Dokter Penghantar Maut

download Dokter Penghantar Maut

of 22

description

Berita

Transcript of Dokter Penghantar Maut

TUGAS kode etik KEPERAWATAN ARTIKEL MALPRAKTEK

Oleh :

Argia Yuana SPRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT

MOJOKERTO

2010Dokter Penghantar Maut

Malpraktik menghantui pasien di rumah sakit. Bukan cuma salah prosedur.

Jum'at, 27 Februari 2009, 20:56 WIB

Nurlis E. Meuko, Sandy Adam Mahaputra, Lutfi Dwi Puji Astuti, Zaky Al-Yamani VIVAnews - LUBANG sebesar bola tenis berada tepat di atas pusar Sisi Chalik. Tampak tersembul gumpalan usus. Berwarna merah, dan memekar saat dia buang air besar. Kotoran itu keluar bukan dari jalan lazim. Tapi dari liang di atas pusar. Setiap hari, lebih dari sekali, dia harus mengganti perban penutup ususnya. Kerepotan itu sudah dijalaninya sembilan tahun. "Mana ada orang menerima keadaan tak normal begini," kata perempuan 47 tahun ini kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat 27 Februari 2009. Sisi normal sejak lahir. Sampai petaka itu menimpanya 16 Mei 2000. Waktu itu, dokter di Rumah Sakit Budhi Jaya, Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, menemukan myoma (tumor) dalam rahimnya. Dia lalu digiring ke meja operasi. Aksi bedah itu memang selesai. Tapi lima hari berselang, perutnya malah bengkak. Nafasnya sesak. Dia lalu kembali ke meja operasi di rumah sakit sama. "Ternyata ditemukan kebocoran usus," ujar Sisi. Dia marah. Ditepisnya tawaran operasi gratis dari rumah sakit itu. Sejak itulah perutnya terus berlubang. Ususnya tampak menyembul. Perut bocor itu rupanya membuat hidupnya makin pelik. Dia dicerai suaminya, dan dijauhi kerabat. Dia bahkan tak diterima oleh keluarga besarnya lagi. "Karena itu, saya menggugat dokter," katanya. Hidupnya jadi nestapa. Tapi Sisi tetap tabah. Dia lalu memulai perjuangannya menghadapi dunia medis. Langkah pertama, dia membawa kasus ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Tapi Majelis rupanya punya penilaian berbeda. Dokter dan rumah sakit, kata putusan Majelis itu, tak melakukan kesalahan. Tuntutan Sisi pun kandas. Sisi kemudian mencoba cara lain. Dia menempuh peradilan konvensional. Mulanya, dia menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sisi minta ganti rugi Rp 3 miliar. "Saya butuh untuk operasi di RS Mount Elisabeth Singapore," katanya. Di meja hijau, kasus itu sempat menggantung sembilan tahun. Kuasa hukum RS Budhi Jaya, Iswahjudi Karim, mengatakan kliennya tak salah. "Justru dia tak mau menjalani operasi akhir untuk penyambungan usus," kata Iswahjudi. "Ingin disembuhkan tidak mau." Pengadilan akan memutuskan kasus itu pada Senin 3 Maret 2009 ini.***Soal dokter digugat pasien, mungkin bukan perkara baru. Catatan malpraktik sudah dibukukan sejak 1923, salah satu yang terkenal adalah Kasus Djainun. Si pasien itu mati karena kelebihan dosis obat. Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung. Kebanyakan pasien memang kalah di meja hijau. Hukum kedokteran pun sempat menjadi topik di kalangan medis. Sayangnya, pembahasannya timbul tenggelam seirama munculnya kasus malpraktik. Soal itu baru mendapat sorotan media jika yang terkena, misalnya, adalah tokoh public. Ambil contoh kasus Augustianne Sinta Dame Marbun, pada 2003. Dia istri Hotman Paris Hutapea, advokat papan atas di Jakarta. Hotman berteriak ketika tahu sebuah rumah sakit ternama di Ibukota salah mendiagnosa isterinya. Dia sampai membawa isterinya berobat ke Singapura. Meski Hotman adalah pengacara, kasus ini tak sampai bergulir ke meja hijau. Tiga tahun kemudian, mencuat kasus Sita Dewati Darmoko. Dia istri bekas Direktur Utama PT Aneka Tambang, Darmoko. Menderita tumor ovarium, Sita dioperasi di satu rumah sakit mewah di Jakarta. Keluar dari kamar bedah, Sita malah tambah parah. Dia akhirnya meninggal. Rumah sakit itu menjanjikan ganti rugi Rp 1 miliar. Tapi ingkar. Akhirnya keluarga almarhum menggugat perdata. Majelis mengabulkannya. Rumah sakit harus membayar Rp 2 miliar kepada keluarga malang itu. Hakim menyebut dokter tak teliti. Perkara terbaru adalah petaka menimpa Dorkas Hotmian Silitonga. Hingga Jumat 26 Februari 2009, perempuan 32 tahun ini masih tergolek di sebuah bangsal Rumah Sakit Mangun Ciptokusumo, Jakarta Pusat.Dorkas menjalani operasi sesar bagi kelahiran anak pertamanya, di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, Jawa Barat, tiga bulan lalu. Sejak dibedah itu, dia tak sadar. Dorkas malah koma. Lalu dirawat di RSCM Jakarta Pusat. Untuk membuatnya siuman, dokter sudah kehabisan akal. Penasihat Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany, mengatakan kelalaian dokter itu sangat kerap. Yang tampak ke permukaan hanyalah pucuk. " Dari seratus kejadian malpraktik, mungkin cuma sepuluh yang dilaporkan," katanya.

