Isi Paper Hts (Repaired)
-
Upload
eva-harunouzumaki-simbolon -
Category
Documents
-
view
37 -
download
4
Transcript of Isi Paper Hts (Repaired)
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Amblyopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi
koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat
dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan
posterior.1
Klasifikasi amblyopia dibagi menjadi beberapa kategori dengan nama yang
sesuai dengan penyebabnya yaitu amblyopia strabismik, fiksasi eksentrik, amblyopia
anisometropik, amblyopia isometropia dan amblyopia deprivasi.1
Amblyopia, dikenal juga dengan istilah “mata malas” (lazy eye), adalah masalah
dalam penglihatan yang mengenai 2-3% populasi, tapi bila dibiar-biarkan, akan
sangat merugikan bagi kehidupan penderita nantinya. Amblyopia tidak dapat sembuh
dengan sendirinya dan amblyopia yang tidak diterapi dapat menyebabkan gangguan
penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang baik itu timbul suatu penyakit
ataupun trauma, maka penderita akan bergantung pada penglihatan buruk mata yang
amblyopia, oleh karena itu amblyopia harus ditatalaksana secepat mungkin.2
Hampir seluruh amblyopia itu dapat dicegah dan bersifat reversibel dengan
deteksi dini dan intervensi yang tepat.2,3 Anak dengan amblyopia atau yang beresiko
amblyopia hendaknya dapat diidentifikasi pada umur dini, dimana prognosis
keberhasilan terapi akan lebih baik.1
1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan paper Amblyopia ini adalah:
Menambah pengetahuan pembaca mengenai Amblyopia atau yang dikenal dengan
nama “Mata Malas” oleh orang awam.
Memberikan informasi bagi orang tua untuk mengetahui gejala dan tanda tanda
dini anak yang menderita amblyopia.
Menambah pengetahuan para petugas kesehatan mengenai penyakit Amblyopia.
1
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
1. American Academy of Ophthalmology; Pediatric Ophthalmology and Strabismus: Chapter 5 : Amblyopia; Section 6; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005; p.67 – 73.
2. Lee,J; Bailey,G; Thompson, V; “ Amblyopia (Lazy Eye)”. Available at :http://www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
3. Yen, K.G ; Amblyopia. Available at:http://www.emedicine.com/OPH/topic316.htm
4. Prof. dr. Wasisdi Gunawan, Sp.M (K); Gangguan Penglihatan Pada Anak karena Ambliopia dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. 2007. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universtas Gajah Mada.
5. Abraham M. Rudolph, Julien I.E Hoffman, Collin D.Rudolph,. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol.III. Alih Bahasa, A.Samik Wahab.2006. Jakarta: ECG.
6. Attebo K, Mitchell P, Cumming R, Smith W, Jolly N, Sparkes N. 2000. Prevalence and causes of ambliopia in adult population. Ophthalmologi. 105 : 1154-9.
7. Harley, Robinson, Nelson Leonard B, Olitsky Scott E . 2005. Pediatric Opthalmology Harley. Edisi 5. United States of America. Library of Conggress.
8. American Academy of Ophthalmology ; International Ophthalmology; Chapter 10: Amblyopia; Section 13; Basic and Clinical Science Course; 2004 – 2005; p111-119.
