Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

38
FUNGSI ISTIÒSÂN DALAM PENGEMBANGAN PRODUK-PRODUK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Oleh Sofyan Al-Hakim A. LATAR BELAKANG MASALAH Sejak dari periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan itu pada esensinya adalah religius dan terjalin secara religius. 1 Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangannya selalu diupayakan berdasarkan kepada al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir kepada manusia, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioperasionalkan oleh Sunnah Muhammad Rasulullah. Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam atau fiqih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab fiqih yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultural dan politik di tempat madzhab hukum itu tumbuh dan berkembang. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini setidak- tidaknya didorong oleh empat faktor utama: 2 Pertama, adalah dorongan keagamaan. Karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur 1 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hal. 91. 2 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 33.

Transcript of Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Page 1: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

FUNGSI ISTIÒSÂN DALAM PENGEMBANGAN

PRODUK-PRODUK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Oleh Sofyan Al-Hakim

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak dari periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan

kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh

hukum Islam. Aturan-aturan itu pada esensinya adalah religius

dan terjalin secara religius.1 Oleh karena itu dalam pembinaan

dan pengembangannya selalu diupayakan berdasarkan kepada

al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir kepada manusia,

yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan

dioperasionalkan oleh Sunnah Muhammad Rasulullah.

Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam atau

fiqih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini

dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab fiqih yang

memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio

kultural dan politik di tempat madzhab hukum itu tumbuh dan

berkembang. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini

setidak-tidaknya didorong oleh empat faktor utama: 2

Pertama, adalah dorongan keagamaan. Karena Islam

merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur

seluruh aspek kehidupan kaum muslimin, maka kebutuhan untuk

membumikan norma dan nilai tersebut ataupun

mengintegrasikan kehidupan kaum muslimin kedalamnya selalu

muncul ke permukaan. Demikian juga, fiqih yang bersifat serba

mencakup harus selalu dapat memberikan pemecahan terhadap

problem-problem baru yang dihadapi masyarakat.

1 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hal. 91.2 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur

Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 33.

Page 2: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Kedua, selalu munculnya tokoh reformis yang menjadi

pendorong munculnya gagasan inovatif sesuai zamannya.

Seperti Umar Ibn al-Khatab yang tampil dengan sejumlah

kebijakan radikal ketika menghadapi permasalahan hukum yang

lebih kompleks seiring dengan meluasnya domain kekuasaan

Islam.

Ketiga adalah independensi para ahli hukum Islam dari

kekuasaan politik. Kemandirian itu menyebabkan mereka

mampu secara bebas mengembangkan pemikirannya tanpa

pengaruh yang dominan dari penguasa politik pada zamannya.

Keempat adalah fleksibilitas hukum Islam itu sendiri yang

menjadikannya mampu untuk berkembang mengatasi ruang dan

waktu.

Kata kunci dari dinamisnya hukum Islam adalah ijtihad ,

yaitu usaha keras untuk mendapatkan hukum-hukum syara.3

Ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah.

Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai

persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah

ataupun ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil

ijtihad yang beliau ketahui secara langsung ataupun melalui

perantaraan sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa

menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan ada

yang beliau setujui dan ada pula yang dikoreksi. Semangat

ijtihad tumbuh subur dikalangan para sahabat karena Rasulullah

memang memberi peluang yang besar kepada mereka untuk

berijtihad. Di samping itu dalam tindakan praktis Rasulullah

memberi kesempatan agar para sahabat berani mengemukakan

pendapat, terutama dalam, kasus-kasus yang memerlukan

pemecahan secepatnya.

3 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal, 1038

Page 3: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Setelah Rasulullah wafat, tuntutan akan ijtihad semakin

meningkat. Ketika Rasulullah masih hidup di samping melakukan

ijtihad berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan

dikonsultasikan kepada beliau. Tetapi setelah itu keadaan

menjadi lain. Tanggung jawab untuk memecahkan segala

persoalan sepenuhnya jelas terpikul kepada umat yang

ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul

Allah yang pamungkas (Khatam al-anbiya wa al-mursalin)

nampaknya dipahami dengan kreatif. Untuk itulah, mereka

dengan segala upaya melakukan ijtihad untuk mencari

pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan

menangkap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan al-Sunnah4.

Salah satu lembaga yang mengimplementasikan metode

ijtihad tersebut adalah lembaga keuangan syariah (LKS). LKS

merupakan perwujudan kesadaran umat Islam atas pentingnya

bermuamalah dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai syari’ah.

Nilai-nilai syari’ah tersebut menjadi dasar dalam menjalankan

LKS. Walaupun belum menjadi lembaga keuangan yang dominan,

LKS sedang berkembang menjadi sebuah industri penyedia jasa

keuangan yang komprehensif dan dengan sistem syari’ah penuh

(full fledged)5. Tingkat pertumbuhan yang dinikmati oleh hampir

semua LKS dalam satu dekade taerakhir, terutama dipicu oleh

bertambahnya bank-bank yang menawarkan jasa keuangan

dengan sistem syari’ah pasca UU. No. 21/2008. Kehadiran bank-

bank syari’ah dalam industri perbankkan syari’ah memicu

hadirnya instrumen dan lembaga pendukung seperti pasar

keuangan syari’ah, instrumen pasar modal seperti obligasi dan

reksadana, dan juga lembaga berbasis sosial-ekonomi

4 Sofyan Al-Hakim, Pengaruh Logika Aristoteles dalam Pemikiran Ushul Fiqih Al-Syafi’i, (Tesis tidak diterbitkan,2003), hlm.5

5 Luqyan Tamanny, “Peran Perbankkan Syari’ah dalam Perekonomian Umat di Indonesia”, (Makalah pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah BEM HIMA Muamalah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2006), hlm. 2

Page 4: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

keummatan seperti Lembaga Amil Zakat, wakaf dan lain

sebagainya.

Hal lain yang memicu tumbuhnya LKS adalah fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga. Dengan fatwa

ini masyarakat mendapatkan kepastian hukumbahwa masa

darurat pengambilan bunga yang menjadi alasan pembolehan

beraktivitas dengan bunga telah berlalu. Walaupun perlu juga

disadari bahwa dampak pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)

perbankkan syari’ah pasca fatwa ini tidaklah terlalu besar

mengingat pertumbuhan perbankkan syari’ah sudah cukup tinggi

sebelum fatwa dikeluarkan6. Namun fatwa ini memberikan

kepastian hukum yang semakin memperkuat positioning

perbankkan syari’ah atau LKS secara keseluruhan di mata

masyarakat sebagai lembaga keuangan non ribawi. Sehingga

preferensi masyarakat untuk berhubungan dengan perbankkan

syari’ah semakin meningkat. Peningkatan preferensi ini, pada

suatu saat, diharapkan mampu meningkatkan likuiditas lembaga

keuangan syari’ah yang kemudian menjadi penggerak

tumbuhnya LKS diseluruh Indonesia yang pada gilirannya mampu

menggerakan dunia usaha terutama di sektor riil yang masih

dilakoni oleh lembaga ekonomi mikro. Walaupun harus diakui

dengan jujur bahwa lembaga keuangan syari’ah masih memiliki

aset yang relatif kecil dibanding perbankkan konvensional.

