istihsan

32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al- Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah

Transcript of istihsan

Page 1: istihsan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus

dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath

hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang

mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat

mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada

koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat

dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin

kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal

Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya,

internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan

(ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan

istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf

fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian

dan penyimpulan hukum.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang

tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan

Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan

kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma

dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:

Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab

sahabi.

Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan

maslahah mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya,

kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan al-Istihsan?

2. Apa yang dimaksud dengan al-Maslahah al-Mursalah?

3. Apa yag dimaksud dengan al-Istishab?

Page 2: istihsan

2

1.3 Tujuan

1. Mengetahui yang dimaksud dengan al-Istihsan

2. Mengetahui yang dimaksud dengan al-Maslahah al-Mursalah

3. Mengetahui yang dimaksud dengan al-Istishab

Page 3: istihsan

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 al-Istihsan

A. Pengertian al-Istihsan

Istihsan secara harfiyah diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni

menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.1 Istihsan menurut

bahasa adalah حسنا الشيء 2 .(menganggap baik sesuatu) عد

Istihsan secara istilah ulama ushul fiqh adalah sebagai berikut:

1. Menurut Al Ghazali, istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh

mujtahid menurut akalnya.

2. Menurut Al Muwafiq Ibnu Qudamah Al Hambali, istihsan adalah suatu

keadilah terhadap hokum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari

Al Qur’an dan As Sunnah.

3. Menurut Abu Ishaq Asy Syaitibi dalam madzhab Al Maliki, istihsan adalah

pengambilan sesuatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil

yang bersifat global.

4. Menurut Al Hasan Al Kurkhi Al Hanafi, istihsan adalah perbuatan adil

terhadap suatu permasalahan hokum dengan memandang hokum yang lain,

karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.

5. Menurut Muhammad Abu Zarhah difinisi yang lebih baik adalah menurut

Hasan Al Kurkhi di atas.

6. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil

dalam hokum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan

lain-lain.3

Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Dr. Abdullah Wahhab Kallaf

menjelaskan pengertian istihsan menurut pandangan ulama ushul. Istihsan adalah

1 Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, M.A. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: 2007), Pustaka Setia, hlm 111.2 Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: 2010) Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, hlm 72.3 Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, M.A OpCit. Hlm 111-112.

Page 4: istihsan

4

berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas

khafi. Atau dari hukum kulli (umum) kepada pengecualian, karena ada dalil yang

menyebabkan dia mencela akalnya, dan memenangkan bagiannya perpindahan

ini. Jadi apabila terjadi suatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai

hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan,

yaitu:

a. Segi nyata yang menghendaki suatu hokum.

b. Segi tersembunyi yang menghendaki hokum lain.

Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi

pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata

inilah yang menurut syara’ disebut istihsan. Demikian juga apabila hokum itu

kulli dan pada diri mujtahid sudah terdapat dalil yang menghendaki pengecualian

juz’iyah (bagian) dari hukum kulli ini, dan memberi ketetapan kepada juz’iyah

dengan hukum lain maka menurut syara’ ini juga disebut istihsan.4

B. Sejarah istihsan

Pada periode awal, Ra’y muncul dalam bentuk lain yang dikenal sebagai

istishan. Ia merupakan metide yang unik dari penggunaan pendapat pribadi

dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan lahiriyah demi kepentingan,

persamaan, dan keadilan umum.

Istihsan bukanlah suatu pendapat sekehendak hati dan sembarangan saja, tetapi

adalah suatu cara untuk mengembil keputusan yang tepat menurut keadaan.5

Istilah ini sering ditemui pada para ahli hukum Iraq dalam penalaran mereka.

Penyimpangan dari qiyas dan bertindak sesuai dengan situasi yang ada bukanlah

suatu metode yang aneh bagi ahli-ahli hokum Iraq. Tindakan ijtihad Umar bin

Khatab, misalnya penghentian tindakan potong tangan kepada pencuri pada masa

kelaparan, menyatakan pernyataan thalaq tiga kali sebagai thalaq rangkap tiga,

larangan penjualan budak perempuan yang melahirkan anak majikannya,

sesungguhnya yang semua di sebut itu tergolong dalam istihsan. Istilah ini belum

4 Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf. OpCit. Hlm 120.5 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. (Bandung: 1984), Pustaka. Hlm 136.

