Isi Laporan Outreach
description
Transcript of Isi Laporan Outreach
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelacuran atau prostitusi adalah suatu aktifitas penjualan secara komersial atas jasa
layanan seksual. Sedangkan tempat prostitusi (pelacuran) adalah tempat dimana lokasi
tersebut menjadi sentra bagi aktifitas komersial (transaksi) jasa seksual. Tempat prostitusi
sering disebut sebagai lokalisasi yang merujuk pada pengertian bahwa lokasi tersebut di
khususkan bagi aktifitas seksual dengan maksud agar dampaknya tidak mempengaruhi
masyarakat lain. Di Indonesia khususnya di pulau Jawa, lokasi-lokasi tersebut memang sudah
banyak berdiri, bahkan ada lokasi yang memang sudah berdiri sejak Indonesia belum
merdeka. Tempat prostitusi berdiri dengan latar belakang kebutuhan finansial serta dorongan
sosial masyarakat yang menjadi alasan adanya layanan jasa seksual tersebut. Di Pulau Jawa
yang menjadi sentra ekonomi, sosial , teknologi dan perkembangan masyarakat menjadikan
tempat prostitusi berkembang seiring dorongan pertumbuhan penduduk dan semakin
banyaknya warga asing yang datang. (1)
Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan
istilah wanita pekerja seksual (WPS). Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering
disebut sebagai sundal atau sundel. Risiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah
keresahan masyarakat dan penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS) dan AIDS yang
merupakan risiko umum seks bebas tanpa pengaman seperti kondom.(1)
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang
yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu
penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, dan
sebaliknya tidak semua ISR disebabkan IMS.(3)
Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :
Infeksi menular seksual, misalnya gonore, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole, herpes
genitalis, kondiloma akuminata, dan infeksi HIV.
Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya
kandidosis vaginalis dan vaginosis bakterial.
1
Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran
reproduksi akibat prosedur medik atau intervensi selama kehamilan, pada waktu partus
atau pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrumen.
IMS dapat terkena melalui hubungan seks yang tidak aman, antara lain: (2)
1. Hubungan seks lewat liang senggama tanpa kondom (zakar masuk ke vagina atau
liang senggama)
2. Hubungan seks lewat dubur tanpa kondom (zakar masuk ke dubur)
3. Seks oral (zakar dimasukkan ke mulut tanpa zakar ditutupi kondom). (2)
Secara gender perempuan memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan
dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa
kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya
diperlukan untuk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata berbagai
perubahan tersebut dapat mengubah kerentanan dan juga mempermudah terjadinya infeksi
selama kehamilan.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4]
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkirakan telah menginfeksi 38,6 juta
orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak
pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan
salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan
kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa
diantaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-
Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan
sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak
tersedia di semua negara.
HIV dan AIDS pertama kali ditemukan di Asia sekitar tahun 1980-an. Sejak saat itu,
lebih dari 6 juta orang di kawasan Asia terinfeksi HIV. Hubungan heteroseksual
(heterosexual intercourse), khususnya pada pria yang berhubungan seksual dengan pekerja
seks wanita, telah ditemukan menjadi bentuk transmisi utama penyakit tersebut. Saat ini
prevalensi HIV & AIDS meningkat dengan cepat. Pada tahun 2000 diperkirakan di Asia lebih
dari 500.000 orang meninggal karena AIDS, yaitu sekitar 1500 orang meninggal per hari.(3)
2
HIV/AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan memiliki
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di
mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua,
Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa
Tengah. Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui
perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan
dan perawatan. (4)
Tabel 1. 10 Provinsi di Indonesia dengan kasus AIDS terbanyak s/d 31 Desember 2012:
Tabel 2. Epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah 1993 s/d 31 Desember 2012
Jumlah 4922
HIV 2769
AIDS 2153
Meninggal 603
Tabel 3. Persentase Kasus AIDS Triwulan IV Tahun 2012 Menurut Kelompok Umur
Kelompok Umur Persentase Kasus AIDS
20 – 29 tahun 40,2 %30 – 39 tahun 35,0 %40 – 49 tahun 12,5 %
3
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
DKI Jakarta
Jatim Papua Jabar Bali Jateng Kalbar Sulsel Riau DIY
51174598 4449
3939
2428
16021269
874 705 536
Gambar 1. Distribusi kasus AIDS menurut jenis kelamin di Jawa Tengah 1993 s/d 31
Desember 2012
Tabel 4. Persentase Kasus AIDS Triwulan IV Tahun 2012 Menurut Faktor Risiko
Faktor Risiko Persentase Kasus AIDSHeteroseksual 65,0 %Penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun
25,9 %
Lelaki seks lelaki 4,8 %Dari Ibu positif HIV ke anak 2,2 %
Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan meninggal adalah 18,8%. Infeksi oportunistik
yang terbanyak dilaporkan adalah : TBC (11.915), Diare Kronis (7.254), Kandidiasis
Orofaringeal (7.098), Dermatitis Generalisata (1.767) dan Limfadenopati Generalisata
Persisten (795). (4)
Pelayanan pengobatan ODHA di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2005 dengan
jumlah yang masih dalam pengobatan ARV pada akhir 2005 sebanyak 2381 (61%) dari yang
pernah menerima ARV. Sedangkan pada Maret 2011 terdapat 20.069 ODHA yang masih
menerima ARV(55,4%) dari yang pernah menerima ARV. Jumlah ODHA yang masih dalam
pengobatan ARV tertinggi dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta 7.998, Jawa barat 2.200,
Jawa Timur 1.859, Bali 1.293, Papua 988, Jawa tengah 713, Sumatera Utara 767, Kalimantan
Barat 541, Kepulauan Riau 569, dan Sulawesi Selatan 500. (5)
Semarang menempati urutan pertama untuk wilayah Jateng dalam jumlah penderita
HIV/AIDS dengan jumlah kasus HIV tahun 2011 sebanyak 393 kasus dan jumlah kumulatif
AIDS s.d 2011 sebanyak 163. Data tersebut seperti fenomena gunung es (The ice berg
phenomenon of disease), dimana jumlah pengidap HIV/AIDS berjumlah ribuan kali lipat dari
yang tampil ke permukaan, yang sewaktu–waktu akan muncul ke permukaan. CDC (Center
for Disease Control) melaporkan sebuah informasi bagaimana HIV ditularkan, yaitu melalui
hubungan seksual 69%, jarum suntik untuk obat lewat intravena 24%, transfusi darah yang
4
61.7%
38.3%
Laki2 Wanita
terkontaminasi atau darah pengobatan dalam pengobatan kasus tertentu 3%, penularan
sebelum kelahiran (dari ibu yang terinfeksi ke janin selama kehamilan) 1%, dan model
penularan yang belum diketahui 3%. Melihat cukup besar peluang HIV ditularkan melalui
hubungan seksual, maka hubungan berganti-ganti pasangan merupakan faktor khusus yang
perlu diwaspadai. Seks komersial telah menjadi sebuah faktor yang penting di dalam
penyebaran infeksi HIV, khususnya di kawasan Asia. Pengalaman di Indonesia, urutan
keempat tingkat populasi terbanyak sedunia, menunjukkan betapa cepatnya epidemi HIV
dapat berkembang.