9. Amblyopia : Treat “Lazy Eye” in early childhood. Available at:http://www.eyesite.ca/english/public-information/eyeconditions/ pdfs/amblyopia.pdf#search=’amblyopia
10. Greenwald, M.J; Parks, M.M; in Duane’s Clinical Ophthalmology; Volume 1; Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins; 2004; Chapter 10 – p.1-19; Chapter 11 p1-8
11. Henkind, P; Priest, R.S; Schiller, G; Compendium of Ophthalmolgy; J.B.Lippincott Company; Philadelphia and Toronto; 1983; p 78-93
12. Noorden,G.K.V; Atlas Strabismus; Edisi 4; EGC; Jakarta; 1988; p78-93
13. Ciufrfreda, K.J; Levi,D.M ; Selenow, A ; Amblyopia Basic and Clinical Aspects,Butterworth Heinemann; 1991
14. Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5th Edition; Lippincott
Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p 344-346
2
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
3
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Amblyopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi koreksi
yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat dihubungkan
langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan posterior.1
Amblyopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia
(penglihatan). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau “mata malas”.4
Amblyopia adalah berkurangnya visus atau tajam penglihatan unilateral atau
bilateral walaupun sudah dengan koreksi terbaik tanpa ditemukannya kelainan struktur
pada mata atau lintasan visual bagian belakang. Hal ini merupakan akibat pengalaman
visual yang abnormal pada masa lalu (masa perkembangan visual) yang penyebabnya
adalah strabismus atau mata juling, anisometropia atau bilateral ametrop yang tinggi serta
amblyopia exanopsia.4 Amblyopia hanya dapat terjadi selama tahun-tahun pertama
kehidupan, saat sistem penglihatan memiliki plastisitas yang paling besar.5
2.2. Epidemiologi
Prevalensi di berbagai belahan dunia bervariasi sesuai tajam penglihatan yang
digunakan. Prevalensi ambliopia pada populasi usia diatas 5,5 tahun dengan batasan tajam
penglihatan dengan koreksi terbaik 6/9 ditemukan berkisar antara 0,14-3,14%, dengan
batasan tajam penglihatan 6/12 berkisar antara 0,35-2,9% dan dengan batasan tajam
penglihatan 6/18 berkisar antara 1,13-2%. Data prevalensi ambliopia pada anak Indonesia
masih belum ada.6
Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit ditaksir dan berbeda pada tiap literatur,
berkisar antara 1–3,5% pada anak yang sehat sampai 4-5,3% pada anak yang mempunyai
masalah pada mata. Hampir seluruh data mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan
populasi menderita ambliopia. Di China, menurut data bulan Desember tahun 2005, sekitar
3-5% atau 9 hingga 5 juta anak menderita ambliopia.2
Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada murid-murid kelas I SD di Kotamadya
Bandung pada tahun1989 adalah sebesar 1,56%. Pada tahun 2002 hasil penelitian
mengenai ambliopia di Yogyakarta didapatkan insidensi ambliopia pada anak-anak SD di
4
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
perkotaan adalah sebesar 0,25%, sedagkan di daerah pedesaan sebesar 0,20%. Penyebab
ambliopia terbanyak pada studi tersebut adalah anisometropia yaitu sebesar 44,4%.
Sedangkan penelitian tentang ambilopia pada 54.260 anak SD di 13 kecamatan di DIY
pada tahun 2005 dengan kriteria ambliopia yaitu visus dengan koreksi terbaik ≤ 20/30 dan
terdapat paling sedikit perbedaan 2 baris Optotipe Snellen antara mata kanan dan kiri,
menggunakan teknik crowding phenomenon, neutral density filter dan tidak ditemukannya
kelainan organik ternyata hanya menemukan prevalensi ambliopia sebesar 0,35%.4
Jenis kelamin dan ras tampaknya tidak ada perbedaan. Usia terjadinya ambliopia
yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko meningkat pada anak yang
perkembangannya terlambat, prematur, dan atau dijumpai adanya riwayat keluarga
ambliopia.2
2.3. Faktor Resiko
2.3.1. Faktor ambliogenik
1. Mata yang berdeviasi (deviated eye) sampai usia sekitar 6 tahun, akan
menyebabkan ambliopia strabismus. Umumnya deviasi yang terjadi bersifat
konstan dan non alternating. Ini adalah mekanisme adaptasi untuk
mengatasi kebingungan visual (visual confusion; bayangan yang tidak sama
tumpang tindih) dan diplolpia (bayangan identik yang tumpang tindih).7
2. Perbedaan kelainan refraksi antara kedua mata akan menyebabkan
ambliopia anisometropia. Menurut Sloane 2002, anisometropia dibagi
menjadi tiga yaitu, anisometropia kecil dengan beda refraksi lebih kecil dari
1,5 D, anisometropia sedang dengan beda refraksi 1,5- 3 D, dan
anisometropia berat dengan beda refraksi lebih dari 3 D. Perbedaan
bayangan pada masing-masing mata akan mengakibatkan interaksi kortikal
abnormal, inhibisi bayangan retina dan berakhir menjadi ambliopia.