Page 5: istihsan

5

digunakan sampai orang-orang Iraq menyatakannya, tetapi prinsip dan konsepnya

sudah ada. Keadaan dimana Umar mengambil keputusan ini membutuhkan suatu

penyimpangan dari satu aturan yang sudah mapan atas dasar kepentingan umum

atau keadilan ataupun karena alasan-alasan lainnya yang serupa.6

Orang yang pertama kali memperkenalkan istilah ini diperselisihkan oleh para

ahli. Goldziher berpendapat bahwa Abu Hanifah adalah ahli hokum pertama yang

menggunakan istilah ini. Sedangkan menurut Prof. Schacht, konsep dan metode

serupa dengan istihsan sudah didapati sebelum Abu Hanifah, dan ia telah

memberikan bukti-bukti yang berkaitan untuk memperlihatkan hal ini. Prof.

Schacht berpendapat bahwa istilah itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh Abu

Yusuf. Karena karya-karya Abu Hanifah sendiri mengenai fiqh tidak dapat

diperoleh, sangatlah sulit untuk mengomentari hal ini. Bagaimanapun Al

Syaybani mengaitkan istihsan dengan sejumlah kasus kepada Abu Hanifah.

Karena itu nampaknya bias dipercaya bahwa Abu Hanifah merupakan orang

pertama yang menggunakan istilah ini. Karena itu, kita menduga bahwa Abu

Yusuf mengambil istilah itu dari Abu Hanifah.7

C. Macam macam istihsan

Istihsan dibagi menjadi dua macam. Hal ini berdasarkan difinisi istihsan

menurut syara’ sebagai mana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Wahhab

Khalaf8 yaitu:

Pertama : Memenangkan Qiyas Khafi atas Qiyas Jali dengan dalil.

Kedua : Mengecualikan juz’iyah dari hukum kulli dengan dalil.

Diantara contoh dari macam pertama adalah:

Nash para Fuqoha Hanafiyah bahwa seorang yang mewakafkan hartanya (al-

waqif), apabila telah mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuklah hak

pengairan, minum, jalan, dalam waqaf tersebut, dengan sangsi ringan tanpa

menyebutkannya, berdasarkan istihsan. Menurut Qiyas, semua itu tidak mendapat 6 Ibid, hlm 136-137.7 Ibid., hlm 137.8 Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf. OpCit. Hlm 121.

Page 6: istihsan

6

perhitungan kecuali bila terdapat nash atas semua itu. Seperti jual-beli.

Sedangkan jalan istihsan yaitu bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah

memanfaatkan harta yang diwakafkan kepada mereka, dan tidaklah bias dikatakan

mengambil manfaat tanah pertanian itu, kecuali dengan minum, pengairan dan

jalan, maka termasuklah semua itu dalam waqaf sekalipun tanpa menyebutkannya.

Karena hal yang dimaksud itu tidak akan dapat terwujud, kecuali dengan semua

itu seperti halnya sewa-menyewa.

Jadi Qiyas yang nyata, yaitu menyesuaikan waqaf dalam soal ini dengan jual-

beli, karena masing-masing itu mengeluarkan hak milik dari pemiliknya.

Sedangkan Qiyas Tersembunyi adalah menyesuaikan waqaf dalam soal ini dengan

sewa-menyewa, karena dari masing-masing itu yang dimaksudkan adalah

mengambil manfaat. Jadi seperti termasuk pengairan, minum, dan jalan dalam

menyewakan tanah lumpur, dengan tanpa menyebutkan semua itu, adalah berarti

termasuk dalam wakaf tanah lumpur sekalipun tanpa menyebutkannya.