Seks komersial yang menjadi faktor penting di dalam penyebaran HIV tidak dapat
dipisahkan dengan kondisi prostitusi yang cukup eksis di Indonesia. Penelitian di beberapa
daerah di Indonesia menunjukkan tingginya tingkat perilaku berisiko dan kasus IMS diantara
pekerja seks pria dan wanita. Pekerja seks memiliki peranan penting di dalam pertumbuhan
kasus AIDS, sehingga mempromosikan upaya pencegahan IMS, HIV dan AIDS diantara
pekerja seks merupakan hal yang sangat penting untuk mengontrol penyebaran epidemi HIV
dan AIDS. Pekerja seks bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja di
lokalisasi terdaftar di bawah pengawasan medis (direct sex workers) atau dapat juga sebagai
Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (indirect sex workers). Wanita Pekerja Seksual Tidak
Langsung (indirect sex workers) mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-
tempat hiburan seperti kelab malam, panti pijat, diskotik, café, tempat karaoke atau bar.
Beberapa dari mereka adalah WPS yang sudah pernah bekerja di lokalisasi tetapi keluar dari
lokalisasi kemudian bekerja menjadi WPS Tidak Langsung di tempat-tempat hiburan yang
mereka anggap memiliki kelas yang lebih tinggi. Ada juga yang merasa lebih fleksibel
dengan bekerja sebagai WPS Tidak Langsung karena tidak diatur ketat oleh mucikari.
Bahkan ada juga karena melihat peluang untuk mendapatkan tambahan uang lebih ketika
mereka bekerja sebagai pemandu karaoke, pelayan bir, atau pramuria di tempat hiburan
malam. Mereka diketahui memiliki tingkat penggunaan kondom yang rendah dan memiliki
angka IMS yang lebih tinggi dibandingkan pekerja seks di lokalisasi. Beberapa alasan dari
mereka yaitu besarnya kesulitan di dalam meyakinkan klien untuk menggunakan kondom
karena mereka tidak memiliki dukungan dari manajemen dan teman sebaya seperti yang
terjadi di lokalisasi, memiliki paparan.(5)
Untuk mengurangi angka kesakitan IMS dan HIV AIDS di Jawa Tengah, PKBI Jawa
Tengah dan Dinas Kesehatan membentuk Griya ASA pada tanggal 10 Januari 2002. PKBI
Semarang mendapat kepercayaan dari PKBI Jawa Tengah untuk melaksanakan program
ASA-FHI di lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang. Program ini bertujuan untuk
5
memberikan informasi tentang IMS, HIV/ AIDS kepada PSK (Pekerja Seks Komersial) dan
pelanggannya, serta cara pencegahannya melalui pendekatan pendampingan (outreach). (5)
Outreach merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjangkau orang-orang
yang berisiko tinggi, seperti : para WPS, homoseks, IDU dan waria dengan cara melakukan
kontak langsung dan tatap muka secara intensif kepada orang yang berperilaku berisiko tinggi
di lingkungan mereka. Outreach dilakukan melalui kontak langsung, baik secara individual
maupun kelompok kecil (2-10 orang) di tempat mereka biasanya berada. Kegiatan tersebut
meliputi pemberian informasi materi pencegahan penyakit yang termasuk infeksi menular
seksual dan HIV/AIDS, mempromosikan perilaku yang lebih aman dan merujuk mereka ke
layanan terkait yang dibutuhkan.
Pencegahan penyakit infeksi menular di wilayah Sunan Kuning ditujukan kepada para
WPS dan mucikari. Kepada para WPS, yaitu dengan memberikan informasi seputar infeksi
menular seksual dan HIV/AIDS, khususnya bagaimana cara penularan dan pencegahan
penyakit-penyakit tersebut. Selanjutnya adalah mengajak WPS agar rutin melakukan
skrining-VCT dan para pelanggan agar selalu menggunakan kondom. Kepada para mucikari
agar mengingatkan anak asuhnya (WPS) untuk selalu rutin melakukan skrining-VCT dan
menganjurkan penggunaan kondom kepada para tamunya.
Salah satu kelompok berisiko adalah WPS di Resosialisasi Sunan Kuning Semarang.
Lokalisasi Sunan Kuning merupakan lokalisasi yang paling bsesar di kota Semarang dengan
sekitar 712 populasi WPS (berdasarkan data PKBI-Griya ASA kota Semarang Desember
2013) dengan jangkauan tersebar di Gang 1 sampai dengan Gang 6. (6)
Pada pemetaan resosialisasi WPS Sunan Kuning WPS tercatat pada Desember 2013,
jumlah populasi anak asuh Sunan Kuning ada 712 orang, jumlah wisma 160, jumlah
pengasuh ada 158 orang, jumlah operator 225 orang, jumlah PE ada 30 orang. (6)
6
Gambar 2. Denah Resosialisasi Argorejo Semarang
Tabel 5. Data Bagian Resosialisasi Argorejo SemarangNo Ket SK
1. Lokasi 6 RT2. Wisma 1603. ∑ Mucikari 1584. ∑ WPS 7125. ∑ PE 30
Sumber Resosialisasi Sunan Kuning(6)
Tabel 6. Jumlah Pertambahan Penderita HIV Pada tahun 2013
Bulan Jumlah penderita HIV
Januari 0 orang
Februari 0 orang
Maret 1 orang
April 0 orang
Mei 0 orang
Juni 0 orang
Juli 0 orang
Agustus 0 orang
September 1 orang
Oktober 0 orang
November 0 orang
7
Desember 0 orang
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Menurunkan laju penularan HIV di kelompok risiko tinggi.
2. Tujuan Khusus:
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kelompok berisiko tinggi (712 WPS di
Sunan Kuning) mengenai kesehatan reproduksi dan penyakit-penyakit yang dalam
ditularkan melalui hubungan seksual.
Meningkatkan pengetahuan terkait HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi (712 WPS di
Sunan Kuning).
Meningkatkan kesadaran dalam pemakaian kondom pada setiap transaksi seksual.
Merubah perilaku berisiko sehingga dapat mencegah penularan HIV/AIDS.