Mengapa Dorkas Koma Tiga Bulan ???Operasi sesar dilakukan saat tensinya tinggi. Hingga kini tidak sadarkan diri.

Dorkas saat dirawat di rumah (Dokumentasi ANTV)

VIVAnews - WAJAH Dorkas terus mendongak ke plafon kamar. Matanya melotot. Tatapannya kosong. Ibu muda berusia 32 tahun ini berbaring lunglai di kamar 520 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Saat VIVAnews berkunjung ke sana Kamis pagi pekan ini, mata Dorkas tak pernah terpejam. Dia terus melotot hingga pamit sore hari.Sebuah selang infus menikam tangan kanannya. Sudah berhari-hari belasan botol infus mengalirkan makanan cair, juga vitamin ke dalam tubuhnya. Dan infus itulah satu-satunya penopang jiwa raga Ibu beranak satu ini. Dia juga sudah tidak kuasa menghirup udara. Sebuah selang tabung oksigen menyusup ke lubang hidung. Lewat selang itulah oksigen dialirkan ke seluruh tubuh. Nafasnya pelan. Di sampingnya berjaga setia seorang wanita tua. Dialah Tiromsa Simanjuntak, ibunda wanita malang ini. Tiromsa terus-terusan menatap iba sembari menyeka wajah anaknya dengan kain basah. Usapan kain basah itu dilakukan agar wajah sang anak tidak kering. Maklum, sudah tiga bulan wanita ini tidak sadarkan diri. Koma. Saban hari sang suami dan ibunda cuma bisa pasrah. Airmata kami seakan sudah kering, tutur Tiromsa sembari mengusap wajah anaknya. Di ruangan 502 itu Dorkas tak sendiri. Kamar berukuran sedang ini juga dihuni lima pasien lainnya. Sehari tarifnya Rp 100 ribu. Tidak ada televisi apalagi meja tamu. Tapi ada penyejuk udara yang bisa memberikan kenyamanan. Kisah pilu Dorkas Hotmian Silitonga ini bermula dari dini hari, 9 November 2008. Saat itu dia tengah hamil tua. Sekitar pukul 03.30 WIB, perutnya mulas terus-terusan. Pertanda sang janin hendak menemui dunia. Repotnya sang suami, Ramli Simanjuntak, tidak di rumah. Dia bekerja di Lampung. Beruntung ada Rico, sepupu yang selalu menemani Dorkas saat kehamilan menginjak bulan tua. Juga ada Mazmudin dan Tuti Amiyati, pasangan suami istri yang menjadi tetangga dekatnya. Bersama Rico dan dua tetangga itulah Dorkas di bawa ke Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, Jawa Barat. Dorkas diboncengi Rico. Ibu hamil ini menembus dinginnya udara malam sambil menahan rasa mules. "Dorkas dibawa menggunakan sepeda motor sepupunya, Rico dan saya dengan istri ikut mengantar," kata Mazmudin kepada VIVAnews.

Perjalanan menempuh waktu kurang lebih dari sepuluh menit. Memang jarak rumah Dorkas di di Pancoran Mas RT 2 RW 17 Nomor 35 Kampung Baru, Depok, ke rumah sakit berdekatan. Setibanya di rumah sakit, Dorkas langsung diperiksa dokter. Menurut Mazmudin, ketika itu dokter mengatakan masih pembukaan satu. Tapi ada yang mencemaskan. Tensi darahnya cukup tinggi antara 180/100. Setelah mendapatkan pemeriksaan, pukul 17.30 di hari yang sama tensi darahnya turun menjadi 160/100. Mazmudin dan istri memutuskan pulang dulu ke rumah. Dorkas hanya ditemani sepupunya. Keesokan paginya, lewat telepon Dorkas mengabarkan kepada Mazmudin bahwa bayinya telah lahir lewat operasi sesar. Jenis kelamin perempuan. Bayi mungil diberi nama Patricia Margaretha Simanjuntak. Mazmudin senang tapi dia terheran-heran dengan operasi sesar itu. "Saya langsung tanya ke dia kenapa disesar, bukannya tekanan darahnya masih tinggi," kata Mazmudin. Dorkas hanya menjawab, "Iya tidak apa-apa yang penting saya dan bayi sudah selamat." Dirubungi rasa bahagia Mazmudin dan istri melaju kembali ke rumah sakit untuk melihat langsung keadaan Dorkas dan anaknya. Mereka tiba pukul sepuluh pagi. 10 November 2008. Sampai di sana Dorkas tengah marah-marah. Rupanya Dorkas belum diperbolehkan bertemu putrinya usai melahirkan. Amarahnya kian memuncak ketika dia melihat keponakannya datang menjenguk. Mestinya, kata Dorkas, sang keponakan pergi ke sekolah, bukan malah menjenguknya di rumah sakit. Emosi yang meletup-letup membuatnya menjadi sesak nafas dan kejang-kejang. Sontak hal ini membuat panik kerabat Dorkas. Para dokter pun langsung datang melakukan penanganan dengan memberikan bantuan pernafasan. "Istri saya langsung dipeluk Dorkas, sambil mengatakan jangan tinggalkan saya mbak," lanjut Mazmudin. Dokter langsung memberikan bantuan suntikan. Kepada Mazmudin dokter mengatakan keadaan Dorkas memburuk dan harus segera dirujuk ke RS Mitra Depok, karena di sini tidak ruang ICU. Tak berapa lama berselang, Dorkas tertidur dan tak sadarkan diri hingga lunglai di rumah sakit Cipto itu.Sejumlah media kemudian memberitakan bahwa Dorkas korban mallpraktik. Para dokter dianggap lalai lantaran melakukan operasi saat tensi darahnya masih tinggi. Betulkah? Tidak mudah memastikannya. Dr. Ari Kusuma Spog, dokter yang merawat Dorkas, menjelaskan bahwa ibu muda itu mengalami preklaimsia berat alias keracunan kehamilan. Ahli kebidanan dan kandungan itu menegaskan bahwa saat masuk rumah sakit, Dorkas sudah mules dan tensi darahnya 160/100. Kedua kakinya juga bengkak.