Diantara contoh yang kedua adalah:

Syari’ telah melarang menjual atau mengadakan perjanjian kontrak (aqad)

barang yang tiada di tempat akad, tetapi dengan jalan istihsan ia memperkenankan

akad pemesanan akad sewa, akad muzaro’ah (menyerahkan sebidang tanah

kepada seseorang untuk ditanami dengan upah sebagian dari hasil biji atau benih),

akad pengairan dan akad minta pekerjaan. Semua itu adalah aqad (kontrak).

Sedangkan yang diakad dalam semua akad tersebut adalah tiada di tempat pada

waktu akad. Dan jalan istihsan, yaitu kebutuhan manusia dan saling kenal mereka.

D. Kehujjahan istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan dua macamnya maka jadi jelas bahwa

istihsan itu pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hokum yang tersendiri.

Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah

Qiyas Khafi yang menang atas Qiyas Jali lantaran factor-faktor yang

memenangkan, yang dengan itu menjadi tentram hati seorang mujtahid, yaitu

jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, diantara macam dalilnya

Page 7: istihsan

7

adalah al-maslahah, yaitu menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli,

yaitu yang diungkapkan dengan jalan istihsan.

Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama

Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujahannya yaitu bahwasannya mengambil dalil

dengan istihsan hanyalah istidlal dengan Qiyas Khafi yang menang atas Qiyas Jali

atau kemenangan Qiyas atas Qiyas lain yang melawaninya dengan dalil yang

menuntut kemenangan ini atau istidlal dengan maslahah mursalah (kepentingan

umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang

shahih.9

Berikut kehujjahan istihsan menurut para Ulama10:

a. Ulama Hanafiyah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan

istihsan. Begitu pula dengan keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab

ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan.

Bahkan beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang

menyangkut istihsan.

b. Ulama Malikiyah

As Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan dianggap dalil yang kuat

dalam hukum sebagai mana pendapat Imam Malik dan Imam Abu

Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa imam malik sering

berfatwa dengan menggunakan istihsan.

c. Ulama Hanabilah

Dalam beberapa kitab ushul fiqh disebutkan bahwa golongan hanabilah

mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Amudi dan

Ibnu Hazib. Akan tetapi Al Jalal Al Mahalli dalam kitab Syarh Al Jam’ Al

Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah namun

ulama yang lainnya mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan

Hanabilah.

9 Ibid., hlm 124.10 Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, M.A OpCit. Hlm 112.

Page 8: istihsan

8

d. Ulama Syafi’iyah

Golongan Asy Syafi’I secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan

mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istimbat

hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’I

berkata “Barang siapa menggunakan istihsan berarti ia telah membuat

syari’at”, beliau juga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah

swt., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan

menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan”.

E. Kesamaran dalil Ulama yang tidak menggunakan kehujjahan istihsan

Terdapat kelompok mujtahid yang menentang istihsan dan menganggapnya

sebagai istimbat hukum syara’ dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak.

Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi’I, yang sebagaimana telah dinukil

darinya, bahwa ia berkata :”siapa yang melakukan istihsan berarti ia telah

membentuk syariat” artinya berarti orang tersebut memulai hukum syari’at dari

dirinya.

Imam Asy Syafi’I dalam Ar Risalah Ushuliyahnya telah menetapkan bahwa

“lambing orang yang melakukan istihsan adalah laksana orang yang dalam sholat

menghadap kearah yang menurut istihsan itu adalah ka’bah, tanpa ada satu dalil di

antara dalil-dalil yang telah diciptakan oleh pembuat syariat (syari’) untuk

menentukan arah kepada “ka’bah”. Imam Syafi’I juga menetapkan bahwa istihsan

adalah rasa enak, seandainya boleh mengambil istihsan dalam masalah agama,

maka bolehlah hal itu bagi orang-orang yang punya akal yang bukan ahli ilmu,

dan pasti juga boleh membuat syariat dalam masalah agama pada setiap bab,

sedang masing-masing orang dapat mengeluarkan hukum syara’ bagi dirinya

sendiri.