Pertumbuhan LKS ditopang oleh perkembangan perbankan

syariah yang dikenal dengan iB (Islamic Bank). Sejak mulai

dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam

kurun waktu 20 tahun total aset industri perbankan syariah telah

meningkat sebesar 39 kali lipat dari Rp 1,79 triliun pada tahun

2000, menjadi Rp 70,146 triliun pada akhir tahun 2010. Laju

pertumbuhan aset secara impresif tercatat 46,3% per tahun,

6 Sofyan Al-Hakim dan Enceng Arif Faizal, Pengaruh Fatwa MUI Tentang Bunga Bank Terhadap Perkembangan Bank Syari’ah, (Bandung, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati, 2004), hlm. 21.

Page 5: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

dengan rata-rata pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir. Untuk

periode 2009 sd 2010 yang lalu, pertumbuhan yang mencapai

rata-rata 36,2% pertahun bahkan lebih tinggi daripada laju

pertumbuhan aset perbankan syariah regional (asia tenggara)

yang hanya berkisar 30% pertahun untuk periode yang sama7.

Sejak diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah sebagai landasan legal formal

yang secara khusus mengatur berbagai hal mengenai perbankan

syariah di tanah air, maka kecepatan pertumbuhan industri ini

diperkirakan akan melaju lebih kencang lagi. Hal ini terlihat dari

indikator penyaluran pembiayaan yang mencapai rata-rata

pertumbuhan sebesar 36,7% pertahun dan indikator

penghimpunan dana dengan rata-rata pertumbuhan mencapai

33,5% pertahun untuk tahun 2007 s.d. tahun 2010.

Angka-angka pertumbuhan yang impresif tersebut tidak

hanya berhenti di atas kertas sebagai perputaran uang di sektor

finansial. iB Perbankan syariah membuktikan dirinya sebagai

sistem perbankan yang mendorong sektor riil, seperti

diindikasikan oleh rasio pembiayaan terhadap penghimpunan

dana (Financing to Deposit ratio, FDR) yang rata-rata mencapai

diatas 100% pada dua tahun terakhir.

iB Perbankan syariah juga semakin luas melayani

masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah jaringan telah

tersebar di sebanyak 1.501 kantor dan telah hadir 1.492 layanan

syariah (per April 2010) di 32 provinsi di Indonesia. Layanan iB

juga didukung oleh lebih dari 6000 jaringan ATM Bersama dan

7000 jaringan ATM BCA, untuk memberikan kemudahan

transaksi keuangan dan perbankan. Kehadiran teknologi mobile

banking, baik melalui phone banking (SMS dan telephone)

7 http://www.bi.go.id/ Statistik Perbankkan syariah Bulan April 2010.. diunduh 11-06-2010

Page 6: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

maupun internet banking juga telah dimanfaatkan oleh iB untuk

menyajikan layanan yang reliable bagi gaya hidup masyarakat

modern yang mobile8.

Perkembangan LKS yang impresif ini, masih belum dapat

diimbangi dengan perkembangan produk-produk LKS itu sendiri.

Karena memang setiap produk yang dikeluarkan oleh LKS harus

mendapat persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN

menjadi penentu apakah sebuah produk LKS sesuai atau tidak

dengan ketentuan syariah. DSN yang berada dibawah kendali

MUI melakukan ifta atas istifta yang diminta oleh LKS. Proses ifta

bertumpu pada ijtihad para anggota DSN. Dalam konteks inilah

metode ijtihad menjadi penting. Salah satu metode ijtihad yang

dimungkinkan menjadi akselerator perkembangan produk LKS

adalah istiòsân.

B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH

Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia mengalami

perkembangan yang cukup pesat 20 tahun terakhir ini. Hal ini ini

dibuktikan dengan indikator-indikator lembaga keuagan syariah

yang menunjukan kecenderungan peningkatan tiap tahunnya

dengan angka peningkatan di atas 5 %. Namun pada saat yang

sama produk lembaga keuangan syariah masih belum begerak

cepat. Hal ini dimungkinkan karena DSN sebagai penjaga nilai-

nilai syariah perlu menjaga konsistensi nilai-nilai syariah dalam

setiap produk lembaga keuangan syariah. Salah satu metode

yang dapat dijadikan akselerator dalam melakukan ijtihad adalah

istiòsân. Dari rumusan masalah tersebut dibuatlah pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

8 http://www.bi.go.idPerkembangan_Impresif_iB_Perbankan_Syariah.pdf. diunduh 11-06-2010

Page 7: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

1. Bagaimana episteme istiòsân dibangun dalam metodologi

Hukum Islam?

2. Bagaimana perkembangan lembaga keuangan syariah di

Indonesia?

3. Bagaimana prosedur penetapan produk pengumpulan,

pembiayaan, dan pelayanan di lembaga keuangan syariah?

4. Bagaimana istiòsân dapat menjadi akselerator dalam

pengembangan produk-produk lembaga keuangan syariah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui episteme istiòsân dibangun dalam

metodologi Hukum Islam?

2. Untuk mengetahui perkembangan lembaga keuangan syariah

di Indonesia?

3. Untuk mengetahui prosedur penetapan produk pengumpulan,

pembiayaan, dan pelayanan di lembaga keuangan syariah?

4. Untuk mengetahui kemungkinan istiòsân dapat menjadi

akselerator dalam pengembangan produk-produk lembaga

keuangan syariah?

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan untuk

1. Merangsang munculnya usaha pengembangan dan aplikasi

metodologis dalam proses ijtihad dalam kerangka

membumikan syariah terutama di lembaga keuangan

syariah.

2. Menambah khazanah penelitian yang berkenaan dengan

dasar-dasar metodologis penerapan nilai-nilai syariah dalam

lembaga keuangan syariah.

Page 8: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

E. Kajian Pustaka

Terdapat beberapa penelitian, yang ditemukan penulis,

dengan obyek kajian tentang istiòsân. Pertama, disertasi yang

ditulis oleh Dr. Iskandar Usman dengan Judul Istiòsân dan

Pembaharuan Hukum di Indonesia. Hal yang menjadi temuan

penelitian ini adalah tentang konsep istiòsân yang memiliki kata

kunci ‘udûl ( berpaling) dari ketentuan hukum yang dikehendaki

oleh qiyâs jali kepada ketentuan hukum yang dikehendaki oleh

qiyâs khafi atau dari ketentuan hukum yang dikehendaki oleh dalil

umum kepada ketentuan hukum pengecualian karena dalam

pandangannya ada suatu dalil yang membuat-nya lebih

mengutamakan perpalingan itu.

