Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

12
Laporan Investigasi EoF Maret 2008 1 www.eyesontheforest.or.id Pernyataan Eyes on the Forest kepada Asia Pulp & Paper Hentikan semua aktifitas penghancuran terhadap salah satu hutan gambut tropis terbesar di dunia, yaitu Kawasan Semenanjung Kampar di Riau, Sumatera Laporan Investigasi Eyes on the Forest Maret 2008 Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI Riau, Jikalahari "Jaringan Penyelamat Hutan Riau”, dan WWF-Indonesia, Riau Program. EoF memonitor status hutan alam di Propinsi Riau, Sumatera dan mendesiminasikan informasi tersebut ke pembaca di seluruh dunia. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Eyes on the Forest, kunjungi : http://www.eyesontheforest.or.id Email: [email protected]

description

 

Transcript of Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Page 1: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 1

www.eyesontheforest.or.id

Pernyataan Eyes on the Forest kepada Asia Pulp & Paper

Hentikan semua aktifitas penghancuran terhadap salah satu hutan gambut tropis terbesar di dunia, yaitu Kawasan Semenanjung Kampar di

Riau, Sumatera

Laporan Investigasi Eyes on the Forest

Maret 2008

Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI Riau, Jikalahari "Jaringan Penyelamat Hutan Riau”, dan

WWF-Indonesia, Riau Program. EoF memonitor status hutan alam di Propinsi Riau, Sumatera dan mendesiminasikan informasi tersebut ke

pembaca di seluruh dunia.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Eyes on the Forest, kunjungi : http://www.eyesontheforest.or.id

Email: [email protected]

Page 2: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 2

Pernyataan Eyes on the Forest kepada Asia Pulp & Paper

Hentikan semua aktifitas penghancuran terhadap salah satu hutan gambut tropis terbesar di dunia: Kawasan Semenanjung

Kampar di Riau, Sumatera

Eyes on the Forest

Maret 2008 Eyes on the Forest (EoF) dan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya telah lama meminta Asia Pulp & Paper (APP) untuk menghentikan penebangan hutan alam yang masih berlanjut di Provinsi Riau dan Jambi, Sumatera. Investigasi EoF menemukan bahwa APP mendukung pembukaan sebuah jalan logging baru yang membelah jantung hutan gambut penting di Sumatera. Hutan gambut yang bernama Semenanjung Kampar di Riau ini merupakan kawasan konservasi kunci yang diakui secara global, dan merupakan salah satu blok hutan rawa gambut tropis bersambungan (contiguous tropical peatland) yang terbesar di dunia. Sebagai sebuah ekosistem hidrologis yang sangat jarang di dunia, kawasan gambut ini berfungsi sebagai salah satu penyimpan karbon terbesar di bumi kita. dengan jumlah simpanan karbon per hektar lebih banyak daripada ekosistem lainnya di dunia. Meskipun saat ini sedang terjadi “jeda tebang atau moratorium sementara” di Riau, EoF mengkhawatirkan bahwa APP dan perusahaan afiliasinya bisa saja mulai menebang hutan alam kembali dan menghancurkan lahan gambut di Semenanjung Kampar kapanpun juga dalam tahun ini. Selain merupakan kawasan penyimpan karbon, Kampar juga merupakan salah satu dari sedikit habitat yang tersisa bagi satwa dilindungi harimau Sumatera, yang populasinya di alam liar saat ini diperkirakan menurun menjadi hanya 400-500 ekor saja. Saat melakukan investigasi pada Februari 2008, tim EoF menemukan jejak-jejak kaki harimau, diperkirakan lebih dari seekor, pada jalan koridor yang baru dibuat APP di Kampar (Foto 1). Eyes on the Forest meminta APP untuk segera menghentikan semua kegiatan yang merusak, yang diindikasikan secara kuat tidak sah, maupun yang keabsahannya masih dipertanyakan di lanskap ini.

Foto 1. Jejak kaki harimau yang ditemukan di jalan logging yang baru saja dibuka oleh APP/SMG di Kampar (lokasi GPS 3 di Peta 4). Mampukah satwa langka ini bertahan hidup dalam kondisi seperti ini?