Yang jelas bagi kami, yaitu bahwa dua kelompok yang berselisih mengenai

istihsan, tidak mengenai pembatasan artinya. Jadi ulama yang tidak menggunakan

istihsan sebagai hujjah, menghendaki arti lain dari yang dikehendaki oleh Ulama

yang tidak menggunakan istihsan dalam hujjah. Seandainya mereka itu sepakat

mengenai pembatasan artinya maka mereka tidak akan berbeda pendapat

Page 9: istihsan

9

mengenai hal yang menjadikan istihsan sebagai hujjah. Karena istihsan itu pada

hakikatnya adalah berpindah dari dalil yang jelas atau dari hukum kulli, karena

adanya dalil atau tanda yang menuntut perpindahan itu. Bukan hanya

pembentukan hukum menurut hawa nafsu. Setiap hakim, terkadang akalnya

memandang cacat yang sebenarnya maslahah dalam beberapa kasus yang

menuntut perpindahan dalam bagian itu dari tuntutan formalnya undang-undang.

Inipun tidak lain kecuali adalah satu macam dari istihsan. Karena itu Imam Syatibi

berkata dalam kitab Al Muwaafaqat, orang yang melakukan istihsan tidak boleh

kembali kepada daya rasa dan keingingannya semata, akan tetapi hanya kembali

kepada hal hal yang diketahui dari tujuan pembuat syariat secara gelobal dalam

contoh-contoh suatu yang diutarakan, seperti beberapa masalah yang dituntut oleh

qiyas adanya perintah. Hanya saja perintah itu dari satu segi bias menghilangkan

maslahah dan dari segi lain bias mendatangkan mufsadah.11

2.2 al-Maslahah al-Mursalah

A. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan

(kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat

berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan

diantaranya : 

1. Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah mursalah ialah perbuatan

yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada

hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya,

keturunannya, dan harta bendanya.

2. Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya

ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.

3. Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah

memelihara tujuan dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak

makhluk.

11 Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf. OpCit. Hlm 126.

Page 10: istihsan

10

Ketiga ta’rif diatas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah mursalah

memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan

meraih maslahah.

B. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.

2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh.

3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh

Syar’i.

4.  Maslahah itu bukan maslahah yang tidak  benar.

C. Macam-Macam Maslahah

1. Maslahah Dharuriah

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat

tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah

kehidupan, merajalelah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang

hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang

merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal,

keturunan, dan harta.

2. Maslahah Hajjiyah

Maslahah hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak

terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang

dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan

kesulitan dan menghilangkan kesempitan.

Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan

dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat,

muamalah dan bidang jinayat.

3. Maslahah Tahsiniyah

Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas

yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian

mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat,

muamalah, dan bidang uqubat.

Page 11: istihsan

11

Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah,

yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai

pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata.

Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak pada

gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan

terutama oleh agama. 

D. Kehujjahan dan Objek Maslahah Mursalah

1. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di

kalangan ulama ushul diantaranya :

a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama

Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah,

seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.

b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama

Malik dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat

yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah, sesungguhnya

berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab,

karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu

dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang

mengikat.

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan

maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan Allah mengutus utusan-

utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Sebagaimana

Allah berfirman :

وما أرسلناك إال رحمة للعالمين “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat

bagi semesta alam.”. (Al-Anbiya 107)

2. Objek Maslahah Mursalah

Dengan memperhatikan penjelasan macam-macam maslahah diatas dapat

diketahui bahwa lapangan maslahah mursalah selain berlandaskan pada

Page 12: istihsan

12

hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan

antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan tersebut merupakan pilihan

utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian, segi ibadah tidak

termasuk dalam lapangan tersebut.

Yang dimaksud dengan segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak

memberi kesempatan kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari

setiap hukum yang ada di dalamnya. Di antaranya, ketentuan syari’at tentang

ukuran had kifarat, ketentuan waris, ketentuan jumlah bulan dalam iddah

wanita yang ditinggal mati suaminya atau diceraikan.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslahah mursalah itu difokuskan

terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an

maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya

melalui suatu I’tibar.