Berbeda dengan ambliopia stabismus ambliopia anisometropia dapat timbul
dan pulih sampai usia 10 tahun atau mungkin lebih. 7
3. Mata dengan bayangan retina yang kurang jelas (defocused eye) akan
menyebabkan ambliopia isoametropia. Ambliopia isoametropia terjadi
akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi dan hampir sama besar pada
5
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
kedua mata. Umumnya batasan besar sferis maupun SE yang digunakan
adalah ≥ +3D pada hipermetropia dan ≥ -6 D pada miopia, sedangkan
batasan astigmat umumnya ≥ 2,5 D. Ini adalah bentuk ambliopia bilateral
yang tidak lazim yang disebabkan oleh kesalahan refraksi yang besar,
biasanya hiperopia lebih dari 5 dioptri. Anak gagal melakukan akomodasi
penuh dan memperoleh bayangan yang jelas karena gejala astenopik yang
ditimbulkan oleh akomodasi kontinu. Anak akhirnya terbiasa dengan
bayangan retina yang sedikit kabur, dan korteks penglihatan gagal
mnegmbangkan potensi untuk menerima ketajaman resolusi yang tinggi.
Masalah yang serupa terjadi pada astigmatisme yang lebih dari 3 dioptri. 7
4. Mata dengan deprivasi (deprived eye) akan menyebabkan ambliopia
deprivasi. Bayangan obyek di retina kedua mata yang kurang jelas akibat
kelainan kongenital maupun didapat dini (early acquired) akan
mengakibatkan kurangnya stimulasi foveal yang adekuat dan berakhir
menjadi ambliopia. Sumbu penglihatan harus dibersihkan dan citra retina
terbentuk pada usia 6 bulan untuk mencegh ambliopia tipe ini menjadi
permanen. 7
2.3.2. Faktor Internal dan Eksternal
1. Faktor internal, dimana secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya
ambliopia meliputi faktor pendidikan, pengetahuan, dan perilaku (P&P)
orang tua dan terutama status ekonomi keluarga berpengaruh terhadap
tingkat prevalensi ambliopia.
2. Faktor eksternal, meliputi faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan mata,
dan faktor terlaksananya program Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Kelemahan sistem pelayanan kesehatan mata di Indonesia yang telah
diidentifikasi saat ini adalah belum tertatanya sistem pelayanan kesehatan
indera penglihatan yang komprehensif, termasuk belum terlaksananya
program rutin skrinning gangguan penglihatan pada anak usia pra sekolah,
anak usia sekolah maupun sekolah dasar (SD). Tenaga kesehatan terkait
6
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
dirasakan masih kurang dalam hal kompetensi dan jumlah penduduk yang
harus dilayani serta belum terdistribusi secara merata.
2.4. Patofisiologi
Pada amblyopia didapati adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan daerah
penglihatan perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi eksperimental pada binatang
serta studi klinis pada bayi dan balita, mendukung konsep adanya suatu periode kritis yang
peka dalam berkembangnya keadaan amblyopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan sistem penglihatan anak yang peka terhadap masukan abnormal yang
diakibatkan oleh rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi yang signifikan.
Secara umum, periode kritis untuk amblyopia deprivasi terjadi lebih cepat dibanding
strabismus maupun anisometropia. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya
amblyopia ketika periode kritis lebih singkat pada rangsang deprivasi dibandingkan
strabismus ataupun anisompetropia.1
Periode kritis tersebut adalah:
1. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hinga 20/20 (6/6), yaitu pada
saat lahir sampai usia 3 – 5 tahun.
2. Periode yang beresiko (sangat) tinggi untuk terjadinya amblyopia deprivasi, yaitu
di usia beberapa bulan hingga usia 7 – 8 tahun.
3. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu sejak terjadinya
deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia dewasa.3
Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab amblyopia masih sangat belum
jelas, studi eksperimental modifikasi pengalaman dalam melihat pada binatang dan
percobaan laboratorium pada manusia dengan amblyopia telah memberi beberapa
masukan, pada binatang percobaan menunjukkan gangguan sistem penglihatan fungsi
neuron yang dalam/besar yang diakibatkan pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada
korteks visual primer dapat kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada
satu atau kedua mata, dan sel yang masih responsif fungsinya akhirnya dapat menurun.
