Isi Referat Tdr Tht - Revisi

31
BAB I TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1.1 TAKSONOMI TDR termasuk ke dalam filum Artropoda, kelas Arachnida, ordo Acari, subordo Atigmata, dan famili Pyroglyphidae. Famili Pyroglyphidae terdiri atas 16 genus dan 46 spesies. Tiga belas spesies dapat ditemukan pada debu rumah, tiga diantaranya adalah sumber utama alergen TDR yaitu D. Pteronyssinus, D. farinae dan Glycyphagus destructor. Beberapa tungau yang dikelompokkan sebagai domestic mite, yaitu jenis tungau yang hidup didalam lingkungan hidup manusia adalah TDR ( famili Pyroglyphidae ), tungau gudang ( famili Acaredai, Glyciphagidae, dan Chortoglyphidae ), dan tungau predator ( famili Cheyletidae ). 1.2 EPIDEMIOLOGI TDR terdapat di seluruh dunia. Berbagai spesies TDR terdapat dalam debu rumah, tetapi tungau yang mendominasi adalah famili Pyroglyphidae. Tungau lain yang penting adalah Blomia tropicalis yang hidup di daerah beriklim tropik dan subtropik. Spesies tungau lain yang terdapat pada produk makanan, rumput kering, dan membutuhkan kelembaban tinggi untuk hidup adalah genus Glycyphagus, Tyrophagus, Acarus, Lepidoglyphus, Cortoglyphus, dan Tarsonemus. Di Jakarta Pusat, Aulung et al, 2 telah memeriksa sebanyak 5237 gram debu rumah yang berisi 343 tungau dan setelah diidentifikasi ditemukan 6 genus dengan 1

Transcript of Isi Referat Tdr Tht - Revisi

Page 1: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

BAB I

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1.1 TAKSONOMI

TDR termasuk ke dalam filum Artropoda, kelas Arachnida, ordo Acari,

subordo Atigmata, dan famili Pyroglyphidae. Famili Pyroglyphidae terdiri atas

16 genus dan 46 spesies. Tiga belas spesies dapat ditemukan pada debu rumah, tiga

diantaranya adalah sumber utama alergen TDR yaitu D. Pteronyssinus, D. farinae

dan Glycyphagus destructor.

Beberapa tungau yang dikelompokkan sebagai domestic mite, yaitu jenis

tungau yang hidup didalam lingkungan hidup manusia adalah TDR

( famili Pyroglyphidae ), tungau gudang ( famili Acaredai, Glyciphagidae, dan

Chortoglyphidae ), dan tungau predator ( famili Cheyletidae ).

1.2 EPIDEMIOLOGI

TDR terdapat di seluruh dunia. Berbagai spesies TDR terdapat dalam debu

rumah, tetapi tungau yang mendominasi adalah famili Pyroglyphidae. Tungau lain

yang penting adalah Blomia tropicalis yang hidup di daerah beriklim tropik dan

subtropik. Spesies tungau lain yang terdapat pada produk makanan, rumput kering,

dan membutuhkan kelembaban tinggi untuk hidup adalah genus Glycyphagus,

Tyrophagus, Acarus, Lepidoglyphus, Cortoglyphus, dan Tarsonemus.

Di Jakarta Pusat, Aulung et al,2 telah memeriksa sebanyak 5237 gram debu

rumah yang berisi 343 tungau dan setelah diidentifikasi ditemukan 6 genus dengan

dominasi Glycyphagussebanyak 149 tungau ( 42,6% ). Pada penelitian lanjutannya

Aulung et al,3 melaporkan dari 5411 gram debu rumah diperoleh 876 tungau yang

terdiri atas 7 genus dan yang terbanyak adalah Glycyphagus ( 352 tungau ).

Pada penelitian Sundaru4 di Jakarta dari 32,6 gram debu rumah yang berasal dari

20 rumah penderita asma, didapatkan tungau sebanyak 1480 yang terdiri atas

10 genus. Genus yang paling banyak ditemukan adalah Glycyphagus sebanyak

582 tungau. Manan et al.5 melaporkan pada 10 rumah penderita asma, ditemukan

9 genus dan tungau yang terbanyak adalah Glycyphagus. Di Kolumbia genus

Glycyphagusjuga merupakan TDR yang dominan. Cuthbert, et al.6 yang

melakukan penelitian di gudang hasil pertanian juga mendapatkan bahwa tungau

yang terbanyak adalah genus Glycyphagus.

Di dalam rumah TDR paling banyak dijumpai pada perabot kamar tidur

(582 tungau) dan paling sedikit pada hiasan rumah ( 186 tungau ). Pada perabot

rumah yaitu meja, kursi, rak buku dan lemari didapatkan 349 tungau, sedangkan

1

Page 2: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

pada lantai rumah didapatkan 363 tungau. Manan5 telah melakukan pemeriksaan

terhadap 156,03 gram debu kasur kapuk dari perumahan BTN Pamulang dan

mendapatkan jumlah TDR rata-rata 147 tungau per gram debu kasur dengan

jumlah total tungau 26.470 yang terdiri atas 5 genus yaitu D. pteronyssinus,

D. farinae, G.destructor, Suidasia medinensis, Cheiletus eredetus dan didominasi

oleh D. pteronyssinus serta G. destructor.

Keberadaan tungau pada perabot kamar tidur erat kaitannya dengan makanan

tungau. Skuama merupakan makanan pokok TDR dan di tempat tidur banyak

tersedia skuama karena manusia menghasilkan skuama 0,5 g – 1 g per hari

sehingga TDR dapat hidup subur. Selain itu perabot kamar tidur yang terdiri atas

kasur, selimut, gorden, seprei banyak mengandung serat-serat yang lebih mudah

menampung debu daripada perabot rumah lain. Oleh karena itu dapat dimengerti

jika TDR paling banyak ditemukan di kamar tidur.5

Faktor-faktor fisik seperti suhu dan kelembaban merupakan faktor utama yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme dalam debu rumah.

Tungau sangat peka terhadap kelembaban relatif. Pada kelembaban 60% atau lebih

rendah populasi TDR ditemukan sangat sedikit atau mati.

Secara umum suhu optimal bagi perkembangan populasi TDR adalah

250C-300C dan kelembaban relatif 70-80%. Untuk D. Pteronyssinus diperlukan

suhu optimal 250C dan kelembaban 80% dengan kelembaban kritis 60-65%.

Demikian juga tungau gudang ( stored product mite ) seperti G. Destructor

( suhu 230C-250C dan kelembaban 80-90% ), Tyrophagus putrescentae dan

Acaraus siro ( suhu 230Cdan kelembaban87% ). Suhu yang sesuai untuk

kehidupan D. farinae 250C-300C dengan kelembaban relatif 50-60% dan

kelembaban kritis 47-50%. Perkembangbiakan TDR akan terganggu pada suhu

diatas 320C dan jika tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 510C dengan

kelembaban udara 60% maka tungau akan mati.