Lebin lanjut Dr. Iskandar menyimpukan bahwa baik istiòsân

dengan qiyâs khafi maupun istiòsân yang merupakan

pengecualian dari dalil umum, keduanya terdapat dalam ushûl

fiqh Hanafi, sedangkan dalam ushûl fiqh Maliki hanya dikenal

istiòsân dalam bentuk pengecualian dari dalil umum. Adapun

istiòsân dengan qiyâs khafi tidak ditemui dalam ushûl fiqh

Maliki9.

Dalam ushûl fiqh Maliki, istiòsân dibagi kepada empat

macam, yaitu istiòsân dengan maslahat, istiòsân dengan 'urf,

istiòsân dengan ijma’, dan istiòsân dengan kaidah raf al-haraj wa

al-masyaqqat Demikian juga dalam ushûl fiqh Hanafi, istiòsân

dibagi kepada empat macam, yaitu istiòsân dengan nas, istiòsân

dengan ijma’, istiòsân dengan darurat, dan istiòsân dengan qiyâs

khafi. Istiòsân merupakan salah satu metode istinbâù hukum yang

bisa dijadikan hujjah. Memang istiòsân mempunyai peranan yang

menentukan dalam fiqih Maliki dan Hanafi, karena banyak hal

telah diselesaikan dengan istiòsân dan telah ditetapkan hukum-

nya. Dan dari contoh-contoh masalah yang ditetapkan hukumnya

9 Dr. Iskandar Usman, Istiòsân dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994)hlm. 199

Page 9: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

dengan istiòsân terlihat bahwa hukum yang ditetapkan dengan

istiòsân lebih mengayomi dan lebih mampu merealisasi tujuan

syariat.

Bagian terpenting dari penelitian ini adalah temuan bahwa

istiòsân mempunyai relevansi dengan pembaharuan hukum

Islam. Relevansinya itu terletak pada segi maqâshid al-syarî'aú

(tujuan syariat), yaitu pembaharuan hukum Islam bertujuan

untuk merealisasi dan memelihara kemaslahatan umat manusia

semaksimal mungkin yang merupakan maqâshid al-syarî'aú.

Sedangkan istiòsân merupakan salah satu metode istinbâù

hukum yang sangat mengutamakan maqâshid al-syarî'aú dan

selalu berusaha merealisasi serta memelihara maqâshid al-

syarî'aú itu. Suatu ketentuan hukum yang dihasilkan dengan

metode qiyâs ditinggalkan oleh para mujtahid apabila menurut

mereka ketentuan hukum tersebut tidak mampu merealisasi

maqâshid al-syarî'aú. Mereka berpaling kepada ketentuan

hukum lain yang dihasilkan oleh istiòsân karena ketentuan

hukum yang dihasilkan oleh istiòsân lebih mampu merealisasi

maqâshid al-syarî'aú10.

Kemudian tesis yang ditulis oleh Hasan Awadh Ibrahim Abu

Arqub dengan judul Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm al-Buyu’ ‘ind al-

Hanafiyah (Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li Amåal Mukhtâraú)

[ Aplikasi istiòsân dalam hukum Bisnis Menurut Madzhab

Hanafiyah (Studi Analisis Komparatif Tentang Contoh-Contoh

Terpilih)]. Dalam penelitian ini Hasan Awadh menemukan bahwa

metode istiòsân adalah metode istinbâù hukum yang sering

diterapkan oleh madzhab Hanafiyah. Kemudian ditemukan

banyak masalah-masalah fiqih, khususnya dalam jual beli, yang

penetapan hukumnya dilakukan dengan istiòsân. Terdapat

beberapa masalah jual beli yang ternyata ‘gagal’ diselesaikan

oleh metode qiyas. Seperti dalam masalah jual beli salam, jual

10 Ibid, hlm.200

Page 10: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

beli istishna dan jual beli wafa. Dengan metode istiòsân, masalah

ketiga jual beli tersebut dapat dipahami dan diselesaikan.

Namun demikian, Hasan Awadh tetap meyakini bahwa metode

istiòsân tetap harus dikomparasi dengan metode istinbâù hukum

yang lain agar penyelesaian permasalahan hukum dapat

mendekati maqâshid al-syariaú11.

Sementara kajian tentang perbankkan syariah di Indonesia

telah banyak dilakukan penelitian diantaranya oleh Dr. Surahman

Hidayat dengan judul al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa

Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-

Islâmiyah fi Misra (Perbankkan Islam dan Politik Investasi di

Indonesia Komparasi dengan Perbankkan Islam di Mesir). Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa perbankkan syariah di Indonesia

sampai tahun yang 1999 (ketika penelitian ini berakhir) masih

belum dapat disebut sebagai perbankkan Islam yang murni

karena dana yang terkumpul masih ada yang diinvestasikan

dalam skim investasi konvensional. Kemudian manajemen bank

syariah masih memilih produk perbankkan syariah yang aman

bagi bank yaitu murabahah tapi belum menggambar hakikat dari

perbakkan syariah itu sendiri sebagai lembaga keuangan syariah

yang berbasis pada bagi hasil. Prinsip bagi hasil yang ter cermin

dalam produk mudharabah dan musyarakah dalam pembiayaan

belum menjadi prioritas dalam strategi investasi12.

Kemudian penelitian Oleh Atang Abd Hakim dengan judul

Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU Perbankkan Syariah

No. 21 tahun 2008. Dalam penelitiannya, Dr. Atang Abd Hakim

mendeskrispsikan tranformasi fiqih dalam UU Perbankkan

Syariah. Materi fiqih mana saja yang diserap menjadi hukum

11 Hasan Awadh Ibrahim Abu Arqub, Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm al-Buyu’ ‘ind al-Hanafiyah Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li Amåal Mukhtâraú (Tesis Fakultas al-Dirasat al-Ulya al-Jamiah Yordania tida diterbitkan, 2006), hlm. 182.

12 Dr. Surahman Hidayat, al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-Islâmiyah fi Misra(Disertasi, Jâmiaú al-Azhar Kulliyah al-Syarîah wa al-Qanûn Qism al-Siyâsah al-Syariyyaú, Kairo, 1999), hlm. 485.

Page 11: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

positif di Indonesia. Dalam ini digambarkan pula tarik-menarik

kepentingan anggota DPR yang menyusun setiap klausul UU ini13.

Namun sampai saaat ini, penulis belum menemukan kajian

tentang metode ijtihad, khususnya istiòsân, yang digunakan

secara aplikatif pada lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.

F. KERANGKA TEORITIK

Konsep hukum dalam ajaran Islam berbeda dengan konsep

hukum pada umumnya, khususnya hukum modern. Dalam Islam

hukum dipandang sebagai bagian dari ajaran agama, dan norma-

norma hukum bersumber kepada agama. Umat Islam meyakini

bahwa hukum Islam berdasarkan kepada wahyu Ilahi. Oleh

karena itu, ia disebut syariah, yang berarti jalan yang digariskan

Tuhan untuk manusia.

