DAFTAR ISI · 2021. 1. 29. · i . DAFTAR ISI . Daftar Isi . Pendahuluan ; Kode Etik
Isi petidin
-
Upload
tia-arianti -
Category
Documents
-
view
413 -
download
10
description
Transcript of Isi petidin
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meperidine HCl (nama lainnya: Petidin) merupakan salah satu obat
penghilang rasa sakit golongan narkotik. Obat ini ditemukan pada tahun 1939,
oleh dua orang ilmuwan Jerman (Eisleb and Schaumann). Pada awal
kemunculannya obat ini juga digunakan untuk mengatasi otot yang kaku
(spasme). Tidak seperti morfin yang memang sudah ‘dibuat’ oleh alam,
meperidine dibuat secara sintentik. Secara rumus kimia, meperidine termasuk
dalam golongan obat yang hampir sama dengan metadon dan fentanil, dua jenis
penghilang nyeri yang sudah dikenal.1 Meperidine yang juga dikenal sebagai
petidin, secara kimia adalah etil-1-metil-4-fenilpiperidin-4-karbosilat.2 Petidin
(meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.3
Meperidin merupakan agonis reseptor yang menonjol, dan senyawa ini
memberikan kerja farmakologis utamanya pada SSP dan elemen persarafan di
usus. Meperidin menghasilkan suatu pola efek yang mirip tapi tidak identik
dengan pola efek morfin.5 Meperidine tidak boleh dikombinasikan dengan
penghambat monoamin oksidase karenan kemungkinan depresi atau eksitasi nafas
berat, delirium hiperpireksia (tidak sadar akibat panas tinggi), dan konvulsi.3
Penggunaan bersama dengan obat yang memiliki efek samping serupa
dikhawatirkan dapat mengakibatkan laju nafas lambat laun menurun kemudian
berhenti dan menimbulkan kematian jika tidak segera ditolong. Penurunan
1
tekanan darah serta gangguan pada sistem saraf pusat yang ditimbulkannya juga
berperan mengakibatkan kematian. Hal ini yang mungkin terjadi pada bintang
Michael Jackson. Pada tahun 1984, terjadi kematian seorang pelajar di New York
bernama Libby Zion akibat penggunaan meperidine bersamaan dengan obat
penenang. Kematiannya tersebut menjadi pembahasan serius, hingga terjadi
perubahan pada sistem pendidikan kedokteran. Peristiwa ini menjadi satu contoh
penggunaan meperidine HCl dengan obat penenang sangat berpotensi
mengakibatkan kematian.1
Menurut Dr. Pryambodho, SpAn-KIC, staf pengajar Departemen Anestesi
FKUI-RSCM, efek meperidine cukup kuat untuk menghilangkan nyeri, namun
efek sampingnya tidak sehebat morfin. Saat ini tersedia dalam bentuk tablet,
injeksi bahkan dalam bentuk sirup. Namun obat ini beredar di Indonesia hanya
dalam bentuk injeksi saja.1 Cara kerja obat ini mirip dengan morfin, yaitu pada
sistem saraf, mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja asetilkolin, senyawa
yang berperan terhadap munculnya rasa nyeri. Hambatan tersebut dilakukan pada
saraf pusat dan saraf tepi sehingga rasa nyeri yang terjadi di tubuh tidak terasa.
Efek kerja meperidine dirasakan setelah 15 menit obat dimasukkan dan dapat
bertahan dalam 2 hingga 4 jam.1
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat praanestestik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.2 Opiod
sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh morfin dengan awitan
yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek. Dibandingkan dengan
2
morfin, meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Meperidin mempunyai efek
vagolitik dan antispasmodik ringan.4
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini yaitu sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesi Rumah Sakit
Umum Daerah Cut Meutia.
3
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain
adalah morfin, petidin dan fentanil.5 Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat
sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek
klinik dan efek samping yang mendekati sama.3 Secara kimia petidin adalah etil-
1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.2 Meperidin merupakan agonis reseptor yang
menonjol, dan senyawa ini memberikan kerja farmakologis utamanya pada SSP
dan elemen persarafan di usus.5
Perbedaan dengan morfin sebagi berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
4
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa.