1.3 MORFOLOGI

Menurut Voorhost et al.7 ukuran TDR adalah panjang 0,3 mm dan lebar

0,2 mm, tungau jantan lebih kecil ukurannya daripada tungau betina. Tungau

dewasa dan nimfa mempunyai 8 kaki, sedangkan larva mempunyai 6 kaki.

Bentuk umum tungau seperti kantung ( sakular ). Bagian kepala, torak, dan

abdomen bersatu membentuk suatu badan tanpa segmen ( Gambar 1 ). Tubuh

tungau dibagi menjadi empat bagian, yaitu daerah mulut dan bagian-bagiannya

( gnatosoma ), daerah pasangan kaki I dan II ( propodosoma ), daerah pasangan

kaki III dan IV ( metapodosoma ) dan daerah posterior ( opistosoma ).

2

Page 3: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

D. pteronyssinus jantan mempunyai ciri-ciri kaki III sedikit lebih besar, kaki I

dan II sama besar, tirai dorsoposterior ( histerosomal ) lebih panjang daripada

lebarnya dan memanjang sampai ke anterior di bawah koksa IV. Epimer koksa I

tidak bergabung di medial, aedeagus ( penis ) dan sepasang genital skleretin

membentuk tonjolan yang tajam. Terdapat anal sucker. Pada betina terdapat strie

lentikular berjajar longitudinal di separuh posterodorsal, berjalan transversal pada

anterodorsal. Apodeme genital anterior melengkung lebih tajam daripada

D. farinae dan memanjang sampai bagian bawah genital opening. Dari lateral

reseptakel seminal menyerupai mangkok dengan pedikel di tegah, sedangkan

tampak dorsal menyerupai bunga. Vestibula bursa kopulatriks tidak banyak

mengandung kitin dan tidak jelas terlihat.

Gambar 1. Dermatophagoides pteromyssinus

Gambar 2. Dermatophagoides pteromyssinusBetina dan Jantan ( dari kiri ke kanan )

D. farinaejantan mempunyai ciri kaki I lebih besar, kaki II dan IV, kaki III

sedikit lebih besar. Tirai dorsoposterior (histerosomal) agak persegi, epimer koksa

I bergabung di medial sehingga membentuk huruf V atau Y. Aedeagus dan

sepasang genital skleretin membentuk bangunan segitiga. Terdapat anal sucker.

3

Page 4: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

Tungau betina mempunyai strie lentikular transversal sepanjang dorsal tubuh.

Apodeme genital anterior melengkung dengan bagian posteriornya sebagian besar

tidak mencapai bagian anterior genital opening. Dinding vestibula (saluran

external opening) dan bursa kopulatriks dilapisi selaput tanduk dan berbentuk

pitcher (ginjal). Proses kitinisasi jelas pada tarsus I dan II.

Famili Glyciphagidae mempunyai ciri-ciri ujung-ujung kaki ( tarsus )

memanjang, dan banyak setae ( rambut ) pada tubuhnya. Tungau jantan

mempunyai aedeagus, sedangkan tungau betina mempunyai vulva opening.

Tidak terdapat anal sucker.

1.4 SIKLUS HIDUP

Tungau bersifat ovipar. Tungau betina mulai meletakkan telurnya 3-4 hari

setelah kopulasi kemudian mengalami 3 kali masa oviposisi. Pada suhu 250C masa

oviposisi I berlangsung selama 20 hari dan jumlah telur yang dihasilkan sebanyak

25-50 butir. Produksi telur per hari 2-3 telur. Oviposisi II menghasilkan

15-30 butir telur. Selanjutnya jumlah telur akan semakin berkurang pada oviposisi

berikutnya. Pada suhu 200C tungau memerlukan waktu dua kali lebih lama untuk

siklus reproduksinya dan periode reproduktifnya diperkirakan 26-34 hari pada

kelembaban 75%.

Telur menetas menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki, stadium larva

mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi stadium nimfa yang

mempunyai 4 pasang kaki. Sebelum stadium nimfa berubah menjadi tungau

dewasa, nimfa mengalami 2 tingkatan yang disebut protonimfa dan tritonimfa.

Perubahan dari telur menjadi larva 5-6 hari, larva menjadi protonimfa 7 hari,

protonimfa menjadi tritonimfa 7 hari. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan

tungau dari stadium telur menjadi dewasa kurang lebih 20 hari. Tungau jantan

mempunyai masa hidup selama 60-80 hari, sedangkan tungau betina 100-150 hari

tergantung pada suhu, kelembaban serta jumlah makanan yang tersedia.

Jumlah dan keberadaan tungau di suatu tempat bergantung pada suhu,

kelembaban serta jumlah makanan yang tersedia. Tungau, terutama

D. pteronyssinus, dapat hidup sebagai omnivora (pemakan segalanya). Makanan

TDR adalah skuama, daki dan sisa makanan. Dalam satu hari, manusia

menghasilkan skuama 0,5 g – 1 g dan jumlah ini sudah cukup untuk memenuhi

kebutuhan makan TDR. Satu mg skuama dapat mencukupi kebutuhan makan satu

tungau selama 20 bulan.

Tempat yang hangat, lembab dan gelap merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan TDR. Tungau memerlukan suhu ruangan 25-300C dan kelembaban

udara 70-80% untuk hidupnya. Di dalam rumah, TDR hidup bercampur dengan

4

Page 5: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

debu yang terdapat di kasur, karpet, sofa maupun peralatan rumah tangga lainnya.

Kasur merupakan tempat yang paling disukai karena di tempat tersebut tersedia

sumber makanan utama berupa epitel kulit manusia dan jamur.

Bila tungau terpajan keadaan yang kurang menguntungkan misalnya panas,

cahaya, mesin penghisap debu, dan perubahan kelembaban, tungau dapat bergerak

lebih cepat, bersembunyi, berkumpul, dan mencengkeram serat kain.

1.5 ALERGEN TDR

Tungau merupakan komponen alergenik utama dari debu rumah. Bagian-

bagian TDR yang mengandung alergen adalah kutikula, organ seks dan saluran

cerna. Antigen yang terdapat dalam tubuh D. Pteronyssinus terutama di dalam

saluran cerna dan sebagian dalam kutikula. Selain tubuh TDR telah dibuktikan

bahwa feses TDR juga mempunyai sifat alergenik. Antigen yang berasal dari tubuh

TDR masuk ke dalam tubuh manusia melalui penetrasi kulit, sedangkan yang

berasal dai feses masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi.

Makanan yang masuk ke usus disekresikan sebagai antigen yang kuat.