Meningkatkan partisipasi komunitas screening dalam kegiatan program yang telah
dilaksanakan oleh Griya ASA, misalnya dari WPS mau melakukan tiap 2 minggu,
mengikuti saran dokter atau petugas kesehatan untuk melakukan VCT setiap 3 bulan
sekali.
Meningkatkan kemandirian WPS dalam mengakses layanan kesahatan.
Menjamin tersedianya kondom sebanyak 20/minggu/WPS.
C. SASARAN
Sasaran dari kegiatan outreach ini adalah wanita pekerja seks (WPS), mucikari, Peer
Educator, dan Petugas Resos yang berada di daerah lokalisasi Sunan Kuning Semarang.
D. TARGET
Target yang ingin dicapai dalam outreach ini adalah mampu menekan jumlah penderita
IMS dan HIV-AIDS dengan merubah perilaku menjadi lebih aman, diantaranya :
Seluruh WPS yaitu 712 WPS menggunakan kondom 100%
Menurunnya angka IMS di Sunan Kuning menjadi 10%.
Seluruh WPS (712 WPS) melakukan VCT rutin setiap 3 bulan sekali dan screening setiap
2 minggu sekali.
8
INPUTMan
MoneyMethodMaterialMachine
Machine
PROSESP1P2P3
OUTPUT
Cakupanprogram
BAB II
STRATEGI OUTREACH
A. DEFINISI OUTREACH (PENDAMPINGAN)
Pendampingan adalah suatu metode komunikasi yang bertujuan mengubah perilaku
klien menjadi perilaku yang diharapkan. Baik perilaku individual ataupun kelompok.
Tahapan Perubahan Perilaku :
- Awareness (sadar)
- Pemahaman / pengertian
- Menentukan sikap
- Mencoba dan mengadopsi dimana diperlukan suasana penuh empati selama
komunikasi berlangsung
Metode komunikasi :
- Face to face, kelompok, massal
- Pemahaman kapan, bagaimana, dimana, kepada siapa menentukan saluran / metode
komunikasi
- Alat bantu komunikasi / penggunaan alat bantu KIE, ditentukan:
Target perubahan perilaku
Target waktu yang direncanakan
Homogenitas sasaran
Pengaruh lingkungan sasaran
B. Kerangka Pendekatan Sistem
9
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem
C. Input
1. Man : Mahasiswa, ketua Griya ASA, Kordinator Lapangan Outreach,
Pekerja Lapangan, WPS di Sunan Kuning, PE, Ketua Resos Argorejo
dan anggota resosialisasi.
2. Money : Swadaya mahasiswa
3. Material : Laporan Naratif Kegiatan Outreach, Konsep dasar Outreach
4. Methode : Pengamatan dan wawancara langsung
5. Machine : Komputer, Alat tulis, printer
D. Proses
Perencanaan (P1) :
1. Pertemuan dengan Kordinator Lapangan
2. Pertemuan dengan Pengurus Resos
3. Pertemuan dengan PL
4. Melakukan kontak dengan KD
Pelaksanaan (P2) :
1. Koordinasi dengan PL
2. Koordinasi dengan Pengurus Resos
3. Mendatangi wisma tempat WPS
10
4. Mengamati dan mewawancarai WPS dan pengasuh
5. Memberikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS
6. Memberikan informasi mengenai pemakaian kondom
7. Membantu KD menilai risiko mereka
8. Mendekatkan KD pada kegiatan sesuai kebutuhan mereka
Pengawasan, Pengendalian, Penilaian (P3) :
1. Mengawasi pelaksaanan sesuai dengan rencana yang dibuat, baik sasaran, waktu dan
hasil yang dicapai.
2. Mengendalikan pelaksanaan kegiatan apabila didapatkan hal-hal yang tidak sesuai
dengan perencanaan.
3. Menilai pelaksanaan kegiatan Penjangkauan.
E. Output
Seluruh WPS yaitu 609 WPS menggunakan kondom 100%
Menurunnya angka IMS di Sunan Kuning menjadi 10%.
Seluruh WPS (609 WPS) melakukan VCT rutin setiap 3 bulan sekali dan skrining
setiap 2 minggu sekali apabila tidak ada penyakit,.
F. Indikator Keberhasilan
Indikator adalah alat untuk mengukur aktivitas yang kita kerjakan berhasil atau tidak
dalam waktu yang telah ditetapkan.
Indikator keberhasilan pada kegiatan outreach dilihat dari : Diketahuinya jumlah WPS
yang ada di lokasi dan kegiatan outreach dapat menjangkau seluruh WPS yang ada, melalui
KIE dan distribusi kondom yang merata untuk para WPS. Selain itu, outreach dapat
mengidentifikasi seluruh PRK (Penilaian Resiko Kelompok).
G. Prinsip Pelaksanaan
Prinsip pelaksanaan outreach melalui komunikasi yang empati, berkesinambungan, dan
KD sebagai objek.
H. Strategi
11
Petugas lapangan yang baik adalah sebagai berikut :
1. Menguasai komunikasi empati
Strategi PL dan KL dalam mengembangkan komunikasi empati adalah dengan
membangun kepercayaan saat pendampingan rutin dengan komunitas dengan cara
selalu mendengarkan dan menghargai pendapat serta memberikan dorongan mental.
2. Menguasai teknik/ metode komunikasi
3. Menguasai indikator.
Tugas petugas lapangan :
a) Memberikan informasi
b) Mendistribusikan materi pencegahan dan media KIE
c) Mempromosikan perilaku lebih aman
d) Merujuk KD
e) Memantau skrining dan VCT pada WPS
f) Melakukan penjangkauan kepada WPS baru dan pendampingan kepada WPS lama
terlebih pada WPS yang masih mengidap IMS positif selama 3 kali pemeriksaan
Kode Etik Petugas Lapangan :
Tidak memaksakan kehendak
Menghormati privasi
Menjaga kerahasiaan KD
Tidak mengambil keuntungan pribadi
Menjaga nama baik lembaga
Netral
Tidak Berhubungan intim dengan KD
Mengutamakan kepentingan lembaga
Tidak mencampuri urusan pribadi KD
Empati, non judmental dan sensitif gender
Tidak mendiskriminasi atas dasar apapun
Tahap melakukan program Outreach yaitu :
1. Penilaian Kebutuhan Segera
Identifikasi masalah dan menentukan perilaku yang diharapkan
Identifikasi KD dan memahami jaringan sosial, budaya, dan lingkungan
Pemahaman produk dan layanan yang tersedia di masyarakat
Identifikasi pembuat keputusan kunci dan pemangku kepentingan di masyarakat
12
2. Perencanaan
Kegiatan ini terbagi menjadi 3 yaitu pemetaan, penjadwalan dan penempatan PL.
• Sebelum dilakukan pemetaan dilakukan identifikasi kebutuhan kelompok dukungan,
Menentukan aktivitas dan struktur yang diperlukan untuk mengubah perilaku.