Kelainan juga terjadi pada neuron badan genikulatum lateral. Keterlibatan retina masih
belum dapat disimpulkan.1
Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan terutama interaksi
7
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
kompetitif antar jalur penglihatan di kedua mata pada visual korteks untuk berkembang
hingga dewasa.8 Bayi sudah dapat melihat sewaktu lahir, tapi mereka harus belajar
bagaimana menggunakan mata mereka. Mereka harus belajar bagaimana untuk fokus, dan
bagaimana cara menggunakan kedua mata bersamaan.9
2.5. Klasifikasi
Amblyopia dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan gangguan/kelainan yang
menjadi penyebabnya.1
1. Ambliopia Strabismik
Amblyopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang berdeviasi
konstan. Konstan, tropia yang tidak bergantian (nonalternating, khususnya esodeviasi)
sering menyebabkan amblyopia yang signifikan.1 Amblyopia umumnya tidak terjadi bila
terdapat fiksasi yang bergantian, sehingga masing – masing mata mendapat jalan/ akses
yang sama ke pusat penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus berlangsung
intermiten maka akan ada suatu periode interaksi binokular yang normal sehingga kesatuan
sistem penglihatan tetap terjaga baik.10
Amblyopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau terhambatnya
interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu (fusi) dari kedua mata,
yang akhirnya akan terjadi dominasi pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi
dan lama kelamaan terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak
berfiksasi.1 Penolakan kronis dari mata yang berdeviasi oleh pusat penglihatan binokular
ini tampaknya merupakan faktor utama terjadinya amblyopia strabismik, namun
pengaburan bayangan foveal oleh karena akomodasi yang tidak sesuai, dapat juga menjadi
faktor tambahan.10
Hal tersebut di atas terjadi sebagai usaha inhibisi atau supresi untuk menghilangkan
diplopia dan konfusi.11 (konfusi adalah melihat 2 objek visual yang berlainan tapi
berhimpitan, satu di atas yang lain).12
Ketika kita menyebut amblyopia strabismik, kita langsung mengacu pada esotropia,
bukan eksotropia. Perlu diingat, tanpa ada gangguan lain, esotropia primer-lah, bukan
eksotropia, yang sering diasosiasikan dengan amblyopia . Hal ini disebabkan karena
eksotropia sering berlangsung intermiten dan / atau deviasi alternat dibanding deviasi
unilateral konstan, yang merupakan ”prasyarat” untuk terjadinya amblyopia.13
8
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
2. Fiksasi Eksentrik
Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan regio nonfoveal retina terus
menerus untuk penglihatan monokular oleh mata amblyopia. Fiksasi eksentrik terdapat
sekitar 80% dari penderita amblyopia. Fiksasi eksentrik ringan (derajat minor), hanya
dapat dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop, banyak dijumpai pada penderita
amblyopia strabismik dan hilangnya tajam penglihatan ringan.1
Secara klinis bukti adanya fiksasi eksentrik, dapat dideteksi dengan melihat refleks
kornea pada mata amblyopia tidak pada posisi sentral, dimana ia memfiksasi cahaya,
dengan mata dominan ditutup.1Umumnya tajam penglihatan adalah 20/200 (6/60) atau
lebih buruk lagi.1,14 Penggunaan regio nonfoveal untuk fiksasi tidak dapat disimpulkan
sebagai penyebab utama menurunnya penglihatan pada mata yang amblyopia. Mekanisme
fenomena ini masih belum diketahui.1
3. Amblyopia Isometropia
Amblyopia isometropia terjadi akibat kelainan refraksi tinggi yang tidak dikoreksi,
yang ukurannya hampir sama pada mata kanan dan mata kiri.1 Dimana walaupun telah
dikoreksi dengan baik, tidak langsung memberi hasil penglihatan normal. Tajam
penglihatan membaik sesudah koreksi lensa dipakai pada suatu periode waktu (beberapa
bulan). Khas untuk amblyopia tipe ini yaitu, hilangnya penglihatan ringan dapat diatasi