Namun demikian, syariah itu sepenuhnya diterapkan dalam

kehidupan sosial masyarakat manusia, diinterpretasi dan

dijabarkan oleh aktivitas intelektual manusia dalam merespons

berbagai problem yang dihadapi manusia dalam perkembangan

masyara’at, sehingga terhimpun sejumlah ketentuan hukum

hasil ijtihad dan penafsiran manusia di samping ketentuan-

ketentuan yang secara langsung ditetapkan dalam wahyu Ilahi.

Oleh karena itu, hukum Islam dinamakan pula fiqih, yang berarti

pemahaman dan penalaran rasional. Jadi, fiqih menggambarkan

sisi manusia dari hukum Islam. Syariah atau fiqih itu merupakan

keseluruhan yang terdiri dari kumpulan berbagai satuan kaidah

atau norma mengenai kasus-kasus individual. Satuan ketentuan

atau kaidah mengenai suatu kasus ini disebut hukum syar'i atau

hukum syara’. Sebagian dari kumpulan hukum syara’ ini diambil

alih oleh negara untuk dilegislasi dan dijadikan peraturan

13 Atang Abd Hakim, Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU Perbankkan Syariah No. 21 tahun 2008 (Disertasi siap disidangkan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010), hlm.i

Page 12: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

perundangan positif yang berlaku secara yuridis formal pada

bidang-bidang hukum tertentu. Peraturan demikian disebut

kanun (al-qânun) yang kemudian dalam bahasa Indonesia

digunakan kata hukum Islam.

Jadi terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menyebut

hukum Islam. Istilah-istilah itu berbeda satu sama lain dan

menggambarkan sisi tertentu dari hukum Islam. Namun secara

keseluruhan istilah-istilah tersebut sering diidentikkan dan

digunakan untuk menyebut hukum Islam. Istilah-istilah dimaksud

adalah syariah, fiqih, hukum syar'i, qanun dan terjemahannya

dalam suatu bahasa lain bukan Arab.

Secara harfiah, kata syarîaú berarti jalan, dan lebih khusus

lagi jalan menuju ke tempat air14. Dalam pemakaian

religiusnya, syariah berarti jalan yang digariskan Tuhan menuju

kepada keselamatan atau lebih tepatnya jalan menuju Tuhan.

Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. disebut

syariah karena merupakan jalan menuju Tuhan dan menuju

keselamatan abadi.

Syariah digunakan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam

arti luas, syariah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan

norma-norma yang dibawa oleh Muhammad saw. yang

mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek

kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku

praktisnya. Singkatnya syariah adalah ajaran-ajaran agama

Islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek: ajaran

tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku

(amaliah). Dalam hal ini, syariah dalam arti luas identik dengan

syara’ (al-syar’î) dan al-dîn (agama Islam)15.

Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis

(amaliah) dari syariah dalam arti luas, yaitu aspek yang berupa

14 Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (t.k., Maktabatah Da’wah Islamiyah, 1968), hlm 2.

15 Ibid, hlm. 3

Page 13: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret

manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya

diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam. Hanya saja,

syariah dalam arti sempit ini lebih luas dari sekadar hukum pada

umumnya, karena syariah dalam arti sempit tidak saja meliputi

norma hukum itu sendiri, tetapi juga norma etika atau kesulilaan,

norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diajarkan

Islam.

Hukum syar'i (hukum syara’, hukum syariah) secara harfiah

berarti ketentuan, norma atau peraturan hukum Islam, dan

merupakan satuan dari syariah. Kumpulan dari satuan ketentuan

atau peraturan ini membentuk syariah dalam arti sempit atau

fiqih (dalam arti hukum Islam) seperti dijelaskan di atas. Oleh

karena itu, istilah ini sering dipakai dalam bentuk jamak "hukum-

hukum syara".

Secara teknis, dalam ilmu hukum Islam; hukum syara’

didefinisikan sebagai "khiúâb Ilahi terhadap subjek hukum

mengenai perbuatan atau tingkah lakunya, khiúâb mana berisi

tuntutan, perizinan atau penetapan.16" Definisi ini mengandung

dua hal: (i) bahwa hukum itu adalah khiúâb Ilahi yang tertuju

kepada manusia sebagai subjek hukum menyangkut tingkah

lakunya, dan (ii) bahwa hukum yang merupakan khiúâb Ilahi itu

bensi tuntutan, perizinan (pembolehan) atau penetapan.

Pernyataan bahwa hukum adalah khiúâb Ilahi

menggambarkan dua hal. Pertama, dalam konsep ini hukum

memiliki dasar-dasar ke-Ilahi-an dalam pengertian bahwa hukum

itu bersurmber kepada bimbingan dan tuntunan Ilahi

sebagaimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua, hukum

merupakan kata kerja, karena hukum dikonsepkan sebagai suatu

16 Shadr al-Syariah, al-Tauæiò fî Òal Gawâmiæ al-Tanqîò (Kairo;Dar al-Ahd al-Jadid li al-Tiba’ah,1957) Jilid I. hlm. 13.

Page 14: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

khiúâb. Dalam hukum, menurut konsep ini, Tuhan menyapa17

manusia mengenai tingkah lakunya, dan penyapaan Tuhan itulah

yang disebut hukum. Setidaknya ini adalah konsep teoretisi

hukum Islam (ahli-ahli ushûl fiqh). Khiúâb Ilahi itu bisa berwujud

mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan, atau

membolehkan (mengizinkan) manusia sebagai subjek hukum

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan bisa juga

berwujud menetapkan hubungan dua hal di mana yang satu

menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Misalnya,

dalam al-Quran Pembuat Hukum Syara’ menyapa manusia

melalui firman-Nya, "Wahai orang-orang beriman, penuhilah

perjanjian-perjanjian.”18 Ayat ini adalah dalil hukum dan khiúâb

Ilahi yang terkandung di dalamnya adalah yang dimaksud

dengan hukum. Khiúâb Pembuat Hukum Syara’ dalam ayat ini

berwujud mewajibkan untuk memenuhi perjanjian; maka

pewajiban —yang dalam istilah ushul fiqih disebut al-ijab— oleh

Pembuat Hukum Syara’ agar manusia memenuhi perjanjian

adalah hukum menurut konsep para teoretisi hukum Islam.

Dalam ayat lain, Tuhan menyapa manusia melalui firman-Nya,

"Janganlah kamu makan riba yang berlipat ganda”.19 "Khiúâb

Pembuat Hukum Syara’ dalam ayat ini wujudnya adalah

pelarangan (pengharaman) kepada seseorang untuk makan riba

berlipat ganda; maka pengharaman —yang dalam istilah ushûl

fiqh disebut at-tahrim— oleh Allah terhadap perbuatan makan

riba secara berlipat ganda itu adalah hukum. Dalam suatu

hadisnya, Nabi saw. menyapa umatnya melalui sabda beliau,

17 Lafad khitab dipahami oleh Syamsul Anwar dengan kata menyapa. Sebuah kata yang meggambarkan kedekatan antara Tuhan dan hamba-Nya. Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2007), hlm 7.