Page 3: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 3

APP terus mendorong terjadinya deforestasi di Riau dan Jambi Aktifitas pembukaan hutan oleh APP di Sumatera bagian tengah saat ini setidaknya mengancam empat blok hutan: 1. Semenanjung Kampar seperti dijelaskan dengan detil dalam laporan ini, 2. blok hutan dataran rendah kering Bukit Tigapuluh seperti yang pernah dipublikasikan oleh WARSI, Program Konservasi Harimau Sumatera/PKHS, Frankfurt Zoological Society, Zoological Society of London dan WWF-Indonesia belum lama ini (lihat laporan investigasi bersamai dan siaran persii), 3. Senepis (lihat, contohnya, WWF-Indonesia’s APP monitoring report dari October 2006iii) dan 4. hutan gambut Kerumutan.

Kampar – Kawasan Kunci Konservasi Semenanjung Kampar adalah kawasan lahan gambut yang saling bersambungan dengan luas sekitar 700.000 hektar. Hingga 2002, kawasan ini masih sepenuhnya ditutupi oleh hutan alam, namun pada 2007 hanya sekitar 400.000 hektar yang tersisa. Kebanyakan dari hutan yang hilang, kayu hutan alamnya, digunakan untuk memasok pabrik bubur kertas yang dijalankan oleh APP dan kompetitornya, Asia Pacific Resources International Holding (APRIL) lalu kemudian lahannya ditanami akasia. Sebagian kecil dari kawasan hutan yang hilang telah dikonversi menjadi kebun sawit atau lahan telantar. Kampar dianggap sebagai lokasi konservasi penting oleh banyak LSM dan Pemerintah Indonesia: • Jaringan LSM lokal Jikalahari secara resmi telah mengusulkan pada Departemen Kehutanan

untuk melindungi hutan alam Kampariv. Jikalahari juga menandatangani satu kesepakatan (MoU) dengan Pemerintah Kabupaten Siak serta Pelalawan pada acara di Bali COP tahun laluv.

• WWF memasukkan kawasan hutan ini dalam ekosistem Sundaland Rivers and Swamps dari 200 prioritas ekoregional Globalvi dan mengusulkan status perlindungan untuk Kampar kepada Departemen Kehutanan.

• Semenanjung Kampar adalah satu “Lanskap Konservasi Harimau Prioritas Regional” bagi harimau Sumatera yang populasinya dialam liar diperkirakan menurun dan tersisa hanya 400-500 individuvii.

• Sebuah survey cepat tentang harimau yang dilakukan di Kamparviii menyimpulkan bahwa rata-rata jepretan foto harimau Sumatera yang didapat dengan menggunakan kamera trap di Kampar adalah yang tertinggi dibandingkan dengan studi manapun yang pernah dipublikasikan di Indonesia. Perhitungan awal oleh WWF-Indonesia menunjukkan bahwa Semenanjung Kampar yang terkelola dengan baik bisa menampung maksimum sebanyak 60 harimau.

• Wetlands International mengidentifikasi Kampar sebagai salah satu dari kawasan prioritas tertinggi untuk masuk dalam jaringan kawasan yang dilindungi (protected area network)ix.

• Kampar ditetapkan sebagai bagian dari Sundaland Biodiversity Hotspot oleh Conservation internasionalx.

• BirdLife International telah mengusulkan Kampar sebagai “Important Bird Area” atau “Kawasan Konservasi Burung yang Penting”xi

APP di Kampar – Temuan Investigasi

Hutan alam Kampar adalah salah satu dari sejumlah kawasan dimana APP menggantungkan bahan baku untuk produk bubur kertas dan kertasnya. Hingga 2004, perusahaan-perusahaan yang berafiliasi pada APP telah menebang sekitar 13.000 ha hutan alam di bagian barat laut dan tenggara Semenanjung Kampar (konsesi-konsesi di Siak dan Serapung). Para aktivis lingkungan prihatin bahwa manajemen hidrologis yang buruk di konsesi-konsesi ini bisa mempengaruhi keseluruhan ekosistem gambut Kampar. Tiap tahun, titik-titik api ditemukan di konsesi-konsesi ini (lihat EoF Interactive Mapxii). Menurut investigasi EoF pada Desember 2006xiii, Maret-April-Juni 2007xiv dan Februari 2008, sebuah perusahaan afiliasi APP, PT Arara Abadi, mulai membuat koridor atau jalan logging baru pada 2005 dari pantai utara Kampar menuju selatan.