Pada kultur tungau Spiecksma8 mendapatkan debris tungau terdiri atas kutikula,

telur dan partikel feses. Dari kultur tersebut ternyata yang mengandung alergen

(Der p I) hanya dari kutikula dan feses. Dalam masa 3 bulan hidup tungau

diperkirakan setiap tungau menghasilkan 50 telur, 4 kutikula, dan 2000 partikel

feses (± 20/hari). Kalkulasi itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa

95% alergen tungau berasal dari partikel feses.

Alergen TDR pertama yang dimurnikan adalah Der p Idan Der f I yang

terdapat dalam konsentrasi tinggi pada feses. Elergen tersebut merupakan

glikoprotein yang labil pada suhu panas dan merupakan enzim pencernaan yang

terdiri atas proteinase dan papain yang berasal dari kelenjar di sekitar saluran cerna

tungau. Alergen tersebut mempunyai berat molekul (BM) 24 kilo dalton (kd).9

Alergen kedua (Der p II, Der fII) berasal dari badan tungau mempunyai

BM 15 kd, diameternya 250 µm, dan alergen tersebut lebih stabil pada suhu panas.

Dua alergen lainnya yang kurang penting yaitu alergen III (Der f III) dengan

BM 30 kd dan mempunyai struktur kimia sama dengan tripsin, sedangkan alergen

IV mempunyai BM 60 kd dengan struktur kimia sama dengan amilase.

Tungau mengandung alergen dari feses lebih dari 200 kali berat tubuhnya.

Setiap gram debu mengandung 1000 tungau dan 250.000 alergen dari butiran feses.

Kurang lebih 80% penderita alergi TDR mempunyai antibodi IgE spesifik terhadap

alergen kelompok I (Der p Idan Der f I). Alergen kelompok I dan II secara klinis

berkaitan dengan penyakit asma, dermatitis atopik dan rinitis alergi.

5

Page 6: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

Pajanan tungau sebanyak 100 sampai 500 tungau per gram atau 10 mikrogram

Der p I per gram debu merupakan faktor resiko terjadinya asma. Pajanan yang

lama dengan 500 tungau per gram debu atau lebih mengakibatkan terjadinya

respons antibodi IgE dan asma.

1.6 ISOLASI TDR

Metode paling mudah untuk mendeteksi kehadiran tungau adalah dengan cara

meletakkan sejumlah debu pada permukaan air dan memeriksanya dengan

perbesaran 20 kali. Tungau yang mati dan yang hidup akan terlihat mengambang

pada permukaan air tersebut. Untuk mengidentifikasi tungau digunakan jarum

tungau untuk mengangkat tungau, lalu tungau diletakkan di atas kaca benda untuk

dibuat preparat dengan menggunakan pewarnaan asam laktat 90% dan Medium

Hoyers.

Pemeriksaan tungau dengan cara flotasi dilakukan dengan menimbang debu,

lalu debu disaring. Sebanyak 0,1 gram debu dimasukkan ke dalam tabung reaksi

lalu ditambahkan etil alkohol 80%, dikocok dan dibiarkan selama 24 jam.

Keesokan harinya supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung reaksi

dimasukkan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 ml dan dibiarkan selama 30 menit;

selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring di atas corong Buchner

dan disedot dengan vacuum pump sampai kertas saring kering. Kertas saring yang

telah kering diperiksa di bawah mikroskop stereoskopik. TDR yang tampak,

diambil dengan menggunakan jarum tungau lalu diletakkan di atas kaca benda

yang telah ditetesi larutan Hoyers kemudian ditutup dengan kaca tutup.

Pemeriksaaan tidak langsung dilakukan menurut metode Voorhorst, et al.7

Debu rumah disaring dengan saringan yang berdiameter 2,4 mm dan 0,075 mm

kemudian digoyang / disentrifuse selama 30 menit. Sisa debu yang tertinggal di

saringan 0,075 mm diambil dan dimasukkan ke dalam 150 ml asam laktat 90%,

lalu dipanaskan sampai mendidih selama 15 menit. Setelah dipanaskan tungau akan

berada di atas sedangkan partikel debu sisanya akan mengendap. Selanjutnya

supernatan dipusing lalau disaring dengan kertas saring. Kertas saring kemudian

dibiarkan kering lalu diamati di bawah mikroskop cahaya. Pemeriksaan tidak

langsung ini untuk menambah validitas penelitian sehingga tungau yang ada pada

waktu pemeriksaan langsung belum terangkat karena gerakannya yang cepat,

dengan teknik ini diharapkan dapat terangkat sehingga jumlah tungau yang

ditemukan dapat lebih banyak.

Cara lain adalah dengan meletakkan 0,05 gram sampel debu dalam 30 ml

larutan garam fisiologis yang ditambah 5 tetes detergen. Dengan cara tersebut debu

akan terpisah. Selanjutnya dilakukan teknik ultrasonik selama 20 menit. Suspensi

6

Page 7: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

dibilas dan disaring dengan saringan berukuran 45 mikron kemudian diwarnai

dengan kristal violet dan diperiksa di bawah mikroskop stereoskopik.

Pemeriksaan TDR juga dapat dilakukan dengan meletakkan debu pada kertas

DIN-A4 karena debu dapat menempel pada kertas tersebut. Kertas diperiksa pda

pagi dan sore hari dibawah sinar lampu. Tungau akan membuat bayangan pada

kertas tersebut.

Tes diagnostik lainnya yaitu dipstick tes glukosa (Acarex). Tes itu mendeteksi

feses TDR dengan cara membandingkan perubahan warna dari sampel.

1.7 TEKNIK MENGUKUR ALERGEN

Nilai alami pajanan terhahap inhalasi alergen sangat rendah, yaitu kurang dari

1 µm dan kira-kira 10 ng/m3 dari udara yang terinhalasi. Nilai alergen pada debu

lantai berkisar antara 10 ng sampai 200 µg/g dari debu. Terdapat beberapa macam

teknik untuk membandingkan potensi ekstrak alergen, yaitu melalui isolasi alergen

dan karakterisasi dengan menggunakan ekstrak encer alergen. Secara in vitro

teknik ini dapat menggantikan tes kulit karena dapat mengukur alergenisitas total

ekstrak alergen.

Inhibisi radioimmunoassay mengukur IgE spesifik dalam serum penderita yang

dicurigai mengidap alergi terhadap suatu alergen. Immunoblotting adalah teknik

pengukuran dengan cara memisahkan ekstrak alergen yang kemudian ditransfer ke

kertas nitroselulose. Ekstrak alergen akan bereaksi dengan IgE menghasilkan auto-

radiograf atau gambar berwarna. Immunoelectrophoresis digunakan dengan cara

memisahkan ekstrak alergen melalui elektroforesis gel yang diputar 90 derajat dan

ditambah dengan gel antiserum kelinci. Cara pengukuran lainnya yaitu kloning

alergen melalui teknik DNA rekombinan.