E. Contoh-Contoh Maslahah Mursalah

a. Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat,

itu adalah demi kemaslahatan.

b. Mensyaratkan adanya surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal

perkawinan.

c. Menulis huruf Al-Qur’an kepada huruf latin.

d. Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya

barang, karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi

kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.

e. Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari

hafalan dan tulisan, tetapi para sahabat melakukannya.

2.3 al-Istishhab

A. Pengertian al-istishhab

Secara etimologi, istishhab adalah meminta kebersamaan ( thalab al-

mushahabah ), atau berlanjutnya kebersamaan ( istimarar ash-shuhbah ).

Sedangkan secara terminology, terdapat beberapa definisi istishhab yang

dikemukakan oleh beberapa ulama, antara lain:

Page 13: istihsan

13

a. Menurut asy-Syaukani

“Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang

mengubahnya”

Maksud dari definisi asy-Syaukani ialah bahwa pada prinsipnya,

eksistensi hukum suatu masalah di masa lalu tetap berlaku di masa kini

dan di masa yang akan datang, dengan syarat tidak terdapat perubahan

pada masalah tersebut. Akan tetapi, jika terdapat pada objek hukum

tersebut, maka dengan sendirinya hukumnya juga menjadi berubah.

b. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah:

“Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau

menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat

dalil lain yang mengubah keadaan tersebut”

Maksud dari definisi ini ialah suatu hukum, baik dalam bentuk positif

ataupun negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya,

dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain

untuk tetap terus berlaku.

c. Menurut Ibnu Hazm:

“Metap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai

ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut”

Maksud dari definisi ini ialah suatu hukum dinyatakan tetap berlaku,

jika landasannya adalah nashsh. Oleh karena itu Ibnu Hazm hendak

menekankan bahwa penetapan hukum tidak cukup hanya berdasarkan

prinsip kebolehan dasar (al-ibahah al-ashliyyah), tetapi harus

dikukuhkan oleh dalil yang bersumber dari nashsh.12

Dari beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud

dengan istishab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut:

1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan

tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang

mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang

mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa

12 Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Ushul Fiqh Jakarta, 2010,hlm. 217.

Page 14: istihsan

14

boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya.

Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu

ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh

mengubah hukum yang semula.

2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan

pada masa yang lalu

Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-

laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat

berjauhan selama 15 tahun. Karena telah  lama berpisah itu, maka B ingin kawin

dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia

telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali

perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.13

B. Dalil Kehujjahan al-Istishab

Sebagai dalil syara’, istishab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi

syara’ maupun logika. Landasan dari segi syara’ ialah berbagai hasil penelitian

hukum menunjukkan bahwa suatu hukum syara’ akan tetap berlaku selama belum

ada dalil yang mengubahnya. contohnya, syara' menetapkan bahwa semua

minuman yang memabukkan adalah haram, kecuali jika terjadi perubahan pada

sifatnya. Jika sifat memabukkannya hilang, karena berubah menjadi cuka maka

hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal.

Sedangkan dari segi logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar

pasti mendukung sepenuhnya prinsip al-istishhab. Contohnya, jika seseorang telah

dinyatakan sebagai pemilik suatu barang, maka logika akan menetapkan

statusnya sebagai pemilik tidak akan berubah kecuali jika ada alasan dalil yang

mengubahnya, misalnya, karena ia menjual atau menghadiahkan barang tersebut

kepada orang lain. Demikian juga, jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan

perkawinan dengan seorang wanit, maka logika dengan mudah menetapkan

13 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,  Jakarta, 2005.  hlm.142

Page 15: istihsan

15

bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali ada dalil lain yang

mengubahnya, misalnya karena suami menceraikan istrinya.