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.3
2.2 Indikasi
Indikasi penggunaannya ialah premedikasi, analgesia, pencegahan dan
pengobatan menggigil pasca bedah.4 Indikasinya juga sama dengan morfin yaitu
untuk nyeri sedang sampai berat akut/kronis, analgesia perioperatif, infark
miokard, udema paru-paru akut, diare akut, terapi paliatif.3
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik seperti sistoskopi,
pielografi retrograd, gastroskopi dan pneumoensefalografi. Pada bronskoskopi,
meperidin kurang cocok karena efek antitusifnya jauh lebih lemah daripada
morfin.2
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin. Tetapi
sebagai medikasi praanestestik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesik
opiod pada pasien yang tidak menderita nyeri.2
2.3 Farmakodinamik
5
Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin lain serupa satu
dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ. Obat lain
yang mirip dengan meperidin ialah piminodin, ketobemidon dan fenoperidin.2
Opiod sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh morfin
dengan awitan yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek.
Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik.
Meperidin mempunyai efek vagolitik dan antispasmodik ringan. Dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis terapeutik. Normeperidin, metabolit
aktifnya, merupakan stimulan otak dan terutama diekresikan dalam urin. Pada
pemberian meperidin yang lama dapat terjadi akumulasi (<3 hari). ,eperidin
menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan
intrakranial. Meperidin melintasi sawar plasenta dan dapat menimbulkan depresi
pada neonatus. Transfer plasenta maksimum dan depresi neonatus terjadi 2-3 jam
setelah pemberian parenteral. Pemberian meperidin spinal dan epidural
menimbulkan analgesia melalui pengikatan spesifik dan aktivasi, reseptor opiod
dalam substansia gelatinosa. Sekali sudah diaktivasi, reseptor opiod menghambat
pelepasan substansia P dari serat C aferen nosiseptif. Tidak seperti opiat lain,
meperidin mempunyai aktivitas anestetik lokal yang poten dan analgesia
epidural/spinal disertai dengan blokade sensorik, motorik, dan otonomik.
Meperidin tidak digunakan sebagai anestetik topikal karena adanya iritasi lokal.4
a. Susunan Saraf Pusat
6
Seperti morfin, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi , euforia, depresi
napas dan efek sentral lain.2
1. Analgesia
Efek analgetik meperidin serupa dengan afek analgetik morfin. Efek
analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai
puncak dalam 2 jam. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian
subkutan atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan
masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas meperidin 75-100 mg parenteral kurang lebih
sama dengan morfin 10 mg. Karena bioavailabilitas oral 40-60% maka efektivitas
sebagai analgesik bila diberikan per oral setengahnya daripada bila diberikan
parenteral.2
2. Sedasi, euforia dan eksitasi
Pada dosis ekui-analgetik, sedasi yang terlihat sama dengan sedasi pada
morfin. Pemberian meperiden kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas,
akan menimbulkan euforia. Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin
kadang-kadang menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot
dan konvulsi. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolitnya yaitu
normeperidin.2 Seperti halnya morfin, depresi pernapasan menyebabkan
akumulasi CO2, yang selanjutnya menyebabkan dilatasi serebrovaskular,
meningkatkan aliran darah serebral, dan meningkatkan tekanan cairan
serebrospinal.5
3. Saluran napas
7
Meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama
kuat dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM.
Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan
mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pola pons. Berbeda
dengan morfin, meperidin terutama menurunkan tidal volume, sedangkan
frekuensi napas kurang dipengaruhi. Sebaliknya, morfin terutama menimbulkan
penurunan frekuensi napas. Perubahan frekuensi napas lebih mudah dilihat
daripada perubahan tidal volume, sehingga, efek depresi napas oleh meperidin
tidak disadari. Depresi napas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalokson dan
antagonis opiod lain.2
4. Efek neural lain
Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea,
dengan akibat menghilangnya refleks kornea. Berbeda dengan morfin, meperidin
tidak mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti morfin dan
metadon, meperidin meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan
dasar timbulnya mual, muntah, dan pusing pada mereka yang berobat jalan.