• Membuat suatu rencana kerja baru setelah itu dilakukan kegiatan pemetaan.
a. Pemetaan adalah kegiatan rutin tentang situasi dan kondisi di Lokalisasi. Mapping ini
terkait dengan lingkungan sekitar lokalisasi yaitu tentang jumlah dan karakteristik
(PRI/PRK) WPS (turn over), jumlah wisma/karaoke, jumlah outlet, jumlah dan
karakteristik stakeholder non pemerintah yang mendukung ojek, warung, pengamen,
operator karaoke, mucikari, pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas, griya ASA,
dan praktisi swasta.
b. Untuk melaksanakan rencana, diperlukan penjadwalan. Prinsip penjadwalan adalah
sesuai karakteristik, aspirasi dan kebutuhan KD, sesuai situasi lapangan dan sesuai
jumlah target. Sedangkan penempatan PL disesuaikan dengan pengalaman, spesialiasi
dan jumlah PL, disesuaikan dengan tipe lokasi dan tipe KD dan kadang-kadang perlu
disesuaikan juga dengan kesamaan jenis kelamin atau orientasi seks PL dengan KD.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan mencakup penjangkauan, pendampingan dan pengakhiran. Penjangkauan
mencakup membuka akses dan meraih kepercayaan, mendistribusikan materi
pencegahan & media KIE, memberikan informasi program dan isunya. Pendampingan
meliputi mempromosikan perilaku lebih aman, dan merujuk KD ke layanan terkait.
Sedangkan pengakhiran meliputi pelaporan outreach. Kesemua hal tersebut dilakukan
dengan pendekatan pada tingkat individu dan tingkat kelompok.
Tingkat Individu :
Memberikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS
Membantu KD menilai risiko mereka
Mendekatkan KD pada kegiatan sesuai yang mereka butuhkan
Mendampingi KD untuk melakukan perubahan perilaku
Tingkat Kelompok :
Membentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan memfasilitasi penilaian risiko
kelompok
Mendekatkan KD pada kegiatan yang seusai dengan kebutuhan mereka
Melakukan Program Pendidikan Teman Sebaya
13
Informasi yang diberikan kepada KD adalah materi berupa IMS & HIV/AIDS meliputi cara
penularan dan cara pencegahan yakni layanan screening, klinik IMS, VCT, MK, CST, dan
PMTCT agar KD mengetahui manfaat, tempat, waktu, dan cara mengakses informasi dan
diskusi materi KIE, dan pencegahan penularan IMS (melalui kondom dan pelicin).
4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring adalah suatu proses untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan rencana atau tidak. Aspek yang dimonitor adalah pelaksanaan atau cara outreach,
pencapaian target outreach dan kinerja serta kualitas petugas lapangan. Monitoring dilakukan
dengan diadakannya pertemuan rutin antara petugas lapangan, field visit, wawancara dengan
informan kunci, wawancara dengan pemegang kekuasaan dan wawancara dengan klien yang
dipilih secara acak dan identitas dirahasiakan. Monitoring ini dilakukan sepanjang tahun.
Aspek yang dievaluasi meliputi angka kejadian IMS, perilaku penyediaan kondom,
perilaku menawarkan kondom dalam minggu terakhir, penggunaan kondom pada hubungan
seks terakhir, penggunaan kondom secara konsisten dalam seminggu terakhir dan perilaku
pencarian kesehatan yang benar. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tahun.
I. Kegiatan
Telah banyak kegiatan yang dilakukan Griya ASA untuk menahan epidemi IMS dan
HIV-AIDS, antara lain :
Mapping rutin
Mapping adalah kegiatan rutin tentang situasi dan kondisi di Lokalisasi. Mapping ini
terkait dengan lingkungan sekitar lokalisasi yaitu, tentang jumlah dan karakteristik WPS (turn
over), jumlah wisma/ karaoke, jumlah outlet kondom, jumlah dan karakteristik stakeholder
non pemerintah yang mendukung (ojek, warung, pengamen, operator karaoke, mucikari dan
pengurus Resos, pelayanan kesehatan yang ada Puskesmas, Griya Asa, praktik swasta.)
Pembentukan Peer Educator
Peer educator memegang peran penting dalam pelaksanaan outreach. Peer educator
adalah pendidik sebaya yang berperan sebagai penghubung antara petugas lapangan dengan
KD dan sebagai sumber informasi terdekat bagi KD. Peer educator (PE) berasal dari KD,
karena diharapkan proses penerimaan informasi akan berjalan dengan lebih mudah karena
adanya profesi yang sama antara PE dengan KD. PE direkrut dari orang-orang yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis, berkemauan kuat serta merupakan orang yang cukup
berpengaruh di lingkungan KD. PE yang ada sekarang ini sudah sebanyak 30 PE.
Pelatihan-pelatihan khususnya yang mendukung program
14
Pelatihan-pelatihan yang diadakan di lokalisasi bertujuan untuk memberikan tambahan
informasi dan skill peserta. Misalnya pelatihan untuk PE yang berkaitan dengan informasi
kesehatan, sadar gender dan HAM, pelatihan skill usaha (salon, membuat roti, berdagang
baju, dll.)
Advokasi pada pengurus Resos dan tokoh masyarakat (birokrat struktural
kemasyarakatan, misal ketua RT, RW, kelurahan, dsb).
Advokasi yang dilakukan untuk membentuk kerjasama yang saling menguntungkan
antara Griya ASA dan Pengurus Resos serta tokoh masyarakat. Misalnya adanya pendataan
bagi WPS lokalisasi sebagai pekerja oleh pengurus Resos dan Griya ASA, serta sebagai
penduduk sementara oleh birokrat struktural kemasyarakatan. Dengan adanya data yang jelas,
diharapkan dapat meminimalisir jika terdapat suatu kejadian yang tidak diinginkan.
J. Kegiatan-kegiatan outreach
Kegiatan outreach ini bermaksud untuk mencapai sasaran dan target terhadap indikator
program kerja. Kegiatan lebih banyak ditekankan kepada penyuluhan rutin di Sunan Kuning.
Untuk lebih memudahkan kegiatan ini tim dibagi berdasarkan gang yang ada disunan kuning,
dimana di Sunan Kuning terdapat 6 gang. Hal ini dibuat untuk memudahkan penyampaian
materi kepada sasaran. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah
1. PRK (Penilaian Risiko Kelompok)
2. Penyuluhan stakeholder.
3. Penyuluhan resosiliasi
4. Dukungan terhadap kelompok sebaya
5. Koordinasi kerjasama dengan klinik IMS, klinik VCT-CST dan PMTCT
PRK adalah salah satu bagian strategi outreach yang efektif namun angka keberhasilan
pencapaian tujuan lebih rendah dibandingakan PRI, namun PRI sudah tidak digunakan
dengan alasan SDM yang kurang.