18 Q.S. Al-Maidah : 1

19 Q.S. Ali Imran : 130

Page 15: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

"Penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu

menghalalkan diumumkan utangnya dan dijatuhi hukuman.”20

Hadis ini adalah dalil hukum dan isi yang terkandung di

dalamnya berupa khiúâb Ilahi adalah hukum. Khiúâb Ilahi dalam

hadis ini wujudnya adalah menghubungkan penunda-nundaan

pembayaran utang oleh debitur mampu dengan kehalalan

pengumuman utang dan penjatuhan hukuman di mana yang

pertama (penunda-nundaan) ditetapkan sebagai sebab dari yang

kedua (pengumuman atau hukuman). Penetapan sebagai sebab

oleh Pembuat Hukum Syara’ ini adalah hukum.

Dalam suatu hadis lain, Nabi saw. menyapa umatnya dengan

sabdanya, "Pembunuh tidak mewarisi suatu apa pun dari

orangyang dibunuhnya."21 Hadis ini adalah dalil hukum dan isi

yang terkandung di dalamnya berupa khiúâb Ilahi adalah hukum.

Khiúâb Ilahi dalam hadis ini wujudnya adalah bahwa Pembuat

Hukum menghubungkan dua hal, yaitu peristiwa pembunuhan

oleh ahli waris terhadap muwaris (pewaris yang meninggalkan

harta warisan) dan hak mewarisi. Hubungannya adalah bahwa

peristiwa pembunuhan itu ditetapkan sebagai penghalang bagi

pembunuh untuk menikmati hak memperoleh warisan dari

muwaris (pewaris yang meninggalkan harta warisan) yang

dibunuhnya; dan penetapan sebagai penghalang oleh Pembuat

Hukum ini adalah hukum. Secara keseluruhan, hukum adalah

pewajiban (al-ijab), pengharaman (at-tahrim), penganjuran (an-

nadb), pemakruhan (al-karâhah), pem-bolehan (al-ibâhaú) dan

penetapan sebab (al-waæ'), syarat, atau penghalang oleh

Pembuatan Hukum berkaitan dengan perbuatan manusia.

Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa para

teoretisi hukum Islam mengonsepsikan hukum dalam arti kata

kerja, karena hukum tidak lain dari tindakan Pembuat Hukum

(H.R. Abu Dawud) لي الواجد يحل عرضه وعقوبته 20H.R. Ibnu Majah) القاتل ال يرث 21

Page 16: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Syara’ berupa mewajibkan, melarang, menganjurkan,

mamakruhkan atau membolehkan subjek hukum untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan atau

menetapkan kaitan dua hal di mana yang satu menjadi sebab,

syarat atau penghalang bagi yang lain. Untuk menjelaskan ini

beberapa teoretisi hukum Islam meminjam kategori sepuluh

Aristoteles dan mereka menyatakan bahwa hukum dalam

pengertian ushuliyyin (teoretisi hukum Islam) termasuk ke dalam

kategori aksi (maqulah al-fi'l) hukum syara’22.

Menurut para ahli usul fiqih termasuk kategori aksi, yang

berarti bahwa hukum merupakan aksi Tuhan menyapa manusia

dengan mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan

atau membolehkan melakukan atau tidak melakukan perbutan

tertentu atau menetapkan hubungan dua hal menyangkut

manusia di mana yang satu menjadi sebab, syarat, atau

penghalang bagi yang lain.

Berbeda dengan para teoretisi hukum Islam, para fuqâha

(juris) mengonsepsikan hukum sebagai efek yang timbul dari

khiúâb Ilahi, namun bukan aksi penyapaan itu sendiri. Dengan

demikian, hukum menurut para ahli fiqih termasuk kategori

penderitaan, yaitu efek yang timbul dari adanya aksi Tuhan

menyapa tingkah laku manusia. Apabila Pembuat Hukum Syara’

memerintahkan memenuhi perjanjian (QS. 5:1), maka efek dari

perintah itu adalah bahwa pemenuhan perjanjian itu menjadi

wajib. Jadi wajibnya (dalam bahasa Arab disebut al-wujûb)

memenuhi perjanjian adalah hukum menurut fuqâha. Apabila

Pembuat Hukum Syara’ menetapkan bahwa akad jual-beli

menjadi sebab pindahnya hak milik atas barang dari penjual

kepada pembeli, maka berpindahnya hak milik atas barang dari

penjual kepada pembeli adalah hukum menurut konsep juris

22 Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilm al-Ushûl, (Beirut; Dâr al-Kutûb al-Ilmiyah, 1983), Jilid I, hlm. 59-60.

Page 17: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

karena pindahnya hak milik itu merupakan efek dari penetapan

Pembuat Hukum Syara’ bahwa akad menjadi sebab perpindahan

hak milik.

Meskipun tampak berbeda, kedua konsep hukum yang

dikemukakan di atas, yaitu menurut ahli-ahli usul fiqih dan

menurut ahli-ahli fiqih pada hakikatnya tidak berbeda dalam

substansinya, karena kedua pihak sama mengakui hukum itu

sebagai khiúâb Ilahi. Perbedaannya hanya terletak pada sudut

pandang masing-masing. Para teoretisi hukurn Islam melihat

khiúâb itu dalam kaitannya dengan Allah, yaitu Pembuat Hukum

Syara’, dengan demikian, hukum diartikan sebagai aksi-Nya

dalam menyapa manusia. Sementara itu, para juris Islam melihat

khiúâb itu dari segi efek yang ditimbulkannya terhadap

perbuatan manusia.

Para teoritisi hukum Islam menjadikan ijtihad sebagai kata

kunci dari kerjanya. Ijtihad sendiri dapat diklasifikan kedalam tiga

dimensi. Dimensi Tasyri, dimensi istinbâùi, dan dimensi tathbiqi.

Ijtihad dimensi tasyri adalah usaha keras yang dilakukan untuk

memilah dan memilih mana sumber hukum yang otentik dan

memiliki kekuatan untuk dijadikan dalil dalam perumusan hukum

Islam. Sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu al-Qur’an dan

al-Sunnah.

Walaupun proses wurud al-Qur’an diyakini dengan pasti

otentisitasnya, namun dari sisi dilalah terdapat pola dilalah yang

pasti (qaú’i) dan masih dugaan (ìanni) karena itu perlu dilakukan

usaha keras untuk menunjukan dilalah al-Qur’an ini. Sementara,

al-Sunnah dari sisi wurudnya ada yang pasti dan ada juga yan

masih dugaan. Demikian pula dari sisi dilalahnya masih, harus

ada kerja keras untuk menunjukan madlul dari sebuah dalil.

Apalagi Muhammad yang diutus Allah sebagai Rasul-Nya

memiliki banyak peran. Karena itu harus dipilah untuk dapat

mengetahui mana ucapan dan perbuatan Muhammad yang

Page 18: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

menjadi sunnah yang memiliki nilai sebagai sumber hukum Islam

yang berlaku bagi umatnya secara universal. Keduanya Ijtihad ini

dibantu secara penuh oleh ulum al-Qur’an dan ulum al-Hadits.

