Isi Skenario a Blok 14 Tahun 2013
-
Upload
riedhachanz -
Category
Documents
-
view
43 -
download
10
description
Transcript of Isi Skenario a Blok 14 Tahun 2013
SKENARIO A BLOK 14 TAHUN 2013
Anamnesis:
Tn.B, umur 35 tahun, mempunyai BB 95kg dan TB 165 cm, datang ke Poliklinik Khusus
Endokrin Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama merasa mudah capek sejak
3 bulan yang lalu. Dia juga merasa cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu disertai
sering buang air kecil di malam hari. Di samping itu ia juga mengeluh kesemutan dan gatal-
gatal seluruh tubuh sejak 6 bulan yang lalu. Dari anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B
mempunyai riwayat keluarga menderita hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).
Pemeriksaan Fisik:
Tekanan Darah 170/95 mmHg, acanthosis nigricans, obesitas sentral dengan lingkar
perut 120cm.
Pemeriksaan laboratorium:
Darah rutin: Hb 14 g %, Ht 42%, leukosit 7.600/mm3, trombosit 165.000/mm3
Gula darah puasa 277 mg/dL
HbA1C 8,6 %
OGTT (puasa) 146 mg/dL, (2 jam post prandial) 246 mg/dL
Total protein 7,7 g/dL,
Albumin 4,8 g/dL,
Globulin 2,9 g/dL,
Ureum 22 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL,
Sodium 138 mmol/l,
Potasium 3,6 mmol/l.
Total Cholesterol 270 mg/dL
Cholesterol LDL 210 mg/dL
Cholesterol HDL 38 mg/dL
Trigliserida 337 mg/dL
Urinalisis: Urin reduksi +2, mikroalbuminuria (+)
I. Klarifikasi Istilah
1
1. Kesemutan (paresthesia): suatu kondisi abnormal disaat seseorang merasakan
sensasi pada bagian tubuh tertentu yang tidak dipicu rangsangan dari luar, dapat
terjadi jika syaraf dan pembuluh darah mengalami tekanan.
2. Diabetes: setiap kelainan yang ditandai ekskresi urin yang berlebihan.
3. Achantosis nigricans: hiperplasia dan penebalan difus stratum spinosum epidermis
seperti beludru dengan pigmentasi gelap, khususnya diketiak; pada orang dewasa,
satu bentuk achantosis nigricans sering disertai dengan karsinoma internal, serta
bentuk lainnya bersifat jinak, nevoid, kurang lebih generalisata.
4. Obesitas sentral: adanya kelebihan lemak di perut. Dalam kondisi ini, jumlah
lemak yang disimpan dalam perut berada di luar dari proporsi total lemak tubuh.
5. Lingkar perut: angka yang menunjukkan panjang keliling perut dalam satuan cm
yang diukur satu jari dibawah pusar mengelilingi perut. Pria normalnya 80cm dan
wanita 90cm.
6. Gula darah puasa: tingkat glukosa darah seseorang setelah orang tersebut tidak
makan selama 8-12 jam.
7. HbA1C: zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin yang
menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 1-3 bulan.
8. OGTT: pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan glukosa khusus
untuk diminum dan akan diperiksa setelah satu atau dua jam setelah meminum
larutan tersebut. Tes ini adalah standar emas untuk membuat diagnosis untuk DM
tipe 2.
9. Post prandial: terjadi atau dilakukan setelah makan.
10. Total protein: total jumlah protein dalam darah. Protein dalam darah terdiri dari
albumin dan globulin.
11. Albumin: protein yang larut dalam air dan juga dalam larutan garam konsentrasi
sedang.
12. Globulin: setiap anggota dari suatu kelas protein yang sebagian besar tidak larut
dalam air tetapi larut dalam larutan garam (Euglobulin), tetapi beberapa larut
dalam air (pseudoglobulin) dengan sifat fisik lainnya yang menyerupai euglobulin.
13. Ureum: produk akhir nitrogen utama dari metabolisme protein yang dibentuk
dalam hati dari asam amino dan senyawa amoniak ditemukan dalam urin, darah,
dan limfe.
2
14. Kreatinin: bentuk anhidrida kreatin hasil akhir metabolisme fosfokreatin untuk
pengukuran laju ekskresi urin dipakai sebagai indikator diagnostik fungsi ginjal
dan masa otot.
15. Sodium: unsur kimia dengan lambang Na yang merupakan kation utama di dalam
cairan tubuh ekstraseluler.
16. Potasium: unsur kimia dengan lambang K yang merupakan kation utama di dalam
cairan tubuh intraseluler, dan banyak bentuk garamnya digunakan sebagai
pengganti elektrolit yang hilang dan anti hipokalemia.
17. Total cholesterol: merupakan jumlah kolesterol yang terdapat di dalam semua
partikel lipoprotein tubuh (semua jenis kolesterol dan trigliserida).
18. Cholesterol LDL: kolesterol serum yang dibawa oleh lipoprotein densitas rendah,
kira-kira 60-70% dari kolesterol total.
19. Cholesterol HDL: kolesterol serum yang dibawa oleh lipoprotein densitas tinggi,
kira-kira 20-30% dari kolesterol total.
20. Trigliserida: senyawa yang terdiri dari tiga molekul asam lemak yang telah
teresterifikasi menjadi gliserol; lemak netral yang merupakan bentuk penyimpanan
lipid yang biasa pada hewan.
21. Urin reduksi: pemeriksaan uji laboratorium untuk mengetahui kadar gula pada
pasien.
22. Mikroalbuminuria: peningkatan albumin urin yang sangat sedikit.
II. Identifikasi Masalah
1. Tn.B, umur 35 tahun, mempunyai BB 95kg dan TB 165 cm, datang ke Poliklinik
Khusus Endokrin Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama merasa
mudah capek sejak 3 bulan yang lalu. (Chief Complaint)
2. Dia juga merasa cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu disertai sering buang
air kecil di malam hari.
3. Di samping itu ia juga mengeluh kesemutan dan gatal-gatal seluruh tubuh sejak 6
bulan yang lalu.
4. Dari anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B mempunyai riwayat keluarga
menderita hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).
5. Pemeriksaan Fisik: (Main Problem)
Tekanan Darah 170/95 mmHg, acanthosis nigricans, obesitas sentral dengan
lingkar perut 120cm.
3
6. Pemeriksaan laboratorium:
Darah rutin: Hb 14 g %, Ht 42%, leukosit 7.600/mm3, trombosit 165.000/mm3
Gula darah puasa 277 mg/dL
HbA1C 8,6 %
OGTT (puasa) 146 mg/dL, (2 jam post prandial) 246 mg/dL
Total protein 7,7 g/dL,
Albumin 4,8 g/dL,
Globulin 2,9 g/dL,
Ureum 22 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL,
Sodium 138 mmol/l,
Potasium 3,6 mmol/l.
Total Cholesterol 270 mg/dL
Cholesterol LDL 210 mg/dL
Cholesterol HDL 38 mg/dL
Trigliserida 337 mg/dL
7. Urinalisis: Urin reduksi +2, mikroalbuminuria (+)
8. Sindroma Metabolik
III. Analisis Masalah
1. Tn.B, umur 35 tahun, mempunyai BB 95kg dan TB 165 cm, datang ke Poliklinik
Khusus Endokrin Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama merasa
mudah capek sejak 3 bulan yang lalu.
a. Bagaimana IMT Tn. B dan bagaimana IMT yang normal?
Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan
antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai
dapat menjadi indikator atau mengambarkan kadar adipositas dalam tubuh
seseorang.
Berat badan (Kg)
IMT =
[Tinggi badan (m)]2
95 kg
4
IMT Tn.B =
(1,65) 2
IMT Tn. B = 34,89 (Interpretasi obesitas II)
Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:
b. Bagaiman hubungan IMT Tn. B dengan keluhan?
Pada skenario telah diketahui bahwa pasien mengalami hiperglikemi,
akan tetapi glukosa yang banyak ini tidak dapat memasuki sel karena
resistensi insulin, resistensi insulin ini salah satunya disebabkan karena sel sel
adipose yang berlebih manyebabkan menurunnya hormone adiponektin dan
masuknya berbagai makrofag dan mengeluarkan sitokin-sitokin seperti TNF
alfa dan IL-6 , dengan menurunnya hormone dan adanya mediator inflamasi
ini akan mengurangi sensitifitas reseptor insulin. Berkurangnya sensitifitas
insulin akan menurunkan masukan glukosa ke sel. Mudah lelah disini
diartikan sebagai kurangnya energi dalam tubuh. Energi diperoleh dari hasil
metabolisme glukosa dalam sel. Akan tetapi karena pada kasus ini glukosa
tidak dapat memasuki sel atau hanya sedikit glukosa yang dapat masuk
sehingga pembentukan ATP juga sedikit, dan menyebabkan kondisi mudah
lelah pada pasien ini.
c. Bagaimana mekanisme capek yang dialami Tn. B?
Ketidakpekaan insulin (resistensi insulin) dalam merespon lonjakan
gula darah menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati seraya
penurunan ambilan glukosa oleh jaringan (terjadilah hiperglikemia).
Berkurangnya jumlah glukosa ke jaringan mengakibatkan sel menjadi
5
IMT KATEGORI
< 18,5 Berat badan kurang
18,5 – 22,9 Berat badan normal
≥ 23,0 Kelebihan berat badan
23,0 – 24,9 Beresiko menjadi obes
25,0 – 29.9 Obes I
≥ 30,0 Obes II
kelaparan. Di sisi lain, sel-sel itu sendiri tidak memiliki kemampuan untuk
menghasilkan energi. Maka terjadilah kelelahan dan kelemahan sebagai
cerminan ketiadaan energi pada diabetes dalam kasus Tn. B ini.
Mekanismenya :
Resistensi insulin Hiperglikemia sintesis ATP pada otot rangka menurun
mudah lelah.
2. Dia juga merasa cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu disertai sering
buang air kecil di malam hari.
a. Bagaimana mekanisme dari cepat haus, cepat lapar dan sering buang air
kecil di malam hari?
Keluhan yang dirasakan oleh Tn. B dimulai dengan poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (cepat haus) dan polifagia (cepat lapar).
Mekanisme dari keluhan-keluhan tersebut diantaranya:
a. Poliuria
Ada dua mekanisme yang mungkin terjadi pada keluhan poliuria yang
dialami oleh Tn. B, yaitu
1. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah
menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi
hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena
ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila
terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan
mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan
sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan
bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan
glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine.
2. Tingginya kadar glukosa darah (>180 mg/dl) dapat menyebabkan
dehidrasi pada sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena glukosa
tidak dapat dengan mudah berdifusi melalui pori-pori membrane
sel, dan naiknya tekanan osmotic dalam cairan ekstrasel
menyebabkan timbulnya perpindahan air secara osmosis keluar
dari sel. Selain efek dehidrasi sel langsung akibat glukosa yang
berlebihan, keluarnya glukosa ke dalam urin akan menimbulkan
keadaan diuresis osmotic dari glukosa dalam tubulus ginjal yang
6
sangat mengurangi reasorbsi cairan tubulus. Efek keseluruhannya
adalah kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin sehingga
menyebabkan dehidrasi cairan ekstrasel.
b. Polidipsia
Haus merupakan respon tubuh ketika tubuh kehilangan banyak
cairan/dehidrasi (outtake > intake). Pada kasus Tn. B, haus ini diawal
dengan sering buang air kecil sehingga cairan tubuh Tn. B menjadi
berkurang. Sebagai bentuk kompensasi, maka tubuh melalui pusat haus
di Hippothalamus akan merangsang rasa haus.
c. Polifagia
Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar
(4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang disekresikan keluar)
sehingga hal ini menyebabkan terjadinya lapar sel. Karena uptake
glukosa oleh sel yang rendah, sel mengirim sinyal ke hipothalamus
lateral (pusat lapar).
b. Bagaimana hubungan antar keluhan yang dialami Tn. B (cepat haus,
cepat lapar dan sering buang air kecil di malam hari)?
Mekanisme:
Terjadinya gangguan trannspor glukosa ke sel menyebabkan sumber
pembentuk energy menurun. Hal tersebut menyebabkan sel menjadi
7
kekurangan energy. Kemudian mempengaruhi pusat rasa lapar di otak.
Timbullah polyphagia.
Dan disisi lain, terjadi peningkatan glukosa darah atau hiperglikemia.
Hiperglikemia ini menyebabkan filtrasi di tubulus ginjal meningkat dan
hiperosmotik plasma. Sehingga terjadi glikosuria. Meningkatnya diuresis
osmotic memicu terjadinya dehidrasi akibat polyuria sehingga menyebabkan
polydipsia / rasa haus.
c. Mengapa buang air kecil dominan di malam hari terkait kasus?
Pada penderita diabetes, kadar gula dalam darah yang tinggi
mengakibatkan peningkatan kepekatan (osmolalitas) darah. Kadar gula darah
yang tinggi mengakibatkan tubuh akan memberikan respon melalui ginjal
dengan cara meningkatkan frekuensi dan volume urin yang dimaksudkan agar
pembuangan glukosa dapat terjadi melalui urin. Ginjal akan mendapatkan
peningkatan beban cairan untuk diolah, sehingga meningkatkan frekuensi
kencing sebagai upaya ginjal untuk menyingkirkan kelebihan glukosa dalam
darah. Terjadi pada malam hari (atau disebut gejala malam) terjadi karena
ketika malam hari kadar gula dalam darah sedang meningkat. Sehingga kerja
ginjal untuk megeluarkan glukosa akan lebih keras dan penderita akan lebih
sering berkemih.
