kasus yang
terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan
dengan cara menafsirkan kembali al-Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi
masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya, Muhammadiyah mengakui peranan
akal dalam memahami al-Quran dan Hadits. Namun kata-kata “yang dijiwai
ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam
memahami nash al-Quran dan Hadits.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda
dengan kehendak zâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada
pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh
Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan
39
dari arti zâhir nash, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Artinya, nash
itu harus dicari interpretasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.6
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakui kenisbian akal dalam
memahami nash al-Quran dan Hadis. Tetapi, kenisbian itu hanya terbatas pada
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam nash. Sedangkan dalam masalah
keduniaan penggunaan akal sangat diperlukan guna mencapai kemaslahatan
umat. Artinya, masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau
bisa disebut mu‟âmalah, dengan demikian penggunaan akal sangat penting dalam
menghadapi masalah mu‟amalah, khususnya yang berhubungan dengan masalah
sosial, karena Muhammadiyah disebut organisasi sosial. Kerangka tarjih
Muhammadiyah bertitik tolak dari kerangka berpikir bahwa Islam diyakini
sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian
ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian
ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan
penyegaran dengan situasi baru. Sehingga pada hakikatnya tarjih dalam
Muhammadiyah terkait dengan masalah tafsir, hadis, dan usul al-fiqh.7
Setelah penulis mengemukakan pengertian dari tarjih itu sendiri, penulis
kemudian berusaha untuk memberikan beberapa aspek yang terdapat dalam
6 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
Cet. Ke-1, h. 58-59
7Afifi Fauzi Abbas, anggota majlis tarjih PP. Muhammadiyah Periode 2005-2010 pada
pengajian tarjih “Kitab Masail Khamsah” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya,
hari Ahad, 12 Februari 2006. Dikutip dari Rifka Rahma Wardati, Tafsir Tematik al-Quran tentang
Hubungan Sosial antarumat beragama Karya Majlis Tarjih Muhammadiyah, Skripsi, (Jakarta:
Fakultas Ushuluddin, 2006), h. 17
40
proses pentarjihan. Hal ini penulis lakukan,dalam rangka untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang tarjih.
Setidaknya ada tiga aspek pentarjihan. Hal ini jika dilihat dari uraian para
ahli ilmu Ushul Fiqh berkaitan dengan tarjih untuk dalil-dalil manqûl, yaitu:8
1. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi dua:
a. Yang kembali kepada diri perawi yang dibagi menjadi dua pula;
yang kembali kepada diri perawi dan yang kembali pada penilaian
perawi
b. Yang kembali kepada periwayatan
2. Yang kembali kepada matan.
3. Yang kembali kepada hal yang di luar tersebut.9
Untuk lebih jelaskanya, berikut ini adalah penjelasan dari ketiga
aspek pentarjihan tersebut di atas.
1. Yang kembali kepada diri perawi:
a. Jumlah perawi (maksudnya sanad) yang banyak jumlahnya
dimenangkan dari yang sedikit.
b. Kemasyhuran tsiqah seorang perawi dimenangkan dari yang tidak.
c. Perawi yang lebih wara‟ dan takwa dimenangkan dari yang kurang.
8Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 5-8
9 Ibid,
41
d. Perawi yang telah mengamalkan yang diriwayatkan, lebih
diutamakan dari yang menyelisihinya.
e. Perawi yang menghayati langsung yang diriwayatkan, dimenangkan
dari yang jauh.
f. Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi, dimenangkan
dari yang jauh.
g. Perawi yang termasuk kibâr-i l-Shahâbah diutamakan dari yang
Shighâr-i „l-Shahâbah.
h. Perawi yang lebih dulu Islamnya dimenangkan dari yang kemudian.
i. Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan
dari yang hanya menerima dari tulisan.
j. Perawi yang menerima khabar sesudah baligh diutamakan dari
yang menerima sebelum baligh.10
2. Yang kembali pada penilaian (tazkiyah) perawi:
a. Jumlah yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari
yang sedikit.
b. Ungkapan yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari
yang tidak tegas.
c. Pensucian perawi dengan menggunakan kata pensaksian
dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja.
3. Yang kembali pada periwayatan:
10
Ibid, h. 7
42
a. Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya diutamakan
dari yang dibaca di hadapan gurunya.
b. Yang disepakati marfu‟-nya dimenangkan dari yang
diperselisihkan.
c. Riwayat bi l-lafzzhi dimenangkan dari riwayat bi „l-ma‟na.
4. Yang kembali kepada matan, dititikberatkan pada lafaz dan makna:
a. Yang bukan musytarak didahulukan dari yang musytarak.
b. Haqikah didahulukan atas majaz.
c. Kalau keduanya musytarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan
dari yang banyak artinya.
d. Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan atas
yang ma‟qul.
e. Yang tidak memerlukan izhmar atau hadzf didahulukan atas yang
memerlukan.
f. Kalau keduanya hakiki, maka yang lebih masyhur yang dipakai.
g. Makna syar‟i didahulukan atas makna lughawi.
h. Yang ada muakkad-nya didahulukan dari yang tidak.
i. Manthuq didahulukan atas yang mafhum.
j. Khâsh didahulukan atas „âm.
5. Yang kembali pada isi dalil:
a. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan.
b. Yang melarang didahulukan atas yang mewajibkan.