Sebagai hasil dari kemajuan di bidang alergi saat ini telah dapat diukur kadar

alergen TDR di dalam debu rumah. Diketahui bahwa kadar alergen Der. p I

(D. pteronyssinus I) dan atau Der f I (D. farinae I) sebesar 2 µg/g debu rumah telah

menimbulkan sensitisasi pada manusia, sedangkan kadar di atas 10 µg/g debu

rumah merupakan faktor resiko untuk mencetuskan serangan asma akut.

Selanjutnya beberapa penelitian menunjukkan bahwa makin tinggi kadar alergen

TDR debu rumah makin tinggi resiko terjadinya sensitisasi. Demikian pula makin

tinggi kadar alergen debu rumah, makin tinggi prevalensi asma.

Tersedianya fasilitas pengukuran kadar alergen debu rumah ini memungkinkan

penatalaksanaan penyakit alergi umumnya dan asma khususnya menjadi lebih

rasional. Pengukuran alergen debu rumah tidak saja untuk mengetahui sumber

alergen dari debu rumah, tetapi juga dapat memantau manfaat intervensi terhadap

penurunan kadar alergen bila dilakukan secara serial. Cara tersebut memungkinkan

7

Page 8: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

penilaian lingkungan hidup penderita dan menghindari alergen tersangka yang

secara potensial dapat menimbulkan gejala saluran napas.

1.8 PERAN ALERGEN TDR PADA ASMA

Asma menjadi masalah besar di seluruh dunia. Walaupun penyakit pernapasan

ini dapat mengenai seluruh kelompok umur, anak-anak merupakan kelompok yang

paling sering terkena. Data dari US National Health Interview Survey pada tahun

1981 memperlihatkan bahwa 3,2% anak-anak di bawah umur 18 tahun menderita

asma dan jumlahnya meningkat menjadi 4,3% pada tahun 1988. Jumlah

keseluruhan penderita asma di Amerika Serikat pada tahun 1998 diperkirakan

5,8%-7,2%. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 6-7%, dan reaksi sensitivitas

kulit terhadap TDR cukup tinggi yaitu 58-80%.

Walaupun selama 2 tahun pertama dari kehidupan tidak terdapat hubungan

antara sensitisasi alergen dengan asma, terdapat peningkatan jumlah anak-anak

dengan gejala mengi yang berhubungan dengan sensitisasi alergen yang terus

berlanjut sampai umur 7 tahun.

Asma dapat diinisiasi dan siprovokasi oleh alergen yang terdapat setiap harinya

di sekeliling kita. Pajanan alergen seperti TDR, kecoa, bulu kucing dan asap rokok

dianggap sebagai penyebab timbulnya gejala asma. Alergen utama yang

berhubungan dengan asma atopi adalah TDR.

Penelitian yang dilakukan oleh German Multi Centre Atopy (MAS)

menyebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara sensitisasi alergen kucing dan

tungau dengan mengi. Penelitian lain dari Wales, Inggris menyebutkan bahwa

pajanan alergen pada anak di bawah 5 tahun berhubungan dengan asma dan

meningkat secara signifikan pada umur 11 tahun. Penelitian lain yang dilakukan

oleh Sporik et al.11 pada 67 orang anak yang mempunyai riwayat atopi dalam

keluarga menunjukkan bahwa terdapat respons bermakna antara nilai den resiko

sensitisasi terhadap TDR. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bayi yang

terpajan alergen TDR dengan konsentrasi tinggi selama satu tahun pertama

kehidupannya mempunyai resiko lebih besar untuk berkembang menjadi asma

pada umur 11 tahun. Hubungan antara pajanan alergen dengan asma atopi

didukung oleh bukti bahwa menghindari pajanan atau kontrol lingkungan

merupakan penatalaksanaan asma yang efektif.

Peranan tungau terhadap alergi pada manusia pertama kali didokumentasikan

oleh Cooke dan Kern tahun 1920 yang menemukan bahwa debu dari tas

menghasilkan reaksi kulit positif pada penderita asma. Pada tahun 1967, Ishizaka

mengidentifikasikan IgE sebagai pembawa aktivitas reagenik dalam serum

penderita hay fever. Identifikasi terhadap peranan IgE menyebabkan

8

Page 9: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

berkembangnya cara pengukuran spesifik IgE dalam serum dan merangsang

penelitian tentang penyakit alergi.

Di Indonesia 90% penderita asma rentan terhadap debu rumah dan TDR.

Di Jepang penderita yang rentan tercatat 70%-80%. Di Australia, 90% anak-anak

penderita asma juga alergi terhadap TDR. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat

bahwa penderita asma umumnya mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap

TDR.

Alergi pada saluran pernapasan adalah manifestasi alergi terbanyak

dibandingkan dengan alergi lainnya. Pada uji kulit dengan menggunakan ektrak

TDR D. Pteronyssinus di Poli Alergi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit

Dr. Sutomo, Surabaya, Mahdi12 melaporkan bahwa 96,57% penderita asma

bronkial memberi hasil positif. Dengan menggunakan ekstrak yang sama

Baratawidjaja13 mendapatkan 66,81% uji kulit positif terhadap 60 penderita asma

dan rinitis alergi yang berobat di klinik alergi swasta. Penelitian uji kulit terhadap

penderita asma anak didapatkan 96,4% uji kulit positif terhadap anak-anak yang

berumur kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Pugeran Yogyakarta.

Penelitian Konthen yang dilakukan di desa Banyuatis, Bali terhadap anak-anak

berumur 6-20 tahun menunjukkan 50% uji kulit positif. Matondang14 mendapatkan

hasil uji kulit positif sebanyak 92,8% di RSCM.

Uji kulit positif terhadap tungau gudang lebih besar dari pada terhadap

D. pteronyssinus, sehingga dapat disimpulkan bahwa tungau gudang juga

merupakan alergen yang penting dalam debu rumah.

Uji kulit dengan alergen TDR, menunjukkan reaksi positif pada penderita asma

berkisar antara 58% sampai 90%. Di laboratorium uji provokasi bronkus dengan

TDR sering kali dilakukan untuk membuktikan hubungan sebab akibat alergen dan

asma. Pada penderita asma yang diprovokasi oleh alergen D. pteronyssinus terjadi

reaksi alergi fase cepat dan fase lambat. Dari 69 penderita asma anak yang

diprovokasi dengan alergen yang sama, reaksi alergi fase cepat terjadi pada

62 penderita (87%) dan fase lambat 52 penderita (73%). Setelah terjadi reaksi

alergi fase lambat, penderita akan menunjukkan reaktivitas bronkus untuk beberapa

hari sampai minggu. Dalam klinik peristiwa ini diartikan bahwa setelah serangan

akut, gejala asma bisa berlangsung beberapa hari sampai minggu. Gejala tersebut

bisa menjadi kronis bila hubungan dengan alergen tersangka yang berlangsung

terus menerus.