Dari keseluruhan pelaksanaan outreach, dengan ini diharapkan seluruh sasaran dapat
mencapai tujuan – tujuan dengan indikator perubahan perilaku.Hal ini dapat dicapai dengan
dilakukannya pemetaan, analisa situasi, penjadwalan, penempatan PL, penjangkauan, dan
pendampingan. Selain itu, secara rutin dilakukannya monitoring tiap bulan dan evaluasi
setiap akhir tahun. Maka dari itu, akan dicapai target serta diharapkannya tercapai
pengakhiran, salah satunya yaitu persentase kasus IMS dapat dicapai 0%
15
BAB III
LAPORAN
A. IDENTITAS PASIEN
16
Total responden yang diwawancara berkaitan dengan perubahan perilaku sebanyak
5 responden, antara lain 1 orang pengurus resosialisasi, 2 orang WPS, 1 orang mucikari
(pengasuh), dan 1 orang PE (Peer Educator). Pemilihan responden WPS dan mucikari
berdasarkan data dari klinik IMS Griya ASA yaitu 1 wisma yang anak asuhnya bersih dari
IMS dan 1 wisma yang anak asuhnya positif IMS.
o WPS di Wisma B : Ny. R
o WPS di Wisma L : Ny. Y
o Mucikari di Wisma B : Tn. I
o Peer Educator : Ny. P
o Pengurus Resos : Tn. W
B. HASIL WAWANCARA
1. Hasil wawancara dengan WPS non IMS
Wawancara dilakukan di Wisma B, tanggal 16 Desember 2013 pukul 19.00 WIB
dengan narasumber R.
Seorang wanita dengan inisial R ini adalah seorang WPS berumur 28 tahun yang
berasal dari Wonosobo. R tidak pernah sekolah. R telah menjalani profesi sebagai pekerja
seks komersil selama kurang lebih 3 tahun. R pernah menikah dan bercerai 4 tahun yang lalu,
R telah memiliki seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. R adalah anak ke 1 dari 2
bersaudara, ayah R sudah meninggal sehingga R harus menafkahi ibu dan adiknya. Sebelum
bekerja sebagai seorang pekerja seks komersial, R adalah seorang ibu rumah tangga. Setelah
bercerai, R mencoba untuk bekerja di beberapa tempat tetapi pekerjaan itu tidak
menghasilkan pendapatan yang mencukupi untuk keluarganya ditambah R tidak pernah
sekolah sehingga tidak memiliki ijasah membuat maka ia semakin sulit untuk mencari
pekerjaan. Suatu waktu seorang temannya menawarkan pekerjaan sebagai pemandu karaoke
(PK) di kota Semarang. Ia menerima tawaran pekerjaan itu tanpa diketahui oleh keluarganya.
Keluarga R hanya mengetahui anaknya itu bekerja menjadi tukang bersih-bersih. Setelah ia
bekerja sebagai PK di Sunan Kuning selama beberapa waktu, ia berpikir bahwa penghasilan
sebagai PK hanya sedikit tidak dapat menutupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya,
sehingga ia berniat untuk menerima tamu atau menjadi seorang wanita penjaja seks (WPS) .
Setiap hari rata-rata R mendapatkan tamu 5 orang, minimal 2 orang tamu. Dengan
pendapatan per tamu sekitar Rp 150.000 atau lebih. Per bulan, R bisa mendapatkan
17
penghasilan kira-kira sebesar Rp 16.000.000, uang yang R dapatkan sebagian diberikan untuk
ibu dan anaknya di kampong, sebagian digunakan untuk biaya hidupnya. R melakukan
hubungan sex dengan pelanggannya melalui vagina dan oral. R tidak memiliki keinginan
untuk berhenti bekerja sebagai WPS karena dia belum terpikir pekerjaan lain apa yang bisa
dia kerjakan dan belum tau pekerjaan apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang
sebanyak bila dia menjadi WPS, dia berpikir mungkin dia akan beralih profesi bila pelanggan
yang menginginkannya sudah tidak banyak lagi.
R rutin mengikuti skrining (setiap 2 minggu sekali) dan VCT teratur 4x/tahun serta
belum pernah terdeteksi IMS maupun HIV. Terakhir skrining adalah bulan Desember 2013
ini.R rajin mengikuti sekolah. R mengaku mengerti materi yang ia dapatkan di sekolah
terutama tentang IMS dan HIV. R selalu menggunakan kondom bila sedang bekerja. Bila
pelanggan tidak mau menggunakan kondom, R member penjelasan terlebih dahulu terhadap
pelanggan, bila bila pelanggan tersebut tetap tidak mau memakai kondom maka R tidak akan
menerima pelanggan tersebut. Setelah dipakai kondom diikat lalu dibuang ke tempat sampah.
R selalu mempersiapkan kebutuhan kondom setiap harinya sebelum mulai bekerja dan tidak
pernah kehabisan persediaan kondom. Selain dengan pelanggannya R tidak pernah
berhubungan seksual. R mengaku selalu menjaga hygiene kewanitaannya. Setelah melayani
tamu, ia selalu membilas vaginanya dengan air dan sabun tanpa melukai dinding vagina. R
cukup mengetahui informasi dan cara penularan penyakit HIV dan IMS.
Mucikari di wisma tempat R bekerja selalu mengingatkan kapan jadwal VCT dan
skrining akan dilakukan. Namun yang bertanggung jawab mengenai pemakaian kondom
tetaplah R sendiri.
2. Hasil wawancara WPS dengan IMS
Wawancara dilakukan di Wisma L, Sunan Kuning tanggal 16 Desember 2013 pukul
19.00 WIB dengan narasumber Y.
Seorang wanita dengan inisial Y adalah seorang WPS berusia 21 tahun yang berasal
dari wilayah Semarang atas. Y adalah seorang lulusan SD. Y telah menjalani profesi sebagai
WPS sejak 1 tahun yang lalu. Y belum pernah menikah. Sebelum bekerja sebagai seorang
WPS, Y pernah bekerja sebagai penjaga counter di salah satu department store. Y pernah
mengalami pelecehan seksual, karena itu dia berpikir karena sudah terlanjur lebih baik dia
sekaligus menjadi WPS saja, selain itu tawaran pendapatan uang menjadi WTS juga menjadi
18
alasannya. Namun pekerjaannnya masih dirahasiakan dari keluarganya, kaluarganya hanya
tau dia masih bekerja di department store. Y tidak selalu menggunakan kondom saat
melayani tamu karena ada beberapa tamu menolak jika Y menggunakan kondom, Y takut
tidak mendapatkan pelanggan sehingga dia memutuskan untuk tidak menggunakan kondom.