Setelah diperika di labotarium, ternyata ada penyakit kehamilan preklaimsia berat karena tensi darah yang cukup tinggi. Ditambah lagi belum juga ada pembukaan. Lalu kami setuju untuk segera dilahirkan bayinya, kata sang dokter.Operasi itu dilakukan lantaran menurut hasil diagnosa denyut jantung sang janin naik menjadi 170 per menit. Normalnya, kata sang dokter, denyut nadi janin Sembilan bulan di bawah 150 per menit.Kondisi bayi juga sudah kurang oksigen dan mengkhawatirkan, tensinya juga tidak turun. Keluarga akhirnya sepakat untuk dioperasi sesar. Setelah operasi itu kondisi ibunya stabil, anaknya juga baik-baik saja. Sang dokter menuturkan bahwa hingga esoknya kondisi Dorkas stabil. Kondisinya kemudian berubah setelah sang pasien sempat marah dengan pihak keluraga. Tiba-tiba dia sesak nafas yang sangat akut, gelisah dan batuk. Saya langsung cek bersama dokter anastesi, kata Ari.

Sang dokter menambahkan bahwa Dorkas mengalami komplikasi di paru-paru dan penyakit preklamsia. Dia sulit bernafas dan oksigen berkurang. Sehingga langsung drop hilang kesadaran dan tensi tidak terukur. Kami berdua langsung memberikan obat-obatan anti kejang dan hipertensi dan tensi mulai naik lagi, katanya.Dalam kondisi seperti ini pasien butuh perawatan khusus yaitu Intensive Care Unit (ICU). Itu sebabnya para dokter merujuk Dorkas ke RS Mitra Keluarga Depok. Sebab rumah sakit ini tidak memiliki ruang ICU. Dorkas lalu dipindahkan ke RS Mitra Depok. Suami Dorkas, Ramli Simanjutak, sontak kaget mendengar berita istrinya memburuk pasca melahirkan. Di tengah kegalauan, Ramli yang sedang bekerja di Lampung langsung melaju pulang. "Saya kaget, karena sebelumnya dia sempat telepon kalau kondisinya sehat," kata Ramli kepada VIVAnews.

Ramli mengenang, dia sempat menelepon Dorkas terakhir kalinya pukul 07.00, 10 November 2008. Dia tak menyangka ketika itu menjadi percakapan terakhir Ramli dengan sang istri Dorkas yang tak sadarkan diri hingga sekarang. "Saya ingat dia bilang ingin sarapan dan minta saya cepat pulang," ungkapnya. Menurut Ramli, Dokter RS Mitra, mengatakan istrinya dalam kondisi kritis. Setelah di-scan ulang di rumah sakit itu ternyata ada pembengkakan otak yang parah. Penyebabnya suplai oksigen ke otak sempat berhenti. "Dokter sudah memvonis harapan istri saya sangat kecil," katanya. Mulai sejak itu Dorkas terbaring di ICU tanpa ada kemajuan apapun. Biayapun terus mengalir hingga ratusan juta. Harta benda sudah habis terjual. Demi kesembuhan sang istri, Ramli rela meminjam uang dari keluarga dan teman-temannya. Ramli mengaku sudah habiskan uang Rp 168 Juta. Secercah harapan timbul, pada 14 November 2008. Dorkas mulai bisa bernafas, setelah sebelumnya menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator). Tapi sayangnya Dorkas masih juga tak sadarkan diri. Sampai akhirnya tim dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga yang berjumlah lima orang pun angkat tangan.

Kepala Humas Marketing Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok Florida Ilona mengatakan, Dorkas masuk rumah sakit sudah kesadarannya sudah menurun. Untuk bernafas juga dibantu dengan alat. Dorkas langsung dirawat di ruang ICU. Setelah dilakukan pemeriksaan rekam otak, ada pembengkakan di bagian otak. Setelah dirawat di ruang ICU selama 16 hari dengan bantuan alat pernafasan, Dorkas kemudian dibawa ke ruang perawatan setingkat di bawah ICU sehingga kondisi pasien stabil dan dilanjutkan ke ruang perawatan biasa. Korban selama di rumah sakit ini menjalani terapi hingga dipulangkan pada 17 Desember 2008. Menurut Florida, setelah pulang kondisi pasien stabil dengan keadaan tanda vital baik yakni tensi, tekanan, darah nadi dan pernafasan dalam keadaan baik. Namun kesadarannya masih rendah dan meneruskan perawatan di rumah. "Kami berusaha maksimal, kesadarannya sudah memburuk sejak datang," ujarnya.

