Islam Dan Negara Orde Baru

4
Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistik ke Akomodatif Pada masa presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan islam dan negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya digolongkan menjadi 2 pola: Antagonistik dan Akomodatif. Pola antagonistik adalah hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara islam dan negara orde baru; sedangkan pola akomodatif adalah kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok islam dan negara orde baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Menurut Abdul Aziz Thaba, sebelum mencapai pola akomodatif, telah terjadi hubungan agama dan negara orde baru yang bersifat resiprokal kritis (penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia). Hubungan antagonis antara negara orde baru dengan kelompok islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok islam, khususnya di era 1950-an. Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik islam, baik pada orde lama maupun orde baru. Hasil dari kebijakan ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan islam sebagai ideologi dan/atau agama negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), atau biasa disebut kelompok politik “minoritas” atau “outsider”. Menurut Bahtiar Effendy, politik islam sering dicurigai oleh negara sebagai anti-ideologi negara pancasila. Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara islam dan negara dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan umat islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan islam sebagai simbol politik di awal kekuasaan orde baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang

description

pkn

Transcript of Islam Dan Negara Orde Baru

Page 1: Islam Dan Negara Orde Baru

Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistik ke Akomodatif

Pada masa presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan islam dan negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya digolongkan menjadi 2 pola: Antagonistik dan Akomodatif. Pola antagonistik adalah hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara islam dan negara orde baru; sedangkan pola akomodatif adalah kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok islam dan negara orde baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Menurut Abdul Aziz Thaba, sebelum mencapai pola akomodatif, telah terjadi hubungan agama dan negara orde baru yang bersifat resiprokal kritis (penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia).

Hubungan antagonis antara negara orde baru dengan kelompok islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan islam yang berlebihan yang dilakukan presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok islam, khususnya di era 1950-an.

Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik islam, baik pada orde lama maupun orde baru. Hasil dari kebijakan ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan islam sebagai ideologi dan/atau agama negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), atau biasa disebut kelompok politik “minoritas” atau “outsider”. Menurut Bahtiar Effendy, politik islam sering dicurigai oleh negara sebagai anti-ideologi negara pancasila.

Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara islam dan negara dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan umat islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan islam sebagai simbol politik di awal kekuasaan orde baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran islam dari arena politik nasional. Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan politik islam mewarnai arah dan kecenderungan politik orde baru. Kecenderungan politik keamanan yang dilakukan orde baru dapat ditandai pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok islam di era 1980-an yang dianggap sebagai penentang asas tunggal pancasila ciptaan orde baru. Kekerasan politik dan peminggiran islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim orde baru atas kekuatan islam melahirkan kesimpulan sifat antagonistik hubungan islam dan negara orde baru. Sejak awal berdirinya orde baru hingga awal 1980-an islam dianggap sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan orde baru.

Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan hubungan islam dan rezim orde baru. Hal ini ditandai lahirnya kebijakan-kebijakan politik presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan orde baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik islam baik struktural maupun kultural.

Kecenderungan akomodasi negara terhadap islam menurut Affan Gaffar ditandai, adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan dan kecenderungan

Page 2: Islam Dan Negara Orde Baru

akomodasionis umat islam sendiri. Pemerintah menyadari potensi umat islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Sedangkan menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap islam disebabkan oleh pemahaman negara pada perubahan sikap politik umat islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal pancasila. Perubahan sikap umat islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan orde baru yang menguntungkan umat islam pada masa selanjutnya.

Pengesahan RUU pendidikan nasional, pengesahan RUU peradilan agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi muslim disekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatif antara para penguasa orde baru dengan islam.

Islam dan Negara Pasca Orde Baru: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa

Islam adalah agama mayoritas di Indonesia menjadikan islam sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya orde baru yang otoriter, umat islam seharusnya memandang dan menjadikan kesepakatan antara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis muslim untuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang harus tetap dijaga dan dipertahankan sampai kapan pun. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci para pendiri bangsa yang harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa ini, masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tatanan Indonesia yang plural dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu, sangat tidak relevan jika dijumpai segelintir orang yang menginginkan Indonesia sebagai negara agama dan hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip kebhinekaan dan demokrasi selain itu juga berarti menghianati kesepakatan para pendiri bangsa. Konsep NKRI dan pancasila dengan kebhinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keIndonesiaan. Begitu pula sebaliknya dengan negara. Ia memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi Indonesia. Pemerintah harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah kebhinekaan Indonesia yang telah dijamin oleh konstitusi negara.

Negara juga berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di Indonesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi, dan lain sebagainya. Keberadaan elemen-elemen demokrasi tersebut harus didorong menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi di Indonesia dan menjaga kebhinekaan dan keutuhan NKRI.

Page 3: Islam Dan Negara Orde Baru

Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seharusnya mengedepankan cara-cara dialogis apabila terjadi perselisihan pandangan antara kelompok.