3. Di samping itu ia juga mengeluh kesemutan dan gatal-gatal seluruh tubuh sejak 6
bulan yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme gatal-gatal dan kesemutan terkait kasus?
ada dua mekanisme yang mungkin terjadi:
a. Tuan B obesitas mengaktivasi enzim aldose-reduktase merubah
glukosa menjadi sorbitol di metabolisme oleh sorbitol dehidrogenase
fruktosa (akumulasi sorbitol dalam saraf hipertonik intraseluler
edem saraf) .
meningkatnya sintesis sorbitol dan fruktosa mengganggu jalur poliol
(glukosa- sorbitol – fruktosa) terhambatnya mioinosito masuk Ke
dalam sel saraf.
Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara lagsung stresss
osmotik merusak mitokondria dan menstimulasi protein kinase C
(PKC) menekan fungsi Na – K – ATP –ase kadar Na intraseluler +
8
menghambat mioinisitol ke saraf gangguan tranduksi sinyal pada
saraf.
Hiperglikemia menyebabkan kadar gula dalam keringat meningkat,
keringat menguap, gula tertimbun di dalam kulit dan menyebabkan iritasi
dan gatal – gatal. Keadaan hiperglikemi juga mempengaruhi pruritogen
untuk menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi.
Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang
serabut saraf sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis
susunan saraf tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson
refleks mengeluarkan transmiter yang menghasilkan inflamasi neurogenik
(substansi P, CGRP, NKA, dll). Setelah impuls melalui pemrosesan di
korteks serebri, maka akan timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak
yang menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu tubuh.
b. Kesemutan pada diabetes terjadi karena adanya gangguan di pembuluh
darah kapiler yang kecil-kecil atau kerusakan pada pembuluh darah tepi
( pada penderita diabetes di mana dapat terjadi mikroangiopati
(kekurangan makanan pada saraf) sehingga pembuluh darah dan saraf tepi
(perifer) mengalami gangguan ). Mekanisme penyebab neuropati akibat
diabetes belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan peningkatan kadar
glukosa darahlah yang menyebabkan gangguan antaran listrik pada
serabut saraf perifer. Selain itu, pembuluh darah kapiler terganggu,
sehingga menyebabkan sel-sel saraf tidak mendapatkan sirkulasi darah
yang baik dan terjadilah kerusakan.
Pada diabetes misalnya, pengendalian kadar gula darah dalam batas
normal dapat mencegah perburukan gejala. Pengendalian gula darah dapat
dilakukan dengan konsumsi obat secara teratur dan diet.
Untuk mengatasi kesemutan, hal pertama yang mesti dilakukan adalah
mengontrol gula darah. Vitamin khusus untuk saraf, yaitu obat turunan
vitamin B ( metikobalamin ). Obat neurotropik diberikan guna
mempertahankan saraf tepi agar tidak cepat rusak, juga mempertinggi
ambang rangsang kesemutan.
c. Mengapa kronologis keluhan Tn. B diawali dengan gatal-gatal dan
kesemutan lalu baru diikuti keluhan lainnya?
9
Kesemutan dan gatal-gatal dirasakan terlebih dahulu (6 bulan yang
lalu) kemungkinan besar itu adalah faktor individual, di mana gejala yang lain
mungkin sudah ada tetapi, tidak begitu nampak, dan mengganggu sehingga
diabaikan. Sedangkan kesemutan dan gatal-gatal merupakan gejala yang
mengganggu aktifitas dan kenyamanan sehingga dirasakan terlebih dahulu.
4. Dari anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B mempunyai riwayat keluarga
menderita hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).
a. Bagaimana hubungan sindroma metabolik dengan riwayat penyakit
dalam keluarganya?
Hipertensi bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan riwayat
keluarga. Diketahui bahwa faktor herediter merupakan salah satu unsur yang
penting dalam resdisposisi hipertensi, dimana ayah mempunyai kontribusi
lebih kuat dibandingkan ibu. Faktor genetik memberikan kontribusi untuk
munculnya hipertensi sebanyak 30-50%.
Pada Diabetes Tipe 2 memliki basis genetik yang lebih besar
dibandingkan tipe I. Jika orang tua menderita DM tipe 2 sejak berusia dibawah
50 tahun, maka kemungkinan anak mengalami DM yang sama adalah 1:7.
Apabila orang tua terdiagnosis diatas 50 tahun makan kemungkinan ankanya
sedikit mengecil, yaitu 1:13.
b. Bagaimana faktor risiko hipertensi dan diabetes?
Hipertensi : Faktor risiko terjadi hipertensi dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor yang dapat
dikendalikan. Faktor yang tidak dapat dikendalikan meliputi keturunan
(herediter/genetik), usia dan ras. Sedangkan faktor yang dapat
dikendalikan adalah asupan garam, obesitas, inaktivitas/jarang olah raga,
merokok, stress, minuman beralkohol dan obat-obatan. Penggunaan obat-
obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat
hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus
menerus dapat meningkatkan tekanan darah seseorang.Penting bagi
penderita untuk melakukan modifikasi pada faktor yang dapat
dikendalikan tersebut.
Diabetes :
- Riwayat Keluarga
10
Faktor keturunan atau genetik punya kontribusi yang tidak bisa
diremeh untuk seseorang terserang penyakit diabetes.
Menghilangkan faktor genetik sangatlah sulit. Yang bisa dilakukan
untuk seseorang bisa terhindar dari penyakit diabetes melitus
karena sebab genetik adalah dengan memperbaiki pola hidup dan
pola makan.
- Obesitas Atau Kegemukan
Kegemukan bisa menyebabkan tubuh seseorang mengalami
resistensi terhadap hormon insulin. Sel-sel tubuh bersaing ketat
dengan jaringan lemak untuk menyerap insulin. Akibatnya organ
pankreas akan dipacu untuk memproduksi insulin sebanyak-
banyaknya sehingga menjadikan organ ini menjadi kelelahan dan
akhirnya rusak.
- Usia Yang Semakin Bertambah
Usia dia atas 40 tahun banyak organ-organ vital melemah dan
tubuh mulai mengalami kepekaan terhadap insulin. Bahkan pada
wanita yang sudah mengalami monopause punya kecenderungan
untuk lebih tidak peka terhadap hormon insulin.
- Kurangnya Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor cukup besar untuk
seseorang mengalami kegemukan dan melemahkan kerja organ-
organ vital seperti jantung, liver, ginjal dan juga pankreas.
Lakukan olahraga secara teratur minimal 30 menit sebanyak 3 kali
dalam seminggu.
- Merokok
Asap rokok ternyata menimbulkan efek negatis terhadap kesehatan
dan sifatnya sangat komplek. Termasuk terhadap resiko seseorang
mudah terserang penyakit diabetes mellitus.
- Mengkonsumsi Makanan Berkolesterol Tinggi
Manakan berkolesterol tinggi juga diyakini memberi kontribusi
yang cukup tinggi untuk seseorang mudah terserang penyakit
diabetes melitus. Batasi konsumsi kolestorol Anda tidak lebih dari
300mg per hari.
- Stres Dalam Jangka Waktu Lama
11
Kondisi setres berat bisa mengganggu keseimbangan berbagai
hormon dalam tubuh termasuk produksi hormon insulin.
Disamping itu setres bisa memacu sel-sel tubuh bersifat liar yang
berpotensi untuk seseorang terkena penyakit kanker juga memicu
untuk sel-sel tubuh menjadi tidak peka atau resiten terhadap
hormon insulin. Belajarlah untuk berpola hidup santai walau dalam
keadaan serius.
- Hipertensi
Jagalah tekanan darah Anda tetap di bawah 140/90 mmHg. Jangan
terlalu banyak konsumsi makanan yang asin-asin. Garam yang
berlebih memicu untuk seseorang teridap penyakit darah tinggi
yang pada akhirnya berperan dalam meningkatkan resiko untuk
Anda terserang penyakit diabetes melitus.
- Kehamilan
Pada saat hamil, plasenta memproduksi hormon yang mengganggu
keseimbangan hormon insulin dan pada kasus tertentu memicu
untuk sel tubuh menjadi resisten terhadap hormon insuline.
Kondisi ini biasanya kembali normal selah masa kehamilan atau
pasca melahirkan. Namun demikian menjadi sangat beriso
terhadap bayi yang dilahirkan untuk kedepan punya potensi
diabetes melitus.
- Ras
Ada beberapa ras manusia di dunia ini yang punya potensi tinggi
untuk terserang diabetes melitus. Peningkatan penderita diabetes di
wilawah Asia jauh lebih tinggi dibanding di benua lainnya.
Bahkan diperkirakan lebih 60% penderita berasal dari Asia.
- Terlalu Sering Konsumsi Obat-Obatan Kimia
Konsumsi obatan kimia dalam jangka waktu yang lama diyakini
akan memberika efek negatif yang tidak ringan. Obat kimia ibarat
pisau bermata dua. Di satu sisi mengobati di sisi yang lain
mengganggu kesehatan. Bahkan tidak sedikit kasus penyakit berat
seperti jantung dan liver serta diabetes diakibatkan oleh terlalu
seringnya mengkomsumsi obat kimia. Salah satu obat kimia yang
sangat berpotentsi sebagai penyebab diabetes adalah THIAZIDE
12
DIURETIK dan BETA BLOKER. Kedua jenis obat tersebut
sangat meningkatkan resiko terkena diabetes melitus karena bisa
merusak pankreas.
5. Pemeriksaan Fisik:
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme keabnormalan pada:
Tekanan darah 170/95 mmHg
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC
Jadi Tn. B termasuk hipertensi derajat 2 menurut JNC 7.
Kondisi obesitas dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui
beberapa mekanisme yaitu: terjadi peningkatan volume darah, stroke
volum dan kardiak output sehingga terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi. Hal
ini dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan
sistem syaraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (TNF α dan
inteleukin – 6) sehingga terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah
peifer. Obesitas dapat meimbulkan resistensi insulin yang selanjutnya
mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase sehingga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.
Peran adiponektin dalam hipertensi melalui beberapa mekanisme
yaitu adiponektin menurunkan inflamasi melalui regulasi negatif terhadap
TNF- α dan C-Reactive Protein (CRP) serta menurunkan ekspresi molekul
adhesi, pembentukan sel busa dan proliferasi sel otot polos. Obesitas
13
Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Derajat 2 ³ 160 atau ³ 100
diketahui sebagai kondisi low grade inflamation yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Adiponektin dapat menekan inflamasi sehingga mencegah
naiknya tekanan darah.
Adiponektin dapat memperbaiki kondisi resistensi insulin melalui
aktivasi AMP- Kinase sehingga terjadi peningkatan oksidasi asam lemak
serta penurunan produksi glukosa endogen oleh hati sehingga akan
menurunkan akumulasi Free Fatty Acid, yang selanjutnya akan
menghambat pembentukan radikal bebas yang dapat merusak Nitric Oxide
(NO) yang bekerja menjaga intigrasi endothel dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah.
Acanthosis nigricans
Acanthosis nigricans telah dilaporkan pada beberapa penelitian
disebabkan oleh meningkatnya melanosit dan melanin, sedangkan yang
lainnya menyatakan bahwa AN lebih berhubungan dengan penebalan
14
lapisan kulit luar yang mengandung keratin. Acanthosis nigricans pada
sindrom resistensi insulin disebabkan karena kadar insulin yang tinggi
mampu mengaktifkan fibroblas dermal dan keratinosit melalui reseptor
insulin-like growth factor yang ada pada sel-sel tersebut. Sebagai hasilnya
terjadi peningkatan deposisi glikosaminoglikans oleh fibroblas di dermal.
Hal ini menyebabkan papilomatosis dan hiperkeratosis.
Insulin dengan konsentrasi rendah mengatur metabolisme
karbohidrat, lipid, dan protein, serta membantu pertumbuhan dengan
berikatan pada reseptor insulin. Dalam konsentrasi yang tinggi, insulin
memiliki efek lebih besar dalam pertumbuhan melalui ikatannya dengan
insulin-like growth factor 1 receptors (IGF-1Rs), yaitu reseptor dengan
ukuran dan struktur menyerupai reseptor insulin, tetapi memiliki afinitas
100 sampai 1000 kali lebih besar. Hasil penelitian menyatakan bahwa
aktivasi IGF-1Rs yang bergantung pada insulin dalam menyebabkan
proliferasi sel dan memfasilitasi berkembangnya AN. Jadi insulin dapat
menyebabkan AN melalui aktivasi langsung jalur sinyal IGF-1.
Hiperinsulinemia juga dapat memfasilitasi berkembang AN
secara tidak langsung, yaitu dengan meningkatkan kadar IGF-1 bebas
dalam sirkulasi darah. IGF binding protein (IGFBPs) mengatur aktivitas
IGF-1, yaitu dengan meningkatkan waktu paruh IGF-1, menghantarkan
IGF ke jaringan target, dan mengatur kadar IGF-1 bebas. Insulin-like
growth factor binding protein I (IGFBP) jumlahnya menurun pada pasien
obese dengan hiperinsulinemia, sehingga meningkatkan konsentrasi
plasma dari IGF-1 bebas. Jumlah IGF-1 yang meningkat menyebabkan
bertambahnya pertumbuhan dan diferensiasi sel..