43
c. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh.
d. Itsbat didahulukan atas nafi‟.
e. Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak.
f. Yang mengandung taklifi dimenangkan atas yang wadl‟i.
g. Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.11
6. Tarjih sebuah dalil, berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut di atas:
a. Yang mencocoki dengan dalil lain dimenangkan dari yang tidak.
b. Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah
dimenangkan dari yang tidak.
c. Yang ta‟wil-nya sesuai dimenangkan dari yang tidak sesuai.
d. Hukum yang ber-illah dimenangkan dari yang tidak.12
B. Kedudukan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah
Dilihat dari sejarah berdirnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak
terlepas dari keadaan masyarakat Jawa yang sinkretis, serta banyaknya praktek-
praktek bersifat „abangan‟, menyebabkan konsep dasar tauhid sebagai asas dari
segala hal yang asasi terbelenggu tradisi animistik.13
Gambaran Cliffort Geerzt
cukup memberikan kejelasan bahwa kehidupan ke-Islaman masyarakat Jawa
11
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5,h. 8
12
Ibid, h. 10
13
13
Cliffort Geerzt, The Religion of Java, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), Cet. Ke-3, h. 6
44
terklasifikasi ke dalam tiga struktur sosial, abangan, santri, dan priyayi, di mana
masing-masing varian memberi kesan akan kualitas keberagamaannya masing-
masing. Kondisi demikian menyadarkan Muhammadiyah, sehingga dalam
kongres Muhammadiyah XVI tahun 1927 di Pekalongan, usulan K.H. Mas
Mansur, supaya Muhammadiyah membentuk suatu Majelisatau badan semacam
Majelis ulama yang bertugas khusus meneliti dan menggali hukum-hukum Islam
berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sekarang dikenal dengan Majelis Tarjih,
diterima dengan suara bulat.14
Muhammadiyah disinyalir mengalami stagnasi pemikiran justru karena
Majelis Tarjih Muhammadiyah belum berfungsi secara optimal. Adapun
kelahiran Majelis Tarjih ini K.H. Mas Mansur mendasarinya dengan beberapa
pertimbangan:
1. Dikhawatirkan di masa yang akan datang timbul perpecahan di dalam
tubuh Muhammadiyah yang disebabkan perbedaan faham dan pendapat
mengenai masalah-masalah furû‟iyah.
2. Dikhawatirkan kalau Muhammadiyah menyimpang dari aturan-aturan dan
batasan-batasan agama disebabkan mengejar kebebasan lahiriah dan
mengejar kuantitas.
14
H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985),
h. 17
45
Dengan lahirnya Majelis Tarjih, menjadi tumpuah Muhamadiyah dalam
gerakan pemikiran ke-Islaman dan menjadi simbol pembaharuan
Muhammadiayh tahap kedua.15
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pada kongres Muhammadiyah
XVI di Pekalongan memutuskan untuk membentuk panitia perumusnya yang
personalianya sebagai berikut: K.H. Mas Mansur, Surabaya, A.R. Sutan Mansur,
Maninjau, H. Muchtar, Yogyakarta, H.A. Muthi, Kudus, Kartosudarmo, Jakarta,
M. Husni dan Yunus Amin, Yogyakarta.16
Hasil kerja panitia perumus kemudian
di bawa ke dalam Muktamar Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta.
Muktamar mengesahkan kaidah Majelis Tarjih serta membentuk pimpinan pusat
yang diketuai oleh K.H. Mas Mansur dengan sekretarisnya H. Aslam Zainuddin.
Sehubungan dengan semakin banyaknya tugas yang harus dilaksanakan
oleh Majelis Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 telah
menetapkan Kaidah Lajnah Tarjih. Dalam Pasal 2 Kaidah tersebut disebutkan,
bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh
kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah dan mu‟amalah dunyawiyah.
15
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, (Jakarta: Rajawali Press,
1986), Cet. Ke-1, h. 37
16
H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985),
h. 12
46
3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri
memandang perlu
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat.
5. Mempertinggi mutu ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Persyarikatan.17
Berdasarkan tugas pokok dan kegiatan yang telah dilakukan oleh Majelis
Tarjih, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Majelis sini merupakan
lembaga ijtihad Muhammadiyah. Tugas utamanya adalah menyelesaikan segala
macam persoalan kontemporer, ditinjau dari segi fikih. Tentu yang dimaksud
dengan ijtihat di sini adalah ijtihad jama‟i. Memang dalam perkembangan awal,
ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih banyak bersifat ijtihad intiqa‟i atau
ijtihad tarjihi. Namun dalam perkembangannya yang terakhir sudah mengarah
kepada ijtihad insya‟i. Ijtihad dalam bentuk terakhir ini dilakukan oleh Majelis
Tarjih, erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia
yang mengarah kepada kehidupan modern. Kebanyakan masalah kontemporer
yang dihadapi oleh Majelis Tarjih itu tidak ditemukan dalam khazanah pemikiran
17
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
Cet. Ke-1, h. 66-67
47
umat Islam sebelumnya. Persoalan-persoalan yang baru itu menuntut penanganan
yang baru pula, sesuai dengan tuntutan umat Islam Indonesia kontemporer.18
C. Tugas dan Wewenang Majelis Tarjih
Sejak berdirinya hingga saat ini, tugas Majelis Tarjih Muhammadiyah
telah mengalami perkembangan dan perubahan. Awalnya Majelis Tarjih
Muhammadiyah hanya membahas masalah-masalah yang diperselihkan saja,
yaitu dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Sehingga
tugas utama Majelis ini awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi
warga Muhammadiyah, terutama masalah ibadah.