Page 4: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 4

Jalan logging dengan lebar 25 meter itu diikuti dengan kanal drainase selebar 5 meter di masing-masing kedua sisi. Seperti terlihat di Peta 1, satu ruas jalan logging yang panjangnya sekitar 13 kilometer baru saja dikeraskan, dan jika ditarik garis lurus jalan tersebut menuju jantung kubah gambut Kampar. Lanjutan jalan tersebut - yang belum dikeraskan, tampaknya telah mencapai perbatasan konsesi HTI akasia PT Uni Seraya (sebuah perusahaan afiliasi APRIL), yang bersinggungan langsung dengan dua konsesi akasia baru yang tergabung dalam kelompok APP, PT Balai Kayang Mandiri dan PT Putra Riau Perkasa (lihat Peta 3 dan 4). Peta 1. Koridor penebangan yang telah dikeraskan (garis ungu) dan jalan belum dikeraskan (garis kuning terputus) dibangun oleh perusahaan yang berafiliasi pada APP. Citra Landsat tanggal 26 Agustus 2006 pada latar belakang menunjukkan garis selebar 1000 meter, dengan kawasan tebangan dalam warna merah muda. Dengan adanya infrastruktur ini, EoF memperkirakan bahwa APP akan mulai menebangi hutan di dua konsesi baru tersebut, segera setelah investigasi polisi yang saat ini berlangsung terhadap pembalakan liar oleh industri pulp dan kertas di Riau dihentikan dan ketika jeda tebang de-facto terhadap hutan alam tersebut diakhiri. Meskipun demikian, investigasi EoF menegaskan bahwa jalan logging dan pembangunan jalan lainnya serta operasi penebangan hutan alam di kawasan ini oleh perusahaan afiliasi APP adalah diindikasikan secara kuat tidak sah. Mereka juga tidak memberikan keuntungan apapun bagi masyarakat setempat. Bukan hanya itu, operasi penebangan hutan alam ini ini akan berdampak bukan saja bagi kepunahan lokal harimau Sumatera, namun juga secara signifikan terhadap perubahan iklim global.

Page 5: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 5

1. Operasi penebangan oleh APP yang diindikasikan secara kuat tidak sah dan dipertanyakan legalitasnya

Investigasi Eyes on the Forest menunjukkan indikasi kuat bahwa operasi oleh perusahaan-perusahaan afiliasi APP di kawasan ini tidak memiliki izin memadai: • Kawasan milik perusahaan afiliasi APP yang baru saja dikonversi atau ditanami akasia

bertumpang tindih dengan konsesi HPH —yang masih berlaku-- dari PT Triomas FDI. Data resmi konsesi hutan tanaman industri (HTI) dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2006 tidak menunjukkan adanya izin konsesi HTI yang diberikan di kawasan ini; karena itu, penebangan hutan alam dan pengembangan akasia di kawasan ini tidak dibolehkan. Selain itu, tanaman akasia yang tumbuh di kawasan tersebut, baik di sisi kanan maupun kiri jalan, rata-rata telah berusia antara 1 sd 2 tahun, yang artinya pengembangan HTI tersebut telah dimulai tanpa adanya izin yang semestinya (Lihat peta 2).

• Dalam responnya pada laporan investigasi EoFxv, APP mengklaim bahwa ”jalan sepanjang 68 kilometer dan pengembangan masyarakat (yang telah disetujui) oleh Pemerintah Kabupaten Siak menghubungkan desa-desa Sei Rawa dan Teluk Lanus.” (Rencana jalan dan lokasi dua desa ini ditunjukkan dalam Peta 2.) APP juga mengklaim bahwa sebuah “kajian dampak lingkungan telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dalam kaitannya dengan rencana pembangunan. PT Arara Abadi telah diundang oleh Pemerintah Siak untuk membantu pengembangan hutan tanaman akasia pada luasan selebar 500 meter di dua sisi jalan.” Meskipun demikian, APP tidak berhasil menunjukkan izin yang tepat dan laporan AMDAL (Analisa mengenai dampak lingkungan) untuk setiap kegiatan.