Obesitas sentral
Merupakan hasil Interpretasi dari Lingkar Perut : Obesitas Sentral
Penumpukan lemak >>> di jaringan adiposa
Keadaan ini timbul akibat
– Pengaturan makan yang tidak baik
– Gaya hidup kurang gerak
– Faktor keturunan (genetik)
Jenis Obesitas
– Pria → apel (android) → pinggang & rongga perut
15
– wanita → pir (gynecoid) → pinggul, pantat & paha
Obesitas dapat terjadi bila input lebih besar daripada output. Asupan
makanan yang banyak tanpa diimbangi aktifitas seperti olahraga atau
aktifitas-aktifitas lainnya dapat menyebabkan terjadinya penambahan
berat badan.
Lingkar perut 120 cm
Pada masyarakat Asia, lingkar perut normal 90 cm untuk pria dan 78,9 cm
untuk wanita.
Intepretasi : Melebihi nilai normal, bisa dikaitkan dengan kriteria sindrom
metabolik dan obesitas sentral.
Obesitas dihubungkan dengan resistensi insulin. Jaringan
adiposamenginduksi resistensi insulin melalui berbagai mekanisme.
Adiposa dapat melepaskan asam lemak bebas yang dapat berpengaruh
pada proses pembentukan sinyal insulin melalui mekanisme stimulasi
terhadap isoform protein kinase (PKC). Asam lemak bebas juga
mempunyai kemampuan mengganggu pelepasan glukosa dari hepar.
Obesitas viseral atau dikenal dengan obesitas sentral merupakan contoh
penimbunan lemak tubuh yang berbahaya karena lipolisis di daerah ini
sangat efisien dan lebih resisten terhadap efek insulin dibandingkan
adiposit didaerah lain. Jaringan adiposa juga membuat dan melepaskan
beberapa adipositokin. Adipositokin yang paling penting adalah TNF-α,
yang berperan menginduksi resistensi insulin melalui glucose transporter
4 (GLUT 4) dan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas.
b. Bagaimana cara
mengukur
lingkar perut?
Pengukuran
menggunakan
pita pengukuran
yang terbuat
dari plastik. .
Untuk
pengukuran ini
16
responden diminta untuk membuka pakaian bagian atas, atau setidaknya hanya
menggunakan pakaian yang paling tipis
Tentukan bagian terbaawah lengkung (arcus) costae dan krista iliaca.
Lingkar pinggang diukur melalui titik ( pada linea aksilaris ) pertengahan
antara dua lengkung mengelilingi perut. Subjek berdiri tegak dengan kaki
diregnagkan selebar kira-kira 25-30 cm. sebelum pengukuran dilaksanakan
hendaknya subjek berpuasa sepanjang malam. Subjek melakukan ekspirasi
biasa.
6. Pemeriksaan laboratorium
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium:
Hasil Nilai Normal Interpretasi
Blood analysis
Hemoglobin 14g% 13-17,5 g % normal
Hematokrit 42 g % 40-48 % normal
Leukosit 7600 mm3 5000-10.0000 mm3 normal
Trombosit 165.000 mm3 150000-400000 mm3 normal
Blood glucose 277 mg/dL < 110 mg/dL Meningkat
HbA1C 8,6 % 4,5 – 6,3 % Meningkat
OGTT fasting glucose 146 mg/dL 70 – 99/110 mg/dL Meningkat
OGTT 2 hour post
prandial
246 mg/dL < 140 mg/dL , 100-139
mg.dL
Meningkat
Total protein 7,7 g/dL 6,7 -8,7 g/dL Normal
Albumin 4,8 g/dL 3,5 – 5,0 g/dL Normal
Globulin 2,9 g/dL 1,5 -3,0 g/dL Normal
Ureum 22 mg/dL 22 – 40 mg/dL Normal
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,5-1,2 mg/dL (P) Normal
17
Sodium 138 mmol/l 135-155 mmol/l Normal
Potassium 3,6 mmol/l 3,6-5,5 mmol/dl Normal
Total cholesterol 270 mg/dL <200 mg/dL Meningkat
Cholesterol LDL 210 mg/dL <130 md/dL Meningkat
Cholesterol HDL 38 mg/dL > 65 mg/dL Menurun
Trigliserida 337 mg/dL < 200 mg/dL Meningkat
b. Bagaimana mekanisme keabnormalan pada interpretasi hasil laboratorium?
1. Gula darah puasa
Skenario :Gula darah puasa : 277 mg/dl (meningkat)
Normal : Gula darah puasa normal adalah 80-110mg/dl.
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan metabolisme
glukosa pada Tn.B yang disebabkan karena ketidakmampuan glukosa
untuk masuk ke dalam sel sehingga terjadi hiperglikemi dan meningkatkan
kadar glukosa dalam darah Tn.B.
2. HbA1C
HbA1C 8,6% = Abnormal (3,5%-5,5%)
Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami
glikosilasi. Artinya, glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses non
enzimatik dan bersifat reversible. Pada pasien DM, glikosilasi hemoglobin
meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama
2-3 bulan sebelumnya. Tingginya kadar HbA1c berkorelasi positif dengan
komplikasi DM, baik makro maupun mikro vaskuler.
Kadar HbA1c akan mengikuti kadar rata-rata glukosa darah harian
penderita dimana kadar HbA1c 6% akan mencerminkan kadar glukosa
darah harian 7,5 mmol/L (135 mg/dL), 7% setara dengan 9,5 mmol/L (170
mg/dL), dan 8% sesuai untuk rata-rata glukosa darah harian sebesari 11,5
mmol/L (205 mg/dL). Peningkatan kadar HbA1c setinggi 1%
mencerminkan peningkatan rata-rata glukosa darah 2,0 mmol/L (35
mg/dL).
3. OGTT
Pada penderita diabetes, kadar insulin sangat kurang bahkan tidak
18
diproduksi. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi bahkan meningkat
terus jika tidak ditanggulangi. Tubuh juga memproduksi hormone-hormon
lain yang kerjanya ber lawanan dengan insulin seperti glucagon, epinefrin,
adrenalin, kortisol. Hormone-hormon tersebut memacu hati untuk
memproduksi gula, sehingga makin meningkatlah kadar gula darah. Hal
ini menyebabkan glukosa keluar ke air seni.
4. Total Kolesterol, kolesterol HDL, Kolesterol LDL dan Trigliserida
Pada kasus DM tipe 2, terdapat kelainan dalam proses pengikatan
insulin pada reseptornya. Kelainan ini dapat berupa kurangnya sensitivitas
reseptor sehingga jumlah reseptor yang responsif terhadap insulin
berkurang (resistansi insulin) atau karena ketidaknormalan faktor intrinsik
dari reseptor itu sendiri. Mobilisasi GLUT 4 tidak terjadi secara efektif.
Akibatnya, glukosa tidak dapat ditranspor secara maksimal ke dalam sel.
Hal ini mengakibatkan kadar glucosa di dalam darah tinggi
(hiperglikemia). Metabolisme glucosa menjadi tidak efektif.
Ketidaknormalan ini dapat mengakibatkan kegagalan sel beta untuk
mensintesis insulin dalam jumlah yang memadai (produksi insulin
menurun). Akibatnya rasio [insulin]/[glucagon] menurun. Penurunan
rasio [insulin]/[glucagon] akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
lipolisis.
Lipolisis adalah proses pemecahan cadangan triasilgliserida yang
akan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak bebas, yaitu asam lemak
yang berada dalam keadaan yang tidak teresterifikasi.
Tingginya kadar gula dan asam lemak bebas di dalam darah
membuat lebih banyak gula dan asam lemak bebas yang ditransport ke
hati. Hal ini memicu peningkatan pembentukan VLDL yang bila melepas
trigliserid dapat berubah menjadi IDL dan LDL sehingga kadar LDL
dalam darah meningkat; turunnya kadar HDL; meningkatnya kadar non-
esterified fatty acid (NEFA) dalam darah yang memberi stimulus terhadap
sintesis trigliserid di hati sehingga kadar trigliserid dalam darah
meningkat.
Pemeriksaan profil lipid darah Tn. B bahkan memenuhis salah satu
kriteria diagnosis sindroma metabolik menurut IDF yaitu gangguan
metabolisme lipid (dislipidemia) dimana kadar trigliserid >150 mg/dL dan
19
kadar HDL <50 mg/dL pada pria atau sedang terapi khusus gangguan
lipid.
c. Bagaimana metabolisme karbohidrat?
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Satu gram
karbohidrat setara dengan 4 kalori. Sementara Angka Kebutuhan Gizi harian
untuk karbohidrat sebesar 300 gram. Adapun kebutuhan serat hendaknya
dipenuhi sebanyak 25 gram setiap hari.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih sumber
karbohidrat, yaitu Indeks Glikemik. Indeks Glikemik merupakan angka yang
menunjukkan potensi suatu bahan pangan untuk meningkatkan kadar glukosa
darah. Semakin tinggi nilai Indeks Glikemik, semakin cepat bahan makanan
tersebut meningkatkan kadar gula darah4.
Contoh makanan yang memiliki indeks glikemik (IG) tinggi antara lain
gula, glukosa, dan minuman manis. Sedangkan makanan dengan IG rendah
yaitu nasi merah, pasta, dan roti gandum. Adapun makanan dengan IG rendah
memberikan rasa kenyang lebih lama sehingga dapat mencegah asupan kalori
berlebihan. Selain itu, makanan dengan IG rendah tidak akan meningkatkan
kadar gula darah secara drastis sehingga cocok untuk penderita diabetes
Konsumsi karbohidrat sebaiknya tidak dilakukan secara berlebihan
karena kadar glukosa yang terlalu tinggi dalam darah dapat menyebabkan
penyakit diabetes. Selain itu, karbohidrat yang berlebih akan diubah dan
disimpan menjadi lemak di dalam tubuh.
20
Proses metabolisme karbohidrat secara garis besar terdiri dari dua
cakupan yakni reaksi pemecahan atau katabolisme dan reaksi pembentukan
atau anabolisme. Pada proses pembentukan, salah satu unsur yang harus
terpenuhi adalah energi. Energi ini dihasilkan dari proses katabolisme.
Sementara itu, tahapan metabolisme sendiri terdiri atas beberapa bagian yakni
glikolisis, oksidasi piruvat ke asetil-KoA, glikogenesis, glikogenolisis, hexose
monophosphate shunt dan terakhir adalah Glukoneogenesis.
Glikolisis Hingga Glikogenesis
Proses glikolisis mencakup oksidasi glukosa atau glikogen yang diurai
menjadi piruvat juga laktat dengan jalan emben-meyerhof Pathway atau biasa
disingkat EMP. Proses glikolisis ini terjadi di semua jaringan. Proses
selanjutnya adalah oksidasi piruvat ke asetik KoA. Langkah ini dibutuhkan
sebelum proses masuknya hasil glikolisis di dalam siklus asam nitrat yang
merupakan jalan akhir oksidasi semua komponen senyawa protein,
karbohidrat, dan juga lemak. Sebelum asam piruvat memasuki asam nitrat, ia
terlebih dahulu harus disalurkan ke mitokondria dengan jalan transport piruvat
khusus yang membantu pasasi melewati membran di area mitokondria. Setelah
sampai di wilayah mitokondria, piruvat mengalami proses dekarboksilasi dan
21
diolah
menjadi
senyawa
asetil KoA.
Proses
dekarboksilasi ini terjadi karena bantuan tiamin difosfat yang berperan sebagai
derivate hidroksietil cincin tiazol dan terkait dengan enzim.
Proses metabolisme karbohidrat selanjutnya adalah tahapan
glikogenesis. Secara umum proses ini menghasilkan sintesis glikogen dari
glukosa. Merupakan lintasan metabolisme dimana glikogen dihasilkan dan
disimpan di dalam organ gati. Hormon yang berperan dalam proses ini adalah
insulin sebagai reaksi atas rasio gula di dalam darah yang kadarnya
meningkat.
Glikogenolisis
Hingga
22
Glukoneogenesis
Selanjutnya adalah tahapan glikogenolisis. Ia merupakan lintasan metabolisme
yang dipergunakan oleh tubuh dengan fungsi menjaga keseimbangan senyawa
glukosa dalam plasma darah sehingga simtoma hipoglisemia bisa dihindari.
Proses glikogenolisis mencakup gradasi glikogen secara berurut yakni 3
enzim, glikogen fosforilase, dan fosfoglukomutase dan dihasilkanlah glukosa
sebagai hasil akhir. Di dalam proses ini, beberapa hormone juga terlibat antara
lain adrenalin dan glucagon.
Tahapan berikutnya adalah hexose monophosphate shunt atau biasa disingkat
HMP Shunt dan juga dikenal dengan istilah Pentose phosphate pathway.
HMP-Shunt merupakan jalur pentose fosfat atau heksosa monofosfat yang
menghasilkan NADPH juga ribosa di wilayah luar mitokondria. Komponen
NADPH sendiri dibutuhkan dalam proses biosintesis asam lemak, steroid,
kolesterol dan senyawa lainnya. Proses HMP-Shunt ini juga menghasilkan
pentose untuk digunakan dalam sintesis nukleotida juga asam nukleat.
Sementara itu ribose 5-fosfat bereaksi dengan komponen ATP menjadi
komponen 5-fosforibosil-1-pirofosfar atau biasa disingkat PRPP.
Tahapan terakhir dalam proses metabolisme karbohidrat adalah
Glukoneogenesis. Merupakan lintasan metabolisme yang oleh tubuh
digunakan untuk menjaga keseimbangan glukosa dalam plasma darah agar
terhindar dari simtoma hipoglisemia. Pada proses glukoneogenesis, glukosa
mengalami proses sintesis dengan substrat yang tak lain adalah hasil dari
lintasan aatau proses glikolisis antara lain asam piruvat, asam laktat, asam
oksaloasetat dan suksinat.