Seperti morfin dan metadon, meperidin tidak berefek antikonvulsi. Meperidin
menyebabkan penglepasan ADH. Meperidin merangsang CTZ, sehingga
menimbulkan mual dan muntah.2
b. Sistem Kardiovaskular
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan
tidak mengubah gambaran EKG. Pasien berobat jalan mungkin menderita sinkop
8
disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika pasien
berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan meperidin IV karena terjadi
vasodilatasi perifer dan penglepasan histamin. Seperti morfin, meperidin dapat
menaikkan kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak
sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal.2
c. Otot Polos
1. Saluran cerna
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
daripada morfin. Kontraksi propulsif dan nonpropulsif saluran cerna berkurang,
tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti
morfin, kodein dan metadon, meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin lebih lemah daripada morfin, tetapi lebih kuat daripada kodein dalam
menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin tidak menimbulkan konstipasi
sekuat morfin, sehingga meperidin tidak berguna untuk pengobatan simtomatik
diare.2
2. Otot bronkus
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan
metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak mempengaruhi
otot bronkus normal. Dalam dosis dasar obat ini justru dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
3. Ureter
9
Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal
ini disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya ADH dan
berkurangnya laju filtrasi glomerulus.2
4. Uterus
Meperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas
uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidin, dan pada uterus yang
hiperaktif akibat oksitosin, meperidin meningkatkan tonus, menambah frekuensi
dan intensitas kontraksi uterus. Jika meperidin diberikan sebelum pemberian
oksitosin, obat ini tidak mengantagonis efek oksitosik. Dosis terapi meperidin
yang diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan
tidak mengubah kontraksi uterus. Meperidin tidak mengganggu kontraksi atau
involusi uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan.2
2.4 Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.
Akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar
puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai
sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar 50% obat
mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma
tercapai 1-2 jam. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma
menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung
dengan lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada manusia, meperidin
10
mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian
mengalami konjugasi. N-demetilasi menghasilkan normeperidin, yang kemudian
dihidrolisis menjadi asam normeperidinat dan seterusnya asam ini dikonjugasi
pula. Masa paruh meperidin ± 3 jam. Pada pasien sirosis, bioavailabilitas
meningkat sampai 80% dan masa paruh meperidin dan normeperidin memanjang.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari
satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.2
Secara rinci farmakokinetiknya dilihat sebagai berikut:
Awitan Aksi: PO 10-45 menit, IV < 1 menit, IM 1-5 menit,
epidural/spinal 2-12 menit.4
Efek Puncak: PO < 1 jam, 5-20 menit, IM 30-50 menit, epidural/spinal
30 menit.4
Lama Aksi: PO/IM/IV 2-4 jam, epidural/spinal 0,5-3 jam.4
Interaksi/toksisitas: kejang, mioklonus, delirium pada dosis tinggi
berulang dan pasien dengan gangguan ginjal/hati, mempotensiasi depresi SSP dan
sirkulasi dari narkotik, sedatif-hipnotik, anestestik volatil, antidepresi trisiklik,