Agenda pembahasan Majelis Tarjih yang pertama yakni pada tahun 1929 di
solo hanya membahas mengenai ibadah, mulai dari bersuci, hingga pelaksanaan
ibadah haji ditambah dengan pembahasan jenazah dan wakaf. Kemudian pada
tahun 1954 dibahas secara global mengenai sumber ajaran Agama dan masuk di
dalamnya adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan warga
Muhammadiyah secara praktis seperti batas aurat bagi laki-laki, mengajar laki-
laki atau sebalinya dan lain-lain.19
Pada tahun 1960 Muktamar Tarjih baru mulai mengadakan pembahasan
mengenai masalah pembatasn kelahiran, perburuhan, dan hak milik namun pada
18
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5 h. 67
19
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,
1995), Cet. Ke-1, h. 65
48
muktamar ini tidak sampai pengambilan keputusan hingga muktamar-muktamar
yang diselanggarakan dengan berbagai macam pembahasn masalah kontemporer
seperti halnya bunga bank, keluarga berencana (KB) asuransi atau
pertanggungan dan lain sebagainya. Sederet agenda permasalahan yang dibahas
dalam satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya dapat dipahami
bahwa tugas pokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak hanya terbatas
pada masalah-masalah Khilafayat dalam bidang Ibadah saja melainkan masalah
kekinian sesuai dengan perkembangan zaman.20
Jadi, lingkup garapan Majelis Tarjih Muhammadiyah sangat luas, berbeda
dengan tugasnya ketika lembaga ini didirikan.
Sehubungan dengan semakin meluasnya daerah garapan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, maka Pimpnan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971
menetapkan Kaidah Lajnah tarjih. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas Lajnah
Tarjih adalah sebagai berikut:
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh
kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan mu‟amalah dunyawiyah.
3. Memberi fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri
memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah
yang lebih maslahat.
20
Ibid, h. 66
49
5. Mempertinggi mutu ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Persyarikatan.21
Berdasarkan tugas pokok tersebut, tidaklah salah kiranya bahwa Majelis
Tarjih Muhammadiyah dianggap sebagai pangkal penafsiran terhadap masalah-
masalah keagamaan. Penafsiran yang dilakukan jelas bersinggungan dengan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat modern.
Mengingat tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Majelis Tarjih, maka
anggota Majelis Tarjih bukan berasal dari sembarang orang. Dalam Qaidah
Lajnah Tarjihnya dalam pasal 4 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih, disebutkan bahwa
syarat anggota Lajnah Tarjih adalah “Ulama (laki-laki/perempuan) anggota
persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih, yang mempunyai
kemampuan bertarjih. Tentu yang dimaksud dengan bertarjih di sini adalah
melakukan kegiatan di bidang istinbat hukum atau lebih tegas lagi berijtihad.
Itulah yang dimaksud oleh warga Muhammadiyah, bahwa anggota lajnah tarjih
Muhammadiyah harus mampu “membaca kitab kuning” paling tidak dapat
membaca dan memahami kitab Subul al-Salam.)22
21
Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (Muhammadiyah Majlis Tarjih, 1971), h. 2
22
Ibid., h. 68
50
BAB IV
ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan
Kebiasaan merokok dalam pandangan ilmu kesehatan dapat merusak tubuh
manusia, terutama paru-paru. Hal ini dikarenakan dalam rokok terdapat berbagai
kandungan materi beracun yang dapat membahayakan organ tubuh manusia.
Menurut ilmu kedokteran rokok mengandung lebih dari kurang 4000 bahan
kimia1. Di antara materi-materi beracun yang terdapat di dalam rokok antara lain
adalah, Nikotin, Distilasi, Arsenik, Gas Karbon Monoksida, Nitrogen Oksida,
Amonium Karbonat, Ammonia, Formic Acid, Acrolein, Tar dan lain sebagainya.2
Zat tersebut diatas diantaranya dapat diurai sebagai berikut:
1. Nikotin
Nikotin adalah sejenis unsur kimia beracun, mirip dengan alcaline. Ia
merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan
sirkulasi darah. Nikotin membuat pemakainya kecanduan. Bahayanya bisa
dijelaskan oleh fakta bahwa 4 cc nikotin terbukti cukup untuk membunuh
seekor kelinci besar.
1 Suryo Sukendro, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1, h.
80 2 Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2008),
Cet. Ke-2, h. 17-22
51
2. Distilasi
Proses penciptaan unsur hedro karbon yang sangat dikenal sebagai penyebab
kanker.
3. Arsenik
Sejenis unsur kimia yang biasa digunakan untuk membunuh serangga.
4. Gas karbon monoksida
Gas beracun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen.
Yaitu gas yang terbentuk ketika pembakaran tembakau dan kertas
pembungkus rokok dalam waktu lama. Unsur ini memiliki kemampuan cepat
sekali bersenyawa dengan homoegilobine. Akibatnya, suplai oksigen ke
seluruh organ tubuh terhambat. Sebagai gantinya, tubuh terpaksa menyerap
unsur timah berat yang beracun.
5. Nitrogen Oksida
Unsur kimia yang dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan merangsang
kerusakan dan perubahan kulit tubuh.
6. Amonium Karbonat
Unsur kimia yang membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan
mengganggu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat di permukaan lidah
tersebut. Unsur ini juga merangsang produksi air liur, menimbulkan batuk dan
membantu tubuh untuk menerima berbagai macam penyakit seperti pilek,
radang mulut, tenggorokan dan amandel.
52
Bahan rokok yang mengandung bahan kimia beracun yang merusak sel paru-
paru dan menyebabkan kanker.3
7. Ammonia
Sejenis gas tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hydrogen. Zat ini
sangat tajam baunya dan merangsang. Ammonia ini sangat mudah memasuki
sel-sel tubuh. Begitu kerasnya racun yang terdapat pada amonio itu, sehingga
jika disuntikkan sedikit saja ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan
seseorang pingsan.
8. Formic Acid
Jenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat mengakibatkan
lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat
menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut. Bertambahnya jenis
acid apapun dalam peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan menjadi
cepat.