23
24
d. Bagaimana metabolisme lemak?
Lipid yang kita peroleh sebagai sumber energi utamanya adalah dari
lipid netral, yaitu trigliserid (ester antara gliserol dengan 3 asam lemak).
Secara ringkas, hasil dari pencernaan lipid adalah asam lemak dan gliserol,
selain itu ada juga yang masih berupa monogliserid. Karena larut dalam air,
gliserol masuk sirkulasi portal (vena porta) menuju hati. Asam-asam lemak
rantai pendek juga dapat melalui jalur ini.
Struktur miselus. Bagian polar berada di sisi luar, sedangkan bagian non
polar berada di sisi dalam
Sebagian besar asam lemak dan monogliserida karena tidak larut
dalam air, maka diangkut oleh miselus (dalam bentuk besar disebut emulsi)
dan dilepaskan ke dalam sel epitel usus (enterosit). Di dalam sel ini asam
lemak dan monogliserida segera dibentuk menjadi trigliserida (lipid) dan
berkumpul berbentuk gelembung yang disebut kilomikron. Selanjutnya
kilomikron ditransportasikan melalui pembuluh limfe dan bermuara pada vena
kava, sehingga bersatu dengan sirkulasi darah. Kilomikron ini kemudian
ditransportasikan menuju hati dan jaringan adiposa.
25
Struktur kilomikron. Perhatikan fungsi kilomikron sebagai pengangkut
trigliserida
Simpanan trigliserida pada sitoplasma sel jaringan adiposa
Di dalam sel-sel hati dan jaringan adiposa, kilomikron segera dipecah
menjadi asam-asam lemak dan gliserol. Selanjutnya asam-asam lemak dan
gliserol tersebut, dibentuk kembali menjadi simpanan trigliserida. Proses
pembentukan trigliserida ini dinamakan esterifikasi. Sewaktu-waktu jika kita
membutuhkan energi dari lipid, trigliserida dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol, untuk ditransportasikan menuju sel-sel untuk dioksidasi menjadi
energi. Proses pemecahan lemak jaringan ini dinamakan lipolisis. Asam lemak
tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan
disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/FFA).
Secara ringkas, hasil akhir dari pemecahan lipid dari makanan adalah
asam lemak dan gliserol. Jika sumber energi dari karbohidrat telah mencukupi,
maka asam lemak mengalami esterifikasi yaitu membentuk ester dengan
gliserol menjadi trigliserida sebagai cadangan energi jangka panjang. Jika
sewaktu-waktu tak tersedia sumber energi dari karbohidrat barulah asam
lemak dioksidasi, baik asam lemak dari diet maupun jika harus memecah
cadangan trigliserida jaringan. Proses pemecahan trigliserida ini dinamakan
lipolisis.
Proses oksidasi asam lemak dinamakan oksidasi beta dan
menghasilkan asetil KoA. Selanjutnya sebagaimana asetil KoA dari hasil
metabolisme karbohidrat dan protein, asetil KoA dari jalur inipun akan masuk
ke dalam siklus asam sitrat sehingga dihasilkan energi. Di sisi lain, jika
kebutuhan energi sudah mencukupi, asetil KoA dapat mengalami lipogenesis
menjadi asam lemak dan selanjutnya dapat disimpan sebagai trigliserida.
26
Kolesterol
Aseto asetat
hidroksi butirat Aseton
Steroid
Steroidogenesis
Kolesterogenesis
Ketogenesis
Diet
LipidKarbohidrat
Protein
Asam lemak
Trigliserida
Asetil-KoA
Esterifikasi Lipolisis
Lipogenesis Oksidasi beta
Siklus asam sitrat
ATPCO2
H2O
+ ATP
Beberapa lipid non gliserida disintesis dari asetil KoA. Asetil KoA
mengalami kolesterogenesis menjadi kolesterol. Selanjutnya kolesterol
mengalami steroidogenesis membentuk steroid. Asetil KoA sebagai hasil
oksidasi asam lemak juga berpotensi menghasilkan badan-badan keton (aseto
asetat, hidroksi butirat dan aseton). Proses ini dinamakan ketogenesis. Badan-
badan keton dapat menyebabkan gangguan keseimbangan asam-basa yang
dinamakan asidosis metabolik. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian.
Ikhtisar metabolisme lipid
27
Gliserol
Penyimpanan lemak dan penggunaannya kembali
Asam-asam lemak akan disimpan jika tidak diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan energi. Tempat penyimpanan utama asam lemak adalah
jaringan adiposa. Adapun tahap-tahap penyimpanan tersebut adalah:
- Asam lemak ditransportasikan dari hati sebagai kompleks VLDL.
- Asam lemak kemudian diubah menjadi trigliserida di sel adiposa untuk
disimpan.
- Gliserol 3-fosfat dibutuhkan untuk membuat trigliserida. Ini harus
tersedia dari glukosa.
Akibatnya, kita tak dapat menyimpan lemak jika tak ada kelebihan glukosa di
dalam tubuh.
e. Bagaimana metabolisme protein?
1. Proses dekarboksilasi (Decarboxylation Process) – Memisahkan gugusan
karboksil dari asam amino, sehingga terjadi ikatan baru yang merupakan
zat antara yang masih mengandung N.
2. Proses transaminasi (Transamination Process) – Pemindahan gugusan
asam amino (NH2) dari suatu asam amino ke ikatan lain yang biasanya
asam keton sehingga terjadi asam amino.
3. Proses deaminasi (Deamination Process) – Memisahkan gugusan amino
(NH2) dari suatu asam amino. Biasanya diikuti produksi asam alfa keto
yang bila dioksidasi sempurna menjadi CO2+H2O atau disintesa menjadi
aseto asetat mengikuti metabolisme asam lemak.
Transaminasi
Transaminasi ialah proses katabolisme asam amino yang
melibatkan pemindahan gugus amino dari satu asam amino kepada asam
amino lain. Dalam reaksi transaminasi ini gugus amino dari suatu asam
amino dipindahkan kepada salah satu dari tiga senyawa keto, yaitu asam
piruvat, a ketoglutarat atau oksaloasetat, sehingga senyawa keto ini diubah
menjadi asam amino, sedangkan asam amino semula diubah menjadi asam
keto. Ada dua enzim penting dalam reaksi transaminasi yaitu alanin
transaminase dan glutamat transaminase yang bekerja sebagai katalis
dalamreaksi berikut :
28
Pada reaksi ini tidak ada gugus amino yang hilang, karena
gugus amino yang dilepaskan oleh asam amino diterima oleh asam keto.
Alanin transaminase merupakan enzim yang mempunyai kekhasan
terhadap asam piruvat-alanin. Glutamat transaminase merupakan enzim
yang mempunyai kekhasan terhadap glutamat-ketoglutarat sebagai satu
pasang substrak . Reaksi transaminasi terjadi didalam mitokondria
maupun dalam cairan sitoplasma. Semua enzim transaminase tersebut
dibantu oleh piridoksalfosfat sebagai koenzim. Telah diterangkan bahwa
piridoksalfosfat tidak hanya merupakan koenzim pada reaksi transaminasi,
tetapi juga pada reaksi-reaksi metabolisme yang lain.
Deaminasi Oksidatif
Asam amino dengan reaksi transaminasi dapat diubah menjadi
asam glutamat. Dalam beberapa sel misalnya dalam bakteri, asam
glutamat dapat mengalami proses deaminasi oksidatif yang menggunakan
glutamat dehidrogenase sebagai katalis.
Asam glutamat + NAD+ ----- alfa- ketoglutarat + NH4+ + NADH + H+
Dalam proses ini asam glutamat melepaskan gugus amino
dalam bentuk NH4+. Selain NAD+ glutamat dehidrogenase dapat pula
menggunakan NADP+ sebagai aseptor elektron. Oleh karena asam
glutamat merupakan hasil akhir proses transaminasi, maka glutamat
dehidrogenase merupakan enzim yang penting dalam metabolisme asam
amino oksidase dan D-asam oksidase.
f. Bagaimana regulasi hormon pada metabolisme?
a. Stimulasi sekresi hormon Kortisol oleh Adrenal Kortex
Kadar glukosa rendah menyebabkan Hypothalamus mensekresikan
CRH (corticotropin-releasing hormone) kemudian Anterior pituitary
cells mensekresikan ACTH (adrenocorticotropic hormone) sehingga
Adrenal cortex akan mensekresikan cortisol (dan glukokortikoid lainnya)
cortisol mencegah uptake glukosa oleh sel-sel otot.
b. Insulin
Untuk mengendalikan storage dan membebaskan asam lemak kedalam
dan keluar depot lipid. Insulin memberi sinyal bila ada kelebihan
makanan dan akan menginisiasi uptake dan storage dari karbohidrat,
lemak dan asam amino. Mempercepat transport asam amino masuk
29
selmenyebabkan sel pada otot dan adiposit menyerap glukosa dari
sirkulasi darah melalui transporter glukosa GLUT1 dan GLUT4 dan
menyimpannya sebagai glikogen di dalam hati dan otot sebagai sumber
energy bersifat anabolik yang artinya meningkatkan penggunaan protein
c. Glukagon
- Lipolisis; penguraian lemak. Ini terjadi di jaringan lemak
- Proteolisis; penguraian protein. Ini terjadi di otot
- Gluconeogenesis dan Glykogenolisis; membuat glukosa. Ini terjadi
di hati NaCl-, Kalsium-, dan Magnesiumresorption. Ini terjadi di
bagian yang naik dan gemuk dari Henle tubulus yakni ginjal.
d. Epinephrine
- Menghambat sekresi insulin
- Menstimulasi glikogenolisis di otot dan hati
- Menstimulasi glikolisis di otot
- Meningkatkan lipolisis oleh sel adiphosa
e. Norepinephrine
Memicu pelepasan glukosa
f. Esterogen
- Kemungkinan SiMet meningkat juka esterogen menurun (wanita)
- Sedikit pengendapan protein
g. Glukokortikoid
- Regulator glukosa yang disintensis pada korteks adrenal dan
mempunyai struktur steroid
- Mengaktivasi konversi protein menjadi glukosa melalui lintasan
glukoneogenesis di dalam hati dan menstimulasi konversi lebih
lanjut menjadi glikogen
- Peningkatan senyawa nitrogen pada urin yang terjadi setelah
peningkatan glukokortikoid merupakan akibat dari mobilisasi asam
amino dari protein yang mengalami reaksi proteolitik dan adanya
senyawa karbon yang terjadi sepanjang lintasan glukoneogenesis.
- Redistribusi senyawa lipid dan yang kedua adalah aktivasi
senyawa lipolitik
- Menurunkan jumlah protein di kebanyakan jaringan dan
meningkatkan konsentrasi asam amino dalam plasma
30
h. Testosterone
Meningkatkan pengendapan protein dalam jaringan di seluruh tubuh,
terutama otot
i. Tiroksin
Meningkatkan laju metabolisme di semua sel dan secara tidak langsung
memengaruhi metabolisme protein
Jika jumlah KH dan lemak kurang memadai untuk energi, tiroksin
menyebabkan penguraian cepat protein untuk memenuhi kebutuhan
energi
Jika jumlah KH dan lemak memadai, kelebihan asam amino digunakan
untuk meningkatkan laju sintesis protein.
7. Urinalisis
a. Bagaimana interpretasi dari:
Urin reduksi +2
Pemeriksaan Glukosa Urin cara Benedict
Prinsip: menggunakan sifat glukosa sebagai zat pereduksi.
Garam cupri yang terkandung dalam reagen Benedict akan berubah sifat
dan warnanya jika direduksi oleh glukosa
Cara kerja:
- Masukkanlah 5 ml reagen benedict ke dalam tabung reaksi
- Teteskan sebanyak 5-8 tetes urin (jangan lebih!) ke dalam tabung
- Masukkanlah tabung itu ke dalam air mendidih selama 5 menit
- Angkat tabung,kocoklah isinya dan bacalah hasil reduksi
Hasil dan Interpretasi Pemeriksaan
31
Simbol Warna Nilai (%)
Negatif Tetap biru jernih atau sedikit
kehijau-hijauan dan agak keruh
(+) Hijau kekuning-kuningan dan
keruh
0,5-1
(++) Kuning keruh 1-1,5
(+++) Jingga atau warna lumpur keruh 2-3,5
(++++) Merah keruh >3,5
Reduction : +2, menunjukkan glycosuria akibat hyperglycemia yang
melebihi renal threshold (lebih dari ambang batas tubulus ginjal yaitu 170
mg/dL).
Obesitas mengacu pada hiperglikemi akibat resistensi insulin (DM tipe
2) kadar glukosa di ECF tinggi kompensasi tubuh sbg homeostasis
akibat viskositas >> pengeluaran glukosa melalui urin
Mikroalbuminuria
Pemeriksaan mikroalbuminuria digunakan untuk monitoring gangguan
fungsi ginjal.
Mikroalbuminuria (+)
Pemeriksaan mikroalbuminuria adalah untuk melihat ada / tidak adanya
protein dalam urine (proteinuria)
Mikroalbuminuria (-)
albuminuria normal : < 20
mg/menit
mikroalbuminuria : 20-200
mg/menit
overt albuminuria : >200
mg/menit
+ Abnormal
- Ringan (<0,5 gr/hr) : demam, stres, infeksi salurn urine distal
- Sedang (0,5 – 3gr/hr) : nefropati DM
- Berat (>3gr/hr) : nefropati DM berat
Microalbuminuria : +, menandakan bahwa urine Tn. B mengandung
protein. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat kerusakan dapad ginjal
Tn. B (nefropati).