reaksi berat, kadang-kadang fatal (hipertermia, hipertensi, kejang) dengan
inhibitor MAO, memperburuk efek samping isoniazid, campuran yang secara
kimiawi tidak kompatibel dengan barbiturat, analgesia ditingkatkan dan
diperpanjang oleh agonis alfa-2 (contohnya, klonidin), penambahan epinefrin
pada meperidin intratekal/epidural menimbulkan peningkatan efek samping
(contohnya, mual) dan perpanjangan blok motorik.4 Sebaiknya meperidin
digunakan pada nyeri berat, oral tidak dianjurkan, dan jangan digunakan pada
11
gagal ginjal, dapat menimbulkan tremor, mioklonus atau seizure (kejang)
penghambat MAO dapat menyebabkan dan/atau seizure (kejang) atau gejala
overdosis opiod.3
Absorpsi, Nasib dan Eksresi : Meperidin diabsorpsi melalui semua rute
pemberian, tetapi laju absorpsinya kemungkinan tidak menentu setelah injeksi
intramuskular.5
2.5 Interaksi dengan Obat Lain
Reaksi parah dapat terjadi setelah pemberian meperidin pada pasien yang
juga mendapat pengobatan dengan inhibitor MAO. Dua tipe interaksi dasar dapat
diamati. Yang paling menonjol adalah reaksi eksitasi yang disertai dengan
delirium, hipertemia, sakit kepala, hipertensi atau hipotensi, kekakuan, konvulsi,
koma, dan kematian. Reaksi ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan
meperidin memblok ambilan kembali serotonin neuronal dan overaktivitas
serotoninergik yang diakibatkannya. Oleh karena itu, meperidin dan senyawa
yang sejenis tidak boleh digunakan pada pasien yang sedang menggunakan
inhibitor MAO. Dekstrometorfan juga menghambat ambilan serotonin neuronal
dan harus dihindari pada pasien ini. Tramadol menghambat ambilan norepinefrin
dan serotonin dan tidak boleh digunakan secara bersamaan dengan inhibitor
MAO. Interaksi yang mirip dengan opiod yang lain yang saat ini digunakan belum
teramati secara klinis. Tipe interaksi lain, potensiasi efek opiod akibat
penghambatan enzim mikrosomal hepatik, dapat pula teramati pada pasien yang
sedang menggunakan inhibitor MAO, sehingga perlu pengurangan dosis opiod.5
12
Klorpromazin meningkatkan efek depresan pernapasan meperidin, seperti
halnya antidepresan trisiklik, tetapi tidak berlaku untuk diazepam. Pemberian
bersamaan dengan obat lain seperti prometazin atau klorpromazin juga dapat
sangat meningkatkan sedasi yang diinduksi meperidin tanpa memperlambat
bersihan obat. Pengobatan dengan fenobarbital atau fenitoin meningkatkan
bersihan sistemik dan menurunkan ketersediaan hayati oral meperidin, ini terkait
dengan peningkatan konsentrasi normeperidin dalam plasma. Seprti halnya
morfin, pemberian bersamaan dnegan amfetamin telah dilaporkan meningkatkan
efek analgesik meperidin dan senyawa yang sejenis, namun melawan efek
sedasinya.5
1. Antikoagulan: dekstropropoksifen dapat meningkatkan efek antikoagulan dari
kumarin, tradamol dapat meningkatkan efek antikoagulan dari kumarin.3
2. Antidepresan: kadar plasma metadon mungkin ditingkatkan oleh
fluvoksamin, mungkin meningkatkan efek serotonergik jika petidin atau
tramadol diberikan bersama dulosektin, mungkin dapat menyebabkan eksitasi
atau depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika analgesik opiod diberikan
bersama dengan penghambat MAO, hindari digunakan bersama dan sampai 2
minggu setelah berhenti menggunakan penghambat MAO, eksitasi atau
depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika petidin diberikan bersama dengan
penghambat MAO, hindari digunakan bersama dan sampai 2 minggu setelah
berhenti menggunakan penghambat MAO, mungkin dapat menyebabkan
eksitasi atau depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika analgesik opiod
diberikan bersama moklobemid, hindari digunakan bersama, meningkatkan
13
risiko toksisitas SSP jika tramadol diberikan bersama dengan SSRI atau
trisiklik, efek sedatif mungkin meningkat jika analgesik opiod digunakan