C. Macam-Macam al-Istishhab

Al-Istishhab terdiri atas beberapa macam, yaitu:

a. Istishhab hokum al-ibahah al-ashliyyah ( tetap berlakunya hukum

mubah yang dasar )

Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi

manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan

keharamannya. Pada bentuk istishhab pertama ini hanya berlaku dalam

bidang muamalah. Contohnya, seluruh pepohonan yang ada dihutan

merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang

dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang

menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.

Ketentuan istishhab bentuk pertama ini didasarkan kepada ayat-ayat

Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 29:

ء� ي� ش� ل� ك ب� ش ك� ش� ء� � ش�ا ش�ا ش� ش� ي� ش� ش�� ك� ش� ا ش� �ش ب� ش�ا ش�� ال شلى ب�ا ى ش ش" ي� ا ش�# ك$ ع%ا ب�ي ش) ب( ي* ش,+ ي- ا ��ب ش.ا ي# ك شل ش/ ش0 ش1 ب3ي ش�ل ا ش ك� عليم

Artinya:

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan

Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.

Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Demikian juga pada surah al-Maidah ayat 87:

ك�4 ب5 ك6 ش-+ ش7 0� ش ال ش�8 ب�ا � ك�9ا ش" ي% ش: ش-+ ش� ي# ك شل ك7 0� ش ال ش�� ش; ش,ا ش.ا ب� ش�ا لي ش> ك. ا ل= ش5 ك: ش-+ ك< ا ش. آا ش� ب63 �ل ش ا ش@ا ك�6 ش,ا ش6اش� ب69 ش" ي% ك� يل ا

Artinya:

” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa

yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu

Page 16: istihsan

16

melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampaui batas.

Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa ketentuan yang pada dasarnya

segala sesuatu yang membahayakan ( menimbulkan madharrah ) adalah

haram, meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskannya. Hal ini

didasarkan pada sabda Rasulullah yaitu:

ال ضرروال ضرار“tidak ada kemudaratan dan tidak ada yang memudaratkan ( didalam

islam )”

Sebagian ulama’ mengistilahkan istishhab ini dengan istishhab al-

bara’ah al-ashliyyah (tetap berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari

kewajiban) atau bara’ah al-‘adam al-ashliyyah (tetapnya ketentuan sama

sekali tidak ada kewajiban). Penggunaan istilah ini karena melihat dari

segi tidak adanya kewajiban syara’ bagi seseorang, sampai ada dalil yang

menunjukkan adanya kewajiban terhadap dirinya. Contohnya, seorang

laki-laki tidak memiliki kewajiban dan hak apa-apa terhadap seorang

perempuan yang bukan mahramnya, kecuali jika keduanya telah diikat

oleh akad perkawinan.

b. Istisshab ma dalla asy-syar’aw al-‘aql ‘ala wujudih (istishhab terhadap

sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui keberadaannya)

Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi

rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan

kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh

akal karena tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam

objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam

hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya).  Akal

menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah

dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas

mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung

terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya, misalnya karena

buang angin.

Page 17: istihsan

17

c. Istishhab al-‘umum ila an yaris at-takhshish (menetapkan hukum

berlaku umum sampai ada yang mengkhususkannya)

Yaitu Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya

dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada

dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu  nash yang umum

mencakup segala yang dapat dicakup sehingga datang suatu nash lain yang

menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau

suatu hukum yang umum, tidak dikecualikan satupun melainkan dengan

ada dalil yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan

yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam

(QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

d. Istishhab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hokum yang secara

khusus berkaitan dengan sifat)

Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang

keempat ini sebagai syara’. Dalam hal ini ulama’ Syafi’iyyah dan

Hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’. Sedangkan

ulama’ Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa istishab bentuk ini

hanya dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru

(shalih li ad-daf’i), tetapi tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan

hukum yang baru.

Contohnya, jika seorang laki-laki dinyatakan hilang dalam waktu yang

sangat lama, maka pada waktu hilangnya ia masih dinyatakan hidup,

kecuali ada bukti yag menyatakan bahwa ia telah wafat. Berdasarkan sifat

hidupnya itu, maka hartanya tidak bisa dibagi-bagi sebagai harta warisan.