• Sejumlah hutan yang ditebang memiliki tutupan kanopi bagus pada puncak lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (lihat Peta 2). Konversi hutan alam tersebut, terutama pada lahan gambut berkedalaman lebih dari 3 meter tidaklah diizinkan oleh peraturan perundangan.

• Dua konsesi baru afiliasi APP (PT Balai Kayang Mandiri dan PT Putra Riau Perkasa) keduanya akan beroperasi berdasarkan ijin-ijin yang dikeluarkan oleh Bupati yang tidak memiliki kewenangan mengeluarkan izin tersebut. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan izin definitif untuk dua konsesi ini melalui izin pembaharuan setelah dilakukan verifikasi. Namun izin definitif tersebut masih bertentangan dengan sejumlah peraturan pengembangan HTI terutama peraturan yang berkaitan dengan kriteria areal yang dapat dijadikan areal HTI (Pasal 4 dan 6 P.03/Menhut-II/2005 Tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Dan Atau Pada Hutan Tanaman Yang Diterbitkan Oleh Gubernur Atau Bupati/Walikota)

• Izin untuk PT Putra Riau Perkasa (PRP) merupakan salah satu dari 15 izin yang sedang diperkarakan oleh KPKviii. Izin tersebut dikeluarkan oleh Bupati Pelalawan, Azmun Jaafar, yang saat ini ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan mengeluarkan izin penebangan yang melanggar hukum.

Page 6: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 6

Peta 2. Jalan yang semula direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Siak (garis merah putus) untuk menghubungkan dua desa yang disebut oleh APP (Sei Rawa dan Teluk Lanus), dan jalan yang sebenarnya dibuka oleh perusahaan afiliasi APP dan dua desa yang disebutkan diatas.

Page 7: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 7

Foto 2. Papan nama HTI PT. Arara Abadi dan akasi berumur sekitar 2 tahun (lokasi GPS 1 pada Peta 4).

2. Pembangunan masyarakat ? APP juga mengklaim: “Pembangunan jalan-jalan guna mencapai desa-desa terisolir adalah salah satu dari banyak pengembangan yang diprioritaskan dan diamanatkan oleh rencana strategis Kabupaten guna membuat pembangunan ekonomi kepada kawasan terkebelakang, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat” xvi. Meskipun demikian, tokoh-tokoh terkemuka dari desa Teluk Lanus serta Sungai Rawa – desa-desa yang disebutkan APP sebagai orang yang menikmati keuntungan pembangunan jalan tersebut – mengatakan kepada EoF bahwa mereka yakin pembuatan koridor untuk saat ini hanya menguntungkan kepentingan APP, mengangkut kayu hutan alam dan mengembangkan kebun akasia. Masyarakat di desa-desa agaknya berpendapat bahwa jalan koridor tidak akan pernah menjangkau pemukiman mereka dan karenanya orang desa tidak mendapat keuntungan apapun dari jalan itu. APP juga mengklaim bahwa “Arara Abadi telah diundang oleh Pemerintah Siak guna membantu pengembangan kebun akasia di atas kawasan selebar 500 meter di dua sisi jalan logging untuk membantu mencegah perambahan, pemukiman liar, dan guna menyediakan daerah penyangga bagi habitat hutan alam terdekat. Pengembangan hutan tanaman kayu serat ini juga bagian dari rencana manajemen lingkungan dan sosial guna mengurangi terjadinya dampak tak diinginkan.” Pada kenyataannya, tingkat keberadaan manusia di kawasan itu sebenarnya sangat rendah karena kurangnya akses jalan dan perahu menuju kawasan tersebut. Selain itu, koridor tebang APP justru menimbulkan akibat berlawanan dari alasan yang mereka sebutkan diatas. EoF prihatin bahwa pembukaan jalan logging ini akan membuka dan mempermudah akses bagi pembalak liar, perambah dan pemburu satwaliar menuju hutan alam itu. Tidak ada petugas yang berwenang saat ini mampu mencegahnya. APP mengklaim bahwa HTI akasia pada dua sisi koridor ini bisa mencegah terjadinya aktifitas-aktifitas illegal di hutan alam.