bersama dengan trisiklik.3
3. Antifungi: metabolisme buprenorfin dihambat oleh ketokonazol (turunkan
dosis buprenorfin), metabolisme alfentanil dihambat oleh flukonazol (risiko
depresi nafas lebih lama atau tertunda), metabolisme alfentanil mungkin
dihambat oleh itrakonazol, kadar plasma metadon ditingkatkan oleh
vorikonazol (turunkan dosis metadon).3
4. Antivirus: kadar plasma metadon mungkin diturunkan oleh abakavir dan
nevirapin, kadar plasma metadon diturunkan oleh amprenavir, efavirens,
nelfinavir dan ritonavir, kadar plasma dekstropropoksifen ditingkatkan oleh
ritonavir (risiko toksisitas), hindari pemakaian bersamaan, kadar plasma
analgesik opiod (kecuali metadon) mungkin ditingkatkan oleh ritonavir, kadar
plasma petidin diturunkan oleh ritonavir, tetapi kadar plasma toksik dari
metabolit petidin meningkat (hindari penggunaan bersamaan), kadar plasma
fentanil ditingkatkan oleh ritonavir, metadon mungkin meningkatkan kadar
plasma zidovudin.3
5. Atomoksetin: meningkatkan risiko aritmia ventrikuler jika metadon diberikan
bersama dengan atomoksetin.3
6. Dopaminergik: hindari pemakaian dekstrometorfan bersama dengan rasagilin,
risiko toksisitas SSP jika petidin diberikan bersama dengan rasagilin (hindari
petidin selama 2 minggu setelah penggunaan rasagilin), produsen selegilin
menganjurkan mewaspadai pemakaian bersamaan dengan tramadol,
14
hiperpireksia dan toksisitas SSP dilaporkan saat petidin dipakai bersama
dengan selegilin (hindari penggunaan bersamaan).3
7. Memantin: meningkatkan risko toksisitas SSP jika dekstrometorfan diberikan
bersama dengan memantin (produsen mematin) menganjurkan untuk
dihindari pemakaian bersamaan).3
8. Sodium oksibat: analgesik opiod meningkatkan efek sodium oksibat (hindari
penggunan bersamaan).3
2.6 Pedoman/Peringatan
1. Penyebab dari reaksi berat dan kadang-kadang fatal pada pasien yang
mendapat inhibitor MAO. Obati dengan hidrokortison IV. Gunakan
klorpromazin IV untuk mengobati hipertensi penyerta.4
2. Jangan gunakan dalam dosis tinggi untuk anestesia.4
3. Gunakan hati-hati pada pasien dengan asma, penyakit paru obstruktif kronis,
peningkatan tekanan intrakranial, dan takikardia supraventrikuler.4
4. Kurangi dosis pada pasien manula, hipovolemik, dan pasien bedah berisiko
tinggi dan penggunaan bersama dari sedatif dan narkotik lainnya.4
5. Nalokson antagonis narkotik merupakan suatu antidot spesifik (IV 0,2 – 0,4)
atau lebih tinggi). Reversi dari efek narkotik dapat menyebabkan awitan nyeri
dan pelepasan katekolamin. Lamanya reversi dapat lebih pendek dibanding
lamanya efek narkotik. Nalokson dapat mencetuskan kejang, khususnya pada
pasien yang mendapatkan meperidin.4
6. Meperidin melintasi sawar plasenta, dan penggunaan pada persalinan dapat
menimbulkan depresi pernapasan pada neonatus. Kemungkinan diperlukan
15
resusitasi, sediakan nalokson.4 Fraksi obat yang terikat pada protein lebih
rendah pada janin, dengan demikian konsentrasi obat bebas dapat jauh lebih
tinggi dibandingkan pada ibu. Walaupun demikian, meperidin menyebabkan
lebih sedikit depresi pernapasan pada bayi baru lahir dibanding yang
disebabkan morfin atau metadon dengan dosis analgesik yang setara.5
7. Efek samping yang tidak diinginkan dari meperidin epidural, kaudal, atau
intratekal meliputi depresi pernapasan yang tertunda (hingga 8 jam setelah
dosis tunggal), pruritus, mual, dan muntah, dan retensi urin. Nalokson (IV
0,2- 0, 4 mg prn atau infus 5-10 µg/kg/jam) efektif untuk profilaksis dan/atau
pengobatan efek samping ini. Bantuan ventilasi untuk depresi pernapasan
harus tersedia. Antihisitamin (contohnya difenhidramin 12,5 – 25 mg IV/IM
setiap 6 jam prn) dapat digunakan dalam mengobati pruritus. Metoklopramid
(10 mg IV setiap 6 jam) dapat digunakan dalam mengobati mual dan muntah.