Y tidak pernah melakukan oral seks ataupun anal seks dengan tamu. Y sering minum alkohol
dan merokok ketika menemani tamunya.
Setiap hari rata-rata Y mendapatkan tamu 4-5 orang. Dengan pendapatan per hari
sekitar Rp 200.000 atau lebih. Per bulan, Y bisa mendapatkan penghasilan kira-kira sebesar
Rp 10.000.000 yang digunakan untuk kebutuhan diri sendiri dan keluarganya di kampung. Y
tidak mempunyai keinginan untuk berhenti bekerja sebagai WPS.
Y rutin mengikuti skrining ( setiap 2 minggu sekali ) dan VCT teratur 3x/tahun serta
sudah mengetahui bahwa dirinya terdeteksi IMS. Y rajin mengikuti pembinaan setiap hari
Kamis (gang 4, 5, & 6). Y mengaku mengerti materi yang ia dapatkan di pembinaan
terutama tentang IMS dan HIV.
Y pernah skrining, dan didapatkan bahwa Y menderita IMS dengan keluhan
mengalami keputihan. Keputihan berwarna putih susu, kental, berbau tidak sedap, kadang
gatal. Sehabis melakukan hubungan seks dengan tamu biasanya Y mencuci vagina dengan air
dan sabun. Saat skrining Os diberikan obat, diminum 1 kali sebanyak 4 tablet.
3. Hasil wawancara dengan Mucikari Wisma B
Wawancara dilakukan di rumah Tn. I di area Sunan Kuning, tanggal 16 Desember
2013 pukul 21:30 WIB dengan narasumber Tn. I.
Pemilik wisma B adalah Tn. I, berusia 44 tahun, berasal dari Semarang dan sudah
menikah. Sebelum bekerja sebagai mucikari Tn. I hanyalah seorang pegawai swasta di salah
satu perusahaan. Berdasarkan hasil screening, Wisma B sendiri merupakan wisma yang anak
– anak asuhnya tidak mempunyai penyakit IMS. Jumlah WPS di Wisma B ada 6 orang, dan
pemandu karaoke sebanyak 2 orang. Wisma B memiliki kamar sebanyak 6 buah dan 2 room
karaoke dengan fasilitas AC dan kamar mandi luar. Setiap menerima tamu, WPS harus
membayar Rp 25.000,00 untuk sewa kamar, Tn. I tidak menerapkan sistem bagi hasil untuk
para WPS-nya . Untuk Tn. I. Penghasilan rata-rata sekitar 4 juta perbulan.
19
Pengasuh mengakui cukup memperhatikan anak-anak asuhnya, dengan mewajibkan
pemakaian kondom pada anak asuhnya sehingga anak asuhnya dapat terhindar dari IMS.
Pengasuh pun mengistirahatkan anak asuhnya jika anak asuhnya sedang sakit dan menyuruh
memeriksakan diri ke klinik Griya ASA atau ke klinik 24 jam. Pengasuh menghitung tiap
bungkus kondom yang yang sudah terpakai, dan mengharuskan anak asuhnya untuk membeli
kondom ke PE lagi jika stok kurang dari 20 buah kondom per 1 minggu.
Pengasuh juga mendorong anak asuhnya untuk selalu mengikuti kegiatan wajib di SK
seperti sekolah, screening, VCT, dan senam. Skrining dilakukan 2 minggu 1 kali bagi yang
tidak menderitai IMS sedangkan pada WPS yang menderita IMS dilakukan pemeriksaan 1
kali seminggu dan VCT tiap 3 bulan sekali. Apabila anak asuhnya melanggar kegiatan wajib
di SK, pengasuh akan memberikan sanksi berupa teguran dan apabila tidak mengikuti
pembinaan maka WPS harus menyumbangkan Rp 100.000,00 pembangunan gedung
pembinaan di Sunan Kuning. Pengasuh mengerti tentang HIV serta IMS dan penularannya,
juga mematuhi aturan yang ada di SK agar anak asuhnya tetap sehat dan tetap dapat bekerja.
4. Hasil wawancara dengan Peer Educator
Wawancara dilakukan di depan gedung pertemuan di Sunan Kuning, tanggal 14
Desember 2013 pukul 07.30 WIB dengan narasumber P.
P merupakan seorang WPS berumur 30 tahun yang bekerja di salah satu wisma di
sunan kuning. P berasal dari Semarang. P sudah bekerja di Sunan Kuning sudah selana 5
tahun sejak tahun 2008, P mengaku bekerja di Sunan Kuning adalah kemauannya sendiri
karena faktor ekonomi.
P sudah pernah menikah selama 6 bulan sekarang sudah bercerai, P belum memiliki
anak. Keluarga P mengetahui bahwa P bekerja di Sunan Kuning sebagai pekerja seksual,
menurut P keluarganya tidak terlalu ambil pusing tentang pekerjaannya selama pekerjaan itu
dapat menghasilkan uang, P adalah anak pertama di keluarganya dan memiliki 2 adik
sehingga harus menanggung biaya untuk keluarga.
P telah direkrut menjadi peer educator selama kurang lebih 3 tahun, awalnya P adalah
peer educator untuk gang 3, namun karena suatu hal P pindah bekerja di gang 5 sehingga
sekarang P menjadi peer educator untuk gang 5. P mengaku banyak mendapatkan
pengalaman selama menjadi peer educator. P dipilih menjadi peer educator karena dianggap
oleh pengurus resosialisasi bahwa P adalah orang yang disiplin, berkemauan, berani, tegas,
20
dan berpengaruh di lingkungan. P merupakan salah seorang peer educator aktif di SK.
Banyak kegiatan yang diikuti P sebagai peer educator baik kegiatan di lingkungan Sunan
Kuning maupun di luar Sunan Kuning. Diantaranya penyuluhan atau pelatihan mengenai
kesehatan dari dinas kesehatan maupun lembaga lainnya serta saat pembinaan berlangsung.
Setelah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan, P bertugas menyampaikan atau memberikan
informasi kepada teman lainnya baik secara formal dalam kegiatan maupun secara individu.
Selain itu, pekerjaan P sebagai peer educator juga mendistribusikan kondom, pendekatan
untuk pemakaian kondom, dan pemdataan penggunaan kondom oleh teman-teman WPS lain
di gang 5. P bertanggung jawab atas ketersediaan 20 kondom untuk setiap WPS per minggu.
