Ipar Itu Adalah Maut
-
Upload
asep-ahmad -
Category
Documents
-
view
223 -
download
1
description
Transcript of Ipar Itu Adalah Maut
Ipar Itu Adalah Maut
MuslimahZone.com – Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi
kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di
wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:
“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku
perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu
galau dan bersedih?”
Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh. Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang
dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk
mencari jalan keluarnya.”
Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh.
Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan
istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd,
yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas
di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya.
Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di
rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka
takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!
Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber
seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah
melewati masa remaja seperti itu.
Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia
akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan
pekerjaan dan banyak lagi.
Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang
Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski
itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau
mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar itu adalah maut”
Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang
suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke
dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya
dapat terjadi di sini.
Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di
rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti
tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah.”
Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan
kembali ucapannya:
“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa
yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah
kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka,
bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti
kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia
melanjutkan pendidikan tingginya.”
“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku
dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga,
karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku
mengatakan: “Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah
padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan
berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat”
Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin
menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan
keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang
sangat berat ini?”
Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan?
Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-
benar seorang peragu dan bimbang.
Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua
orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang
tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika
adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan
ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama
engkau pergi.”
Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Khalid terhadap apa yang
diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:
“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu
sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan
padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada
adikmu?”
Khalid segera memotongnya:
“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…”, potong Shaleh.
“Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu,
baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya
karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri,
wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk
mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan
berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah
dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd,
tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan
rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya
pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian
meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti
itulah yang terjadi selanjutnya.
Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu.
Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak.
Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir
menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan
pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di
rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai
mobilnya, ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat
seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan
seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua itu terus
berteriak meminta tolong:
“Tolong! Toloooong kami!”
Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk
mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.
Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru
sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu
adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si
anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya.
Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak
menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.
Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata:
“Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu, bantulah aku dan anakku ke rumah sakita
terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa
kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa
mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya
meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya
mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan
administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani
operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu
tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu
dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu
bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria.
Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu
berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia
akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.
Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok,
dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu
berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan
yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya.
Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang
mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia!
Itu dia!”
Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera
mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan
bertanya: “Anda Khalid?”, “Ya benar”, jawabnya. “Kami ingin Anda datang sekarang juga ke
ruang kepala keamanan!”, ujar si petugas.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah,
ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah
penjahat keji itu! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai
malangnya nasibmu, wahai putriku!”
Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di
sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah
memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi,
engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak
bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk
membawanya ke panti sosial!”
Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia
tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di
kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas
keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera
mengajukan pertanyaan untuknya:
“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya
engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah
pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”
Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
“Tuan-tuan, apakah seperti ini balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu
dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga
orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik.”
Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu
secara lengkap.
Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:
“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya
harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu
dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat
sebenarnya.”
“Hakikat apa?” potong Khalid, “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat?
Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa
ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah
ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa
yang sebenarnya telah terjadi.
Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh
mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam
masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta.
Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa
syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi
itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan
putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis
yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari
tuduhan keji itu.
Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih.
Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit.”
Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda
mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda
berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar
saya bisa memastikannya dengan yakin.”
Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita, aku rela menerima semua takdir
Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap
mengorbankan apa saja untuk mereka.”
Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:
“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan
hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke
sini untuk pemeriksaan.”
Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu.
Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke
rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba
telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang
menelponnya beberapa menit.
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang
mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak
membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan
kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup
itu,” jawab Khalid.
“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun
terakhirnya di universitas.”
“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan
apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.
“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan
akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta
Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya.
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang
dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat.
Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali
penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi
musibah, dan memang demikianlah dunia itu.
Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk
menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa
yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus
diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan
mengubah keadaan”
Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak, Ketiga anak itu
bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”
Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya
memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.
Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia
sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.
Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang
menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang
tersisa.
Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan
pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum
yang sesuai dengan kejahatannya. Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti
sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan.
Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.” “Dan engkau tak akan menemukan
perubahan pada ketentuan Allah.”
Sumber : akhwatindonesia.com
(fauziya/muslimahzone.com)