9. Acrolein
Sejenis zat cair tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat ini diperoleh dengan
mengambil cairan dari glyceril, atau dengan metode pengeringan. Zat ini
sedikit banyak mengandung kadar alkohol. Dengan kata lain, acrolein adalah
alkohol yang cairannya telah diambil. Cairan ini sangat menganggu dan
berbahaya bagi kesehatan.4
3 Ibid
53
10. Tar
Tar terbentuk selama pemanasan tembakau. Tar merupakan kumpulan
berbagai zat kimia yang berasal dari daun tembakau sendiri maupun yang
ditambahkan dalam proses pertanian atau industri sigaret.
Selama proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses
pembakarana bahan- bahan padat lainnya, rokok yang terbuat dari daun kering,
kertas zat perasa yang dapat dibentuk oleh elemen karbon (C). Dunia kesehatan
menyatakan bahwa merokok memberi dampak negatif yang luas bagi kesehatan
dan ditengarai sebagai salah satu penyebab utama timbulnya penyakit kangker
paru, jantung koroner, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin.5
DR. Jeffry S. Wigand, mantan wakil presiden penelitian dan pengembangan
Brown and Williamson (B&W0 Tobacco Corperation, Amerika serikat
mengatakan saat ini komposisi rokok bukan hanya sekedar campuran tembakau
dan cengkih, melainkan ada semacam rekayasa kimia ammonia yang ditinggalkan
keasammannya, hal ini lah yang membuat nikotin dalam tembakau jadi lebih
cepat untuk diserap oleh paru-paru dan akhirnya akan berefek ke otak dan sistem
saraf.6 Tidak ada rokok yang “aman”. Inilah pesan yang disampaikan lembaga
kesehatan masyarakat di Indonesia dan di seluruh dunia.
4 Ibid
5 Suryo Sukendro, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1, h.
85 6 Ibid
54
Salah satu akibat orang merokok adalah resiko terkena kanker paru-paru
semakin besar. Anwar Yusuf, guru besar tetap Fakultas Kesehatan Universitas
Indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Umar Basyir, mengatakan bahwa
makin dini orang mulai merokok, makin cepat orang itu terkena kanker paru-
paru. Hasil sebuah penelitian menunjukkan, asap rokok lebih berbahaya
dibandingkan dengan polusi udara.
Lebih lanjut Anwar Yusuf menjelaskan bahwa asap rokok mengandung
zat kimia yang sebagian bersifat karsinogen. Kemampuan dari zat ini adalah
memicu sel-sel normal menjadi ganas. Proses perangsangan itu terjadi selama
bertahun-tahun. Kendati terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya
kanker paru-paru, namun merokok adalah faktor utama penyebab keganasan.7
Proses terjadinya kanker paru-paru membutuhkan waktu 10-20 tahun.
Biasanya, gejala kanker paru-paru diawali umur 40 tahun dan puncaknya pada
usia 60 tahun. Makin dini orang merokok dan terus berkelanjutan, maka
resikonya makin besar. Ketika orang merokok pada usia 10 tahun lebih tua,
rerikonya setengah dari orang yang merokok pada usia lebih muda. 50%
penderita kanker paru-paru tidak mengetahui bahwa asap rokok merupakan
penyebab penyakitnya. Itu disebabkan8
7Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2008),
Cet. Ke-2, h. 190-191.
8 Ibid, h. 191-192
55
Dari berbagai penyakit akibat rokok, maka penyakit paru khususnya
kanker paru-paru, bronkitis kronik, serta jantung merupakan topik-topik yang
paling banyak dibahas para ahli dan menarik perhatian masyarakat luas, hal ini
dikarenakan kurangnya informasi yang diterima masyarakat mengenai bahayanya
asap yang ditimbulkan oleh perokok untuk dirinya sendiri serta orang
sekitarnya.9
Ditinjau dari sudut pandang ilmu kesehatan, rokok sangat berbahaya bagi
kesehatan tubuh manusia. Tidak ada kandungan di dalam rokok yang bermanfaat
bagi organ tubuh manusia. Seluruh kandungan yang terdapat di dalam sebatang
rokok, tidak memiliki dampak yang baik bagi organ tubuh manusia. Sehingga
sering ada ungkapan bahwa “perokok tidak ada yang mati tua”. Ungkapan ini
untuk memberikan sindiran bagi mereka yang menjadi perokok aktif, bahwa
hidup mereka tidak akan sampai usia tua. Dengan kata lain, para perokok
kebanyakan mati muda.
A. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Fatwa
Rokok
Dalam memberikan fatwa haram merokok, Majelis Tarjih
Muhammadiyah memiliki beberapa alasan yang berlandaskan pada dalil-dalil al-
Quran dan Sunnah. Dalil yang berasal dari al-Quran antara lain Surat al-A’raf
ayat 157, al-Baqarah ayat 195, an-Nisa’ ayat 29, al-Isra’ ayat 26-27. Adapun
9 Tjandra Yoga Aditama, Rokok dan Kesehatan (Jakarta : UI Press, 1992) Cet. III. H. 21
56
hadis yang digunakan sebagai dalil pengharaman rokok adalah hadis dari Ibnu
Majah, Ahmad, dan Malik, serta hadis dari Ahmad dan Abu Daud.
Lebih jelasnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengemukakan dua dalil
utama dalam pengharaman rokok, yaitu al-muqaddimât an-naqliyah (penegasan
premis-premis syariah), yang terdiri dari beberapa alasan.10
1. Al-muqaddimât an-naqliyah (penegasan premis-premis syariah)
a. Agama Islam (syariah) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan
khabâits (segala yang buruk), sebagaimana di tegaskan dalam al-Quran:
… …
Artinya: ....Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…. (QS. Al-A’raf/ 7:
157)
b. Agama Islam (syariah) melarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan
dan perbuatan bunuh diri sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran:
...