Penelitian di ruang gawat darurat menunjukkan bahwa penderita yang

mendapat serangan asma akut menunjukkan kadar serum IgE terhadap alergen

TDR yang jauh lebih tinggi dibandingkan kontrolnya, khususnya pada penderita

9

Page 10: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

asma kurang dari 50 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa alergen

inhalan merupakan faktor resiko terjadinya serangan asma akut.

Gangguan lain akibat sensitisasi terhadap TDR adalah rinitis alergi yang

merupakan alergi tipe I yang terlokalisasi di daerah hidung dan konjungtiva, yang

memberikan gejala sering bersin, hidung tersumbat, sekresi kelenjar hidung

berlebihan, mata panas dan berair. Penyebabnya adalah terjadi reaksi antibodi IgE

dengan antigen spesifik (alergen) pada permukaan sel mast di dalam mukosa

hidung. Reaksi tersebut menyebabkan dibebaskannya mediator kompleks inflamasi

yaitu histamin.

Diagnosis asma atopi ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, uji

kulit, pemeriksaan Ig total, RAST, jumlah eosinofil, uji provokasi dan spirometri.

Penatalaksanaan untuk asma atopi adalah mengurangi pajanan dan immunoterapi.

1.9 DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit pada bayi, anak dan

dewasa, yang berlangsung kronik dan berulang, ditandai rasa gatal pada tempat

predileksi tertentu. Gambaran klinis dermatitis atopik bervariasi sesuai dengan

usia.

Dermatitis atopik dibagi dalam 3 fase, yaitu fase infantil (<2 tahun), fase anak

(2-12 tahun), dan dewasa muda/dewasa (> 12 tahun). Dermatitis atopik fase anak

biasanya di daerah fleksor, terutama fosa kubiti dan fosa poplitea dengan distribusi

simetris. Pergelangan tangan, kaki dan leher dapat juga terkena. Pada kasus yang

berat, dermatitis atopik dapat mengenai sebagian besar tubuh.

Manifestasi dermatitis atopik adalah subakut dan cenderung kering. Lesi kulit

polimorfi berupa eritema, papul, erosi, ekskoriasi, dan krusta mirip dermatitis pada

umumnya. Beberapa faktor yang sering mencetuskan rasa gatal pada dermatitis

atopik adalah udara panas dan keringat, wol, emosi, makanan, alkohol, influenza,

dan alergen TDR (>35%).

Atopi adalah kelainan pada seseorang dengan keadaan hipersensitivitas yang

diturunkan secara genetik berupa kecenderungan untuk membentuk IgE dan

kerentanan untuk terjadinya beberapa penyakit, misalnya asma bronkial, rinitis

alergi, hay fever, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. Atopi biasanya

diidentifikasi melalui uji Prick pada kulit dengan menggunakan ekstrak dari

alergen. Peningkatan konsentrasi total IgE spesifik terhadap alergen juga dapat

ditemukan dalam contoh serum penderita yang atopi.

Atopi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan namun dasar genetik dari

atopi masih diperdebatkan. Penelitian terhadap orang kembar memperlihatkan

atopi lebih sering terjadi pada kembar identik daripada non-identik. Penelitian

10

Page 11: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

molekular memperlihatkan hubungan antara atopi dengan polimorfisme dari

reseptor IgE afinitas tinggi pada kromosom 11 g (FC∑RI-β) dan ikatan dengan

IL-4 cluster gen pada kromosom 5.9

Etiologi dermatitis atopik tergolong multifaktor dan kompleks. Dermatitis

atopik didasari oleh kelainan genetik, tetapi terjadinya penyakit dipengaruhi oleh

faktor lingkungan. Beberapa faktor yang ikut berperan pada mekanisme terjadinya

dermatitis antara lain faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Salah satu faktor

ekstrinsik adalah faktor lingkungan, dan faktor lingkungan yang sangat berperan

adalah alergen hirup misalnya TDR.

Faktor intrinsik mampu mempengaruhi ekspresi penurunan genetik sampai

tahap tertentu, sedangkan faktor lingkungan mempengaruhi ekspresi fenotip

dermatitis atopik misalnya iritan nonspesifik, allergen, infeksi, stress psikologis,

iklim dan geografi.

Alergen yang berpengaruh adalah zat kimia, mikroba, alergen hirup, dan

alergen makanan, namon alergen hirup yang bersumber dari TDR, merupakan

faktor lingkungan yang sangat berperan.

Sampai sekarang cara alergen hirup menimbulkan lesi dermatitis masih

diperdebatkan. Terdapat dua mekanisme alergen hirup untuk menimbulkan lesi

eksematosa.

Pertama, melalui kontak langsung Wit dengan alergen hirup melalui

mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV yang diperantai IgE. Hal itu dapat

terjadi karena pada lesi eksematosa terdapat kerusakan fungsi sawar kulit sehingga

memudahkan sensitisasi terhadap alergen hirup yang menempel di kulit diikuti

respons IgE spesifik terhadap alergen.

Pada dermatitis atopik alergen tungau diabsorbsi melalui kulit karena adanya

aktivitas keratolitik oleh enzim yang dikeluarkan tungau. Antigen tersebut

diproses oleh sel Langerhans epidermal yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen

terhadap limfosit pada dermis dan selanjutnya terjadi reaksi yang mirip

hipersensitivitas tipe IV. Alergen dapat menempel pada IgE yang terdapat pada

permukaan sel Langerhans melalui fragmen crystallizable receptor 1 (Fc-ER 1).

Selain itu kompleks alergen IgE yang sudah terbentuk dapat berikatan dengan Fc-

ER II atau cluster differentiation 23 (CD 23) yang juga terdapat pada permukaan

sel Langerhans. Pengaktivan Fc-(R I menyebabkan pelepasan mediator

proinflamasi dari sel Langerhans seperti yang terjadi pada sel mast dan basofil.

Aktivitasi Fc-ER I dan Fc-ER II memudahkan penyajian antigen pada sel T

sehingga sel T teraktivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T teraktivasi

adalah interleukin (IL)-4 dan IL-5, sedangkan interferon gama (IFN-δ) hanya

sedikit. Selanjutnya liinfosit B dirangsang aktivitasnya oleh IL-4 dan IL-5 akan

11

Page 12: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

bekerja mirip dengan eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECFA)

sehingga di tempat lesi, eosinofil terkumpul dan mengeluarkan protein toksik yang

dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Kedua, sewaktu alergen hirup menempel dan penetrasi ke dalam kulit, akan

mencapai IgE yang berikatan pada sel mast atau basofil, sehingga terjadi

pelepasan mediator yang dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat

(reaksi tipe I), yang dapat terjadi dalam waktu 15-60 menit, diikuti reaksi tipe

lambat yang terjadi 3-4 jam kemudian melalui inhalasi dengan mekanisme reaksi

hipersensitivitas tipe I yang berlanjut ke reaksi tipe lambat.