Retensi urin yang tidak memberikan respons terhadap nalokson kemungkinan
memerlukan kateter kandung kemih “in and out”. 4
8. Jika pasien menderita septikemia, infeksi pada tempat suntikan, atau
koagulopati meperidin epidural, kaudal atau intratekal harus dihindari.4
9. Peringatan pada penderita hipotensi, hipotiroidisme, asma ( hindari selama
serangan) dan penurunan fungsi pernapasan, pembesaran prostat, dapat
menyebabkan koma pada gangguan hepar (turunkan dosis atau hindari, tetapi
beberapa pasien dengan kondisi tersebut dapat mentoleransinya dengan baik),
turunkan dosis atau hindari pada gangguan ginjal, lansia dan gangguan
(turunkan dosis), penyakit kejang/konvulsif, penggunaan pereda batuk yang
16
mengandung analgesik opiod tidak dianjurkan pada anak-anak dan sama
sekali harus dihindari pada anak < 1 tahun.3
2.7 Efek Samping, Kontraindikasi, dan Intoksikasi
Efek samping meperidin dan derivet fenilpiperidin yang ringan berupa
pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Pada pasien berobat
jalan reaksi ini timbul lebih sering dan lebih berat. Obstipasi dan retensi urin tidak
begitu sering timbul sperti pada morfin tetapi efek sedasinya sebanding morfin.
Pasien yang mual dan muntah pada pemberian morfin mungkin tidak mengalami
hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidin, hal yang sebaliknya juga dapat
terjadi.2 Reaksi efek samping utama pada kardiovaskular yaitu hipotensi, henti
jantung, pada pulmoner yaitu depresi pernapasan, henti napas, laringospasme,
pada SSP yaitu euforia, disforia, kejang, ketergantungan psikis, pada GI ialah
konstipasi, spasme traktus biliaris, pada muskuloskletal yaitu kekakuan dinding
dada, dan jika terjadi alegik maka timbul urtikaria dan pruritus.4
Kontrainidikasi penggunaan meperidin menyerupai terhadap morfin dan
opoid lain.2
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena
terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu
dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain
penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor pemberian
meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.2
17
Takar lajak meperidin dapat mengakibatkan timbulnya tremor dan
konvulsi bahkan juga depresi napas, koma dan kematian. Depresi napas oleh
meperidin dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada pecandu meperidin
yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidin dalam dosis besar dapat
menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis, refleks hiperaktif dan konvulsi.
Efek perangsangan SSP tersebut disebabkan oleh akumulasi metabolit aktifnya
yaitu normeperidin pada penggunaan jangka panjang, terutama pada pasien
gangguan fungsi ginjal atau anemia bulan sabit. Beratnya gejala perangsangan
SSP nampaknya sebanding baik dengan kadar absolut normeperidin maupun rasio
normeperidin terhadap meperidin. Nalokson dapat mencetuskan konvulsi pada
pasien yang mendapat dosis besar meperidin secara berulang. Bila terjadi gejala
perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opiod lain
(misal morfin) untuk mengatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan
benzodiazepan bila diperlukan. Nalorfin mengadakan anatgonisme terhadap efek
depresi tetapi tidak terhadap efek stimulasi meperin.2
2.8 Sediaan
1. Dosis
Analgesia: PO/IM/SK, 50-150 mg (1-3 mg/kg), IV lambat, 25-100 mg (0,5