Artinya: ...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-
Baqarah/ 2: 195)
10
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,1995),
Cet. Ke-1h. 87
57
…
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa’/ 4: 29)
c. Larangan perbuatan mubazir dalam al-Quran:
(٢٧)
(٢٦)
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra’/ 17: 26-27)
d. Larangan menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan pada
orang lain dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik:
Artinya: Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap oranglain
(HR. Ibnu Mâjah, Ahmad, dan Mâlik).11
e. Larangan perbuatan memabukkan dan melemahkan sebagaimana
disebutkan dalam hadis:
11
Ahmad Ibnu Hambal, Ed. Syu’aib al- Arna’uth (Kairo: Mu’assasah al- Risalah) Cet. 2 Vol , h.
55, No. 2865.
58
Artinya: Dari Ummi Salamah bahwa Rasulullah saw melarang
setiap yang memabukkan dan setiap yang melemahkan.
(HR Ahmad dan Abû Dâud).
f. Agama Islam (syariah) mempunyai tujuan (maqâsid asy-syarî’ah) untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Perwujudan tujuan tersebut
dicapai melalui perlindungan terhadap agama (hifd ad-dîn), perlindungan
terhadpa jiwa/raga (an-nafs), perlindungan terhadap akal (al-‘aql),
perlindungan terhadap keluarga (an-nasl), dan perlindungan terhadap harta
(al-mâl). Perlindungan terhadap agama dilakukan dengan peningkatan
ketakwaan melalui pembinaan hubungan vertikal kepada Allah SWT dan
hubungan horizontal kepada sesama dan kepada alam lingkungan dengan
mematuhi berbagai norma dan petunjuk syariah tentang bagaimana berbuat
baik (ihsân) terhadap Allah, manusia dan alam lingkungannya.
Perlindungan terhadap jiwa/raga diwujudkan melalui upaya
mempertahankan suatu standar hidup yang sehat secara jasmani dan rohani
serta menghindarkan semua faktor yang dapat membahayakan dan merusak
manusia secara fisik dan psikis, termasuk menghindari perbuatan yang
berakibat bunuh diri walaupun secara perlahan dan perbuatan menjatuhkan
59
diri kepada kebinasaan yang dilarang di dalam al-Quran.12
Perlindungan
terhadap akal dilakukan dengan upaya antara lain membangun manusia
yang cerdas termasuk mengupayakan pendidikan yang terbaik dan
menghindari segala hal yang bertentangan dengan upaya pencerdasan
manusia. Perlindungan terhadap keluarga diwujudkan antara lain melalui
upaya penciptaan suasana hidup keluarga yang sakinah dan penciptaan
kehidupan yang sehat termasuk dan terutama bagi anak-anak yang
merupakan tunas bangsa dan umat. Perlindungan terhadap harta
diwujudkan antara lain melalui pemeliharaan dan pengembangan harta
kekayaan materiil yang penting dalam rangka menunjang kehidupan
ekonomi yang sejahtera dan oleh karena itu dilarang berbuat mubazir dan
menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak berguna dan bahkan
merusak diri manusia sendiri.
2. Tahqîq al-Man’î
a. Penggunaan untuk konsumsi dalam bentuk rokok merupakan 98 % dari
pemanfaatan produk tembakau, dan hanya 2% untk penggunaan lainnya.13
b. Rokok ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung
4000 zak kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus
kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar,
12
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,
1995), Cet. Ke-1,, h. 89 13
Departemen Kesehatan, Fakta Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk Strategi
Nasaional Penanggulangan Masalah Tembakau, 2004
60
sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Kalangan
medis dan para akademisi telah menyepakati bahwa konsumsi tembakaku
adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera ditanggulangi.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Margaret Chan, melaporkan bahwa epidemi
tembakau telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantara kanker paru dan
penyakit jantung serta lain-lain penyakit yang diakibatkan oleh merokok.
Itu berarti bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8
detik. Apabila tindakan pengendalian yang tepat tidak dilakukan,
diperkirakan 8 juta orang akan mengalami kematian setiap tahun akibat
rokok menjelang tahun 2030. Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal
karena rokok, dan selama abad ke-21 diestimasikan bahwa sekitar 1 milyar
nyawa akan melayang akibat rokok.
c. Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi
dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Kematian balita dengan ayah merokok di perkotaan mencapai
8,1% dan di pedesaan mencapai 10,9%. Sementara kematian balita dengan
ayah tidak merokok di perkotaan 6,6% dan di pedesaan 7,6%. Resiko
kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di
perkotaan dan 24% di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita
terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162
61
ribu per tahun (Unicef 2000), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh
perilaku merokok orang tua.14
d. Adalah suatu fakta bahwa keluarga termiskin justru mempunyai prevelensi
merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka
SUSESAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk
membeli rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga terkaya pengeluaran
rokoknya hanya 6,8%. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok sebesar
11,9% itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Fakta
ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin perokok menggeser
kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Ini artinya
balita harus memikul resiko kurang gizi demi menyisihkan biaya untuk
pembelian rokok yang beracun dan penyebab banyak penyakit mematikan
itu. Ini jelas bertentangan dengan perlindungan keluarga dan perlindungan
akal (kecerdasan) dalam maqâsid asy-syari’ah yang menghendaki
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pengembangan kecerdasan
melalui makanan bergizi.15
e. Dikaitkan dengan aspek sosial-ekonomi tembakau, data menunjukkan
bahwa peningkatan produksi rokok selama periode 1961-2001 sebanyak 7
kali lipat tidak sebanding dengan perluasan lahan tanaman tembakau yang
konstan bahkan cenderung menurun 0,8% tahun 2005. Ini artinya
14
Ibid., h.8 15
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, No. 6/ SM/ MTT/ III/ 2010.