Alergen utama TDR adalah protease sistein (alergen grup 1, misalnya Der p I

dan Der, fl), nonglycosylated proteins (alergen grup 2, misalnya Der p II danDer f

II), protease serin (alergen grup 3), dan amilase (grup 4). Rekomendasi Lokakarya

Internasional tentang TDR yang pertama (tahun 1989) dan kedua (tahun 1992)

menyatakan bahwa pada penderita dermatitis atopik, densitas sebesar 100 TDR per

gram debu kasur setara dengan kadar. 2 µg Der p I per gram debu kasur. Jumlah

tersebut dianggap sebagai faktor risiko untuk sensitisasi dan timbulnya dermatitis

atopik. Kadar 10 µg Der p I per gram debu kasur setara dengan densitas 500 TDR

per gram, debu kasur, memudahkan timbulnya dermatitis atopik sebesar 5 kali

lipat.

Terdapat 2 fenomena yang membuat populasi tungau meningkat pada

dermatitis atopik. Pertama, kulit kering penderita dermatitis atopik akibat

peningkatan transepidermal water loss (TEWL). Kedua, penurunan komposisi

lemak skuama.

Meningkatnya TEWL pada penderita dermatitis atopik dapat. mempengaruhi

peningkatan kelembaban kasur, jika dibandingkan dengan kasur penderita non-

atopik. Konsentrasi lemak skuama penderita dermatitis atopik lebih rendah

dibandingkan orang yang non-atopik. Kadar lemak total yang tinggi pada skuama

orang sehat non-atopik dapat menghambat pertumbuhan tungau. Jumlah tungau

pada kasur penderita dermatitis atopik yang sensitif terhadap tungau lebih tinggi

daripada kontrol sehat nonatopi. Bila konsentrasi alergen pada kasur penderita

> 2 µglg debu merupakan risiko terjadinya sensitisasi.

Pada atopi perubahan sawar epidermis berhubungan dengan perubahan

metabolisme asam lemak esensial/essential fatty acid ( EFA ). Defisiensi aktivitas

d6-desaturase menyebabkan penurunan jumlah metabolit linoleat dan asam

linolenat. Asam linoleat dan asam linolenat merupakan EFA yang terdapat pada

kulit normal dan berfungsi sebagai sawar epidermis dan juga sebagai antimikroba.

12

Page 13: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

1.10 PENGHINDARAN DAN PEMBERANTASAN TDR

Untuk mencegah penyakit alergi cara terbaik adalah menghindari alergen

karena itu upaya untuk mengurangi pajanan debu rumah adalah metode yang

digunakan untuk mengurangi serangan asma. Murrayl7 melaporkan penghindaran

TDR dapat mengurangi gejala asma dan obat yang dipakai penderita asal saja

penghindaran TDR dilakukan secara agresif. Pada penderita rinitis, dermatitis

atopik dan asma atopi, menghindari pajanan alergen TDR dapat mengurangi

frekuensi serangan asma, hipereaktivitas bronkus dan kapasitas alergen untuk

memprovokasi asma.

Plat-Mills et al.18 mengisolasi penderita asma yang alergi terhadap TDR di

ruang rawat yang bebas TDR dan mendapatkan gejala asma penderita membaik

serta reaktivitas bronkusnya menurun. Upaya penghindaran juga berhasil baik

pada penderita dermatitis atopik yang alergi terhadap TDR. Menghindari pajanan

(avoidence) dan pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan cara:

1. Menjaga Kebersihan

Untuk menghindari TDR, rumah dibersihkan dari debu dengan cara disapu dan

dipel setiap hari dan perabot rumah dibersihkan dengan lap basah atau disedot

dengan penyedot debu. Jangan membersihkan rumah dengan kemoceng karena

debu tidak hilang tetapi justru beterbangan. Perabot kamar tidur harus

sesederhana mungkin. Hindarkan pemakaian karpet dan jangan menggunakan

beludru atau wol sebagai jok kursi dan sofa. Jangan meletakkan barang-barang

seperti pakaian, buku, tumpukan kertas, mainan, botol, dan lain-lain di atas

meja, kursi, dan sofa oleh karena debu mudah menempel pada barang tersebut.

Barang-barang itu sebaiknya disimpan di dalam lemari yang tertutup rapat.

Gorden dicuci sekurang-kurangnya setiap tiga bulan, AC diservis setiap enam

bulan dan kawat nyamuk dibersihkan setiap tiga bulan.

Manusia melewatkan waktunya paling banyak di dalam kamar tidur (biasanya

manusia tidur 6-8 jam sehari), maka kebersihan kamar tidur harus diperhatikan.

TDR mudah hidup dan berkembang biak di dalam kasur dan bantal yang berisi

kapuk, oleh karena itu sebaiknya kasur dan bantal diganti dengan yang terbuat

dari karet busa atau poliester. Jika hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka kasur

dan bantal yang berisi kapuk dibungkus dengan plastik atau karet sebelum

dibungkus seprei dan sarung bantal. Seprei dan sarung bantal diganti sekurang-

kurangnya seminggu sekali, sedangkan kasur, bantal, dan guling dijemur

seminggu sekali.

2. Memindahkan Penderita ke Daerah yang Lebih Tinggi

Upaya mengurangi pajanan alergen dengan memindahkan penderita ke daerah

yang lebih tinggi dan kelembaban rendah telah dilakukan di Davos, Swiss.

13

Page 14: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

Dengan upaya tersebut penderita asma mengalami perbaikan dan serangan

asma berkurang. Terdapat hubungan antara ketinggian suatu daerah dengan

populasi TDR. Makin tinggi suatu daerah, jumlah TDR makin sedikit, sehingga

kadar serum IgE penderita juga makin rendah.

Penelitian ini menyokong penelitian Kerrebijn yang melaporkan perbaikan

gejala maupun menurunnya reaktivitas bronkus penderita asma anak yang

menetap di Davos, Swiss selama 1 tahun.

3. Mengatur Kelembaban

Untuk mengurangi kelembaban rumah, ventilasi harus diperbaiki. Upayakan

agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dengan membuka jendela,

memasang genteng kaca atau fiberglass.

Pengurangan populasi TDR juga dapat dilakukan dengan menggunakan air

condition untuk mengurangi kelembaban udara. Mempertahankan kelembaban

di bawah 35% selama sedikitnya 2 jam perhari sampai 8 jam dapat

memperlambat pertumbuhan populasi TDR.

4. Penggunaan Zat Kimia

Akarisida seperti benzil benzoat, pirimifos metil, permetin, fenil salisilat adalah

zat kimia yang dapat membunuh tungau.

Benzil benzoat terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk serbuk dan bentuk busa.