Ramli memutuskan untuk membawa pulang sang istri karena sudah tidak mampu membayar biaya perawatan. Tapi Ramli tidak mau menyerah begitu saja, dia masih menempuh pengobatan dengan cara akupuntur. "Tapi sama sekali belum ada kemajuan," terangnya. Istri tak kunjung sembuh, Ramli juga masih dipusingkan dengan sisa pembayaran rumah sakit. Biaya perawatan mantan guru honorer SMP 127 Jakarta itu masih menyisakan pembayaran Rp 13 juta. Beruntung biaya perawatan Aida, begitu Dorkas dipangggil, dibantu keluarga besarnya dan perkumpulan gereja. Suaminya pun menjaminkan sepetak rumah yang dihuninya. Salah satu kerabat Dorkas, Evita Hutapea menyebutkan, RS Mitra Keluarga sempat tidak memperbolehkan membeli obat di luar dan tak memperbolehkan pasien pulang lebih cepat. Bahkan rumah sakit ini menolak surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Alasannya RS Mitra Keluarga bukan rumah sakit mitra Jamkesmas. Namun tudingan ini, dibantah Florida. Menurut Florida, sampai saat ini keluarga pasien tidak pernah menyatakan keberatan biaya baik lisan muapun secara tertulis. Selama ini pasien dianggap mampu karena tidak ada pernyataan dari pihak keluarga terkait ketidakmampuan. Semenjak menjalani perawatan selama tiga bulan di rumah, sejumlah media silih berganti datang rumah Dorkas. Kabar soal Dorkas sampai ke Dinas Kesehatan Depok. Dinas Kesehatan Kota Depok akan merujuk Dorkas ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Akhirnya dengan menumpang ambulans B 7313 QK milik Dinas Kesehatan Kota Depok, pukul 14.00, Senin, 24 Februari 2009 Dorkas tiba di RS Cipto Mangunkusumo. Setelah sampai di RSCM Dorkas tidak langsung ditangani. Sekitar satu jam lebih, belum mendapat ruang perawatan. Dorkas tergolek lemah di kasur dorong di lorong kamar pasien. "Kami sudah menunggu lama, kasihan istri saya," kata Ramli. Namun RSCM membantah menelantarkan. Humas RSCM Yati Bahar mengatakan, saat Dorkas tiba langsung dibawa ke ruang UGD.

Dorkas memang tidak langsung dibawa ke kamar UGD. Sebab kapasitas kamarnya tidak memenuhi. "Kemarin saja jumlahnya 42 orang. Dan tempat tidur pasien cuma 10 di ruang UGD," katanya. Selain itu di ruang isolasi hanya ada tiga bangsal. Kendati tidak dibawa ke ruang perawatan UGD, namun Dorkas diletakkan di depan ruang perawatan. "Jadi bisa langsung dikontrol," kata Yati. Tim dokter langsung memeriksa fisik. Begitu juga tim neurologi ikut memeriksa. Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kondisi Dorkas Hotmian Silitonga belum mengalami kemajuan. Namun pada Kamis, 26 Februari 2009 Dorkas menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan.Kondisi Dorkas pun mengalami perubahan. Dengan tubuh tergolek dan selang infus makanan di hidung, dia masih tertidur tak sadarkan diri. Matanya tampak masih melotot ke atas.Pada Kamis, 26 Februari 2009, Dorkas langsung menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan. Dr Fredi Sitorus, Specialis Neurologi RSCM mengatakan, berdasarkan hasil CT Scan, masih ada gelombang normal di otak Dorkas. Kerusakannya tidak total. Namun, kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatannya. "Bila selama enam bulan tidak ada perubahan maka Dorkas sulit mengalami perbaikan," ujar Fredi .Tekanan darah dan pernafasan Dorkas masih baik. Namun, Dorkas tidak bisa melakukan kontak dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dokter hanya memberikan obat untuk pemulihan kondisi fisiknya.Atas kondisi terakhir Dorkas, dokter RSCM meminta keluarga tidak terlalu berharap banyak. "Kami tidak mau memberikan harapan besar kepada keluarga," ujar Fredi. Kini Ramli dan ibunda Dokras, Tiromsa Simanjuntak terus berharap akan adanya keajaiban untuk kesembuhan istri dan menantu mereka. Meskipun tanda-tanda itu masih belum muncul hingga sekarang. Kami hanya berserah kepada Tuhan, kata Ramli.

***Kendati keluarga Dorkas menduga ada kelalaian dari dokter RS Bhakti Yuda Depok, namun mereka belum berpikir untuk menuntut rumah sakit. "Buat apa menuntut kalau istri saya tetap tidak sembuh, kecuali kalau bisa memulihkan istri saya," kata Ramli yang mengaku tidak tahu soal medis dan hukum.Namun jika ada lembaga yang berkompeten mengatakan terbukti penyebab ini karena adanya malpraktik Ramli akan berpikir lain. "Kalau itu pasti saya langsung menuntut mereka dengan jalur hukum," imbuhnya.