Mekanisme ketidaknormalan :
Mikroalbuminuria Glukosa darah yang meningkat menyebabkan
kapiler-kapiler pada glomerulus pada nefron ginjal menjadi rusak.
Sehingga terjadi penurunan kemampuan filtrasi, dan terjadi
mikroalbuminuria.
8. Sindroma Metabolik
a. Apa definisi sindroma metabolik?
32
Sindroma Metabolik adalah kumpulan faktor risiko metaolik yang
dikitkan dengan peningkatan risiko DMT 2, CV, hipertensi obesitas,
dislipidemia, hiperglikemia dan hipertensi.
b. Apa etiologi dari sindroma metabolik?
Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom
metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi
dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran
lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin
dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif
yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan
vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi
perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu
studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar
kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami
obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga
mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara
gangguan psikososial dan infark miokard.
c. Bagaimana faktor resiko sindroma met?
Penyakit DM tipe 2
Penyakit kardiovaskular
Penyakit hipertensi
Stroke
Perlemakan hati
d. Bagaimana epidemiologi sindroma metabolik?
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak ±80 tahun yang lalu, pada
tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang
menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan
resiko penyakit kardiovaskuler dan aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan
gout.
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan berbagai faktor resiko:
dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara bersamaan dikenal sebagai
multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan disebut dengan sindrom
X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin.
33
Kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah Sindrom Metabolik.
Konsep Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara Internasional.
Di Amerika Serikat, peningkatan kejadian obesitas mengiringi
peningkatan prevalensi sindrom metabolik. Prevalensi sindrom metabolik pada
populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%.
Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan
prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi
yang dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik
menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III(NCEP-ATP III) dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat
pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian Soegondo (2004) melaporkan
prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13%. Penelitian di DKI Jakarta pada
tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda
dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen
terbanyak (54,4%).
e. Bagaimana patofisiologi dari sindroma metabolik?
Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu
faktorutama dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian
didapatkanbahwa resistensi insulin danobesitas sentral merupakan
patofisiologi dasar yangsaling berkaitan erat satu sama lain
tanpamengesampingkan faktor lainnya dari sindrom metabolik.
1. Obesitas sentral
34
Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga
dapatmenyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit.Obesitas
dapatdisebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama yaitu
ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energiyang
dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun dalam
jaringan lemak.Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada
obesitas sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di
daerah abdomen.Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah
gluteofemoral.Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya resistensi insulin, antara lain :
a. Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas
meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin
yang disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat
menghambat ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan
menginduksi apoptosis sel beta pankreas. Asam lemak bebas yang
35
meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk menghambat penghasilan
glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa ke dalam otot skelet,
juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal ini menyebabkan
resistensi insulin pada organ hati dan otot
b. Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-α, IL -6
danresistin dapatmencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya
efek proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4
sebagaitransporter glukosa sehinggatidak dapat memasukkan glukosa ke
dalam sel.Jaringan lemak yang dulu dianggapsebagai deposit trigliserid
ternyatamempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon
TNF-α,leptin, interleukin 6, resistin. TNFα, interleukindan resitin
menyebabkanresistensi insulin sedang adiponektin dan leptinmenghambat
resistensiinsulin.
c. Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel
lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat
badan. Adinopektin juga memiliki peran dalammeningkatkansensitifitas
insulin, anti-inflamasi dan anti-aterogenik.
d. Leptin
Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin
pada sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus,dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukandan
pengeluaran energi. Leptinmemiliki efek menurunkan sintesis
36
lemak,menurunkan sintesis trigliserida danmeningkatkan oksidasi asam lemak
sehingga bisa meningkatkan sensitifitas insulin.Selain itu leptin
berfungsimenurunkan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi.
e. Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana
peningkatankadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel
lemak. IL-6 disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral
daripada jarigan lemak subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki
sifatpro-inflamasi yang dapatdihubungkan dengan terjadinya resistensiinsulin.
IL-6 diperkirakan dapatmengirimkan sinyal-sinyal secarasistemik untuk
menurunkan sensitifitas sel terhadapinsulin khususnya selhati.
f. Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel
lemak.Ekspresigen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak.
Resistindiperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.
g. TNF-α
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-α.
Orangyangmengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF-α 2 -3 kali lebih
banyak daripada orang kurus. Kadar TNF-α akan menurun dengan penurunan
berat badan. Efek TNF-α pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi
transporter glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase.TNF- α memiliki
potensi untuk mencetuskanresistensi insulin karena glukosa plasma yang
masuk ke sel berkurang.
2. Resistensi insulin
Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan
olehbanyaknyaasam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan
obesitassentral.
37
Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan
semakinmeningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa
yangmenyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain:
Jaringan otot
Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
Hati
Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)
Pankreas
Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel-β pancreas
Pembuluh darah
Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah
akibatpenurunan Nitrit oxide.
Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam
lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagaikofaktor
dari trigliseriddan VLDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan isiester
kolesterol dari inti lipoproteinmenyebabkan penurunan isi kolesterol HDLdengan
peningkatan beragam trigliseridamenjadikan partikel kecil dan padat. Halini
menyebabkan peningkatan bersihan HDL disirkulasi.
38
Gambar 3. Patofisiologi dislipidemia dan hipertensi pada sindrom metabolik
Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanismeyang
sulitdipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas.Adanya
resistensiinsulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric OxideSynthase
(eNOS) sehinggamenyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.
Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa
mekanisme berikut:
- Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume
dancardiac outputsehingga terjadi peningkatan peripheral vascular
resistancepada individu obese yangdapat menimbulkan kondisi hipertensi
- Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahansistem
saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor
NecrosisFactor/TNF-α danInterleukin/IL6) sehingga terjadi peningkatan
peripheralvascular resistance.
Penyakit-penyakit yang menyertai sindrom metabolik
Penyakit kardiovaskular
39
Risiko relatif untuk onset baru CVD pada pasien dengan sindrom metabolik,
pada pasien tanpa diabetes, rata-rata antara 1,5 dan tiga kali lipat. Dalam sebuah 8-
tahun tindak-lanjut dari laki-laki setengah baya dan wanita di Framingham Offspring
Study (FOS), risiko penduduk yang timbul pada pasien dengan sindrom metabolik
untuk mengembangkan CVDadalah 34% pada pria dan 16% pada wanita. Dalam studi
yang sama, baik sindrom metabolik dan diabetes stroke iskemik diprediksi dengan
risiko lebih besar untuk pasien dengan sindrommetabolik daripada untuk diabetes
sendiri (19% vs 7%), khususnya pada wanita (27% vs5%). Pasien dengan sindrom
metabolik juga pada peningkatan risiko untuk penyakit pembuluh darah perifer.
Diabetes mellitus type 2
Secara keseluruhan, resiko diabetes tipe 2 pada pasien dengan sindrom
metabolik adalah meningkat tiga sampai lima kali lipat. Dalam FOS's 8-tahun tindak-
lanjut dari laki-laki setengah baya dan wanita, resiko populasi yang timbul untuk
mengembangkan diabetestipe 2 62% pada pria dan 47% pada wanita.
Keadaan-keadaan lain yang menyertai sindrom metabolik
Selain fitur-fitur khusus yang terkait dengan sindrom metabolik, resistensi
insulindisertai dengan perubahan metabolisme lainnya. Ini termasuk peningkatan
apoB dan C III,asam urat, faktor protrombotik (fibrinogen, plasminogen activator
inhibitor 1), viskositasserum, dimethylarginine asimetris, homosistein, jumlah sel
darah putih, sitokin pro-inflamasi,CRP, mikroalbuminuria, penyakit hati berlemak
nonalkohol (NAFLD) dan / atausteatohepatitis alkohol (NASH), penyakit ovarium
polikistik (PCOS), dan apnea tidur obstruktif (OSA).
Nonalkoholik fatty liver disease
Fatty liver adalah relatif umum. Namun, dalam NASH, akumulasi trigliserida
baik dan hidup berdampingan peradangan. NASH kini hadir di 2-3% dari populasi di
AmerikaSerikat dan negara-negara Barat lainnya. Sebagai prevalensi kelebihan berat
badan / obesitasdan peningkatan sindrom metabolik, NASH dapat menjadi salah satu
penyebab lebih seringdari penyakit hati stadium akhir dan karsinoma hepatoseluler.
Hiperurisemia
Hiperuricemia mencerminkan defek dalam aksi insulin pada reabsorpsi tubular
ginjalasam urat, sedangkan peningkatan dimethylarginine asimetris, penghambat
endogen oksidanitrat sintase, berhubungan dengan disfungsi endotel.
Mikroalbuminuria juga bisa disebabkanoleh patofisiologi endotel diubah pada
keadaan resisten insulin.
40
Sindrom ovarium polikistik
PCOS sangat berhubungan dengan sindrom metabolik, dengan prevalensi
antara 40dan 50%. Wanita dengan PCOS yang 2-4 kali lebih mungkin untuk memiliki
sindrommetabolik dibandingkan dengan wanita tanpa PCOS.
Obstructive Sleep Apnea
OSA umumnya terkait dengan obesitas, hipertensi, meningkatkan sirkulasi
sitokin,IGT, dan resistensi insulin. Dengan asosiasi, maka tidak mengherankan bahwa
sindrommetabolik sering hadir. Apalagi bila biomarker resistensi insulin
dibandingkan antara pasiendengan OSA dan-berat kontrol cocok, resistensi insulin
lebih parah pada pasien dengan OSA. Tekanan udara Continuous positif (CPAP)
pengobatan pada pasien OSA meningkatkansensitivitas insulin.
f. Bagaimana kriteria diagnosis sindroma metabolik?
Menurut International Diabetes Federation (IDF) Sindrom metabolik dapat di
diagnosis dengan kriteria Obesitas sentral (lingkar perut). Asia : Laki laki >90
cm sedangkan Perempuan >80 cm (nilai tergantung etnis) ditambah 2 kriteria
berikut :
Dalam pengobatan antihipertensi atau TD ≥130/85 mmHg
Plasma Trigliserida ≥150 mg/dL
HDL-C pada Laki-laki < 40 mg/dL sedangkan Perempuan < 50 mg/dL
atau dalam pengobatan dislipidemia
GD puasa ≥100 mg/dL atau diagnosis DM tipe 2
g. Bagaimana penatalaksanaan dari sindroma metabolik?
Preventif
Semua pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Metabolik hendaklah
dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya
sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat
memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua
penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Latihan fisik dan
perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi
insulin.
Kuratif
intervensi farmakologik digunakan untuk mengontrol tekanan darah
dan dislipidemia. Penggunaan aspirin dan statin dapat menurunkan
41
kadar C-reactive protein dan memperbaiki profil lipid sehingga
diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Edukatif
Dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien
dengan Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan
pasti tentang gaya hidup pasien serta hambatan yang dialami
mereka dalam usaha memodifikasi gaya hidup tersebut. Dokter
keluarga juga diharapkan dapat mengetahui pengetahuan pasien
tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian
memberikan pesan tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur
dalam menurunkan risiko penyulit dari Sindrom Metabolik. Dokter
keluarga hendaklah mencoba membantu pasien mengidentifikasi
sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik
yang diterapkan.
h. Apa komplikasi dari sindroma metabolik?
Komplikasi sindorma metabolic sangat luas. Beberapa komplikasi
sindroma metabolik berkaitan dengan kardiovaskular seperti penyakit jantung
koroner, gagal jantung, stroke, dan komplikasi lain meliputi peningkatan
terjadinya resiko fibrilasi atrium, tromboembolisme vena. Sindroma metabolic
juga bisa menyebabakan kanker payudara karena terjadi dysregulasi dari
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) cycle. Penelitian lain juga
menghubungkan antara kanker colon, gallbladder, ginjal, dan prostat. Selain
itu, sindroma metabolic juga bisa menimbulkan kelainan kognitive.
i. Bagaimana prognosis sindroma metabolik?
Jika ditangani dengan baik, dapat bertahan hidup seperti orang normal.
Jika tidak ditangani dengan baik akan mengalami gagal ginjal kronik, penyakit
kardiovaskuler, stroke, dan meninggal lebih cepat.
j. Apa Kompetensi Dokter Umum pada sindroma metabolik?
42
3b. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa
atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindak lanjuti setelah kembali dari
rujukan.
4a. kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
43
IV. Keterkaitan Antar Masalah
Tn. B, 35 tahun
Faktor genetik - - - - - > <- - - - - - - - asupan berlebihan
Obesitas Sentral
Resistensi Insulin
DM tipe 2 Dislipidemia Hipertensi
V. Hipotesis
Tn. B, usia 35 tahun mengalami sindroma metabolik ditandai dengan
hipertensi, obesitas sentral, dan dislipidemia.
VI. Learning Issue
1. Sindroma Metabolik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
3. Obesitas Sentral
4. Hipertensi pada Sindroma Metabolik
5. Dislipidemia
44
VII. Sintesis Masalah
1. Sindroma Metabolik
I. Definisi
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang
dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut:
1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk
pria > 102 cm);
2). Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L);
3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada
pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L);
4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan
darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi);
5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau
≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment
Panel III, 2001).
Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa
kriteria untuk definisi Sindrom Metabolik antara lain; kriteria World Health
Organization (WHO), kriteria International Diabetes Federation (IDF), The
American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute
(AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima secara
luas (Mittal, 2008).