S mengaku sangat senang menjadi peer educator, selain mendapat pengetahuan, juga
mendapat pengalaman, serta sebagai salah satu tambahan modal, P juga melakukan tugasnya
secara sukarela, kendala yang dihadapi P sebagai seorang peer educator adalah sudah selama
1 tahun tidak ada pertemuan lagi untuk peer educator, sehingga tugas dan peraturan untuk
peer educator menjadi kurang jelas. Kendala lain ialah distribusi kondom kepada para peer
educator sekarang dimonopoli oleh salah satu peer educator di sana untuk diperjual belikan,
sehingga kadang bila ada WTS yang kekurangan kondom tidak bisa membelinya. Kendala
yang paling besar menurut P adalah sering mendapat keluhan dari teman-teman WTS
mengenai adanya freelance yang tidak perlu mengikuti peraturan resosialisasi, namun setelah
keluhan tersebut disampaikan ke pengurus resos tidak ada tindak lanjut.
5. Hasil wawancara dengan Pengurus Resos
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Desember 2013 pukul 21.30 WIB di Balai
Pertemuan Sunan Kuning dengan narasumber Tn. W selaku pengurus resosialisasi Sunan
Kuning
Wawancara ini dilakukan adalah untuk mengetahui tujuan diwujudkan resosialisasi di
Sunan Kuning, tenaga penggerak resosialisasi, serta program-program yang diwujudkan oleh
pihak resosialisasi di Sunan Kuning serta permasalahan yang timbul dan cara menanganinya.
Tujuan diwujudkan resosialisasi di Sunan Kuning adalah untuk memastikan para
WPS berada dalam keadaan sentiasa sehat, dan terhindar dari penyakit terutama penyakit
menular seksual, HIV dan AIDS. Selain itu, resosialisasi ini adalah bertujuan untuk menjaga
keamanan para WPS. Adapun konsep resosialisasi ini terdiri dari 3 indikator utama yaitu
kesehatan, keamanan dan alih profesi.
21
Walaupun resosialisasi yang diwujudakan ini terdiri dari berbagai tujuan, namun
masalah yang paling ditekankan dalam resosialiasi ini adalah kesehatan sehingga program-
program yang dijalankan oleh pihak resos lebih terfokus ke arah masalah kesehatan para
WPS di Sunan Kuning. Program-program yang dijalankan adalah berupa skrining terhadap
Penyakit Infeksi menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Hasil dari skrining IMS dan
HIV/AIDS ini, bagi para WPS yang diduga menderita penyakit tersebut maka dilakukan
penanggulangan terhadap IMS ataupun HIV/AIDS. Program skrining IMS dilakukan setiap 2
minggu pada WPS yang tidak menderita IMS dan 1 minggu sekali pada WPS yang menderita
IMS. Sedangkan untuk program skrining HIV/AIDS ini diwujudkan dalam program khusus
yaitu VCT yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. Selain itu, resosialisasi menjalankan
beberapa kegiatan untuk meningkatkan kesadaran para WPS dalam bidang kesehatan
diantaranya seperti program pembinaan. Pembinaan ini dilaksanakan setiap hari Senin untuk
gang 1 dan 2, hari Selasa gang 3 dan 4, hari Rabu untuk WPS yang tinggal di kos, dan hari
Kamis untuk gang 5 dan 6. Selain itu, terdapat juga kegiatan senam untuk WPS yang
dilaksanakan pada hari Jumat dan Sabtu. Selain itu, pihak resos juga bertanggungjawab
dalam pendistribusian kondom ke WPS di Sunan Kuning dengan keterlibatan Peer Educator
(PE) sebagai perantaranya. Pihak Resos telah menetapkan bahwa setiap WPS harus
mempunyai minimal 20 kondom setiap minggu dalam program pencegahan IMS dan
HIV/AIDS ini. Jika kondom sudah habis ataupun berkurang, WPS dapat membeli kondom
tersebut di PE. Setiap PE yang bertanggungjawab di masing-masing gang harus memastikan
setiap WPS di gang mereka mempunyai minimal 20 kondom setiap minggu.
Untuk memastikan tahap kesehatan WPS berada dalam keadaan yang baik, maka
WPS diharapkan dapat mengikuti setiap program yang telah dianjurkan oleh pihak resos.
Oleh karena itu pihak resos menggunakan sistem absensi untuk memastikan setiap WPS
mengikuti semua program tersebut, Apabila WPS tidak mengikuti program-program dari
resos, maka WPS harus memberikan alasan untuk tidak mengahadiri program-program
tersebut. Jika WPS gagal memberikan alasan untuk tidak menghadiri program maka akan
diberikan sanksi oleh pihak resos sendiri. Contoh sanksi yang diberikan kepada para WPS
adalah bila tidak mengikuti senam pagi berupa denda uang Rp 50.000 dan bila tidak
mengikuti pembinaan dikenakan denda Rp 100.000. Untuk pelanggaran kedua akan diberikan
surat peringatan. Apabila sampai melakukan pelanggaran untuk ketigakalinya maka WPS
yang bersangkutan akan dikenai sanksi berupa pencabutan izin atau larangan untuk
22
melakukan aktivitas dan transaksi di area Sunan Kuning. Untuk ketidakhadiran WPS ini di
ketahui dari daftar hadir WPS, yang berkaitan dengan pendaftaran.
Untuk pendaftaran WPS sendiri ada beberapa syarat yang harus di penuhi, yaitu :
Wanita berusia 18 tahun dan keatas
Mempunyai surat keterangan ijin dari suami bagi yang sudah menikah. Jika calon
WPS tidak menyertai surat keterangan ijin dari suami maka WPS dipulangkan ke
daerah asalnya.
Sudah mengikuti skrining saat pertama kali datang di Sunan Kuning
Sanksi dan peraturan yang diprogramkan di Sunan Kuning ini bertujuan untuk
memastikan WPS yang bekerja di Sunan Kuning tertib dan untuk mengurangi jumlah WPS
yang menderita IMS serta HIV/AIDS. Namun, masih terdapat beberapa kendala dalam
memastikan para WPS ini terhindar dari IMS ataupun HIV/AIDS antara lain, tidak semua
pelanggan mau menggunakan kondom pada saat berhubungan. Selain itu, penularan IMS bisa
datang dari pasangan / pacar WPS sendiri karena apabila melakukan hubungan seks dengan
pasangan sendiri, WPS biasanya tidak menggunakan kondom. Faktor lainnya adalah banyak
WPS yang tinggal di kos-kostan di luar wismanya sehingga para pengasuh tidak dapat
maksimal dalam mengawasi anak asuhnya. Hal ini masih menjadi masalah yang cukup serius
bagi pihak resos.