Menanggapi adanya dugaan malpraktik, Direktur Operasional RS Bhakti Yudha Dr. Hannibal Pardede menepisnya. Kami sudah melakukan pelayanan sesuai prosedur. Kalau memang ada kemungkinan lain, kami juga tidak bisa memprediksikan soal nyawa, katanya kepada VIVAnews. Dia menuturkan, dalam kasus ini harus ada yang menilai dari pihak berkompeten untuk melihat apakah terjadi kesalahan penanganan. Dalam hal ini Departemen Kesehatan dan IDI. Ini sudah dijalankan, sekarang sedang diproses, katanya. Hannibal mengatakan, rumah sakit akan tetap bertanggung jawab. Jika masalah ini hingga ke jalur hukum akan tetap ditempuh. Kami akan ikuti itu prosesnya. Kami tidak akan lepas tangan begitu saja, tutur Hannibal.

Mantri Kesehatan Lakukan Malpraktekindosiar.com, Pemalang - Seorang mantri kesehatan di Kabupaten Pemalang ditahan petugas Polsek Petarukan, Pemalang karena melakukan malpraktek terhadap pasien hingga meninggal dunia. Bersama seorang rekannya yang kini buron, tersangka nekad melakukan operasi hernia yang diderita oleh korban. Edi Kusnadi warga Desa Kendalsari, Pemalang kini harus berurusan dengan petugas Polsek Petarukan Pemalang setelah dilaporkan menjadi penyebab tewasnya Dul Alwi tetangganya sendiri. Bersama seorang rekannya yang kini buron, tersangka yang sehari-hari bekerja sebagai mantri kesehatan di Puskesmas Bode Pemalang ini diduga telah melakukan malpraktek saat mengoperasi penyakit hernia yang diderita korban.Kasus ini bermula saat korban datang ke rumah tersangka untuk memeriksakan penyakitnya. Melihat penyakit yang diderita korban sudah cukup parah, tersangka menawarkan untuk melakukan operasi dengan biaya sebesar 2 juta 250 ribu rupiah. Kepada pasiennya, tersangka mengatakan biaya tersebut dapat diansur selama tiga bulan.Karena tergiur biayanya yang murah dan ingin penyakitnya cepat sembuh, korban yang berumur 75 tahun menerima tawaran tersangka. Bersama seorang rekannya yang pernah menjadi asisten dokter bedah di salah satu rumah sakit swasta Pemalang, tersangka melakukan operasi terhadap korban di rumahnya. Dengan melakukan pembedahan di dua tempat sebelah kanan dan kiri alat vital korban. Seminggu setelah operasi, korban mengalami pembengkakan dibagian bekas jahitan. Pembengkakan disertai nanah itu terus membesar hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit. Karena tida memiliki biaya, korban Dul Alwi minta pulang paksa dan hanya menginap dua hari di rumah sakit tersebut. Korban akhirnya meninggal dunia setelah dua hari mendapat perawatan di rumah.

Kapolsek Petarukan AKP Utomo menjelaskan, dari hasil pemeriksaan terungkap, meski berstatus sebagai karyawan puskesmas, tersangka ternyata tidak memiliki ijin praktek pengobatan dan melakukan operasi. Akibat perbuatannya, selain terancam dipecat sebagai PNS, tersangka juga akan dikenai pasal 359 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. (Kuncoro Wijayanto/Sup)Dugaan Malpraktek Pasien Dioperasi Tanpa Pemberitahuan Keluargaindosiar.com, Jakarta - 24 hari sudah Nina Dwi Jayanti, putri pasangan Gunawan dan Suheni warga Jalan Perum Pucung Baru Blok D2 No.6 Kecamatan Kota Baru, Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Menurut cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM, Nina masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2009 lalu karena mengeluh tak bisa buang air besar. Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendik atau usus buntu.Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan. Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10 jahitan lebih. Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya. (Endro Bawono/Sup) ***Masyarakat, kata Hasbullah, masih beranggapan kejadian yang dialaminya itu adalah takdir. "Masyarakat tidak tahu, malpraktik bisa dilaporkan. Korban bisa mendapat kompensasi atau perbaikan," katanya. Celakanya, catatan medik sering tak lengkap di rumah sakit atau di tempat praktek dokter. Akibatnya, sulit melacak prosedur penanganan yang dilakukan dokter.