– 2 mg/kg). Epidural: bolus, 50-100 mg (1-2 mg/kg). Encerkan dalam 10 ml
(bebas pengawet) NS atau anestestik lokal, infus, 10-20 mg/jam (0,2-0,4
mg/kg/jam). Spinal: bolus 10-20 mg (0,2-1 mg/kg). Gunakan larutan 5% bebas
pengawet (50 mg/ml), infus 5-10 mg/jam (0,1-0,2 mg/kg/jam).4
18
Analgesia terkontrol-pasien: IV ; bolus 5-30 mg (0,1-0,6 mg/kg/jam), infus
5-40 mg/jam (0,1-0,8 mg/kg/jam), interval lockout 5-15 menit. Epidural; bolus 5-
30mmg (0,1-0,6 mg/kg/jam), infus 5-10 mg/jam (0,1-0,2 mg/kg/jam), interval
lockout 5-15 menit.4
Pencegahan/pengobatan menggigil: IV/IM 25-75 mg (0,5-2 mg/kg).4
Dosis maksimum yang dianjurkan: 1 g/hari (20 mg/kg.hari). Kadar
meperidin serum (normal, < 0,55 µg/ml) dan kadar normeperidin serum (normal,
< 0,5 µg/ml) pada dosis yang lebih tinggi harus di monitor.4
2. Kemasan
Suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. Tablet 50
mg, 100 mg. Larutan oral 50 mg/5 ml.4
3. Penyimpanan
Suntikan: suhu kamar (15°-30° C). Lindungi dari cahaya. Tablet : suhu
kamar (15°-30° C). Larutan: suhu di bawah 40° C. Lindungi dari pembekuan.4
4. Pengenceran untuk infus
IV 100 mg dalam 50 ml D5W atau NS (2 mg/ml), infus epidural 100-500
mg dalam 50 ml anestestik lokal atau NS (bebas-pengawet) (2-10 mg/ml).4
19
BAB 3KESIMPULAN
Meperidine HCl (nama lainnya: Petidin) merupakan salah satu obat
penghilang rasa sakit golongan narkotik. Obat ini ditemukan pada tahun 1939,
oleh dua orang ilmuwan Jerman (Eisleb and Schaumann). Pada awal
kemunculannya obat ini juga digunakan untuk mengatasi otot yang kaku
(spasme). Tidak seperti morfin yang memang sudah ‘dibuat’ oleh alam,
meperidine dibuat secara sintentik. Secara rumus kimia, meperidine termasuk
dalam golongan obat yang hampir sama dengan metadon dan fentanil, dua jenis
penghilang nyeri yang sudah dikenal. Meperidine yang juga dikenal sebagai
petidin, secara kimia adalah etil-1-metil-4-fenilpiperidin-4-karbosilat. Petidin
(meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
1 ml = 50 mg yang diencerkan menjadi 10 mg/ml. Metabolisme di hati
norpetidin stimulan SSP eliminasi di ginjal. Akumulasi metabolit aktif pada
infusiensi ginjal/dosis berulang, reaksi intoksikasi: halusinasi, mioklonus, kejang
umum (norpetidin). Paruh waktu ß: 192 menit. Kemampuan analgetik 0,1
(Morfin=1). Dosis 0,1-0,5 mg i.v (dewasa 10-5 mg). Efek maksimum dalam 15
menit setelah pemberian i.v. Lama kerja setelah pemberian bolus: 2-3 jam.
Reduksi ‘shivering’ pasca-operasi sebagai efek samping. Hati-hati karena sindrom
serotonin, penggunaan obat ini dikontraindikasikan pada terapi dengan inhibitor
MAO, hati-hati pada epilepsi. Reaksi alergi, inotropik negatif.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal Web IDI Jembrana Vol 113 tanggal 30 November 2010:http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=8 ( Online).
2. Gunawan, S. G., Rianto, S. N., Elysabeth., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Sukandar, E. Y., Retnosari, A., Joseph, I.S., I Ketut, A., A. Adji, P. S., Kusnandar., 2008. ISO Farmakoterapi, Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
4. Omogui, sota., 2012. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia Ed. 2. Jakarta: EGC.
5. Goodman dan Gilman., 2008. Dasar Farmakologi Terapi Ed 10 Volume 1. Jakarta: EGC.
6. Wrobel, Marc., 2012. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.
21