62
pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui impor. Selisih
nilai ekspor daun tembakau dengan impornya selalu negatif sejak tahun
1993 hingga tahun 2005. Selama periode tahun 2001-2005, devisa terbuang
untuk impor daun tembakau rata-rata US$ 35 juta. Bagi petani tembakau
yang menurut Deptan tahun 2005 berjumlah 684.000 orang, pekerjaan ini
tidak begitu menjanjikan karena beberapa faktor. Tidak ada petani
tembakau yang murni; mereka mempunyai usaha lain atau menanam
tanaman lain di luar musim tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar
yang kuat menyangkut harga tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga
tahun terakhir tidak membawa dampak berarti kepada petani tembakau
karena kenaikan itu diiringi dengan kenaikan biaya produksi. Pendidikan
para buruh tani rendah, 69% hanya tamat SD atau tidak bersekolah sama
sekali, dan 58% tinggal di rumah berlantai tanah. Sedang petani pengelola
64% berpendidikan SD atau tidak bersekolah sama sekali dan 42% masih
tinggal di rumah berlantai tanah. Upah buruh tani tembakau di bawah Upah
Mininum Kabupaten (UMK); Kendal 68% UMK, Bojonegoro 78% UMK,
dan Lombok Timur 50% UMK. Upah buruh tani tembakau termasuk yang
terendah, perbulan Rp 94.562, separuh upah petani tebu dan 30% dari rata-
rata upah nasional sebesar Rp 287.716,- per bulan pada tahun tersebut.
Oleh karena itu 2 dari 3 buruh tani tembakau menginginkan mencari
pekerjaan lain, dan 64% petani pengelola menginginkan hal yang sama. Ini
63
memerlukan upaya membantu petani pengelola dan buruh tani tembakau
untuk melakukan alih usaha dari sektor tembakau ke usaha lain.16
f. Pemaparan dalam halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau
hari Ahad 21 Rabiul Awal 1431 H/07 Maret 2010 M, mengungkapkan
bahwa Indonesia belum menandatangani dan meratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga belum ada dasar yang
kuat untuk melakukan upaya pengendalian dampak buruk tembakau bagi
kesehatan masyarakat. Selain itu terungkap pula bahwa cukai tembakau di
Indonesia masih rendah dibandingkan beberapa negara lain sehingga harga
rokok di Indonesia sangat murah yang akibatnya mudah dijangkau keluarga
miskin dan bahkan bagi anak-anak sehingga prevalensi merokok tetap
tinggi. Selain itu iklan rokok juga ikut merangsang hasrat mengkonsumsi
zat berbahaya ini.
B. Analisis Penulis
Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih
dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan
ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber
hukum yang akan dijadikan dalilnya.
Artinya, bahwa dalam menerapkan nash terhadap satu kasus yang baru,
kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan
16
Ibid
64
disyari’atkan hukum tersebut. Setelah itu perlu dilakukan “studi kelayakan”
(tanqîh al-manâth), apakah ayat atau hadis tertentu layak untuk diterapkan
dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadist. Padahal setelah
diadakan penelitian yang seksama, ternyata kasus itu tidak sama.
Konsekuensinya, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus
yang pada kedua sumber hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya
pengetahuan tentang tujuan hukum disyari’atkan hukum dalam Islam.
Dalam mengeluarkan sebuah fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah
menggunakan dua argumen, al-muqaddimât an-naqliyyah (penegasan premis-
premis syariah) dan tahqîq al-man’i (penegasan fakta syariah). Pada argumen
pertama, Majelis Tarjih berusaha untuk menelusuri sumber-sumber hukum Islam
yang berkaitan dengan masalah yang akan difatwakan, di mana dalam penelitian
ini adalah masalah pengharaman rokok.
Untuk nash al-Quran, Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan ayat
157 surat al-A’raf, di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan tentang
penghalalan sesuatu yang baik dan mengharamkan sesuatu yang buruk. Jika
dilihat dari kandungan yang terdapat dalam rokok, maka dapat dipastikan bahwa
tidak ada satu kandungan pun yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Hampir
seluruh kandungan yang terdapat dalam rokok memberikan dampak buruk bagi
organ tubuh manusia. Maka menurut hemat penulis, pemilihan ayat ini sangat
tepat jika melihat resiko yang ditimbulkan dari merokok.
65
Selanjutnya, ayat yang digunakan adalah surat al-Baqarah ayat 195, yang
di dalamnya terdapat larangan bagi manusia untuk menjerumuskan diri mereka
kepada kebinasaan. Berbagai kandungan berbahaya yang terdapat dalam rokok
memang bisa menghantarkan perokoknya dalam kebinasaan atau kematian.
Sehingga resiko terkena penyakit yang menyebabkan kematian pada diri perokok
lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Lalu ayat berikutnya adalah surat an-Nisa’ ayat 29, yang melarang umat
manusia untuk membunuh dirinya sendiri. Seperti pada ayat sebelumnya, dalam
ayat ini juga tersirat bagaimana Allah SWT sangat menyayangi makhluk ciptaan-
Nya, sehingga melarang mereka untuk menghancurkan diri mereka atau
membunuh diri mereka sendiri.