Page 8: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 8

3. Dampak terhadap seluruh ekosistem gambut Kampar dan iklim global Pembangunan jalan logging baru APP, kanal-kanal pada dua sisi, dan semua penebangan hutan alam yang terkait dengan aktifitas tersebut, serta pengembangan akasia, telah dan terus mengeringkan lahan gambut dan menyebabkan emisi CO2 yang serius. Tim EoF tidak melihat adanya upaya-upaya serius yang dilakukan oleh APP dan perusahaan afiliasinya untuk meminimalkan dampak kehancuran hidrologis pada kanal-kanal mereka. Pada lokasi GPS di Peta 4, investigator kami mengukur lebar kanal hingga 6 meter dan diperkirakan kedalamannya sekitar 7 meter. Permukaan air sekitar 2 meter dari puncak tepi gambut (foto 3), menunjukkan bahwa drainase besar-besaran sedang terjadi dan lahan gambut tersebut berpotensi terus menurun, atau bahkan tenggelam. Ini bisa menyebabkan pelepasan emisi CO2 besar-besaran dari dekomposisi gambut kering. Menurut survey fly-over pada November 2007, dua konsesi baru afiliasi APP (PT Balai Kayang Mandiri dan PT Putra Riau Perkasa) memiliki total luas sekitar 22.500 ha, yang mana masih ditutupi oleh hutan alam yang relatif lebat dengan tutupan kanopi rapat pada puncak lahan gambut sangat dalam. Segera setelah jeda tebang di provinsi Riau (yang saat ini sedang berlangsung) dicabut, perusahaan afiliasi APP akan mulai menebang lebih banyak lagi hutan alam di sepanjang jalan logging dan bahkan di dua konsesi. Hal ini akan menyebabkan kehancuran pada seluruh kubah gambut. Kawasan Semenanjung Kampar bisa dianggap sebagai sistem kawasan dengan hidro-ekologis tunggal, dimana seluruhnya terdiri dari kubah gambut tunggal, dengan kedalaman gambut sebagian besar lebih dari 10 meterxvii, luar biasa dalamnya, dengan simpanan karbon yang berlimpah. Keseluruhan gambut benar-benar kaya dengan air, dengan kandungan air 90% atau lebih. Hilangnya air, melalui drainase, menyebabkan subsidensi gambut dan perubahan fungsi dan bentuk kubah gambut. Karena itu, drainase dan kegiatan pengembangan perkebunan dalam satu kawasan di Lanskap itu bisa memiliki dampak merusak yang luas pada sisa hutan alam di dalam unit hidrologis

xviii. Laporan terbaru oleh WWF-Indonesia dan para pakar gambutxix, menyimpulkan bahwa rata-rata per tahun emisi CO2 Riau dari deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi dan kebakaran gambut antara 1990 dan 2007 setara dengan 122%, dari total emisi tahunan CO2 Belanda tahun 2005 (termasuk emisi/pengeluaran dari LULUCF); setara dengan 58% emisi tahunan Australia, 39% emisi tahunan Inggris, dan 26% emisi tahunan Jerman pada 2005. Emisi-emisi CO2 Riau di masa datang hingga 2015 diperkirakan meningkat dan bisa setara atau lebih banyak daripada seperempat target pengurangan emisi gas rumah kaca tahunan bersama yang ditargetkan Kyoto Potokol untuk negara-negara Annex 1 dalam periode komitmen pertama 2008-2012. Hal ini dikarenakan kebanyakan deforestasi baru akan terjadi pada lahan gambut, seperti Kampar.

Page 9: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 9

Foto 3. Kanal di sebelah jalan koridor APP pada lokasi GPS 2 di Peta 4. Di lokasi ini, permukaan air ada sekitar 2 meter di bawah puncak tepian kanal.

Imbauan Eyes on the Forest untuk stakeholder APP dan APP EoF mengimbau Asia Pulp & Paper untuk menghentikan penebangan hutan alam lebih jauh di Semenanjung Kampar karena dampak negatif yang ditimbulkan terhadap perubahan iklim, keberlangsungan hidup harimau Sumatera, dan legalitas kegiatan perusahaan yang masih dipertanyakan. Secara khusus, EoF mengimbau APP untuk segera:

1. Menutup jalan yang sudah dibuat guna mencegah adanya pembalakan liar, perambahan dan perburuan satwa yang dapat masuk ke jantung Kampar.