Ijtihad dimensi istinbâùi merupakan proses penggalian atas

sumber hukum Islam yang telah diotensifikasi. Proses penggalian

itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih, yaitu kaidah

kebahasaan, kaidah tasyriiyah, dan kaidah kemaslahatan. Kaidah

kebahasaan diperlukan untuk dapat memahami sumber hukum

Islam dengan memahami konsep terminologisnya. Karena baik

al-Qur’an maupun al-Sunnah ditranmisikan kepada manusia

melalui bahasa Arab. Kaidah kebahasaan adalah kunci untuk

memahami bagaimana sebuah kata dipahami oleh penutur

aslinya.

Kaidah tasyri’iyah merupakan perangkat operasional dalam

proses penggalian ini. Kaidah tasyri’iyah disusun dari pola-pola

yang digunakan Allah dalam kalam-Nya, pola Nabi Muhammad

saw. sendiri dalam melakukan aplikasi hukum atau pola sahabat

dalam merespon masalah hukum. Terutama ketika Nabi

Muhammad saw dan kemudian sahabatnya berperan sebagai

qâdhi dalam memutuskan sebuah perkara. Pola-pola ini

kemudian disistematisir oleh para teoritisi hukum Islam menjadi

sejumlah kaidah yang kemudian disebut kaidah tasyriiyah atau

sering disebut pula sebagai metode istinbâù hukum. Metode itu

adalah qiyas, istiòsân, istièlâh, istièòab, sad al-dzariah, urf, qaul

shahabat, syar’u man qablana.

Kaidah kemaslahatan merupakan puncak pengetahuan bagi

mereka yang memahami syariah. Semua teortisi hukum Islam

Islam berpendapat bahwa tujuan Allah menurunkan syariah tiada

lain untuk melahirkan kemaslahatan bagi manusia sebagai

mahkûm alayh (obyek hukum). Karena itu, apapun aturannya

baik yang berkenaan dengan masalah ibadah dan muamalah

Page 19: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

harus berujung pada kemaslahatan23. Inilah yang kemudian

digambarkan al-Syatibi sebagai maqâshid al-syarîah.

Dimensi tathbiqi merupakan konkritisasi atas dua dimensi

ijtihad sebelumnya. Ketika hukum Islam akan diaplikasikan maka

seluruh komponen harus terlibat aar mendapat kemaslahatan.

Termasuk didalamnya komponen kekuasaan politik yang diwakili

oleh negara. Lazimnya dalam konsep hukum positif, pengertian

hukum dikaitkan kepada kekuasaan politik, karena hukum itu

diartikan sebagai aturan perilaku yang didukung oleh sanksi

memaksa yang ditentukan oleh kekuasaan tertinggi dalam suatu

negara yang memerintahkan apa yang boleh dan terlarang untuk

dilakukan. Dalam pengertian hukum Islam, meskipun sangat

penting untuk pelaksanaan dan penegakan hukum, otoritas

kekuasaan politik pada tingkat negara tidak merupakan bagian

pokok dari konsep hukum. Penekanan konsep hukum dalam

pengertian Islam tidak lebih ditekankan pada the commands of

the supreme power in a state, melainkan lebih pada khiúâb Ilahi.

Karena itu validitas suatu aturan sebagai hukum sangat

ditentukan oleh sejauhmana ia merupakan pencerminan khiúâb

23 Menurut Abdul Wahab Khalaf, hukum yang ditetapkan oleh Allah terbagi tiga yaitu hukum i’tiqadiyah, khulûqiyah dan amali-yah. Hukum i’tiqâdiyah melahirkan aturan tentang akidah, hukum khulûqiyah melahir-kan aturan tentang akhlak, dan hukum amaliyah melahirkan hukum fiqh. Secara garis besar hukum amaliyah terbagi menjadi dua yaitu hukum amaliyah ibadah dan hukum amaliyah muamalah. Masing-masing ibadah dan muamalah memiliki prinsip yang berbeda.Pada prinsipnya hukum ibadah adalah batal atau serba tidak boleh sebelum ada perintah sebaliknya pada prinsipnya hukum muamalah adalah serba boleh sebelum ada larangan.

hرiْمk اَأل عkَلkى oلh hِي الدkل qَّلoدk ي qى َحkت oُنk oْطiَال الُب hِةkاَدk الِعhُب ِفhى oلiْصk اَأل

Pada prinsipnya dalam (hukum) ibadah adalah tidak boleh sampai terdapat dalil yang memerintahkan.

oاُعk iُب ت hاإِلkو oُفi kوiِقhِي kاَدkِةh الت ْصiلo ِفhى الِعhُبk اَأل

Pada prinsipnya dalam (hukum) ibadah adalah menerima dan mematuhi.

h qحiرhيِم hِيلo عkَلkى الت kدoَّلq الدkل qى ي ت kَح oُةkاَحk ب hاإِل hُةk ْصiلo ِفhى الُمoِعkاْمkَلk اَأل

Pada prinsipnya dalam (hukum) muamalah adalah boleh sampai terdapat dalil yang mengharamkan.

hُنk oْطiَال hِيلo عkَلkى الُب kدoَّلq الدkل qى ي ت kَح oُةkالِّص�ح hُةk ْصiلo ِفhى الُمoِعkاْمkَلk اَأل

Pada prinsipnya dalam (hukum) muamalah adalah sah sampai ada dalil yang membatalkan.Lihat Abdul Hamid, Al-Bayân, Jakarta:Bulan Bintang,1976, hlm.198; Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, Jakarta:Bulan Bintang,1976, hlm. 43

Page 20: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Ilahi, dengan kata lain sejauh mana ia benar-benar ditu-runkan

dari khiúâb Ilahi. Tetapi ini tidak berarti bahwa kekuasaan negara

tidak penting untuk menenami konsep hukum Islam. Kekuasaan

itu sangat penting sebagai sarana pelaksanaan dan penegakan

hukum syariah, tetapi tidak merupakan unsur substansial dalam

konsep hukum. Aturan-aturan yang dibuat oleh negara bukan

sama sekali tidak mendapat tempat dalam konsep hukum Islam.

Aturan-aturan itu juga penting dan biasanya ditempatkan di

dalam domain as-siyasah asy-syar'iyyah.

Sebagaimana dikemukakan diatas istiòsân merupakan salah

satu metode ijtihad dimensi istinbâùi. Istiòsân menurut bahasa

berarti menganggap baik.24 Abu Hanifah banyak menetapkan

hukum dengan istiòsân tetapi tidak pernah menjelaskan maksud

dari istiòsân itu. Ketika menetapkan suatu hukum dengan cara

istiòsân, Abu Hanifah mengatakan: “astahsin”,25 artinya saya

menganggap baik. Penetapan Hukum dengan istiòsân itu diikuti

pula oleh para sahabat dan pengikut Abu Hanifah. Sehingga

dalam sejarah ilmu ushul fiqih, Òanafiyah dikenal sebagai

golongan yang memakai istiòsân sebagai salah satu metode

istinbâù al-òukm. Oleh pengikut dan murid-murid Abu Hanifah

kemudian dirumuskan pengertian istiòsân itu. Selanjutnya

mereka juga menjelaskan pembagian dan macam-macam

istiòsân beserta contoh-contohnya.