Pendapat sama disampaikan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Dr Marius Widjajarta. Dia menyarankan agar pasien berpedoman pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. "Sebagai konsumen, si pasien berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur," katanya. Konsumen? Marius mungkin benar. Rumah sakit toh kini sudah menjadi lembaga bisnis. Apalagi, Keputusan Menteri Kesehatan 756/2004, menyatakan jasa layanan kesehatan termasuk bisnis. Bahkan, World Trade Organisation (WTO) memasukkan Rumah Sakit (RS), dokter, bidan maupun perawat sebagai pelaku usaha.Selama sepuluh tahun, kata Marius, YPKKI selalu merujuk pada undang-undang konsumen itu. Dalam rentang waktu 1998-2008, lembaga itu sudah menangani 618 pengaduan di bidang kesehatan. Tahun 2009 (Januari-Februari) sudah masuk 10 kasus. Dimanakah lalu letak soalnya? Dari jumlah kasus itu, kata Marius, sekitar 60-65 persen persoalan berada pada dokter. Sisanya terjadi di rumah sakit, apotik, dan obat-obatan," katanya. Sekitar 90 persen kasus tak sampai ke pengadilan. "Selesai dengan mediasi," ujarnya. Posisi konsumen kesehatan Indonesia juga masih lemah. Alasannya, pengadilan kesulitan dalam pembuktian. "Maaf-maaf saja nih, penegak hukum kita banyak belum mengerti masalah kesehatan," ujar Marius. Meski pemerintah sudah memberlakukan Undang-undang Praktik Kedokteran, Marius masih ragu. Undang-undang ini mengatur penyelesaian kasus malpraktik melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Jika si dokter bersalah, hanya ada tiga jenis hukuman; tidak boleh praktek seumur hidup, tidak boleh praktek dalam waktu tertentu, atau disekolahkan kembali. Saat ini Marius sedang menguji lembaga ini. "Ada kecurigaan, dokter akan melindungi koleganya sesama dokter," katanya. Karena itu dia memasukkan dua kasus dugaan malpraktik yang korbannya adalah dokter juga. Kasus ini sudah berusia setahun belum ada putusannya.Ceritanya, seorang wanita dokter ahli farmakologi jadi korban malpraktik. Pada Maret 2008, si dokter masuk ke dokter spesialis bedah kosmetik. Dia bermaksud menyedot lemak. "Hasilnya, dia malah meninggal," kata Marius. Kasus inilah yang dimasukkan ke MKDKI, pada Maret 2008 itu.

Satu lagi, korbannya juga dokter. "Dia pengamat ekonomi terkenal," kata Marius. Dasar pendidikan korban itu juga dokter. Tapi dia belajar lagi dan jadi doktor ekonomi. Si dokter yang juga ekonom ini mengalami keropos tulang. Lalu dia masuk ke sebuah rumah sakit terkenal, dan dirawat seorang dokter ternama. "Hasilnya, dia malah lumpuh," kata Marius.Kasus terjadi pada sembilan bulan lalu ini kemudian digulirkan ke MKDKI. "Kalau mereka membela dokter oke, tapi jika korbannya dokter bagaimana sikap mereka?" kata Marius. Kasus ini juga belum ada putusannya. ***Penyebab malpraktik memang beragam. Salah satu pangkal soalnya adalah kurangnya jumlah dokter di Indonesia. Hasbullah dan Marius sepakat akan masalah ini. Ikatan Dokter Indonesia mencatat Indonesia cuma memiliki 50.000 dokter. Mereka tersebar di 1.500 rumah sakit. Diperkirakan kebutuhan dokter mencapai 88.000. Angka ini tampaknya sulit. Dari 52 fakultas kedokteran yang ada, hanya mampu mencetak 4.000 dokter per tahun. Masalah lainnya, kata Hasbullah, kesalahan prosedur di Indonesia ini karena banyak dokter tempat praktiknya lebih dari tiga tempat. "Pasiennya juga terlalu banyak," katanya. Seharusnya, dokter membatasi jumlah pasien. "Prakteknya, masih ada dokter pasiennya 100. Nggak mungkin teliti," katanya.Kekurangan ini bertambah parah. Dunia kesehatan di Indonesia, kata Marius tak memiliki standar pelayanan medik. Bahkan para dokter kebanyakan bekerja tanpa standar pelayanan rumah sakit, dan juga profesi. Yang ada hanya standar hati nurani," katanya. Menteri Kesehatan Siti Fadillah mengatakan malpraktik itu bukan urusan Departemen Kesehatan. Masalah itu berada pada wilayah profesionalisme. Itu tanggungjawab MKDKI," kata Menteri Siti. Jadi, kata dia, Departemen Kesehatan tak bisa menindak mereka yang melakukan malpraktik. Lalu, apakah dokter kurang teliti akibat mengejar setoran ke banyak tempat? Menteri Siti menolak tudingan kalau rumah sakit terlalu komersial. "Saya rasa ini bukan karena dokter atau RSnya yang terlalu memburu uang," ujarnya.Dokter memang kerap jadi sasaran jika malpraktik terjadi. Dia dengan cepat bisa dituding menjadi penghantar maut, ketimbang sebagai malaikat penyelamat hidup. Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Dr Fahmi Idris, tampaknya keberatan dengan pendapat itu. Dokter jangan kerap jadi sasaran kesalahan. Kasus malpraktik, kata Dr Fahmi, tak bisa dilihat secara parsial. Praktik medis melibatkan banyak pihak. "Ada pihak rumah sakit, seperti perawat, dan unsur lainnya," ujarnya.***

Ini Bukan Urusan Departemen Kesehatan

Menteri Kesehatan prihatin melihat maraknya kasus malpraktik.VIVAnews . Bagaimana tanggapan pemerintah atas maraknya kasus malpraktik, berikut wawancara dengan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.Mengapa malpraktik masih saja terus terjadi?Malpraktik itu bukan urusan Departemen Kesehatan. Tapi jadi tanggung jawab Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kalau menurut saya, jika ada kasus malpraktik harus segera ditindak, harus dilaporkan kepada yang berwenang.Sebenarnya saya sangat prihatin terhadap kasus malpraktik yang terjadi. Masalah ini harus segera diurus sebaik-baiknya sesuai dengan aturan yang ada pada Majelis Kehormatan. Sesuai undang-undang, kami tidak bisa menindak mereka yang melakukan malpraktik.

