Ipar Itu Adalah Maut

12
Ipar Itu Adalah Maut MuslimahZone.com Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya: “Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih?” Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata: “Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh. Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya.” Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi: “Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya! Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu.

description

Ipar Itu Adalah Maut

Transcript of Ipar Itu Adalah Maut

Page 1: Ipar Itu Adalah Maut

Ipar Itu Adalah Maut

MuslimahZone.com –  Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi

kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di

wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:

“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku

perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu

galau dan bersedih?”

Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:

“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh. Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang

dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk

mencari jalan keluarnya.”

Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh.

Kemudian ia berkata lagi:

“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan

istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd,

yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas

di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya.

Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di

rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka

takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!

Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber

seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah

melewati masa remaja seperti itu.

Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia

akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan

pekerjaan dan banyak lagi.

Page 2: Ipar Itu Adalah Maut

Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang

Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski

itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau

mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Ipar itu adalah maut”

Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang

suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke

dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya

dapat terjadi di sini.

Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di

rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti

tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah.”

Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan

kembali ucapannya:

“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa

yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah

kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka,

bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti

kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia

melanjutkan pendidikan tingginya.”

“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku

dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga,

karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku

mengatakan: “Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah

padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan

berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat”

Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:

“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin

menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan

Page 3: Ipar Itu Adalah Maut

keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang

sangat berat ini?”

Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:

“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan?

Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-

benar seorang peragu dan bimbang.

Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua

orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang

tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika

adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan

ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama

engkau pergi.”

Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Khalid terhadap apa yang

diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:

“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu

sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan

padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada

adikmu?”

Khalid segera memotongnya:

“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”

Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…”, potong Shaleh.

“Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu,

baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya

karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri,

wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk

mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?

Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan

berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah

Page 4: Ipar Itu Adalah Maut

dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd,

tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan

rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”

Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya

pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.

Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian

meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti

itulah yang terjadi selanjutnya.

Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu.

Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak.

Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir

menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan

pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di

rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.

Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai

mobilnya, ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat

seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan

seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua itu terus

berteriak meminta tolong:

“Tolong! Toloooong kami!”

Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk

mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.

Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru

sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu

adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si

anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya.

Page 5: Ipar Itu Adalah Maut

Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak

menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.

Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata:

“Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu, bantulah aku dan anakku ke rumah sakita

terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”

Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa

kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa

mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya

meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya

mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.

Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan

administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani

operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.

Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu

tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu

dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu

bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria.

Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu

berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia

akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.

Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok,

dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu

berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan

yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya.

Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang

mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia!

Itu dia!”

Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera

mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”

Page 6: Ipar Itu Adalah Maut

Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan

bertanya: “Anda Khalid?”, “Ya benar”, jawabnya. “Kami ingin Anda datang sekarang juga ke

ruang kepala keamanan!”, ujar si petugas.

Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah,

ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah

penjahat keji itu! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai

malangnya nasibmu, wahai putriku!”

Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di

sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:

“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah

memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi,

engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak

bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk

membawanya ke panti sosial!”

Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia

tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di

kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.

Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas

keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera

mengajukan pertanyaan untuknya:

“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya

engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah

pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”

Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:

“Tuan-tuan, apakah seperti ini balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu

dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga

orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik.”

Page 7: Ipar Itu Adalah Maut

Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.

Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu

secara lengkap.

Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:

“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya

harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu

dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan

beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat

sebenarnya.”

“Hakikat apa?” potong Khalid, “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat?

Apakah kalian tidak mempercayaiku?”

Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa

ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah

ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa

yang sebenarnya telah terjadi.

Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh

mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam

masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta.

Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa

syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi

itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan

putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis

yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari

tuduhan keji itu.

Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih.

Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:

“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit.”

Page 8: Ipar Itu Adalah Maut

Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:

“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda

mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda

berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar

saya bisa memastikannya dengan yakin.”

Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:

“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita, aku rela menerima semua takdir

Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap

mengorbankan apa saja untuk mereka.”

Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:

“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan

hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke

sini untuk pemeriksaan.”

Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu.

Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk

pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke

rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba

telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang

menelponnya beberapa menit.

Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang

mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak

membongkar pintu apartemen itu?”

“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan

kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup

itu,” jawab Khalid.

“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.

“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun

terakhirnya di universitas.”

Page 9: Ipar Itu Adalah Maut

“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan

apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.

“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.

Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan

akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta

Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya.

Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang

dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat.

Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali

penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi

musibah, dan memang demikianlah dunia itu.

Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:

“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk

menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa

yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”

Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:

“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus

diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan

mengubah keadaan”

Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:

“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak, Ketiga anak itu

bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”

Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya

memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.

Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia

sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.

Page 10: Ipar Itu Adalah Maut

Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang

menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang

tersisa.

Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan

pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.

Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum

yang sesuai dengan kejahatannya. Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti

sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan.

Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.” “Dan engkau tak akan menemukan

perubahan pada ketentuan Allah.”

Sumber : akhwatindonesia.com

(fauziya/muslimahzone.com)