Al-Syâfi‘î26 menolak istiòsân karena memandangnya sebagai

cara istinbâù hukum dengan hawa nafsu dan mencari enaknya

saja. Al-Syâfi‘î dalam hal ini berkata: “siapa yang melakukan

istiòsân berarti dia telah membuat-buat syarî‘at.”27 Penolakan Al-

24 Abd al-‘Azîz Ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyrî‘ al-Mukhtalaf Fi al-Iòtijaj Biha, Mu’assat al-Risâlat, Cet. I, 1399 H-1979 M, hlm. 155 25 Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanîfah Òayâtuh Wa ‘Aèruh Arâ’uh Wa Fiqhuh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1974 M – 1366 H, hlm. 342. 26 Al-Syafi’i adalah pendiri madzhab Syafi’iyah yang menjadi madzhab dominan di Asia

tenggara termasuk di Indoensia. Metode al-Syafi’i lebih ditekakan pada qiyas. Bahkan dia berpendapat kiaslah satu-satu metode ijtihad. Lihat Bunyana Sholihin, “Teori Qiyas Al-Syafi’i, Jurnal Asy-Syariah Vol. 11, No 2, Juli 2007, hlm. 200.

27 Al-Syafi‘î, al-Risâlat, Taòqîq Muhammad Sayid Kaylani, Cet. I (Mesir: Muèùafa al-Bâbi al-Òalabi Wa Awlâduh. 1388 H/ 1969 M), hlm. 220.

Page 21: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Syâfi‘î itu tentu besar pengaruhnya di kalangan masyarakat

Islam apalagi dikalangan masyarakat Islam yang banyak

menganut mazhab Al-Syâfi‘î seperti di Indonesia.28

Sikap Al-Syâfi‘î menolak istiòsân itu adalah karena pengikut-

pengikut Abu Hanifah yang berdiskusi dengan beliau tidak

mampu menerangkan apa yang mereka maksudkan dengan kata

itu. Boleh jadi mereka yang berdiskusi dengan Al-Syâfi‘î

menggunakan kata istiòsân diwaktu mereka tidak dapat

mengemukakan suatu dalil lantaran mereka bertaklid kepada

Imam mereka. Tatkala Al-Syâfi‘î menanyakan kepada mereka

apa hakikat istiòsân, mereka tidak dapat menjawabnya.29

Keadaan yang demikian menyebabkan ia memahami bahwa

istiòsân adalah menetapkan Hukum sesuai dengan kehendak

orang yang melakukannya, artinya apa yang dianggap baik oleh

orang yang melakukan istiòsân maka itulah yang ditetapkannya

sebagai hukum, karena memang arti harfiyah dari istiòsân

adalah mengannggap baik, Jadi, penetapan hukum dengan

istiòsân itu, dalam pemahaman Al-Syâfi‘î, sama sekali tidak

mempunyai metode, hanya semata-mata berdasarkan hawa

nafsu.

Golongan Mâlikiyah dikenal sebagai golongan yang

memakai istièlâò sebagai salah satu metode istinbâù hukum.

Selain menetapkan hukum dengan istièlâò, golongan Mâlikiyah

juga disebut-sebut sebagai golongan yang berpegang pula pada

istiòsân. Imam Mâliki sendiri mengatakan bahwa sepersembilan

ilmu terdapat dalam istiòsân.30

Suatu hal yang perlu dijelaskan disini adalah bahwa metode-

metode istinbâù hukum seperti istiòsân dan istièlâò, dirumuskan

oleh orang lain berdasarkan pemahaman terhadap metode

28 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. II ( Jakarta: U.I. Press. 1978), hlm. 17.

29 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. III. (Jakarta: Bulan Bintang. 1988), hlm. 306.30 Al-Syâùibî, al-I‘tièâm, Juz II (Mesir: t.pn. 1913), hlm. 320.

Page 22: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

istinbâù hukum Imam Mazhab. Tidak mustahil bahwa rumusan-

rumusan yang diberikan terhadap cara istinbâù hukum itu

berbeda atau tidak persis sama seperti yang dimaksud oleh

pelakunya. Hal ini sekurang-kurangnya terasa dalam rumusan

metode istinbâù hukum Imam Mâlik. Dalam rumusan itu

disimpulkan bahwa Imam Mâlik melakukan istiòsân dan istièlâò

sebagai metode yang masing-masing berdiri sendiri ada

pendapat yang mengatakan bahwa istièlâò Imam Mâlik itu tidak

lain kecuali salah satu macam istiòsân.

Penulis mempunyai anggapan sementara bahwa istiòsân

merupakan suatu metode istinbâù hukum yang relevan dengan

perkem-bangan zaman dan sangat mungkin menjadi akselerator

pengembangan produk-produk pengumpulan, pembiayaan, dan

layanan di lembaga keuangan syariah. Sebab istiòsân

memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk berpaling dari

suatu hukum kepada hukum yang lain karena ada pertimbangan

khusus. Penggunaan metode istinbâù hukum, semuanya

bertujuan untuk mengetahui tujuan syariat dan

merealisasikannya. Masing-masing metode tersebut hanya

dipakai selama ia efektif, bila tidak, maka perlu dipakai metode

lain yang lebih sesuai dan lebih mampu menyelesaikan

permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan

demikian penetapan hukum dengan istiòsân merupakan suatu

jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qiyâs dan

metode-metode istinbâù hukum yang lain.

Dengan demikian penalaran hukum dengan istiòsân sangat

memperhatikan segi tujuan hukum yang hendak dicapai untuk

ke-pentingan umat manusia. Hal ini. Sangat sesuai dengan

keadaan lembaga keuangan syariah yang terus berkembang dan

melakuka terobosan sejalan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Page 23: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Produk-produk

LKS

Istinbathi

Tasyri

Istihsan

Pengembangan produkProduk-produk

Istiòsân muncul sebagai dalil hukum bermula dari peristiwa

ijtihad Abu Hanifah. Yaitu ketika beliau diminta oleh para

muridnya untuk menentukan`illaú suatu peristiwa agar dapat di-

qiyâs-kan. Karena kesamaran `illaú peristiwa dimaksud, maka

beliau menetapkan hukumnya dengan istiòsân. Selanjutnya cara

ini diikuti dan disebarkan oleh para muridnya, antara lain Abu

Yusuf, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, Al-Hasan bin Ziyad al-

Lu`lu`i, Zufar bin Huzail dan lain-lain. Bahkan ulama hukum

Hijaz-pun mengenal dan menggunakannya sebagai metode.