Begitu juga istrinya, tidak boleh menikah dengan laki-laki lain karena

statusnya masih tetap sebagai istri laki-laki tersebut. Inilah yang disebut

dengan istilah shalih li ad-daf’i. sebatas kedudukan hukumnya, para ulama

dari keempat madzhab tersebut masih sepakat. Akan tetapi, tentang laki-

laki itu berhak atau tidak mendapatkan warisan dari pewarisnya yang

wafat ketika hilangnya, dan bisa ditetapkan sebagai penerima wasiat dari

orang yang berwasiat atau tidak.

Page 18: istihsan

18

Menurut ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah, karena ia dinyatakan tetap

hidup, maka hartanya tidak boleh dibagi sebagai harta warisan, maka ia

juga berhak mendapatkan warisan dan wasiat. Seementara menurut ulama’

Hanafiyyah dan Malikiyyah, laki-laki tersebut tidak berhak mendapat

warisan dan wasiat selama hilangnya. Oleh karena itu, jika ia menjadi ahli

waris dari orang yang wafat sewaktu hilangnya, maka sebagian

warisannya ditangguhkan sampai jelas statusnya sebagai orang yang masih

hidup untuk menerima warisan. Apabila pengadilan memutuskan bahwa ia

telah wafat, maka harta warisan yang ditangguhkan itu dibagi dengan cara

yang baru, yaitu berdasarkan ketentuan bahwa ia dipandang telah wafat

ketika pewaris yang pertama meninggal dunia. Dengan demikian, harta

warisan dibagi diantara ahli waris yang berhak menerima harta warisan

ketika ia wafat. Sedangkan hartanya sendiri diwarisi oleh ahli waris yang

masih hidup ketika ia wafat atau dinyatakan wafat oleh pengadilan.

D. Kaidah-kaidah Istishab

Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan

kepada istishab, diantaranya adalah:

a. 6غي=ه .ا 6ث�ت ;"ى كا8 .ا ع0ى كا8 .ا �قا� ا-+ص�Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada

dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan

hukum itu tidak berlaku lagi.  Contohnya: adalah kasus orang yang

hilang diatas.

b. األباحة األشياء فى االصلMaksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat

bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah

ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang

menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang

tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.

c. �ال�ك -+6زال اليقي�Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu

yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah 

Page 19: istihsan

19

berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal

atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia

telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah

melakukan pengecualian dalam masalah shalat. Menurutnya apabila

keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak

berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah

wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.

d. �ال5ق ق ال"اليف �. ال�=ا�ة .ة ال3 �ى ,+ص� ا-Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung

jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab

seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun

tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat

dan meyakinkan bahwa ia bersalah.14

14 Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura: Sulaiman Mar’i, T.Th), hal. 48

Page 20: istihsan

20

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail

(qiyas nyata) kepada qiyas khafi. Atau dari hukum kulli (umum) kepada

pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan

memenangkan bagiannya perpindahan ini.

Al-maslahah sebagai dalil hukum mengandung arti bahwa al-maslahah

menjadi landasan dan tolok ukur dalam penetapan hukum. Menurut Imam

Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara tujuan

dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.

Dari beberapa pengertian, istishab memiliki beberapa unsur yaitu segala

hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku

pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya dan segala

hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang

lalu.

Page 21: istihsan

21

DAFTAR PUSTAKA

Syafi’I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. 2010. Jakarta: Dar Al-Kutub Al-

Islamiyah.

Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka.

Dahlan, Abd.Rahman. 2010. Ushul Fiqh Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Jumantoro, Totok & Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih.

Jakarta: Amzah

Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi. “al-Asybah wa al-Nazhair”. Singapura:

Sulaiman Mar’i, T.Th

Umam, Chaerul, Dkk. 1998. Ushul Fiqih I. Pustaka Setia.

Siswanto, Deding. 1990. Ushul Fiqih I. Armico.

.