dengan terapi penglihatan, karena interaksi abnormal binokular bukan merupakan faktor
penyebab.13 Mekanismenya hanya karena akibat bayangan retina yang kabur saja.1 Pada
amblyopia isometropia, bayangan retina (dengan atau tanpa koreksi lensa) sama dalam
hal kejelasan/ kejernihan dan ukuran.13 Hyperopia lebih dari 5 D dan myopia lebih dari 10
D beresiko menyebabkan bilateral amblyopia dan harus dikoreksi sedini mungkin agar
tidak terjadi amblyopia.14
4. Amblyopia Deprivasi
Istilah lama amblyopia ex anopsia atau ”disuse amblyopia” sering masih
digunakan untuk amblyopia deprivasi, dimana sering disebabkan oleh kekeruhan media
kongenital atau dini1, akan menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan
yang akhirnya menimbulkan amblyopia.14 Bentuk amblyopia ini sedikit kita jumpai namun
merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki.1Amblyopia bentuk ini lebih parah pada
kasus unilateral dibandingkan bilateral dengan kekeruhan identik.14
9
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak kongenital padat / total yang menempati
daerah sentral dengan ukuran 3mm atau lebih, harus dianggap dapat menyebabkan
amblyopia berat. Kekeruhan lensa yang sama yang terjadi pada usia > 6 thn lebih tidak
berbahaya.1 Amblyopia oklusi adalah bentuk amblyopia deprivasi disebabkan karena
penggunaan patch (penutup mata) yang berlebihan.1 Amblyopia berat dilaporkan dapat
terjadi satu minggu setelah penggunaan patching unilateral pada anak usia < 2 tahun
sesudah menjalani operasi ringan pada kelopak mata.10
2.6. Tanda dan Gejala
10
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pemasok arteri utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophthalmik,
yaitu cabang besar pertama arteri carotis interna bagian intrakranial. Cabang ini
berjalan di bawah nervus optikus dan bersamaan melewati kanalis optikus menuju ke
orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki
nervus optikus sekitar 8 – 15 mm di belakang bola mata.
11
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena ophthalmik superior dan
inferior, yang juga menampung darah dari vena vorticose, vena siliaris anterior, dan
vena sentralis retina. Vena ophthalmika berhubungan dengan sinus cavernosus melalui
fisura orbitalis superior, dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fisura
orbitalis inferior.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riardon,P., etc. 2008. Anatomy & Embryology of the Eye. In General
Ophthalmology Vaughan D, Asbury T, Rordian Eva P.The McGraw-Hill ED 17 :
6-8
2. Chauduri, Z., etc. 2011. Summary of the Gross Anatomy of the Extraocular
Muscles. Available from: http://books.google.co.id/ [Accessed 27th May 2013].
12
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : Herman Tuah SitohangNIM : 080100396
3. Graham, R.H., etc. 2011. Extraocular Muscle Anatomy. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1189799-overview#showall [Accessed 27th
May 2013]
4. Baker, R.S., 1989. Morphology od Extra-Ocular Muscle. Available from:
http://www.aoa.org/x4717.xml. [Accessed 27th May 2013]
5. Putz, R., Pabst, R., Sobotta Atlas of Human Anatomy, Urban & Fischer. 744-762
6. Standring,S., 2008. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice.
40th ed. Churchill Livingstone; Chapter 39; 659-666
7. Ramadan, W.S.E., etc. 2008. Anatomical Study of the Arterial Supply of Human
Extraocular Recti Muscles. Available from:
http://www.med.alexu.edu.eg/journal/index.php/bulletin/article/view/579/488
[Accessed 27th May 2013].
8. Kleckowska, J., etc. 2003. Morphology of the extra-ocular muscles (musculi bulbi)
of the American Stafford Terrier during the perinatal period. Wroclaw, Poland
9. Schlote, T., etc. 2006. Pocket Atlas of Ophthalmology, Thieme
10. Terfera, D., etc. 2012. Muscles, Nerves, and Blood Vessels in the Human Eye.
13