Menurut Ibn al-Qasim, Imam Malik bin Anas juga ber-istiòsân

dalam menetapkan wajib kafarat bagi orang yang memukul

seorang wanita hamil yang berakibat keguguran. Ia pun

meriwayatkan bahwa Imam Malik pernah mengatakan:

تسِعُة أعشار الِعَلِم االستحساُن

Sepersembilan ilmu pengetahuan adalah istiòsân.

Kalau tesis ini diterima maka dengan demikian metode

istinbath didominasi oleh penggunaan istiòsân. Banyak masalah

hukum akan diselesaikan dengan metode istiòsân. Termasuk

masalah-masalah muamalah yang berhubungan dengan produk

keuangan syariah. Kerangka berpikir tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:

Page 24: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

G. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan

metode deskriptif dan pendekatan kualitatif. Metode ini dipilih

karena metode deskriptif lebih memusatkan perhatian pada

pemecahan masalah aktual. Operasionalisasinya dengan cara

menggambarkan dan menguraikan kasus atau permasalahan

yang sesungguhnya terjadi secara cermat dan terperinci disertai

upaya untuk mencari jalan keluar atau penyelesaian atas

permasalahan tersebut (Winarno Surakhmad:1983; Suharsimi

Arikunto, 2005:268).

Dalam penelitian ini metode deskriptif dioperasionalkan

untuk mengetahui realitas yang sesunguhnya terjadi dalam

aplikasi istiòsân pada produk-produk LKS.

2. Jenis Data

Jenis data yang akan dikumpulkan berupa informasi

tentang konsep istiòsân dan proses penetapan produk-produk

pengumpulan, pembiayaan dan layanan di LKS.

Page 25: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

3. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian

yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber

data primer berupa kitab-kitab klasik yang membahas tentang

istiòsân dan hasil wawancara dengan pelaku penetapan produk

LKS baik di manajemen LKS maupun DSN.

Sementara sumber data sekunder berupa kepustakaan,

laporan penelitian yang pernah dilakukan yang terkait dengan

obyek penelitian.

4. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan

dengan dua cara yaitu pertama, depth interview (wawancara

secara mendalam) untuk membedah alasan pemilihan produk

dan penetapannya oleh LKS dan DSN.

Kedua, observasi ke lokasi yang dianggap representatif untuk

menggambarkan data yang dicari.

Ketiga, Studi Pustaka untuk mendapatkan data historis tentang

konsep istiòsân, mulai dari latar belakang munculnya,

perdebatan konsep, dan penerapannya.

5. Analisis Data

Karena pendekatan penelitian ini kualitatif, maka analisis

data pun dilakukan secara kualitatif. Operasionalisasinya

dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

Pertama, data yang didapat dikatagorisasikan ke dalam dua

katagori, yaitu konsep istiòsân dan produk-produk lembaga

keuangan syariah.

Kedua, data-data yang sudah dikatagorisasikan kemudian

ditafsirkan dan dihubungkan dengan satu sama lain untuk

melihat relevansinya dengan menggunakan kerangka teoritik

yang telah ditentukan sebelumnya.

Page 26: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Ketiga, setelah dapat dipetakan pola relevansinya, kemudian

ditarik kesimpulan secara logis dan rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid, Al-Bayân, Jakarta:Bulan Bintang,1976.

Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, t.k., Maktabatah Da’wah

Islamiyah, 1968.

Abd al-‘Azîz Ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyrî‘ al-Mukhtalaf Fi al-

Iòtijaj Biha, Mu’assat al-Risâlat, Cet. I, 1399 H-1979 M,

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, III, Yogjakarta: Data

Bakti Prima Yasa, 2002

Atang Abd Hakim, Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU

Perbankkan Syariah No. 21 tahun 2008. Disertasi siap

disidangkan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.

Page 27: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, Jakarta:Bulan

Bintang,1976.

Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka,1984

Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilm al-Ushûl, Beirut; Dâr al-Kutûb al-

Ilmiyah, 1983.

Hasan Awadh Ibrahim Abu Arqub, Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm

al-Buyu’ ‘ind al-Hanafiyah Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li

Amåal Mukhtâraú, Tesis Fakultas al-Dirasat al-Ulya al-

Jamiah Yordania tidak diterbitkan, 2006.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,

Cet. II Jakarta: U.I. Press. 1978

Iskandar Usman, Istiòsân dan Pembaharuan Hukum Islam,

Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994

Luqyan Tamanny, “Peran Perbankkan Syari’ah dalam

Perekonomian Umat di Indonesia”, Seminar Nasional

Ekonomi Syari’ah BEM HIMA Muamalah UIN Sunan Gunung

Djati Bandung, 2006

Monzer Kahf, Ph.d., Ekonomi Islam (Telaah Analitik Fungsi Sistem

Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. III. ,Jakarta:

Bulan Bintang. 1988.

Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, Bandung: Pustaka,

1984

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Islam dari Teori ke Praktek,

Jakarta: Gema Insan Press, 2001

Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanîfah Òayâtuh Wa ‘Aèruh Arâ’uh

Wa Fiqhuh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1974 M – 1366 H.

Suharsimi Arikunto, Prof,Dr, Manajemen Penelitian, Jakarta:

Rineka Cipta, 2005

Sofyan Al-Hakim dan Enceng Arif Faizal, Pengaruh Fatwa MUI

Tentang Bunga Bank Terhadap Perkembangan Bank

Page 28: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

Syari’ah, Bandung, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung

Djati, 2004

Shadr al-Syariah, al-Tauæiò fî Òal Gawâmiæ al-Tanqîò .Kairo;Dar

al-Ahd al-Jadid li al-Tiba’ah,1957.

Sofyan Al-Hakim, Pengaruh Logika Aristoteles dalam Pemikiran

Ushul Fiqih Al-Syafi’i, Tesis tidak diterbitkan IAIN SGD

Bandung,2003

Surahman Hidayat, al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa

Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-

Islâmiyah fi Misra, Disertasi, Jâmiaú al-Azhar Kulliyah al-

Syarîah wa al-Qanûn Qism al-Siyâsah al-Syariyyaú, Kairo,

1999.

Al-Syafi‘î, al-Risâlat, Taòqîq Muhammad Sayid Kaylani, Cet. I

(Mesir: Muèùafa al-Bâbi al-Òalabi Wa Awlâduh. 1388 H/ 1969

M)

Al-Syâùibî, al-I‘tièâm, Juz II Mesir: t.pn. 1913.

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas

Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.

Ummer Chapra, M., Toward a Just Monetary System, Leicester,

The Islamic Foundation, 1995

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, Damaskus: Dar

al-Fikr, 1986.

Winarno Surakhmad, Prof.Dr.,M.Sc.Ed., Pengantar Penelitian

Ilmiah; Dasar, Metode, Tekhnik, Bandung: Tarsito, 1990

www.bi.go.id/Statistik Perbankkan Syariah Bulan April 2010

Page 29: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

FUNGSI ISTIÒSÂN DALAM PENGEMBANGAN

PRODUK-PRODUK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

RENCANA PENELITIAN

DISERTASI

Oleh:

Sofyan Al-Hakim

Page 30: Aplikasi Istihsan Dalam an Produk

2010