Malpraktik marak karena dokter dan rumah sakit terlalu memburu uang? Saya rasa ini bukan karena dokter atau rumah sakitnya yang terlalu memburu uang. Tidak seperti itu. Saya punya data bagaimana pelayanan dokter dan rumah sakit sekarang lebih bagus dari pada tahun 2003. Tapi saya tidak hapal berapa persennya. Jika dibandingkan dengan saat itu, tahun 2007 perawatan rawat jalan lebih bagus tiga kali lipat.

Bukankah kasus malpraktik cenderung meningkat?Ya karena memang media masih mengangkat malpraktik. Sehingga kesannya malpraktik masih marak. Kalau memang ada laporan malpraktik, laporan itu harus diteliti. Karena belum tentu orang tersebut malpraktik. Maka saya sarankan mereka yang merasa terkena malpraktik agar segera melapor ke Majelis Kehormatan.

Mengapa pemerintah terkesan lepas tangan?Menurut saya, tidak. Malpraktik terjadi karena tidak ada Undang-Undang Perumahsakitan. Sejak kita merdeka, undang-undang itu tidak pernah ada. Maka sekarang kita mencoba mengusulkan ke DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Perumahsakitan. Dengan adanya Undang-Undang Perumahsakitan, kita harap akan mengurangi tindakan malpraktik. Mengenai apa materinya, saya belum bisa bicara sekarang.

Selain soal undang-undang, apa upaya Departemen Anda mengatasi malpraktik?Tindakan kami adalah tindakan kuratif. Untuk mengatasi, rumah sakit harus memiliki standard operation prosedur (SOP). Dokter-dokter juga harus berpraktek sesuai Undang-undang Praktek Kedokteran. Dengan demikian tidak perlu terjadi tindakan malpraktik.

Berapa sebenarnya jumlah kasus malpraktik yang pernah terjadi?Saya tidak punya data soal itu. Semua ada di Majelis Kehormatan. Masyarakat bisa mengadukan kasus malpraktik ke mereka. Majelis Kehormatan harus lebih banyak mensosialisasikan diri supaya masyarakat tahu kemana mereka harus mengadukan dugaan tindak malpraktik.

Lembaga ini independen berdasarkan UU No 29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Mereka bertugas menerima, memeriksa, membuat keputusan dan memberikan sanksi atas pengaduan kasus dugaan malpraktik.

Apakah sudah ada laporan dari Majelis Kehormatan mengenai berbagai kasus malpraktik yang terjadi belakangan ini?Saya sudah tanyakan ini pada mereka, tapi saya belum dapat laporan. Saya memang mendengar ada beberapa kasus malpraktik yang terjadi sekarang ini, tapi itu kan butuh cek dan ricek, butuh proses untuk menelitinya.

Mengapa pemerintah hanya mengeluarkan buku hijau standar pelayanan minimal?Ya, karena standar itu memang harus ada. Kenapa tidak standar maksimal, karena di mana-mana, di seluruh dunia, yang diatur adalah memang standar minimal. VIVAnews Komentar :Semakin banyak kasus malpraktik yang diangkat atau terungkap, hal ini berindikasi bahwa masyarakat saat ini sudah amat kritis menyikapi pelayanan medik yang diberikan oleh tenaga medis. Berita malpraktik terasa memilukan karena sering kali terjadi di negeri ini. Posisi pasien masih dianggap sebagai penderita yang wajib mengikuti seluruh instruksi dokter dan aparatur kesehatan yang terkadang tidak melihat pasien sebagai konsumen. Apa bedanya pasien dan konsumen?. Bila melihat konteks pelayanan kesehatan di Indonesia maka saya dapat melihat bahwa, posisi pasien merupakan bentuk dari interpretasi patient (sabar), pasien merupakan pengguna jasa yang harus menerima secara pasif seluruh tindakan pemberi layanan dan untuk efektivitas proses tersebut maka ruang dialog yang terjadi hanya pada aspek penyebab (apa yang diderita?, kenapa itu terjadi?) sementara aspek pilihan dan akibat (apa saja jalan keluarnya?, bagaimana jika solusi 1, 2 dan 3 dipilih?) dari proses pelayanan kesehatan tersebut seringkali diabaikan, terutama jika yang dihadapinya adalah kelompok masyarakat miskin yang secara mudah bisa diidentifikasi (dengan askeskin misalnya). Yang kemudian terjadi adalah diskriminasi, dimulai dari kultur pelayanan (sikap dan perilaku), pilihan atas tindakan jasa kesehatan dan kompensasi atas biaya jasa kesehatan tersebut. Hal ini akan berbeda jika pengguna layanan tersebut dilihat sebagai konsumen. Dalam konsep ilmu ekonomi, konsumen merupakan aktor pembentuk interaksi ekonomi. Tanpa adanya konsumen maka tidak terjadi produksi dan tidak terbentuk juga pasar diantaranya. Konsep konsumen memiliki implikasi adanya proses asosiasi dan transaksi sebelum terjadinya proses konsumsi. Mekanisme harga pun terbentuk melalui kesepakatan di dalam proses transaksi tersebut. Memang untuk menjamin terjadinya proses yang sehat ini mensyaratkan adanya trust, informasi yang sempurna dan mekanisme pasar yang adil.

