Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
description
Transcript of Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, Urf, Istishab, Marsalah Mursalah, dan Syahd Dzariah
Fiqh/Ushul Fiqh
Istihsan
Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan
khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.
Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian
Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka
adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Macam-Macam Istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
• Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi,• Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i
Istishab
Pengertian IstishabIstishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu
yang ada hubungannya”.
Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah
hukum tersebut.
Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum tersebut.
Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu
bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath),
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang
baru.
Macam-Macam Istishab
Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidahitu istishhab dapat dibagi kepada:
Istishhab berdasar penetapan akalIstishhab berdasarkan hukum syara’
Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang
mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’,
kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip
asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku.
Perbedaan Pendapat Tentang Istishab
• Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
• Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
• Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru.
Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahah
(kebaikan, kepentingan) yang tidak ada penentuannya dari syara’ baik ketentuan
secara umum atau secara khusus.
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
• Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.• Maka maslahah-maslahah yang bersifat
dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari’at tidaklah diperlukan, seperti dalil maslahah yang dikatakan dalam soal hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan.
• Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
• Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’.
• Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.
Macam-macam Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua : – Maslahah ammah – Maslahah khassah
Sementara dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 : – Maslahah al stabitah, – Maslahah Mutaghayirah
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu: –Maslahah muktabarah –Maslahah al-mulghah –Maslahah yang keberadaannya tidak
didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci). •Maslahah al-gharibah•Maslahah al-mursalah
Urf
Pengetian Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan
panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal
sehat manusia.
Macam-macam UrfUrf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya
o Urf ‘am (umum)o Urf khosh (khusus)
Urf ditinjau berdasarkan objeknya o Urf Lafzhy (ucapan)o Urf Amali (perbuatan)
Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknyao Urf shahih o Urf bathil
• Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu: – Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang
meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan
– Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula.
– Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.