Sedangkan hadits yang dipergunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah
dalam mengeluarkan fatwa pengharaman rokok, di antaranya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang isinya larangan
menimbulkan mudharat atau bahaya, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Sebagaimana diketahui, bahwa mereka yang aktif merokok, tidak saja
membahayakan diri mereka sendiri dengan memasukkan kandunga-kandungan
yang berbahaya ke dalam tubuh, melainkan juga membahayakan orang-orang di
sekitarnya yang disebut dengan perokok pasif.
Adapun hadis kedua, adalah hadis yang diriwayatkan dari Ahmad dan
Abu Daud, yang isinya Rasul melarang setiap yang memabukkan dan yang
melemahkan. Kandungan hadis ini memang masih membuka diskusi bagi
66
kalangan intelektual, apakah rokok termasuk barang yang memabukkan atau
tidak. Bagi sebagian orang, justru terdapat opini yang mengatakan bahwa dengan
tidak merokok, kinerja mereka menjadi menurun. Sehingga ada pembenaran
dalam tindakan mereka.
Lalu dalil berikutnya yang digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah
adalah maqâshit as-syari’ah, di mana telah dijelaskan sebelumnya terdapat 5 hal
yang harus dijaga oleh kaum muslimin. Di antara lima hal tersebut adalah
perlindungan terhadap jiwa/raga. Seorang muslim hendaknya menjaga jiwa dan
raga mereka dari berbagai bahaya yang berasal dari makananan maupun
minuman, bahkan barang-barang yang membahayakan itu sendiri seperti rokok.
Selain perlindungan terhadap jiwa dan raga, juga ada perlindungan terhadap
harta. Sebagaimana diketahui, bahwa untuk dapat merokok, seseorang harus
mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya. Barang dibeli tersebut
kemudian dibakar. Dengan demikian, tidak ada manfaat bagi tubuh itu sendiri,
karena yang masuk ke dalam tubuh hanya berupa asap saja.
Lalu penulis berusaha menelaah argumen kedua yang digunakan oleh
Majelis Tarjih Muhammadiyah, tahqîq al-man’i (penegasan fakta syariah). Di
dalam argumen kedua, Majelis Tarjih berusaha menjelaskan aspek-aspek sosial
yang ada di sekitar rokok. Sebagai sebuah industri, konsumsi rokok hanya
menggunakan 2 persen bahan lain selain tembakau. Ini artinya bahwa yang
dihisap oleh para perokok 98% adalah tembakau. Lalu pada poin kedua
dijelaskan tentang berbagai kandungan berbahaya yang terdapat di dalam
67
tembakau itu sendiri. Serta dipaparkan beberapa data yang menyebutkan jumlah
orang yang meninggal akibat merokok.
Pada poin ketiga, diungkapkan fakta mengenai bagaimana kondisi orang-
orang yang ada di sekitar para perokok. Ini artinya bahwa bahaya yang
ditimbulkan oleh rokok tidak hanya pada perokok itu sendiri, melainkan kepada
orang lain.
Selanjutnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengungkapkan fakta bahwa
kebanyakan para perokok adalah mereka yang berasal dari golongan miskin. Ini
artinya, bahwa konsumen rokok bukan termasuk masyarakat yang memiliki
pendapatan tinggi, akan tetapi justru sebaliknya. Keadaan ini tentu menjadi ironi,
karena masyarakat yang berpenghasilan rendah, justru sebagian besar
penghasilan mereka dihabiskan untuk sesuatu yang merusak badan mereka.
Dengan demikian, konsekuensinya adalah alokasi dari pendapatan mereka untuk
makanan yang bergizi akan semakin berkurang, di mana hal ini akan
memberikan efek buruk bagi perkembangan dan pertumbuhan badan anak-anak
mereka.
Pada poin selanjutnya, Majelis Tarjih mengajukan fakta lain yang
berkenaan dengan dampak sosial ekonomim dari industri rokok itu sendiri.
Berdasarkan data yang mereka miliki, peningkatan konsumsi rokok ternyata
tidak serta merta membawa dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat. Hal ini
karena sebagian besar bahan baku rokok berupa tembakau didatangkan dari
68
negara lain atau impor. Selain itu kondisi petani tembakau di Indonesia juga tidak
termasuk dalam kategori yang sejahtera.
Argumen tersebut meruntuhkan anggapan sebagian masyarakat yang
menganggap bahwa pelarangan rokok akan membawa dampak ekonomi yang
cukup buruk bagi para petani tembakau. Sebagai sebuah industru, tentu banyak
pihak yang memiliki kepentingan dengan pelarangan atau penghalalan suatu
produk, terutama produk rokok.
Dari hasil analisa yang telah penulis kemukakan, dapat disimpulkan
bahwa fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih
Muhammadiyah dikeluarkan dengan pertimbangan yang masak-masak. Fatwa
tersebut berusaha untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, terutama
warga Muhammadiyah agar raga atau tubuh mereka tidak menjadi rusak karena
konsumsi rokok. Selain dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok,
pertimbangan lainnya adalah bahwa alokasi pendapatan masyarakat yang
menjadi perokok untuk belanja rokok seringkali lebih besar dibandingkan dengan
alokasi pendapatan mereka untuk makanan yang bergizi. Kondisi ini tentu akan
berdampak buruk bagi generasi mendatang, terutama generasi yang tumbuh di
kalangan masyarakat berpenghasilan rendah yang orang tuanya menjadi perokok
aktif.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap literatur yang berkaitan
dengan pembahasan, yaitu istinbath hukum Islam dengan mengambil studi kasus
fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah sebagai sebuah badan yang
mengkaji berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, di
mana persoalan-persoalan tersebut belum ada hukumnya. Untuk itu Majelis
Tarjih Muhammadiyah berusaha untuk mencari hukum berkenaan dengan
persoalan kontemporer dengan bersandarkan pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Selanjutnya, setelah dilakukan kajian yang mendalam terhadap
suatu masalah, Majelis Tarjih mengeluarkan hukum tersebut yang berupa
fatwa.
2. Mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan cara
memilih anggota MajelisTarjih yang memiliki kompeten di dalam keilmuan
agama. Para anggota Majelis Tarjih dituntut untuk menguasai berbagai
literatur ke-Islaman yang berkaitan dengan masalah hukum. Berkenaan
dengan pengeluaran suatu fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah
menyandarkannya kepada sumber-sumber hukum Islam yang ada.
70
3. Metode istinbat hukum fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis
Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan menelaah sumber-sumber hukum
Islam. Dalam metode tersebut, Majelis Tarjih Muhammadiyah
mengemukakan dua dalil, yaitu al-muqaddimât al-naqliyyah (penegasan
premis-premis syariah) dan tahqîq al-man’i (penegasan fakta syar’i). Pada
dalil pertama, dikemukakan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan pada dalil kedua, dikemukakan fakta-fakta yang
ada melalui berbagai penelusuran referensi.
B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dala penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tema yang penulis angkat, yaitu
metode istinbat hukum fatwa pelarangan rokok. Penelitian bisa dikembangkan
kepada majelis-majelis lain yang memliki kompetensi dalam mengeluarkan
suatu fatwa.
2. Bagi masyarakat yang mendukung keluarnya fatwa pengharaman rokok dari
Majelis Tarjih Muhammadiyah, hendaknya tidak serta merta menjadi polisi
sosial dengan memberikan hukuman kepada mereka yang masih merokok. Hal
ini mengingat bahwa kekuatan fatwa hanya sebatas anjuran atau nasehat.
Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan fatwa ini, hendaknya menyikapi
perbedaan tersebut dengan arif. Karena fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
71
Tarjih Muhammadiyah ini ditujukan bagi kemaslahatan masyarakat itu
sendiri. Perbedaan yang terjadi dalam menafsirkan suatu masalah, hendaknya
tidak disikapi dengan tindakan anarkis. Melainkan hendaknya disikapi dengan
arif dan bijaksana dengan mengemukakan argumen-argumen yang sesuai
dengan dalil-dalil yang ada dalam syari’at.
72
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahnya.
Abdurrahman, Asjmuni, Manjhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, Cet.ke-5.
Aditama, Tjandra Yoga, Rokok dan Kesehatan Jakarta : UI Press, 1992 Cet. III
Ahmad Ibnu Hambal, Ed. Syu’aib al- Arna’uth (Kairo: Mu’assasah al- Risalah) Cet.
2 Vol , h. 55, No. 2865.
Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008.
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006, Cet. Ke-13.
Agnes Tineke, Kompas Minggu 2 Mei 2002.
Alwi, Usman Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta:
Binadaya Press, 1990)
Basyir, Abu Umar, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, Jakarta: Pustaka At-Tazkia,
2005.
Beik, M. Hudori, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Surabaya, Al-Hidayah, t.th.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad MajelisTarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos,
1995, Cet. Ke-1.
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Fanjari, Al, Ahmad Syauqi, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, 1996.
Iqbal, Muhammad dan Hunt, William, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, Jakarta:
Taramedia, 2003.
Geerzt, Cliffort, The Religion of Java, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, Cet. Ke-3.
73
Hooker, M.B., Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial,
terjemahan Iding Rosyidin Hasan, Jakarta: Teraju, 2003, Cet. II.
Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (PP Muhammadiyah MajelisTarjih, 1971.
Kamiluddin, Uyun Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di
Indonesia, Bandung: Takafur, 2006 Cet. I,
Karim, M. Rusli, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta: Rajawali
Press, 1986, Cet. Ke-1.
Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi
Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V.
Muchtar, H.D.G., et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, Yogyakarta: PP
Muhammadiyah, 1985.
Mudzar, M. Atho, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: INIS, 1993.
Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Maba, Ghufron Ternyata rokok Haram, Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008.
Qaradhawi, Al, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Abu Hana
Zulkarnain dan Abdurrahim Mu’thi, Jakarta: Akbar, 2004, Cet. Ke-1.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung : PT Sinar Baru Algesindo, 1994.
Rifa’i Ahmad Rif’an, Merokok Haram, Jakarta: Republika, 2010.
Ritonga, A. Rahman, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Roan, Ilmu Kedokteran Jiwa, Psikiatri, 1979.
Ash-Shiddiequ, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Ke-2
Sukendro, Suryo, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet.
Ke-1
74
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001, Cet. Ke-2
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, Jakarta: pustaka Firdaus,
1999), cet. Ke-5
Tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Cet. Ke-3
Uman, Khairul dan Aminuddin, A. Achyar, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1998
Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Kontemporer, Jakarta: Pustaka Saksi, 2000
Yanggo, Chuzaimah T., Prof. Dr.,dan Anshary, A. Hafiz, (ed.)Problematika Hukum
Islam Kontemporer Edisi keempat, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2002, Cet.
Ke-3
Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok
htpp://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampak-
merokok-bagi-kesehatan, posted February 18th, 2008 by djmanshiro.
http://ackogtg.wordpress.com/2009/02/19/merokok-dilihat-dari-sudut-pandang-
kedokteran-dan-islam/#more-183
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/24/brk,20100324-235034,id.html
http://www.microfin-center.com/web/index.php?option=com content&view
=article&id=48:tentang-fatwa&catid=34:artikel-ekonomi-syariah&Itemid=56
http://www.sampoerna.com/default.asp?Language=Bahasa
&Page=smoking&searWords=, artikel diakses pada tanggal 18 Desember
2010
Warta Berita
Harian Umum Republika, Selasa 26 Maret 2002.
Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008