2. Menghancurkan atau menutup kanal drainase guna menghentikan drainase atau pengeringan lebih buruk terhadap kubah gambut Kampar.

3. Menyisihkan dua konsesi di pusat Kampar sepenuhnya untuk konservasi. EoF juga mengimbau perusahaan nasional dan global untuk tidak melakukan kegiatan bisnis apapun dengan APP, karena perusahaan ini telah menjadi penggerak utama deforestasi di Riau dan pemicu perubahan iklim global.

Page 10: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 10

Peta 3. Foto-foto fly-over November 2007 pada koridor APP. HTI akasia ditepi jalan logging yang legalitasnya dipertanyakan

Page 11: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 11

Peta 4. Foto survey lapangan Februari 200 8 pada jalan logging APP.

Page 12: Investigatif Report Versi Indonesia Maret 2008

Laporan Investigasi EoF Maret 2008 12

Referensi i WWF PR (7 January 2008) Illegal logging and road building threatens tigers and tribes of the Heart of Sumatra. http://www.panda.org/news_facts/newsroom/index.cfm?uNewsID=120960 ii Warsi, Frankfurt Zoological Society, Zoological Society of London, WWF-Indonesia (8 January 2008) APP Forest Clearance in Bukit Tigapuluh Threatens Lives of Local Communities and Sumatra’s Endangered Species. http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=163&Itemid=6 iii WWF (October 2006) WWF Monitoring Brief October 2006: Asia Pulp & Paper (APP) Hiding Destruction behind False Advertisements: APP continues to ignore calls for conservation beyond “legal compliance”,and even fails on the latter. http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=newsroom.detail&id=NWS1161151678&language=e iv http://jikalahari.org/index.php?option=com_remository&Itemid=17&func=selectcat&cat=4 v http://jikalahari.org/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=5 vi http://www.panda.org/about_wwf/where_we_work/ecoregions/sundaland_rivers_swamps.cfm vii Sanderson, E., J. Forrest, C. Loucks, J. Ginsberg, E. Dinerstein, J. Seidensticker, P. Leimgruber, M. Songer, A. Heydlauff, T. O’Brien, G. Bryja, S. Klenzendorf and E. Wikramanayake. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015. The Technical Assessment. WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF, New York – Washington, D.C. http://www.worldwildlife.org/tigers/pubs/TCL-technical.pdf viii Unpublished report as a part of Rainforest Alliance SmartWood Program (February 2005) High Conservation Value Forest (HCVF) Assessment Report for: Serapung Unit PT Arara Abadi, Asia Pulp & Paper/Sinar Mas Group. http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=5 ix Zieren, M., Wim Giesen, Yus Rusila Noor and Marcel J. Silvius. 1994. Proposed Wetland Conservation Areas: New & Extensions of Existing Reserves. AWB-Indonesia/PHPA. Bogor. x http://web.biodiversityhotspots.org/xp/Hotspots/sundaland/ xi BirdLife, I. (2003). Daerah Penting bagi Burung Sumatera. BirdLife Indonesia, Bogor. xiihttp://maps.eyesontheforest.or.id (see the “Forest Fire” map) xiiiEoF December report can be downloaded from: http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=122&Itemid=6 xivDownload the investigative report from: http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=14&Itemid=20 xvAPP’s response can be downloaded from: http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=122&Itemid=6 xvi APP’s response can be downloaded from: http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=122&Itemid=6 xvii ProForest (December 2005) Landscape-level assessment of hydrological & ecological values in the Kampar Peninsular. A study to provide a context for HCVF assessment and management at a concession level. xviii ProForest (December 2005) Landscape-level assessment of hydrological & ecological values in the Kampar Peninsular. A study to provide a context for HCVF assessment and management at a concession level. Hooijer, A. (2005) Hydrological assessment of forest plantation impacts on tropical forested peatlands; Kampar Peninsula, Sumatra, Indonesia – Technical Report Q3975, WL | Delft Hydraulics. xix Uryu et al. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia. WWF Indonesia Technical Report, Jakarta, Indonesia. Published at: http://www.worldwildlife.org/wildplaces/borneo/updates/disappearingforest.cfm viii Tribun Pekanbaru Edisi Sabtu 15 Desember 2007 halaman 1