Berikut adalah daftar pengurus Resosialisasi Sunan Kuning :
23
Terdiri dari 15 Pengurus Aktif :
WPS dinyatakan tidak memerlukan pendampingan lagi apabila WPS sudah menggunakan
kondom 100% dan hasil screening IMS negatif 3 kali berturut-turut. Selain itu, wisma
dikatakan tidak memerlukan pendampingan lagi bila seluruh WPS nya memiliki hasil
skrining yang selalu negatif, semua WPS menggunakan kondom 100%, seluruh WPS tinggal
di wisma dan mucikari yang aktif selalu menanyakan jumlah dan pemakaian kondom kepada
anak asuhnya serta selalu mengingatkan dan menegur apabila terdapat kesalahan dan
pelanggaran.
C. Laporan Kegiatan
24
Sekertaris I
Suwarno
Ketua I
Suwandi
Sekertaris II
Slamet H.
Bendahara I
Iswanto
Bendahara II
Priharanto, SE
Sie. Keamanan
Sukron, Trimulyo, Sutrisno
Sie. Motivasi
Ani Veronica
Sie. Humas
M. Fauzi, Sunarto
Sie. Pembinaan & Kesenian
M. Taufik
Ketua II
Slamet S.
Sie. Olahraga
Jumirah
1. Pembinaan
Hari, tanggal : Selasa, 17 Desember 2013
Jam : 09.00 - 12.00 WIB
Lokasi : Balai Pertemuan Sunan Kuning
Pelaksana : Pengurus Resosialisasi, PKBI
Peserta : Seluruh WPS gang 4, 5, dan 6
Laporan :
Telah dilaksanakan kegiatan pembinaan yang meliputi penyuluhan tentang
kesehatan, cara penggunaan dan pemakaian kondom yang benar, serta
penjelasan kembali mengenai aturan-aturan yang harus diikuti pada seluruh
peserta (WPS gang 5 dan 6). Kegiatan ini bertujuan untuk membina kesehatan
masing-masing peserta, memberikan kesadaran serta pemahaman akan
pentingnya mencegah terinfeksi penyakit IMS. Selain itu, diharapkan baik
WPS maupun pengasuh menjadi lebih disiplin untuk menjaga tingkah laku di
luar area Resosialisasi.
2. Skrining
Hari, tanggal : Kamis, 12 Desember 2013
Jam : 10.00 - 12.00 WIB
Lokasi : Balai Pertemuan Sunan Kuning
Pelaksana : Petugas Klinik Griya Asa
Peserta : Seluruh WPS gang 4, 5, dan 6
Laporan :
Telah dilaksanakan kegiatan skrining pada seluruh WPS gang 5 dan 6.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan masing-masing
peserta agar bisa dilakukan tindakan pencegahan dan terapi awal apabila
ditemukan WPS yang diduga terkena penyakit IMS, memberikan kesadaran
serta pemahaman akan pentingnya mencegah terinfeksi penyakit IMS dengan
mengikuti program skrining.
3. Senam
Hari, tanggal : Sabtu, 14 Desember 2013.
Jam : 06.00 - 07.30 WIB
Lokasi : Sunan Kuning
25
Pelaksana : Pengurus Resosialisasi, instruktur senam
Peserta : Seluruh WPS gang 4, 5, 6
Laporan : Telah dilaksanakan kegiatan jasmani berupa senam yang
diikuti oleh seluruh peserta yang tegabung dari gang 4, 5, dan 6. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk menjaga kesehatan jasmani dari masing-masing peserta
sehingga mereka tetap bugar.
26
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarakan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap WPS, mucikari, PE, PL,
dan pengurus resos, didapatkan hasil bahwa penularan IMS dan HIV masih belum dapat
terkontrol dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Kesadaran WPS mengenai kesehatan seksual yang kurang dengan tidak memakai
kondom jika berhubungan dengan pelanggan atau pacarnya sendiri, sehingga diduga
sumber penularan pun dapat berasal dari tamu ataupun pasangan WPS sendiri.
Sulitnya mengontrol kesehatan dan perilaku seksual pasangan/pacar/tukiman dari
WPS itu sendiri.
Sulit mengontrol WPS yang tinggal di luar wisma, sehingga para pengasuh tidak
dapat mengawasi secara maksimal anak asuhnya.
Kurangnya sumber daya manusia dalam mendukung tercapainya tujuan dari resos
tersebut dan mengurus semua WPS dalam hal KIE mengenai IMS, HIV dan AIDS.
Adanya Freelance yang tidak diharuskan untuk mengikuti screening dan kegiatan
wajib di resosialisasi, sehingga ada kemungkinan penularan penyakit dari mereka.
SARAN
Sebaiknya dilakukan pemantauan yang berkesinambungan oleh PL maupun pengurus
resos, dan dilakukan tindak lanjut yang tegas untuk peraturan masalah kesehatan
yang telah dilanggar.
Melakukan kerjasama dengan pemerintah kota setempat untuk membantu kelancaran
kegiatan resos tersebut.
Melakukan screening dan KIE terhadap pasangan/pacar/tukiman para WPS sehingga
dapat mencegah penularan IMS dan HIV.
Diadakannya kursus keahlian seperti memasak, salon, terhadap para WPS, untuk
bekal ketrampilan pekerjaan jika sudah keluar dari SK maupun berganti profesi
nantinya.
27
Kepada pengurus agar selalu memberikan motivasi kepada WPS untuk
mengumpulkan modal sehingga nantinya dapat keluar dari SK dan bekerja mandiri
untuk melanjutkan hidup yang lebih baik.
Diadakan pula screening untuk freelance sehingga dapat membantu mencegah
penularan.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Prostitusi. Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/HIV/AIDS_di_Indonesia . Diakses
16 Desember 2013.
2. Infeksi Menular Seksual. Tersedia di :
http://pokdisusaids.wordpress.com/2011/04/07/infeksi-menular-seksual/. Diakses 16
Desember 2013.
3. United Nations Joint Programs on HIV/AIDS and World Health Organization. AIDS
Epidemic Update 2006. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS / World
Health Organization. Geneva. 2006
4. Statistik kasus AIDS di Indonesia. Tersedia di:
http://www.spiritia.or.id/Stats/Statistik.php. Diakses 16 Desember 2013.
5. Situasi HIV & AIDS Yang Dilaporkan Di Indonesia Pada Triwulan I tahun 2011.
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Tersedia di
LT1Menkes2011. pdf
6. Data Griya Asa 2013.
29
LAMPIRAN
30
31
32
Pembinaan di Balai Pertemuan Sunan Kuning Kegiatan Mapping
Kantor Pengurus Resos Salah satu ruangan karaoke di Sunan Kuning
Kegiatan Senam WPS Peraturan bagi Pengguna Jasa Sunan Kuning
33
Salah Satu Wisma di Sunan Kuning Salah Satu Wisma di Sunan Kuning
Kegiatan para WPS di siang hari Salah Satu kamar WPS
Kegiatan WPS di siang hari Alat “Siap Tempur” WPS di Salah Satu Wisma
34