Benzil benzoat (5%) serbuk dengan ukuran 200 mikron digunakan pada karpet

dan bahan-bahan tekstil yang dipakai sebagai alas lantai, sedangkan bentuk

busa (2.6%) digunakan untuk kasur, bahan tekstil yang halus, perabot rumah

tangga, dan mainan anak. Mortalitas tungau setelah dua bulan penggunaan

benzil benzoat adalah 100% tetapi setelah tiga bulan menurun menjadi 60%.

Fenil salisilat yang strukturnya sama dengan benzil benzoat ternyata lebih

efektif. Zat kimia lain adalah asam tanat yang dapat mengubah alergen dari

feses tungau menjadi lebih hidrofobik dan berkurang sifat alergeniknya.

1.11 PENGARUH PENJEMURAN KASUR TERHADAP POPULASI TDR

Bila pada penghindaran penderita dijauhkan dari TDR maka pada upaya

pemberantasan, TDR dimusnahkan. Beberapa cara yang dilakukan antara lain

dengan menggunakan zat kimia, pengaturan suhu dan kelembaban ruangan.

Namun demikian, harus diingat bahwa upaya pemberantasan dengan zat kimia

tersebut efektif untuk karpet, tetapi kurang efektif untuk kasur. Selain itu, pada

pemakaian jangka panjang dan berulang zat kimia bisa memberikan efek samping.

Demikian pula pengaturan suhu dan kelembaban ruangan memang dapat

mengurangi populasi TDR tetapi cara ini memerlukan banyak biaya sehingga tidak

dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut perlu

14

Page 15: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

dilakukan cara lain yang murah, efektif dan dapat dilakukan oleh seluruh

masyarakat antara lain dengan menjemur kasur.

Kasur kapuk adalah perabot rumahtangga yang perlu mendapat perhatian

khusus karena TDR paling banyak ditemukan pada kasur kapuk dan jenis kasur

yang paling banyak digunakan masyarakat di Indonesia, khususnya golongan

masyarakat menengah ke bawah adalah kasur kapuk.

Penelitian populasi TDR pada berbagai jenis kasur seperti kapuk, busa, dan

pegas menunjukkan kasur kapuk paling banyak mengandung TDR terutama

D. pteronyssinus dan D. farinae.

Dalam suatu survei pada awal tahun 1994 terhadap penderita yang berobat di

RS Dr. Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% memakai kasur kapuk sebagai alas

tidurnya. Sundaru et a1.20 meneliti 27 rumah penderita asma dan rinitis alergik

selama bulan Agustus - Oktober 1992 yang menggunakan 20 kasur kapuk,

17 kasur pegas, dan 23 kasur busa, ternyata populasi D. pteronyssinus dan

D. farinae paling tinggi (p < 0,01) pada kasur kapuk dibandingkan dengan kedua

jenis kasur lainnya. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa densitas

D. pteronyssinus dan D. farinae per gram debu kasur paling tinggi ada kasur

kapuk dan paling rendah pada kasur busa. Penelitian Sujudi 1 di daerah Jakarta

Timur mendapatkan dari seluruh subyek penelitian yang berjumlah 250 orang,

sebanyak 182 orang (72,4%) menggunakan kasur kapuk, 35 orang (14%)kasur

busa, dan 33 orang (13,2%) menggunakan kasur pegas. Berdasarkan wawancara

terhadap pengguna kasur kapuk, mereka menganggap kasur kapuk lebih nyaman

dan sejuk dibandingkan kasur busa tanpa memperhitungkan faktor harga antar

jenis kasur.

Pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan pemanasan habitat TDR. Apabila

tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 51°C dan kelembaban udara 60%

maka tungau akan mati. Karena-habitat utama TDR adalah kasur kapuk maka bila

kasur dipanaskan TDR akan mati.

Di Indonesia masyarakat mempunyai kebiasaan menjemur kasur sambil

dipukul-pukul karena dengan menjemur kasur sampai suhu di atas 32°C maka

kasur kapuk menjadi empuk kembali dan kering. Sinar matahari yang mengenai

permukaan kasur mengakibatkan kasur terpajan sinar matahari dengan suhu

permukaan rata-rata 60°C selama 4 jam pajanan. Selanjutnya suhu akan menurun

pada penjemuran jam ke-5 sampai jam ke-6 menjadi 56°C. Sifat konduksi

mengakibatkan suhu kasur bagian tengah mengalami kenaikan walaupun tidak

secepat bagian permukaan. Suhu rata-rata bagian tengah setelah 4 jam terpajan

oleh sinar matahari adalah 38°C dan suhu akan kembali turun menjadi 34°C

15

Page 16: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

setelah penjemuran jam ke-5 dan jam ke-6. Suhu kasur bagian bawah juga akan

naik dari 27°C menjadi rata-rata 32°C.

Untuk meningkatkan suhu dan meratakan penyebaran suhu kasur Manan

mengajukan konsep penambahan logam seng yang lebih luas dari pada ukuran

kasur yang diletakkan di bawah kasur. Dengan demikian, dari atas kasur kapuk

dipanasi secara langsung oleh sinar matahari, sedangkan pada saat yang sama dari

bawah kasur ada penjalaran panas dari seng. Tanpa seng bagian bawah kasur sulit

terpanasi, karena kapuk penghantar panas yang buruk.

Bila kasur dipanaskan, tungau dewasa maupun larva akan berusaha untuk

mencari tempat perlindungan dengan jalan menyelinap di antara serat-serat kapuk.

Demikiasi juga dengan penjemuran kasur yang dibalik-balik memungkinkan TDR

berpindah-pindah mencari tempat yang lebih dingin. Namun demikian stadium

telur tidak dapat bergerak dan tetap menerima pajanan sinar matahari sehingga

protein telur mengalami proses aglutinasi. Akibatnya telur akan rusak dan tidak

dapat menetas lagi. Sehubungan dengan hal tersebut bila kasur dijemur secara

teratur (seminggu sekali) maka tidak ada lagi TDR baru.

Kadar alergen TDR untuk sementara tidak akan turun karena baik TDR yang

hidup, mati maupun fesesnya tetap bersifat sebagai alergen dan alergen TDR tahan

terhadap pemanasan. Umur kasur menentukan lama tidaknya penurunan kadar

alergen TDR. Makin lama umur kasur makin banyak investasi TDR beserta

fesesnya yang masuk ke celah-celah di antara serat kapuk maupun

pembungkusnya, sehingga sukar diharapkan alergen ini akan terlepas. Namun

demikian, bila tidak ada TDR yang baru, maka karena perjalanan waktu derajat

alergenitas debu kasur juga akan menurun (Tabel 1.).