II. Etiologi
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah
resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan
lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang
atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit
kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang
menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular
dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa
terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal.
Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan
kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami
45
obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga
mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara
gangguan psikososial dan infark miokard.
III. Epidemiologi
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak ±80 tahun yang lalu,
pada tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama
yang menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat
menyebabkan resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi,
hiperglikemi dan gout (Eckel, dkk, 2005). Pada tahun 1988, Reaven
menunjukkan berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi
secara bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit
kardiovaskuler dan disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini
dikenal dengan sindrom resistensi insulin. Dan kemudian NCEP-ATP III
menamakan dengan istilah Sindrom Metabolik. Konsep Sindrom Metabolik
ini telah banyak diterima secara Internasional (Reaven, 1988).
Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi, didapatkan angka prevalensi
Sindrom Metabolik pada populasi urban laki-laki yaitu dari 8% (India)
sampai24% (Amerika Serikat), sedang untuk wanita dari 7% (Perancis)
sampai 46% (India) (Cameron, 2004). Sedangkan di Indonesia prevalensi
Sindrom Metabolik sekitar 13,13% (Soegondo, 2004).
IV. Kriteria Diagnosa
Sejumlah kelompok ahli telah berusaha membuat definisi SM/ MetS seperti :
a. World Health Organization (WHO ) – 1999
b. The European Group for Study of Insuline Resistance (EGIR)
c. The National Cholesterol Education Program – Thrid Adult Treatment
Panel (NCEP ATP III )
d. American College of Endocrinology (ACE)
e. International Diabetes Federation (IDF).
46
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik
Unsur METS
WHO NCEP ATP III
EGIR ACE IDF
Hipertensi Pengobatan HT
TD > 140/90
Pengobatan HT
TD > 130/80
Pengobatan HT Sistolik ≥140 Diastolik ≥ 90
TD ≥130 / 85 Pengobatan HTSistolik ≥ 130Diastolik≥85
Dislipidemia
TG ≥1,7 mmol/l (150 mg/dl)
HDL-C L<0.9
mmol/l (35 mg/dl)
P < 1.0 mmol/l (<40 mg/dl)
PlaMetSa TG > mg/dl
HDL-C L < 40 mg/dl P <50 mg/dl
PlaMetSa TG > 2.0 m/mol/L (180 mg/dl)
HDL-C <1.0 m/mol.L (40 mg/dl) dan/atau terapi dislipidemia
PlaMetSa TG > 150 mg/dl (180 mg/dl)
HDL-CL <40 mg/dlP <50 mg/dl
TG level > 150 mg/dl (1.7 m/mol/L) atau terapi khusus gangguan lipid
HDL-C L <40 mg/dL (0.9 mmol/L) P <50 mg/dL (1.1 mmol/L), atau terapi khusus gangguan lipid
Obesitas IMT > 30 kg/m2
dan/atau WHR L > 0.90 P > 0.85 in P
WC L > 102 cm P >88 cm
Waist girthL > 94 cm P 80 cm
Obesitas sentral (WC)Asia : L>90cmP>80 cm (nilai tergantung jenis etnis)
Gangguan metaboliMetSe glukosa
DM2 atau IGT
FBG > 110 mg/dl
FBG 6.1 mmo/L (110 mg/dL)
FBG 110-125 mg/dl
2 HPP 140-200 mg/dl
FBG 100 mg/dl (5.6 mmol/L), atau didiagnosis DM2
Lain-lain Mikroalbuminuria = kadar UAE semalaman > 20 g/min (30 mg/g Cr)
Hiperinsulinemia (konsentrasi insulin puasa > kuartil atas populasi non-diabetes)
47
Kriteria diagnosis
DM2 atau IGT dan 2 kriteria di atas
Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria
Minimal 3 kriteria
Diabetes Tipe 2 atau IGT dan 2 kriteria diatas
Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria
Obesitas sentral + 2 kriteria diatas
V. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang
mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai
maintenance dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon
insulin disekresi oleh sel β pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin
berperan dalam menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara; 1).
supressi hepatic glucose output (melalui penurunan gluconeogenesis dan
glycogenolysis), 2). merangsang penyimpanan terutama ke otot dan jaringan
lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose Transporter -4 (GLUT-4)
(Mittal, 2008).
Reseptor insulin terdistribusi secara luas di sistem sarap pusat,
terutama di daerah hipotalamus dan pituitary. Pada eksperimen hewan
percobaan, gangguan gen reseptor insulin di sistem sarap pusat
memperlihatkan suatu keadaan kebutuhan asupan makanan yang meningkat
pada hewan tersebut sehingga menginduksi keadaan obesitas dan resisten
insulin. Aksi Insulin di sistem sarap pusat memberikan negatif feedback bagi
inhibisi postprandial dari asupan makanan dan berperan sebagai pusat
pengaturan berat badan (Martini, 2004).
Insulin juga mempunyai efek antiapoptosis, hal ini didukung oleh studi
eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penambahan insulin pada
cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard infark
sekitar 50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin dosis
rendah dengan heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek kardioprotektif
(Dandona, 2005).
Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh
eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan
pengurangan mediator-mediator inflamasi (IL-β, IL-6, macrophage migration
48
inhibitor factor [MIF], TNF-α), dan expression of proinflammatory
ranscription factors CEBP (C enhancer binding protein) dan cytokines.
Kemampuan insulin dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya
untuk menekan reactive oxygen species (ROS) (Dandona, 2005).
Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan
dasarnya adalah resistensi insulin (Poerjoto, 2007). Resistensi insulin
didefinisikan sebagai suatu kondisi dijumpainya produksi insulin yang normal
namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin,
sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel
Beta. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan
mempunyai kontribusi dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi.
Dan resistensi insulin dijumpai pada sebagian besar pasien dengan
Sindrom Metabolik (Reaven, 1988). Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik
merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi endotel. Resistensi
Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang
dihasilkan oleh sel-sel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi
endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan
sel-sel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO
atau melalui efek proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskuler. Disfungsi
endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit
kardiovaskuler (Barnet, 2004).
VI. Komplikasi
MetS.memiliki beberapa akibat bagi kesehatan Penderita.
1. Penyakit Kardiovaskuler
Setiap komponen MetS merupakan faktor risiko bagi timbulnya
penyakit kardiovaskuler. Hasil penelitian Botnia tentang resistensi insulin
pada 4000 subyek Finlandia dan swedia menunjukan bahwa para penderita
MetS berisiko dua kali lebih tinggi untuk penderita penyakit jantung koroner
dibandingkan dengan subyek normal.dikutip 17
Verona Diabetes Complications Study dalam penelitiannya dijumpai
bahwa resistensi insulin merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
angka kejadian penyakit kardiovaskuler pada penderita diabetes tipe 2 antara
MetS dengan mortalitas kardiovaskuler adalah lebih tinggi pada penderita
MetS dengan atau tanpa Diabetes. Pada penderita MetS memiliki risiko
49
relativ hampir mencapai 4 untuk mengalami kematian akibat PJK dan 3,5
untuk mengalami kematian akibat penyakit kardiovaskuler.dikutip 17
Nurses Health Study menilai hubungan antara C-reaktif protein,
Sindroma Metabolik dan angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Pada
penelitian tersebut dipantau selama 8 tahun untuk melihat kejadian infark
miokard, stroke, revaskularisasi koroner, serta kematian akibat penyakit
kardiovaskuler. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa para penderita
MetS kadar C-reaktif protein dapat digunakan untuk memperkirakan kejadian
penyakit kardiovaskuler di masa datang.
2. Diabetes
Para penderita MetS non diabetik berisiko sangat tinggi untuk
menderita diabetes. Risiko untuk timbulnya diabetes meningkat bila terdapat
gangguan metabolisme glukosa. Penelitian Farmingham menemukan bahwa
penderita MetS berisiko 5 kali lebih tinggi untuk menderita diabetes
dibandingkan dengan subyek normal.17
Para penderita diabetes tipe 2 mengalami gangguan kerja dan sekresi
insulin. Pada penderita MetS, biasanya resistensi insulin terjadi lebih dahulu,
kemudian baru dilanjutkan dengan hiperglikemia dan diabetes. Hasil
penelitian menunjukan bahwa resistensi insulin sendiri sangat meningkatkan
risiko timbulnya diabetes tipe 2, meskipun sekresi normal.
3. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi mempunyai respon glukosa plasma dan
insulin yang tinggi terhadap tes toleransi glukosa. Abnormalitas ini terjadi
baik pada obes maupun non obes. Respon tersebut diakibatkan adanya
resistensi insulin pada pasien hipertensi.
Penelitian oleh Skarfos dkk yang dilakukan pada 2130 orang selama
10 tahun menunjukan bahwa individu yang normotensi saat awal akan
mengalami kenaikan tensi (hipertensi) jika disertai keadaan obes, insulin
plasma dan trigiserida yang tinggi. Prediksi independen terhadap progresifitas
kenaikan tensi adalah obesitas, konsentrasi insulin plasma puasa dengan
toleransi glukosa oral yang tinggi serta riwayat hipertensi pada keluarga.
Konsentrasi plasma insulin dan ekskresi norepineprin urin menunjukan
korelasi yang bermakna dengan tekanan darah pada Normative Aging Study.
Temuan ini menunjukan bahwa hubungan antara resistensi insulin dengan
50
hipertensi melalui sistem syaraf simpatis. Penelitian Kern dkk (2005) pada
30 laki-laki sehat dan BMI normal setelah diberikan infus Insulin selama 6
jam didapatkan hasil peningkatan tekanan darah sistolik, amplitudo tekanan
darah, denyut jantung dan kadar katekolamin plasma yang tergantung dosis
insulin ( insuline dose-dependent). Hasil ini mendukung adanya efek insulin
dalam menstimulasi sistem syaraf simpatis.
Obesitas, resistensi insulin dan hiperaktivitas syaraf simpatis
mempunyai hubungan yang sangat bermakna pada penelitian Tecumseh, hal
ini menunjukan bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatis juga terdapat pada
penderita Sindroma Metabolik. Hubungan ketiga itu sangat jelas dimana
aktivitas saraf simpatis akan menyebabkan resistensi insulin dan
hiperinsulinemia sendiri menyebabkan aktifitas saraf simpatis.
Dari study yang melibatkan 12.550 orang dewasa di Amerika selama 6
tahun menunjukan bahwa individu dengan hipertensi 2,5 kali lebih sering
mengalami diabetes tipe 2 dibanding normotensi. Sehinga dari penelitian ini
diambil kesimpulan bahwa hipertensi essensial terdapat suatu keadaan
resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Dimana hal ini tidak terjadi pada
hipertensi sekunder.
VII. Penatalaksanaan
Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan
Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap
komponen2 Sindrom Metabolik dapat mencegah atau memperlambat onset
diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis
dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan
makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat
badan dapat memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua
penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan
pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan
fisik dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin.
51
Defek genetik multipel
Predisposisi Genetik
Kegemukan
Lingkungan
Defek sel beta primer
Gangguan sekresi insulin
Resistensi insulin jaringan perifer
Kurangnya pemanfaatan glukosa
Hiperglikemia
Kelelahan sel beta
Diabetes tipe 2
2. Diabetes Mellitus Tipe 2.
Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe
ini merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme
autoimun berperan. Gaya hidup jelas lebih berperan, yang akan jelas jika
kegemukan dipertimbangkan. Pada saat ini terjadi peningkatan epidemic insidensi
diabetes tipe ini pada anak-anak kegemukan.
Pada tipe ini, faktor genetic berperan lebih penting dibandingkan
dengan diabetes tipe 1A. Diantara kembar identik, angka concordance adalah
60% hingga 80%. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan
pada kembar non identik), resiko menderita penyakit ini 5-10x lebih besar dari
subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit
dalam keluarganya.
Tidak seperti diabetes tipe 1A, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen
HLA (Human Leukocyte Antigen). Penelitian epidemiologic menunjukkan bahwa
diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing
memberi kontribusi pada resiko; yang juga dipengaruhi lingkungan. Pemindahan
genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka memastikan bahwa tidak
ada satu pun gen yang berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2.
Dua defek metabolic yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi
insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap
insulin (resistensi insulin).
52
Gangguan sekresi insulin pada sel Beta
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang
berat dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada awalnya, kadar
insulin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin. Pada kasus yang
jarang, mutasi di reseptor insulin menimbulkan resistensi insulin yang parah.
Pada banyak pasien mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal,
karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin.
Pada awalnya, sekresi insulin tampak normal dan kadar insulin plasma
tidak berkurang. Tetapi, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap,
dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) saat dipicu glukosa menurun.
Namun, pada perjalanan selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan
sampai sedang.
Mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik
massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan
genetic terhadap DM 2, kompensasi ini gagal. Selanjutnya, terjadi kehilangan 20-
50% sel beta, tetapi belum menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang
dipicu glukosa. Tetapi, terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
Dasar molecular gangguan sekresi insulin yang dirangsang glukosa ini masih
belum sepenuhnya dipahami. Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu
protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dari fosfolirasi oksidatif
(sehingga menimbulkan panas, bukan ATP). Protein ini adalah uncoupling
protein 2 (UCP2), yang diekspresikan sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi
menumpulkan respon insulin, sedangkan kadar yang rendah memperkuatnya.
Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel
beta pankreas penderita DM 2 mungkin dapat menjelaskan hilangnya sinyal
glukosa yang khas pada penyakit ini. Manipulasi terapeutik untuk menurunkan
kadar UCP2 dipercaya dapat mengobati DM 2.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM 2 dilaporkan berkaitan
dengan pengendapan amiloid di islet. Amilin, komponen utama amiloid, secara
normal dihasilkan sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin
sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan
oleh resistensi insulin pada fase awal DM 2, meningkatkan produksi amilin, yang
kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta
mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa.
53
Selain itu, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan
menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM 2 tahap lanjut.
Resistensi insulin dan obesitas
Resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks yang tidak terbatas
pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin
jaringan sasaran menurun (walaupun tidak diabetes), dan kadar insulin serum
mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh
karena itu, baik kegemukan ataupun obesitas, dapat menyebabkan terungkapnya
DM 2 subklinis dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak
lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.
Dasar selular dan molecular resistensi insulin masih belum sepenuhnya
dimengerti. Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin: jaringan lemak dan otot
(insulin meningkatkan penyerapan glukosa), dan hati (insulin menekan produksi
glukosa). Insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan dengan
reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respons intrasel
yang memengaruhi jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transport
glukosa ke membrane sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Resistensi
insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal
(pasca reseptor) yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya. Pada DM
2, jarang terjadi defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh
karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan
sinyal pascareseptor.
Sel-sel adiposit merupakan suatu sistem endokrin, yang memberikan
efek adiposit jarak jauh melalui zat-zat perantara yang dikeluarkan sel lemak.
Molekul ini meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan
resistin.
1. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imunitas,
disintesis di adiposity dan mengalami ekspresi berlebihan dalam sel lemak orang
kegemukan. TNF menyebabkan resistensi insulin dengan memengaruhi jalur-jalur
sinyal pascareseptor. Pada kegemukan, kadar asam lemak bebas lebih tinggi
daripada normal, dan asam lemak ini meningkatkan resistensi insulin melalui
mekanisme yang belum sepenuhnya diketahui.
2. Leptin menyebabkan obesitas hebat dan resistensi insulin bila tidak memiliki
54
gennya. Pengembalian leptin mengurangi obesitas, dan secara independen
resistensi insulin. Karena itu, tidak seperti TNF, leptin memperbaiki resistensi
insulin.
3. Resistin, yang diberikan nama demikian karena zat ini meningkatkan resistensi
insulin. Resistin dihasilkan sel lemak, dan kadarnya meningkat pada berbagai
model obesitas. Penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin, dan
sebaliknya pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada
hewan normal. Efek terapeutik ODA tertentu yang digunakan dalam penanganan
DM 2 pada manusia juga mungkin berkaitan dengan kemampuan obat tersebut
memodulasi produksi resistin.
Dampak
Tingginya kadar glukosa dalam cairan ekstraseluler mempengaruhi
tekanan osmotic, sehingga air bergerak keluar sel dan menyebabkan dehidrasi.
Tingginya kadar glukosa di ginjal, berpegaruh juga pada rearbsorbsi air, karena
glukosa merupakan diuretic osmotic yang menghambat rearbsorbsi air, dan
menyebabkan poliuria. Karena ditemukan glukosa dalam urin maka terjadi,
glikouria. Dehidrasi juga memberikan stimulus ke hipotalamus, untuk
meningkatkan volume air, melalui polidipsia (banyak minum akibat rasa haus
yang berlebih). Dehidrasi juga mengakibatkan berkurangnya tekanan turgor kulit,
dan juga ditemukan bibir dan mulut yang kering.
Selain itu, pada penderita DM terutama DM 2, glukosa tidak dapat
digunakan oleh jaringan akibat terganggunya reseptor insulin. Hal ini
menyebabkan kurangnya glukosa pada jaringan, dan jaringan memberikan sinyal
ke otak untuk menambah kadar glukosa. Cara pertama adalah dengan
meningkatkan asupan makanan (polipagia) yang diharapkan dapat menambah
glukosa. Selain itu, juga terjadi glukoneogenesis, baik dari lipid maupun protein.
Berkurangnya glukosa pada sel mengakibatkan metabolisme sel
menjadi menurun, sehingga menyebabkan keadaan fatigue.
Salah satu cara glukoneogenesis yang sering dijumpai adalah lipolisis,
pemecahan lemak untuk membentuk glukosa. Peningkatan lipolisis memberikan
efek samping, yakni meningkatnya produksi benda-benda keton (ketogenesis) di
hati. Benda-benda keton ini bersifat asam, sehingga penumpukan benda-benda
keton di tubuh mengakibatkan ketoasidosis. Untuk kompensasinya, tubuh
meningkatkan produksi urin untuk mengeluarkan keton, sehingga dijumpai
55
ketonuria.
Penggunaan lipid untuk metabolisme meningkatkan kadar kolesterol
plasma, yang memberikan berbagai macam dampak: atherosclerosis, iskemik
kardiak, gangguan serebrovaskular, gangguan vaskular perifer, gangrene, dan
infark miokardium.
Dampak lain dari tingginya kadar glukosa dalam darah adalah:
melambatnya aliran darah (yang dapat menyebabkan kematian sel), nefropati
(gangguan pada pembuluh darah ginjal), retinopati (gangguan pada pembuluh
darah retina), gingivitis dan periodontitis (akibat pertumbuhan bakteri yang cepat,
dan neuropati (gangguan pada sistem saraf).
3. Obesitas Sentral
Obesitas dapat dibagi menjadi beberapa derajat berdasarkan persen kelebihan
lemak (Misnadiarly, 2007), antara lain :
a. Mild obesity
Dikatakan mild obesity bila berat badan individu antara 20-30% di atas berat badan
ideal.
b. Moderate obesity
Apabila berat badan individu antara 30-60% di atas berat badan ideal.
c. Morbid
Penderita-penderita obesitas yang berat badannya 60% atau lebih di atas berat badan
ideal. Pada derajat ini risiko mengalami gangguan respirasi, gagal jantung, dan
kematian mendadak meningkat dengan tajam.
Terdapat dua tipe obesitas yaitu :
1. Obesitas sentral
Terjadi penimbunan lemak yang melebihi batas normal pada daerah abdomen.
2. Obesitas perifer
Terjadi penimbunan lemak yang melebihi batas normal pada daerah gluteo-
femoral.
Pembagian obesitas berdasarkan gejala klinisnya,yaitu:
1. Obesitas sederhana (simple obesity)
Gejalanya hanya gemuk saja tanpa disertai kelainan hormonal/mental/fisik lainnya.
2. Bentuk khusus obesitas
56
a. Kelainan endokrin/hormonal
b. Kelainan somatodismorfik
c. Kelainan hipotalamus
Obesitas berdasarkan kondisi sel dalam tubuhnya,yaitu:
1. Tipe hiperplastik
2. Tipe hipertropik
3. Tipe hiperplastik-hipertropik
Selain itu,obesitas juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya dan
tipenya,yaitu:
1. Berdasarkan tingkat keparahan
a. Mederate obesity
b. Severe obesity
2. Berdasarkan tipenya
a. Inappropriate eating habits
b. High set point for fat store
Obesitas sentral ini merupakan faktor risiko utama penyebab resistensi
insulin sebagai penyebab dari berbagai gangguan yang dapat berkembang dari
sindrom metabolik. Obesitas disebabkan oleh ketidak seimbangan kalori yang
masuk dibanding yang keluar. Penilaian derajat obesitas secara umum berdasarkan
IMT ( Indeks Massa Tubuh). Terdapat hubungan yang erat antara IMT dengan
lemak tubuh. Postur tubuh ideal dinilai dari pengukuran antropometri untuk
menilai apakah komponen tubuh tersebut sesuai dengan standard normal atau ideal.
Pengukuran antropometri yang paling sering digunakan adalah rasio antara Berat
Badan ( Kg) dan Tinggi Badan ( meter ) kuadrat. Obesitas sentral dapat
diinterpretasikan berdasarkan Lingkar Perut. Dikatakan obesitas sentral apabila
Lingkar Perut mencapai > 90cm pada laki-laki atau > 80cm pada perempuan.
Negara/grup etnis Lingkar perut (cm) pada
obesitas
Eropa Pria >94 ; Wanita >80
Asia Selatan,Populasi
China,Melayu dan Asia-India
Pria >90 ; Wanita >80
China Pria >90 ; Wanita >80
Jepang Pria >85 ; Wanita >90
Amerika Tengah Gunakan rekomendasi Asia
57
Selatan hingga tersedia data
spesifik
Sub-Sahar Afrika Gunakan rekomendasi Eropa
hingga tersedia data spesifik
Timur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa
hingga tersedia data spesifik
Jaringan adiposa terutama jaringan lemak sentral sekarang diketahui bukan
hanya sebagai tempat penyimpanan lemak, tatapi juga berfungsi sebagai organ
endokrin. Sel lemak (adiposit) telah dibuktikan mengsekresikan berbagai macam
protein ke dalam sirkulasi. Protein-protein ini secara kolektif disebut adipositokin
yang sering disebut adipokin yaitu leptin, Tumor Nekrosis Faktor (TNF) α,
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), adipsin, resistin dan adiponektin.
Pada individu obes terjadi penumpukan jaringan adiposa maka akan terjadi
peningkatan produksi adipokin, diantaranya adalah TNF-α dan PAI-1. Sehingga
diduga bahwa adipokin tersebut menekan produksi adiponektin pada individu obes.
Kelainan metabolisme yang ditimbulkan oleh penumpukan jaringan lemak
terutama disebabkan oleh peningkatan proses lipolisis serta kadar asam lemak
bebas dalam plasma. Pada penderita diabetes tipe 2, kerja insulin dalam
menghambat lipolisis mengalami penurunan akibat adanya resistensi jaringan
lemak terhadap insulin, sehingga kadar FFA meningkat. Sebaliknya, pada individu
obes yang tidak menderita diabetes, yang berperanan dalam meningkatakan kadar
FFA bukanlah resistensi jaringan lemak terhadap insulin, melainkan banyaknya
timbunan lemak yang dimilikinya. Peningkatan kadar FFA juga dapat
menghambat kerja insulin di otot.
Randle pada tahun 1963 mengemukakan bahwa asam lemak berkompetisi
dengan glukosa dalam hal metabolisme penyiapan sumber energi.Kelley dkk,
melaporkan bahwa bilamana dibandingkan antara subyek dengan pemberian infus
lemak, maka kelompok subyek yang diberi infus lemak terjadi resistensi ambilan
glukosa (glucose uptake) oleh otot, sebagai akibat dari peningkatan glikolisis &
penurunan pembentukan glikogen,keadaan ini menyerupai diabetes tipe-2. Pada
penelitian ini menggambarkan adanya penggunaan lemak yg tidak efisien pada
58
individu obes. Pada atlet yang terlatih, komposisi triglisedrid otot akan meningkat,
kapasitas oksidatif lemak juga meningkat, keadaan sebaliknya terjadi pada subyek
yg obes.
Copy right ©2004 American Society of Nephrology
Bagby, S. P. J Am Soc Nephrol 2004;15:2775-2791
Figure 1. Pathogenesis of obesity-initiated metabolic syndrome
Adiponektin merupakan adipositokin yang banyak menarik perhatian karena
memiliki efek antidiabetik dan antiaterogenik. Studi menunjukkan bahwa
konsentrasi adiponektin menurun pada kondisi obesitas DMT2 dan hipertensi
sehingga diduga konsentrasi adiponektin yang rendah (hipoadiponektinemia)
terkait dengan patofisiologi terjadinya hipertensi.
Kondisi obesitas dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa
mekanisme yaitu: terjadi peningkatan volume darah, stroke volum dan kardiak
output sehingga terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang dapat
menimbulkan kondisi hipertensi. Hal ini dikaitkan dengan disfungsi endotel,
resistensi insulin, perubahan sistem syaraf simpatik, dan pelepasan mediator
proinflamasi (TNF α dan inteleukin – 6) sehingga terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah peifer. Obesitas dapat meimbulkan resistensi insulin yang
59
Gambar 1. Patofisologi Obesitas sebagai penyebab Sindroma Metabolik
selanjutnya mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase sehingga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.
Peran adiponektin dalam hipertensi melalui beberapa mekanisme yaitu
adiponektin menurunkan inflamasi melalui regulasi negatif terhadap TNF- α dan C-
Reactive Protein (CRP) serta menurunkan ekspresi molekul adhesi, pembentukan
sel busa dan proliferasi sel otot polos. Obesitas diketahui sebagai kondisi low grade
inflamation yang dapat meningkatkan tekanan darah. Adiponektin dapat menekan
inflamasi sehingga mencegah naiknya tekanan darah.
Adiponektin dapat memperbaiki kondisi resistensi insulin melalui aktivasi
AMP- Kinase sehingga terjadi peningkatan oksidasi asam lemak serta penurunan
produksi glukosa endogen oleh hati sehingga akan menurunkan akumulasi Free
Fatty Acid, yang selanjutnya akan menghambat pembentukan radikal bebas yang
dapat merusak Nitric Oxide (NO) yang bekerja menjaga intigrasi endothel dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam mencetuskan
terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi
insulin, antara lain:
60
a. Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas meningkatkan
pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang disebabkan oleh
glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat ekspresi insulin pada
keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki apoptosis sel beta pankreas.
Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk
menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa ke
dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal ini
menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot.
b. Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-α, IL-6 dan resistin
dapat mencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya efek proinflamasi.
Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4 sebagai transporter glukosa
sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam sel.
Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata
mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-α, leptin,
interleukin 6, resistin. TNFα, interleukin dan resitin menyebabkan resistensi insulin
sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin.
- Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel
lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat badan.
adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin, anti-
inflamasi dan anti-aterogenik.