Jika pengguna layanan kesehatan di Indonesia lebih dilihat sebagai konsumen maka kultur pelayanan (sikap dan perilaku) yang dibentuk akan lebih beradab, proses yang terbuka terhadap dialog mengenai tindakan-tindakan jasa pelayanan yang bisa dipilih beserta akibat yang dapat ditimbulkan olehnya dan juga diskusi terhadap pengenaan kompensasi atas jasa layanan yang mereka terima. Kenapa orang-orang lebih melihat rumah sakit di Singapure sebagai tempat pengobatan, karena mereka lebih mampu untuk melihat pengguna jasanya sebagai konsumen ketimbang sekedar pasien. Kenapa banyak bocah miskin yang mati mengenaskan karena dioper dari rumah sakit ke rumah sakit lain, karena mereka dilihat sebagai pasien yang tidak berduit.

Ironis memang ketika institusi yang menyandang predikat kemanusiaan justru menjadi tidak manusiawi. Memang, di negeri ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan yang menjadi garda dan pedoman dalam pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tersebut nampaknya belum mampu mendudukkan pengguna layanannya sebagai konsumen yang diperlakukan secara adil. Toh dalam faktanya praktik diskriminatif dan malpraktek masih terjadi dan sulit sekali untuk dimintakan pertanggung jawaban. Nah inilah yang harus menjadi agenda pemerintah; pembuatan kebijakan kesehatan yang secara nyata menjamin terpenuhinya hak pengguna jasa sebagai konsumen yang adil tanpa diskriminasi. Kenapa perlu? Karena kesehatan adalah modal bagi pembangunan sumber daya manusia yang berdampak kepada pembangunan sektor lainnya. Kalau bangsa sendiri saja sudah dipecundangi oleh bangsanya sendiri maka yang tertawa adalah bangsa asing melihat ketololan kita.Saya juga tetap yakin akan adanya pioner-pioner institusi kesehatan yang muncul sebagai panutan dalam aspek ini. Rumah Sakit panutan yang memberikan pelayanan secara adil dan memberikan kesan pada masyarakatnya sehingga kemudian akan dikenal secara luas dan memperoleh penghargaan berupa promosi sebagai rumah sakit terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Semoga. Solusi :Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.

MALPRAKTEK menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insiniur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik.Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.Ada tidaknya Mal Praktik harus dibuktikan dengan empat kriteria hukum berikut ini :

Ada duty of careArtinya dokter atau rumah sakit mengaku berkewajiban memberi asuhan kepada pasien. Ini tidak sukar dibuktikan. Begitu psien terdaftar dan dokter mulai melakukan tanya-jawab, sudah terjadi kontrak medis atau kontrak pengobatan antara dokter dan pasien, sekalipun tidak tertulis. Kontrak medis berarti dokter / RS berjanji akan berusaha sebaik-baiknya dan pasien berjanji akan mematuhi petunjuk dan pengobatan yang diberikan dokter.

Ada breach of duty Artinya dokter / rumah sakit tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya. Wujud breach atau pelanggaran adalah :

1. Kekeliruan/kesalahan (error of commission, medical error) dalam tindakan medis, seperti kekeliruan diagnosis, interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, indikasi tindakan, tindakan tidak sesuai standar pelayanan, kesalahan pemberian obat, kekeliruan transfusi, dsb

2. Kelalaian berat (gross neglicence, error of emission). Tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut asas-asas dan standar praktik kedokteran yang baik.

Ada cedera (harm, damage) pada pasien, berupa cedera fisik, psikologis, mental, sampai yang terberat jika pasien cacat tetap atau meninggal.

Ada hubungan sebab-akibat langsung antara butir 2 dan 3, artinya cedera pada pasien memang akibat breach of duty pada pemberi asuhan kesehatan. Inilah yang paling sukar dibuktikan.Kelalaian MedikKelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat. Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari beberapa hal:

a. Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya untuk mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan pasien berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter atau dokter gigi tentunya tidak dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya tidak seperti yang diharapkan atau merugikan pasien, sepanjang tindakan yang dilakukannya telah memenuhi standar profesi medik yang ada. b. Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi mempunyai pendapat yang berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain mengenai penyakit pasien belumlah berarti bahwa ia telah menyimpang, karena untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan atau tidak harus berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut dengan bantuan pendapat ahli atau saksi ahli. c. Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara penyebab dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya. Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien dengan unsur kelalaian dokter.Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercelab. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.Upaya pencegahan malpraktek :Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan :Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Upaya menghadapi tuntutan hukum

a. Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

b. Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.Perlu Diperhatikan

Hukum menginginkan agar seluruh masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya termasuk kewajiban profesinya harus dengan cara yang wajar dan menjaga agar orang lain termasuk pasiennya tidak sampai menderita kerugian yang tidak perlu. Di dalam menjalin adanya hubungan antara dokter dengan pasien di dalam pengobatannya terdapat unsur yang sangat penting yaitu kepercayaan yang diberikan oleh pasien terhadap dokter yang merawatnya bahwa dokter mempunyai ilmu ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit pasien, dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti serta bertindak berdasarkan standar profesi medik yang ada. Kepercayaan tersebut hendaknya jangan disia-siakan, dengan menghindari melakukan malpraktek medik termasuk kelalaian medic.