Untuk mengetahui pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR

Manan melakukan penelitian terhadap kasur kapuk dengan masa penggunaan 1, 2,

3 dan 4 tahun. Kasur tersebut dijemur selama 6 jam setelah itu dilakukan

pengumpulan debu kasur lalu debu kasur tersebut dianalisis. Hasilnya

menunjukkan bahwa kasur-kasur yang masa penggunaannya kurang dari l tahun

jarang dihuni TDR, sedangkan kasur yang masa penggunaannya 2-4 tahun sering

dihuni oleh TDR. Pada penggunaan kasur selama 2 tahun terjadi peningkatan

populasi TDR sebesar 19,87% %, 3 tahun sebesar 33,85% dan 4 tahun sebesar

46,27. Hal tersebut karena keadaan kasur kapuk yang umurnya kurang dari satu

tahun umumnya masih baik karena reaksi antara daki, keringat dan kapuk masih

ringan, sedangkan kasur yang berumur 4 tahun telah kumuh karena terjadi reaksi

antara daki, keringat dan kasur kapuk yang telah berlangsung lama.

16

Page 17: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

Tabel 1. Beberapa kemungkinan efek penjemuran kasur kapuk terhadap jumlah populasi dan kadar allergen dalam debu kasur5

KemungkinanSuhu Rata-rata KasurKapuk

TDR>= 51o C6 jam

>= 51o C< 6 jam

>25 - <51o C6 jam

>25 - <51o C< 6 jam

TDR dewasa

Hampir mati semua

Sebagian mati Sebagian kecil matiPertumbuhan terganggu

Sedikit sekali yang mati

Pertumbuhan (-)

Pertumbuhan terganggu

Rusak / mati Pertumbuhan terganggu

Telur Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian

Larva Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian besar

Rusak / mati sebagian

Nimfa Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian besar

Rusak / mati sebagian

*Jumlah TDR-Kadar Alergen2 minggu *sedikit

-tetap*berkurang-tetap

*berkurang-tetap

*tetap-tetap

3 bulan *sedikit-agak kurang

*berkurang-agak kurang

*berkurang-tetap

*agak kurang-tetap

6 bulan *sedikit-berkurang

*sangat kurang-berkurang

*berkurang-agak kurang

*berkurang-agak kurang

9 bulan *sedikit-rendah

*sangat kurang-sangat kurang

*sangat kurang-berkurang

*berkurang-berkurang

12 bulan *sedikit-rendah

*sangat kurang-sangat kurang

*sangat kurang-berkurang

*berkurang-berkurang

Keterangan: Agak berkurang: turun 10-25%Sanagt kurang : turun 50-75%

Berkurang : turun 25-50%Sedikit/rendah: turun> 75%

17

Page 18: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

BAB II

PENUTUP

TDR merupakan alergen hirup sebagai faktor pencetus timbulnya penyakit alergi

seperti dermatitis atopik, asma bronkial dan rinitis. Dengan mengetahui habitat dan siklus

hidup TDR diharapkan dapat dilakukan pemberantasan TDR sehingga penyakit alergi dapat

dicegah. Caraterbaik adalah menghindari TDR dengan menjaga kebersihan lingkungan dan

kebersihan perorangan terutama kebersihan kamar tidur. Selain itu, masyarakat perlu

diberikan penyuluhan mengenai peran TDR dalam penyakit alergi dan cara

pemberantasannya.

18

Page 19: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Dowse GK, Turner K.1, Stewart GA, Alpears MP, Woolcock AJ. The association between

Dermmatophogoides mites and the increasing prevalence of asthma in villages

communities within the Papua New Guinea highland. J Allergy Clin Immunot 1985;75:75-

83

2. Aulung A. Penyebaran TDR di wilayah kota Jakarta. Disajikan pada Simposium advanced

in the treatment of house dust mite allergy. Jakarta, 16 November 1991.

3. Aulung A. Aspek biologi dan ekologi CDR. Disampaikan dalam Simposium

penatalaksanaan penderita asma dengan perbaikan kondisi lingkungan. Jakarta, 21 Juli

1992.

4. Sundaru H, Nanang S, Karnen B, Aulung A. TDR pada tiga jenis kasur. KONAS

PERALMUNI III, Bandung 1993.

5. Manan W. Pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR (TDR). Tesis

magister program studi ilmu biomedik. Program pasca sarjana bidang ilmu kesehatan-

program studi ilmu biomedik kekhususan parasitologi. Jakarta, 1996.

6. Cuthbert OD, Brostoff.l, Wraith DG, Brightons WD. Barn allergy asthma and rhinitis due

to storage mites. Clin Aller 1979;9:229.

7. Voorhorst R, Spieksma FTHM, Varekamp H. House-dust atop), and the house-dust mite.

Leiden: Stafleu's scientific publishing company; 1969.

8. Spieckma F, Boezeman S. The mitefauna of house dust mite D. pteronyssinu.c.

Acarologica 1967;9:226.

9. Sujudi Y. Prevalensi dermatitis atopik anak dan populasi tungau debu rumah di Kelurahan

Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 2003.

10. Febriana R. House dust atopi. Bagian Pulmonologi, FKUI/RS Persahatan. 2002

11. Sporik R, Holgate ST, Platts-Mills TAE, Cogswell J.J. Exposure to house dust mite

allergen (Der p 1) and the development of asthma in childhood. N Eng J Med

1990;323:502-7.

12. Mahdi DH. Pemakaian D. pteronyssinus sebagai pendekatan tunggal guna pembuktian

atopi pada asma bronkial [disertasiJ. Surabaya: Universitas Airlangga; 1984

13. Baratawijaya K. Alergi debu rumah. Pengalaman di Jakarta. Dalam: Symposium Advances

in the Treatment of House Dust Mite Allergy. Jakarta 1990 hal 15-23

14. Matondang CS. Asma pada anak (gambaran klinik serta hasil uji kulit). Symposium

Advances in the Treatment of House Dust Mite Allergy. Jakarta, 1991.

15. Boediarja SA. Diagnosis dermatitis atopik pada bayi dan anak. Disampaikan dalam

Simposium mini dan lokakarya dermatitis atopik pada bayi dan anak. Jakarta, 27-28 Juli

1999.

19

Page 20: Isi Referat Tdr Tht - Revisi

16. Carawell F. House dust allergy. ACI international 1999;11:43-8

17. Murray AB, Fergusson AC. Dust free bedrooms in the treatment asthmatic children with

house dust or house dust mite allergy. A controlled trial. Pediatrics, 1983;71:418-22.

18. Platts-Mills Tae, Thomas WR, Aaberse RC et al. Dust Mite allergens and asthma: Report

of a second international workshop. J Allergy Clin Immunol 1992;89: "1046-60.

19. Kerrebijn KF. Endogeneus factors in childhood CNSLD. Methodological aspects in

population studies.Dalam: Orie NGM, Van der Lende R (eds). Bronchitis III. Proceeding

of third international symposium on bronchitis. Assen, Royal Vangorcum Publisher

1970;38-48.

20. Sundaru H, Nanang S. Epidemiologi asma di Indonesia. Maj Kes Mas Indon 1990;19:177-

81.

20