Gambar 1. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin
61
- Leptin
Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada
sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran
energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis
trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan
sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan
meningkatkan penggunaan energi.
- Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana peningkatan
kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak. IL-6
disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan lemak
subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki sifat pro-inflamasi yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. IL-6 diperkirakan dapat
mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk menurunkan sensitifitas sel
terhadap insulin khususnya sel hati.
- Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak. Ekspresi
gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin diperkirakan
memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.
- TNF- α
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-α. Orang yang
mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF-α 2-3 kali lebih banyak
daripada orangbkurus. Kadar TNF-α akan menurun dengan penurunan berat badan.
Efek TNF-α pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter glukosa
GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF-α memiliki potensi untuk
mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel
berkurang.
4. Hipertensi pada Sindroma Metabolik
Selain sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan lemak juga menghasilkan
faktor yang menyebabkan hipertensi. Jaringan lemak dapat menguraikan angiotensin
dari sistem angiotensin-renin. Pada obesitas, terjadi resistensi insulin dan gangguan
fungsi endotel pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorbsi
62
natrium di ginjal dan menyebabkan hipertensi. Penurunan berat badan merupakan
faktor penting dalam tata laksana sindrom metabolik dengan hipertensi yang dicapai
dengan diet, latihan, medikamentosa atau gabungan hal-hal tersebut. Obat
antihipertensi dapat dipertimbangkan sebagai bagian pendekatan holistik dalam tata
laksana.
Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik
Definisi sindrom metabolik pada dewasa telah disepakati, namun kontroversi
mengenai etiologi yang mendasari sindrom metabolik sampai saat ini masih tetap ada.
Hipotesis terbaik menyatakan bahwa obesitas dan resistensi insulin merupakan kunci
terjadinya sindrom metabolik.
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan luaran
energi, yaitu asupan energi yang tinggi atau luaran energi yang rendah. Asupan energi
tinggi disebabkan konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan luaran energi
rendah disebabkan metabolisme tubuh yang rendah, aktivitas fisik, dan efek
termogenesis makanan. Kelebihan energi disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui dan telah banyak
dilaporkan oleh banyak peneliti, namun mekanisme terjadinya hipertensi akibat
obesitas hingga saat ini belum jelas. Sebagian besar peneliti menitik beratkan
patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi
insulin, serta abnormalitas struktur dan fungsi pembuluh darah. Ketiga hal tersebut
dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Akhir-akhir ini diketahui bahwa peningkatan kejadian obesitas dan sindrom
metabolik terjadi akibat asupan total fruktosa meningkat. Fruktosa seperti gula
lainnya menyebabkan peningkatan kadar asam urat dengan cepat. Fruktosa adalah
gula biasa yang terdapat pada madu dan buah-buahan. Fruktosa sering ditambahkan
pada minuman ringan, kue, permen, dan yogurt. Pemberian fruktosa oral atau
intravena dalam waktu 30-60 menit dapat meningkatkan asam urat serum pada
manusia dan hal ini dapat berkesinambungan. Glukosa dan gula sederhana lainnya
tidak mempunyai efek seperti ini.
Di hati, fruktosa akan diubah menjadi fruktosa-11 fosfat dan adenosin
triphosphate (ATP) oleh enzim fruktokinase, dan selanjutnya diubah menjadi
adenosine diphosphate (ADP). Turunan ADP dimetabolisme menjadi bermacam-
macam subtrat purin. Pelepasan fosfat yang cepat bersamaan dengan reaksi adenosine
63
monophosphate (AMP) deaminase. Kombinasi keduanya akan meningkatkan substrat
melalui fruktosa oral, dan enzim (deaminase AMP) merupakan regulasi produksi
asam urat (Gambar 1).
Asam urat yang tinggi dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan
menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO) endotel. Gangguan nitric oxide
memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi. Peran obesitas dan resistensi
insulin pada sindrom metabolik telah banyak dilaporkan. Obesitas sering berhubungan
dengan hiperinsulinemia, khususnya tipe android. Laki-laki obesitas cenderung
mempunyai deposit lemak di daerah atas tubuh khususnya pada tengkuk, leher, bahu,
dan perut yang disebut obesitas tipe android. Pada perempuan obesitas dijumpai
deposit lemak dengan area yang sama dengan lakilaki meskipun mereka juga
mempunyai batas area segmen bawah seperti pada bokong dan pinggul yang disebut
obesitas tipe ginekoid.4 Pada obesitas tipe android (obesitas sentral), lemak
berakumulasi sebagai lemak viseral/intra-abdominal atau lemak subkutan abdomen.
Obesitas tipe android berisiko mengalami sindrom metabolik dan penyakit
kardiovaskular, khususnya jika terdapat lemak viseral yang berlebihan. Kadar
adiponektin yang rendah, adanya resistensi leptin, serta berbagai sitokin yang terlepas
dari sel adiposa dan sel inflamasi yang menginfiltrasi jaringan lemak (misalnya
makrofag) menurunkan ambilan asam lemak bebas oleh mitokondria pada beberapa
jaringan, menurunkan oksidasi asam lemak bebas, dan menyebabkan akumulasi asam
lemak bebas intrasel. Kelebihan asam lemak bebas intraselular dan metabolik (fatty
acyl CoA, diacyglgycerol,dan ceramide) dapat memicu terjadi resistensi insulin
(bahkan hiperisulinemia dan hiperglikemia).
Pada obesitas terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh
64
darah yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang
mengakibatkan hipertensi. Telah dibuktikan oleh penelitian yang menyatakan retensi
garam berhubungan dengan hiperinsulinemia pada obesitas yang menyebabkan
hipertensi. Demikian juga insulin dapat meningkatkan produksi norepinephrine
plasma yang bermakna yang dapat meningkatkan tekanan darah. Perbaikan tekanan
darah dan respons intoleransi glukosa dengan peningkatan aktivitas fisik pada obesitas
juga berhubungan dengan penurunan kadar insulin plasma. Resistensi insulin dapat
meningkatkan tekanan darah melalui penurunan nitric oxide yang menimbulkan
vasodilatasi, peningkatan sensitivitas garam, atau peningkatan volume plasma.
Penelitian lain menunjukkan kecepatan natriuresis dan pengeluaran antinatriuresis
sesudah fast have dan memperlihatkan hubungan antara kadar insulin serum dan
eskresi garam. Retensi natrium menyebabkan hiperinsulinemia yang indenpenden dari
hipoglikemia, laju filtrasi glumerulus (LFG), aliran darah ginjal, atau kadar aldosterol
plasma.
Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom metabolik
dengan meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan.
Masa lemak abdomen merupakan sumber asam lemak bebas dalam sirkulasi.
Penelitian dengan menggunakan model clamp euglycemic hyperinsulinemia
menunjukkan efek marker antinatriuretic pada insulin.
Peningkatan masa sel lemak menyebabkan peningkatan produksi
angiotensinogen di jaringan lemak, yang berperan penting dalam peningkatan tekanan
65
darah. Sel lemak juga membuat enzim konvertase angiotensin dan katepsin, yang
memiliki efek lokal pada katabolisme dan konversi angiotensin. Asam lemak dapat
meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan proses ini diamplifikasi oleh
angiotensin. Telah dibuktikan bahwa renin angiotensin system (RAS) pada jaringan
lemak terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit yang berhubungan dengan
obesitas, termasuk hipertensi dan resitensi insulin. Kadar RAS lokal di dalam jaringan
lemak berperan dalam meningkatkan aktivitas RAS sistemik, sehingga menyebabkan
kenaikan tekanan darah.
Jumlah jaringan lemak pada individu dengan obesitas menyebabkan
peningkatan RAS dalam jaringan lemak. Selain itu, angiotensin II (komponen utama
RAS) dan angiotensinogen (prekursor angiotensin II) berperan dalam pertumbuhan,
diferensiasi dan metabolisme jaringan lemak, yang dalam jangka panjang dapat
mendorong penyimpanan trigliserida dalam hati, otot rangka, serta pankreas, sehingga
menyebabkan resistensi insulin.
Pada obesitas, selain pertambahan masa lemak, masa non-lemak juga
meningkat, dan terjadi hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal. Pada ginjal terjadi
glomerulomegali, vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi arteriol eferen yang
menyebabkan hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular merupakan awal
terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria yang selanjutnya melalui berbagai
mekanisme selular akan menyebabkan glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointertisial pada obesitas.
TERAPI
Hipertensi merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga
mengakibatkan mikroalbuminuria yang dipakai sebagai indicator independen
morbiditas karidovaskular pada pasien tanpa diabetes atau hipertensi.
Target tekanan darah berbeda antara subyek dengan DM dan tanpa DM. pada
subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target tekanan darah adalah <130/80 mmHg,
sedangkan pada bukan, targetnya <140/90 mmHg. Untuk mencapai target tekanan
darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik.
Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat
badan, berolahraga, menghentikan rokok dan konsumsi alcohol serta banyak
mengkonsumsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu
mengendalikan tekanan darah maka dibutuhkan pendekatan medikamentosa untuk
66
mencegah komplikasi seperti miokard infark, gagal ginjal akut dan stroke.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi
angiotensin dan penghambat reseptor angiotensi mempunyai manfaat yang bermakna
dalam meregresi hipertrofi ventrikel kiri dibandingkan penghambat beta andregenik,
diuretic, dan antagonis kalsium. Valsartan, suatu penghambat reseptor angiotensin,
dapat mengurangi mikroalbuminuria yang diketahui sebagai faktor resiko independen
kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini
pertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom metabolic terutama bila ada
DM. Angiotensin renin blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap
ACE inhibitor. Meski pemakaian diuretic tidak dianjurkan pada subyek dengan
gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian diuretic dosis rendah yang
dikombinasi dengan regiken lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan efek
sampingnya.
5. Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolic ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan
konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak
bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan
konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL, sehingga
dipikirkan mekanisme lain yang dapat menyebabkan penurunan kolesterol HDL
disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitang dengan
gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi
gangguan produksi Apolipoprotein A-1 (Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran system imunitas pada resistensi
insulin juga berpengaruh pada perubahan profil lipid pada subyek dengan resistensi
insulin. Studi pada hewan menunjukan bahwa aktivasi system imun akan
menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang
berkaitan sehingga terjadi perubahan profil lipid.
Terapi
67
Pilihan terapi untuk dyslipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti
dengan medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja
tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan untuk memberikan
obat bersamaan dengan perubahan gaya hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol
LDL sudah mencapai target, sasaran berikutnya adlaah dyslipidemia aterogenik. Pada
konsentrasi trigliserida ± 200 mg/dL, maka target terapi adalah non kolesterol HDL
setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya
memperbaiki profil lipid tetapi juga bermakna dapat menurunkan risiko
kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida
dan meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukan perbaikan profil lipid yang
sangat efektik dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapa
menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki
konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL, dan LDL. Target terapi berikutnya adalah
peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukan apoB lebih baik dalam
menggambarkan dyslipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan kolesterol
non HDL sehingga disarankan apoB sebagai target terapi. Meski demikian, ATP III
tetap menyarankan pemakaian kolesterol HDL sebagai target terapi.
Apabila konsentrasi trigliserida ± 500 mg/dL, maka target terapi pertama
adalah penurunan trigliserida untuk mencegah pankreatitis akut. Pada konsentrasi
trigliserida < 500 mg/dL, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan
kolesterol LDL dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserda dan kolesterol LDL,
untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi tertentu, hanya dinaikan saja.
68
VIII. Kerangka Konsep
IX. Kesimpulan
Tn.B, 35 tahun, mengalami sindroma metabolik ditandai dengan obesitas sentral,
dislipidemia dan diabetes melitus tipe 2.
69
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Idrus. dkk.. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing
Anonim,http://www.penyakitdiabetesmelitus.net/?Faktor_Resiko_Penyebab_Penyakit_Diabetes_Melitus diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
Anonim, 2010, http://puradini.wordpress.com/2010/06/15/sindrom-metabolik/ diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC
Aru W.Sudoyo, et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Colby, 1992, Ringkasan Biokimia Harper, Alih Bahasa: Adji Dharma, Jakarta, EGC
dr. Abu Hana, http://kaahil.wordpress.com/laboratorium-normal/ diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
dr. Alwi Shahab, http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
dr. Azham Purwandhono, 2013, http://umc.unej.ac.id/index.php/78-berita/96-hipertensi diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
Gandasoebroto, R.. 1985. Penuntun Praktikum Klinik. Jakarta: Dian Rakyat
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Harjasasmita, 1996, Ikhtisar Biokimia dasar B, Jakarta, FKUI
Harper, Rodwell, Mayes, 1977, Review of Physiological Chemistry
Jose RL Batubara, 2010, http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-2-1.pdf diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. A. Price, Sylvia ,M. Wilson, Lorraine. 2006ed : Hartanto, Huriawati, dkk. Jakarta : Penerbit Buku KedokteranEGC
Purwandhono, dr. Azham. 2013. Hipertensi. (Dalam http://umc.unej.ac.id/index.php/78-berita/96-hipertensi, diakses pada 19 Desember 2013).
Rahman,muhammad syaifur.2007.Patogenesis dan Terapi sindroma metabolik. Jurna Kardiologi Indonesia.
Robbin,Kumar,Cotran.2004. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol.2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
USU, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25508/4/Chapter%20II.pdf diakses pada kamis, 19 Desember 2013.
70
Wirahadikusumah, 1985, Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid, Bandung, ITB
71